Bab 2 Sle
Bab 2 Sle
PENDAHULUAN
1
10. Pemeriksaan penunjang SLE ?
11. Penatalaksanaan Medis SLE ?
12. Penatalaksanaan Keperawatan SLE ?
13. Dampak SLE untuk anak dan keluarga
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa Definisi SLE
2. Mengetahui Epidemiologi SLE
3. Mengetahui Etiologi SLE
4. Mengetahui Anatomi system immunitas SLE
5. Mengetahui Patogenesis SLE
6. Mengetahui bagaimana Patofisiologi SLE
7. Mengetahui Klasifikasi SLE
8. Mengetahui Manifestasi klinis SLE
9. Mengetahui Pathway SLE
10. Mengetahui Pemeriksaan penunjang SLE
11. Mengetahui Penatalaksanaan Medis SLE
12. Mengetahui Penatalaksanaan Keperawatan SLE
13. Mengetahui dampak SLE untuk anak dan keluarga
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan
oleh gigitan anjing hutan.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang
disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem
pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri.Antara
jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung,
paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun
yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh.( Silvia& Lorraine,
2006 ).
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah,
penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan
jantung.(Robins, 2007)
2.2 EPIDEMIOLOGI
3
diantara 700 perempuan usia subur. systemic lupus erythematosus (SLE)
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan
Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak
kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan
perbandingan wanita dan laki-laki 5:1).
Di Indonesia, data untuk kasus SLE masih belum ada yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang
datang ke poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto
Mangunkosumo Jakarta, terdapat 1,4% kasus dari total seluruh kunjungan
pasien. Sedangkan unutuk RS Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5%
(291pasien) dari total pasien yang berkunjung ke poliklinik reumatologi pada
tahun 2010.
2.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum
diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya
penyakit SLE:
4
Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada
struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
5
2.3.3 Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor risiko terjadinya SLE.
6
2.5 PATOGENESIS
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi
satu atau lebih jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi.
7
Beberapa, seperti anti - sel merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen,
sedangkan yang lain mungkin hanya penanda kerusakan toleransi. Etiologi
tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak penyakit kronis, tampaknya
mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan dalam
kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
8
infeksi HIV, dan penyakit autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi
lebih umum ketika ada restorasi kompetensi kekebalan dengan
penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007).
2.6 PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan
siklus tersebut berulang kembali.
2.7 KLASIFIKASI
Ada tiga jenis type lupus :
9
2.7.2 Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa macam
organ. Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada
gangguan kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru,
ginjal, darah ataupun organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena.
SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif
(flare).
10
Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja
tidak terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi
eksaserbasi dan remisi.
11
2.8.5 Sistem Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto
dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs,
seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan
50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup
yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner
5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur
35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
2.8.6 Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30
tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
2.8.7 Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakan
keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia
dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada
mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum.
Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak
12
dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT
ataupun fosfatase alkali dan LDH.
2.8.8 Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan
anemia hemolitik autoimun.
2.8.9 Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensiberat. Manifestasi neuropsikiatri LES sangat
bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan
psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat
merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis
cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.
2.8.10 Gejala klinis Lainnya
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
13
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda
gejala diatas
2.9 PATHWAY
14
15
2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.10.1 Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2.10.2 Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
2.10.3 Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
2.10.4 PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
2.10.5 Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
2.10.6 Foto polos thorax
a. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring
b. Setiap 3-6 bulan bila stabil
c. Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
16
untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir
100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis
SLE dibandingkan dengan titer yang rendah.Jika titernya sangat rendah
mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.
17
3) Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama
yang terkait dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis,
kebutuhan istirahat, pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta
cara mengatasi infeksi
4) Masalah psikologis yaitu cara pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres, emosional, trauma psikis, masalah
terkait dengan hubungan dengan keluarga, serta cara mengatasi
nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan
yang lainnya. Kebutuhan pemberian vitamin dan mineral.
6) Kelompok pendukung bagi penderita SLE
7) Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis
akibat adanya anggota keluarga yang menderita SLE
b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk
mempertahankan kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat
mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi,
dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal,
yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik, dan yang lainnya.
c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasien SLE adalah:
1) OAINS
2) Kortikosteroid
3) Klorokuin
4) Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
18
5) Azatioprin
6) Siklofosfamid
7) Metotreksat
8) Siklosporin A
9) Mikofenolat mofetil
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah
kortikosteroid yang dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Namun, penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping. Cara
mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid adalah
dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah penyakit terkontrol.
Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi kortikol
yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
kronis. Penurunan dosis yang dilakuakn secara bertahap akan
memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Penggunaan sparing
agen kortikosteroid dapat diberikan untuk memudahkan menurunkan
dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang
sering digunakan sebagai sparing agen kortokosteroid adalah
azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid, danmetotrexate.
19
Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid.
Kortikosteroid diberikan kepada anak ketika anak tidak merespons NSAID
atau obat antimalaria. Kortikosteroid sangat efektif dalam mengurangi
peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki efek samping
yang serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid
dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol,
dosisnya adalah meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting
untuk memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing
ketika saatnya untuk menghentikan obat.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE
parah termasuk agen imunosupresif. Obat-obat ini digunakan ketika
penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda
parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan
jika ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid.Keputusan untuk
menggunakan immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius
karena efek samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif digunakan dalam
pengobatan SLE termasuk azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan),
dan methotrexate (Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan
serius seperti depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus
memperkuat informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping
dengan orangtua sebelum pemberian obat ini Selain obat-obatan , asuhan
keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan memberikan
dukungan psikososial. Sekarang penting bahwa mempertahankan gizi anak
yang baik , istirahat dan berolahraga , menghindari matahari , dan
mendorong ekspresi perasaan tentang kondisi tersebut. Meskipun tidak ada
yang spesifik, Diet untuk SLE adalah diet rendah garam.
Istirahat dan latihan termasuk periode di mana anak aktif selama
remisi dan beristirahat selama eksaserbasi . Penghindaran dari paparan
sinar matahari ditekankan karena fotosensitif ruam yang terjadi dengan
SLE . Penggunaan tabir surya kegiatan di luar ruangan yang penting , dan
20
perencanaan di bawah naungan atau tinggal di dalam rumah mungkin
diperlukan . Karena kondisi ini mungkin terjadi kesulitan bagi anak dan
keluarga untuk mengatasi dan mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau
bergabung dengan kelompok pendukung didorong .orangtua harus
memberitahu guru, pelatih , dan orang lain tentang anak mereka kondisi
sehingga mereka dapat membantu memantau anak dan memperoleh
pengobatan yang diperlukan jika diperlukan . Merupakan perawat
tanggung jawab untuk membantu anak dan keluarga mengidentifikasi
kemungkinan pemicu , seperti sinar matahari dan stres emosional, dan
membantu keluarga untuk menemukan cara untuk menghindarinya. (Ward,
Susan L and Hisley, Shelton M. 2009)
21
2.12.4 Fatique dan Tidur
Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini
biasanya akan membaik sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa orang
tua merasa sulit selama ini untuk memungkinkan anak-anak mereka untuk
berpartisipasi dalam kegiatan. Terapi sokupasi dan fisik dapat sangat
membantu dalam membantu untuk mengembangkan kegiatan yang lebih
baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa berubah pada
awal SLE. Hal ini biasanya berhubungan dengan kortikosteroid. Beberapa
anak menjadi hiperaktif dan murung, dan mengalami kesulitan tidur. Hal
ini dapat ditingkatkan dengan mengambil dosis kortikosteroid sore hari
lebih awal. Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air
kecil beberapa kali di malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk
tidur. Keterkaitan dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit
masalah (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
22
karena mereka tidak ingin berbeda dari yang lain (Malleson, Pete; Tekano,
Jenny. 2007).
Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga
atau anak hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis. Saat
ini, meskipun penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat dan hanya
sedikit obat yang diperlukan, dukungan dan pendidikan yang lebih lanjut
diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana seorang anak dapat berjalan dengan
baik selama beberapa tahun dan kemudian memiliki flare dari penyakit
mereka, sangat menegangkan. Hal ini kembali memperkuat kronisitas SLE
dan keluarga mungkin memiliki waktu yang lebih sulit menghadapi flare
penyakit daripada di diagnosis asli. Sebuah hubungan saling percaya dengan
tim perawatan medis sangat penting dengan komunikasi terbuka dan jujur
dengan baik anak dan orang tua (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Anak-anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim kesehatan
profesional untuk membantu mereka melalui sampai dewasa. Sebagai anak-
anak bertambah tua adalah penting bahwa tim kesehatan mendorong keluarga
untuk memberikan peningkatan kontrol manajemen penyakit pada anak. Ini
transisi dari manajemen penyakit dari orang tua kepada anak dapat dibantu
dengan memiliki transisi yang klinik remaja spesifik dijalankan bersama oleh
anak dewasa dan dokter. Ketidakpastian lupus dengan flare dan remisi berarti
bahwa pemantauan ketat akan selalu dibutuhkan, tetapi banyak anak
beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak membiarkan Penyakit mereka
mengganggu berlebihan dengan kehidupan mereka. Hal ini dapat sangat
diperlukan penghargaan untuk membantu tumbuh menjadi orang-orang
dewasa yang sehat sukses (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
23
BAB III
TINJAUAN KASUS
Hasil pemeriksaan lab: Hb: 9,9 g/dl, hematokrit 30 g/dl, leukosit 3,7 rb/ul,
trombosit 166.000/ul dan LED 44 mm. Dari hasil pemeriksaan SGOT 95 g/dl,
SGPT 42, albumin 3,20 g/dl, globulin 2,90 g/dl, ureum darah 11 mg/dl, kreatinin
darah 0,2 mg/dl. Hasil Urinalisa menunjukkan epitel positif (+), protein urin
kuantitatif 229 mg/24 jam dan hasil pemeriksaan double stranded DNA
menunjukkan hasil positif.
Saat ini pasien mendapatkan terapi infus kaen I B 20 tts/mnt, Ibuprofen 3x 400
mg, omeprazole 1x40 mg, meftin syrup 2x5 ml, Lactulax syrup 3x5 ml, sunblock
SPF 30.
24
8. Daerat T face
9. Globulin
10. Ibuprofen
11. Sunblock SPF
Jawaban
25
mengubah keasaman feses, serta membantu mencegah pertumbuhan
bakteri dalam usus.
6. Meptin merupakan obat yang digunakan untuk meringankan gejala-gejala
asma dengan cepat pada saat serangan asma berlangsung dan mampu
mengobati Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Meptin mengandung
zat aktif Procaterol HCl yaitu obat golongan bronkodilator (agonisselektif
beta-2 adrenergik) yang bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di
sekitar saluran pernafasan yang menyempit sehingga oksigen dapat
mengalis lebih lancar menuju paru-paru.
7. Ka-En 1B Infusion di indikasikan untuk perawatan Cairan dan nutrisi
pengganti, Kadar natrium yang rendah, Kadar kalium rendah, Kadar
magnesium yang rendah, Tingkat kalsium yang rendah, Darah dan
kehilangan cairan dan kondisi lainnya.
8. Pengenalan wajah adalah teknologi komputer untuk menentukan lokasi
wajah, ukuran wajah, deteksi fitur wajah dan pengabaian citra latar,
selanjutnya dilakukan identifikasi citra wajah.
9. Immunoglobulin berperan dalam mekanisme pertahanan, dan terbagi atas
lima kelas yaitu: IgA merupakan immunoglobulin yang banyak ditemukan
pada sekret dalam sistem pernafasan, pencernaan, dan saluran kemih. IgD
memiliki jumlah yang sedikit, tetapi fungsinya tidak diketahui IgE
merupakan immunoglobulin yang berperan pada infeksi cacing, tetapi
konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan alergi. IgG merupakan
immunoglobulin yang paling banyak jumlahnya dan berperan dalam
menyerang patogen seperti bakteri. IgM banyak ditemukan sebagai hasil
infeksi, lalu jumlahnya akan berkurang.
10. Sebagai obat non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang mengurangi sakit,
demam dan inflamasi. Digunakan sebagai inhibitor
siklooksigenaseselektif (IC50=14,9uM). Dapat menghambat PGH
synthase-1 dan PGH synthesa-2 dengan potensi yang dapat
diperbandingkan.
26
11. Sunblock mengandung mineral seperti zinc oxide atau titanium dioxide
yang membangun lapisan di atas permukaan kulit, berfungsi sebagai
dinding penghalang kulit dari sinar matahari. Tekstur lotion sunblock
lebih kental, berwarna putih susu, dan dapat terlihat jelas oleh mata.
Sunblock adalah rekomendasi perlindungan terbaik jika Anda memiliki
aktivitas berjam-jam di bawah sengatan matahari, seperti berenang atau
bermain di pantai.
27
produk tersebut akan memperpanjang waktu Anda hingga 10 kali lipat
lebih lama sebelum terbakar, atau 15×10 menit = 150 menit alias 2,5 jam.
Jika kulit Anda biasanya terbakar matahari dalam 10 menit jika tidak pakai
krim pelindung, dan Anda menggunakan SPF 30, maka krim ini akan
melindungi Anda dari paparan matahari selama 300 menit. Dan
seterusnya.
2. Lo
3. Lo
4. Diagnosa keperawatan
a. nyeri akut
b. hipertermi
c. kerusakan integritas kulit
d. defisit pengetahuan
e. intoleransi aktifitas
f. hambatan mobilitas fisik
g. resiko infeksi
h. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. LO
28
Trombosit : 166.000/ul (menurun)
LED : 44 mm
SGOT : 95 g/dl (meningkat)
SGPT : 42, (meningkat)
Albumin : 3,20 g/dl
Globulin :2,90 g/dl (normal)
ureum darah : 11 mg (normal)
9. Pemeriksaan penunjang
a. Perhitungan sel darah lengkap
b. analisa urin
c. pemeriksaan ANA
d. Pemeriksaan imunologi
e. tes komplemen C3 dan C4
29
3.4 STEP IV (MIND MAPPING)
1. Nyeri akut
klasifikasi 2. Hipertermi
1. Pemeriksaan Lab 3. Kerusakan
darah lengkap integritas kulit
:SGOT, SGPT, 4.defisit
pencegahan albumin, Pengetahuan
globulin, ureum 5. intoleransi
darah, kreatinin. aktivitas
2. Urinalisa 6. hambatan
Askep Pemeriksaan mobiitas fisik
penunjang 7. Resiko infeksi
Ds DNA
Jawaban :
30
2. Nyeri dan pembengkakan di sendi serta kekakuan dipagi hari merupakan
tanda klasik penyakit lupus. Rasa nyeri paling sering muncul
dipergelangan tangan, buku jari, dan jari – jari. Nyeri ini juga kerap
disamakan dengan rheumatoid arthitis (RA). Bedanya, pada lupus biasanya
memengaruhi sendi di satu sisi. Selain itu pembengkakan dan rasa nyeri ini
cenderung datang dan pergi, tidak bertambah parah dari hari ke hari seperti
rematik. Rasa nyeri juga dapat berpindah dengan cepat dari sendi satu ke
sendi yang lain. Tetapi SLE umumnya tidak menyebabkan kerusakan atau
cacat permanen pada persendian.
3. Tidak boleh, karena lupus dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk
ginjal, sehingga konsumsi obat atau vitamin jika tanpa resep dari dokter
sebaiknya dihindari karena akan meningkatkan beban kerja untuk ginjal.
Lupus merupakan penyakit autoimun yaitu sistem pertahanan tubuh yang
seharusnya melindungi dari berbagai macam penyakit, menyerang dirinya
sendiri, sehingga bisa menyebabkan keluhan dari banyak organ seperti
ginjal, sendi, rambut, mukosa mulut, jantung dan organ lainnya.
6. Penyebab demam pasien lupus hilang timbul yaitu karena orang yang
terkena penyakit lupus sering kali mengalami demam hilang timbul lebih
dari 38 C. Hal ini terjadi sebagai respon tubuh terhadap peradangan dan
infeksi oleh karena itu, suhu tubuh akan meningkat melebihi normal.
31
c. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura, lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
d. Sistem musculoskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
e. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam yang berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung dan pipi.
f. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritomatous dan parpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosit.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea atau manifestasi SPP lainnya.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
b. Keletihan b/d peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
c. Ganggun integritas kulit b/d perubahan fungsi, ballier kulit,
penumpukan, kompleks imun.
d. Kerusakan mobilitas fisik b/d penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
32
e. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dan ketergantungan fisik serta
fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan: perbaikan dalam tingkat kenyamanan.
Intervensi:
33
1) Berikan penjelasan tentang keletihan.
5) Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.
34
4) Nasihati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir
surya.
35
Tujuan: mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan perubahan fisik
serta psikologi yang ditimbulkan penyakit.
Intervensi:
1) Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendali gejala
penyakit dan penanganannya.
4. Implementasi
Sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil.
1. Identitas Pasien
Nama : An.M
Umur : 13 Tahun
36
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Suku/bangsa :
Sumber biaya :
4. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Pasien tampak butterfly rash pada wajah dan pada daerah T-
0
face, ekstremitas teraba hangat dengan suhu 38 C. Klien masih
merasa nyeri sendi seluruh tubuhnya dengan skala 7,nyeri sendi yang
dirasakan terasa lebih nyeri pagi hari saat bangun tidur. Pada seluruh
tubuh tampak rash.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pasien dirawat sejak 5 hari yang lalu, demam dirasakan hilang
timbul, klien mengeluh lemas, sendi terasa nyeri, rambut rontok
sejak 3 minggu yang lalu.
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak terkaji
37
5. Observasi dan pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : lemah
b. Kesadaran :
c. TTV :
Tekanan darah :
Nadi :
Respirasi rate :
Suhu : 38 0 C
d. System kardiovaskuler :
e. System pernapasan :
f. System muskuloskletal : Merasakan nyeri sendi di seluruh tubuhnya
dengan skala 7, sendi terasa nyeri di pagi hari.
g. System persarapan :
h. System pencernaan :
i. Sistem penglihatan :
j. System pendengaran :
k. System integument : Tampak butterfly rash pada wajah daerah
T-face
l. System endokrin :
m. Pengkajian Psikososial
n. Personal Hygiene dan kebiasaan
o. Pengkajian spiritual
6. Pemeriksaan penunjang
a. Albumin : 3,20 g/dl
b. Hemoglobin : 9,9 gr/dl
c. Leukosit : 3,7 rb /ul
d. Hematokrit : 30 g/dl
e. LED : 44 mm
f. Trombosit : 166.000/ul
g. SGOT : 95 g/dl
38
h. SGPT : 42 g/dl
i. Globulin : 2.90 g/dl
j. Ureum darah : 11 mg/dl
k. Kreatinin darah : 0,2 mg/dl
l. Epitel positif (+)
m. Protein urine kuantitatif 229 mg/24 jam
n. Double stranded DNA menunjukkan hasil positif.
7. Terapi :
a. Infus kaen 1B 20 tpm
b. Ibuprofen 3 x 400 mg
c. Omeprazole 1 x 40 mg
d. Meftin syrup 2x 5 ml
e. Lactulax syrup 3x 5 ml
f. Sunblock SPF 30.
B. Analisa Data
DO :
1. Ekstremitas teraba
hangat 38 0 C
2. Nyeri sendi dengan
skala nyeri 7
3. Seluruh tubuh tampak
rash
18 Ds : Pasien mengeluh lemas Gangguan Sensitifitas
39
Oktober Do : integritas kulit terhadap
cahaya
2019 1. Terdapat butterfly rash
matahari
2. T-face pada wajah
3. Ekstremitas teraba
proses dari
40
7. SGPT 42 g/dl
8. Butterfly rash
18 DS : Defisit Kurang
Oktober pengetahuan terpaparnya
DO :
informasi
2019
1. pasien mengeluh
demam 3 minggu yang
lalu
2. Mengalami rontok
rambut 3 minggu yang
lalu
C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d kerusakan integritas tulang
2. Gangguan integritas kulit b.d sensitifitas terhadap cahaya matahari
proses dari penyakit lupus
3. Hipertermi b.d proses penyakit lupus
4. Risiko gangguan pertumbuhan b.d penyakit lupus
5. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
D. Intervensi Keperawatan
41
2. Memberikan analgesik
sesuai yang dianjurkan
3. Sesuaikan jadwal
pengobatan untuk memenuhi
kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri
4. Dorong pasien untuk
mengutarakan perasaannya
tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
5. Memberikan terapi
relaksasi
6. Lakukan penilaian
terhadap perubahan subjek
pada rasa nyeri.
2. Gangguan Setelah dilakukan 1. Memberikan dukungan
integritas tindakan keperawatan perawatan diri
kulit b.d selama 3 x 24 jam 2. Melakukan pemberian obat
sensitifitas diharapkan masalah 3. Memberikan edukasi
terhadap gangguan integritas perawatan diri
cahaya kulit teratasi 4. Memberikan obat kulit
matahari 5. Kolaborasi pemberian
proses dari NSAID dan kortikosteroid
penyakit 6. Edukasi perawatan kulit
lupus 7. Memonitor warna dan suhu
kulit
8. Memonitor ruam
9. Memonitor terjadinya infeksi
3. Hipertermi Setelah dilakukan 1. Monitor TTV
b.d proses tindakan keperawatan 2. Memberikan edukasi
penyakit selama 3 x 24 jam pengukuran suhu tubuh
42
lupus diharapkan masalah 3. Memberikan program
hipertermi teratasi pengobatan
4. Memberika kompres dingin
5. Melakukan pemberian obat
4. Risiko Setelah dilakukan 1. Manajemen nutrisi
gangguan tindakan keperawatan 2. Pemantauan nutrisi
pertumbuha selama 3 x 24 jam 3. Manajemen lingkungan
n b.d diharapkan masalah rkenyamanan lingkungan
penyakit risiko gangguan 4. Melakukan edukasi berat
lupus pertumbuhan teratasi badan efektif
5. Memberikan edukasi mencari
kesehatan
5.1. Defisit Setelah dilakukan 1. Berikan penilaian tentang
pengetahuan tindakan keperawatan tingkat pengetahuan keluarga
b.d kurang selama 3 x 24 jam tentang proses penyakit yang
terpapar diharapkan masalah spesifik
informasi deficit pengetahuan 2. Jelaskan gambaran tanda dan
teratasi gejala yang biasa muncul
pada penyakit dengan cara
yang tepat
3. Sediakan informasi pada
pasien tentang
4. Identifikasi kemungkinan
penyebab
5. Hindari harapan yang kosong
43
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun
yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia& Lorraine,
2006 ). Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
beberapafaktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
genetik, imun, hormonal dan lingkungan. Penyakit lupus atau systemic lupus
erythematosus (SLE) prevalensinya dalam populasi tertentu kira – kira satu
kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi pada perempuan (kira –
kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur. systemic
lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti
44
ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita
muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa
reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1).
4.2 Saran
Perawat atau tenaga medis lain yang memberikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan SLE yang diderita pasien setiap petugas medis di
harapkan saling berkolaborasi. Setiap Rumah sakit diharapkan memiliki dan
memberikan fasilitas yang memadai untuk menangani klien dengan keluhan
tersebut. Semoga makalah ini dapat menjadi rujukan bagi kita untuk bisa
memberikan layanan kesehatan khususnya pada pasien Lupus yang lebih
optimal lagi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials ofPediatric Nursing).ED.6. Jakarta: EGC
46