Disusun Oleh :
MUCHLIS FATAHILAH
NIM : 20200530331
1. BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
C. LANDASAN TEORI
2. BAB II PEMBAHASAN
A. MASALAH
-Komunikasi secara Verbal
-Komunikasi secara Non Verbal
B.FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
-Faktor Internal
-Faktor Eksternal
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dunia Pendidikan memang tak bisa lepas dari peran pesantren didalamnya. Pesantren
adalah tempat dimana seseorang menempa diri menjadi lebih baik khususnya dari segi
moralitas. Maka tak heran jika kebanyakan anak pesantren memiliki tingkah laku yang baik
dan tutur kata yang lembut jika dibandingkan anak yang sama sekali belum pernah belajar Ilmu
Agama. Meskipun, tidak menutup kemungkinan bahwa anak pesantren juga memiliki
kebiasaan yang kurang baik, nilai akademik yang buruk dan pemahaman atas Agama yang
masih jauh dari target pesantren itu sendiri. Hal ini disebabkan berbagai hal, baik itu faktor
internal seorang anak maupun faktor eksternal yang keduanya sangat mempengaruhi baik atau
buruknya intelektual dan moralitas seseorang.
Seperti yang akan saya bahas pada paper kali ini, sesuai dengan pengalaman saya,
karena kebetulan saat ini membina salahsatu santri yang berusia 15 tahun, kategori remaja.
Zakiah Darajat (1990: 23) dalam buku Pendekatan Psikologis dan Fungsi Keluarga Dalam
Menanggulangi Kenakalan Remaja mendefinisikan remaja adalah: “Masa remaja adalah masa
peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa, dalam masa ini anak mengalami masa
peertumbuhan dan masa dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa
perkembangan fisiknya maupun perkembanganan psikisnya. Mereka bukanlah anak- anak baik
bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tapi bukan pula anak dewasa yang telah
matang”. (1990: 23) Santrock (2003: 26) dalam buku Perkembangan Remaja mengatakan hal
senada mengenai remaja yaitu: “Adolensence diartikan sebagai masa perkembangan transisi
antara masa anak- anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan
sosial- emosional”. (2003: 26)
Namun, santri tersebut kebiasaan dan daya tangkap yang kurang dibandingkan teman-
temannya. Kebiasaan yang dimaksud disini adalah tentang kebiasaan seperti bagaimana ia
makan, mencuci baju dan cara ia bergaul. Sedangkan daya tangkap yang dimaksud adalah
bagaimana ketika ia belajar, mengafal Al-Qur’an, dan mengulang kembali pelajaran yang
sebelumnya pernah disampaikan.
B. TUJUAN
Tujuannya dibuatnya paper ini adalah mengetahui faktor apa saya yang memicu
permasalahan seorang santri tersebut bisa terjadi. mungkin dari masalalunya, atau
lingkungannya sebelum masuk ke pesantren, kemudian bagaimana pola pembinaan yang pas
untuk anak ini sehingga cita-cita pesantren untuk mencetak generasi yang memiliki
pengetahuan yang luas dapat terwujud.
C. LANDASAN TEORI
George Kelly, menyatakan bawasannya kepribadian merupakan cara unik dari individu
dalam mengartikan pengalaman hidupnya. Sedangkan Sigmen freud, menyatakan bahwa
kepribadian merupakan suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yakni id, ego dan super ego,
sedangkan tingkah laku tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi dari ketiga
unsur dalam sistem kepribadian tersebut.
Pada tahun 1904, psikolog Amerika, G Stanly Hall menulis buku ilmiah pertama
tentang hakekat masa remaja. G. Stanly Hall mengupas mengenai masalah “pergolakan dan
stres” (strorm-and-stress). Hall mengatakan bahwa masa remaja adalah merupakan masa-masa
pergolakan yang penuh dengan konflik dan buaian suasana hati dimana pikiran, perasaan, dan
tindakan bergerak pada kisaran antara kesombongan dan kerendahan hati, kebaikan dan
godaan, serta kegembiraan dan kesedihan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MASALAH
Membahas tentang permasalahan santri tersebut, akan saya awali ketika saya pertama
kali mendapatkan tugas untuk mendampingi dia ketika belajar tajwid di pesantren. Sebetulnya
tidak ada kecurigaan sama sekali mengenai karakternya yang menurut saya berbeda dengan
teman-temannya lain. Karena kami hidup dalam satu lingkungan yang sama dan setiap hari
bertemu, berkomunikasi, serta secara tidak langsung mengamati perilakunya, saya pun
perlahan mulai memahami sifat dan karakter santri ini. Banyak hal yang berbeda ketika saya
berinteraksi lebih jauh. Perbedaan ini sangat terlihat jelas ketika ia berkomunikasi dengan saya.
Sering sekali ia tidak mampu menjawab pertanyaan yang saya berikan. Bahkan istilah out of
topic sering sekali saya jumpai ketika saya ajak diskusi mengenai beberapa hal termasuk
bahasan ringan seperti apa saja kegiatanmu hari ini.
Agus M. Hardjana (2003: 23) mendefinisikan unsur- unsur penting dalam komunikasi
verbal yaitu: 1. Bahasa Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang
memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang
digunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Bahasa
suatu bangsa atau suku berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain.
Bahasa yang memiliki fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat
hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga fungsi itu adalah:
Komunikasi verbal adalah diskrit. Simbol verbal mulai dan berhenti, kami mulai
berbicara pada satu saat dan berhenti berbicara saat yang lain. (Julia T. Wood, 2009: 131- 132).
Secara umum, komunikasi verbal adalah komunikasi yang berbentuk lisan ataupun
tulisan. Seperti yang kita ketahui bersama bawasannya didalam kehidupan, komunikasi verbal
merupakan hal yang vital untuk menyapaikan sebuah informasi. Dengan berkomunikasi secara
verbal, kita akan dengan mudah mengerti apa yang sebetulnya ingin disampaikan oranglain
kepada kita, begitu pula sebaliknya. Kita akan dengan mudah menyuruh seseorang, meminta
tolong dan menyampaikan keinginan kita. Namun, didalam penerapannya, ternyata masih
banyak masalah yang timbul seperti halnya masalah salahsatu santri ponpes tersebut.
Komunikasi secara verbal antara saya dan santri tersebut setiap hari terjalin. karena
setiap ba’da maghrib dan ba’da shubuh kami belajar bersama khususnya ilmu tajwid, hafalan,
dan sesekali belajar Al-Islam. Masalah dari santri tersebut sangat terlihat jelas ketika saya
menyampaikan materi, kemudian saya tanyakan apakah sudah jelas? Ia pun menjawab “jelas”.
Akan tetapi, ketika saya menyuruhnya untuk mengulang materi tersebut, ia menjawab dengan
jawaban yang justru meyakinkan saya bahwa sebenarnya ia tidak faham. Hal ini bukan hanya
terjadi sekali. Hampir setiap pertanyaan yang saya berikan selalu mendapatkan respon yang
sama. Tidak hanya sampai disitu, permasalahan lain juga terjadi ketika kami sama-sama
melakukan kegiatan sehari-hari. Ketika saya meminta tolong untuk melakukan sesuatu atau
menyuruhnya mengambilkan sesuatu, terkadang tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan
sebelumnya. Semisal saya menyuruhnya mengembalikan printer ke meja kantor, ia malah
mengembalikan printer tersebut ke lab komputer. Ketika saya meminta ia untuk menghafal satu
hari tiga ayat, ia malah berasumsi bahwa tiga hari satu ayat dan masih banyak kejadian lain.
Komunikasi secara verbal juga terjalin antara ia dan teman sebayanya. Hampir sama
dengan bagaimana ia berkomunikasi dengan saya. Satu masalah lagi yang sebenarnya sangat
mengherankan adalah banyak sekali pelanggaran yang ia lakukan seperti merokok dan keluar
tanpa seizin pengurus. Ketika ia melakukan pelanggaran, terjadi pula komunikasi secara verbal
antara saya dengan dia maupun pengurus lain. Ketika sekali ia melanggar peraturan pesantren,
ia menjawab bahwa ia minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Akan
tetapi, seakan tidak mempertanggung jawabkan apa yang pernah ia ucapkan, selang beberapa
hari ia mengulangi kesalahan yang sama.
-Komunikasi non verbal
Komunikasi non verbal cenderung mengalir terus. Sebelum kita berbicara, ekspresi wajah dan
postur mengungkapkan perasaan kita, saat kita bicara, gerakan tubuh kita, dan
mengkomunikasikan penampilan, dan setelah kita berbicara postur tubuh berubah mungkin
santai” (Julia T. Wood, 2009: 131- 132).
Mark Kanpp (1978) menyebutkan bahwa penggunaan kode non verbal dalam berkomunikasi
memiliki fungsi untuk:
b. Menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bis diutarakan dengan kata- kata.
-Faktor Internal
a. Faktor biologis
Faktor biologis terlibat langsung dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan
faktor-faktor sosiopsikologis. Bahwa warisan biologis manusia menentukan perilakunya,
dapat diawali sanpai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan biologis
yang diterima dari kedua orangtuanya. (Wilson:1975)
Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan -aturan yang sudah diprogram
secara genetis dalam jiwa manusia. Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu
yang merupakan bawaan manusia dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi. Dahulu
sering disebut insting, sekarang Desiderato, Howieson dan Jakson (1976 :36) menamainya
species-charakteristic behavior.
Jadi, untuk permasalahan yang terjadi pada santri tersebut bisa dimungkinkan karena
faktor biologisnya yang mendorongnya menjadi pribadi yang memiliki perilaku berbeda
dari teman-temannya. Mungkin juga dikarenakan karakter semacam itu juga dimiliki oleh
salah satu orang tuanya.
b. Faktor Sosiopsikologis
Faktor Sosiopsikologis dapat diklasifikasikan menjadi 3 yakni:
- Afektif : aspek emosional dari faktor sosiopsikologis yang erat kaitannya dengan
pembicaraab sebelumnya
- Kognitif : aspek intelektual berdasarkan apa yang diketahui oleh manusia
- Konatif : aspek visional yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan orang
bertindak
-Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi manusia dari luar diri manusia.
Delgado menyimpulkan bahwa respon otak sangat dipengaruhi oleh “setting” atau suasana
yang melingkupi organisme. (Packard, 1978:45). Sedangkan Sampson (1976: 13-14)
merangkumkan seluruh faktor situasional menjadi 3 yaitu :
a. Aspek objektif dari lingkungan yang meliputi faktor geografis dan faktor Iklim
serta meteorologis
b. Lingkungan psikosoial seperti dipersepsi oleh kita yang meliputi Iklim organisasi
dan kelompok, Ethos dan Iklim institusional seta cultural
c. Stimulus yang mendorong dan memperteguh perilaku terdiri dari orang lain dan
situasi pendorong perilaku itu sendiri.
Untuk permasalahan santri yang saya kemukakan diawal dan dihubungkan dengan
beberapa faktor yang mempengaruhinya maka benar saja ketika pengurus ponpes pernah
mendatangkan orangtuanya, mereka mengatakan bawasannya pola pembinaan yang orangtua
lakukan adalah dengan keras. Anak tersebut sering dipukul dan dibentak oleh ayahnya,
sehingga ini mengakibatkan anak tersebut menjadi tidak lagi takut dengan bentakan, gertakan
atau bahkan ancaman, dikarenakan ia sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Disamping itu,
kesenangan ia ke warnet sebelum masuk ke pesantren ini mengakibatkan ia ketagihan untuk
melakukan hal itu. Sehingga ketika di pesantren pun ia berusaha mencuri-curi waktu untuk
pergi ke warnet lagi. Kebiasaan ini pula yang akhirnya membuat daya tangkapnya terhadap
materi sangatlah kurang dikarenakan ia tidak pernah belajar dan terbiasa menggunakan otaknya
dengan santai. Kebiasaan merokok yang masih ia lakukan dipesantren dikarenakan ia dahulu
berteman dengan orang-orang yang lebih tua darinya dan kurangnya ia menjaga kebersihan
karena dulu baik baju, tas, dan sepatu semuanya dicucikan oleh ibunya.
C. PENYELESAIAN
Setelah mengetahui apa saja sebenarnya faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang,
maka untuk permasalahan pada santri yang telah kami kemukakan diawal bisa kita tarik
kesimpulan bawasannya ia memiliki perilaku tersebut dikarenakan faktor internal pada dirinya,
merupakan bawaan dan tidak ada pengaruh dari lingkungan atau situasi. Maka, yang dapat
merubahnya adalah dirinya sendiri dan oranglain pun tidak bisa campur tangan untuk masalah
internal ini. Akan tetapi, ternyata banyak juga faktor ekternal yang bisa mempengaruhi perilaku
anak tersebut. Maka, inilah yang bisa dilakukan orang lain untuk merubahnya menjadi lebuh
baik. Ketika kita ingat bawasannya salah satu faktor ekstenal yang mempengaruhi perilaku
seorang anak adalah lingkungan, maka kita harus melihat terlebih dahulu lingkungan seperti
apa yang pernah ditempati oleh anak tersebut serta bagaimana perlakuan oranglain
terhadapnya. Orang lain ini bisa dari Ayah, Ibu, Keluarga serta masyarakat disekitar tempat ia
tinggal.
Sedangkan, pola pembinaan yang sesuai untuk anak tersebut adalah dengan memahami
karakternya, serta memahami bahwa masa transisi dari yang buruk menuju baik, malas menuju
disiplin itu memerlukan waktu. Pendampingan dan pengawasan yang intensif juga memiliki
peranan yang sangat penting untuk mengontrol seluruh kegiatan anak tersebut agar apa yang
ia lakukan bisa diketahui dan dicarikan solusi terbaik.
BAB III
PENUTUP
Demikian sedikit pemaparan yang dapat saya sampaikan. Pada dasarnya manusia
diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia dan paling sempurna dibanding
makhluk Allah lainnya seperti malaikat, jin, setan, maupun iblis. Hal itu dikarenakan manusia
dilengkapi dengan nafsu dan juga akal. Dengan nafsu, manusia memiliki sebuah pemacu untuk
terus dan tetap berjalan diatas muka bumi dan dengan akal lah manusia mampu mengarahkan
sebuah proses perjalanan itu menuju ke tempat yang baik dan di ridhai oleh Allah SWT. Akan
tetapi, terlepas dari itu semua, saya hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari khilaf dan dosa.
Sebab kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Allah SWT semata. Oleh karena itu, saya
sebagai penulis sangat menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kemajuan kita bersama dan perkembangan Ilmu pengetahuan secara Universal
DAFTAR PUSTAKA