Anda di halaman 1dari 283

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke


hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya buku
yang berjudul "Perilaku Organisasi” ini dapat diselesaikan
sesuai dengan harapan.
Penyusunan buku ini bertujuan untuk membantu
mahasiswa, khususnya peserta Program Pascasarjana dalam
memahami perilaku dalam organisasi. Pemahaman tersebut
sangat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan
sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja dalam mengelola
pegawai sebagai assets perusahaan atau organisasi yang
sangat berharga.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini
banyak menghadapi kendala teknis yang disebabkan oleh
keterbatasan waktu dan tenaga. Tetapi berkat bantuan dan
partisipasi dari berbagai pihak, kendala-kendala tersebut
dapat diatasi sehingga buku ini selesai disusun. Dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada Pengelola Unit Penerbitan Universitas Majalengka
yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menerbitkan buku ini.
Penulis berharap, semoga buku ini bermanfaat bagi
siapa saja yang ingin mengembangkan diri melalui belajar
sepanjang hayat.

Majalengka, Februari 2013

Penulis

v
PENGANTAR PENERBIT
Dewasa ini perkembangan Iptek terus bergerak seiring
dengan perkembangan dan tuntutan zaman, sehingga
diperlukan pemikiran yang arif guna menghadapi perubahan
tersebut. Demikian juga di bidang organisasi dan
manajemen, apabila tidak menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungan tentu akan tersisih dalam persaingan yang
semakin ketat. Upaya pembenahan organisasi dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan perlu ditunjang oleh
partisipasi dari semua komponen masyarakat, terutama
mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang diperlukan di
masyarakat.
Pada tataran praktis, pemberdayaan SDM menyangkut
berbagai aspek, bukan hanya dari segi skill dan moral semata,
melainkan diperlukan juga penataan organisasi secara
keseluruhan. Dengan penataan perilaku organisasi, potensi
manusia yang merupakan sumber daya utama dalam
berorganisasi akan bermanfaat bagi upaya pencapaian tujuan,
baik dalam organisasi pemerintah maupun swasta. Untuk hal
itu, diperlukan kader-kader muda yang tangguh dan mampu
tampil sebagai manajer di dunia kerja.
Oleh karena itu, kami berusaha menerbitkan buku yang
berjudul Perilaku Organisasi ini, sebagai salah satu bentuk
dukungan untuk mewujudkan cita-cita penulisnya yang ingin
membantu kaum intelektual dalam mengabdikan dirinya
kepada nusa, bangsa, dan negara.
Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. H.A. Yunus, Drs., SH.,
MBA, M.Si. Di sela-sela kesibukannya sebagai Rektor
Universitas Majalengka, dibantu oleh Dr.H. Wahyudin
Nawawi, Drs.,M.M. beliau masih sempat menulis demi
pengabdiannya kepada dunia pendidikan yang telah
ditekuninya sejak 1967. Beliau meniti karir sebagai pendidik
vi
mulai dari Guru SR, kemudian bergerak naik dan akhirnya
menduduki jabatan sebagai Rektor. Walaupun di tengah
perjalanan karirnya sempat memasuki dunia birokrasi, tetapi
naluri kependidikan tetap kuat dan akhirnya kembali ke dunia
pendidikan. Saat ini beliau telah melampaui usia 60 tahun,
tetapi semangat dan kreativitasnya dalam menulis tidak
pernah surut, bahkan masih produktif dan memiliki mimpi
besar untuk mendirikan sebuah penerbitan di lingkungan
Universitas Majalengka.
Kami berharap, dengan terbitnya buku ini semoga
menjadi pendorong bagi rekan-rekan dosen di lingkungan
Universitas Majalengka untuk mengikuti jejaknya, menjadi
pendidik yang produktif termasuk dalam menghasilkan karya
tulis. Amiin.

Majalengka, Februari 2013

Penerbit

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................... v


PENGANTAR PENERBIT .............................................. vii
DAFTAR ISI ..................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................... 1


1.1 Pengantar Perilaku Organisasi ...................... 1
1.2 Pengertian Perilaku Organisasi .................... 5
1.3 Ilmu-ilmu yang Mendukung Perilaku
Organisasi ...................................................... 15
1.4 Tantangan dan Peluang Perilaku Organisasi 18

BAB II PERILAKU INDIVIDU DALAM ORGANISASI .... 29


2.1 Dasar-dasar Perilaku Individu ...................... 29
2.2 Persepsi ......................................................... 41
2.3 Kepribadian .................................................. 55

BAB III MOTIVASI DAN PROSES BELAJAR INDIVIDU 62


3.1 Konsep Motivasi Dasar ............................... 62
3.2 Motivasi dan Teknik Motivasi ..................... 75
3.3 Proses Belajar Individu ................................ 95

BAB IV PERILAKU KELOMPOK DALAM


ORGANISASI................................................... 106
4.1 Dasar-dasar Perilaku Kelompok .................. 106
4.2 Komunikasi .................................................. 124
4.3 Dinamika Kelompok.................................... 138

BAB V KONFLIK DAN KEPEMIMPINAN DALAM


ORGANISASI ...................................................... 145
5.1 Konflik ......................................................... 145
viii
5.2 Manajemen Konflik ..................................... 167
5.3 Kepemimpinan............................................. 176
5.4 Kepemimpinan Islam ................................... 201

BAB VI PERILAKU ORGANISASI ............................... 208


6.1 Organisasi Pembelajaran ............................. 208
6.2 Perubahan Organisasi .................................. 218
6.3 Pengembangan Organisasi ........................... 236
6.4 Kekuasaan dan Politik ................................. 241

BAB VII BUDAYA ORGANISASI DAN MANAJE-


MEN STRES ................................................... 251
7.1 Budaya Organisasi ....................................... 251
7.2 Manajemen Stres ......................................... 261

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 274

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengantar Perilaku Organisasi


Dewasa ini perkembangan organisasi semakin pesat,
bahkan beberapa universitas terkenal di luar negeri sengaja
menyediakan fasiltas untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tentang perilaku organisasi.
Pesatnya perkembangan ilmu tersebut dapat dipahami
mengingat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhinya
begitu nyata dan dapat dirasakan oleh semua pihak dan
berkaitan erat dengan persoalan-persoalan organisasi
cenderung semakin ruwet. Demikian juga halnya dengan
persoalan manusia menjadi tantangan yang harus dihadapi
oleh para manajer sekarang ini. Manusia merupakan
pendukung utama organisasi, bagaimana pun bentuknya.
Karena memang manusia sebagai subyek dalam organisasi.
Perilaku manusia dalam kelompok adalah awal dari
perilaku organisasi, oleh karena itu persoalan-persoalan
manusia senantiasa terus berkembang dan semakin rumit
yang berdampak kepada rumitnya perilaku dalam organisasi.
Di sisi lain, organisasi sendiri terus berkembang sejalan
dengan berkembangnya keadaan.
Pada hakekatnya, perilaku organisasi berkembang
berdasarkan ilmu perilaku itu sendiri. Kemudian berkembang
pesat dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia
dalam suatu organisasi. Adapun kerangka dasar ilmu Perilaku
Organisasi menyangkut (a) Individu yang berperilaku, (b)
Organisasi formal sebagai wadah dari perilaku.
Ciri peradaban manusia yang bermasyarakat adalah
terlibat dalam suatu organisasi, berarti manusia tidak dapat

1
melepaskan diri dari keterlibatannya dalam organisasi
tertentu, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan
masyarakat yang lebih luas. Masyarakat kita adalah
masyarakat organisasi, sejak dilahirkan manusia sudah berada
di lingkungan organisasi (keluarga), kemudian tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan organisasi yang lebih luas dan
kompleks.
Hal ini berarti pula bahwa manusia dilahirkan, dididik,
dan menghabiskan waktu dalam organisasi. Yang dimaksud
dengan menghabiskan waktu adalah bekerja, di mana pun ia
berada akan terlibat dalam organisasi, bahkan bekerja untuk
organisasi. Keluh kesah manusia berkenaan dengan pekerjaan
terkadang rumit dan unik, seseorang yang menganggur akan
merasa bahwa dirinya kurang berguna, kemudian berusaha
sedapat mungkin untuk memperoleh pekerjaan, yang berarti
masuk ke dalam organisasi. Di pihak lain, orang yang sudah
terlibat dalam suatu organisasi banyak juga yang mengeluh,
kemudian mencari alternatif lain, dan akhirnya masuk juga ke
dalam lingkungan organisasi.
Sebagian waktu yang dimilikinya, ada juga yang tidak
digunakan untuk bekerja Manusia bermain, bersenang-
senang, berdo’a, dan bentuk aktivitas lainnya tidak lepas dari
organisasi. Bahkan sampai mati pun, manusia masih berada
dalam aktivitas suatu organisasi. Pada saat upacara
pemakaman, organisasi masih berperan dengan baik.
Dengan demikian, manusia dan organisasi sudah
menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Kedua unsur utama ini
akan terus berinteraksi, kemudian melahirkan bidang kajian
khusus, yang dinamakan perilaku organisasi.

Konsep, Teknis, dan Manusia.


Para ahli telah banyak yang melakukan penelitian
tentang perilaku organisasi melalui sudut pandang masing-

2
masing. Semula, orang menganggap bahwa unsur utama dari
suatu organisasi adalah birokrasi, seperti yang dikemukakan
Weber. Namun demikian, perkembangan selanjutnya terdapat
perubahan yang cukup signifikan, karena Bennis salah
seorang pakar mengemukakan pandangannya bahwa konsep
dasar nilai-nilai organisasi berlandaskan kemanusiaan.
Tahapan selanjutnya, pembahasan tentang manusia dalam
teori organisasi bukan semakin ditinggalkan, melainkan
semakin menarik untuk diperbincangkan, sehingga manusia
dianggap sebagai salah satu unsur pokok dalam pembahasan
perilaku organisasi.
Unsur pokok lainnya adalah konsep dan teknis, yang
kesemuanya sudah barang tentu bersumber dari manusia dan
manusia juga yang bertindak sebagai subyek untuk
memadukan ketiga unsur pokok tersebut. Dengan demikian,
kegiatan organisasi akan efektif apabila tiga unsur pokok
berinteraksi. Ketiga dimensi tersebut adalah Konsep, Teknis,
dan Manusia.
Konsep merupakan merupakan motor penggerak bagi
dimensi lainnya, yang amat erat kaitannya dengan dimensi
manusia. Konsep akan berguna bagi manusia dalam
menjalankan aktivitas organisasi.
Teknis, menekankan pada kecakapan yang dibutuhkan
untuk menggerakkan organisasi. Dimensi ini berisi keahlian-
keahlian birokrat atau manajer di bidang teknis yang
diperlukan guna menggerakkan organisasi. Misalnya keahlian
komputer, akuntansi, pemasaran, pemesinan, dan yang
lainnya.
Manusia, adalah subyek yang berperan untuk
menggerakkan organisasi. Dalam menjalankan fungsinya itu
harus berpedoman kepada konsep dan teknis. Apabila
manusia sebagai birokrat hanya mengandalkan teknis dan

3
mengabaikan konsep, akan menimbulkan iklim organisasi
yang tidak respektif bagi manusia lainnya
(karyawan/pegawai, atau bawahan). Salah satu manfaat dari
ilmu perilaku organisasi adalah untuk mengurangi sikap
birokrat yang tidak respektif itu.
Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku dalam organisasi berkaitan erat
dengan manusia, dengan asumsi bahwa manusia merupakan
satu unsur yang unik dan kompleks. Yang dimaksud dengan
unsur yang unik, manusia memiliki perbedaan dalam
persamaan. Dikatakan kompleks, karena keberadaannya
berkaitan erat dengan unsur-unsur lain.
Oleh karena itu, dalam memahami manusia diperlukan
sejumlah pengetahuan yang cukup memadai guna
mengungkap rahasia manusia yang kompleks tersebut. Secara
psikologis, mengungkap manusia harus melalui riset empiris
yang akurat sebelum diterapkan dalam mengelola manusia
secara efektif. Secara tradisional, bagi para birokrat atau
manajer yang ingin memahami manusia dapat dilihat dari
asumsi-asumsi ekonomi, sosial, keamanan, dan suasana kerja.
Oleh karena itu, pendekatan hubungan kerja melalui
hubungan kemanusiaan (human relation), psikologi industri
dan keteknikan industri, dapat digunakan sebagai pendekatan
untuk memahami perilaku manusia dalam organisasi.
Akhir-akhir ini, pendekatan untuk memahami manusia
dalam organisasi lebih mudah dikaji melalui ilmu perilaku
organisasi, karena didukung oleh ilmu pengetahuan lainnya.
Sedikitnya terdapat lima macam disiplin ilmu pengetahuan
yang digunakan untuk memahami manusia tersebut.
Dengan memahami konsep nilai-nilai organisasi yang
didasarkan pada kemanusiaan, di masa depan diharapkan
akan terbit sistem sosial yang lebih baik dari abad sekarang.

4
Bagaimana pun, nilai-nilai kemanusiaan akan mampu
menembus berbagai dimensi sosial yang rumit dan akan
mendapat respon positif dari semua pihak.

1.2 Pengertian Perilaku Organisasi


Pengertian Dasar :
Perilaku Organisasi adalah studi yang menyangkut
aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi. Secara
praktis, tujuan penelaahan Perilaku Organisasi adalah untuk
mengarahkan prilaku manusia dalam usaha pencapaian tujuan
organisasi. Siapa pun yang merumuskan pengertian Perilaku
Organisasi titik tolak pemikirannya selalu dimulai dari
perilaku manusia.

Pengertian Perilaku Organisasi menurut para ahli:


Menurut Keith Davis (1993:5), perilaku organisasi
adalah ”telaah dan penerapan pengetahuan tentang
bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi”.
Perilaku organisasi sendiri merupakan sarana manusia bagi
keuntungan manusia yang dapat diterapkan secara luas dalam
prilaku orang-orang di semua jenis organisasi. Seperti
organisasi bisnis, pemerintahan, sekolah, dan organisasi jasa.
Apa pun organisasi itu terdapat kebutuhan untuk memahami
perilaku organisasi.

Selanjutnya Keith Davis mengemukakan lebih jauh


bahwa unsur pokok dalam perilaku organisasi adalah : orang,
struktur, teknologi, dan lingkungan tempat organisasi itu
beroperasi. Apabila beberapa orang tergabung dalam suatu
organisasi dalam rangka mencapai tujuan, akan memerlukan
jenis strukur tertentu. Di samping itu, orang-orang pun akan
memerlukan teknologi untuk membantu penyelesaian
pekerjaan, sehingga akan terdapat interaksi antara orang,

5
struktur, dan teknologi.Unsur-unsur tersebut dipengaruhi juga
oleh lingkungan luar, dan unsur itu mempengaruhinya juga.
Keterkaitan antara orang, struktur, teknologi, dan lingkungan
luar digambarkan sebagai berikut.

Orang

Lingkungan
Organisasi luar

Struktur Teknologi

Gambar 1.1
Unsur-unsur pokok dalam organisasi

Berikut dikemukakan ulasan ringkas dari unsur-unsur


perilaku organisasi :
Orang, orang merupakan subyek dalam organisasi.
Orang-orang membentuk sistem sosial intern organisasi.
Mereka terdiri atas kumpulan orang-orang dan kelompok,
baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Di samping itu
ada juga kelompok yang tidak resmi dan informal serta
berbagai kelompok yang lebih resmi dan formal. Semua
kelompok yang terlibat bergerak secara dinamis. Kelompok
tersebut terbentuk, berubah, dan bercerai-berai. Sekarang ini
organisasiorang-orang tidak sama dengan organisasi di masa-
masa sebelumnya. Orang adalah mahluk hidup yang berjiwa
dan bergerak dinamis, ia memiliki pikiran, perasaan, senang,

6
sedih, dan bercita-cita.Dengan demikian orang akan berusaha
mewujudkan cita-citanya dengan mengembangkan kreativitas
berpikir dan daya cipta untuk mencapai tujuannya. Maka
organisasi dibentuk untuk melayani kebutuhan manusia dan
bukan sebaliknya, orang hidup bukan untuk melayani
organisasi.

Struktur, berperan untuk menentukan hubungan resmi


bagi orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.
Bermacam-macam pekerjaan yang berbeda jenis diperlukan
untuk melakukan berbagai aktivitas organisasi. Secara
struktural fungsional diperlukan adanya manajer dan bukan
manajer serta sekelompok pegawai, seperti akuntan, operator,
dan perakit. Orang-orang yang menduduki formasi dan
memiliki pekerjaan masing-masing harus dihubungkan
dengan cara tertentu secara terstruktur agar pelaksanaan
pekerjaan efektif dan efisien. Semua hubungan tersebut akan
menimbulkan berbagai masalah kerja sama, perundingan, dan
pengambilan keputusan yang rumit dan kompleks.

Teknologi, berperan untuk menyediakan sumber daya


yang digunakan oleh orang-orang untuk melaksanakan tugas
dan pekerjaan. Sumber daya tersebut akan mempengaruhi
tugas yang mereka lakukan. Mereka tidak akan menghasilkan
banyak hal hanya dengan menggunakan tangan kosong.
Sehingga dengan menggunakan teknologi, mereka dapat
mendirikan bangunan, merancang mesin, merancang design,
menciptakan proses kerja dan mengolah sumber daya.
Teknologi yang dihasilkan menimbulkan pengaruh yang
cukup signifikan terhadap hubungan kerja di sebuah
organisasi. Semakin canggih teknologi yang digunakan,
dampak yang dihasilkan akan semakin besar dan berkualitas

7
bahkan mampu mengerjakan berbagai hal sesuai dengan
kebutuhan. Teknologi pun memiliki jenis yang sangat
bervariasi, sehingga teknologi industri berat tidak akan sama
dengan industri ringan. Teknologi pengolahan makanan akan
berbeda dengan penggilingan batu. Namun perlu diwaspadai
bahwa teknologi pun kadang-kadang menghambat orang-
orang dalam berbagai cara, bahkan memiliki dampak yang
merugikan manusia dan merusak lingkungan.

Lingkungan, tidak ada yang berani menyangkal bahwa


semua organisasi berada di tengah-tengah lingkungan luar.
Oleh karena itu organisasi tidak berdiri sendiri, ia
bergandengan dengan organisasi lain di lingkungannya. Suatu
organisasi merupakan bagian dari organisasi besar yang
memuat banyak unsur, seperti pemerintahan, keluarga, dan
organisasi lainnya. Semua unsur tersebut saling
mempengaruhi dalam suatu sistem yang rumit dan menjadi
corak hidup bagi sekelompok orang. Suatu organisasi,
misalnya pabrik atau perusahaan, atau sekolah, tidak akan
mampu menghindar dari pengaruh lingkungan luar.
Lingkungan luar akan mempengaruhi orang-orang,
mempengaruhi kondisi kerja, mempengaruhi situasi kerja dan
menimbulkan persaingan untuk memperoleh sumber daya
dan kekuasaan. Oleh karena itu, lingkungan luar harus
dipertimbangkan secara matang untuk menelaah perilaku
manusia yang terlibat dalam organisasi.

Menurut Robbins (2007:10), perilaku organisasi adalah


“Suatu bidang studi yang mempelajari dampak perorangan,
kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi
dengan maksud menerapkan pengetahuan tentang hal-hal
tersebut dengan perbaikan efektivitas organisasi”.

8
Perilaku Organisasi biasa disebut OB (Organizational
Behavior), merupakan suatu bidang studi yang mempelajari
dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada suatu
organisasi. Tujuannya adalah untuk menerapkan pengetahuan
tentang segala sesuatu guna meningkatkan efektivitas
organisasi.
Perilaku Organisasi merupakan suatu bidang ilmu
tersendiri yang terpisah dari ilmu pengetahuan umum.
Terdapat tiga pokok sasaran yang menjadi obyek kajian ini,
yakni individu, kelompok, dan struktur. Pengkajian dari
ketiga pokok tersebut diperoleh pengetahuan bidang lain,
yakni pekerjaan, pekerja, keabsenan, pengunduran diri
karyawan/pegawai, produktivitas, kinerja manusia, dan
manajemen.
Setelah dikembangkan, terdapat juga ilmu pengetahuan
lain yang mendukung terhadap kajian tersebut, maka
pembahasan akan semakin berkembang dengan disepakatinya
oleh para ahli, sehingga pembahasan OB mencakup motivasi,
perilaku dan kekuasaan pemimpin, komunikasi interpersonal,
struktur dan proses kelompok, pembelajaran, pengembangan
sikap dan persepsi, proses perubahan, konflik, desain
pekerjaan, dan stres pekerjaan.
Untuk memahami perilaku oganisasi diperlukan
informasi sebanyak-banyaknya tentang perilaku individu,
kelompok, dan struktur yang berlaku dalam organisasi. Oleh
karena itu, untuk memahami perilaku organisasi harus
mengungkap fakta-fakta tentang hal-hal tersebut.
Robbins (2007:11), mengemukakan bahwa ”Perilaku
umumnya dapat diperkirakan jika kita tahu bagaimana orang
tersebut menyikapi situasi dan apa yang penting baginya.
Meski perilaku seseorang mungkin tampak tidakrasional bagi
orang lain,terdapat alasan untuk meyakini bahwa perilaku

9
tersebut biasanya dimaksudkan agar rasional dan dianggap
rasional oleh mereka. Seorang pengamat sering melihat suatu
perilaku tak rasional karena pengamat itu tidak mempunyai
informasi yang sama atau tidak menyikapi lingkungan
dengan cara yang sama”.
Namun demikian, kemungkinan besar terdapat hal-hal
yang tidak dapat diungkap karena di setiap organisasi
terdapat aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Sehingga pernyataan perilaku tidak selalu 100% benar,
karena sebagian fakta sulit diungkap.
Contoh :
Di sebuah supermarket terdapat tangga berjalan,
kemudian timbul pertanyaan. Apakah setiap akan memasuki
pintu tangga tersebut harus menghadap ke pintu ? Semua
orang hampir berbuat demikian, tetapi pernahkan Anda
mendengar atau melihat peraturan tentang hal itu?
Bandingkan dengan perilaku seorang pengemudi mobil,
sebelum berangkat saja sudah dikendalikan oleh peraturan. Ia
akan mengecek kelengkapan surat-surat kendaraan dan SIM,
pada saat duduk memegang kemudi mengontrol sabuk
keselematan, ketika bergerak di jalan raya akan selalu
memperhatikan rambu-rambu lalu lintas. Dengan demikian,
akan tampak jelas perbedaan perilaku pengemudi yang sarat
akan peraturan dengan perilaku orang yang bergerak di
sebuah supermarket.
Berdasarkan contoh di atas, perilaku organisasi dapat
diamati melalui perkiraan. Namun perkiraan tersebut akan
semakin akurat apabila menggunakan studi yang sistematik.
Studi sistematik adalah : ”Melihat pada hubungan, berupaya
menentukan sebab dan akibat, dan menarik kesimpulan
berdasarkan bukti ilmiah”. Hal ini berbeda dengan intuisi
yang hanya menggunaan perasaan dan tidak selalu didukung
penelitian.

10
Indrawijaya berpandangan bahwa secara sederhana
dalam mempelajari perilaku organisasi mencakup empat
unsur utama, yakni:
1. Aspek psikologis tindakan manusia itu sendiri, sebagai
hasil studi psikologis.
2. Adanya bagian lain yang diakui cukup relevan bagi usaha
mempelajari tindakan mansia dalam organisasi. Misalnya
uang, yang merupakan bagian dari organisasi yang ikut
mempengaruhi seseorang mengapa masuk organisasi itu.
3. Prilaku organisasi sebagai suatu disiplin, mengakui
bahwa individu dipengaruhi oleh bagaimana organisasi
diatur dan siapa yang mengawasi mereka.
4. Walaupun disadari akan adanya keunikan masing-masing
individu, perilaku organisasi lebih banyak menekankan
pada tuntutan manajer bagai tercapainya tujuan organisasi
secara keseluruhan.
Jadi, menurut Indrawijaya (2002:5-6) untuk memahami
pengertian perilaku organisasi harus memperhatikan empat
hal, yaitu: ”Pertama, suatu bidang yang interdisipliner dan
memanfaatkan hasil dari cabang ilmu lain. Kedua, dapat
berdiri sendiri karena perhatiannya berpusat kepada perilaku
manusia dalam organisasi. Ketiga, memberikan arah dan
petunjuk bagi pencapaian tujuan organisasi”
Menurut Mangkunegara (2005:3) “Perilaku Organisasi
adalah suatu studi yang dilakukan secara sistematik terhadap
tindakan-tindakan dan sikap-sikap individu dan kelompok
dalam organisasi”. Terdapat beberapa faktor yang mendasari
perilaku individu dalam organisasi, yakni faktor penentu
prestasi kerja individu, kepribadian individu, dan manajemen
perbedaan individu.

11
5. Faktor penentu prestasi kerja individu
Faktor-faktor yang menentukan prestasi kerja individu
adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja
organisasi. Hal ini sesuai dengan teori konvergensi
William Stern, yang merupakan perpaduan antara
pandangan teori heriditas (Schopenhauer) yang
berpendapat bahwa prestasi individu bergantung pada
bakat yang dibawa sejak lahir, dan teori lingkungan (John
Locke) yang beranggapan bahwa prestasi individu
bergantung kepada lingkungan. Sedangkan William Stern
beranggapan bahwa baik bakat maupun lingkungan sama-
sama menjadi penentu prestasi kerja individu, apabila
peranan keduanya terpadu dengan baik akan mendorong
seseorang untuk berprestasi.
a. Individu
Secara psikologis individu normal memiliki integritas
yang tinggi antara fungsi psikis dan fisiknya. Dengan
adanya integritas tersebut seseorang memungkinkan
untuk berkonsentrasi dalam menghadapi segala
sesuatu, dan konsentrasi tersebut menjadi pendukung
utama terhadap tercapainya keberhasilan dalam
mencapai prestasi kerja. Namun demikian,
konsentrasi seseorang dalam bekerja dipengaruhi oleh
potensi kecerdasan, baik kecerdasan pikiran,
kecerdasan perasaan, maupun kecerdasan spiritual.

b. Lingkungan
Prestasi kerja individu dipengaruhi juga oleh
lingkungan organisasi. Secara spesifik faktor tersebut
berupa uraian, jabatan yang jelas, otoritas yang
memadai, dan target kerja yang menantang, pola
komunikasi yang efektif, hubungan kerja yang
harmonis, iklim kerja yang respek, dan dimanis serta

12
peluang pengembangan karier yang terbuka. Tetapi
perlu juga diketahui bahwa walaupun lingkungan
kurang memadai, apabila potensi individu memiliki
potensi besar ia akan tetap berprestasi. Bahkan
organisasi yang kurang mendukung dapat dirubah
oleh individu yang cerdas.

6. Faktor kepribadian individu


a. Pengertian
Kepribadian merupakan terjemahan dari personality,
berasal dari bahasa Latin yang dapat ditafsirkan
sebagai suatu perwujudan dari prilaku seseorang yang
sebenarnya (substansi) atau yang tidak sebenarnya
(memakai topeng).
Menurut Mangkunegara, kepribadian adalah
keseluruhan dari prilaku individu yang sangat
menentukan dirinya secara khas dalam menyesuaikan
diri atau berinteraksi dengan situasi atau
lingkungannya.

b. Kekeliruan dalam memahami kepribadian


1) Kepribadian adalah semata-mata hasil
kebudayaan, keliru karena pembentukan
kepribadian dipengaruhi banyak faktor, terutama
heriditas dan lingkungan.
2) Kepribadian ditentukan oleh faktor jasmaniah
saja, keliru karena dipengaruhi juga oleh faktor
mental.
3) Kepribadian merupakan jumlah dari sifat-sifat/ciri
kepribadian, keliru karena kepribadian merupakan
pertautan dari keseluruhan sifat.
4) Kepribadian sebagai suatu benda, keliru karena
kepribadian adalah suatu istilah yang merujuk
kepada aspek-aspek tingkah laku

13
c. Teori Kepribadian
Terdapat beberapa teori yang dikemukakan para ahli,
salah satunya adalah teori psiko-analisis dari Sigmunt
Freud orang Jerman keturunan Yahudi, yang
menganggap bahwa kepribadian terdiri atas tiga
sistem, yaitu Id (das es), super ego (uber ich), dan ego
(das ich). Id terletak dalam ketidaksadaran dan
merupakan dorongan-dorongan primitif,
Id merupakan dorongan untuk hidup dan
mempertahankan kehidupan (life instinct) serta
dorongan untuk mati (death instnct).
Super ego, adalah suatu sistem yang merupaan
kebalikan dari Id. Dibentuk melalui kebudayaan yang
diperoleh melalui pendidikan dan belajar pada norma
yang berlaku di masyarakat. Sifatnya berusaha
menekan dorongan dari Id.
Ego, adalah sistem di mana kedua dorongan dari Id
dan Super ego beradu kekuatan. Ego berfungsi untuk
menjaga keseimbangan antara kedua sistem tersebut.

7. Faktor manajemen perbedaan individu.


Allah SWT mencipakan manusia dalam bentuk yang
berbeda-beda, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa.
Perbedaan lain adalah bentuk fisik dan psikologis.
a. Perbedaan bentuk fisik ada yang piknis (pada
umumnya gemuk dan bulat), leptosome (bentuk tubuh
kecil dan lemah), atletis (ukuran sedang, kokoh/kuat,
dada bidang, bahu lebar, dan pinggul berisi), dan
displastis (bentuk penyimpangan dari bentuk lain),
misalnya gemuk tapi kekar, atau kurus tetapi berotot).

14
b. Sedangkan perbedaan psikologis antara lain
mencakup persepsi (proses menyeleksi stimulus dan
diartikan), sikap (kecenderungan bertindak), motivasi
(energi yang menggerakkan individu) , kecerdasan
(IQ, EQ, dan SQ), dan kepribadian.

1.3 Ilmu-Ilmu yang Mendukung Perilaku Organisasi


Perilaku Organisasi (OB) merupakan ilmu terapan yang
terbentuk didukung oleh sejumlah ilmu pengetahuan tentang
perilaku, baik perilaku individu maupun perilaku organisasi.
Bidang ilmu pengetahuan yang menonjol adalah psokologi,
sosiologi sosial, antropologi, dan ilmu politik.
Psikologi banyak mengungkap hal-hal yang berkaitan
dengan analisis tingkah laku individu secara mikro,
sedangkan ilmu-ilmu lainnya memberikan sumbangan
pemahaman terhadap konsep-konsep makro, misalnya proses
kelompok dan organisasi. Berikut penulis kemukakan peran
masing-masing ilmu pengetahuan tersebut, walaupun serba
singkat.

1. Psikologi
Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha
mengukur, menjelaskan, dan mengubah prilaku seseorang
(manusia) bahkan binatang. Para psikolog memfokuskan
diri untuk mempelajari dan berusaha memahami prilaku
secara individual.
Para teoretikus yang telah banyak menyumbangkan
pemikirannya terhadap perkembangan perilaku organisasi
(OB), antara lain teoretikus pembelajaran, kepribadian,
psikolog konseling, psikolog industri, dan organisasi.

15
Dalam hal ini psikolog industri dan organisasi pada
awalnya memfokuskan diri dalam mempelajari masalah-
masalah kelelahan, kebosanan, dan faktor-faktor lain
yang relevan dengan kondisi kerja yang dapat
menghalangi efisiensi kinerja. Kemudian tahap
selanjutnya sumbangan mereka semakin meluas kepada
masalah-masalah pembelajaran, persepsi, kepribadian,
emosi, pelatihan, efektivitas kepemimpinan, kebutuhan
dan kekuatan-kekuatan motivator, kepuasan kerja, proses
pengambilan keputusan, penilaian kinerja, pengukuran
sikap. teknik seleksi karyawan. desain pekerjaan, dan
stres kerja.
2. Sosiologi
Sosiologi adalah studi tentang hubungan manusia dengan
sesamanya. Hal ini berbeda dengan sasaran psikologi
yang lebih memfokuskan kajiannya kepada individu,
karena sosiologi lebih mengarah kepada kelompok.
Dengan kata lain bahwa sosiolog mempelajari prilaku
manusia berkenaan dengan sistem sosial di mana
individu-individu mengisi peran-peran mereka. Oleh
karena itu, sosiologi mempelajari hubungan manusia
dengan sesamanya. Secara khusus, sosiologi telah
memberi sumbangan terbesar kepada OB melalui
penelitian mereka tentang prilaku kelompok dalam
organisasi, terutama organisasi formal yang rumit.
Beberapa bagian dari OB yang menerima sumbangan
berharga dari pada sosiolog adalah dinamika kelompok,
desain tim kerja, budaya organisasi, teori dan struktur
organisasi formal, teknologi organisasi, komunikasi,
kekuasaan, dan politik.
3. Psikologi Sosial
Psikologi sosial adalah suatu bidang kajian dalam
psikologi yang memadukan konsep-konsep, baik dari

16
psikologi maupun sosiologi. Psikologi sosial
memfokuskan kajiannya pada pengaruh seseorang
terhadap yang lain. Salah satu bidang utama yang banyak
diteliti oleh psikologi sosial adalah perubahan, bagaimana
mengimplementasikannya dan bagaimana mengurangi
hambatan terhadap penerimaannya. Selain itu, didapat
pula sumbangan para psikolog sosial yang memberikan
sumbangan yang cukup signifikan dalam hal pengukuran,
pemahaman, dan perubahan sikap, pola komunikasi,
pembangunan kepercayaan, cara kegiatan kelompok,
memuaskan kebutuhan individu, dan proses-proses
pengambilan keputusan kelompok.
4. Antropologi
Antropologi adalah studi tentang masyarakat untuk
mempelajari manusia dan kegiatannya. Misalnya, karya
antropologi tentang budaya dan lingkungan telah
membantu pengembangan ilmu pengetahuan dalam
memahami perbedaan-perbedaan nilai fundamental,
sikap, dan perilaku di antara orang-orang di negara-
negara berbeda serta dalam organisasi-organisasi yang
berbeda. Sebagian besar pemahaman terhadap budaya
organisasi, lingkungan organiasi, dan perbedaan–
perbedaan antara budaya nasional merupakan hasil karya
seorang antropolog atau mereka yang menggunakan
metode-metode antropologi.
5. Ilmu Politik
Selain dari empat jenis ilmu pengetahuan yang telah
dikemukakan di atas, meski sering diabaikan, ternyata
para ilmuwan di bidang politik pun ikut berperan dalam
memahami perilaku dalam organisasi. Ilmu politik adalah
ilmu yang mempelajari perilaku individu dan kelompok
dalam lingkungan politik. Topik-topik penelitian spesifik

17
di bidang ini antara lain strukturisasi konflik, alokasi
kekuasaan, dan bagaimana orang memanipulasi
kekuasaan untuk kepentingan individu.

1.4 Tantangan dan Peluang Perilaku Organisasi


(Organizational Behavior)
Bagi sebagian manajer mempelajari perilaku organisasi
tidak pernah dianggap penting, namun sekarang telah terjadi
perubahan pandangan terutama pada organisasi-organisasi
yang mendukung terhadap pentingnya mempelajari OB. Hal
ini terjadi setelah melihat kenyataan bahwa semakin lama
sebagian karyawan semakin tua, semakin banyak karyawan
perempuan dan kulit berwarna (di Amerika) yang berada di
tempat kerja, adanya korporasi yang melakukan perampingan
dan penggunaan pekerja secara besar-besaran yang
memperburuk loyalitas pekerja kepada majikannya, ditambah
dengan persaingan global yang semakin tajam. Semua itu
memaksa organisasi untuk melakukan perubahan yang cepat
sesuai dengan perubahan lingkungan.
Dewasa ini banyak tantangan yang harus dihadapi para
manajer sehubungan dengan perilaku organisasi. Untuk
menambah pemahaman tentang hal tersebut, berikut
dikemukakan beberapa contoh tantangan dan peluang
perilaku organisasi.
1. Menyikapi Globalisasi
Dewasa ini organisasi tidak lagi terikat oleh keterbatasan
negara, karena dunia sekarang menjadi ”desa” global
yang nyaris tanpa batas. Seorang ahli mengemukakan
bahwa batas negara yang bersifat geografis dan fisik
sudah tidak berarti apa-apa, karena satu sama lain dapat
melintasi atas negara tetangga melalui jalur lain, misalnya

18
ekonomi dan perdagangan. Sehingga untuk menyikapi
suasana global ini, para manajer harus mampu bekerja
sama dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.
Globalisasi akan berpengaruh terhadap keterampilan para
manajer secara personal, paling tidak melalui dua cara.
Pertama, seorang manajar memiliki kemungkinan untuk
dikirim ke luar negeri, apakah tugas dinas atau mungkin
ditransfer menjadi kepala divisi di suatu negara. Apabila
hal ini terjadi, sang manajer mau tidak mau harus mampu
mengelola personal sesuai dengan budaya setempat yang
sudah barang tentu perilakunya juga berbeda. Kedua, di
negara sendiri pun seorang manajer akan bergaul dengan
bos, rekan, atau karyawan lain yang dilahirkan dari
budaya yang berbeda.
Dengan demikian, dalam keadaan bagaimana pun seorang
manajer harus siap bekerja dengan orang yang berbeda-
beda. Agar dapat bekerja secara efektif dengan mereka,
para manajer harus memahami kebudayaan mereka,
bagaimana kebudayaan itu membentuk mereka, dan
bagaimana mengadaptasikan keterampilan manajemen
dengan perbedaan mereka. Salah satu cara, seorang
manajer harus memiliki keterampilan untuk memodifikasi
praktek-praktek kerja para karyawan.
2. Mengelola Keberagaman Tenaga Kerja
Tantangan lain yang harus dihadapi para manajer adalah
menyesuaikan dengan orang yang berbeda-beda. Istilah
lain berkenaan dengan kondisi tersebut adalah keragaman
tenaga kerja. Jika dalam tantangan globalisasi terdapat
keanekaragaman tenaga kerja dari negara yang berbeda,
maka di sini membahas perbedaan orang-orang yang
berasal dari negara yang sama.
Keberagaman tenaga kerja berarti organisasi menjadi
lebih heterogen dalam hal jenis kelamin,ras,dan etnis.

19
Istilah tersebut mencakup norma, di samping kelompok-
kelompok yang menonjol, misalnya perempuan. Bahkan
di negara-negara Eropa keragaman tersebut ditambah
dengan tenaga yang beragam kemampuan fisiknya,
seperti cacat fisik, gay, lesbian, dan manula.
Oleh karena itu, para manajer harus mampu
menyesuaikan diri dengan keragaman tersebut. Semula,
kulit hitam di Amerika dibatasi ruang geraknya, sekarang
sudah ada yang menduduki posisi manajer. Perempuan
Jepang yang semula dikekang, sekarang banyak yang
memegang jabatan penting. Hal ini jelas akan
mempengaruhi perilaku organisasi, apalagi menghadapi
keragaman dari aspek-aspek lain. Hal ini mengharuskan
para manajer untuk merubah filosofi cara kerja, apabila
dulu memberlakukan cara yang sama untuk semua
pegawai, sekarang harus diubah agar cara tersebut
dibedakan sesuai dengan kondisi masing-masing. Sebab
apabila keragaman tidak ditangani dengan tepat, terdapat
potensi perubahan tingkat upah, peningkatan kesulitan
komunikasi, dan peningkatan konflik interpersonal.

3. Meningkatkan Kualitas dan Produktivitas


Pada saat sebuah perusahaan meningkatkan kinerjanya
dalam upaya memenuhi permintaan konsumen, akan
semakin banyak tantangan yang dihadapi para manajer.
Upaya manajer untuk meningkatkan kualitas tersebut
berupa Manajemen Kualitas (Quality Management), dan
perancangan ulang proses.
Manajemen kualitas adalah pencapaian secara terus
menerus untuk memberikan kepuasan kepada konsumen
melalui perbaikan terus menerus pada semua proses
organisasi. Sedangkan perancangan ulang proses adalah

20
mempertimbangkan bagaimana pekerjaan dilakukan dan
organisasi disusun kembali jika harus dimulai dari awal.
Hal tersebut berimplikasi bagi perilaku organisasi, karena
mengharuskan karyawan untuk memikirkan kembali apa
yang akan mereka lakukan dan menjadi lebih terlibat
dalam keputusan-keputusan di tempat kerja.
Pada perubahan cepat dan dramatis kadang-kadang untuk
peningkatan kualitas dan produktivitas melalui sudut
pandang ”bagaimana kita bisa melakukan sesuatu di sini
jika kita memulai dari nol?”. Perusahaan yang akan
melakukan perancangan ulang proses akan melakukan
semuanya pada keseluruhan sistem produksi, tidak hanya
dilakukan pada proses produksi dasar. Setiap proses
dievaluasi berdasarkan kontribusinya terhadap tujuan.
Proses yang tidak efektif dipangkas, kemudian sistem
yang baru segera diperkenalkan. Dalam hal ini, para
manajer akan menyadari benar bahwa setiap upaya
peningkatan kualitas dan produktivitas akan senantiasa
melibatkan seluruh karyawan. Apabila karyawan diajak
bicara, maka mereka akan bersedia membantu kelancaran
proses perubahan tersebut.
4. Menyikapi Kelangkaan Tenaga Kerja
Istilah kelangkaan kerja ini relevan diungkap di negara-
negara maju, sedangkan di Indonesia hampir tidak
mungkin karena persediaan tenaga kerja cukup melimpah.
Tetapi ketersediaan tenaga kerja tersebut dikatakan
melimpah apabila hanya dipandang dari segi kuantitas,
sedangkan apabila dilihat dari aspek skill atau
kemampuan, di lapangan terjadi sesuatu yang
kontradiktif, Maksudnya di satu pihak pencari kerja setiap
tahun meningkat, dan angka pengangguran semakin
panjang.

21
Di pihak lain, perusahaan-perusahaan tertentu sulit
mendapatkan pegawai yang profesional dan memenuhi
kualifikasi yang diinginkan, Masalahnya terletak pada
ketersediaan tenaga kerja yang trampil dan siap kerja.
Sementara tenaga kerja di Indonesia saat ini hanya siap
latih, bukan siap pakai atau siap kerja.
Di negara-negara maju, seperti Amerika kelangkaan
tenaga kerja disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain
akibat terjadinya bencana alam, angka kelahiran yang
menurun, dan penuaan populasi. Di beberapa tempat
terjadi penurunan minat kerja bagi usia tertentu.
Kondisi demikian merupakan tantangan tersendiri bagi
organisasi. Sebagai upaya untuk mengatasinya diperlukan
strategi perekrutan dan pemeliharaan yang lebih baik,
salah satu caranya menawarkan upah yang lebih tinggi.

5. Peningkatan Layanan Pelanggan


Pelayanan prima yang diberikan perusahaan kepada
pelanggan akan mengikat pelanggan untuk setia
selamanya. Namun untuk dapat melakukan hal tersebut
diperlukan kesediaan karyawan untuk melakukan
semuanya demi kepuasan pelanggan. Apabila
karyawan/pegawai bersedia melakukan apa yang
diperlukan pelanggan, mimpi para manajer baru dapat
diwujudkan dalam kenyataan.
Pada umumnya, para manajer organisasi jarang
memikirkan tentang pelanggan, karena hal itu dianggap
garapan bidang marketing. Namun demikian, perilaku
organisasi memberikan sumbangan pemikiran untuk
meningkatkan kinerja organisasi dengan menunjukkan
kepada para manajer bagaimana sikap dan prilaku
karyawan terkait dengan kepuasan pelanggan.

22
Pada umumnya organisasi (perusahaan) gagal sebagai
akibat dari gagalnya karyawan dalam memuaskan
pelanggan. Perilaku organisasi (OB) banyak memberikan
panduan dalam membantu para manajer dalam
menciptakan kebudayaan semacam itu, di mana karyawan
bersedia melakukan apa yang diperlukan untuk
memuaskan pelanggan.

6. Meningkatkan Keterampilan Personal


Terdapat satu hal yang tak kalah pentingna dalam
mencapai efektivitas organisasi, yakni keterampilan
personal. Hasil kajian perilaku organisasi akan sangat
membantu dalam memberikan konsep-konsep dan teori-
teori yang relevan guna membantu para manajer dalam
menjelaskan dan memperkirakan perilaku orang di tempat
kerja. Selain itu, para manajer akan memperoleh
keterangan tentang keterampilan personal yang spesifik
untuk dapat digunakan dalam memotivasi dan teknik-
teknik meningkatkan keterampilan mendengar, merespon,
dan menghargai orang lain serta bagaimana menciptakan
tim yang lebih efektif.

7. Memberdayakan Orang
Banyak kisah yang diungkapkan dalam media masa yang
menyatakan bahwa diperlukan pembentukan kembali
hubungan antara manajer dengan bawahannya. Hal ini
membuktikan bahwa masih banyak kasus tentang kurang
lancarnya hubungan antara manajer dengan pihak yang
dipimpinnya. Secara teoretis, manajer dapat juga
dikatakan sebagai pelatih, penasehat, sponsor, atau
fasilitator. Bagaimana mungkin fungsi tersebut dapat
tercapai dengan baik apabila kadar hubungan di antara
mereka rendah, bahkan tidak lancar.

23
Di beberapa organisasi tertentu, karyawan biasa disebut
rekan atau mitra. Dalam proses pengambilan keputusan
ditekan ke level bawah, dalam arti karyawan dilibatkan
untuk ikut memikirkan apa yang terbaik dalam
menyelesaikan masalah pekerjaan. Bahkan ada manajer
yang telah melangkah lebih jauh, bahwa karyawan
dilibatkan langsung untuk ikut berpartisipasi dalam
keputusan-keputusan terkait dengan pekerjaan. Sehingga
semakin banyak organisasi yang menggunakan tim
mandiri, yang di dalamnya sebagian besar karyawan yang
beroperasi tanpa atasan.
Untuk dapat melakukan hal tersebut, para manajer harus
mampu memberikan tanggungjawab kepada pegawai atas
apa yang mereka lakukan. Pendukung semua itu, para
manajer perlu mengubah gaya kepemimpinan, merubah
hubungan kekuasaan, merubah cara merancang pekerjaan,
dan merubah cara menyusun organisasi.

8. Menyikapi Kesementaraan
Dewasa ini perubahan sosial terjadi setiap saat, sehingga
berpengaruh besar terhadap iklim organisasi baik di
lingkungan bisnis maupun pemerintahan. Hal ini berbeda
dengan periode-periode sebelumnya yang senantiasa
diwarnai periode panjang dan stabil, tetapi sekarang tidak
lagi karena setiap saat dibayang-bayangi perubahan. Oleh
karena itu, organisasi dihadapkan kepada kesementaraan.
Secara lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa
pekerjaan yang dilakukan bersifat sementara, sebelum ada
cara yang baru akibat perubahan. Karyawan sendiri harus
senantiasa memperbaharui keterampilannya untuk
mengimbangi perubahan yang terjadi. Misalnya, di
beberapa perusahaan dilakukan perubahan besar terkait

24
dengan proses produksi, pekerjaan-pekerjaan yang
semula dilakukan secara manual diganti dengan sistem
komputer. Dengan demikian, keterampilan karyawan
harus diperbaharui agar mampu menjalankan tugasnya
dengan baik. Untuk dapat melakukan hal itu, para
karyawan harus belajar untuk bekerja dengan tingkat
fleksibilitas, spontanitas yang tinggi serta mampu
menghadapi ketidakterdugaan.

9. Merangsang Inovasi dan Perubahan


Kasus perusahaan besar yang diancam kebangkrutan
melakukan upaya penyelamatan dengan berbagai cara.
Salah satu yang pernah dilakukan adalah memangkas
program yang memerlukan biaya besar dan
merampingkan karyawan, sehingga secara otomatis
dilakukan PHK.
Di antara yang melakukan hal tersebut berhasil
menghindari kebangkrutan, dalam arti perusahaannya
tetap eksis. Namun demikian, masih dihadapkan kepada
tantangan lain, yakni harus melakukan inovasi dan seni
perubahan yang terus menerus guna mangimbangi
perubahan yang terjadi. Kalau tidak, mereka akan
menjadi kandidat kepunahan.
Menurut kajian perilaku organisasi (OB), karyawan
memiliki fungsi ganda. Pertam,a dapat menyebabkan
keruntuhan, dan kedua dapat dijadikan sebagai kekuatan
untuk melakukan inovasi ke arah yang lebih baik.
Tantangan bagi para manajer adalah bagaimana
merangsang kreativitas karyawan dan memahami
perubahan yang terjadi. Kajian OB, banyak
menyumbangkan pemikirannya untuk mengatasi hal-hal
tersebut.

25
10. Membantu Karyawan Menyeimbangkan Konflik
Pekerjaan/Kehidupan
Pada umumnya para karyawan muncul di tempat kerja
mulai dari hari Senin sampai Jumat, dan menjalankan
tugasnya selama kurang lebih 8 atau 9 jam per hari.
Mengenai tempat dan waktu kerja ditentukan dengan
jelas, namun hal tersebut tidak berlaku selamanya dan
bagi semua pekerja. Masih banyak karyawan yang
mengeluh karena antara jam kerja dan bukan jam kerja
tidak jelas, sehingga menimbulkan konflik dan stres kerja.
Hal lain yang masih banyak ditemui adalah akibat
canggihnya teknologi, seorang karyawan memungkinkan
bekerja sepanjang waktu, karena sebagian pekerjaan
dilakukan di rumah atau di mana saja dengan
menggunakan fasilitas laptop. Kapan saja atasan
memerlukan mereka harus siap melayani.
Bagi pasangan suami istri, sulit melakukan komitment
keluarga karena sebagian besar waktunya disita di tempat
kerja. Terdapat sekelompok orang yang menganggap
bahwa pekerjaan memangsa kehidupan pribadi mereka,
dan mereka tidak senang dengan hal tersebut. Sementara
hak-hak mereka kurang terpenuhi dengan baik.
Berdasarkan fakta tersebut, para karyawan sangat
memerlukan adanya fleksibilitas jadwal kerja sehingga
mereka dapat lebih baik mengelola konflik-konflik
pekerjaan dan kehidupan. Memang tidak dapat disangkal,
para pegawai memerlukan pekerjaan, tetapi yang
diinginkan adalah pekerjaan dan kehidupan. Bagi
perusahaan yang tidak mampu memenuhi keinginan para
pegawai tersebut, lambat laun akan kehilangan
pegawainya yang handal, karena tidak mampu
menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan. Perilaku

26
Organisasi (OB) membantu para manajer dalam
merancang tempat kerja dan pekerjaan yang sekiranya
dapat memandu karyawan dalam mengatasi konflik kerja.
dan kehidupannya.

11. Meningkatkan Perilaku Etis


Dalam suatu organisasi yang baru saja melakukan
pemangkasan karyawan, harapan akan peningkatan
produktivitas dan persaingan pasar sama sekali tidak akan
banyak mengejutkan karyawan yang merasa tertekan
untuk mengambil jalan pintas.
Para anggota organisasi akan dihadapkan pada dilema-
dilema etis, yaitu situasi-situasi yang di dalamnya
individu diharuskan menentukan tindakan yang benar dan
yang salah. Sebagai contoh, haruskan karyawan merasa
bergembira pada saat organisasi melakukan aktivitas
illegal dalam perusahaannya? Atau, haruskah mereka
menjalankan perintah yang pada hakekatnya perintah
tersebut tidak mereka sepakati?
Kondisi seperti yang digambarkan di atas kerap terjadi di
dunia nyata, apalagi sekarang korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) masih marak dan banyak anggota
organisasi yang mengetahuinya, tetapi tak dapat berbuat
banyak karena pertimbangan dilema etis.
Perilaku organisasi (OB), menawarkan arah menuju jalan
keluar untuk mengatasi hal-hal seperti itu. Seorang
manajer dapat melakukan upayanya melalui tulisan etis
dan menyebarkannya kepada karyawan, isinya kode-kode
etis untuk memandu karyawan itu sendiri agar mampu
melewati dilema-dilema etis. Misalnya dengan cara
menawarkan seminar, workshop, program pelatihan untuk

27
mencoba meningkatkan prilaku etis. Para manajer
menyediakan penasihat in-house yang dapat dan mudah
dihubungi, kemudian menyediakan perlindungan
karyawan bagi yang berani mengungkap prilaku tidak etis
secara internal.
Bersamaan dengan itu, para manajer harus menciptakan
iklim etika yang sehat bagi karyawan, agar mereka dapat
menjalankan pekerjaan secara produktif. Di samping tu,
individu diharuskan menentukan tindakan yang benar dan
salah.

28
BAB II
PERILAKU INDIVIDU DALAM ORGANISASI

2.1 Dasar-dasar Perilaku Individu


Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa
perilaku organisasi dikembangkan berdasarkan perilaku
manusia sebagai subyek organisasi. Berbagai persoalan yang
menyangkut perilaku organisasi akan erat kaitannya dengan
manusia, baik secara individu maupun kelompok. Dalam hal
pencapaian tujuan organisasi, prestasi individu memegang
peranan penting. Sementara pencapaian prestasi itu sendiri
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor individu
dan lingkungan.

1. Faktor Individu
Secara psikologis, individu normal memiliki integritas
tinggi antara fungsi psikis dan fisik (rohani dan jasmani).
Integritas tinggi tersebut akan melahirkan konsentrasi yang
baik, sedangkan konsentrasi yang baik akan mampu
mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya untuk
bekerja secara optimal dalam menjalankan tugasnya pada
organisasi. Apabila seseorang berhasil menunjukkan kinerja
yang baik dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi, ia
dapat dikatakan berprestasi. Dengan kata lain, konsentrasi
seseorang dalam bekerja besar pengaruhnya terhadap
keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi.
Konsentrasi individu akan dipengaruhi oleh IQ dan EQ.
Pada umumnya, seseorang akan mampu bekerja dengan
penuh konsentrasi apabila ia memiliki tingkat intelegensi
minimal normal dengan tingkat kecerdasan emosi yang baik.
Misalnya tidak merasa bersalah secara berlebihan, tidak

29
mudah marah, tidak dengki, tidak benci, tidak iri hati, tidak
dendam, tidak sombong dan tidak minder, tidak cemas,
memiliki pandangan dan pedoman hidup yang jelas
berdasarkan ajaran agama yang dianutnya. Dengan demikian,
faktor individu tersebut kebanyakan mencakup hal-hal yang
bersifat kejiwaan dan keterampilan.

2. Faktor Lingkungan
Prestasi kerja individu dipengaruhi juga oleh
lingkungan kerja dalam organisasi, antara lain dalam bentuk
uraian jabatan yang jelas; otoritas yang memadai; target kerja
yang menantang; pola komunikasi yang efektif; hubungan
kerja yang harmonis; iklim kerja resfek dan dinamis; peluang
karier memadai; dan fasilitas kerja yang cukup.
Namun demikian, bagi individu yang memiliki IQ dan
EQ yang baik tetap akan mampu berprestasi, bahkan
lingkungan yang kurang baik merupakan tantangan baginya
untuk merubah ke arah yang lebih baik.
Menurut Robbins (2007:48), prilaku kedisiplinan
kehadiran, pembelajaran prestasi, kinerja, dan kepuasan
karyawan di dalam organisasi secara individual dipengaruhi
banyak faktor. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dua
faktor utama, yaitu karakteristik biografis dan karakteristik
kemampuan.

1. Karakteristik Biografis
Salah satu faktor penyebab yang erat kaitannya dengan
dasar-dasar prilaku individu adalah karakteristik biografis,
antara lain faktor usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan
masa kerja dalam organisasi.

30
a. Usia
Dalam suatu organisasi, usia dan kinerja karyawan
merupakan isu yang paling penting mulai abad ini dan
seterusnya. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, terdapat keyakinan bahwa kinerja seseorang
cenderung menurun karena usia yang semakin lanjut.
Secara alami dapat dipahami, karena semakin
bertambahnya usia seseorang, akan dibarengi dengan
proses penurunan kemampuan fisik. Secara teoritis
mungkin kurang referensi yang membahas tentang hal itu,
tetapi kenyataannya dapat dirasakan oleh setiap orang.
Apalagi ditambah dengan beban kerja yang berat dan
kurang memperhatikan keselamatan kerja, mungkin
karena terlalu lama duduk dan kurang berolahraga,
pengaruh radiasi dan polusi, pengaruh zat kimia yang
digunakan dalam produksi, dan sebagainya. Penurunan
kemampuan fisik ditandai dengan berkurangnya daya
lihat, daya dengar, daya refleks, dan daya gerak.
Kesemuanya ini akan berpengaruh terhadap kinerja
seseorang.
Kedua, realita menunjukkan bahwa karyawan atau
pegawai setiap saat usianya bergerak semakin menua.
Pada posisi usia 55 tahun atau lebih, penurunan kinerja
semakin cepat dan sulit dihindari. Penurunan kinerja bagi
angkatan tua ini bukan hanya disebabkan karena
berkurangnya daya fisik, kemampuan jiwa pun cenderung
menurun, terutama semangat dalam merespon
perkembangan teknologi. Di samping itu, secara
psikologis, pada masa ini ditandai dengan menurunnya
kemampuan saseorang dalam fisik dan psikis. Antara lain
menurunnya kemampuan pendengaran, penglihatan, daya
ingat,bahkan pikun seperti kembali ke masa kanak-kanak.

31
Sementara itu, tugas yang harus dikerjakan pada masa ini
adalah lebih memantapkan pemahaman dan pengamalan
ajaran agama; mampu menyesuaikan diri dengan
penurunan kemampuan; menyesuaikan diri dengan masa-
masa menjelang pensiun; menyesuaikan diri dengan
kematian pasangan hidup; membentuk hubungan dengan
orang lain yang seusia; serta memantapkan hubungan
yang harmonis dengan anak, cucu, dan menantu. Dengan
demikian, kemampuan kerja seseorang akan semakin
menurun, karena terdapat pergeseran orientasi hidup.
Ketiga, terkait dengan perundang-undangan.Misalnya di
Amerika terdapat kaidah bahwa dengan maksud dan
tujuan apa pun, melarang perintah pensiun. Dalam arti
para pegawai tidak harus pensiun pada usia 70 tahun.
Sedangkan di Indonesia, istilah pensiun lebih banyak
dikenal di lingkungan pegawai negeri sipil, sementara di
dunia bisnis (swasta) kurang populer. Keluar dan masuk
sebagai pegawai sangat bervariasi, berhenti karena usia
lanjut hanya salah satu dari sekian banyak penyebab
pemberhentian pegawai.
Untuk memahami lebih banyak tentang fenomena pekerja
usia lanjut di dunia bisnis, berikut dikemukakan persepsi
pihak perusahaan dan pihak pegawai.
Seorang majikan, mempunyai perasan yang campuraduk
berkenaan dengan pegawainya yang telah berusia lanjut.
Dilihat dari sisi positifnya, seorang pegawai yang telah
tua membawa sesuatu yang berharga bagi perusahaan,
misalnya memiliki pengalaman di bidang pekerjaan
tertentu, memiliki pertimbangan yang matang, etika kerja
yang kuat, dan komitment terhadap mutu yang solid. Di
sisi lain, para pekerja tua dianggap kurang luwes dalam,
bekerja dan cenderung menolak teknologi baru.Pada saat-
saat perusahaan akan melakukanseleksi terhadap pegawai

32
yang siap menyesuaikan diri dengan perkembangan
teknologi, keberadaan mereka dianggap mengganggu
dan cenderung dibiarkan untuk mengundurkan diri.
Sementara itu, terdapat hasil analisis yang cukup ekstrim
di dunia kerja swasta. Para pegawai usia lanjut memiliki
kemungkinanyang kecil untuk berhenti bekerja, walaupun
secara teknis kinerja mereka semakin menurun sesuai
dengan alasan yang telah dikemukakan tadi. Dengan kata
lain, mereka cenderung bertahan pada pekerjaannya
selama mereka tidak diberhentikan oleh pihak
perusahaan(majikan), dengan alasansebagai berikut:
1) Bagi yang masih memerlukan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya, akan tetap
bertahan karena alternatif pekerjaan lain semakin
sedikit bagi orang seusianya.
2) Di dunia kerja masih terdapat kaidah bahwa semakin
lama masa kerja, upah akan semakin bertambah
dengan adanya peningkatan gaji berkala dan
sejenisnya, di samping memperoleh jaminan
kesehatan dan liburan yang semakin panjang serta
tunjangan pensiun yang lebih menarik.
Secara umum, korelasi antara usia tua dengan keabsenan,
kepuasan kerja dan produktivitas berbeda-pendapat.
Sebagian berpendapat bahwa tingkat mangkir semakin
menurun karena tingginya komitment kerja, tetapi dapat
juga meningkat karena berbagai alasan kesehatan.
Produktivitas juga demikian, mungkin meningkat karena
pengalaman dan keterampilannya, mungkin juga menurun
karena berkurangnya kecepatan, kecermatan, kekuatan
dan koordinasi. Dalam hal kepuasan kerja, berbeda antara
pegawai yang profesional dan tidak profesional. Bagi
profesional semakin tua semakin banyak memperoleh

33
kepuasan, karena ukuran kepuasan tidak semata-mata
diukur dari sisi keuntungan financial. Sedangkan bagi
yang bukan profesional akan menurun pada usia setengah
baya, tetapi meningkat lagi menjelang tua.

b. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin di dunia kerja kurang banyak
diperbincangkan, terutama dalam hal kinerja dan
kepuasan kerja. Namun demikian, secara individual
merupakan hal yang menarik untuk dikaji.
Menurut hasil penelitian, terdapat sedikit perbedaan
antara pria dan wanita dalam bekerja, dan kadang-kadang
perbedaan tersebut tidak nampak sama sekali. Wanita
tampak lebih siap untuk mematuhi wewenang sedangkan
pria cenderung lebih agresif. Dalam hal mencapai
keberhasilan kerja pria berkembang lebih luas, sementara
wanita agak terbatas.
Perbedaan lain yang sering dijumpai adalah bagi kaum
wanita pekerja yang memiliki anak pra sekolah. Dalam
hal memilih jadwal kerja wanita cenderung memilih
paruh waktu, jadwal yang fleksibel, dan menyelesaikan
pekerjaan di rumah agar dapat sambil memenuhi
tanggungjawab mereka terhadap keluarga.
Dalam hal-hal lain yang bersifat umum, sulit untuk
membedakan, atau tidak ada bukti yang konsisten.
Walaupun ada hanya bersifat kasus, tidak berlaku untuk
keseluruhan.

c. Status perkawinan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli terhadap karyawan
yang sudah menikah, status perkawinan tidak terlalu
banyak berpengaruh terhadap kinerja secara keseluruhan.

34
Hanya dalam hal tingkat keabsenan, tingkat pengunduran
diri, dan kepuasan kerja terdapat sedikit perbedaan. Bagi
mereka yang sudah menikah, tingkat keabsenan rendah,
tingkat pengunduran diri juga rendah, dan merasa lebih
puas dengan pekerjaan dibandingkan dengan kawannya
yang belum menikah.
Hal ini diprediksi bahwa perkawinan menuntut
tanggungjawab lebih besar terhadap keluarga, sehingga
pekerjaan dipandang sebagai sesuatu yang penting bagi
mereka. Hanya alasan ilmiah yang secara empiris
memang tidak jelas, sebab ada kemungkinan terdapat
salah seorang karyawan yang belum menikah lebih rajin
bekerja justru menjelang pernikahan.

d. Masa Kerja dalam Organisasi


Menurut para ahli, masa kerja merupakan faktor lain yang
akan mempengaruhi terhadap kinerja seseorang yang
menjadi penyebab adanya senioritas.
Di dunia kerja, senioritas dianggap paling memungkinkan
sebagai salah satu variabel yang erat hubungannya
dengan produktivitas kerja. Hal ini berdasarkan asumsi
bahwa masa kerja identik dengan pengalaman, dan
pengalaman akan berpengaruh terhadap kinerja dan
produktivitas kerja. Masa kerja pun erat kaitannya dengan
tingkat keabsenan, karena masa kerja merupakan variabel
penjelas tunggal yang sangat penting bagi tingkat
keabsenan dan pengunduran diri.
Para ahli mengemukakan bahwa perilaku kerja seorang
karyawan di masa lalu merupakan indikator peramalan
terbaik untuk memprediksi perilaku di masa depan. Selain
itu, perilaku seorang pegawai di masa lalu menjadi

35
indikator bagi pengunduran diri di masa depan. Dengan
demikian, masa kerja merupakan variabel penting
berkaitan dengan tingkat keabsenan dan perilaku kerja
seseorang.

2. Karakteristik Kemampuan
Hal lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam
mempelajari dasar-dasar perilaku individu dalam organisasi
adalah karakteristik kemampuan. Hal ini sangat penting
dalam mendorong seseorang untuk berprestasi, karena berapa
pun besarnya motivasi yang dimiliki, tidak mungkin
melakukan sesuatu dengan baik tanpa ditunjang oleh
kemampuan.
Secara teoritis kemampuan adalah kapasitas individu
untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu.
Kemampuan secara keseluruhan pada hakekatnya tersusun
dan ditentukan oleh dua faktor yang saling menunjang, yaitu
kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
b. Kemampuan Intelektual
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang
dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan mental. Pada
umumnya, test IQ merupakan suatu metode yang dirancang
untuk mengukur dan memastikan kemampuan intelektual
umum seseorang.
Dimensi kemampuan intelektual seseorang mencakup
hal-hal sebagai berikut:
1) Kemampuan Numerik, yaitu kemampuan untuk
melakukan penghitungan cepat dan akurat.
2) Pemahaman Verbal, yaitu kemampuan memahami apa
yang dibahas atau didengar dan hubungannya antara kata.

36
3) Kecepatan Perseptual, yaitu kemampuan mengidentifikasi
kesamaan dan perbedaan visual dengan cepat dan akurat.
4) Penalaran Induktif, yaitu kemampuan mengidentifikasi
rangkaian logis masalah yang kemudian mampu
memecahkan masalah tersebut.
5) Penalaran Deduktif, yaitu kemampuan menggunakan
logika dan menilai implikasi argumentasi.
6) Visualisasi Ruangan, yaitu kemampuan menggambarkan
bagaimana penampakan obyek tertentu jika posisinya
dalam ruangan berubah.
7) Memori, yaitu kemampuan mempertahankan dan
mengingat kembali pengalaman masa silam.
Di berbagai organisasi, pekerjaan membebankan
tuntutan yang berbeda kepada pelaku (pekerja) untuk
menggunakan kemampuan intelektualnya. Semakin banyak
tuntutan pengolahan informasi dalam suatu pekerjaan, akan
semakin banyak membutuhkan kecerdasan dan kemampuan
verbal yang dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan
tersebut.
Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa IQ yang
tinggi bukan satu-satunya prasyarat untuk berprestasi, karena
fakta membuktikan bahwa terdapat beberapa jenis pekerjaan
yang tidak terlalu membutuhkan tingkat kecerdasan tinggi,
apalagi menghadapi jenis pekerjaan yang rutinitasnya
konstan.
Oleh karena itu, tes yang dilakukan untuk memilih
pekerja yang cocok untuk suatu pekerajan tertentu
seyogyanya ditujukan kepada dimensi kecerdasan yang
sesuai dengan jenis pekerjaan itu. Tentu saja dengan tidak
mengesampingkan indikator kecerdasan intelegensi sebagai
unsur kunci dalam proses wawancara.

37
Dilema utama yang dihadapi para manajer dalam
menggunakan tes kemampuan mental untuk seleksi, promosi,
pelatihan, dan keputusan personalia adalah bahwa ujian itu
mungkin berdampak negatif kepada kelompok-kelompok ras
dan etnis tertentu. Salah satu cara untuk menghindari hal itu,
dalam proses seleksi diperlukan adanya pertimbangan
terhadap human capital dan social capital, agar kemampuan
intelektual tidak menjadi satu-satunya prasyarat untuk
diterima sebagai pegawai. Perkembangan selanjutnya,
pemahaman terhadap kemampuan intelegensi melebar ke
beberapa aspek lain, yakni kecerdasan kognitif, sosial, emosi,
dan budaya.
Kecerdasan kognitif meliputi bakat yang sudah lama
ditemukan oleh tes-tes intelegensi tradisional. Kecerdasan
sosial meliputi kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain secara efektif, Kecerdasan emosi mencakup kemampuan
untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengelola emosi,
Kecerdasan budaya adalah kesadaran atas keberagaman antar
kebudayaan dan kemampuan untuk menjalankan fungsi
secara sukses dalam situasi lintas budaya.

c. Kemampuan Fisik
Kemampuan fisik adalah kemampuan seorang
karyawan dalam menjalankan tugas yang menuntut stamina,
keterampilan, kekuatan, dan karakteristik-karakteristik
serupa.
Kemampuan intelektual besar peranannya dalam
memproses informasi guna menunjang prestasi kerja yang
kompleks. Sedangkan kemampuan fisik khusus bermakna
penting bagi keberhasilan menjalankan pekerjaan-pekerjaan
yang kurang menuntut keterampilan dan pekerjaan yang lebih
standar. Misalnya pekerjaan-pekerjaan yang menuntut
stamina prima, kecekatan fisik, kekuatan tungkai, atau bakat-

38
bakat serupa yang menuntut manajemen untuk mengenali
kapabilitas fisik seorang karyawan/pegawai.
Menurut hasil penelitian para ahli, terdapat sembilan
kemampuan fisik dasar yang banyak diperlukan di dunia
kerja. Kesembilan kemampuan fisik dasar tersebut meliputi
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor-faktor kekuatan
a) Kekuatan Dinamik, yaitu kemampuan memanfaatkan
otot secara berulang-ulang atau terus-menerus dalam
waku tertentu.
b) Kekuatan otot bawah, kemampuan memanfaatkan
kekuatan otot bagian bawah tubuh (terutama otot
perut).
c) Kekuatan Statis, kemampuan memanfaatkan kekuatan
untuk membendung obyek-obyek eksternal.
d) Kekuatan Eksplosif, kemampuan memanfaatkan
energi maksimum dalam satu atau serangkaian
kegiatan eksplosif.
2) Faktor-faktor Fleksibilitas
a) Fleksibilitas Jangkauan, yaitu kemampuan
menggerakkan otot-otot bawah atau belakang sejauh
mungkin.
b) Fleksibilitas Dinamik, kemampuan melakukan
gerakan-gerakan meregang cepat dan berulang-ulang.
3) Faktor-faktor Lain
a) Koordinasi tubuh, kemampuan mengkoordinasikan
tindakan-tindakan simultan anggota-anggota tubuh
berbeda.
b) Keseimbangan, kemampuan menjaga keseimbangan
meski terdapat kekuatan yang berupaya
menggoyahkan.

39
c) Stamina, kemampuan mengerahkan upaya maksimum
yang mensyaratkan upaya terus-menerus.

Secara psikologis manusia adalah makhluk yang unik,


karena terdapat perbedaan dalam persamaan. Pada diri setiap
individu manusia, terdapat beberapa aspek yang sama,
misalnya sama-sama memiliki pancaindera, jasad dan ruh,
kemampuan berpikir dan mencipta, berkeinginan dan
memiliki motivasi, sistem anatomi tubuh yang sama, dan
sebagainya. Namun dalam kesamaan tersebut terdapat
perbedaan yang sangat nyata, antara lain minat, bakat, dan
kemampuan. Dengan demikian, dari serangkain bentuk-
bentuk kemampuan yang diuraikan di atas, masing-masing
individu memiliki kadar yang berbeda.
Dalam hal pencapaian tujuan organisasi yang ditopang
oleh kinerja pegawai, berbagai jenis kemampuan individu
baik kemampuan intelektual maupun kemampuan fisik belum
menjadi jaminan. Karena masih bergantung kepada
keterampilan para manajer dalam mengelola sumber daya
tersebut. Setiap kemampuan masing-masing individu harus
diselaraskan dengan jenis pekerjaan yang menuntut
keterampilan tertentu.

c. Kesesuaian Pekerjaan dengan Kemampuan


Untuk menjelaskan dan memperkirakan prilaku orang-
orang yang bekerja dalam organisasi, selain memahami
kemampuan intelegensi dan fisik masih diperlukan analisa
terhadap kesesuaian pekerjaan dengan kemampuan yang
dimiliki karyawan.
Berdasarkan kenyataan yang menunjukkan bahwa
kemampuan setiap individu berbeda-beda, maka para manajer
dituntut untuk mampu menyesuaikan beban kerja dengan

40
kemampuan masing-masing pegawai. Apabila terdapat
kesesuaian di antara keduanya, sudah dapat diprediksi bahwa
kinerja pegawai akan baik dan memuaskan.
Apabila ternyata kesesuaian antara kemampuan dan
pekerjaan tersebut buruk, maka prediksi yang kita perkirakan
adalah kegagalan dalam menjalankan pekerjaan. Sebagai
contoh, apabila seorang pegawai ditugaskan untuk mengolah
kata (membuat laporan, deskripsi, teks iklan, brosur. dsb),
sedangkan orang tersebut tidak memiliki keterampilan itu
maka pekerjaan tersebut dipastikan akan gagal. Efek lain
yang akan terjadi, pegawai yang bersangkutan tidak akan
memperoleh kepuasan kerja, bahkan mungkin dirinya merasa
tersiksa secara psikologis, dan akhirnya akan memperlihatkan
perilaku yang tidak dikehendaki organisasi. Akibat yang
paling patal adalah terjadinya stres kerja atau frustasi sebagai
akibat dari keterbatasan kemampuan.

2.2 Persepsi
Secara manajerial, hal terpenting yang perlu diketahui
oleh para manajer adalah pengambilan keputusan karena
pengambilan keputusan merupakan unsur yang penting dalam
kehidupan organisasi. Dengan adanya proses pengambilan
keputusan yang menghasilkan suatu keputusan, organisasi
memiliki arah dan tujuan yang jelas berkenaan dengan segala
aktivitas yang ada di dalamnya. Lebih jauh lagi, suatu
keputusan akan memiliki dampak terhadap keberadaan
organisasi di masa depan. Dengan demikian, suatu keputusan
harus mendapat dukungan dari berbagai pihak yang terlibat
dalam organisasi yang bersangkutan. Dukungan tersebut
hanya akan diperoleh dengan baik apabila pihak-pihak yang
terkait memiliki persepsi yang positif terhadap keputusan
yang diambil.

41
Oleh karena itu, persepsi menjadi penting untuk dibahas
karena terkait juga dengan perilaku pegawai/anggota dalam
organisasi. Berikut dikemukakan pengertian dan pentingnya
persepsi.

1. Pengertian Persepsi
Menurut Mangkunegara (2005:14) ”Persepsi adalah
suatu proses menyeleksi stimulus dan diartikan”. Rumusan
lain yang dikemukakan Mangkunegara, persepsi merupakan
”suatu proses pemberian arti atau makna terhadap suatu
obyek yang ada pada lingkungan”
Persepsi mencakup : Penafsiran obyek, penerimaan
stimulus, pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap
stimulus yang telah diorganisasikan.
Dilihat dari prosesnya, persepsi seseorang akan
terbentuk dimulai dari kenyataan yang dirasakan dalam
organisasi. Kanyataan dimaksud antara lain sistem yang
berjalan dalam organisasi yang bersangkutan, kompensasi
(imbalan/balasjasa), pendekatan yang digunakan oleh
supervisor (apakah persuasi atau otoriter), arus pekerjaan dan
yang lainnya. Selanjutnya kenyataan tersebut akan ditafsirkan
oleh individu pegawai, yang secara umum penafsiran tersebut
akan dipengaruhi oleh prilaku meniru, memilih-milih,
gambaran diri, situasi, kebutuhan, dan emosi. Dalam proses
penafsiran tersebut, setelah diamati akan dievaluasi (dinilai).
Tentu saja hasil penilaian suatu individu akan berdeda
dengan penilaian individu lainnya, karena pemahaman, latar
belakang kebutuhan dan yang lainnya juga berbeda. Dari
hasil evaluasi tersebut akan berdampak pada perilaku
individu dalam organisasi, selanjutnya akan membentuk
sikap tertentu. Dengan demikian, persepsi individu terhadap
keputusan yang diambil akan berbeda, apabila manajer
menginginkan agar

42
keputusan tersebut didukung semua pihak, maka harus
diupayakan agar terjadi persamaan persepsi.
Menurut Abraham Maslow (1950), setiap individu
cenderung menggunakan dirinya sebagai alat ukur untuk
mempersepsikan orang lain. Maslow menyimpulkan bahwa”:
(a) Dengan mengenal diri sendiri akan lebih mudah melihat
orang lain; (b) Ciri khas diri sendiri mempengaruhi ciri khas
yang dikenal dalam diri orang lain; dan (c) Orang yang
menerima dirinya sendiri lebih memungkinkan untuk melihat
segi-segi yang baik dari orang lain.
Perbedaan persepsi antara individu yang satu dengan
individu yang lain akan mengakibatkan terjadinya
pemaknaan yang berbeda terhadap suatu obyek yang sama di
lingkungan organisasi. Oleh karena itu, manajer atau
pimpinan perlu berupaya untuk menyamakan persepsi dari
setiap individu, agar terjadi persamaan dalam memaknai
tujuan organisasi. Apabila persepsi pegawai sudah sama, atau
mendekati sama, pimpinan akan lebih mudah dalam
menggerakkan pegawai dalam upaya mencapai tujuan
organisasi.
Menurut Miftah Thoha (1992:138), ”Persepsi pada
hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap
orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya,
baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan,
dan penciuman”.
Untuk memahami persepsi, kata kuncinya terletak pada
pengenalan bahwa persepsi merupakan penafsiran yang unik
terhadap situasi, bukan pencatatan yang benar terhadap
situasi, karena penafsiran setiap orang akan berbeda.
Pendapat lain menyatakan bahwa persepsi adalah suatu
proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu
gambaran unik tentang kenyataan yang sangat berbeda dari
kenyataan yang sesungguhnya. Sedangkan menurut Duncan,

43
persepsi dirumuskan dengan berbagai cara, tetapi dalam ilmu
perilaku istilah persepsi digunakan untuk mengartikan
perbuatan yang lebih dari sekedar mendengarkan, melihat,
dan merasakan sesuatu.
Menurut Robbins (2007:169) ”Persepsi adalah proses
yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan
indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada
lingkungan mereka”. Para ahli banyak yang menyatakan
bahwa persepsi seseorang akan berbeda dengan yang lain,
tetapi Robbins menganggap tidak selamanya harus berbeda,
mungkin saja terdapat persepsi yang sama dari orang yang
berbeda. Misalnya, sekelompok karyawan di perusahaan
tertentu menganggap bahwa perusahaan yang bersangkutan
adalah tempat yang menguntungkan bagi mereka, karena
mampu memberikan kehidupan (penghasilan).
Hal lain yang memungkinkan dipersepsikan sama
antara lain kondisi kerja yang menyenangkan, tugas
pekerjaan yang menarik, upah yang baik, manajemen yang
bijaksana, dan lain sebagainya. Namun demikian, memang
sulit untuk memperoleh persepsi yang sama dari beberapa
individu yang berbeda.

2. Proses Persepsi
Persepsi adalah suatu proses kognitif yang lebih luas
dari proses pengindraan, karena proses persepsi meliputi
suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan,
dan penafsiran. Persepsi itu sendiri memang bergantung
kepada pengindraan data, tetapi dibarengi dengan proses
yang bisa menyaring, menyederhanakan, atau mengubah data
tersebut secara sempurna.
Contoh kecil mengenai perbedaan antara pengindraan
danpersepsi dapat dilihat pada kejadian sehari-hari. Misalnya,

44
seorang penjual rambut palsu akan mengatakan bahwa hal itu
bernilai tinggi karena dapat menjadi solusi bagi yang botak.
Tetapi pembeli bisa mengatakan sebaliknya, yakni rambut
palsu bernilai rendah. Hal serupa akan banyak ditemui dalam
kehidupan berorganisasi, sehingga menjadi penting untuk
dipelajari agar dapat mengenali perilaku karyawan di
lingkungan organisasi.
Perbedaan paling sederhana antara pengindraan dan
persepsi adalah sebagai berikut:
a. Proses pengindraan hanya mengamati kenyataan,
sehingga besar kemungkinan hasil pengindraan yang
dilakukan banyak orang akan sama.
b. Proses persepsi selain melihat kenyataan dipengaruhi juga
oleh mekanisme biologis, pengalaman masa lalu,
perkiraan sekarang dan prediksi masa depan.

Dalam proses persepsi terdapat beberapa subproses


persepsi, sebagai bukti bahwa proses persepsi merupakan
sesuatu yang kompleks dan interaktif. Subproses tersebut
mencakup stimulus, registrasi, interpretasi, dan feedback.
Berikut penulis kemukakan penjelasan ringkas tentang
keempat subproses tersebut.
a. Stimulus, disebut juga situasi yang hadir atau dihadapi.
Proses persepsi yang pertama diawali ketika seseorang
menghadapi suatu masalah atau melihat suatu kenyataan.
Situasi yang dihadapi itu bisa berupa sitimulus
pengindraan dekat atau berupa bentuk lingkungan
sosiokultural dan fisik secara menyeluruh di lingkungan
organisasi. Apa pun bentuknya, situasi tersebut akan
mendorong seseorang untuk melihat atau mengamatinya,
hal ini berarti proses awal persepsi sudah mulai berjalan.

45
b. Registras, pada tahapan ini yang terjadi adalah adanya
mekanisme fisik yang berupa pengindraan, dan syaraf
seseorang akan terpengaruh untuk aktif. Pendengaran,
penglihatan, dan perasaan akan mempengaruhi proses
persepsi secara keseluruhan. Dari hasil pengindraan ini
akan diperoleh daftar informasi, baik yang bersumber dari
penglihatan, pendengaran, maupun sumber lain. Setelah
semua informasi itu diterima seseorang, maka proses
selanjutnya adalah penafsiran atau interpretasi.
c. Interpretasi atau penafsiran yang terjadi bergantung
kepada kedalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang
yang akan berbeda dengan individu lainnya. Oleh karena
itu, interpretasi terhadap obyek yang sama akan
menghasilkan penafsiran yang berbeda. Mulai dari sinilah
terjadinya perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap,
karena perbedaan penafsiran terhadap informasi yang
diterima.
d. Feedback (umpan balik), subproses ini dipengaruhi oleh
persepsi seseorang. Artinya suatu penafsiran seseorang
akan ditafsirkan berbeda oleh orang yang berbeda pula.
Ketika seorang pegawai melaporkan hasil pekerjaannya,
ia dapat melihat peedback dari atasannya dengan cara
melihat sikap atau prilakunya. Contoh, pada saat atasan
menerima laporan mungkin kedua alisnya naik ke atas,
kulit dahinya mengkerut, bibirnya terkatup rapat, atau
matanya membelalak, atau mungkin bergumam tak jelas,
kemudian menyimpan laporan di atas meja begitu saja.
Feedback semacam itu akan membentuk persepsi
tersendiri bagi karyawan yang bersangkutan dan belum
tentu sejalan dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Karyawan tersebut menafsirkan bahwa atasannya tidak
puas atas hasil pekerjaannya. Padahal, atasannya
barangkali heran bahwa karyawannya mampu

46
mengerjakan pekerjaan itu dengan baik, diam-diam ia
memujinya dalam hati. Hal ini terjadi, karena terdapat
beberapa faktor yang akan mempengaruhi pengembangan
persepsi seseorang, yaitu faktor psikologi, famili, dan
kebudayaan.

3. Faktor yang mempengaruhi Persepsi

Untuk menjelaskan, alasan mengapa terjadi persepsi


yang berbeda terhadap obyek yang sama, diperlukan
pemahaman tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
hal itu. Faktor-faktor yang akan dibahas pun dapat berbeda
pada pihak pelaku persepsi, obyek persepsi, dan target
persepsi, atau bahkan dalam situasi di mana persepsi itu
berlangsung.
Menurut Robbins (2007:170), faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Faktor pemersepsi mencakup sikap, motif, kepentingan,
pengalaman, dan pengharapan.
b. Faktor dalam situasi mencakup waktu, keadaan tempat
kerja, dan keadaan sosial
c. Faktor pada target mencakup hal baru, gerakan, bunyi,
ukuran, latar belakang, dan kedekatan.

Pada saat individu memandang kepada suatu obyek


tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang ia lihat, maka
penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi
individu yang bersangkutan sebagai pelaku persepsi. Yang
dimaksud dengan karakteristik individu adalah sikap,
kepribadian, motif, kepentingan atau minat, pengalaman
masa lalu, dan harapan. Sebagai contoh, apabila seseorang
memandang bahwa seorang Kiyai harus berwibawa, maka ia

47
akan mempersepsikan dalam cara ini tanpa memperdulikan
ciri-ciri Kiyai yang sebenarnya.
Demikian juga halnya karakteristik target yang diamati,
merupakan sesuatu yang akan mempengaruhi apa yang
dipersepsikan. Misalnya, orang yang banyak bicara dalam
suatu kelompok akan lebih banyak diperhatikan
dibandingkan dengan orang yang pendiam.
Di samping itu, situasi pun ikut mempengaruhi
terhadap pesepsi seseorang. Pada saat suatu obyek persepsi
terlihat, akan mempengaruhi perhatian, misalnya karena
cahaya, suhu udara, dan sejumlah faktor lainnya. Misalnya
persepsi seseorang terhadap sepasang sepatu, persepsinya
akan berbeda antara siang dan malam. Pada malam hari
penglihatan seseorang dipengaruhi oleh cahaya lampu. Maka
sepatu tersebut bisa tampak lebih bagus atau sebaliknya.

4. Selektivitas Perseptual
Sering dijumpai bahwa seseorang setiap saat sikap dan
prilakunya banyak dipengaruhi berbagai rangsangan
(stimuli). Rangsangan-rangsangan tersebut bervariasi, ada
yang secara kontinu didengar dan dilihat setiap saat karena
seseorang bekerja di suatu tempat secara berulang setiap hari.
Misalnya operator komputer. Ada juga yang berbeda setiap
saat, karena ia bekerja sebagai petugas lapangan yang
dinamis dan berpindah-pindah dari satu situasi ke situasi
lannya.
Oleh karena itu terdapat ratusan bahkan mungkin
ribuan rangsangan yang diterima seseorang, ditambah lagi
dengan pengaruh rangsangan menyeluruh. Maka, setiap
orang pada setiap saat, disadari atau tidak, akan melakukan
seleksi(pemilihan) terhadap rangsangan tersebut. Rangsangan
yang dipilih adalah rangsangan yang tepat pada waktu yang
ditentukan. Misalnya, seseorang yang berada di stasiun kereta

48
api, akan banyak suara yang didengar, tetapi dengan cepat ia
dapat mengenali suara saudaranya yang ditunggu melalui
indera pendengaran atau mengenalinya melalui indra
penglihatan.
Kemampuan seseorang dalam memilih rangsangan,
dapat dipamahi dengan cara memperhatikan beberapa prinsip
pemilihan persepsi sebagai berikut:
a. Faktor-faktor perhatian dari luar
Intensitas, semakin besar intensitas rangsangan dari luar
akan semakin besar pula hal-hal yang dapat dipahami.
Misalnya cahaya terang, suara keras, bau yang tajam,
akan memperjelas persepsi seseorang. Intensitas
rangsangan biasanya digunakan dalam pembuatan iklan
untuk memberikan persepsi yang kuat bagi calon
konsumen.
Ukuran, merupakan faktor yang hampir sama dengan
intensitas. Tetapi faktor ukuran lebih fokus kepada
ukuran rangsangan yang diterima, sehingga
mempermudah untuk memahami suatu obyek. Misalnya
dalam memuat iklan di koran, dimuat satu halaman akan
lebih menarik perhatian dibandingkan dengan iklan
kolom.
Keberlawanan atau kontra, yang dimaksud adalah
keberlawanan obyek dengan sesuatu yang
melatarbelakanginya. Misalnya beberapa gambar bulatan
tersebar di suatu media, salah satu bulatan tampak lebih
besar dan memiliki warna yang berbeda dengan gambar
bulatan lainnya. Maka gambar bulatan yang berwarna
tersebut akan lebih mudah dikenali dan menarik
perhatian.
Pengulangan (repetition), rangsangan yang berulang-
ulang juga akan menarik perhatian lebih besar bagi
seseorang. Prinsip ini bisa digunakan oleh seorang
pemimpin pada saat memberikan pengarahan kepada

49
bawahan, pengulangan akan membantu memperkuat
persepsi bawahan terhadap tugasnya. Namun demikian
intensitasnya harus dibatasi agar tidak terjadi kebosanan,
walaupun kebosanan tersebut lama kelamaan akan
memudar sendiri.
Gerakan (moving), yang dimaksud adalah rangsangan
yang bergerak. Seseorang akan lebih mudah tertarik
perhatiannya oleh obyek yang bergarak, apalagi dalam
situasi yang serba statis. Misalnya seorang dosen yang
memberikan kuliah sambil bergerak akan lebih menarik
dibandingkan dengan dosen yang hanya berdiri di
mimbar.
Baru dan Familier, merupakan rangsangan yang akan
mempengaruhi persepsi seseorang. Obyek yang baru
dikenal biasanya akan menarik perhatian. Misalnya mode
kebaya baru akan menarik perhatian seorang ibu,
demikian juga mode pakaian yang sudah dikenalnya.
b. Faktor-faktor dari dalam
Belajar atau pemahaman, merupakan faktor-faktor dari
dalam yang membentuk terjadinya perhatian seseorang
kepada suatu oyek yang akan menimbulkan persepsi.
Semua itu didasarkan atas kompleksnya suasana kejiwaan
selaras dengan proses pemahaman, belajar, dan motivasi
seseorang.
Motivasi dan kepribadian merupakan hal yang tidak
dapat dipisahkan dari proses belajar, keduanya
merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan
persepsi. Eratnya keterkaitan motivasi dan kepribadian
dengan persepsi akan lebih mudah dipahami dalam hal
sex dan lapar. Misalnya, di lingkungan masyarakat yang
tabu membicarakan sex dan menampilkan wanita yang
berbusana minim, memasang iklan dengan menampilkan

50
seorang artis film akan mudah menarik perhatian. Atau
membicarakan makanan di lingkungan orang yang sedang
kelaparan, ini juga akan menarik perhatian lebih besar.
Kepribadian dan persepsi, dalam membentuk persepsi hal
ini memiliki hubungan yang sangat erat. Sekelompok
manajer senior akan memiliki kepribadian dan persepsi
yang berbeda dengan persepsi manajer yunior. Perbedaan
tersebut antara lain dalam memperhatikan hal-hal kecil
berkenaan dengan pengambilan keputusan, tentang
disiplin, dan hal lain yang membosankan.

Berdasarkan uraian di atas, seseorang secara selektif


akan menafsirkan apa yang ia lihat, ia dengar, atau ia rasakan
atas dasar kepentingan, latar belakang, pengalaman, dan
sikapnya. Persepsi selektip pun akan terjadi manakala
terdapat rangsangan yang membingungkan, maka yang
terjadi adalah persepsi berdasarkan penafsiran individu,
bukan oleh rangsangan tersebut. Tetapi, tentu saja bukan
berarti tanpa resiko, karena salah persepsi bisa saja terjadi.

5. Mengorganisasikan Data Perseptual


Pada pengindraan seseorang akan memperoleh
informasi dari hasil pengindraannya, baik melalui penglihatan
maupun pendengaran. Informasi tersebut merupakan bahan
untuk diolah secara kejiwaan yang akan menghasilkan
persepsi tentang sesuatu obyek. Tetapi sebelum informasi
tersebut menghasilkan persepsi yang utuh, terlebih dahulu
akan mengalami proses pengorganisasian persepsi, meliputi
tiga hal pokok, yaitu kesamaan dan ketidaksamaan;
kedekatan dalam ruang; dan kedekatan dalam waktu.

51
a. Kesamaan dan ketidaksamaan
Sesuatu obyek memiliki unsur kesamaan dan unsur-
unsur yang tidak sama tentang ciri, kemudian akan dipersepsi
sebagai suatu obyek yang berhubungan dan
ketidakberhubungan. Maksudnya, obyek yang memiliki
kesamaan ciri akan dipersepsi sebagai obyek yang memiliki
hubungan. Sedangkan obyek yang tidak memiliki ciri yang
sama tidak dianggap memiliki hubungan atau dianggap
terpisah. Misalnya, pemain sepak bola grup A memiliki
kostum yang berwarna merah, maka apabila ada pemain
sepak bola yang tidak memiliki warna merah dianggap
berbeda atau terpisah.

b. Kedekatan dalam ruang


Suatu obyek atau peristiwa yang dilihat oleh seseorang
karena kedekatan dalam ruang tertentu akan dengan mudah
diartikan sebagai obyek yang ada hubungannya. Misalnya,
seorang pria dewasa berdiri berdekatan dengan seorang
wanita dewasa ditambah seorang anak laki-laki, ketiganya
ada di halte bis kota. Orang lain yang melihat obyek tersebut
akan menyangka bahwa mereka sekeluarga, walaupun belum
tentu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

c. Kedekatan dalam waktu


Pengorganisasian persepsi bisa terjadi juga karena
adanya kedekatan waktu. Suatu obyek atau peristiwa akan
dianggap mempunyai hubungan karena adanya kedekatan
atau kesaman waktu. Misalnya, apabila terjadi pergantian
pejabat yang bertanggungjawab di bidang pemasaran setelah
terjadinya kemerosotan penjualan, maka pergantian pejabat
tersebut akan dianggap sebagai akibat dari kemerosotan
penjualan.

52
Ketiga hal di atas merupakan proses pengorganisasian
persepsi. Ringkasnya, setiap obyek atau peristiwa yang
diketahui adanya kesamaan atau ketidaksamaan, kedekatan
dalam ruang, atau kedekatan dalam waktu akan
diorganisasikan sedemikian rupa sehingga menciptakan suatu
persepsi tertentu. Untuk membantu pemahaman tentang
proses pengorganisasian persepsi, berikut dikemukakan
deskripsi sederhana tentang hal itu.
Siklus dimulai dari obyek atau peristiwa sebagai stimuli
atau rangsangan. Obyek akan diamati oleh seseorang melalui
pengindraan baik dengan penglihatan, pendengaran,
penyentuhan, perasaan, maupun dengan penciuman. Hasil
pengindraan akan dilanjutkan ke proses transformasi,
sehingga menghasilkan klasifikasi adanya hubungan atau
tidak adanya hubungan. Dilihat dari : kesamaan dan
ketidaksamaan; kedekatan ruang; dan kedekatan waktu. Baru
kemudian menghasilkan persepsi. Selanjutnya, persepsi
tersebut akan menjadi umpan balik terhadap obyek atau
pertistiwa dan kepada transformasi.

6. Persepsi Atribusi
Persepsi ini digunakan apabila seseorang sedang
mengamati perilaku, berusaha untuk menentukan apakah
perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal.
Dengan kata lain, teori Atribusi ini merupakan proses untuk
mencari kejelasan penyebab terjadinya perilaku orang lain.
Dengan demikian, tidak hanya mengamati atau mempelajari
perilaku dalam organisasi saja, tetapi juga mengamati atau
mencari sebab perilaku seseorang dalam organisasi.
Menurut Robbins (2007:172), teori Atribusi
dikemukakan untuk mengembangkan penjelasan mengenai
cara-cara kita menilai orang secara berlainan,bergantung pada

53
makna apa yang kita kaitkan pada perilaku tertentu. Pada
dasarnya teori itu mengemukakan bahwa bila kita mengamati
perilaku individu, akan berusaha menentukan apakah perilaku
itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal. Untuk
mencari jawaban yang mendekati, dapat diamati keunikan,
konsensus, dan konsistensinya.
Keunikan, dapat dilihat, apakah individu
memperlihatkan perilaku yang berlainan dalam situasi yang
berlainan. Apakah keterlambatan seorang pegawai itu
menjadi keluhan bagi karyawan lainnya karena melalaikan
tanggungjawab? Jawabannya, apabila bersifat luar biasa,
berarti penyebabnya internal, dan apabila tidak luar biasa
berarti penyebabnya eksternal.
Konsensus, yaitu apabila seseorang yang dihadapkan
pada situasi yang sama bereaksi dengan cara yang sama.
Pembuktiannya dapat diketahui dengan cara mengamati
beberapa orang karyawan yang berangkat kerja melalui rute
yang sama, apabila sama-sama terlambat datang ke tempat
kerja berarti penyebab perilaku tersebut bersifat eksternal.
Tetapi, apabila melalui rute yang sama tetapi ia terlambat
yang lain tidak, berarti penyebabnya bersifat internal.
Konsistensi, yaitu bereaksi yang sama dari waktu ke
waktu. Apabila terdapat seorang karyawan terlambat datang
sepuluh menit sebagai kasus luar biasa bagi yang tidak
pernah terlambat selama beberapa bulan terakhir, dan
terdapat juga karyawan yang terlambat sepuluh menit tetapi
dianggap hal biasa karena sering terlambat. Maka, semakin
konsisten perilaku tersebut, semakin nyata bahwa
penyebabnya adalah bersifat internal.

Dengan memahami teori Atribusi, para manajer


diharapkan mampu menghindari kekeliruan dalam menilai
perilaku individu (karyawan). Kekeliruan yang sering terjadi,

54
pada saat dilakukan penilaian perilaku orang lain cenderung
mengungkap penyebab secara internal dan memojokkan
individu, sementara penyebab eksternal sering diremehkeun
bahkan tak terpikirkan. Misalnya, pada saat terjadi penurunan
kinerja penjualan, yang pertamakali disorot adalah faktor
individu yang dianggap malas dan kurang kreatif. Mengapa
tidak dipikirkan juga faktor produksi, yang mungkin kalah
dalam persaingan atau para pesaing terus meningkatkan mutu
pelayanan dan mutu produknya. Atau, menyalahkan nasib
yang kurang mujur. Hal ini merupakan bias pelayanan diri,
yakni kecenderungan individu untuk mencirikan keberhasilan
mereka dengan faktor-faktor internal dan juga menyalahkan
kegagalan kepada faktor-faktor eksternal.

2.3 Kepribadian
Dalam dunia usaha, seorang pemimpin seyogyanya
mengenal dan mengerti betul tentang setiap tindakan
pegawainya. Tetapi untuk dapat mengerti membutuhkan
seperangkat pengetahuan yang memadai, karena perilaku dan
karakter individu sangat unik dan tidak dapat dikenali begitu
saja. Para psikolog pun mengakui bahwa jiwa manusia adalah
sesuatu yang sangat sulit untuk diamati, karena bersifat
abstrak. Obyek ilmu jiwa sendiri sebenarnya tertuju pada
gejala-gejala jiwa, bukan kepada jiwanya secara hakiki.
Bagi para pemimpin atau manajer yang ingin mengenal
betul perilaku para pegawainya, agar dapat diupayakan
melalui pemahaman terhadap aspek-aspek kepribadian
seseorang. Aspek–aspek tersebut antara lain dengan melihat
jalan pikirannya, pengamatan atas konflik yang terjadi, atau
aspek perangai seseorang, misalnya kebiasaan bersaing, iri
hati atas hasil orang lain, dan sebagainya. Bahkan mungkin
dapat diamati dari harapan pegawai yang bersangkutan.

55
Pendek kata, seorang manajer perlu memahami kepribadian
pegawai.
1. Pengertian Kepribadian
Menurut Mangkunegara (2005:5), istilah kepribadian
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris personality. Istilah
tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu kata per dan sonare
yang berarti topeng (mask) yang dipakai oleh pemain
sandiwara. Sementara itu personality pun berasal dari kata
persona yang berarti pemain sandiwara atau aktor. Dengan
demikian, personality atau kepribadian dapat diartikan
sebagai ”Suatu perwujudan dari prilaku seseorang yang
sebenarnya atau yang tidak sebenarnya (memakai topeng)”.
Menurut Robbins (2007:125), berbicara masalah
kepribadian tidak ditujukan kepada penampilan fisik,
misalnya memiliki pesona, murah senyum, ramah, atau
pandai bergaul. Kepribadian yang dimaksud di sini adalah
”Konsep dinamik yang menggambarkan pertumbuhan dan
perkembangan keseluruhan sistem psikologis seseorang”.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gordon Allport yang
dikutip Robbins, bahwa ”kepribadian adalah oganisasi
dinamik dalam individu yang memiliki sistem psikologis
tersebut yang menentukan persesuaian uniknya terhadap
lingkungan”. Dari pandangan tersebut, dapat dipahami
bahwa kepribadian adalah ”jumlah total cara individu
bereaksi dan berinteraksi dengan lainnya”.
Selanjutnya Robbins mengemukakan tentang penentu-
penentu kepribadian, antara lain ditentukan oleh faktor
keturunan dan lingkungan.
Keturunan, merujuk kepada faktor-faktor yang
ditentukan sejak lahir. Ukuran fisik, daya tarik wajah, jenis
kelamin, temperamen, komposisi dan refleksi otot, level

56
energi, serta ritme biologis adalah karakteristik umum yang
dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi kepribadian
seseorang. Bukti terakhir dari hasil penelitian yang
mendukung teori ini diperoleh fakta bahwa ciri-ciri seperti
rasa malu, takut, dan sedih besar kemungkinan disebabkan
oleh karakteristik genetik yang diwariskan.
Lingkungan, faktor lain yang memberikan tekanan
terhadap terbentuknya kepribadian adalah kebudayaan di
mana seseorang dibesarkan. Pengkondisian awal, norma yang
berada di tengah-tengah keluarga, teman, dan kelompok
sosial, serta pengaruh-pengaruh lain yang dialami. Faktor-
faktor ini diakui memiliki pengaruh penting terhadap
pembentukan kepribadian seseorang.

2. Pembentukan/Perkembangan Kepribadian
Menurut Mangkenegara (2005:6), kepribadian
terbentuk karena berbagai faktor secara menyeluruh. Oleh
karena itu keliru apabila ada yang menyatakan bahwa
kepribadian semata-mata hasil kebudayaan saja, atau semata-
mata hanya karena ditentukan faktor jasmani saja. Dengan
demikian, terbentuknya kepribadian seseorang dipengaruhi
banyak faktor yang satu sama lain saling melengkapi. Faktor-
faktor tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Hasil Kebudayaan
Hasil kebudayaan dapat diperhatikan pada sifat-sifat dan
kebiasaan seseorang yang berasal dari suatu daerah
tertentu. Apabila diamati, orang yang berasal dari daerah
yang sama cenderung memiliki kesamaan dalam sikap
dan prilakunya, demikian juga kepribadiannya.
b. Jasmaniah
Struktur jasmaniah diyakini berpengaruh terhadap
pembentukan kepribadian seseorang. Namun demikian

57
erat juga kaitannya dengan faktor mental, terbukti bahwa
apabila seseorang mengalami sakit (jasmani), ia akan
merasa tidak enak makan, kurang nyenyak tidur, cemas,
gelisah, bahkan merasa khawatir.

c. Jumlah sifat/ciri kepribadian


Sifat-sifat atau ciri-ciri kepribadian seperti periang,
pemarah, pemalu, sombong, cerdik, pandai bergaul,
luwes, alim, dan bijaksana merupakan ciri yang mudah
dikenali oleh orang lain. Di samping itu, tampak pula ciri-
ciri atau sifat-sifat sebaliknya, seperti sombong, pemarah,
licik, ingin menang sendiri dan yang lainnya. Namun
perlu dipahami bahwa ciri-ciri dan sifat-sifat tersebut
tidak secara absolut merupakan kepribadian, karena
munculnya sifat tersebut bertautan dengan faktor lainnya.
Dengan demikian, keliru apabila kepribadian diartikan
sebagai sejumlah sifat atau ciri kepribadian.

d. Turunan
Senada dengan pendapat Robbins, bahwa keturunan pun
ikut mempengaruhi terhadap terbentuknya kepribadian
seseorang. Horton beranggapan bahwa kepribadian
dipengaruhi oleh keturunan (heriditas). Bahkan ada yang
berpendapat bahwa keturunan sudah ditentukan sebelum
ia dilahirkan, artinya ketika ia dilahirkan telah membawa
sifat-sifat kepribadian berdasarkan keturunannya.

e. Lingkungan
John Locke, salah seorang pakar psikologi berpendapat
bahwa perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi
oleh lingkungan (empirisme). Bahkan menolak paham
tentang pembawaan, menurut pandangan ini bakat tidak
berpengaruh sama sekali.

58
Berdasarkan uraian di atas, kepribadian seseorang tidak
dibentuk secara sederhana, melainkan banyak faktor yang
mempengaruhinya, sehingga dalam diri seseorang terdapat
pertautan secara sinergis dan terpadu yang akan direfleksikan
dalam wujud kepribadian. Kepribadian dimaksud, mencakup
hal-hal yang bersifat jasmaniah dan rohaniah secara terpadu.
Sedangkan dalam ajaran Islam, antara bakat (pembawaan)
dan pengaruh lingkungan merupakan dua kekuatan yang
saling melengkapi.

3. Berbagai Teori dan Pengukuran Kepribadian


Teori-teori kepribadian telah banyak dikemukakan oleh
para ahli, mereka memiliki pandangan masing-masing sesuai
dengan dasar teori dan sasaran yang mereka gunakan. Ada
yang meneliti secara kejiwaan yang bersifat individual, ada
juga yang berorientasi kepada peran seseorang dalam
kelompok. Kajian kepribadian secara individual salah satunya
dibahas menurut teori psikoanalisis yang dipelopori Sigmund
Freud, sebagai berikut:
a. Teori Psikoanalisis
Menurut teori Sigmund Freud, kepribadian terdiri atas
tiga sistem, yaitu:
1) Id (das es), terletak dalam ketidaksadaran dan
merupakan dorongan primitif, misalnya untuk tetap
bertahan hidup dalam bentuk dorongan seksual atau
libido. Di samping itu terdapat juga dorongan mati
berupa agresi, yakni hasrat ingin menyerang dan
marah yang akan mengakibatkan perkelahian atau
peperangan.
2) Super-ego (Uber ich), sistem yang merupakan
kebalikan dari Id. Dibentuk melalui kebudayaan, baik
pendidikan maupun belajar pada norma-norma yang

59
berlaku dalam masyarakat. Dorongan yang berasal
dari super-ego akan berusaha menekan dorongan yang
timbul dari Id, karena dorongan Id tersebut tidak
sesuai atau tidak dapat diterima oleh super-ego.
3) Ego (das ich), sistem di mana kekuatan Id dan Super-
ego beradu kekuatan. Fungsi Ego adalah menjaga
keseimbangan antara kedua sistem (Id dan Super ego),
sehingga tidak terlalu banyak dorongan Id yang
dimunculkan pada kesadaran, sebaliknya tidak semua
dorongan super-ego dapat dipenuhi, karena ego
sendiri tidak memiliki energi.
Berkenaan dengan pengukuran kepribadian. Menurut
teori ini, mengukur kepribadian seseorang menggunakan
teknik prikoterapi dengan mendeteksi faktor penyebab yang
tersembunyi dalam alam ketidaksadaran dengan cara
menurunkan ambang kesadaran sampai pada tingkat
ketidaksadaran. Selanjutnya klien secara sadar sepenuhnya
diajak untuk mengeksplorasi ketidaksadarannya. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah teknik analisis mimpi.
Melalui mimpi, dengan menganalisis keadaan bawah sadar
seseorang dapat diketahui dinamika kepribadiannya.

b. Status Ralph Linton


Menurut teori ini, untuk dapat hidup secara efektif
manusia tidak cukup hanya memiliki satu jenis kepribadian
tipikal saja. Tetapi memerlukan seperangkat kepribadian
tipikal yang berhubungan dengan perannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Misalnya, seseorang memiliki peran sebagai kepala
rumah tangga, sebagai dosen, dan sebagai mahasiswa. Orang
seperti ini perlu memiliki kepribadian status, dalam
prakteknya harus mampu mengembangkan sikap dan

60
emosinya sesuai dengan tuntutan status tersebut. Pada hari
yang sama, ia dimungkinkan harus memerankan tiga jenis
peran secara bergantian. Pada saat, di rumah ia berperan
sebagai seorang ayah sekaligus kepala keluarga yang harus
tampil berwibawa dan memperlihatkan tanggungjawab dan
kemampuannya dalam menciptakan suasana tenang bagi
seluruh anggota keluarga. Hari itu juga ia berangkat ke
tempat kerja sebagai dosen, maka di depan kelas ia harus
berperan sebagai dosen dengan segala atribut dan
tuntutannya. Tentu saja suasana mulai berbeda, karena pihak
yang dihadapi adalah mahasiswa. Siang hari ia pindah ke
lokasi lain dengan suasana yang berbeda pula, peran dan
statusnya pun benbeda, karena sekarang ia sebagai
mahasiswa (pascasarjana), sehingga harus dapat
menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi. Dengan
demikian, dalam sehari ia akan berganti peran sebanyak tiga
kali. Di rumah memiliki wewenang dan otoritas mutlak
sebagai kepala keluarga, di kelas memiliki wewenang dan
otoritas sebagai dosen yang dihormati, dan di kelas lain ia
berperan sebagai mahasiswa yang dituntut untuk tunduk dan
patuh kepada aturan yang berlaku di kelas dan dituntut untuk
menghormati dosen. Dengan demikian, pada saat ia menjadi
mahasiswa wewenang dan otoritasnya hilang. Pada saat
kembali ke rumah, peran dan statusnya kembali ke asal, dan
demikian seterusnya.
Maka, apabila seseorang mampu memerankan
statusnya dengan baik, ia akan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan. Tetapi apabila sebaliknya, ia akan
mengalami konflik diri yang akan menjadi beban psikologis
yang cukup berat.

61
BAB III
MOTIVASI DAN PROSES BELAJAR INDIVIDU

3.1 Konsep Motivasi Dasar


Di berbagai aktivitas sosial, motivasi merupakan hal
yang paling sering dibicarakan, demikian juga halnya dalam
pembahasan perilaku organisasi. Namun demikian, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa teori-teori motivasi yang telah
ada belum mampu menyelesaikan berbagai persoalan, dalam
arti masih harus terus digali dan dikembangkan.
Berikut akan dikemukakan beberapa hal yang berkaitan
dengan motivasi, terutama kaitannya dengan perilaku
organisasi.
1. Definisi Motivasi
Menurut Robbins (2007:213), Motivasi adalah proses
yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan
individu dalam usaha mencapai sasaran”. Sebenarnya,
motivasi berkaitan erat dengan sasaran apapun, karena
motivasi di sini bersifat umum. Namun demikian, pada buku
ini sasaran motivasi yang tersebut difokuskan kepada
pemahaman dalam arti sempit, khusus berkenaan dengan
perilaku organisasi yang erat hubungannya dengan pekerjaan.
Dalam mendefinisikan motivasi yang berkaitan dengan
usaha mencapai tujuan pekerjaan terdapat tiga hal pokok,
yaitu intensitas, arah dan berlangsung lama.
Intensitas, terkait dengan kadar usaha seseorang. Hal
inilah yang menjadi unsur utama yang sering mendapat
perhatian apabila motivasi diperbincangkan. Semakin tinggi
kadar usaha seseorang, semakin tinggi pula motivasi yang ia
miliki. Hal ini mengandung arti bahwa usaha keras
merupakan indikator utama bagi motivasi yang dimiliki

62
seseorang, karena yang tidak memiliki motivasi aktivitasnya
akan lamban, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Tetapi,
kerja keras saja tidak cukup apabila tidak disalurkan ke arah
yang benar dan menguntungkan organisasi.
Arah, adalah sasaran yang dituju oleh seseorang dalam
mencapai cita-citanya. Arah yang benar adalah arah yang
menguntungkan organisasi dan individu yang bersangkutan.
Di samping itu, arah yang dituju harus konsisten dan relevan
dengan sasaran organisasi.
Berlangsung lama, yaitu ukuran tentang seberapa lama
seseorang dapat mempertahankan usahanya. Individu-
individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan
pekerjaannya dalam waktu yang cukup lama untuk mencapai
sasaran mereka.
Menurut Mangkunegara (2005:18) “Motivasi adalah
kondisi (energi) yang menggerakkan dalam diri individu
yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi”. Motivasi
tersebut terdiri atas dua dorongan, yakni dari dalam (internal
motivation), dan dari luar (external motivation). Dilihat dari
tingkatannya, terdapat motivasi rendah, sedang, dan tinggi.
Beberapa para ahli sepakat bahwa antara motivasi dan
prestasi kerja memiliki hubungan yang signifikant. Oleh
karena itu, para manajer harus berusaha agar para pekerja
memiliki motivasi yang tinggi yang pada gilirannya akan
meningkatkan prestasi kerja.
Menurut David McClelland (1961:17), terdapat enam
karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi,
yaitu:
a. Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi
b. Berani mengambil dan memikul resiko
c. Memiliki tujuan yang realistik

63
d. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang
untuk merealisasikan tujuan
e. Memanfaatkan umpan balik yang konkret dalam semua
kegiatan yang diperlukan
f. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang
telah diprogramkan.
Di samping itu, untuk mencapai tujuan organisasi
dengan baik bukan hanya memerlukan motivasi dari para
pekerja, melainkan diperlukan juga motivasi dari unsur
pimpinan, yaitu:
a. Memiliki tanggungjawab pribadi yang tinggi.
b. Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan
yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya.
c. Memiliki kemampuan untuk mengambil risiko yang
dihadapinya.
d. Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya
dengan hasil yang memuaskan.
e. Memiliki keinginan menjadi orang terkenal yang
menguasai bidang tertentu.
Eratnya hubungan antara motivasi dengan prestasi
kerja telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh
beberapa ahli seperti David McClelland, Edward Murray, dan
Miller, Gordon, yang menyimpulkan bahwa ”terdapat
hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan
pencapaian prestasi”. Dengan demikian, baik bagi pimpinan
maupun karyawan diperlukan motivasi yang tinggi guna
mencapai prestasi yang dikehendaki.

2. Teori Awal tentang Motivasi


Berkenaan dengan teori motivasi, terdapat beberapa
teori awal yang diajukan oleh para ahli. Antara lain teorinya
Abraham Maslow tentang kebutuhan manusia, teori Douglas
64
McGregor tentang teori X dan Y, teori Frederick Herzberg
tentang teori Dua Faktor, teori kontemporer dan teori lainnya.
Berikut dikemukakan penjelasan singkat tentang teori awal
motivasi tersebut.

a. Teori Hierarki Kebutuhan (Abraham Maslow)


Dalam aktivitas sosial, mencari pekerjaan sudah
merupakan istilah yang lazim didengar dan semua orang
memahaminya. Pada hakekatnya yang dicari bukan
pekerjaan, melainkan imbalan dari pekerjaan itu, yakni
penghasilan (uang) yang akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, Abraham Maslow
memberikan sorotan tajam terhadap kebutuhan manusia, yang
dapat dijadikan titik tolak berbagai pemikiran yang berkaitan
dengan masalah-masalah sosial termasuk ketenagakerjaan.
Menurut Abraham Maslow, kebutuhan manusia
tersebut tidak sama dan bervariasi. Dari keseluruhan aspek
yang menjadi dasar kebutuhan manusia, disusun secara
hirarki piramidal sebagai berikut.
1) Kebutuhan Dasar (basic need), meliputi sandang, pangan,
dan papan. Kebutuhan ini diperlukan oleh semua lapisan
masyarakat, mulai dari kalangan bawah sampai kepada
kalangan atas yang erat kaitannya dengan usaha
mempertahankan eksistensi manusia.
2) Keamanan (safety need), meliputi keamanan jasmani dan
rohani, termasuk keamanan sosial, agar setiap keluarga
dihormati kedaulatannya.
3) Sosial(social need), apabila kebutuhan dasar dan
kebutuhan keamanan terpenuhi, setiap orang
membutuhkan kebebasan dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Siapa pun bebas berkelompok, berserikat,

65
atau bergabung kepada organisasi tertentu di
lingkungannya.
4) Penghargaan (esteem need), tingkatan berikutnya adalah
kebutuhan akan penghargaan. Bagi seseorang yang telah
terpenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan keamanan, dan
kebutuhan sosialnya masih memerlukan kebutuhan
tingkat selanjutnya, yaitu ingin diakui, dihargai, dan
dihormati. Bagi seseorang yeng memerlukan kebutuhan
ini, apa yang ia dikerjakan tidak lagi bergantung kepada
imbal jasa atau kompensasi kebendaan. Bahkan apabila
diperlukan ia bersedia menyumbangkan sebagian
hartanya guna memperoleh penghargaan dari masyarakat
sekelilingnya, atau ia bersedia aktif di suatu organisasi
sosial tanpa mengharapkan upah. Baginya, diakui dan
dipercaya oleh kelompoknya sudah merupakan kepuasan
tersendiri.
5) Aktualisasi Diri (self actualization), yaitu kebutuhan
manusia yang paling atas. Pada tahapan ini, seseorang
tidak lagi membutuhkan uang, keamanan, sosial, dan
penghargaan, karena memang sudah diraihnya. Pada
tahapan ini, yang ia butuhkan adalah aktualisasi diri,
ingin diakui keberadaannya, dan ingin diakui bahwa ia
masih berguna bagi masyarakat luas. Diminta advis,
saran, atau pendapat, diangkat sebagai penasihat, atau
sekedar diundang untuk bincang-bincang berbagi
pengalaman dengan generasi berikutnya, merupakan
salah satu kebutuhan yang sangat penting dan berharga
baginya.
Teori ini banyak dijadikan rujukan oleh pakar pada
disiplin ilmu yang lain, terutama ilmu-ilmu sosial. Namun
demikian bukan berarti tanpa kelemahan, karena ada juga
para ahli yang tidak sependapat dengan teori hirarki
kebutuhan ini, dan mengemukakan teorinya sebagai kritik
atas teori Maslow tersebut.
66
b. Teori X dan Teori Y (Douglas McGregor).

Sesuai dengan namanya, teori awal tentang motivasi ini


terbagi atas dua bagian, yakni teori X dan teori Y. Bagi
seorang manajer yang memandang motivasi melalui teori X
ini akan beranggapan bahwa:
1) Karyawan cenderung tidak menyukai pekerjaan, bahkan
bila mungkin akan mencoba menghindarinya.
2) Maka, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam
dengan hukuman.
3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab.
4) Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas
semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan
ambisinya rendah.

Kemudian, teori Y merupakan kebalikan dari teori X


yang sangat kontras dan bersifat positif. Bagi para manajer
yang memandang karyawan berdasarkan teori ini akan
berasumsi bahwa:
1) Karyawan menganggap bekerja sebagai kegiatan alami,
sama dengan istirahat dan bermain.
2) Karyawan akan melakukan pengarahan dan pengawasan
diri, apabila mereka memiliki komitmen pada sasaran.
3) Rata-rata akan belajar untuk menerima, bahkan berusaha
dan bertanggungjawab.
4) Kemampuan untuk mengambil keputusan yang inovatif
menyebar luas ke semua orang, tidak hanya milik mereka
yang berada dalam posisi manajemen.
Implikasi dari teori ini, teori X mengasumsikan bahwa
kebutuhan tingkat rendah mendominasi individu, teori Y pun
mengasumsikanbahwa kebutuhan tingkat tinggi mendominasi
individu. McGregor sendiri memiliki keyakinan bahwa teori
Y lebih sohih dibandingkan dengan teori X. Oleh karena itu,

67
proses pengambilan keputusan partisipatif, pekerjaan yang
bertanggung jawab dan menantang serta hubungan kelompok
yang baik sebagai pendekatan-pendekatan yang diperkirakan
akan memaksimalkan motivasi karyawan.

c. Teori Dua Faktor.


Teori ini disebut juga teori motivasi-higiene yang
dikemukakan oleh Frederick Herzberg. Menurut teori ini :
”Hubungan individu dengan pekerjaan merupakan hubungan
dasar dan sikap seseorang terhadap kerja dapat menentukan
kesuksesan atau kegagalan individu itu”. Penemu teori ini
mengamati suatu pertanyaan singkat, yakni ”Apa yang
diinginkan oleh orang-orang dari pekerjaan mereka?
Kemudian ia meminta orang-orang untuk menguraikan secara
rinci tentang situasi-situasi di mana mereka merasa luar biasa
baik atau buruk menyangkut pekerjaan mereka, selanjutnya
respon-respon tersebut ditabulasikan dan dikategorikan.
Setelah jawaban dianalisis, diketahui bahwa mengenai
situasi yang membuat mereka tidak puas kebanyakan
dikaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik, seperti
pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan, atau kondisi kerja.
Sedangkan situasi yang membuat mereka puas kebanyakan
dikaitkan dengan faktor intrinsik, seperti kemajuan,
pengakuan, prestasi, dan tanggungjawab.
Namun perlu diketahui bahwa lawan dari kepuasan
bukan ketidakpuasan seperti yang diyakini banyak orang.
Karena andaikata hal-hal yang membuat mereka tidak puas
disingkirkan atau dihilangkan tidak serta merta mereka
menjadi puas. Hal ini berbeda dengan peristiwa lain,
misalnya lalulintas jalan raya terhenti karena jalan terhalang
pohon tumbang, begitu pohon tumbang disingkirkan serta
merta lalulintas normal kembali. Dalam hal ketidakpuasan
kerja tidak demikian adanya, karena menurut Herzberg
68
terdapat kontinuum ganda, yakni : Lawan Kepuasan adalah
Tidak ada Kepuasan, dan lawan Ketidakpuasan adalah
Tidak ada Ketidakpuasan.

Implikasinya, manajer harus berusaha menghilangkan


faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan, agar tercipta
ketentraman kerja, tetapi belum tentu merupakan motivasi.
Dengan kata lain, hasil sementara yang akan dicapai adalah
menentramkan pegawai dan belum tentu mereka termotivasi.
Untuk meningkatkan motivasi, harus dilakukan peningkatan
sesuatu yang berhubungan langsung dengan pekerjaan,
misalnya peluang promosi, peluang pertumbuhan personal,
pengakuan, tanggungjawab, dan prestasi.
Teori dua faktor yang dikemukakan di atas sama
dengan teori lainnya, yakni memiliki kelebihan dan
kelemahan.Kritik yang ditujukan kepada teori ini antara lain :

1. Terbatas oleh metodologi, sehingga apabila prosedur


berjalan baik, orang akan menganggap bahwa hal itu
berkat mereka, apabila sebaliknya (gagal), akan
menyalahkan pihak lain.
2. Penafsiran terhadap data bersifat subyektif, atau respon
lain yang serupa akan ditafsirkan dengan cara yang
berbeda.
3. Pengukuran kepuasan tidak menyangkut pekerjaan secara
total, dalam arti pekerjaan itu tetap dilakukan walaupun
ada bagian yang tidak ia sukai.
Namun demikian, terlepas dari kritik tersebut banyak
juga para manajer yang merencanakan dan mengendalikan
para pekerja yang dihubungkan dengan teori ini. Hanya
sebagian kecil saja yang kurang menyukainya.

69
3. Teori Kontemporer tentang Motivasi
Dari masa ke masa lahir teori-teori baru tentang
motivasi, rata-rata dianggap baik walaupun belum seluruhnya
teruji dengan baik. Di samping itu, tidak semuanya tidak baik
apalagi salah. Sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, lahirlah teori lain yang memiliki kesamaan dan
lebih rasional, tetapi tidak berarti menganggap teori
sebelumnya tidak baik. Teori tersebut dinamakan teori
kontemporer yang berkembang baru-baru ini, mewakili
kondisi-kondisi terakhir dalam menjelaskan motivasi. Teori-
teori tersebut antara lain sbb:

a. Teori ERG
Teori ini dikemukakan oleh Clayton, yang merupakan
penelitian ulang terhadap teori hierarki kebutuhan dari
Maslow. Dari lima tingkatan kebutuhan yang dikemukakan
oleh Maslow, dikelompokkan menjadi tiga yakni : existence
(eksistensi), relatedness (keterhubungan), dan growth
(pertumbuhan), dari ketiga istilah tersebut diambil huruf
awalnya menjadi ERG.
Untuk melihat perbedaan antara teori ERG dengan teori
Maslow, berikut dikemukakan beberapa hal yang berlainan
dengan teori Maslow:
1) Menurut Teori ERG satu atau lebih kebutuhan dapat
berjalan pada saat yang sama. Sedangkan menurut
Maslow, individu akan tetap pada tingkat kebutuhan
tertentu sampai kebutuhan tersebut terpenuhi.
2) Dalam teori ERG, jika kepuasan pada kebutuhan tingkat
lebih tinggi tertahan (prustasi), akan mendorong untuk
memenuhi kebutuhan lebih rendah lebih tinggi
(meningkat).

70
Contoh: Apabila seseorang tidak terpenuhi kebutuhan
akan interaksi sosial (keterhubungan), akan mendorong untuk
memiliki uang lebih banyak (eksistensi). Atau, apabila gagal
mencapai jenjang karier tertentu, ia akan berjuang
memantapkan diri di bidang lain, misalnya bisnis.
Dengan demikian, prustasi akan mendorong seseorang
untuk mundur ke taraf kebutuhan yang lebih rendah tetapi
dengan intensitas yang lebih tinggi. Selanjutnya, apabila
seseorang berhasil memenuhi kebutuhan tingkat tertentu akan
mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan taraf di atasnya.
Di samping itu, bisa saja seorang individu menempuh dua
kebutuhan pada saat yang bersamaan.
b. Teori Kebutuhan McClelland (David McClelland)
Menurut McClelland, kebutuhan manusia mencakup
tiga hal, yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan
kekuasaan, dan kebutuhan akan pertemanan.
1) Kebutuhan akan prestasi, disebut juga nAch
(achievement need). Kebutuhan akan prestasi ini
merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi
berdasarkan seperangkat standar dan berusaha keras
supaya sukses.
2) Kebutuhan akan kekuasaan, disebut juga nPow (need for
power). Kebutuhan untuk membuat orang-orang lain
berprilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa
dipaksa) tidak akan berprilaku demikian.
3) Kebutuhan akan kelompok pertemanan, disebut juga nAff
(need for affiliation), yaitu hasrat akan hubungan
antarpribadi yang ramah dan akrab.

Menurut teori di atas, seseorang yang sukses meraih


prestasi akan mendorong keinginan untuk mengelola

71
pekerjaan yang lebih besar. Terpenuhinya kebutuhan akan
kekuasaan erat kaitannya dengan manajerial sehingga
memotivasi seseorang untuk meraih jabatan yang lebih
tinggi. Sedangkan kesuksesan seseorang dalam berprestasi
dan manajerial akan memotivasi dirinya untuk sukses dalam
pergaulan. Berdasarkan teori kebutuhan ini, para manajer
dapat menganalisis, merencanakan, dan memprediksi prestasi
kerja karyawan guna meningkatkan motivasi karyawan.

c. Teori Penetapan Sasaran (Gene Broadwater).


Menurut teori ini “sasaran khusus dan sulit akan
menghasilkan kinerja lebih tinggi”. Sasaran khusus ini dapat
diungkapkan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tujuan
dari pekerjaan masing-masing.
Misalnya, seorang pelari harus selalu diingatkan agar ia
harus mencapai target waktu sekian menit. Seorang pelajar
selalu diingatkan agar ia harus meraih nilai lebih dari 85.
Atau seorang pelintas alam harus mampu meraih puncak
gunung tertentu. Demikian juga halnya dalam dunia kerja,
sasaran khusus harus ditetapkan oleh manajer.
Kaitannya dengan teori dasar motivasi, seseorang yang
telah memiliki komitment terhadap pencapaian sasaran,
didorong oleh tiga faktor, yaitu:
1) Komitment terhadap sasaran (memiliki niat yang kuat).
Niat-niat untuk bekerja menuju sasaran merupakan
sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, sasaran akan
memberitahukan kepada pegawai apa yang perlu
dikerjakan dan berapa banyak upaya yang harus
dilakukan. Sasaran khusus akan lebih baik dalam
meningkatkan kinerja, bahwa sasaran yang sulit bila
diterima baik akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi
daripada sasaran yang lebih mudah. Dalam hal ini, bagi
72
karyawan tertentu sasaran yang sulit menjadi sesuatu
yang menantang dirinya untuk bekerja lebih baik.
Dalam menentukan sasaran, akan lebih baik lagi apabila
karyawan diikutsertakan dalam proses perencanaan.
Mereka akan berusaha keras, karena merasa bahwa
pekerjaan itu merupakan bagian yang menjadi
tanggungjawabnya. Dalam kasus tertentu, karyawan akan
memiliki kinerja yang jauh lebih tinggi, apabila ia
ditugasi oleh atasannya untuk mencapai sasaran tertentu.
2) Keefektifan diri (memiliki keyakinan bahwa ia mampu).
Dalam hal ini, sasaran yang ingin dituju oleh perusahaan
ditentukan sendiri oleh karyawan yang akan
mengerjakannya. Karyawan merasa dirinya mampu, dan
ia akan bertanggungjawab sepenuhnya dalam mencapai
sasaran itu.
Keefektifan diri merujuk kepada keyakinan individu
bahwa ia mampu menyelesaikan tugas tertentu. Makin
tinggi keefektifan diri, akan semakin besar pula
kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk mencapai
keberhasilan dalam penyelesaian tugas. Jadi, dalam
situasi-situasi sulit, orang yang keefektifan dirinya rendah
cenderung mengurangi intensitas kerjanya sehingga
pencapaian tujuan pun menjadi rendah.
3) Budaya nasional (menyangkut hubungan atasan-bawahan
yang dipengaruhi budaya masing-masing). Di negara-
negara barat, bawahan merasa bahwa ia akan berdiri
sendiri dalam mencapai sasaran. Hubungan atasan
bawahan tidak terlalu mengikat, sehingga antara bawahan
dan atasan masing-masing akan mencari sasaran yang
menantang dan terjadi persaingan. Di Chili dan Portugal
terdapat hal yang berbeda, keberhasilan kerja bawahan
sangat bergantung kepada atasan. Dengan demikian,

73
budaya nasional masing-masing negara ikut berpengaruh
terhadap motivasi seorang karyawan. Di Indonesia,
hubungan antara atasan bawahan sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai yang berlaku, bahkan nilai-nilai budaya etnis
pun ikut berpengaruh.
Implikasi bagi manajer:
Dengan teori ini manajer mengetahui variabel-variabel
yang mempengaruhi kinerja karyawan. Sedangkan masalah
mangkir, keluar-masuk karyawan, dan kepuasan kerja tidak
dapat diprediksi oleh teori ini.

d. Teori Penguatan
Teori penguatan merupakan lawan dari pendapat teori
penetapan sasaran. Beranggapan bahwa perilaku individu
dipengaruhi oleh lingkungan. Teori ini mengabaikan keadaan
internal individu, sehingga tidak termasuk teori motivasi
melainkan memberikan analisis tentang apa yang
mengendalikan prilaku untuk memprediksi kualitas atau
kuantitas kerja. Intinya, yang mempengaruhi prilaku adalah
penguatan.
Penguatan memiliki pengaruh yang kuat terhadap
prilaku, tetapi sedikit sekali kaum terpelajar yang menerima
argumen seperti ini. Penguatan yang diterima pegawai adalah
pengaruh lingkungan, baik lingkungan fisik maupun teman
sekerja. Ungkapan yang diucapkan teman sekerja akan sangat
berpengaruh kepada prilaku seseorang. Misalnya ada yang
berkata ”Sudah, tidak perlu didengar, kita maju saja”.
Implikasi bagi manajer:
Teori ini dapat digunakan untuk menganalisa dan
memprediksi tentang : Kualitas kerja, kuantitas kerja,
ketekunan kerja, kadar keselamatan kerja, keterlambatan, dan
kemangkiran karyawan.

74
3.2 Motivasi dan Teknik Motivasi
1. Motivasi
a. Sulitnya mempelajari Motivasi
Motivasi merupakan masalah yang rumit karena
berkenaan dengan keragaman individu yang unik. Organisasi
berusaha mencari jalan keluarnya. Beberapa pemilik
perusahaan di AS telah mencoba mempelajari dan meneliti
segala sesuatu yang berkaitan dengan motivasi, hasilnya tidak
serta merta diperoleh karena rumitnya masalah tersebut.
Misalnya, di AS pernah dilakukan penelitian, hasilnya
sekitar 55% pegawai tidak bergairah untuk bekerja. Para
manajer mencoba meningkatkan motivasi melalui upah dan
tunjangan, tetapi kurang berhasil.
Sebuah perusahaan mencoba melakukan uji coba
tradisional, para karyawan diminta melakukan ritual berjalan
di atas batu bara menyala. Dengan asumsi : bagi yang berani
menghadapi rasa takut, akan siap menghadapi kesulitan kerja
di perusahaan, hasilnya :
1) Tidak terdapat pekerja di bagian produksi yang
meningkat prestasinya. Dalam arti bahwa walaupun
seorang pekerja berhasil menghadapi rasa takut pada saat
berjalan di atas bara, tidak terbukti mampu memadamkan
rasa takut di tempat kerja.
2) Tetapi karyawan di bagian lain terdapat reaksi yang
berbeda. Banyak agen penjualan yang lebih agresif
menghubungi CEO, mereka berani menemui CEO tanpa
melalui perantara seperti sebelumnya.

Dengan demikian terbukti bahwa mempelajari motivasi


pada diri manusia tidaklah mudah, karena cara yang sama
tidak menghasilkan kesimpulan yang sama untuk karyawan

75
yang berbeda. Artinya, motivasi karyawan di bagian produksi
akan berbeda motivasinya dengan karyawan di bagian
penjualan. Dengan kata lain, motivasi pegawai
beranekaragam karena motifnya pun berbeda-beda.

b. Kategori Motif
Para ahli psikologi telah melakukan penelitian tentang
kategori motif yang mendorong manusia untuk melakukan
kegiatan dan mempengaruhi tingkah lakunya. Hasil dari
penelitian tersebut ditemukan beberapa jenis motif, antara
lain sebagai berikut:

1) Motif Dasar, disebut juga dorongan-dorongan biologis


(biological drives). Dorongan ini sesuai dengan namanya,
motif ini merupakan motif yang berasal dari kebutuhan-
kebutuhan biologis atau dorongan yang bersifat
jasmaniah. meliputi :
a) Motif dasar untuk makan, minum, bernapas.
Kebutuhan makan dan minum tidak berlaku secara
terus-menerus, sehingga banyak dipengaruhi oleh
faktor kebudayaan. Misalnya, cara makan dipengaruhi
oleh etiket, norma agama, norma hukum, dan norma
lainnya. Sedangkan kebutuhan untuk bernapas berlaku
secara terus-menerus tetapi sering tidak disadari,
karena dianggap mudah dan tersedia atas kasih sayang
Allah SWT.
b) Motif dasar untuk memperoleh perlindungan diri atau
rasa aman (security drive), dipandang sebagai hak
yang paling azasi. Motif ini merupakan dorongan
keinginan yang didasarkan atas kebutuhan seseorang
untuk melindungi dirinya dari segala bentuk ancaman
terhadap integritas dan eksistensi kehidupannya.

76
c) Motif dasar untuk istirahat dan bergerak (rest and
activity drives), karena individu tidak dapat terus-
menerus melakukan aktivitas. Kegiatan yang terus
menerus tanpa henti akan mengakibatkan kelelahan
yang membutuhkan istirahat. Apabila kelelahan telah
hilang, diperlukan lagi aktivitas untuk bekerja dalam
upaya memenuhi kebutuhan lainnya, dan begitu
seterusnya.
d) Motif dasar untuk berkembang biak (sex drive), motif
ini erat kaitannya dengan kehidupan hormon-hormon
yang dalam penyalurannya dibatasi oleh norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Dari kebutuhan ini akan
muncul pula motif untuk saling mengasihi,
mengasihi anak atau mengasihi lawan jenis. Untuk
menarik atau memuaskan lawan jenis membutuhkan
juga berhias atau bersolek. Selanjutnya berkembang
kepada kebutuhan lain untuk melengkapinya,
misalnya kebutuhan akan benda-benda perhiasan.
2) Motif Sosial, disebut juga jenis motif yang dapat
dipelajari yang bentuknya berbeda-beda bagi setiap
kelompok masyarakat atau bangsa. Motif sosial ini
merupakan perkembangan dari motif dasar. Misalnya,
kebutuhan akan keamanan menimbulkan kebutuhan akan
rumah yang aman dan nyaman. Kebutuhan
mengembangkan keturunan memerlukan pakaian yang
layak, hubungan antar sesama yang harmonis, mencari
napkah untuk memenuhi orang yang dikasihi, dan
sebagainya. Maka motif ini meliputi motif untuk :
a) Dikenal, baik oleh kelompoknya maupun kelompok
lain agar terjamin keamanan dirinya. Di samping itu
akan bermanfaat bagi pengembangan kebutuhan
lainnya. Di zaman modern, menjadi orang terkenal
merupakan kebanggaan tersendiri.
77
b) Dibutuhkan oleh orang lain, karena setiap individu
sadar bahwa ia tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Maka ia ingin merasa dibutuhkan
karena suatu saat ia sendiri akan membutuhkan orang
lain.
c) Memperoleh penghargaan, merupakan kebutuhan
sosial yang amat penting. Seseorang tidak ingin
diperlakukan tidak adil apalagi dianaktirikan, ia ingin
dihargai dan diakui keberadaannya.
d) Berkelompok, sudah menjadi pembawaan manusia
yang tidak sanggup hidup sendiri. Dalam kajian
sosiologi dinamakan zoon politicon.
e) Memperoleh status dalam lingkungan sosial, hal ini
dapat diperoleh melalui pendidikan atau pencapaian
prestasi tertentu yang berguna bagi masyarakat. Di
lingkungan masyarakat yang dibatasi kasta-kasta
pengakuan atas status sosial kurang berkembang
dengan baik.
f) Berhubungan dengan sistem-sistem nilai, merupakan
suatu kebutuhan mendasar dalam bermasyarakat.
Setiap individu yang normal senantiasa mendambakan
agar dirinya menjadi bagian dari masyarakat yang
berada dalam sistem nilai tertentu.
3) Motif Objektif (objektive motive) timbul dan ditujukan
untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungan.
motif ini meliputi untuk:
a) Menyelidiki untuk memperoleh kebenaran yang lebih
obyektif, misalnya penelitian ilmiah.
b) Memanfaatkan sesuatu yang ada di lingkungan,
sehingga dapat berguna bagi kelangsungan hidupnya.
c) Memusatkan perhatian terhadap suatu obyek tertentu,
terutama hal-hal yang berkaitan dengan dirinya.
78
Misalnya petani memfokuskan perhatiannya terhadap
jenis tanaman, pupuk, dan teknologi.

c. Model Siklus Motivasi


Individu yang termotivasi secara intrinsik akan peduli
kepada pekerjaannya. Dia akan melakukan dengan baik demi
memperoleh kepuasan. Kepuasan kerja akan memotivasi
dirinya untuk bekerja lebih baik lagi. Jadi, motivasi intrinsik
dan ekstrinsik merupakan siklus motivasi yang saling
mempengaruhi. Imbalan yang diperoleh melalui motivasi
intrinsik datang dari kerja itu sendiri, bukan dari faktor-faktor
eksternal seperti halnya kenaikan gaji atau pujian dari atasan.
Menurut Model Thomas, motivasi instrinsik akan
tercapai apabila ia mengalami perasaan adanya pilihan,
kompetensi, penuh arti, dan kemajuan dalam bekerja.
Thomas menjelaskan lebih lanjut bahwa:
Pilihan adalah peluang untuk mampu menyeleksi
kegiatan-kegiatan tugas yang masuk akal bagi seorang
karyawan dan melaksanakannya dengan cara yang memadai.
Kompetensi adalah pencapaian yang dirasakan oleh
seorang karyawan saat melakukan kegiatan yang dipilih
dengan cara yang amat terampil.
Penuh arti adalah peluang untuk mengejar sasaran
tugas yang bernilai, sasaran yang terjadi dalam skema yang
lebih besar.
Kemajuan adalah perasaan seorang pegawai membuat
langkah maju yang berarti dalam mencapai sasaran tugas
seorang karyawan.
Keempat komponen motivasi intrinsik tersebut
berhubungan erat dengan peningkatan kepuasan kerja dan
perbaikan kinerja. Akan tetapi hampir semua penelitian yang
79
dilakukan oleh Thomas ditujukan terhadap karyawan
profesional dan dari kalangan manajer. Sehingga masih
menyimpan suatu pertanyaan, apakah hasil penelitiannya
berlaku bagi kaum buruh yang lain? Sampai saat ini belum
terjawab.

d. Insentif & Frustasi


Salah satu jenis insentif adalah insentif ekonomi, yakni
pemberian bayaran pegawai yang beragam sesuai dengan
kriteria prestasi individu, kelompok, atau organisasi.
Kriteria prestasi kerja dapat berupa tingkat produksi,
laba perusahaan dan sebagainya. Ukuran yang paling populer
adalah jumlah keluaran untuk menentukan bayaran (insentif).
Contoh:
 Pegawai yang menghasilkan lebih banyak, memperoleh
bayaran lebih banyak.
 Bonus diberikan apabila target tercapai, jika tidak maka
tidak ada bonus.
Dari beberapa teori perencanaan insentif salah satunya
dikemukakan oleh Henry L. Gannt, yang merupakan teori
paling liberal dan ilmiah. Dasar pemikirannya, rencana tugas
dan bonus harus membayar suatu persentase bonus tetap
dikalikan dengan jumlah nilai waktu standar yang dihasilkan
jika karyawan memenuhi atau melampaui standar. Misalnya,
seorang karyawan menyelesaikan pekerjaannya selama 12
jam dari 8 jam yang diharuskan, ia bukan hanya berhak
memperoleh upah 12 x $5 =$60, tetapi juga ditambah dengan
bunos sebanyak 10 % x $60, jadi ia berhak memperoleh $66.

Manfaat yang mungkin timbul dari pemberlakuan


sistem insentif adalah

80
 Meningkatkan keyakinan pegawai
 Mendekati rasa keadilan
 Memperbaiki prilaku pegawai dalam organisasi
 Pendekatan obyektif cenderung lebih diterima pegawai

Namun demikian, mungkin juga muncul kesulitan yang


mungkin timbul, antara lain sebagai berikut.
 Bagi yang berhasil merasa adil, tetapi akan muncul
perasaan tidak adil dari pegawai yang lain karena
berbagai alasan. Seorang pegawai yang berhasil dianggap
wajar karena dilengkapi fasilitas yang memadai,
sementara bagian lain fasilitas kerja kurang memadai
sehingga kurang menunjang terhadap produktivitas kerja.
Pegawai di bagian ini akan merasa diperlakukan tidak
adil, dan apabila hal ini terjadi tentu akan berdampak
negatif terhadap perusahaan.
 Akan terjadi analisis impas bea-imbalan. Bea meningkat
sejalan dengan meningkatnya imbalan, mungkin titik
impas kecil atau tidak ada sama sekali. Dengan demikian,
ada atau tidak ada insentif sebenarnya bagi perusahaan
sama saja.
Insentif jenis lain adalah insentif upah, yaitu pemberian
bayaran yang lebih banyak bagi produksi yang lebih banyak.
Walaupun dalam kondisi normal, tanpa insentif pun produksi
bisa banyak. Dalam hal ini, pemberian insentif hanya untuk
menghargai pegawai semata, karena bagi perusahaan sama
saja.

Di setiap lingkungan kerja, baik pemerintahan maupun


swasta akan terjadi dua hal yang saling berlawanan. Di satu
pihak ada karyawan yang merasa dihargai karena prestasi dan
produktivitasnya, di pihak lain terdapat juga karyawan atau
pegawai yang prustasi karena harapannya terhambat.

81
Frustasi terjadi apabila individu mengalami hambatan
atau kegagalan untuk mencapai sukses, sehingga terjadi
kekecewaan. Frustasi tersebut menimbulkan perasaan jengkel
atau agresif, secara teoritis frustasi dapat disalurkan melalui
usaha positif (jarang terjadi) dan usaha negatif (kebanyakan
terjadi). Secara kasat mata frustasi sulit dilihat oleh orang
lain, bahkan orang yang bersangkutan belum tentu menyadari
sepenuhnya bahwa ia sedang mengalami frustasi, karena
bersifat abstrak.
Secara psikologis frustasi yang terjadi pada seseorang
bersifat emosional, disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
sebagai berikut:
1) Reaksi emosional yang tak terpikirkan meliputi:
a) Agresi marah, hal ini terjadi apabila individu gagal
atau tidak berhasil dalam mencapai suatu tujuan
kegiatan atau usahanya disebabkan adanya rintangan-
rintangan. Individu tersebut akan marah, atau
mungkin merusak, baik merusak dirinya maupun
merusak sesuatu di luar dirinya.
b) Ketidakberdayaan, seseorang akan menunjukkan
sikap yang tak berdaya, pasif, patah hati. Apabila hal
ini terjadi terus-menerus (sering) akan menyebabkan
seseorang menjadi sakit. Misalnya, seorang pelajar
tiba-tiba pingsan saat mendengar pengumuman bahwa
ia tidak lulus ujian negara.
c) Kemunduran disebut juga regression, yaitu suatu
reaksi dari seseorang yang telah dewasa tetapi
menunjukkan sifat atau tingkah laku yang umum
dilakukan oleh anak-anak (bereaksi seperti anak-
anak). Misalnya, seorang mahasiswa yang gagal
menempuh ujian akhir menangis meraung-raung
seperti anak kecil.

82
d) Fiksasi, merupakan salah satu bentuk reaksi frustasi
emosional. Hal ini terjadi apabila seseorang
menghadapi kegagalan, ia akan mengulang kembali
apa yang pernah dialami dan meraih sukses.
(mengulang cara yang pernah sukses). Misalnya,
seorang anak kecil merengek-rengek minta uang, oleh
orangtuanya dibiarkan dan baru diberi apabila ia
menangis. Di hari lain, apabila menghadapi hal serupa
ia akan menangis, karena menangis dianggap cara
yang tepat untuk mencapai sukses.
e) Penekanan, merupakan bentuk lain dari frustasi. Yang
dimaksud penekanan adalah usaha seseorang yang
mengalami kekecewaan untuk menekan perasaannya
dengan cara melupakan apa yang telah terjadi, karena
kejadian tersebut dianggap pengalaman pahit atau
buruk.
f) Reaction formation (frustasi buatan), atau frustasi
yang dibuat-buat. Misalnya, terdapat seorang
mahasiswa yang takut kepada dosen saat ujian. Ia
akan melakukan gerakan-gerakan kakinya (gerakan
kecil), atau mengetuk-ngetukan jari untuk menutupi
rasa takutnya.

2) Melemparkan sebab kegagalan kepada orang lain, atau


sesuatu di luar dirinya. Penyebab frustasi ini meliputi:
a) Rasionalisasi (mencari alasan), yaitu reaksi frustasi
emosional dengan mencari-cari alasan atau sebab
pada orang lain atau terhadap sesuatu yang ada di luar
dirinya untuk menutupi kesalahannya. Misalnya,
seorang mahasiswa yang gagal ujian menyalahkan
dosennya.
b) Proyeksi (melemparkan kegagalan), yaitu merupakan
salah satu bentuk reaksi emosional di mana individu

83
melemparkan kegagalan atau kesalahan kepada hal-
hal lain yang ada di luar dirinya. Misalnya, seorang
atlet bulu tangkis kalah dalam pertandingan, ia
menyalahkan raket karena pinjaman, atau karena
pelatihnya tidak mendampingi saat pertandingan.
3) Mencari tujuan pengganti merupakan penyebab frustasi
seseorang. Jenis-jenis frustasi yang disebabkan oleh
upaya mencari tujuan pengganti antara lain:
a) Kompensasi (mencari peluang di bidang lain). Dalam
hal ini, apabila seseorang gagal dalam suatu pekerjaan
atau suatu kegiatan, ia akan mencari pengganti sukses
di bidang lain. Misalnya, seseorang gagal meraih
karier di bidang militer. Ia mencari sukses di bidang
usaha dalam melatih dan menyalurkan tenaga security
perusahaan (Satpam). Keahlian di bidang kemiliteran
ia salurkan kepada kader sehingga lebih bermanfaat.
b) Sublimasi (mengalihkan tujuan kepada yang lebih
baik), yaitu pengalihan suatu tujuan kepada kegiatan
lain yang lebih luhur. Misalnya, seseorang yang
memiliki dorongan kuat untuk berkelahi, kemudian
dorongan-dorongan tersebut ia salurkan melalui
kegiatan latihan tinju, atau masuk menjadi anggota
sasana tinju, dan akhirnya memperoleh keberhasilan
di bidang itu.
c) Melamun (menyalurkan emosi ke alam khayal),
merupakan bentuk lain dari frustasi emosional. Hal ini
terjadi karena seseorang gagal dalam hal-hal yang
nyata dan riil, kemudian melarikan dirinya ke alam
khayal yang mudah ia ciptakan. Dalam bentuknya
yang positif, seseorang yang lari ke alam khayal akan
menghasilkan karya sastra, karena ia mungkin
menjadi seorang pengarang, penyair, atau musisi.

84
Secara umum, perasaan frustasi dapat menyebabkan
stress, karena frustasi lebih dikenal sebagai akibat dari
konflik pribadi atau karena terjadi konflik motif internal.
Konflik motif internal sangat mungkin untuk terjadi bagi
siapa saja, misalnya seorang mahasiswa pada suatu saat
memiliki motif untuk bekerja dengan rajin karena ingin
berhasil dalam studinya. Tetapi pada saat yang sama, terdapat
motif lain untuk menonton sepak bola, karena saat itu tim
favoritnya akan bertanding. Konflik seperti itu dapat
diselesaikan melalui keputusan hati sendiri, tetapi adakalanya
mendatangkan masalah besar yang membingungkan. apalagi
bila menyangkut orang lain. Konflik motif dapat melahirkan
frustasi, dan frustasi yang berlebihan akan mengakibatkan
stress.
Namun demikian, berdasarkan uraian di atas, tidak
selamanya frustasi mengakibatkan stress, tetapi mungkin
juga frustasi tersebut melahirkan sesuatu yang positif apabila
penyalurannya ke arah positif.

2. Berbagai Teknik Motivasi

a. Teknik Motivasi
Teknik motivasi adalah cara-cara atau kiat-kiat yang
dianggap paling tepat untuk memberikan motivasi kerja,
sehingga karyawan bersangkutan mau bekerja sesuai dengan
harapan pemilik perusahaan (manajer). Teknik yang
digunakan tentu saja sangat beragam bergantung kepada
kemampuan seorang pemimpin, di samping itu ditentukan
juga oleh situasi dan kondisi perusahaan masing-masing.
Dengan demikian, setiap pemimpin akan menggunakan
teknik yang berbeda dalam memotivasi pegawainya.
Secara umum teknik motivasi hanya terdiri atas dua
macam, yakni teknik positif dan teknik negatif. Teknik positif

85
umumnya memberikan pengharapan kepada pegawai,
biasanya dengan cara memberikan imbalan agar mereka lebih
giat dan lebih baik dalam bekerja. Sedangkan teknik negatif
dalam bentuk pemberian sanksi bagi yang melanggar.
George Strauss dan Leonardd R. Sayles
mengemukakan beberapa teknik motivasi yang dapat
digunakan bagi memotivasi pegawai atau karyawan
perusahaan, melalui enam pendekatan, yaitu:
1) Teknik Tradisional
Dilakukan dengan kekuasaan dan ganjaran ekonomi.
Misalnya dengan cara memaksa orang untuk bekerja
dengan ancaman; menganggap bahwa semua orang butuh
urang; mereka mau bekerja dengan baik karena didorong
rasa takut akan kehilangan pekerjaan; pemimpin harus
memberitahu apa yang harus dikerjakan oleh pegawai;
Hanya memberi sedikit kesempatan untuk bersantai;
peraturan harus diumumkan sekedar untuk
memperlihatkan kekuasaan; karyawan dibuat sibuk agar
tidak menimbulkan kesulitan.
Kelemahan dari pendekatan tradisional antara lain :
Orang mau bekerja karena rasa takut; tidak akan
menimbulkan kreativitas orang akan bekerja sekedar
mengimbangi imbalan yang ia terima; bahkan karyawan
akan membentuk kelompok dalam rangka menghimpun
kekuatan untuk melawan majikan.
Maka, cara ini hanya cocok digunakan apabila : (a)
Dalam perusahaan belum terbentuk Serikat Pekerja atau
Serikat Buruh; (b) Karyawan sangat membutuhkan
pekerjaan; dan (c) Belum ada kesempatan mencari
pekerjaan lain atau Kondisi umum memang sulit untuk
mencari pekerjaan; dan (d) Selama karyawan diawasi
dengan ketat, kalau tidak masalahnya lain.

86
2) Teknik Hubungan Manusia
Pendekatan memotivasi karyawan dengan teknik
hubungan manusid dilakukan dengan cara memenuhi
kebutuhannya, memperlakukan karyawan dengan adil dan
layak, diberi kesempatan memecahkan masalah, atau
berusaha menciptakan lingkungan kerja yang
menyenangkan.
Namun dalam hal ini harus dibedakan antara sistem
kebapak-an dengan sistem manajemen iklim baik. Dalam
sistem kebapak-an, pemimpin merupakan Bapak yang
baik bagi karyawan, kalau mereka bekerja dengan baik
seorang bapak akan berterimakasih. Dalam sistem
manajemen iklim baik, kondisi kerja yang baik akan
membuat karyawan senang dan meningkatkan motivasi
kerja secara sukarela.
3) Tawar Menawar Implisit
Dalam pendekatan ini, manajer mendorong karyawan
untuk bekerja dengan kompensasi yang layak, diterapkan
dengan cara:
 Karyawan akan berkembang sepanjang pemimpin
bertindak konsekuen.
 Pimpinan dapat menegakkan disiplin karyawan
 Pemimpin memberi tugas kepada karyawan untuk
bekerja
 Pemimpin memberi kelonggaran untuk libur kerja
 Karyawan boleh meninggalkan pekerjaan sebelum
waktunya.
4) Teknik Persaingan
Karyawan yang berprestasi dipromosikan atau dinaikan
gajinya. Kelemahannya, tidak semua orang memiliki
ambisi untuk bersaing. Dengan menggunakan teknik ini
pemimpin tidak perlu mendorong karyawan untuk bekerja
87
baik, karena masing-masing akan termotivasi untuk
mengejar bonus yang tersedia.
Teknik ini memiliki kelemahan, antara lain persaingan
yang berlaku dapat merusak dan membahayakan
perusahaan; bagi perusahaan besar akan sulit menentukan
siapa yang paling berprestasi; dan usaha-usaha untuk
mendorong persaingan kadang-kadang dianggap sebagai
tekanan, dapat menimbulkan frustasi di kalangan
karyawan.
5) Teknik Terinternalisasi (tersalurkan)
Dalam pendekatan ini, karyawan diberi kesempatan untuk
memenuhi kebutuhan melalui pekerjaannya, maka orang
akan senang mengerjakannya dengan baik. Namun
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
 Pimpinan harus menciptakan situasi dan kondisi yang
sesuai agar karyawan mampu bekerja dengan baik.
 Tidak memerlukan motivasi ekonomi, melainkan
memerlukan ego seseorang yang lebih menonjol.
 Karyawan dianggap memiliki kemampuan kreatif
yang belum dimanfaatkan, oleh karena itu harus
diberi penyaluran.
 Dengan bekerja lebih giat dapat memberikan
kepuasan kerja kepada karyawan yang bersangkutan.

6) Teknik Pengharapan
Disebut teori pengharapan karena karyawan diberi
harapan bahwa apabila usahanya berhasil akan
meningkatkan prestasi, dan prestasi dapat memenuhi
kepuasan dan kebutuhan karyawan bersangkutan baik
secara fisik maupun sosial termasuk kepusan financial.
Dalam prakteknya, kendala yang sering dijumpai
dalam menerapkan teknik-teknik motivasi antara lain sebagai
berikut:
88
 Sukar untuk menentukan alat motivasi yang tepat untuk
dipakai, karena setiap orang memiliki karakter yang
berbeda.
 Kemampuan perusahaan terbatas dalam memberikan
kompensasi yang memadai untuk semua karyawan.
 Sangat sulit untuk mengetahui tingkat kebutuhan setiap
karyawan
 Terdapat kelemahan di pihak pimpinan dalam
mengantisipasi perkembangan kebutuhan seorang
karyawan.
Namun demikian, memberikan motivasi merupakan
bagian dari pekerjaan seorang pemimpin, maka bagaimana
pun keadaannya harus tetap diupayakan. Paling tidak mau
menghargai setiap jerih payah karyawan yang telah
memberikan jasanya kepada perusahaan.

b. Isu Khusus dalam Memotivasi


Di dunia kerja, berbagai kelompok memberikan
tantangan-tantangan yang khas dalam memberikan motivasi.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sulit
untuk mengetahui dan memahami karakter setiap karyawan,
maka sulit juga menentukan cara yang tepat untuk
memotivasinya. Berikut dikemukakan beberapa isu penting
yang sering terjadi di dunia kerja, berkenaan dengan
motivasi.

1) Memotivasi Para Profesional


Kesan yang dapat ditangkap dari para profesional ini
kontras dengan generasi sebelumnya (karyawan biasa). Pada
umumnya para profesional ini banyak menikmati kepuasan
intrinsik dari pekerjaan mereka. Mereka cenderung digaji
dengan baik, memiliki posisi yang baik, harapan masa depan
yang baik pula. Secara khusus, para profesional memiliki
karaketristik sebagai berikut:
89
 Memiliki komitment jangka panjang yang kuat
 Lebih menguasai perkembangan di bidangnya
 Memiliki keinginan untuk memutakhirkan
pengetahuannya
 Menghargai dukungan dan menyukai tantangan
 Memprioritaskan untuk mendapatkan peluang
Maka, implikasi bagi manajer dalam memotivasi para
profesional adalah sebagai berikut:
 Beri pekerjaan yang menantang secara otonom
 Beri imbalan dengan kesempatan mengikuti diklat,
seminar, menghadiri konprensi, dsb.
Tujuannya agar mereka tetap menguasai perkembangan
bidang mereka. Di samping itu, kemukakan kepada mereka
pertanyaan-pertanyaan dan tindakan lain lain yang
menunjukkan bahwa kita secara tulus tertarik dengan apa
yang mereka kerjakan.

2) Memotivasi Pekerja Sementara


Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa salah
satu akibat dari perubahan yang terjadi di sebuah organisasi
adalah penambahan karyawan atau penambahan karyawan
tidak tetap.
Dalam situasi tertentu, sebuah perusahaan akan
melakukan perampingan dengan cara mengurangi karyawan
tetap. Dengan banyaknya karyawan tetap yang tersingkir,
semakin banyak lowongan untuk diisi oleh pekerja paruh
waktu, pegawai kontrak, dan ragam pekerja yang bersifat
sementara.
Permasalahan yang dihadapi para pekerja sementara
adalah tidak memiliki jaminan keamanan atau stabilitas kerja.
Di samping itu, pegawai sementara tidak diidentikkan dengan
perusahaan seperti karyawan tetap lainnya, bahkan mereka
90
tidak diminta untuk memperlihatkan komitmennya terhadap
perusahaan. Pada umumnya mereka tidak diberi atau hanya
sedikit menerima perawatan kesehatan, pensiun, atau
tunjangan serupa. Bagi sebagian kecil dari kelompok
karyawan sementara, misalnya mahasiswa, ibu-ibu, kaum
lansia yang memerlukan kebebasan persoalan tersebut tidak
menjadi persoalan. Tetapi bagi karyawan yang benar-benar
memerlukan stabilitas sebagai pegawai hal tersebut sangat
mengganggu.
Implikasinya, para manajer harus memikirkan cara
yang paling tepat dalam memotivasi pekerja sementara.
Bagaimana pun mereka adalah bagian dari perusahaan,
mereka telah memberikan kontribusi sesuai dengan posisi dan
kemampuannya. Cara yang dapat dilakukan oleh para
manager antara lain:
 Beri kesempatan untuk menjadi karyawan tetap
 Jangan diberi tugas bersama-sama dengan karyawan
tetap.
 Beri kesempatan untuk mengikuti latihan kerja.
 Berikan upah berdasarkan keterampilan
4) Memotivasi Tenaga Kerja yang Beragam
Pada umumnya alat motivasi yang paling efektif adalah
uang, karena pada hakekatnya semua pekerja mengharapkan
imbalan yang memadai berupa uang. Tetapi dalam kenyataan,
tidak semua orang termotivasi dengan uang, dan tidak semua
orang menginginkan pekerjaan yang menantang.
Pegawai yang berbeda latar belakang, memiliki harapan
yang berbeda. Kebutuhan kaum wanita, pria yang masih
bujangan, imigran, penyandang cacat fisik, kaum lanjut usia
dan kelompok-kelompok lain yang berbeda kebutuhannya
tidak sama. Di Amerika Serikat, pria kulit putih dan pria kulit
hitam juga memiliki kebutuhan yang berbeda. Demikian juga
halnya pegawai dari kalangan mahasiswa, mereka sangat
91
menghargai jadwal kerja yang fleksibel, sementara seorang
ayah mungkin memilih bekerja di malam hari. Keadaan
demikian menggambarkan pekerja yang beragam. Bagi
seorang manajer, mungkin akan bingung, bagaimana
memotivasi mereka? Cara apa yang dapat digunakan?
Mungkinkah diberi motivasi dengan cara yang sama?
Berdasarkan uraian di atas, implikasi bagi para manajer
adalah sebagai berikut:
 Manajer harus memahami keanegaragaman
 Manajer harus bertindak luwes (fleksibel)
 Dalam merancang jadwal, rencana dan fisik kerja
disesuaikan dengan keragaman pegawai.
 Kebijakan cuti dirancang secara fleksibel.

5) Memotivasi Pekerja Jasa Berketerampilan Rendah


Permasalahan motivasi yang paling menantang di dunia
kerja adalah memotivasi pegawai di bidang jasa yang
berpenghasilan rendah. Bagi para profesional telah tersedia
jalur-jalur yang sesuai dengan bidang keahlian masing-
masing, demikian juga peluang yang mungkin dicapai,
sehingga memotivasinya relatif mudah. Tetapi bagi pekerja
upah rendah karena keterbatasan kemampuan agak sulit
memilih teknik motivasi yang tepat bagi mereka. Salah satu
penyebabnya adalah keterbatasan yang dimiliki, sehingga
peluang untuk meningkatkan penghasilan pun terbatas.
Mereka yang tergolong pekerja dengan upah rendah
adalah pegawai yang menempati posisi-posisi statis, misalnya
pramusaji restoran, pelayan toko, kuli pikul dan sejenisnya.
Masalah pokok di bidang ini adalah seringnya keluar masuk
pegawai dan sulitnya mengembangkan sistem rekrutmen
karena pekerjaannya sendiri sulit untuk dikembangkan.
Implikasinya, para manajer manajer harus memberikan
motivasi dengan cara yang luwes, antara lain sebagai berikut:

92
 Pegawai diberikan pekerjaan yang luwes
 Dalam mengisi lowongan pekerjaan, pilih remaja atau
pensiunan yang kebutuhannya tidak terlalu besar.
 Waspadai dan sadari tingginya angka keluar masuk
pegawai, karena memang merupakan resiko yang harus
dihadapi.

6) Memotivasi Karyawan Melakukan Tugas-tugas yang


Berulang
Isu lainnya tentang pemotivasian adalah menghadapi
karyawan yang bekerja dalam tugas-tugas yang terus
berulang. Masalah utama yang dihadapi adalah besarnya
kemungkinan para pegawai merasa jenuh atau bosan.
Karakteristik tugas pekerjaan yang terus-menerus berulang
adalah pekerjaan sejenis yang terus-menerus dilakukan oleh
pekerja yang sama, tidak terdapat variasi tugas kerja,
sehingga besar kemungkinan untuk bosan. Misalnya
pekerjaan perakitan kendaraan, perakitan barang-barang
elektronik, mengulang laporan di pengadilan, penjaga pintu
kereta api, dan sebagainya.
Dalam memilih cara yang tepat untuk memotivasi
pegawai seperti itu, para manajer dapat melakukannya
dengan cara-cara sebagai berikut:
 Menyeleksi calon pegawai secara ketat pada saat
rekrutment.
 Memilih orang yang tidak menuntut otonomi
 Menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan bersih
 Memberi kesempatan untuk berinteraksi dengan teman
sejawat pada waktu istirahat
 Memilih supervisor yang memiliki rasa empati.

Berdasarkan isu-isu khusus dalam memotivasi pegawai,


para manajer dapat memilih cara yang lebih tepat sesuai
dengan kondisi masing-masing. Namun demikian, perlu
93
dipahami bahwa mensintesis banyak ide menjadi beberapa
panduan sederhana memiliki resiko tinggi. Tetapi sekedar
untuk mengemukakan essensi dari apa yang telah
dikemukakan di atas tidak terlalu berlebihan, agar dapat
diketahui tentang cara-cara memotivasi pegawai sesuai
dengan karakteristiknya. Maka, implikasi bagi para manajer
penulis kemukakan sebagai berikut:
 Kenali perbedaan-perbedan individual, karena para
karyawan memiliki kebutuhan yang berlainan.
 Gunakan sasaran dan umpan balik. Dalam hal ini,
karyawan perlu mengetahui umpan balik mengenai
seberapa besar perkembangan manfaat bagi mereka
dalam memburu sasaran tersebut.
 Beri kesempatan kepada karyawan untuk berpartisipasi
dalam membuat putusan yang mempengaruhi mereka.
Misalnya dalam menetapkan sasaran kerja, memilih paket
tunjangan bagi mereka sendiri, cara memecahkan masalah
produktivitas, kualitas kerja, dan sebagainya. Apabila
mereka dilibatkan, akan meningkatkan komitment mereka
terhadap pekerjaan tersebut.
 Kaitkan imbalan dengan kinerja, dan periksa sistem demi
kesetaraan. Dalam hal ini, pegawai harus memahami
betul bahwa imbalan yang mereka terima berkaitan
dengan kinerja. Apabila individu mengetahui bahwa
korelasi antara imbalan dengan kinerja rendah, kinerja
pun akan semakin menurun, bahkan angka keluar masuk
pegawai akan semakin tinggi.
 Periksa sistem pengupahan demi kesetaraan. Dalam hal
ini, karyawan harus memiliki persepsi bahwa imbalan
sebanding dengan input yang mereka bawa ke dalam
pekerjaan. Misalnya pengalaman, keterampilan, dan
upaya lain dalam melaksanakan tugas. Pada prakteknya,
94
perbedaan input tersebut akan membedakan secara jelas
terhadap tugas pekerjaan, upah, dan imbalan lainnya.

3.3 Proses Belajar Individu


Dalam memahami prilaku individu sebagai dasar
memahami perilaku organisasi banyak hal yang harus
dipelajari, salah satunya adalah bagaimana cara seseorang
belajar. Maka untuk memahami hal tersebut sedikitnya harus
mengetahui definisi dan teori pembelajaran.

1. Definisi Belajar
Menurut Robbins (2007:56), ”Pembelajaran adalah apa
yang kita lakukan ketika bersekolah”. Tetapi secara umum
orang sepakat bahwa pembelajaran tidak hanya berlaku di
sekolah, bisa saja di tempat lain seperti di tempat ibadah, di
lapang sepak bola atau di pasar. Maka muncul lagi definisi
lainnya. Pembelajaran adalah ”setiap perubahan perilaku
yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari
pengalaman”. Ironisnya, perubahan prilaku menunjukkan
bahwa pembelajaran telah terjadi, sedangkan pembelajaran
sendiri merupakan perubahan perilaku. Artinya, tidak pernah
ada seorang pun yang mengetahui kapan sebenarnya belajar
itu berlangsung? Yang ada adalah melihat adanya perubahan
perilaku, dan pembelajaran itu sendiri tidak tampak.
Untuk melengkapi pemahaman tentang definisi belajar
atau pembelajaran, berikut dikemukakan pendapat para ahli
sebagai bahan perbandingan. Pendapat tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Menurut Muhamad Ali (1987:14) “Belajar dapat diartikan
sebagai proses perubahan prilaku, akibat interaksi
individu dengan lingkungan”.

95
b. Menurut Oemar Hamalik (2002:45)”Belajar mengandung
pengertian perubahan persepsi dan prilaku, termasuk juga
perbaikan prilaku, misalnya pemuasan kebutuhan
masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap”.
c. Menurut Thorndike (1992:29) “Belajar sebagai suatu
usaha memecahkan problem”.
d. Menurut Tafsir (1992:30) “Belajar adalah suatu
mekanisme stimulus-respons”.
e. Menurut Usman Efendi (1984:101) belajar adalah “suatu
proses perubahan keseluruhan perubahan tingkah laku
cognitif, conatif, afektif, dan motoris secara integrated”

2. Berbagai Teori Belajar


Secara umum, teori belajar banyak dikenal di kalangan
para ahli ilmu jiwa dan ilmu mendidik. Namun demikian,
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, teori tersebut berkembang juga di bidang-bidang
lain, termasuk dalam teori perilaku organisasi. Teori-teori
tersebut antara lain teori gestalt learning, double loop
learning, hierarchical task structure, social learning,
experimential learning, andragogy, dan stimulus-response-
reinforcement. Berikut dikemukakan penjelasan singkat
tentang teori-teori tersebut.
a. Gestalt Learning (Teori Kofka dan Kohler)
Dasar dari teori ini adalah potensi dan kemampuan
berpikir untuk memperoleh pengertian dan penguasaan
materi secara total dan komprehensif. Sasaran utamanya
adalah mempelajari dan mengungkapkan pola atau model
yang representatif dari bagian-bagian dan lingkungannya
yang menyeluruh. Materi yang dipelajari adalah unsur-
unsur internal dan eksternal yang relevan, sedangkan

96
salah satu metodenya adalah concept mapping dan
functional networking.

b. Double Loop Learning (teori Argyris)


Dasar dari teori ini adalah belajar itu suatu proses.
Diawali dengan adanya input, kemudian diproses, dan
akhirnya menghasilkan output. Selanjutnya output
dijadikan feedback dan berfungsi sebagai input baru.
Dalam belajar ditemukan informasi tentang fakta-fakta
atau konsep. Informasi itu akan dikonstruksi,
diinterpretasikan, ditransformasikan, dan selanjutnya
dire-interpretasi. Sepanjang proses itu berlangsung akan
selalu terdapat pembentukan nilai tambah atau nilai baru
(added value).

c. Hierarchical Task Structure (teori Gagne)


Dasar dari teori ini bahwa belajar itu menjalankan tugas-
tugas tertentu, dari sesuatu yang sederhana hingga yang
rumit. Sepanjang prosesnya, belajar itu menjalankan
tugas mengingat dan mendeskripsikan informasi,
memahami, dan mengaplikasikan informasi itu pada
kasus lain yang serupa. Ada tugas-tugas berikutnya yang
sejalan dengan uraian tentang tujuan pendidikan pada
cognitive-, afektive, and psychomotor domains dari
Benyamin Bloom. Beberapa ahli lainnya menyebutnya
dengan istilah lower order learning styles sampai dengan
higher order learning style.
d. Social Learning (teori Bandura)
Dasar dari teori ini bahwa belajar harus sejalan dengan
lingkungan sosial, karena harus menghasilkan output
yang relevan dengan kebutuhan pelajar dan masyarakat,
dan hubungannya dengan pihak yang belajar. Output
belajar akan ditawarkan kepada masyarakat, dan

97
masyarakatlah yang akan menilai apakah diterima atau
ditolak. Penilaian tersebut berdasarkan kebutuhannya.
Tujuan dan metode belajar tidak terlepas dari kebutuhan
dan tuntutan masyarakat.
e. Experimential Learning (teori Rogers)
Dasar dari teori ini adalah bahwa belajar akan lebih
efektif apabila sambil bekerja, bersamaan dengan
pekerjaannya, atau disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan
pekerjaan yang bakal dialaminya. Model belajar yang
cocok adalah simulasi, permainan, atau belajar dalam
bentuk magang. Di Indonesia pernah disodorkan kepada
publik tentang pendidikan link and match, yang
diimplementasikan dalam pendidikan sistem ganda.
Terdapat lingkungan dan suasana konkret yang
menyerupai lapangan dan lingkup pekerjaan sebenarnya,
yang dapat menimbulkan tantangan dan tidak terlalu
abstrak serta bersifat spekulatif bagi peserta didik. Belajar
dengan model ini, mendekatkan belajar dan suasana ke
suasana pekerjaan yang sesungguhnya, sehingga tidak
dirasakan adanya kesenjangan yang terlalu besar atara
learning and doing/working. Dalam prakteknya, lembaga
pendidikan harus memiliki hubungan yang erat dan nyata
dengan dunia kerja, misalnya kerja sama kemitraan
dengan industri.

f. Adult Learning (teori Cros)


Dasar dari teori ini bahwa orang dewasa belajar
berdasarkan kebutuhannya. Mereka tidak mudah untuk
menerima materi yang diformat di luar kebiasaan dan
kesenangannya. Orang dewasa merasa sudah kaya akan
pengalaman, dan ia hanya membutuhkan penghargaan
terhadap pengalamannya itu. Bagi mereka, yang
dipelajari mesti sesuatu yang bersifat praktis, disajikan

98
dan diujikan secara konkret, yang cocok dan terjangkau
oleh pengalamannya. Hasil belajarnya pun harus
mengandung nilai terapan yang segera,.teruji, dan nyata.
g. Andragogy (teori Knowles)
Sebenarnya istilah Andragogy termasuk kajian ilmu
mendidik bagi orang dewasa. Dalam prakteknya lebih
banyak kegiatan belajar daripada diajari. Orang dewasa
banyak memiliki entry behavior. Maka, lebih suka
mempelajari masalah yang menarik dan bermanfaat dan
keuntungan baginya, durasi belajar dalam waktu singkat,
dan menyukai yang bersifat informal. Tempo waktu yang
digunakan untuk belajar harus sesuai dengan
kesanggupan, kemampuan, dan minatnya. Di samping itu
harus ada peluang di mana ia dapat memanfaatkan hasil
belajarnya dalam kehidupan nyata, dan akan lebih
menarik bagi mereka apabila dapat mengembangkan
usahanya.

h. Stimulus-Response-Reinforcement (teori Skinner)


Dasar dari teori ini bahwa belajar harus diawali dengan
informasi baru bagi pelajar untuk membangkitkan
stimulus. Yang dimaksud stimulus adalah keinginan siswa
untuk tahu, bisa, mengerti, dan berbuat. Selanjutnya
stimulus itu akan direspons oleh siswa, semakin besar
respons yang timbul, belajar siswa akan semakin intensif
dan efektif.
Stimulus-stimulus harus diciptakan, karena tidak semua
stimulus secara otomatis hadir dalam kegiatan belajar.
Apabila stimulus telah membangkitkan respons, tugas
selanjutnya adalah memberi penguatan (re-inforcement)

Berkenaan dengan teori perilaku organisasi, masih


terdapat teori belajar yang lebih relevan untuk dikemukakan ,
99
seperti yang dikemukakan oleh Robbins. Teori tersebut
adalah pengkondisian klasik, pengkondisian operant, dan
pembelajaran sosial.
Pengkondisian klasik, adalah tipe pengkondisian yang
di dalamnya individu menanggapi sejumlah perangsang yang
tidak biasa menghasilkan tanggapan semacam itu. Pada
hakekatnya, pengkondisian klasik adalah mempelajari respon
terkondisi melibatkan pembinaan ikatan antara rangsangan
yang berpasangan, satu memaksa dan yang lain netral.
Rangsangan yang netral menjadi rangsangan terkondisi dan
kemudian meneruskan sifat-sifat rangsangan yang terkondisi.
Contoh hasil pengkondisian klasik adalah lagu Indonesia
Raya mengingatkan bangsa Indonesia akan makna
kemerdekaan, atau lagu Selamat Hari Lebaran mengingatkan
kaum muslimin akan suasana Hari Raya. Di dunia kerja,
khususnya di lingkungan organisasi perusahaan besar, apabila
manajemen puncak berkenan meninjau ke pabrik, maka
manajemen pabrik akan mempersiapkan segala sesuatunya
agar tampak menarik dan mengesankan. Misalnya merapikan
kantor, membereskan administrasi, bahkan ruangan pun
ditata sedemikian rupa. Hal tersebut termasuk pengkondisian
klasik.
Pengkondisian operant, adalah tipe pengkondisian
yang di dalamnya terdapat prilaku sukarela yang diharapkan
membuahkan hadiah atau mencegah hukuman. Pada
umumnya, orang berperilaku untuk mendapatkan sesuatu
yang mereka inginkan atau mengghindari sesuatu yang tidak
diinginkan. Dengan demikian, perilaku operant berarti
perilaku sukarela. Dalam organisasi, prilaku demikian harus
dikondisikan agar terus berulang, caranya adalah diberi
penguatan karena penguatan akan mengkukuhkan prilaku
tertentu dan meningkatkan kemungkinan perilaku itu akan
diulang. Menurut hasil penelitian Skinner, orang paling suka

100
terlibat dalam perilaku yang diinginkan apabila mereka
dikuatkan secara positif untuk melakukan hal itu. Salah satu
penguatan yang dapat dilakukan adalah pemberian hadiah
sesuai dengan perilaku yang diinginkan. Apabila tidak
dihargai, misalnya diberi hadiah, perilaku sukarela lama
kelamaan akan turun dan hilang. Misalnya, seorang karyawan
secara sukarela bekerja lembur, tetapi oleh atasannya tidak
diperhatikan imbalannya. Maka, suatu saat apabila ia
diperintahkan untuk kerja lembur lagi, besar kemungkinan
akan menolak, karena ia tahu tidak akan mendapatkan apa-
apa.
Dalam Pembelajaran Sosial individu dapat belajar
mengamati apa yang terjadi pada orang lain dengan sekedar
diberitahu mengenai sesuatu atau mengalami langsung.
Secara sederhana dapat kita ambil contoh, ketika seorang
anak memperhatikan gerak-gerik ayahnya dalam melakukan
pekerjaan tertentu, saat itu telah terjadi proses pembelajaran
sosial. Demikian juga halnya seorang bawahan melihat dan
memperhatikan atasannya bekerja, apalagi dengan diberitahu
sekedarnya, proses pembelajaran sosial sudah terjadi. Tetapi,
pembelajaran sosial yang secara sengaja diciptakan di
lingkungan organisasi untuk membentuk perilaku individu
tertentu diperlukan model yang terarah, karena perilaku yang
diinginkan perlu dibentuk melalui proses yang relevan.
Proses tersebut adalah :
a. Proses perhatian, perlu difasilitasi dengan model yang
menarik dan muncul berulang-ulang. Orang akan belajar
dari model tertentu hanya pada saat memperhatikan
sesuatu yang menarik baginya.
b. Proses retensi, pengaruh dari model tertentu akan
bergantung kepada tingkat daya ingat individu dalam
mengingat tindakan dari model tersebut setelah berlalu.

101
c. Proses reproduksi motor, setelah individu melihat
perilaku baru dengan mengamati model itu, pengamatan
itu akan berubah menjadi perbuatan. Maka proses ini
memperlihatkan bahwa individu dapat melakukan
kegiatan dari model yang ia lihat.
d. Proses penguatan, individu-individu akan termotivasi
untuk memperlihatkan perilaku bermodel tertentu, apabila
disediakan rangsangan positif atau hadiah. Perilaku-
perilaku yang dikuatkan melalui mekanisme positif akan
lebih banyak mendapat perhatian, dipelajari secara lebih
baik dan lebih sering dilakukan.

3. Tipe-tipe Belajar
Dalam pendidikan, terutama pada jalur pendidikan
formal, proses belajar hanya akan terjadi secara efektif
apabila dirancang sedemikian rupa oleh guru sebagai manajer
kelas. Oleh karena itu, agar belajar siswa dapat berlangsung
sewajarnya secara efektif, diperlukan guru yang mampu
menciptakan suasana yang memungkinkan siswa dapat
belajar dengan baik. Dengan demikian, belajar erat kaitannya
dengan kegiatan mengajar.
Oemar Hamalik (2002:58), mengemukakan bahwa
“Mengajar ialah membimbing kegiatan belajar anak”.
Membimbing di sini tentu berdasarkan pola yang baku, pola
yang telah dikuasai atau dikenal oleh guru yang
bersangkutan. Dalam prakteknya, pola dasar mengajar guru
ialah langkah-langkah pokok yang harus ditempuh oleh guru
dalam proses belajar mengajar.
Kemudian, dalam proses belajar mengajar akan terjadi
interaksi yang melibatkan berbagai aspek dalam belajar
mengajar untuk mencapai tujuan. Tanpa adanya aspek-aspek
tersebut, proses belajar mengajar tidak mungkin dapat
102
berjalan dengan baik. Paling tidak, terdapat tujuh aspek
utama yang memiliki fungsi masing-masing, yaitu (a) Tujuan
Instruksional; (b) Materi Pelajaran ;(c) Metode atau Strategi
Belajar Mengajar; (d) Media Instruksional; (e) Penilaian; (f)
Penunjang, fasilitas, waktu, tempat, perlengkapan; dan (g)
ketenagaan.
Ketujuh aspek belajar mengajar tersebut merupakan
satu kesatuan yang terorganisasi dan saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan-tujuan instruksional. Dalam pola sistemik,
ketujuh aspek tersebut biasanya disebut komponen-
komponen sistem, karena memang proses belajar mengajar
merupakan suatu sistem.
Menurut Hamalik (2002:46), hal penting dalam proses
belajar mengajar pada diri siswa adalah adanya “respon atau
tanggapan siswa”. Sedangkan di pihak guru, terdapat
beberapa pilar penting bagi terciptanya proses belajar
mengajar yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh
Sudarwan Danim (2005:6), bahwa “Lima pilar utama yang
mutlak ada untuk menjadi manusia pembelajar, antara lain :
rasa ingin tahu, optimisme, keikhlasan, konsistensi, dan
pandangan visioner”. Yang dimaksud dengan manusia
pembelajar oleh Danim adalah “Orang-orang yang
menjadikan kegiatan belajar (proses mengubah tingkah laku
menuju kondisi yang lebih baik) sebagai bagian dari
kehidupan dan kebutuhan hidupnya”.
Menurut Muhammad Ali (1987:2), “Dalam praktek,
pengajaran merupakan suatu proses yang sangat kompleks.
Agar pengajaran dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan
yang direncanakan guru perlu mempertimbangkan strategi
belajar mengajar yang efektif”. Fokus pembahasan tentang
strategi belajar mengajar terdapat dua macam pendekatan
yang dapat dipilih, yakni strategi mengajar dengan
pendekatan kelompok dan strategi mengajar dengan
103
pendekatan individual. Dengan kedua pendekatan tersebut
akan terjadi interaksi melalui proses belajar mengajar
Dalam proses mengajar, guru harus memahami betul
tentang karakteristik individu setiap peserta didik yang
menjadi tanggungjawabnya. Menurut Gagne, di samping
terdapat perbedaan secara individual, juga terdapat
bermacam-macam tipe belajar, yaitu:
a. Belajar Isyarat
Tipe ini mirip dengan conditioned respons (respon
berisyarat). Misalnya, menutup mulut dengan telunjuk
adalah isyarat untuk tidak berbicara. Menutup mulut
disebut isyarat, diam adalah respons. Tipe ini bersifat
tidak disengaja, respons pun diberikan secara tidak sadar.
b. Belajar Stimulus-Respons
Berbeda dengan belajar isyarat yang bersifat umum dan
emosional. Tipe belajar S-R ini lebih spesifik, misalnya :
= Mencium bau masakan yang sedap, keluar air liur.
= Mendengar suara keras, terkejut.
= Kalimat matematis : 3 x 3 adalah 9.
Ketiga contoh di atas adalah bentuk hubungan S-R. Setiap
respons memerlukan penguatan (re-inforcement).
c. Belajar Rangkaian
Belajar rangkaian adalah rangkaian antara berbagai
Stimulus-Respons yang bersifat segera, terjadi pada
rangkaian motorik seperti dalam gerakan mengikat
sepatu. Stimulus pertama akan direspons, respons
pertama menjadi stimulus kedua, dan begitu seterusnya.
d. Asosiasi Verbal
Belajar asosiasi verbal akan terbentuk apabila terdapat
unsur-unsur suatu pengetahuan dalam urutan tertentu,
yang satu mengikuti yang lain.

104
Contoh, seseorang menyebut bahwa pyramide itu
berbentuk limas. Dia mengatakan demikian karena
sebelumnya telah mengetahui bentuk bulat, segi empat,
balok, dan kerucut.
e. Belajar Diskriminasi
Belajar dengan membedakan terhadap berbagai
rangkaian. Misalnya membedakan berbagai bentuk wajah,
binatang, atau tumbuh-tumbahan.
f. Belajar Konsep
Konsep adalah simbol berpikir, diperoleh melalui hasil
penafsiran terhadap realita dan hubungan antar berbagai
fakta. Kemampuan membentuk konsep akan terjadi
apabila seseorang dapat melakukan diskriminasi.
g. Belajar Aturan
Hukum, dalil, atau rumus adalah aturan. Tipe belajar
seperti ini banyak terdapat pada setiap pelajaran di
sekolah. Misalnya, benda memuai apabila dipanaskan.
g. Belajar Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah memerlukan pemikiran, dilakukan
dengan cara menghubungkan berbagai aturan yang
relevan dengan masalah itu. Memecahkan masalah
memerlukan waktu, bisa lama bisa juga sebentar.
Biasanya memerlukan langkah, dan setiap langkah
memerlukan pemikiran. Kemampuan seseorang dalam
memecahkan masalah, akan memperbesar kemampuan
dalam memecahkan masalah lain yang lebih rumit.

105
BAB IV
PERILAKU KELOMPOK DALAM ORGANISASI

4.1 Dasar-dasar Prilaku Kelompok


Prilaku seseorang dalam kelompok dipengaruhi oleh
beberapa faktor, di antaranya adalah peran, norma, dan
pemahaman tentang status. Untuk memahami cara kerja
kelompok dan menciptakan kerja tim yang efektif diperlukan
pemahaman tentang alasan mengapa seseorang bergabung
dalam kelompok. Namun sebelumnya, perlu juga diketahui
tentang definisi kelompok.
1. Definisi Kelompok
Menurut Robbins (2007:303), ”Kelompok adalah dua
individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung,
yang bergabung untuk mencapai tujuan tertentu”. Dilihat
dari sifatnya, kelompok dapat bersifat formal atau informal.
a. Kelompok formal.
Kelompok formal adalah kelompok yang ditetapkan
berdasarkan struktur organisasi dengan penugasan kerja
yang sudah ditentukan. Perilaku-perilaku diarahkan
sesuai dengan sasaran organisasi.
b. Kelompok informal
adalah persekutuan yang tidak terstruktur secara formal
dan tidak ditetapkan secara organisasi. Terbentuk dalam
suasana kerja karena kebutuhan kontak sosial. Dari
kelompok ini dapat terbentuk sub klasifikasi, yaitu
kelompok komando dan kelompok tugas.
1) Kelompok komandoditentukan oleh bagan organisasi,
terdiri atas individu-individu yang melapor langsung
ke manajer tertentu. Misalnya, seorang Kepala

106
Sekolah Dasar dan 14 orang guru membentuk
kelompok komando. Contoh lainnya, seorang direktur
audit dengan lima orang inspekturnya.
2) Kelompok tugas ditetapkan juga oleh organisasi, yang
ditunjukkan dengan adanya kerjasama untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu, namun tidak
terbatas kepada atasan hirarkis langsung, dapat juga
berdasarkan hubungan lintas komando. Misalnya,
terdapat seorang mahasiswa yang terlibat suatu
masalah penyelesaiannya memerlukan komunikasi
dan koordinasi antara Pembantu Dekan bidang
akademis, bidang kemahasiswaan, bidang
administrasi, bidang keamanan, dan sebagainya.
Orang-orang yang mungkin dan tidak mungkin
bersekutu ke dalam kelompok komando atau kelompok tugas
yang biasa, dapat berafiliasi untuk mencapai tujuan khusus
(spesifik) yang menjadi perhatian mereka. Apabila mereka
berafiliasi berdasarkan kepentingan mereka sendiri, disebut
kelompok kepentingan. Jadi, kelompok kepentingan adalah
kumpulan orang-orang yang bekerja bersama untuk mencapai
tujuan khusus dan menjadi perhatian masing-masing orang.
Di samping itu, suatu kelompok sering terbentuk karena
masing-masing anggota memiliki satu atau lebih karakteristik
yang sama. Kelompok demikian dinamakan kelompok
persahabatan. Jadi, kelompok persahabatan, adalah
kumpulan orang-orang yang ditetapkan secara bersama-sama
karena memiliki satu atau lebih karakteristik yang sama.
Dapat juga dikatakan sebagai persekutuan sosial, yang sering
dikembangkan dari situasi kerja atau interaksi tugas yang
sama. Misalnya karena memiliki pandangan politik yang
sama, atau hoby yang sama, atau mungkin juga karena sama-
sama menjadi reporter sepak bola.

107
Kelompok informal memberikan jasa yang besar dalam
pergaulan karena dapat memenuhi kebutuhan sosial bagi
para anggota. Akibat dari interaksi yang dihasilkan dari
berdekatannya tempat kerja atau interaksi tugas, beberapa
karyawan sering makan siang bersama, pulang kerja bersama,
atau saling mengundang ke rumah kediamannya. Para ahli
sepakat bahwa hubungan kelompok seperti ini, walaupun
tercipta secara informal tetapi besar sekali pengaruhnya
terhadap perilaku dan kinerja mereka dalam organisasi.
Untuk mengetahui mengapa individu suka bergabung
ke dalam suatu kelompok, tidak dapat dijelaskan hanya
dengan satu alasan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor
yang melatarbelakanginya. Dari beberapa alasan, para ahli
mengemukakan yang paling mungkin, yakni karena:
 Keamanan, dengan bergabung ke dalam kelompok,
individu bisa mengurangi rasa tidak aman. Orang merasa
lebih kuat, keraguan makin berkurang, dan merasa lebih
tahan terhadap ancaman ketika mereka menjadi bagian
dari kelompok.
 Status, bergabung ke dalam kelompok yang dipandang
penting oleh orang lain memberikan pengakuan dan status
bagi para anggotanya.
 Harga Diri, kelompok bisa memberikan perasaan harga
diri yang lebih baik kepada anggotanya. Hal ini berarti
bahwa selain memberitahu status kepada mereka di luar
kelompok, keanggotaan juga memberikan perasaan
semakin berharga ke dalam anggota itu sendiri.
 Afiliasi, kelompok bisa memenuhi kebutuhan sosial.
Orang akan menikmati interaksi reguler yang dihasilkan
dengan menjadi anggota kelompok. Bagi banyak orang,
interaksi seperti ini merupakan sumber utama mereka
untuk memenuhi kebutuhan akan afiliasi.

108
 Kekuasaan , apa yang tidak dapat dicapai secara individu
seringkali menjadi mungkin jika diraih melalui tindakan
kelompok. Munculnya suatu kekuatan karena jumlah
orangnya banyak.
 Pencapaian Sasaran, ada saatnya butuh lebih dari satu
orang untuk menyelesaikan tugas tertentu. Ada kebutuhan
untuk mengumpulkan bakat, pengetahuan, atau kekuasaan
untuk menyelesaikan pekerjaan. Dalam kondisi semacam
ini, manajemen akan bergantung pada penggunaan
kelompok formal.

Dengan demikian, untuk mengetahui alasan mengapa


seseorang masuk ke dalam suatu kelompok tidak hanya
karena alasan tunggal. Sehingga perilaku individu dalam
kelompok akan berbeda-beda, bergantung kepada latar
belakang masing-masing. Hal ini penting untuk diketahui
para manajer dalam memahami perilaku dalam organisasi.

2. Tahap Perkembangan Kelompok


Pada umumnya kelompok-kelompok mengikuti urutan
dalam evolusi mereka yang dinamakan model lima tahap.
Namun demikian, menurut studi terbaru tentang tahapan
perkembangan kelompok terdapat juga model yang berbeda,
dalam pembahasan ini dinamakan model alternatif.
a. Model Lima Tahap
Suatu kelompok terbentuk melalui lima tahapan, yaitu
tahap pembentukan (forming), keributan (stroming),
penormaan (norming), pelaksanaan (performing), dan
peristirahatan (adjourning). Penjelasan singkat dari kelima
tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Pembentukan (forming), pada tahapan ini ditandai dengan
banyaknyaketidakpastian mengenai maksud, struktur, dan

109
kepemimpinan kelompok. Para anggota melakukan uji
coba untuk menentukan tipe-tipe perilaku apakah yang
dapat diterima dengan baik. Tahapan ini akan selesai
ketika anggota telah mulai berpikir tentang diri mereka
sendiri sebagai bagian dari kelompok.
2) Keributan (storming), tahapan ini adalah tahap konflik di
dalam kelompok. Para anggota menerima baik eksistensi
kelompok, tetapi melawan batasan-batasan yang
diterapkan oleh kelompok terhadap individualitas.
Selanjutnya akan terjadi konflik mengenai siapa yang
akan mengendalikan kelompok. Apabila tahapan ini telah
terlewati, terdapat hierarki yang jelas tentang
kepemimpinan di dalam kelompok itu.
3) Penormalan (norming), pada tahapan ini berkembang
hubungan yang akrab dan kelompok menunjukkan sifat
kohesif (saling tarik menarik). Saat itu telah ada rasa
memiliki terhadap identitas kelompok dan persahabatan
yang kuat. Pada tahapan penormaan ini akan berakhir
setelah terdapat kesesuaian harapan bersama dalam
organisasi, yang termasuk perilaku yang benar.
4) Pelaksanaan (performing), pada tahapan ini struktur
seluruhnya telah berfungsi dan diterima baik oleh
kelompok. Energi kelompok telah bergeser dari mencoba
mengerti dan memahami satu sama lain menjadi
pelaksanaan tugas yang ada. Bagi kelompok kerja
permanen, perkembangan kelompok berakhir di sini. Bagi
kelompok tugas temporer atau komite tahap ini adalah
peristirahatan.
5) Peristirahatan (adjourning), pada tahapan ini untuk
kelompoktertentu mempersiapkan diri untuk pembubaran.
Performa tugas yang tinggi tidak lagi merupakan prioritas
puncak dari kelompok itu. Sebagai gantinya perhatian

110
diarahkan kepada pengelompokkan aktivitas, dalam hal
ini respon anggota akan berbeda-beda. Ada yang merasa
puas dan senang atas prestasi kelompok yang telah
dicapai, ada juga yang murung karena kehilangan
persahabatan yang telah diperoleh selama berkelompok.
Gambaran model lima tahap pembentukan kelompok
adalah sebagai berikut.

Pra tahap 1


◦ ◦
◦ ◦


◦ ◦
◦ ◦

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5


Pembentukan Keributan Penormaan Pelaksanaan Istirahat

Gambar : 4.1
Model Lima Tahap

Terdapat satu penafsiran dari para ahli bahwa


efektivitas suatu kelompok akan dicapai setelah melewati
empat tahapan pertama. Pada hal-hal tertentu, tingkat konflik
yang tinggi justru akan menghasilkan kinerja yang tinggi,
namun bisa juga terjadi sebaliknya.
Hal lain yang perlu dipahami bahwa model lima tahap
ini sama sekali mengabaikan konteks organisasi. Artinya,
beberapa orang yang terlibat dalam suatu kelompok dapat
langsung bekerja secara efektif tanpa harus melalui tahapan-
tahapan seperti yang diuraikan di atas. Hal ini mungkin

111
terjadi, misalnya terhadap tiga orang awak pesawat terbang
yang sebelumnya sama sekali tidak saling kenal, tetapi begitu
bergabung dalam satu tim untuk menerbangkan pesawat
terbang pertamakalinya, mereka dapat bekerja kompak sesuai
peran dan fungsi masing-masing. Alasannya, walaupun
mereka baru saling kenal, tidak perlu menyusun rencana,
membagi peran, menentukan dan mengalokasikan sumber
daya, memecahkan konflik, dan menentukan norma seperti
yang diprediksi oleh model lima tahap. Ketiga orang tersebut
masing-masing telah memiliki tugas dan tanggungjawab
sesuai dengan posisinya, setelah melakukan komunikasi
seperlunya pekerjaan pun berjalan dengan baik.

b. Model Alternatif
Dalam kehidupan sosial terdapat kelompok-kelompok
temporer yang dibatasi tenggat waktu, dalam pembentukan
kelompok tidak mengikuti model lima tahap. Menurut hasil
penelitian para ahli, kelompok seperti ini memiliki urutan
tindakan/bukan tindakan mereka yang unik sebagai berikut:
1) Penentuan arah kelompok, merupakan kerangka pola
prilaku dan asumsi di mana kelompok akan melakukan
pendekatan terhadap proyeknya muncul dalam pertemuan
pertama. Pola yang bertahan lama dapat muncul pada
detik-detik pertama usia kelompok yang bersangkutan.
2) Lemas tanpa energi (inersia), ini terjadi setelah arah
kelompok terbentuk. Arah kelompok ini seakan ”tertulis
di atas batu”, sehingga kecil kemungkinan untuk dikaji
ulang selama separuh perjalanan usia kelompok itu. Pada
masa inilah terjadinya berdiam diri atau menjadi terkunci
ke dalam arah tindakan yang tetap, disebut lemas tanpa
energi. Bahkan walaupun kelompok memperoleh
wawasan baru yang menantang pola dan asumsi awal,

112
kelompok ini tidak mampu bertindak berdasarkan
wawasan baru tersebut.
3) Transisi/peralihan mengakhiri masa inersia, kelompok
mengalami transisi pada titik waktu tertentu, mengarah
kepada perubahan.
4) Transisi mengawali perubahan besar, ditandai dengan
perubahan yang terkonsentrasi dengan menanggalkan
pola-pola lama dan mengadopsi perspektif baru.
5) Inersia mengikuti masa transisi, merupakan
keseimbangan baru atau kurun waktu inersia baru. Dalam
fase ini kelompok menjalankan rencana yang diciptakan
selama periode transisi.
6) Pertemuan akhir kelompok ditandai dengan adanya
ledakan-ledakan terakhir dari kegiatan untuk
menyelesaikan pekerjaanya.

Model perkembangan kelompok ini menunjukkan


adanya masa-masa inersia yang diselang oleh perubahan-
perubahan revolusioner pendek, terutama dipicu oleh
kesadaran dari para anggotanya. Tetapi perlu diingat bahwa
model ini tidak berlaku bagi semua kelompok. Pada
hakekatnya hanya terbatas pada kelompok tugas temporer
yang bekerja dalam jangka waktu terbatas.
Apabila terdapat pertanyaan, mengapa beberapa upaya
kelompok lebih sukses daripada kelompok yang lain?
Jawabannya memang agak rumit, tetapi dapat dikaitkan
dengan beberapa variabel pengaruh. Variabel yang akan
mempengaruhi suksesnya upaya kelompok antara lain
kemampuan anggota kelompok, ukuran kelompok, tingkat
konflik yang terjadi, dan tekanan internal pada anggota untuk
menyesuaikan diri pada norma kelompok yang berlaku.
Ada hal lain yang perlu diketahui, bahwa suatu
kelompok kerja tidak berada dalam isolasi, melainkan berada

113
dalam suatu sistem yang lebih besar sehingga akan
dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Misalnya, kelompok kerja
di bagian distribusi produksi harus hidup dalam aturan-aturan
dan kebijakan yang dibuat oleh manajer pemasaran. Oleh
karena itu, suatu kelompok kerja dalam organisasi akan
dipengaruhi oleh kondisi eksternal menyangkut strategi
keseluruhan organisasi, termasuk struktur wewenang,
peraturan formal, sumber daya, proses seleksi karyawan,
evaluasi kinerja, sistem imbalan, budaya, dan tataran kerja
fisik.
Model perilaku kelompok berkaitan dengan kondisi
eksternal, diilustrasikan dalam gambar di bawah ini.

Sumber
Anggota Tugas kelompok
Kelompok
Keadaan
luar yang
dipaksakan
ke Kinerja
kelompok Struktur Proses dan
Kelompok Kelompok Kepuasan

Gambar : 4.2
Model Perilaku Kelompok

3. Sumber Daya Anggota Kelompok


Dalam suatu organisasi, sebagian besar potensi kinerja
kelompok bergantung kepada sumber daya yang dimiliki
masing-masing anggota kelompok. Dari sekian banyak
sumber daya, terdapat dua kelompok sumber daya yang
menjadi pusat perhatian, yaitu kemampuan dan karakteristik
kepribadian.

114
a. Kemampuan
Kemampuan ini meliputi pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan individu. Sebagian besar dari kinerja
kelompok diperkirakan dapat dinilai dari ketiga hal
tersebut.
Dalam dunia olah raga mungkin terjadi hal yang berbeda,
misalnya sekelompok tim atletik yang terbentuk dari
anggota biasa, berhasil meraih kejuaraan karena pelatihan
yang intensif, semangat yang membara, dan kerja keras
dari setiap anggota tim. Terdapat pepatah yang
mengatakan bahwa lomba tidak selalu dimenangkan oleh
yang tercepat, atau perang tidak selalu dimenangkan oleh
yang terkuat. Tetapi bagi orang yang bertaruh, pilihan
selalu jatuh kepada yang tercepat atau terkuat. Dalam
kelompok yang dibahas pada buku ini, hal itu tidak
selamanya berlaku. Karena tingkat kinerja kelompok
bukan sekedar penjumlahan dari kemampuan masing-
masing anggota kelompok, melainkan terdapat hal lain
yang lebih penting yaitu keterampilan hubungan
antarpersonal secara konsisten. Mencakup manajemen
konflik dan resolusinya, pemecahan masalah kolaboratif,
dan komunikasi.
b. Karakteristik Kepribadian
Ciri kepribadian individu yang cenderung memiliki
konotasi positif dalam budaya organisasi berhubungan
erat dengan produktivitas, semangat, kohesifitas
(keterikatan) kelompok. Hal ini diperlihatkan oleh
masing-masing individu dalam bentuk kemahiran dalam
bergaul, inisiatif yang tinggi, keterbukaan yang
bertanggungjawab, dan kelenturan.
Ciri-ciri kepribadian yang dipandang negatif antara lain
otoritarianisme, dominasi, dan ketidakkonvensionalan.

115
Ciri-ciri tersebut berdampak kepada kinerja kelompok
yang mempengaruhi cara individu berinteraksi dengan
anggota kelompok lainnya.
Apabila ada pertanyaan tentang ciri kepribadian mana
yang dapat meramalkan kinerja kelompok? Jawabannya
tidak ada satu pun, karena kinerja kelompok akan
bermakna apabila ciri-ciri tersebut digabungkan secara
terintegrasi/terpadu. Dengan kata lain, karakteristik
kepribadian akan memberikan kontribusi positif kepada
kelompok apabila muncul bersama-sama, karena apabila
hanya muncul sebagian tidak bermakna apa-apa.
Misalnya, pandai bergaul saja tidak cukup apabila tidak
diimbangi dengan inisiatif, keterbukaan, kohesifitas, dan
kelenturan. Atau, memiliki inisiatif tinggi tetapi tidak
terbuka dan tidak pandai bergaul, tidak akan
menghasilkan kinerja yang bermakna.

4. Struktur Kelompok
Kelompok kerja bukan segerombolan orang yang tidak
terorganisir. Kelompok adalah himpunan beberapa orang
yang memiliki struktur yang membentuk prilaku anggotanya
serta memungkinkan untuk menjelaskan dan meramalkan
sebagian besar prilaku individu di dalam kelompok maupun
kinerja kelompok yang bersangkutan. Variabel-variabel yang
termasuk ke dalam struktur secara ringkas dijelaskan di
bawah ini.
a. Kepemimpinan Formal
Hampir setiap kelompok kerja memiliki pimpinan formal.
Orang yang disebut pimpinan umumnya memiliki jabatan
seperti manajer unit, manajer bagian, penyelia, mandor,
pimpinan proyek, kepala satuan tugas, atau ketua komite.

116
b. Peran
Penyair, musisi, atau filosof mengatakan bahwa dunia ini
panggung sandiwara. Manusia yang berada di dalamnya
hanyalah pemain. Dengan ilustrasi tersebut dapat
dipahami bahwa anggota kelompok adalah pemegang
peran (aktor), yang masing-masing memainkan peran
tertentu. Adapun yang dimaksud dengan peran adalah
seperangkat prilaku yang diharapkan dari seseorang yang
menduduki posisi tertentu dalam unit sosial tertentu.
Secara dramatis, akan tampak sederhana apabila
seseorang memilih salah satu peran kemudian
memainkannya secara teratur dan konsisten. Apabila
individu memilih satu peran dan memainkannya dengan
baik, maka kelompok akan berjalan dengan baik dan
teratur. Sayangnya, banyak di antara kita yang memegang
banyak peranan karena beberapa alasan, akibatnya
banyak peran yang kurang berfungsi sehingga
mengganggu kepada sistem keseluruhan, bahkan
mungkin merusak.
Berkenaan dengan peran, terdapat beberapa istilah
penting untuk diketahui, yakni:
1) Identitas peran, yaitu sikap dan prilaku aktual tertentu
yang konsisten dengan peran tertentu.
2) Persepsi peran, yaitu pandangan individu mengenai
bagaimana dia harus bertindak dalam situasi tertentu.
3) Konflik peran, yaitu keadaan di mana individu
dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan.
c. Norma
Hampir semua kelompok memiliki norma. Misalnya,
seseorang tidak berani mengkritik majikan di depan
umum. Atau, seorang pegolf tidak berbicara sewaktu
temanya mendorong bola ke arah lubang. Prilaku
demikian muncul karena menghormati norma. Norma

117
adalah standar prilaku yang dapat diterima dan digunakan
bersama oleh para anggota kelompok. Bentuk norma di
setiap kelompok mungkin saja berbeda, karena karakter
kelompok pun berbeda, misalnya kelompok kerja,
kelompok profesi, kelompok hoby tertentu, kelompok
komunitas, dan kelompok masyarakat. Walaupun
berbeda pada umumnya semua kelompok memiliki
norma.
Berkenaan dengan norma, terdapat beberapa hal yang
perlu diketahui, antara lain :
1) Norma kinerja, yaitu petunjuk-petunjuk eksplisit
mengenai seberapa keras seharusnya mereka bekerja,
bagaimana menyelesaikan pekerjaan, tingkat input,
saluran komunikasi yang benar, dan semacamnya.
2) Norma penampilan, yaitu mencakup cara berpakaian
yang pantas, kesetiaan kepada kelompok kerja atau
organisasi, kapan harus terlihat sibuk, dan kapan
boleh bersantai. Intensitasnya akan berbeda sesuai
dengan karakter kelompok yang bersangkutan.
Misalnya, bagi kelompok tertentu pakaian menjadi
sangat penting, bagi kelompok lainnya yang lebih
penting adalah kesetiaan.
3) Norma tata sosial, yaitu tata aturan yang mengatur
interaksi sosial dalam kelompok. Misalnya, dengan
siapa anggota kelompok makan siang, bagaimana
persahabatan di dalam dan di luar kelompok
pekerjaan, dan bentuk lain semacam itu.
4) Norma alokasi sumber daya, yaitu aturan yang
berkaitan dengan gaji, pembagian pekerjaan yang
sulit, alokasi alat atau peralatan baru.
Berdasarkan norma yang berlaku, anggota kelompok
cenderung mampu menekan atau mempengaruhi individu

118
untuk berperilaku sesuai dengan norma itu. Terutama
bagi pegawai baru yang sedang beradaptasi dengan
lingkungan kelompok. Di samping itu, mungkin juga
terjadi penyimpangan prilaku, apabila terdapat seorang
pegawai yang memanfaatkan norma kelompok untuk
menekan seseorang demi kepentingan dirinya. Hal ini
akan berdampak negatif kepada kinerja dan produktifitas
dan berpengaruh juga terhadap angka keluar masuk
pegawai.
d. Status
Status adalah posisi atau peringkat yang ditentukan secara
sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota
kelompok lain. Dalam hirarki status kehidupan tidak ada
hal yang tidak berarti apa-apa, semuanya bermakna.
Status merupakan faktor penting dalam memahami
prilaku manusia, karena status merupakan motivasi yang
penting dan memiliki konsekuensi-konsekuensi. Dengan
adanya status seseorang akan mengetahui dan meyakini
statusnya sendiri dan memahami persepsi orang lain
terhadap dirinya.
Dalam memahami status terdapat beberapa hal yang perlu
diketahui, yaitu:
1) Status dan norma. Status memiliki beberapa pengaruh
yang menarik terhadap kekuatan norma dan tekanan
untuk penyesuaian.
2) Kesetaraan status. Penting bagi anggota untuk
meyakini bahwa hirarki status itu setara. Yang
dimaksud setara adalah adanya imbalan yang diterima
sesuai dengan kontribusi mereka kepada organisasi.
3) Status dan Budaya. Dalam sebuah organisasi, dua hal
ini memiliki hubungan yang erat. Perbedaan budaya
akan mempengaruhi status. Namun pentingnya status

119
bervariasi di antara berbagai budaya. Misalnya,
Prancis memiliki kesadaran yang tinggi tentang status.
Di Amerika dan Asia status berasal dari posisi
keluarga dan peran formal dalam organisasi. Tetapi
sekarang status cenderung lebih ditentukan oleh
prestasi daripada pangkat dan asal keluarga. Dalam
masyarakat Sunda, status berasal dari keluarga
(Raden) dan pekerjaan (sebagai PNS).
Dalam organisasi penting untuk dipahami, siapa dan
apa yang menentukan status apabila berinteraksi
dengan orang-orang dari budaya yang berbeda dengan
budaya sendiri.
4) Ukuran. Yang dimaksud ukuran di sini adalah ukuran
kelompok. Ukuran kelompok sangat berpengaruh
terhadap perilaku keseluruhan kelompok itu. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa kelompok kecil lebih
cepat menyelesaikan pekerjaan dibandingkan dengan
kelompok besar. Tetapi dalam hal pemecahan
masalah, kelompok besar lebih mungkin untuk
mendapat sukses secara konsisten.
e. Komposisi.
Pada umumnya, setiap kelompok menuntut adanya
anekaragam keterampilan dan pengetahuan. Dengan
demikian, sudah dapat dipastikan bahwa kelompok
bersifat heterogen, atau dibentuk oleh individu-individu
yang tidak mirip. Kelompok dengan karakteristik
demikian lebih cenderung memiliki kemampuan yang
efektif, terutama pada kelompok dengan tugas-tugas yang
menuntut kreativitas.
Namun dalam kenyataan tidak selalu sama dan serupa,
karena efektivitas kelompok tidak hanya ditentukan oleh
komposisi individu yang beranekaragam. Dalam hal

120
tertentu, keanekaragaman kelompok amat berguna untuk
mengerjakan tugas yang membutuhkan aneka titik
pandang. Tetapi bagi kelompok yang secara budaya
cenderung heterogen, akan menghadapi banyak kesulitan
dalam saling belajar bekerja guna memecahkan masalah,
walaupun kesulitan tersebut pelan-pelan akan menghilang
seiring dengan berjalannya waktu. Dengan kata lain,
kelompok yang memiliki individu beranekaragam
memerlukan waktu untuk saling memahami sebelum
tercipta kesepakatan.
Berkenaan dengan komposisi ini, terdapat istilah lain
yang akan dijumpai dalam organisasi, yaitu demografi
kelompok. Yang dimaksud adalah sampai di tingkat
mana anggota kelompok berbagi atribut demografi
bersama, seperti usia, jenis kelamin, ras, tingkat
pendidikan, atau lamanya mengabdi kepada organisasi
dan dampak atribut itu pada keluar masuknya karyawan.
Jadi yang diperhatikan di sini bukan pria atau wanitanya,
bukan pula lama dan sebentarnya masa pengabdian
seseorang kepada organisasi, melainkan atribut individu
dalam hubungannya dengan atribut lain, atau dengan
siapa ia bekerja.
f. Keterpaduan
Keterpaduan adalah suatu gambaran sampai tingkat mana
para anggota tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk
tetap di dalam kelompok. Keterpaduan di dalam
kelompok menduduki posisi penting karena berhubungan
dengan produktivitas.
Hasil studi menunjukkan bahwa hubungan keterpaduan
dan produktivitas tergantung pada norma-norma yang
berkaitan dengan kinerja yang dibangun oleh kelompok.
Apabila norma yang berhubungan dengan kinerja itu

121
tinggi (misalnya, output tinggi, kinerja bermutu, kerja
sama dengan individu di luar kelompok baik), maka
kelompok terpadu akan lebih produktif daripada
kelompok yang kurang terpadu. Tetapi apabila
keterpaduan itu rendah dan norma kinerja tinggi,
produktivitas akan meningkat tetapi lebih sedikit
dibandingkan dengan keterpaduan tinggi dengan norma
tinggi. Apabila norma dan kinerja rendah, produktivitas
akan rendah, paling tinggi hanya mencapai sedang.
Apabila seorang manajer bermaksud mendorong
keterpaduan kelompok, terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan, yaitu:
1) Buatlah kelompok menjadi lebih kecil.
2) Doronglah kesepakatan dengan tujuan kelompok
3) Tambahlah waktu untuk dihabiskan bersama anggota
kelompok
4) Tingkatkan status kelompok dan rasakan kesulitan
yang dihadapi individu untuk mendapatkan
keanggotaan dalam kelompok
5) Rangsanglah persaingan dengan kelompok lain
6) Berikanlah imbalan kepada kelompok dan bukannya
kepada para anggota
7) Isolasikan kelompok secara fisik.

5. Proses Kelompok
Pembahasan selanjutnya tentang perilaku kelompok
adalah membahas tentang proses-proses yang berlanggsung
dalam suatu kelompok kerja, yaitu pola komunikasi yang
digunakan oleh anggota untuk pertukaran informasi, proses
keputusan kelompok, perilaku pemimpin, dinamika
kekuasaan, interaksi konflik, dan yang semacam itu.
Muncul suatu pertanyaan, mengapa proses penting
untuk memahami perilaku kelompok kerja? Salah satu

122
jawabannya adalah kembali kepada topik kemalasan sosial
(social loafing). Dalam kajian sosial, satu ditambah satu dan
ditambah satu lagi tidak selamanya menjadi tiga. Dalam
tugas-tugas kelompok, apabila sumbangan anggota tidak
tampak dengan jelas, bagi individu ada kecenderungan untuk
mengurangi upaya mereka. Munculnya kelompok-kelompok
mencerminkan adanya kemalasan sosial (social loafing).
Dalam tugas-tugas kelompok sumbangan anggota tidak
selamanya tampak dengan jelas, selanjutnya akan terjadi
kecenderungan individu mengurangi upayanya.
Tetapi, dengan berkelompok mampu menghasilkan
output yang lebih besar dari input yang relatif kecil, karena
pekerjaan yang tidak dapat dilakukan sendiri dapat dilakukan
dengan berkelompok. Tetapi tentu saja tidak sesederhana itu,
karena keberhasilan mencapai tujuan melalui kelompok perlu
didukung oleh faktor lain, antara lain kadar sinergi yang
tinggi.
Sinergi adalah dua atau lebih substansi yang
menghasilkan dampak yang berbeda dari penjumlahan
masing-masing substansi itu.
Misalnya, kemalasan sosial memperlihatkan sinergi
negatif, jumlah saluruhnya kurang dari jumlah bagian-
bagiannya. Di pihak lain, tim tim riset sering digunakan
dalam laboratorium riset karena mereka dapat menarik
keterampilan yang beraneka dari berbagai individu sehingga
riset mampu lebih bermakna sebagai kelompok daripada yang
ditimbulkan oleh semua peneliti yang bekerja secara
independent. Artinya mereka menghasilkan sinergi positif,
karena keuntungan mereka melampaui kerugian yang
mungkin mereka hadapi.
Di samping itu, terdapat satu hal lagi yang berpengaruh
terhadap efektivitas suatu kelompok, yaitu efek fasilitas
sosial. Dalam hal ini, membaik atau memburuknya kinerja

123
sebagai respons atas kehadiran orang lain. Maka, efek ini
tidak sepenuhnya merupakan fenomena kelompok, situasi
kelompok itu justru cenderung memberikan kondisi untuk
terjadinya fasilitas sosial. Hasil penelitian menunjukan bahwa
tugas-tugas rutin sederhana cenderung dipercepat dan dibuat
lebih tepat oleh kehadiran orang lain. Apabila pekerjaan itu
lebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih cermat,
kemungkinan besar kehadiran orang lain mempunyai efek
negatif terhadap kinerja. Implikasinya, untuk mengurangi
efek negatif dari kehadiran orang lain (karyawan baru),
penerapan program pelatihan dan pendidikan merupakan
solusi terbaik. Atau melatih orang lain untuk pekerjaan sulit
akan mengurangi dampak negatif dari efek fasilitas sosial.

4.2 Komunikasi
Komunikasi merupakan sarana sosial yang sangat
penting, bukan hanya berguna bagi manusia, binatang pun
memiliki alat komunikasi sesuai dengan kapasitas dan
kemampuannya. Khusus bagi manusia, bahasa merupakan
salah satu alat komunikasi yang paling banyak digunakan.
Namun demikian, cara lain pun banyak variasi yang
digunakan, misalnya isarat lampu, morse, bendera, bunyi, dan
sebagainya. Melalui komunikasi, seseorang dapat
mengungkapkan isi hati, harapan, persepsi, dan hal-hal lain
kepada sesamanya. Masalahnya adalah tidak semua
komunikasi yang dilakukan berhasil secara efektif, kadang
terjadi komunikasi yang buruk dan justru menyebabkan
kesalahpahaman, konflik, dan bahkan merugikan beberapa
pihak.
Pengalaman tragis bagi manusia modern sebagai akibat
buruknya komunikasi sering terjadi. Salah satu kasus pernah
terjadi di Indonesia sekitar tahun 1997. Saat itu pesawat
Garuda Airways jatuh menghujam hutan di sekiar 20 mil

124
selatan Bandara Medan, Sumatra, sebanyak 234 orang tewas
menjadi korban. Menurut berita, penyebab kecelakaan
tersebut adalah buruknya komunikasi antara pilot dengan
pengatur lalulintas udara. Pemahaman terhadap kiri dan
kanan ketika pesawat mendekati bandara dalam kondisi jarak
pandang yang buruk. Peristiwa yang hampir serupa terjadi
juga di India sekitar tahun 1996, komunikasi yang buruk
antara pilot dan petugas pengatur lalulintas udara
menyebabkan tabrakan pesawat yang menelan korban jiwa
lebih dari 100 orang.
Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat betapa besar risiko
kerugian yang akan timbul akibat dari komunikasi yang
buruk. Dalam organisasi, komunikasi yang buruk menjadi
penyebab utama terjadinya konflik antarpribadi yang akan
berdampak negatif terhadap kinerja.
Secara umum, kecuali saat tidur sekitar 70% dari waktu
terjaga manusia dihabiskan untuk berkomunikasi dengan
berbagai bentuk. Misalnya menulis, membaca, berbicara, dan
mendengarkan. Oleh karena itu, logis apabila disimpulkan
bahwa komunikasi yang buruk merupakan penghambat
utama terhadap suksesnya kinerja kelompok. Dengan
demikian, tidak ada satu pun kelompok yang mampu
bertahan lama tanpa komunikasi. Hal ini dapat dihapami,
karena pemindahan makna di antara anggota-anggotanya,
hanya dapat dilakukan melalui pemindahan makna dari satu
orang kepada orang yang lainnya. Demikian juga informasi
dan gagasan lain hanya dapat dihantarkan melalui
komunikasi. Tetapi perlu dipahami juga bahwa komunikasi
tidak sekedar menanamkan makna, karena komunikasi pun
harus dipahami sepenuhnya. Oleh karena itu, komunikasi
harus mencakup pemindahan dan pemahaman makna.
Komunikasi yang menjadi harapan semua pihak adalah
komunikasi yang sempurna. Tetapi dalam praktek hal

125
tersebut sulit untuk dicapai karena berbagai alasan. Hal ini
pula yang melatarbelakangi mengapa membahas teori
komunikasi penting dalam perilaku organisasi. Namun
sebelum membahas lebih jauh tentang beberapa penyebab
sulitnya berkomunikasi, berikut dikemukakan definisi dan
proses komunikasi.
1. Pengertian Komunikasi
Menurut Robbins (2007:392), ”Komunikasi adalah
penyampaian/perpindahan dan pemahaman makna”. Hal ini
didasarkan pada pakta bahwa apabila dua orang
berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, yang menjadi
tujuan komunikasi bukan hanya pemindahan makna
melainkan perlu pemahaman yang mendalam tentang makna
tersebut. Misalnya, seorang karyawan bangsa Indonesia
berkomunikasai dengan kawannya dari Inggris yang
menggunakan bahasa Inggris, dalam perbincangan tersebut
makna dari topik pembicaraan memang telah pindah. Tetapi
komunikasi belum dikatakan efektif kalau karyawan yang
berasal dari Indonesia belum memahami sepenuhnya tentang
makna tersebut.
Miftah Thoha (2007:167) mengemukakan definisi
komunikasi yang beragam, di antaranya : “Komunikasi
adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan berita atau
informasi dari seseorang ke orang lain”. Definisi lainnya
dinyatakan bahwa dikaitkan dengan perilaku organisasi
komunikasi adalah “suatu proses antar orang atau antar
pribadi yang melibatkan suatu usaha untuk mengubah
perilaku”. Perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi adalah
merupakan unsur pokok dalam proses komunikasi ini.
Edwin B. Flippo (1997:227), mengemukakan bahwa
istilah komunikasi memiliki banyak pengertian, sehingga
para ahli akan mengemukakan rumusan yang berbeda-beda.

126
Beberapa ahli menyatakan bahwa komunikasi merupakan
media atau alat untuk meneruskan informasi, misalnya
telepon, telegraf, atau televisi. Bagi yang lain berpendapat
bahwa komunikasi berkaitan dengan saluran-saluran
komunikasi dalam organisasi, misalnya desas-desus, rantai
komando yang resmi, kotak pengaduan, dan prosedur
keluhan.
Definisi yang dibahas di sini adalah definisi
komunikasi yang berhubungan dengan tindakan yang
menyalurkan gagasan-gagasan dan membuat diri seseorang
dipahami oleh orang-orang lain. Dengan demikian,
“komunikasi adalah tindakan membujuk orang-orang lain
untuk menafsirkan suatu gagasan dengan cara yang
dimaksudkan oleh si pembicara atau penulis”. Istilah ini
berasal dari kata latin communis yang berarti bersama atau
common dari kata Inggris. Apabila telah diadakan suatu
komunikasi atas gagasan-gagasan, maka telah membentuk
suatu tempat pertemuan bersama yang mendasari
pemahaman.
Edwin B. Flippo sependapat dengan Robbins, bahwa
komunikasi sempurna sulit untuk dicapai, bahkan belum
pernah terjadi. Ada suatu kisah, pada suatu hari seorang tua
berjalan sambil berbicara kepada dirinya sendiri. Kemudian
ada yang bertanya kepadanya, ”Mengapa Anda berbicara
sendiri?” Jawabannya ”Saya suka berbicara kepada diri saya
sendiri, karena dua alasan. Pertama, karena saya senang
berbicara kepada orang yang pandai. Kedua, saya senang
mendengar orang yang pandai bicara”.
Dilihat dari teori komunikasi, ini merupakan contoh
komunikasi yang mendekati sempurna. Karena dapat
diperoleh seorang pengirim dan penerima diikat dalam satu
orang dan satu pikiran. Hanya, orang lain yang melihat dan
mendengar si orang tua yang berbicara kepada dirinya sendiri
dianggap kacau dan tidak mengerti akan dirinya sendiri.

127
Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa komunikasi dua
orang yang sempurna sulit dicapai, karena dalam komunikasi
yang sempurna antara pengirim dan penerima harus diikat
oleh pikiran yang sama.
Bagi seorang manajer komunikasi merupakan persoalan
yang sangat penting. Dalam melakukan pengelolaan, terjadi
penyelesaian segala sesuatu melalui orang-orang lain.
Pengelolaan ini merupakan tugas yang mengharuskan
seorang manajer berkomunikasi. Oleh karena itu, setiap
manajer, bahkan setiap orang, setiap hari melakukan
komunikasi. Kadang-kadang kita melakukan suatu tindakan
dan tidak disadari bahwa orang-orang di sekitar kita
memperhatikan dan mengamati gerak-gerik kita, atau
mengamati ekspresi wajah kita yang akan menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan menurut keyakinannya. Dalam
peristiwa tersebut, komunikasi sedang berlangsung, tetapi
tidak sempurna.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa banyak orang
mengirim dan menerima isyarat atau sinyal komunikasi,
sehingga dianggap ahli dalam proses itu. Tetapi, kurangnya
pengertian dan penerimaan, banyaknya kekacauan dan
ketidaksepakatan yang mengikutinya merupakan bukti nyata
bahwa isyarat yang sedang dikirim itu tidak diterima dalam
bentuk yang dimaksudkan oleh si pengirim. Jika tidak ada
yang mendengarkan atau tidak ada yang mengerti apa yang
sedang dikatakan atau ditulis, maka tidak ada komunikasi.

2. Proses Komunikasi
Sebelum komunikasi berlangsung diperlukan tujuan
dan perlu sesuatu yang dinyatakan sebagai pesan untuk
disampaikan kepada pihak penerima. Pesan disampaikan dari
sumber (pengirim) ke penerima. Pesan itu dikodekan (diubah
ke dalam bentuk simbol), dan diteruskan melalui sejumlah

128
medium (saluran) kepada penerima yang akan
menerjemahkan ulang pesan yang dimuat oleh pengirim.
Hasilnya adalah pentransferan makna dari satu orang ke
orang lain. Apa yang dipaparkan di atas merupakan proses
komunikasi.
Secara teoritis, proses komunikasi adalah langkah-
langkah antara sumber dan penerima yang menghasilkan
penyampaian dan pemahaman makna, terdiri atas tujuh
bagian, yaitu a) Sumber komunikasi; b) Pengkodean; c)
Pesan (lisan, tulisan, atau isyarat); d) Saluran ; e) Dekoding;
f) Penerima; dan g) Umpan balik.
Sumber mengawali pesan dengan pengkodean pikiran.
Pesan adalah produk fisik aktual dari sumber yang dilakukan
melalui pengkodean. Apabila seseorang menulis, tulisan
itulah yang dinamakan pesan. Apabila melakukan gerakan
isyarat, gerakan tangan dan ekspresi wajah, itu pun
merupakan pesan. Sedangkan saluran adalah medium tempat
pesan dihantarkan. Saluran itu diseleksi oleh sumber, yang
harus menentukan apakah menggunakan saluran formal atau
informal. Saluran formal dibangun oleh organisasi dan
berfungsi untuk mengirimkan pesan yang berhubungan
dengan kegiatan profesional para anggota. Saluran-saluran
formal secara tradisional mengikuti rantai komando dalam
organisasi. Bentuk-bentuk pesan lain seperti bersifat pribadi
atau sosial mengikuti saluran informal dalam organisasi.
Penerima adalah obyek yang menjadi tujuan penyampaian
pesan. Tetapi sebelum pesan dapat diterima, simbol-simbol di
dalamnya harus diterjemahkan ke dalam bentuk yang dapat
dimengerti oleh penerima. Langkah ini dinamakan
pengkodean pesan. Kaitan terakhir dalam proses komunikasi
adalah lingkaran umpan balik. Umpan balik merupakan
pengecekan mengenai seberapa sukses kita menyampaikan
pesan seperti dimaksudkan semula. Umpan balik menentukan

129
apakah pesan itu telah dipahami atau tidak. Untuk lebih
jelasnya, berikut dikemukakan bagan model proses
komunikasi.

Sumber

Pengkodean

Saluran

Dekoding

Penerima

Umpan balik

Gambar : 4.3
Model Proses Komunikasi

Secara umum arah komunikasi dalam organisasi terdiri


atas dua arah, yaitu arah vertikal dan horizontal. Arah
komunikasi vertikal meliputi arah ke bawah dan arah ke atas.
Berikut dikemukakan penjelasan singkat tentang arah
komunikasi tersebut.
a. Ke bawah, dari suatu tingkat ke tingkat lebih rendah
dalam organisasi. Pada umumnya subyek utama adalah
pimpinan atau manajer yang berkomunikasi dengan
bawahannya. Pola ke bawah dalam organisasi, adalah
pola yang sering dibayangkan oleh setiap orang. Pola
tersebut digunakan untuk menyampaikan instruksi
(perintah) pekerjaan, menginformasikan kebijakan dan
prosedur, menunjukkan masalah yang memerlukan
perhatian,dan mengemukakan umpan balik tentang
kinerja.Tetapi,komunikasi model ke bawah tidak selalu

130
dalam bentuk lisan atau tatap muka, melainkan dapat juga
dalam bentuk surat atau e-mail, atau mungkin sekedar
mengirimkan surat keterangan cuti karyawan.
b. Ke atas, dari suatu tingkat ke tingkat lebih tinggi dalam
organisasi. Komunikasi model ini digunakan oleh
bawahan untuk memberikan umpan balik kepada atasan,
menginformasikan mengenai kemajuan usaha, dan
menyampaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Dengan adanya komunikasi ke atas, para manajer akan
menyadari tentang perasaan para karyawan terhadap
pekerjaannya, rekan sekerja, dan kepada organisasi secara
umum. Manajer sendiri memerlukan komunikasi ke
atasan yang lebih tinggi untuk memperoleh gagasan
dalam upaya mengatasi masalah. Pesan-pesan yang
dikomunikasikan ke atas antara lain berupa laporan
kinerja yang disiapkan manajemen lebih rendah untuk
ditinjau ulang oleh manajemen level menengah dan
manajemen puncak, kotak saran, survei sikap karyawan,
prosedur keluhan, diskusi atasan-bawahan, dan pertemuan
keluhan informal di mana para karyawan mempunyai
kesempatan untuk mengidentifikasi dan membahas
masalah dengan atasan mereka atau dengan wakil
manajemen yang lebih tinggi.
c. Horizontal, terjadi antara anggota kelompok kerja atau
para manajer pada tingkat yang sama. Komunikasi
horizontal tetap diperlukan walaupun komunikasi vertikal
efektif, gunanya adalah untuk menghemat waktu dan
memudahkan koordinasi. Dalam beberapa kasus,
hubungan horizontal ini memberlakukan sanksi formal.
Seringkali hubungan tersebut diciptakan secara formal
untuk melintasi hierarki vertikal dan mempercepat
tindakan. Dengan demikian, ditinjau dari sudut pandang
manajemen, komunikasi horizontal ini bisa baik bisa
buruk. Karena kepatuhan terhadap struktur komunikasi

131
vertikal formal yang kaku dapat menghambat transfer
informasi yang efektif, efisien, dan cermat. Dalam kasus
tertentu, komunikasi horizontal dapat dilakukan dengan
sepengetahuan atasan, tetapi tetap terdapat efek samping
yang kurang baik, karena akan menciptakan konfik yang
disfungsional apabila saluran vertikal formal diterobos,
atau apabila anggota mengabaikan atasan untuk
menyelesaikan urusan, atau para atasan mendapati bahwa
sejumlah tindakan/keputusan telah diambil tanpa
sepengetahuan mereka.
3. Efektivitas Komunikasi
Untuk memperoleh komunikasi yang sempurna sangat
sulit, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Tetapi
untuk menciptakan komunikasi yang efektif dalam organisasi
masih dapat diupayakan, dengan cara meminimalisir
hambatan komunikasi. Menurut Robbins (2007:408)
“sejumlah hambatan dapat mengganggu atau memperlambat
komunikasi yang efektif”, maka untuk memperoleh
komunikasi yang efektif caranya adalah mengenali dan
mengurangi hambatan-hambatan sebagai berikut:
a. Penyaringan
Penyaringan cenderung dilakukan oleh si pengirim berita,
dilakukan sedemikian rupa sehingga ia diuntungkan di
mata si penerima. Misalnya, apabila seorang manajer
memberitahu atasan tentang informasi yang memang
ingin didengar oleh atasannya, berarti telah terjadi
penyaringan informasi. Penentu utama dari penyaringan
informasi adalah jumlah level dalam struktur organisasi.
Semakin vertikal level dalam hierarki organisasi, semakin
banyak peluang untuk terjadinya penyaringan.
Penyaringan dapat terjadi juga apabila seorang karyawan
merasa ketakutan untuk menyampaikan informasi tertentu

132
yang tidak ingin terdengar oleh atasannya. Gaya kerja
asal bapak senang (ABS) juga akan mendorong
terjadinya penyaringan informasi.
b. Persepsi selektif
Dalam teori perilaku organisasi persepsi ikut berperan
dalam mempengaruhi perilaku seseorang dalam
organisasi. Konsep persepsi muncul lagi di sini karena
memang merupakan bagian dari bahan kajian dalam buku
ini. Dalam proses komunikasi secara selektif, melihat dan
mendengar berdasarkan kebutuhan, motivasi,
pengalaman, latar belakang, dan karakteristik personal
lainnya. Para penerima juga menjelaskan minat dan
harapannya ke dalam komunikasi, pada saat mereka
mendekodenya. Misalnya, pewawancara calon karyawan
yang memperkirakan bahwa wanita pelamar kerja akan
lebih mementingkan keluarganya daripada kariernya
kemungkinan besar akan melihat hal itu, tidak peduli
apakah pelamar itu merasa demikian atau tidak. Dengan
kata lain, seseorang yang memiliki persepsi sendiri tidak
melihat realitas, melainkan menafsirkan apa yang dilihat
dan menyebutnya sebagai realitas.
c. Informasi berlebih.
Secara alami, seseorang memiliki kapasitas yang terbatas
dalam menampung dan mengolah data. Misalnya, fasilitas
komunikasi telepon kapasitasnya terbatas, tetapi
penggunaannya meliputi menerima panggilan, faximili,
dan e-mail. Apabila informasi yang masuk melebihi
kapasitas akan terjadi beban informasi berlebih, sehingga
kemungkinan besar terjadi error. Demikian juga manusia,
misalnya seorang manajer, ia harus menampung sejumlah
data dan informasi dari berbagai sumber, ditambah lagi
harus tetap menjaga kondisi agar tetap fress sementara
data yang diterima harus tetap up to date. Dalam hal ini,

133
banyak para manajer yang mengeluh karena kelebihan
beban. Apabila hal tersebut terjadi, mereka cenderung
melakukan seleksi, melewati, mengabaikan, bahkan
mungkin melupakan informasi yang diterima, Atau lebih
parah lagi, ia berhenti menerima dan mengolah data
sampai beban itu lewat, tak peduli akibatnya yang akan
kehilangan informasi dan komunikasi yang efektif.
d. Emosi
Emosi atau perasaan seseorang akan mempengaruhi
terhadap penerimaan informasi, dari siapa pun sumbernya
terutama pada saat menerima informasi tersebut.
Pengaruh terbesar akan dirasakan pada interpretasi
terhadap pesan yang diterima. Hal ini dapat dibuktikan
apabila seseorang menerima pesan yang sama pada saat
marah, penafsirannya akan berbeda apabila diterima
ketika sedang senang atau gembira. Emosi yang paling
mungkin untuk menghambat komunikasi yang efektif
adalah ketika bersorak kegirangan atau depresi.
Penyebabnya adalah tidak akan menghiraukan proses
pemikiran yang rasional dan obyektif dan tergantikan
oleh penilaian yang emosional.
e. Bahasa
Dalam bahasa apa pun, akan terdapat kata-kata yang
memiliki arti berbeda atau memiliki makna lebih dari
satu. Dalam penggunaannya pun akan terjadi perbedaan,
sedikitnya dipengaruhi oleh latar belakang budaya, usia,
dan pendidikan. Dalam realitas dapat diamati, bagaimana
para remaja berbicara, kemudian bandingkan dengan cara
berbicara orang tua, termasuk kata-kata yang
digunakannya.
Dalam organisasi pengelompokkan orang hampir tak
terhindarkan, sebagai konsekuensi dari penempatan kerja

134
berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Oleh karena itu, besar kemungkinan terjadi perbedaan
penafsiran terhadap kata-kata yang sama antara pegawai
dari kelompok marketing dengan kelompok tata usaha.
Bahkan mungkin, di bagian produksi akan menciptakan
kata-kata jargon sesuai dengan jenis pekerjaan mereka.
Komunikasi yang efektif akan terhambat dengan adanya
perbedaan penafsiran terhadap kata-kata atau istilah
tertentu. Letak kesalahannya apabila si pengirim pesan
beranggapan bahwa penerima pesan akan memiliki
persepsi yang sama terhadap pesan yang ia sampaikan,
padahal yang terjadi justru berbeda. Dengan demikian,
pesan tidak sampai sempurna yang berarti komunikasi
tidak efektif.
f. Kegelisahan
Hambatan lain terhadap komunikasi yang efektif adalah
kegelisahan yang dialami beberapa orang dari anggota
organisasi. Menurut hasil penelitian, sedikitnya terdapat 5
sampai 20% dari populasi menderita kegelisahan
komunikasi. Apabila terdapat orang yang takut berbicara
di depan kelompok, kegelisahan komunikasi jauh lebih
serius karena akan mempengaruhi seluruh teknik
komunikasi. Orang yang menderita kegelisahan
komunikasi akan mengalami ketegangan dan kecemasan
yang tidak pada tempatnya baik dalam komunikasi lisan
maupun tulisan. Orang yang menderita kegelisahan
komunikasi tersebut akan semakin gelisah pada saat tatap
muka untuk berbicara, bahkan badannya akan gemetar
walaupun berbicara via telepon. Ia akan menghindari
situasi yang menuntut untuk berkomunikasi lisan. Salah
satu pelarian akan menggunakan memo atau catatan kecil,
yang tentu saja akan mengurangi kadar efektifitas
komunikasi. Lebih parah lagi ada yang berusaha

135
mengurangi komunikasi lisan dengan alasan agar dapat
bekerja lebih efektif, dan ia menutup diri dari komunikasi
lisan.

4. Peran Komunikasi
Setelah diketahui pengertian, proses, dan komunikasi
yang efektif, perlu juga dibahas tentang fungsi atau peran
komunikasi dalam organisasi. Menurut Robbins, terdapat
empat peranan komunikasi dalam kelompok atau organisasi,
yaitu sebagai alat pengendalian, motivasi, pengungkapan
emosi, dan informasi.
a. Sebagai alat Pengendalian
Komunikasi berperan sebagai pengendalian prilaku
anggota dengan beberapa cara. Setiap organisasi memiliki
hierarki wewenang dan garis panduan formal yang harus
dipatuhi oleh seluruh anggotanya. Misalnya, apabila
seorang karyawan diminta untuk mengkomunikasikan
keluhan pekerjaannya terlebih dahulu kepada atasan
langsungnya sesuai uraian tugasnya, atau sesuai dengan
kebijakan perusahaan, komunikasi seperti itu
menjalankan fungsinya sebagai pengendalian. Contoh
lain, apabila karyawan di bagian produksi menghasilkan
produk terlalu banyak kemudian dicemoohkan oleh
temannya karena menganggap yang lain lebih buruk,
telah terjadi komunikasi informal; yang mampu
mengendalikan prilaku individu di bagian tersebut.
b. Sebagai alat Motivasi
Komunikasi akan memperkuat motivasi, dengan memberi
penjelasan kepada karyawan tentang apa yang harus
dilakukan, seberapa baik mereka bekerja, dan apa yang
dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja yang masih
di bawah standar. Penetapan sasaran dan penguatan telah

136
dibahas berkenaan dengan motivasi, maka penyusunan
sasaran yang spesifik, adanya umpan balik terhadap
kemajuan ke arah sasaran, dan dorongan kepada prilaku
yang diinginkan akan merangsang motivasi dan menuntut
komunikasi.
c. Sebagai alat Pengungkapan Emosi
Pada umumnya karyawan menganggap bahwa kelompok
kerja mereka merupakan sumber pertama untuk
melakukan interaksi sosial. Maka komunikasi yang terjadi
dalam kelompok merupakan mekanisme fundamental di
mana para anggota menunjukkan kekecewaan dan
kepuasan. Oleh karena itu, komunikasi memfasilitasi
pelepasan ungkapan emosi atau perasaan dan pemenuhan
kebutuhan sosial.
d. Sebagai alat Informasi
Terakhir, komunikasi berperan sebagai alat untuk
menyampaikan informasi dan mempermudah dalam
proses pengambilan keputusan. Komunikasi diperlukan
untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan
individu dan kelompok untuk pengambilan keputusan
melalui penyampaian data guna mengenali dan
mengevaluasi pilihan-pilihan alternatif.

Apabila muncul pertanyaan, manakah dari keempat


peran tersebut yang paling penting? Jawabannya tidak
satupun, karena semuanya berperan sesuai dengan
kapasitasnya. Agar kinerja kelompok benar-benar efektif,
maka kelompok perlu mempertahankan beberapa macam
pengendalian terhadap anggotanya, merangsang anggota
untuk berkinerja tinggi, menyediakan sarana untuk
mengungkapkan emosi, dan menyediakan pilihan-pilihan
keputusan. Dapat diprediksi bahwa hampir semua interaksi

137
komunikasi yang berlangsung dalam kelompok atau
organisasi menjalankan satu atau lebih dari keempat peran
tersebut.

4.3 Dinamika Kelompok


Dalam kajian ilmu sosial kelompok kecil dari manusia
telah ada sejak adanya keluarga manusia pertama (Adam dan
Hawa). Tetapi kajian proses kelompok kecil secara ilmiah
belum lama dilakukan sejalan dengan proses perkembangan
ilmu pengetahuan. Pertanyaan penting dalam memahami
dinamika kelompok antara lain “Apa peranan pemimpin
dalam kelompok kecil?”. Kemudian muncul lagi pertanyaan
berikutnya “Apakah peran itu akan berbeda karena perbedaan
tujuan?” Apakah setiap kelompok memiliki jenis pemimpin
yang berbeda-beda yang berfungsi secara bersamaan?”
Menurut Keith Davis dan John W. Newstrom
(1993:208), “seluruh pertanyaan di atas masih belum
terjawab, tetapi sudah ada kemajuan yang tercapai”. Proses
sosial melalui orang-orang yang berinteraksi secara langsung
dalam kelompok kecil disebut dinamika kelompok (group
dynamics).
Istilah dinamika berasal dari bahasa Yunani yang
berarti kekuatan atau daya, oleh karena itu telaah dinamika
kelompok mengacu kepada kekuatan yang ada dalam
kelompok. Para ahli yang terkenal melakukan penelitian
tentang kelompok kecil ini antara lain Elton Mayo dkk (1920)
dan serta Kurt Lewin (1930). Temuan Mayo menunjukkan
bahwa karyawan membentuk kelompok kecil secara informal
yang mempengaruhi kepuasan dan keefektifan kerja.
Sedangkan Kurt Lewin menemukan pakta bahwa jenis
kepemimpinan yang berbeda menghasilkan tanggapan yang
berbeda pula dalam kelompok.

138
Terdapat dua jenis interaksi kelompok yang utama, satu
di antaranya terwujud pada saat orang-orang membahas
gagasan dan ini biasa disebut rapat (meeting). Interaksi yang
lain terjadi apabila orang-orang melaksanakan tugas bersama-
sama dan ini biasa disebut tim (team). Berikut dikemukakan
penjelasan singkat tentang rapat dan tim.
1. Rapat
Rapat dalam kelompok dilakukan dalam upaya
mencapai berbagai tujuan, misalnya penyampaian informasi,
memberikan saran, pengambilan keputusan, perundingan dan
pemikiran kreatif.
Dilihat dari subyeknya terdapat beberapa jenis rapat,
misalnya rapat yang dilakukan oleh panitia (committee).
Rapat demikian merupakan jenis khusus karena anggotanya
telah memperoleh pendelegasian wewenang masing-masing
kaitannya dengan masalah yang sedang dihadapi. Wewenang
yang dimiliki seorang anggota rapat biasanya diungkapkan
dalam satu suara bagi setiap anggota. Hal ini berarti bahwa
apabila terdapat anggota rapat yang berlainan peran dalam
perusahaan, misalnya yang satu pembina dan yang lainnya
karyawan biasa, pada saat rapat tersebut posisinya menjadi
sama karena sama-sama sebagai panitia. Salah satu penyebab
seringnya ditemukan kendala dalam kepanitiaan, karena
seseorang tidak dapat menyesuaikan perannya dengan baik.
Dalam suatu rapat, panitia yang baik harus
mempertimbangkan masukan, proses kelompok, dan hasil.
Masukan, mencakup ukuran, komposisi, dan agenda.
Ukuran rapat dapat mempengaruhi cara kerja rapat. Apabila
rapat terdiri atas tujuh orang, komunikasi akan terpusat
kepada pimpinan rapat dan anggota kurang memiliki
kesempatan untuk berkomunikasi secara langsung satu sama
lain. Apabila memerlukan panitia lebih besar diperlukan

139
waktu yang cukup untuk menciptakan komunikasi yang lebih
luas agar dapat mewakili berbagai sudut pandang. Tetapi,
lima orang mungkin lebih tepat untuk situasi tertentu.
Sedangkan peserta rapat yang terlalu sedikit kurang
berfungsi, karena akan menimbulkan konflik kuasa.
Komposisi termasuk salah satu masukan yang harus
dipertimbangkan. Dalam hal ini pemimpin kelompok
biasanya dalam memecahkan masalah sering memiliki
peluang untuk memilih anggotanya. Dalam memilih anggota
itulah perlu mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain
tujuan panitia, tingkat minat anggota dan waktu yang tersedia
untuk menjadi anggota, dan pengalaman masa lalu tentang
hubungan kerja di antara calon anggota lainnya. Agenda,
merupakan masukan rapat yang memiliki peran kunci dalam
mencapai keerhasilan rapat. Terdapat dua agenda yang harus
dipahami oleh pimpinan rapat. Pertama adalah agenda luaran
sebagai tugas resmi kelompok yang harus ditunaikan. Kedua
adalah agenda tersembunyi, yang merupakan emosi dan
motif pribadi. Apabila agenda luaran berada dalam situasi
krisis, agenda tersembunyi akan terungkap yang akan
mempersulit situasi rapat. Tetapi, kadang terjadi sebaliknya,
pada saat agenda luaran mengalami stagnasi, emosi pribadi
justru menjadi penolong dan rapat berhasil dengan baik.
Proses kelompok, memerlukan peran kepemimpinan,
yaitu peran pemimpin tugas dan peran pemimpin sosial. Peran
pemimpin tugas dalam suatu pertemuan (rapat) adalah
membantu kelompok dalam mencapai tujuan dan tetap berada
dalam target. Pemimpin menyediakan struktur yang
diperlukan dengan menjelaskan masalah, memberikan, dan
mencari fakta yang relevan, kemudian secara berkala
mengihtisarkan kemajuan dan memeriksa apakah
kesepakatan tercapai atau tidak. Kadang-kadang timbul
kesulitan dari pimpinan tugas, apabila ada pihak yang
menganggap bahwa pimpinan mengganggu kesatuan

140
kelompok. Namun demikian, dengan munculnya peran
kedua, yakni peran pimpinan sosial, hubungan kelompok
akan diperbaiki dengan mengakui kontribusi, menunjukkan
ketidaksepakatan, dan memainkan peran suportif untuk
membantu kelompok agar berkembang. Idealnya, seorang
pemimpin mampu memerankan kedua peranan tersebut,
tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian. Untuk
lebih jelasnya, berikut dikemukakan perbedaan peran tugas
dan peran sosial bagi seorang pemimpin kelompok.

Peran Tugas Peran Sosial


 Menjelaskan masalah atau  Mendukung kontribusi orang
tujuan bagi kelompok lain, mendorong mereka
dengan pengakuan
 Meminta anggota untuk  Menginderai suasana
menyampaikan fakta, gagasan, kelompok dan membantu
atau pendapat anggota untuk menyadari
suasana itu
 Menyediakan fakta, gagasan,  Mengurangi tensi dan
atau pendapat menunjukkan
ketidaksepakatan
 Memperjelas situasi yang  Memodifikasi posisi Anda,
membingungkan, memberi mengakui kesalahan
contoh, menyediakan struktur
 Mengihtisarkan pembahasan  Memudahkan partisipasi
semua anggota
 Menentukan apakah telah  Menilai keefektifan kelompok
dicapai kesepakatan atau tidak

Hasil, merupakan sasaran yang dituju oleh rapat


kelompok berupa keputusan bersama. Hasil rapat yang paling
penting adalah bahwa orang-orang yang berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan merasa jauh lebih termotivasi untuk
menerima dan melaksanakannya.Orang yang telah membantu

141
mengambil keputusan merasa lebih berkepentingan untuk
melihatnya berhasil. Manfaat lainnya, apabila beberapa
anggota kelompok dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan dan pelaksanaan keputusan, akan membantu
anggota lainnya untuk memahami setiap bagian yang harus
dimainkannya sehingga dapat mengkoordinasikannya upaya
mereka.

2. Kerja Tim
Kerja tim adalah sekelompok orang yang melaksanakan
tugas operasional, berusaha mengembangkan suasana kerja
sama. Namun demikian pemahaman kita tidak sesempit itu,
artinya sebuah perusahaan besar dengan jumlah karyawan
lebih dari 1000 orang pun sebenarnya dapat dikatakan juga
sebagai tim kerja. Hanya dalam pembahasan ini dibatasi
kepada kerja tim dalam kelompok kecil, sesuai dengan
kebutuhan teori perilaku organisasi. Perbedaannya hanya
sedikit saja, untuk sebuah perusahaan dapat disebut dengan
istilah tim lembaga, sedangkan bagi kelompok kecil disebut
tim tugas.
Tim yang disebut terakhir dinamakan juga tim
operasional, yaitu kelompok kecil kooperatif yang
berhubungan secara regular yang melakukan tindakan
terkoordinasi dan anggotanya melakukan tugas dengan
bertanggungjawab dan antusias. Jenis tim kerja yang tulus
seperti ini memudahkan pekerjaan dan umumnya dapat
meningkatkan kepuasan kerja. Tim kerja yang efektif
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Lingkungan yang suportif, hal ini hanya dapat diciptakan
oleh seorang pemimpin yang suportif. Tindakan suportif
dari pemimpin akan membantu kelompok dalam
mengambil langkah pertama yang diperlukan untuk

142
membina kerja tim. Langkah ini akan menjadi landasan
bagi tindakan berikutnya ke arah kerja sama, saling
percaya, dan kecocokan sehingga para pembina perlu
mengembangkan iklim yang dapat menimbulkan kondisi
tersebut.
b. Kejelasan peran, sangat diperlukan karena kelompok
kerja hanya akan berjalan dengan baik apabila masing-
masing mengetahui peranannya secara jelas. Setiap
anggota harus mengetahui dengan siapa ia berinteraksi,
dan cukup cakap dalam melaksanakan pekerjaan serta
mau bekerjasama. Apabila tingkat pemahaman telah
tercapai berarti semua anggota tim siap bekerjasama.
c. Tujuan tinggi, yang merupakan tanggungjawab utama
para pemimpin. Setiap pemimpin harus berupaya agar
anggota tetap berorientasi kepada tugas dan tujuan secara
menyeluruh. Tetapi harus diakui bahwa, dalam hal
tertentu kondisi ini tidak selamanya solid karena
terganggu oleh kebijakan organisasi untuk kepentingan
pencatatan dan sistem imbalan yang menghendaki
pemilahan individu.
d. Kepemimpinan yang sesuai, mutlak diperlukan. Tetapi
sesuai dengan siklus daur hidup sebuah dinamika
kelompok, semula seseorang memang memerlukan waktu
untuk mengenal, termasuk mengenal pemimpinnya.
Tetapi kemudian pada saat seseorang merasa terisolasi di
lingkungan kerjanya, ia akan menutup diri terhadap cara
baru dalam mengkaji masalah. Salah satu cara untuk
mencegah stagnasi, diperlukan penyesuaian
kepemimpinan dengan lingkungan secara seksama.
Dalam memahami dinamika kelompok ini, di samping
perlu mengetahui unsur-unsur keefektifan kerja tim juga
perlu diwaspadai adanya beberapa kemungkinan masalah tim.

143
Kemungkinan masalah tim tersebut biasanya sebuah tim
tumbuh pelan-pelan, dibangun bersama-sama dengan penuh
kehati-hatian, tetapi dapat hancur seketika.
Sumber masalah utama bagi keutuhan sebuah tim
adalah pengaruh iklim lingkungan organisasi yang
membawahinya. Kerja tim yang dibangun dengan susah
payah, keadaannya rumit dan dinamik serta sangat peka
terhadap semua aspek lingkungan organisasi. Misalnya,
terlalu banyak perubahan, perpindahan, atau pergantian
anggota tim akan mengganggu hubungan kelompok dan
menghambat pertumbuhan kerja tim.
Masalah lain yang akan sangat mengganggu terhadap
keutuhan sebuah tim adalah peralihan garis wewenang
komando, partisipasi yang ekstensif dalam pengambilan
keputusan yang menyita banyak waktu, dan percobaan
dengan aktivitas tim yang akan menimbulkan tuduhan adanya
pilihkasih dari pegawai lain. Dari dalam tim sendiri mungkin
timbul pergeseran rasa saling percaya, misalnya karena
dipicu oleh anggapan bahwa kontribusi individu tidak terukur
dengan jelas dan menganggap bahwa rekan mereka malas,
akibatnya masing-masing mengurangi kadar kontribusi
mereka dan terjadilah kelesuan sosial (social loafing).
Apabila terjadi hal seperti ini, kerja tim akan segera hancur.

144
BAB V
KONFLIK DAN KEPEMIMPINAN
DALAM ORGANISASI

5.1 Konflik
Dalam organisasi, konflik merupakan sesuatu yang sulit
untuk dihindari, sehingga merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kajian perilaku organisasi sebagai
konsekuensi berkumpulnya sekelompok individu yang
berlainan karakter. Oleh karena itu, walaupun konflik ini
berkonotasi negatif ternyata tidak selamanya demikian,
mungkin saja sangat bermanfaat bagi penciptaan perilaku
organisasi yang efektif, asal dikelola dengan sebaik-baiknya.
Secara umum, konflik merupakan segala bentuk
hubungan antar manusia yang saling berlawanan
(antagonistik). Hal ini tentu akan berbeda dengan pandangan
para psikolog yang cenderung mengkaji istilah konflik secara
individual. Adapun konflik dalam organisasi perwujudannya
dapat terlihat secara nyata, dapat juga secara tersembunyi.
Dalam buku ini, yang dimaksud dengan konflik adalah segala
bentuk pertikaian atau berseberangan paham yang terjadi
dalam organisasi, baik antara seseorang dengan orang
lainnya, maupun antara kelompok dengan kelompok lainnya,
mungkin juga antara kelompok dengan organisasi atau
perseorangan dengan organisasi secara keseluruhan.
Bagi seorang manajer, istilah konflik dalam organisasi
merupakan bagian dari tugas dan tanggungjawabnya untuk
mengenali, memahami, mengelola, dan memanfaatkan nilai-
nilai positif dari konflik tersebut. Berikut akan dikemukakan
pengertian konflik, penyebab konflik, proses, dan manajemen
konflik dengan beberapa argument tambahan lainnya.

145
1. Pengertian
Menurut Mangkunegara (2005:21) ”Konflik adalah
suatu pertentangan yang terjadi antara yang diharapkan oleh
seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan
kenyataan apa yang diharapkannya”.
Berdasarkan pengertian tersebut, akan terjadi perbedaan
pandangan terhadap konflik sesuai dengan sudut pandang
masing-masing.
Secara tradisional orang akan menganggap bahwa
konflik adalah sesuatu yang tidak diharapkan atau tidak
diinginkan, karena akan membahayakan iklim kehidupan
organisasi.
Bagi orang yang memiliki pandangan luas tentang
perilaku manusia berpendapat bahwa konflik merupakan
suatu kejadian atau peristiwa yang biasa terjadi dalam
kehidupan organisasi, sehingga bukan sesuatu yang
menakutkan atau membahayakan, karena tergantung dari cara
memandang dan mengelolanya. Dengan demikian, konflik
yang terjadi bisa bermanfaat, bisa juga merugikan organisasi.
Dilihat dari sudut pandang interaksi, konflik
merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindarkan. Hal ini
dapat dipahami karena sejak awal sudah banyak dibicarakan
bahwa perilaku organisasi erat kaitannya dengan perilaku
manusia yang secara individual memiliki karakter yang
berbeda. Maka apabila karakter yang berbeda ini berinteraksi,
sudah barang tentu akan banyak terjadi konflik, oleh karena
itu sulit untuk dihindari. Namun demikian, bagi seorang
manajer atau pimpinan organisasi konflik ini justru
diperlukan.
Berdasarkan pandangan di atas, seorang manajer pada
suatu organisasi harus memiliki pandangan yang luas tentang
konflik agar tidak salah menilai. Dalam prakteknya, konflik

146
yang terjadi perlu dianalisis secara cermat, apakah konflik
tersebut berpotensi untuk merugikan atau menguntungkan.
Apabila sudah diketahui karakteristiknya, perlu dipikirkan
bagaimana cara mengelolanya agar bermanfaat bagi
organisasi.
Pendapat lain tentang pengertian konflik dikemukakan
oleh Robbins (2007:545), yang menyatakan ”Konflik adalah
proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa
pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan
segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi
kepedulian pihak pertama”.
Dari kutipan tersebut dapat diambil intisari bahwa
”suatu kegiatan yang sedang berlangsung dan terjadi interaksi
yang bersilangan akan menjadi konflik antarpihak”.
Pengertian yang dikemukakan Robins memiliki makna yang
luas, karena mencakup rentang luas konflik yang dialami
orang-orang dalam organisasi. Misalnya ketidakcocokan
sasaran, perbedaan penafsiran fakta, ketidaksepakatan yang
didasarkan pada pengharapan prilaku, dan sejenisnya. Bentuk
konflik yang terjadi pun bermacam-macam, mulai dari yang
terbuka dengan penuh kekerasan, sampai kepada konflik
yang tersembunyi dan halus sebagai akibat dari
ketidaksepakatan.
Oleh karena itu, untuk menilai suatu konflik tidaklah
mudah, karena akan muncul dengan berbagai bentuk serta
dilatarbelakangi oleh berbagai alasan. Hal ini pula yang
menjadi latar belakang, mengapa seorang ahli menyatakan
bahwa konflik dapat menjadi masalah serius dalam suatu
organisasi, bahkan konflik dapat menciptakan kondisi yang
membahayakan karena karyawan tidak mungkin bekerja
dalam suasana konflik. Namun di pihak lain, konflik pun
mempunyai sisi positif yang sangat bermanfaat bagi
organisasi, hanya memang kurang dikenal.

147
Untuk memperluas pemahaman tentang pengertian
konflik, berikut dikemukakan transisi dalam pemikiran
tentang konflik yang disarikan dari pendapat Robbins.
Realitas menunjukkan apabila telah terjadi konflik
dalam suatu organisasi, banyak pemikiran yang menyatakan
bahwa konflik harus segera dihentikan atau dihindari.
Pemikiran tersebut didasari pemahaman bahwa konflik
menandakan adanya kesalahan fungsi dalam kelompok. Pihak
yang berpendapat demikian, dinamakan pandangan
tradisional.
Menurut pandangan tradisional, konflik dipandang sebagai
sesuatu yang buruk dan berkonotasi negatif, seperti
kekerasan, pengrusakan, dan sikap irasional. Sehingga
dianggap merugikan dan harus dihindari. Sampai tahun
1940-an, konflik dianggap sebagai sesuatu yang
disfungsional, akibat dari komunikasi yang buruk,
kurangnya keterbukaan dan kepercayaan orang-orang, serta
kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan
dan aspirasi para karyawan.
Sebagai akibat dari pandangan ini, konflik dianggap hal
yang buruk. Untuk mengatasinya, perhatian hanya perlu
ditujukan kepada penyebab konflik, kemudian mengoreksi
kelemahan di bagian ini sebagai upaya untuk meningkatkan
kinerja. Intinya, semua konflik membahayakan dan harus
dihindari.

Perkembangan berikutnya menunjukan bahwa konflik


merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan
organisasi. Dengan demikian, konflik tidak perlu dianggap
buruk apalagi harus disingkirkan, melainkan sebaliknya
berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan
kinerja kelompok.
Menurut pandangan hubungan manusia, konflik ini sulit
dihindari, sehingga para ahli di bidang hubungan manusia

148
menganjurkan agar konflik diterima sebagai bagian dari
kehidupan dalam kelompok dan organisasi. Pandangan ini
berkembang dan mendominasi teori konflik sampai
pertengahan tahun 1970-an. Intinya, konflik merupakan hasil
alamiah dan tidak terhindarkan oleh kelompok. Adakalanya,
konflik tersebut bermanfaat bagi kinerja kelompok.
Pandangan lainnya, merupakan perkembangan paling
mutakhir tentang teori konflik yang menyatakan bahwa
konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam
kelompok, tetapi juga secara eksplisit sejumlah konflik
mutlak diperlukan, agar kelompok dapat berkinerja secara
efektif. Pandangan ini disebut pandangan interaksionis.
Menurut pandangan interaksionis, menerima konflik saja
tidak cukup, konflik justru harus didorong untuk tumbuh,
atas dasar pemikiran bahwa kelompok yang kooperatif,
tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis,
dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan
inovasi. Oleh karena itu, pandangan interaksionis para
pimpinan kelompok untuk mempertahankan tingkat konflik
minimum yang berkelanjutan, sekiranya cukup untuk
membuat kelompok/organisasi itu bertahan hidup, kritis
terhadap dirinya sendiri dan kreatif. Intinya, konflik tidak
hanya menjadi kekuatan positif dalam kelompok, namun
konflik juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja
efektif.
Dengan dikemukakannya transisi pemikiran tentang
konflik, diharapkan dapat membuka wawasan para pimpinan
organisasi yang lebih luas. Sekarang, konflik tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang negatif, tetapi juga tidak
terburu-buru menganggapnya positif. Sebagai pimpinan yang
berpandangan luas, untuk mengatakan baik atau buruk
terhadap konflik yang terjadi, terlebih dahulu harus melihat
tipe-tipe atau bentuk bentuk konflik itu sendiri.

149
Secara garis besar konflik terdiri atas dua tipe atau
bentuk, yakni konflik fungsional dan konflik disfungsional.
Konflik fungsional adalah konflik konstruktif yang
menguntungkan bagi kelompok atau organisasi. Sedangkan
konflik disfungsional adalah konflik destruktif yang
merugikan kelompok atau organisasi dan akan merintangi
kinerja yang efektif.
Untuk dapat membedakan apakah konflik yang terjadi
itu termasuk konflik fungsional atau disfungsional, perlu
melihat jenis konflik tersebut, sedikitnya terdapat tiga jenis,
yakni : konflik tugas, konflik hubungan, dan konflik proses.
 Konflik tugas menghubungkan isi dan sasaran kerja.
 Konflik hubungan berfokus pada hubungan
antarpribadi.
 Konflik proses berhubungan dengan cara melakukan
pekerjaan.

Dari hasil pengamatan dan kajian para ahli, konflik


tugas dan konflik proses pada level rendah sampai sedang
termasuk konflik fungsional. Maka, agar konflik proses itu
produktif harus dijaga agar tetap berada pada level rendah,
dengan kata lain konflik tidak harus dihilangkan. Apabila di
kalangan karyawan terjadi perdebatan sengit (level tinggi)
tentang siapa harus melakukan apa, hal itu termasuk
disfungsional apabila menciptakan ketidakpastian tentang
peran dan tugas, meningkatkan waktu penyelesaian tugas,
dan hasilnya para karyawan bekerja dengan tujuan silang.
Tetapi level konflik tugas yang rendah sampai sedang,
termasuk konflik fungsional karena secara konsisten
merangsang diskusi tentang gagasan-gagasan yang membantu
kelompok berkinerja lebih baik.

150
Adapun konflik hubungan, hampir selalu disfungsional.
Karena, tampak bahwa pergesekan dan permusuhan antar-
pribadi yang melekat dalam konflik hubungan meningkatkan
ketidakserasian kepribadian dan menurunkan rasa saling
pengertian. Hal-hal tersebut akan menghambat atau
merintangi penyelesaian tugas-tugas dalam organisasi.
Dilihat dari bentuknya, terdapat empat konflik dalam
organisasi, yaitu :
a. Konflik Hirarki, konflik yang terjadi pada tingkatan
hirarki dalam suatu organisasi. Misalnya, Kepala Bagian
dengan Kepala Seksi, mandor dengan kuli, bahkan
mungkin antara Komisaris dengan Dirut.
b. Konflik Fungsional, yaitu konflik yang terdiri atas
bermacam-macam fungsi departemen dalam organisasi.
Misalnya, di suatu perusahaan terjadi konflik antara
bagian produksi dengan bagian pemasaran. Di universitas
terjadi konflik antara bagian kemahasiswaan dengan
bagian akademik.
c. Konflik Staf dengan Kepala Unit, yaitu konflik yang
terjadi antara pimpinan unit dengan stafnya. Di sekolah,
antara Kepala Sekolah dengan Guru.
d. Konflik Formal-Informal, yaitu konflik yang terjadi
berhubungan dengan norma yang berlaku di organisasi.
Misalnya, seorang pimpinan menerapkan norma yang
salah dalam organisasi. Atau, kepentingan pribadi
mengalahkan kepentingan organisasi.

Bagi para pimpinan atau manajer, dengan mengetahui


tipe dan bentuk konflik akan memiliki bahan dan informasi
yang memadai sebagai bahan pertimbangan untuk
pengambilan keputusan apakah konflik yang terjadi itu baik
atau buruk, fungsional atau disfungsional, harus

151
dipertahankan atau harus dihilangkan dalam rangka
efektifitas kinerja kelompok dan organisasi.

2. Penyebab Konflik
Untuk lebih memahami tentang konflik dalam
organisasi, perlu juga dikemukakan tentang penyebab dan
sumber konflik. Pentingnya mengemukakan penyebab
konflik untuk mempertegas pernyataan sebelumnya bahwa
tidak semua konflik merugikan, namun untuk dapat
membedakannya perlu mengetahui terlebih dahulu
penyebabnya.
Menurut Indrawijaya (2002:170) ”...para manajer perlu
memahami beberapa sebab yang dapat menimbulkan konflik,
terutama untuk mendapatkan manfaat dalam menanganinya
dan untuk menarik keuntungan dalam menciptakan perilaku
organisasi yang berguna bagi peningkatan efektivitas
organisasi”.
Menurut Boulding dalam Indrawijaya (2002:170),
terdapat empat penyebab konflik, yaitu : the parties, the field
of conflict, the dynamics of the situation, and the
management, control or resolution of conflict.
a. The parties (pihak-pihak), yang sedang berada dalam
konflik. Sekurang-kurangnya terdapat dua pihak. Kedua
pihak tersebut mungkin seseorang dengan seseorang,
kelompok dengan kelompok, kelompok dengan
organisasi, seseorang dengan organisasi, atau organisasi
dengan organisasi lain.
b. The the field of conflict (bidang konflik), yaitu semua
kemungkinan arah konflik, baik konflik tertutup, konflik
terbuka, atau konflik konprontasi.

152
c. The dynamics of the situation (keadaan yang dinamis),
yang dimaksud adalah kedua pihak yang terlibat konflik
masing-masing aktif berusaha mendekati pihak ketiga
yang dianggap memiliki kedudukan setingkat atau lebih
tinggi dari pihak yang menjadi lawannya.
d. The management, control, or resolution of conflict
(manajemen, pengawasan atau resolusi konflik). Yang
dimaksud oleh Boulding bahwa konflik bukan sesuatu
yang dapat berdiri dan tidak dapat secara jelas dibedakan
kapan mulainya dan kapan pula berakhir.
Berkenaan dengan sumber konflik, diakui bahwa tidak
dapat disebutkan satu persatu secara pasti, karena hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan manusia sangat kompleks
dan beragam. Jadi, yang dimaksud sumber konflik di sini
pembahasannya dibatasi hanya sekitar konflik yang terjadi di
lingkungan kelompok atau organisasi. Setidak-tidaknya,
sumber konflik akan timbul dari hal-hal sebagai berikut:
a. Bersama-sama menggunakan sumber daya organisasi
yang sama.
b. Terdapat perbedaan dalam tujuan antara bagian-bagian
atau kelompok-kelompok dalam organisasi.
c. Saling ketergantungan pekerjaan dalam organisasi
d. Perbedaan nilai-nilai atau persepsi yang dimiliki atau
dianut oleh masing-masing bagian dalam organisasi.
e. Sumber-sumber lain, misalnya gaya perseorangan,
kekaburan tujuan organisasi, dan komunikasi yang buruk.

Dari sumber-sumber tersebut memungkinkan terjadinya


bermacam-macam konflik, antara lain konflik dalam diri
perorangan (individu pegawai), konflik antarperorangan
dalam suatu organisasi, konflik antara perorangan dengan

153
kelompok, atau konflik antara kelompok dengan organisasi,
bahkan mungkin juga terjadi konflik antara organisasi dengan
organisasi lainnya.

3. Proses Konflik
Pada umumnya sesuatu terjadi selalu berhubungan
dengan sebab dan akibat dan melalui proses tertentu.
Demikian juga halnya tentang konflik, kemunculannya
melalui proses yang dapat dilihat dari lima tahapan, yaitu
tahap potensi oposisi atau ketidakcocokan, kognisi dan
personalisasi, maksud, perilaku, dan hasil. Berikut
dikemukakan penjelasan singkat tentang tahap-tahap proses
tersebut.

a. Tahap potensi opisisi atau ketidakcocokan


Tahap pertama dalam proses konflik adalah adanya
suatu kondisi yang menciptakan peluang untuk munculnya
konflik. Memang tidak semua kondisi menyebabkan konflik,
tetapi sedikitnya terdapat tiga kondisi, yakni komunikasi,
struktur, dan pribadi.
1) Komunikasi
Suatu tinjauan atas penelitian tentang komunikasi,
dikemukakan bahwa kesulitan semantik, pertukaran
informasi yang tidak cukup, dan kebisingan saluran
komunikasi semuanya merupakan penghalang terhadap
komunikasi dan merupakan kondisi yang potensial bagi
terjadinya konflik.
Secara khusus dapat dikemukakan juga bahwa semantik
timbul sebagai akibat perbedaan pelatihan, persepsi
selektif, dan informasi yang tidak memadai mengenai
orang-orang lain.

154
Temuan lebih lanjut mengemukakan bahwa potensi
konflik akan meningkat apabila terdapat terlalu banyak
atau terlalu sedikit komunikasi. Pada tingkatan tertentu
komunikasi bersifat fungsional, setelah itu mungkin
terjadi komunikasi berlebihan dengan kenaikan kesulitan
atas potensi konflik. Intinya, terlalu banyak atau terlalu
sedikit komunikasi akan menyebabkan terjadinya konflik.
Di samping itu, penyimpangan komunikasi dari saluran
formal, juga berpotensi untuk menjadi penyebab konflik.
2) Struktur
Yang dimaksud dengan struktur yang digunakan dalam
konsep ini adalah mencakup variabel-variabel ukuran,
derajat spesialist dalam tugas yang diberikan ke anggota
kelompok, kejelasan yurisdiksi, kecocokan anggota/
sasaran, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat
ketergantungan antarkelompok.
Dari variabel-variabel di atas, ukuran dan spesialisasi
bertindak merupakan suatu kekuatan yang merangsang
terjadinya konflik. Semakin besar suatu kelompok, dan
semakin banyak pekerjaan yang dispesialisasikan akan
semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. Apabila
dilihat dari segi usia pegawai, konflik banyak terjadi di
kalangan pegawai yang berusia muda dan ketika sampai
kepada tingkat pengunduran diri.
Di samping itu, keberagaman sasaran dan tujuan
kelompok sangat memungkinkan terjadinya konflik,
misalnya tujuan kelompok bagian penjualan dengan
kelompok bagian kredit.
Hal lain yang rentan terhadap konflik adalah gaya
kepemimpinan yang tertutup dan gaya kepemimpinan
partisipatif.Gaya kepemimpinan tertutup menciptakan
suasana yang serba tidak jelas dan terjadi banyak
praduga.Sedangkan terlalu mengandalkan partisipasi,

155
mendorong terjadinya banyak perbedaan. Selain itu,
sistem imbalanpun rentan terhadap terjadinya konflik.
3) Pribadi
Apabila seorang pegawai menjumpai pegawai baru
langsung tidak menyukainya, kemungkinan terjadinya
konflik mulai tampak. Kadang-kadang penyebabnya
adalah hal sepele, seperti cara bicaranya, suaranya,
senyumannya, atau kepribadiannya. Apabila seseorang
harus bekerja dengan individu yang memiliki karakter
yang tidak disukai, dalam suasana demikian terdapat
potensi konflik. Secara lebih spesifik hasil penelitian
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya
individu yang sangat otoriter, dogmatis, dan
menunjukkan penghargaan yang rendah terhadap orang
lain, sangat berpotensi mendorong terjadinya suatu
konflik.
Sayangnya, dalam penelitian ada variabel yang
terabaikan, yakni variabel sosial seperti perbedaan sistem
nilai. Misalnya dalam menilai sebuah buku. Menurut A
buku tersebut sangat berharga, menurut B adalah sampah,
yang membedakan pandangan mereka adalah nilai buku.
Dengan demikian, perbedaan sistem nilai pun berpotensi
terjadinya konflik.

b. Tahap kognisi dan personality,


Apabila kondisi yang diuraikan pada tahap pertama
secara negatif mempengaruhi sesuatu yang diperdulikan oleh
satu pihak, potensi oposisi atau ketidakcocokan akan
terwujud dalam tahap kedua ini, dilihat dari apa yang
dipersepsikan dan dirasakan.
1) Konflik yang dipersepsikan adalah kesadaran salah satu
pihak atau lebih atas adanya kondisi yang menciptakan
peluang terjadinya konflik.

156
2) Konflik yang dirasakan adalah keterlibatan emosi dalam
satu konflik yang menciptakan kecemasan, ketegangan,
frustasi, atau kekerasan.
Proses konflik tahap kedua ini penting untuk dipahami,
karena pada tahapan inilah suatu konflik cenderung
didefinisikan. Di sini semua pihak memutuskan tentang
apakah konfik itu. Selanjutnya, dengan dipahaminya suatu
konflik yang terjadi, diharapkan akan diketahui juga jenis
hasil yang akan diperoleh dalam menyelesaikannya. Dengan
demikian, pendefinisian konflik akan bermanfaat bagi upaya
penyelesaian yang mungkin. Hal lain yang harus dipahami,
bahwa emosi memainkan peranan penting dalam membentuk
suatu persepsi. Persepsi yang didorong oleh emosi negatif
akan berbeda dengan persepsi yang didorong emosi positif.
c. Tahap Maksud,
Maksud atau niat berada di antara persepsi dan emosi.
orang serta prilaku terang-terangan mereka. Maksud adalah
keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu. Terjadi
karena persaingan, kolaborasi, penghindaran, akomodasi,
dan kompromi.
1) Persaingan yaitu keinginan memuaskan kepentingan
seseorang dengan tidak memperdulikan dampak pada
pihak lain atau konflik tersebut. Apabila seseorang
berusaha memenuhi kepentingan sendiri dengan tidak
memperdulikan dampaknya terhadap pihak-pihak lain
pada konflik itu, maka ia sedang bersaing. Misalnya,
apabila seseorang berupaya mencapai sasaran yang ia
tuju, akan mengorbankan sasaran yang sedang diincar
oleh orang lain dengan menyatakan suatu kesimpulan
”Saya benar” atau ”Anda keliru”. Lebih tajam lagi apabila
berupaya agar orang lain menerima untuk disalahkan
dalam masalah tersebut.

157
2) Kolaborasi adalah situasi yang di dalamnya pihak-pihak
yang berkonflik sepenuhnya saling memuaskan
kepentingan semua pihak. Hal ini terjadi apabila pihak-
pihak yang terlibat dalam konflik masing-masing
berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan
semua pihak. Bersama-sama menyadari bahwa kerjasama
dan pencapaian hasil yang akan membawa manfaat secara
timbal balik.
Dalam kolaborasi, maksud pihak-pihak yang terlibat
adalah memecahkan masalah dengan mengklarifikasi
perbedaan bukan dengan mengakomodasi berbagai sudut
pandangan. Dalam prakteknya, memecahkan konflik
dengan cara mencari pemecahan yang saling
menguntungkan yang memungkinkan sasaran kedua
belah pihak tercapai dan mengusahakan kesimpulan yang
memasukan wawasan yang akurat dari kedua belah pihak.
3) Penghindaran adalah keinginan menarik diri atau
menekan konflik. Seseorang mungkin menyadari bahwa
konflik itu ada dan ingin menarik diri dari dalamnya, atau
sekurang-kurangnya menekannya. Misalnya, seseorang
mengabaikan konflik dan menghindari orang-orang yang
tidak sependapat dengannya.
4) Akomodasi adalah kesediaan satu pihak dalam konflik
untuk memperlakukan kepentingan pesaing di atas
kepentingan sendiri. Hal ini terjadi apabila satu pihak
berusaha memuaskan pihak lain yang menjadi lawannya,
pihak tersebut bersedia memperlakukan kepentingan
lawan itu di atas kepentingan sendiri. Dengan kata lain,
demi untuk menjaga hubungan, salah satu pihak bersedia
mengorbankan kepentingan dirinya. Dalam konsep ini,
istilah maksud kita sebut sebagai akomodasi. Misalnya,
mengorbankan sasaran yang diinginkan sehingga sasaran
pihak lain tercapai, atau mendukung pendapat orang lain

158
walaupun sebenarnya keberatan. Atau, memaafkan
seseorang yang melakukan pelanggaran dan membiarkan
pelanggaran-pelanggaran berikutnya terjadi karena alasan
tertentu.
5) Kompromi, adalah satu situasi yang di dalamnya masing-
masing pihak yang berkonflik bersedia mengorbankan
sesuatu. Apabila semua pihak yang terlibat dalam konflik
berusaha melepaskan sesuatu sehingga terjadi saling
memberi yang menghasilkan suatu hasil yang
terkompromikan. Dalam kompromi tidak ada pemenang
atau pecundang yang jelas. Sebaliknya, terdapat
kesediaan membagi obyek konflik dan menerima
pemecahan yang memberikan kepuasan tidak lengkap
atas kepentingan kedua belah pihak. Pada hakekatnya,
dalam maksud yang berbentuk kompromi, setiap pihak
bermaksud melepaskan sesuatu.
d. Tahap Prilaku,
Pada umumnya, orang-orang yang memikirkan situasi
konflik cenderung memusatkan perhatiannya kepada tahap
prilaku. Karena di sinilah konflik tersebut tampak dengan
nyata, mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang
dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.
Pada tahapan prilaku, biasanya setiap pihak yang
terlibat konflik secara terang-terangan berupaya
melaksanakan maksudnya. Tetapi prilaku ini memiliki ciri
perangsangan yang terpisah dari maksud, sebagai akibat dari
salah perhitungan atau tidak trampil, bahkan prilaku ini
terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud semula.
e. Tahap Hasil
Setelah terjadi jalinan antara aksi dan reaksi di antara
pihak-pihak yang terlibat konflik akan menghasilkan

159
konsekuensi. Hasil tersebut bersifat fungsional (positif) dan
hasil disfungsional (negatif).
1) Hasil fungsional adalah konflik tersebut menghasilkan
perbaikan kinerja kelompok.
Bagaimana suatu konflik dapat bertindak sebagai
kekuatan untuk meningkatkan kinerja kelompok. Agak
sukar untuk membayangkan suatu situasi di mana agresi
yang terbuka atau keras dapat menghasilkan sesuatu
yang bersifat fungsional. Dari hasil pengamatan para ahli,
konflik fungsional ini sering terjadi pada konflik tugas
dan konflik proses pada level rendah.
Suatu konflik dapat dikatakan konstruktif apabila konflik
itu memperbaiki kualitas keputusan, merangsang
kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan
keinginan di kalangan anggota kelompok, menjadi
saluran yang merupakan sarana penyampaian masalah
dan peredaan ketegangan, serta memupuk lingkungan
evaluasi diri dan perubahan. Agar dapat dibayangkan,
bagaimana suatu konflik dapat bersifat fungsional
(positif), dapat kita pahami dari konsep-konsep yang
menyatakan : konflik adalah pangkal pikiran kelompok;
konflik membuat kelompok tidak begitu saja menerima
keputusan; konflik menantang status quo dan mendorong
menciptakan gagasan-gagasan baru; konflik
menggalakkan kajian ulang terhadap sasaran dan kegiatan
kelompok.
Ilustrasi lain, dua ilmuwan yang berbeda pendapat tidak
mengurangi kreativitas mereka, melainkan sebaliknya
mendorong mereka untuk lebih giat dan produktif dalam
menghasilkan pemikiran yang lebih luas dan mendalam.
2) Disfungsional adalah konflik yang merintangi kinerja
kelompok. Konsekuensi dari konflik yang destruktif
umumnya dikenal pada kinerja kelompok atau organisasi.

160
Oposisi yang tidak terkendali akan memunculkan
ketidakpuasan, akan melakukan tindakan yang akan
menghilangkan ikatan kerja sama, dan pada akhirnya
mendorong kepada kehancuran kelompok.
Di antara konsekuensi yang sangat tidak disukai adalah
menghambat komunikasi, mengurangi keterpaduan
kelompok, dan mengalahkan sasaran kelompok akibat
terjadinya pertikaian di antara para anggota. Bahkan
konflik yang terjadi akan menghentikan fungsi kelompok
dan berpotensi mengancam kelangsungan hidup
kelompok yang bersangkutan.
Berkenaan dengan proses konflik ini, telah ditemukan
pemahaman bahwa dari proses tersebut memungkinkan
terjadinya konflik fungsional dan konflik disfungsional.
Setelah diketahui kategori konflik, menambah keyakinan
bahwa tidak semua konflik merugikan organisasi, karena
terdapat juga konflik positif yang amat berguna untuk
meningkatkan efektivitas organisasi, yakni konflik
fungsional. Dengan demikian, pada perkembangan teori
perilaku organisasi terbaru dikenal adanya upaya untuk
merangsang dan menciptakan konflik fungsional.
Para manajer sepakat bahwa merangsang dan
menciptakan konflik fungsional tidaklah mudah, terutama
pada organisasi atau perusahaan yang berskala besar. Namun
demikian, bukan berarti sama sekali tidak dapat diupayakan,
karena bagi manajer yang berwawasan luas dan memiliki
pandangan jauh ke depan, jalan menuju inovasi selalu
terbuka.
Upaya tersebut seperti yang dilakukan oleh Walt
Disney Company, manajernya mendorong untuk dilakukan
pertemuan besar, tetapi dalam pelaksanaannya disengaja agar
kusut, kacau dan tidak tertata dengan rapi dengan maksud
menciptakan friksi dan merangsang munculnya gagasan yang

161
kreatif. Dengan demikian, akan mengarah kepada terciptanya
konflik fungsional.
Tetapi, upaya merangsang dan mendorong terciptanya
konflik tersebut harus diimbangi dengan sikap mental
manajer yang arif dan bijaksana. Salah satu upaya dalam
menciptakan konflik fungsional yang sukses, para manajer
menghargai perbedaan pendapat dan memberi peringatan
keras bagi penghindar konflik.
Perlu juga digarisbawahi bahwa tantangan paling besar
dalam upaya tersebut terletak pada pribadi para manajer yang
bersangkutan, terutama pada saat mendengar berita yang
sebenarnya tidak ingin mereka dengar. Berita yang kurang
enak didengar akan mendidihkan darah dan meruntuhkan
harapannya. Apabila para manajer mampu mengendalikan
emosinya, dengan tetap tenang dan tidak memperlihatkan
suasana hati yang sebenarnya sebagian kesuksesan sudah
mulai tampak. Apalagi apabila mampu menerima kabar
buruk tanpa tersentak kaget, tidak ada semburan kata-kata
marah, tidak ada ekspresi kekecewaan, tidak tampak bibir-
mengatup, tidak ada mata melotot, dan tidak ada gemeretak
gigi pertanda geram. Sebaliknya, yang ada adalah sikap
tenang dengan pertanyaan lembut. Misalnya ”Dapatkah Anda
mengatakan lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi?”.
Dapat juga dengan mengajukan pertanyaan bernada penuh
harap ”Menurut Anda, apa yang seharusnya kita lakukan?”
Atau ucapkan terimakasih yang tulus atas informasi yang
telah ia sampaikan.
Manajer yang mampu bersikap seperti itu tidak akan
tersisih dari komunikasi serupa di masa depan, dan bawahan
atau mitra kerja akan menaruh hormat kepadanya. Pada
gilirannya, manajer akan mampu menciptakan konflik
fungsional yang akan bermanfaat bagi efektivitas organisasi,
bahkan mungkin kredibilitasnya akan meningkat.

162
Proses konflik yang telah dikemukakan di atas, dapat
diilustrasikan melalui tabel di bawah ini:
Tabel: 5.1
Proses Konflik

Tahap
I II III IV V
Potensi Kognisi dan Maksud Perilaku Hasil
Oposisi ) Personalisasi

Kondisi : Konflik yang Maksud penanganan Konflik terbuka : Kerja


-Komunikasi dipersepsikan konfik: -Perilaku pihak kelompok
-Struktur -Bersaing -Reaksi orang meningkat
-Variabel pribadi -Kerjasama lain
Konflik yang -Berkompromi
dirasakan -Menghindar Kerja
-Mengakomodasi kelompok
menurun

4. Perundingan
Perundingan atau negosiasi pada umumnya mewarnai
hampir semua interaksi orang dalam kelompok atau
organisasi. Perundingan adalah proses di mana dua pihak atau
lebih bertukar barang atau jasa dan berupaya menyepakati
nilai tukar barang dan jasa tersebut. Pada istilah ini terdapat
juga istilah tawar-menawar, karena bertujuan untuk mencapai
kesepakatan.
Berkenangan dengan perundingan, berikut akan dibahas
tentang perbedaan dua strategi tawar-menawar dan proses
perundingan.
a. Strategi tawar-menawar
Terdapat dua strategi tawar menawar yang biasa
digunakan, yakni tawar-menawar distributif dan tawar-
menawar integratif.

163
1) Distributif, yaitu negosiasi yang berupaya membagi
sumber daya yang jumlahnya tetap dengan situasi
menang-kalah.
Yang dimaksud dengan menangkalah, setiap yang
diperoleh seseorang merupakan pengorbanan dari pihak
yang menjadi lawannya, dan sebaliknya. Salah satu taktik
yang digunakan seseorang dalam tawar menawar
distributif adalah upaya memaksa lawannya menyetujui
titik sasaran spesifik atau sedekat mungkin dengan titik
itu. Dalam berdebat mengemukakan bahwa sasaran dia
adil, sedangkan sasaran lawannya tidak. Di samping itu
berusaha menciptakan kesan bahwa lawannya memiliki
kedermawanan emosi terhadapnya, oleh karena itu mau
menerima hasil yang mendekati titik sasaran. Contoh dari
strategi tawar menawar ini antara lain pada kasus tuntutan
kenaikan gaji yang diajukan para karyawan.
2) Integratif, yaitu perundingan yang mencari satu
penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan
penyelesaian dengan situasi menang-menang.
Contoh tawar menawar dengan strategi ini adalah tentang
kasus perdebatan antara bidang penjualan dan bidang
perkreditan. Tujuan dari bidang yang terlibat konflik
berbeda, penjualan ingin mencapai transaksi sebanyak-
banyaknya, baik kontan maupun cicilan. Sedangkan
bagian kredit ingin menekan pembiayaan seefisien
mungkin, agar tidak terlalu berat membayar cicilan ke
bank.
Dalam prakteknya, masing-masing mengkaji ulang
tuntutannya. Kemudian setelah lama berdebat, keduanya
sepakat mencari jalan yang bisa menutupi kebutuhan
kedua belah pihak. Pihak bagian kredit menyetujui
penjualan dengan cara cicilan, tetapi pelanggan yang

164
mengajukan pembelian dengan cara mencicil memberikan
garansi bank, ia menyetujui akan menjamin pembayaran
bank apabila pelunasan pembayaran barang melebihi
batas waktu yang telah disepakati, misalnya 60 hari
Secara pribadi, semua orang sepakat agar tawar-menawar
integratif dijadikan acuan dalam pemecahan masalah.
Tetapi dalam prakteknya tidak selamanya demikian,
karena banyak hal yang mempengaruhinya. Salah satunya
adalah faktor kondisi atau syarat yang diperlukan oleh
jenis perundingan agar sukses. Syaratnya adalah pihak-
pihak yang terlibat perlu terbuka terhadap informasi dan
jujur mengenai kepentingan mereka. Kemudian
diperlukan juga kepekaan kedua belah pihak terhadap
memelihara keluwesan. Oleh karena kondisi ini sering
tidak terdapat dalam tawar-menawar, maka tidak heran
kalau perundingan sering melibatkan dinamika
menangkan dengan segala cara.

b. Proses Perundingan
Proses perundingan atau negosiasi terdiri atas lima
langkah, yaitu (1) Persiapan dan perencanaan; (2) Definisi
aturan-aturan; (3) Penjelasan dan pembenaran; (4) Tawar
menawar dan pemecahan masalah; dan (5) Penutupan dan
pelaksanaan.
1) Persiapan dan perencanaan
Sebelum perundingan dilakukan, perlu memikirkan
terlebih dahulu tentang apa yang akan dilakukan, dan apa
yang menjadi tujuan. Sekurang-kurangnya memikirkan
tenang sifat dasar dari konflik yang terjadi, latar belakang
pemicu terjadinya perundingan, siapa yang terlibat, dan
bagaimana metode mempersepsikan konflik tersebut.

165
Di samping itu, perlu juga dipikirkan mengenai pendirian
orang lain atas sasaran perundingan, apa yang mungkin
mereka minta, dan sejauhmana mereka mampu bertahan
pada posisinya? Apabila perkiraan tersebut telah
dipersiapkan sebelumnya, seseorang akan siap melawan
argumen dengan didukung angka dan fakta tentang
pendiriannya.
2) Definisi aturan-aturan
Setelah membuat perencanaan yang matang dan
stateginya, siapkan aturan-aturan dasar dan prosedur
dengan pihak lain mengenai perundingan yang akan
dilakukan. Tentukan siapa yang akan melakukan
perundingan? Di mana perundingan tersebut akan
dilaksanakan? Lakukan prediksi dengan cermat, apakah
waktu akan menjadi kendala atau tidak? Tetapkan,
persoalan apa yang akan dibahas dalam perundingan?
Biasanya, pada tahap ini masing-masing akan
mengajukan usul dan mempertukarkan tuntutan awal dari
kedua belah pihak.
3) Penjelasan dan pembenaran
Apabila pendirian awal telah dipertukarkan, kedua belah
pihak akan menerangkan, menegaskan, memperjelas,
memperkuat, dan membenarkan permintaan asli. Namun
dalam prakteknya tidak selamanya bersifat
konprontasional, bahkan mungkin merupakan kesempatan
untuk saling mendidik dan memberi informasi mengenai
persoalan, mengapa persoalan tersebut dianggap penting
dan bagaimana masing-masing pihak menghasilkan
permintaan awal mereka. Pada tahap inilah, pihak yang
berunding akan memberikan catatan kepada pihak yang
menjadi lawannya untuk mendukung posisi masing-
masing.

166
4) Tawar menawar dan pemecahan masalah
Pada hakekatnya perundingan adalah tawar-menawar,
atau proses aktual memberi dan menerima sebagai upaya
memperbincangkan persetujuan. Pada tahapan ini,
kompromi perlu diciptakan oleh kedua belah pihak.
5) Penutupan dan pelaksanaan.
Tahapan terakhir dari proses perundingan adalah
memformalkan persetujuan yang telah diwujudkan dan
menyusun setiap prosedur yang diperlukan untuk
pelaksanaan dan pemantauan. Untuk perundingan besar
yang akan mencakup segalanya mulai dari perundingan
serikat buruh dengan manajemen, tawar menawar
mengenai persyaratan sewa, sampai pembelian sebidang
real estate sampai ke perundingan tawaran pekerjaan
untuk posisi manajemen senior, perundingan seperti itu
akan memerlukan pengesahan hal-hal spesifik ke dalam
kontrak formal. Tetapi untuk proses perundingan sebuah
kasus, kebanyakan hanya sebatas jabat tangan.

5.2 Manajemen Konflik


Berdasarkan argumen bahwa tidak semua konflik
berdampak buruk kepada organisasi dan kelompok, bahkan
konflik tertentu justru harus dirangsang agar tumbuh dan
berkembang, maka konflik harus dikelola dengan baik.
Apabila konflik yang terjadi bersifat disfungsional,
diperlukan pemikiran tentang bagaimana cara mengatasinya
dan memerlukan pihak lain untuk meredakannya. Sebaliknya,
apabila konflik yang terjadi terlalu rendah, diperlukan teknik
tertentu untuk meningkatkannya. Upaya-upaya yang
berkaitan dengan teknik meredakan dan meningkatkan
konflik membawa kita kepada pemahaman tentang
manajemen konflik.

167
Dengan demikian, manajemen konflik adalah
penggunaan teknik-teknik resolusi dan simulasi untuk meraih
level konflik yang diinginkan. Secara garis besar, yang
menjadi garapan manajemen konflik adalah pemecahan dan
perangsangan konflik yang memungkinkan seorang manajer
dapat mengendalikan konflik.
Sebelum seorang manajer berupaya memecahkan dan
merangsang konflik, terdapat satu hal penting yang harus
diidentifikasi dengan teliti, yakni tentang intensitas konflik
yang terjadi di lingkungan organisasi bersangkutan, yaitu
sebagai berikut:
Tabel: 5.2
Intensitas Konflik

Intensitas Konflik
Konflik - Upaya terang-terangan untuk
Pemusnah menghancurkan pihak lain
- Serangan fisik yang agresif
- Ancaman dan ultimatum
- Serangan verbal yang tegas
- Pertanyaan atau tantangan terang-
terangan terhadap pihak lain
Tidak ada konflik - Ketidaksepakatan atau salah paham kecil
Sumber : S.P Robbins, Managing Organizational Conflict (1974).

Dengan dipahaminya intensitas konflik yang terjadi,


seorang manajer akan memiliki informasi lebih banyak dan
luas sebagai bahan pertimbangan untuk memilih teknik dan
tindakan dalam mengelola konflik.

168
Menurut Mangkunegara, terdapat tiga bentuk dalam
mengelola konflik, yaitu mendorong konflik, mengurangi
konflik, dan memutuskan konflik.
a. Mendorong, dengan cara memasukan seseorang dari luar,
merubah arus, penyusunan kembali organisai, mendorong
persaingan, dan mencari manajer baru yang lebih cocok.
b. Mengurangi, dengan cara mendinginkan temperatur
perselisihan dan menyatukan kelompok-kelompok yang
berselisih dengan cara mencari kambing hitam dan
berusaha mengalahkan musuh bersama.
c. Memutuskan, dengan cara dominasi dan tekanan,
kompromi (perundingan), dan pemecahan integratif.
1) Dominasi dan tekanan kebanyakan dilakukan dengan
cara:
(a) Menekan konflik, yang dimaksud bukan
menyelesaikan dengan jalan memaksa
menghentikan perselisihan.
(b) Menang-kalah, yang kalah biasanya harus
memberi jalan kepada yang lebih berwenang,
yang kalah akan merasa tidak puas dan akan
selalu melawan.
Teknik yang digunakan dalam dominasi dan tekanan
bermacam-macam, antara lain dengan memaksa
selesai, diplomasi, menghindar, atau menggunakan
kekuatan mayoritas.
2) Kompromi, dilakukan dengan melalui beberapa
bentuk, antara lain:
(a) Pemisahan
(b) Perdamaian
(c) Peraturan yang menentukan
(d) Penyuapan/kompensasi

169
3) Pemecahan Integral dengan cara musyawarah
mufakat (konsensus), konfrontasi, dan pencapaian
tujuan yang lebih tinggi.
Menurut Robins (2007:557), terdapat dua teknik
manajemen konfik, yaitu teknik pemecahan masalah dan
teknik perangsangan konflik. Penjelasan singkat tentang
kedua teknik tersebut adalah sebagai berikut.
a. Teknik Pemecahan Konflik, dengan cara:
1) Pemecahan masalah, yaitu tatap muka dengan pihak-
pihak yang berkonflik untuk mengidentifikasi
masalah dan memecahkannya melalui pembahasan
terbuka.
2) Sasaran atasan, menciptakan sasaran bersama yang
tidak dapat dicapai tanpa kerjasama masing-masing
pihak yang berkonflik.
3) Perluasan sumberdaya, apabila konflik yang terjadi
disebabkan oleh kelangkaan sumber daya, misalnya
uang, kesempatan promosi, ruangan kantor, dan
fasilitas lainnya, maka dengan perluasan atau
penambahan sumber daya dapat menciptakan
pemecahan yang bersifat memang-menang.
4) Penghindaran, menarik diri atau menekan konflik.
5) Penghalusan, mengabaikan arti perbedaan sambil
menekankan kepentingan bersama di antara pihak-
pihak yang berkonflik.
6) Kompromi, setiap pihak yang berkonflik
mengorbankan sesuatu yang berharga.
7) Komando otoritas, manajemen menggunakan otoritas
formal untuk menyelesaikan konflik, dan kemudian
mengkomunikasikan keinginannya kepada pihak-
pihak yang terlibat.

170
8) Mengubah variabel manusia, menggunakan teknik
pengubahan manusia, yang dimaksud adalah
prilakunya. Misalnya melalui pelatihan hubungan
manusia untuk mengubah sikap dan perilaku yang
menyebabkan konflik.
9) Mengubah variabel struktur, yaitu mengubah struktur
organisasi formal dan pola interaksi pihak yang
berkonflik, melalui perancangan ulang pekerjaan,
pemindahan posisi, koordinasi, dan semacamnya.

b. Teknik Perangsangan Konflik, dengan cara ;


1) Komunikasi, dengan menggunakan pesan-pesan yang
bermakna ganda, atau mengancam peningkatan
konflik.
2) Memasukan orang luar, yaitu menambah karyawan
yang memiliki latar belakang nilai atau gaya
manajerial yang berbeda dari anggota yang ada di
dalam kelompok.
3) Restrukturisasi organisasi, adalah mengatur ulang
kelompok kerja, mengubah tatanan peraturan,
meningkatkan rasa ketergantungan, dan mengubah
struktur.
4) Mengangkat oposisi, dengan cara menunjuk
pengkritik untuk dengan sengaja menentang pendirian
mayoritas yang dipegang oleh kelompok itu.

Di samping itu, terdapat hal lain yang harus diketahui


berkenaan dengan cara merangsang konflik agar dapat
memberikan manfaat yang terhadap organisasi, berdasarkan
anggapan bahwa konflik bermanfaat bagi organisasi. Hal-hal
tersebut adalah sebagai berikut:

171
a. Konflik adalah sarana untuk membuat perubahan secara
radikal. Dalam hal ini, manajer dapat menggunakan
konflik yang terjadi sebagai alat untuk membuat
perubahan secara drastis atas struktur kekuatan yang ada,
pola interaksi sistim yang telah ada, dan sikap-sikap yang
telah mengakar.
b. Konflik memfasilitasi kohesivitas kelompok. Sepintas
konflik dapat merusak tatanan atau meningkatkan
permusuhan antarkelompok, tetapi ancaman eksternal
cenderung menyebabkan kelompok bersatu sebagai satu
unit. Apabila terjadi konflik antarkelompok, akan
meningkatkan identifikasi anggota terhadap kelompok
dan meningkatkan perasaan solidaritas.
c. Konflik meningkatkan efektivitas kelompok dan
organisasi. Perangsangan konflik mulai dilakukan
pencarian terhadap upaya-upaya dan sasaran baru serta
memberikan rangsangan untuk berinovasi. Solusi yang
berhasil atas konflik tertentu memicu efektifitas lebih
besar, kepercayaan dan keterbukaan lebih besar, perhatian
lebih besar, dan depersonalisasi konflik-konflik masa
depan.
d. Konflik menciptakan ketegangan yang sedikit lebih tinggi
dan konstruktif. Ketika tingkat ketegangan sangat rendah,
kelompok-kelompok tidak cukup termotivasi untuk
melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan konflik.
Robbins berpandangan bahwa kelompok atau
organisasi yang tidak memiliki konflik berpeluang menderita
apatisme, stagnasi pikiran kelompok, dan penyakit-penyakit
meruksak lainnya. Banyak organisasi yang gagal karena
mereka hanya memiliki sedikit konflik, bukan karena terlalu
banyak konflik.

172
Tidak mungkin kita menghapuskan konflik
sepenuhnya. Namun demikian, jika sekedar menginginkan
adanya konflik, tidak berarti kita harus memuja konflik
tersebut. Dalam hal-hal tertentu, pemikiran bahwa konflik itu
merusak mungkin diperlukan oleh seorang manajer. Bahkan
sudah menjadi kewajibannya untuk menekan intensitas
konflik serendah mungkin. Dukungan atas tindakan tersebut
penulis kemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Dampak negatif dari konflik dapat sangat merusak. Hal
ini dibuktikan dengan panjangnya daftar konflik yang
negatif. Indikator yang paling nyata dapat dilaihat adalah
meningkatknya angka pengunduran diri dari para
karyawan, penurunan kepuasan karyawan, efisiensi di
antara unit-unit kerja, sabotase, kekecewaan, pemogokan
buruh, dan agresi fisik.
b. Manajer yang efektif membangun kerja tim. Manajer
yang baik membangun tim yang terkoordinasi. Konflik
kerja menghalangi pembangunan tersebut. Kelompok
kerja yang sukses mirip dengan tim olahraga yang sukses,
masing-masing anggota mengetahui peranan dan
mendukung rekan se-timnya Pada saat tim berjalan baik,
keseluruhan menjadi lebih baik daripada penjumlahan
bagian-bagiannya. Dalam hal ini, manajemen
menciptakan kerja tim dengan meminimalkan konflik-
konflik internal dan memfasilitasi koordinasi internal.
c. Manajer yang menerima dan merangsang konflik tidak
bertahan dalam organisasi. Argumen tentang arti penting
sebuah konflik, mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh
para manajer yang banyak menggunakan pandangan
tradisional. Karena menurut pandangan tersebut semua
konflik dianggap buruk. Maka apabila dilakukan evaluasi
kinerja manajer oleh eksekutif level tinggi, manajer yang
tidak berhasil menghapuskan konflik kemungkinan besar

173
dinilai negatif. Hal ini akan mengurangi peluang
kemajuan. Setiap manajer yang berupaya untuk maju
dalam lingkungan seperti ini akan bijaksana untuk
mengikuti pandangan tradisional.
Setelah dikemukakan beberapa hal yang berkaitan
dengan konflik, berikut penulis sajikan ringkasan dan
implikasi bagi para manajer.
Kebanyakan orang memiliki pandangan yang hampir
sama bahwa apabila suatu konfik terjadi di dalam organisasi,
maka efektivitas kelompok akan menurun. Tetapi setelah
dikaji dari berbagai aspek, ternyata pendapat demikian tidak
selamanya benar, karena konflik yang terjadi dapat bersifat
konstruktif atau desktruktif terhadap kelompok. Dengan
demikian para manajer harus mampu memilih dan memilah,
mana yang bermanfaat dan mendorong peningkatan
efektivitas organisasi, dan mana yang akan menjadi
penghambat.
Secara teknis, dalam menghadapi situasi konflik,
manajer harus memiliki pandangan luas dan mencari
informasi yang banyak tentang hal itu. Jangan ada pandangan
bahwa terdapat satu maksud penanganan konflik dengan hasil
akhir yang terbaik. Seyogyanya manajer memilih maksud
yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi, sehingga
tindakan dan cara yang digunakan pun akan berbeda pula.
Sekedar pedoman, berikut dikemukakan beberapa cara yang
dapat digunakan sesuai dengan situasinya.
a. Gunakan persaingan, apabila:
1) Tindakan cepat dan tegas bersifat vital (misalnya
dalam keadaan darurat)
2) Persoalannya penting dan tindakan yang tidak populer
perlu dilaksanakan (misalnya dalam pemangkasan

174
biaya, penegakkan aturan yang tidak populer, dan
pendisiplinan)
3) Persoalan vital bagi kesejahteraan dan manajer
mengetahui bahwa itu benar
4) Melawan orang-orang yang memanfaatkan perilaku
yang tidak kompetitif
b. Gunakan kolaborasi, apabila:
1) bertujuan untuk menemukan penyelesaian integratif
dan apabila tingkat kepentingan tersebut sangat
penting sehingga dapat dikompromikan.
2) Ingin menyatukan wawasan-wawasan orang-orang
dengan perspektif yang berlainan
3) Ingin memperoleh komitment dengan memasukan
kepentingan ke dalam konsensus.
4) Ingin menyelesaikan perasaan yang telah
mengganggu hubungan.
c. Gunakan penghindaran, apabila:
1) Persoalan tidak terlalu penting, atau terdapat
persoalan lain yang lebih penting untuk segera
diselesaikan.
2) Terdapat persepsi bahwa tidak ada peluang untuk
terpuaskannya kepentingan manajer.
3) Potensi gangguan melebihi manfaat pemecahan
4) Memberi kesempatan kepada orang-orang untuk
mendinginkan dan memperoleh kembali perspektif.
5) Kumpulan informasi mampu menggantikan keputusan
yang mendesak.
6) Orang lain dapat memecahkan konflik dengan lebih
efektif.
7) Persoalan merupakan rentetan atau gejala dari
persoalan-persoalan lain.
d. Gunakan akomodasi, apabila:
1) Manajer menyadari telah melakukan kekeliruan, atau
ingin melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

175
2) Persoalan lebih penting bagi orang lan daripada bagi
manajer
3) Ingin memuaskan orang lain serta memelihara
kerjasama.
4) Ingin membina pujian sosial atas persoalan-persoalan
mendatang
5) Meminimalkan kerugian sewaktu manajer terlampaui
dan kalah
6) Keserasian dan kemantapan lebih penting
7) Ingin memberi kesempatan kepada bawahan untuk
berkembang dengan belajar dari kekeliruan.
e. Gunakan kompromi, apabila:
1) Sasaran memang penting tetapi tidak layak
mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang
lebih tegas disertai dengan kemungkinan adanya
gangguan.
2) Pihak lawan dengan kekuasaan yang sama
berkomitmen terhadap sasaran yang timbal-balik
eksklusif.
3) Manajer ingin mencapai penyelesaian sementara atas
persoalan yang rumit.
4) Ingin menghasilkan pemecahan yang bijaksana di
bawah tekanan waktu.
5) Menginginkan cadangan apabila kolaborasi atau
persaingan tidak berhasil.

5.3 Kepemimpinan
Dalam sebuah organisasi keberadaan seorang
pemimpin mutlak diperlukan, karena dialah yang memiliki
kewenangan untuk menggerakkan melalui perintah/instruksi
yang akan diikuti dengan peran pemimpin lainnya, antara lain

176
komunikasi, koordinasi, motivasi, kompensasi, pembinaan,
penilaian, dan sebagainya.
Persoalan-persoalan tentang kepemimpinan, baik
berkenaan dengan definisi, filosofi, maupun esensinya setiap
saat terus berkembang karena pengalaman empiris dari
orang-orang yang pernah menjadi pemimpin akan
memperkaya hasanah kepemimpinan baik secara teoritikal
maupun prakteknya. Namun demikian, perlu dipahami bahwa
semakin banyaknya teori dan pengalaman kepemimpinan
tidak akan menemukan titik jenuh, bahkan mungkin semakin
berkembang akan semakin banyak hal-hal lain yang belum
terungkap. Oleh karena itu, teori kepemimpinan akan terus
berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban
manusia, sehingga wawasan kepemimpinan akan semakin
luas dan mendalam, bahkan perumusan definisinya pun akan
semakin beragam.
Dalam buku ini, pembahasan kepemimpinan dikaitkan
dengan perilaku organisasi agar tidak terlalu melebar. Hal-hal
yang akan dikemukakan mencakup pengertian, karakteristik
perilaku kepemimpinan, teori dasar kepemimpinan, implikasi
bagi para manajer, dan kepemimpinan Islam.

1. Pengertian
Dalam merumuskan pengertian kepemimpinan para
ahli memiliki pandangan yang berbeda, tetapi intinya relatif
sama. Menurut Robbins (2007:431) ”Kepemimpinan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju
pencapaian sasaran”. Dalam prakteknya, para pemimpin
bertugas menetapkan arah dengan menyusun satu visi masa
depan kemudian menyatukan orang-orang dengan
mengkomunikasikan visi tersebut dan mengilhami kelompok
agar mampu membatasi rintangan-rintangan.

177
Menurut suatu pandangan, seseorang yang memiliki
kewenangan untuk memimpin semata-mata karena
kedudukannya dalam organisasi. Seorang pemimpin dapat
juga berperan sebagai manajer, demikian juga sebaliknya.
Tetapi, tidak selamanya demikain. Artinya, seorang
pemimpin dapat tampil menjadi seorang manajer, tetapi
seorang manajer belum tentu mampu menjadi pemimpin yang
efektif. Hanya karena organisasi memberikan hak formal
tertentu kepada manajernya, belum tentu ia mampu tampil
sebagai pemimpin. Sebaliknya, seorang pemimpin dapat
muncul dari dalam kelompok sekaligus melalui pengangkatan
formal untuk memimpin kelompok itu, setelah ia menduduki
jabatan itu dapat bertindak sebagai seorang manajer.
Organisasi membutuhkan kepemimpinan dan
manajemen yang kuat untuk meraih efektivitas yang optimal.
Apalagi di dunia yang dinamis seperti sekarang ini,
dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu menantang
statusquo, menciptakan visi tentang masa depan. dan
memberi inspirasi kepada para anggota organisasi agar
bersedia mencapai visi itu. Di pihak lain, para manajer
dituntut untuk mampu merumuskan rencana secara rinci,
menciptakan struktur organisasi yang efisien, dan mengawasi
operasi dari hari ke hari.
Pendapat lain tentang pengertian kepemimpinan
dikemukakan Mangkunegara (2005:53), yang berpendapat
bahwa pengertian kepemimpinan dalam perilaku organisasi
berorientasi kepada pola tingkah laku. Jadi kepemimpinan
adalah ”bentuk-bentuk tingkah laku atau seperangkat
tindakan pemimpin perusahaan dalam mempengaruhi tugas
organisasi dalam mencapai prestasi kerja pada khususnya dan
tujuan organisasi pada umumnya”.
Pengertian-pengertian kepemimpinan lainnya banyak
dikemukakan oleh Miftah Thoha (2007:257), baik mengutip

178
pendapat orang lain maupun pendapat ia sendiri. Antara lain
dikemukakan bahwa ”pemimpin adalah seseorang yang
mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku orang
lain”. Kemudian, kepemimpinan kadangkala diartikan
”sebagai pelaksana otorita dan pembuat keputusan”. Menurut
George R Terry ”kepemimpinan itu adalah aktivitas untuk
mempengaruhi orang-orang agar supaya diarahkan mencapai
tujuan organisasi”. Dengan demikian, berdasarkan beberapa
kutipan di atas ditemukan kata kunci utama dari makna
kepemimpinan, yakni mempengaruhi orang lain. Untuk
mempengaruhi orang lain diperlukan sarana yang tepat, yakni
kekuasaan. Oleh karena itu, kepemimpinan erat kaitannya
dengan kekuasaan. Tetapi, memiliki kekuasaan saja tidak
cukup, karena seorang pemimpin perlu juga mengamati dan
menyadari posisi mereka dan cara menggunakan
kekuasaannya.
Berkenaan dengan perbedaan pemimpin dengan
manajer, Miftah Thoha memiliki pandangan lain. Dalam arti
luas, kepemimpinan dapat dipergunakan oleh setiap orang
dan tidak hanya sebatas berlaku dalam organisasi atau
instansi tertentu. Dalam beberapa pengertian dikemukakan
dengan jelas, kata kunci kepemimpinan adalah kemampuan
mempengaruhi perilaku orang lain. Yang dimaksud dengan
mempengaruhi di sini, memiliki cakupan yang luas, dalam
arti dapat mempengaruhi individu maupun kelompok.
Dengan demikian, dalam upaya mempengaruhi perilaku
orang lain tidak selamanya harus dibatasi oleh aturan-aturan
formal atau tatakrama birokrasi, tidak juga hanya berlaku
dalam organisasi, melainkan bisa terjadi di mana saja,
asalkan ia menunjukkan kemampuannya dalam
mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya sutu
tujuan tertentu. Misalnya, seorang ulama mampu
mempengaruhi perilaku umat tanpa didahului oleh aturan-
aturan formal apalagi birokrasi.

179
Apabila kepemimpinan itu dibatasi oleh aturan-aturan
dan tatakrama birokrasi atau banyak kaitannya dengan
aktivitas organisasi, maka dinamakan manajemen. Oleh
karena itu, seorang pemimpin dapat berperan juga sebagai
manajer dan sebaliknya, walaupun tidak selamanya demikian,
karena seorang manajer belum tentu mampu menjadi seorang
pemimpin kalau tidak memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain.
2. Karakteristik Perilaku Kepemimpinan
Menurut Mangkunegara (2005:53), karakteristik pola
perilaku kepemimpinan orientasi prestasi adalah pola tingkah
laku kepemimpinan yang cenderung menetapkan tujuan yang
bersifat menantang. menunjukkan keyakinan bahwa bawahan
atau para pengikut harus mencapai tujuan dan mencapai
prestasi kerja secara maksimal. Di samping itu secara terus
menerus berupaya agar para pengikutnya mencapai prestasi
terbaik, serta berkomunikasi yang harmonis dengan
pengikut.
Asumsi lain yang menjadi dasar pola prilaku
kepemimpinan yang berorientasi prestasi adalah sebagai
berikut:
a. Perilaku kepemimpinan dapat diterima oleh pengikut,
apabila mereka merasa puas atau paling tidak tercapainya
kepuasan pada diri mereka untuk masa yang akan datang.
b. Perilaku pemimpin dapat dikatakan efektif, apabila :
1) pegawai merasa puas dan pemimpin mencapai
prestasi yang maksimum.
2) Pemimpin memberikan bimbingan pengarahan kerja
secara jelas, dan adanya reward bagi pengikut yang
berprestasi.

Agar pemimpin mampu berprestasi, terdapat variabel


yang sangat menentukan, yaitu situasi. Situasi tertentu akan

180
menentukan apakah perilaku kepemimpinan yang
berorientasi prestasi tersebut dapat mempengaruhi kepuasan
kerja pegawai dan memotivasi mereka untuk bekerja atau
tidak. Variabel situasi tersebut mencakup dua faktor, yaitu:
a. Lingkungan organisasi yang terdiri atas struktur tugas,
sistem kewenangan organisasi, norma yang berlaku dan
hubungan interpersonal yang terjadi dalam lingkungan
perusahaan/organisasi.
b. Pengikut (karyawan/pegawai), terdiri atas sifat
kepribadian, keterampilan, kemampuan karyawan dan
anggota organisasi.

3. Teori Dasar Kepemimpinan


Apabila ditelusuri secara mendalam, sejarah lahirnya
kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia. Sejak
manusia pertama, yakni Adam dan Hawa praktek
kepemimpinan sudah menyatu dengan kehidupan mereka.
Saat itu, Adam telah bertindak sebagai pemimpin, Hawa
sebagai pihak yang dipimpin.
Secara umum manusia membutuhkan pemimpin, dari
waktu ke waktu kepemimpinan menjadi tumpuan harapan
bagi manusia lainnya, dan perkembangan terakhir
kepemimpinan merupakan suatu cabang ilmu yang memiliki
karakteristik tersendiri. Berbagai corak dan bentuk proses
pemilihan pemimpin semakin kompleks, terkadang
memerlukan biaya yang sangat besar (misalnya Pilkada).
Tetapi, yang dibahas dalam buku ini tidak sejauh itu,
pembahasan dibatasi sekitar kepemimpinan di dalam
organisasi.
Untuk dapat memahami dasar teori kepemimpinan
dalam organisasi, sudut pandang difokuskan pada segi
perilaku manusia yang erat kaitannya dengan kekuasaan
sebagai salah satu unsur yang amat penting. Dari sudut

181
pandang perilaku, apabila beberapa orang bergabung dalam
satu kelompok akan terjadi proses saling mengamati, masing-
masing akan melihat dan menunggu apa yang akan
diperankan oleh orang-orang yang terlibat dalam kelompok
itu. Setelah diketahui peranannya, akan dilihat pula
bagaimana orang tersebut mampu mempengaruhi orang lain
dalam kelompok. Jika seseorang mulai berkeinginan untuk
mempengaruhi orang lain, maka di sini kegiatan
kepemimpinan sudah mulai terlihat. Dalam prakteknya
pengaruh kekuasaan akan sangat mewarnai kelompok
tersebut. Dengan demikian, kekuasaan dan pengaruh menjadi
faktor penting dalam kepemimpinan.
Dalam memahami dasar teori kepemimpinan,
diperlukan juga pemahaman terhadap munculnya aturan atau
norma yang akan menjadi acuan dalam memecahkan
berbagai konflik yang mungkin terjadi. Dalam suatu
kelompok akan bergabung beberapa individu yang memiliki
karakter berbeda, dalam proses interaksi akan terjadi konflik
dengan berbagai sebab seperti yang sudah dibahas
sebelumnya. Maka apabila terjadi konflik atau perselisihan di
antara orang-orang dalam kelompok, orang-orang akan
mencari jalan pemecahannya agar terjamin keteraturan yang
dapat ditaati bersama. Di sini orang-orang akan
mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok dan
berusaha mematuhi perturan yang disepakati bersama.
Intinya, kebersamaan sangat diperlukan, konflik harus
dihindari, dan peraturan harus ditegakkan. Di sini peranan
seorang pemimpin sangat diperlukan.
Menurut Robbins, terdapat tiga pendekatan dasar
menuju kepemimpinan. Teori ini berguna untuk membedakan
antara pemimpin dan bukan pemimpin serta menentukan
sesuatu yang membuat kepemimpinan efektif. Teori tersebut
adalah teori ciri kepribadian, teori-teori perilaku, dan teori
kontinjensi.

182
a. Teori Ciri Kepribadian
Teori ciri kepemimpinan adalah teori-teori yang
mengkaji ciri-ciri dan karakteristik pribadi yang
membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. Media telah
lama menjadi penganut teori ciri kepribadian, yang
membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. Fokus
perhatiannya diarahkan kepada ciri kepribadian seseorang
yang menonjol, misalnya Margaret Thatcher, Nelson
Mandela, dan Steve Jobs yang terkenal dengan
kepribadiannya yang lain daripada yang lain sehingga
dijuluki pemimpin yang karismatik, antusias, dan pemberani.
Bahkan sampai saat ini masih banyak para ahli yang
memandang bahwa kepribadian seseorang, seperti satatus
sosial, fisik, dan intelektual banyak digunakan untuk
membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.
Ciri kepribadian seperti yang dikemukakan di atas
memang dapat digunakan sebagai unsur pembeda antara
pemimpin dan bukan pemimpin. Tetapi belum tentu berlaku
secara universal, terutama apabila dikaitkan dengan
efektivitas kepemimpinan. Masih dipertanyakan, ciri
kepribadian mana yang menjadi ciri kepemimpinan yang
efektif dan tidak efektif. Maka para peneliti mencari hal lain
tentang hal tersebut.
Salah satu penelitian menemukan enam karakter yang
mungkin dapat membedakan antara pemimpin dan bukan
pemimpin yang mendekati universal, yaitu ambisi dan
semangat, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas,
kepercayaan diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang relevan
dengan pekerjaan. Di samping itu, penelitian terbaru
menemukan satu ciri lagi, yakni mawas diri yang kuat.
Karena ternyata orang yang memiliki sifat mawas diri yang
kuat jauh lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan organisasi dibandingkan dengan orang yang

183
memiliki sifat mawas diri rendah. Dengan demikian, secara
kumulatif ciri-ciri tersebut mampu mendorong seseorang
untuk sukses dalam kepemimpinan, tetapi tidak ada satu ciri
pun yang menjadi jaminan kesuksesan.
Perkembangan selanjutnya membuktikan bahwa
seseorang yang memiliki sejumlah ciri kepribadian yang
memungkinkan sukses dalam memimpin tidak selamanya
benar. Hal ini berdasarkan keterbatasan dari pendekatan teori
ini, yakni (1) Tidak terdapat ciri-ciri universal yang berlaku
pada semua situasi, karena ciri-ciri tersebut tampak
berpengaruh pada situasi yang selektif; (2) Ciri-ciri
kepribadian diperkirakan lebih berperan dalam situasi yang
lemah daripada situasi yang kuat. Situasi yang kuat adalah
situasi di mana terdapat norma-norma perilaku yang kuat,
rangsangan yang kuat untuk jenis-jenis perilaku yang spesifik
dan harapan yang jelas. Misalnya, perilaku mana yang akan
memperoleh imbalan, atau prilaku mana yang akan mendapat
hukuman. Dengan demikian, dalam situasi yang kuat
keberhasilan kepemimpinan lebih banyak ditentukan oleh
situasi daripada ciri kepribadian pemimpin yang
bersangkutan. Pada akhirnya muncul pendekatan lain, bahwa
sukses kepemimpinan lebih menekankan kepada gaya dan
perilaku yang diperlihatkan para pemimpin.
b. Teori-teori Prilaku
Didorong oleh kenyataan bahwa dalam pendekatan ciri
kepribadian tidak ditemukan apa yang diinginkan, para
peneliti berupaya mencari jawaban yang lebih mungkin.
Maka ditemukan pendekatan atau teori-teori perilaku. Teori
perilaku kepemimpinan adalah teori yang mengemukakan
bahwa prilaku khusus membedakan pemimpin dari yang
bukan pemimpin.
Di perusahaan besar level dunia terdapat dua orang
pemimpin yang berhasil secara efektif pada masa-masa sulit,

184
keduanya memiliki gaya kepemimpinan yang sama, yakni
bicara keras, tegas, dan otokratik. Berdasarkan fakta tersebut
muncul sebuah pertanyaan, apakah perilaku otokratik
merupakan gaya yang diinginkan untuk semua pemimpin?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak mudah,
karena situasi yang dihadapi para pemimpin akan berbeda-
beda. Sebelum memperoleh jawaban atas pertanyaan
tersebut, kita bandingkan dulu pendekatan ciri kepribadian
dengan pendekatan perilaku. Jika pendekatan ciri kepribadian
berhasil, akan menjadi dasar teori dalam memilih pemimpin
agar memilih orang yang tepat untuk melanjutkan posisi
formal dalam kelompok dan organisasi yang menuntut
kepemimpinan. Tetapi, jika pendekatan perilaku berhasil,
maka kita dapat melatih orang-orang untuk menjadi
pemimpin, jika pelatihan berhasil akan diperoleh pemimpin
sebanyak-banyaknya.
Dengan kata lain, pendekatan ciri kepribadian
mengisyaratkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan
pemimpin kelompok/organisasi cara memenuhinya dapat
dilakukan dengan memilih orang-orang yang memiliki ciri
kepribadian yang sudah melekat pada dirinya bahkan
mungkin sudah dibawa sejak lahir. Sedangkan pendekatan
perilaku, pengadaan pemimpin dilakukan dengan cara
mengadakan pelatihan, karena perilaku bicara keras, tegas,
dan otokratik dapat dibentuk melalui pelatihan. Apabila
program pelatihannya sukses dan berhasil dapat melahirkan
pemimpin yang jumlahnya tidak terhingga.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, benarkah perilaku
otokratik merupakan gaya yang diinginkan untuk semua
pemimpin? Berikut dikemukakan hasil penelitian para ahli.
1) Penelitian Universitas Ohio

185
Peneliti mengawali penelitiannya lebih dari seribu
dimensi tentang perilaku kepemimpinan, kemudian
disempitkan menjadi dua kategori dimensi perilaku
kepemimpinan yang digambarkan oleh para bawahan.
Kedua dimensi tersebut adalah struktur organisasi dan
pertimbangan.
Struktur organisasi, merujuk kepada sejauhmana
pemimpin berkemungkinan menetapkan dan menyusun
perannya dan peran bawahannya dalam mengupayakan
kerja, hubungan kerja, dan sasaran. Pemimpin yang
dicirikan tinggi dalam struktur prakarsa dapat
digambarkan sebagai seorang yang menugasi anggota-
anggota kelompok dengan tugas-ugas tertentu,
mengharapkan para pekerja mempertahankan standar
kinerja yang pasti.
Pertimbangan, digambarkan sebagai sejauhmana
seseorang berkemungkinan memiliki hubungan pekerjaan
yang dicirikan dengan rasa saling percaya, menghargai
gagasan bawahan, dan memperhatikan perasaan mereka.
Ia menunjukkan kepedulian akan kenyamanan,
kesejahteraan, status, dan kepuasan pengikut-
pengikutnya. Pemimpin yang tinggi dalam pertimbangan
dapat digambarkan sebagai seorang yang membantu
bawahan dalam menyelesaikan masalah pribadi, ramah
dan dapat didekati, dan memperlakukan semua bawahan
dengan adil.
Istilah yang digunakan oleh para peneliti ini, apabila
struktur tinggi dan pertimbangan tinggi disebut pemimpin
tinggi-tinggi. Pemimpin demikian cenderung lebih sering
mencapai kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi dari
mereka yang rendah dalam struktur dan pertimbangan.
Tetapi bukan berarti tanpa masalah, karena pemimpin
tinggi-tinggi ini menimbulkan tingkat keluhan pegawai,
keabsenan, dan pengunduran karyawan yang tinggi

186
dengan kepuasan kerja rendah. Sedangkan pertimbangan
yang tinggi terkait negatif dengan penilaian kinerja
pemimpin yang bersangkutan dari atasannya.
Kesimpulan, penelitian Ohio mengemukakan bahwa gaya
kepemimpinan tinggi-tinggi umumnya membawa hasil
yang positif, tetapi cukup banyak pengecualian yang
dijumpai menunjukkan bahwa faktor-faktor situasi perlu
dipadukan ke dalam teori itu.
2) Penelitian Universitas Michigan
Penelitian yang dilakukan waktunya tidak jauh berbeda
dengan apa yang dilakukan Universitas Ohio, bahkan
sasarannya pun hampir sama, yakni mencari karakteristik
kepemimpinan yang berkaitan erat dengan efektivitas
kerja. Dalam penelitiannya menggunakan dimensi
berorientasi karyawan dan berorientasi produksi.
Pemimpin yang berorientasi karyawan menekankan pada
hubungan antaranusia, memberikan perhatian pribadi
terhadap kebutuhan karyawan dan menerima perbedaan
individual di antara para anggota. Sedangkan pemimpin
yang berorientasi produksi adalah pemimpin yang
menekankan pada aspek-aspek teknis atau tugas atas
pekerjaan tertentu. Perhatian utama mereka adalah
penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-
anggota kelompok merupakan alat untuk mencapai hasil
akhir itu.
Kesimpulan yang didapatkan oleh penelitian ini
menitikberatkan kepada pemimpin dengan perilaku yang
berorientasi karyawan. Pemimpin yang berorientasi
karyawan dikaitkan dengan peningkatan produktivitas
kelompok dan kepuasan kerja. Pemimpin yang
berorientasi produksi cenderung dikaitkan dengan
penurunan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja.

187
3) Kisi-kisi Manajerial
Teori ini dikemukakan oleh Blake dan Mouton, kisi-kisi
manajerial seringkali disebut juga sebagai kisi-kisi
kepemimpinan berdasarkan gaya kepemimpinan
kepedulian akan orang dan kepedulian akan produksi,
yang pada hakekatnya mewakili dimensi struktur dan
pertimbangan pada penelitian Ohio, atau sama dengan
berorientasi karyawan dan berorientasi produksi pada
penelitian Michigan. Kisi-kisi Manajerial adalah matriks
sembilan kali sembilan yang menjabarkan 81 gaya
kepemimpinan yang berbeda, dengan ilustrasi sebagai
berikut:

Kisi-kisi Manajerial
Tinggi
9
8
7
Perhatian pada orang

6
5 5,5
4
3
2
1 1,1 9,1

1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rendah perhatian pada produksi Tinggi

188
Pada kisi-kisi manajerial yang digambarkan di atas dapat
dilihat bahwa masing-masing sumbu memiliki 9 posisi
dari tingkat rendah sampai kepada tingkat tinggi.
Pertemuan dari masing-masing sumbu menghasilkan 81
posisi yang berbeda yang di dalamnya pemimpin bisa
ditempatkan. Kisi-kisi tersebut tidak menunjukkan hasil
yang diproduksi, melainkan lebih didominasi oleh faktor
pemikiran pemimpin dalam rangka memperoleh hasil.
Berdasarkan hasil pemikiran Blake dan Mouton, para
manajer berkinerja paling baik pada posisi 9,9, jika
dibandingkan dengan posisi 9,1 (tipe otoritas) atau posisi
1,9 (tipe laissez faire). Sayangnya kisi-kisi tersebut hanya
menawarkan kerangka kerja untuk mengkonsepkan gaya
kepemimpinan, tidak mampu menyajikan informasi baru
yang nyata untuk mengurai keruwetan masalah
kepemimpinan. Oleh karena itu, tidak banyak bukti yang
dapat mendukung bahwa posisi kepemimpinan 9,9
merupakan gaya yang paling efektif dalam semua situasi.
4) Penelitian Skandinavia
Ketiga penelitian yang dikemukakan di atas dilakukan
antara tahun 1940-an sampai dengan awal tahun 1960-an.
Pada saat itu kondisi dunia dalam keadaan stabil dan
relatif mudah diprediksi. Dengan demikian, kesimpulan-
kesimpulan yang dihasilkannya tidak akan mampu
mengatasi realitas yang lebih dinamis seperti keadaan
sekarang ini. Berdasarkan hal itu, para peneliti di
Skandinavia dan Finlandia telah melakukan kaji ulang,
apakah benar hanya terdapat dua dimensi yang
menyangkut hakikat perilaku kepemimpinan itu?
Jawaban sementara yang mereka ajukan adalah dalam
dunia yang terus berubah (dinamis), pemimpin yang
efektif akan menampakkan perilaku yang berorientasi

189
kepada pengembangan. Cirinya adalah pemimpin yang
mau menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru,
serta membuat dan mengimplementasikan perubahan.
Bukti awal yang diperoleh melalui penelitian ternyata
positif, bahwa kepemimpinan yang berorientasi
pengembangan memperoleh dukungan kuat, sebagai
dimensi terpisah dan independen. Hal ini berarti bahwa
semua pendekatan perilaku yang sudah dikemukakan
sebelumnya tidak memperoleh substansi kepemimpinan
abad ke-21 secara memadai. Penemuan lain yang tak
kalah pentingnya, kesimpulan awal tersebut perlu
diwaspadai karena di samping kurang banyak bukti yang
membenarkan, juga tampak bahwa pemimpin yang
menampakkan perilaku yang berorientasi pengembangan
mempunyai lebih banyak karyawan yang terpuaskan dan
dipandang sebagai lebih kompeten oleh karyawan yang
bersangkutan.
c. Teori Kontinjensi
Di Amerika terdapat seorang pemimpin perusahaan yang
paling berhasil, ia dikenal dengan nama Linda Wachner.
Reputasinya sebagai bos sangat keras dan selama
beberapa tahun gaya kepemimpinanya berfungsi dengan
baik. Demikian juga Calvin Klein, dengan gaya
kepemimpinanya yang kasar bahkan sering merendahkan
karyawan di depan rekan-rekan mereka sendiri, dan
memicu pengunduran diri cepat di kalangan manajer
puncak, ia dikenal sebagai pemimpin yang berhasil
mengubah Warnaco menjadi perusahaan senilai $2,2
miliar. Gaya kepemimpinannya sama dengan Linda
Wachner, dan terbukti terpilih sebagai pemimpin paling
berhasil pada tahun 1993.
Sementara itu, waktu berubah, perkembangan bisnis pun
berubah, sedangkan LindaWachner tidak berubah, ia tetap

190
pada perilakunya yang dulu, keras. Maka, pada tahun
1998 bisnis perusahaan itu mengalami kegoncangan,
terpukul oleh penurunan permintaan atas produk-
produknya dan kemerosotan pangsa pasar. Bahkan
pendekatan keras kepala dan taktik kasar Wachner telah
menyingkirkan banyak eksekutif yang kompeten, dan
menjauhkan perusahaan itu dari para kreditor dan peminta
lisensi. Akhirnya, perusahaan tempat Wachner bekerja
mengajukan perlindungan kepailitan, dan Wachner
dipecat.
Berdasarkan sekelumit kisah Wachner tersebut, memberi
kejelasan kepada mereka yang sedang mencari kejelasan
tentang fenomena kepemimpinan, bahwa memperkirakan
kesuksesan kepemimpinan lebih rumit daripada
memisahkan beberapa karakter dan perilaku yang lebih
disukai. Hal lain yang harus digarisbawahi adalah apa
yang berlaku pada tahun 1990 tidak berlaku pada tahun
2000. Dengan demikian, para peneliti dapat
menyimpulkan bahwa gaya a cocok pada situasi ini, gaya
b cocok pada situasi lainnya, dan gaya c cocok untuk
kondisi dan situasi yang berbeda. Yang jelas, efektivitas
kepemimpinan bergantung juga kepada situasi yang
dihadapi dan hal lain yang mampu mengisolasi kondisi-
kondisi situasi itu.
Untuk memahami teori kontijensi ini, berikut
dikemukakan beberapa pendekatan yang termasuk teori
ini.
1) Model Kontijensi Fidler, yaitu teori bahwa kelompok-
kelompok efektif bergantung pada penyesuaian yang
tepat antara gaya kepemimpinan dalam berinteraksi
dengan bawahan dan tingkat di mana situasi tertentu
memberikan kendali dan pengaruh ke pemimpin itu.

191
Fidler meyakini bahwa faktor kunci bagi keberhasilan
kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan dasar
individu, sehingga berusaha mencari dasar gaya
tersebut. Untuk tujuan itu dia menciptakan instrumen
berupa kuesioner mitra kerja paling dihindari, yaitu
suatu instrumen yang mengklaim untuk mengukur
apakah seseorang berorientasi tugas atau hubungan.
Fidler berasumsi bahwa gaya kepemimpinan individu
bersifat tetap. Maka apabila menghadapi suatu kondisi
yang menuntut pemimpin yang berorientasi tugas
sedangkan orang yang berada dalam posisi
kepemimpinan berorientasi hubungan, cara
pemecahannya apakah situasinya yang dimodifikasi
atau pemimpinnya yang digeser dan diganti oleh
orang lain agar efektivitas optimum dapat dicapai.
Kesimpulan yang dikemukakan Fidler, apabila gaya
kepemiminan dasar individu telah diketahui, perlu
menyesuaikan pemimpin dengan situasi. Fidler
merekomendasikan tiga dimensi kontijensi, yaitu:
a) Hubungan pemimpin-anggota, dengan indikator
tingkat keyakinan, kepercayaan, dan
penghormatan bawahan terhadap pemimpin.
b) Struktur tugas, dengan indikator tingkat
pemroseduran penugasan pekerjaan, yakni
terstruktur atau tidak terstruktur.
c) Kekuasaan jabatan, dengan indikator tingkat
pengaruh yang dimiliki pemimpin terhadap
variabel kekuasaan seperti mempekerjakan,
memecat, mendisiplinkan, mempromosikan, dan
menaikkan gaji.

192
Selanjutnya ketiga situasi tersebut dievaluasi, apakah
hubungan pemimpin-anggota baik atau buruk?
Apakah struktur tugas tinggi atau rendah? Apakah
kekuasaanm jabatan kuat atau lemah? Dari hasil
evaluasi dapat dinyatakan bahwa semakin baik
hubungan pemimpin-anggota, semakin terstruktur
pekerjaan, dan semakin kuat kekuasaan jabatan, maka
semakin banyak kendali yang dimiliki pemimpin
untuk mempengaruhi bawahan.
Dalam menyesuaikan pemimpin dengan situasi, Fidler
menyarankan penyesuaian gaya kepemimpinan dasar
dan penilaian terhadap tiga dimensi kontijensi.
Contoh :
Gaya kepemimpinan Orientasi Tugas
Gaya kepemimpinan Orientasi Hubungan

Baik

Kinerja

Rendah

Menyenangkan Sedang Tidak menyenangkan

Kategori I II III IV V VI VII VIII

Hub. pemimpin-
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
anggota

Struktur Tugas Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

Kekuasaan
Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah
Jabatan

193
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat diinterpretasikan :
Gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas
cenderung berkinerja lebih baik dalam situasi pada
kategori I,II, III, VII, atau VIII.
Gaya kepemimpinan yang berorientasi hubungan
cenderung akan berkinerja lebih baik dalam situasi
pada kategori IV atau VI.
Walaupun demikian, penerapan teori ini di tempat
Anda, masih harus mempertimbangkan situasi
setempat.
2) Teori situasional Hersey dan Blanchard dengan teori
kepemimpinan Situasional (situational leadership
theory-SLT), yaitu teori kontijensi yang berfokus pada
kesiapan pengikut.
Pada hakekatnya SLT memandang bahwa hubungan
pemimpin dengan pengikut dianalogikan dengan
hubungan orang tua dan anak. Dalam hal ini, orang
tua perlu melepas kendali manakala anak-anak
mereka telah tumbuh lebih matang dan
bertanggungjawab, demikian pula seorang pemimpn.
Dalam teori ini, teridentifikasi empat perilaku
pemimpin yang spesifik, mulai dari yang sangat
direktif sampai kepada yang bersifat bebas. Perilaku
yang paling efektif bergantung kepada kemampuan
dan motivasi pengikut.
Menurut teori ini, apabila pengikut tidak mampu dan
tidak ingin melakukan tugas, pemimpin perlu
memberikan arahan yang khusus dan jelas. Tetapi
apabila para pengikut tidak mampu dan ingin,
pemimpin perlu memaparkan orientasi tugas yang
tinggi untuk mengkompensasi kekurangmampuan
para pengikut dan orientasi hubungan yang tinggi

194
untuk membuat para pengikut menyesuaikan diri
dengan keinginan pemimpin.
Apabila para pengikut mampu dan tidak ingin,
pemimpin perlu menggunakan gaya yang mendukung
dan partisipatif. Jika karyawan mampu dan ingin para
pemimpin tidak perlu berbuat banyak.
Teori ini mengakui pentingnya para pengikut dan
popularitas pemimpin, sehingga memiliki daya tarik
tersendiri. Tetapi dalam penerapannya, tetap harus
berhati-hati, karena penjelasan-penjelasannya
mungkin memiliki dua makna sehingga tidak mutlak.
3) Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota, para pemimpin
menciptakan kelompok dalam dan kelompok luar, dan
bawahan dengan status kelompok dalam akan
berkinerja lebih tinggi, memiliki tingkat pengunduran
diri lebih rendah, dan tingkat kepuasan kerja lebih
tinggi.
Teori ini mengemukakan bahwa pada awal sejarah
mengenai interaksi antara pemimpin dengan bawahan
tertentu, si pemimpin secara implisit mengkategorikan
bawahan sebagai orang dalam atau orang luar dan
hubungan itu relatif stabil dari waktu ke waktu.
Bagaimana si pemimpin memilih siapa yang masuk
ke tiap kategori memang tidak jelas, tetapi para
pemimpin cenderung memilih anggota kelompok
dalam karena mereka mempunyai sikap dan
karakteristik pribadi yang serupa dengan pemimpin,
atau memiliki kompetensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok luar. Terdapat satu
hal yang harus diperhatikan bahwa walaupun
pemimpin memiliki wewenang untuk memilih, tetapi
yang mendorong pemimpin melakukan pilihan

195
tersebut bergantung kepada karakteristik pengikut itu
sendiri. Para pemimpin menaruh harapan besar
terhadap para pengikut dari kelompok dalam, karena
mereka dianggap lebih kompeten sehingga
diperkirakan akan berkinerja lebih baik.
4) Teori Jalur Sasaran, yaitu teori yang menyatakan
bahwa tugas pemimpin adalah mendampingi pengikut
dalam meraih sasaran mereka dan memberikan
pengarahan dan/atau dukungan yang perlu untuk
menjamin sasaran mereka selaras dengan sasaran
keseluruhan kelompok atau organisasi.
Isatilah jalur sasaran yang digunakan dalam teori ini
berdasarkan keyakinan bahwa pemimpin yang efektif
membersihkan jalur untuk membantu pengikut
berangkat dari tempat awal menuju kepada
pencapaian sasaran kerja. Di samping itu untuk
membantu para pengikut melakukan perjalanan
sepanjang jalur itu secara lebih mudah dengan
mengurangi hambatan dan perangkap.
Terdapat empat macam perilaku pemimpin dalam
teori ini, yaitu:
a) Pemimpin direktif, yaitu memberi kesempatan
kepada pengikutnya untuk mengetahui apa yang
diharapkan dari mereka, menjadwalkan pekerjaan
yang akan dilakukan, dan memberi pedoman yang
spesifik mengenai cara menyelesaikan tugas.
b) Pemimpin suportif, yaitu berperilaku ramah dan
menunjukkan perhatian akan kebutuhan para
pengikut.
c) Pemimpin partisipatif, bersedia melakukan
konsultasi dengan bawahan dan menggunakan
saran mereka sebelum mengambil keputusan.

196
d) Pemimpin berorientasi prestasi, yaitu menetapkan
serangkaian sasaran yang menantang dan
mengharapkan bawahan untuk berprestasi pada
tingkat tertinggi mereka.
Teori ini menganggap bahwa para pemimpin
bersifat luwes dan pemimpin dapat menampakkan
setiap atau semua perilaku ini tergantung kepada
situasi yang dihadapi. Dalam prakteknya keempat
perilaku pemimpin tersebut akan dipengaruhi oleh
dua variabel situasi yang akan melunakkan
hubungan perilaku pemimpin dengan hasil. Kedua
variabel tersebut adalah faktor kontijensi
lingkungan dan faktor kontijensi bawahan.
Berikut dikemukakan ilustrasi teori jalur sasaran.

Faktor Kontijensi
lingkungan:
 Struktur tugas
 Sistem otoritas/
wewenang resmi
 Kelompok kerja
Perilaku Pemimpin :
 Direktif HASIL:
 Suportif  Kinerja
 Partisipatif  Kepuasan
 Berorientasi
prestasi
Faktor Kontijensi
bawahan:
 Lokus kendali
 Pengalaman
 Persepsi
kemampuan

Gambar: 5.1
Teori Jalur Sasaran

197
Dengan melihat ilustrasi di atas, dapat
diinterpretasikan bahwa faktor lingkungan akan
mempengaruhi perilaku pemimpin yang disyaratkan
sebagai pelengkap agar produktivitas kerja bawahan
maksimal. Sedangkan faktor bawahan menentukan
cara menafsirkan lingkungan dan perilaku pemimpin
itu. Dari jalur sasaran ini, dapat diperkirakan hal-hal
sebagai berikut:
a) Kepemimpinan direktif akan menghasilkan
kepuasan yang lebih besar apabila tugas-tugas
bersifat ambigu dibandingkan tugas-tugas yang
sangat terstruktur dan tertata dengan baik.
b) Kepemimpinan suportif menghasilkan kinerja dan
kepuasan karyawan yang tinggi bila bawahan
mengerjakan tugas yang terstruktur.
c) Kepemimpinan direktif cenderung dipersepsikan
sebagai berlebihan apabila bawahannya memiliki
kemampuan pemahaman yang tinggi atau
pengalaman yang cukup banyak.
d) Bawahan yang memiliki lokus kendali internal
(mereka yakin dapat mengendalikan nasibnya
sendiri) akan lebih puas atas gaya kepemimpinan
partisipatif.
e) Kepemimpinan yang berorientasi prestasi akan
meningkatkan pengharapan bawahan bahwa upaya
yang dilakukan akan menghasilkan kinerja yang
tinggi bila tugas-tugas itu strukturnya ambigu.
5) Model Partisipasi Pemimpin, yaitu teori
kepemimpinan yang memberikan serangkaian aturan
untuk menentukan bentuk dan banyaknya

198
pengambilan keputusan partisipasi dalam situasi-
situasi berbeda.
Menurut penemu teori ini (Victor Vroom dan Phillip
Yetton), pemimpin harus menyesuaikan diri agar
dapat mencerminkan struktur tugas. Untuk hal itu
Vroom memberikan seperangkat aturan yang
seharusnya diikuti dalam rangka menentukan ragam
dan banyaknya partisipasi yang diinginkan dalam
pengambilan keputusan yang ditentukan oleh jenis
situasi yang berlainan. Dalam memilihnya tinggal
membuat pilihan, ya atau tidak. Semula, aturan
tersebut mengacu kepada lima gaya kepemimpinan
alternatif, kemudian dikembangkan menjadi 12
variabel kontijensi sebagai berikut:
a) Pentingnya keputusan
b) Pentingnya pencapaian komitmen pengikut
terhadap keputusan
c) Apakah pemimpin mempunyai informasi yang
cukup sehingga mampu membuat keputusan yang
baik?
d) Seberapa baik struktur masalah yang ada
e) Apakah keputusan akan mendapatkan komitmen
pengikut?
f) Apakah pengikut mempercayai sasaran
organisasi?
g) Apakah terdapat kemungkinan konflik di antara
para pengikut terhadap alternatif-alternatif solusi?
h) Apakah para pengikut mempunyai informasi yang
cukup sehingga mampu membuat keputusan yang
baik?
i) Keterbatasan-keterbatasan waktu pemimpin yang
mungkin membatasi keterlibatan pengikut
j) Apakah biaya untuk menyatukan para anggota
yang secara geografis tersebar itu layak?

199
k) Pentingnya pemimpin meminimalkan waktu yang
diperlukan untuk membuat keputusan
l) Pentingnya penggunaan partisipasi sebagai alat
untuk membangun keterampilan keputusan
pengikut.

Namun demikian, dalam membuat keputusan yang


baik, amat tidak bijaksana jika hanya mengandalkan
dua belas variabel di atas. Artinya, walaupun Vroom
terkenal ahli dalam merancang variabel-variabel
kontijensi untuk memandu para manajer dalam
menentukan keputusan yang baik, tetapi tidak ada
satu pun teori yang terbaik, karena masing-masing
memiliki kelebihan dan kelemahan. Apalagi bagi
seorang pemimpin dalam memilih gaya
kepemimpinan, perlu mempertimbangkan hal lain
sesuai situasi dan kondisi di tempat kerja masing-
masing.

4. Implikasi bagi Manajer


Dalam memahami perilaku kelompok pemimpin
memegang peranan penting, karena pemimpinlah yang
biasanya memberikan pengarahan kepada anggota kelompok
dalam upaya mencapai sasaran. Oleh karena itu, seorang
pemimpin perlu memiliki kemampuan yang akurat dalam
memperkirakan situasi.
Langkah awal dalam mencari ciri-ciri kepemimpinan
universal kurang berhasil, paling-paling hanya bisa dikatakan
bahwa inividu yang berambisi, memiliki energi tinggi,
keinginan untuk memimpin, kepercayaan diri, intelegensia,
memiliki pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan,
dianggap jujur dan dapat dipercaya, serta luwes lebih

200
mungkin berhasil sebagai pemimpin daripada individu-
individu yang tidak memiliki sifat-sifat itu. Setelah
membahas teori dasar tentang kepemimpinan, setidaknya
para manajer memiliki pemahaman sebagai berikut:
a. Berdasarkan teori Kepribadian, dalam memilih calon
pemimpin, setidaknya harus memperhatikan individu
yang berambisi, memiliki energi tinggi, keinginan untuk
memimpin, kepercayaan diri, intelegensia, memiliki
pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan, jujur dan
dapat dipercaya, dan luwes.
b. Berdasarkan teori prilaku, mempersempit gaya
kepemimpinan menjadi gaya yang berorientasi kepada
tugas dan orang dalam mencapai prestasi. Hanya kurang
efektif dalam berbagai situasi.
c. Berdasarkan teori kontijensi, gaya kepemimpinan
menyesuaikan diri dengan tingkat stress, tingkat
dukungan kelompok, intelegensi pemimpin, karakteristik
pengikut, pengalaman, kemampuan, dan motivasi.

5.4 Kepemimpinan Islam


Di dunia akademis, teori kepemimpinan didominasi
oleh hasil pemikiran para teoretikus Barat, demikian juga
disiplin ilmu yang lain. Dalam buku ini, sengaja ditambah
dengan membahas teori kepemimpinan bardasarkan ajaran
Islam untuk mengimbangi gencarnya teori tersebut.
Dalam ajaran Islam, ilmu pengetahuan tentang
kepemimpinan tidak sekedar teori belaka, melainkan telah
ada pigur yang jelas untuk diteladani, yakni Nabi Muhammad
saw. yang reputasinya telah teruji dan terbukti tangguh serta
diakui oleh masyarakat dunia. Oleh karena itu, ironis apabila

201
umat Islam hanya berkiblat kepada teori barat tentang
kepemimpinan.
Dalam ajaran Islam, memilih pemimpin merupakan
kebutuhan mutlak, sebagaimana sabda Rosulullah saw. yang
menyatakan bahwa ”Apabila berangkat tiga orang dalam
perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah
seorang diantara mereka menjadi pemimpin”. Demikian juga
hadits yang diriwayatkan Ahmad mengemukakan bahwa
”Tidak boleh tiga orang yang berada di padang belantara,
kecuali mereka mengangkat salah seorang diantaranya untuk
menjadi pemimpin mereka”. Dengan demikian, dalam Islam
memilih pemimpin penting, walaupun anggotanya hanya dua
orang saja.
Secara umum, corak kepemimpinan dalam Islam
tercermin dalam praktek solat berjamaah. Antara yang
memimpin (imam), dengan pihak yang dipimpin (ma’mum)
memiliki jalinan kerjasama yang ideal. Masing-masing
memahami dan menyadari hak dan kewajiban serta posisinya.
Para pengikut siap tunduk dan patuh kepada aturan yang
berlaku dan semua bersedia mengikuti imam tanpa banyak
menuntut, karena tujuan dan sasaran sudah sangat jelas, yakni
sama-sama mencari keridhoan Allah SWT. Di pihak lain,
Imam pun tidak berani melanggar aturan yang berlaku. Setiap
saat siap menerima saran apabila khilaf atau lupa, bahkan
apabila tiba-tiba tidak memenuhi syarat dan rukun sebagai
imam (batal), dengan sepenuh hati bersedia mundur dan
menyerahkan kepemimpinan kepada penggantinya yang lebih
berhak dan memenuhi syarat.
Untuk memperoleh pemimpin yang diharapkan
memang tidak mudah. Namun demikian perlu terus
diupayakan agar tidak salah memilih, karena kehadiran
seorang pemimpin dalam kehidupan sosial tetap dibutuhkan.
Menurut para ahli, secara individu terdapat beberapa syarat

202
yang harus dipenuhi, diantaranya memiliki sifat-sifat
kepemimpinan yang baik, yaitu :
a. Beriman dan bertakwa, sebagai pijakan awal dalam
berpikir dan bertindak agar tidak menyesatkan diri sendiri
dan umatnya.
b. Memiliki kelebihan jasmani, mengacu kepada firman
Allah dalam QS Al Baqarah ayat 247 yang artinya
”Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu
dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa."
c. Terampil dan berpengetahuan, yang sangat dibutuhkan
dalam praktek kepemimpinan.
d. Memiliki kelebihan batin dan kelembutan jiwa, seperti
yang diisyaratkan Allah dalam QS Ali Imran ayat 173
yang artinya ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.
e. Keberanian, berani dalam arti bertanggungjawab serta
penuh perhitungan. Bukan berani babi karena napsu dan
tanpa alasan, melainkan keberanian karena bersandar
kepada kekuasaan Allah, dalam arti hanya takut kepada
Allah dalam menegakkan kebenaran. Keberanian yang
dimaksud adalah keberanian seperti yang dikemukakan
dalam firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 173 yang
artinya ”Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan
Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang

203
mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena
itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab:
"Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah
adalah sebaik-baik Pelindung."
f. Adil dan jujur, merupakan sifat yang amat penting dalam
melayani umat (publik). Adil dan jujur ini sesuai dengan
firman Allah dalam QS Ash Shaad ayat 22 yang artinya
”Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut
karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata:
"Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang
yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat
dzalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara
kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari
kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus”.
g. Bijaksana atau kearifan, yang sangat dibutuhkan untuk
menghadapi berbagai persoalan, agar pihak yang
dipimpin mengerti dan memahami atas kesadaran sendiri
dan tidak merasa digurui, hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam QS Al Baqarah ayat 260 yang artinya ”Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,
perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?".
Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi
agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah
berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor
burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah
berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit
satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan
segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”.

204
h. Demokratis, dalam arti mampu memecahkan persoalan
melalui musyawarah, sesuai dengan firman Allah dalam
QS Asy Syuro ayat 38 yang artinya ”Dan (bagi) orang-
orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka”
i. Penyantun, sesuai dengan firman Allah dalam QS Al
Baqarah ayat 263 yang artinya ”Perkataan yang baik dan
pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”.
j. Paham keadaan umat, yang sangat bermanfaat untuk
pengambilan keputusan yang berpihak kepada orang
banyak.
k. Ikhlas dan rela berkorban, sebagai pondasi untuk bekerja
dengan penuh rasa tanggungjawab serta memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan umat.
l. Sederhana atau qanaah, mau menerima dengan ikhlas apa
yang sudah menjadi miliknya.
m. Istiqamah, yaitu teguh pendirian yang didasari keyakinan
bahwa ia berdiri di jalan yang benar, sesuai dengan
firman Allah dalam QS Al Ahqaaf ayat 13 yang artinya
”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
mereka tiada (pula) berduka cita”.
n. Akhlakul karimah, yaitu sifat-sifat mulia seperti jujur,
amanah, dermawan, tidak ingkar janji, bertanggungjawab,
berprasangka baik, dan lain-lain.

205
Dari sudut pandang manajemen, terdapat tiga
pendekatan dalam manajemen Islam, yaitu tauhid, akhlak,
dan syari’ah.
Tauhid, dalam arti memiliki keyakinan bahwa tidak ada
Tuhan kecuali Allah. Berdasarkan keyakinan tersebut
manusia menyadari akan posisinya sebagai khalifah di muka
bumi (sebagai pengurus atau manajer), yang mengemban
amanah dari Allah yang wajib ditunaikannya selama hidup di
dunia, sekaligus sebagai pengabdi Allah sepenuh hati
sepenuh jiwa.
Akhlak, erat kaitannya dengan perilaku pemimpin.
Pendekatan ini menempatkan Islam sebagai sumber sistem
nilai yang mewarnai sikap dan perilaku pemimpin atau
manajer yang bertanggungjawab, memiliki kejujuran,
memiliki integritas pribadi yang tinggi, dan memiliki
kesungguhan dalam bekerja dengan penuh keikhlasan.
Pendekatan syari’ah dalam arti Islam dijadikan sebagai
sumber aturan dasar bagi pelaksanaan manajemen.
Implikasinya, menentukan benar dan salah, atau baik dan
buruk berpedoman kepada syariah Islam.
Teori dasar kepemimpinan Islam telah dibuktikan
keunggulannya dalam praktek, sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian,
selain terdapat teori yang dapat dipelajari juga telah ada pigur
yang dapat dijadikan teladan. Berkenaan dengan teori dan
gaya kepemimpinan, dari beberapa literatur ditemukan bahwa
kepemimpinan Nabi Muhammad saw. berorientasi prestasi
(achievement oriented), melalui gaya kepemimpinan budi
luhur, akhlak yang agung, dan keteladan yang konsisten.
Dalam beberapa hal, apa yang ingin beliau sampaikan kepada
umat terlebih dahulu dilakukannya sendiri sebelum orang lain

206
melakukannya. Dalam menyampaikan pesan senantiasa
memperhatikan situasi, sistematis, dan tidak memberatkan.
Di samping itu, keberhasilan Nabi Muhammad saw
dalam menjalankan kepemimpinannya bermodalkan kasih
sayang yang tulus, bahkan kepada pihak yang membenci dan
memusuhi pun beliau tetap menaruh kasih sayang secara
tulus. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri, sehingga
beliau disegani dan dihormati oleh siapa pun, baik kawan
maupun lawan, bahkan konsep rohmatan lil ’alamiin bukan
sekedar kata tanpa makna melainkan dapat dirasakan oleh
masyarakat dunia.

207
BAB VI
PERILAKU ORGANISASI

6.1 Organisasi Pembelajaran


Dewasa ini organisasi pembelajaran sangat diminati oleh
para ahli manajemen dan teori organisasi sebagai upaya untuk
mengantisipasi situasi lingkungan yang senantiasa berubah.
Pada bab ini akan dikemukakan pengertian organisasi
pembelajaran, mengelola pembelajaran, manajemen pengeta-
huan, mengelola perubahan, karakeristik organisasi
pembelajaran, dan teori lain yang berkaitan dengan belajar
dalam organisasi.

1. Pengertian
Menurut Robbins (2007:787),” Organisasi pembelajaran
adalah organisasi yang telah mengembangkan kapasitas
berkesinambung sehingga mampu menyesuaikan diri dan
berubah”. Pandangan demikian berdasarkan pakta bahwa
individu itu belajar, demikian juga dengan organisasi.
Dengan demikian semua organisasi akan mengalami hal
yang sama dalam proses pembelajaran, langsung atau tidak
langsung, disadari atau tidak, karena proses pembelajaran
merupakan dasar utama untuk mempertahankan eksistensi
organisasi yang bersangkutan.
Pada umumnya organisasi pembelajaran dilakukan
dengan dua cara, yakni pembelajaran putaran tunggal dan
pembelajaran putaran rangkap.
Pembelajaran putaran tunggal banyak digunakan di
sebagian besar organisasi. Dalam prakteknya, apabila
ditemukan adanya suatu kekeliruan, proses perbaikan

208
mengandalkan kebiasaan rutin di masa lalu yang dipadukan
dengan kebijakan masa kini.
Pada organisai yang menggunakan pembelajaran
putaran rangkap, apabila ditemukan adanya suatu kekeliruan,
proses pemecahannya dilakukan dengan cara-cara yang lebih
luas, meliputi modifikasi sasaran, kebijakan, dan kerutinan
baku organisasi yang bersangkutan. Pembelajaran organisasi
dengan cara ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena
menantang asumsi dan norma yang telah berurat berakar dalam
organisasi. Tetapi dengan menggunakan pembelajaran putaran
rangkap memberikan kesempatan dalam pemecahan masalah
yang luar biasa, memberikan pemecahan yang berbeda untuk
tiap-tiap masalah, dan memberikan loncatan perbaikan yang
dramatis.
Untuk memahami lebih mendalam tentang pengertian
organisasi pembelajaran perlu mengetahui karakteristiknya,
yang akan dikemukakan pada pembahasan selanjutnya. Di
samping itu, perlu juga diketahui bahwa untuk dapat
merealisasikan organisasi pembelajaran kita harus
membayangkan suatu organisasi yang ideal. Bukan organisasi
yang telah lama ada dengan deskripsi realistis dan kegiatan
yang terstruktur. Bayangkan suatu organisasi dengan konsep
perilaku organisasi sebelumnya yang memiliki komitment
terhadap manajemen mutu, budaya organisasi, organisasi tanpa
tapal batas, konflik fungsional, dan kepemimpinan yang
transformasional. Misalnya, organisasi pembelajaran
berkomitmen terhadap manajemen mutu untuk perbaikan
terus-menerus. Komitmen terhadap perbaikan terus-menerus
inilah yang akan membuka peluang untuk terus belajar demi
menjaga eksistensi organisasi. Namun demikian, kegiatan
pembelajaran dalam organisasi harus dikelola dengan sebaik-
baiknya agar terpadu dengan kegiatan lainnya serta
memberikan manfaat bagi organisasi sesuai tujuannya.

209
2. Mengelola Pembelajaran

Dalam menciptakan organisasi pembelajaran diperlukan


cara tersendiri, dalam arti bahwa apabila organisasi yang ada
sekarang belum memenuhi kriteria organisasi pembelajaran
harus dilakukan perubahan. Terdapat tiga cara yang dapat
digunakan dalam melakukan perubahan tersebut, yaitu:
a. Menetapkan strategi
Dalam menetapkan strategi manajemen perlu
mengeksplisitkan komitmennya terhadap perubahan,
inovasi, dan perbaikan yang terus-menerus.
b. Merancang ulang struktur organisasi
Struktur formal dapat menjadi rintangan yang serius bagi
proses pembelajaran. Oleh karena itu, dengan mendatarkan
struktur, menghapus atau menggabung departemen-
departemen, dan meningkatkan penggunaan tim lintas
fungsi akan mengurangi saling ketergantungan dan tapal
batas antara orang-orang akan berkurang.
c. Membentuk ulang budaya organisasi
Salah satu ciri organisasi pembelajaran adalah pengambilan
risiko, keterbukaan, dan pertumbuhan. Manajemen
menentukan nuansa budaya organisasi melalui apa yang
dinamakan strategi dan apa yang akan dilakukan (perilaku).
Dalam hal ini, para manajer perlu menunjukkan melalui
tindakan mereka bahwa pengambilan risiko dan pengakuan
terhadap kegagalan merupakan ciri yang diinginkan. Hal
ini berarti bahwa perlu memberi imbalan bagi orang-orang
yang berani mengambil risiko walaupun terjadi kesalahan.
Manajemen perlu juga mendorong tumbuhnya konflik
fungsional. Menurut para pakar organisasi pembelajaran,
kata kunci untuk membuka keterbukaan yang nyata di
tempat kerja adalah mengajari orang untuk melepaskan
keharusan mengatakan setuju. Kebanyakan, orang

210
menganggap bahwa persetujuan begitu penting dalam
organisasi, padahal seorang manajer harus mampu
membawa konflik dan dilema ke tempat terbuka, agar
dapat lebih bijak secara kolektif daripada secara individual.
3. Manajemen Pengetahuan

Manajemen pengetahuan adalah proses pengorganisasian


dan pendistribusian kebijakan kolektif organisasi sehingga
informasi yang tepat sampai pada orang yang tepat dan pada
saat yang tepat.
Apabila manajemen pengetahuan dilakukan secara tepat
akan memberikan keunggulan bersaing kepada organisasi yang
bersangkutan sekaligus meningkatkan kinerja organisasi,
karena manajemen pengetahuan akan membuat karyawan
menjadi cerdas.
Dewasa ini manajemen pengetahuan menjadi amat
penting, sekurang-kurangnya karena tiga alasan, yaitu :
a. Pada umumnya, organisasi sekarang beranggapan bahwa
aset pengetahuan sama pentingnya dengan aset fisik dan
finansial. Organisasi yang memiliki pengetahuan, dapat
secara cepat dan efisien dalam memanfaatkan pengalaman
dan kebijakan kolektif, sehingga lebih mungkin untuk
mampu mengungguli para pesaingnya.
b. Generasi penerus akan kehilangan pengetahuan apabila
tidak ada upaya pewarisan ilmu pengetahuan melalui
proses regenerasi keilmuan.
c. Sistem manajemen pengetahuan yang dirancang dengan
baik membuat organisasi lebih efisien. Misalnya, apabila
karyawan di sebuah organisasi besar menangani proyek
baru, umumnya mereka tidak peduli dari awal. Sistem
manajemen pengetahuan dapat memungkinkan mereka

211
untuk mengakses apa yang sudah dipelajari karyawan
sebelumnya dan mengurangi pemborosan waktu yang
digunakan untuk menelusuri kembali jalur yang sudah
dilalui. Bagaimana agar informasi itu mudah diakses oleh
karyawan? Tentu saja organisasi harus memiliki basis data
yang lengkap, tercatat dan tersedia dalam komputer. Perlu
juga diciptakan budaya yang mendukung dan memberi
imbalan atas sumbangan informasi (sharing) yang
diberikan, serta harus ada upaya pengembangan
mekanisme yang memungkinkan karyawan yang telah
mengembangkan keahlian dan kajian yang bernilai untuk
memperoleh penghargaan.
Proses manajemen pengetahuan dimulai dari
mengidentifikasi hubungan pengetahuan dengan organisasi.
Misalnya perekayasaan proses, manajemen perlu meninjau
proses untuk mengidentifikasi apa saja yang memberikan nilai
paling banyak. Kemudian mengembangkan jaringan komputer
dan basis data yang dapat membuat informasi itu tersedia bagi
orang yang paling membutuhkan.
Namun demikian, perlu juga diperhatikan bahwa
manajemen pengetahuan tidak akan berjalan dengan baik
apabila tidak ditumbuhkan budaya sharing informasi dan
pengetahuan. Informasi yang penting dan langka
kemungkinan dapat menjadi sumber kekuatan besar bagi
organisasi, dan orang yang memiliki kekuatan itu biasanya
enggan berbagi informasi dengan orang lain. Oleh karena itu,
manajemen pengetahuan harus menciptakan mekanisme yang
baik guna memberikan motivasi bagi karyawan agar mau
berbagi informasi yang dirasa oleh karyawan akan bermanfaat
bagi kemajuan organisasi. Satu hal lagi yang perlu diketahui
bahwa banyak pengetahuan tidak berarti lebih baik, dalam arti
penerimaan informasi harus selektif sesuai kebutuhan.

212
Pengetahuan dan informasi yang dipilih adalah informasi yang
erat kaitannya dengan bidang garapan organisasi itu.
4. Mengelola perubahan
Menurut hasil pengamatan dan analisa para pakar
organisasi, pada kurun waktu 1940 sampai dengan 1960-an
kondisi lingkungan relatif stabil dan dapat diprediksi, sehingga
perencanaan jangka panjang dapat menjangkau 10 atau 15
tahun ke depan. Perubahan memang terjadi, tetapi iramanya
tidak terlalu cepat dan masih dapat diimbangi dengan
manuver-manuver sederhana.
Tetapi, pada akhir abad ke-20 suasana berubah total,
kondisi lingkungan organisasi menghadapi perubahan sosial
yang sangat cepat. Oleh karena itu, terjadi perubahan
paradigma dalam perencanaan, misalnya perencanaan jangka
panjang menjadi lebih pendek, hanya sekitar 5 tahun ke depan.
Perubahan-perubahan tersebut menuntut para manajer untuk
cepat tanggap agar mampu mengatasinya agar organisasi tetap
hidup di tengah-tengah lingkungannya. Konsekuensinya,
organisasi yang bersangkutan harus mampu melakukan
perubahan dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Isu-isu perubahan yang terjadi terikat pada budaya,
sehingga orang akan berbeda dalam memahaminya. Maka
dalam mengelola perubahan, terdapat lima pertanyaan yang
perlu dijawab secara bijak agar dapat diwujudkan. yaitu:
a. Yakinkah, bahwa perubahan itu mungkin?
Dilihat dari segi keyakinan akan kemampuannya dalam
mengendalikan lingkungan, budaya itu beranekaragam.
Dalam suatu budaya yang di dalamnya terdapat orang yang
memiliki keyakinan bahwa budaya dapat mendominasi
lingkungan, individu akan proaktif terhadap perubahan.
Sebaliknya, di lingkungan yang di dalamnya terdapat orang

213
yang tunduk kepada budaya, individu akan pasif terhadap
perubahan.

b. Jika mungkin, berapa lama perubahan itu dapat


diwujudkan?
Budaya tertentu dapat menjawab pertanyaan ini, karena
orientasi waktu erat kaitannya dengan budaya setempat.
Misalnya, masyarakat yang memfokuskan perubahan
dalam jangka panjang, mereka memiliki kesabaran yang
tinggi untuk menunggu hasil perubahan yang positif atas
upaya yang sedang dilakukan (banyak terjadi di Jepang).
Bagi mereka, perubahan cepat tetapi tanpa arah sangat
tidak diharapkan. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang
berorientasi kepada waktu jangka pendek, akan berusaha
melakukan perubahan dengan target waktu yang singkat
dan menjanjikan hasilnya dengan segera (kebanyakan di
Amerika dan Kanada).

c. Apakah penolakan terhadap perubahan itu lebih besar


dalam beberapa budaya dibanding dengan budaya lainnya?
Penolakan yang terjadi akan dipengaruhi oleh
ketergantungan masyarakat terhadap tradisi setempat.
Misalnya orang Italia, mereka memusatkan perhatian
kepada masa lalu. Sedangkan orang Amerika memusatkan
perhatian pada masa sekarang. Artinya, orang Italia lebih
besar kemungkinan menolak perubahan dibandingkan
dengan orang Amerika.

d. Apakah budaya mempengaruhi cara pelaksanaan upaya


perubahan?
Diakui bahwa jarak kekuasaan memang dapat menjelaskan
hal ini. Kekuasaan yang tinggi, misalnya di Spanyol
perubahan cenderung akan dilakukan secara otokratik oleh
manajemen puncak. Sebaliknya, perubahan di lingkungan

214
kekuasaan yang berjarak rendah akan menghargai metode
demokratis. Sementara di Belanda dan Denmark, upaya
perubahan cenderung menggunakan pendekatan
partisipatif.
e. Apakah gagasan perubahan yang berhasil itu melakukan
sesuatu dengan cara yang berbeda dalam budaya yang
berbeda?
Secara umum jawabannya ”Ya”. Orang-orang yang berada
dalam budaya kolektivis lebih suka permintaan dukungan
lintas-fungsi untuk melakukan usaha inovasi. Sedangkan
orang yang berada di lingkungan budaya dengan jarak
kekuasaan yang tinggi lebih suka bekerja sama dengan para
tokoh penguasa.
Dengan mempelajari tanya-jawab di atas, para manajer
yang efektif akan mengubah strategi kemenangan
organisasinya sehingga mampu mencerminkan nilai-nilai
budaya. Intinya, dalam mengelola perubahan perhatikan
budaya yang berlaku di dalam dan di lingkungan organisasi.

5. Karakteristik organisasi pembelajaran


Bagi para manajer yang bermaksud untuk melakukan
perubahan terhadap organisasi menuju kepada organisasi
pembelajaran, dapat mempertimbangkan karakteristiknya.
Demikian juga untuk melihat apakah suatu organisasi dapat
dikategorikan organisasi pembelajaran atau tidak, salah
satunya dapat dilihat dari lima karakteristik di bawah ini.
a. Memiliki visi yang dituju dan disetujui oleh semua orang.
b. Orang meninggalkan cara lama dan rutin baku untuk
memecahkan masalah atau melakukan pekerjaan.
c. Anggota menganggap semua proses, fungsi dan hubungan
dengan lingkungan merupakan bagian dari sistem
antarhubungan.

215
d. Orang melakukan komunikasi secara terbuka dengan yang
lain (melalui lintas batas vertikal dan horizontal) tanpa rasa
takut akan kritikan atau tekanan.
e. Orang memperhalus kepentingan pribadinya dan
menanggalkan kepentingan departemen agar mampu
bekerja bersama mencapai visi yang diharapkan organisasi.

Dengan memperhatikan kelima karakteristik organisasi


pembelajaran di atas, akan terwujud organisasi pembelajaran
dengan merubah corak dari organisasi yang berpikiran lama
dan beralih kepada organisasi yang saling terbuka, memahami
cara kerja organisasi itu yang sebenarnya, membentuk rencana
atau visi yang dapat disepakati oleh semua orang, dan
kemudian bekerja bersama-sama untuk mencapai visi tersebut.

6. Belajar dalam Organisasi


Dalam organisasi terdapat satu hal yang sulit dihindari
dan mutlak adanya, yakni interaksi antarindividu. Dalam
interaksi tersebut akan terjadi proses komunikasi baik antara
perorangan dengan perorangan atau perorangan dengan
kelompok, bahkan kelompok dengan kelompok. Selanjutnya,
dalam proses komunikasi tersebut, siapa pun yang berinisiatif
apakah atasan atau bawahan sama-sama berharap agar apa
yang dikomunikasikan (pesan) dapat diterima dan dimengerti
oleh penerima pesan tersebut.
Pada saat seseorang menerima pesan dari siapa pun
sumbernya, akan terjadi persepsi yang menjadi dasar
terjadinya proses kognisi secara psikologis. Selanjutnya, dalam
proses kognisi terjadi tiga peristiwa penting yang bertautan,
yakni persepsi, belajar, dan pemecahan persoalan sebagai
upaya memilih prilaku yang akan dilakukannya.

216
Di antara tiga proses terdapat hubungan langsung antara
rangsangan yang datang dari luar dengan perilaku seseorang.
Pada diri seseorang yang menerima pesan akan terjadi
persepsi, yaitu memberi arti atau makna terhadap informasi
yang ia terima setelah dibandingkan dengan informasi yang
telah diketahui sebelumnya. Dalam organisasi, persepsi
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku
individu dan perilaku organisasi. Tidak sedikit kasus
perselisihan atau perbedaan pendapat yang disebabkan karena
perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi mengakibatkan adanya
perbedaan interpretasi yang akan menjadi penyebab atas
terjadinya perbedaan dalam memilih tindakan terhadap obyek
yang sama.
Persepsi sangat bersifat pribadi sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan perilaku dengan individu lainnya. Setelah
terjadi persepsi pada diri seseorang selanjutnya akan terjadi
proses belajar, yaitu suatu proses yang membuat suatu
informasi yang diperoleh melalui proses perseptual menjadi
memiliki arti dan makna bagi proses pemilihan tindakan,
karena proses belajar dapat membuat seseorang merubah
perilakunya. Melalui proses belajar, seseorang akan
membandingkan beberapa kemungkinan pilihan dalam
pemecahan persoalan, kemudian akan sampai kepada pilihan
tertentu. Proses pemecahan persoalan maknanya sama dengan
pengambilan keputusan yang diperlukan untuk memilih
tindakan yang tepat. Pilihan itulah yang akan direalisasikan
dalam tindakannya. Dengan demikian tampak bahwa persepsi,
belajar, dan pemecahan persoalan menjadi dasar utama
terhadap perilaku seseorang dalam organisasi. Keterkaitan
antara rangsangan (pesan atau informasi yang diterima dari
proses komunikasi), persepsi, proses belajar, pemecahan
persoalan terhadap perilaku (tindakan) seseorang digambarkan
sebagai berikut:

217
Rangsangan
(pesan)

Proses Kognisi

Persepsi

Proses belajar ;
Menghubungkan pengalaman
masa lampau dengan kenyataan
yang dihadapi

Pemecahan persoalan ;
Memilih kemungkinan
tindakan yang akan
diambil

Pemilihan tindakan

feed back
Perilaku

Gambar: 6.1
Proses Belajar

6.2 Perubahan Organisasi


Perubahan merupakan sesuatu yang biasa dalam
kehidupan sosial, demikian juga halnya dalam organisasi,
apalagi sekarang lingkungan organisasi terus-menerus

218
mengalami perubahan. Untuk masa sekarang dan masa yang
akan datang, para manajer harus cepat tanggap terhadap
perubahan lingkungan yang terjadi setiap saat. Maka dalam
bab ini akan dikemukakan kekuatan-kekuatan lingkungan yang
menuntut para manajer untuk melakukan perubahan secara
menyeluruh. Untuk memahami hal itu akan dikemukakan
tentang hakekat perubahan, pentingnya perubahan, dan
penolakan perubahan.

1. Hakekat Perubahan

Para pakar ilmu organisasi telah sejak lama memprediksi


bahwa pada abad 21 akan terjadi perubahan yang cepat dalam
berbagai hal, termasuk lingkungan. Setiap saat organisasi
menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis dan menuntut
organisasi untuk menyesuaikan diri. Hakekat mendasar dari
perubahan organisasi adalah ”Berubah atau Mati”. Ungkapan
ini begitu menggema, bagaikan teriakan lantang yang sambung
menyambung di antara para manajer seluruh dunia. Dengan
kata lain, apabila organisasai ingin tetap bertahan, berarti
perubahan organisasi mutlak diperlukan.
Fenomena organisasi bisnis dewasa ini harus berlapang
dada dalam menghadapi angkatan kerja yang jauh berbeda
dengan angkatan sebelumnya. Di samping itu, hampir semua
organisasi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan multi
budaya. Konsekuensinya kebijakan dan praktek pengelolaan
sumber daya manusia harus berubah agar mampu menarik dan
mempertahankan angkatan kerja yang lebih beranekaragam.
Maka banyak perusahaan yang harus mengeluarkan biaya
dalam jumlah besar untuk kepentingan pelatihan guna
meningkatkan kemampuan karyawan dalam bidang hukum,
matematika, komputer, dan keterampilan lainnya.

219
Hal lain yang memicu terjadinya perubahan organisasi
adalah perkembangan teknologi yang terus menerus. Misalnya
teknologi robot yang menggeser posisi tenaga kerja manusia
dan teknologi komputer yang merambah hampir seluruh
organisasi di dunia. Demikian juga teknologi komunikasi,
misalnya telepon genggam (HP) yang mampu menembus
berbagai lapisan masyarakat. Akibat kemajuan teknologi
tersebut langsung atau tidak sangat berpengaruh terhadap
perubahan prilaku manusia, baik dalam cara berbicara, cara
berpakaian, cara makan, dan cara berkomunikasi.

Dalam dunia usaha, jenis-jenis usaha baru bermunculan


seperti jamur di musim hujan. Bersamaan dengan itu, sejumlah
jenis usaha lain yang sudah tidak sesuai dengan perubahan
setiap hari berguguran, gulung tikar. Kondisi seperti ini sangat
berbeda dengan masa sekitar tahun 1950-1960-an, masa itu
merupakan masa pendahuluan yang cukup baik untuk
membangun masa depan. Kesuksesan di tahun-tahun tersebut,
seakan-akan menjadi soko guru untuk kesuksesan pada tahun
berikutnya. Sedangkan sekarang, kondisi seperti itu merupakan
hal yang jarang terjadi. Setiap saat dihadapkan kepada
perubahan yang cepat dan dihantui oleh ketidakpastian.

Kekuatan-kekuatan lingkungan yang menuntut


organisasi untuk berubah antara lain kejutan ekonomi.
Misalnya, kenaikan harga BBM beberapa kali lipat dalam
semalam, keesokan harinya organisasi mendapat desakan yang
sangat kuat untuk berubah sebagai akibat kenaikan harga
kebutuhan pokok. Ditambah lagi dengan ekonomi global yang
memungkinkan berdatangannya pesaing-pesaing asing dengan
berbagai variasi dan strategi bisnisnya. Organisasi yang
berhasil adalah organisasi yang mampu dengan cepat
mengatasi persaingan dengan melakukan perubahan, antara
lain dengan cara mengembangkan produk dan jasa baru dan

220
segera memasuki pasar. Memantapkan proses produksi yang
pendek, daur produk yang singkat, dan aliran produk baru
secara terus-menerus. Intinya mereka bertindak fleksibel,
menuntut angkatan kerja yang juga fleksibel dan
bertanggungjawab, serta dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi yang terus berubah.
Hal lain yang merupakan kekuatan lingkungan yang
akan mempengaruhi perubahan organisasi adalah trend sosial
yang tidak statis dan politik dunia. Dewasa ini setiap saat
orang-orang menerima informasi dari berbagai sumber, dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari terdapat perubahan dari segi
metode, yang semula mencari sekarang justru sebaliknya.
Setiap saat penjual datang ke rumah menawarkan berbagai
kebutuhan. Di samping itu urbanisasi semakin gencar,
sehingga corak kehidupan kota sedikit demi sedikit menjalar
ke desa-desa melalui orang-orang yang mudik dibantu oleh
informasi dari media massa yang mengalir setiap saat.
Akibatnya, trend sosial secara dinamis berubah dengan cepat.
Perubahan trend tersebut dikombinasikan dengan perubahan
politik dunia yang terus-menerus terjadi. Di penghujung abad
20 banyak peristiwa besar yang sangat mempengaruhi
perubahan organisasi, misalnya runtuhnya Uni Sovyet yang
mendongkrak kesombongan Amerika sebagai negara
Adikuasa, munculnya China sebagai pesaing ekonomi Barat,
perang Timur Tengah, diserangnya New York dan Washington
tanggal 11 September yang disusul dengan maraknya teroris,
dan sebagainya yang kesemuanya itu mempengaruhi sistem
politik dan pemerintahan di Indonesia.
Dari uraian di atas kiranya jelas bahwa di lingkungan
luar dari organisasi terdapat sejumlah kekuatan yang menjadi
pendorong terjadinya perubahan organisasi. Kiranya, ungkapan
berubah atau mati semakin mendapat alasan kuat untuk
dijadikan moto bagi para manajer yang memiliki wawasan

221
masa depan yang kuat. Dengan demikian, pahamlah kita
bahwa perubahan menjadi penting adanya.
Sebelum membahas tentang pentingnya perubahan,
berikut penulis tambahkan resume kekuatan-kekuatan
lingkungan sosial yang sangat mempengaruhi terjadinya
perubahan organisasi.
Tabel: 6.1
Kekuatan untuk Perubahan Organisasi

Kekuatan Contoh
Sifat tenaga kerja  Budayanya lebih beragam
 Kenaikan julah profesional
 Banyaknya pendatang baru dengan
keahlian yang tidak memadai
Teknologi  Komputer yang cepat murah
 Alat komunikasi yang lebih mudah dan
murah
 Kemampuan menguraikan kode genetik
manusia
Goncangan  Naik dan jatuhnya harga saham dot.com
ekonomi  Turunnya nilai Euro
 Rontoknya Enron Corp.
 Tidak stabilnya harga minyak dunia
Persaingan  Pesaing global
 Konsolidasi dan merger
 Pertumbuhan e-commerce
Trend Sosial  Ruang ngobrol di internet
 Pensiunnya generasi Baby Boomers
 Semakin tingginya minat tinggal di kota
Politik dunia  Meluasnya kekerasan di Timur Tengah
 Pembukaan pasar CINA
Perang terhadap teroris setelah peristiwa
WTC

222
2. Pentingnya perubahan
Sebagai ilustrasi, berikut penulis kemukakan dua contoh
berkenaan dengan pentingnya perubahan organisasi. Pada
suatu hari, pemilik suatu perusahaan terkejut melihat karyawan
yang bekerja di bagian pemasaran berbondong-bondong
mendatangi kantor. Setelah dilakukan pendekatan, seorang juru
bicara pihak karyawan berhadapan dengan pemilik perusahaan,
dan terjadilah konfrontasi tentang jadwal kerja yang kaku
dengan sejumlah dampak negatifnya bagi karyawan yang
bekerja di lapangan.
Peraturan yang berlaku di perusahaan tersebut, semua
karyawan bagian penjualan wajib bekerja mulai dari pukul
08.00 sampai dengan pukul 17.00. Karyawan mengaku sulit
untuk mempertahankan jam kerja yang kaku seperti itu. Setiap
karyawan rata-rata memiliki keluarga yang memerlukan
perhatian secara pribadi. Sejenak terjadi perdebatan kecil,
karena pihak perusahaan pun memiliki alasan logis. Namun
pihak karyawan mengajukan sejenis ultimatum, katanya ”Jika
Anda tetap pada pendirian tersebut dan tidak bisa menciptakan
jam kerja yang lentur, kami akan mencari tempat kerja baru”.
Pemilik perusahaan mendengarkan ultimatum dengan penuh
perhatian, dan pada babak terakhir pemilik perusahaan
menyetujui tuntutan para karyawan tersebut. Keesokan harinya
pemilik perusahaan memperkenalkan jam kerja baru yang
lentur (fleksibel).
Kasus lainnya terjadi di sebuah perusahaan mobil yang
cukup besar dan bonafid. Pihak manajemen bermaksud
meningkatkan pengawasan mutu, cara yang ditempuh adalah
melakukan pembelian robot dengan biaya besar. Robot yang
dikendalikan dengan komputer canggih tersebut akan
digunakan untuk memperbaiki perusahaan dalam menemukan
dan mengoreksi cacat. Konsekuensinya pengadaan peralatan
yang canggih tersebut akan berpengaruh kepada penggunaan

223
tenaga kerja manusia di bidang kendali mutu. Sehubungan
dengan program tersebut, untuk mengantisipasi penolakan dari
pihak karyawan eksekutif menyusun program untuk membantu
orang dalam mengenali baik-baik peralatan itu dan menangani
setiap kecemasan yang mungkin mereka rasakan.
Kedua ilustrasi kasus di atas adalah contoh dari
perubahan dalam organisasi. Apa yang dilakukan perusahaan
tersebut intinya adalah merubah sesuatu menjadi lain dari
biasanya dan perubahan tersebut penting untuk dilakukan
karena persaingan terus berubah dan trend sosial tidak statis.
Namun, pada kasus kedua agak berbeda, mereka
melakukan perubahan secara terencana. Dalam praktek
sebenarnya banyak yang melakukan perubahan, misalnya toko
pakaian jadi yang melakukan perubahan mendadak. Ada pula
organisasi yang melakukan perubahan sebagai peristiwa
kebetulan. Dalam pembahasan ini, bukan itu yang dimaksud,
melainkan perubahan yang pro-aktif dan memiliki tujuan yang
jelas, jadi perubahan tersebut harus disengaja dan direncanakan
dengan matang agar mencapai sasaran.
Perubahan terencana merupakan usaha yang dilakukan
secara sadar dan sengaja untuk mengadakan perbaikan atas
suatu sistem dalam organisasi. Perubahan yang direncanakan
berorientasi kepada tujuan tertentu dan diadakan untuk
mencapai sasaran tertentu.
Pada dasarnya terdapat dua sasaran yang menjadi tujuan
perubahan organisasi, yakni : (1) Mengupayakan perbaikan
kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan; (2) Mengupayakan perubahan perilaku
karyawan sesuai dengan perubahan organisasi.
Kekuatan lain yang akan mempengaruhi organisasi
untuk berubah antara lain pesaing memperkenalkan produk
baru, pemerintah memberlakukan undang-undang baru,

224
sumber pasokan bahan baku gulung tikar, atau terjadi
perubahan lingkungan serupa. Apabila hal ini terjadi, maka
organisasi harus cepat menyesuaikan diri dengan cara
melakukan perubahan agar tetap bertahan. Apabila tidak
mampu, organisasi tersebut terancam bubar. Bagi organisasi
yang berusaha melakukan perubahan, akan merangsang
memotivasi dan memberdayakan para karyawan, serta
memperkenalkan tim kerja dengan rencana baru.
Oleh karena perubahan organisasi merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindari, maka menyusun rencana dan
strategi perubahan sangatlah penting. Dengan perencanaan
yang matang, sekurang-kurangnya perubahan yang akan
dilakukan tidak mengganggu kelancaran kelangsungan hidup
organisasi.
Dalam melakukan perubahan, diperlukan agen
perubahan, yaitu orang yang bertindak sebagai katalis untuk
melakukan dan bertanggungjawab atas perubahan. Orang yang
bertanggungjawab sebagai agen perubahan bisa seorang
manajer atau bukan manajer, bisa juga karyawan atau
konsultan dari luar.
Menurut Duncan dalam Indrawijaya (2002:233),
”...perubahan berencana merupakan usaha perubahan yang
dilakukan suatu unsur pengubah (change agent)”. Unsur
pengubah tersebut meliputi kelompok penekan yang datang
dari luar, kelompok penekan yang berasal dari dalam
organisasi itu sendiri, konsultan pengembangan organisasi dari
luar, dan konsultan pengembangan organisasi dari dalam.
Dalam menyusun perubahan yang terencana, setelah
memilih agent perubahan yang akan digunakan, perlu juga
menetapan tahapan-tahapan perubahan, meliputi tahap
persiapan, tahap pelaksanaan perubahan, dan tahap

225
pematangan. Proses perubahan berencana, diilustrasikan dalam
gambar berikut ini;
Tahap persiapan

Penemuan Kontak Diagnosa Rencanakan

Dengan Strategi :
- Penggunaan kekuasaan Laksanakan rencana tindak
- Re-edukasai
- Dorongan rasional

Penyegaran &
Pemantapan Stabilisasi & Evaluasi

Penyelesaian Program

Sumber : Duncan, Organizational Behavior, 1981.

Gambar: 6.2
Proses perubahan

Dalam upaya melakukan perubahan besar, manajemen


internal sering menyewa jasa konsultan luar untuk memberikan
nasihat dan bantuan. Oleh karena posisi konsultan itu berada di
luar lingkungan organisasi, maka mereka dapat dengan leluasa
dan murni menawarkan perspektif yang obyektif yang sering
tidak dilakukan oleh orang dalam. Namun demikian,
menggunakan jasa konsultan ada juga kerugiannya atau
kelemahannya. Mereka kebanyakan kurang memadai dalam
memahami sejarah, budaya, prosedur operasi, dan personil
organisasi itu. Di samping itu, konsultan luar sering melakukan
perubahan secara drastis, sedangkan perubahan seperti itu

226
memiliki dua kemungkinan, yaitu menguntungkan atau
merugikan. Sementara mereka tidak akan menanggung beban
apa pun terhadap dampak negatif setelah perubahan itu
diterapkan.
Oleh karena itu, menunjuk agen perubahan internal lebih
menguntungkan. Dalam melakukan perubahan agen yang
bersangkutan akan penuh pertimbangan bahkan sangat
berhati-hati, karena mereka harus hidup dengan segala
konsekuensi dari tindakannya. Kelebihan lain, mereka sangat
memahami segala sesuatu yang ada dalam organisasi.
3. Penolakan perubahan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli, ternyata tidak
semua perubahan dapat diterima baik oleh individu maupun
oleh organisasi yang bersangkutan. Dengan kata lain, terdapat
juga pihak-pihak yang menolak perubahan organisasi. Dilihat
dari ilmu perilaku, penolakan tersebut memiliki nilai positif.
Hal ini berdasarkan anggapan bahwa munculnya penolakan
berarti memberikan tingkatan pembahasan tentang perubahan
dan dapat meramalkan perilaku tertentu. Apabila setiap
perubahan diterima secara pasif, atau tidak ada perlawanan
sama sekali organisasi akan acak-acakan bahkan mungkin
terjadi kekacauan.
Nilai positif lainnya dari penolakan perubahan adalah
dapat menimbulkan konflik fungsional. Misalnya, manajer
berencana akan melakukan reorganisasi dan perubahan lini
produksi. Rencana tersebut akan merangsang terjadinya
perdebatan yang sehat tentang manfaat dari gagasan tersebut,
dari perdebatan itu akan menghasilkan keputusan yang lebih
baik.
Di samping itu, terdapat hal yang harus diwaspadai,
yakni keengganan untuk mengikuti perubahan. Hal inilah yang
akan merintangi penyesuaian dan kemajuan.

227
Dalam kenyataan, penolakan terhadap perubahan
memang ada dan hal itu merupakan sesuatu yang wajar.
Namun perwujudannya terdapat dua macam, ada yang terang-
terangan ada juga yang tersembunyi. Para manajer yang
bertanggungjawab sebagai agen perubahan akan lebih mudah
mengatasi penolakan yang terang-terangan. Misalnya
penolakan yang diajukan langsung oleh karyawan atau
wakilnya, atau diwujudkan dalam bentuk reaksi spontan di
tempat kerja, mengancam akan mogok, memperlambat
pekerjaan dan sebagainya. Sedangkan penolakan yang tersirat
dan ditangguhkan merupakan tantangan berat bagi para agen
perubahan. Penolakan tersebut sifatnya lebih halus tetapi
berbahaya bagi kelangsungan organisasi. karena dampak yang
akan muncul adalah lunturnya kesetiaan, berkurangnya
motivasi kerja, meningkatnya kekeliruan atau kesalahan,
meningkatnya angka kemangkiran, dan sebagainya. Penolakan
tersebut sulit untuk diatasi karena memang sulit dikenali
dengan cepat.
Dampak buruk dari penolakan tertunda jauh lebih
berbahaya bagi organisasi. Penolakan seperti ini berawal dari
keengganan terhadap perubahan. Dampaknya kecil pada saat
perubahan diberlakukan, tetapi akan terus berlangsung
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan mungkin
bertahun-tahun seperti penyakit yang menggerogoti tubuh
seseorang tanpa terlihat dengan jelas. Penolakan dapat juga
berbentuk penolakan tunggal (sendirian), dampaknya memang
kecil, tetapi pada saat perubahan diberlakukan dapat
membalikkan keseimbangan organisasi.
Intinya, penolakan tersirat, penolakan tertunda, dan
penolakan tunggal semakin lama akan semakin menumpuk
bagaikan bom waktu yang suatu saat akan meledak.
Implikasinya, sekecil apa pun penolakan harus diupayakan
agar segera diatasi.

228
Dilihat dari sumbernya, secara garis besar penolakan
terhadap perubahan akan muncul dari dua sumber utama, yakni
individu dan organisasi.
a. Penolakan Individu.
Sumber penolakan yang bersifat individu terletak pada
karakteristik manusiawi dasar, seperti persepsi, kepribadian,
dan kebutuhan yang didorong oleh lima alasan, yakni
kebiasaan, keamanan, ekonomi, rasa takut, dan pengolahan
informasi selektif.
Kebiasaan, merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Secara manusiawi diyakini bahwa sehebat apa pun
kemampuan seseorang tetap terdapat kelemahan dalam hal
pengambilan keputusan cepat. Setiap harinya manusia harus
mengambil keputusan dari sejumlah alternatif yang
membingungkan. Contoh kecil bagi yang biasa makan di
warung, dalam keadaan terdesak sulit menentukan pilihan yang
tepat apabila diharuskan memilih salah satu dari sejumlah
warung nasi. Untuk mengatasi kerumitan tersebut, salah satu
cara untuk mengatasinya adalah mengandalkan kebiasaan.
Maka, ia akan berulang kali datang ke warung nasi yang sama
untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian juga dalam hal
pekerjaan dan berorganisasi, sulit untuk meninggalkan
kebiasaan yang sudah berurat berakar dalam aktivitas sehari-
hari. Apabila di perusahaan dilakukan perubahan, berarti akan
terjadi perubahan kebiasaan. Inilah salah satu sumber
penolakan perubahan bagi sementara orang.
Keamanan, merupakan salah satu kebutuhan manusia
yang sulit dihindari. Apabila seseorang telah menganggap
bahwa keamanan merupakan kebutuhan yang tinggi, ia akan
menolak perubahan karena perubahan itu akan mengancam
keamanan dirinya. Misalnya, pada saat manajer
mengumumkan bahwa akan diberlakukan penggunaan robot
baru, beberapa orang akan merasa bahwa pekerjaan mereka

229
berada dalam bahaya, mereka khawatir akan di-PHK, atau
digeser ke tempat lain.
Ekonomi, Penolakan perubahan akan muncul karena
beranggapan bahwa perubahan akan mengurangi penghasilan
mereka. Jangankan perubahan besar, perubahan posisi dan
ruang kerja baru pun tetap dikhawatirkan akan mempengaruhi
penghasilannya atau mereka khawatir tidak bisa melakukan
tugas menurut standar mereka sebelumnya. Terutama apabila
upah dikaitkan langsung dengan produktivitas.
Rasa takut, sesuatu yang wajar terdapat pada diri
seseorang, terutama takut terhadap sesuatu yang tidak
diketahui. Dengan adanya perubaham, sesuatu yang telah
diketahui akan berubah menjadi ambiguitas dan tidak pasti.
Misalnya, perusahaan memberlakukan Total Quality
Management, hal ini berarti pekerja produksi harus belajar
teknik pengendalian proses berdasarkan statistik. Di antara
sekian banyak pegawai mungkin ada yang tidak mampu di
bidang itu dan khawatir tidak dapat menjalankan tugas dengan
baik. Sebagai perwujudan dari kekhawatiran tersebut mereka
mengembangkan sikap negatif terhadap TQM atau berperilaku
disfungsional apabila diminta menggunakan teknik statistik.

Pengolahan informasi selektif, merupakan alasan lain


yang membuat individu melakukan penolakan terhadap
perubahan. Hal ini disebabkan karena setiap individu memiliki
dunia persepsi yang berbeda, sehingga berbeda pula dalam
memberi makna atau arti terhadap perubahan itu.

Dalam pembahasan tentang belajar individu telah


dikemukakan, bahwa rangsangan berupa informasi akan
menyebabkan seseorang mengalami proses kognisi yang terdiri
atas tiga proses, yaitu persepsi, belajar, dan memecahkan
masalah untuk memilih tindakan. Namun, bagi individu yang

230
telah menciptakan dunia persepsinya sendiri, ia tidak terbuka
terhadap informasi yang masuk, dengan maksud agar persepsi
mereka tetap utuh. Akibatnya terjadi pengolahan informasi
secara selektif. Mereka hanya mau mendengar apa yang
mereka ingin dengar, sedangkan informasi yang menantang
dunia mereka akan diabaikan. Dengan demikian, apabila
manajemen menetapkan perubahan melalui TQM, maka
informasi-informasi tentang TQM akan diabaikan juga.
Argumen apa pun yang datang dari atasan tidak akan
diperdulikan, yang berarti penolakan.
Kelima alasan yang menjadi sumber penolakan individu
terhadap perubahan dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Sumber-sumber penolakan individu :

Kebiasaan

Keamanan

PENOLAKAN
Faktor ekonomi INDIVIDU

Rasa takut
terhadap hal yang
tidak diketahui

Pengolahan
informasi selektif

Gambar: 6.3
Sumber Penolakan Individu

231
b. Penolakan Organisasi
Secara kodrati, organisasi bersifat konservatif, sehingga
sangat mungkin menolak datangnya perubahan. Misalnya,
organisasi pemerintahan cenderung mempertahankan apa yang
telah mereka lakukan puluhan tahun, tidak peduli apakah
pelayanan mereka berubah atau tetap sama seperti dulu.
Ironisnya di dunia pendidikan formal pun tidak jauh berbeda.
Padahal kehadiran pendidikan untuk membuka pikiran dan
wawasan manusia agar mampu menantang doktrin yang
mapan, kenyataannya justru enggan terhadap perubahan.
Contoh kecil, para praktisi pendidikan lebih banyak yang
menggerutu daripada yang menyambut gembira terhadap
perubahan yang baru saja diberlakukan pemerintah. Sistem
pembelajaran di sekolah cenderung statis dari tahun ke tahun,
walaupun penunjang teknologi sudah cukup banyak. Demikian
juga di dunia bisnis, banyak yang tetap mempertahankan cara
lama dan enggan melakukan perubahan.
Penolakan organisasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa
sumber, antara lain karena kelembaban struktural, fokus
perubahan terbatas, kelembaban kelompok, ancaman terhadap
keahlian, ancaman hubungan kekuasaan yang mapan, dan
ancaman alokasi sumber daya yang mapan.
Berikut penulis kemukakan penjelasan singkat dari
masing-masing sumber tersebut.
1) Kelembaban struktural.
Organisasi memiliki mekanisme bawahan yang akan
menghasilkan kestabilan. Umpamanya dalam proses
seleksi, sistem yang digunakan adalah memilih orang-
orang tertentu untuk diambil dan orang-orang tertentu
ditolak. Dampak dari adanya pelatihan dan teknik
sosialisasi memperkuat persyaratan peran dan keterampilan
yang spesifik. Kemudian formalisasi memberikan uraian

232
jabatan, aturan, dan prosedur kerja untuk diikuti oleh para
karyawan. Orang-orang yang dipekerjakan dalam
organisasi dipilih yang cocok kemudian dibentuk dan
diarahkan untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Struktur yang telah stabil dan lembab ini dirasakan
memiliki potensi untuk maju dan mempertahankan
eksistensi organisasi dengan baik. Maka apabila terjadi
perubahan, kelembaban struktural ini yang akan menjadi
sebagai pengimbang demi mempertahankan stabilitas,
dalam arti perubahan akan ditolak.

2) Fokus perubahan terbatas.


Organisasi terbentuk dari sejumlah substansi yang saling
ketergantungan satu sama lain. Dalam hal ini, apabila
dilakukan perubahan pada suatu bagian, tidak mungkin
tanpa menyinggung bagian lainnya. Misalnya, apabila
manajemen bermaksud merubah proses teknologi tanpa
serentak memodifikasi struktur organisasi untuk
mengimbanginya, maka perubahan teknologi itu kecil
kemungkinan untuk diterima. Jadi, perubahan subsistem
yang terbatas cenderung akan dibatalkan oleh sistem lain
yang lebih besar.
3) Kelembaban kelompok.
Pada suatu waktu, akan terdapat kecenderungan dari
individu-individu untuk mengubah perilaku mereka, tetapi
norma kelompok dapat bertindak sebagai kendala.
Misalnya, seorang anggota kelompok serikat pekerja
bersedia menerima perubahan-perubahan pekerjaan yang
disarankan manajemen. Tetapi apabila norma serikat
pekerja mengharuskan untuk menolak perubahan yang
ditentukan sepihak oleh manajemen, maka individu
tersebut cenderung untuk menolak perubahan.

233
4) Ancaman terhadap keahlian
Beberapa pihak akan beranggapan bahwa perubahan dalam
suatu organisasi mengancam terhadap keahlian kelompok-
kelompok khusus. Misalnya, manajer memperkenalkan
komputer pribadi yang memungkinkan para manajer
mendapat informasi langsung dari komputer mainframe
perusahaan. Cara tersebut merupakan contoh perubahan
yang akan ditolak keras oleh departemen informasi dengan
alasan komputasi pemakai akhir yang didesentralisasikan
merupakan ancaman terhadap keterampilan khusus yang
dimiliki oleh orang-orang di dalam departemen sistem
informasi yang tersentralisasi.
5) Ancaman hubungan kekuasaan yang mapan.
Redistribusi wewenang pengambilan keputusan yang
diberlakukan di sebuah organisasi, akan mengancam
hubungan kekuasaan yang telah lama mapan dalam
organisasi itu. Dimasukkannya sistem pengambilan
keputusan partisipatif atau tim kerja swakelola merupakan
jenis perubahan yang sering dianggap sebagai ancaman
oleh para penyelia dan manajer menengah.
6) Ancaman alokasi sumber daya yang mapan.
Berkaitan dengan sumber ini, kelompok-kelompok dalam
suatu organisasi yang mengendalikan sumber daya yang
cukup besar sering melihat perubahan sebagai ancaman.
Mereka cenderung puas dengan cara-cara yang telah lama
mereka gunakan. Salah satu yang dikhawatirkan dalam
perubahan tersebut adalah adanya pemangkasan anggaran
dan staf mereka. Pihak-pihak yang merasa telah banyak
memperoleh manfaat dari keadaan lama akan merasa
terancam dengan perubahan yang dapat mempengaruhi
alokasi di masa depan.
Keenam sumber penolakan organisasi diilustrasikan
pada gambar di bawah ini:

234
Sumber penolakan organisasi :

Kelembaban
struktural

Fokus perubahan
terbatas

Kelembaban
kelompok
PENOLAKAN
ORGANISASI
Ancaman terhadap
Keahlian

Ancaman terhadap
hubungan kekuasaan
yang mapan

Ancaman terhadap
hubungan kekuasaan
yang mapan

Gambar: 6.4
Sumber Penolakan Organisasi
Setelah diketahui sumber penolakan baik individu
maupun organisasi, perlu dicari cara untuk mengatasinya.
Dalam hal ini, para agen perubahan telah menemukan enam
strategi untuk mengatasinya. Keenam strategi tersebut adalah

235
pendidikan komunikasi, partisipasi, kemudahan dan dukungan,
perundingan, manipulasi dan kooptasi, serta pemaksaan.
6.3 Pengembangan Organisasi
Menurut Indrawijaya (2002), ”...pengembangan
organisasi merupakan suatu perubahan berencana bukan
perubahan yang tidak terkendalikan yang memerlukan
dukungan pucuk pimpinan.” Dengan demikian, perkembangan
organisasi merupakan upaya jangka panjang dalam upaya
menyempurnakan organisasi guna peningkatan efektivitas
organisasi secara keseluruhan. Pada hakekatnya perkembangan
organisasi terpusat pada orang-orang yang terlibat dalam
organisasi secara keseluruhan. Secara lebih spesifik sasarannya
adalah untuk mencari jawaban dari beberapa pertanyaan
sederhana, misalnya bagaimana mereka bekerjasama sebagai
suatu kesatuan, bagaimana berfungsi dalam unit mereka
masing-masing, dan apa yang perlu diubah sehingga mereka
dapat bekerja secara lebih efektif.
Menurut Indrawijaya (2002), secara umum,
pengembangan organisasi adalah peningkatan efektivitas
organisasi. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk:
a. Meningkatkan keharmonisan hubungan kerja antara
pimpinan dengan staf anggota organisasi.
b. Meningkatkan kemampuan memecahkan persoalan
organisasi secara lebih terbuka.
c. Peningkatan keterbukaan dalam berkomunikasi
d. Peningkatan semangat kerja para anggota organisasi dan
kemampuan dalam mengendalikan diri sendiri.

Dilihat dari ciri-cirinya, organisasi yang melakukan


pengembangan akan tampak hal-hal sebagai berikut:

236
a. Pengembangan organisasi merupakan suatu strategi
pendidikan yang bertujuan untuk melakukan perubahan
berencana.
b. Pengembangan organisasi umumnya terjadi sebagai akibat
dari keadaan darurat atau persoalan-persoalan yang datang
dari luar organisasi.
c. Pengembangan organisasi selalu dilakukan berdasarkan
teknik yang mengikutsertakan pengalaman secara
langsung.
d. Program pengembangan organisasi selalu menggunakan
agen perubahan yang biasanya diambil dari luar.
e. Seorang agen perubahan biasanya mempunyai pandangan
sosial atau sistem nilai tertentu mengenai manusia dalam
organisasi, misalnya teori Y-nya McGregor.
f. Tujuan dari pengembangan organisasi yang dilakukan oleh
agen perubahan cenderung untuk mengembangkan
pandangan teori Y. Misalnya berusaha mencari cara
penyelesaian konflik yang lebih baik, peningkatan saling
pengertian, kepemimpinan yang lebih bijak dan
sebagainya.

Menurut Robbins (2007:778), pengembangan organisasi


(organizational development-OD) adalah sekumpulan
intervensi perubahan terencana yang dibangun atas dasar nilai-
nilai humanistik-demokratik yang berupaya memperbaiki
keefektifan organisasi dan kesejahteraan karyawan.

Dalam pengembangan organisasi, agen perubahan dapat


menjadi pengarah, tetapi dengan menekankan kepada kerja
sama. Bagi para agen perubahan, konsep kekuasaan,
wewenang, pengendalian, konflik, dan pemaksaan merupakan
sesuatu yang dihargai rendah. Hal-hal yang mendapat
penghargaan tinggi dari para agen pengembangan organisasi

237
(OD) adalah sebagai penghargaan akan orang, kepercayaan
dan dukungan, kesetaraan kekuasaan, konfrontasi, dan
partisipasi.
a. Penghargaan akan orang.
Dalam hal ini individu dipersepsikan sebagai
bertanggungjawab, teliti dan memiliki perhatian. Mereka
perlu diperlakukan dengan secara hormat dan layak.
b. Kepercayaan dan dukungan.
Organisasi yang efektif dan sehat ditandai dengan adanya
kepercayaan, otentisitas, keterbukaan, dan suasana yang
kondusif.
c. Kesetaraan kekuasaan.
Organisasi yang efektif akan mengurangi tekanan kepada
wewenang dan kendali secara hierarkis.
d. Konfrontasi.
Apabila ditemukan ada masalah-masalah akan
disembunyikan, kalaupun akan dihadapi harus dilakukan
secara terbuka.
e. Partisipasi.
Orang yang semakin terlibat dalam proses pengambilan
keputusan tentang perubahan, maka mereka akan semakin
setia kepada pelaksanaan keputusan tersebut.

Dalam mendorong perubahan, sedikitnya terdapat lima


jenis intervensi yang mungkin dipertimbangkan oleh agen
perubahan untuk digunakan. Kelima jenis intervensi tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pelatihan kepekaan.
Yaitu kelompok pelatihan yang berupaya mengubah
perilaku melalui interaksi kelompok yang tidak terstruktur.
Dalam prakteknya, para anggota kelompok dikumpulkan di

238
suatu tempat yang bebas dan terbuka, di sana mereka
membahas tentang diri mereka sendiri yang secara longgar
diarahkan oleh ilmuwan perilaku yang profesional. Kelompok
yang bersangkutan berorientasi proses, yang berarti individu-
individu tersebut belajar melalui pengamatan dan partisipasi,
bukan diajari oleh pikak lain. Ilmuwan profesional itu sendiri
menciptakan kesempatan bagi peserta untuk mengungkapkan
gagasan, keyakinan, dan sikap mereka. Ia tidak menerima,
bahkan secara terang-terangan menolak setiap peran
kepemimpinan.

b. Umpan balik survei


Yaitu penggunaan kuesioner untuk mengenali
penyimpangan persepsi antaranggota diikuti dengan
pembahasan dan saran perbaikan. Kuesioner itu sebagai alat
untuk menilai sikap anggota-anggota organisasi yang
mengidentifikasi penyimpangan persepsi antaranggota dan
memecahkan perbedaan-perbedaan. Kuesioner tersebut
biasanya diisi oleh semua anggota. Di samping itu, anggota
dapat diminta mengemukakan pertanyaan atau diwawancarai
untuk menentukan hal apakah yang relevan. Pada umumnya,
kuesioner menanyakan tentang sikap dan persepsi karyawan
terhadap serangkaian topik berkenaan dengan praktek
pengambilan keputusan, keefektifan komunikasi, koordinasi
antar unit, kepuasan terhadap organisasi, pekerjaan, rekan
kerja, dan penyelia langsung mereka.

c. Konsultasi proses
Yaitu konsultan membantu klien memahami kejadian-
kejadian pada proses yang harus ditangani dan
mengidentifikasi proses yang menentukan perbaikan. Hal ini
didasarkan keyakinan bahwa tidak ada satu pun organisasi
yang sempurna, sedangkan para manajer sering merasakan
bahwa kinerja mereka harus diperbaiki, namun tidak memiliki

239
kemampuan untuk mengidentifikasinya. Terutama berkaitan
dengan apa yang harus diperbaiki dan bagaimana cara
memperbaikinya. Maka diperlukan konsultan dari luar untuk
memahaminya, dan disebut konsultan proses.
d. Pembinaan tim
Pembinaan tim, yaitu interaksi tinggi di kalangan
anggota tim untuk meningkatkan kepercayaan dan
keterbukaan. Pembinaan tersebut dapat memanfaatkan
kegiatan-kegiatan kelompok yang tinggi interaksinya untuk
meningkatkan kepercayaan dan keterbukaan di kalangan
anggota. Kegiatan yang dipertimbangkan dalam pembinaan
tim mencakup penetapan sasaran, pengembangan hubungan
antarpribadi di antara anggota tim, analisis peran untuk
memperjelas peran dan tanggungjawab setiap anggota, dan
analisis proses tim.
e. Pengembangan antar kelompok
Pengembangan antar kelompok yaitu upaya
pengembangan organisasi dalam mengubah sikap, stereotipe,
dan persepsi satu kelompok terhadap kelompok lain. Misalnya,
di salah satu perusahaan para insinyur memandang departemen
akuntansi terdiri atas tipe orang yang pemalu dan konservatif.
Departemen sumber daya manusia dianggap mempunyai
sekelompok ultraliberal yang lebih memperhatikan
ketersinggungan perasaan kelompok yang terlindung daripada
laba yang harus diraih perusahaan upaya koordinasi antar
departemen di perusahaan itu. Maka, untuk memecahkan
masalah tersebut diperlukan suatu metode tertentu.
Metode yang populer adalah menekankan kepada
pemecahan masalah. Dalam metode ini setiap kelompok
bertemu secara independent untuk menyusun daftar persepsi
mengenai dirinya, kelompok lain, dan keyakinan kelompok itu
atas persepsi kelompok lain terhadap kelompoknya. Kemudian

240
kelompok berbagi daftar-daftar itu, setelah itu kemiripan dan
perbedaan dibahas. Perbedaan diungkapkan dengan jelas,
kemudian kelompok-kelompok mencari penyebab adanya
perbedaan tersebut. Salah satu cara pemecahannya, dibentuk
anak kelompok yang anggotanya diambil dari setiap kelompok
yang berkonflik. Kelompok kecil ini bertugas mendiagnosis
lebih jauh guna mulai merumuskan tindakan alternatif yang
mungkin mampu memperbaiki hubungan.

6.4 Kekuasaan dan Politik


Sepintas lalu istilah kekuasaan merupakan sesuatu yang
kurang disukai, karena menggambarkan kesombongan,
keserakahan, dan merusak. Oleh karena itu, orang yang
memiliki kekuasaan cenderung menyangkalnya, orang yang
menginginkan kekuasaan berusaha untuk tidak tampak
memperjuangkannya, dan orang yang dengan mudah
memperoleh kekuasaan akan merahasiakan cara
mendapatkannya.

Padahal, dalam teori perilaku organisasi kekuasan


merupakan sesuatu yang wajar. Jadi tidak ada salahnya apabila
seseorang mengetahui cara memperoleh kekuasaan, dan bagi
yang memiliki kekuasaan tidak perlu takut menyatakan apa
yang dimilikinya itu, selama dalam batas-batas wajar. Memang
ada juga kekuasaan yang merusak, tetapi tidak selamanya
demikian.

1. Pengertian
Menurut Robbins, ”kekuasaan adalah kapasitas yang
dimiliki pihak A untuk mempengaruhi perilaku pihak B,
sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A”. Definisi ini
mencerminkan potensi yang tidak harus diaktualisasikan agar

241
menjadi efektif dan adanya hubungan ketergantungan. Di
samping itu, kekuasaan adalah potensi, tetapi orang yang
mempunyai kekuasaan tidak memaksakan penggunaannya.

Dalam praktek, ketergantungan memang ada. Misalnya,


seorang mahasiswa bercita-cita untuk meraih gelar sarjana di
suatu fakultas dan untuk mata kuliah tertentu hanya
dimungkinkan oleh seorang dosen. Maka, dosen tersebut
memiliki kekuasaan atas mahasiswa tersebut, dan mahasiswa
mengakui kekuasaan yang dimiliki dosen atas dirinya serta ia
bergantung pada dukungan dosen tersebut. Tetapi manakala
mahasiswa tersebut sudah lulus kuliah apalagi sudah bekerja,
maka ketergantungan tersebut dengan sendirinya hilang,
demikian juga kekuasaan dosen atas orang itu.

2. Dasar-dasar Kekuasaan
Menurut Max Weber dalam Thoha (1992:3234),
”kekuasaan itu sebagai suatu kemungkinan yang membuat
seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam
suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan
yang menghilangkan halangan”. Sedangkan Walter R Nord
(1987:675), kekuasaan adalah ”kemampuan untuk
mempengaruhi aliran energi dan dana yang tersedia untuk
mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan
lainnya” Kekuasan dipergunakan apabila tujuan-tujuan
tersebut paling sedikit mengakibatkan perselisihan satu sama
lain. Kekuasaan yang dimiliki seseorang berasal dari salah
satu dari dua sumber yang lazim terjadi, yakni sumber formal
atau sumber pribadi.
Berkenaan dengan sumber kekuasaan, P Robbins
(2007:505-508), menggunakan istilah dasar-dasar kekuasaan.
Secara garis besar dasar kekuasaan terdiri atas dua macam,

242
yakni kekuasaan formal dan kekuasaan personal. Masing-
masing memiliki kategori yang spesifik, yakni sebagai berikut.

a. Kekuasaan formal,
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi individu dalam
organisasi. Kekuasaan formal ini dapat berasal dari
kemampuannya untuk memaksa pihak lain, memberi hadiah
atau imbalan, memiliki wewenang yang diakui anggota
organisasi, dan memiliki kendali atas informasi. Dengan
demikian, kekuasaan formal terdiri dari beberapa kategori,
yaitu :
1) Kekuasaan paksaan, dasarnya adalah ketergantungan
pada rasa takut. Misalnya, seseorang bereaksi terhadap
kekuasaan ini karena rasa takut akan akibat negatif
yang mungkin terjadi apabila ia tidak mematuhinya.
Kekuasaan paksaan itu bertumpu pada penerapan atau
ancaman penerapan sanksi-sanksi fisik misalnya
dikenakannya rasa sakit, ditimbulkannya frustasi
melalui rintangan gerak, atau pengendalian melalui
dorongan kebutuhan psikologis dasar atau keselamatan.
2) Kekuasaan hadiah, merupakan lawan dari kekuasaan
paksaan yang disebut juga kekuasaan imbalan.
Misalnya, orang-orang mematuhi kemauan atau
pengarahan orang lain karena kepatuhan itu
menghasilkan manfaat yang positif. Oleh karena itu
orang lain akan mengendalikan tingkat upah, kenaikan,
dan bonus, atau non-keuangan yang mencakup
pengakuan jasa, promosi, penugasan kerja yang
menarik, rekan kerja yang bersahabat, dan giliran kerja
atau wilayah penjualan yang disukai.
3) Kekuasaan hukum, merupakan kelompok formal dalam
organisasi yang paling sering menjadi dasar timbulnya

243
kekusaaan. Dasar utama kekuasaan hukum adalah
posisi struktural seseorang (misalnya pemimpin).
Kekuasaan hukum menggambarkan wewenang formal
untuk mengendalikan dan menggunakan sumber daya
organisasi. Posisi wewenang hukum ini mencakup
kekuasaan paksaan dan wewenang imbalan (hadiah).
Secara spesifik mencakup penerimaan wewenang
jabatan oleh anggota anggota organisasi.

4) Kekuasaan informasi merupakan sumber keempat dari


kekuasaan formal. Kekuasaan ini berasal dari akses
dan pengendalian atas informasi. Orang dalam
organisasi yang memiliki data atau pengetahuan
tentang berbagai data dan informasi yang dibutuhkan
orang lain dapat membuat orang lain itu tergantung
kepadanya.

b. Kekuasaan Personal
Kekuasaan personal adalah kekuasaan yang dimiliki
seseorang tanpa memiliki posisi formal dalam organisasi atau
kelompok. Misalnya, para perancang chip pada perusahaan
intel, mereka memiliki kekuasaan tetapi mereka bukan
pemimpin atau manajer yang tidak memiliki kekuasaan formal.
Apa yang mereka miliki adalah kekuasaan personal, yaitu
kekuasaan yang berasal dari karakteristik individu yang unik.

Kekuasaan personal terdiri atas tiga kategori, yaitu


karena memiliki keahlian, karena memiliki sumber daya,
karena memiliki kepribadian yang menarik (kharismatik),
dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Kekuasaan pakar (expert power), yaitu pengaruh yang
dimiliki seseorang sebagai akibat dari kepakaran atau
keahlian, keterampilan istimewa, atau pengetahuan. Saat

244
ini, kepakaran ini telah menjadi sumber kekuasaan yang
paling ampuh karena dunia telah menjadi semakin
berorientasi kepada teknologi. Pekerjaan semakin
dispesialisasikan, orang semakin tergantung pada pakar
untuk mencapai sasaran yang dituju. Misalnya, seorang
dokter memiliki keahian yang makin spesial, maka
sebagian besar orang akan mengikuti nasihat dokter
tersebut karena keahliannya. Selain itu, masih terdapat
contoh lain yang sering dirasakan dalam kehidupan sehari-
hari, antara lain keahlian di bidang komputer, akuntan,
insinyur, psikolog, ulama, paranormal, dan lain-lain.
2) Kekuasaan rujukan (referent power) timbul berdasarkan
identifikasi dengan orang yang memiliki sumberdaya atau
diri pribadi yang diinginkan. Misalnya, seseorang sangat
mengagumi dan menghormati tokoh yang menjadi
idolanya, maka tokoh tersebut dapat menjalankan
kekuasaannya terhadap orang itu karena ia ingin
menyenangkan hatinya. Adapun kekuasaan rujukan
merupakan pengembangan dari kekaguman dan hasrat
untuk menjadi seperti tokoh tersebut. Kekuasaan ini yang
membantu menjelaskan atau menjadi dasar bagi seorang
tokoh atau artis idola dibayar mahal oleh perusahaan untuk
mendukung suatu produk melalui iklan.
3) Kekuasaan kharismatik merupakan perluasan dari
kekuasaan rujukan yang muncul dari kepribadian dan gaya
interpersonal seseorang. Para pemimpin kharismatik
membuat pihak lain mau mengikuti mereka karena mereka
dapat mengartikulasikan visi yang menarik, mengambil
risiko, menunjukkan kepekaan terhadap lingkungan dan
terhadap pengikut, serta berkeinginan untuk terlibat ke
dalam prilaku yang oleh sebagian besar orang dianggap
luar biasa. Dalam sebuah organisasi, mungkin saja terdapat
seseorang di samping memiliki kekuasaan formal karena

245
posisinya, juga memiliki karakteristik individu yang unik
sehingga memiliki pengaruh karena kharismanya yang
tinggi. Maka ia pun memiliki kekuasaan kharismatik. Para
pengikutnya akan menghormati pemimpin itu karena
memiliki kekuasaan formal dan kekuasaan personal
sekaligus.
Para pakar sepakat bahwa kekuasaan dan kepemimpinan
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi
keduanya adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu,
berikut dikemukakan perbedaan antara kekuasaan dan
kepemimpinan.
a. Kepemimpinan memiliki wewenang untuk menetapkan
sasaran. Sedangkan kekuasaan merupakan sarana untuk
mencapai sasaran itu yang memerlukan ketergantungan.
b. Kepemimpinan berfokus pengaruh ke bawah, sehingga
dalam menetapkan sasaran perlu berkomunikasi dengan
bawahan sesuai dengan gaya kepemimpinan masing-
masing, sedangkan kekuasaan tidak demikian.
c. Dalam hal riset tentang kepemimpinan dan kekuasaan, juga
terdapat perbedaan. Riset kepemimpinan berorientasi
kepada pengambilan keputusan dan bersifat individu.
Sedangkan kekuasaan berfokus kepada taktik untuk
memperoleh kepatuhan bawahan. Di samping itu, riset
tentang kekuasaan jauh melampaui batas-batas individu,
karena kekuasaan tidak hanya milik individu tetapi dapat
juga dimiliki oleh kelompok.

3. Taktik Kekuasaan
Taktik kekuasaan adalah cara-cara yang di dalamnya
terdapat kegiatan individu dalam menterjemahkan basis-basis
kekuasaan menjadi tindakan yang spesifik.

246
Taktik ini digunakan oleh para manajer menengah agar
dapat dilakukan oleh karyawan pelaksana. Tujuan taktik ini
untuk mempelajari cara karyawan dalam menterjemahkan
dasar kekuasaan mereka ke dalam tindakan yang diinginkan.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli, terdapat tujuh cara atau
strategi yang paling banyak digunakan, yaitu :
a. Nalar, menggunakan fakta dan data untuk membuat
gagasan yang logis dan rasional
b. Keramahan, bersikap rendah hati, atau menyanjung dan
bersikap bersahabat sebelum mengungkapkan permintaan.
c. Koalisi, mendapatkan dukungan orang lain dalam
organisasi untuk mendukung permintaan.
d. Tawar menawar, menggunakan perundingan melalui
pertukaran manfaat atau keuntungan.
e. Ketegasan, menggunakan pendekatan langsung secara
tegas. Misalnya, permintaan harus dipenuhi, peraturan
harus dipatuhi.
f. Otoritas lebih tinggi, mendapatkan dukungan dari tingkat
yang lebih tinggi dalam organisasi untuk mendukung
permintaan.
g. Sanksi, menggunakan imbalan dan hukuman sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam organisasi. Misalnya,
imbalan dalam bentuk kenaikan gaji atau promosi,
sedangkan sanksi dalam bentuk penilaian kinerja yang
tidak memuaskan.

Dalam prakteknya tidak semua strategi dijalankan


bersamaan, melainkan dipilih salah satu cara sesuai dengan
situasi. Namun terdapat yang paling banyak digunakan oleh
karyawan, yaitu teknik nalar tanpa memperdulikan apakah arah
pengaruhnya ke bawah atau ke atas. Sedangkan yang lain
dipengaruhi oleh arah pengaruh, misalnya pada saat pengaruh
diarahkan ke atas teknik sanksi tidak digunakan. Dalam skala
besar, terutama dilihat dari budaya dan karakter suatu bangsa,

247
orang Barat terutama Amerika, taktik kekuasaan paling banyak
menggunakan nalar. Sedangkan bangsa-bangsa Timur,
terutama China termasuk Indonesia lebih banyak
menggunakan taktik koalisi dan wewenang lebih tinggi.
Khusus di Indonesia, memo dari atasan yang lebih tinggi
terkesan sakti.
4. Politik
Pada umumnya apabila orang-orang berkumpul dalam
suatu kelompok atau organisasi, kekuasaan akan muncul. Di
antara orang-orang tersebut akan muncul segelintir yang ingin
membangun peluang-peluang yang dapat digunakan untuk
mempengaruhi orang lain, memperoleh imbalan, atau
memajukan karirnya. Maka apabila terdapat seseorang yang
merubah kekuasaan menjadi tindakan dalam organisasi, maka
ia sedang sibuk berpolitik. Bagi mereka yang memiliki
keterampilan politik yang baik akan mempunyai kemampuan
menggunakan dasar-dasar kekuasaan secara efektif.
Oleh karena politik dalam organisasi lebih tampak
sebagai tindakan, maka dalam kajian ilmu perilaku organisasi
istilah politik lebih dikenal dengan kata perilaku politik.
Menurut Robbins (2007:517) Perilaku politik adalah
”kegiatan-kegiatan yang tidak disyaratkan sebagai bagian dari
peran formal seseorang dalam organisasi, tetapi yang
mempengaruhi, atau berusaha mempengaruhi, distribusi
keuntungan dan kerugian di dalam organisasi tersebut”. Dalam
prakteknya, perilaku politis menuntut upaya penggunaan
dasar-dasar kekuasaan seseorang.
Terdapat dua jenis perilaku politis dalam organisasi,
yakni perilaku politis yang sah dan perilaku politik yang tidak
sah. Perilaku politis yang sah mengacu kepada politik sehari-
hari yang normal, misalnya dengan cara mengemukakan
keluhan kepada pembina atau atasan langsung, melalui rantai
komando, membentuk koalisi, merintangi kebijakan atau

248
keputusan organisaai dengan tidak bertindak atau mematuhi
secara berlebihan aturan-aturan dan mengembangkan kontak di
luar organisasi melalui kegiatan profesional seseorang.
Sedangkan perilaku politis yang tidak sah adalah perilaku yang
melanggar aturan organisasi, misalnya individu yang
memainkan bola keras, seperti sabotase, pengungkapan
penyelewengan, protes simbolik seperti mengenakan pakaian
tidak ortodok atau pin protes, atau sekelompok karyawan
secara serentak tidak masuk dan menelepon menyatakan sakit.
Pada umumnya perilaku yang digunakan adalah yang
sah, karena perilaku yang tidak sah memiliki risiko tinggi,
terutama akan kehilangan keanggotaan dalam organisasi atau
dipecat dengan tidak hormat. Di samping itu, penggunaan
perilaku politis yang tidak sah tidak memiliki akan kekuasaan
yang cukup untuk menjamin bahwa politik itu akan berhasil.
Realitas di lapangan individu yang tergabung dalam
organisasi memiliki sasaran dan kepentingan yang berlainan.
Hal itu memungkinkan terjadinya konflik dalam membentuk
dan penggunaan potensi sumber daya. Realitas selanjutnya,
sumberdaya dalam organisasi rata-rata terbatas. Jika berlimpah
tidak terlalu banyak masalah, karena dengan mudah sasaran
dapat terpenuhi. Tetapi apabila terbatas, tidak semua
kepentingan dapat dipenuhi. Selanjutnya, apakah benar atau
tidak perolehan satu orang atau satu kelompok sering dianggap
melanggar hak orang lain. Keadaan seperti ini akan memicu
terjadinya persaingan untuk memperebutkan sumberdaya
organisasi yang terbatas. Dalam memperebutkan sumber daya
tersebut diperlukan kekuasaan, sedangkan kekuasaan yang
dirubah dalam bentuk tindakan berarti berpolitik.

Maka, apabila timbul pertanyaan, mungkinkah dalam


suatu organisasi bebas dari politik dan kekuasaan? Jawabannya
bisa ya bisa tidak. Jawaban ya mungkin diterima, apabila

249
setiap individu dalam organisasi tersebut memiliki sasaran dan
kepentingan yang sama. Sedangkan apabila tetap berlainan,
politik dan kekuasaan tidak bisa dihindari. Paktanya, setiap
individu, di mana pun berada, tetap beragam atau berlainan.

250
BAB VII
BUDAYA ORGANISASI
DAN MANAJEMEN STRESS

7.1 Budaya Organisasi


Pada umumnya manusia normal berusaha untuk
bertindak sesuai dengan harapan orang lain, perilaku tersebut
mencerminkan sifat sosial. Bersamaan dengan itu, dalam
suatu lingkungan kelompok atau masyarakat manusia
terdapat kepercayaan, adat istiadat, pengetahuan, aturan, dan
hal-hal lain yang diciptakan manusia yang disepakati
bersama. Individu-individu yang hidup dalam suasana
demikian akan tumbuh dan dewasa dalam suatu budaya.
Demikian juga halnya dalam organisasi, masing-masing
memiliki budaya, dan setiap anggotanya akan hidup dan
berkembang dalam budaya tersebut.
Dengan kata lain, setiap organisasi memiliki budaya
masing-masing. Budaya mempunyai pengaruh yang
bermakna terhadap sikap dan prilaku anggota organisasi.
Berikut akan dikemukakan tentang pengertian budaya,
tujuan, proses, dan fungsi budaya dalam organisasi.
1. Pengertian Budaya:
Budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang
dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu
dari organisasi-organisasi lain. Menurut Mangkunegara
(2005,113) ”Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi
atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman
tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi
masalah adaptasi eksternal dan integrasi intenal. Sedangkan
Robbins (2007:7321), mengemukakan bahwa “Budaya

251
organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan
organisasi lain”. Berdasarkan pengertian tersebut Robbins
mengemukakan lebih lanjut tentang karakteristik primer
berkenaan dengan hakekat budaya organisasi tersebut, yakni:
a. Inovasi dan Pengambilan resiko, yaitu sejauhmana para
karyawan didorong agar inovatif dan berani mengambil
resiko.
b. Perhatian terhadap detail, yaitu sejauhmana para
karyawan diharapkan memperlihatkan presisi
(kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail.
c. Orientasi hasil, yaitu sejauhmana manajemen
memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik
dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
d. Orientasi Orang, yaitu sejauhmana keputusan manajemen
memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang
di dalam organisasi itu.
e. Orientasi Tim, yaitu sejauhmana kegiatan kerja
dioganisasikan berdasarkan tim, bukannya berdasarkan
individu.
f. Keagresifan, yaitu sejauhmana orang-orang itu agresif
dan kompetitif dan bukannya santai-santai.
g. Kemantapan, yaitu sejauhmana kegiatan organisasi
menekankan dipertahankannya status quo bukannya
pertumbuhan.
Dengan demikian budaya organisasi menunjukkan
persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota
organisasi yang bersangkutan. Tetapi muncul pertanyaan,
apakah setiap organisasi memiliki budaya yang sama? Untuk
menjawabnya tidak mudah, karena diperlukan pengamatan
yang cermat terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan
budaya tersebut. Namun demikian, untuk memahaminya
dapat dilakukan dengan membedakan antara budaya dominan

252
dengan sub-sub budaya yang ada. Pada dasarnya setiap
organisasi akan memiliki budaya dominan dan sub budaya.
Pada organisasi besar mempunyai budaya dominan dan
sejumlah sub budaya.
Budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang
dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi itu. Maka
apabila kita membicarakan budaya organisasi akan mengacu
kepada kebudayaan dominan yang ada di organisasi tersebut.
Pandangan makro mengenai budaya itu memberi organisai
tentang kepribadian yang jelas dan dapat dibedakan dengan
yang lainnya.
Sub Budaya adalah budaya kecil di dalam organisasi
yang didefinisikan menurut perancangan departemen dan
pemisahan geografis. Sub budaya ini cenderung berkembang
pada organisasi besar untuk mencerminkan masalah, situasi,
atau pengalaman bersama yang dihadapi para anggotanya.
Sub Budaya ini mencakup nilai-nilai inti. Adapun yang
dimaksud dengan nilai inti adalah nilai pokok yang dominan,
yang diterima oleh seluruh orang dalam organisasi. Dalam
prakteknya akan terjadi juga interaksi antara budaya kuat
dengan budaya lemah. Budaya kuat adalah budaya yang
didasari oleh nilai inti yang dipegang secara mendalam dan
dianut bersama-sama secara meluas. Semakin banyak
anggota yang memiliki komitmen terhadap nilai tersebut,
budaya tersebut akan semakin kuat. Sedangkan yang
dimaksud dengan budaya lemah, tentu sebaliknya dari
budaya kuat.

2. Tujuan
Budaya organisasi perlu diterapkan dalam organisasi,
yang bertujuan agar seluruh individu dalam organisasi
mematuhi dan berpedoman kepada sistem nilai keyakinan
dan norma-norma yang berlaku dalam organisasi tersebut,

253
demikian menurut Mangkunegara (2005:114). Landasan
utama dari penerapan budaya organisasi adalah moral yang
sesuai dengan lingkungan. Bagi umat Islam, landasan moral
yang utama adalah berdasarkan Al Quran dan As Sunah.

3. Proses
Untuk memahami proses terjadinya budaya, perlu
mengetahui asal budaya terlebih dahulu. (Robbins,
2007:729). Budaya berasal dari kebiasaan, tradisi, atau cara
umum yang digunakan pada suatu organisasi dalam
melakukan segala sesuatu saat ini sebagian besar dipengaruhi
oleh apa yang dilakukan sebelumnya dan tingkat
keberhasilan yang telah dicapai melalui usaha tersebut.
Berarti asal budaya adalah pendiri organisasi yang
bersangkutan.
Selanjutnya, setelah diperoleh asal budaya yang jelas,
proses penciptaan budaya melalui tiga cara, yaitu:
a. Para pendiri hanya mempekerjakan dan mempertahankan
karyawan yang berpikir dan merasakan cara yang mereka
tempuh.
b. Para pendiri mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan
para karyawan dengan cara berpikir dan cara
berperasaan mereka.
c. Prilaku para pendiri bertindak sebagai model peran yang
mendorong karyawan mengidentifikasikan diri mereka,
sehingga menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan
asumsi-asumsi mereka. Apabila organisasi tersebut
berhasil, visi pendiri terlihat sebagai penentu utama dari
keberhasilan itu.
Selanjutnya, setelah budaya berkembang sesuai dengan
keinginan pendiri organisasi, diperlukan upaya agar budaya
yang sudah berlaku agar tetap hidup dalam organisasi, maka

254
perlu dijaga dengan sebaik-baiknya. Apabila suatu budaya
telah terbentuk, maka praktek-praktek di dalam organisasi
bertindak untuk mempertahankannya dengan memberikan
pengalaman-pengalaman serupa kepada karyawan. Apa yang
dipelajari dalam bab-bab sebelumnya, pada hakekatnya
merupakan upaya menjaga budaya agar tetap hidup.
Misalnya, proses seleksi, kriteria evaluasi kerja, pemberian
imbalan (reward and punishment), kegiatan pelatihan,
pengembangan karier dan prosedur promosi bahkan
pemecatan karyawan yang tidak mematuhi peraturan
merupakan usaha ke arah itu.
Secara garis besar terdapat tiga kekuatan dalam upaya
mempertahankan budaya agar tetap hidup, yaitu:
a. Seleksi
Seleksi dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mempekerjakan individu-individu yang mempunyai
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan
pekerjaan dengan sukses dalam organisasi tersebut.
Biasanya, seleksi dilakukan apabila terdapat beberapa
individu yang memenuhi syarat, kemudian dipilih yang
terbaik. Manfaat dari seleksi ini, langsung atau tidak,
organisasi telah memilih individu yang memiliki nilai
konsisten dan cocok dengan organisasi sehingga ia akan
siap menjalankan tugasnya sesuai dengan budaya yang
berlaku. Di samping itu, organisasi memberikan
informasi kepada pelamar mengenai karakter organisasi
itu. Hakekat lain dari seleksi adalah menyingkirkan
individu yang sekiranya akan menyerang atau merusak
nilai-nilai yang telah berlaku pada organisasi itu. Dengan
kata lain, diberlakukannya seleksi mengandung arti
bahwa jauh-jauh hari organisasi telah memilih orang yang
benar-benar siap beradaptasi dengan budaya yang ada,
sedangkan yang tidak cocok akan tersingkir sejak awal.

255
b. Tindakan Manajemen Puncak
Tindakan manajemen puncak memiliki dampak besar
terhadap budaya organisasi. Apa yang mereka katakan
dan apa yang mereka lakukan, akan dialirkan oleh
eksekutif senior ke pihak yang berada di bawahnya
dalam bentuk penegakkan norma-norma yang akan
dijalankan sepanjang organisasi. Misalnya, sebatas mana
kewenangan masing-masing, pakaian apa yang pantas
digunakan, pengambilan resiko apa yang diinginkan,
perbuatan mana yang pantas diberi imbalan, pelanggaran
mana yang pantas diberi hukuman, dan sebagainya.

c. Sosialisasi
Walaupun seleksi telah dilakukan dengan baik,
karyawan/pegawai baru belum memahami betul tentang
budaya yang ada dalam organisasi itu. Bahkan mungkin
terdapat sesuatu yang bertolakbelakang antara nilai-nilai
organisasi dengan kebiasaan ia sehari-hari, maka
diperlukan penyesuaian.
Proses penyesuaian (adaptasi) ini disebut Sosialisasi.
Contoh : ”Semua calon marinir harus melalui proses
latihan pelaut”. Melalui latihan, pelatih dapat mengetahui
komitment mereka, dan calon marinir akan mengetahui
lebih banyak tentang bidang pekerjaan yang akan
dihadapinya. Bagi yang tidak siap, akan mengundurkan
diri atas kesadaran sendiri.
Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai proses yang terdiri
atas tiga tahap pra-kedatangan, yaitu:
1) Tahap Pra-kedatangan
Periode pembelajaran pada proses sosialisasi yang
dilakukan sebelum karyawan baru bergabung ke
dalam organisasi. Pada tahapan ini secara eksplisit

256
mengakui bahwa individu tiba dengan seperangkat
nilai, sikap, dan harapan.
Nilai, sikap, dan harapan mencakup kerja yang harus
dilakukan. Pada proses sosialisasi kebanyakan
memberitahukan kepada karyawan baru tentang nilai-
nilai budaya yang berlaku di organisasi itu, sekaligus
berperan untuk memastikan bahwa individu yang
masuk adalah tipe orang yang benar-benar akan cocok
dengan budaya organisasi yang bersangkutan.
2) Tahap keterlibatan
Ketika pegawai baru memasuki organisasi ia telah
masuk ke dalam tahap keterlibatan. Tahap
keterlibatan adalah ”Tahap dalam proses sosialisasi di
mana karyawan baru melihat apa yang sesungguhnya
organisasi itu dan persimpangan yang mungkin dari
kenyataan yang ada”. Hal ini akan terjadi karena:
a) Apabila harapan terbukti mendekati tepat, tahap
keterlibatan itu akan memberikan pemastian ulang
atas persepsi yang diperoleh sebelumnya.
b) Apabila sebaliknya (berbeda), akan terjadi dua
kemungkinan. Pertama, tahap keterlibatan ini
dijalani sebagai tahap sosialisasi dalam rangka
melepaskan asumsi sebelumnya dan berusaha
menyesuaikan diri dengan asumsi yang disukai
organisasi. (karyawan baru berusaha beradaptasi).
Kedua, karyawan baru yang tidak menyukai
budaya itu akan mengundurkan diri. Maka, seleksi
yang baik seharusnya mampu mengurangi
kemungkinan terjadinya hal ini.
3) Tahap Metamorfosis
Tahap metamorfosis adalah ”tahapan dalam proses
sosialisasi di mana karyawan baru berubah dan

257
menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja,
dan organisasi” Tugas akhir dari tahapan
Metamorfosis ini sekaligus merupakan akhir dari
proses sosialisasi. Proses tersebut dapat dikatakan
selesai dan berhasil apabila ”karyawan baru telah
merasa nyaman terhadap organisasi dan pekerjaannya.
Ia telah menginternalkan norma-norma organisasi dan
kelompok pekerjanya dan memahami serta menerima
dengan baik norma-norma itu.
Hasil akhir dari proses sosialisasi dengan tiga
tahapannya adalah produktivitas, komitment, dan
keluar masuknya karyawan. Skema tahapan
sosialisasi digambarkan sebagai berikut:

Produktivitas

Prakedatangan Keterlibatan Metamorfosis Komitment

Keluar-
masuk
Karyawan

Gambar: 7.1
Tahapan Sosialisasi

4. Fungsi
Dalam sebuah organisasi, budaya memiliki beberapa
fungsi. Secara garis besar fungsi budaya organisasi adalah

258
untuk membantu mengatasi masalah adaptasi ekternal dan
integrasi koperasi. Permasalahan yang berhubungan dengan
adaptasi ekternal dapat dilakukan dengan cara
mengembangkan pemahaman terhadap strategi dan misi
organisasi, tujuan utama organisasi, dan pengukuran kinerja.
Sedangkan permasalahan yang berhubungan dengan integrasi
internal dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi,
menetapkan kriteria karyawan, menentukan standar bagi
insentif dan sanksi serta melakukan pengawasan internal
organisasi.
Menurut Robbins (2007:725), budaya organisasi
memiliki sejumlah fungsi, antara lain sebagai berikut :
a. Menetapkan batas, artinya menciptakan perbedaan yang
jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang
lainnya.
b. Memberikan rasa identitas kepada anggota-anggota
organisasi
c. Mempermudah timbulnya komitment
d. Meningkatkan kemantapan sistem sosial
e. Mekanisme pembuat makna dan pengendali yang
memandu dan membentuk sikap serta prilaku para
karyawan
f. Mengembangkan perangkat asumsi, pemahaman, dan
aturan yang mengatur prilaku di tempat kerja.
Dewasa ini peran dan fungsi budaya dalam organisasi
semakin penting, mengingat bahwa komponen-komponen
organisasi semakin berkembang, demikian juga orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Maka dengan adanya budaya
organisasi yang kuat, dilebarkannya rentang kendali,
didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim,
dikuranginya formalisasi, dan diberdayakannya karyawan
oleh organisasi, makna bersama yang diberikan dan diarah-
kan oleh budaya organisasi akan menjamin semua pihak

259
untuk bergerak ke arah yang sama. Perkembangan terakhir
dalam sistem pengadaan pegawai, memungkinkan
mengangkat manajer tertentu dari luar. Demikian juga untuk
karyawan produksi, mengambil SDM dari sumber lain (out
sourcsing) sudah bukan hal yang aneh. Maka untuk
mengetahui apakah ia dinilai berprestasi tinggi atau rendah?
Apakah sikap dan prilakunya sesuai dengan budaya
organisasi bersangkutan? Apakah ia akan mudah beradaptasi
dengan lingkungan baru? Untuk menjawabnya diperlukan
budaya organisasi.
Dengan demikian betapa pentingnya budaya organisasi
dalam sebuah organisasi, apalagi bagi organisasi besar.
Tetapi, di samping itu terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan, yakni budaya organisasi sebagai beban yang
akan menghambat hal-hal sebagai berikut:
a. Hambatan terhadap perubahan
Budaya organisasi akan menghambat apabila nilai-nilai
bersama tidak cocok dengan nilai yang akan
meningkatkan keefektifan organisasi. Terutama bagi
organisasi yang dinamis, karena apabila terjadi perubahan
yang cepat nilai yang telah ada mungkin sudah tidak
cocok lagi. Hal lain yang harus diperhatikan, konsisten
dalam mempertahankan nilai budaya organisasi
merupakan aset organisasi yang sangat berharga. Tetapi
di pihak lain, konsisten terhadap nilai tersebut akan
menjadi penghambat dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan yang strategis.
b. Hambatan terhadap keanekaragaman
Hambatan akan terjadi apabila manajemen
mempekerjakan karyawan yang beranekaragam karena
alasan ras, jenis kelamin, cacat, atau perbedaan lain.
Apalagi apabila manajemen menginginkan agar karyawan
baru menyesuaikan diri dengan budaya yang telah ada,
mereka akan sulit untuk dapat masuk. Di sisi lain,

260
tuntutan pengembangan social capital akan memiliki
dampak tersendiri, apabila organisasi tidak cepat tanggap.
c. Hambatan terhadap merger dan akuisisi
Semula merger dan akuisisi hanya mempertimbangkan
keuntungan financial saja. Tetapi akhir-akhir ini budaya
organisasi sudah mulai dipertimbangkan. Khususnya
dalam kasus merger, mempersatukan dua organisasi yang
berbeda budaya akan mempersulit dalam mencapai
efektivitas organisasi.

7.2. Manajemen Stress


Dalam organisasi, terdapat satu hal yang mungkin
terjadi dan sulit dihindari, yakni stres karyawan. Dalam kasus
tertentu, salah satu penyebab stres adalah karena beban kerja
yang terlalu berat, bekerja terlalu lama, sebagai akibat adanya
perampingan perusahaan.
Orang awam menganggap bahwa terjadinya stres
sebagai akibat dari tidak stabilnya situasi kerja, sementara
perkembangan ekonomi yang berkaitan erat dengan
tanggungjawab menghidupi keluarga tidak menentu. Dalam
situasi demikian, karyawan menghadapi dua dunia yang sama
berat. Di satu sisi berat manghadapi pekerjaan, di sisi lain
berat menghadapi situasi sosial ekonomi yang menghimpit
kehidupannya.
Pembahasan ini akan mencoba memahami pengertian
stres, penyebab stres, dan mempertimbangkan apa yang dapat
dilakukan indvidu dan organisasi untuk menanggulanginya.

1. Pengertian Stres
Menurut Robbins (2007:793), Stres adalah kondisi
dinamik yang di dalamnya individu menghadapi peluang,

261
kendala, atau tuntutan yang terkait dengan apa yang sangat
diinginkan dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak
pasti tetapi penting.
Secara lebih khusus, stres terkait erat dengan kendala
dan tuntutan. Kendala adalah kekuatan yang mencegah
individu dari melakukan apa yang sangat diinginkan dan
mengacu kepada hilangnya sesuatu yang diinginkan.
Tuntutan adalah hilangnya sesuatu yang sangat diinginkan.
Misalnya, seorang karyawan menghadapi pengukuran
kinerja. Karyawan akan stres, karena hasil tinjauan kinerja
tersebut menghadapi tiga kemungkinan, yakni kesempatan,
kendala, dan tuntutan. Tinjauan yang baik akan mendorong
ke promosi, tanggung jawab yang lebih besar dan gaji yang
lebih tinggi. Tinjauan kinerja yang buruk akan menjadi
kendala dari memperoleh promosi, bahkan tinjauan kinerja
yang buruk sekali mungkin akan mengakibatkan ia dipecat.
Kemungkinan terjadi stres tergantung dari sikap
karyawan yang bersangkutan. Apabila ia menganggap bahwa
hasilnya tidak pasti, mungkin baik mungkin buruk, maka ia
akan stres. Tetapi apabila ia beranggapan, baik atau buruk
merupakan kepastian, ia tidak akan stres karena apa pun yang
terjadi siap menerimanya. Tidak ada yang dianggap sebagai
kendala, dan tidak khawatir akan ada sesuatu yang hilang.
Namun demikian, stress tidak harus selalu tampil
buruk. Pada umumnya, stres memang dianggap sesuatu yang
negatif, tapi dalam konsep perilaku organisasi tidak
selamanya demikian, karena stres pun memiliki sisi positif.
Apabila terjadi stres pada karyawan, di sana terdapat peluang
untuk mengupayakan suatu perbaikan. Untuk memahami hal
ini, mari kita renungkan kata-kata bijak dari para psikolog
yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi
luar biasa tetapi tersembunyi. Potensi tersebut akan muncul
tiba-tiba pada saat terjadi keadaan darurat dan dilakukan

262
secara tidak sadar. Misalnya, ketika seseorang dikejutkan
oleh anjing galak yang ia takuti. Dalam suasana terkejut itu ia
akan melompat pagar setinggi dua meter dan berhasil
menjangkaunya dengan mudah, padahal dalam keadaan
normal tidak dapat dilakukannya.
Contoh lain, seorang profesional menghadapi beban
kerja yang cukup banyak sementara waktu semakin mepet.
Apabila situasi demikian dipertimbangkan dengan pikiran
dalam keadaan normal dianggap berat, karena banyak hal
yang harus dipertimbangkan, misalnya jam sekian harus
istirahat, jam sekian harus makan, dan sebagainya, kalau
tidak khawatir akan sakit atau keluhan lainnya. Tetapi dalam
keadaan darurat akan terjadi stres, semua yang biasanya
dipertimbangkan dengan matang diabaikannya. Semua waktu
yang tersisa digunakan untuk bekerja tanpa henti, dan
akhirnya selesai sesuai dengan target waktu. Inilah salah satu
contoh manfaat stres, sehingga dalam keadaan stres tersebut
terdapat nilai positif. Tetapi, untuk dapat memanfaatkan stres
tentu diperlukan manajemen yang baik. Sedikitnya
diperlukan pengetahuan tentang potensi sumber stres,
konsekuensi stres, dan manajemen stres.
2. Potensi Sumber Stres
Terdapat tiga faktor yang memiliki potensi sebagai
sumber stres, yaitu faktor lingkungan, faktor organisasi, dan
faktor individu.
a. Faktor Lingkungan
Ketidakpastian lingkungan memiliki potensi untuk
menjadi sumber stres, karena mempengaruhi perancangan
struktur organisasi dan tingkat stres di kalangan karyawan
dalam organisasi, ketidakpastian tersebut meliputi:
1) Ketidakpastian ekonomi, sebagai akibat dari
perubahan siklus bisnis. Apabila terdapat orang

263
kecemasan akan jaminan keamanan, baik keamanan
terhadap dirinya, keluarganya, maupun terhadap
hartanya merupakan potensi penyebab stres.
2) Ketidakpastian politik, dapat menjadi sumber
penyebab stres bagi kalangan bawah. sedengkan
kalangan atas apalagi di negara-negara Barat seperti
Amerika, Canada, dan yang lainnya perubahan
tersebut tidak begitu berpengaruh.
3) Ketidakpastikan teknologi, berpotensi menjadi
sumber stres, karena inovasi-inovasi baru dapat
membuat keterampilan dan pengalaman karyawan
menjadi ketinggalan dalam periode waktu yang sangat
singkat. Misalnya komputer, robot, otomatisasi, dan
ragam lain inovasi teknologi merupakan ancaman
besar bagi banyak orang dan menyebabkan stres.
4) Terorisme, sangat berpotensi menjadi penyebab stres
lingkungan. Di Amerika, ini menjadi penyebab stres
paling mutakhir. Orang-orang tertentu mulai merasa
khawatir untuk bekerja rutin di gedung pencakar
langit, takut naik pesawat terbang dengan membawa
urusan publik, dan soal keamanan perjalanan.
b. Faktor Organisasi.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab
stres. Misalnya tekanan untuk menghindari kekeliruan
atau menyelesaikan tugas dalam kurun waktu tertentu,
beban kerja yang berlebihan, bos yang tidak peka
terhadap tuntutan, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut
mencakup:
1) Tuntutan tugas, merupakan faktor yang terkait erat
dengan pekerjaan seseorang. Hal ini mencakup desain
pekerjaan individu itu, keragaman tugas, tingkat

264
otomatisasi, kondisi kerja, dan tata letak fisik.
Misalnya, kerja di perakitan dengan desakan
kecepatan yang dianggap terlalu tinggi, sehingga tidak
ada kesempatan untuk mengatur tenaga dan pikiran.
Atau pegawai yang secara rutin bekerja di kamar yang
sempit dan banyak personilnya, atau bekerja rutin di
tempat terbuka. Semua itu berpotensi menjadi sumber
stres.
2) Tuntutan peran, berkaitan dengan tekanan yang
diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran
tertentu yang dimainkan dalam organisasi. Sering
terjadi adanya konflik peran yang menciptakan
harapan-harapan yang sulit diwujudkan.
3) Tuntutan antar-pribadi, adalah tekanan yang
diciptakan oleh karyawan lain. Misalnya karena
kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan
hubungan antarpribadi yang buruk, semua itu
berpotensi menjadi sumber stres yang cukup besar,
khususnya di antara para karyawan yang memiliki
kebutuhan sosial tinggi.
4) Struktur organisasi, yang ikut menentukan tingkat
diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan
peraturan, dan di mana keputusan diambil. Aturan
yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam
pengambilan keputusan yang berdampak pada
karyawan merupakan contoh yang berpotensi besar
untuk menjadi sumber stres.
5) Kepemimpinan organisasi. menggambarkan gaya
manajerial eksekutif senior organisasi. Beberapa
pejabat senior menciptakan budaya bercirikan
ketegangan, rasa takut, dan kecemasan. Mereka
memberikan tekanan yang tidak realistis untuk

265
berkinerja dalam jangka pendek, memaksakan
pengawasan yang sangat ketat, dan secara rutin
memecat karyawan yang tidak dapat mengikuti
kehendaknya. Apabila terjadi hal demikian, kita ingat
bahwa organisasi didirikan atas dasar siklus alami,
tumbuh, berkembang, dan mati. Artinya, siap-siap
untuk menghadapi kehancuran, karena terlalu banyak
karyawan yang stres menandakan organisasi tersebut
sakit.
c. Faktor Individu.
Pada umumnya individu hanya mampu bekerja antara 40
sampai 50 jam per minggu. Tetapi pengalaman yang
dilalui individu setiap minggunya lebih dari 120 jam
dengan jenis yang bervariasi. Oleh karena itu, faktor
terakhir yang berpotensi untuk menjadi sumber stres
adalah berkaitan erat dengan kehidupan pribadi
karyawan, meliputi:
1) Masalah keluarga, merupakan sesuatu yang sangat
berharga bagi karyawan. Hal-hal yang berkaitan
dengan keluarga antara lain konsultasi pernikahan,
pecahnya hubungan, kesulitan disiplin anak-anak,
sakit, kesulitan ekonomi, dan sebagainya. Hal-hal
seperti ini berpotensi menjadi sumber stres yang akan
terbawa ke tempat kerja. Banyak teori yang
mengemukakan bahwa masalah di tempat kerja
jangan dibawa ke rumah, dan masalah di rumah
jangan dibawa ke tempat kerja. Semua orang
mengerti, tapi dalam prakteknya sulit untuk
dilaksanakan. Maka masalah keluarga akan terkait
erat dengan masalah pekerjaan.
2) Ekonomi, merupakan masalah bersama. Suasana
ekonomi individu sangat beragam dan sering menjadi
masalah utama di keluarga. Kadang-kadang iklim

266
ekonomi keluarga diciptakan sendiri, tetapi manakala
telah menjadi masalah akan merembet kepada
masalah pekerjaan. Misalnya, individu berhutang ke
bank, semula perusahaan tempat ia bekerja tidak
mengetahui apa-apa. tetapi ketika dihadapkan kepada
sulitnya mencicil utang, menjadi sumber stres yang
mengganggu kepada kelancaran pekerjaan.

Khusus berkaitan dengan faktor individu, penyebabnya


bertumpuk-tumpuk. Hal ini sebagai akibat dari penanganan
stres yang buruk. Biasanya fakta yang ada diabaikan atau
tidak diselesaikan, kemudian datang fakta baru, datang lagi
yang lain, dan demikian seterusnya sehingga semakin banyak
dan menumpuk. Apabila ada yang berpandangan bahwa
penyebab kecil abaikan saja, toh lama lama akan hilang
dengan sendirinya, benar. Tetapi penyebab stres kecil yang
tidak diselesaikan dan ditumpuk dengan masalah baru,
semakin lama akan semakin banyak. Ibarat sehelai rumput,
kalau ditumpuk terus menerus saking banyaknya lama-
kelamaan dapat mematahkan punggung unta. Secara
matematis, apabila ingin mengetahui jumlahnya stres
individu, harus menjumlahkan stres kesempatan, stres
kendala, dan stres tuntutan.

3. Konsekuensi Stres
Setelah membahas beberapa faktor yang mungkin
berpotensi untuk menjadi sumber stres, perlu juga
dikemukakan konsekuensi stres. Hal ini perlu diketahui dan
dipahami karena berkaitan dengan kelangsungan hidup
organisasi. Stres itu sendiri muncul melalui beberapa cara dan
sebab, seperti halnya penyakit, walaupun penyakitnya sama,
misalnya sakit perut, penyebabnya belum tentu sama.
Kemudian dari penyakit yang sedang diderita, apabila tidak
diobati akan mengakibatkan penyakit lain. Demikian juga

267
dengan stres, stres akan mengakibatkan keluhan lain seperti
tekanan darah tinggi, gangguan lambung, napsu makan
hilang, sakit kepala, kahilangan keseimbangan badan yang
mengakibatkan kecelakaan, dan lain-lain. Dari beberapa
konsekuensi yang diperkirakan, dapat dikategorikan menjadi
tiga bagian, yakni gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku.
a. Gejala Fisiologis. Sebagian besar perhatian dini terhadap
konsekuensi stres diarahkan kepada gejala fisiologis.
Pandangan ini terutama datang dari seorang pakar yang
secara khusus meneliti tentang topik ini. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah mereka lakukan, stres dapat
menciptakan perubahan metabolisme, meningkatkan laju
detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan
darah, menimbulkan sakit kepala dan menyebabkan
serangan jantung.
b. Gejala Psikologis, dapat menyebabkan ketidakpuasan.
Stres yang berkaitan dengan pekerjaan akan
menimbulkan ketidakpuasan dengan pekerjaan. Ini
merupakan dampak psikologis yang paling sederhana,
jelas, dan sering terjadi. Di samping itu, konsekuensi
stres psikologis akan muncul dalam bentuk lain, misalnya
ketegangan, kecemasan, mudah marah, mudah
tersinggung, kebosanan, dan suka menunda-nunda
pekerjaan. Terbukti bahwa apabila ada seseorang yang
ditempatkan dalam pekerjaan yang mempunyai tuntutan
ganda dan berkonflik atau di tempat yang tidak ada
kejelasan tugas, wewenang, dan tanggungjawab pemikul
pekerjaan, stres dan ketidakpastian akan meningkat.
c. Gejala Perilaku. Gejala stres yang berkaitan dengan
prilaku mencakup perubahan produktivitas, absensi, dan
tingkat keluar masuk karyawan. Di samping itu terdapat
juga perubahan kebiasaan makan, meningkatnya merokok
dan konsumsi alkohol, bicara cepat, gelisah, dan

268
gangguan tidur. Contoh, sebuah perusahaan besar di
Amerika Serikat pernah mengalami peningkatan biaya
operasional yang cukup besar sebagai akibat dari stres.
Hal ini disebabkan karena tingginya absen, menurunnya
produktivitas, tingginya angka keluar masuk karyawan,
kompensasi kecelakaan kerja, biaya pengobatan langsung,
hukum dan asuransi. Di samping itu, stres pun
mengakibatkan tingginya angka kemangkiran kerja yang
tidak terjadwal. Dengan demikian, stres yang terjadi
langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap
kelancaran organisasi.

4. Manajemen Stres
Apabila dipandang dari sisi kepentingan administrasi
dan manajemen, sebenarnya stres bukan garapan manajemen,
bahkan jika tidak memperdulikan pun tidak menjadi
masalah. Apabila karyawan mengalami stres, baik sedang
maupun rendah itu urusan pribadinya.
Tetapi, setelah ditelusuri secara seksama ternyata stres
itu bermacam-macam, dan ada juga stres yang bersifat
fungsional sehingga bermanfaat bagi organisasi dalam
meningkatkan kinerja yang lebih baik. Di samping itu, ada
juga stres yang berada pada tingkat tinggi, atau tingkat
rendah yang berkepanjangan, dapat mendorong penurunan
kinerja karyawan dan organisasi, sehingga menuntut adanya
tindakan konkret dari manajemen. Namun demikian,
walaupun terdapat stres yang bermanfaat bagi organisasi,
alangkah bijaksananya apabila karyawan tidak terlalu banyak
mengetahui tentang hal itu. Karena secara individu, tingkat
stres apa pun akan dipersepsikan sebagai stres yang
diinginkan. Di pihak lain, sulit untuk mengukur tingkatan
stres seseorang, apakah ia berada pada tingkat rendah,
sedang, atau tinggi.

269
Bandingkan dengan pengelolaan konflik, oleh karena
manajemen beranggapan terdapat konflik fungsional, maka
untuk situasi tertentu manajemen harus dapat merangsang
konflik. Hal ini berbeda dengan pengelolaan stres, walaupun
terdapat pakta bahwa stres tingkat rendah dapat bersifat
fungsional, tetapi manajemen tidak harus berusaha untuk
merangsang stres. Dengan kata lain, sekecil apa pun stres
harus dicegah.
Maka, agar stres tidak berkepanjangan dan
mengakibatkan menurunnya produktivitas, manajemen harus
segera bertindak untuk mengelola stres dengan beberapa
pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan individu.
Dalam pendekatan ini, karyawan dapat memikul
tanggungjawab pribadi untuk mengurangi tingkat
stresnya. Strategi individu yang telah terbukti efektif
dalam mengelola stres mencakup teknik manajemen
waktu, meningkatkan latihan fisik, pelatihan pengenduran
(relaksasi) dan perluasan jaringan dukungan sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama para karyawan
yang sibuk, banyak yang tidak mampu mengelola
waktunya dengan baik. Indikatornya, suatu pekerjaan
seharusnya selesai dalam satu hari, dalam kenyataan
dapat mencapai dua atau tiga hari. Hal ini terjadi karena
tidak bisa mengatur waktu. Maka bagi mereka diarahkan
untuk mulai belajar mengatur waktu, dengan cara (1)
membuat daftar harian kegiatan yang akan diselesaikan,
(2) memprioritaskan kegiatan menurut kepentingan dan
urgensinya, (3) menjadwalkan kegiatan menurut
peringkat prioritas, dan (4) mengetahui siklus harian dan
menangani bagian yang paling menuntut dari pekerjaan

270
selama berada di puncak siklus yang di sana ia paling
waspada dan produktif.
Teknik meningkatkan latihan fisik dapat dilakukan secara
non-formal, misalnya lari-lari kecil, berjalan kaki,
berenang, bersepeda, atau apa saja yang dapat dilakukan
dengan santai. Bentuk latihan fisik ini akan membantu
melancarkan kerja jantung, memperlancar aliran darah,
mengeluarkan keringat, dan melenturkan otot-otot yang
kaku. Apabila dilakukan dengan teratur, kejenuhan akan
berkurang, nalar kembali jernih dan stres akan berkurang
yang selanjutnya hilang.
Teknik lain yang dapat dilakukan adalah pengenduran
atau relaksasi. Salah satu caranya adalah meditasi,
hipnotis, atau kontemplasi. Sasarannya adalah
memisahkan diri dari kesibukan kerja, agar fisik merasa
santai.
Di samping itu, menambah dukungan sosial dari keluarga
dan karib kerabat merupakan hal yang sangat penting.
Dalam konsep Islam, silaturahmi akan menjadi obat
penawar yang sangat mujarab, apalagi bila ditambah
dengan mendekatkan diri kepada Allah, memperkuat daya
spiritual akan menghilangkan stress tanpa efek samping
negatif.
b. Pendekatan organisasi.
Beberapa faktor yang berpotensi menjadi sumber stres
begitu banyak, terutama dari lingkungan organisasi
dengan beratnya beban kerja. Dalam upaya mengelola
stres, faktor-faktor tersebut dapat diubah dan
dimodifikasi. Salah satu cara yang dipertimbangkan oleh
manajemen antara lain dengan perbaikan seleksi personal
dan penempatan kerja. Cara lainnya adalah penggunaan
penetapan sasaran yang realistis. Hal ini berdasarkan

271
teori, bahwa individu akan bekerja lebih baik apabila
sasaran yang akan dituju jelas. Dapat juga dengan cara
perancangan ulang pekerjaan yang mampu memberikan
karyawan lebih banyak tanggungjawab, lebih banyak
kerja yang bermakna, lebih banyak otonomi, dan
peningkatan umpan balik sehingga dapat mengurangi
stres. Karena dalam hal ini karyawan memiliki kendali
lebih besar terhadap beban kerjanya.
Selanjutnya perbaikan komunikasi organisasi formal
dengan karyawan sangat bermanfaat untuk mengurangi
ketidakpastian, mengurangi ambiguitas dan konflik peran.
Oleh karena itu, pentingnya peran persepsi dalam
memperlunak hubungan stres-respon itu, manajemen
perlu menggunakan komunikasi yang efektif sebagai cara
untuk membentuk persepsi karyawan.
Cara yang paling dekat dengan kepentingan karyawan
adalah penegakan program kesejahteraan. Suatu program
yang didukung oleh organisasi yang memusatkan
perhatian kepada seluruh kondisi fisik dan mental
karyawan. Misalnya, mengadakan lokakarya yang
membahas bahaya merokok dan sekaligus merangsang
agar karyawan berhenti merokok atas kesadaran sendiri.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah memberikan
pemahaman bahwa pada hakekatnya yang paling
bertanggungjawab atas keselamatan, kesehatan, dan
kesejahteraan pribadi adalah dirinya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, implikasinya para manajer
setelah membahas berbagai komponen yang berkaitan dengan
perilaku organisasi, seperti perilaku individu, perilaku
kelompok, dinamika kelompok, persepsi, kepemimpinan,
kekuasaan, politik, motivasi, lingkungan organisasi,

272
perubahan organisasi, dan sebagainya mustahil tidak
terbayang sedikit pun tentang perlunya perubahan.
Dengan demikian, manajer adalah merupakan agen
perubahan yang paling diharapkan. Dunia nyata terus
berubah, sehingga organisasi dan siapa pun yang ada di
dalamnya dituntut untuk mau dan mampu berubah serta siap
menerima perubahan

273
DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syaikh Faisal bin Aly Yahya Ahmad.1989. Sistem


Kaderisasi Rasulullah saw. Solo: CV Pustaka Mantiq.

Burns, J.M. 1978. Leadership. New York: Harper and Row.

Castetter, B. William. 1996. The Human Resource Function


in Educational Administration. New Jerssey : A Simon
& Schuster Company Englewood Cliffs..

Davis, Keith & Newstrom, John W. 1993. Perilaku Dalam


Organisasi (edisi ketujuh, jilid 1), Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Duncan, W. Jack. 1981. Organizational Behavior, 2nd


Edition, Boston, Houghton Mifflin Company.

Effendy, Onong Uchyana. 2005. Ilmu Komunikasi; Teori dan


Praktek, Bandung; PT Remaja Rosdakarya

Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam,


Jakarta; Gema Insani Press.

Fielder, Fred, E and Martin M. Chemer. 1974. Leadership


and Effective Management. Glenview, Illinois, Scott:
Foresman and Company.

Flippo, Edwin. B. 1997. Manajemen Personalia (Edisi


keenam, jilid 2), Jakarta; Penerbit Erlangga.

Fielder, Fred, E and Martin M. Chemer. 1974. Leadership


and Effective Management. Glenview, Illinois, Scott:
Foresman and Company.

274
Indrawijaya, Adam I. 2002. Perilaku Organisasi, Bandung:
Sinar Baru Algesindo.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Perilaku dan Budaya


Organisasi, Bandung: Refika Aditama.

Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior, Tenth


Edition. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River,
New Jersey 07458.

Robbins, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi, Alih Bahasa


: Drs. Benyamin Molan, PT Indeks: Indonesia.

Siagian, Sondang P. 1999. Teori dan Praktek Kepemimpinan,


Jakarta: Rineka Cipta.

Thoha, Miftah. 2007. Perilaku Organisasi; Konsep Dasar


dan Aplikasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

275
276

Anda mungkin juga menyukai