Anda di halaman 1dari 31

PELUANG INVESTASI

DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT

OLEH :
Ir. Artanto, EK., M.Si

Bitung
2011
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memainkan peranan penting dalam
perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam
menghasilkan devisa. Disamping memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap devisa negara, perannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2003, total devisa yang dihasilkan industri ini mencapai US$ 2,6 miliar atau
4,3% dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US$ 61 miliar2. Nilai
ekspor ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibanding nilai ekspor 2002
yang mencapai US$ 2,35 miliar (4,11% terhadap total nilai ekspor seluruhnya),
maupun nilai ekspor pada 2001 yang mencapai US$ 1,23 miliar (2,18% terhadap
total nilai ekspor seluruhnya).
Saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak sawit kedua terbesar dunia
setelah Malaysia dengan total produksi 9,9 juta ton pada 2003. Padahal, bila
dilihat dari potensi luas lahan dan sumberdaya manusia yang tersedia, Indonesia
jauh lebih unggul dibanding Malaysia. Masih relatif rendahnya produksi kelapa
sawit Indonesia dibanding Malaysia disebabkan berbagai permasalahan dan
kurang optimalnya dukungan pemerintah.
Sesuai data produksi minyak goreng dalam negeri pada tahun 2005 sebesar
5.385,8 ribu ton jelas tidak dapat mengimbangi tingginya kenaikan kebutuhan
minyak goreng minyak goreng di masa-masa yang akan datang, karena kondisi
pabrik yang belum optimum. Pada tahun 2006, Jakarta stock exchange
melaporkan bahwa kebutuhan minyak goreng dalam negeri mencapai 5.062,8 ribu
ton. Hal ini menunjukkan adanya prospek investasi pabrik minyak goreng di
Indonesia. Saat ini produksi nasional minyak goreng dari bahan sawit didominasi
oleh pabrik di Pulau Jawa sebesar 51,4% disusul Sumatera 47,5% dan Kalimantan
Barat 1,1%.
Diantara permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas
tanaman, kurangnya dukungan riset/lembaga riset yang memadai untuk
pengembangan produksi maupun produk turunannya, kurangnya promosi di pasar
internasional, standarisasi dan sertifikasi bibit yang belum sempurna, terbatasnya
pabrik pengolahan CPO, dan kurang berkembangnya industri hilir. Dari sisi
pemerintah, selain belum memiliki program atau rencana pengembangan yang
jelas dan terintegrasi di sub sektor kelapa sawit, perannya dalam hal riset,
promosi, pemasaran maupun akses ke negara tujuan ekspor – sebagaimana
dilakukan pemerintah Malaysia dengan sangat baik – masih dirasakan kurang
memadai. Persoalan lain adalah kurang banyaknya pelabuhan ekspor, serta
kurang memadainya sarana dan prasarana dari pelabuhan yang ada. Dari sisi
eksternal banyaknya hambatan perdagangan yang dikenakan importir CPO
terbesar dunia seperti India, Eropa dan Cina yang membuat aturan-aturan impor
yang menyulitkan produsen, seperti bea masuk yang tinggi, pencantuman
kandungan lemak jenuh dalam kemasan dan gencarnya promosi minyak kedelai
dan minyak biji bunga matahari sebagai pengganti CPO di negara-negara maju
yang dapat mempengaruhi preferensi konsumen terhadap minyak sawit.
Meskipun demikian, di sisi lain Indonesia juga memiliki banyak kelebihan
dibanding Malaysia sehingga memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk
meningkatkan pangsa pasarnya dimasa-masa mendatang, bahkan menggeser
posisi Malaysia sebagai produsen CPO nomor satu dunia. Indonesia memiliki
cadangan lahan perkebunan yang relatif masih sangat luas untuk perkebunan
kelapa sawit yang diperkirakan mencapai lebih dari 9 juta hektar. Sebaliknya
Malaysia mulai kehabisan lahan untuk melakukan ekstensifikasi sehingga satu-
satunya cara meningkatkan produksi adalah dengan intensifikasi, atau melakukan
ekspansi lahan ke luar Malaysia (dalam hal ini ke Indonesia). Kelebihan lainnya
adalah biaya produksi kelapa sawit Indonesia yang relatif lebih murah dibanding
Malaysia. Menurut catatan GAPKI, pada 1998 biaya produksi CPO Indonesia
berkisar antara US$ 135,5 hingga US$ 203 per ton, jauh dibawah Malaysia yang
berkisar antara US$ 206,5 hingga US$ 243,5 per ton. Karena itu, dengan
pengelolaan yang lebih optimal, peluang Indonesia untuk meningkatkan produksi
baik melalui intensifikasi maupun perluasan luas lahan masih sangat besar.
1.2. Mengenal Kelapa Sawit
Pohon Kelapa Sawit terdiri daripada dua spesies Arecaceae atau famili palma
yang digunakan untuk pertanian komersil dalam pengeluaran minyak kelapa sawit.
Pohon Kelapa Sawit Afrika, Elaeis guineensis, berasal dari Afrika barat di antara
Angola dan Gambia, manakala Pohon Kelapa Sawit Amerika, Elaeis oleifera,
berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kelapa sawit termasuk
tumbuhan pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya
berupa tandan, serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan apabila masak,
berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya
mengandungi minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng,
sabun, dan lilin. Hampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak, khususnya
sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan
sebagai bahan bakar dan arang.
Urutan dari turunan Kelapa Sawit:
− Kingdom : Tumbuhan
− Divisi : Magnoliophyta
− Kelas : Liliopsida
− Ordo : Arecales
− Famili : Arecaceae
− Jenis : Elaeis
− Spesies : E. Guineensis

I.2. CIRI‐CIRI FISIOLOGI KELAPA SAWIT


A. Daun
daunnya merupakan daun majemuk. Daun berwarna hijau tua dan pelapah
berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya sangat mirip dengan tanaman salak,
hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam.
B. Batang
Batang tanaman diselimuti bekas pelapah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12
tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga menjadi mirip dengan
tanaman kelapa.
C. Akar
Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu
juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas
untuk mendapatkan tambahan aerasi.
D. Bunga
Bunga jantan dan betina terpisah dan memiliki waktu pematangan berbeda
sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk
lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar.
E. Buah
Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah
tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul
dari tiap \pelapah. Buah terdiri dari tiga lapisan :
a) Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
b) Mesoskarp, serabut buah
c) Endoskarp, cangkang pelindung inti
Inti sawit merupakan endosperm dan embrio dengan kandungan minyak inti
berkualitas tinggi.

1.3. ...........
1

Perkembangan Luas Lahan dan Produksi


Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,
luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas
105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar.
Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi
penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang
sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang
pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96
juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan
luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Tabel : Luas Area Berdasar Kepemilikan  (1000 Ha)

Tahun Rakyat Negara Swasta Total


2006 2.550 687 3.358 6.595
2007 2.752 606 3.409 6.767
2008 2.882 603 3.879 7.364
2009 3.014 608 3.885 7.507
2010 3.315 617 3.893 7.825
Sumber  : Ditjenbun, 2010

Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni


Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal
penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di
Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal
tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%,
yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434
hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-
masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga
5%. Dilihat dari status kepemilikannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia terdiri
dari Perkebunan Negara, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat. Pada 2000,
perkebunan swasta menguasai 51% dari luas areal perkebunan, perkebunan
negara 16%, dan perkebunan rakyat 33%. Perkebunan rakyat terkonsentrasi pada
4 propinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.
Perkebunan milik negara (PTP) terkonsentrasi di Sumatera Utara, dan
perkebunan swasta terkonsentrasi di Riau, Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera
Selatan. Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia bervariasi menurut
jenis pemilikan.
Menurut Departemen Pertanian, pada umumnya tingkat produktivitas
perkebunan rakyat paling rendah dibandingkan perkebunan negara dan
perkebunan swasta. Diperkirakan, produktivitas perkebunan rakyat hanya
mencapai rata-rata 2,5 ton CPO per ha dan 0,33 ton minyak inti sawit (PKO) per
ha. Ini disebabkan kurangnya perawatan perkebunan tersebut. Sementara itu,
perkebunan negara memiliki produktivitas tertinggi, yakni rata-rata menghasilkan
4,82 ton CPO per hektar dan 0,91 ton PKO per hektar. Sedangkan perkebunan
swasta rata-rata menghasilkan 3,48 ton CPO per hektar dan 0,57 ton PKO per
hektar. Tingkat produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga
relatif lebih rendah dibandingkan Malaysia.
Menurut GAPKI, produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia baru
mencapai angka 3.1 juta ton per hektar, sementara Malaysia telah mencapai 3.6
juta ton per hektar. Relatif rendahnya tingkat produktivitas kelapa sawit Indonesia
diantaranya disebabkan sebagian besar tanaman masih muda usianya, tidak
terpenuhinya baku kultur bibit, pencurian buah, serta kelangkaan pupuk dan
tingginya harga pupuk.
Luas lahan yang tersedia untuk pengembangan kelapa sawit masih sangat
luas. Pemerintah sendiri pada 2001 telah menyediakan 9,13 juta hektar di
Indonesia bagian Timur untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Lokasi
lahan yang disediakan terletak di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Maluku dan
Sulawesi Tenggara. Dari luas lahan yang tersedia tersebut baru 2.79% atau 255
ribu hektar lahan yang telah dimanfaatkan.
Hingga saat ini, terdapat tiga perusahaan penghasil benih kelapa sawit
bersertifikat di Indonesia, yakni PT. London Sumatera Indonesia, PT. Socfindo,
dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang berlokasi di Medan, dengan total
kapasitas produksi 80 juta bibit sawit per tahun. Namun demikian, karena
banyaknya jumlah bibit palsu yang beredar – Direktorat Jenderal Perkebunan
memperkirakan jumlah bibit palsu mencapai 40% dari total bibit yang beredar –
permintaan terhadap benih bersertifikasi cenderung menurun, khususnya dari
perkebunan rakyat.
Sebagai gambaran, pada 2001 penjualan benih kelapa sawit bersertfikat
mencapai 20,5 juta, namun pada 2002 merosot tajam menjadi 13,6 juta benih.
Sejalan dengan peningkatan luas areal, produksi CPO Indonesia mengalami
peningkatan yang sangat signifikan selama lima tahun terakhir.
Lonjakan produksi yang cukup tajam terjadi pada kurun waktu 1999-2001
yang meningkat dari 6 juta ton menjadi 9 juta ton. Produsen CPO terbesar adalah
Sumatera Utara yang memberikan kontribusi lebih dari 4,5 juta ton CPO atau
sekitar 50% dari total produksi CPO nasional. Saat ini terdapat enam pemain
terbesar bisnis CPO yang menguasai lebih dari 50% areal perkebunan kelapa
sawit, yakni PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) – yang terdiri dari 9 PTPN -- Sinar
Mas, Raja Garuda Mas, Astra Agro Lestari, Minamas Plantation (Kelompok Guthrie
Berhad asal Malaysia), dan Indofood Tbk.

Konsumsi CPO
Sekitar 60% dari produk CPO Indonesia diekspor ke luar negeri, sementara
sisanya diserap untuk konsumsi di dalam negeri. Untuk penggunaan lokal, industri
minyak goreng merupakan penyerap CPO dominan, mencapai 29,6% dari total
produksi, sedang sisanya dikonsumsi oleh industri oleokimia, sabun dan margarine
atau shortening (grafik 2).
Saat ini terdapat sekitar 215 pabrik CPO di Indonesia (lebih sedikit dibanding
Malaysia yang memiliki 374 pabrik)4. Kapasitas pabrik CPO terbesar terdapat di
Sumatera – terdiri dari 199 perusahaan) yang mencapai 85% dari kapasitas CPO
nasional.

Perkembangan Ekspor
Volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia cenderung meningkat sejak
1999 setelah mengalami penurunan yang cukup tajam pada 1998. Pada 2003,
volume ekspor mencapai 6,38 juta ton, meningkat 136% dibanding 1999 yang
mencapai 3,3 juta ton. Ini diikuti peningkatan nilai ekspor sebesar 93%, yakni dari
US$ 1,1 miliar menjadi US$ 2,6 miliar.
Ekspor minyak sawit Indonesia ditujukan ke 123 negara. Pada 2002, volume
ekspor terbesar ke India dengan kontribusi 28% (1,8 juta ton), diikuti Belanda
17% (1,1 juta ton), Cina 8% (483 ribu ton), dan Malaysia serta Singapura masing-
masing sebesar 6%. Kelima negara ini secara bersama-sama menyerap sekitar
65% dari total ekspor minyak kelapa sawit Indonesia.
Pada 2004, ekspor ke India diperkirakan akan menurun, karena adanya
ketentuan Pemerintah India yang mensyaratkan kandungan betta carotene
minimal 500 part per million (ppm) , sedang kandungan betta carotene CPO dari
Indonesia sekitar 450 ppm. Persyaratan tersebut menyebabkan banyaknya CPO
yang tertahan di pelabuhan. Namun, pada tahun berikutnya diharapkan ekspor ke
India kembali meningkat menyusul ditundanya pemberlakuan ketentuan tersebut
oleh pemerintah India setelah pemerintah RI meminta klarifikasi dan penjelasan
mengenai kebijakan tersebut.
Sebaliknya, peluang ekspor ke Cina pada 2004 diperkirakan meningkat sekitar
10 hingga 15%. Dengan konsumsi minyak goreng per kapita 10-12 kg per tahun,
dan jumlah penduduk 1,4 milyar jiwa, kebutuhan minyak goreng Cina diperkirakan
mencapai 14 juta ton setiap tahunnya. Jumlah tersebut belum termasuk untuk
keperluan industri.
Saat ini, sebagian besar kebutuhan minyak sawit Cina dipasok dari Malaysia.
Total ekspor Indonesia ke Cina pada 2004 ditargetkan mencapai 600 ribu ton.
Harga CPO di pasar internasional sangat berfluktuasi. Pada 1999 misalnya, harga
CPO melonjak hingga US$ 700 per ton, namun kembali merosot tajam pada 2001
menjadi US$ 276 per ton. Sementara pada 2004, harga CPO cenderung meningkat
dengan harga yang cukup menggairahkan, berkisar pada US$ 400 hingga US$ 550
per ton. Ini disebabkan menurunnya produksi minyak kedelai, tingginya tingkat
permintaan dari Cina dan India, serta produksi minyak sawit Malaysia yang
cenderung flat.
Pada 2010, dilaporkan volume ekspor CPO Indonesia akan mencapai 4,5 juta
ton, sedangkan ekspor turunan lainnya mencapai 5,6 juta ton sehingga proyeksi
kebutuhan CPO untuk ekspor pada tahun 2010 adalah 10,1 juta ton.

Peluang Pengembangan dan Prospek Industri Kelapa Sawit


Menurut senior managing Director PT. Smart Tbk., pada 2007 produksi CPO
Malaysia dan Indonesia akan bersaing ketat5. Pada tahun tersebut produksi
Indonesia akan tumbuh pesat dan mencapai 14 juta ton, sedangkan produksi
Malaysia cenderung bergerak lambat yang mencapai 15 juta ton. Perkiraan ini
didasarkan asumsi produktivitas kelapa sawit Indonesia 4,3 ton/ha sementara
Malaysia 4 ton/ha. Sehingga dalam 10 tahun ke depan Indonesia akan menjadi
produsen CPO terbesar dunia. Bila melihat sumberdaya alam dan manusia yang
dimiliki Indonesia saat ini yang secara kuantitatif relatif jauh lebih unggul
dibanding Malaysia, Indonesia tampaknya berpeluang cukup besar untuk menjadi
produsen kelapa sawit terbesar dunia. Dari sisi sumberdaya alam, Indonesia masih
memiliki luas lahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang masih
sangat luas yang mencapai 9 juta hektar lebih. Sementara dari sisi sumberdaya
manusia, jumlah sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia masih sangat besar
untuk perkebunan kelapa sawit yang kebutuhan tenaga
kerja sangat besar. Disamping itu, dengan tingkat produktivitas tanaman yang ada
saat ini, Indonesia masih berpeluang untuk meningkatkan produktivitas
tanamannya dengan penggunaan bibit unggul dan pengelolaan produksi yang
lebih profesional. Prospek pengembangan kelapa sawit juga relatif baik. Dari sisi
permintaan, diperkirakan permintaan terhadap produk kelapa sawit akan tetap
tinggi di masa-masa mendatang. Ini disebabkan, dibanding produk substitusinya
seperti minyak kedelai, minyak jagung dan minyak bunga matahari, preferensi
terhadap minyak kelapa sawit diperkirakan masih relatif tinggi. Relatif tingginya
preferensi terhadap minyak kelapa sawit disebabkan minyak sawit memiliki banyak
keunggulan dibanding produk substitusinya. Keunggulan tersebut antara lain
adalah relatif lebih tahan lama disimpan,
tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi, tidak cepat bau, memiliki kandungan gizi
yang relatif tinggi, serta bermanfaat sebagai bahan baku berbagai jenis industri.
Saat ini, Malaysia telah berhasil mengembangkan produk turunan kelapa sawit
menjadi sekitar 34 jenis turunan yang memperluas pangsa pasar minyak sawit di
negara tersebut. Keunggulan lain adalah dari sisi produktivitas dan biaya produksi.
Minyak sawit memiliki produktivitas relatif lebih tinggi dan biaya produksi yang
relatif lebih rendah dibanding minyak nabati lain seperti minyak kedele dan biji
matahari. Minyak sawit bisa mencapai produksi hingga 3.5 ton per hektar (bahkan
lebih), sedang biji kedele hanya mencapai 0.4 ton per hektar, sedang biji matahari
mencapai 0.5 ton per hektar. Sementara dari sisi biaya produksi, menurut Oil
World, biaya produksi rata-rata minyak kedele mencapai US$ 300 per ton,
sedangkan minyak sawit hanya mencapai US$ 160 per ton. Indonesia juga
memiliki keunggulan komparatif lain, yaitu biaya tenaga kerja
yang 55-60% lebih rendah dibandingkan biaya tenaga kerja Malaysia.

I.3. PERKEMBANGBIAKAN KELAPA SAWIT


Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada
kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan
bakal akar (radikula). Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan
cangkangnya kelapa sawit dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura
merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap
memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar‐
besar dan kandungan minyak pertandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak
memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang
menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan Pisifera.
Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing‐masing
induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil.
Beberapa tenera unggul persentase daging perbuahnya dapat mencapai 90% dan
kandungan minyak pertandannya dapat mencapai 28%.

I.4. HASIL KELAPA SAWIT


Bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya.
Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah
menjadi bahan baku minyak goreng. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah
harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi.
Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin. Minyak inti menjadi
bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Buah diproses dengan
membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90°C. Daging yang telah
melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan
pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan
dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur
sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran
makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.
BAB III
ASPEK TEKNIS INDUSTRI KELAPA SAWIT

3.1. PERKEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT


Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit
merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber
penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak
kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong
pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa
sawit.
Berkembangnya sub‐sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas
dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama
kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk
pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR‐Bun dan dalam pembukaan
wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.

I.6. KETERSEDIAAN LAHAN PRODUKSI KELAPA SAWIT


(Tabel 1. Ketersediaan Lahan Produksi Kelapa Sawit)
Gambar 1. Peta Wilayah Penyebaran
Sumber: BKPM

I.7. POHON INDUSTRI KELAPA SAWIT


Gambar 3. Pohon Industri Kelapa Sawit

INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT


II.1. MINYAK KELAPA SAWIT
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek
kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak,
kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma
dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special
Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada
saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih
dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan
rendemen minyak 22,1 % ‐ 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 %
‐ 2,1 % (terendah).

II.2. STANDAR MUTU MNYAK KELAPA SAWIT


Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama, benar‐
benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak kelapa
sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat‐sifat fisiknya, yaitu dengan
mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian
mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan
spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran,
logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu
minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non
pangan masing‐masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran,
maupun aspek higienisnya harus lebih Diperhatikan. Rendahnya mutu minyak
kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor‐faktor tersebut dapat
langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan
selama pemrosesan dan pengangkutan.
Dari beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit
tersebut, didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti di bawah ini :
a) Crude Palm Oil
b) Crude Palm Stearin
c) RBD Palm Oil
d) RBD Olein
e) RBD Stearin
f) Palm Kernel Oil
g) Palm Kernel Fatty Acid
h) Palm Kernel
i) Palm Kernel Expeller (PKE)
j) Palm Cooking Oil
k) Refined Palm Oil (RPO)
l) Refined Bleached Deodorised Olein (ROL)
m) Refined Bleached Deodorised Stearin (RPS)
n) Palm Kernel Pellet
o) Palm Kernel Shell Charcoal
Syarat mutu inti kelapa sawit adalah sebagai berikut:
a) Kadar minyak minimum (%): 48; cara pengujian SP‐SMP‐13‐1975
b) Kadar air maksimum (%):8,5 ; cara pengujian SP‐SMP‐7‐1975
c) Kontaminasi maksimum (%):4,0; cara pengujian SP‐SMP‐31‐19975
d) Kadar inti pecah maksimum (%):15; cara pengujian SP‐SMP‐31‐1975

II.3. KOMPOSISI KIMIA MINYAK KELAPA SAWIT


Minyak kelapa sawit dan inti minyak kelapa sawit merupakan susunan dari
fatty acids, esterified, serta glycerol yang masih banyak lemaknya. Didalam
keduanya tinggi serta penuh akan fatty acids, antara 50% dan 80% dari masing‐
masingnya. Minyak kelapa sawit mempunyai 16 nama carbon yang penuh asam
lemak palmitic acid berdasarkan dalam minyak kelapa minyak kelapa sawit
sebagian besar berisikan lauric acid.
Minyak kelapa sawit sebagian besarnya tumbuh berasal alamiah untuk
tocotrienol, bagian dari vitamin E. Minyak kelapa sawit didalamnya banyak
mengandung vitamin K dan magnesium. Napalm namanya berasal dari naphthenic
acid, palmitic acid dan pyrotechnics atau hanya dari cara pemakaian nafta dan
minyak kelapa sawit.

II.5. MANFAAT LAIN MINYAK KELAPA SAWIT


Manfaat lain dari proses industri minyak kelapa sawit antara lain:
a. Sebagai bahan bakar alternatif Biodisel
b. Sebagai nutrisi pakanan ternak (cangkang hasil pengolahan)
c. Sebagai bahan pupuk kompos (cangkang hasil pengolahan)
d. Sebagai bahan dasar industri lainnya (industri sabun, industri kosmetik, industri
makanan)
e. Sebagai obat karena kandungan minyak nabati berprospek tinggi
f. Sebagai bahan pembuat particle board (batang dang pelepah).
Pangsa Pasar Minyak Kelapa Sawit
Minyak goreng adalah salah satu produk jadi primer yang dihasilkan dari buah
kelapa sawit. Dari kelapa sawit dapat diperoleh dua jenis minyak kasar, aitu Crude
Palm Oil (CPO) dan Crude Kernel Oil (PKO). Proses pengolahan CPO menjadi
minyak goreng juga menghasilkan beberapa hasil samping yang bernilai ekonomis
antara lain Sterarin (merupakan bahan baku margarin), dan Palm Fatty Acid
Destillation (PDFA). Diperolehnya hasil samping ini merupakan salah satu daya
tarik investasi minyak goreng yang dihasilkan (olein) merupakan minyak tak jenuh
yang sampai sejauh ini diketahui sangat baik untuk kesehatan.

Pasar Dunia dan Domestik


Produksi minyak goreng dunia pada lima tahun terakhir menunjukkan
kenaikan sekitar 6% per tahun dan produksinya pada tahun 2005 mencapai
139.199 ribu ton (Oil World Annual, 2005). Pada tahun yang sama, kondisi pasar
dalamnegeri menunjukkan permintaan yang juga tinggi yaitu sebesar 5.062,8 ton,
dengan peningkatan permintaan sebesar 11,8% per tahun selama 5 tahun
terakhir.Hal ini menunjukkan adanya peluang usaha di sektor ini.
Walaupun jumlah produksi minyak goreng Indonesia (5.385,8 ton) lebih besar
dari permintaan pasar dalam negeri, tetapi jumlah ekspor minyak goreng yang
sangat besar menyebabkan pemerintah menerapkan kebijakan impor minyak
goreng. Melihat kenyataan pasar tersebut, maka industri minyak goreng
berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Data tentang pasar dunia
dan nasional disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel : Kondisi pasar minyak goreng dunia dan dalam negeri (tahun 1999-2005)
Tabel : Tingkat produksi,  konsumsi, ekspor, impor dan stok minyak sawit
Indonesia (1000 ton) saat ini

Jan-Des Jan-Des Jan-Des Jan-Des Jan-Des


2006 2007 2008 2009 2010
Stok awal 1.110 960 1.690 2.040 1.300
Produksi 16.070 17.420 19.400 21.000 22.100
Impor 31 25 34 49 70
Ekspor 12.540 12.650 14.612 16.938 16.480
Konsumsi 3.711 4.065 4.472 4.851 5.240
Stok akhir 960 1.690 2.040 1.300 1.750
Sumber : Oil World Database, September 2010

Struktur Industri
Minyak goreng nabati dapat dibuat dari berbagai sumber seperti : kelapa,
sawit, inti sawit, jagung, biji kapas, biji bunga matahari, wijen, kacang tanah,
kapuk dan lain-lain. Dari sekitar 6 juta ton produksi minyak goreng nasional pada
tahun 2005, minyak sawit mendominasi dengan kontribusi sebesar 83%. Kondisi
pasar dunia untuk industri ini juga menunjukkan hal yang sama seperi disajikan
pada gambar berikut ini.
s
Gambar : Produksi minyak goreng dunia dan jenis minyak deengan pertumbuhan
tertinggi (Sumber : BKPMD Kaltim, 2009)

Industri minyak goreng merupakan salah satu aktifitas hilir dari industri
pertanian berbasis sawit. Minyak goreng dari sawit yang dalam bahasa industri
disebut RBD Olein (Refined Bleached Deodorized Palm Olein) dibuat dari CPO
sebagai bahan bakunya. Proses pengolahan minyak goreng ini menghasilkan hasil
samping RBD Stearine (Refined Bleached Deodorized Stearine) , dan PFAD (Palm
Fatty Acids Destillation).

RBD Stearine merupakan bahan baku untuk pembuatan margarin dan


shortening, sedangkan PFAD dapat diolah lebih lanjut menjadi sabun, shortening
dan emulsifier. Margarin, shortening dan emulsifier mempunyai pasar yang cukup
baik dalam industri pengolahan pangan, sehingga RBD Stearine dan PFAD dapat
lebih lanjut diperhitngkan dalam cash flow perusahaan. Rantai aktivitas dari kebun
sawit (TBS) sampai dengan minyak goreng dan produk lain yang dihasilkan
disajikan paga gambar berikut ini.
G
Gambar : Rantai aktifitas industri minyak goreng berbasis CPO

Produksi minyak goreng dari CPO dilakukan melalui tahapan : pemurnian,


fraksinasi, pengemasan, dan pengepakan. Tahap pemurnian terdiri dari proses
degumming, pemucatan (bleaching), deodorisasi (deodorization), dan fraksinasi
(fractination). Tahapan prosesnya disajikan pada gambar.......
GaPvi
Gambar....Diagram alir peralatan yang dipergunakan pada proses pengolahan
industri minyak goreng berbasis CPO serta produknya
BAB IV
ANALISIS FINANSIAL

Analisis finansial kelayakan industri minyak goreng kelapa sawit dibuat dengan
beberapa asumsi seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Asumsi analisis finansial industri minyak goreng kelapa sawit

depperin.
5.1 Biaya Investasi
Seperti halnya industri manufaktur lainnya pendirian industri minyak goreng
kelapa sawit membutuhkan investasi yang besar. Industri minyak goreng kelapa
sawit ini diperitungkan akan membutuhkan investasi sebesar US$. 31.397.972,27
(Rp. 156.989.861.350,00) dimana sebesar US$ 119.942,53 (Rp. 599.712.650,00)
yang akan dialokasikan untuk menutupi biaya pra-oprasional, biaya pengadaan
investasi tetap seperti tanah, bangunan fisik utama dan penunjang, mesin dan
peralatan utama, dan pembantu, peralatan kantor ( office suplies) peralatan
transportasi dan investasi tetap lainnya, serta untuk menutupi biaya-biaya
contingencies (2,5% dari total investasi tetap diluar modal kerja). Disamping itu
total biaya investasi ini juga akan dialokasikan untuk membiayai modal kerja
sampai tahap turn-over yang besarnya mencapai US$ 12.912.076,00 (Rp.
64.560.379.167,00).

Tabel 7. Proyeksi biaya investasi industri minyak goreng sawit (Dalam US$)
Tabel 8. Biaya pengadaan mesin dan peralatan utama

o.id

5.2 Biaya Operasional


Biaya operasional yang dibutuhkan untuk kapasitas pabrik 1.000 ton/hari atau
300.000/tahun sebesar US$ 515.964,84 (Rp. 4.798.469.664/hari) ekuivalen US$
154.789.345,2/tahun (Rp. 143.954.091.036/tahun) yang terdiri dari:

1.Biaya bahan baku dan penolong


Biaya bahan baku CPO selama 1 tahun pertama adalah sebesar US$
151.704.000,00 (Rp. 1.410.847.000.000) biaya ini diasumsikan besarnya tetap
karena harga CPO diasumsikan tetap serta produktivitas mesin dan peralatan
relatif stabil atau hanya dengan biaya penyusutan yang kurang dari 5%.
Sedangkan biaya bahan penolong pada tahun pertama produksi dianggarkan
sebesar US$ 3.085.344,00 (Rp. 28.693.699.200) kemudian pada tahun 9
berikutnya seluruh komponen biaya bahan penolong diasumsikan akan meningkat
sebesar 7,5%/tahun.

Tabel 9. Kebutuhan biaya operasional untuk 1.000 ton CPO/hari atau


300.000/tahun

2. Biaya Energi
Kebutuhan energi pada setiap pengolahan 1.000 ton bahan baku CPO di
perkirakan akan menghabiskan energi sebanyak 19.100 Kwh dan ini akan dipenuhi
dengan genset dengan kapasitas 500 KVA 3 unit paralel. Jumlah bahan bakar
solar yang dibutuhkan sebanyak 16.758 liter solar/hari yang terdiri dari 5.880 liter
untuk proses rafinasi dan 10.878 liter untuk proses fraksinasi dan bahan bakar
solar yang digunakan steam boiler adalah sebanyak 5.446 liter/hari yang terdiri
dari 1.911 liter untuk proses rafinasi 3.535 liter untuk proses fraksinasi. Jika harga
solar US$ 0.207/liter, maka besarnya biaya yang dibutuhkan sebesar US$ 4596,23
per hari atau US$ 1.378.869 per tahun. Sementara kebutuhan air dalam proses
produksi sebesar 11.159 ton/hari.

3. Biaya tenaga kerja langsung


Jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dengan proses produksi atau
yang disebut dengan tenaga kerja langsung adalah 134 orang yang terdiri dari
128 orang tenaga operasional dan 6 orang manajerial. Dari 128 orang tenaga
operasional, 18 diantaranya melakukan pekerjaan managerial dan 11 orang
lainnya bekerja sebagai tenaga operasional sampai tenaga kebersihan.
Pada tahap produksi tahun pertama, total biaa tenaga kerja akan mencapai
sebesar US$ 345.000. pada tahun selanjutnya selama 10 tahun berikutnya biaya
tenaga kerja akan meningkat 10% pertahun. Setiap tahun diperkirakan
perusahaan akan membutuhkan tenaga kerja harian lepas untuk membantu
proses rafinasi dan fraksinasi dengan biaya tambahan sebesar US$ 130.410. Biaya
tambahan ini setiap tahun dianggarkan akan meningkat 10%.

5.3. Hasil analisis finansial


Berdasarkan analisis kelayakan proyek diperoleh nilai NPV, IRR, Net B/C dan
Payback Periode seperti disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil analisis finansial proyek


Seperti disajikan pada Tabel 4.10, nilai Return on Investment (ROI) diperoleh
228,79%. Nilai ROI tersebut menunjukkan bahwa dari setiap US$ 1,- modal yang
ditanamkan pada industri minyak goreng kelapa sawit akan diperoleh keuntungan
sebesar US$ 228,79.
Berdasarkan analisis cash flow (cash inflow dan cash outflow) investasi industri
minyak goreng kelapa sawit dengan tingkat discount factor 14% diperoleh nilai
Net Present Value (NPV) US$ 26.717.950,-. Nilai NPV ini lebih besar dari nol,
sehingga industri minyak goreng kelapa sawit layak untuk dilaksanakan.
Sementara nilai internal rate of return (IRR) sebesar 98,17%, jauh lebih tinggi dari
suku bunga bank sebesar 14%, maka proyek ini layak untuk dilaksanakan.
Berdasarkan analisis Net B/C ratio pun, industri minyak goreng kelapa sawit layak
dilaksanakan karena nilai Net B/C nya 4,48 masih diatas dari nilai 1.
Dilihat dari sudut kemampuan proyek ini mengembalikan modal ( paybak period),
proyek ini mecapai titik impas setelah 7 tahun 10 bulan. Dari beberapa kriterian
kelayakan usaha diatas, maka industri minyak goreng kelapa sawit secara finansial
leyak diusahakan. Proyeksi aruskas ( cashflow) industri minyak goreng kelapa sawit
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Untuk melihat kelayakan proyek ini, apabila terjadi kenaikan biaya produksi dan
penurunan harga jual dilakukan analisis sensitivitas dengan hasil seperti disajikan
pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil analisis sensitivitas kelayakan proyek

Walaupun terjadi kenaikan biaya produksi dan penurunan harga jual, dari hasil
analisis sensitivitas seperti disajikan pada Tabel 4.10 ternyata industri minyak
goreng kelapa sawit masih layak untuk diusahakan.
BAB V
KESIMPULAN DAN PENUTUP

1. KESIMPULAN
Industri minyak kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis, karena
berhubungan dengan sektor pertanian (agro‐based industry) yang banyak
berkembang di negara‐negara tropis seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand.
Hasil industri minyak kelapa sawit bukan hanya minyak goreng saja, tetapi juga
bisa digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan,
kosmetika dan industri sabun.
Prospek perkembangan industri minyak kelapa sawit saat ini sangat pesat,
dimana terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya
kebutuhan masyarakat. Dengan besarnya produksi yang mampu dihasilkan,
tentunya hal ini berdampak positif bagi perekenomian Indonesia, baik dari segi
kontribusinya terhadap pendapatan negara, maupun besarnya tenaga kerja yang
terserap di sektor. Sektor ini juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat di
sekitar perkebunan sawit, di mana presentase penduduk miskin di areal ini jauh
lebih rendah dari angka penduduk miskin nasional. Boleh dibilang, industri minyak
kelapa sawit ini dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari hasil analisis finansial diperoleh informasi bahwa investasi industri minyak
goreng berbahan baku CPO layak untuk dilakukan, dengan NPV sebesar US$
19.182.679,99, IRR 98,32%, Net B/C 4,48, dengan pay back period 7 tahun 10
bulan, dan ROI 228,79.

2. PENUTUP
Demikian proposal proyek ini dibuat dan diajukan kepada para pihak yang
berkepentingan dalam rangka menginvestasikan modalnya dalam industri minyak
goreng berbahan baku CPO. Diharapkan dengan membaca proposal proyek ini
dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai prospek investasi industri
minyak goreng baik secara teknis maupun finansial.w

Lampiran 1 :
BEBERPA GAMBAR ALIR PROSES PENGOLAHAN MINYAK GORENG
DAN LAY OUT PABRIK

Gambar : Aliran massa energi pada proses degumming industri minyak goreng
Gambar : Aliran massa energi pada proses bleaching industri minyak goreng

Gambar : Aliran massa energi pada proses deodorisasi industri minyak goreng
Gambar : Lay out pabrik minyak goreng dan margarin berbasis CPO

Anda mungkin juga menyukai