Anda di halaman 1dari 36

UNIVERSITAS INDONESIA

TOPIK 4:
PENGAWETAN KIMIA, IRADIASI PENGION, DAN
PENGAWETAN NON-THERMAL

SUMMARY PENGAWETAN MAKANAN


TEKNOLOGI PANGAN

KELOMPOK 12
ANGGOTA KELOMPOK:
ANJELITA NADIA ANDARINA 1706044824
BILLY LUKITO NEOVAN 1706044963
HARTI NINGSIH 1706987192
JENNY AZZAHRA 1806199562
VIDYA ADNINA GANDHARI 1706044944

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
NOVEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan summary mata kuliah
Teknologi Pangan mengenai pengawetan makanan yang berjudul “Pengawetan
Kimia, Iradiasi Pengion, dan Pengawetan Non-Thermal”.
Dalam pembuatan summary ini, banyak halangan yang dihadapi oleh
penulis, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang terlibat dalam penulisan summary ini, yaitu:
1. Dr.Eng Muhammad Sahlan, S.Si., M. Eng., selaku dosen mata kuliah
Teknologi Pangan yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian
penulisan summary.
2. Teman-teman Kelompok 12 Teknologi Pangan yang telah saling
memberikan masukan dan semangat selama proses penulisan summary.
3. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagai insan yang jauh dari kesempurnaan, penulis mohon maaf jika
dalam penulisan summary ini terdapat kesalahan ataupun kata-kata yang tidak
sesuai dengan hati dan pikiran pembaca. Maka dari itu, penulis mengharapkan
kritik dan masukan dari pembaca agar dapat memperbaiki summary ini di
kemudian hari. Semoga summary ini bermanfaat sehingga ilmu pengetahuan dan
wawasan pembaca bertambah setelah membaca summary ini.

Depok, 20 November 2020

Penulis

ii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB 1 PENGAWETAN KIMIA..........................................................................1
1.1. Prinsip Pengawetan Kimia........................................................................1

1.2. Kinetika Pengawetan Kimia......................................................................1

1.3. Agen Antimikroba.....................................................................................3

1.4. Antioksidan...............................................................................................8

1.5. Aplikasi di Industri..................................................................................10

BAB 2 IRADIASI PENGION.............................................................................13


2.1. Prinsip Iradiasi Pengion...........................................................................13

2.2. Sumber Radiasi........................................................................................14

2.3. Interaksi dengan Zat................................................................................15

2.4. Dosis Radiasi...........................................................................................17

2.5. Efek Biologis dan Kimia.........................................................................18

2.6. Aplikasi di Industri..................................................................................19

BAB 3 PENGAWETAN NON-THERMAL......................................................21


3.1. High Hydrostatic Pressure (HHP) Preservation.....................................21

3.2. Pulsed Electric Fields (PEF)...................................................................23

3.3. Pulsed Intense Light................................................................................25

3.4. Aplikasi di Industri..................................................................................26

BAB 4 KESIMPULAN........................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30

iii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kurva Dose-Response untuk Resistensi Seragam..............................3


Gambar 1.2 Kurva Dose-Response untuk Resistensi Tidak Seragam....................3
Gambar 2.1 Proses Peluruhan Zar Radioaktif......................................................13
Gambar 2.2 Skema Pembentukan Sumber Isotop Co60........................................14
Gambar 2.3 Contoh Akselerator Linier (Linac)...................................................15
Gambar 2.4 Grafik Atenuasi Radiasi Elektromagnetik........................................16
Gambar 3.1 Ilustrasi HHP....................................................................................21
Gambar 3.2 Alat HHP di Industri.........................................................................22
Gambar 3.3 Ilustrasi Proses High Hydrostatic Pressure......................................22
Gambar 3.4 Mekanisme Elektroporasi.................................................................23
Gambar 3.5 Konsentrasi Mikroba terhadap Medan Elektrik................................23
Gambar 3.6 Contoh Alat Pulse Electric Field......................................................24
Gambar 3.7 Gambar sel L.monocytogenes a) tidak diberi perlakuan, b) 150 pulse
(30s), c) 900 pulse (180 s), d) 1000 detik pencahayaan UV-C pada 254 nm........25
Gambar 3.8 Ilustrasi Alat Pulse Intense Light......................................................26
Gambar 3.9 Jus Cold Press..................................................................................27
Gambar 3.10 Liquid Egg......................................................................................28

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Aplikasi Penggunaan Nisin pada Produk Pangan.................................11


Tabel 2.1 Koefisien Pemadaman untuk Setiap Jenis Material..............................16
Tabel 2.2 Dosis yang Diperlukan untuk Memberikan Efek Tertentu...................18
Tabel 2.3 Dosis Pengurangan Desimal dari Berbagai Mikroorganisme...............19
Tabel 3.1 Contoh Aplikasi Penggunaan HHP di Industri.....................................27

iv
Universitas Indonesia
BAB 1
PENGAWETAN KIMIA

1.1. Prinsip Pengawetan Kimia


Pengawetan kimia merupakan tindakan mencegah atau memperlambat
pembusukan makanan dengan mengubah komposisi kimiawi makanan, baik
dengan penambahan zat atau yang dikenal sebagai pengawet dan antioksidan atau
dengan proses biokimia tertentu (misalnya: fermentasi) yang menghasilkan
produksi in-situ dari zat pengawet. Kedua jenis pengawetan bahan kimia telah
dipraktikkan oleh manusia sejak dahulu. Pengasinan, pengasapan, penggunaan
rempah-rempah dan cuka, dan pengawetan daging dengan nitrat merupakan teknik
pengawetan berdasarkan bahan pengawet tambahan. Pengawetan minuman
dengan fermentasi alkohol dan susu dengan fermentasi laktat adalah contoh
praktik pengawetan makanan berdasarkan penciptaan kondisi pengawetan in-situ
melalui proses biokimia.
Ilmu pengetahuan modern telah membawa perubahan besar di bidang
pengawetan kimiawi makanan. Di satu sisi, kemajuan dalam kimia sintetik,
meskipun ditujukan terutama untuk pengobatan medis, telah menghasilkan bahan
kimia dengan sifat antimikroba atau anti-oksidan, yang mampu digunakan sebagai
pengawet makanan. Kemajuan dalam biologi molekuler telah menyebabkan
penemuan molekul antimikroba seperti antibiotik dan bakteriosin untuk lebih
memahami mekanisme yang menggambarkan respons dan resistensi
mikroorganisme terhadap pengawetan bahan kimia.

1.2. Kinetika Pengawetan Kimia


Laju kematian suatu mikroorganisme dengan keberadaan suatu preservatif
bergantung pada beberapa factor, di antaranya:
 Waktu pemaparan
 Konsentrasi preservative
 Suhu
 Kondisi lingkungan (sifat medium), terutama aktivitas air dan pH.

1
Universitas Indonesia
2

Untuk efek waktu, biasanya diasumsikan kinetika ordo pertama (Luck dan
Jager, 1997). Pada konsentrasi agen anti-mikroba konstan, kinetika orde pertama
memiliki model log-linear:
N
−log ( )
N0
=kt

 N, N0 = jumlah sel hidup pada waktu t dan 0


 t = waktu kontak
 k = konstanta laju

Model yang lebih sesuai dengan kebanyakan eksperiman yaitu


Weibullian Power Law model:
N
log ( )
N0
=−b t n

Di mana b dan n merupakan parameter model. Pada n=1, model


Weibullian identic dengan model ordo pertama. Hubungan antara k atau
parameter b, n dengan konsentrasi pengawet terdapat pada dose-response
function, biasanya dideskripsikan dengan dose-response curve.
Jika terdapat suatu sel dalam populasi mikroorganisme yang terpapar
pada pengawet stabil, akan terdapat dua kemungkinan, yaitu antara sel
terinaktivasi atau tidak. Mikroorganisme akan terbunuh jika konsentrasi pengawet
(X) lebih besar dari batas (XC). XC merupakan konsentrasi kritis yang
merepresentasikan resistensi sel terhadap pengawet. Jika resistensi suatu populasi
sel seragam, maka kurva akan berbentuk step-function dan Xc dapat dijadikan
ukuran resistensi populasi terhadap pengawet. Jika resistensi suatu populasi sel
tidak seragam, maka akan dibuat model statistika distribusi Xc dan resistesnsi
rafa-rata didefinisikan berdasarkan model distribusi.

Universitas Indonesia
3

Gambar 1.1 Kurva Dose-Response untuk Resistensi Seragam


(Sumber: Berk, 2013)

Gambar 1.2 Kurva Dose-Response untuk Resistensi Tidak Seragam


(Sumber: Berk, 2013)

1.3. Agen Antimikroba


Sebagian besar bahan kimia yang telah ditemukan memiliki sifat
antimikroba (Jacobs, 1951). Banyak juga yang telah digunakan sebagai pengawet
makanan, tetapi undang-undang dan peraturan pangan nasional dan internasional
telah mengurangi jumlah pengawet kimia yang diizinkan. Pengawet kimiawi
harus dapat dianggap sebagai pengganti praktik produksi yang baik. Karena
meningkatnya resistensi konsumen terhadap bahan kimia dalam makanan,
disarankan untuk mengurangi penggunaan bahan kimia seminimal mungkin.

1.3.1 Garam
Garam ditambahkan ke dalam makanan untuk menambah rasa atau
pengawetan. Garam biasanya digunakan sebagai pengawet makanan terpenting,
meskipun garam tidak dianggap sebagai bahan aditif makanan. Garam

Universitas Indonesia
4

mempengaruhi pertumbuhan mikroba, terutama dengan menekan aktivitas air.


Garam menghambat bakteri tertentu lebih baik daripada agen aw-depressing, pada
tingkat aktivitas air yang sama atau lebih rendah. Biasanya, garam memberikan
toksisitas spesifik terhadap mikroorganisme.
Menurut kepekaannya terhadap garam, mikroorganisme diklasifikasikan
menjadi slightly halophilic, moderately halophilic, atau extremely halophilic.
Larutan garam jenuh mengandung 34 gram natrium klorida per 100 gram air dan
memiliki water activity 0,75. Mikroorganisme highly halophilic (halobakteria)
telah terdeteksi dalam air danau asin pada konsentrasi mendekati saturasi.
Fungsi garam dalam aplikasi khusus adalah untuk mengekstraksi air dan
gula dari sayuran yang diperlukan untuk fermentasi dan untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang peka terhadap garam sampai bakteri asam
laktat yang lebih toleran terhadap pertumbuhan garam dan menghasilkan
keasaman yang diperlukan untuk pengawetan.

1.3.2 Pengsapan
Pengasapan adalah salah satu metode pengawetan tertua. Terutama
diterapkan pada daging, sosis, ikan, unggas, dan beberapa jenis keju. Ada dua
jenis pengasapan, yaitu pengasapan dingin pada suhu lingkungan dan pengasapan
panas pada suhu 60-100℃. Asap buatan atau aplikasi “cairan asap” ke permukaan
makanan memberikan rasa berasap dan telah terbukti memiliki beberapa efek
antimikroba. Tindakan pengawetan dengan asap disebabkan oleh tiga faktor, yaitu
sifat antimikroba zat fenolik dalam asap, pengeringan, dan inaktivasi thermal.
Garam biasanya ditambahkan selama pengasapan sehingga efek antimikroba yang
diamati harus dikaitkan dengan aksi gabungan asap dan garam. Asap dipercaya
dapat menghambat bakteri aerob karena berkurangnya kandungan oksigen
atmosfer di ruang asap. Keberadaan karbon monoksida dan karbon dioksida
dalam asap dapat berkontribusi pada tindakan penghambatan terhadap
mikroorganisme aerobik.

1.3.3 Karbon Dioksida


Gas karbon dioksida berperan penting sebagai penekan respirasi dalam
penyimpanan atau dalam kemasan. Karbon dioksida digunakan untuk

Universitas Indonesia
5

menonaktifkan sejumlah besar bakteri, ragi, dan jamur. Sebagai gas, karbon
dioksida dengan mudah menembus makanan berpori dan multifasa seperti daging
giling. Efektivitas antimikroba karbon dioksida tergantung pada durasi kontak,
tekanan suhu, pH, dan aktivitas air. Dalam kombinasi dengan suhu rendah, karbon
dioksida digunakan untuk menjaga kesegaran cangkang telur selama penyimpanan
jangka panjang. Gas karbon dioksida menonaktifkan mikroorganisme secara
langsung dan tidak langsung dengan menghilangkan pasokan oksigen yang cukup
dari sel, karena mikroorganisme anaerobik juga dihancurkan. Efektivitas karbon
dioksida antagonis dengan menurunkan aktivitas air, sehingga tidak adanya efek
antimikroba jika diaplikasikan pada rempah-rempah kering.

1.3.4 Sulfur Dioksida dan Sulfit


Sulfur dioksida adalah zat yang sangat reaktif yang digunakan untuk
berhubungan dengan aldehida dan gula pereduksi untuk menghasilkan senyawa
adisi. Sulfur dioksida larut dalam air dengan dapat hadir sebagai SO2 bebas atau
sebagai ion HS02- atau SO2 tergantung pada pH. SO2 bebas dominan pada pH
rendah, sedangkan ion sulfit SO2- paling stabil pada pH tinggi. Hanya sulfur
dioksida bebas yang tidak terikat pada aldehida yang aktif, sehingga sebagian
besar sulfur dioksida terlarut dapat dihilangkan dengan cara direbus. Sulfur
dioksida dan sulfit digunakan sebagai antimikroba, terutama dalam anggur, jus
buah, konsentrat, dan pulp buah, serta juga digunakan untuk efek antioksidan dan
anti-pencoklatan pada banyak makanan. Sulfit harus ditambahkan ke anggur
untuk mencegah pertumbuhan jamur dan bakteri selama fermentasi alkohol.

1.3.5 pH Rendah
Keasaman makanan adalah salah satu parameter utama yang mengatur
pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri lebih suka berada pada pH 6-7,5 dan juga
mentolerir kisaran yang lebih luas yaitu pH 4-9. Ragi dan jamur lebih tahan asam,
dan beberapa dapat tumbuh pada pH serendah 3,5. pH rendah telah dianggap
sebagai tanda keamanan terhadap sebagian besar patogen makanan. pH makanan
dapat diturunkan dengan penambahan asam atau dengan pembentukan asam laktat
secara in-situ melalui fermentasi. Untuk pengasaman buatan, asam makanan
(asetat, sitrat, malat, fosfat, glukonik, dll) diterapkan secara luas untuk

Universitas Indonesia
6

memungkinkan kondisi retorsi yang kurang drastik pada produk yang sensitif
terhadap panas seperti jamur kalengan.

1.3.6 Etanol
Fermentasi alcohol pada awalnya digunakan untuk pengawetan. Pada
konsentrasi yang cukup tinggi (60-70%), etanol digunakan sebagai disinfektan
dan membunuh segala jenis mikroorganisme dengan mendenaturasi protein
vitalnya. Etanol memiliki efek antimikroba pada konsentrasi yang lebih rendah
yaitu 5-20% yang tidak berpengaruh pada spora bakteri. Saat ini, penggunaan
etanol dalam pengolahan makanan sebagai pengawet tambahan sangat terbatas.
Salah satu contohnya adalah jus anggur yang diawetkan dengan penambahan
sekitar 20% etanol yang digunakan untuk memperkaya rasa manis pada jus
anggur.

1.3.7 Nitrat dan Nitrit


Nitrat atau saltpeter, telah digunakan dalam produk daging, ikan, dan keju
untuk mencegah peniupan keju keras oleh aksi bakteri pembentuk gas. Nitrit yang
dibentuk oleh reduksi nitrat memiliki kemampuan untuk memperbaiki warna
merah daging, meskipun pada saat yang sama menggunakan aktivitas antimikroba
yang berharga untuk melawan Clostridium botulinum. Nitrit menjaga warna
merah daging karena bereaksi dengan myoglobin dalam jaringan otot. Efektivitas
antimikroba nitrit lebih kuat pada pH rendah dan disebabkan oleh pembentukan
asam nitrat. Tingkat penggunaan maksimum natrium nitrit adalah 10 ppm pada
tuna dan 200-500 ppm dalam produk daging yang diawetkan.

1.3.8 Asam Benzoat, Benzoat, dan Paraben


Asam benzoat C 6 H 5 COOH dan turunannya banyak digunakan sebagai
pengawet makanan karena asam benzoat memiliki kelarutan yang sangat rendah
dalam air, dimana natrium benzoat adalah bentuk yang paling umum digunakan.
Hanya molekul yang tidak terdisosiasi yang memiliki sifat antimikroba. Oleh
karena itu, benzoat hanya aktif pada pH rendah, dibawah pH 4,5. Benzoat
digunakan pada tingkat konsentrasi dalam kisaran 500-2000 ppm, untuk
mengawetkan jus buah, minuman buah, acar sayuran, zaitun, dan makanan pH

Universitas Indonesia
7

rendah serupa terhadap pembusukan oleh ragi dan jamur, tetapi tidak melawan
bakteri. Kerugian dari benzoat yang aktif hanya pada pH rendah menyebabkan
perkembangan paraben, yaitu ester asam parahydroxy-benzoic yang aktif
melawan bakteri dan jauh lebih efektif melawan jamur dan ragi dalam kisaran pH
yang luas.

1.3.9 Asam Sorbat dan Sorbat


Asam sorbat, CH 3−CH =CH −CH =CH −COOH adalah asam lemak
enam atom karbon tak jenuh yang hanya larut dalam air secara lemah sama seperti
asam benzoat, sehingga bentuk umum yang digunakan adalah pottasium sorbat
yang larut dalam air. Prinsip aktifnya adalah molekul yang tidak terdisosiasi
sehingga aktivitasnya bergantung pada pH. Asam sorbat dan sorbat paling efektif
melawan ragi dan jamur dengan sangat selektif. Pottasium sorbat sering
digunakan bersama dengan sodium benzoat.

1.3.10 Asam Propionat dan Propionat


Asam propionat, CH 3−CH 2−CO OH dan garamnya digunakan sebagai
pengawet dalam makanan yang dipanggang dan keju. Bentuk umum lain yang
digunakan adalah sodium dan kalsium propionat. Propionat digunakan untuk
aktivitas mikostatik. Dalam kombinasi dengan kontrol aktivitas air, kalsium
propionat efektif dalam menekan produksi aflatoksin oleh Aspergillus flavus.
Propionat juga ditambahkan ke roti putih dengan pH tinggi untuk mencegah
“penyakit tali” yaitu perkembangan lengket dan bau dalam waktu singkat setelah
pemanggangan oleh Bacillus subtilis dan bakteri terkait. Dalam makanan yang
dipanggang, propionat ditambahkan ke adonan dalam jumlah 0,1-0,3% dari berat
tepung.

1.3.11 Bakteriosin
Bakteriosin adalah polipeptida yang diproduksi oleh mikroorganisme
tertentu yang memiliki sifat antimikroba terhadap mikroorganisme dari spesies
yang sama. Bakteriosin tidak disebut sebagai antibiotik karena spektrum kerjanya
yang sempit dan komposisi protein yang dapat dicerna tidak termasuk toksisitas
bagi manusia. Bakteriosin secara alami ada dalam makanan dan dalam

Universitas Indonesia
8

biopreservatif. Nisin adalah satu-satunya bakteriosin murni yang disetujui untuk


digunakan dalam makanan dengan batasan tertentu. Nisin diproduksi oleh bakteri
asam laktat dan merupakan polipeptida pendek dengan mengandung 34 residu
asam amino. Nisin lebih efektif dalam mencegah pertumbuhan spora daripada
menonaktifkan sel vegetatif.

1.3.12 Rempah-rempah dan Minyak Essensial


Rempah-rempah dalam makanan bukan hanya untuk kontribusi rasa, tetapi
juga untuk tindakan pengawetan. Beberapa rempah-rempah dan minyak esensial
memiliki tingkat efek penghambat pada beberapa mikroorganisme. Keefektifan
bahan pengawet alami ditemukan tergantung pada adanya bahan pengawet
tambahan, suhu rendah, aktivitas air rendah atau pH rendah. Jumlah rempah-
rempah atau minyak esensial dalam makanan dibatasi oleh pertimbangan efek
sensorik. Selain itu, harus diingat bahwa rempah-rempah itu sendiri bisa menjadi
sumber kontaminasi mikroba yang serius.

1.4. Antioksidan
Oksidasi merupakan salah satu prinsip utama makanan dapat memburuk.
Oksidasi makanan menyebabkan degradasi rasa, warna, aroma, dan gizi. Beberapa
proses oksidatif di makanan yaitu:
 Autoksidasi lipid, menghasilkan rasa pahit dan bau anyir
 Oksidasi zat fenolik terkatalisis polifenol oksidase, mengakibatkan
perubahan warna (pencoklatan enzimatik) pada buah dan sayuran
 Oksidasi volatile aroma, mengakibatkan hilangnya aroma
 Oksidasi pigmen karotenoid, mengakibatkan hilangnya aktivitas vitamin
A.
 Oksidasi asam askorbat, mengakibatkan hilangnya aktivitas vitamin C.
 Pembentukan produk akhir dengan sifat toksik
 Pembangkitan senyawa karbonilik, yang menyebabkan pencoklatan non-
enzimatis.

Kondisi yang menyebabkan terjadinya oksidasi adalah pemaparan


terhadap oksigen. Autoksidasi merupakan reaksi berantai, dimulai dengan

Universitas Indonesia
9

pembentukan radikal bebas (inisiasi), dilanjutkan dengan merambatnya


(propagasi) reaksi dengan pembentukan semakin banyak radikal bebas dan
molekul tidak stabil, dan diakhiri dengan reaksi antar radikal bebas untuk
membentuk molekul yang stabil. (terminasi).
Antioksidan merupakan senyawa yang mencegah atau menunda oksidasi.
Antioksidan makanan terbagi menjadi tiga:
 Primer: mencegah/menunda oksidasi dengan mengurangi radikal bebas
dan mengubahnya menjadi molekul stabil.
 Sekunder: menguraikan produk intermediate aktif dari autoksidasi dan
mengubahnya menjadi molekul yang lebih tidak aktif.
 Sinergis: mengkelat logam pro-oksidan atau dengan scavenging oksigen.

1.4.1. Antioksidan sintetis


Antioksidan komersial sintetik utama yang digunakan dalam makanan
adalah butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tersier
butyl hydroquinone (TBHQ), dan propyl gallate (PG). Senyawa-senyawa tersebut
adalah zat fenolik, yang berfungsi sebagai antioksidan primer.
Antioksidan sintetis digunakan terutama untuk mencegah atau menunda
autoksidasi lipid dalam lemak dan makanan yang mengandung lemak.
Antioksidan sintetis ditambahkan ke makanan pada tingkat ratusan ppm. Beberapa
jenisnya cukup tahan panas dan mempertahankan aktivitas mereka dalam
makanan yang digoreng dan dipanggang.

1.4.2. Antioksidan alami


Jumlah senyawa alami di makanan yang memiliki sifat antioksidan sangat
banyak untuk dijabarkan, namun hanya terdapat beberapa senyawa yang diisolasi,
dipurifikasi, dan sengaja ditambahkan ke produk pangan sebagai antioksidan.
Tokoferol (vitamin E) terdapat dalam bahan tanaman dan khususnya
dalam benih benih dan kacang-kacangan. Salah satu isomer, α-tokoferol, juga
diproduksi oleh sintesis kimia. Senyawa ini digunakan sebagai antioksidan utama
dalam lemak dan makanan yang mengandung lemak.
Asam askorbat (vitamin C) banyak digunakan dalam produk buah dan
nabati, untuk mencegah pencoklatan enzimatik. Mekanisme kerja utamanya

Universitas Indonesia
10

adalah sebagai agen pereduksi (oxygen scavenger). Asam askorbat larut dalam air
sehingga tidak dapat digunakan untuk lemak.
Asam sitrat bukan antioksidan, namun meningkatkan keefektifan
antioksidan primer fenolik dengan mengkelat ion logam yang mengkatalisis
autoksidasi lipid. Dengan demikian, ini banyak digunakan untuk stabilisasi
minyak. Dalam kombinasi dengan asam askorbat, digunakan untuk pencegahan
pencoklatan enzimatik pada produk buah dan sayuran.

1.5. Aplikasi di Industri


1.5.1. Aplikasi Penggunaan Agen Antimikroba Nisin pada Produk
Perikanan
Bahan pengawet yang dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL) disebut
bakteriosin. Nisin adalah salah satu jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL
Lactococcus lactis, dinilai aman dan diijinkan penggunaanya di banyak negara.
Bahan pengawet ini banyak diaplikasikan untuk produk pangan karena
kemampuannya menghambat bakteri, terutama bakteri Gram positif seperti
Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus,
Listeria monocytogenes, Bacillus stearothermophilus, dan Bacillus subtilis.
Berdasarkan sifat fisika kimia dan bioaktivitasnya, penggunaan nisin pada
produk perikanan lebih sesuai untuk produk-produk fermentasi dan ikan dalam
kaleng dengan medium saus tomat yang bersifat asam. Bahan pengawet nisin
dapat menurunkan mikroba patogen dan pembusukan, sehingga mampu
meningkatkan mutu dan daya simpan produk pangan, khususnya produk
perikanan.
Penggunaan nisin sebagai biopreservasi dapat dilakukan melalui 3 cara
yaitu: penambahan nisin murni pada produk pangan, inokulasi produk pangan
dengan bakteri asam laktat (BAL), dan penggunaan bahan bantu proses
pengolahan produk pangan yang sebelumnya telah difermentasi dengan bakteri
penghasil bakteriosin.

Universitas Indonesia
11

Universitas Indonesia
12

Tabel 1.1 Aplikasi Penggunaan Nisin pada Produk Pangan

(Sumber: Delves-Broughton, 2005)


Penggunaan nisin pada produk perikanan lainnya adalah sebagai berikut.
 Penggunaan nisin pada daging kepiting atau ikan salmon asap dapat
menurunkan kandungan L. monocytogenes, pada ikan salmon asap juga
menurunkan produksi toksin C.botulinum tipe E pada 10 dan 26℃.
 Penambahan nisin 50 ppm dapat memperpanjang daya awet sosis ikan
yang disimpan pada suhu kamar dari 2 hari menjadi 22 hari dan yang
disimpan pada suhu dingin 6℃ meningkat dari 30 hari menjadi 150 hari.
 Penggunaan nisin untuk menghambat bakteri patogen Carnobacterium
piscicola pada ikan turbot dilaporkan memberikan pengaruh positif.
 Penambahan kultur starter Lactococus lactis subsp. Lactis untuk
fermentasi filet ikan (Podamasys jubelini) dan (Arius heudelotii) mampu
menekan populasi enteric bacteria masing-masing 4 dan 2 log.

1.5.2. Aplikasi Antioksidan Sintetis TBHQ pada Minyak Nabati


PT. Dua Kelinci Indonesia menambahkan TBHQ pada proses
penggorengan. Senyawa TBHQ ini digunakan sebagai zat untuk memperlambat
ketengikan minyak penggorengan selain itu juga sebagai bahan pengawet pada
produk tortilla. Zat TBHQ yang ditambahkan yaitu dengan konsentrasi sebesar
140 ppm.
Penggunaan TBHQ ditemukan menurunkan kadar asam lemak bebas
sampai <0.062%. TBHQ juga ditemukan mengurangi kekentalan minyak curah.

Universitas Indonesia
13

1.5.3. Aplikasi Antioksidan Alami Tokoferol dan Asam Askorbat pada


Kelapa Gongseng Giling
Kelapa gongseng giling memiliki kadar lemak yang tinggi (± 70 %)
sehingga dapat dengan mudah tengik. Perpaduan antioksidan α-tokoferol dan
asam askorbat diduga dapat memberikan perlindungan yang lebih baik
(sinergisme) terhadap kerusakan lemak pada kelapa gongseng giling.
Cara pengaplikasiannya adalah antioksidan dicampurkan ke minyak
goreng dan dipercikkan ke kelapa sebelum diaduk. Kombinasi α-tokoferol dengan
asam askorbat (0,01%:0,01%) ditemukan menghambat oksidasi lemak dan
ketengikan sampai penyimpanan dua bulan, yang lebih lama jika dibandingkan
dengan penggunaan tokoferol saja atau asam askorbat saja.

Universitas Indonesia
BAB 2
IRADIASI PENGION

2.1. Prinsip Iradiasi Pengion


Iradiasi pengion atau Ionizing irradiation adalah radiasi dengan tingkat
energi yang cukup untuk menyebabkan ionisasi pada atom atau molekul, dengan
rumus sebagai berikut.

→ −¿¿

A hv A +¿+e ¿

Dimana ion-ion yang terbentuk ini tidak stabil, dan dapat dengan cepat
mengalami perubahan yang menghasilkan spesi kimia lain, seperti radikal bebas,
ion lain atau molekul stabil baru. Spesies kimia baru ini, terutama radikal bebas,
bertanggung jawab atas proses biologis yang signifikan secara teknologi, seperti
penghancuran mikroorganisme, parasit, dan serangga.
Dalam praktiknya, hanya dua jenis radiasi pengion yang digunakan dalam
pemrosesan makanan. Yang pertama Berkas elektron seperti sinar beta, sinar
katoda, dan Gelombang elektromagnetik, seperti sinar γ, sinar-X. Radiasi
dicirikan oleh energi partikel atau fotonnya, biasanya dinyatakan dalam satuan
MeV (juta elektron-volt). Dimana 1 MeV sama dengan sekitar 1.6 x 10-13 J.

Gambar 2.1 Proses Peluruhan Zar Radioaktif


(Sumber: kesmas.kemkes.go.id)

14
Universitas Indonesia
15

2.2. Sumber Radiasi


2.2.1. Sumber Isotop
Sumber isotop utama yang digunakan untuk iradiasi makanan adalah Co 60.
Ini adalah isotop radioaktif buatan yang dibuat dengan menggabungkan Co 59
alami yang stabil dengan neutron. Co60 mengalami peluruhan beta menjadi isotop
stabil Ni60, dan memancarkan satu elektron berupa sinar beta dan dua sinar
gamma. Radiasi beta dari Co60 ini cenderung lemah yaitu sekitar 0,3 MeV,
sedangkan sinar gamma, dengan energi 1,17 dan 1,33 MeV, merupakan radiasi
yang berguna dari isotop. Co60 memiliki waktu paruh 5,27 tahun. Kemudian,
sebelum diubah menjadi isotop radioaktif, logam kobalt stabil ini dibentuk
menjadi bentuk yang diperlukan, seperti strip, batang, tabung, pelat, dll. Dalam
fasilitas iradiasi, sumber radioaktif biasanya disimpan di genangan air yang dalam
dan digerakkan oleh remote control ke area iradiasi bila diperlukan. Radioaktivitas
sumber isotop dinyatakan dalam jumlah disintegrasi per detik. Satuan SI-nya,
yang berarti satu disintegrasi per detik, adalah becquerel, dinamai menurut
Antoine Henri Becquerel. Satuan praktisnya adalah curie (Ci), dinamai menurut
Marie Curie, yang setara dengan 3,7 x 1010 becquerel.

Gambar 2.2 Skema Pembentukan Sumber Isotop Co60


(Sumber: hyperphysics.phy-astr.gsu.edu)

2.2.2. Sumber Akselerator Elektron / Sumber Mesin


Sumber mesin atau akselerator elektron. Pada dasarnya, akselerator
elektron adalah perangkat untuk produksi berkas elektron berenergi tinggi. Dalam
mesin ini, elektron dipercepat ke tingkat energi yang diinginkan dengan berbagai
metode. Berkas elektron berenergi tinggi yang dihasilkan dapat digunakan untuk
iradiasi beta, atau diarahkan ke permukaan target untuk produksi radiasi

Universitas Indonesia
16

elektromagnetik (sinar-X) melalui efek Roentgen. Jenis utama sumber mesin yang
digunakan untuk iradiasi pengion skala industri adalah akselerator linier (Linac),
di mana “paket” elektron dipercepat melalui susunan pelat linier yang tegangan
tinggi, bergantian dalam resonansi dengan emisi berkas elektron. Kapasitas
keluaran akselerator ini dinyatakan dalam bentuk tenaga.

Gambar 2.3 Contoh Akselerator Linier (Linac)


(Sumber: britannica.com)

Jika dibandingkan antara kedua sumber ini, maka Sumber isotop lebih
murah dalam biaya modal, pemeliharaan dan pengeluaran energi. Akan tetapi,
isotop tidak dapat dimatikan maka dapat habis bahkan saat tidak digunakan,
sehingga dapat dianggap kurang aman bagi lingkungan. Sedangkan Sumber mesin
dapat dinonaktifkan saat tidak digunakan.

2.3. Interaksi dengan Zat


Efek utama dari radiasi pengion pada materi adalah ionisasi. Energi radiasi
rata-rata yang dibutuhkan untuk ionisasi molekul adalah sekitar 32 eV. Saat
radiasi bergerak melalui materi, energinya dilemahkan sebagai hasil ionisasi.
Profil atenuasi berbeda untuk jenis radiasi yang berbeda. Atenuasi berkas elektron
saat menembus materi digambarkan pada Figure 26.1 pada Gambar 2.4. Dimana
elektron memiliki kedalaman penetrasi terbatas, xmax, yang bergantung pada
energi elektron, E, saat menyentuh permukaan, menurut persamaan seperti pada
gambar berikut.
0.54E-0 .13
x max =
ρ
dimana:
Xmax = kedalaman penetrasi maksimal, cm
E = energi balok di pintu masuk, MeV

Universitas Indonesia
17

ρ = densitas materi, g-1

Gambar 2.4 Grafik Atenuasi Radiasi Elektromagnetik


(Sumber: Berk, 2013)

Di sisi lain, atenuasi radiasi elektromagnetik menunjukkan peluruhan


logaritmik seperti pada Figure 26.2 pada Gambar 2.4. Dimana tidak ada
kedalaman penetrasi maksimum yang terbatas. Saat radiasi melewati materi,
intensitasnya menurun secara asimtotik, mengikuti Hukum Lambert-Beer, seperti
yang dirumuskan dalam persamaan berikut.

I =I 0 e−μx

Di mana I0 dan I adalah intensitas radiasi pada kedalaman x dan


kedalaman 0, dan koefisien pemadaman μx. Koefisien pemadaman ini tergantung
pada material dan energi fotonnya seperti pada Tabel 26.1 pada Buku Zeki Berg
seperti pada Tabel 2.1. Dimana kedalaman material yang diperlukan untuk
menyerap setengah dari energi insiden adalah 0,693 / µ.
Tabel 2.1 Koefisien Pemadaman untuk Setiap Jenis Material
Koefisien Pemadaman (cm-1)
Bahan
1 MeV 4 MeV
Udara 0,00005 0,00004
Air 0,067 0,033
Aluminum 0,16 0,082
Baja 0,44 0,27
Timah 0,77 0,48
(Sumber: Berk, 2013)

Universitas Indonesia
18

2.4. Dosis Radiasi


Dosis radiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap per satuan massa
materi. Satuan SI untuk dosis radiasi adalah Gray (Gy). Satu Gray setara dengan 1
Joule energi radiasi yang diserap per kg materi. Selain itu, terdapat satuan yang
masih digunakan sampai sekarang yaitu rad dimana 1 Gray setara dengan 100 rad.
Alat yang digunakan untuk mengukur dosis radiasi disebut dosimeter. Alat
ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu dosimeter primer dan dosimeter sekunder.
a. Dosimeter primer mengukur dosis radiasi secara langsung yaitu jumlah aktual
energi yang diserap. Misalnya, energi yang diukur pada kalorimetri berupa
panas atau energi yang diukur pada sel ionisasi adalah muatan listrik yang
diinduksi oleh ionisasi.
b. Dosimeter sekunder mengukur dosis radiasi secara tidak langsung dengan
menilai sejauh mana reaksi kimia yang disebabkan oleh iradiasi. Misalnya,
oksidasi Fe++, hilangnya warna metilen biru, penggelapan kaca, film polimer
atau film fotografi, dll.
Dosis radiasi terbagi menjadi:
a. Dosis rendah berada di bawah 1 kGy (10.000 Gy) yang digunakan untuk
menghilangkan serangga/hama dalam biji dan buah dan menghambat
pertumbuhan tunas.
b. Dosis sedang berada di rentang 1-10 kGy. Dosis ini digunakan untuk
menghilangkan patogen pada daging, kerang, rempah-rempah (misal E. coli,
Listeria, Salmonella) dan memperpanjang masa penyimpanan pada buah
stroberi, pepaya, daging, dsb.
c. Dosis tinggi yaitu lebih dari 10 kGy. Dosis ini biasa digunakan untuk
makanan yang membutuhkan sterilisasi dan dapat menginaktivasi enzim.
Contohnya digunakan pada makanan astronot.
Tabel berikut ini menunjukkan dosis yang diperlukan untuk menginduksi
efek tertentu dengan ionizing irradiation.

Universitas Indonesia
19

Tabel 2.2 Dosis yang Diperlukan untuk Memberikan Efek Tertentu


Efek Dosis (Gy)
Radiografi medis Hingga 0,01
Penghambatan kecambah pada kentang 20-200
Pemusnahan hama serangga 50-1.000
Inaktivasi sel vegetatif (pasteurisasi) 1.000-3.000
Inaktivasi spora (sterilisasi) 10.000-30.000
Inaktivasi enzim >100.000
(Sumber: Berk, 2013)

2.5. Efek Biologis dan Kimia


Efek kimia dan biologis dari iradiasi dapat berupa konsekuensi langsung
dari ionisasi tersebut (efek langsung) atau akibat aksi molekul dan radikal bebas
yang terbentuk (efek tidak langsung). Iradiasi dapat menyebabkan berbagai reaksi,
misalnya oksidasi, reduksi, polimerisasi, dll. Kinetika perubahan yang disebabkan
oleh efek langsung tidak bergantung pada komposisi, suhu atau keadaan fisik
media, sementara semua faktor ini mempengaruhi kinetika perubahan yang
disebabkan oleh efek tidak langsung.
Pada efek langsung, iradiasi ionisasi mempengaruhi mikroorganisme,
seperti bakteri, yeast, dan mold, dengan menyebabkan kerusakan (lesion) pada
materi genetik sel, yang secara efektif mencegah terjadinya proses biologis yang
diperlukan untuk kelangsungan keberadaan mikroorganisme tersebut. Pada efek
tidak langsung, iradiasi dapat memberikan efek pada protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, dan enzim. Misalnya, iradiasi dapat memecah karbohidrat dengan berat
molekul tinggi menjadi unit yang lebih kecil yang mengarah ke depolimerisasi.
Iradiasi memulai proses normal autoksidasi lemak yang menimbulkan bau tengik.
Iradiasi dapat menyebabkan kerusakan pada vitamin C, E, dan K tergantung dosis.
Inaktivasi mikroorganisme dengan ionizing irradiation biasanya disajikan
sebagai reaksi orde pertama:
N
log =−kD
N0
dimana D adalah dosis radiasi.
Dosis pengurangan desimal, D10, serupa dengan waktu pengurangan
desimal, didefinisikan sebagai

Universitas Indonesia
20

N −D
log =
N 0 D 10
Tabel berikut ini menunjukkan nilai khas dari dosis pengurangan desimal
berbagai mikroorganisme. Dalam kasus tertentu, media memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap radio-resistensi mikroorganisme.
Tabel 2.3 Dosis Pengurangan Desimal dari Berbagai Mikroorganisme
Mikroorganisme Media D10 (kGy)
Spora Clostridium botulinum Buffer 3,3
Air 2,2
Salmonella typhimurium Buffer 0,2
Kuning Telur 0,8
Eschericia coli Buffer 0,1
Staphylococcus aureus Buffer 0,2
Saccharomyces cereviseae Saline 0,5
Aspergillus niger Saline 0,5
Virus kaki dan mulut Beku 13
(Sumber: Berk, 2013)

2.6. Aplikasi di Industri


Berikut adalah keuntungan pengawetan makanan menggunakan metode
ionizing irradiation.
a. Metode ini sangat efisien untuk inaktivasi mikroorganisme.
b. Metode ini tidak mengakibatkan kerusakan termal pada kualitas makanan.
c. Metode ini matang secara teknologi, dikenal lebih dari setengah abad, dan
didukung oleh berbagai penelitian.
d. Pengawetan makanan dengan metode ini bersifat permanen.
e. Metode ini aman jika dilakukan sesuai peraturan, dan telah diizinkan oleh
beragam organisasi nasional maupun internasional.
f. Energi yang dibutuhkan lebih rendah bila dibandingkan dengan metode
thermal yang biasa dilakukan.
g. Kerugian dalam perjalanan (food losses) dapat dikurangi sehingga lebih
hemat.

Universitas Indonesia
21

Meskipun demikian, aplikasi ionizing irradiation dalam industri pangan


belum banyak dilakukan. Berikut adalah alasannya.
1. Aspek Hukum
Iradiasi pengion menghasilkan spesies kimia yang sebelumnya tidak ada
dalam makanan. Oleh karena itu, secara hukum, iradiasi pengion dianggap
sebagai "aditif" daripada "proses". Demonstrasi keamanan zat aditif
merupakan upaya yang panjang dan mahal.
2. Kesan
Iradiasi biasa dikaitkan dengan radioaktivitas dan bencana nuklir. Padahal,
secara ilmiah, probabilitas menyebabkan radioaktivitas yang diinduksi dalam
makanan hasil iradiasi sesuai standar adalah nol. Sayangnya, konsumen kerap
mendapat informasi yang salah tentang masalah ini.
3. Ekonomi
Secara ekonomi, dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk membeli peralatan
iradiasi dan mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang untuk iradiasi
makanan. Selain itu, diperlukan investasi untuk mendapatkan kepercayaan
konsumen meskipun ada informasi yang salah tanpa bukti ilmiah. Di sisi lain,
terdapat risiko kegagalan karena alasan di luar kendali. Oleh sebab itu, sulit
untuk menarik investasi ke proyek iradiasi pangan.

Aplikasi terpenting iradiasi pengion dalam industri pangan saat ini adalah
sebagai berikut.
a. Desinfeksi rempah dan bumbu kering.
b. Kontrol Salmonella dan E. coli pada daging giling, unggas, dan makanan laut.
c. Pra-sterilisasi bahan kemasan untuk proses aseptik.
d. Pra-perlakuan bahan mentah dari hewan untuk produksi makanan hewan.
e. Desinfeksi permukaan buah dan sayuran segar.

Universitas Indonesia
BAB 3
PENGAWETAN NON-THERMAL

3.1. High Hydrostatic Pressure (HHP) Preservation


Teknik High Hydrostatic Pressure / tekanan hidrostatik tinggi adalah
teknik pengawetan non-termal yang menggunakan tekanan hidrostatik yang
tinggi. Teknik ini berdasarkan pada inaktivasi mikroorganisme karena kehancuran
struktur dan perubaha biokimia yang disebabkan tekanan tinggi. Berdasarkan
Erkmen & Dogan (2004), penambahan tekanan terbukti dapat mempersingkat
decimal reduction time

Gambar 3.1 Ilustrasi HHP


(Sumber : Rahman, et al., 2007)

Alat High Hydrostatic Pressure terdiri dari chamber bertekanan tinggi dan
pompa bertekanan tinggi. Makanan atau minuman yang telah dikemas dalam
kemasan, dimasukan ke dalam keranjang, kemudian dimasukkan ke dalam
chamber.Medium pentransmisi tekanan adalah air yang dipompa hingga memiliki
tekanan operasi pada tekanan yang berkisar antara 300-1000 Mpa. Tekanan dari
air menyebabkan tekanan isostatik pada makanan. Proses kurang lebih
berlangsung selama 1-6 menit.

22
Universitas Indonesia
23

Gambar 3.2 Alat HHP di Industri


(Sumber : Berk, 2013)

Gambar 3.3 Ilustrasi Proses High Hydrostatic Pressure


(Sumber : foodmanufacturing.com)

Adapun beberapa kelebihan dari teknik ini adalah dapat mempertahankan


rasa, aroma, dan nutrisi makanan untuk waktu yang lebih lama, hal ini disebabkan
teknik ini tidak menggunakan suhu yang tinggi sehingga tidak menyebabkan
degradasi pada material. Dengan menggunakan teknik ini, dapat mengurangi atau
menghilangkan penggunaan pengawet kimia dan bahan-bahan kimia lainnya.
Teknik ini dapat memperpanjang shelf life / waktu simpan. Lalu, karena produk
dikemas terlebih dahulu sebelum diawetkan, potensi rekontaminasi dapat
dihindari.

Universitas Indonesia
24

3.2. Pulsed Electric Fields (PEF)


PEF merupakan metode pengawetan makanan non-thermal yang
menggunakan denyutan listrikpendek untuk inaktivasi mikroba dengan
meminimalkan efek merugikan terhadap kualitas makanan. Teknologi ini
menggunakan denyut listrik dengan medan listrik yang lebih tinggi dalam waktu
mikro-mili sekon dengan intensitas 10-80 kV/cm. Tegangan tinggi ini
menyebabkan inaktivasi dari mikroorganisme dengan cara elektroporasi pori-pori
pada membran sel. Pori-pori yang lebih terbuka akan menyebabkan molekul air
dan molekul-molekul lainnya memasuki sel dari mikroorganisme tersebut.
Tekanan yang diciptakan di dalam sel akan menyebabkan sel menjadi lisis.
Ilustrasi elektroporasi dapat dilihat pada gambar di bawah. Dapat dilihat pada
gambar 3.5 bahwa konsentrasi beberapa jenis mikroba semakin berkurang ketika
intensitas elektrik ditambahkan.

Gambar 3.4 Mekanisme Elektroporasi


(Sumber : Rahman, et al., 2007)

Gambar 3.5 Konsentrasi Mikroba terhadap Medan Elektrik


(Sumber : newfoodmagazine.com)

Intesitas dari medan listrik didefinisikan sama dengan voltase per unit jarak
V
E= ¿)
z

Universitas Indonesia
25

Durasi dari 1 denyutan, τ, dapat dihitung dengan rumus berikut


τ =CR
Dimana C merupakan kapasitansi dan R merupakan resistansi dari sirkuit.

Jumlah denyut,n, yang dialami oleh sel selama waktu t dapat dihitung dengan
rumus berikut
n=t /τ

Gambar 3.6 Contoh Alat Pulse Electric Field


(Sumber : slideshare.com)

Pada gambar 3.6 di atas dapat dilihat contoh peralatan PEF yang terlebih
dari tangki penyimpanan bahan mentah, chamber perlakuan, sistem pendinginan
atau penghangatan, serta tangki untuk menyimpan produk. Sistem ini memerlukan
sistem pengubah suhu karena proses denyutan listrik dapat menimbulkan kalor,
namun karena proses berlangsung sangat singkat maka kalor yang dihasilkan tidak
sebanyak yang dihasilkan pada proses preservasi termal pada umumnya. Hal ini
menyebabkan teknik ini dapat menjaga kualitas dan nutrisi dari makanan atau
minuman yang dipreservasi.
Teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti temperatur yang jauh
lebih rendah dibandingkan pasteurisasi dengan suhu tinggi, hal ini akan menjaga
nutrisi dan kualitas dari bahan yang dipreservasi. Lalu, teknik ini akan
meningkatkan permeabilitas pada sel makanan, sehingga memudahkan dalam

Universitas Indonesia
26

proses ekstraksi (contohnya pada buah). Kebutuhan energi dari proses ini
tergolong rendah yakni sekitar1-150 J/kg.

3.3. Pulsed Intense Light


Paparan terhadap kedipan singkat dari cahaya yang intensitasnya tinggi
dapat menyebabkan kematian pada mikroorganisme. Sel mikroorganisme yang
diberi perlakukan cahaya berintensitas tinggi akan memperlihatkan kehancuran
struktur dinding sel, pengerutan sitoplasma, dan pemecahan organisasi internal
yang menyebabkan kebocoran sitoplasmik yang akan menyebabkan kematian sel.

Gambar 3.7 Gambar sel L.monocytogenes a.) tidak diberi perlakuan, b.) 150 pulse (30s), c.) 900
pulse (180 s), d.) 1000 detik pencahayaan UV-C pada 254 nm
(Sumber : Bhavya & Hebbar, 2017)

Universitas Indonesia
27

Pada umumnya cahaya yang digunakan adalah cahaya putih bersprektrum


luas (termasuk panjang gelombang 200–1100 nm, yang meliputi panjang
gelombang UV: 200–400 nm, panjang gelombang cahaya tampak/visible (VIS):
400–700 nm, and infrared (IR): 700–1100). Ukuran intensitas diukur dalam J/cm2
dan durasi kedipan cahaya diukur dalam milisekon. Untuk dapat menghasilkan
pulsed illumination, pulses bertegangan tinggi dimasukkan ke dalam lampu gas
inert (Contoh : Xenon). Pada umumnya digunakan terbatas pada disinfeksi
permukaan dan makanan yang tipis karena tingkat transparansi makanan yang
pada umumnya rendah.

Gambar 3.8 Ilustrasi Alat Pulse Intense Light


(Sumber : Guo, 2013)

Gambar 3.8 di atas ini merupakan ilustrasi alat pulse intense light yang
digunakan pada industri. Makanan yang akan dipreservasi diletakkan pada
konveyor, kemudian dengan panel kontrol, intensitas cahaya dan waktu
pencahayaan dapat diatur, generator denyut cahaya akan menghasilkan cahaya
yang akan menginaktivasi mikroorganisme. Adapun beberapa kelebihan dari
teknologi ini adalah operasi yang relatif rendah, waktu disinfeksi yang lebih
singkat, mampu membantu meningkatkan shelf life dari produk, tidak
menggunakan bahan kimia, dan tidak menghasilkan residu

3.4. Aplikasi di Industri


3.4.1. Aplikasi High Hydrostatic Pressure di Industri
Beberapa contoh penggunaan teknik ini di industri adalah untuk
pengawetan selai, yoghurt, daging, jus, dll. Jus yang diawetkan dengan teknik ini

Universitas Indonesia
28

memiliki waktu simpan/ shelf life 0-45 hari, lebih lama dibandingkan dengan
proses biasa.
Tabel 3.1 Contoh Aplikasi Penggunaan HHP di Industri

(Sumber : Rahman, et al., 2007)

Gambar 3.9 Jus Cold Press


(Sumber : beveragedaily.com)

3.4.2. Aplikasi Pulsed Electric Field di Industri


Contoh aplikasi dari pulse electric field pada industri adalah pasteurisasi
jus, inaktivasi bakteri dalam susu dan produk berbahan susu lainnya, inaktivasi
mikroorganisme dalam pembuatan sup kacang polong, serta preservasi liquid
eggs

Universitas Indonesia
29

Gambar 3.10 Liquid Egg


(Sumber : prozis.com)

3.4.3. Aplikasi Pulsed Intense Light di Industri


Contoh penggunaan pulse intense light pada industri adalah dekontaminasi
permukaan telur, pemanjangan shelf life dan inaktivasi bakteri Listeria
monocytogenes pada produk daging siap makan (Ready to eat), dekontaminasi
bubuk makanan, dekontaminasi material kemasan, serta inaktivasi bakteri dalam
susu dan jus buah.

Universitas Indonesia
BAB 4
KESIMPULAN

1. Pengawetan kimia adalah tindakan mencegah atau memperlambat pembusukan


dengan mengubah komposisi kimiawi makanan dengan penambahan zat kimia
atau dengan proses biokimia.
2. Dalam proses pengawetan makanan dengan penambahan zat kimia, terdapat
beberapa agen antimikroba yang dapat digunakan seperti garam, pengasapan,
karbon dioksida, sulfur dioksida, sulfit, bahan kimia pH rendah, etanol, nitrat,
nitrit, asam benzoat, asam sorbat, asam propionat, bakteriosin, rempah-rempah,
dan minyak essensial.
3. Antioksidan digunakan untuk mencegah penurunan kualitas makanan melalui
reaksi oksidasi. Terdapat tiga tipe antioksidan: primer, sekunder, dan
sinergistik. Oksidasi makanan dapat menyebabkan degradasi kualitas seperti
ketengikan, perubahan rasa, warna, dan aroma.
4. Iradiasi pengion atau ionizing irradiation adalah radiasi dengan tingkat energi
yang cukup untuk menyebabkan ionisasi pada atom atau molekul, dimana
dalam praktiknya biasanya hanya 2 jenis radiasi yang digunakan dalam
pemrosesan makanan, yaitu berkas elektron seperti sinar beta dan gelombang
elektromagnetik seperti sinar gamma.
5. Dosis radiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap per satuan massa
materi. Dosis radiasi terbagi menjadi tiga level, yaitu rendah (<1 kGy), sedang
(1-10 kGy), dan tinggi (>10 kGy). Iradiasi dapat berefek secara langsung
(terhadap mikroorganisme) ataupun tidak langsung (misal kerusakan vitamin,
protein) terhadap pangan.
6. Secara umum, metode non-thermal memiliki kelebihan yakni nutrisi dan rasa
yang terjaga, dan meminimalkan penggunaan bahan kimia.

30
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Abida, J., Rayees, B. and Marsoodi, F., 2014. Pulsed light technology: a novel
method for food preservation. International Food Research Journal, 21(3),
pp.839-848.
Abbas Syed, Q., 2017. Pulsed Electric Field Technology in Food Preservation: A
Review. Journal of Nutritional Health & Food Engineering, 6(6).
Ahmad, S., Branen, A.L., 1981. Inhibition of mold growth by butylated
hydroxyanisole. J. Food Sci. 46 (4), 1059 1063.
Alam, S., Shah,H.U.,Magan,N., 2010. Effect of calcium propionate andwater
activiy on growth and aflatoxin production by Aspergillus flavus. J. Food
Sci. 75 (2),M61 M64.
Bae,Y.Y.,Kim,N.H.,Kim,K.H.,Kim,B.C.,Rhee,M.S.,2011a.Supercritical carbon
dioxide as apotential intervention in ground pork decontamination.
J.FoodSaf.31 (1),48 53.
Bargiota, E., Rico-Mun˜oz, E., Davidson, P.M., 1987. Lethal effect of methyl and
propyl parabens as related to Staphylococcus aureus lipid composition.
Intl J. FoodMicrobiol. 4 (3), 257 266.
Berk, Zeki. 2013. Food Process Engineering and Technology. Second Edition.
AS: Academic Press.
Bhavya, M. and Umesh Hebbar, H., 2017. Pulsed light processing of foods for
microbial safety. Food Quality and Safety, 1(3), pp.187-202.
Delves-Broughton, J.1990. Nisin and its uses as a food preservative. Food
Technol. 100-112.
Erkmen, O. and Doǧan, C., 2004. Kinetic analysis of Escherichia coli inactivation
by high hydrostatic pressure in broth and foods. Food Microbiology,
21(2), pp.181-185.
hydrofreshhpp.com. 2020. Benefits Of HPP | High Pressure Processing | Clean
Label & Safer Food. [online] Available at:
<https://hydrofreshhpp.com/what-is-hpp/benefits-of-hpp/> [Accessed 14
November 2020].

31
Universitas Indonesia
32

Koutchma, T., 2014. Adapting High Hydrostatic Pressure (HPP) For Food


Processing Operations. Burlington: Elsevier Science.
Pulsemaster. 2020. What Are The Benefits Of PEF Processing?. [online]
Available at: <https://www.pulsemaster.us/pef-pulsemaster/why-
pef#:~:text=Pulsed%20electric%20field%20processing%20or,valuable
%20intracellular%20compounds%20from%20cells.> [Accessed 14
November 2020].
Rahman, S., 2007. Handbook Of Food Preservation, 2nd ed. Boca Raton: CRC
Press.
Siemer, C. and Toepfl, S., 2020. The Benefits Of Pulse Electric Fields. [online]
New Food Magazine. Available at:
<https://www.newfoodmagazine.com/article/109295/the-benefits-of-pulse-
electric-fields/> [Accessed 14 November 2020].

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai