Anda di halaman 1dari 160

KUMPULAN MAKALAH

MANAJEMEN KINERJA
Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2017
2017
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah
Palembang

Program Studi Manajemen

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER MANAJEMEN KINERJA


(TEORI MOTIVASI SPIRITUAL ISLAM)

Disusun oleh : Bora Alviolesa (92216027)


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... i

1. Motivasi .............................................................................................. 1
A. Pengertian Motivasi......................................................................... 1
B. Teori-teori Tentang Motivasi ........................................................... 4
C. Bentuk Motivasi ............................................................................. 6
D. Jenis-Jenis Motivasi ........................................................................ 7
E. Tingkatan-Tingkatan Motivasi......................................................... 7
F. Tujuan Motivasi .............................................................................. 8
2. Spiritualitas ........................................................................................ 8
A. Pengertian Spiritualitas .................................................................... 8
B. Aspek-aspek Spiritualitas ................................................................ 10
3. Islam ................................................................................................... 12
A. Pengertian Islam .............................................................................. 12
B. Rukun Islam .................................................................................... 13
C. Rukun Iman .................................................................................... 14
4. Motivasi Spiritual Islam .................................................................... 16
A. Pengertian Motivasi Spiritual .......................................................... 16
B. Aspek-aspek Motivasi Spiritual ....................................................... 17
C. Hubungan Antara Motivasi Spiritual Terhadap Kinerja ................... 18
5. Kesimpulan ........................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 21

Bora Alviolesa | i
Teori Motivasi Spiritual Islam

1. Motivasi
A. Pengertian Motivasi
Menurut Malayu Hasibuan (2012), kata motivasi berasal dari bahasa
Latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Sedangkan apabila
dikaitkan dengan manajemen sumber daya manusia, maka motivasi ini
mempersoalkan tentang cara untuk dapat mengarahkan daya dan potensi
bawahan agar mau bekerja secara produktif sehingga berhasil mencapai
standar yang sudah ditetapkan mencapai tujuan yang sudah ditentukan.
Sutrisno (2013) mengemukakan motivasi adalah “faktor yang mendorong
seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, motivasi sering kali
diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang”. Mangkunegara
(2012) juga mengemukakan motivasi adalah “kondisi atau energi yang
menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan
organisasi perusahaan”.
Menurut Stephen P. Robbins (Wibowo, 2013), motivasi merupakan
proses yang menimbulkan adanya intensitas (intensity), arah (direction), dan
usaha terus-menerus (persistence) yang dilakukan oleh individu menuju
pencapaian tujuan. Adanya kebutuhan yang harus dipenuhi menjadi faktor
pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja. Tujuan atau sasaran
yang hendak dicapai tersebut terbagi menjadi kebutuhan pribadi dan
organisasi. Pemenuhan kebutuhan pribadi manusia yaitu dengan melakukan
pekerjaan untuk mengharapkan kompensasi mendapatkan imbalan, upah atau
gaji dari hasil kerjanya.
Definisi lain tentang motivasi dijelaskan oleh Stephen P.Chobbins dan
Marry Coulter sebagaimana dikutip oleh Winardi (2007) bahwa motivasi
adalah kesediaan untuk melaksanakan upaya dalam mencapai tujuan
keorganisasian yang dikondisikan oleh kemampuan memenuhi kebutuhan
individual tertentu. Syekh Muhammad Ismail dalam buku Al-fikru yang
dikutip oleh Widjayakusuma (2007) menguraikan beberapa motivasi yang
mendorong manusia untuk melakukan perbuatan, yaitu:

Bora Alviolesa | 1
1) Motivasi fisik-mental, meliputi tubuh manusia dan alat yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya.
2) Motivasi emosional, motivasi yang berupa kondisi kejiwaan yang
senantiasa dicari dan ingin dimiliki seseorang, sekalipun tidak permanen.
3) Motivasi spiritual, berupa kesadaran seseorang bahwa ia memiliki
hubungan dengan Allah, zat yang akan meminta pertanggung jawaban
manusia atas segala perbuatan.
Widjayakusuma (2007) juga mengutip pendapat lainnya dari Baharuddin
yang merumuskan 3 (tiga) macam motivasi manusia, yaitu:
1) Motivasi jismiah (fisiologis) adalah motivasi yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan fisik-biologis, seperti makan, minum, dan
pakaian.
2) Motivasi nafsiah (psikologis) adalah motivasi yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikologis, seperti rasa
aman, penghargaan, rasa memiliki, dan rasa cinta
3) Motivasi ruhaniah (spiritual) adalah motivasi yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat spiritual , seperti,
aktualisasi diri dan agama.
Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau
semangat kerja atau dengan kata lain pendorong semangat kerja (Martoyo,
2007). Dengan dorongan dimaksudkan agar dapat memberikan desakan yang
alami untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan agar dapat memberikan
desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup, dan
merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Kunci terpenting
untuk itu tak lain adalah “pengertian mendalam tentang manusia” untuk
menghindari kekurang tepatan menggunakan istilah motivasi perlu kiranya
dikemukakan oleh Manullang dalam (Martoyo, 2007) tentang beberapa istilah
yang mirip dengan pengertian dari:
1) Motif
Motif disamakan artinya dengan kata-kata motif dorongan, serta alasan,
yang dimaksud dengan motif adalah dorongan atau tenaga pendorong

Bora Alviolesa | 2
yang mendorong manusia untuk bertindak atau suatu tenaga di dalam diri
manusia yang menyebabkan manusia bertindak
2) Motivasi
Motivasi atau motivation menimbulkan motif atau hal yang
menimbulkan dorongan atau keadaan yang dapat menimbulkan
dorongan. Dapat juga dikatakan bahwa motivation adalah faktor yang
mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu
3) Motivasi kerja
Motivasi kerja bertolak dari arti motivasi tadi, maka yang dimaksud
dengan motivasi kerja adalah suatu yang menimbulkan dorongan atau
semangat kerja atau kata lain pendorong semangat.
4) Insentive
Istilah incentive (insentif) dapat digantikan dengan kata alat motivasi,
sarana motivasi, sarana penimbul motivasi atau sarana yang
menimbulkan dorongan.
Orang akan mau bekerja keras dengan harapan ia akan dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginan-keinginannya dari hasil pekerjaannya. Sejalan
dengan hal itu Peterson dan Plowman dalam (Martoyo, 2007) mengatakan
bahwa yang dimaksud keinginan-keinginan itu adalah :
1) The desire to live, artinya keinginan untuk hidup merupakan keinginan
utama dari setiap orang; manusia bekerja untuk dapat makan dan makan
untuk dapat melanjutkan hidupnya.
2) The desire for posession, artinya keinginan untuk memiliki sesuatu
merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah satu sebab
mengapa manusia mau bekerja
3) The desire for power, artinya keinginan akan kekuasaan merupakan
keinginan selangkah di atas keinginan untuk memiliki, mendorong orang
mau bekerja
4) The desire for recognation, artinya keinginan akan pengakuan
merupakan jenis terakhir dari kebutuhan dan juga mendorong orang
untuk bekerja.

Bora Alviolesa | 3
Mengacu kepada pendapat tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa
setiap orang mempunyai keinginan dan kebutuhan tertentu dan berusaha
melaksanakan pekerjaan untuk mengejar dan mewujudkan keinginan serta
kebutuhan tersebut sehingga pada akhirnya mengharapkan kepuasan dari
hasil kerja itu.

B. Teori-Teori Tentang Motivasi


Menurut Munandar dalam (Farlen, 2011) teori tentang motivasi dibagi
menjadi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu:
1) Teori isi (content theory), mencakup teori-teori motivasi dari:
a. Abraham Maslow (hirarki kebutuhan)
Manusia memiliki 5 (lima) kebutuhan yang tersusun dalam suatu
hiraki dan berawal dari kebutuhan dasar, dimana seseorang akan
selalu termotivasi untuk mencakup kebutuhan 8 selanjutnya setelah
kebutuhan sebelumnya terpenuhi, ini terjadi secara berurutan
(Munandar, 2001), yaitu :
(1) Fisiologis : sandang, pangan, papam
(2) Rasa aman : keamanan, merdeka, perlindungan
(3) Sosial : cinta, afiliasi
(4) Harga diri : penghargaan, pengakuan
(5) Aktualisasi diri
b. Herzberg (teori dua faktor)
Ada dua faktor yang menentukan motivasi seseorang dalam
melakukan pekerjaannya, yaitu:
(1) Hygiene faktor / job contex factor / dissatisfier
Dimana faktor ini apabila tidak terpenuhi dapat menimbulkan
ketidakpuasan dan berdampak pada motivasi kerja seseorang
seperti : kebijakan perusahaan, kondisi kerja, gaji dan keamanan
kerja.

Bora Alviolesa | 4
(2) Motivasi / satisfier
Apabila faktor ini dipenuhi akan menimbulkan kepuasan dan
motivasi namun jika tidak maka tidak akan menciptakan
kepuasan kerja seperti: prestasi, pengakuan, pertumbuhan,
tanggung jawab.
c. Alderferer (teori ERG)
Menyatakan bahwa kebutuhan di tingkat rendah tidak harus dipenuhi
terlebih dahulu, sebelum motivasi untuk memenuhi 9 kebutuhan pada
tingkat berikutnya seperti teori Maslow, Konsep dari Alderferer
bahwa kebutuhan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu :
(1) Existence needs (kebutuhan untuk eksis/keberadaan)
Kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan biologis dan
keamanan yang lebih terpuaskan oleh kondisi material dari pada
hubungan interpersonal
(2) Related needs (kebutuhan untuk menjalin hubungan)
Kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan sosial yang terpuaskan
melalui adanya hubungan interpersonal
(3) Growth needs (kebutuhan untuk berkembang/tumbuh)
Kebutuhan ini berkaitan dengan keinginan untuk
mengembangkan diri atau aktualisasi diri.
2) Teori proses (process theory), mencakup teori-teori motivasi dari:
a. Victor Vroom (Teori Pengharapan)
Mengeritik bahwa model Content kurang memadai untuk
menjelaskan motivasi. Sehingga ia mengeluarkan teori sendiri, bahwa
motivasi dibangun berdasarkan Valence, Instrumentality dan
Expectacy:
(1) Valence
Kekuatan dari preferensi individu terhadap outcome atau keluaran
tertentu. Faktor ini diartikan sebagai nilai, insentif, sikap dan
harapan

Bora Alviolesa | 5
(2) Instrumentality
Peranan yang menghubungkan outcome tingkat pertama dengan
tingkat kedua.
(3) Expectacy
Harapan yang menghubungkan usaha individu dengan outcome
tingkat pertama
b. Lawler & Porter
Dimana motivasi adalah berasal dari umpan balik kepuasan kerja,
yang dimulai dari kemampuan dan keterampilan secara pengalaman
menghasilkan kinerja yang akhirnya kepuasan. Hambatan yang perlu
diatasi :
(1) Adanya keragaman karyawan terhadap kemampuan,
keterampilan, serta kemampuan yang dimilikinya
(2) Keragaman karyawan atas kemungkinan fisik dari pekerjaan
(3) Keragaman karyawan atas keterkaitan pekerjaan dengan individu/
aktivitas lain
(4) Ambiguitas/ kemenduaan arti yang meliputi persyaratan
pekerjaan

C. Bentuk Motivasi
Menurut Nawawi dalam (Farlen, 2011) Karyawan dalam bekerja
memiliki motivasi yang berasal dari luar maupun dalam, yang merupakan
bentuk dari motivasi adalah :
1) Motivasi intrinsik
Muncul atas dorongan dari dalam diri individu. Dipelajari melalui teori
proses (process theory) yang banyak membahas tentang motivasi internal
individu.
2) Motivasi ekstrinsik
Muncul karena dorongan faktor eksternal. Dipelajari melalui teori isi
(content theory) yang membahas faktor eksternal individu.

Bora Alviolesa | 6
D. Jenis-Jenis Motivasi
Hamidi Bakran (2007) menyebutkan bahwa secara fitrah motivasi dalam
diri manusia terbagi kepada 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Motivasi spiritual adalah dorongan fitrah manusia untuk memenuhi
kebutuhan ruhaniah.
2) Motivasi fisiologis (yang bersifat jasmaniah) adalah fitrah manusia untuk
memenuhi fisik atau bersifat jasmiah, seperti motivasi memelihara diri.
3) Motivasi psikologis (kejiwaan) adalah motivasi yang mendorong
manusia untuk memenuhi kbutuhannya yang bersifat kejiwaan.

E. Tingkatan-Tingkatan Motivasi
Menurut Hamidi Bakran (2007) tingkatan-tingkatan motivasi yang
terdapat dalam diri manusia ada 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1) Motivasi hewani
Motivasi hewani yaitu motivasi memenuhi kebutuhan tanpa
memperhatikan bagaimana cara memperolehnya, keadaan dari sesuatu
yang diperolehnya, dan cara pemanfaatanya
2) Motivasi insani
Morivasi insani yaitu motivasi yang terdapat didalam diri manusia yang
memiliki akal sehat, hati yang bening, dan inderawi yang tajam
3) Motivasi rabbani
Motivasi rabbani yaitu dorongan jiwa yang terdapat dalam diri seseorang
manusia yang telah mencapai tingkat kesempurnaan diri melalui
ketaatanya yang sangat sempurna dalam menjalankan perintah dan
menjauhi larangan Allah.

F. Tujuan Motivasi
Menurut Malayu Hasibuan (2012), dalam pemberian motivasi seluruh
perusahaan mempunyai kesamaan tujuan untuk merangsang dan mendorong
individu agar bekerja lebih giat, efisien dan efektif dalam rangka mencapai

Bora Alviolesa | 7
tujuan perusahaan, berikut beberapa tujuan yang dapat diperoleh dari
pemberian motivasi antara lain:
1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
2) Mengingkatkan produktivitas kerja karyawan
3) Mempertahankan kestabilan kerja karyawan
4) Meningkatkan kedisiplinan kerja karyawan
5) Mengaktifkan pengadaan karyawan
6) Menciptakan suasana hubungan kerja yang baik
7) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan
8) Meningkatkan kesejahteraan karyawan
9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya
10) Meningkatkan efisisensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.

2. Spiritualitas
A. Pengertian Spritualitas

Menurut Tischler dalam Desiana (2009) mengatakan bahwa spiritualitas


mirip atau dengan sautu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan
sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti
menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.
Wigglesworth dalam Desiana (2009) juga menjelasakan spiritualitas
adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang
lebih besar dari diri manusia itu. Istilah “sesuatu yang lebih besar dari
manusia” adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan
diri orang tersebut. Pengertian oleh Wigglesworth ini memiliki dua
komponen, yaitu vertikal dan horizontal:
1) Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak terbatas tempat dan
waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa.
Kinginan untuk berhubungan dengan diberi petunjuk oleh sumber ini.
2) Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet
secara keseluruhan.

Bora Alviolesa | 8
Spiritualitas dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari termasuk
juga di tempat kerja. Ashmos dalam Desiana (2009) mendefinisikan
spiritualitas di tempat kerja sebagai suatu pengenalan bahwa karyawan
memiliki ”kehidupan dalam” yang memelihara dan dipelihara oleh pekerjaan
yang bermakna yang mengambil tempat dalam konteks komunitas.
Pengertian spiritualitas di tempat kerja dari Ashmos memiliki tiga komponen,
yaitu kehidupan dalam (inner life), pekerjaan yang bermakna, dan komunitas.
Ashmos ingin menekankan bahwa spiritualitas di tempat kerja bukan tentang
agama, walaupun orang terkadang mengekspresikan kepercayaan agama
mereka di tempat kerja.
Secara eksplisit, Piedmont dalam (memandang spiritualitas sebagai
rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku
individu. Lebih jauh, Piedmont mendefenisikan spiritualitas sebagai usaha
individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi
dalam konteks kehidupan setelah mati (eschatological). Hal ini berarti bahwa
sebagai manusia, kita akan mencoba sekuat tenaga untuk membangun
beberapa pemahaman akan tujuan dan pemaknaan akan hidup yang sedang
kita jalani.
Menurut Aman (2013), spiritual dalam pengertian luas merupakan hal
yang berhubungan dengan spirit, sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran
yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering
dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara,
didalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural
seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman
pribadi. Spiritual dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang
dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam
pandangan hidup seseorang, dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi.
Menurut Nico Syukur dalam (Tamami, 2013), apakah ada perbedaan
antara spiritual dan religius, spiritualitas adalah kesadaran diri dan kesadaran
individu tentang asal, tujuan dan nasib. Agama adalah kebenaran mutlak dari

Bora Alviolesa | 9
kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan
praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang
dinyatakan oleh instirusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya.
Agama memiliki kesekian iman, komunitas dan kode etik, dengan kata
lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan
dan kesadaran, sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus
dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti
agama tertentu, namun memiliki spiritualitas. Orang-orang dapat menganut
agama yang sama, namun belum tentu mereka memilii jalan atau tingkat
spiritualitas yang sama.

B. Aspek-Aspek Spiritualitas
Piedmont dalam (Pustakasari, 2014) mengembangkan sebuah konsep
spiritualitas yang disebutnya spiritual transendence. Yaitu kemampuan
individu untuk berada diluar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat,
serta untuk melihat kehidupan dari persfektif yang lebih luas dan objektif.
Persfektif transendensi tersebut merupakan suatu persfektif dimana seseorang
melihat satu kesatuan fundamental yang mendasari beragam kesimpulan akan
alam semesta konsep ini terdiri dari 3 (tiga) aspek, yaitu:
1) Prayer fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira
dan bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas
transeden
2) Universality (universalitas), yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan
kehidupan alam semesta (nature of life) dengan dirinya
3) Connectedness (keterkaitan), yaitu sebuah keyakinan bahwa seseorang
merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang
melampaui generasi dan kelompok tertentu
Aspek diatas senada dengan Elkins, dkk dalam (Adami, 2006)
menjelaskan spiritualitas sebagai bentuk multidimensi yang dibangun dari
sembilan aspek utama, yaitu:

Bora Alviolesa | 10
1) Dimensi transendental (transcendent dimension). Yakni meyakini secara
lebih dalam dari apa yang dilihat dan dirasakan. Hal ini mungkin atau
mungkin juga tidak terkait kepercayaan kepada Tuhan, serta meyakini
bahwa keinginan diri sendiri ditentukan melalui hubungan harmonis
dengan dimensi ini
2) Makna dan tujuan dalam hidup (meaning and purpose in life), yakni
setiap orang memiliki tujuan hidup yang muncul dari sebuah proses
pencarian makna secara terus menerus
3) Misi dalam hidup (mission of life), yakni memiliki rasa tanggungjawab
terhadap hidup dengan memahami bahwa eksistensi dirinya terdiri dari
beragam kewajiban yang harus dijalani
4) Kesucian dalam hidup (sacredness of life),m yakni meyakini bahwa
semua kehidupan dan semua hal didalamnya adalah suci
5) Nilai-nilai kebendaan (material values), yakni menyadari bahwa
kepuasan dan kebahagiaan tertinggi berasa dari nilai-nilai spiritual, bukan
berasal dari al-hal bersifat kebendaan
6) Altruism yakni meyakini keadilan sosial, dan menyadari bahwa tidak ada
seorangpun yang dapat hidup tanpa adanya interaksi sosial dengan orang
lain
7) Idealisme yaitu menghormati potensi-potensi positif dalam semua aspek
kehidupan seseorang
8) Kesadaran akan kemampuan tinggi untuk berempati (awareness of high
emphatic capacity), yakni kesadaran yang mendalam untuk mengambil
makna dari rasa sakit, penderitaan, serta kematian, bahwa hidup itu
bernilai
9) Manfaat spiritualitas (fruits of spirituality) yakni nilai-nilai spiritualitas
bisa diwujudkan dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan
alam

Bora Alviolesa | 11
3. Islam
A. Pengertian Islam

Menurut Bawany dalam (Pratiwi, 2014) Islam adalah agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an yang
diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.
Islam bersifat universal dalam pandangan dan rancangannya dan tidak
mengakui kendala-kendala dan perbedaan-perbedaan yang memisahkan-
memisahkan manusia menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan.
Dari pengertian Islam di atas dapat penulis simpulkan bahwa Islam suatu
ajaran manusia yang menjadi panutan umatnya untuk melakukan ajaran yang
diperintahkan oleh Allah (Pratiwi, 2014).
Menurut Munawwir dalam (Marzuki, 2012) Agama Islam dalam istilah
Arab disebut Dinul Islam. Kata Dinul Islam tersusun dari dua kata yakni Din
dan Islam. Arti kata din baik secara etimologis maupun terminologis sudah
dijelaskan di depan.
Sedangkan kata “Islam” secara etimologis berasal dari akar kata kerja
“salima” yang berarti selamat, damai, dan sejahtera, lalu muncul kata
“salam” dan “salamah”. Dari “salima” muncul kata “aslama” yang artinya
menyelamatkan, mendamaikan, dan mensejahterakan. Kata “aslama” juga
berarti menyerah, tunduk, atau patuh. Dari kata “salima” juga muncul
beberapa kata turunan yang lain, di antaranya adalah kata “salam” dan
“salamah” artinya keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, dan
penghormatan, “taslim” artinya penyerahan, penerimaan, dan pengakuan,
“silm” artinya yang berdamai, damai, “salam” artinya kedamaian,
ketenteraman, dan hormat, “sullam” artinya tangga, “istislam” artinya
ketundukan, penyerahan diri, serta “muslim” dan “muslimah” artinya orang
yang beragama Islam laki-laki atau perempuan.

Bora Alviolesa | 12
B. Rukun Islam
Rukun islam adalah lima tindakan dasar dalam Islam, dianggap sebagai
pondasi wajib bagi orang-orang beriman dan merupakan dasar kehidupan
muslim. (Pondok Islami, 2017) Rukun Islam terdiri dari lima perkara yaitu:
1) Mengucapkan dua kalimat Syahadat
Dua Kalimat Syahadat merupakan dua kalimat dalam bahasa Arab
mengandung pernyataan dan pengakuan akan dua hal yaitu :
a. Syahadah At Tauhid : Asyhadu ‘Al Laa ilaaha il lallaah (Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)
b. Syahadah Ar Rasul : Wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
(dan Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah)
Makna pertama dari Dua Kalimat Syahadat adalah sebuah pernyataan
kepercayaan dan pengakuan akan ke-Esaan Allah, yang menimbulkan
konsekuensi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah dijagad rasa ini
kecuali Allah dan menetapkan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang
berhak disembah, makna kedua adalah percaya bahwa Nabi Muhammad
adalah Rasul Allah, persaksian ini menimbulkan konsekuensi
membenarkan apa-apa yang dikabarkan oleh Rasulullah, menaati dan
melaksanakan perintah Rasulullah, menjauhi semua yang dilarang
Rasulullah dan tidak melakukan Ibadah kepada Allah kecuali dengan
aturan atau petunjuk yang dituntun oleh Rasulullah.
2) Mengerjakan serta menegakkan Shalat Wajib 5 Waktu
Shalat merupakan sarana komunikasi dan interaksi secara langsung
antara seorang muslim (hamba Allah) dengan pencipta-Nya, yaitu Allah
SWT, tanpa dibatasi oleh sekat/perantara apapun. Itulah sebabnya ibadah
shalat yang merupakan rukun Islam kedua ini, merupakan ruh dari ajaran
Islam. Shalat wajib 5 waktu merupakan ibadah satu-satunya yang tidak
boleh digugurkan dalam kondisi apapun bagi muslim yang sudah baligh
dan berakal, kecuali bagi muslimah yang sedang haid atau nifas. Bahkan
dalam keadaan peperangan sekalipun, kewajiban shalat 5 waktu
tetap tidak boleh ditinggalkan.

Bora Alviolesa | 13
3) Menunaikan atau membayar Zakat
Rukun Islam ketiga setelah shalat adalah membayar zakat, yaitu
mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki untuk diberikan kepada yang
berhak menerima zakat (mustahiq zakat).
4) Melaksanakan Ibadah Puasa pada Bulan Ramadhan
Puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dari
terbit fajar hingga terbenamnya matahari di bulan Ramadhan. Ibadah
puasa tidak hanya berlaku pada umat Nabi Muhammad SAW saja ,
namun juga telah berlaku pada umat-umat terdahulu. Hal ini merupakan
sebuah bukti bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat
istimewa dan dibutuhkan oleh semua orang.
5) Menunaikan Ibadah Haji ke Baitullah Al-Haram bagi yang mampu
Ibadah haji seperti juga ibadah lainnya memiliki keutamaan dan pahala
yang sangat besar. Sebagaimana Rasulullah bersabda yang artinya:
“Barang siapa yang pergi haji ke rumah ini (Baitullah) lalu ia tidak
berkata kotor dan berbuat maksiat maka ia kembali seperti ketika
dilahirkan oleh ibunya.”

C. Rukun Iman
Iman menurut bahasa artinya kepercayaan, sedangkan menurut istilah
syara’ iman adalah mempercayai atau meyakini dengan hati, mengucap
dengan lidah dan mengamalkannya dengan perbuatan. rukun
artinya landasan atau dasar. Berarti ada 6 landasan atau dasar dalam islam,
yaitu disebut dengan rukun iman. Tanpa adanya keenam hal tersebut maka
kita tidak dikatakan sebagai orang islam (Akidah Islam, 2016).
1) Iman kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan Rukun Iman yang paling utama yang
menjadi dasar keimanan seseorang. Beriman kepada Allah berarti wajib
mempercayai bahwa Allah itu ada, Dialah Yang Maha Esa, Dialah yang
telah menciptakan alam semesta beserta isinya, Dia yang telah
menghidupkan dan mematikan semua makhluknya. Allah pula yang telah

Bora Alviolesa | 14
menciptan manusia dengan seindah-indahnya, yang telah memberi rizki
berlimpah luah sehingga kita masih dapat merasakan nikmat tersebut.
2) Iman kepada malaikat
Iman kepada malaikat berarti kita wajib meyakini bahwa malaikat adalah
makhluk yang Allah ciptakan dari pada Nur (cahaya) dan boleh berupa
berbagai bentuk, malaikat tidak sama dengan manusia dan tidak bersifat
seperti sifatnya manusia. Malaikat bukan laki-laki dan bukan
perempuan. Dalam menjalankan tugasnya Malaikat sangat patuh dan taat
terhadap perintah Allah dan Kita wajib meyakini dan mempercayai
bahwa ada 10 malaikat.
3) Iman kepada Rasul-Rasul Allah
Beriman kepada Rasul-rasul Allah yaitu wajib meyakini dan percaya
bahwa Allah telah mengutus para Rasul dan nabi kepada manusia didunia
ini untuk memeperingatkan manusia dan membawa manusia ke jalan
yang benar supaya kita dapat hidup bahagia didunia dan diakhirat. Dan
kita wajib percaya bahwa jumlah Nabi yang diangkat menjadi rasul
adalah berjumlah 25 orang.
4) Iman kepada kitab-kitab Allah
Beriman kepada kitab-kitab Allah yaitu meyakini dan percaya bahwa
Allah telah menurunkan wahyu (kitab suci) melalui malaikat jibril
kepada para nabi untuk disampaikan kepada ummat yang berisi tentang
petunjuk dan pedoman bagi umat islam. Dengan kitab tersebut kita tidak
akan tersesat selama-laamanya. Yaitu kitab suci Al-qur’an bagi kita umat
Nabi Muhammad. Sedangkan kitab yang Allah turunkan ada 4 yaitu:
a. Taurat
b. Zabur
c. Injil
d. Al-Quran
5) Iman kepada Hari Kiamat
Iman kepada hari kiamat yaitu meyakini dan percaya bahwa hari kiamat
(hari pembalasan) itu pasti akan datang. Yang mana pada hari itu semua

Bora Alviolesa | 15
manusia akan dikumpulkan kepadang mahsyar untuk memertimbangkan
amalan-amalan atau perbuatan yang pernah ia lakukan didunia fana ini.
Jadi apabila didunia ia mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi
segala larangannya maka ia akan memasuki syurga jannatun na’im.
Sebaliknya apabila didunia dia tidak pernah mengerjakan perintah Allah
maka nerakalah yang menunggu mereka.
6) Iman kepada Qhada dan Qadar
Iman kepada qada dan qadar yaitu meyakini dan percaya bahwa semua
yang berlaku dalam alam ini semuanya ketentuan dan ketetapan Allah
SWT. Artinya kita wajib untuk mengimani bahwa semua yang telah
Allah Takdirkan, apakah itu kejadiannya baik atau buruk maka itu
semua bersumber dari Allah SWT. Karena Allah mengetahui
semua kejadian yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang belum
terjadi, serta semua kejadian yang tidak terjadi seandainya terjadi maka
Allah mengetahuinya bagaimana itu terjadi.

4. Motivasi Spiritual Islam


A. Pengertian Motivasi Spiritual
Motivasi spiritual mengandung arti yang berhubungan dengan spirit,
yang berhubungan dengan yang suci, dalam bahasa arab dan parsi, istilah
yang digunakan untuk spiritualitas adalah ruhanniyah (arab) dan
ma’nawiyyah (parsi). Istilah pertama diambil dari kata ruh, sedangkan kata
kedua diambil dari kata ma’na yang mengandung konotasi kebatinan, yang
hakiki sebagai lawan dari yang kasat mata. Kedua istilah tersebut berkaitan
dengan tataran realitas lebih tinggi dari pda yang materil dan kejiwaan. Dari
beberapa arti literal tersebut, tiga hal yang menjadi jelas dari pengertian
motivasi spiritual ini yaitu:
1) Menghidupkan, tanpa spiritualitas, organisme mati secara jasadiyah
ataupun kejiwaan
2) Memiliki status suci, jadi statusnya lebih tinggi dari pada materil
3) Terkait dengan Tuhan sebagai causa prima kehidupan

Bora Alviolesa | 16
Sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan spiritual bersifat azasi maka
seharusnya para pakar psikologi modern juga perlu memperhatikan nilai-nilai
spiritual dengan mendalami, menanamkan dan menyusun dsar-dasar
moralitas manusia.

B. Aspek-Aspek Motivasi Spiritual


Menurut Anshari dalam (Novitasari, 2015) motivasi spiritual seorang
muslim terbagi menjadi 3(tiga) yaitu:
1) Motivasi aqidah ini menunjuk pada seberapa besar tingkat keyakinan
muslim terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik.
Isi dimensi keimanan mencakup iman kepada Allah, para malaikat,
Rasul-rasul, kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.
2) Motivasi ibadah merupakan tata aturan Illahi yang mengatur hubungan
ritual langsung antara hamba Allah dengan Tuhannya yang tata caranya
ditentukan secara rinci dalam Al-quran dan Sunnah Rasul
3) Motivasi muammalah ini berarti mengatur kebutuhan manusia seperti
kebutuhan primer (kebutuhan pokok), sekunder (kesenangan) dengan
kewajiban untuk dapat meningkatkan kinerja dan kebutuhan atas
kemewahan yang dilarang oleh Islam. Oleh karenanya manusia
diharapkan dapat bekerja dan berproduksi sebagai bagaian dari
muammalah menuju tercapainya rahmatan lil alamin. Disimpulkan
bahwa tuntutan akan kebutuhan spiritual begitu mendesak bagi
kemanusiaan universal sehingga dalam persoalan-persoalan yang paling
sederhana sekalipun harus diupayakan

C. Hubungan Antara Motivasi Spiritual Terhadap Kinerja


Mutu struktur, proses, dan peraturan organisasi diukur dari
kemampuannya memudahkan pelaksanaan setiap peran individu didalam
perusahaan secara etis dan tanggung jawab dalam kerangka realisasi visi
kehidupan korporat, serta kemampuaanya untuk mengkondisikan
pertumbuhan spiritual individu dan memelihara kesadaran kolektif korporat

Bora Alviolesa | 17
dalam merealisasikan visi yang lebih luas tentang masyarakat dan lingkungan
ideal masa depan.
Implisit dari pengertian ini adalah bahwa sukses, baik pada tingkat
individu maupun korporat, dan nilai-nilai spiritual adalah sejalan. Jadi, tidak
ada sukses jangka panjang tanpa komitmen pada perkembangan nilai spiritual
atau motivasi spiritual terhadap karyawan.
Kualitas pencari jalan spiritual (spiritual pathfinder) inilah yang
dimaksudkan dengan pemimin sebagai petunjuk atau pengaruh jalan. Kualitas
semacam itu mampu menumbukan rasa keterpanggilan pada tugas dan peran
dan rasa keanggotaan yang paling dalam serta penuh makna pada organisasi
korporat. Kita membutuhkan kualitas spiritual pathfinder ini mengingat
kecenderungan kompleksifikasi (comflexification) organisasi korporat dewasa
ini. Lowndahl dan Revan dalam (Novitasari, 2015) menyebutkan dua pola
kompleksifikasi ini menjadi :
1) Kedalam, organisasi korporat sendiri terkait dengan para internal
stakeholder
2) Keluar, terkait para eksternal stakeholder
Pertama menyangkut kian kompleksnya struktur, proses dan perilaku
organisasi, sedangkan yang kedua menyangkut rumit dan beratnya tantangan
lingkungan yang sudah terglobalisasi. Kombinasi tantangan internal dan
eksternal ini membuat organisasi korporat berada pada situasi dimana
pembaharuan, terobosan, dan inovasi yang cepat menjadi kebutuhan yang
rutin. Karena itu organisasi korporat (perusahaan) perlu dirancang dengan
pola-pola yang menekankan pada pembelajaran (learning), spontan dan
informal (emergent), serta berbasis sumber daya (resource).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, menunjukkan bahwa spiritual
adalah merupakan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, maka spiritual akan
melahirkan suatu dorongan atau motivasi bagi manusia khususnya para
karyawan dalam menjalankan aktivitasnya atau kelembagaan, baik dalam
menjalankan tugas-tugasnya sebagai tenaga edukatif dan tugas lainnya
sebagai khalifah dimuka bumi.

Bora Alviolesa | 18
Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah, sementara itu, motivasi menjadi kunci utama dalam
menafsirkan dan melahirkan perbuatan manusia. dalam konsep Islam,
peranan motivasi ini disebut dengan niat dan ibadah, Niat merupakan
pendorong utama manusia untuk berbuat atau beramal, sedangkan adalah
tujuan manusia berbuat atau beramal. Dalam beberapa ayat dijelaskan bahwa
setiap perbuatan manusia semuanya kembali kepada Allah. Berikut beberapa
ayat tersebut.

               

Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.
dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS. Al –
Mulk:15).

             

 

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di


muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jumuah:10).

         

Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku


dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An’am:162).

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan manusia


untuk bekerja, akan tetapi dalam melakukan pekerjaan haruslah dengan niat
yang ikhlas dan menyadari bahwa semua kembali kepada Allah.

Bora Alviolesa | 19
Niatkan setiap aktivitas dalam kehidupan ini untuk ibadah kepada Allah,
tidak mengharapkan imbalan materi serta pujian dari orang lain. Berdasarkan
konsep diatas, adanya motivasi spiritual dalam diri individu, maka individu
tersebut dapat mengembangkan aktualisasi dirinya melalui peringkat rasa
percaya diri, jujur, mengembangkan cara pikir, sikap obyektif, efektifitas dan
kreativitas. Selain itu, individu tersebut selalu memulai aktivitas dengan niat
ibadah serta mempertimbangkan aspek mashlahah dalam memperoleh
kesejahteraan didunia dan akhirat (Danah dan Ian, 2005) dengan demikian
motivasi spiritual ini merupakan salah satu aspek penting dalam peningkatan
kinerja karyawan.

5. Kesimpulan
Nilai-nilai spiritual menjadi aspek yang sangat penting dalam aktivitas
individu, terkhusus sebagai seorang muslim. Sehingga dipandang kebutuhan
spiritual islam merupakan kebutuhan yang fitri yang pemenuhannya
tergantung pada kesempurnaan manusia dan kematangan individu.
nampaknya ada kontribusi yang besar tentang pentingnya spiritual seseorang
yang berpengaruh pada psikis seseorang dalam bekerja, dimana signifikan
akan berpengaruh dengan peningkatan kinerja. Pengaruh psikis ini erat
kaitannya dengan motivasi yang merupakan salah satu aspek penting dalam
upaya meningkatkan kinerja karyawan bagi suatu perusahaan ataupun
organisasi.
Faktor motivasi spiritualitas islam seorang karyawan merupakan bagian
yang penting dalam pengelolaan sumber daya manusia di suatu organisasi
atau perusahaan, motivasi spiritual islam yang terbagi menjadi tiga dimensi
yaitu akidah, ibadah, dan muamalat, dapat memberikan pengaruh yang positif
kepada psikologis karyawan dalam bekerja sehingga terjadi peningkatan
kinerja atau produktivitas yang tinggi dari karyawan tersebut.

Bora Alviolesa | 20
DAFTAR PUSTAKA

A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia.


Bandung, Indonesia: PT. Remaja Rosdakarya.

Adami, Ardiman. (2006). Hubungan Spiritualitas dengan Proactive Coping


Survivor Bencana Gempa Bumi di Bantul. (Skripsi yang tidak dipublikasi)
.Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Indonesia.

Aman,Saifuddin.(2013).Tren Spiritualitas Milenium Ketiga.Cetakan


Pertama.Tangerang, Indonesia:Ruhama.

Baharuddin. (2007). Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi


dari Al-quran.Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar

Danah, Z. & Ian, M. (2005). Spiritual Capital. Bandung, Indonesia: PT. Mizan
Pustaka

Desiana, K. (2009). Gambaran Spiritualitas Pada Perawat Rumah Sakit Umum


dr. Pirngadi Medan ( Skripsi yang tidak dipublikasi). Universitas Sumatera Utara,
Indonesia.

Farlen, Frans (2011). Pengaruh Motivasi Kerja Dan Kemampuan Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan (Skripsi yang tidak dipublikasi). Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta, Indonesia.

Hamdani B., Adz-Dzakiey. (2007). Psikologi Kenabian. Yogyakarta, Indonesia:


Pustaka Al-Furqon.

Martoyo, Susilo. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta,


Indonesia: BPFE.

Marzuki. (2012). Pendidikan Karakter Mahasiswa Melalui Pendidikan Agama


Islam di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta, Indonesia: Ombak.

Novitasari (2015). Pengaruh Motivasi Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan


Pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Pamella Di Yogyakarta (Skripsi
yang tidak dipublikasi). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Indonesia.

Pratiwi, R.E. (2014). Layanan Bimbingan Agama Islam Dan Dampaknya Bagi
Siswa Sd Tunagrahita Di Slb-C Ypac Semarang (Skripsi yang tidak dipublikasi).
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia.

Bora Alviolesa | 21
Pustakasari, E.N.I. (2014). Hubungan Spiritualitas Dengan Resiliensi Survivor
Remaja Pasca Bencana Erupsi Gunung Kelud Di Desa Pandansari-Ngantang-
Kabupaten Malang (Skripsi yang tidak dipublikasi). Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia.

Sanerya Hendrawan. (2009). Spiritual Management, Bandung, Indonesia: PT.


Mizan Pustaka

S.P,Hasibuan, Malayu. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta,


Indonesia: PT Bumi Aksara

Sutrisno, Edy. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta,


Indonesia: Prenada Media

Tamami. (2013). Psikologi Tasawuf. Bandung, Indonesia: Pustaka Setia.

Wibowo. (2013). Manajemen Kinerja. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers

Widjayakusuma M. Karebet. (2007). Be The Best Not Be Asa. Jakarta, Indonesia:


Prestasi.

Winardi. (2007). Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen Sumber Daya


Manusia. Jakarta, Indonesia: PT Raja Grasindo Persada.

Pondok Islami. (2017). Urutan Rukun Islam dan Makna Rukun Islam Beserta
Dalil. Diunduh dari https://pondokislami.com/urutan-rukun-islam-dan-makna-
rukun-islam-beserta-dalil-quran-dan-hadist.html

Akidah Islam. (2016). 6 Rukun Iman Serta Penjelasnya. Diunduh dari


http://www.akidahislam.com/2016/10/6-rukun-iman-serta-penjelasannya.html

Bora Alviolesa | 22
TUGAS MAKALAH
KINERJA

Oleh :
Nama : Kms. Budi Azimi
NIM : 92215017
Mata Kuliah : Manajemen Kinerja
Dosen : Dr. Fatimah, SE, M.Si

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... i

1. Pengertian Kinerja ........................................................................................ 1


2. Penilaian Kinerja .......................................................................................... 7
3. Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja ........................................................... 13
4. Tujuan Penilaian Kinerja .............................................................................. 17
5. Indikator Kinerja .......................................................................................... 18
6. Tujuan Penilaian Kinerja Karyawan ............................................................ 18
7. Ukuran Kinerja atau Prestasi Kerja .............................................................. 19

Kesimpulan dan Saran......................................................................................... 21

Daftar Pustaka .................................................................................................... 22

i
KINERJA

PENGERTIAN

Perusahaan dapat berkembang merupakan keinginan setiap individu yang berada


di dalam instansi tersebut, sehingga diharapkan dengan perkembangan tersebut
instansi mampu bersaing dan mengikuti kemajuan zaman. Karena itu, tujuan yang
diharapkan oleh instansi dapat tercapai dengan baik. Kemajuan instansi
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang bersifat internal dan eksternal.
Sejauh mana tujuan instansi telah tercapai dapat dilihat dari seberapa besar
instansi memenuhi tuntutan lingkungannya. Memenuhi tuntutan lingkungan
berarti dapat memanfaatkan kesempatan atau mengatasi tantangan lingkungan
atau ancaman dari lingkungan dalam rangka menghadapi atau memenuhi tuntutan
dan perubahan-perubahan di lingkungan instansi.

Performance atau yang lebih dikenal dengan kinerja adalah hasil kerja yang dapat
di capai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum
dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja dapat diartikan sebagai gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau
kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang
tertuang dalam rencana strategi suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan
untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu atau kelompok
individu. Kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok individu
tersebut memiliki kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria
keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak
dicapai. Tanpa adanya tujuan serta target, kinerja seseorang atau organisasi tidak
dapat diketahui karena tidak ada tolok ukurnya

1
Menurut Supriyanto (2010 : 280) dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
organisasi dapat melakukan usaha-usaha dari sumbernya yang berkualitas. Usaha
ini dapat berupa pengembangan, perbaikan sistem kerja, sebagai kelanjutan
penilaian terhadap prestasi kerja karyawan yang telah dicapainya dengan
kemampuan yang telah dimilikinya pada kondisi tertentu. Dengan demikian
kinerja merupakan hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan, dan persepsi tugas
yang telah dibebankan.

Kinerja merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan keefektifan sebuah
organisasi. Menurut (Mohoney, 2006), yang di maksud dengan kinerja adalah
kinerja para individu anggota organisasi antara lain: perencanaan, investigasi,
koordinasi, supervise, pengaturan staf (staffing), negosiasi dan representative.
Menurut (Vroom, 2005), kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan.

Hasibuan (2007:134) mengemukakan kinerja adalah suatu hasil kerja yang


dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Kinerja merupakan work performance atau job performance, yang
dimaksud dengan job performance yaitu hasil yang dicapai oleh seseorang
menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan (As’ad,
2006:48).

Hariandja (2008 : 195) bahwa kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan
sesuai dengan perannya dalam organisasi dan kinerja merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuannya.

Menurut Suyadi (2006:3), kinerja adalah : “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan organisasi”.

2
Simamora (2006 : 327) mendefinisikan kinerja pegawai (Employee performance)
sebagai tingkat di mana para pegawai mencapai persyaratan-persyaratan
pekerjaan. Penilaian kinerja (performance assesment) adalah proses yang
mengukur kinerja pegawai. Penilaian kinerja pada umumnya mencakup baik
aspek kualitatif maupun kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan.

Kinerja seorang karyawan akan baik bila dia mempunyai keahlian (skill) yang
tinggi, bersedia bekerja karena digaji atau diberi upah sesuai dengan perjanjian,
mempunyai harapan (expectation) masa depan lebih baik. Mengenai gaji dan
adanya harapan (expectation) merupakan hal yang menciptakan motivasi seorang
karyawan bersedia melaksanakan kegiata kerja dengan kinerja yang baik. Bila
kelompok karyawan dan atasannya mempunyai kinerja yang baik, maka akan
berdampak pada kinerja perusahaan yang baik pula.

Hasibuan (2008 : 94) mengemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Kinerja adalah merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan
dan minat seorang pegawai, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi
tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pegawai, dan semakin tinggi
ketiga faktor di atas, maka akan semakin besar pula kinerja dari pegawai yang
bersangkutan. Jadi dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan perwujudan kerja
yang dilakukan oleh karyawan dan biasanya dipakai sebagai dasar penilaian
terhadap karyawan atau organisasi. Mengingat atau tidaknya kinerja tergantung
kepada kemampuan kerja yang diwujudkan apakah sesuai atau tidak dengan tugas
yang diberikan dan waktu yang telah ditetapkan.

Menurut Karyantoro (2007:27), performance sama dengan kinerja sama dengan


role (expected behavior). Beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja seorang
antara lain; individu, kelompok, pekerjaan, organisasi, kepuasan kerja. Sebagai

3
individu, hasil kerja seseorang akan bakat, minat, kepribadian, phisik, agama, dan
alat sosio-budaya.

Kemudian secara definitif Bernardin & Russel dalam buku Sulistiyani dan
Rosidah (2009 : 223) mengemukakan bahwa kinerja merupakan catatan outcome
yang dihasilkan dari fungsi pegawai tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama
periode waktu tertentu.

Adapun faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan


dan faktor motivasi. Secara psikologis, kemampuan terdiri dari kemampuan
potensial (IQ) dan kemampuan realitiy (skill). Artinya pegawai yang mempunyai
IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah
mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, tenaga kerja perlu
ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Sedangkan motivasi
terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi
merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai
tujuan organisasi (tujuan kerja). Di samping itu sikap mental juga mendorong diri
pegawai untuk berusaha mencapai kinerja secara maksimal

Mangkunegara (2009:67), berpendapat bahwa kinerja adalah “hasil kerja secara


kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. yang menjadi
tolak ukur dari Kinerja, yaitu Kuantitas, Kualitas, dan Ketepatan waktu.

Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan


untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki
derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan
keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa
pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya (Mangkunegara, 2009).

4
Kurniawan (2005:46) menyatakan bahwa kinerja merupakan penilaian atas
kualitas pengelolaan dan kualitas pelak- sanaan tugas atau operasi organisasi.
Kinerja tersebut dapat dikatakan sebagai hasil yang dicapai oleh seorang individu
dalam melakukan kerja atau tindakan yang telah dilakukan. Tindakan tersebut
dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Apabila kinerja karyawan tidak baik
maka kinerja perusahaanpun menjadi tidak baik, sebaliknya apabila kinerja
karyawan baik maka kinerja perusahaanpun menjadi baik dan tujuan perusahaan
dapat tercapai dengan mudah.

Suatu penelitian telah memperlihatkan bahwa suatu lingkungan kerja


yang menyenangkan sangat penting untuk mendorong tingkat kinerja karyawan
yang paling produktif. Dalam interaksi sehari-hari, antara atasan dan bawahan,
berbagai serangkaian asumsi dan harapan lain muncul. Ketika atasan dan bawahan
membentuk serangkaian asumsi dan harapan mereka sendiri yang sering agak
berbeda, perbedaan-perbedaan ini yang akhirnya berpengaruh pada
tingkat kinerja. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode
tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau
sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati
bersama (Rivai & Basri, 2007:14)

Apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun),


maka pengertian performane atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai
oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan
perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan
moral dan etika (Rivai & Basri, 2007:16).

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah perilaku
nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan untuk mencapai tujuan-
tujuan perusahaan.

5
Istilah kinerja atau prestasi kerja berasal dari kata Inggris “performan-ce”.

Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2008, dikutip dalam Hussein Fattah, 2014)

menyatakan bahwa, performance the desired result of behaviour (kinerja adalah

hasil yang diinginkan dari perilaku). Maksudnya adalah bahwa kinerja

pegawai/karyawan merupakan hasil unjuk kerja dalam melaksanakan suatu

pekerjaan.

Aguinis (2009, dikutip dalam Hussein, 2014) menyatakan bahwa kinerja adalah

performance is about behaviour or what employees do, not about what employees

produce or the outcomes of their work. Maksudnya, kinerja adalahtentang

perilaku atau apa yang dilakukan oleh karyawan, bukan tentang apa yang di

produksi atau yang dihasilkan dari pekerjaan mereka. Selanjutnya Aguinis

menjelaskan tentang perilaku karyawan yaitu works with others within and

outside the unit in a manner that improves their effectivenes, shares information

and resources, develops effective working relationship, builds consensus,

constructively manages. karyawan bekerja dengan orang lain di dalam dan di luar

unit dengan maksud akan meningkatkan efektivitas kerja karyawan, berbagi

informasi dan sumber daya, mengembangkan hubungan kerja efektif, membangun

konsensus mengelila konflik secara konstruktif.

Selanjutnya, Moorhead dan Griffin (2010, dikutip dalam Hussein, 2014)

menyatakan bahwa dasar tujuan pengukuran kinerja memberikan informasi

tentang kinerja pekerjaan yaitu penilaian kinerja masa lalu dan pengembangan

kinerja yang akan datang. Penilaian kinerja pegawai diperoleh dari kinerja masa

lalu pegawai, yang bertujuan;

6
a) sebagai dasar atau pedoman dalam rangka pemberian penghargaan

b) sebagai dasar untuk promosi, mutasi, PHK dan sebagainya

c) mengdentfikasi potensi pegawai yang bekinerja tinggi

d) validasi prosedur seleksi

Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja merupakan proses subjektif yang menyangkut penilaian


manusia. Dengan demikian, penilaian kinerja sangat mungkin keliru dan sangat
mudah dipengaruhi oleh sumber yang tidak aktual. Tidak sedikit sumber tersebut
mempengaruhi proses penilaian, sehingga harus diperhitungkan dan
dipertimbangkan dengan wajar. Penilaian kinerja dianggap memenuhi sasaran
apabila memiliki dampak yang baik pada tenaga kerja yang baru dinilai
kinerja/keragaannya.

Mathis dan Jackson (2007:81) berpendapat penilaian kinerja


(perfomance appraisal-PA) adalah : “Proses evaluasi seberapa baik karyawan
mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standar, dan
kemudian mengkomunikasikannya dengan para karyawan”.

Penilaian kinerja karyawan yang dilakukan secara obyektif, tepat


dan didokumentasikan secara baik cenderung menurunkan potensi penyimpanan
yang dilakukan karyawan, sehingga kinerjanya diharapkan harus bertambah baik
sesuai dengan kinerja yang dibutuhkan perusahaan. Dalam menilai kinerja tidak
banyak hal yang dilakukan seorang manajer yang lebih penuh resiko dibanding
menilai kinerja bawahan. Para karyawan pada umumnya cenderung menjadi
sangat optimistik tentang bagaimana jadinya penilaian mereka, dan juga tahu
bahwa kenaikan gaji, kemajuan karir, dan ketenangan pikiran mereka biasa sangat
tergantung bagaimana mereka dinilai.

7
Siswanto Sastrohadiwiryo (2008 : 231) mengemukakan bahwa : “Penilaian
kinerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan manajemen/penyelia penilai untuk
menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja
dengan uraian/deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap
akhir tahun.

Menurut Gary Dessler (2006:322), penilaian kinerja berarti mengevaluasi kinerja


karyawan saat ini dan atau di masa lalu relatif terhadap standar kinerjanya.
Penilaian kinerja juga selalu mengasumsikan bahwa karyawan memahami apa
standar kinerja mereka, dan penyelia juga memberikan karyawan umpan balik,
pengembangan, dan insentif yang diperlukan untuk membantu orang yang
bersangkutan menghilangkan kinerja yang kurang baik atau melanjutkan kinerja
yang baik.

Penilaian kinerja mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur


yang digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang
berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran,
dengan demikian, penilaian kinerja adalah merupakan hasil kerja karyawan dalam
lingkup tanggung jawabnya (Gary Dessler, 2006).

Selanjutnya Leon C. Mengginson dalam Mangkunegara (2007 : 9) menyatakan


bahwa : “Penilaian kerja adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk
menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya”

Penilaian kinerja terhadap tenaga kerja biasanya dilakukan manajemen / penyelia


penilai yang hierarkinya langsung di atas tenaga kerja yang bersangkutan atau
manajemen / penyelia yang ditunjuk untuk itu. Hasil penilaian kinerja tersebut
disampaikan kepada manajemen tenaga kerja untuk mendapatkan kajian dalam
rangka keperluan selanjutnya, baik yang berhubungan dengan pribadi tenaga kerja
yang bersangkutan maupun yang berhubungan dengan pengembangan
perusahaan.

8
Menurut Mathis dan Jackson (2008:20), dalam penilaian kinerja mengahadapi
lima masalah utama dalam skala penilaian yaitu :
a. Standar kinerja yang tidak jelas
Skala penilaian yang terlalu terbuka terhadap interprestasi : sebagai
gantinya masukan ungkapan deskriptif yang mendenifikasikan masing-
masing ciri dan apa yang dimaksud dengan standar-standar seperti “baik”
dan “tidak memuaskan”
b. Efek halo
Masalah yang terjadi dalam penilaian seorang penyelia terhadap seorang
bawahan pada suatu ciri membiaskan penilaian atas orang itu pada ciri
lainnya.
c. Kecenderungan sentral
Satu kecenderungan untuk menilai semua karyawan dengan cara yang
sama, seperti menilai semua mereka pada tingkat rata-rata.
d. Terlalu keras atau terlalu longgar.
Masalah yang terjadi ketika seorang penyelia kecenderungan untuk
menilai semua bawahan entah tinggi atau rendah
e. Prasangka
Kecenderungan untuk mengikuti perbedaan individual seperti usia, ras dan
jenis kelamin untuk mempengaruhi tingkat penilaian yang diterima para
karyawan.

Menurut Ruky (2007:158-159), penilaian kinerja adalah :


“Membandingkan antara hasil yang sebenarnya diperoleh dengan yang
direncanakan”.

Dengan kata lain, sarana-sarana tersebut harus diteliti satu per satu, mana
yang telah dicapai sepenuhnya (100%), mana yang diatas standar (target), dan
mana yang dibawah target atau tidak tercapai penuh. Penilaian hasil atas prestasi
sendiri tidak boleh diserahkan kepada atasan, tetapi harus dilakukan bawahan
sendiri karena seyogyanya setiap orang memang mampu melakukannya. Semua

9
ini dapat dilakukan melalui sistem informasi yang sudah berjalan seperti sistem
pelaporan produksi atau penjualan atau dengan pengecekan khusus. Baru setelah
proses penilaian sendiri (self assessment) selesai, hasilnya dikirimkan kepada
atasan sendiri, dilengkapi dengan analisa faktor-faktor yang membantu atau
menghambat tercapainya prestasi, bila itulah yang terjadi. Dan dalam Melakukan
penilaian kinerja sebaiknya jangan melupakan aspek-aspek dari kinerja.
Setiap perusahaan atau organisasi harus dapat menyediakan suatu sarana untuk
menilai kinerja karyawan dan hasil penilaian dapat dipergunakan sebagai
informasi pengambilan keputusan manajemen tentang kenaikan gaji/upah,
penguasaan lebih lanjut, peningkatan kesejahteraan karyawan dan berbagai hal
penting lainnya yang dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan
pekerjaannya.

Penilaian kinerja sangat berguna untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja


secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga
dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai
dasar untuk menentukan kebijakan dalam promosi jabatan atau penentuan
imbalan.

Penilaian kinerja memacu pada suatu sistem formal dan terstruktur yang
digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan
dengan pekerjaan.

Menurut Mangkunegara (2006:10) Evaluasi kinerja adalah penilaian yang


dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan
kinerja organisasi.

Ada beberapa metode penilaian kinerja karyawan dalam suatu organisasi atau
perusahaan. Menurut pendapat Rivai (2005:324) menyatakan bahwa metode yang
dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Metode penilaian berorientasi masa lalu.
2. Metode penilaian berorientasi masa depan.

10
Adapun penjelasan lengkap dari kedua metode yang dimaksud Rivai tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Metode penilaian berorientasi masa lalu
Ada beberapa metode untuk menilai prestasi kerja di waktu yang lalu, dan
hampir semua teknik tersebut merupakan suatu upaya untuk
meminimumkan berbagai masalah tertentu yang dijumpai dalam
pendekatan-pendekatan ini. Dengan mengevaluasi prestasi kerja masa lalu,
karyawan dapat mendapat umpan balik atas upaya-upaya mereka. Umpan
balik ini selanjutnya bisa mengarah kepada perbaikan-perbaikan prestasi.
Teknik-teknik penilaian dari metode berorientasi masa lalu ini meliputi
sebagai berikut :

1. Skala peringkat (Rating Scale)


Di dalam metode ini para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian
yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala kerja
tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.
2. Daftar pertanyaan (Checklist)
Didalam penilaian berdasarkan metode ini terdiri dari sejumlah pertanyaan
yang menjelaskan beraneka ragam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan
tertentu.
3. Metode dengan penilaian terarah (Forced Choice Methode)
Didalam metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan
mengurangi subjektivitas dalam penilaian.
4. Metode peristiwa kritis (Critical Incident Methode)
Didalam metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan
kritis penilai atas prilaku karyawan, seperti sangat baik atau sangat jelek
dalam melaksanakan pekerjaan.
5. Metode catatan prestasi
Didalam metode ini berkaitan erat dengan peristiwa kritis, yaitu catatan
penyempurnaan.

11
6. Skala peringkat dikaitkan dengan tingkah laku (Behaviorally Anchore
Rating Scale=BARS)
Didalam metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja satu
kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat
prestasi kerja dengan perilaku tertentu.
7. Metode peninjauan lapangan (Field Review Methode)
Didalam metode ini, penyelia turun ke lapangan bersama-sama dengan
ahli dari SDM.
8. Tes dan observasi prestasi kerja (Comparative Evaluation Approach)
Didalam metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang
karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.

b. Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan


Metode ini menggunakan asumsi bahwa karyawan tidak lagi sebagai obyek
penilaian yang tunduk dan tergantung pada penyelia, tetapi karyawan
dilibatkan dalam proses penilaian. Karyawan mengambil peran penting
bersama-sama dengan penyelia dalam menetapkan tujuan-tujuan perusahaan.
Teknik-teknik penilaian dari metode berorientasi masa depan meliputi sebagai
berikut :
1. Penilaian diri sendiri (Self Appaisal)
Perusahaan mengemukakan harapan-harapan yang diinginkan dari
karyawan,tujuan perusahaan, dan tantangan-tantangan yang dihadapi
perusahaan pada karyawan.
2. Manajemen berdasarkan sasaran (Manajemen By Objective)
Suatu bentuk penilaian dimana karyawan dan penyelia bersama-sama
menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja di waktu
yang akan datang.
3. Penilaian secara psikologis
Penilaian yang dilakukan oleh ahli psikologi untuk mengetahui potensi
karyawan.
4. Pusat penilaian (Assessment Center)

12
Serangkaian teknik penilaian oleh sejumlah penilai untuk mengetahui
potensi seseorang dalam melakukan tanggung jawab yang lebih besar.
Jadi pengertian dari penilaian kinerja adalah cara untuk menilai atau menentukan
nilai kinerja seorang pegawai atau karyawan.

Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Adapun faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan


dan faktor motivasi. Secara psikologis, kemampuan terdiri dari kemampuan
potensial (IQ) dan kemampuan realitiy (skill). Artinya tenaga kerja yang
mempunyai IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk
jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan
lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, tenaga kerja
perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Sedangkan
motivasi terbentuk dari sikap seorang tenaga kerja dalam menghadapi situasi
kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri tenaga kerja yang
terarah untuk mencapai tujuan kerja organisasi. Di samping itu sikap mental juga
mendorong diri tenaga kerja untuk berusaha mencapai kinerja secara maksimal

Simmamora (2008:314) menyatakan, kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor


sebagai berikut:
1. Faktor individual yang terdiri dari: kemampuan, dan faktor demografi
2. Faktor psikologis yang terdiri dari: sikap, motivasi, persepsi, personality
dan pembelajaran
3. Faktor organisasi yang terdiri dari: sumber daya, kepemimpinan,
penghargaan, struktur, dan job design

Menurut Mathis (2006 : 113) faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yaitu
kemampuan karyawan untuk pekerjaan tersebut, tingkat usaha yang dicurahkan,
dan dukungan organisasi yang diterimanya. Sehubungan dengan fungsi
manajemen manapun, aktivitas manajemen sumber daya manusia harus

13
dikembangkan, dievaluasi, dan diubah apabila perlu sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi pada kinerja kompetitif organisasi dan individu di tempat
kerja. Faktor – faktor yang mempengaruhi karyawan dalam bekerja, yaitu
kemampuan karyawan untuk melakukan pekerjan tersebut, tingkat usaha yang
dicurahkan, dan dukungan organisasi.
Menurut Gibson (2007), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap kinerja,
1. Faktor individu
Faktor individu meliputi : kemampuan, keterampilan , latar belakang
keluarga pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.
Faktor psikologis
2. Faktor psikologis
meliputi : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi , lingkungan kerja,
komitmen dan kepuasan kerja Faktor Organisasi
3. Faktor organisasi
Meliputi stuktur organisasi ,desain pekerjaan, kepemimpinan, dan sistem
penghargaan (reward system). Kinerja seorang karyawan yang baik
apabila :
a) Mempunyai keahlian yang tinggi
b) Kesediaan untuk bekerja
c) Lingkungan kerja yang mendukung
Selain itu ditentukan pula oleh keinginan dan lingkungan. Oleh karena itu, agar
mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang tinggi
untuk mengerjakan serta mengetahui pekerjaannya. Menurut Hasibuan (2011)
kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan
kemampuan
Menurut Bernardin berhasil tidaknya kinerja yang telah dicapai oleh
suatu organisasi, dipengaruhi oleh tingkat kinerja dari karyawan, baik secara
individual maupun secara kelompok, dengan asumsi bahwa semakin baik kinerja
karyawan maka diharapkan kinerja organisasi akan semakin baik. Sehubungan
dengan hal itu, pendekatan untuk mengukur sejauh mana kinerja karyawan secara
individual ada enam kriteria, yaitu : (Robbins, 2006:260)

14
1. Kualitas Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap
keterampilan dan kemampuan karyawan.
2. Kuantitas Kuantitas diukur dari persepsi karyawan terhadap jumlah
aktivitas yang ditugaskan beserta hasilnya.
3. Ketepatan waktu Ketepatan waktu diukur dari persepsi karyawan terhadap
suatu aktivitas yang diselesaikan di awal waktu sampai menjadi output.
4. Efektivitas Tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang,
teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil
dari setiap unit di dalam penggunaan sumber daya, efektivitas kerja
karyawan dalam menilai pemanfaatan waktu dalam menjalankan tugas,
efektivitas penyelesaian tugas yang dibebankan organisasi.
5. Kemandirian Merupakan tingkat kemampuan seseorang dalam melakukan
fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dari orang lain atau
pengawas.
6. Komitmen kerja Merupakan tingkat dimana karyawan mempunyai
komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab terhadap organisasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Siagian (2006)
menyatakan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
kompensasi, lingkungan kerja, budaya organisasi, kepemimpinan, dan
motivasi kerja , disiplin kerja, kepuasan kerja, komunikasi dan faktor
faktor lainnya.
Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut
Handoko (2007:193) yaitu :
1. Motivasi Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia
bekerja adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan-
kebutuhan ini berhubungan dengan sifat hakiki manusia untuk
mendapatkan hasil terbaik dalam kerjanya.
2. Kepuasan kerja Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaannya. Hal ini terlihat dari sikap positif karyawan

15
terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan
kerjanya.
3. Tingkat stres Stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi sekarang. Tingkat
stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungan sehingga dapat mengganggu pelaksanaan
pekerjaan mereka.
4. Kondisi pekerjaan Kondisi pekerjaan yang dimaksud dapat
mempengaruhi kinerja disini adalah tempat kerja, ventilasi, serta
penyinaran dalam ruang kerja.
5. Sistem kompensasi Kompensasi merupakan tingkat balas jaa yang
diterima oleh karyawan atas apa yang telah dilakukannya untuk
perusahaan. Jadi, pemberian kompensasi harus benar agar karyawan
lebih semangat untuk bekerja
6. Desain pekerjaan Desain pekerjaan merupakan fungsi penetapan
kegiatan-kegiatan kerja seorang individu atau kelompok karyawan
secara organisasional. Desain pekerjaan harus jelas supaya karyawan
dapat bekerja dengan baik sesuai dengan pekerjaan yang telah
diberikan kepadanya.

Kinerja karyawan berkurang apabila salah satu faktor ini berkurang


atau tidak ada. Sebagai contoh beberapa karyawan memiliki
kemampuan untuk melakukan pekerjaannya dan bekerja keras, tetapi
organisasi memberikan peralatan yang kuno. Masalah kinerja
merupakan hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada karyawan. Kinerja
meliputi kualitas output serta kesadaran dalam bekerja.

16
Tujuan Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja digunakan perusahaan untuk menilai kinerja karyawan atau


mengevaluasi hasil pekerjaan karyawan. Tujuan penilaian kinerja menurut Sopiah
(2008:313) dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Tujuan penilaian yang berorientasi pada masa lalu
a. Mengendalikan perilaku karyawan dengan menggunakannya sebagai
instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman dan ancaman.
b. Mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi.
c. Menempatkan karyawan agar dapat melaksanakan pekerjaan tertentu.

2. Tujuan penilaian yang berorientasi pada masa depan Apabila dirancang


secara tepat, maka sistem penilaian ini dapat :
a. Membantu tiap karyawan untuk semakin banyak mengerti tentang
perannya dan mengetahui secara jelas fungsi-fungsinya.
b. Merupakan instrumen dalam membantu tiap karyawan mengerti
kekuatan- kekuatan dan kelemahan-kelemahan sendiri yang dikaitkan
dengan peran dan fungsi dalam perusahaan
c. Menambah adanya kebersamaan antara masing-masing karyawan
dengan penyelia sehingga tiap karyawan memiliki motivasi kerja dan
merasa senang bekerja sekaligus mau memberikan kontribusi
sebanyak-banyaknya pada perusahaan.
d. Merupakan instrumen untuk memberikan peluang bagi karyawan
untuk mawas diri dan evaluasi diri serta menerapkan saran pribadi
sehingga terjadi pengembangan yang direncanakan dan dimonitor
sendiri.
e. Membantu mempersiapkan karyawan untuk memegang pekerjaan pada
jenjang yang lebih tinggi dengan cara terus menerus meningkatkan
perilaku dan kualitas bagi posisi-posisi yang tingkatnya lebih tinggi.
f. Membantu dalam berbagai keputusan SDM dengan memberikan data
tiap karyawan secara berkala

17
Indikator Kinerja

Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006:378) mengatakan bahwa


kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan.
Indikator kinerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kuantitas pekerjaan yang diberikan pimpinan kepada karyawan / kuantitas
pekerjaan pada suatu bagian.
2. Kualitas hasil pekerjaan, yaitu menilai baik tidaknya hasil pekerjaan
karyawan.
3. Ketepatan waktu, dalam menyelesaikan tugas, para karyawan bukan hanya
dituntut untuk cepat menyelesaikan pekerjaannya namun juga harus tepat
atau sesuai dengan harapan atasan.
4. Kehadiran, dengan kehadiran menunjukkan semangat kerja yang dimiliki
oleh karyawan.
5. Kemampuan bekerjasama baik dengan rekan satu bagian maupun bagian
lain.

Tujuan Penilaian Kinerja Karyawan

Tujuan dari penilaian kinerja karyawan/pegawai adalah untuk memperbaiki atau


meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja sumber daya
manusia organisasi.

Menurut Mangkunegara (2005:11) yang mengatakan bahwa tujuan penilaian


kinerja karyawan ialah memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job
description).

Menurut Sendow (2007:30) mengemukakan bahwa terdapat enam (6) kriteria


pokok untuk mengukur kinerja karyawan yaitu sebagai berikut :

18
a. Quality
Arti dari quality adalah tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan
kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
b. Quantity
Arti dari quantity adalah jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah,
jumlah unit, jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan.
c. Timelines
Arti dari timelines adalah tingkat sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan
pada waktu yang dikehendaki, dengan memperhatikan koordinasi output
lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain.
d. Cost-effectiveness
Arti dari cost effectiveness adalah tingkat sejauh mana penggunaan
sumberdaya organisasi (manusia, keuangan, teknologi, material) yang
dimaksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian
dari setiap unit penggunaan sumberdaya.
e. Need for Supervision
Arti dari need for supervision adalah tingkat sejauh mana seseorang
pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan
pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tinndakan yang kurang
diinginkan.
f. Interpersonal impact
Arti dari interpersonal impact adalah tingkat sejauh mana karyawan
memelihara harga diri, nama baik dan kerja sama diantara rekan kerja dan
bawahan.

Ukuran kinerja atau prestasi kerja

Secara umum yang kemudian diterjemahkan kedalam penilaian perilaku secara


mendasar menurut Hady Sutrisno (2009 : 167) meliputi sebagai berikut:
a. Hasil kerja
b. Pengetahuan pekerjaan
c. Inisiatif

19
d. Kecekatan mental
e. Sikap dan
f. Disiplin.

20
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pengertian kinerja SDM merupakan istilah yang berasal dari kata Job
Performance atau Actual Performnce ( prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya
yang dicapai seseorang ). Manajemen kinerja (performance management) adalah
sistem perusahaan dimana manajer mengintegrasikan aktivitas penentuan tujuan,
pengawasan dan evaluasi, penyediaan umpan balik dan pelatihan, dan
penghargaan karyawan secara kontinu.
Ini berkaitan dengan tradisi penghargaan kinerja tahunan yang
serampangan, pengalaman yang sangat tidak memuaskan untuk setiap orang yang
terlibat. Penghargaan finansial, material, dan sosial termasuk dalam penghargaan
ekstrinsik karena berasal dari lingkungan. Namun, penghargaan psikis merupakan
penghargaan intrinsik karena diberikan oleh diri sendiri. Bayaran atas kinerja
adalah istilah popular untuk insentif moneter yang setidaknya menghubungkan
bebewerapa porsigaji secara langsung dengan hasil-hasil atau pencapaian.

Saran
Kinerja merupakan tindakan yang dilakukan oleh SDM yang ada dalam
organisasi untuk memperlihatkan hasil pencapaiannya. Dari seluruh pembahasan
yang kami sampaikan, di harapkan para pembaca dapat menerima informasi atau
pengetahuain tentang kinerja individu dalam suatu organisasi. Dan di harapkan
agar selanjutnya makalah yang kami buat lebih memberikan ilmu kepada para
pembaca, karena kami tahu bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dalam pembuatan
makalah untuk kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Mangkunegara, Anwar Prabu . 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia.


Remaja Rosdakarya. Bandung
Luthans, F. 2005. Organizational Behavior. New York: McGraw-hill.
Mathis, R.L. & J.H. Jackson. 2006. Human Resource Management: Manajemen
Sumber Daya Manusia. Terjemahan Dian Angelia. Jakarta: Salemba
Empat.
Nurlaila, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia I. Penerbit LepKhair.
Prawirosentono, Suryadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan.
Yogyakarta: BPFE.
Robbins, Stephen P., 2006. Perilaku Organisasi, PT Indeks, Kelompok
Gramedia, Jakarta.
Rivai, Vethzal & Basri. 2005. Peformance Appraisal: Sistem yang tepat untuk
Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahan.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Robbins, Stephen P., 2008. Perilaku Organisasi Jilid II, Alih Bahasa
HadayanaPujaatmaka, Jakarta, Prenhalindo

22
TUGAS TEORI KULTUR / BUDAYA ORGANISASI

TEORI KULTUR / BUDAYA ORGANISASI MENURUT PARA AHLI

Oleh :

DENNY YONO PUTRO


NIM. 92216032

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2017
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN DEPAN .................................................................................. i


DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

1. Teori ..................................................................................................... 1

a. Kultur Organisasi ................................................................................ 1

1) Pengertian Kultur Organisasi ........................................................... 1

2) Karakteristik Kultur Organisasi ....................................................... 1

a) Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking) 2

b) Perhartian terhadap detil (Attention to detail) .............................. 2

c) Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation) ......................... 2

d) Berorientasi kepada manusia (People orientation) ....................... 2

e) Berorientasi tim (Team orientation) ............................................ 2

f) Agresifitas (Aggressiveness) ........................................................ 2

g) Stabilitas (stability) ..................................................................... 2

3) Indikator-indikator Kultur Organisasi .............................................. 3

a) Komunikasi (Communications) ................................................... 3

b) Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development) ......... 3

c) Penghargaan (Reward) ................................................................ 3

d) Pengambilan Keputusan (Decision Making) ................................ 3

e) Penyelesaian Risiko (Risk Taking) ............................................... 3

f) Perencanaan (Planning) ............................................................... 4

g) Tim Kerja (Team Work) .............................................................. 4

i
h) Praktek Manajemen (Management Practice) ............................... 4

4) Tahap Pembentukan Kultur organisasi ............................................ 5

5) Perilaku Kultur Organisasi .............................................................. 6

a) Perilaku Budaya yang Positif ...................................................... 6

b) Perilaku Budaya yang Negatif ..................................................... 6

6) Kultur Organisasi Polri .................................................................... 6

a) Ranah Kepolisian (the Field of Policing) ..................................... 6

b) Habitus Kepolisian (the Habitus of Policing) .............................. 8

2. Kesimpulan ............................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
1. Teori

Teori-teori relevan yang akan digunakan dalam kultur organisasi seperti yang dibahas

berikut ini:

Kultur Organisasi

1) Pengertian Kultur organisasi

Menurut Stoner (2011, p. 199), kultur organisasi adalah suatu proses, nilai-

nilai atau norma-norma yang berlaku dan dipatuhi oleh anggotanya dalam rangka

mencapai tujuan organisasi. Merurut Mathis (2012, p. 145), kultur organisasi adalah

pola tingkah laku yang dikembangkan organisasi, yang dipelajarinya ketika

menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah terbukti

cukup baik sebagai cara untuk menyadari, berpikir dan merasa.

Menurut Robbins (2011, p. 312), kultur organisasi mencerminkan sifat-sifat

dan ciri-ciri yang dirasa terdapat dalam lingkungan kerja dan timbul karena kegiatan

organisasi yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan dianggap mempengaruhi

prilaku, kepribadian organisasi.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kultur

organisasi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus dipatuhi oleh anggota

organisasi, baik sadar maupun tidak sadar, guna mencapai tujuan organisasi.

2) Karakteristik Kultur Organisasi

Menurut Robbins (2011, p. 213), memberikan karakteristik kultur organisasi,

antara lain sebagai berikut:

1
a) Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking)

Adalah sejauh mana organisasi mendorong para Pegawai bersikap inovatif dan

berani mengambil resiko.

b) Perhatian terhadap detil (Attention to detail)

Adalah sejauh mana organisasi mengharapkan Pegawai memperlihatkan

kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian.

c) Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation)

Adalah sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan

perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut;

d) Berorientasi kepada manusia (People orientation)

Adalah sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil

pada orang-orang di dalam organisasi;

e) Berorientasi tim (Team orientation)

Adalah sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya

pada individu-individu untuk mendukung kerjasama;

f) Agresifitas (Aggressiveness)

Adalah sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif

untuk menjalankan kultur organisasi sebaik-baiknya;

g) Stabilitas (stability)

Adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo sebagai kontras

dari pertumbuhan.

2
3) Indikator-indikator Kultur Organisasi

Menurut Robbins (2011, p. 318), ada delapan indikator untuk menilai kultur

organisasi yaitu sebagai berikut:

a) Komunikasi (Communications)

Dalam indikator ini mencakup jumlah dan tipe sistem komunikasi, serta jenis dan

cara informasi yang dikomunikasikan, yang termasuk indikator ini arah

komunikasi top down atau buttom up.

b) Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development)

Manajemen komitmen untuk menyediakan kesempatan untuk pengembangan diri

bagi pegawai, serta pendidikan yang ditujukan untuk kebutuhan sekarang atau

akan datang;

c) Penghargaan (Reward)

Prilaku apa yang dihargai, tipe penghargaan yang digunakan, secara pribadi atau

kelompok, apa kreteria untuk menilai kemajuan pegawai dan lain-lain;

d) Pengambilan Keputusan (Decision Making)

Indikator ini diarahkan bagaimana keputusan dibuat dan konflik dipecahkan,

apakah keputusan cepat atau lambat, apakah organisasi bersifat birokratis, apakah

pembuatan keputusan bersifat sentralisasi atau desentralisasi;

e) Penyelesaian Risiko (Risk Taking)

Indikator ini apakah kretivitas dihargai, pengambilan resiko yang diperhitungkan

didukung, keterbukaan ide-ide baru, untuk level mana manajemen mendukung

saran-saran untuk kemajuan

3
f) Perencanaan (Planning)

Apakah perusahaan mengutamakan rencana jangka pendek dan jangka panjang,

proses perencanaan bersifat informal dan terstruktur, untuk tujuan apa strategi,

tujuan dan visi organisasi disampaikan pada pegawai;

g) Tim Kerja (Team Work)

Indikator ini berkaitan dengan jumlah, tipe dan keefektifan kelompok kerja dalam

organisasi, juga kerja sama antar departemen, kepercayaan diantara unit dan

dukungan terhadap proses kerja; dan

h) Praktek Manajemen (Management Practice)

Dalam indikator ini diukur keadilan dan konsistensi sebagai landasan kebijakan,

akses manajemen terhadap pegawai, keamanan lingkungan kerja.

Selanjutnya menurut Schermenharn (2012, p. 318), ada 3 (tiga) kekuatan

untuk mempertahankan suatu kultur organisasi, yaitu sebagai berikut:

a) Praktik seleksi

Proses seleksi bertujuan mengidentifikasi dan mem-pegawaikan individu-individu

yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan pegawai agar sukses

dalam organisasi.

b) Manajemen Puncak

Tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar pada kultur organisasi.

Ucapan dan perilaku mereka dalam melaksanakan norma-norma sangat

berpengaruh terhadap anggota organisasi.

4
c) Sosialisasi

Dimaksudkan agar para pegawai baru dapat menyesuaikan diri dengan kultur

organisasi. Proses sosialisasi ini meliputi 3 (tiga) tahap yaitu tahap kedatangan,

tahap pertemuan, dan tahap metromofis.

4) Tahap Pembentukan Kultur organisasi

Menurut Griffin (2012, p. 321), proses pembentukan kultur organisasi melalui

4 (empat) tahapan, yaitu sebagai berikut:

a) Tahap pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan

kelompok/perorangan dalam organisasi.

b) Tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan ide yang ditransformasikan

menjadi artifak, nilai, dan asumsi.

c) Tahap ketiga bahwa artifak, nilai, dan asumsi akan diimplementasi-kan sehingga

membentuk kultur organisasi.

d) Tahap keempat, dalam rangka mempertahankan kultur organisasi dilakukan

pembelajaran kepada anggota baru dalam organisasi.

Menurut Stoner (2011, p. 120) mengemukakan bahwa kultur organisasi

mempunyai 5 (lima) ciri-ciri pokok yaitu sebagai berikut:

a) Kultur organisasi sulit diubah.

b) Kultur organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait,

c) Kultur organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang bersangkutan,

d) Kultur organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para antropolog,

seperti ritual, simbol, ceritera, dan ketokohan,

5
e) Kultur organisasi lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang

mendirikan organisasi tersebut.

5) Perilaku Kultur Organisasi

Menurut Werther (2010, p. 229), perilaku kultur organisasi, terdiri dari

perilaku positif dan negatif, yaitu sebagai berikut:

a) Perilaku Budaya yang Positif

Perilaku kedekatan dengan sesamanya, seperti bertetangga, bergaul yang pada

akhirnya membuat keterikatan yang kuat dengan tetangga, jika terjadi saling

kekurangan, maka mereka tidak segan-segan saling membantu.

b) Perilaku Budaya yang Negatif

Kebiasaan negatif seolah-olah merupakan bagian dari kehidupan, sehingga

merupakan budaya yang bersifat kotraproduktif. Perilaku negatif tersebut bukan

semata-mata produk modern atau hasil negatif pembangunan nasional, tetapi telah

lama menjadi bagian dari budaya

6) Kultur Organisasi Polri

Menurut Bourdieu (dalam Luthans, 2011, p. 291), untuk memahami budaya

organisasi kepolisian dan kaitannya dengan reformasi kultural Polri, dapat digunakan

kerangka analisis, berupa:

a) Ranah Kepolisian (the Field of Policing)

Ranah kepolisian adalah sebuah ruang sosial dari konflik dan kompetisi

yang tersusun atas hierarki imbalan dan sanksi. Ranah kepolisian berada dalam

posisi subordinat atau dominasi bidang kekuasaan dengan prestise yang relatif

rendah dalam hal modal ekonomi, namun mendapat penghargaan dari masyarakat.

6
Dalam ranah kepolisian, anggota kepolisian juga bersaing untuk mengendalikan

berbagai jenis sumber daya atau modal yang ada. Untuk bertahan dalam

posisinya, petugas kepolisian memerlukan modal sosial, modal budaya, modal

fisik, dan modal simbolik.

(1) Modal Sosial

Merupakan faktor penting untuk memastikan bahwa mereka dilindungi, tidak

saja terhadap bahaya eksternal atau permusuhan yang terkait dengan

pekerjaan polisi, tetapi juga terhadap praktek-praktek pengawasan atau

manajemen yang dianggapnya sewenang-wenang.

(2) Modal Budaya

Berupa informasi, pengetahuan dan kompetensi. Karena sebagian besar

pekerjaan polisi di tingkat operasional membutuhkan penilaian individual,

respon cepat dan keputusan diskresi, maka tindakan situational kepolisian

dibenarkan, yakni tindakan yang diambil sebagai permintaan situasi, dan

kemudian dibenarkan oleh peraturan yang ada.

(3) Modal Fisik

Berkaitan dengan kekuatan dan daya tahan fisik yang dibutuhkan untuk

pekerjaan kepolisian yang berkaitan dengan pemberantasan kejahatan. Untuk

meningkat-kan disiplin dan daya tahan fisik, maka dilakukan pelatihan-

pelatihan fisik.

(4) Modal Simbolik

Didasarkan atas reputasi, opini dan representasi ditentukan oleh habitus yang

dominan, namun bisa juga dibangun oleh hukum atau kebijakan. Dalam visi

7
polisi sebagai pemberaantas kejahatan, anggota kepolisian yang memiliki

modal simbolik paling besar adalah mereka yang berhasil menangkap

penjahat.

b) Habitus Kepolisian (the Habitus of Policing)

Habitus kepolisian dapat dipandang sebagai sebuah budaya kepolisian

yang disadari maupun tidak disadari telah mendisposisi-kan budaya organisasi

masa lalu kedalam budaya kepolisian saat ini dan membentuk pengetahuan

budaya (mental, cara berfikir, sikap dan perilaku) dikalangan anggota kepolisian.

Habitus kepolisian juga terbangun dari sistem rekruitmen, sistem pendidikan dan

pelatihan, sistem pembinaan dan praktek manajemen organisasi yang diterapkan

di kepolisian.

Menurut Sonja Sackmann (dalam Gibson, 2010, p. 344), untuk memahami

habitus kepolisian, menggunakan lima tipologi pengetahuan budaya yang

dikembangkan, yakni axiomatic knowledge (pengetahuan aksioma), dictionary

knowledge (pengetahuan kamus), directory knowledge (pengetahuan direktori),

recipe knowledge (pengetahuan resep), dan bodily knowledge (pengetahuan

bentuk tubuh).

(1) Pengetahuan Aksioma

Adalah pengetahuan yang terbukti dengan sendirinya (self-evident) atau

doxa, yakni kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar, berakar mendalam,

mendasar, yang dipelajari (learned), yang dianggap sebagai universal-

universal yang terbukti dengan sendirinya (self-evident). Doxa kepolisian

adalah jaminan kebenaran tentang pekerjaan polisi yang tak terbantahkan,

8
yakni memerangi kejahatan, menjaga ketertiban dan melindungi kehidupan

dan harta benda masyarakat.

(2) Pengetahuan Kamus : Kategorisasi Polisi

Pengetahuan ini menyediakan definisi dan penandaan orang, hal-hal dan

peristiwa-peristiwa yang dihadapi polisi dalam melakukan tugas dan

tanggungjawabnya. Dalam melakukan tupoksinya, kepolisian memerlukan

petugas untuk merangkum situasi yang kompleks dan ambigu dalam waktu

singkat dan mengambil beberapa tindakan.

(3) Pengetahuan Direktori : Metode Kepolisian

Menginformasikan petugas kepolisian tentang bagaimana kegiatan

operasional dijalankan. Metode operasional ini mengikuti definisi dan

kategori yang ditetapkan oleh kamus pengetahuan. Setelah mengembangkan

indikator normalitas dan abnormalitas, pra perkiraan dan kehormatan, polisi

cenderung menggunakan kategorisasi tersebut untuk mencapai target

pekerjaan yang telah ditentukan atasan, sehingga kadang sekedar memenuhi

target namun mengabaikan kualitas hasil serta akibatnya bagi kelompok

masyarakat tertentu.

(4) Pengetahuan Resep : Nilai-nilai Kepolisian

Merujuk pada dimensi normatif pengetahuan budaya. Hal ini merujuk apa

yang harus atau tidak boleh dilakukan dalam situasi tertentu. Petugas polisi

kadang menghindari persoalan dengan melakukan pekerjaan seminim

mungkin dari yang seharusnya. Petugas kadang juga mengembangkan sikap

skeptis terhadap atasannya dan belajar untuk tidak berharap banyak dari

9
organisasi. Petugas juga belajar untuk menutupi kesalahan diantara mereka

untuk menghindari tindakan disiplin organisasi.

(5) Pengetahuan Bentuk Tubuh

Pengetahuan ini mengacu pada disposisi fisik atau jasmani yang dibawa

anggota polisi ke dalam posisi kedudukannya. Doxa bahwa polisi sebagai

pemberantas kejahatan memerlukan kekuatan fisik dan latihan ketahanan

fisik. Dengan pelatihan gaya militer, pelatihan polisi mencakup disiplin,

pengendalian diri, dan ketahanan diri (mortifikasi).

10
PENUTUP

2. Kesimpulan

Setiap organisasi memiliki kultur / budaya yang berbeda-beda. Suatu kultur / budaya

organisasi mempunyai peran penting dalam perusahaan karena mempunyai sejumlah fungsi

dalam organisasi yaitu, kultur / budaya menciptakan pembeda yang jelas antara satu

organisasi dengan organisasi yang lain, kultur / budaya membawa suatu rasa identitas bagi

anggota perusahaan, kultur / budaya memudahkan tercapainya komitmen yang lebih luas

terhadap kepentingan bersama dari pada kepentingan individual dan kultur / budaya

meningkatkan kemantapan sistem sosial, berikut ini beberapa pendapat ahli tentang kultur

organisasi ;

Kultur Organisasi

1) Pengertian Kultur organisasi

Menurut Stoner (2011, p. 199) dan Robbins (2011, p. 312) makas dapat

disimpulkan bahwa kultur organisasi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus

dipatuhi oleh anggota organisasi, baik sadar maupun tidak sadar, guna mencapai

tujuan organisasi.

2) Karakteristik Kultur Organisasi

Menurut Robbins (2011, p. 213), memberikan karakteristik kultur organisasi,

antara lain sebagai berikut:

a) Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking)

11
a) Perhatian terhadap detil (Attention to detail)

b) Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation)

c) Berorientasi kepada manusia (People orientation)

d) Berorientasi tim (Team orientation)

e) Agresifitas (Aggressiveness)

f) Stabilitas (stability)

3) Indikator-indikator Kultur Organisasi

Menurut Robbins (2011, p. 318), ada delapan indikator untuk menilai kultur

organisasi yaitu sebagai berikut:

a) Komunikasi (Communications)

b) Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development)

c) Penghargaan (Reward)

d) Pengambilan Keputusan (Decision Making)

e) Penyelesaian Risiko (Risk Taking)

f) Perencanaan (Planning)

g) Tim Kerja (Team Work)

h) Praktek Manajemen (Management Practice)

Selanjutnya menurut Schermenharn (2012, p. 318), ada 3 (tiga) kekuatan untuk

mempertahankan suatu kultur organisasi, yaitu sebagai berikut:

a) Praktik seleksi

b) Manajemen Puncak

c) Sosialisasi

12
Proses sosialisasi ini meliputi 3 (tiga) tahap yaitu tahap kedatangan, tahap pertemuan,

dan tahap metromofis.

4) Tahap Pembentukan Kultur organisasi

Menurut Griffin (2012, p. 321), proses pembentukan kultur organisasi melalui

4 (empat) tahapan, yaitu sebagai berikut:

a) Tahap pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi

dengan kelompok/perorangan dalam organisasi.

b) Tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan ide yang ditransformasikan

menjadi artifak, nilai, dan asumsi.

c) Tahap ketiga bahwa artifak, nilai, dan asumsi akan diimplementasi-kan

sehingga membentuk kultur organisasi.

d) Tahap keempat, dalam rangka mempertahankan kultur organisasi dilakukan

pembelajaran kepada anggota baru dalam organisasi.

Menurut Stoner (2011, p. 120) mengemukakan bahwa kultur organisasi mempunyai 5

(lima) ciri-ciri pokok yaitu sebagai berikut:

a) Kultur organisasi sulit diubah.

b) Kultur organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait,

c) Kultur organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang

bersangkutan,

d) Kultur organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para

antropolog, seperti ritual, simbol, ceritera, dan ketokohan,

e) Kultur organisasi lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang

mendirikan organisasi tersebut.

13
5) Perilaku Kultur Organisasi

Menurut Werther (2010, p. 229), perilaku kultur organisasi, terdiri dari perilaku

positif dan negatif, yaitu sebagai berikut:

a) Perilaku Budaya yang Positif

b) Perilaku Budaya yang Negatif

6) Kultur Organisasi Polri

Menurut Bourdieu (dalam Luthans, 2011, p. 291), untuk memahami budaya

organisasi kepolisian dan kaitannya dengan reformasi kultural Polri, dapat digunakan

kerangka analisis, berupa:

a) Ranah Kepolisian (the Field of Policing)

Untuk bertahan dalam posisinya, petugas kepolisian memerlukan modal

sosial, modal budaya, modal fisik, dan modal simbolik.

(1) Modal Sosial

(2) Modal Budaya

(3) Modal Fisik

(4) Modal Simbolik

b) Habitus Kepolisian (the Habitus of Policing)

Menurut Sonja Sackmann (dalam Gibson, 2010, p. 344), untuk

memahami habitus kepolisian, menggunakan lima tipologi pengetahuan budaya

yang dikembangkan, yakni axiomatic knowledge (pengetahuan aksioma),

dictionary knowledge (pengetahuan kamus), directory knowledge (pengetahuan

direktori), recipe knowledge (pengetahuan resep), dan bodily knowledge

(pengetahuan bentuk tubuh).

14
(1) Pengetahuan Aksioma

(2) Pengetahuan Kamus : Kategorisasi Polisi

(3) Pengetahuan Direktori : Metode Kepolisian

(4) Pengetahuan Resep : Nilai-nilai Kepolisian

(5) Pengetahuan Bentuk Tubuh

15
DAFTAR PUSTAKA

Griffin, Ricky W (2012). Manajemen Kualitas : Penerapan Konsep-konsep kualitas dalam


Manajemen Bisnis Total, Jakarta: Kerja sama Antara Yayasan Indonesia Emas dan PT
Gramedia Pustaka Utama.

Robbins, Stephen P. (2011). Organizational Behavior : Concepts, Controversies, and


Appications. (Penerjemah: Diana Angelica), New Jersey : Englewood Cliffs. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat.

Schermenharn, John R. (2012). Management. (Edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta: Penerbit


PT. Andi Offset

Stoner, James A.F. (2011). Management. Jilid I (Edisi 6). (Ahli Bahasa: Alexander Sindiro).
Jakarta: Penerbit: Prehalindo.

Werther W, B. (2012). Human Resource and Personnel Management. Fourth Edition. Singapore:
Mc Graw-Hill Book Co.

Mathis Robert, L., Jackson John H. (2012). Human Resource Management (Penerjemah: Jimmy
Sadeli dan Bayu Prawira Hie). Buku 2, Edisi Kesembilan, Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.

16
LOYALITAS KERJA

Oleh :

92216010 - Fadli Lesmana

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................... i

1. Pengertian Loyalitas Kerja ......................................................................................... 1

2. Indikator Loyalitas Kerja ........................................................................................... 4

3. Indikasi Turunnya Loyalitas Kerja ............................................................................ 5

4. Aspek – Aspek Loyalitas ............................................................................................. 7

5. Faktor – Faktor Timbulnya Loyalitas Karyawan ...................................................... 8

6. Strategi Meningkatkan Loyalitas Kerja ..................................................................... 9

7. Loyalitas Karyawan dan Organisasi .......................................................................... 14

8. Keterlibatan Karyawan Terhadap Organisasi........................................................... 15

9. Membangun Kesetiaan Melalui Sosialisasi ................................................................ 18

10. Kerangka Teoritik ..................................................................................................... 19

11. Kesimpulan ................................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 22

i
1. Pengertian Loyalitas Kerja

Dalam melaksanakan kegiatan kerja karyawan tidak akan terlepas dari


loyalitas dan sikap kerja, sehingga dengan demikian karyawan tersebut akan
selalu melaksanakan pekerjaan dengan baik. Karyawan merasakan adanya
kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan.

Menurut Utomo & Tommy (2010), loyalitas dapat dikatakan sebagai


kesetiaan seseorang terhadap suatu hal yang bukan hanya berupa kesetiaan
fisik semata, namun lebih pada kesetiaan non fisik seperti pikiran dan
perhatian. Loyalitas para karyawan dalam suatu organisasi itu mutlak
diperlukan demi kesuksesan organisasi itu sendiri. Menurut Reichheld,
semakin tinggi loyalitas para karyawan di suatu organisasi, maka semakin
mudah bagi organisasi itu untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang
telah ditetapkan sebelumnya oleh pemilik organisasi. Begitu pula
sebaliknya, bagi organisasi yang loyalitas para karyawannya rendah,
maka semakin sulit bagi organisasi tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan
organisasinya yang telah ditetapkan sebelumnya oleh para pemilik organisasi.

Dalam jurnal Maharani dkk., Loyalitas berasal dari kata loyal yang
berarti setia. Loyalitas dalam organisasi dapat diartikan sebagai kesetiaan
seorang karyawan terhadap organisasi. Menurut Sudimin (2003), loyalitas
berarti Kesediaan karyawan dengan seluruh kemampuan, keterampilan,
pikiran, dan waktu untuk ikut serta mencapai tujuan organisasi dan
menyimpan rahasia organisasi serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan organisasi selama orang itu masih berstatus sebagai karyawan.

Menurut Robbins (2003), Loyalitas adalah keinginan untuk


memproteksi dan menyelamatkan wajah bagi orang lain. Fletcher
merumuskan loyalitas sebagai kesetiaan kepada seseorang dengan tidak
meninggalkan, membelot atau tidak menghianati yang lain pada waktu
diperlukan.

Menurut Hasibuan (2011), Kesetiaan dicerminkan oleh kesediaan


karyawan menjaga dan membela organisasi di dalam maupun di luar
pekerjaan dari rongrongan orang yang tidak bertanggung jawab.

1
Pada masa lalu atau masa sebelumnya, loyalitas para karyawan hanya
diukur dari jangka waktu lamanya karyawan tersebut bekerja bagi sebuah
organisasi. Namun saat ini, ukuran loyalitas para karyawan telah sedikit
bergeser ke arah yang lebih kualitatif, yaitu yang disebut sebagai komitmen.
Komitmen itu sendiri dapat diartikan sebagai seberapa besar seseorang
mencurahkan perhatian, pikiran dan dedikasinya bagi organisasi selama dia
bergabung di dalam organisasi tersebut.

Jadi, di sini loyalitas para karyawan bukan hanya sekedar kesetiaan


fisik atau keberadaaannya di dalam organisasi, namun termasuk pikiran,
perhatian, gagasan, serta dedikasinya tercurah sepenuhnya kepada organisasi.
Saat ini loyalitas para karyawan bukan sekedar menjalankan tugas-tugas serta
kewajibannya sebagai karyawan yang sesuai dengan uraian-uraian tugasnya
atau disebut juga dengan job description, melainkan berbuat seoptimal
mungkin untuk menghasilkan yang terbaik dari organisasi.

Selanjutnya, Menurut Steers & Porter (dalam Dewi & Endang),


menyatakan bahwa timbulnya loyalitas kerja dipengaruhi oleh faktor- faktor :

a) karakteristik pribadi, meliputi : usia, masa kerja, jenis


kelamin, tingkat pendidikan, prestasi yang dimiliki, ras, dan
sifat kepribadian;

b) Karakteristik pekerjaan, meliputi : tantangan kerja, stres kerja,


kesempatan untuk berinteraksi sosial, job enrichment,
identifikasi tugas, umpan balik tugas, dan kecocokan tugas;

c) Karakteristik desain perusahaan/organisasi, yang dapat dilihat


dari sentralisasi, tingkat formalitas, tingkat keikutsertaan
dalam pengambilan keputusan, paling tidak telah
menunjukkan berbagai tingkat asosiasi dengan tanggung
jawab perusahaan, ketergantungan fungsional maupun fungsi
kontrol perusahaan;

d) Pengalaman yang diperoleh dalam perusahaan/organisasi,


yaitu internalisasi individu terhadap perusahaan setelah
melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan tersebut

2
meliputi sikap positif terhadap perusahaan, rasa percaya
terhadap perusahaan sehingga menimbulkan rasa aman,
merasakan adanya kepuasan pribadi yang dapat dipenuhi oleh
perusahaan.

Berdasarkan faktor-faktor yang telah diungkap di atas dapat dilihat


bahwa masing-masing faktor mempunyai dampak tersendiri bagi
kelangsungan hidup organisasi, sehingga tuntutan loyalitas yang diharapkan
oleh organisasi baru dapat terpenuhi apabila karyawan memiliki karakteristik
seperti yang diharapkan dan organisasi sendiri telah mampu memenuhi
harapan-harapan karyawan, bahwa faktor yang mempengaruhi loyalitas
tersebut meliputi : adanya fasilitas-fasilitas kerja, tunjangan kesejahteraan,
suasana kerja upah yang diterima, karakteristik pribadi individu atau
karyawan, karakteristik pekerjaan, karakteristik desain organisasi dan
pengalaman yang diperoleh selama karyawan menekuni pekerjaan itu.

Menurut Hasibuan (2011), bahwa ukuran loyalitas adalah lamanya


mereka bertahan dalam perusahaan. Untuk mempertahankan karyawan,
perusahaan melakukan Employee Retention Program (ERP). Sayangnya
ERP sering disalahpahami semata-mata pada kebutuhan fisik karyawan
seperti pemberian gaji dan tunjangan, golden handcuff, program
kepemilikan saham, dan sebagainya. Padahal selain kebutuhan fisik
seorang karyawan memiliki tiga kebutuhan lainnya yaitu kebutuhan sosial
emosional, kebutuhan mental/intelektual, dan kebutuhan spiritual. Setiap
orang pada dasarnya memiliki tiga kebutuhan tersebut, tetapi dengan kadar
yang berbeda-beda.

Lebih lanjut, terdapat beberapa ciri karyawan yang memiliki loyalitas


yang rendah diantaranya karena sifat karakternya (bawaan), kekecewaan
karyawan, dan sikap atasan, serta perasaan negatif, seperti ingin
meninggalkan organisasi, merasa bekerja di instansi/organisasi lain lebih
menguntungkan, tidak merasakan manfaat, dan menyesali bergabung dengan
organisasi. Adapun karakteristik karyawan yang menunjukkan loyalitas yang
tinggi terhadap organisasi, diantaranya adalah : bersedia bekerja melebihi
kondisi biasa, merasa bangga atas prestasi yang dicapai organisasi,

3
merasa terinspirasi, bersedia mengorbankan kepentingan pribadi, merasa
ada kesamaan nilai dengan perusahaan

2. Indikator Loyalitas Kerja

Menurut Runtu (2014), Loyalitas tidak mungkin dianggap sebagai


sesuatu yang terjadi dengan sendirinya ketika seorang karyawan
bergabung dalam organisasi. Apabila organisasi menginginkan seorang
karyawan yang loyal, organisasi harus mengupayakan agar karyawan
menjadi bagian dari organisasi yang merupakan tingkatan lebih tinggi.
Dengan demikian karyawan tersebut sungguh merasa bahwa “suka-duka”
organisasi adalah “suka-duka”- nya juga. Oleh karena itu loyalitas mencakup
kesediaan untuk tetap bertahan, memiliki produktivitas yang melampaui
standard, memiliki perilaku altruis, serta adanya hubungan timbal balik di
mana loyalitas karyawan harus diimbangi oleh loyalitas organisasi terhadap
karyawan.

Ada 16 indikator yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi loyalitas


karyawan sebagaimana dikemukakan Powers (dalam Runtu, 2014), yaitu:

1) Tetap bertahan dalam organisasi.

2) Bersedia bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan.

3) Menjaga rahasia bisnis perusahaan.

4) Mempromosikan organisasinya kepada pelanggan dan


masyarakat umum.

5) Menaati peraturan tanpa perlu pengawasan yang ketat.

6) Mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan


organisasi.

7) Tidak bergosip, berbohong atau mencuri.

8) Membeli dan menggunakan produk perusahaan.

9) Ikut berkontribusi dalam kegiatan social organisasi.

4
10) Menawarkan saran-saran untuk perbaikan.

11) Mau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan aksidental


organisasi.

12) Mau mengikuti arahan atau instruksi.

13) Merawat properti organisasi dan atau tidak memboroskannya.

14) Bekerja secara aman.

15) Tidak mengakali aturan organisasi termasuk ijin sakit.

16) Mau bekerja sama dan membantu rekan kerja.

Menurut Utomo & Tommy (2010), menambahkan bahwa lima 5


faktor yang menjadi tolok ukur sumber daya manusia yang mempunyai
loyalitas atau komitmen, yaitu:

1) Karyawan tersebut berada di organisasi tertentu;

2) Karyawan tersebut mengenal seluk beluk bisnis


perusahaannya maupun para pelanggannya dengan baik.

3) Karyawan tersebut turut berperan dalam mempertahankan


hubungan dengan pelanggan yang menguntungkan bagi
perusahaannya;

4) Karyawan tersebut merupakan aset tak berwujud yang tidak


dapat ditiru oleh para pesaing;

5) Karyawan tersebut mempromosikan organisasinya, baik dari


sudut produk, layanan, sebagai tempat kerja yang ideal
maupun keunggulan kinerja dan masa depan yang lebih baik.

3. Indikasi Turunnya Loyalitas Kerja

Menurut Budiman (2009) sebab – sebab turunnya loyalitas dan sikap


kerja itu dikarenakan banyak sebab misalnya, upah yang mereka terima tidak
sesuai dengan pekerjaannya, tidak cocoknya dengan gayaperilaku pemimpin,
lingkungan kerja yang buruk dan sebagainya.

5
Untuk memecahkan persoalan tersebut, maka perusahaan harus dapat
menemukan penyebab dari turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan itu
disebabkan pada prinsipnya turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan itu
disebabkan oleh ketidakpuasan para karyawan. Adapun sumber
ketidakpuasan bisa bersifat material dan non material yang bersifat material
antara lain: rendahnya upah yang diterima, fasilitas minimum. Sedangkan
yang non material antara lain: penghargaan sebagai manusia, kebutuhan –
kebutuhan yang berpartisipasi dan sebagainya.

Indikasi – indikasi turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan


menurut Budiman (2009), antara lain:

a. Turun/ rendahnya produktivitas kerja.

Turunnya produktivitas kerja ini dapat diukur atau diperbandingkan


dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat
terjadi karena kemalasan atau penundaan kerja

b. Tingkat absensi yang naik.

Pada umumnya bila loyalitas dan sikap kerja karyawan turun, maka
karyawan akan malas untuk datang bekerja setiap hari. Bila ada gejala
– gejala absensi naik maka perlu segera dilakukan penelitian.

c. Tingkat perpindahan buruh yang tinggi.

Keluar masuknya karyawan yang meningkat tersebut terutama adalah


karena tidak senangnya para karyawan bekerja pada perusahaan.
Untuk itu mereka berusaha mencari pekerjaan lain yang dianggap
sesuai. Tingkat perpindahan buruh yang tinggi selain dapat
menurunkan produktivitas kerja, juga dapat mempengaruhi
kelangsungan jalannya perusahaan.

d. Kegelisahan dimana – mana.

Loyalitas dan sikap kerja karyawan yang menurun dapat


menimbulkan kegelisahan sebagai seorang pemimpin harus
mengetahui bahwa adanya kegelisahan itu dapat terwujud dalam

6
bentuk ketidak terangan dalam bekerja, keluh kesah serta hal – hal
yang lain.

e. Tuntutan yang sering terjadi.

Tuntutan yang sebetulnya merupakan perwujudan dan ketidakpuasan,


dimana pada tahap tertentu akan menimbulkan keberanian untuk
mengajukan tuntutan.

f. Pemogokan.

Tingkat indikasi yang paling kuat tentang turunnya loyalitas dan sikap
kerja karyawan adalah pemogokan. Biasanya suatu perusahaan yang
karyawannya sudah tidak merasa tahan lagi hingga memuncak, maka
hal itu akan menimbulkan suatu tuntutan, dan bilamana tuntutan
tersebut tidak berhasil, maka pada umumnya para karyawan
melakukan pemogokan kerja.

4. Aspek – Aspek Loyalitas

Loyalitas kerja karyawan tidak terbentuk begitu saja dalam


organisasi, tetapi ada aspek-aspek yang terdapat didalamnya yang
mewujudkan loyalitas kerja karyawan. Masing-masing aspek merupakan
bagian dari manajemen organisasi yang berkaitan dengan karyawan maupun
organisasi. Aspek-aspek loyalitas kerja yang terdapat pada individu, yang
menitik beratkan pada pelaksanaan kerja yang dilakukan karyawan antara
lain (Trianasari, 2005) :

a) Taat pada peraturan. Setiap kebijakan yang diterapkan dalam


organisasi untuk memperlancar dan mengatur jalannya pelaksanaan
tugas oleh manajemen organisasi ditaati dan dilaksanakan dengan
baik. Keadaan ini akan menimbulkan kedisiplinan yang
menguntungkan organisasi baik intern maupun ekstern.

b) Tanggung jawab pada perusahaan/organisasi. Karakteristik pekerjaan


dan pelaksanaan tugasnya mempunyai konsekuensi yang dibebankan
karyawan. Kesanggupan karyawan untuk melaksanakan tugas sebaik-

7
baiknya dan kesadaran akan setiap resiko pelaksanaan tugasnya akan
memberikan pengertian tentang keberanian dan kesadaran
bertanggungjawab terhadap resiko atas apa yang telah dilaksanakan.

c) Kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang- orang


dalam suatu kelompok akan memungkinkan organisasi dapat
mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang- orang secara
invidual.

d) Rasa memiliki, adanya rasa ikut memiliki karyawan terhadap


organisasi akan membuat karyawan memiliki sikap untuk ikut
menjaga dan bertanggung jawab terhadap organisasi sehingga pada
akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi tercapainya tujuan
organisasi.

e) Hubungan antar pribadi, karyawan yang mempunyai loyalitas kerja


tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel ke arah tata hubungan
antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi : hubungan sosial
diantara karyawan, hubungan yang harmonis antara atasan dan
karyawan, situasi kerja dan sugesti dari teman kerja.

f) Kesukaan terhadap pekerjaan, organisasi harus dapat menghadapi


kenyataan bahwa karyawannya tiap hari datang untuk bekerjasama
sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan pekerjaan yang akan
dilakukan dengan senang hati sebagai indikatornya bisa dilihat dari :
keunggulan karyawan dalam bekerja, karyawan tidak pernah
menuntut apa yang diterimanya diluar gaji pokok.

5. Faktor – Faktor Timbulnya Loyalitas Karyawan

Salah satu survey tentang loyalitas yang dikutip Drizin & Schneider
(dalam Runtu, 2014), menunjukkan bahwa pendorong utama untuk loyalitas
karyawan adalah fairness. Hal itu mencakup: fair dalam penggajian, fair
dalam penilaian kinerja, dan fair dalam perumusan dan pengimplementasian
kebijakan. Sedangkan Mc Quiness (dalam Runtu, 2014), mengemukakan
bahwa komunikasi yang efektif dalam suatu organisasi akan berdampak pada

8
loyalitas karyawan. Peran komunikasi dalam meningkatkan loyalitas
karyawan ini didukung oleh Smith & Rupp (dalam Runtu, 2014).

Antoncic & Antoncic (dalam Runtu, 2014), menyatakan bahwa


penurunan loyalitas umumnya disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap
keputusan dan kebijakan organisasi, buruknya komunikasi dan aliran
informasi internal, serta gaya kepemimpinan dalam organisasi. Oleh karena
itu, menurut Cunha (dalam Runtu, 2014), loyalitas harus dibangun antara lain
melalui pengelolaan struktur, budaya, dan kepemimpinan dalam organisasi.
McGuinness (dalam Runtu, 2014), menyatakan bahwa meningkatkan
partisipasi dalam pengambilan keputusan, komunikasi efektif dan terbuka,
pengembangan saling percaya, pengembangan karir, serta penggajian
berdasarkan produktivitas, dan fleksibilitas tunjangan dapat menimbulkan
loyalitas pada karyawan.

Loyalitas karyawan juga dapat dibangun melalui hubungan yang


baik antara atasan dan bawahan. Membangun hubungan saling percaya satu
sama lain merupakan satu bentuk kompensasi yang sangat bermakna bagi
karyawan. Karyawan harus tahu bahwa atasan mereka memperlakukan
mereka sebagai pribadi tidak sekedar “sumber daya” sebelum mereka
termotivasi untuk memberi yang terbaik bagi organisasi, Boltax (dalam
Runtu, 2014). Loyalitas karyawan itu ada dalam satu organisasi apabila
karyawan percaya bahwa dalam tujuan organisasi, karyawan dapat mencapai
tujuan mereka.

6. Strategi Meningkatkan Loyalitas Kerja

Menurut Malayu S.P Hasibuan (2007), menjelaskan bahwa


pemeliharaan startegi untuk mempertahankan loyalitas karyawan. Pemilihan
metode pemeliharan yang teoat sangat penting, agar pelaksanaanya efektif
dalam mendukung tercapainya tujuan perusahaan.

Metode pemeliharaan tersebut adalah sebagai berikut :

9
a. Komunikasi

Komunikasi harus digunakan dalam setiap penyimpanan informasi


dari komunikator kepada komunikan. Komunikasi berfungsi untuk
instructive, informative, influencing, dan evaluative.

Komunikasi adala suatu alat pengalihan informasi dari komunikator


kepada komunikan agar diantara mereka terdapat interaksi. Interaksi
terjadi jika komunikasi efektif dipahami.

Dengan komunikasi yang baik akan dapat menyelesaikan masalah –


masalah yang terjadi pada perusahaan. Jadi menajemen terbuka akan
mampu mendukung terciptanya pemeliharaan keamanan dan
kesehatan loyal yang baik dari para karyawan. Masuknya informasi
yang lebih banyak akan menjadi daya penggerak yang merangsang
gairah kerja dan meningkatkan sikap loyal seseorang terhadap
perusahaan.

b. Insentif

Insentif adalah daya perangsang yang diberikan kepada para


karyawan tertentu berdasarkan prestasi kerjanya agar karyawan
terdorong meningkatkan produktivitasnya. Dengan memberikan
insentfif karyawan merasa perhatian dan oengakuan atas prestasi yang
dicapainya sehingga semangat kerja dan sikap loyal karyawan akan
lebih baik. Bentuk insentif dapat berupa penghargaan ataupun
pengukuhan berdasarkan prestasi kerjanya, insentif ini disebut
Immatrial Insentif. Insentif dapat juga berupa fasilitas dan
kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya, seperti promosi,
mengikui pendidikan, naik haji dll. Insentif ini disbetu Sosial Insentif.
Bentuk insentif lainnya adalah berupa uang atau barang atau juga
sebagai Material Insentif.

c. Program Kesejahteraan

Kesejahteraan karyawan adalah balas jasa pelengkap (material dan


non material) yang diberikan berdasarkan kebijaksanaan. Jenis – jenis
kesejahteraan yang diberikan adalah fininsial dan non finansial yang

10
bersifat ekonomis, serta pemberian fasilitas dan pelayanan. Pemberian
kesejahteraan perlu diprogram sebaik -baiknya supaya bermanfaat
dalam mendukung tujuan perusahan, karyawan, dan masyarakat,
program kesejahteraan harus berasaskan keadilan dan kelayakan, juga
didasarkan atas kemampuan perusahaan.

d. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (k3)

Keselamatan dan kesehatan kerja akan menciptakan terwujudnya


pemeliharaan karyawan yang baik. K3 harus ditanamkan pada diri
masing - masing individu karyawan, dengan penyuluhan dan
pembinaan yang baik agar mereka menyadari pentingnya keselamatan
kerja bagi dirinya maupun perusahaan.

e. Hubungan Industrial Pancasila (HIP)

HIP adalah hubungan antar pelaku dalam proses produksi barang dan
jasa didasarkan atas nilai yang merupakan manifestasi dari
keseluruhan sila – sila Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
yang tumbuh dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan
kebudyaan nasional Indonesia, ciri – ciri khas HIP antara lain :

1) HIP didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan


yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2) HIP ialah hubungan perburuhan yang secara keseluruhan


dijiwai oleh kelima sila pancasila.

3) HIP didasarkan atas suasana serta keserasian, keselarasan, dan


keseimbangan antara pihak -pihak yang tersangkut dalam
proses produksi, yaiut buruh, pengusaha, pemerintah, dan
masyarakat umum.

4) HIP berpegang teguh pada Tridharma dimana antara buruh,


pengusaham dan pemerintah tercipta saling mersasa ikut
memiliki, memelihara, mempertahankan dan terus -menerus

11
mawas diri, yang mengandung asas partnership dan tanggung
jawab bersama.

Menurut Hadari Nawawi (2003), menjelaskan strategi


mempertahankan loyalitaas karyawan dengan pemberian kompensasi tidak
langsung. Kompensasi tidak langsung adalah sejumlah ganjaran yang
bermaksud untuk memberikan rasa tenang bagi pekerja dan anggota
keluarganya.

Bentuk kompensasi tidak langsung ini terdiri dari :

a. Jaminan Kemanan dan Kesehatan Kerja

Jaminan ini pada dasarnya tidak dapat dilepaskan kaitannya


dengan perasaan aman dan puas (quality of work life),
beberapa diantarannya adalah sebagai berikut :

1) Asuransi Jiwa.

2) Kompensasi akibat pekerjaan yang sifatnya psikologis


untuk mengurangi stress atau yang sejenisnya.

3) Asuransi cacat tubuh.

4) Biaya rumah sakit.

5) Jaminan pengobatan lainnya seperti perawatan,


pengobatan gigi, dan perawatan mata.

6) Tidak bekerja karena sakit, program ini diberikan


berupa jaminan bahwa pekerja tidak akan berkurang
penghasilannya apabila menderita sakit yang tidak
terlalu lama.

7) Organisasi pemeliharaan kesehatan .

8) Program pensiun.

9) Jaminan sosial.

10) Uang pesangon.

12
b. Pembayaran Upah Selama Tidak Bekerja

Bentuk kedua dari kompensasi tidak langsung adalah


pembayaran gaji/upah tanpa dikurangi atau dipotong,
meskipun seorang pekerja untuk jangka waktu tertentu tidak
melaksanakan tugas – tugasnya, bentuknya adalah sebagai
berikut :

1) Liburan.

2) Tidak hadir dengan pemberitahuan.

3) Meninggalkan perusahaan karena urusan pribadi.

4) Tidak hadir karena kemalangan.

5) Cuti seperti cuti tahunan, cuti hamil,cuti hari raya dan


lain – lain.

c. Pelayanan Untuk Pekerja

Bentuknya adalah sebagai berikut :

1) Dana bantuan belajar bagi pekerja yang potensial.

2) Program pemberian pinjaman.

3) Penyediaan pelayanan makan dan minum.

4) Kendaraan untuk para eksekutif.

5) Asuransi kendaraan bagi kendaraan perusahaan yang


diperuntukkan bagi pekerja secara individual.

6) Baju kerja atau pakaian dinas

7) Binus tambahan, termasuk tunjangan hari raya (THR),


atau hari natal.

8) Penghargaan bagi pekerja yang berjasa bagi


perusahaan.

13
7. Loyalitas Karyawan dan Organisasi

Menurut Budiman (2009), Loyalitas berasal dari kata dasar “loyal”


yang berarti setia atau patuh, loyalitas berarti mengikuti dengan patuh dan
setia terhadap seseorang atau system/peraturan. Istilah loyalitas ini sering
didefinisikan bahwa seseorang akan disebut loyal atau memiliki loyalitas
yang tinggi jika mau mengikuti apa yang diperintahkan. Organisasi atau
pengusaha mengartikan loyalitas adalah suatu kesetiaan karyawannya kepada
perusahaannya. Dalam perkembangannya, arti kata loyalitas sering
dimanfaatkan oleh organisasi untuk memanfaatkan karyawan semaksimal
mungkin tanpa memperhatikan kebutuhan karyawannya.

Organisasi atau pelaku organisasi melakukannya karena meyakini


bahwa karyawan tidak memiliki posisi tawar yang seimbang. Dalam hal ini,
organisasi tadi menganggap hubungannya dengan karyawan tidak sebagai
partner, tetapi sebagai majikan dan pegawai, yang memberi upah dan yang
meminta upah. Sebuah paradigma yang masih tersisa dari era perbudakan.

Organisasi pun akan dengan mudah memberi label “tidak loyal”


kepada karyawannya jika karyawannya tersebut tidak mengikuti apa yang
diperintahkan oleh organisasi, misalnya tidak mau kerja lembur atau tidak
mengikuti suatu kegiatan yang diminta oleh organisasi meski
pekerjaan/kegiatan tersebut diluar jam kerja.

Kadang, arti kata ”organisasi”-pun sering diganti maknanya, dengan


”pengambil keputusan”, organisasi yang sejatinya adalah seorang karyawan
di organisasi tersebut. Karyawan yang kebetulan menjadi penentu kebijakan
perusahaan ini seringkali memanfaatkan posisinya untuk kepentingan lain,
sehingga banyaknya kepentingan dalam menentukan kata ”loyal atau tidak
loyal” sangat besar pengaruhnya. Dalam pengamatan saya, para pemangku
kebijakan organisasi ini adalah karyawan pada level manajerial,
Supervisor/Manager di bagiannya, atau seorang HRD Manager misalnya.

Loyalitas menurut karyawan atau para professional adalah kesetiaan


pada pekerjaan atau profesi. Sementara organisasi hanya dipandang sebagai
tempat bekerja, dan kewajiban karyawan hanyalah bekerja dan mengikuti

14
peraturan yang berlaku di organisasi tersebut, dan tentu saja harus
mendapatkan hak-nya sesuai kesepakatan.

Jika ada kewajiban lain yang harus dilakukan dan diluar kesepakatan,
maka harus ada kompensasi atau benefit tambahan, misalnya jika harus
bekerja lembur maka harus mendapatkan upah tambahan. Dari sudut
pandang ini, karyawan berharap mereka dianggap sebagai partner oleh
organisasi dan bersama dengan stake holder/pemilik kepentingan lainnya
(customer, supplier, pemegang saham, lingkungan dan masyarakat sekitar)
dianggap sama dan penting.

Karyawan hanya akan loyal terhadap organisasi tempatnya bekerja


jika menemukan kenyamanan dan rasa aman. Dia merasa nyaman dengan
lingkungannya, dengan sikap atasan atau rekan kerjanya, merasa aman
dengan masa depannya, karir dan pekerjaannya. Rasa nyaman ini dengan
sendirinya akan menumbuhkan kedekatan, kebahagiaan dan rasa memiliki.
Sementara bekerja dan memiliki pekerjaan adalah salah satu cara untuk
mendapatkan rasa aman. Jika kedua hal tersebut ada, maka dengan sendirinya
loyalitas karyawan akan meningkat.

Kedua pemahaman arti kata loyalitas tersebut tentu saja berbeda


dan bersebrangan. Organisasi, termasuk juga karyawan pengambil kebijakan
organisasi yang (merasa) mewakili organisasi, memahami loyalitas adalah
kepatuhan pada organisasi (atasan, peraturan) tanpa syarat. Sementara
karyawan memahami arti kata loyalitas sebagai kesetiaan terhadap profesi
dan pekerjaan, bukan pada atasan atau organisasi.

8. Keterlibatan Karyawan Terhadap Organisasi

Loyalitas karyawan yang mempunyai keterlibatan tinggi dengan


pekerjaannya, mempersiapkan kerja sebagai sesuatu yang penting bagi
pengembangan self-esteem-nya. Dengan demikian, diduga bahwa karyawan
yang mempunyai keterlibatan kerja yang tinggi akan menunjukkan kinerja
(kualitas performance) yang berbeda dengan mereka yang keterlibatannya
rendah.

15
Menurut Sutrisno (2010), memandang bahwa karyawan yang
mempunyai keterlibatan kerja yang tinggi tersebut menunjukkan: (a) motivasi
kerja yang tinggi, (b) mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap kelompok
kerja atau organisasi, dan (c) rasa bangga dengan pekerjaannya. Maka
kualitas kekaryaannya dilihat dan sejauh mana seorang karyawan
memberikan kontribusi yang maksimal terhadap peningkatan efisiensi,
dimana eksistensi kerja tersebut adalah menyangkut pendapatan perusahaan,
penurunan biaya produksi, perluasan pasar, berkurangnya keluhan
konsumen, menurunnya absensi dan pemutusan kerja.

Pengalaman menunjukkan bahwa baik manajemen maupun para


karyawan sendiri menyadari bahwa pemeliharaan hubungan yang serasi
antara organisasi dengan para anggotanya bukan hanya merupakan tanggung
jawab manajeman. Para karyawan pun diharapkan turut terlibat secara
aktif. Dalam menyebutkan dari berbagai literatur tentang pendorong
keterlibatan karyawan yang loyal terhadap organisasi memberi petunjuk
bahwa terdapat enam pendekatan, yaitu:

1) Gugus kendali mutu. Para pakar manajemen memperkenalkan


dalam praktek konsep ini berarti dibentuknya kelompok-
kelompok kecil (gugus) pekerja yang bertemu secara berkala
dibawah pimpinan seseorang untuk mengidentifikasikan dan
memecahkan sendiri masalah-masalah yang dihadapi oleh
gugus tersebut dalam pelaksanaan pekerjaannya.

2) Pengembangan tim. Dalam kehidupan kekaryaan modern


dewasa ini semakin disadari bahwa terdapat interelasi dan
interdependensi antara satu tugas dengan tufgas lainnya.
Berarti sukar membanyangkan adany tugas yang dapat
diselesaikan secara tuntas hanya oleh seseorang, terutama
apabila tugas tersebut bersifat pemecahan masalah.
Konsekuensinya ialah keharusan bekerja dalam satu tim.
Berdasarkan kenyataan bahwa suatu masalah terpecahkan
dengan lebih baik apabila pemecahannya dipikirkan oleh suatu
kelompok dibandingkan dengan apabila dikerjakan sendiri

16
oleh seseorang, pembinaan tim dipandang sebagai salah satu
kegiatan manajeman yang penting dalam rangka peningkatan
mutu keterlibatan karyawan. Sasarannya bukan hanya
peningkatan kemampuan memecahkan masalah, akan tetapi
juga untuk memupuk rasa kebersamaan antara para anggota
kelompok kerja dan kesetiaan karyawan pada pekerjaannya.

3) System sosio-teknikal. Merupakan upaya memadukan struktur


tugas, kelompok kerja, dan teknologi yang dibawa ke
lingkungan pekerjaan. Sasaran perpaduan ini adalah
pemeliharaan hubungan karyawan sekaligus mengurangi
kebosanan yang mudah timbul apabila seseorang melakukan
kegiatan yang sangat rutin dan repetitive. Salah satu
teknik yang sudah dikembangkan adalah ergonomika.

4) Ergonomika. Yang pertama kali dikembangkan di jerman


(barat) adalah suatu studi yang mempelajari hubungan antara
ciri fisik seorangpekerja dan tuntutan tugasnya. Sasaran studi
itu ialah mengurangi ketegangan fisik dan mental dalam
rangka peningkatan produktivitas dan efektivitas kerja
seseorang.

5) Keputusan bersama. Sesungguhnya konsep ini didasarkan


pada prinsip yang sangat sederhana, yaitu para karyawan perlu
dilibatkan dalam proses pengmbilan keputusan yang
menyangkut nasib dan pekerjaan mereka. Para pekerja atau
wakilnya secara formal diikutsertakan dalam proses
pengambilan keputusan itu,seperti misalnya dalam hal
menutup suatu pabrik, melakukan pemutusan hubungan kerja
dan keputusan-keptusan lain yang menyangkut nasib para
pekerja.

6) Kelompok kerja yang otonom. Yang dimaksud ialah


terbentuknya kelompok-kelompok kerja tanpa pimpinan yang
ditunjuk dan diangkat oleh organisasi. Artinya kelompok-
kelompok kerja sendirilah yang memutuskan antara mereka

17
sendiri berbagai hal yang secara tradisional ditangani oleh
penyelia. Sebagai contoh penentuan tugas harian, penggunaan
rotasi pekerjaan orientasi pegawai baru, program pelatiahan
dan jadwal produksi. Bahkan ada kalanya kelompok kerja
juga yang menangani rekrutmen dan seleksi pegawai baru.
Malahan ada organisasi yang sudah menyerahkan wewenang
pengenaan sanksi disipliner kepada kelompok kerja yang
otonom tersebut.

9. Membangun Kesetiaan Melalui Sosialisasi

Menurut Sutrisno (2010), di tahun-tahun terakhir ini, banyak


organisasi yang merasa semakin sulit untuk mendapatkan kesetiaan dan
keikatan dari para manajernya. Untuk berbagai alasan yang jelas, organisasi
menilai kesetiaan dan keikatan para karyawan: karywan semaca itu bekerja
lebih keras dan mencapai sukses lebih besar daripada mereka yang tidak setia
dan tidak punya ikatan. Akan tetapi, organisasi tidak bergantung semata-mata
pada kesetiaan; ia harus mensosialisasikan karyawan baru sehingga mereka
setia. Proses sosialisasi yang mendukung dan mengghargai kesetiaan dapat
terwujud dala banyak bentuk dan encakup berbagai praktiskus khusus
organisasi.

Salah satu bentuk sosialisasi yang sangat efektif melibatkan empat unsur
pokok :

a. Organisasi mendorong para karyawan untuk setia dengan


memberikan imbalan.

b. Organisasi mempengaruhi karyawan agar tetap setia melalui


bujukan, dan bukan paksaan.

c. Organisasi mengalihkan para karyawan dari nilai dan tujuan mereka


menuju nilai-nilai dan tujuan organisasi.

d. Organisasi membentuk penampilan bahwa individu boleh melakukan


pilihan bebas pada saat pengangkatan dalamdan tetap bekerja.

18
Organisasi melakukan bentuk sosialisasi ini dengan hanya
mempekerjakan orang-orang yang kelihatan cenderung melihat nilai- nilai
dan tujuan organisasi. Jika individu semacam itu sudah dipekerjakan maka
dia akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang
berstatus tinggi, menantang, bertanggung jawab, dan diperkaya. Jika hasil
kerjanya memuaskan maka ia diberi imbalan tinggi melalui kompensasi
keuangan, ditambah dengan kondisi dan gairah kerja.

Melalui proses ini organisasi berusaha menimbulkan tingkat kesetiaan


yang tinggi. Dalam kenyataan para karyawan merasa wajib untuk setia pada
organisasi yang sudah bermurah di hati semacam itu.

Tujuan system status dan pekerjaan yang diperkaya adalah untuk


senantiasa memperkuat nilai kesetiaan. Orang-orang yang berada pada
tingkat hierarki status lebih rendah harus menegaskan kembali mereka
sebagai syarat untuk maju. Pekerjaan yang diperkaya dan tanggung jawab
yang melekat padanya sedemikian menuntut dan menyita waktu sehingga
para karyawan jarang dapat melihat hal-hal di luar itu. Siste imbalan (reward
system) merupakan hadia bagi kerja keras mereka. Sebagai konsekuensi dari
praktek ini, para individu akan menjadi keryawan yang setia. Sebagai
imbalan bagi semua kemaslahatan bekerja ini, mereka akan bersedia untuk
menagguhkan kata putus mereka, dan menerima kata putus organisasi.

10. Kerangka Teoritik

Tercapainya tujuan organisasi terletak pada karyawan yang


merupakan pelaksana atau yang menjalankan operasional organisasi.
Menurut Reichheld, semakin tinggi loyalitas para karyawan di suatu
organisasi, maka semakin mudah bagi organisasi itu untuk mencapai tujuan-
tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemilik organisasi.
Begitu pula sebaliknya, bagi organisasi yang loyalitas para karyawannya
rendah, maka semakin sulit bagi organisasi tersebut untuk mencapai tujuan-
tujuan organisasinya yang telah ditetapkan sebelumnya oleh para pemilik

19
organisasi. Loyalitas karyawan dipengaruhi oleh 4 faktor karakteristik, yaitu
karakteristik pribadi, karakteristik pekerjaan, karakteristik desain
perusahaan/organisasi, dan karakteristik pengalaman yang diperoleh dalam
perusahaan/organisasi. Berikut ini dapat digambarkan kerangka teori yang
dijadikan dasar pemikiran dalam penelitian ini. Kerangka tersebut merupakan
dasar pemikiran dalam melakukan analisis pada penelitian ini. Melalui
perspektif teoritik inilah peneliti secara konsisten.

Gambar 1. Kerangka Teoritik Dasar Pemikiran Penelitian

KARAKTERISTIK KARAKTERISTIK KARAKTERISTIK PENGALAMAN


YANG
PRIBADI PEKERJAAN DESAIN DIPEROLEH
PERUSAHAAN DALAM
PERUSAHAAN

KARAKTERISTIK
PEKERJAAN
PERILAKU LOYALITAS
KARYAWAN KARAKTERISTIK
DESAIN
EH DALAM
PERUSAHAAN

20
11. Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan – pembahasan yang tekah diuraikan


pada penjelasan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa loyalitas kerja
merupakan sebuah ketergantungan, keterikatan, dan perasaan memiliki atau
merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari individu terhadap suatu
institusi karena sudah adanya comfort zone dari SDM tersebut sehingga
menciptakan suatu sikap setia terhadap perusahaan dimana SDM itu berada.
Ketika SDM tersebut sudah memiliki loyalitas yang tinggi terhadap
peerusahaan, maka mereka akan senantiasa meningkatkan produktivitasnya.
Adapun faktor – faktor yang dapat mempengaruhi loyalitas kerja SDM
adalah lingkungan kerja itu sendiri, atasan yang mendukung kesejahteraan,
serta adanya kejelasan jalur karir bagi para karyawannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Ali. (2009). Arti Loyalitas Karyawan dan Perusahaan. Sumber :


http://alibudiman.wordpress.com/2009/12/01/artiloyalitas-menurut-
karyawan-dan-perusahaan/
Dewi, I,. & Endang, W,. (2008). Loyalitas Karyawan Ditinjau Dari Persepsi
Terhadap Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Fakultas
Psikologi : Universitas Setia Budi.
Hasibuan, M.S.P. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:Bumi Aksara.

Hasibuan, Malayu S.P,. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT.
Aksara.
Nawawi, Hadari. (2003). Perencanaan SDM Untuk Bisnis Yang Kompetitif.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Cetakan Kedua.
Robbins, Stephen. (2003). Organizational Behaviour. New Jersey : Prestige Hall Inc.

Runtu, Julius. (2014). Indikator Loyalitas Karyawan. Sumber :


www.juliusruntu.blogspot.com/2014/02/indikator-loyalitas-karyawan-
bahan.html?m=1
Sutrisno, Edy. (2010). Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Trianasari, Y. (2005). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Insentif dan Lingkungan


Kerja dengan Loyalitas Kerja. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Utomo, Tommy dkk. (2010). Analisis Pemotivasian dan Loyalitas Karyawan Bagian
Pemasaran PT. Palma Abadi Sentosa di Palangka Raya. Volume.1, No.2.
Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis. Universitas Kristen Petra.

22
TUGAS MAKALAH
DISIPLIN KERJA

Oleh :

Nama : IRHAM FIRIANSYAH


NIM : 92215023
Mata Kuliah : Manajemen Kinerja
Dosen : Dr. Fatimah, SE, M.Si

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i

1. Pengertian Disiplin .................................................................................... 1


2. Tujuan Penegakan Disiplin Kerja .............................................................. 5
3. Macam-Macam Disiplin Kerja .................................................................. 7
4. Prinsip-Prinsip Disiplin Kerja .................................................................... 9
5. Indikator Kedisiplinan ............................................................................... 10
6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Disiplin Kerja .................................... 14
7. Pelaksanaan Disiplin Kerja ........................................................................ 16
8. Hubungan Disiplin Dengan Produktivitas Kerja ........................................ 16
9. Kegunaan Disiplin Kerja ........................................................................... 17
10. Persaingan Konflik .................................................................................... 18

Kesimpulan dan Saran ..................................................................................... 21

Daftar Pustaka ................................................................................................. 22

i
DISIPLIN KERJA

1. Pengertian Disiplin

Menurut Hasibuan (2007:193-194) Kedisiplinan merupakan fungsi operatif


MSDM yang terpenting karena semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi
prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanda disiplin karyawan baik, sulit bagi
organisasi perusahaan mencapai hasil yang optimal. Disiplin yang baik
mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugastugas yang
diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan
terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Oleh karena itu,
setiap manajer selalu berusaha agar para bawahannya mempunyai disiplin yang
baik. Seorang manajer dikatakan efekif dalam kepemimpinannya, jika para
bawahannya berdisiplin baik. Untuk memelihara dan meningkatkan kedisiplinan
yang baik adalah hal yang sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhinya.
Menurut Buhler (2007:216-218) Disiplin benar-benar memainkan peran penting
dalam membentuk tingkah laku. Seperti halnya penghargaan yang efektif dalam
memotivasi orang, disiplin jika digunakan secara tepat maka dapat sama-sama
efektif. Seiring dengan meningkatnya perselisihan di tempat kerja saat ini, anda
harus memastikan bahwa anda cermat dalam melaksanakan disiplin. Yang terbaik
adalah mendokumentasikan segala sesuatu dengan teliti.

Disiplin harus dilaksanakan secara adil dan konsisten. Setiap karyawan yang
terlibat dalam tingkah laku yang tidak tepat harus diperlakukan sama. Yang
tepenting, setiap insiden dari tingkah laku yang disepakati harus dibicarakan.
Kunci bagi disiplin yang efektif adalah mengomunikasikan kebijakan sejak awal.
Para karyawan harus betul-betul memahami kebijakan tersebut. Hal ini harus
disertakan dalam ‘Buku Pedoman Karyawan’ yang diagi kepada semua karyawan.
Proses disiplin sangat penting untuk ditulis dan diterima oleh setiap karyawan.
Para karyawan sering diminta untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka
telah menerima buku pedoman karyawannya. Ini merupakan langkah

1
perlindungan bagi perusahaan dapat membuktikan bahwa mereka memang telah
mendistribusikan kebijakan kepada para karyawan.

Disiplin progresif memberikan disiplin yang secara progresif lebih keras untuk
contoh-contoh tingkah laku tidak tepat yang diulangi. Program ini mulai dengan
peringatan lisan pada saat pelanggaran pertama kali dilakukan. Peringatan ini
hendaknya diberikan dengan halus sebagai kesempatan bagi karyawan untuk
mengoreksi tingkah lakunya sebelum ada konsekuensi serius yang timbul.

Menurut Strauss & Sayles (2008:116-118) macam-macam disiplin yaitu


peringatan lisan, peringatan tertulis, skorsing disipliner, pembebasan kerja, dan
penurunan pangkat.

Anoraga (2009:46) disiplin dalam kamus bahasa Indonesia susunan W.J.S.


Poerwadarminta adalah :

a. Latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya


selalu mentaati tata tertib.
b. Ketaatan pada aturan dan tata tertib.

Sedangkan menurut Smith dalam Panji Anaroga (2010:12), tujuan bekerja adalah
untuk hidup, atau bekerja diperlukan karena adanya tujuan menopang
kesejahteraan, yang tampaknya orang tidak bisa menikmati hidup. Oleh
karenanya, kini kerja juga melibatkan masalah kebutuhan ekonomi, hanya
kegiatan yang termotivasi oleh kebutuhan ekonomi saja yang dapat dikategorikan
sebagai kerja, sedangkan orang yang tidak mendapatkan imbalan tidak dapat
dikatakan bekerja.
Suatu organisasi yang baik selalu mempunyai aturan internal dalam rangka
meningkatkan kinerja dan profesionalisme, budaya organisasi maupun
kebersamaan, kehormatan, dan kredebilitas organisasi serta untuk menjamin tetap
terpeliharanya tata tertib dalam pelaksanaaan tugas sesuai tujuan, peran, fungsi,
wewenang dan tanggung jawab institusi tersebut.

2
Organisasi yang berjalan optimal tidak dapat dikaitkan sepenuhnya hanya pada
kebutuhan ekonomi saja, karena pada kenyataannya faktor disiplin kerja
mempunyai peranan yang tidak kalah penting untuk membentuk seseorang
mempunyai tanggung jawab dalam bekerja.

Tujuan organisasi yang hendak dicapai peranan variable-varabel tersebut saling


mendukung dan berkaitan satu sama lainnya. Peranan individu dalam hal ini
pegawai sangat penting karena suatu sistem, struktur, dan proses tidak akan
berjalan dengan baik tanpa peranan individu dalam menjalankan variabel-variabel
lainnya.

Salah satu peranan individu atau pegawai adalah dengan melaksanakan disiplin
kerja yang berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki pegawai tersebut.
Kemampuan pegawai terbentuk dari pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh baik dari lembaga pendidikan formal bersifat umum SD sampai
Perguruan Tinggi) dan bersifat non formal (kursus, seminar, dan lain-lain).
Dengan memiliki pengetahuan dan ketrampilan itu pegawai diharapkan
mengetahui, memahami, melaksanakan dan mematuhi segala aturan dan norma-
norma dalam lingkungan kerja sebagai sistem organisasi pegawai negeri serta
metode-metode tertentu dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan atau tugas-
tugasnya sehari-hari dengan baik yang akhirnya dapat memenuhi tujuan
organisasi yang diharapkan.

Disiplin kerja merupakan suatu proses perkembangan konstruktif bagi pegawai


yang berkepentingan karena disiplin kerja ditunjukan pada tindakan bukan
orangnya. Disiplin juga sebagai proses latihan pada pegawai agar para pegawai
dapat mengembangkan kontrol diri dan agar dapat menjadi lebih efektif dalam
bekerja. Dengan demikian tindakan pendisiplinan juga hendaknya mempunyai
sasaran yang positif, bersifatnya mendidik dan mengoreksi, bukan tindakan
negatif yang menjatuhkan pegawai atau bawahan yang indisipliner dengan
maksud tindakan pendisiplinan untuk memperbaiki efektifitas dalam tugas dan

3
pergaulan sehari-hari di masa yang datang bukan menghukum kegiatan masa lalu.

Adapun pengertian disiplin kerja menurut Husin (2010:95) adalah pegawai patuh
dan taat melaksanakan peraturan kerja yang berupa lisan maupun tulisan dari
kelompok maupun organisasi.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:129), disiplin kerja dapat diartikan


pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi.
Pendapat lain menurut Siswanto (2007:291) disiplin kerja sebagai sikap
menghormati, menghargai, dan taat pada peraturan yang berlaku baik tertulis
maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya, tidak mengelak dangan
sanksi-sanksi apabila melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.

Kurangnya kesadaran dan kesediaan untuk bertindak atau berprilaku sesuai norma
dan peraturan atau undang-undang menyebabkan individu atau pegawai berbuat
indisipliner. Lebih lanjut lagi menurut Hasibuan (2008:193), dalam suatu
organisasi umumnya individu-individu yang berada di dalamnya sadar akan
adanya norma atau aturan organisasi dan mereka pun sadar akan tuntutan
kepatuhan tehadap norma atau aturan tersebut. Norma itu sendiri merupakan
standar atau aturan main yang diikuti oleh banyak orang. Perilaku yang ditunjukan
oleh masing-masing individu pegawai mencerminkan sampai seberapa jauh
pegawai tersebut konsekuen dan konsisten mengikuti dan mematuhi atau
melanggar norma dan aturan yang berlaku di organisasii pemerintahan.

Disiplin kerja pegawai negeri mutlak harus dijalankan dan ditegakkan demi
tumbuh berkembangnya suatu aparatur pemerintah dalam mengamalkan tugas dan
tangung jawab yang telah dipercayakan bangsa dan Negara kepada pegawai
negeri oleh karena itu sudah menjadi kewajiban setiap pegawai untuk
menegakkan disiplin.

Adapun dalam Undang-undang nomor 43 Tahun 1949 tentang perubahan atas

4
Undang-undang nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian bahwa
“peraturan disiplin adalah suatu peraturan yang membuat keharusan, larangan dan
sanksi, apabila keharusan tidak dituruti atau larangan dilanggar. Untuk menjamin
tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas maka dengan tidak mengurangi
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana diadakan disiplin pegawai
negeri sipil”.
Disiplin belum dapat dinyatakan efektif bekerja bilamana penampilan kedisiplinan
itu hanya berdasarkan ketakutan. Disiplin dalam arti sejati adalah hasil dari
interaksi norma-norma yang harus dipatuhi. Norma-norma itu tidak lain hanya
bersangkutan dengan ukuran legalistik melainkan berkaitan dengan etika dan tata
krama. Hasibuan (2009:120) berpendapat disiplin adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang untuk mematuhi semua peraturan organisasi dan norma-norma sosial
yang berlaku.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah suatu yang
kemampuan yang akan berkembang dalam kehidupan kesehariannya seseorang
atau kelompok (organisasi) dalam bertaat azas, peraturan, norma-norma, dan
perundang-undangan untuk melakukan nilai-nilai kaidah tertentu dan tujuan hidup
yang ingin dicapai oleh mereka dalam bekerja.

2. Tujuan Penegakan Disiplin Kerja

Banyak problem yang dihadapi dalam memahami motif yang terbentuk dalam
diri setiap tenaga kerja. Dengan demikian, amat sulit menerapkan disiplin
terhadap pekerjaan bagi setiap tenaga kerja. Tampaknya motif setiap tenaga
kerja menerima struktur dan dinamika sendiri. Struktur tersebut seringkali
disebut sebagai hierarki, yaitu suatu motif biasanya lebih kuat dibandingkan
motif yang lain. Oleh karena itu, motif juga kuat pengaruhnya terhadap
disiplin kerja tenaga kerja dibandingkan motif-motif yang lain. Akan tetapi,
sebenarnya struktur terse¬but tidak tetap. Motif utama tenaga kerja yang ada
saat ini mungkin bukan merupakan motif yang utama untuk hari esok.
Perubahan susunan motif tersebut terjadi kapan saja setelah suatu motif
terpenuhi dengan baik dan motif yang lain muncul menggantikannya. Motif

5
lama yang sudah terpuaskan akan menjadi tenang dan mungkin tak akan
banyak mendorong tenaga kerja untuk bertindak dan berperilaku
dibandingkan dengan motif bam yang masih belum terpuaskan.
Motif-motif para tenaga kerja yang memiliki struktur dan selalu timbul
apabila motif yang satu terpenuhi amat mempengaruhi kondisi disiplin kerja
para tenaga kerja. Dampak tersebut perlu mendapatkan porsi pembinaan
dengan prioritas utama dari para manajemen. Dengan demikian, disiplin kerja
para tenaga kerja diharapkan terus dibina dan ditegakkan.
Sebenarnya sangatlah sulit menetapkan tujuan rinci mengapa pembinaan
disiplin kerja perlu dilakukan oleh manajemen. Secara umum dapat
disebutkan bahwa tujuan utama pembinaan disiplin kerja adalah demi
kelangsungan perusahaan sesuai dengan motif perusahaan.

Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2010:292) secara khusus tujuan


disiplin kerja para pegawai, antara lain :
a. Agar para pegawai menepati segala peraturan dan kebijakan
ketenagakerjaan maupun peraturan dan kebijakan organisasi yang berlaku,
baik tertulis maupun tidak tertulis, serta melaksanakan perintah
manajemen dengan baik.
b. Pegawai dapat melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya serta

mampu memberikan pelayanan yang maksimum kepada pihak tertentu


yang berkepentingan dengan organisasi sesuai dengan bidang pekerjaan
yang diberikan kepadanya.
c. Pegawai dapat menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana,

barang dan jasa organisasi dengan sebaik-baiknya.


d. Para pegawai dapat bertindak dan berpartisipasi sesuai dengan norma-

norma yang berlaku pada organisasi.


e. Pegawai mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sesuai dengan

harapan organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

6
Jadi pada dasarnya tujuan penegakan disiplin untuk mendorong karyawan taat
terhadap peraturan dan kebijakan, untuk mencapai efektifitas dan efisiensi kerja,
serta meningkatkan produktifitas kerja karyawan.

3. Macam-Macam Disiplin Kerja

Mangkunegara (2007:129) mengutarakan macam-macam displin kerja dalam


organisasi, yaitu yang bersifat preventif dan bersifat korektif :

a. Disiplin Preventif
Pendekatan yang bersifat preventif adalah tindakan yang mendorong para
pegawai untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi
standar yang ditetapkan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang
pola sikap, tindakan dan perilaku yang diinginkan dari setiap anggota
organisasi diusahakan pencegahan jangan sampai para pegawai berprilaku
negatif.
Keberhasilan penerapan pendisiplinan preventif terletak pada disiplin
pribadi para pegawai organisasi. Akan tetapi agar disiplin pribadi tersebut
semakin kokoh, paling sedikit ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1) Para anggota organisasi perlu didorong agar mempunyai rasa memiliki


organisasi, karena secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu
yang merupakan miliknya.
2) Para pegawai perlu diberikan penjelasan tentang berbagai ketentuan
yang wajib ditaati dan standar yang harus dipenuhi. Penjelasan
dimaksud seyogianya disertai informasi lengkap mengenai latar
belakang berbagai ketentuan yang bersifat normatif tersebut.
3) Para pegawai didorong menentukan sendiri cara-cara pendisplinan diri
dalam kerangka ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh anggota
organisasi.

7
b. Disiplin Korektif

Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakan pegawai dalam


menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi
peraturan sesuai dengan pedoman yang berlaku pada organisasi. Pada
disiplin korektif, pegawai yang melanggar disiplin perlu diberikan sanksi
yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tujuan pemberian sanksi adalah untuk memperbaiki pegawai pelanggar,
memelihara peraturan yang berlaku, dan memberikan pelajaran bagi
pelanggar.
Berat atau ringannya suatu sanksi tentunya pada bobot pelanggaran yang
telah terjadi. Pengenaan sanksi biasanya mengikuti prosedur yang sifatnya
hierarki. Artinya pengenaan sanksi diprakasai oleh atasan langsung
pegawai yang bersangkutan, diteruskan kepada pimpinan yang lebih tinggi
dan keputusan akhir diambil oleh pejabat pimpinan yang berwenang.
Pendisiplinan dilakukan secara bertahap, dengan mengambill berbagai
langkah yang bersifat pendisiplinan dimulai dari yang paling ringan hingga
yang paling terberat. Misalnya dengan peringatan lisan, pernyataan
ketidakpuasan oleh atasan langsung, penundaan kenaikan gaji berkala,
penundaan kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan, pemberhentian
sementara, pemberhentian atas permintaan sendiri, pemberhentiaan dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri, pemberhentiaan tidak dengan
hormat.

Sedangkan menurut Heidjrachman dan Husnan (2010:241) ada beberapa cara


menegakkan disiplin kerja seperti:

1) Pendisiplinan hendaknya dilakukan secara pribadi. Tidak seharusnya


memberikan teguran kepada bawahan di hadapan orang banyak. Hal
ini akan membuat malu bawahan yang ditegur (meskipun karyawan
tersebut benar bersalah), selain karyawan menjadi malu, besar
kenungkinannya timbul rasa dendam.

8
2) Pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan langsung dengan
segera. Jangan menunda-nunda pemberian pendisiplinan sampai
masalah menjadi terlupakan. Tindakan pendisiplinan akan menjadi
lebih efektif jika diberikan tepat pada saat ditemukan adanya
kesalahan.
3) Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan. Suatu kesalahan
yang sama hendaknya diberikan hukuman yang sama pula.
4) Pimpinan tidak seharusnya memberikan pendisiplinan pada saat
bawahan sedang tidak ada di tempat atau sedang absen.
5) Setelah pendisiplinan, sikap dari pimpinan haruslah wajar kembali.
Tidak dibenarkan apabila setelah melakukan pendisiplinan pimpinan
tetap bersikap membenci bawahan yang melakukan kesalahan. Rasa
membenci hanya akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil.

4. Prinsip-Prinsip Disiplin kerja.

Husein (2008:39) berpendapat bahwa seorang pegawai yang dianggap


melaksanakan prinsip-prinsip disiplin kerja apabila ia melaksanakan hal-hal
sebagai berikut :

a. Hadir di tempat kerja sebelum waktu mulai bekerja.


b. Bekerja sesuai dengan prosedur maupun aturan kerja dan peraturan
organisasi.
c. Patuh dan taat kepada saran maupun perintah atasan.
d. Ruang kerja dan perlengkapan selalu dijaga dengan bersih dan rapih.
e. Menggunakan peralatan kerja dengan efektif dan efisien.
f. Menggunakan jam istirahat tepat waktu dan meninggalkan tempat setelah
lewat jam kerja.
g. Tidak pernah menunjukkan sikap malas kerja.
h. Selama kerja tidak pernah absen/tidak masuk kerja dengan alasan yang
tidak tepat, dan hampir tidak pernah absen karena sakit.

9
5. Indikator Kedisiplinan

Menurut Hasibuan (2008:194-198) Pada dasarnya banyak indikator yang


mempengaruhi kedisiplinan karyawan suatu organisasi, diantaranya:

a. Tujuan Dan Kemampuan


Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan
karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara
ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan.
b. Teladan Pimpinan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan
karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para
bawahannya.
c. Balas Jasa
Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan
karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan
karyawan terhadap perusahaan/pekerjaannya.
d. Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego
dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta
diperlakukan sama dengan manusia lainnya.
e. Waskat
Waskat ialah tindakan nyata dan efektif untuk mencegah/mengetahui
kesalahan, membetulkan kesalahan, memelihara kedisiplinan,
meningkatkan prestasi kerja, mengaktifkan peranan atasan dan bawahan,
menggali sistem-sistem kerja yang paling efektif, serta menciptakan sistem
internal control yang terbaik dalam mendukung terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan dan masyarakat.
f. Sanksi Hukuman
Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin
takut melanggar peraturan-eraturan perusahaan, sikap dan perilaku
indisipliner karyawan akan berkurang. Berat ringannya sanksi hukuman

10
yang akan diterapkan ikut mempengaruhi baik/buruknya kedisiplinan
karyawan. Sanksi hukuman harus dipertimbangkan secara logis, masuk
akal dan diinformasikan secara jelas kepada semua karyawan.sanksi
hukuman seharusnya tidak terlalu ringan, namun juga tidak terlalu berat
agar dapat tetap mendidik karyawan untuk mengubah perilakunya.

Indikator dari kedisiplinan kerja yang dirangkum dari beberapa pendapat para
ahli:
1) Disiplin waktu
Waktu adalah emas, begitu pepatah lama yang sudah populer. Begitupun
halnya dengan bekerja di perusahaan. Efisiensi waktu sangat diperlukan
untuk mengatur pekerjaan agar seluruh tugas dapat diselesaikan dengan
tepat waktu. Hal ini akan mencegah pekerjaan lain menjadi tertunda.
Maka, pegawai yang disiplin tentunya akan mendisiplinkan diri dalam hal
waktu, seperti kehadiran setiap harinya, serta kedatangan yang tepat
waktu.
2) Inisiatif dan kreatif
Kedisiplinan kerja juga dapat ditunjukkan dari cara pengerjaan tugas.
Melakukan tugas secara monoton merupakan indikasi motivasi yang
rendah serta ketidakpuasan pegawai terhadap perusahaan. Sebaliknya,
pegawai yang inisiatif dan kreatif menunjukkan adanya tingkat motivasi
yang tinggi. Pegawai yang bermotivasi tinggi akan menunjukkan tingkat
disiplin yang tinggi pula.
3) Tanggung jawab
Disiplin dapat ditunjukkan melalui tanggung jawab. Apakah seorang
pegawai menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan dengan tepat waktu
atau tidak akan memperlihatkan bagaimana sikap pegawai terhadap
perusahaan. Pegawai yang disiplin dalam kerja akan memberikan
tanggung jawab yang tinggi pula pada pekerjaan. Termasuk
menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna.
4) Taat pada peraturan perusahaan

11
Kedisiplinan juga dapat ditunjukkan melalui ketaatan pada peraturan
perusahaan. Pegawai yang disiplin cenderung taat pada perusahaan.
Ketaatan ini dapat ditunjukkan dari cara berpenampilan yang sesuai
dengan aturan, kehadiran yang tepat waktu. Tidak hanya itu, pegawai
yang disiplin menunjukkan kecenderungan akan patuh kepada atasan
5) Sikap dan perilaku
Sikap dan perilaku pegawai terhadap atasan serta rekan kerja juga
merupakan indikator yang baik bagi disiplin kerja. Pegawai yang disiplin
akan lebih menjaga relasi yang baik antara dirinya dengan atasan, dirinya
dengan rekan kerja, maupun pihak-pihak lain yang berkaitan dengan
perusahaan.
6) Teladan kepemimpinan
Pemimpin adalah salah satu faktor pendukung dari kedisiplinan kerja para
bawahannya. Maka, pemimpin yang dapat meneladani anak buah dapat
menjadi salah satu indikator dari kedisiplinan kerja pegawai. Kalau
pemimpin mampu memberikan arahan dengan baik dan bijak, pegawai
akan menunjukkan kepuasan yang lebih dalam bekerja, dengan begitu
disiplin kerja juga akan dapat terjaga.
7) Balas jasa
Balas jasa, bisa berupa gaji atau benefit yang diberikan perusahaan dapat
menjadi indikator disiplin kerja. Biasanya, perusahaan yang dapat
memberikan balas jasa kepada pegawai memiliki pegawai-pegawai yang
lebih cekatan dan lebih berdedikasi pada penyelesaian tugas-tugas di
perusahaan.
8) Pengawasan melekat
Pengawasan yang baik akan menghasilkan disiplin kerja yang baik pula.
Bukan berarti pegawai harus diawasi dalam melakukan pekerjaan, tetapi
kemampuan atasan dalam mengobservasi motivasi, hambatan, serta
masalah-masalah yang terjadi pada pegawai akan meningkatkan kemauan
untuk bekerja dengan lebih baik.

12
Menurut Indrakusuma (1907:48-49), menyinggung tentang hukuman disiplin,
maka dalam Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 disebutkan tiga tingkatan
hukuman disiplin, yaitu:

1. Hukuman Disiplin Ringan, terdiri atas :


a. Teguran lisan
b. Teguran tulisan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis
2. Hukuman Disiplin Sedang, terdiri atas:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling
lama 1 tahun
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun
3. Hukuman Disiplin Berat, terdiri atas:
a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1
tahun
b. Pembebasan dari jabatan
c. Pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil tidak
atas permohonan sendiri
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil.

Ketegasan
Pimpinan harus berani dan tegas, bertindak untuk menghukum setiap karyawan
yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan. Pemimpin
yang demikian akan mudah untuk disegani dan diakui kepemimpinannya oleh
bawahan.

Hubungan Kemanusiaan
Hubungan kemanusiaan yang harmonis di antara karyawan ikut menciptakan
kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Manajer harus berusaha
menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi serta mengikat,
vertikal maupun horizontal di antara semua karyawannya. Terciptanya human

13
relationship yang serasi akan mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang
nyaman.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja


a. Gaji dan Kompensasi
Faktor pertama yang mempengaruhi kedisiplinan kerja karyawan adalah
besarnya gaji dan kompensasi yang Anda berikan. Jika gaji dan tunjangan
yang diterima karyawan jumlahnya memuaskan, maka hal ini akan
membuat karyawan lebih semangat bekerja karena ia merasa dirinya
dihargai dengan baik oleh perusahaan. Sebaliknya, jika gaji yang Anda
berikan tidak sesuai dengan beban kerja yang harus diselesaikan oleh
karyawan, jangan kaget bila karyawan makin lama kerjanya karena ia
merasa tidak dihargai dengan pantas. Tidak menutup kemungkinan ia akan
mencari penghasilan lain dari luar untuk menutup kebutuhannya, yang
mana ini akan berimbas pada banyaknya waktu yang ia berikan pada
perusahaan Anda. Bisa jadi karena terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya,
karyawan tersebut sering tidak masuk atau datang telat ke kantor.
b. Ada Aturan Tertulis
Setiap perusahaan harus memiliki aturan pasti yang mengatur segala
tindakan karyawan terkait lingkungan kerja. Aturan ini harus ditulis dan
dipasang di tempat-tempat tertentu untuk selalu mengingatkan karyawan.
Jika aturan hanya berupa lisan, maka hal ini dianggap kurang maksimal
karena bisa berubah-ubah sesuai kondisi. Sebaiknya, aturan harus dibuat
berdasarkan kesepakatan bersama dan sifatnya tetap, agar setiap karyawan
tahu dan dapat memahaminya dengan mudah. Aturan tertulis adalah salah
satu cara efektif untuk menumbuhkan kedisiplinan kerja.
c. Ada Sangsi Nyata
Ada aturan, tentunya ada sangsi. Setiap karyawan yang melakukan
pelanggaran harus dikenakan sangsi sesuai yang tertulis. Jika aturan hanya
dipajang dan ada karyawan yang melanggar tapi tidak diberlakukan sangsi,
ini akan membuat mereka mengulangi kesalahan itu lagi dan lagi. jadi,

14
selain aturan, sangsi juga harus ditegakkan. Dengan adanya sangsi yang
nyata, karyawan akan berpikir dua kali sebelum melakukan pelanggaran.
Sangsi dimulai dari hal yang sederhana, misalnya jika terlambat akan
dikenai potongan gaji atau sangsi yang lebih besar jika karyawan ketahuan
menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, yang mana ini
berdampak pada kinerja kantor yang melambat, maka karyawan harus
mengganti rugi. Sangsi tersebut juga harus diberlakukan rata kepada
semua karyawan tanpa pandang bulu.
d. Peran Atasan
Dalam menumbuhkan disiplin kerja karyawan, tentu saja tidak lepas dari
campur tangan atasan. Karyawan mencontoh apa yang dilakukan oleh
atasannya. Mulailah hal ini dari Anda sendiri, misalnya datang pagi-pagi,
menyelesaikan kerja tepat waktu, tidak menggunakan jam kerja untuk hal-
hal yang tidak berguna. Pemimpin yang disiplin akan membuat
bawahannya merasa segan sehingga mereka pun akan mengikuti sifat
disiplin pemimpin tersebut. Selain memberikan contoh yang baik, Anda
sebagai atasan juga harus tegas. Jangan segan untuk menegur karyawan
yang kurang disiplin misalnya terus-terusan mengobrol di jam kerja atau
datang terlambat. Namun, ingat, hal ini juga harus diimbangi dengan sifat
disiplin dari diri Anda sendiri.

Karena setiap orang memiliki kemampuan dan karakteristik yang tidak sama,
maka progres yang ditunjukkan oleh masing-masing karyawan juga bisa berbeda.
Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja, Anda
diharapkan bisa menumbuhkan disiplin kerja karyawan di lingkungan perusahaan
Anda.

Sebuah kedisiplinan kerja dapat dibentuk dari sebuah sistem yang


membantu meningkatkan efektifitas dan efisiensi lingkungan kerja di perusahaan.
Sistem ini membantu manajerial untuk dapat monitor karyawan dengan baik dan
meningkatkan komunikasi antar karyawan di perusahaan. Apakah sistem tersebut
dan bagaimana sistem ini dapat membantu di perusahaan anda.

15
7. Pelaksanaan Disiplin Kerja

Disiplin yang paling baik adalah disiplin diri. Kecenderungan orang normal
adalah melakukan apa yang menjadi kewajibannya dan menepati aturan
permainan. Organisasi atau perusahaan yang baik harus berupaya menciptakan
peraturan atau tata tertib yang akan menjadi rambu-rambu yang harus dipenuhi
oleh seluruh karyawan dalam organisasi. Peraturan-peraturan yang akan berkaitan
dengan disiplin itu antara lain:
1. Peraturan jam masuk, pulang,dan jam istirahat
2. Peraturan dasar tentang berpakaian, dan bertingkah laku dalam pekerjaan
3. Peraturan cara-cara melakukan pekerjaan dan hubungan dengan unit kerja
lain
Peraturan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh di lakukan oleh para
karyawan selama dalam organisasi dan sebagainya.

8. Hubungan Disiplin Dengan Produktivitas Kerja

Disiplin pegawai memainkan peranan yang dominan, krusial, dan kritikal dalam
keseluruhan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja para pegawai. Disiplin
kerja para pegawai sangat penting. Disiplin kerja merupakan hal yang harus
ditanamkan dalam diri tiap karyawan, karena hal ini akan menyangkut tanggung
jawab moral karyawan itu pada tugas kewajibannya. Seperti juga suatu
tingkahlaku yang bisa dibentuk melalui kebiasaan. Selain itu, disiplin kerja dapat
ditingkatkan apa bila tedapat kondisi kerja yang dapat merangsang karyawan
untuk berdisiplin. Sukarno (1008:54)
Disiplin kerja atau kebiasaan-kebiasaan baik yang harus ditanamkan dalam diri
karyawan sebaiknya bukan atas dasar paksaan semata, tetapi harus lebih di
dasarkan atas kesadaran diri dalam diri karyawan. Tohardi (2007),
ketidakdisiplinan individu atau karyawan dapat memengaruhi produktivitas kerja
organisasi.
Kegiatan pendisiplinan yang dilaksanakan untuk mendorong para karyawan agar
meengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan-penyelewengan
dapat di cegah. Sasaran pokoknya dalah untuk mendorong disiplin diri di antara

16
para karyawan untuk datang di kantor tepat waktu. Dengan datang ke kantor tepat
waktu dan melaksanakan tugas sesuai dengan tugasnya, maka diharapkan
produktivitas kerja akan meningkat.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja
pegawai dalam suatu organisasisangat di pengaruhi oleh disiplin pegawai. Apalagi
di antara pegawai sudah tidak menghiraukan kedisiplin kerja, maka dapat
dipastikan produktivitas kerja akan menurun. Pdahal untuk mendapatkan
produktivitas kerja sangat di perlukan kedisiplinan dari para pegawai.

9. Kegunaan Disiplin Kerja

Adapun kegunaan disiplin kerja, berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh


para ahli adalah :
a. Performance Improvement
Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan, para karyawan, manajer
dan departemen personalia dapat mengetahui tindakan apa yang harus
diambil untuk meningkatkan disiplin kerja.
b. Compensation Adjusments
Evaluasi terhadap hasil kerja, membantu para pengambilan keputusan
untuk menentukan kompensasi.
c. Placement Devisions
Dengan melihat disiplin kerja pegawai yang bersangkutan dimasa lalu
dapat membantu para manajer dalam melakukan promosi, taransfer, dan
demosi.
d. Career Planning and Development
Umpan balik mengenai disiplin kerja, yang dapat dijadikan pedoman
untuk mengarahkan jalur karir yang dipilih oleh pegawai yang
bersangkutan.
e. Staffing Process Deviciencis
Baik atau buruknya disiplin kerja, mencerminkan kekuatan atau
kelemahan prosedur staffing yang telah dilakukan.
f. Job Design Error

17
Penilaian disiplin kerja secara akurat, akan menjamin keputusan
penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.

10. Persaingan dan Konflik

Menurut Hasibuan (2008:198-201) Persaingan adalah kegiatan yang berdasarkan


atas sikap rasional dan emosional dalam mencapai prestasi kerja yang terbaik.
Persaingan dimotivasi oleh ambisi untuk memperoleh pengakuan, penghargaan,
dan status sosial yang terbaik.

Konflik adalah pesaingan yang kurang sehat berdasarkan ambisi dan sikap
emosional dalam memperoleh kemenangan. Konflik akan menimbulkan
ketegangan, konfrontasi, perkelahian dan frustasi jika tidak dapat diselesaikan.
Hal-hal yang menyebabkan persaingan dan konflik, antara lain adanya tujuan
yang ingin dicapai, ego manusia, kebutuhan, perbedaan peendapat, salah paham,
perasaan dirugikan dan perasaan sensitif.

a. Tujuan
Tujuan sama yang ingn dicapai akan merangsang timbulnya persaingan dan
konflik di antara individu atau kelompok karyawan. Setiap karyawan atau
kelompok selalu berjuangnuntuk mencapai pengakuan yang lebih baik dari
orang lain
b. Ego Manusia
Ego manusia yang selalu menginginkan lebih berhasil dari manusia lainnya
akan menimbulkan persaingan atau konflik.
c. Kebutuhan
Kebutuhan material dan non material yang terbatas akan menyebabkan
timbulnya persaingan atau konflik. Pada dasarnya setiap orang
menginginkan pemenuhan kebutuhan material dan non material. Yang lebih
baik dari orang lain sehingga timbullah persaingan dan konflik.
d. Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat akan menimbulkan persaingan atau konflik. Karena
setiap orang atau kelompok terlalu mempertahankan bahwa pendapatnya

18
itulah yang paling tepat. Jika perbedaan pendapat tidak terselesaikan, akan
timbul persaingan atau konflik yang kadang-kadang menyebabkan
perpecahan.

e. Salah Paham
Salah paham sering terjadi di antara orang-orang yang bekerja sama.
Karena salah pham(salah persepsi) ini timbullah persaingan dan konflik di
antara individu karyawan atau kelompok.
f. Perasaan Dirugikan
Perasaan dirugikan karena perbuatan orang lain akan menimbulkan
persaingan atau konflik. Setiap orang tidak dapat menerima kerugian dari
perbuatan orang lain. Oleh kaena itu, perbuatan yang merugikan orang ain
hendaknya dicegah supaya tidak timbul konflik di atara sesamanya. Jika
terjadi konflik pasti akan merugikan kedua belah pihak, bahkan akan
merusak kerja sama.
g. Perasaan Sensitif
Perasaan sensitif atau mudah tersinggung akan menimbulkan konflik.
Perilaku atau sikap seseorang dapat menyinggung perasaan orang lain yang
dapat menimbulkan konflik atau perselisihan, bahkan dapat menimbulkan
perkelahian di antara karyawan. Konflik terjadi karena harga dirinya
tersinggung walaupun menurut orang lain tidak ada maksud jelek. Akan
tetapi karena perasaan sensitif seseorang hal itu dianggap menghina.

Kebaikan Persaingan

1) Evaluasi diri demi kemajuan.


2) Prestasi kerja akan meningkat.
3) Mengembangkan diri demi kemajuan karena dorongan persaingan.
4) Memotivasi dinamika organisasi dan kreativitas karyawan.

19
Keburukan Konflik

1) Kerja sama kurang serasi dan harmonis di antara para karyawan.


2) Memotivasi sikap-sikap emosional karyawan.
3) Menimbulkan sikap apriori karyawan.
4) Meningkatkan absen dan turnover karyawan
5) .Kerusakan produksi dan kecelakaan semakin meningkat.

Menurut Nawawi (2007:334-337) untuk memperjelas mengenai masalah konflik,


secara teoritis telah dibedakan konflik sebagai berikut:

1) Konflik Tradisional
Konflik ini terjadi karena perbedaan interest sesuai kepentingan masing-
masing antara dua pihak yang terikat hubungan kerja.
2) Konflik Perilaku
Konflik ini terjadi karena pertentangan perilaku berdasarkan perbedaan
latar belakang antar para karyawan/anggota organisasi.
3) Konflik Interaksi
Konflik dapat terjadi karena interaksi sosial yang disharmonis yang selalu
dapat terjadi dalam manusia mewujudkan hakikat sosialitasnya.
4) Konflik dengan Serikat Pekerja
Konflik dapat terjadi terjadi antara organisasi dengan anggota
organisasi/karyawan yang bergabung dalam organisasi serikat pekerja.

20
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan disiplin kerja adalah sebagai berikut :

1. Displin kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan


2. Motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan

Saran

Berdasarkan penjabaran makalah ini, ada beberapa saran yang dapat digunakan
sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi kemajuan suatu perusahaan.
Adapun saran-saran yang diajukan, antara lain :
1. Perusahaan harus dapat merubah budaya disiplin di dalam dan di luar
lingkungan perusahaan, mulai dari atasan maupun bawahan. Apabila disiplin di
dalam perusahaan telah berjalan dengan baik maka dapat meningkatkan
disiplin kerja karyawan. Perusahaan dapat meningkatkan insentif berbentuk
uang atau jabatan terhadap karyawan yang berprestasi sesuai dengan prestasi
karyawan yang bersangkutan.
2. Perusahaan harus dapat meningkatkan motivasi kerja dilingkungan karyawan
dengan memperhitungkan kebutuhan psikologis seperti pemberian gaji, uang
transportasi, uang makan dan lain sebagainya. Penentuan pemberian
kompensasi tergantung dari kontribusi prestasi yang diberikan perusahaan

21
DAFTAR PUSTAKA

Indriani, R. 2013. Disiplin Karyawan. Tanggal akses 11 November 2013.

http://indrianirisna.blogspot.com/2013/01/makalah-disiplin-karyawan.html

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010, Tentang

Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Singodimedjo, M. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Surabaya. SMMAS.

Tarigan, 2013. Disiplin Kerja Pegawai Negeri Sipil. Tanggal akses 12 November

2013. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38200/3/Chapter

%20II.pdf

Tohardi, Ahmad. 2008. Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya Manusia.

CV. Mandar Maju. Jakarta

22
MOTIVASI KERJA

Oleh :

Istiqomah Munawaroh
92216004

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2017
DAFTAR ISI

Motivasi Kerja ..................................................................................................... 1


a. Pengertian Motivasi .................................................................................. 1
b. Jenis-jenis Motivasi .................................................................................. 2
c. Tujuan Motivasi ....................................................................................... 3
d. Fungsi Motivasi ........................................................................................ 4
e. Metode Motivasi ...................................................................................... 4
f. Teori Motivasi .......................................................................................... 5
g. Faktor-faktor yang Menpengaruhi Motivasi ............................................ 10
h. Sumber-Sumber Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja ................... 12
i. Strategi Untuk Meningkatkan Kepuasan Dan Motivasi Kerja ................. 13
j. Dasar-Dasar Pokok Motivasi Kerja ........................................................ 14
k. Peranan Motivasi Kerja Dalam Suatu Organisasi .................................... 15
l. Hubungan Antara Motivasi Kerja dan Kinerja ....................................... 17
Kesimpulan........................................................................................................ 18
Daftar Pustaka ................................................................................................... 19
Motivasi Kerja

a. Pengertian Motivasi Kerja

Istilah motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan
atau menggerakkan. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya
dan potensi agar bekerja mencapai tujuan yang ditentukan (Malayu S.P Hasibuan,
2006: 141). Pada dasarnya seorang bekerja karena keinginan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dorongan keinginan pada diri seseorang dengan orang yang
lain berbeda sehingga perilaku manusia cenderung beragam di dalam bekerja.

Menurut Vroom dalam Ngalim Purwanto (2006: 72), motivasi mengacu


kepada suatu proses mempengaruhi pilihan-pilihan individu terhadap bermacam-
macam bentuk kegiatan yang dikehendaki. Kemudian John P. Campbell, dkk
mengemukakan bahwa motivasi mencakup di dalamnya arah atau tujuan tingkah
laku, kekuatan respons, dan kegigihan tingkah laku. Di samping itu, istilah
tersebut mencakup sejumlah konsep dorongan (drive), kebutuhan (need),
rangsangan (incentive), ganjaran (reward), penguatan (reinforcement), ketetapan
tujuan (goal setting), harapan (expectancy), dan sebagainya.

Menurut Hamzah B. Uno (2008: 66-67), kerja adalah sebagai

1) aktivitas dasar dan dijadikan bagian esensial dari kehidupan manusia,

2) kerja itu memberikan status, dan mengikat seseorang kepada


individu lain dan masyarakat,

3) pada umumnya wanita atau pria menyukai pekerjaan,

4) moral pekerja dan pegawai itu banyak tidak mempunyai kaitan


langsung dengan kondisi fisik maupun materiil dari pekerjaan,

5) insentif kerja itu banyak bentuknya, diantaranya adalah uang.

Motivasi kerja merupakan motivasi yang terjadi pada situasi dan


lingkungan kerja yang terdapat pada suatu organisasi atau lembaga. Keberhasilan

1
dan kegagalan pendidikan memang sering dikaitkan dengan motivasi kerja guru.
Pada dasarnya manusia selalu menginginkan hal yang baik-baik saja, sehingga
daya pendorong atau penggerak yang memotivasi semangat kerjanya tergantung
dari harapan yang akan diperoleh mendatang jika harapan itu menjadi kenyataan
maka seseorang akan cenderung meningkatkan motivasi kerjanya.

Menurut Ngalim Purwanto, motivasi mengandung tiga komponen pokok,


yaitu:

1) Menggerakkan, berarti menimbulkan kekuatan pada individu,

memimpin seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu.

2) Mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku. Dengan demikian ia


menyediakan suatu orientasi tujuan. Tingkah laku individu diarahkan
terhadap sesuatu.

3) Untuk menjaga atau menopang tingkah laku, lingkungan sekitar harus


menguatkan (reniforce) intensitas, dorongan-dorongan dan kekuatan-
kekuatan individu (2006: 72).

Berdasarkan beberapa definisi dan komponen pokok diatas dapat


dirumuskan motivasi merupakan daya dorong atau daya gerak yang
membangkitkan dan mengarahkan perilaku pada suatu perbuatan atau pekerjaan.

b. Jenis-jenis Motivasi

Jenis-jenis motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis menurut


Malayu S. P Hasibuan (2006: 150), yaitu:

1) Motivasi positif (insentif positif), manajer memotivasi bawahan dengan


memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi baik. Dengan motivasi positif
ini semangat kerja bawahan akan meningkat, karena manusia pada umumnya
senang menerima yang baik-baik saja.

2
2) Motivasi negatif (insentif negatif), manajer memotivasi bawahan
dengan memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjannya kurang baik
(prestasi rendah). Dengan memotivasi negatif ini semangat kerja bawahan dalam
waktu pendek akan meningkat, karena takut dihukum.

Pengunaan kedua motivasi tersebut haruslah diterapkan kepada siapa dan


kapan agar dapat berjalan efektif merangsang gairah bawahan dalam bekerja.

c. Tujuan Motivasi

Tingkah laku bawahan dalam suatu organisasi seperti sekolah pada


dasarnya berorientasi pada tugas. Maksudnya, bahwa tingkah laku bawahan
biasanya didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan harus selalu diamati,
diawasi, dan diarahkan dalam kerangka pelaksanaan tugas dalam mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.

Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakan atau menggugah


seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu
sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu (Ngalim
Purwanto, 2006: 73). Sedangkan tujuan motivasi dalam Malayu S. P. Hasibuan

(2006: 146) mengungkapkan bahwa:

1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.

2) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan.

3) Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan.

4) Meningkatkan kedisiplinan absensi karyawan.

5) Mengefektifkan pengadaan karyawan.

6) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.

7) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan.

8) Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan.

3
9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugastugasnya.

10) Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.

Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil jika tujuannya jelas dan
disadari oleh yang dimotivasi serta sesuai dengan kebutuhan orang yang
dimotivasi. Oleh karena itu, setiap orang yang akan memberikan motivasi harus
mengenal dan memahami benar-benar latar belakang kehidupan, kebutuhan, dan
kepribadian orang yang akan dimotivasi.

d. Fungsi Motivasi

Menurut Sardiman (2007: 85), fungsi motivasi ada tiga, yaitu:

1) Mendorong manusia untuk berbuat, motivasi dalam hal ini merupakan


motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

2) Menentukan arah perbuatan, yaitu ke arah tujuan yang hendak dicapai,


sehingga motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus
dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

3) Menyeleksi perbuatan, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang


harus dikerjakan yang sesuai guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan
perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

e. Metode Motivasi

Menurut Malayu S. P Hasibuan (2006: 149), ada dua metode motivasi,


yaitu:

1) Motivasi Langsung (Direct Motivation)

Motivasi langsung adalah motivasi (materiil dan nonmateriil) yang


diberikan secara langsung kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan
serta kepuasannya. Jadi sifatnya khusus, seperti pujian, penghargaan, tunjangan
hari raya, dan sebagainya.

4
2) Motivasi Tak Langsung (Indirect Motivation)

Motivasi tak langsung adalah motivasi yang diberikan hanya merupakan


fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja, sehingga lebih
bersemangat dalam bekerja. Misalnya, mesin-mesin yang baik, ruang kerja yang
nyaman, kursi yang empuk, dan sebagainya.

f. Teori-teori Motivasi

Teori-teori motivasi menurut Malayu S. P. Hasibuan (2006:152-167)


dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1) Teori Kepuasan (Content Theory)

Teori ini merupakan teori yang mendasarkan atas faktorfaktor kebutuhan


dan kepuasan individu yang menyebabkan bertindak dan berperilaku dengan cara
tertentu. Teori ini memusatkan perhatian pada faktor-faktor dalam diri orang yang
menguatkan, mengarahkan, mendukung dan menghentikan perilakunya. Jika
kebutuhan semakin terpenuhi, maka semangat pekerjaannya semakin baik. Teori-
teori kepuasan ini antara lain:

a) Teori Motivasi Klasik

F.W.Taylor mengemukakan teori motivasi klasik atau teori motivasi


kebutuhan tunggal. Teori ini berpendapat bahwa manusia mau bekerja giat untuk
dapat memenuhi kebutuhan fisik, berbentuk uang atau barang dari hasil
pekerjaannya. Konsep dasar teori ini adalah orang akan bekerja giat bilamana ia
mendapat imbalan materi yang mempunyai kaitan dengan tugas-tugasnya.

b) Teori Maslow

Hirarki kebutuhan Maslow mengikuti teori jamak yaitu seseorang


berperilaku atau bekerja, karena adanya dorongan untuk memenuhi bermacam-
macam kebutuhan. Maslow berpendapat, kebutuhan yang diinginkan manusia
berjenjang. Maslow mengemukakan lima tingkat kebutuhan, sebagai berikut:

5
(1) Kebutuhan fisiologis

Kebutuhan yang harus dipuaskan untuk dapat tetap hidup, termasuk


makanan, perumahan, pakaian, udara untuk bernafas, dan sebagainya.

(2) Kebutuhan keselamatan dan keamanan

Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan adalah kebutuhan akan


kebebasan dari ancaman yakni merasa aman dari ancaman kecelakaan dan
keselamatan dalam melaksanakan pekerjaan.

(3) Kebutuhan sosial

Kebutuhan sosial adalah kebutuhan teman, interaksi, dicintai, dan


mencintai, serta diterima dalambpergaulan kelompok pekerja dan masyarakat
lingkungannya.

(4) Kebutuhan akan penghargaan

Kebutuhan akan penghargaan adalah kebutuhan akan pengakuan dan


penghargaan diri dari karyawan dan masyarakat lingkungannya.

(5) Aktualisasi diri

Aktualisasi diri adalah kebutuhan akan aktualisasi diri dengan


menggunakan kemampuan, keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai
prestasi kerja yang sangatb memuaskan atau luar biasa.

c) Teori Herzberg

Menurut Hezberg, orang menginginkan dua macam faktor kebutuhan,


yaitu:

(1) Kebutuhan akan kesehatan atau kebutuhan akan pemeliharaan (maintenance


factors). Faktor kesehatan merupakan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus,
karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Faktor-faktor

6
pemeliharaan meliputi balas jasa, kondisi kerja fisik, supervisi, macam-macam
tunjangan.

(2) Faktor pemeliharaan yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang.


Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan pekerjaan yang
apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat,
yang dapat menghasilkan prestasi yang baik.

d) Teori X dan Teori Y Mc. Gregor

Menurut teori X untuk memotivasi karyawan harus dilakukan dengan cara


pengawasan yang ketat, dipaksa, dan diarahkan supaya mau bekerja sungguh-
sungguh. Jenis motivasi yang diterapkan cenderung motivasi negatif yakni dengan
menerapkan hukuman yang tegas. Sedangkan menurut teori Y, untuk memotivasi
karyawan dilakukan dengan cara peningkatan partisipasi, kerjasama, dan
keterikatan pada keputusan.

e) Teori Mc Clelland

Teori ini berpendapat bahwa karyawan mempunyai cadangan energi


potensial. Bagaimana energi dilepaskan dan digunakan tergantung kekuatan,
dorongan, motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang tersedia. Energi akan
dimanfaatkan oleh karyawan kerena didorong oleh:

(1) Kebutuhan motif dan kekuatan dasar yang terlibat

(2) Harapan keberhasilannya

(3) Nilai insentif yang terlekat pada tujuan

Hal-hal yang yang memotivasi seseorang adalah:

(1) Kebutuhan akan prestasi

(2) Kebutuhan akan afiliasi

(3) Kebutuhan akan kekuasaan

7
f) Teori Motivasi Claude S. George

Teori ini mengemukakan bahwa seseorang mempunyai kebutuhan yang


berhubungan dengan tempat dan suasana di lingkungan ia bekerja, yaitu:

(1) Upah yang adil dan layak

(2) Kesempatan untuk maju

(3) Pengakuan sebagai individu

(4) Keamanan kerja

(5) Tempat kerja yang baik

(6) Penerimaan oleh kelompok

(7) Perlakuan yang wajar

(8) Pengakuan atas prestasi

2) Teori Proses

Teori proses mengenai motivasi berusaha menjawab bagaimana


menguatkan, mengarahkan, memelihara dan menghentikan perilaku individu.
Teori yang tergolong ke dalam teori proses, diantaranya:

a) Teori Harapan (Expectancy)

Teori harapan ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan


teorinya pada tiga konsep penting, yaitu:

(1) Harapan (expectancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi


karena perilaku.

(2) Nilai (valence) adalah akibat dari perilaku tertentu yang mempunyai
nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai memotivasi) bagi setiap
individu tertentu.

8
(3) Pertautan (instrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil
dari tingkat pertama akan dihubungkan dengan hasil tingkat kedua.

b) Teori Keadilan

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk
menhilangkan kesenjangan antara usaha yang di buat bagi kepentingan
organisasi dan imbalan yang diterima. Artinya apabila seseorang karyawan
mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterianya tidak memadai, dua
kemungkinan dapat terjadi, yaitu:

a. Seseorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau


b. Mengurangi intensitas usaha yang di buat dalam pelaksanaan tugas
yang menjadi tanggungjawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seseorang karyawan biasanya


menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu:

1. Harapannya tentang jumlah imbalan yang di anggapnya layak d


terima berdasarkan kualifikasi diri pribadi seperti pendidikan,
keterampilan, sifat pekerjaan dan pengelamannya;
2. Imbalan yang di terima oleh orang lain dalam organisasi yang
berkualisifaksi dan sifat pekerjaannya relative sama dengan yang
bersangkutan sendiri;
3. Imbalan yang di terima karyawan lain di organisasi lain di kawasan
yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan
jenis imbalan yang merupakan hak para karyawan.

c) Teori Pengukuhan

Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan
pemberian kompensasi. Misalnya, promosi tergantung dari prestasi yang selalu
dapat dipertahankan.

9
g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Motivasi merupakan proses psikologi dalam diri seseorang dan sangat


dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor ini dapat muncul dari
dalam diri (intrinsik) maupun dari luar diri (ekstrinsik). Menurut Wahjosumidjo
(2001: 42), faktor yang mempengaruhi motivasi meliputi faktor internal yang
bersumber dari dalam individu dan faktor eksternal yang bersumber dari luar
individu. Faktor internal seperti sikap terhadap pekerjaan, bakat, minat, kepuasan,
pengalaman, dan lain-lain serta faktor dari luar individu yang bersangkutan seperti
pengawasan, gaji, lingkungan kerja, kepemimpinan. Sedangkan menurut Sondang
P. Siagan (2006: 294) motivasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah:

1) Persepsi seseorang mengenai diri sendiri

2) Harga diri

3) Harapan pribadi

4) Kebutuhan

5) Keinginan

6) Kepuasan kerja

7) Prestasi kerja yang dihasilkan

Sedangkan fakor eksternal yang mempemgaruhi motivasi seseorang antara lain:

1) Jenis dan sifat pekerjaan

2) Kelompok kerja dimana seseorang bergabung

3) Organisasi tempat orang bekerja

4) Situasi lingkungan kerja

5) Gaji

10
Dalam hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi motivasi yang
dimaksud lingkungan kerja ialah pemimpin dan bawahan. Dari pihak pemimipin
ada berbagai unsur yang sangat berpengaruh terhadap motivasi, seperti:

1) Kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, termasuk didalamnya


prosedur kerja, berbagai rencana dan program kerja.

2) Persyaratan kerja yang perlu dipenuhi oleh bawahan.

3) Tersedianya seperangkat alat-alat dan sarana yang diperlukan di dalam


mendukung pelaksanaan kerja, termasuk di dalamnya bagaimana tempat
para bawahan bekerja.

4) Gaya kepemimpinan atasan dalam arti sifat-sifat dan perilaku atasan


terhadap bawahan.

Bawahan dalam motivasi memiliki gejala karakteristik seperti:

1) Kemampuan bekerja

2) Semangat kerja

3) Rasa kebersamaan dalam kehidupan kelompok

4) Prestasi dan produktivitas kerja

Sedangkan menurut Hamzah B.Uno (2008: 112) seorang yang memiliki motivasi
kerja akan tampak melalui:

1) Tanggung jawab dalam melakukan kerja, meliputi:

a) Kerja keras

b) Tanggung jawab

c) Pencapaian tujuan

d) Menyatu dengan tugas

11
2) Prestasi yang dicapainya, meliputi:

a) Dorongan untuk sukses

b) Umpan balik

c) Unggul

3) Pengembangan diri, meliputi:

a) Peningkatan keterampilan

b) Dorongan untuk maju

4) Kemandirian dalam bertindak, meliputi:

a) Mandiri dalam bekerja

b) Suka pada tantangan

Berdasarkan beberapa teori pokok di atas dapat dirumuskan motivasi kerja


merupakan daya dorong atau daya gerak yang membangkitkan dan mengarahkan
perilaku pada suatu perbuatan atau pekerjaan pada upaya-upaya nyata untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara implisit, motivasi kerja tampak
melalui:

a. Tanggung jawab dalam melakukan kerja

b. Prestasi yang dicapainya

c. Pengembangan diri, serta

d. Kemandirian dalam bertindak

h. Sumber-Sumber Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja

Kepuasan Kerja adalah perasaan senang/puas ka-rena pekerjaan yang


dilakukannya.Kepuasan kerja ini berkaitan dengan motivasi kerja.
Bagaimana hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja ? Perbaikan kondisi kerja

12
yang menaikkan peluasan pekerja cenderung meningkatkan produktivitas
(kinerja). Tetapi hubungan itu tidak begitu kuat. ( korelasinya rata-rata hanya
0,14). Pekerjaan yang untuk mengerjakannya memerlukan pengetahuan dan
keterampilan dirasa bernilai oleh yang mengerjakan, akan menghasilkan
kepuasan. Sebaliknya jenis pekerjaan yang hanya memerlu-kan pengetahuan dan
keterampilan yang dinilai rendah tidak akan menghasilkan kepuasan tetapi justru
akan menghasilkan ketidak puasan.

Ketidak puasan kerja berakibat menurunnya motivasi kerja. Sumber-


sumber ketidak-puasan antara lain : Kebosanan, penugasan yang tidak sesuai,
adanya gangguan-gangguan selama kerja, kekurangan fasilitas kerja dan lain
sebagainya.

Sumber-sumber kepuasan kerja antara lain :

1) Mengetahui dirinya telah berhasil dalam kerjanya;


2) Merasa senang telah dapat menggunakan pengeta-huan/keterampilannya;
3) Mendapatkan pengembangan keterampilan pribadi secara mental dan fisik;
4) Kegiatan itu sendiri;
5) Perkawanan dan kebersamaan;
6) Kesempatan mempengaruhi orang lain;
7) Penghargaan (respect) dari orang lain
8) Waktu untuk bepergian dan liburan;
9) Keamanan dalam penghasilan dan kedudukan

i. Strategi Untuk Meningkatkan Kepuasan Dan Motivasi Kerja


1) Reinforcement atau teori modifikasi prilaku
Menyatakan bahwa prilaku dapat didoraong atau dikurangi memberikan
secara berturut-turut imbalan dan hukuman.
2) Manajemen berdasarkan sasaran (MBO/Management by objective)
Serangkain prosedur yang mencangkup manajer dan bawahannya dalam
menetapkan tujuan dan mengevaluasi kemajuan.

13
3) Manajemen partisipatif dan pemberdayaan.
Metode meningkatkan kepuasan kerja dengan cara memberi kesempatan
kepada karyawan untuk memberi suara dalam manajemen pekerjaan
perusahaan.
4) Persaingan, partisipasi dan kebanggaan
Pada umumnya, setiap orang sering bersaing secara sehat dan jujur. Sikap
dasar ini bisa di manfaatkan oleh para pemimpin dengan memberikan
motivasi persaingan yang sehat dalam menjalankan tugasnya. Pemberian
hadiah untuk yang menang merupakan bentuk motivasi postif. Dengan
dijalankannya partisipasi ini bisa di peroleh manfaat, seperti bisa
dibuatnya keputusan yang lebih baik karena banyak sumbangan pikiran,
adanya penerimaan yang lebih besar terhadap perintah yang diberikan dan
adanya perasaan diperlukan. Kebanggan disini sebagai alat motivasi
dengan persaingan dan pemberian penghargaan.

j. Dasar-Dasar Pokok Motivasi Kerja

Pada dasarnya motivasi dapat mamacu karyawan untuk bekerja keras


sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produkitvitas
kerja karyawan sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan perusahaaan.
Sumber motivasi ada tiga faktor, yaitu:

1) Kemungkinana untuk berkembang,


2) Jenis pekerjaan ,dan
3) Apakah mereka dapat merasa bagga menjadi bagian dari perusahaan
tempat mereka bekerja.

Di samping itu terdapat beberapa aspek yang terpengaruh terhadap


motivasi kerja karyawan, yakni: rasa aman dalam bekerja, mendapatkan gaji yang
adil dan kompetitif. Lingkungan kerja yang menyenangkan, penghargaan atas
prestasi kerja dan perlakuan yang adil dari manajemen. Dengan melibatkan
karyawan dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik menantang,
kelompok dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan, kejelasan akan standar

14
keberhasilan, output yang diharapkan serta, bangga terhadap pekerjaan dan
perusahaan dapat menjadi faktor pemicu kerja karyawan.

Pada dasarnya proses dapat digambarkan jika seseorang tidak puas akan
mengakibatkan ketegangan, yang pada akhirnya akan mencapai jalan atau
tindakan untuk memenuhi dan terus mencari kepuasan yang menurut ukurannya
sendiri sudah sesuai dan harus terpenuhi. Sebagai contohnya, beberapa karyawan
secara regular menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berbicara atau
mendiskusikan sesuatu di kantor, yang sebenarnya hanya untk memuaskan
kebutuhan sosialnya. Langkah ini sebagai suat usaha yang bagus, namun tidak
produktif dapat mewujudkan hasil kerja atau target kerja.

k. Peranan Motivasi Kerja Dalam Suatu Organisasi

Motivasi mempengaruhi kerja seseorang sebesar 80% sehingga dapat


dikatakan bahwa motivasi adalah faktor penting bagi keberhasilan kerja. Dalam
fungsinya sebagai salah satu variabel penting yang mempengaruhi perilaku
karyawan dalam lingkungan kerja, motivasi memiliki dampak pada produktivitas
kerja karyawan tersebut. Motivasi kerja yang tinggi akan memungkinkan
diperolehnya produktivitas yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat As'ad
(1984) bahwa kuat lemahnya motivasi keija ikut membantu besar kecilnya
keluaran. Jadi, motivasi kerja inilah yang akan memberi bentuk pada pekerjaan
dan hasil yang diperolehnya. Motivasi seseorang dalam bekerja akan menentukan
sikap kerjanya. Individu yang mempunyai motivasi tinggi dapat bekerja dengan
kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

Kaitan motivasi kerja dengan unjuk kerja dapat diungkapkan sebagai


berikut: unjuk kerja (performance) adalah hasil interaksi antara motivasi kerja,
kemampuan (abilities), dan peluang (opportunities), dengan kata lain unjuk kerja
adalah fungsi dari motivasi kerja kali kemampuan kali peluang. Ungkapan ke
dalam rumus menjadi:

Unjuk kerja = Motivasi kerja X Kemampuan X Peluang

15
Bila motivasi kerja rendah, maka unjuk kerjanya akan rendah pula
meskipun kemampuannya ada dan baik, serta peluangnya pun tersedia. Misalnya,
seorang sarjana komputer bekerja dalam perusahaan konsultasi dalam bidang
teknologi informasi sebagai tenaga ahli (peluang ada, dan punya kemampuan
yang diperlukan). Namun suasana kerja, hubungan antar tenaga kerja, kebijakan
perusahaan tidak dirasakan sesuai, maka “semangat” kerjanya menurun dengan
hasil unjuk kerjanya kurang. Sebaliknya jika motivasi kerjanya besar, namun
peluang untuk menggunakan kemampuan-kemampuannya tidak ada atau tidak
diberikan, unjuk kerjanya juga akan rendah. Kalau motivasi kerja tinggi, peluang
ada, namun karena keahliannya dalam bidang tersebut tidak pernah ditingkatkan
lagi, unjuk kerjanya juga tidak akan tinggi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa peranan motivasi dalam kerja, yaitu :

1) Perusahaan yang mampu memotivasi karyawannya akan membuat


karyawan mengikuti arah dan tujuan yang dikehendaki perusahaan.
2) Karyawan yang mempunyai motivasi tinggi jarang berhadapan dengan
masalah-masalah pelanggaran disiplin kerja.
3) Apabila terjadi perubahan dalam manajemen perusahaan, bagi karyawan
yang mempunyai motivasi tinggi akan dapat menerima perubahan itu
asalkan diberi penjelasan tentang terjadinya perubahan perusahaan
tersebut.
4) Karyawan yang mempunyai motivasi tinggi akan bersedia bekerja secara
khusus, terutama pada waktu perusahaan berada dalam keadaan sulit,
misalnya bekerja lembur dan kerja ekstra keras.
5) Karyawan yang mempunyai motivasi kerja tinggi akan lebih berhati-hati
dalam menggunakan peralatan atau perlengkapan keija, misalnya untuk
karyawan dengan jenis pekerjaan yang menggunakan mesin.
6) Karyawan dengan motivasi tinggi dapat bekerja dengan kuantitas dan
kualitas kerja yang baik. Karyawan selalu berusaha untuk memproduksi
hasil kerja yang sebaik mungkin.

16
Dari definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa peranan motivasi kerja
dalam suatu organisasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
perilaku karyawan dalam bekerja, yang menyebabkan karyawan bersemangat dan
terdorong untuk bekerja.

l. Hubungan Antara Motivasi Kerja dan Kinerja

Faktor-faktor yang mempengeruhi kinerja seseorang menurut casio,


(2003), di antaranya motivasi kerja karna kita ketehui bahwa kinerja karyawan
adalah catatan hasil kerja/aktivitas tertentu yang di capai selama periode waktu
tertentu. (Benardin dan Russell, 1998) ada lima criteria primer untuk mengukur
kinerja menurut bernardin dan rusel, yaitu:

1) Quality, merupakan tingkat atau sejauh mana proses atau hasil


pelaksanaan kegiatan mendekati tujuan yang di harapkan.
2) Quantity, merupakan jumlah yang di hasilkan, misalnya jumlah rupiah,
jumlah unit.
3) Timeliness, adalah tingkat sejauh mana suatu kegiatan di selesaikan pada
waktu yang di kehendaki dengan memperhatikan koordinasi ouput lain
serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain.
4) Need for supervision, adalah tingkat sejauhmana seseorang pekerja dapat
melaksanakan suatu fungsi pekerjaan taa memerlukan pengewasan
seseorang manajer untuk mencegah tindakan yang kurang di inginkan.
5) Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana karyawan
memilihara harga diri, nama baik dan kerja sama di antara rekan kerja dan
bawahan.

Di antara beberapa kriteria primer untuk mengukur kinerja, maka seorang


manajer harus malakukan motivasi kerja pada karyawan-karyawan guna untuk
kriteria primer dapat terlaksana dengan baik. Kinerja karyawan baik dan tidak
baik juga merupakan salah satu dorongan dari motivasi kerja.

17
Kesimpulan

Motivasi karyawan merupakan suatu keadaan yang mendorong,


merangsang, atau menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
dilakukannya sehingga mencapai tujuannya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa
motivasi kerja adalah dorongan yang tumbuh dalam diri seseorang, baik yang
berasal dari dalam dan luar dirinya untuk melakukan suatu pekerjaan dengan
semangat tinggi menggunakan semua kemampuan dan keterampilan yang
dimilikinya.
Kegunaan motivasi karyawan adalah untuk mendorong timbulnya
kelakuan atau suatu perbuatan, tanpa motivasi tidak akan timbul perbuatan seperti
belajar. Sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepada pencapaian
tujuan yang diinginkan. Sebagai penggerak, berfungsi sebagai mesin bagi mobil.
Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ariana, I Wayan Tresna dan I Gede Riana. (2013). Pengaruh Kepemimpinan,


Kompensasi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada
Hotel Cendana Resort & Spa Ubud, Gianyar. E-Jurnal Manajemen
Universitas Udayana, 2 (1).
Azwar, S. (2009). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
Bangun, Wilson. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga

Mangkuprawira, Sjafri dan Hubeis, Aida Vitayala. (2007). Manajemen Mutu


Sumber Daya Manusia Cetakan Pertama. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mahmudi. (2010). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Cetakan Pertama.


Yogyakarta: BPFE.

Nita Nilamsari. (2014). Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan


Serta Dampaknya Pada Kualitas Pelayanan Housekeeping Department
Di Padma Hotel Bandung. Skripsi Tidak Diterbitkan. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.

Rivai, Veithzal dan Sagala, Ella Jauvani. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia
Untuk Perusahaan. Jakarta : Rajawali Pers.

Robbins, Stephen P. (2011). Perilaku Organisasi. Edisi Kesepuluh. PT Indeks:


Kelompok Gramedia.
Setiawan, Ferry dan Dewi, Kartika. (2014). Pengaruh Kompensasi Dan
Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan pada CV. Berkat
Anugrah. Jurnal. Denpasar: Universitas Udayana.
Siagian. P. Sondang. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara,
Bandung
Sofyandi dan Garnifa. (2007). Perilaku Organisasional. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Torang, Syamsir. 2012, Metode Riset Struktur & Perilaku Organisasi. Alfabeta,
Bandung
Wibowo. 2010. Manajemen Kinerja. Edisi ketiga. PT. Raja Grafindo Prasada.
Jakarta
Wirawan. (2009). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba
Empat.

19
MAKALAH
MANAJEMEN KINERJA
(KEPUASAN KERJA)

SUMARLIN
92216017

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2017
Uraian Hal

A Definisi Kepuasan Kerja….………………………………….…. 1


B Pendekatan Teoritis dari Kepuasan Kerja………………… 3
C Faktor- factor yang Mempengaruhi Kepuasan kerja…. 4
D Pengukuran Kepuasan Kerja…………………………………… 5
E Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja………………………. 8
F Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja.....………………………. 9
G Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja.…………………….... 10
H Dampak dari Kepuasan Kerja……………………………….... 11
I Kepuasan Kerja Perspektif Antar Budaya…………………. 14
J Konsekuensi Ketidakpuasan Kerja…………………………… 15
K Meningkatkan Kepuasan Kerja………………………………… 16
H Kesimpulan 19

DAFTAR PUSTAKA...........................…………....………………………………… 20
A. Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah sebagai sikap umum individu terhadap


pekerjaannya (Robbins:2007). Pekerjaan membutuhkan interaksi dengan rekan
sekerja dan para atasan, mematuhi peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi
standard kinerja, hidup dengan suasana kerja yang sering kali kurang dari ideal.
Kepuasan kerja merupakan sikap umum individu terhadap pekerjaannya sehingga
lebih mencermikan sikap dari pada perilaku. Keyakinan bahwa pegawai/karyawan
yang puas lebih produktif daripada pegawai/karyawan yang tidak puas menjadi
prinsip dasar bagi para manajer maupun pimpinan (Robbins:2007).
Mcshane dan Von Glinow (2010:108) memandang kepuasan kerja sebagai
evaluasi seseorang atas pekerjaannya dan konteks pekerjaan. Merupakan penilaian
terhadap karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di
pekerjaan yang dirasakan.
Para peneliti yang memiliki nilai humanis yang kuat berpendapat bahwa
kepuasan adalah tujuan resmi organisasi. Kepuasan tidak hanya secara negatif
terkait dengan absen dan pengunduran diri, namun menurut mereka, organisasi
dibebani tanggung jawab untuk memberikan pekerjaan yang menantang dan
secara intrinsik memberikan penghargaan pada pegawai/karyawan.
Noe et al. (2011) mendefinisikan variabel ini sebagai perasaan senang
sebagai akibat persepsi bahwa pekerjaan seseorang memenuhi atau
memungkinkan terpenuhinya nilai-nilai kerja penting bagi orang itu. Definisi ini
merefleksikan tiga aspek penting, yaitu :
1. Kepuasan kerja merupakan fungsi nilai yang didefinisikan sebagai apa yang
ingin diperoleh seseorang baik sadar maupun tidak sadar
2. Beragam pegawai/karyawan memiliki pandangan yang juga berbeda-beda
menyangkut nilai-nilai yang dirasa penting dan sangat berpengaruh terhadap
penentuan sifat dan derajat kepuasan mereka
3. Persepsi individu dapat saja bukan merupakan refleksi yang sepenuhnya
akurat terhadap realitas, dan beragam orang dapat memandang situasi yang
sama secara berbeda-beda

1
Menurut Rivai dan Sagala (2009:856) pengertian kepuasan kerja adalah
evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau
tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Kepuasan kerja adalah tingkat
rasa puas individu dimana mereka merasa mendapat imbalan yang setimpal dari
bermacam-macam aspek situasi pekerjaan dari organisasi tempat mereka bekerja.
Antoncic and Antoncic (2011) mencatat beberapa riset terdahulu tentang sumber-
sumber kepuasan, yaitu :
1. Kepuasan umum yang berhubungan dengan pekerjaan, termasuk didalamnya
kondisi kerja, jam kerja, dan reputasi instansi pemerintahan.
2. Hubungan pegawai/karyawan, terdiri dari hubungan
antarpegawai/karyawan dan juga wawancara personal tahunan dengan
pegawai/karyawan.
3. Remunerasi, benefits, dan budaya organisasi, unsur-unsur ini termasuk gaji,
remunerasi dalam bentuk benefit dan pujian, promosi, pendidikan, sifat
permanen pekerjaan, dan iklim dan budaya organisasi.
4. Loyalitas pegawai/karyawan
Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang
pekerjaannya, yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik,
banyak tuntutan dsb. Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat
terkait dengan perasaan dari pengaruh positif.
Komponen perilaku merupakan perilaku karyawan atau lebih sering
kecenderungan perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan
juga menjadi nyata oleh fakta bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan
secara teratur, bekerja keras, dan berniat tetap menjadi anggota organisasi utk
waktu yang lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja,
komponen perilaku sedikit informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan
perilaku, seperti seseorang tidak suka dengan pekerjaannya tetapi tetap sbg
karyawan karna alasan financial.
Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180) mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai “... variabel afektif yang merupakan hasil dari pengalaman
kerja seseorang.” Fritsche and Parrish juga mengutip Locke (1976) yang

2
menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “ ... keadaan emosional yang positif
dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas pekerjaan atau
pengalaman kerja seseorang.” Singkatnya, kepuasan kerja dapat menceritakan
sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya.
As’ad (2011 : 104) mengutip definisi atau pengertian kepuasan kerja,
antara lain:
1. Menurut Wexley & Yukl (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah “is the
way an employee feels about his her job”. Ini berarti kepuasan kerja sebagai
“perasaan seseorang terhadap pekerjaan”.
2. Vroom (1964) dikatakan sebagai “refleksi dari job attitude yang bernilai
positif”.
3. Hoppeck menarik kesimpulan setelah mengadakan penelitian terhadap 309
karyawan pada suatu perusahaan di New Hope Pennsylvania USA bahwa
kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh
pekerjaan-pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
4. Menurut Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat
dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja,
kerjasama antara pimpinan dengan sesame karyawan.
5. Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan
sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap
faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individual di
luar kerja.

B. PendekatanTeoritis dari Kepuasan Kerja


Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja selama
bertahun-tahun telah dikhususkan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang
menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan. Memahami perkembangan dari
kepuasan kerja adalah teori penting pada psikologi organisasi. Juga kepentingan
praktis organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi tingkat kepuasan
kerja karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya.

3
Terdapat 3 pendekatan umum untuk menjelaskan perkembangan kepuasan
kerja:
1. Pendekatan Karakteristik Pekerjaan
2. Pendekatan Proses Informasi Sosial
3. Pendekatan Disposisional.
Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan
kerja atau dengan kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari
karakteristik pekerjaan, proses informasi social dan pengaruh disposisional.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Menurut Gilmer dalam As,ad (2011:114) tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut:
1. Kesempatan untuk maju,
2. dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan
peningkatan kemampuan selama kerja;
3. Keamanan kerja.
4. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi
karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi
perasaan karyawan selama kerja;
5. Gaji,
6. lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang
mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang
diperolehnya;
7. Perusahaan dan manajemen
8. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan
situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan
kerja karyawan;
9. Pengawasan (Supervise),
10. Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus
atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over;
11. Faktor intrinsik dari pekerjaan.

4
12. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar
dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau
mengurangi kepuasan;
13. Kondisi kerja,
14. termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan
tempat parkir;
15. Aspek sosial dalam pekerjaan,
merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai
faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja;
16. Komunikasi.
17. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak
dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan
pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat
ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas
terhadap kerja;
18. Fasilitas.
19. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun , atau perumahan merupakan
standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan
rasapuas.

D. Pengukuran Kepuasan Kerja


Kita tidak akan pernah bisa mempelajari tentang kepuasan kerja, bila saja
kita tidak memiliki cara untuk mengukurnya. Untungnya ada beberapa ukuran
kepuasan kerja yang dapat digunakan. Biasanya ada empat macam ukuran yang
paling sering dipergunakan secara luas. Namun sebelum mempelajari tentang
ukuran-ukuran kepuasan kerja, akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana sebuah
ukuran dapat disebut valid.
Meskipun ukuran-ukuran yang disebutkan di atas dilihat sebagai
ukuran construct valid dari kepuasan kerja, namun sangat tidak benar untuk
mengatakan ukuran apapun sebagai construct valid ataupun tidak construct valid.
Construct validity adalah masalah level. Ukuran-ukuran yang disebutkan

5
sebelumnya berasosiasi dengan level yang tinggi dari bukti-bukti construct valid
itu sendiri.
Lantas bagaimanakah cara untuk menyediakan bukti-bukti untuk construct
validity dari sebuah ukuran? Secara general ada tiga tes untuk construct
validity. Yang pertama, agar sebuah ukuran dapat disebut sebagai construct valid,
itu harus sangat berhubungan dengan ukuran-ukuran lain yang memiliki
konstruksi sama. Ini disebut juga dengan istilah convergence. Kedua, sebuah
ukuran harus berbeda dari ukuran-ukuran dengan variabel yang berbeda. Nama
lainnya adalah discrimination. Cara ketiga yang biasa digunakan para peneliti
untuk menunjukkan bukti dari construct validity adalah melalui prediksi teoritikal
dasar. Dalam hal ini, para peneliti mengembangkan sebuah jaringan
nomologikal yang berbasis teori dari hubungan antara ukuran yang akan
dikembangakan dan variabel lain yang berkepentingan.
Salah satu dari ukuran kepuasan kerja yang banyak dipergunakan secara
luas adalah Face Scale yang dikembangkan oleh Kunin pada pertengahan tahun
1950an. Face scale ini terdiri dari serangkaian wajah-wajah dengan berbagai
ekspresi emosi yang berbeda. Responden diminta untuk dapat menunjukkan dari
lima ekspresi wajah yang tersedia ekspresi wajah manakah yang paling mewakili
perasaan mereka kepada kepuasan secara keseluruhan terhadap pekerjaan mereka.
Keuntungan utama dari face scale ini adalah kesimpulannya responden tidak
perlu melalui sebuah jenjang membaca yang tinggi untuk dapat
menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face scale ini adalah ia
tidak menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan dengan aspek yang
berbeda dari pekerjaan mereka.
Skala lain yang juga banyak dipergunakan adalah Job Descriptive Index
(JDI) yang dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia Cain Smith dan
kolega-koleganya di Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat, karena
skala tersebut membuat reponden mendeskripsikan pekerjaan mereka.
Perbedaannya dengan face scale, pengguna JDI bisa mendapatkan skor untuk
berbagai aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan kerja mereka.
Keuntungan utama dari JDI adalah banyak data yang menyuport construct

6
validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin menggunakan
JDI untuk mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia akan dapat
membandingkan skor-skor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel
normatif dengan pekerjaan yang sama. Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh
skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul, yaitu biasanya pada suatu
kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan pekerja
secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena
itulah, sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang
bernama Job in General (JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI,
kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa adjektif dan frase tentang pekerjaan
secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari pekerjaan.
Ukuran kepuasan kerja yang ketiga yang juga banyak dipergunaka dan
banyak diterima adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala MSQ
ini dikembangkan oleh sebuah tim peneliti yang berasal dari University of
Minnesota pada waktu hampir sama dengan pengembangan skala JDI. Form
panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain untuk mengukur 20
macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ, terdiri dari 20 item.
Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement tentang berbagai
macam aspek pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan tingkat
kepuasan mereka terhadap masing masing aspek. Dibandingan dengan JDI, skala
MSQ merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan
terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan informasi yang luas mengenai
kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.
Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut. Pada
form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk
diadministrasikan, apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel
lainnya. Bahan dengan versi form pendek (20 item) masih tergolong panjang bila
dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari kepuasan yang pernah tersedia.
Ukuran tingkat kepuasan kerja yang terakhir adalah Job Satisfaction
Survey (JSS) yang belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang
telah disebutkan sebelumnya, namun memiliki bukti yang menyuport properti

7
psikometrinya. Skala ini dikembangkan pertama kali oleh Spector (1985) sebagai
insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human Sercive. JSS
terdiri dari 36 item yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek
pekerjaan dan lingkungan kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran
lainnya, JSS kurang lebih sama, yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan
seseorang ataupun situasi kerjanya. JSS lebih mirip dengan JDI karena JSS juga
merupakan skala deskriptif. Namun hal yang membedakannya dengan JDI adalah
pada JSS skor kepuasan kecara keseluruhan dapat dihasilkan dengan cara
menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.

E. Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja


Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus menggunakan ukuran. Ukuran
suatu konsep adalah variabel. Variabel satu dengan variabel lain ditentukan
berdasarkan dimensi konsep. Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup
bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat variabel yang mampu
mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu:
1. Pekerjaan yang menantang secara mental
Pekerja cenderung memiliki pekerjaan yang memberikan kesempatan
mereka menggunakan keahlian dan kemampuan serta menawarkan variasi
tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan yang
mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang cenderung
membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu menantang cenderung
membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi moderat-menantang,
sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan.
2. Reward yang memadai
Kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem penghasilan dan
kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan dengan
harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima
setimpal dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlaku bagi
pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua pekerja mencari uang,
dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan kerja. Banyak pula

8
pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan pribadi, dan
status sosial.
3. Kondisi kerja yang mendukung
Perhatian pekerja pada lingkungan kerja, baik kenyamanan ataupun
fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan pekerjaan secara baik.
Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak memiliki
lingkungan kerja yang berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur, cahaya,
dan faktor-faktor lingkujngan lain tidaklah terlampau ekstrim. Mereka juga
cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan fasilitas
moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi.
4. Kolega yang mendukung
Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan sosial. Tidak
mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan kepuasan
kerja seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi kepuasan
kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat tatkala
supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, melontarkan pujian
untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan menunjukkan
minat personal terhadap mereka.

F. Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja


Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi, baik dalam segi analisa
statistiknya maupun pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan
kerja bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan
pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai
alatnya maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap
aspek-aspek pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang
tersebut (Moh. As’ad, 2011:118).
Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap seberapa puas atau
tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari
sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Ada

9
dua pendekatan yang paling banyak digunakan yaitu: (Stephen P. Robbins,
2008:101-102).
1. Angka nilai global tunggal
Metode ini meminta individu untuk menjawab satu pertanyaan, misalnya
“Bilasemua hal dipertimbangkan, seberapa puaskan anda dengan pekerjaan
anda?”kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu bilangan
jawaban 1sampai 5 yang berpadanan dengan jawaban dari “ sangat
dipuaskan” sampai “sangat tidak dipuaskan.
2. Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja.
Metode ini lebih canggih yaitu dengan mengenali unsur – unsur utama
dalamsuatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap
unsurtersebut, misalnya tentang sifat dasar pekerjaan, penyelia, upah,
kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja

G. Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja


Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah :
1. Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk
kaitannyadengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau atribut
tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan). Prioritas yang
dimaksuddapat berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang dalam
organisasiyang sama dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.
2. Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap organisasi atau
perusahaan.Sampai seberapa dekat persepsi tersebut sesuai dengan
harapan mereka danbagaimana perbandingannya dengan karyawan lain.
3. Mengetahui atribut–atribut mana yang termasuk dalam kategori
kritis(critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara signifikan
terhadapkepuasan karyawan. Atribut yang bersifat kritis tersebut
merupakan prioritasuntuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan.
4. Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat
membandingkannyadengan indeks milik perusahaan atau instansi saingan
atau yang lainnya(Kuswadi, 2007:55-56).

10
H. Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja Terhadap
Produktivitas Kerja
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas dapat
dinaikkandengan menaikkan kepuasan kerja, namun hasil penelitian tidak
mendukung pandangan ini, karena hubungan antara produktivitas kerja dengan
kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor -
faktormoderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter berpendapat
produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika
tenaga kerja mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa
telahmencapai sesuatu) dan ganjaran intrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua
-duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja yang unggul (Ashar
Sunyoto M, 2008:364).
1. Terhadap Kemangkiran Dan Keluarnya Tenaga Kerja
Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang
mencerminkanketidakpuasan kerja, berbeda dengan berhenti atau keluar dari
pekerjaan. Steersdan Rhodes mengembangkan model pengaruh dari kehadiran.
Ada dua faktorpada perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan
untuk hadir.Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh
kepuasan kerja.
Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth
menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi
beberapatahap (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan) sebelum
keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Menurut Robbins (1998)
ketidakpuasan kerjapada karyawan dapat diungkapkan melalui berbagai cara
misalkan selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh,
membangkang, mencuribarang milik organisasi, menghindar dari tanggung
jawab ( Ashar Sunyoto M,2008:365 - 366 ).

11
2. Terhadap Kesehatan
Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja
dengan kesehatan fisik dan mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser
tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja adalah untuk semua
tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut
penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan
mental yang tinggi. Skor – skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan
kerja dan tingkat dari jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja
dengan kesehatan, namun hubungan kausalnya masih tidak jelas. Tingkat dari
kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga
peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya
penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain (Ashar
Sunyoto M,2008:368).
Banyak peneliti dan manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja,
terutama karena hubungannya dengan variabel-variabel lain yang berhubungan.
Antara lain ada empat macam variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan
praktikal dengan kepuasan kerja, yaitu variabel sikap, Variabel
ketidakhadiran, Variabel pergantian karyawan, dan Variabel performa kerja. (Jex,
2007)
1. Variabel sikap.
Sejauh ini kepuasan kerja diketahui berhubungan sangat kuat berkorelasi
dengan variabel sikap lain. Variabel-variabel ini merefleksikan tingkat kesukaan
dan ketidaksukaan karyawan. Beberapa contoh variabel-variabel sikap yang sering
dipergunakan dalam penelitian organisasional antara lain adalah keikutsertaan
dalam pekerjaan, komitmen organisasional, frustasi, tekanan pekerjaan, dan
kecemasan. Diketahui pula bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif
dengan banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak positif, seperti
keikutsertaan dalam pekerjaan maupun mood kerja yang positif. Namun beberapa
studi juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif
dengan variabel-variabel seperti frustasi, kecemasan, dan tekanan kerja.

12
2. Variabel Ketidakhadiran.
Dari sudut pandang teoritikal, ketidakhadiran mewakili sebuah cara
umum seorang karyawan melakukan penarikan diri dari pekerjaan mereka.
Sementari dari sudut pandang praktikal, ketidakhadiran adalah sebuah masalah
yang sangat merugikan untuk banyak organisasi. Ketika karyawan tidak hadir,
pekerjaan mungkin tidak akan selesai atau akan dikerjakan oleh karyawan yang
pengalamannya lebih sedikit.
Ada beberapa alasan mengapa hubungan antara kepuasan kerja dan
ketidakhadiran lemah. Alasan pertama adalah karena pengukuran dari
ketidakhadiran itu sendiri sedikit kompleks. Alasan lainnya adalah karena
kepuasan kerja mewakili sikap karyawan secara general, sementara
ketidakhadiran hanyalah salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan. Alasan
terakhir adalah karena ketidakhadiran merupakan perilaku yang memiliki rate
dasar rendah, karena memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang
rendah adalah sulit.
3. Variabel Pergantian Karyawan.
Hubungan lain dari kepuasan kerja yang banyak menarik perhatian peneliti
dan manajer adalah pergantian karyawan. Beberapa pergantian di dalam organsasi
tidak dapat dielakkan, dan dalam beberapa kasus lainnya mungkin malah
diinginkan oleh organisasi. Namun tingkat pergantian karyawan yang terlalu
tinggi dapat merugikan organisasi, karena organisasi tersebut harus kembali
memulai proses perekruitan, pemilihan, dan sosialisais karyawan baru. Tingkat
pergantian karyawan yang tinggi juga memiliki dampak yang besar terhadap
gambaran publik terhadap organisasi tersebut.
4. Variabel Performa Kerja.
Hubungan keempat yang berkorelasi dengan kepuasan kerja adalah performa
kerja. Salah satu cara untuk membuat karyawan lebih produktif adalah dengan
membuat mereka lebih puas. Vroom’s Expectancy Theory (1964)menyatakan
bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih bila mereka percaya bahwa
usaha tersebut akan menjadi performa dengan level tinggi, dan performa tersebut
dapat menghasilkan hasil yang memuaskan. Sementara bila performa kerja

13
dengan level yang tinggi dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan
akan menjadi lebih puas dengan pekerjaan mereka ketika performa kerja mereka
baik dan mereka mendapatkan penghargaan atas itu. Ostroff (1992) menyebutkan
bahwa meskipun karyawan yang sangat puas dengan pekerjaan mereka mungkin
belum tentu dapat memiliki performa kerja yang lebih baik bila dibandingkan
dengan karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang memiliki
karyawan yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung memiliki performa
kerja yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan
yang sangat tidak puas dengan pekerjaannya.

A. Kepuasan Kerja : Perspektif Antar-Budaya


Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan
negara-negara Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini
menjadi perkembangan positif atau negatif terhadap apa yang dirasakan dalam
bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan perbedaan antar-budaya dalam
tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk perbedaan-
perbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari penelitiannya bahwa
manejer Amerika Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada
perbandingan karyawan Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang
sama, ditemukan bahwa rekan kerja Dominika lebih merasa puas dibandingkan
rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan
Jepang cenderung kurang puas daripada karyawan Amerika.
Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa penjelasan
untuk perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada bukti yang
nyata pada perbedaan dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang
perbedaan dalam nilai, termasuk individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan,
dan menghindari ketidakpastian. Besarnya individualisme menggambarkan
kepedulian orang-orang dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Maskulinitas
menggambarkan tingkat yang fokus pada prestasi dan kinerja sebagai perlawanan
kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain. Jarak kekuasaan menggambarkan
tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang berbeda dari yang lain dengan

14
level yang lebih rendah. Menghindari ketidakpastian menggambarkan besarnya
orang yang nyaman bekerja dalam lingkungan yang tidak tentu. Contohnya adalah
Amerika dan negara-negara Eropa Barat cenderung untuk menempatkan nilai
yang sangat tinggi pada individualisme, sementara Hispanik dan negara-negara
oriental cenderung menempatkan nilai yang tertinggi. Pada maskulinitas
ditemukan bahwa negara Scandinavia cenderung menempatkan nilai yang
tertinggi dibandingkan negara lain. Pada jarak kekuasaan cenderung memiliki
nilai yang sangat tinggi di negara Hipatik tetapi berbanding terbalik di Australia
dan Israel sedangkan pada menghindari ketidakpastian ditemukan sangat tinggi di
negara Yunani dan Portugis sementara rendah di Singapura dan Denmark.
Implikasi utama dari perbedaan antar-negara dalam preferensi nilai bahwa
perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan mengarah pada perbedaan
dalam apa yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan mereka. Bagian ini
menyatakan bahwa kepuasan pekerjaan menghasilkan isi pokok dari perbandingan
antara apa yang orang rasakan pada pekerjaan mereka dan apa yang mereka
inginkan.

J. Konsekuensi Ketidakpuasan Kerja


Ada konsekuensi ketika pegawai/karyawan menyukai pekerjaan mereka
dan ada konsekuensi ketika pegawai/karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka.
Sebuah kerangka teoritis yang sangat bermanfaat dalam memahami konsekuensi
dari ketidakpuasan.
Respon-respon tersebut didefinisikan sebagai berikut Robbins (2008: 111-
112):
1. Keluar (exit) : perilaku yang ditunjukkan untuk meninggalkan organisasi,
termasuk untuk mencari posisi baru, dan mengundurkan diri.
2. Aspirasi (voice) : secara aktif dan variabeltif berusaha memperbaiki kondisi,
termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan,
dan beberapa bentuk aktivitas serikat pekerja.
3. Kesetiaan (Loyalty) : secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya
kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan ancaman

15
eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan
hal yang benar”.
4. Pengabaian (Neglect) : secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk,
termasuk ketidakhadiran dan keterlambatan yang terus-menerus, kurangnya
usaha, dan meningkatnya angka kesalahan.
Perilaku keluar dan pengabaian mencakup variabel-variabel kinerja-
produktivitas dan perputaran pegawai/karyawan antara lain:
a. Terhadap produktivitas
Orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan
meningkatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja mungkin merpakan akibat dari
produktivitas atau sebaliknya. Produktivitas yang tinggi menyebabkan
peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa
apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka terima (gaji
atau upah) yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang
unggul. Dengan kata lain bahwa performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan
kerja seorang pekerja, karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan
dari tingkat keberhasilan yang diharapkan.
b. Ketidakhadiran (Absenteisme)
Menurut Wibowo (2007:312), antara kepuasan dan ketidakhadiran
(kemangkiran) menunjukkan korelasi negatif. Sebagai contoh perusahaan
memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas tanpa sanksi atau denda
termasuk kepada pekerja yang sangat puas.
c. Keluarnya pekerja (Turnover)
Berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang
besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.

K. Meningkatkan Kepuasan Kerja


Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan kerja
pegawai/karyawannya berdasarkan Greenberg dan Baron (2003:159) :
1. Make Jobs Fun Orang akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka
nikmati daripada yang membosankan. Walaupun beberapa pekerjaan memang

16
bersifat membosankan, tetap ada beberapa cara untuk menyuntikkan beberapa
level ke dalam setiap pekerjaan. Teknik-teknik kreatif yang telah diterapkan
misalnya memindahkan bunga dari meja satu orang ke yang lainnya setiap
setengah jam dan mengambil gambar lucu orang lain ketika sedang bekerja
lalu memasukkannya ke papan bulletin.
2. Pay People Fairly Ketika orang merasa bahwa mereka dibayar atau diberi
imbalan secara adil, maka kepuasan kerja mereka cenderung akan meningkat.
3. Match People To Jobs That Fit Their Interests Semakin orang merasa bahwa
mereka mampu memenuhi kesenangan atau minat mereka saat bekerja,
semakin mereka akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan tersebut.
4. Avoid Boring Repetitive Jobs Orang jauh lebih merasa puas terhadap
pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk mencapai keberhasilan dengan
memiliki kontrol secara bebas tentang bagaimana mereka melakukan tugas-
tugas mereka.
McShane dan Von Glinow (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah
evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya. Kepuasan kerja terkait
dengan penilaian tentang karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan
pengalaman emosional di tempat kerja. Pegawai/karyawan yang puas mempunyai
penilaian yang baik tentang pekerjaan mereka, berdasarkan pengamatan dan
pengalaman mereka Kepuasan kerja benar-benar merupakan sekumpulan sikap
tentang aspek-aspek yang berbeda dari tugas dan konteks pekerjaan
Kepuasan kerja dapat di definisikan sebagai perasaan dan reaksi individu
terhadap lingkungan pekerjaannya. Peneliti tentang Hubungan antara kepuasan
kerja dengan produktivitas kerja pegawai/karyawan. Dalam penelitiannya
menemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara kepuasan kerja
dengan produktivitas kerja. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan
kerja yang diterima pegawai/karyawan, semakin tinggi pula produktivitas
kerjanya.
Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja individual dengan self esteem dan
self efficacy sebagai varaibel pemediasi. Dimana Penelitian ini menguji pengaruh
kepuasan kerja terhadap kinerja dengan harga diri dan self efficacy sebagai

17
variabel intervening. Penelitian ini juga berhasil menguji atau menemukan bahwa
variabel self esteem dan self efficacy dapat memediasi hubungan antara kepuasan
kerja dan kinerja individual
Karakteristik pribadi dan pekerjaan menentukan kepuasan dengan domain
atau aspek pekerjaan , seperti upah atau apakah ada pengakuan atas kerja yang
baik dari atasan. Secara keseluruhan kepuasan kerja tergantung pada domain
tingkat yang lebih rendah dan karakteristik pribadi dan pekerjaan. Niat untuk
berhenti bergantung pada kepuasan kerja secara keseluruhan, domain tingkat
yang lebih rendah dan karakteristik pribadi dan pekerjaan . Model ini meliputi
pendekatan sebelumnya untuk pemodelan kepuasan kerja secara keseluruhan dan
niat untuk berhenti.
Klassen et al. 2010 menyatkan bahwa konteks budaya mempengaruhi
bagaimana keyakinan motivasi dipahami dan dinyatakan dalam berbagai cara
mengatur tenaga kerja. Untuk pendidikan, penelitian Klassen et al. 2010
menggaris bawahi pentingnya motivasi kolektif sebagai sumber kepuasan kerja
individu. Bakhshi et al. (2009) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah salah
satu variabel yang paling banyak digunakan dalam riset keadilan organisasional.
Kepuasan kerja merupakan tanggapan seorang pegawai/karyawan berupa sikap
terhadap organisasinya.Menurut Robbins (2008), kepuasan kerja adalah sikap
umum seorang individu terhadap pekerjaan dimana seseorang dengan tingkat
kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan Morse
menyebutkan bahwa pada dasarnya kepuasan kerja tergantung kepada apa yang
diinginkan seseorang dari pekerjaannya dan apa yang diperoleh. Salah satu
variabel yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah motivasi karyawan yang
ditunjukkan dengan dukungan aktivitas yang mengarah pada tujuan

18
H. KESIMPULAN

1. Kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap


pekerjaan dan situasi pekerjaan.” kepuasan kerja melulu berkaitan dengan
sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek
kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan
pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan
2. Teori Kepuasan Kerja adalah sebagai berikut :Teori Proses informasi
sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama
dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Self-Perception
Theory (Bem’s, 1972), karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif
dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya.Social
Comparison Theory (Festinger’s, 1954), karyawan mengembangkan sikap
seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan
social, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain
untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
3. Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja sebagai berikut : (1) Faktor
individual, misalnya umur, kesehatan, watak dan harapan;(2) Faktor sosial,
misalnya hubungan kekeluargaan danpandangan masyarakat, (3) Faktor utama
dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi
kerja, dan kesempatan untuk maju.
4. Dampak dari Meningkatnya Kepuasan Kerja : Produktivitas Kerja Meningkat,
Menurunnya kemangkiran dan permintaan berhenti, dan kesehatan pegawai
yang meningkat karena perasaan nyaman terhadap pekerjaan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Ishfaq, Muhammad Musarrat Nawaz, Naveed Iqbal, Imran Ali, Zeeshan
Shaukat, Ahmad Usman. 2010. Effects of Motivational Factors on Employees
Job Satisfaction a Case Study of University of the Punjab, Pakistan.
International Journal of Business and Management. Vol.5, No.3, Pg: 70-80.

Arnon Blum. 2008, Treating Heart Failure With Sildenafil. Israel Journal of Heart
Failure

As’ad, Moh, (2011). Psikologi Industri: Seri Ilmu Sumberdaya Manusia, Edisi 4,
Yogyakarta: Liberty.

Ashar sunyoto Munandar.2008. Psikologi Industri dan Organisasi.Universitas


Indonesia Press.

Derek R. Allen and Morris Wilburn, Linking Customer and Employee


Satisfaction to the Bottom Line: A Comprehensive Guide to Establishing the
Impact of Customer and Employee Satisfaction of Critical Business
Outcomes, Milwaukee : American Society for Quality, 2002

Kreitner Robert dan Kurichi Angelo. Perilaku Organisasi. Jakarta. Salemba

Noe,Raymond A. Et Al. 2011. Fundamentals of Human Resource management .


New York.

Kuswadi.2007. Cara Mengukur Kepuasan Karyawan.Jakarta.PT Elrx Media


komputindo Kelompok Gramedia

Robbin, Stephen. 2008. Organization Behaviour. Alih Bahasa Drs. Benyamin.


Jakarta. PT. Jaya cemerlang

Robbins dan Judge.2007.Perilaku Organisasi. Jakarta. Salemba Empat

Wibowo,2007.Manajemen Kinerja.Rajawali Pers.Jakarta.

Wibowo, 2010. Budaya Organisasi.Rajawali Pers.Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai