Anda di halaman 1dari 7

Semangat Menggapai Mimpi

Mimpi merupakan suatu hal yang diharapkan bisa terjadi. Banyak orang berusaha dan
bekerja demi menggapai mimpi yang ia inginkan. Tapi tak sedikit pula saat sedang berusaha
menggapai mimpi itu ada beberapa orang yang menjadi penghalang di tengah jalan. Seperti
yang diceritakan dalam sebuah cerpen karya Putu Wijaya yang berjudul Guru. Cerpen ini
menceritakan kisah seorang anak yang bercita-cita menjadi guru, tapi kedua orang tuanya
melarang hal tersebut. Mereka sangat tidak ingin anak satu-satunya yang mereka punya itu
menjadi seorang guru. Karena mereka menganggap profesi guru adalah malapetaka bagi
mereka. Mengapa mereka bisa beranggapan demikian? Apa sifat yang ditunjukkan oleh
orang tua anak tersebut berlebihan? Bagaimana sisi psikologis seorang anak saat cita-cita
yang diinginkannya tidak didukung oleh orang sekitar terutama orang tuanya? Lalu
bagaimana seharusnya sikap orang tua dalam menghadapi keinginan anaknya? Itu yang akan
saya bahas disini berkaitan dengan apresiasi cerpen Guru karya Putu Wijaya dilihat dari sisi
Psikologi Sastra.

Sebelum saya mulai apresiasi alangkah baiknya jika saya memperkenalkan diri
terlebih dulu. Nama saya Luthfia Rahma Meziha, mahasiswa Universitas Lambung
Mangkurat atau yang lebih dikenal dengan sebutan ULM. Saya mengambil program studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI).

Sebenarnya sebelum saya menemukan cerpen Guru karya Putu Wijaya ini, saya
sangat kesulitan untuk mencari cerpen yang menarik perhatian saya. Tapi saat pertama kali
saya membaca cerpen ini saya langsung merasa cocok dengan alur ceritanya. Mengapa saya
merasa cocok? Karena sangat mirip dengan apa yang saya alami, walaupun tidak sedramatis
kisah Taksu pada cerpen ini. Sama seperti kisah Taksu yang mempunyai cita-cita, saya pun
begitu. Tetapi cita-cita yang sangat saya inginkan itu terhalang oleh keinginan orang tua saya
yang tidak megnhendaki saya melakukannya. Karena tidak berani membantah, saya pun
menuruti kemauan orang tua saya. Lain halnya dengan Taksu yang tetap gigih menggapai
cita-citanya walau penolakan orang tuanya terus terjadi. Untuk lebih dalam lagi, mari kita
bahas mengenai cerpen Guru karya Putu Wijaya ini.

Cerpen ini menceritakan keinginan seorang anak yang bernama Taksu. Ia mempunyai
orang tua yang lengkap dan merupakan anak satu-satunya. Cerpen ini mengisahkan kejadian
yang dialami oleh Taksu kala ia ditanya bercita-cita menjadi apa. Saat itu kedua orang tuanya
bertanya tentang cita-cita Taksu yang kabarnya ingin menjadi guru. Lalu Taksu menjawab
dengan yakin bahwa kabar itu benar adanya. Kedua orang tuanya pun marah saat mendengar
kebenaran itu. Orang tua Taksu menolak keras apa yang diinginkan oleh Taksu, Ayah Taksu
berkata “... Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup
di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas.
Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru
karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak
nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang
lebih menguntungkan. ...”.

Dari perkataan tersebut dapat dilihat bahwa Ayah Taksu mempunyai watak yang
keras, tegas, tapi wawasan yang dimiliki sempit. Ayah Taksu mempunyai ego yang tinggi dan
berusaha untuk memaksa Taksu agar tidak menjadikan guru sebagai cita-citanya. Berulang
kali ia memberi waktu untuk Taksu memikirkan ulang keinginan anaknya itu, tapi berulang
kali pula Taksu menjawab dengan jawaban yang sama bahwa ia akan tetap menjadi guru.

"Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut.

"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!" Taksu menggeleng.

"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."

Dari percakapan itu terlihat bahwa sang Ayah masih gigih dengan egonya. Jika dilihat
dari sisi Psikologi, sifat memaksakan kehendak kepada sesorang terutama kepada anak akan
berakibat tidak baik untuk kesehatan mental anak. Anak juga akan merasa bahwa ia tidak
dihargai. Hal tersebut akan berdampak pada watak dan sifat yang anak miliki. Ia bisa saja
memberontak dengan menunjukkan secara terang-terangan bahwa ia mengerjakan akan
larangan yang diberikan kepadanya suatu saat ketika ia merasa lelah. Tapi yang lebih
ditakutkan dari sifat berontaknya itu adalah ketika ia melakukan suatu larangan itu secara
diam-diam. Terutama larangan orang tua untuk hal negatif yang ia lakukan.

Dalam cerpen Guru, larangan yang diberikan Ayahnya kepada Taksu itu sebenarnya
kurang tepat. Karena keinginan Taksu untuk menjadi guru adalah hal yang baik bahkan
mempunyai banyak sisi positif jika dilakukan. Anggapan orang tua Taksu mengenai guru
yang disamakan dengan sepeda tua dan jika ditawarkan tidak ada yang mau beli, menurut
saya sangat merendahkan profesi seorang guru. Ia juga mengatakan kepada Taksu bahwa jika
menjadi guru tidak mempunyai masa depan dan lebih parah ia mengatakan bahwa menjadi
guru sama saja masuk neraka. Dari perkataan yang seperti itu terlihat bahwa sifat yang
dimiliki Ayah Taksu sangat tidak dewasa dan tidak mau mengalah bahkan tidak mau
mengerti keinginan sang anak. Harusnya bagi orang tua yang mempunyai banyak
pengalaman hidup bisa berpikiran terbuka dalam melihat suatu hal. Jangan hanya melihat sisi
negatifnya, lihat juga dari sisi positifnya. Keinginan Taksu bahkan mempunyai lebih banyak
sisi positif dibanding negatif. Misal, menjadi seorang guru bukan hanya mengajarkan,
membimbing, membina, dan lainnnya, tapi juga dapat sekaligus belajar hal baru yang tidak
diketahui dari orang-orang yang kita ajarkan.

Lalu selanjutnya mengenai penokohan Ibu Taksu juga mempunyai watak yang keras
namun terkadang masih penuh kasih sayang kepada anaknya. Ibu Taksu dalam cerpen ini
sering muncul saat Ayah Taksu gagal dalam meyakinkan Taksu. Dalam cerpen, Ibu taksu
terkadang memperlihatkan sifat kerasnya pada Taksu, seperti pada percakapan berikut.

“ Taksu mengangguk. "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.

"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan,
supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu
sendiri, Taksu!””.

Dari percakapan diatas, terihat Ibu Taksu sangat marah kepada anaknya karena sang anak
masih tidak mau menuruti kemauan kedua orang tuanya. Sifat keras yang dimiliki Ibu Taksu
terlihat jelas disini. Ia sangat ingin agar Taksu tidak menjadi guru, sama halnya dengan sang
suami. Bahkan Ibu Taksu ini terlihat lebih keras dari Ayahnya, terbukti dari pernyataan Point
Of View (POV) berikut.

“... Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau
bapak ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan
harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga
saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri”.

Seorang ibu biasanya memang lebih tegas dan keras terhadap anaknya, tetapi hal tersebut
akan tersamarkan dari kasih sayang yang ia berikan. Tapi sifat Ibu Taksu disini juga sangat
memaksa dan egonya juga tinggi. Ia juga berpikiran yang sempit sama halnya dengan sang
suami. Beberapa kali Ibu Taksu mengatakan bahwa guru bukan pekerjaan yang baik untuk
anaknya. Sang Ibu juga mengatakan bahwa keinginan Taksu tersebut hanya karena Taksu
ingin dipuji-puji seperti kebanyakan guru yang selalu dipuji dan dianggap pahlawan.
Nyatanya bukan itu yang Taksu harapkan.

Guru memang sering dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, karena guru
membantu siswanya dalam belajar tanpa minta imbalan lebih walaupun kenyataannya guru
tetap memiliki gaji yang memang diberikan oleh pemerintah. Gaji yang diberikan pun kadang
tidak semuanya besar, hanya beberapa guru yang telah mempunyai pangkat tinggi yang
mempunyai gaji besar. Sedangkan sebuah ilmu itu harganya sebenarnya sangat mahal, sekecil
apapun ilmu tersebut tidak akan pernah sebanding dengan gaji yang hanya sebarapa itu. Maka
dari itu guru sering disebut pahlawan karena mereka memberi ilmu berharga setiap harinya.

Masalah gaji ini pula yang menjadi alasan orang tua Taksu tidak memperbolehkan
anaknya bekerja menjadi guru. Katanya gaji guru yang sedikit tidak bisa dijadikan deposito
dollar. Orang tua Taksu juga mengatakan bahwa kehidupan guru itu suram. Mengapa?
Karena kata mereka, disaat orang lain sedang tidur, guru malah masih sibuk dengan
pekerjaan mengoreksi PR siswanya. Sebenarnya hal seperti itu bukan masalah bagi seorang
guru jika dijalani dengan senang dan hati yang ikhlas. Tapi orang tua Taksu sangat tidak
ingin anaknya seperti itu. Alih-alih memberi wejangan yang baik mengenai pekerjaan lain
jika tidak ingin anaknya melakukan pekerjaan itu, orang tua Taksu malah menghina dan
merendahkan pekerjaan sebagai seorang guru. Hal seperti itu sangat tidak baik walaupun
kadang dianggap sepele oleh beberapa orang. Menganggap tidak baik suatu hal yang tidak
diketahui dalamnya seperti apa itu merupakan sifat yang sangat buruk.

Selanjutnya penokohan Taksu yang mempunyai sifat ulet, tangguh, dan gigih dalam
pendiriannya. Penulis menggambarkan Taksu sebagai seorang anak yang tidak banyak
melawan ucapan orang tuanya tapi juga tidak mengiyakan perintah orang tuanya. Karena
terlihat dari beberapa percakapan yang ada di dalam cerpen, Taksu hanya banyak
mengangguk. Ia berbicara hanya saat ditanya ingin jadi apa, jawabannya pun tetap sama
bahwa ia ingin jadi guru. Berulang kali orang tuanya bertanya tapi tak ada yag berubah dari
jawaban Taksu. Ia juga pernah bertanya apa alasan yang membuat orang tuanya tidak
memperbolehkannya menjadi guru, dijawab oleh orang tuanya dengan kata-kata yang kasar.
Hal seperti itu bisa saja mematahkan semangat dalam diri seorang anak. Tapi tidak untuk
Taksu, ia tetap pada pendiriannya dan semangatnya masih tetap sama. Tidak semua orang
bisa mempunyai mental yang seperti itu. Kebanyakan anak akan patah semangatnya jika apa
yang ia harapkan dinilai jelek oleh orang lain yang bahkan tidak tahu alasan ia ingin
melakukan itu.

Kebanyakan orang tua memang sering memaksakan kehendaknya kepada sang anak,
walau kehendak itu sangat tidak diinginkan oleh anaknya. Sebagian anak yang tidak berani
menentang perintah orang tua akan terpaksa melakukan hal yang disuruh. Sebagian lagi ada
yang menentang karena merasa tidak sesuai dengan dirinya. Namun ada pula yang diam tidak
menentang tapi juga tidak menuruti keinginan orang tuanya, seperti karakter Taksu yang
digambarkan penulis dalam cerpen ini dalam percakapan berikut.

“ ... Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang?
Ah?””

Taksu tidak menjawab.

"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, ... supaya nanti bisa
mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?" ”

Taksu tetap tidak menjawab.

“"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? ... buat apa kamu menghabiskan hidup
kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

Taksu mengangguk.

“"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.”

Jawaban yang ia berikan hanya berupa pertanyaan seperti diatas. Sebagai anak ia
menghargai orang tuanya berbicara tanpa memotong ucapan sang Ibu walau ucapan yang
diberikan sangat tidak enak didengar olehnya. Siapa yang senang mendengar cacian
mengenai apa yang dijadikan sebagai impiannya? Tidak ada, begitu pula Taksu. Padahal
sudah sangat sering kedua orang tuanya mencaci mimpinya itu, Taksu tetap tidak melawan
dengan ucapan kasar. Taksu memiliki sifat yang sabar dan bisa menghargai orang yang
sedang berbicara. Ia juga mudah mengontrol emosinya, terlihat dari beberapa percakapan
yang ada dalam cerpen.

“"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"

"Saya mau jadi guru."

"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru." Taksu menatap saya.

"Apa?"

"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau

sekarang juga!!" teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam.

"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."

"Tidak? Kenapa tidak?"

"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa

busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap

tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan

memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan

datang. Guru tidak bisa mati, Pak."”

Ucapan kasar yang diucap oleh sang Ayah tidak dibalas kasar olehnya, melainkan
hanya menatap tajam karena keterkejutan akan kata ‘bunuh’ yang ingin dilakukan Ayahnya
jika ia tetap menjadi guru. Malah yang ia katakan adalah sebuah alasan mengapa ia ingin
menjadi guru. Alasan sederhana yang sangat bermakna baginya. Dari percakapan itu pula
dapat dilihat sifat sederhana yang dimiliki Taksu.

Alasan yang diberikan Taksu kepada Ayahnya juga sebenarnya adalah wejangan sang
Ayah kepadanya 28 tahun yang lalu saat Taksu malas belajar. Ayahnya mengatakan bahwa
Taksu harus rajin belajar dan menghormati guru yang mengajarkannya, agar ilmu yang ia
dapat bisa melekat pada dirinya. Ayahnya juga mengatakan bahwa tanpa ilmu yang diberikan
guru kepadanya, Taksu tidak akan bisa bersaing dalam era global seperti sekarang.
Ucapan sang Ayah itu yang membuat Taksu ingin menjadi guru, karena dengan
mengajarkan ilmu kita dapat membantu orang dalam menggapai mimpinya. Seperti itu
kiranya maksud penulis dalam percakapan yang dilakukan Taksu dengan Ayahnya. Bahkan
Ayah Taksu seperti tidak sadar akan ucapannya, bahwa itu penyebab anaknya ingin jadi guru.
Sepertinya Taksu sudah sejak lama menjadikan wajangan sang Ayah itu sebagai motivasinya
menggapai mimpi.

Ayahnya hanya memikirkan tentang materi yang didapat dari sebuah pekerjaan dan
beranggapan bahwa duit sangat penting untuk masa depan. Sangat berbeda dengan
pikirannya dulu, pikiran sederhana seperti yang Taksu miliki sekarang. Mungkin yang
membuat pikiran seseorang berubah karena adanya perubahan zaman dan perubahan pola
pikir yang terdapat dalam diri seseorang seperti kedua orang tua Taksu. Tapi yang sangat
disayangkan adalah perubahan pola pikir yang terjadi malah membuat pikiran mereka tidak
terbuka dalam beberapa hal. Sedangkan di era global seperti sekarang hendaknya pola pikir
seseorang terbuka dalam melihat suatu hal, baik untuk sisi negatif maupun positifnya. Jika
seseorang mempunyai pikiran terbuka dan mudah menerima pendapat orang lain maka akan
tidak akan terjadi pertengkaan baik dalam keluarga, teman, maupun masyarakat sekitar. Lalu
diakhir cerita dikisahkan bahwa Taksu akhirnya berhasil menggapai mimpinya dan sukses
pula menjadi pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah ke penjuru negeri.

Jadi amanat yang dapat dipetik dari cerpen Guru karya Putu Wijaya ini yaitu, jadilah
seseorang yang teguh pendiriannya walau dicaci oleh orang lain. Sabar dalam menghadapi
orang tua jika suatu saat keinginan kita bertentangan dengan mereka, bujuk dengan cara baik
dan jelaskan bagaimana yang kita inginkan itu. Tidak perlu membalas perbuatan kasar orang
lain dengan hal kasar pula, balaslah dengan hal bijak layaknya yang dilakukan Taksu dalam
menghadapi orang tuanya. Sekian dari saya, terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai