Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu mantiq adalah ilmu yang berkaitan dengan
pembicaraan yang masuk akal yang sesuai dengan keadaan dan
kenyataan beserta argumentasi dan juga sesuai dengan dalil.
Ilmu ini merupakan suatu metode dalam penelitian ilmiah
sehingga dalam pembahasan Ilmu Mantiq tidak bisa dilepaskan
dengan pembahasan sesuatu yang condong pada kebenaran
dzatnya yang berlaku diantara manathiqah. Perkataan itu
dipandang dari segi perkataan itu sendiri yang dapat condong
kearah benar dan tidak benar, hal ini dalam ilmu mantiq disebut
dengan “qadhiyah” atau “khobar”.
Sesuatu itu akan mengandung kemungkinan dua
kemungkinan yakni benar dan salah, hal tersebut dibuktikan
dengan suatu eksperimen untuk memastikan kebenarannya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian
dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain
(seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain
sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal:
maudhu’ dan mahmul (“gunung” sebagai maudhu’ dan “indah”
sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut
qadhiyyah (proposisi).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Qadhiyyah?
2. Bagaimana pembagian-pembagian dalam
Qadhiyyah?
3. Bagaimana hukum-hukum dalam Qadhiyyah?
 
C. Tujuan Masalah
1. Memahami pengertian Qadhiyyah dalam ilmu
mantiq.
2. Memahami pembagian-pembagian dalam
Qadhiyyah.
3. Mengetahui hukum-hukum dalam Qadhiyyah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian qadhiyah
Qadhiyah adalah:
َ ‫ق َوال ِك ْذ‬
‫ب لَ َذاتِ ِه‬ ِّ ‫قَوْ ٌل ُمف ْي ٌد يَحْ ثَ ِم ُل ال‬
َ ‫ص ْد‬
Pernyataan yang sempurna, yang isinya mengandung klemungkinan
benar atau salah.
jumlah khobariyah yang mengandung kebenaran dan
kesalahan dan bisa diketahui benar tidaknya dengan penelitian
atau eksperimen. Misalnya, Tahun depan saya akan dapat
menamatkan sekolah saya/pelajaran saya atau besok syawal
saya akan pindah ke Surabaya. Perkataan ini disebut qadhiyah
karena penamatan atau kepindahan itu mungkin bisa terjadi dan
mungkin  tidak terjadi.
Sebuah contoh, Allah itu maujud/ada, Nabi Muhammad
itu utusan Allah. Untuk memastikan kebenarannya bahwa telah
ada yang mengatakan dan membuktikan kebenarannya kepada
kita, atau kita sudah mengi’tiqadkannya terlebih dahulu bahwa
Allah itu ada dan Muhammad itu utusan Allah.

B. Macam-macam qadhiyyah
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) maudhu’, 2)
mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu’ dan
mahmul).
1. Maudhu’ (subjek), dalam ilmu nahwu disebut mubtada’, fa’il
atau na’ibul fa’il atau mahkum alaih jika dilihat dari segi proses
engambilan kerputusan
2. Mahmul (predikat) dalam ilmu nahwu disebut khabar atau
fi’il, disebut pula al-mahkumbih jika dilihat dari segi
pengambilan keputusan.
3. Rabith (penghubung), berupa kata ganti (dhamir al-fashl)
byang menghubungkan antara subjek dan predikat.
Contoh:
Zaid itu berdiri, maka yang pertama yaitu Zaid disebut
maudhu’, berdiri dinamakan mahmul yaitu hukum yang
diletakkan pada zaid dan itu disebut rabithah.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi
dua: qadiyyah hamliyyah (proposisi kategoris) dan qadiyyah
syarthiyyah (proposisi hipotesis). yaitu
1. Qadhiyah syarthiyyah
Yaitu qadhiyah yang menerangkan ketergantungannya
suatu hukum, dimana ketetapan suatu hukum tersebut
digantungkan oleh adanya suiatu hukum yang lain, contoh:
 Kalau aku punya uang, aku pergi haji.
 Kalau matahari terbit, terjadilah siang.
Qadhiyah syarthiyyah dibagi menjadi dua macam:
a. Syarthiyyah muttashilah, yaitu qadhiyah yang
mengharuskan adanya saling tetap menetapkan antara
juznya. seperti: kalau aku punya uang, aku jadi pergi.
Dilihat dari segi penggunaan “adat Sur” (kata
yang menunjukkan kuantitas), Qadhiyah Syarthiyah
Muttashilah terbagi menjadi empat macam:
 Al-Sur al-Kulli fi al-Ijab yaitu kata depan yang
menunjukkan adanya penetapan atas hubungan
antara muqaddam dan taliy dalam semua situasi
dan kondisi, Contoh: jika tamu datang ke rumahku,
aku akan menemuinya.
 Al-Sur al-Kulli fi al-Salabi yaitu kata depan yang
menunjukkan penetapan dengan meniadakan
tetapnya hubungan sebab-akibat antara muqaddam
dan taliy dalam semua situasi dan kondisi. Contoh:
tidaklah sama sekali, jika pandangan masyarakat itu
bersatu, mereka gagal dalam perjuangannya.
 Al-Sur al-Juz’I fi al-Ijab yaitu kata depan yang
menunjukkan penetapan adanya sebagian hubungan
sebab-akibat antara muqaddam dan taliy tanpa
menentukan situasi dan kondisi. Contoh; terkadang
terjadi, jika mahasiswa itu rajin, ia akan memperoleh
penghargaan.
 Al-Sur al-Juz’I fi al-Salab artinya kata depan yang
menunjukkan tetapnya sebagian dengan
memindahkan tetapnya hubungan sdebab-akibat
antara muqaddam dan taliy tanpa menentukan
situasi dan kondisi. Contoh: terkadang tidak terjadi,
manusi berilmu, mengamalkan ilmunya.
b. Syarthiyyah munfashilah, yaitu qadhiyah yang
menetapkan adanya perlawanan antara dua juznya.
Seperti: Zaid ada kalanya pergi, ada kalanya tidur.
Qadhiyah ini dibagi menjadi tiga macam:
 Mani’ul jami’, ditolak kumpulnya artinya tidak
boleh berkumpul dan tidak ditolak sepinya artinya
tidak boleh terjadi kedua-duanya. Umpama: Umar
adakalanya berdiri, adakalanya duduk; ini mani’ul
jami’ karena berdiri dan duduk tidak bisa dilakukan
secara bersamaan. Tetapi kalau sekaligus tidak
berdiri dan tidak duduk itu mungkin terjadi, ini
yang dimaksud ditolak sepinya (boleh tidak terjadi
kedua-duanya).
 Mani’ul huluwwi, ditolak sepinya (tidak boleh tidak
terjadi kedua-duanya), tidak ditolak berkumpulnya
(boleh berkumpul kedua-duanya sekaligus),
misalnya: Aisyah ada kalanya berada dilautan,
adakalanya tidak tenggelam, ini boleh jadi (karena
berperahu misalnya).
 Mani’ul jami’ wal huluw, yaitu yang dinamakan
qadhiyyah syarthiyyah munfashilah haqiqqiyah,
artinya kedua-duanya berkumpulnya dan sepinya
(tidak terjadi) itu ditolak, keduanya terjadi sekaligus
tidak mungkin. Contohnya, Muhammad adakalanya
mati dan adakalanya hidup, andaikata Muhammad
sekjaligus mati dan hidup itu tidak mungkin terjadi,
sebaliknya ia tidak mati dan tidak hidup juga tidak
mungkin.
Qadhiyah syarthiyyah pasti mempunyai dua bagian
(Dua juz) kalimat. Manakala matahari terbit (bagian ke
satu/muqaddam) siang hari terjadi (bagian juz kedua/taalie).
2. Qadhiyah hamliyyah
Yaitu qadhiyah yang menerangkan terjadinya
ketetapan hukum, tidak tergantung pada suatu yang lain.
Qadhiyah ini ada dua macam:
a. Qadhiyah syahshiyyah; yaitu qadhiyah yang
menerangkan terjadinya ketetapan hukum atas bagian
yang tertentu. Seperti: Ahmad kaya, Dani itu juru tulis,
ditetapkannya hukum (kaya dan juru tulis) atas Ahmad
dan Dani merupakan sebagian dari hakekat Ahmad dan
Dani. Atau Ahmad dan Dani itu adalah sebagian saja
dari suatu jenis (manusia).
b. Qadhiyah kulliyah atau berdasarkan maudhu’nya dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
 Kulliyah musyawwaroh atau mahshurah; yaitu
qadhiyah yang dimulai dengan “Soer”, misalnya
semua siswa pada tidur, kata “semua” itu
dinamakan “soer” yang bahasa Arabnya “Kullu”.
Semua, setiap, seluruh adalah “soer”. Seperti contoh,
setiap manusia itu hewan, semua murid berolah
raga, seluruh penghuni asrama tidur.
 Kulliyah Muhmalah; yaitu qadhiyah yang tidak
dimulai dengan “soer”. Umpama: manusia itu
hewan, murid berolah raga, penghuni asrama tidur.
Sur yang berupa kully dan juz’i itu dapat dilihat dari
empat bagian sur, ada kalanya dengan lafadz kullin atau
dengan lafadz ba’dlin atau dengan lafadz laa syai’in dan
lafadz laisa ba’dlu atau sesamanya yang telah jelas.
Soer itu ada kalanya kulli(universal/keseluruhan)
dan ada kalanya juz’i(sebagian), kulli dibagi menjadi dua
yakni mujibah yang mengharuskan, kepastian, keharusan.
Contoh: seperti manusia itu hewan. Dan salibah yang
menghapuskan, mentiadakan, dan menolak. Contoh:
tidaklah semua dari manusia itu batu. Juz’i juga dibagi
menjadi dua yaitu mujibah, contoh: sebagian dari hewan itu
manusia dan salibah, contoh: tidaklah sebagian dari hewan
itu manusia.
a. Adat Sur Qadhiyyah Hamliyah
Sur qadhiyah adalah:
‫اللَّ ْفظُ ال َّدا ُل َعلَي َك ِميَ ِة َما ُوقِ َع َعلَ ْي ِه ال ُح ْك ُم ِم ْن أَ ْف َرا ِد‬
‫ع‬
ِ ْ‫ال َموْ ضُو‬
Kata  yang menunjukkan kuantitas sesuatu yang padanya
ditetapkan keputusan dari individu-individu maudhu’.
Adat sur atau sur qadhiyah adalah kata yang
menunjukkan penjumlahan (kuantitas). Qadhiyah yang
menggunakan adat sur ini disebut masrurat atau
mahshurat.
Adat sur ada ada empat macam, diantaranya:
 Al-sur al-Kulli fi al-ijabi, yaitu kata yang
menunjukkan tetapnya mahmul pada seluruh
individu maudhu’,contoh kata: ,ٌ‫ا َّمة‬00َ‫ ع‬,ٌ‫ا فَّة‬00‫َك‬
‫ ُك ٌّل‬,ٌ‫َج ِم ْيع‬
 Al-sur al-Kulli fi al-Ijabi, yaitu kata yang
menunjukkan tidak tetapnya mahmul dari individu
maudhu’. Seperti kata ‫ ْي ٌء‬00‫ اَل َش‬,‫ ٌد‬00‫ اَل أَ َح‬ 
(tidak
satupun).
 Al-Sur al-juz’I fi al-Ijabi, yaitu kata yang
menunjukkan tetapnya mahmul bagi sebagian
individu maudhu’. Seperti kata: ,ٌ‫ َكثِ ْير‬,‫ ُم ْعظَ ٌم‬,ٌ‫قَلِ ْيل‬
ٌ‫بَعْض‬
 Al-Sur al-Juz’I fi al-Salab, yaitu kata yang
menunjukkan tidak tetapnya mahmul dari sebagian
individu-individu maudhu’. Seperti kata: ,ٌّ‫ْس ُكل‬
َ ‫لَي‬
َ ‫ لَي‬,ٌ‫ْس َج ِم ْيع‬
ٌ‫ْس بَعْض‬ َ ‫لَي‬
Dengan memperhatikan uraian Qadhiyyah
Hamiliyah dari segi kualitatif (mujabah, salibah, maudhu-nya)
dan kuantitatif (kuliyah, juz’iyah) serta kletika tidak
menggunakan kata kuantitatif, maka jumlah keseluruhannya
adalah delapan macam, diantaranya:
1. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Kulli
Wajibah contoh setiap manusia adalah hewan yang
berpikir..
2. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Kulli
Salibah.contoh: tidak satupun dari manusia itu batu.
3. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Juz’I
Mujabah. Contoh: sebagian manusia adalah penulis.
4. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Juz’I
Salibah. Contoh: sebagian hewan adalah manusia.
5. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Mahmulah Mujabah. Contoh:
manusia adalah termasuk hewan.
6. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Mahmulah Salibah. Contoh:
manusia itu bukan batu.
7. Qadhiyah Hamliyah Syahshiyah Mujabah. Contoh: amar
adalah mahasiswa.
8. Qadhiyah Hamliyah Syahshiyah Salibah. Contoh: Syahroni
bukan mahasiswa.
9. Hukum-Hukum Qadhiyyah
Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat
empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: 1. tabâyun,
2. tasâwi, 3. umum wa khusus mutlak dan 4. umum wa khusus min
wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara
masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: 1. tanaqudh, 2.
tadhadd, 3. dukhul tahta tadhadd dan 4. tadakhul.[11]
1. Tanaqudh (mutanaqidhain /kontradiktif) adalah dua
qadhiyyah yang mawdhu’ dan mahmul-nya sama, tetapi
kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang
satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz’iyyah salibah.
Misalnya, “Semua manusia hewan” (kulliyyah mujabah)
dengan “Sebagian manusia bukan hewan” (juz’iyyah
salibah).
 “Tanaqud” menurut istilah mantiq yaitu berbedanya dua qadhiyyah
dipandang dari ijab (kepastian) salibah (tidak)nya dan
kebenarannya. Kalau dua qadhiyyah berbeda (tanaaqudh) dengan
sendirinya salah satu dari qadhiyah itu pasti benar dan yang lain
tidak benar.[12]
Cara membuat tanaaqudh adalah apabila qadhiyahnya memakai:
1. Qadhiyah syakhshiyyah atau qadhiyyah muhmalah, cukup
hanya kaifnya (kepastian tidaknya, ijab salibahnya), seperti:
Yang asalnya: kholid menulis (ijab) dirubah menjadi Kholid tidak
menulis (salab) jadi hanya berubah, yang asalya mujabah menjadi
saalibah.
1. Qadhiyyah musawwaroh, cara mentaannaqudkan, yaitu
dengan merubah “soer”nya. Kalau qadhiyyah:
 Mujibah kulliyah: semua manusia itu hewan, naqidhnya
dengan salibah juz’iyyah: tidaklah sebagian manusia itu
hewan.
 Salbah kulliyah: tidaklah setiap manusia itu batu, naqidhnya
dengan mujibah juz’iyyah : sebagian manusia itu batu.
Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu’
dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada
beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu
terletak pada:
1. Kesamaan tempat (makan)
2. Kesamaan waktu (zaman)
3. Kesamaan kondisi (syart)
4. Kesamaan korelasi (idhafah)
5. Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
6. Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil
fi’li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari
masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur
sebagai pendahuluan dari hudud atau ta’rifat. Dan sebenarnya inti
pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan
yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan
menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).[13] Atau yang otomatis
dapat menimbulkan kesimpulan, contohnya seperti: kholid itu
putera dari Umar, dan Umar putera dari Abu Bakar.[14]
Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka
terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
1. Pengetahuan dari juz’i ke juz’i yang lain. Argumenatsi ini
sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik
parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
2. Pengetahuan dari juz’i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari
khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial)
Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra’
(induksi).
3. Pengetahuan dari kulli ke juz’i. Atau dengan kata lain, dari
umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua, yaitu: iqtirani (silogisme kategoris) dan
istitsna’i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas,
satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan
antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah
baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa
qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
[15]
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu’ dan mahmul natijahnya
berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: “Kunci itu
besi” dan “setiap besi akan memuai jika dipanaskan”, maka “kunci
itu akan memuai jika dipanaskan”. Qiyas ini terdiri dari tiga
qadhiyyah; 1. Kunci itu besi, 2. setiap besi akan memuai jika
dipanaskan dan 3. kunci itu akan memuai jika dipanaskan.
Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor),
qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan
yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu’ dan mahmul yang
sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, “kunci” (mawdhu’)
dan “akan memuai jika dipanaskan” (mahmul). Sedangkan “besi”
sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara
mawdhu’ muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra.
Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada
kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam
natijah.
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya
pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
[16]
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul
pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada
muqaddimah kubra. Misalnya, “Setiap Nabi itu makshum”, dan
“setiap orang makshum adalah teladan yang baik”, maka “setiap
nabi adalah teladan yang baik”. “Makshum” adalah had awsath,
yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi
mawdhu’ pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti)
jika memenuhi dua syarat berikut ini:
a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul
pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”,
dan “tidak satupun pendosa itu makshum”, maka “tidak satupun
dari nabi itu pendosa”.
Syarat-syarat syakl kedua.
a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni
mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu’
pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”,
dan “sebagian nabi adalah imam”, maka “sebagian orang makshum
adalah imam”.
Syarat-syarat Syakl ketiga.
a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakl Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi
mawdhu’ pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada
muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal).[17]
Syarat-syarat Syakl keempat.
a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang
badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan
ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit
diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun
mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.
[18]
Qiyas Istitsna’i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah
syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, “Jika Muhammad
itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia
mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah”. Penjelasannya: “Jika
Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat”
adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali,
dan “Dia mempunyai mukjizat” adalah qadhiyyah hamliyyah.
Sedangkan “maka dia mempunyai mukjizat” adalah natijah.
Dinamakan istitsna’i karena terdapat kata ” tetapi”, atau “oleh
karena”.
 Macam-Macam Qiyas istitsna’i (silogisme) Ada empat macam, yaitu:
Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, “Jika Muhammad
utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad
mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah”. Muqaddam negatif
dan tali positif. Misalnya, “Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini
akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak
tidak satu)”. Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, “Jika
Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat.
Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan
nabi)”. Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, “Jika Fir’aun
itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia
bukan Tuhan”.
1. Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama
kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu
mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, “Semua manusia
dapat berpikir” (kulliyyah mujabah) dengan “Tidak satupun
dari manusia dapat berpikir” (kulliyyah salibah).
2. Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad /
interferensif sub-kontrariatif) adalah dua qadhiyyah yang
sama kuantitasnya (keduanya juz’iyyah), tetapi yang satu
mujabah dan lain salibah. Misalnya: “Sebagian manusia
pintar” (juz’iyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia
tidak pintar” (juz’iyyah salibah).
3. Tadakhul (mutadakhilatain/ interferensif) adalah dua
qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya
berbeda. Misalnya: “Semua manusia akan mati” (kulliyyah
mujabah) dengan “Sebagian manusia akan mati” (juz’iyyah
mujabah) atau “Tidak satupun dari manusia akan kekal”
(kulliyyah salibah) dengan “Sebagian manusia tidak kekal”
(juz’iyyah salibah).
4. Akas mustawie
 yaitu: membalikkan dua juz dari qadhiyyah tetapi kebenaran
kaifnya dan kamnya tetap tidak berubah. Semua qadhiyyah dapat
di’akas mustawiekan, yakni dengan membalik qadhiyyah itu
(lafadznya maudhu’ menjadi lafadznya mahmul, dan lafadznya
mahmul menjadi maudhu’) kecuali mujibah kulliyah. Contoh:
Manusia itu dapat menulis, akasnya: yang dapat menulis itu
manusia”, hal itu tidak merubah kaif (ijab-salab)nya dan am
(soer)nya, akan tetapi kebenarannya, persesuaiannya tidak
berubah.kalau qadhiyyahnya: mujibah kulliyah misalnya:[19] setiap
manusia itu hewan, ‘akasnya harus memakai mujibah juz’iyyah,
misalnya sebagian hewan itu manusia.
Jadi hanya qadhiyyah mujibah kulliyah saja yang tidak boleh dibalik
begitu saja, tanpa merubah kaifnya/kamnya. Demikian pula
sebaliknya.[20]
‘aks itu dapat ditetapkan pada lainnya sesuatu yang terwujud
dengan sesuatu itu kumpulnya dua hina, maka memksudkanlah
engkau dan umpamanya ijtimaa’ al khistaini itu qadhiyyah
muhmalan salbiyyah karena muhmalah yang ada di dalam quwwati
juz’iyyah. Semua qadhiyyah itu dapat di’akas mustawilkan, kecuali
qadhiyyah salibah juz’iyyah dan qadhiyyah muhmalah saalibah
sebab muhmalah itu bisa dikatakan (seolah-olah) juz’iyyah, hanya
lafadznya saja yang lain, jadi kalau salibah muhmalah sama dengan
saalibah juz’iyyah didalam artinya, padahal saalibah juz’iyyah tidak
dapat di ‘akas-mustawilkan. Maka qadhiyyah:
1. a. manusia sebagian hewan itu manusia dan
b. manusia itu tidak hewan; tidak bisa di ‘akas begini
2. a. tidak sebagian manusia itu hewan atau pun
b. semua manusia itu hewan serta hewan itu tidak manusia.
Sedangkan selain dua qadhiyyah tersebut dapat di’akas
mustawiulkan.
Tiga macam qadhiyyah yang tidak dapat di ‘akas ta’wilkan, yaitu:
1. Tidak sebagian hewan itu manusia
2. Tidak sebagian hewan itu tidak manusia
3. M,anusia itu tidak hewan.
‘akas-mustawiy itu tidak dimungkinkan terjadinya, kecuali bagi
qadhiyyah-qadhiyyah yang bertartibkan thobi’iy, yaitu dengan kata
lain, yang dimungkinkan dapat terjadi ‘akas mustawie hanyalah
qadhiyyah hamliyyah dan muttashilah. Sedangkan qadhiyyah
syarthiyyah munfashilah tidak dapat di’akas mustawikan karena
kedua bagian dari qadhiyyah syarthiyyah munfashilah itu masing-
masing patut kecuali menjadi muqaddam juga, menjadi taaly dan
sama sekali tidak mempengaruhi artinya, manakala bolak-balik.[21]
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
KESIMPULAN
Qadhiyah adalah jumlah khobariyah yang mengandung kebenaran
dan kesalahan dan bisa diketahui benar tidaknya dengan penelitian
atau eksperimen. Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1)
mawdhu’, 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu’
dan mahmul). Contoh, Zaid itu berdiri, maka yang pertama yaitu
Zaid disebut maudhu’, berdiri dinamakan mahmul yaitu hukum
yang diletakkan pada zaid dan itu disebut rabithah.
                  Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua:
qadiyyah hamliyyah (proposisi kategoris) dan qadiyyah syarthiyyah
(proposisi hipotesis). Qadhiyah syarthiyyah dibagi menjadi dua
macam yaitu Syarthiyyah muttashilah dan munfashilah. Qadhiyyah
hamliyyah juga dibagi menjadi dua yakni Qadhiyah syahshiyyah
dan Qadhiyyah kulliyah, kulliyah dibagi menjadi dua lagi yaitu
musyawwarah dan muhmalah. Hubungan antara masing-masing
empat qadhiyyah mahshurah: 1. tanaqudh, 2. tadhadd, 3. dukhul
tahta tadhadd dan 4. Tadakhul yang masing-masing menghasilkan
hukum dalam Qadhiyyah.

Anda mungkin juga menyukai