Anda di halaman 1dari 12

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembentukan Spora


Spora bakteri umumnya disebut endospora, karena spora dibentuk di dalam sel.
Ada dua tipe sel spora yang terbentuk, yang pertama terbentuk di dalam sel, yang
disebut dengan endospora dan spora yang terbentuk di luar sel yang disebut
eksospora. Spora bakteri tidak berfungsi untuk perkembangbiakan. Bentuk spora
bermacam-macam, bulat atau bulat memanjang, bergantung pada spesiesnya.
Ukuran endospora lebih kecil atau lebih besar daripada diameter sel induknya.
Kebanyakan bakteri pembentuk spora adalah penghuni tanah, tetapi spora bakteri
dapat tersebar dimana saja (Waluyo, 2007).
Letak endospora di dalam sel serta ukurannya tidak sama bagi semua
spesies. Beberapa spora letaknya sentral yaitu dibentuk di tengah-tengah sel,
terminal, yaitu dibentuk di ujung, subterminal yaitu dibentuk di dekat ujung.
Adanya letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat di dalam pencirian dan
identifikasi bakteri (Pelczar & Chan, 2008). Terdapat enam marga bakteri
penghasil endospora yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium,
Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermoactinomycetes. Sebelum digolongkan
menjadi enam marga, bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu termasuk Marga Bacillus jika merupakan gram positif, dan termasuk marga
Clostridium jika merupakan gram negatif (Hatmanti, 2000).
Struktur spora dari dalam ke luar secara berurutan yaitu inti protoplasma
yang mengandung komponen penting seluler seperti DNA, RNA, enzim, asam
dipikolinik, kation divalen dan sedikit air. Sebuah membran dalam yang
merupakan cikal bakal sitoplasma membran sel, dinding sel germinal yang
mengelilingi membran dan merupakan cikal bakal dari dinding sel untuk
memunculkan sel vegetatif. Setelah itu, korteks mengelilingi dinding sel yang
mengandung peptida dan glikan. Sebuah membran luar paraspora dan mantel
spora. Di bagian luar korteks dan membran mengandung lapisan protein yang

Universitas Sumatera Utara


5

menyediakan ketahanan untuk spora. Selama germinasi dan pertumbuhan, korteks


dihidrolisis dan membran luar paraspora dan mantel spora dihilangkan diikuti
dengan munculnya sel (Ray, 2004).
Dinding spora bersifat impermeabel, tetapi zat-zat warna dapat diserap
kedalamnya dengan jalan memanaskan preparat. Sifat impermeabel ini mencegah
dekolorisasi spora oleh alkohol bila diperlakukan dalam waktu yang sama seperti
pada dekolorisasi sel-sel vegetatif (Irianto, 2006). Lapisan luar spora merupakan
penahan yang baik terhadap bahan kimia, sehingga spora sukar untuk diwarnai.
Spora bakteri dapat diwarnai dengan dipanaskan. Pemanasan menyebabkan
lapisan luar spora mengembang, sehingga zat warna dapat masuk (Lay, 1994).
Spora bakteri sangat sulit diwarnai dengan pewarna biasa, oleh karena itu harus
diwarnai dengan pewarna spesifik (Fardiaz, 1992). Bahan yang digunakan untuk
pewarnaan spora dapat memakai larutan malachite green dan larutan safranin
(Waluyo, 2010).
Setiap sel bakteri hanya dapat membentuk satu spora. Struktur endospora
bervariasi untuk setiap jenis maupun spesies, tetapi struktur umumnya hampir
sama. Jika endospora ditempatkan di dalam suatu medium yang baik, akan terjadi
germinasi, spora akan mengambil air dari sekelilingnya, membengkak dan
berkecambah. Lapisan luar spora pecah dan spora akan tumbuh menjadi sel
vegetatif (Fardiaz, 1992).
Menurut Ray (2004), proses sporulasi dapat dibagi ke dalam 7 tahap.
Pertama tahap penghentian replikasi DNA, diikuti dengan penjajaran kromosom
di dalam filamen aksial dan pembentukan mesosom. Invaginasi membran sel dan
pembentukan septum. Pembentukan prespora atau paraspora pun terjadi.
Pembentukan dinding sel germinal dan korteks, akumulasi ion Ca 2+ dan sintesis
DPN. Deposisi mantel spora, pematangan spora, dehidrasi protoplas dan resistensi
untuk panas. Tahap akhir terjadi lisis enzimatis pada dinding sel dan pembebasan
spora. Siklus sporulasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.1.
Spora mengalami perubahan fisikokimia. Protein dengan berat molekul
yang kecil dibentuk dalam jumlah yang besar untuk melapisi DNA dan
memberikan perlindungan terhadap jenis kerusakan DNA. Protein diuraikan
selama perkecambahan untuk menyediakan sumber asam amino. Asam

Universitas Sumatera Utara


6

dipikolinik disintesis di dalam sel vegetatif untuk diberikan kepada prespora


bersama dengan kation divalen (Ca2+), hal ini menyebabkan dehidrasi dan
mineralisasi spora (Todd et al., 2003).

Gambar 2.1.1 Siklus sporulasi. (1–4) Multiplikasi sel, (5) Pembentukan


filamen aksial, (6) Pembentukan septat, (7) Pembentukan
prespora, (8) Pembentukan korteks, (9) Pembentukan mantel,
(10) Spora bebas, (11) Germinasi diikuti dengan aktivasi, (12)
Pembengkakan spora, (13) Pertumbuhan sel (Ray, 2004)

Sel bakteri memiliki kemampuan dalam memonitor sejumlah sinyal


internal dan eksternal. Informasi disalurkan melalui sistem pengaturan yang
terpisah. Komponen regulator transkripsi ini disebut dengan Spo0A. Spo0A
dibentuk untuk mengontrol proses transkripsi dan aktivitas protein melalui proses
fosforilasi. Fosforilasi Spo0A merupakan regulator sporulasi yang sangat penting
dan bekerja mengaktifkan transkripsi pada beberapa proses sporulasi. Gen spesifik
yang digunakan dalam proses sporulasi antara lain spoIIA, spoIIE dan spoIIG
(Errington, 2003). Spo0A merupakan faktor penting pada proses sporulasi selama
perkembangan sel vegetatif (Fujita & Losick, 2003). Fawcett et al. (2000) telah
meneliti ratusan gen pada Bacillus subtilis, lebih dari 10% gen Bacillus subtilis
dikontrol oleh Spo0A.
Kontrol inisiasi dalam pembentukan spora secara substansial berbeda pada
organisme yang berbeda. Hal ini mencerminkan adaptasi terhadap berbagai
lingkungan. Beberapa dari bakteri yang telah diketahui secara luas, misalnya
Epulopiscium yang merupakan bakteri pembentuk endospora. Epulopiscium

Universitas Sumatera Utara


7

berbeda dengan bakteri pembentuk spora lainnya karena menghasilkan beberapa


spora (Angert & Losick, 1998). Bahkan ada organisme yang berbentuk bulat,
misalnya Sporosarcina yang sulit untuk membentuk sel yang asimetri saat
memulai sporulasi, tetapi masih dapat membentuk endospora dengan
menggunakan regulator yang umum digunakan (Chary et al., 2000).
Sporulasi menghasilkan dua sekat pada sel dengan ukuran yang berbeda,
bagian prespora berukuran lebih kecil dan sel vegetatif dengan ukuran yang lebih
besar dengan pemisahan bahan kromosom di dalam setiap kompartemen.
Pembentukan septum yang asimetris ini merupakan suatu tahap perkembangan
yang diatur oleh beberapa ekspresi gen. Ekspresi gen ini mempunyai program
yang berbeda di antara dua sel tersebut. Dua faktor sigma σF dan σE merupakan
alat yang mengatur program sel spesifik untuk mengekspresikan gen. Dua faktor
sigma tersebut dibentuk sebelum septum dibentuk (Errington, 2003). Selama
sporulasi, pembelahan sel diarahkan pada masing-masing kutub sel kemudian
terjadi modifikasi septum, sehingga septum mengandung material dinding sel
(Yehuda & Losick, 2002).
Setelah aktivasi σF pada sekat prespora, σE menjadi aktif di dalam sel
vegetatif. Faktor σE disintesis sebagai preprotein inaktif yang diaktifkan oleh
proses proteolitik oleh SpoIIGA yang memiliki aktivitas protein serin (Labell et
al., 1987). SpoIIGA membutuhkan protein spesifik prespora yang disebut dengan
SpoIIR. Pengontrolan SpoIIR diatur oleh aktivitas σF (Karow & Piggot, 1995;
Vallejo & Stragier, 1995).
Pembelahan sel yang asimetrik membentuk morfologi yang unik pada sel.
Terbentuk prespora di bagian tepi, material dinding sel di bagian septum
mengalami degradasi dimulai dari pusat dimana septum mengalami penutupan.
Sepasang membran septum bermigrasi ke sekitar sitosol prespora, membran
berpindah dan bertemu di ujung sel tempat terjadi fusi atau penggabungan.
Kemudian dihasilkan prespora yang mempunyai protoplasma bebas yang dekat
dengan sitoplasma sel vegetatif (Margolis et al., 1993). Korteks spora yang
merupakan modifikasi dinding sel disintesis diluar membran protoplas spora.
Mantel spora dibentuk dan berisi berlapis-lapis protein yang letaknya berada
diluar korteks (Todd et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara


8

2.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pembentukan dan Ketahanan


Spora
Menurut Sembiring & Fachmiasari (2004) selain media, kondisi fisik
untuk pertumbuhan seperti temperatur, pH, dan ketersediaan oksigen memegang
peranan penting dalam pertumbuhan dan sporulasi. Temperatur pertumbuhan
Bacillus thuringiensis berkisar antara 15° C-45° C dengan temperatur optimum
antara 26° C-30° C, tidak terlalu sensitif terhadap pH dan dapat tumbuh pada pH
5,5-8,5 dengan pH optimum 6,5-7,5. Ketersediaan oksigen yang cukup selama
proses pertumbuhan memegang peranan penting dalam pertumbuhan Bacillus
thuringiensis dan dalam produksi spora hidup. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi pembentukan dan ketahanan spora bakteri dijelaskan sebagai
berikut.

2.2.1 Temperatur
Temperatur juga mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba. Keragaman
temperatur dapat mengubah proses-proses metabolisme tertentu serta morfologi
sel, karena semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan karena
laju reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh temperatur, maka pola pertumbuhan bakteri
sangat dipengaruhi oleh temperatur (Noviana & Raharjo, 2009).
Beberapa bakteri termofilik pembentuk spora mampu tumbuh pada
temperatur tinggi 55º C, antara lain bakteri anaerobik termofilik hidrogen yang
menghasilkan sulfida (Desulfotomaculum), bakteri yang menghasilkan hidrogen
dan karbon dioksida (Thermoanaerobacterium), Bacillus dan Geobacillus spp.
(Doyle, 2007). Bacillus cereus dapat tumbuh pada temperatur optimum 30-40° C
(ESR, 2010). Batas pertumbuhannya antara 4-55° C dan temperatur minimum
pertumbuhannya pada temperatur 10° C (Schulz et al., 2004).
Clostridium memiliki temperatur optimum untuk pertumbuhannya antara
temperatur 10-65° C. Sporohalobacter tumbuh optimum pada temperatur 35-45°
C. Sulfidobacillus mengalami pertumbuhan optimum pada temperatur 50° C.
Sporolactobacillus tumbuh optimum pada temperatur 35° C. Sporosarcina
tumbuh optimum pada temperatur 15-37° C. Syntrophospora menghasilkan spora
dan tumbuh optimum pada temperatur 30° C (Holt et al., 1994).

Universitas Sumatera Utara


9

Bakteri pembentuk spora merupakan species yang dapat bertahan hidup


setelah dipanaskan dengan uap 100° C bahkan lebih (Melliawati, 2009). Spora
tahan terhadap temperatur yang mematikan sel vegetatif, spora Clostridium
botulinum tahan terhadap temperatur mendidih selama beberapa jam (Waluyo,
2007). Spora dari famili Bacillaceae tahan terhadap panas. Resistensi spora
terhadap panas sebagian disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya (Irianto,
2006). Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap panas, hal ini karena
dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air,
sehingga keadaan ini menyebabkan spora tidak mudah mengalami perubahan
temperatur. Kadar air yang rendah dan pembungkus spora yang tebal merupakan
faktor pendukung ketahanan spora terhadap panas. Spora mungkin masih dapat
bertahan pada temperatur air mendidih selama 20 jam (Waluyo, 2007).
Menurut Naufalin (1999) mekanisme ketahanan panas dari berbagai hasil
penelitian menyatakan bahwa senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun
korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, sangat berperan
dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol
kandungan air di dalam protoplas, yaitu mempertahankan kadar air yang rendah.
Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut
berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan
beberapa kation multivalen.
Spora Bacillus cereus tahan terhadap panas sampai temperatur 100° C
yang menandakan ketahanan sporanya terhadap kondisi ekstrim. Sel vegetatif
Bacillus cereus dapat diinaktivasi melalui pemanasan (ESR, 2010). Spora Bacillus
cereus dibentuk pada siklus pertumbuhan selama 8 jam setelah mengalami
perlakuan panas pada suhu 70-90° C selama 24 jam (Young & James, 1959).
Bacillus stearothermophilus dapat membentuk spora dan tumbuh optimum pada
suhu 65° C (Zeigler, 2001).

2.2.2 Derajat Keasaman (pH)


Pembentukan spora selama fermentasi merupakan hal yang sangat penting pada
bakteri Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Semakin banyak spora yang
dibentuk maka diharapkan semakin tinggi pula jumlah kristal protein yang

Universitas Sumatera Utara


10

terbentuk sebagai bahan aktif bioinsektisida. Faktor lingkungan yang berpengaruh


terhadap pertumbuhan dan produksi kristal protein pada Bacillus thuringiensis
subsp. israelensis, salah satunya adalah pH. Pada interval nilai pH 5,5-8,0
menunjukkan bahwa semakin tinggi pH awal medium yang digunakan
menyebabkan semakin tinggi potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. Hal
ini diduga proses sintesa kristal protein dan sporulasi berjalan optimal. Keadaan
ini disebabkan oleh lingkungan pH yang tidak terlalu rendah sehingga
pembentukan kompleks spora dan kristal protein dapat berjalan dengan baik
(Ahdianto, 2006).
Derajat keasaman (pH) optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri
berlangsung antara pH 6,5 dan 7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam
keadaan sangat masam atau sangat alkalin. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH
minimal dan maksimal ialah antara 4 dan 9 (Noviana & Raharjo, 2009). Pada pH
< 5,0 dan > 8,0 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik, kecuali bakteri asam
asetat yang mampu tumbuh pada pH rendah dan bakteri Vibrio sp. yang dapat
tumbuh pada pH tinggi (Zulaikhah, 2005).
Bacillus cereus memiliki pH optimum pertumbuhan yaitu pada pH 6-7 dan
mempunyai batas pertumbuhan antara pH 4,5-9,5. Dari segi ketersediaan oksigen
Bacillus cereus termasuk organisme anaerob fakultatif. Spora Bacillus cereus
juga tahan pada kondisi asam antara pH 1,0-5,2. Sel vegetatif Bacillus cereus
dapat diinaktivasi pada pH 3,7 sampai 5,6 (ESR, 2010). Bacillus laevolacticus
DSM 6475 dan strain Sporolactobacillus, kecuali Sporolactobacillus racemicus
IAM 12395 tahan terhadap pH 3,0. Bacillus racemilacticus dan Bacillus
coagulans toleran terhadap konsentrasi empedu lebih dari 0,3 % (Hyronimus et
al., 2000).
Beberapa bakteri pembentuk spora mampu bertahan pada pH yang ekstrim
antara lain, Sulfidobacillus menghasilkan spora yang tumbuh optimum pada pH
1,9-2,4. Amphibacillus dapat tumbuh dengan baik dan dapat membentuk spora
pada kondisi aerob dan anaerob fakultatif di dalam media glukosa yeast pepton
pada pH 10,0. Thermococcus mampu bertahan hidup pada pH 4,0-8,0 (Holt et al.,
1994). Amphibacillus jilinensis yang telah diisolasi dari sedimen danau soda di
Cina dapat tumbuh pada pH 7,5-10,5 dan optimum pada pH 9,0 tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


11

tumbuh pada pH 7,0 atau 11,0 (Wu et al., 2010). Bacillus thermantarcticus M1
mampu bertahan pada pH 5,5-9,0 (Zeigler, 2001).

2.2.3 Kekeringan
Kandungan air dalam lingkungan mikroorganisme juga mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Dalam lingkungan isotonik, konsentrasi cairan
lingkungan setara dengan sel mikroorganisme. Dalam lingkungan ini, cairan
dalam sel tidak mengalir keluar, demikian pula cairan dari lingkungan tidak
masuk ke dalam sel. Dalam lingkungan hipotonik, konsentrasi cairan lebih rendah
dibandingkan di dalam sel mikroorganisme yang menyebabkan cairan dari
lingkungan mengalir masuk ke dalam sel mikoorganisme, sehingga sel
membengkak dan dapat menjadi pecah. Bila kandungan air di sekitar
lingkungannya tidak cukup, maka cairan dalam sel mikroorganisme mengalir
keluar sehingga sel akan menciut dan menyebabkan plasmolisis. Sewaktu
plasmolisis, metabolisme terhenti karena bahan yang terdapat di dalam sel sangat
pekat dan menghambat aktivitas enzim. Kekeringan akan menginduksi
pembentukan spora bakteri (Lay, 1994). Spora merupakan sel yang dorman yang
sengaja dipersiapkan guna menahan pengeringan untuk waktu yang lama (Irianto,
2006).
Menurut Waluyo (2007) kekeringan tidak menyebabkan kematian pada
spora. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Natalia et al. (2009)
diketahui bahwa daya hidup bakteri dipengaruhi oleh kadar air dan nutrisi
substrat. Kadar air spora mempengaruhi komponen-komponen yang ada di
dalamnya, misalnya protein dan komponen genetik yang sensitif terhadap panas.
Menurut Naufalin (1999), kadar air spora yang rendah bertujuan untuk membatasi
mobilitas komponen-komponen tersebut. Sebaliknya bila kadar air spora tinggi,
mengakibatkan peningkatan kapasitas mengikat air oleh protein dengan
terbentuknya gugus sulfidril.
Spora memiliki kandungan air yang rendah, yaitu kurang dari 10% dari
beratnya, berbeda dengan sel vegetatif mengandung air 70% dari berat
keseluruhan. Hal ini disebabkan karena selama germinasi, kandungan air
protoplas spora bertambah. Kerusakan tidak langsung yang berasal dari

Universitas Sumatera Utara


12

intraselular air menjadi sangat kecil pada bakteri pembentuk spora (Darwis,
2006). Pertumbuhan Bacillus cereus dapat dihambat dengan kandungan air
dibawah 0,91% (ESR, 2010). Spora Bacillus cereus mampu bertahan lama pada
kondisi kering selama 48 minggu (Jaquette & Beuchat, 1998).
Pengeringan sel mikroba serta lingkungannya akan mengurangi aktivitas
metabolik. Pada umumnya, lamanya mikroorganisme bertahan hidup setelah
pengeringan bervariasi tergantung dari jenis mikroorganisme, bahan pembawa
yang dipakai untuk mengeringkan mikroorganisme, kondisi fisik (cahaya, suhu,
kelembaban) pada organisme yang dikeringkan. Spesies kokus gram negatif
seperti Neisseria gonorrhoeae dan Neisseria meningitis sangat peka terhadap
kekeringan, sehingga akan mati dalam waktu beberapa jam. Streptococcus jauh
lebih resisten, beberapa species dapat bertahan berminggu-minggu setelah
dikeringkan. Bacillus tuberculosis dapat bertahan dalam kekeringan selama
jangka waktu yang lebih lama. Pada proses liofilisasi, mikroorganisme diberi
perlakuan dehidrasi yang ekstrim dalam keadaan beku dan kemudian ditutup rapat
dalam vakum. Liofilisasi lebih merupakan proses pengawetan daripada
pembasmian mikroorganisme. Biakan mikroorganisme yang diliofilisasi akan
tetap hidup selama bertahun-tahun (Pelczar & Chan, 2005).

2.2.4 Radiasi
Spora bakteri kurang peka terhadap radiasi atau mempunyai ketahanan yang lebih
tinggi terhadap radiasi dibandingkan dengan bakteri yang tidak membentuk spora.
Hal ini disebabkan karena struktur spesifik dari spora. Jika spora bakteri sudah
dapat diinaktifkan dengan radiasi, maka dianggap bakteri kontaminan lain yang
tidak membentuk spora sudah dapat juga dihilangkan dengan proses radiasi yang
sama. Daya hidup mikroorganisme setelah radiasi tergantung pada laju radiasi dari
dosis yang diabsorbsi sewaktu melakukan radiasi. Clostridium sporogenens
memiliki kemiripan katahanan terhadap radiasi dengan bakteri Clostridium
botulinum yang bersifat sangat toksigenik dalam hal ketahanan terhadap radiasi.
Tetapi radiasi dengan dosis 45 kGy dalam kondisi cryogenic (-79° C) dapat
menghilangkan spora bakteri Clostridium sporogenens dan bakteri kontaminan

Universitas Sumatera Utara


13

lainnya seperti Staphylococcus spp., Bacillus sp. dan koliform. Cobalt-60


digunakan sebagai sumber radiasi ionisasi (Natalia et al., 2009).
Secara umum sumber sinar ultraviolet dapat diperoleh secara alamiah dan
buatan. Sinar matahari merupakan sumber utama ultraviolet di alam. Sumber
ultraviolet buatan umumnya berasal dari lampu fluorescent khusus, seperti lampu
merkuri tekanan rendah (low pressure) dan lampu merkuri tekanan sedang
(medium pressure). Lampu merkuri medium pressure mampu menghasilkan
radiasi ultraviolet yang lebih besar daripada lampu merkuri low pressure. Namun
lampu merkuri low pressure lebih efisien dalam pemakaian listrik dibandingkan
lampu merkuri medium pressure. Lampu merkuri low pressure menghasilkan
radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7 nm yang letal bagi
mikroorganisme, protozoa, virus dan alga, sedangkan radiasi lampu merkuri
medium pressure diemisikan pada panjang gelombang 180-1370 nm. Radiasi
ultraviolet yang diabsorbsi oleh protein pada membran sel akan menyebabkan
kerusakan membran sel dan kematian sel (Cahyonugroho, 2010).
Bakteri gram negatif adalah yang paling peka terhadap radiasi (Yulianita,
2007). Untuk bakteri pembentuk spora, adanya kandungan air yang rendah dari
spora menyebabkan resistensi spora terhadap radiasi. Selama germinasi,
kandungan air protoplas spora bertambah dan karena itu resistensi radiasinya
sangat berkurang (Darwis, 2006). Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang
265 nm memiliki efisien bakterisidal tertinggi. Sinar X bersifat letal bagi
mikroorganisme. Bakteri Escherichia coli dapat letal dengan penyinaran sinar X
dengan dosis 5000 rad sedangkan Bacillus mesentericus dapat letal dengan dosis
penyinaran sinar X sebesar 130.000 rad. Sinar X memiliki energi dan daya tembus
yang tinggi (Pelczar & Chan, 2005).

2.3 Bakteri Pembentuk Spora dan Bacillus sp.


Kelompok bakteri pembentuk spora biasanya berbentuk bulat atau batang dan
sebagian mempunyai filamen, berdiameter 0,3-2 µm (kecuali Oscillospira). Dari
hasil pewarnaan sebagian besar gram positif. Sel bersifat motil dengan flagel
peritrik dan membentuk endospora yang resisten terhadap panas (Errington,
2003).

Universitas Sumatera Utara


14

Bacillus merupakan bakteri pembentuk spora yang optimum tumbuh pada


suhu mesofilik (35º C-55º C). Kelompok penting bakteri pembentuk spora lainnya
adalah spesies Clostridium. Clostridium merupakan bakteri anaerob yang dapat
tumbuh pada suhu mesofilik dan termofilik (Cousin, 1989). Clostridium spp.
mampu mereduksi sulfat, membentuk spora basil, spora lebih kecil dari kista
protozoa dan ookista. Spora Clostridium perfringens sangat tahan terhadap
kondisi yang tidak menguntungkan termasuk suhu dan pH ekstrim, juga tahan
terhadap proses desinfeksi seperti klorinasi (NHMRC & NRMMC, 2011).
Beberapa bakteri menunjukkan tingkat resistensi tinggi terhadap klorin. Bakteri
pembentuk spora seperti Bacillus atau Clostridium, Mycobacterium dan Nocardia
sangat tahan terhadap desinfeksi klorin. Klorin dioksida sebanding dengan klorin
bebas untuk inaktivasi bakteri dan virus pada pH netral (WHO, 2004).
Desulfotomaculum menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval pada
bagian terminal dan sunterminal yang menyebabkan pembengkakan pada sel.
Sporohalobacter menghasilkan spora berbentuk bulat di bagian terminal.
Sporolactobacillus menghasilkan spora berbentuk elips dan letaknya terminal,
Sporosarcina menghasilkan spora berbentuk bulat diameternya 0,5-1,5 µm,
Sulfidobacillus menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval dan letaknya di
bagian subterminal dan terminal. Syntrophospora menghasilkan spora berbentuk
oval dan letaknya di bagian terminal serta membengkak pada sel (Holt et al.,
1994).
Transfer interspesifik dan intraspesifik pada DNA di antara beberapa jenis
Bacillus telah dicapai, diantaranya pada Bacillus megaterium, Bacillus
thuringiensis, Bacillus lichenniformis, Bacillus cereus, Bacillus coagulans,
Bacillus brevis, Bacillus sphaericus, dan Bacillus stearothermophilus. Interaksi
genetik ini memberikan pengaruh pada identifikasi isolat dari berbagai habitat
(Hatmanti, 2000). Bacillus berbentuk batang panjang dan relatif besar, katalase
positif, berspora, oksidasi positif atau negatif, bersifat aerobik atau anaerobik
fakultatif, motil atau tidak motil, memfermentasi glukosa atau tidak dan dapat
bersifat fermentatif, oksidatif atau tidak keduanya (Naufalin, 1999). Famili
Bacillaceae kadang-kadang berbentuk streptobasil, flagel peritrik atau tanpa
flagel, gram positif, parasit atau patogen terutama pada insekta (Irianto, 2006).

Universitas Sumatera Utara


15

Jenis Bacillus spp. menunjukkan bentuk koloni yang berbeda-beda pada


medium agar cawan Nutrien Agar. Warna koloni pada umumnya putih sampai
kekuningan atau putih keruh, tepi koloni bermacam-macam namun pada
umumnya tidak rata, permukaannya kasar dan tidak berlendir, ada yang cenderung
kering berbubuk, koloni besar dan tidak mengkilat. Bentuk koloni dan ukurannya
sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Setiap jenis Bacillus spp. juga
menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda-beda dalam menghadapi
kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam,
dan sebagainya (Hatmanti, 2000).
Genus Bacillus memiliki 25 spesies dengan letak endospora di tengah atau
di ujung sporangium (Irianto, 2006). Spora Bacillus mempunyai resistensi yang
lebih dibandingkan sel vegetatifnya (Hatmanti, 2000). Spora Bacillus memiliki
dinding yang tebal dan sangat resisten terhadap kondisi fisik yang kurang
menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan, radiasi, asam dan terhadap
bahan-bahan kimia seperti desinfektan (Sembiring & Fachmiasari, 2004). Bila
Bacillus subtilis berada dalam kondisi kekurangan nutrisi dalam media, Bacillus
subtilis memiliki strategi bertahan termasuk motilitas, kemotaksis, produksi
enzim, transformasi, pembentukan antibiotik untuk menekan persaingan nutrisi
(Errington, 2003).
Marga Bacillus mudah dibedakan dari kelompok bakteri penghasil
endospora lain. Organisme diklasifikasikan dalam Marga Bacillus pada umumnya
karena membentuk spora dan menunjukkan karakteristik pada beberapa tes
fenotip. Pembagian grup dalam Marga Bacillus didasarkan pada bentuk spora dan
letak sporangium. Bentuk spora yang dihasilkan oleh Bacillus spp. bermacam-
macam tergantung jenisnya. Bacillus spp. membentuk tidak lebih dari satu
endospora untuk tiap sel, Bacillus subtilis dan Bacillus cereus memproduksi spora
berbentuk silinder, Bacillus polymixa dan Bacillus spaericus membentuk spora
yang membengkak (lebih besar dari sel vegetatifnya) (Hatmanti, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai