Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Percobaan Praktikum


Tujuan Gas Chromatography :
1. Memahami penggunaan alat GC.
2. Untuk mengetahui kadar senyawa (misalnya alcohol dalam minuman
beralkohol) dalam sampel.
Tujuan High Performance Liquid Chromatography :
1. Pemisahan senyawa dengan metoda High Performance Liquid
Chromatografi (HPLC).
1.2. Prinsip Kerja
HPLC menggunakan kolom yang mengandung partikel-partikel
kecil dari fase tetap dan karena luas permukaan yang lebih besar dari
fase tetap maka sampel dalam HPLC terpisah dengan sangat baik dengan
efesiensi yang tinggi. Mekanisme pemisahan yang berbeda dengan cepat
dilakukan mengikatkan gugus-gugus kimia yang berbeda pada
permukaan partikel silika yang disebut dengan fase terikat. Secara teoritis
HPLC itu identik dengan Liquid Solid Choromatografy, Liquid
Choromatografy dan ion exchange Choromatografy.
1.3. Landasan Teori
1.3.1. Penggunaan Parameter Geokimia Untuk Menentukan
Kematangan Minyak Bumi Dari Sumur Produksi Lirik, Riau.
Pendahuluan.
Minyak bumi merupakan sumber daya alam yang bernilai
ekonomis dan sumber energi yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam proses industri, selain minyak
bumi sebagai bahan bakar untuk masyarkat dan industri, minyak
bumi juga merupakan devisa negara. Produksi minyak bumi di
Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun

1
2011, jumlah produksi minyak bumi Indonesia per harinya sekitar
902.000 BOPD (barrel oil per day). Sedangkan jumlah konsumsi
minyak bumi di Indonesia per harinya sekitar 1.430.000 BOPD
(barrel oil per day). Berdasarkan Ditjen Migas, saat ini produksi
minyak bumi di Indonesia hanya sebesar 870.000 BPOD (barrel
oil per day), sedangkan jumlah konsumsi minyak bumi di
Indonesia per harinya sekitar 1.530.000 BOPD (barrel oil per day).
Dari data di atas dapat dilihat bahwa produksi minyak bumi di
Indonesia setiap tahunnya mengalami penurunan. Sedangkan
konsumsi minyak di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal
ini mengakibatkan negara Indonesia harus membeli minyak bumi
dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Krisis
minyak bumi di Indonesia terjadi karena banyaknya sumur-sumur
yang sudah tua. Berdasarkan data IPA (Indonesia Petroleum
Association), wilayah Indonesia memiliki banyak cekungan yang
berpotensi tetapi belum dilakukannya eksplorasi. Pada kegiatan
eksplorasi minyak bumi, banyak parameter analisis yang harus
dipertimbangkan untuk mencapai hasil yang maksimal. Selain data
geologi dan geofisika juga diperlukannya data geokimia. Data
geokimia sangat penting, untuk menentukan batuan sumber,
lingkungan pengendapan serta kematangan termal minyak bumi.
Parameter metil phenantren termasuk baru dalam
menentukan tingkat kematangan pada minyak mentah. dan belum
digunakan dalam penentuan tingkat kematangan minyak bumi
Lirik. Ladang minyak Lirik merupakan salah satu daerah penghasil
minyak yang terletak di Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau,
terletak ±140 km disebelah selatan kota Pekanbaru dengan luas
±12, terletak di cekungan Sumatra Tengah. Menurut pengetahuan
peneliti belum adanya penentuan tingkat kematangan pada ladang
minyak Lirik, oleh karena itu pada penelitian ini akan di gunakan
parameter metilphenantren indeks (MPI) untuk menentukan tingkat

2
kematangan pada minyak mentah dari sumur minyak Lirik.
Metilphenantren (MPI) merupakan parameter kematangan
hidrokarbon aromatik lebih sensitif terhadap kematangan pada
pertengahan hingga bahagian akhir generasi oil window. Distribusi
phenantren dan alkilphenatren pada sedimen kuno dan minyak
mentah, merupakan parameter Biomarker dalam fraksi aromat,
distribusi ini berubah dengan meningkatnya kematangan. Indikator
ini banyak di guanakan untuk menentukan kematangan dalam
minyak mentah.
Metode Penelitian.
Persiapan sampel berlokasi di lapangan Sago PT. Pertamina
UBEP-Lirik. Sampel yang diperoleh disimpan pada suhu dibawah
5°C sebelum dilakukan analisis. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi terjadinya Sampel minyak mentah diperoleh dari tiga
sumur minyak mentah Lirik, Riau yang biodegradasi pada sampel
minyak mentah yang akan dianalisis. Jarak sumur satu dengan yang
lain berkisar dari 300-750 meter. Lokasi pengambilan sampel dapat
dilihat pada Gambar 1.
Fraksinasi minyak mentah.
Sampel minyak mentah ditimbang sebanyak 200 mg
dilarutkan dengan 1ml n-heksana/DCM (3:1 v/v) murni, kemudian
dimasukkan kedalam kolom dengan panjang 20 cm dan diameter 1
cm yang didalamnya terdapat silika gel yang telah diaktivasi
dengan ukuran 60-200 mesh. Kolom yang telah berisi sampel
dielusi dengan 17 ml n-heksana/ DCM (3:1 v/v) murni. Kemudian
eluat ditampung pada botol vial dan pelarut diuapkan hingga
terbentuknya minyak pada dinding vial.
Minyak yang diperoleh kemudian dilarutkan dengan 2 ml
n-heksana (homogen) murni, hasil yang diperoleh kemudian
dimasukkan kedalam kolon panjang 20 cm dan diameter 1 cm yang
didalamnya terdapat silika gel yang telah diaktivasi dengan ukuran

3
60-200 mesh. Kolom yang telah berisi sampel kemudian dielusi
menggunakan 6 ml n-heksana murni sehingga diperoleh fraksi
saturat (fraksi saturat keluar terlebih dahulu). Kolom kemudian
dielusi kembali dengan 17 ml n-heksana/DCM (3:1 v/v) murni,
sehingga diperoleh fraksi aromat (eluat, yang diperoleh ditampung
kedalam vial), selama proses fraksinasi kran dibuka.
Analisis Kromatografi dan Kromatografi Spektroskopi masa
Fraksi saturat dianalisis menggunakan kromatografi gas
(GC) Agilent Technologies 7890 A Series dilengkapi dengan kolom
kapiler Fused Silica dengan panjang kolom 0,32 mm, tebal fase
diam 0,25 μm. gas helium digunakan sebagai gas pembawa dengan
kecepatan alir 1 ml/menit. Sampel diinjeksi menggunakan column
injector sebanyak 0,2 μL dengan temperatur inlet 270 oC, kemudian
dideteksi oleh flame ionization detector (FID) pada suhu konstan
350oC. Data isoprenoid dan n-alkana ditunjukkan pada Tabel 2.
Fraksi aromat dianalisis menggunakan kromatografi gas
tipe B Model 7683 yang dilengkapi dengan detektor MSD yang
diaplikasikan dengan spektroskopi masa tipe Agilent Technologies
C 5975. Gas helium digunakan sebagai gas pembawa, sampel
diinjeksi mengunakan column injector sebanyak 0,2 μL.
Identifikasi penentuan konsentrasi phenantren dan metilphenantren
berdasarkan puncak multiple fragmentogram ion m/z 178 dan m/z
192.

4
Gambar 1.Peta lokasi ladang minyak Lirik
Hasil Dan Pembahasan
Kematangan termal berdasarkan rasio isoprenoid dan n-
alkana.
Penentuan kematangan termal berdasarkan rasio isoprenoid
dan n-alkana diperoleh dari hasil analisis kromatogram gas pada
parameter ini diperoleh dari fraksinasi minyak mentah pada fraksi
saturat. Pada parameter ini penentuan kematangan termal n-alkana
yang digunakan adalah rasio Pristana/Phitana, rasio Pr/n-C17 dan
nPh/n-Crasio Pr/n-C17 dan Ph/n-C18. Selain itu nilai Carbon
Preference Indeks (CPI) juga digunakan untuk penentuan
kematangan termal. Rasio Pr/Ph, Pr/n-C17, Ph/n-C18 dan
isoprenoid/n-alkana berkurang seiring meningkatnya kematangan
termal minyak bumi. Hasil analisis kromatogram gas pada fraksi
saturat ini ditunjukkan pada Tabel 1.

5
Kematangan termal berdasarkan rasio MPI dan MPR
Kematangan termal menggunakan parameter indeks
metilphenantren diperoleh dari hasil analisis kromatogram gas-
spektroskopi masa (GC-MS) pada fraksi aromat. Parameter ini
digunakan karena lebih sensitif dalam penentuan tingkat
kematangan termal pada pertengahan hingga bahagian akhir dari
generasi oil window, selain itu parameter ini termasuk baru yang
dikembangkan oleh Redke dan belum digunakan untuk
menentukan kematangan minyak bumi Lirik, Riau. Rasio
metilphenantren yang digunakan oleh ahli kimia minyak bumi
untuk menentukan kematangan termal minyak bumi adalah rasio
MPI-1, MPI-2, MPI-3 dan MPR. Parameter MPI ini didasarkan
pada distribusi phenantren dan empat metil homolog yang
signifikan selama kematangan. Indeks metilphenantren (MPI-1)
merupakan parameter yang paling banyak digunakan berdasarkan
termodinamika isomer. Sedangkan, indeks metilphenantren (MPI-
2) digunakan sebagai kontrol dari MPI-1.
Tabel 1. Data kematangan termal minyak bumi berdasarkan
isoprenoid dan n-alkana pada fraksi saturat.
Sumur minyak Pr/Ph Pr/n-C17 Ph/n-C18 CPI
LirikLP-1 3,22 0,71 0,24 1,07
LirikLP-3 3,07 0,68 0,23 1,08

Tabel 2. Hasil analisis tingkat kematangan termal pada sumur


minyak bumi Lirik, Riau, LP 1dan LP 3 pada fraksi aromat.
Sampel MPI 1 MPI 2 MPI 3 MPR % VRE
LirikLP-1 0.727 0.829 0.709 0.699 0.836
LirikLP-3 0.728 0.823 0.755 0.756 0.836

6
Tabel 3.Tingkat kematangan termal berdasarkan Vitrinite
reflectance equivalent (VRE).
Sampel % VRE Indikasi kematangan
Lirik LP 1 0,836 % Matang
Lirik LP 3 0,836 % Matang

Untuk memperoleh distribusi phenatren dan


metilphenantren harus melakukan pengionan (m/z) pada
kromatogram TIC (Total Ion Kromatografi). Pada senyawa
phenantren yaitu pada m/z 178 dan metilphenantren pada m/z 192
(Gambar 2 dan Gambar 3).
Hasil analisis kromatogram pada fraksi aromat dari minyak
Lirik, Riau untuk kedua sumur memiliki nilai MPI-1 0.727 ; 0.728
sedangkan nilai pada MPI-2 0.823 ; 0.829 (Tabel 2) menunjukkan
bahwa distribusi MPI-2 lebih besar dari pada distribusi MPI-1
seiring dengan meningkatnya kematangan.
Selain nilai MPI-1 dan MPI-2, nilai MPI-3 dapat digunakan
sebagai parameter kematangan yang juga berkorelasi terhadap
MPR (Methylphenantrene Rasio) mengelompokkan tingkat
kematangan menjadi tiga kelas berdasarkan nilai MPI-3 dan MPR.
Kelompok pertama yaitu derajat kematangan tinggi yang memiliki
nilai MPI 3 > 1.0 dan MPR > 1.2, kelompok kedua derajat
kematangan sedang yang memiliki nilai 0.8–1.0 dan MPR 0.95-1.2
dan kelompok ketiga derajat kematangan rendah yang memiliki
nilai < 0.8 dan MPR < 0.95.
Pada sampel minyak bumi Lirik, LP-1 memiliki nilai MPI-
3 0.709 dan MPR 0.699 ini menunjukkan bahwa minyak bumi
Lirik LP-1 termasuk pada golongan ketiga yaitu masuk pada
golongan derajat kematangan rendah. Sampel minyak bumi pada
sumur Lirik-3 memiliki nilai MPI-3 0.755 dan MPR 0.756, ini
menunjukkan bahwa minyak bumi pada sumur Lirik LP-3 memiliki
derajat kematangan rendah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

7
Gambar 2. Kromatogram GC-MS pada phenantren parsial ion m/z
178 dan metilphenantren parsial ion m/z 192 pada sampel minyak
Lirik, RiauLP-1.

Gambar 3. Kromatogram GC-MS pada phenantren parsial ion m/z


178 dan metilphenantren parsial ion m/z 192 padasampel minyak
Lirik, Riau LP-3.
Kematangan termal berdasarkan Vitrinite reflectance
equivalent (VRE)

8
Dari nilai MPI 1 dapat digunakan untuk menentukan nilai Vitrinite
reflectance equivalent (VRE) pada minyak bumi karena hubungan
linearnya dengan Vitrinite reflentance selama pembentukan minyak
(Oil Window). Okiongbo melaporkan persentase VRE berkisar
antara 0.6-1.3%. Persentase VRE yang kurang dari 0.5%
menandakan minyak belum matang. Dari Tabel 3 nilai %VRE dari
sumur minyak bumi Lirik LP 1 berkisar 0.83% dan LP 3 berkisar
0.836%. Ini dapat disimpulkan bahwa minyak bumi Lirik, telah
matang.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan bahwa kematangan termal pada sampel minyak bumi
dari sumur minyak LP 1 dan LP 3 pada fraksi saturat menggunakan
parameter isoprenoid dann-alkana memiliki nilai Pr/Ph 3.07-3.22 ;
Pr/n-C17 0.68-0.71 ; Ph/n-C18 0.23-0.24 dan CPI 1.07-1.08.
Menunjukkan bahwa sampel dari sumur minyak Lirik, Riau telah
matang. Hal ini dibuktikan oleh parameter indeks metilphenantren
pada fraksi aromat, dengan nilai MPI-3, MPR dan VRE dari dua
sumur minyak bumi Lirik LP-1 dengan nilai 0.709, 0.699, 0.836%
dan LP-3 memiliki nilai 0.755, 0.756, 0.836% yang menunjukkan
minyak mentah Lirik tergolong pada tingkat kematangan rendah.
1.1.1.3.2. Pelepasan Ibuprofen dari Gel Karbomer 940 Kokristal
Ibuprofen-Nikotinamida
Pendahuluan.
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan
pertama kali di banyak negara. Obat ini adalah golongan NSAID
dengan sifat analgesik dan antipiretik. Ibuprofen digunakan dalam
manajemen nyeri ringan hingga sedang dan peradangan. Kelarutan
ibuprofen adalah praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam
aseton, diklormetan, kloroform dan metanol; sukar larut dalam etil
asetat. Ibuprofen memiliki titik lebur 75-78ºC.

9
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa
obat yang penting dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam
saluran cerna. Obat-obat dengan kelarutan kecil dalam air
seringkali menunjukan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan
disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step) pada proses
absorpsi obat.
Berbagai metode untuk meningkatkan kelarutan dan laju
disolusi obat telah banyak dilaporkan seperti pembuatan dispersi
padat, pembentukan prodrug, kompleks inklusi obat dengan
pembawa, dan modifikasi senyawa menjadi bentuk garam dan
solvat. Salah satu metode yang telah dikembangkan dalam bidang
ilmu bahan dan rekayasa kristal untuk meningkatkan laju pelarutan
dan ketersediaan hayati obat-obat yang sukar larut adalah teknik
kokristalisasi untuk menghasilkan kokristal (senyawa molekular)
dengan sifat-sifat fisika dan fisikokimia yang lebih unggul obat.
Pembentuk kokristal (cocrystal former) yang digunakan
nikotinamida (vitamin B3) yang bersifat inert dan memiliki
toksisitas yang rendah. Nikotinamida memiliki dua bonding sites
yang dapat membentuk ikatan non kovalen dengan senyawa lain,
yaitu gugus piridin dan gugus amina. Dua gugus ini dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa yang memiliki gugus
asam karboksilat seperti ibuprofen, asam mandelat, dan teofilin.
Pembuatan kokristal ibuprofen-nikotinamida ini telah
dilakukan oleh beberapa peneliti dan menunjukan laju disolusi
yang lebih baik dibandingkan ibuprofen murni. Pengolahan produk
antara (kokristal ibuprofen-nikotinamida) menjadi produk jadi
berupa tablet kokristal ibuprofen-nikotinamida juga telah
dilakukan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa semua tablet
memenuhi persyaratan tablet yang baik menurut Farmakope
Indonesia yaitu dari segi keseragaman bobot, kekerasan,
kerapuhan, keseragaman kandungan, dan waktu hancur.

10
Namun, pada pemakaian oral ibuprofen sering
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti tukak
lambung yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat
pendarahan saluran cerna. Oleh karena itu, untuk meminimalkan
efek samping serta memperoleh konsentrasi obat yang terlokalisir
pada tempat kerjanya, maka produk antara (kokristal ibuprofen-
nikotinamida) ini dikembangkan menjadi sediaan transdemal dalam
bentuk gel.
Sediaan transdermal merupakan sistem penghantaran obat
yang menggunakan kulit sebagai tempat pemasukan obat
berdasarkan mekanisme difusi pasif zat aktif dan memasuki
sirkulasi darah memberikan efek sistemik. Berdasarkan latar
belakang diatas, diharapkan kokristal ibuprofen-nikotinamida bisa
diformulasi menjadi sediaan jadi yaitu dalam bentuk gel dan
memiliki pelepasan yang lebih bagus.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan: peralatan gelas standar
laboratorium, timbangan digital (Shimadzu-AUX 220), HPLC
(High Performance Liquid Chromatography) (Shimadzu LC-
20AD), magnetic stirer, stopwatch, mortir, stamfer, pot salep,
inkubator, oven, pH meter, jangka sorong, viskometer stormer, dan
sel difusi franz.
Bahan-bahan yang digunakan adalah ibuprofen (Kimia
Farma), nikotinamida (Kimia Farma), etanol 96% (PT. Brataco),
metanol (Mitra Sasindo), asam orthophosphat, kalium dihidrogen
fosfat (KH2PO4) (PT. Brataco), natrium hidroksida (NaOH) (PT.
Brataco), karbomer 940 (CV. Cipta Anugrah Bakti Mandiri),
trietanolamin (CV. Cipta Anugrah Bakti Mandiri), propilen glikol
(Kimia Farma), Nipagin (PT. Brataco), Tween 80 (PT. Brataco),
membran selulosa asetat pori 0,45 μm.

11
Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan Kokristal Ibuprofen-Nikotinamida
Ibuprofen dan nikotinamida dicampur dengan komposisi
1:1 mol. Kemudian, dilarutkan di dalam etanol 96% sebanyak 200
mL hingga semua larut sempurna dan pelarut dibiarkan menguap
pada suhu kamar.
Perhitungan Perolehan Kembali Ibuprofen dalam Kokristal
Perhitungan perolehan kembali dimulai dengan pembuatan
larutan induk ibuprofen dengan konsentrasi 1000 ppm. Kemudian,
larutan ini diencerkan menjadi 200 ppm untuk menentukan waktu
retensi ibuprofen. Penentuan waktu retensi menggunakan HPLC
dengan fase gerak metanol:aquabidest (80:20) pH 3,5 dengan asam
orthophosphat.

Gambar 4. Penentuan waktu retensi ibuprofen dengan fase gerak


metanol : aquabidest (80:20) pH 3,5 dengan asam orthophosphat.

12
Tabel 4. Formula gel ibuprofen
Bahan F1 (%) F2 (%)
Kokristal ibuprofen-nikotinamida setara 7,959 -
dengan 5 % ibuprofen
Ibuprofen - 5
Karbomer 940 1,5 1,5
Trietanolamin 4,4 3,2
Propilen Glikol 15 15
Tween 80 8 8
Nipagin 0,1 0,1
Aquadest (g) ad 100 100
Dimana:
F1= gel mengandung kokristal ibuprofen – nikotinamida.
F2 = gel mengandung ibuprofen murni.
Setelah diketahui waktu retensi ibuprofen, dibuat kurva
kalibrasi ibuprofen menggunakan HPLC. Ibuprofen dilarutkan
kedalam metanol dan dibuat beberapa seri konsentrasi bertingkat
yaitu; 160, 180, 200, 220 dan 240 ppm. Kemudian, luas areanya
ditentukan menggunakan HPLC dengan fase gerak
metanol:aquabidest (80:20) pH 3,5 dengan asam orthophosphat.
Penetapan kadar perolehan kembali sampel di dalam
kokristal dilakukan dengan menimbang kokristal setara dengan 25
mg ibuprofen kemudian dilarutkan dalam metanol pada labu ukur
25 mL hingga tanda batas, sehingga didapatkan konsentrasi 1000
ppm. Dibuat pengenceran 100 ppm dan ditentukan luas areanya
dengan HPLC. Konsentrasi ibuprofen dalam kokristal ditentukan
dengan menyelesaikan persamaan regresi dari kurva kalibrasi
ibuprofen.
Pemeriksaan Kadar Ibuprofen dalam Gel
Sejumlah 0,5 g sediaan gel yang setara dengan 25 mg
ibuprofen, dilarutkan dengan metanol dalam labu ukur 25 mL,
diperoleh konsentrasi ibuprofen dalam larutan 1000 ppm.
Kemudian, larutan ini dipipet 2 mL ke dalam labu 10 mL
dicukupkan hingga tanda batas dengan metanol, diperoleh
konsentrasi 200 ppm. Selanjutnya, luas area sampel ditentukan

13
dengan HPLC menggunakan fase gerak metanol : aquabidest
(80:20) pH 3,5 dengan asam orthophosphat. Konsentrasi ibuprofen
dalam sediaan gel didapat dengan menyelesaikan persamaan
regresi dari kurva kalibrasi ibuprofen.
Uji Pelepasan Secara In Vitro
Uji pelepasan dilakukan menggunakan sel difusi Franz.
Kompartemen reseptor diisi dengan dapar fosfat pH 7,4 dan dijaga
suhunya 37 ± 0,5°C, serta diaduk dengan stirer dengan kecepatan
yang sama. Kemudian, membran selulosa asetat pori 0,45 μm
diletakkan di antara kompartemen donor dan kompartemen
reseptor. Sampel 0,5 g diaplikasikan pada permukaan membran.
Kemudian sampel diambil sebanyak 0,5 mL pada menit ke-5, 10,
15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, dan 120 dari kompartemen reseptor
menggunakan pipet mikro dan segera digantikan dengan dapar
fosfat pH 7,4 sejumlah volume yang sama. Setelah itu, sampel
dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 mL dicukupkan dengan dapar
fosfat. Luas area ditentukan dengan HPLC menggunakan fase
gerak metanol:aquabidest (80:20) pH 3,5 dengan asam
orthophosphat.
Tabel 5. Evaluasi gel ibuprofen
Evaluasi F1 (%) F2 (%)

Organoleptis Setengah padat agak Setengah padat, berbau


encer, berbau khas, dan khas, dan putih buram
putih buram
pH 6,70± 0,14 6,48± 0,09

Daya Sebar (cm2) 1,33 1,15

Uji Iritasi Tidak mengiritasi Tidak mengiritasi

Homogenitas Tidak homogen pada Tidak homogen pada


minggu ke 3 minggu ke 3

Stabilitas Fisik Memisah Memisah

Dimana:
F1= gel mengandung kokristal ibuprofen - nikotinamida

14
F2 = gel mengandung ibuprofen murni.
Hasil Dan Diskusi
Perhitungan perolehan kembali ibuprofen dalam kokristal
Sebelum menentukan kadar ibuprofen dalam kokristal,
terlebih dahulu dilakukan optimasi fase gerak yang akan
digunakan. Optimasi fase gerak ini, dapat dilihat dari waktu retensi
yang dihasilkan, linearitas, akurasi, dan persisi. Waktu retensi
ibuprofen yang diperoleh adalah 7,966 menit. Fase gerak ini hanya
mampu memisahkan ibuprofen dengan baik, dan bukan merupakan
fase gerak yang cocok untuk memisahkan nikotinamida.
Dari beberapa konsentrasi seri larutan yang dibuat, didapat
persamaan regresi ibuprofen yaitu y=1573,9x-10468 dan nilai
r=0,999. Syarat dari suatu metode uji mempunyai linearitas yang
baik jika nilai r mendekati satu. Dari persamaan regresi tersebut
terlihat bahwa antara konsentrasi dengan luas area terdapat
hubungan yang linear.
Dari data kurva kalibrasi dapat dihitung nilai LOD (batas
deteksi) dan LOQ (batas kuantitasi). Nilai LOD yang diperoleh
adalah 4,08 μg/mL dan nilai LOQ yang diperoleh adalah 13,60
μg/mL. Hasil uji penetapan perolehan kembali ibuprofen dalam
kokristal ibuprofen-nikotinamida adalah 101,73%.
Pemeriksaan organoleptis sediaan dilakukan selama 4
minggu penyimpanan secara visual. Pengamatan dilakukan tiap
minggu meliputi bentuk, warna, dan bau. Bentuk sediaan berupa
setengah padat, tetapi gel dengan bahan aktif kokristal lebih agak
encer dibandingkan gel ibuprofen murni. Untuk warna sediaan, F1
berwarna putih buram sedangkan F2 berwarna putih susu. Kedua
formula memiliki bau yang sama, yaitu berbau khas. Masing-
masing formula menunjukkan hasil yang stabil dari segi
organoleptis dalam setiap minggunya.

15
Sediaan terlihat buram karena gel mengandung partikel-partikel
dengan ukuran koloid yang dapat menyebarkan cahaya sehingga
tampak keruh.
Pemeriksaan homogenitas dilakukan selama empat minggu
penyimpanan. Hasil menunjukkan homogenitas yang stabil hingga
minggu ke-2, sedangkan minggu ke-3 dan ke-4 kedua formula tidak
homogen lagi sama-sama mengalami mengalami pengkristalan
kembali. Hal ini terjadi karena kondisi lewat jenuh dari ibuprofen,
jumlah pelarut yang tersedia tidak cukup untuk mempertahankan
kondisi jenuh ibuprofen selama penyimpanan sehingga terjadi
pengkristalan. Jumlah pelarut ini berkurang karena adanya sifat
dari gel yaitu mengalami pemisahan atau sineresis. Jika gel
didiamkan beberapa saat maka gel seringkali mengerut, sebagian
cairannya terperas keluar sehingga terjadi perubahan kelarutan dari
bahan-bahan yang ada di dalam gel.

Uji daya menyebar dilakukan untuk mengetahui


kemampuan sediaan untuk menyebar di atas permukaan kulit saat
pemakaian. Pemeriksaan ini dilakukan secara manual dengan
prinsip menghitung pertambahan luas yang diberikan oleh sediaan
pada waktu tertentu apabila diberi beban dengan berat tertentu.
Pengerjaan secara manual ini disebut juga dengan cara
ekstensiometer. Pemeriksaan dengan cara ekstensiometer ini
memiliki keuntungan lebih sederhana dalam pengerjaan, tidak
membutuhkan banyak alat. Sedangkan kelemahannya yaitu dari
segi data-data yang dihasilkan bukanlah data yang absolut karena
tidak ada literatur yang menyatakan nilai pastinya. Formula dari
kokristal ibuprofen-nikotinamida memiliki daya sebar lebih tinggi
dari pada gel ibuprofen murni. Data tersebut tidak dapat dijadikan
tolak ukur yang pasti, karena tidak ada literatur yang menyatakan

16
angka pertambahan luas yang pasti untuk menentukan baik
tidaknya daya menyebar suatu sediaan.
Uji terhadap iritasi kulit dilakukan dengan metoda uji
tempel tertutup pada lengan atas bagian dalam dengan diameter 2
cm selama 24 jam. Pengujian ini bertujuan untuk melihat adanya
reaksi iritasi yang tidak diinginkan saat pemakaian pada kulit. Dari
pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada reaksi
iritasi yang terjadi pada setiap sukarelawan. Hal ini karena pH
sediaan memiliki pH yang mendekati pH fisiologis kulit, sehingga
tidak menimbulkan reaksi negatif pada kulit.
Pengujian viskositas sediaan dilakukan menggunakan alat
viskometer stormer dengan beban 200-400. Pengujian viskositas ini
bertujuan untuk menentukan kestabilan sediaan, penyebaran
sediaan saat dioleskan, dan kemudahan pengeluaran sediaan dari
tube. Dari hasil yang didapatkan terlihat bahwa sifat aliran yang
didapatkan adalah aliran tiksotropi karena kurva turun berada
dibagian kiri kurva naik. Hal ini menunjukkan bahwa kedua
sediaan mempunyai konsistensi yang lebih rendah pada setiap
harga kecepatan putar pada kurva turun dibandingkan kurva naik,
karena adanya pemecahan struktur yang tidak terbentuk kembali
dengan segera jika beban dihilangkan atau dikurangi.
Kedua formula memiliki viskositas yang berbeda.
Viskositas gel ibuprofen murni lebih tinggi dibandingkan viskositas
gel kokristal ibuprofen-nikotinamida. Viskositas kedua formula
tidak stabil selama 4 minggu penyimpanan. Nilai viskositas F1
mengalami peningkatan dan penurunan, sedangkan F2 mengalami
peningkatan, tetapi dalam rentang yang tidak terlalu jauh.
Sifat alir sediaan sampai minggu ke-2 tetap dalam keadaan
plastis thiksotropi, kurva turun berada di sebelah kiri kurva naik.
Perubahan aliran terjadi pada minggu ke-3 untuk F1, minggu ke-3
dan ke-4 untuk F2. Aliran yang terbentuk plastis saja yaitu tidak

17
melewati titik nol, kurva naik dan kurva turunnya berhimpit.
Konsistensi pada setiap harga kecepatan putar kurva naik dan kurva
turun sama, dan menunjukkan bahwa sifat alir tidak dipengaruhi
waktu.
Pengujian stabilitas fisik sediaan dilakukan menggunakan
metode freeze thaw dengan suhu penyimpanan yang berbeda dalam
interval waktu tertentu untuk mempercepat terjadinya perubahan
yang biasa terjadi pada kondisi normal sehingga sediaan akan
mengalami stress yang bervariasi dari stress statis. Pengujian ini
dilakukan pada gel ibuprofen yang disimpan pada suhu (4±2ºC)
selama 2 hari lalu dipindahkan pada suhu (40±2ºC) selama 2 hari
juga. Perlakuan ini disebut satu siklus, dilakukan sebanyak 6 siklus
selama 24 hari. Selain itu, juga dibuat kontrol yang diletakkan pada
suhu kamar (29±2ºC).
Dari pengamatan yang dilakukan pada berbagai suhu
penyimpanan yaitu suhu rendah (4±2ºC), suhu kamar (29±2ºC),
dan suhu tinggi (40±2ºC), terlihat bahwa gel stabil secara
organoleptis, tidak terjadi perubahan warna, bentuk, dan bau. pH
sediaan umumnya stabil selama 6 siklus. Namun, terjadi
peningkatan pH pada siklus ke-2 saat penyimpanan pada suhu
rendah (4±2ºC) maupun suhu kamar (29±2ºC). Hal ini mungkin
disebabkan oleh kesalahan alat yang digunakan. Alat tersebut
digunakan bersama sehingga tidak bisa memastikan kestabilan dari
alat.
Homogenitas sediaan tidak stabil selama penyimpanan pada
suhu rendah (4±2ºC), suhu kamar (29±2ºC), dan suhu tinggi
(40±2ºC). Sama dengan uji homogenitas sediaan, yaitu mengalami
pengkristalan kembali kecuali untuk formula dari kokristal
ibuprofen-nikotinamida yang disimpan pada suhu rendah (4±2ºC)
dan suhu tinggi (40±2ºC) menunjukkan kestabilan selama 6 siklus.

18
Kedua formula sama-sama mengalami pemisahan pada suhu
rendah (4±2ºC) dan suhu tinggi (40±2ºC). Gel kokristal ibuprofen-
nikotinamida mulai memisah pada suhu tinggi (40±2ºC) siklus IV
dan berlanjut pada suhu dingin (4±2ºC) sampai akhir siklus.
Sedangkan gel ibuprofen murni hanya memisah pada suhu tinggi
(40±2ºC) dimulai dari siklus III. Gel yang disimpan pada suhu
kamar (29±2ºC) tidak menunjukkan adanya pemisahan. Perubahan
suhu mengakibatkan pemisahan cepat terjadi.
Hal-hal yang menyebabkan pemisahan yaitu; karena
struktur serat gel yang terus mengeras dan akhirnya mengakibatkan
air terperas keluar, pengkerutan struktur gel yang menyebabkan
kemampuan mengikat air berkurang, perubahan suhu yang
meningkatkan kemungkinan terjadinya pemisahan karena air
cenderung keluar dari gel, dan karena penurunan konsentrasi
polimer selama penyimpanan.
Penetapan perolehan kembali ibuprofen dalam sediaan gel
dilakukan menggunakan alat HPLC (High Performance Liquid
Chromatography), fase gerak metanol:aquabidest (80:20) pH 3,5
dengan asam orthophosphat menggunakan pelarut metanol.
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan
memenuhi batas spesifikasi uji perolehan kembali atau tidak.
Persentase perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil
kadar yang diperoleh dengan hasil kadar yang sebenarnya. Hasil
yang didapat untuk gel kokristal ibuprofen-nikotinamida yaitu
96,44 ± 3,27%, sedangkan gel ibuprofen murni yaitu 103,86 ± 1,78
%. Persen perolehan kembali gel ibuprofen murni lebih tinggi dari
pada gel dari kokristal ibuprofen-nikotinamida.
Uji pelepasan zat aktif ibuprofen dilakukan menggunakan
alat sel Franz tipe horizontal. Tipe horizontal digunakan untuk
sediaan transdermal, sedangkan tipe vertikal digunakan untuk
sediaan topikal. Prinsip kerja dari sel difusi Franz adalah dengan

19
meletakkan membran semi permeabel di antara kompartemen
donor dan reseptor, kemudian senyawa-senyawa yang masuk ke
dalam cairan reseptor diukur kadarnya menggunakan HPLC (High
Performance Liquid Cromatography), fase gerak
metanol:aquabidest (80:20) pH 3,5 dengan asam orthophosphat.
Uji pelepasan dari kedua formula dilakukan sebanyak tiga
kali pengulangan masing-masing setara dengan 25 mg ibuprofen.
Pengambilan sampel dilakukan pada menit ke-5, 10, 15, 30, 45, 60,
75, 90, 105, dan 120 dari cairan penerima. Setiap pengambilan 0,5
mL selalu diganti dengan cairan penerima dengan volume yang
sama untuk menjaga agar konsentrasi selalu rendah, akibatnya akan
terjadi penurunan konsentrasi ibuprofen dalam cairan penerima.
Sehingga pada perhitungan kadar diperlukan faktor koreksi
konsentrasi ibuprofen dan diperoleh konsentrasi ibuprofen yang
sebenarnya.
Hasil persentase pelepasan zat aktif dari kedua formula
menunjukkan hasil yang hampir sama, berturut-turut yaitu 4,4793
% dan 4,4293 % pada menit ke-120. Begitu juga dengan efisiensi
pelepasannya. Efisiensi pelepasan untuk F1 dan F2 yaitu 3,89±0,12
dan 3,86±0,02. Hasil persentase dan efisiensi pelepasan terlihat
bahwa F1 (kokristal ibuprofen-nikotinamida) memiliki persentase
dan efisiensi pelepasan lebih besar sedikit dari pada F2 (ibuprofen
murni). Namun, perbedaan keduanya tidak signifikan.
Pelepasan obat dari pembawa tergantung kepada sifat
fisikokimia obat. Dimana, partikel obat harus berada dalam
keadaan terlarut agar dapat berdifusi dan terlepas dari pembawa.
Semakin larut zat aktif dalam pembawa, semakin cepat proses
difusinya.
Kokristal ibuprofen - nikotinamida terbukti meningkatkan
kelarutan ibuprofen di dalam air. Namun, pada penelitian ini tidak
dapat meningkatkan pelepasan zat aktif dari pembawa. Hal ini

20
diduga karena pengkristalan kembali zat aktif dalam pembawa
selama penyimpanan. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan
tidak terlarut, tidak dapat menembus membran dan kristal yang
terbentuk dapat menutupi pori-pori membran. Hal ini menyebabkan
pelepasan zat aktif dari pembawa dipengaruhi.
Selain itu, sifat bahan pembawa juga mempengaruhi.
Semakin tinggi konsentrasi bahan pembawa berarti semakin kuat
afinitas pembawa terhadap zat aktif, sehingga zat aktif sukar
dilepaskan. Pada formula ini pembawa digunakan dalam
konsentrasi yang tinggi, namun dalam jumlah sama untuk kedua
formula, sehingga pengaruh pembawa terhadap pelepasan tidak
mempengaruhi.
Hasil analisa efisiensi pelepasan zat aktif pada kedua
formula diolah sesecara statistik menggunakan anova satu arah
pada program SPSS 17. Hasil perhitungan menunjukan nilai F
hitung = 0,118 dengan Sig. = 0,749. Ini berarti Ho diterima dan
menunjukkan hasil efisiensi pelepasan ibuprofen tidak berbeda
secara nyata (p>0,05).
KESIMPULAN
1. Gel kokristal ibuprofen-nikotinamida dan gel ibuprofen murni
memiliki homogenitas yang tidak stabil selama penyimpanan,
kedua formula sama-sama mengalami pengkristalan kembali.
2. Pembuatan kokristal ibuprofen-nikotinamida tidak dapat
meningkatkan laju pelepasan pada sediaan gel, karena
memiliki pelepasan yang hampir sama dengan gel ibuprofen
murni.

1.3.2. Kromatography
Kromatografi berasal dari kata chroma (warna) dan graphein
(penulisan), merupakan suatu teknik pemisahan fisika yang memanfaatkan

21
perbedaan yang kecil dari sifat-sifat fisika komponen yang akan
dipisahkan.
Istilah kromatografi (penulisan warna) mula-mula dikenalkan oleh
seorang botani Rusia Mikhail Semenovic Tswett pada tahun 1908 untuk
memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman dengan cara perkolasi
ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi kalsium karbonat
( CaCO3).
Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk
memisahkan dan mengkuantitatifkan berbagai macam komponen yang
kompleks, baik komponen organik maupun komponen anorganik.
Kromatografi adalah teknik pemisahan fisika suatu campuran yang
terpisah pada fase diam yang dipengaruhi pergerakan fase yang bergerak.
Beberapa sifat fisika umum dari molekul yang dipakai sebagai asas teknik
pemisahan kromatografi adalah :

1. Kecendrungan molekul untuk teradsorpsi oleh partikel- partikel


padatan yang halus
2. Kecendrungan molekul untuk melarut pada fase cair
3. Kecendrungan molekul untuk teratsirikan
1.3.3. Kromatography Gas
Kromatografi gas (GC dan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)
merupakan teknik kromatografi yang komplementer karena kromatografi
gas dapat digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang
mudah menguap, sementara HPLC dapat digunakan untuk memisahkan
komponen-komponen yang tidak mudah menguap. Alat kedua
kromatografi ini dapat digunakan untuk memisahkan komponen-
komponen yang tidak mudah menguap. Alat kedua kromatografi ini dapat
dikendalikan dengan computer dengan software yang canggih dan
berkemampuan untuk memisahkan sampai 100 komponen.
1.3.4. HPLC
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan
metode pemisahan yang dikembangkan dari asas proses pemisahan

22
adsorpsi dan partisi kea rah yang lebih luas yaitu proses pemisahan yang
berdasarkan afinitas, filtrasi gel, dan ion yang berpasangan yang prosesnya
tetap dilaksanakan di dalam kolom yang disertai pemakaian pelarut dengan
tekanan tinggi. HPLC dikembangkan dari teknik kromatografi kolom yang
memiliki beberapa keuntungan diantaranya ukuran fasa diamnya lebih
kecil, kolom lebih pendek sehingga waktu elusi atau waktuvretensi (t R)
lebih pendek dan analisisnya berlangsung cepat,pelarut dan kolom dapat
dipakai berulang kali serta ketepatan dan ketelitiannya yang relative tinggi.
Peralatan utama dari HPLC yaitu :
1. Wadah fase gerak
2. Wadah dari fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase
gerak. Bahan yang umum digunakan adalah stainless steel atau gelas.
3. Pompa
Pompa terbuat dari bahan inert terhadap fase gerak yang digunakan
terbuat dari stainless steel dan teplok.Pompa yang digunakan mampu
menghasilkan tekanan sampai 500 Psi (pound per square inch) pada
kecepatan aliran sampai 3 ml/menit.
4. Unit injeksi
Pengantar sampel ke kolom dibagi dua yaitu : pertama memasukkan
sampel dengan mikro liter melalui sekat karet pada unit injeksi dengan
atau tanpa penghentian aliran.Cara kedua,dengan menggunakan injector
atau disebut juga dengan katup penyuntik kelup dan lup value.
5. Kolom
Kolom yang umum digunakan terbuat dari stainless steel,panjangnya
bermacam – macam 10;12,5;15;dan 25 cm,diameter di dalamnya
3;6,2;atau 9 mm.Kolom dikemas dengan partikel silica dengan ukuran
diameter 3;5 atau 10 mm.

6. Detektor

23
Detektor berfungsi untuk memonitor keluarnya solute beserta fase
gerak dari kolom output detector tanpa sinyal listrik yang sebanding
dengan sifat – sifat fase gerak dan solute.
1.3.5. Jenis-Jenis Kromatography
Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya,kromatografi
dibedakan menjadi :
a. Kromatografi adsorbs
b. Kromatografi partisi
c. Kromatografi pasangan ion
d. Kromatografi penukar ion
e. Kromatografi eksklusi ukuran
f. Kromatografi afinitas
Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas :
a. Kromatografi kertas
b. Kromatografi lapis tipis yang keduanya sering disebut dengan
kromatografi planar .
c. Kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)
d. kromatografi gas (GC)

24
BAB II
PROSEDUR KERJA
2.2. Alat dan Bahan
2.1.1. Alat yang digunakan GC
1. Satu set peralatan GC
2. Kertas saring whatman
3. Erlenmeyer
4. Gelas ukur
5. Labu untuk tekanan vakum
6. Pompa vakum
7. Corong
8. Botol semprot
9. Pipet volum (10L)
10. Stirrer
2.1.2. Alat yang digunakan HPLC
1. Wadah fase gerak
2. Pompa
3. Unit injeksi
4. Kolom
5. Detektor
2.1.3. Bahan yang digunakan GC
1. Sampel ( minuman beralkohol Bintang )
2. Aquades
2.1.4. Bahan yang digunakan HPLC
1. Paramex

2.2. Prosedur Kerja


2.2.1. Prosedur Kerja GC

25
a. Persiapan Sampel
1. Memipet 50 ml sampel lalu masukkan ke dalam gelas ukur.
2. Menyaring sampel tersebut dengan sistem vakum (sebelumnya,
alat dibila dengan aquades).
3. Kemudian hasil saringan dicampurkan dengan larutan yang telah
disediakan assisten.
4. Menghomogenkan kedua larutan tersebut dengan cara
menngetarkan botol pada alat stirrer.
b. Persiapan Larutan Standard
1. Memipet larutan standard Methanol dengan menngunakan pipet
volum (10L) sebanyak 15 kali (untuk standard 15:15).
2. Melakukan langkah 1 untuk larutan Ethanol, Iso Propyl Alkohol,
Amy Alkohol (dengan volum yang berbeda).
3. Menghomogenkan larutan dengan stirrer.
c. Injeksi Larutan Standard
1. Mengecek dan menghidupkan alat.
2. Membuka aliran gas dari tabung gas.
3. Menghidupkan compressor.
4. Menginjeksikan sampel sebanyak 2 µL.
5. Mengamati hasil pada detector.
d. Injeksi Sampel
Melakukan langkah seperti injeksi pada larutan standard untuk
larutan sampel.
2.2.2. Prosedur Kerja HPLC
Cara pembuatan fase gerak yaitu :
1. Fase gerak dicampur (campuran CH3-Buffer KH2PO4 0,005 M, pH
4,8 perbandingan 12 : 88).
2. Disaring dengan Buchner filter.
3. Digasing dengan ultrasonic cleaner untuk menghilangkan gas pada
fase gerak.
Set semua alat

26
1. Kecepatan aliran pada 0 mL per menit.
2. Tekanan pada 0 kgf/cm2.
3. Pumpt reset pada constan flow.
4. Diset UV-Visible spektrofotometry detector pada panjang
gelombang 254 nm.
5. Dipakai lamp D2.
6. Ditekan tombol absorbansi dan reson standart (kepekaan
absorbansi 0,02).
7. Dihubungkan system dengan arus listrik.
8. Power detector UV-Visible spektrofotometry ke posisi ON.
9. Power recorder ke posisi ON.
10.Drain valve diputar kekiri.
11.Pada ujung pipa pembuangan dipasang disposible syringe.
12.Flow rate diatur pada 5 mL/ menit.
13.Pump pada posisi ON sambil diisap dengan disposible syringe
untuk mempercepat keluarnya udara dari pada cairan pembawa.
14.Setelah 10 mL pump dimatikan.
15.Disposible syringe dilepaskan dari ujung pipa.
16.Ujung pipa dimasukkan kedalam elemeyer.
17.Pump ke posisi ON lagi untuk memastikan udara tidak ada lagi
dalam pipa aliran.
18.Lalu pump diset ke OFF.
19.Katup pembuangan ditutup (diputar kearah kanan).
20.Lalu flow rate dinaikkan ke 1 mL / menit.
21.Hidupkan pump, tekanan akan naik sampai kira-kira 1 x 100
Kgf/cm2, cairan carier mengalir injector.
22.Analisa dilakukan pada flowrate 2 mL / menit.
Menchek stabil tidaknya alat
1. Dicari base line, dengan menekan tombol ZERO pada detector.
2. Diturunkan posisi pen.
3. Posisi drive ke ON.

27
Injeksi Fase Gerak
1. Ditekan tombol ZERO.
2. Ditekan tombol MARK.
3. Untuk injeksi, injector diputar keposisi LOAD.
4. Diumasukkan fase gerak kedalam injector ke posisi inject.
5. Dihidupkan chart drive.
Injerks serum
1. Ditekan tombol ZERO.
2. Ditekan tombol MARK.
3. Injector diputar keposisi LOAD.
4. Dimasukkan serum kedalam injector dengan ulsyringe.
5. Injector diputar keposisi inject.
6. Dihidupkan chart drive.
Mematikan Alat
1. Recorder ke posisi OFF.
2. UV-Visible spektrofotometry keposisi OFF.
3. RID ke posisi OFF.
4. Pump ke posisi OFF.
5. Flow rate diturunkan 1 mL / menit.
6. Pump dihidupkan lagi, kemudian diatur ke OFF lagi.
7. Flow rate diturunkan perlahan-lahan hingga 0 mL / menit.
Lalu kolom dicuci dengan CH3OHs

28
BAB III
GAMBAR RANGKAIAN

3.1 Gambar Peralatan


a. GC

Fial Pipet mikro Pompa vakum


b. HPLC

Pipet tetes Pipet volume Gelas ukur

Beaker glass Pompa vakum Pipet mikro

29
3.2 Gambar Rangkaian
a. GC

b. HPLC

1 4 3 5

3.3 Keterangan Gambar Rangkaian


a. GC
1. Gas pengangkut/pemasok gas
Gas pengangkut (carrier gas) ditempatkan dalam silinder
bertekanan tinggi. Biasanya tekanan dari silinder sebesar 150 atm.

30
2. Pengatur aliran dan pengatur tekanan
Ini disebut pengatur atau pengurang Drager. Drager bekerja
baik pada 2,5 atm, dan mengalirkan massa aliran dengan tetap.
Tekanan lebih pada tempat masuk dari kolom diperlukan untuk
mengalirkan cuplikan masuk ke dalam kolom.

3. Tempat injeksi(The injection port)


Dalam pemisahan dengan GLC cuplikan harus dalam bentuk
fase uap. Gas dan uap dapat dimasukkan secara langsung.

4. Kolom
Kolom merupakan jantung dari kromatografi gas. Bentuk dari
kolom dapat lurus, bengkok, misal berbentuk V atau W, dan
kumparan/spiral.Biasanya bentuk dari kolom adalah kumparan.Kolom
selalu merupakan bentuk tabung. Tabung ini dapat terbuadari tembaga
(murah dan mudah diperoleh), Plastik (teflon) dipakai pada suhu yang
tidak terlalu tinggi, Baja (stainless steel) mahal,Alumunium, dan Gelas

5. Detektor
Detektor berfungsi sebagai pendeteksi komponen-komponen
yang telah dipisahkan dari kolom secara terus-menerus, cepat, akurat,
dan dapat melakukan pada suhu yang lebih tinggi.

6. Oven kolom
Kolom terletak didalam sebuah oven dalam instrumen. Suhu
oven harus diatur dan sedikit dibawah titik didih sampel.

7. Rekorder
Rekorder berfungsi sebagai pengubah sinyal dari detektor yang
diperkuat melalui elektrometer menjadi bentuk kromatogram. Dari
kromatogram yang diperoleh dapat dilakukan analisis kualitatif dan
kuantitatif. Analisis

31
b. HPLC
1. Wadah Fase gerak dan Fase gerak
Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert).Wadah pelarut kosong
ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase
gerak.Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2
liter pelarut.Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut
yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi
dan resolusi.
2.Pompa
Pompa yang cocok digunakan untuk HPLC adalah pompa yang
mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni: pompa harus
inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah
gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam.Pompa yang digunakan
sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu
mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit.
3. Tempat penyuntikan sampel
Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase
gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat
penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang
dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal.
4. Kolom dan Fase diam
Ada 2 jenis kolom pada HPLC yaitu kolom konvensional dan kolom
mikrobor. Kolom merupakan bagian HPLC yang mana terdapat fase diam
untuk berlangsungnya proses pemisahan solut/analit.
5. Detektor HPLC
Detektor pada HPLC dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor
universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat
spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan
detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yang spesifik yang
hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor
UV-Vis, detector fluoresensi, dan elektrokimia.

32
BAB IV
DATA PENGAMATAN

4.1. GC
Tabel Puncak Larutan Standart
Standar
No Ret.Time Area (Y) XY X2 Y2
% (X)
1 10 6,3022 7702345 7702345 100 5,9326 x 1013
2 20 6,2465 17219276 34438552 400 2,9650 x 1014
3 30 6,2615 26485348 79456044 900 7,0147 x 1014
4 40 6,2945 37729513 15011805 1600 1,4235 x 1015
5 50 6,181 49001438 24500719 2500 2,4011 x 1015
6 60 6,149 60740172 36444103 3600 3,6893 x 1015
∑ 210 198878092 88196322 9100 8,5713 x 1015

Tabel Puncak Sampel Alkohol


Peak Peak
Sampel Peak Ret.Time Area Height
Start End
Guinees 1 6,457 5,811 7,794 13902574 389404
Stout 2 8,687 8,238 9,306 284833 9187
1 0,090 0,010 0,201 2586 583
Guinees 2 2,861 2,269 2,931 4784 126
Stout (2) 3 6,347 5,619 9,352 76362197 2147240
4 8,645 8,321 9,268 207793 7675
Mix-Max 1 0,053 0,010 0,131 1152 363
2 7,541 6,716 8,704 7555943 179940
Vodka 3 9,620 9,166 10,034 328745 11850
Ket : Nilai luas area yang diambil merupakan area saat rate time menit ke-6.

4.2. HPLC

33
Tabel Puncak Standart Identifikasi
Puncak Ret. Area Height Tailing HETP Resolusi Lempeng
Time Faktor Teori
1 2,829 58818 5314 0,664 254,94 0,00 981
2 3,311 850711 77957 0,674 191,50 1,31 1305
3 4,401 115017 11225 0,718 122,93 2,79 2034
4 6,115 12562 1099 0,643 51,13 4,90 4890
Ket : Bahwa data yang diambil berupa rate time pada menit ke-3 karena
merupakan nilai untuk PCT (Paracetamol).

Tabel Puncak Larutan Sampel Hasil Pengenceran


Konsentrasi Area
No XY X2 Y2
(X) (Y)
1 20,014 864862 17309348,07 400,560196 7,4798 x 1011
2 40,028 943227 37755490,36 1602,240784 9,8967 x 1011

34
3 60,042 459412 27584015,3 3605,041764 2,1105 x 1011
4 80,056 349728 27997824,77 6408,963136 1,2231 x 1011
5 100,07 177770 17789443,9 10014,0049 0,316 x 1011
∑ 300,21 2794999 128436122,4 22030,81078 2,0026 x 1012

BAB V

PENGOLAHAN DATA

5.1. Analisa Data GC (Alkohol)


Standar
No Ret.Time Area (Y) XY X2 Y2
% (X)

35
1 10 6,3022 7702345 7702345 100 5,9326 x 1013
2 20 6,2465 17219276 34438552 400 2,9650 x 1014
3 30 6,2615 26485348 79456044 900 7,0147 x 1014
4 40 6,2945 37729513 15011805 1600 1,4235 x 1015
5 50 6,181 49001438 24500719 2500 2,4011 x 1015
6 60 6,149 60740172 36444103 3600 3,6893 x 1015
∑ 210 198878092 88196322 9100 8,5713 x 1015

a. Perhitungan Regresi Linear Sederhana


Untuk memperoleh nilai a diperlukan nilai y rata – rata (ȳ) dan x rata –
rata (x́) dengan rumus berikut ini :
ΣX ΣY
X = Y =
n n
210 198878092
= 6
= 6
= 35 = 33146348
Dari data dan tabel diatas maka dapat dicari nilai b sebagai berikut:
n ΣXY −ΣX ΣY
b =
nΣ X 2−¿ ¿
( 6 ×881963,22 )−(210 ×198878092)
=
( 6 ×9100 )−( 210)2
5291779,32−4176439,932
= 54600−44100
−4,1763 x 1010
=
10500
= -3977477,844
Sehingga dari nilai x́= 35 dan ȳ = 33146348 maka dapat diperoleh nilai a
sebagai berikut :
y = a + bx
33146348 = a + (-3977477,844 x 35)
a = 33146241,78
Jadi, persamaan diatas adalah y = 33146241,78 - 3977477,844x
b. Perhitungan Koefisien Korelasi
Mencari Koefisien Korelasi Regresi

36
n ΣXY −ΣX ΣY
R =
√¿ ¿ ¿
( 6 ×881963,22 )−(210 ×19887,8092)
= 2
√[ ( 6 × 9100 )−(210) ] ¿ ¿ ¿
1115339,388
= 16
√ [ 10500 ] [ 1,7875× 10 ]
= 0,8141
Setelah mendapatkan nilai R ( koefisien korelasi regresi) maka koefisien
determinan sebagai berikut :
R2 = 0,6627
Karena R2 = 0,6627 maka 66,27% nilai variable terikat y dipengaruhi oleh
variable bebas x.
c. Menghitung Konsentrasi Alkohol
1. Guinees
y = 33146241,78 - 3977477,844x
45132385,5 = 33146241,78 + 106,2227x
x = 3,01 %
2. Mix Vodka
y = 33146241,78 - 3977477,844x
7555943 = 33146241,78 -3977477,844 x
x = 6,43 %

5.2. Analisa Data Sampel HPLC (Paracetamol)


Konsentrasi Area
No XY X2 Y2
(X) (Y)
1 20,014 864862 17309348,07 400,560196 7,4798 x 1011
2 40,028 943227 37755490,36 1602,240784 9,8967 x 1011
3 60,042 459412 27584015,3 3605,041764 2,1105 x 1011
4 80,056 349728 27997824,77 6408,963136 1,2231 x 1011
5 100,07 177770 17789443,9 10014,0049 0,316 x 1011
∑ 300,21 2794999 128436122,4 22030,81078 2,0026 x 1012

37
a. Menghitung konsentrasi sampel Paracetamol
Berat Paracetamol = 1,0007 gr diencerkan dalam 50 ml
mg
Ppm =
L
1000,7 mg
=
0,05 L
= 20014 ppm
Diercerkan dalam 10 ml sebagai larutan standar
1. Konsentrasi Paracetamol didalam vial 10 µL
V1 x N1 = V2 x N2
0,01 ml x 20014 ppm = 10ml x N2
N2 = 20,014 ppm
2. Konsentrasi Paracetamol didalam vial 20 µL
V1 x N1 = V2 x N2
0,02 ml x 20014 ppm = 10ml x N2
N2 = 40,028 ppm
3. Konsentrasi Paracetamol didalam vial 30 µL
V1 x N1 = V2 x N2
0,03 ml x 20014 ppm = 10ml x N2
N2 = 60,042 ppm
4. Konsentrasi Paracetamol didalam vial 40 µL
V1 x N1 = V2 x N2
0,04 ml x 20014 ppm = 10ml x N2
N2 = 80,056 ppm
5. Konsentrasi Paracetamol didalam vial 50 µL
V1 x N1 = V2 x N2
0,05 ml x 20014 ppm = 10ml x N2
N2 = 100,07 ppm
6. Konsentrasi Paracetamol didalam vial 60 µL
V1 x N1 = V2 x N2
0,06 ml x 20014 = 10ml x N2
N2 = 120,084 ppm

38
b. Perhitungan Regresi Linear Sederhana
Untuk memperoleh nilai a diperlukan nilai y rata – rata (ȳ) dan x rata –
rata (x́) dengan rumus berikut ini :
ΣX ΣY
X = Y =
n n
300,21 2794999
= =
5 5
= 60,042 = 558999,8
Dari data dan tabel diatas maka dapat diketahui nilai n = 3 (artinya
terdapat 3 data), maka dapat dicari nilai b sebagai berikut:
n ΣXY −ΣX ΣY
b = 2
nΣ X −¿ ¿
( 5 x 128436122,4 )−(300,21× 2794999)
=
( 5 x 22030,81078 )−(300,21)2
647180612−839086649,8
=
110154,5539−90126,0441
−191906037,8
=
20028,5098
= -9581,643353
Sehingga dari nilai x́= 60,042 dan ȳ = 558999,8 maka dapat diperoleh
nilai a sebagai berikut :
y = a + bx
558999,8 = a + (-9581,643353 x 60,042 )
a = 1149304,7
Jadi, persamaan diatas adalah y = 1149304,7 – 9581,643353x
c. Perhitungan Koefisien Korelasi
Mencari Koefisien Korelasi Regresi
n ΣXY −ΣX ΣY
R =
√¿ ¿ ¿
( 5 x 128436122,4 )−(300,21× 2794999)
= 2
√ [ ( 5 ×22030,81078 )−(300,21) ] ¿ ¿ ¿
−191906037,8
= 12
√ [ 20028,0098 ] [ 2,2009× 10 ]

39
= 0,9140
Setelah mendapatkan nilai R maka koefisien determinan sebagai berikut:
R2 = 0,8353
Karena R2 = 0,8353 maka 83,53% nilai variable terikat y dipengaruhi oleh
variable bebas x.
d. Menghitung Konsentrasi Sampel Sebenarnya
1. Menghitung konsentrasi sampel 1
y = 1149304,7 – 9581,643353x
738539 = 1149304,7 – 9581,643353 x
x = 41,78043272 ppm
2. Menghitung konsentrasi sampel 2
y = 1149304,7 – 9581,643353x
741886 = 1149304,7 – 9581,643353 x
x = 41,43999751 ppm
3. Menghitung konsentrasi sampel 4
y = 1149304,7 – 9581,643353x
737676 = 1149304,7 – 9581,643353 x
x = 41,8682115ppm
4. Menghitung konsentrasi sampel 5
y = 1149304,7 – 9581,643353x
736875 = 1149304,7 – 9581,643353 x
x = 41,94968405ppm
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Kromatografi gas digunakan untuk menganalisa jumlah kandungan unsure
gas yang terdapat dalam sampel alcohol, sedangkan kromatografi cairan
digunakan untuk analisa kandungan parasetamol dalam obat.
2. Kromatografi gas menggunakan campuran larutan etil alkohol, metal
alkohol dan isopropyl alkohol sebagai larutan standart, sedangkan

40
kromatografi cairan menggunakan larutan parasetamol sebagai larutan
standart.
3. Kromatografi gas menghasilka grafik Intensitas –vs- Rate. Time sedangkan
kromatografi cairan menghasilkan grafik antara uV –vs- Rate. Time.

6.2. Saran
Inteksi sampel pada kromatografi dilakukan secara manual oleh manusia
dengan ketelitian alat yang telah ditentukan.

41
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Rini, dkk. 2014. Pelepasan Ibuprofen dari Gel Karbomer 940 Kokristal
Ibuprofen-Nikotinamida. Padang : Universitas Andalas.

Barus, Adil. 2013. Diktat Kuliah Kimia Analisa Instrumen. Medan : PTKI.

Buku Penuntun Praktikum Kimia Analisa Instrumen. 2016. Medan : PTKI.

Day, R.A, dan Underwood, A.L. 1981. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keempat.
Jakarta : Erlangga.

Tamboesai, Emrizal Mahidin. 2015. Penggunaan Parameter Geokimia untuk


Menentukan Kematangan Minyak Bumi dari Sumur Produksi Lirik, Riau.
Pontianak : Universitas Tanjungpura.

42

Anda mungkin juga menyukai