Anda di halaman 1dari 32

TUGAS KULIAH

ASPEK HUKUM PEMBANGUNAN

ASPEK HUKUM PENYELESAIAN KEGAGALAN


KONSTRUKSI/BANGUNAN

Dosen Pembimbing:
XXXXXXXXXXXXXXX

NAMA : XXXXXXXXXX
NIM : XXXXXXXXXX

Oleh:
XXXXXXXXXX

UNIVERSITAS ACHMAD YANI BANJARMASIN


TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga


makalah ini bisa tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang sudah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik berupa pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembacanya dengan judul “Aspek Hukum Penyelesaian
Kegagalan Konstruksi/Bangunan”.
Kami sadar masih banyak kekurangan didalam penyusunan makalah ini,
karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman kami. Untuk itu kami begitu
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………….. i


KATA PENGANTAR ………………………….……………………….. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang …………………………..……………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ………………….…………………….. 3
1.3 Tujuan …………………………………………………….. 3
1.4 Manfaat …………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN ………………………………….………….. 5
2.1 Pengertian Kegagalan Konstruksi …………………..…….. 5
2.2 Penyebab Terjadinya Kegagalan Konstruksi/Bangunan …. 5
2.3 Akibat Hukum Kegagalan Bangunan ……………………. 9
2.4 Studi Kasus Kegagalan Konstruksi/Bangunan …………… 15
2.4.1 Proyek Pembangunan Gudang Pengepakan Ikan
Lampulo Banda Aceh ………………………………. 15
2.4.2 Tol Bekasi Cawang-Kampung Melayu atau
Becakayu di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur ……. 21
2.4.3 Jembatan Mahakam II, Kutai Kertanegara …………. 24
BAB III PENUTUP …………………….…………………………….. 28
3.1 Kesimpulan ………………………………………………. 28
3.2 Saran ……………………………………………………… 28
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan akan jasa konstruksi semakin meningkat sebagai salah satu
kegiatan yang memiliki peranan penting guna mencapai berbagai sarana guna
menunjang terwujudnya tujuan Pembangunan Nasional yang sedang digencarkan
oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur di Indonesia ditujukan untuk
memperkuat pembangunan konektivitas nasional yang adil dan mempercepat
penyediaan infrastruktur. Untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur yang
hendak dicapai tentu tidak terlepas dengan adanya kesiapan perundang-undangan,
peraturan pelaksana, institusi yang menangani dan perlindungan pelaksanaan
pembangunan melalui kontrak yang menjadi dasar kesepakatan kontraktual.
Umumnya kontrak pembangunan tidak terlepas dengan pembangunan konstruksi.
Proyek pembangunan konstruksi adalah kegiatan pengadaan yang tentu
nilainya sangat besar, sehingga umumnya pemilihan penyedia dilakukan dengan
cara tender, kecuali dalam keadaan tertentu akan dilakukan penunjukan langsung.
Untuk melakukan pembangunan bidang konstruksi, dilakukan pembuatan kontrak
antara pengguna jasa (bouwheer) dengan penyedia jasa (kontraktor) dimana
kontrak tersebut untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi yang memberikan
layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang memberikan layanan
jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan
atau bagian-bagian kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan
penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi yang didasari dengan penyerahan
akhir hasil pekerjaan konstruksi yang didasari dengan kesepakatan para pihak agar
kontrak konstruksi tersebut disepakati sesuai dengan perjanjian yang sah
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW yaitu “untuk sahnya perjanjian
diperlukan syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Kontrak pengerjaan
proyek bangunan antara penggunaan jasa dengan kontraktor dikenal dengan
kontrak konstruksi. Di dalam kontrak konstruksi tersebut biasanya terdapat
pengaturan tanggung jawab dari kontraktor yang meliputi tanggung jawab

1
terhadap hasil pekerjaan. Apabila jasa (kontraktor) lalai dalam mengerjakan
tugasnya untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi maka pihak pengguna jasa
(bouwheer) dapat meminta pertanggungjawaban ganti rugi atau dituntut secara
hukum.
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Jasa Konstruksi disebutkan bahwa Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan
dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sejauh ini, cukup sering
terjadi kerusakan dalam pembangunan jalan tol, yaitu kegagalan bangunan. Salah
satu hal yang menjadi penyebab dari keadaan ini adalah seringnya dalam
pengerjaan konstruksi tersebut terdapat hambatan yang timbul di luar prediksi
para pihak dan diikuti dengan sulitnya mengubah isi kontrak kerja konstruksi
yang berujung pada penurunan kualitas bangunan.
Perseselisihan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam pekerjaan
konstruksi bangunan salah satunya dapat diakibatkan oleh kurangnya kemampuan
dalam mengimplemenasikan peraturan dan perundangan didalam kontrak karena
ketidaksesuaian sehingga menimbulkan persepesi yang berbeda. Pada dasarnya
tahun 1999 sudah terbit Undang-Undang Jasa Konstruksi namun demikian sampai
saat ini masih terjadi proyek yang mengalami kegagalan pekerjaan konstruksi.
Kegagalan pekerjaan konstruksi dapat berujung pada proses hukum, munculnya
kasus hukum pada proyek konstruksi terjadi karena adanya penyimpangan
terhadap kontrak baik penyimpangan terhadap volume, kualitas maupun waktu
proyek. Dalam berbagai penelitian diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
penyimpangan adalah faktor manusia (man), material, metode kerja (methode).
Harga rendah menghasilkan kualitas tinggi bila didukung pengawas pekerjaan
yang bertanggung jawab dan berkomitmen menjalankan tugas dengan baik.
Seringnya terjadi keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak seusai
dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja
konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat dari kesalahan
pengguna jasa atau penyedia jasa (kontraktor) merupakan faktor yang tidak kalah
penting dalam melindungi hak-hak para pihak yang dirugikan sehingga
kedudukan tanggung gugat dalam kontrak konstruksi merupakan hal yang esensial

2
dalam adanya kegagalan bangunan untuk meminimalisir risiko-risiko kerugian
diantara para pihak.
Kegagalan konstruksi merupakan kegagalan yang bersifat teknis dan non
teknis. Kegagalan ini dapat disebabkan karena kegagalan pada proses pengadaan
barang atau jasa, atau kegagalan saat proses pelaksanaan konstruksi. Kegagalan
perkerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai
dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja
konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna
jasa atau penyedia jasa. (PP. 29/2000 pasal 31 tentang Penyelenggaran Jasa
Konstruksi).
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas maka penyusun mengkaji
kegagalan pekerjaan konstruksi berdasarkan aspek hukum, diharapkan hasil dari
kajian ini dapat memberikan kontribusi pengetahuan kepada penyelesaian
permasalahan di industri konstruksi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian kegagalan konstruksi?
2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan kostruksi/bangunan?
3. Apa akibat hukum dari kegagalan konstruksi/bangunan?
4. Berikan contoh studi kasus kegagalan konstruksi dan penyelesaiannya dalam
aspek hukum konstruksi?

1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian kegagalan konstruksi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan
kostruksi/bangunan.
3. Untuk mengetahui akibat hukum dari kegagalan konstruksi/bangunan.
4. Untuk mengetahui contoh studi kasus kegagalan konstruksi dan
penyelesaiannya dalam aspek hukum konstruksi.

3
1.4 Manfaat
Manfaat dalam makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian kegagalan konstruksi.
2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan kostruksi/bangunan.
3. Mengetahui akibat hukum dari kegagalan konstruksi/bangunan.
4. Mengetahui contoh studi kasus kegagalan konstruksi dan penyelesaiannya
dalam aspek hukum konstruksi.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kegagalan Konstruksi


Undang-undang 18/1999 tentang Jasa Konstruksi pasal 22 ayat g
mengamanatkan bahwa ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu
pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan harus dituangkan
dalam kontrak kerja konstruksi, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor:
29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi pasal 31 menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil
pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana
disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan
sebagai akibat dari kesalahan dari pengguna jasa atau penyedia jasa. Kegagalan
konstruksi merupakan kegagalan yang bersifat teknis dan non teknis. Kegagalan
ini dapat disebabkan karena kegagalan pada proses pengadaan barang/jasa, atau
kegagalan saat proses pelaksanaan konstruksi.

2.2 Penyebab Terjadinya Kegagalan Konstruksi/Bangunan


Beberapa faktor penyebab umum bangunan gagal cenderung karena
perencanaan yang tidak benar dan pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai acuan
yang ada. Penggunaan bahan material yang tidak sesuai acuan dan kegagalan
dalam desain yang timbul pada tahap pra-konstruksi dan kesalahan operasional
yang timbul pada saat fase konstruksi merupakan salah satu dari banyaknya
faktor. Kesalahan yang muncul dari pra-konstruksi dan selama fase konstruksi
memiliki pengaruh potensial terbesar pada hasil akhir proyek.
Kerusakan bangunan dapat terjadi karena tiga pihak yang terlibat yaitu
Konsultan, Kontraktor dan Pengembang/Pemilik. Dalam pelaksanannya bisa saja
Konsultan dan Kontraktor telah memberikan kontrol dan pengawasan operasi
lapangan dan kontrol kualitas yang tidak mencukupi, begitu juga kurangnya
pengawasan pelaksanaan pekerjaan dari pengawas owner sehingga terjadi
penyimpangan kualitas bahan atau yang lainya.

5
Dibawah ini merupakan beberapa penyebab terjadinya kegagalan struktur:
a. Umur/Daya Layan Bangunan 
Umur bangunan juga berperan dan berpengaruh terhadap kegagalan
konstruksi bangunan dimana jika umur suatu konstruksi bangunan melebihi dari
umur yang direncanakan maka dapat berpotensi menyebabkan kegagalan
bangunan, hal ini diakibatkan karena tingkat kekuatan bangunan mengalami
penurunan selama umurnya serta kelelahan yang menyebabkan daya
layan berkurang.
b. Bencana
Faktor ini merupakan faktor diluar dugaan dan kemampuan manusia yang
sulit untuk diprediksi secara tepat, faktor bencana merupakan faktor yang sangat
fatal terhadap kegagalan konstruksi. Bencana dalam hal ini dapat berupa bencana
alam maupun akibat faktor internal yang disebabkan oleh kelalaian manusia
seperti bencana gempa, tsunami, tanah longsor, badai topan, kebakaran, ledakan
dan lainya sehingga menyebabkan kegagalan pada struktur. Oleh karena itu untuk
mengurangi tingkat risiko akibat faktor ini maka pihak pengelola konstruksi
mengalihkan risiko tersebut seperti mendaftarkan ke asuransi. 
c. Maintanance/Perawatan
Perawatan bangunan juga berperan penting terhadap kelangsungan umur
dan kualitas produk konstruksi, tentunya dalam hal ini diperluhkan sistem
manajemen perawatan bangunan. Biasanya seorang pengawas owner yang
ditugasi untuk mengecek kondisi bangunan, atau konsultas pengawas yang
ditunjuk oleh owner. Jika tingkat frekuensi perawatan tidak dilakukan secara rutin
dan berkala maka dapat juga berpotensi terhadap meningkatnya risiko kegagalan
bangunan. Inspeksi perawatan bangunan berfungsi untuk mendeteksi secara dini
kerusakan dari fisik bangunan sehingga langkah perbaikan dapat dilakukan sejak
dini sehingga menghindari tingkat kerusakan yang lebih buruk serta
pembengkakan biaya. 
Contoh dari perawatan ini seperti ketika konstruksi baja dibiarkan tidak
dilakukan perawatan dan pengecat-an maka lama-lama bisa berkarat, atau
jembatan struktur baja tetapi menggunakan pelat lantai yang terbuat dari bahan
material kayu, karena seiring bertambahnya umur jembatan, maka kayu juga bisa

6
rusak dan lapuk, maka dengan adanya perawatan, pelat yang terbuat dari kayu itu
bisa di perbarui.
d. Kesalahan Dalam Perencanaan
Kesalahan perencanaan dan perancangan merupakan faktor yang sangat
penting dan vital dimana sangat berpengaruh terhadap desain konstruksi yang
akan dilaksanakan dilapangan, jika dalam aspek perencanaan dan perancangan
pihak konsultan salah memperhitungkan atau menganalisis maka konsekuensi dan
dampak yang dapat ditimbulkan ke depan akan sangat signifikan berpengaruh
terhadap kegagalan fisik bangunan, seperti ketidaksempurnaan konstruksi dalam
desain, seperti desain arsitektur yang kemudian pada perhitungan struktur tidak
direncanakan dengan baik dan benar, sehingga tidak sesuai acuan yang berlaku
dan menyebabkan kegagalan konstruksi, struktur menjadi tidak tepat untuk
maksud yang diusulkan. Desain struktural yang benar sangat penting untuk semua
bangunan, tetapi sangat penting untuk bangunan tinggi. Bahkan sedikit
kemungkinan kegagalan tidak dapat diterima karena hasilnya dapat menjadi
bencana bagi kehidupan manusia dan bangunan itu sendiri. Oleh karena
itu, orang sipil harus sangat berhati-hati dan metodis dalam memastikan desain
bangunan yang sesuai yang dapat mempertahankan beban yang diterapkan.
Tetapi dalam hal ini tidak hanya perencanan dalam hal desain tetapi
juga Perencanaan yang dapat berupa perencanaan anggaran, perencanaan mutu,
perencanaan waktu pelaksanaan, perencanaan manfaat/benefit, perencanaan
fungsi dan perencanaan yang mendukung terhadap produk konstruksi yang akan
dihasilkan. Kesimpulan-nya semua mode kegagalan perlu diperiksa dengan
menggunakan perangkat lunak modern pada subjek. Namun, seorang perancang
dan pembangun tidak dapat sepenuhnya yakin tentang desain, dan oleh karena itu
faktor keamanan yang tepat dimasukkan pada perhitungan desain.
e. Kesalahan Operasional 
Dalam hal ini lebih berorientasi kepada  pihak pemilik proyek konstruksi
dalam tahap penggunaan dan operasional dari produk konstruksi tersebut, dimana
jika pihak pemilik melakukan kesalahan dalam hal merubah dari fungsi awalnya
maka dapat berpotensi menimbulkan terjadinya kegagalan konstruksi, misalnya
bangunan yang awalnya diperuntukkan untuk gedung perkantoran diubah fungsi

7
menjadi gudang atau menambah jumlah tingkat bangunan yang dari perencanaan
awalnya hanya diperuntukkan untuk satu lantai atau pembangunan gedung yang
setelah terealisasi tidak digunakan sama sekali/ganggur,  serta perubahan-
perubahan fungsi lainnya yang menyimpang dari fungsi rencana awalnya juga
berpotensi terhadap terjadinya kegagalan bangunan baik bersifat fisik maupun
nonfisik. 
f. Kesalahan dalam Proses Studi Kelayakan
Kesalahan dalam  tahapan studi kelayakan memberikan dampak yang
cukup meluas ke beberapa aspek tidak hanya yang bersifat fisik tetapi non fisik
juga. Dalam proses pembuatan dan analisis studi kelayakan tentunya perlu
memperhatikan aspek-aspek secara menyeluruh/komprehensif yang akan di
proyeksikan ke depan baik pada tahap pelaksanaan/konstruksi maupaun pasca
konstruksi dimana berdampak langsung terhadap daerah di sekitarnya baik dari
segi pemanfaatan, perawatan, sosial, ekonomi, lingkungan dan peraturan yang
berlaku. Jadi pada tahap ini jika tidak dilakukan dengan cermat khusunya bagi
proyek yang berskala besar maka akan memberikan dampak yang signifikan
dalam tahapan ke depannya yang tentunya merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kegagalan suatu konstruksi.
g. Kesalahan Dalam Pelaksanaan 
Kesalahan pelaksanaan merupakan tindak lanjut dari proses perencanaan
kontruksi, dimana dalam tahap pelaksanaan juga memegang peranan penting
terhadap kegagalan kontruksi yang tentunya lebih berorientasi kepada  pihak
pelaksana proyek/kontraktor. Pekerjaan tenaga kerja tidak terampil pada pekerjaan
konstruksi adalah alasan lain untuk kegagalan struktural. Oleh karena itu, penting
bahwa pemilik, perancang, dan pembangun sepenuhnya sadar akan alasan
kegagalan, dan melakukan semua tindakan pencegahan.
Dalam tahap pelaksanaan faktor-faktor tersebut antara lain dapat dari segi metode
pelaksanaan yang salah, kualitas material yang tidak sesuai spesifikasi dalam
kontrak dan perencanaan, penggunaan tenaga kerja yang kurang atau tidak ahli
dan berpengalaman, penggunaan peralatan yang tidak efektif, kurangnya
pengawasan dan manajemen proyek yang buruk.  Tentunya jika aspek tersebut

8
dapat lebih diperhatikan maka tingkat risiko kegagalan konstruksi dari aspek
pelaksanaan dapat direduksi. 
h. Kegagalan Pengerjaan Interior
Kegagalan karena pengerjaan inferior dapat menyebabkan kerusakan dan
kegagalan struktural. Pengerjaan yang buruk sering kali merupakan asal mula
kegagalan konstruksi. Bahkan material berkualitas tinggi, jika digunakan tidak
sempurna, mungkin tidak berhasil melayani fungsi yang direncanakan, atau tahan
lama seperti yang dirancang.
Pengerjaan yang buruk adalah penyebab sebenarnya dari kebanyakan
kegagalan konstruksi. Kegagalan umum karena pengerjaan yang buruk bisa
menyebabkan atap bocor, ubin lantai yang retak, peluruhan cat, dan banyak
masalah lainnya. Prosedur yang tepat telah dibuat untuk hampir setiap operasi
konstruksi, dan hanya implementasi yang diperlukan. Cat berkualitas yang
diterapkan pada permukaan yang tidak bersih kemungkinan akan gagal, bukan
karena bahannya di bawah standar, tetapi karena ia digunakan dengan kualitas
kerja yang buruk.
i. Kegagalan Pondasi
Banyak pondasi bangunan tidak dirancang dan dibangun dengan baik
untuk kondisi tanah pada lokasi yang ada, misalnya tanahnya memiliki daya
dukung yang jelek atau tidak memadai untuk mendukung berat struktur.
Pergerakan pondasi dapat terjadi jika pelapisan dan pengeringan tanah
tidak seragam, seperti drainase yang tidak memadai, kebocoran pipa, dan
evaporasi, dapat menyebabkan variasi tanah. Lapisan tanah atas memberikan daya
dukung untuk menahan struktur, dan memastikan stabilitas pondasi. Jika tanah
bantalan tidak dipadatkan dengan cukup sebelum pelaksanaan konstruksi maka
peluang terjadinya kegagalan struktur sangatlah besar.

2.3 Akibat Hukum Kegagalan Bangunan


Berbagai pengerjaan konstruksi tidak luput dari permasalahan, yang cukup
sering terjadi adalah kegagalan bangunan. Pada peraturan sebelumnya, termasuk
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 yang merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

9
yang akhirnya dinyatakan tidak berlaku setelah diberlakukannya Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2019 tentang Jasa Konstruksi, dalam Pasal 31-nya terdapat istilah
Kegagalan Konstruksi yang didefinisikan sebagai keadaan hasil pekerjaan
konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati
dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat
dari kesalahan Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa. Namun, dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi tidak ada lagi istilah kegagalan
Konstruksi, tetapi yang ada hanyalah istilah Kegagalan Bangunan.
Kegagalan bangunan yang timbul karena kesalahan Kontraktor pelaksana
yaitu pada masa pelaksanaan pengerjaan proyek merupakan akibat dari
penyimpangan ketentuan standarisasi dan perencanaan yang dibuat oleh
Konsultan Teknik proyek. Kemudian kegagalan bangunan menurut ketentuan
Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 adalah keadaan bangunan
yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis,
manfaat, keselamatan, dan kesehatan kerja atau keselamatan umum sebagai akibat
kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna jasa setelah penyerahan akhir
pekerjaan konstruksi. Dengan melihat pengertian tersebut maka kegagalan
bangunan terjadi pada waktu setelah penyerahan akhir pekerjaan atau juga tahap
penyerahan kedua proyek, berarti sudah melampaui batas waktu proyek. Bentuk
fisik dari kegagalan bangunan sebenarnya tidak ada perbedaan dengan bentuk
fisik kegagalan konstruksi, hanya perbedaan terletak pada waktu terjadinya.
Bangunan yang mengalami gagal fungsi sebelum akhir umur pemakaiannya yang
direncanakan termasuk dalam kegagalan bangunan. Bangunan yang berefek buruk
terhadap lingkungan sekitarnya bias karena kesalahan dalam konsep desain,
walaupun pelaksanaannya benar, itupun termasuk dalam kegagalan bangunan
juga.
Kegagalan Bangunan sendiri dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi didefinisikan sebagai adalah suatu
keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah
penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi. Konteks kegagalan bangunan dalam
tulisan ini adalah kegagalan bangunan yang disebabkan kesalahan dari
Kontraktor, misalnya kegagalan bangunan tersebut akibat dari penyimpangan

10
ketentuan standarisasi dan perencanaan yang dibuat oleh Konsultan tekhnik
proyek.
Sebagaimana definisi kegagalan bangunan dalam Pasal 1 angka 10
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, maka kegagalan
bangunan mulai dihitung sejak penyerahan akhir pekerjaan kepada pihak
Pengguna jasa. Kegagalan bangunan adalah risiko yang tidak berdiri sendiri,
selalu ada sebab akibat yang menyertainya, tanggung jawab harusnya dipikul
bersama-sama. Kegagalan pekerjaan konstruksi dapat disebabkan oleh faktor
teknis maupun faktor non-teknis. Faktor teknis karena adanya penyimpangan
proses pelaksanaan yang tidak memenuhi spesifikasi teknis yang disepakati dalam
kontrak, sedangkan faktor non-teknis lebih disebabkan karena tidak kompetennya
Badan Usaha, tenaga kerja, tidak profesionalnya tata kelola manajerial antara
pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi. Serta bisa jadi terdapat
permasalahan timbul karena hal nonteknis yang mengakibatkan kegagalan teknis.
Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik ada kalanya menyebabkan kesalahan
fatal. Untuk menetapkan apakah benar kegagalan bangunan yang terjadi
disebabkan oleh kesalahan Kontraktor atau bukan, berdasar ketentuan dalam Pasal
60 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur
bahwa yang berhak menilai terkait kegagalan bangunan adalah ahli yang memiliki
kompetensi tertentu yang ditetapkan oleh menteri dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya laporan adanya kegagalan bangunan. Bentuk
kegagalan bangunan tak selalu runtuh seluruhnya, tetapi juga bisa karena tidak
berfungsinya bangunan yang telah dibangun oleh Kontraktor.
Mengenai penilaian kegaggalan konstruksi ditinjaui dari aspek teknis
maupun aspek hukum terletak pada waktu terjadinya. Masa waktu kegagalan
bangunan yaitu terjadi pada tahap masa pelaksanaan pekerjaan konstruksi
berlangsung sedangkan kegagalan bangunan terjadi pada waktu setelah
penyerahan terakhri pekerjaan konstruksi. Perihal kegagalan bangunan waktu
terjadinya pada saat setelah penyerahan akhir pekerjaan sampai pada masa
pemeliharaan bangunan berakhir, dan pihak yang dapat mengajukan gugatan
adalah pengguna jasa dan pemakai bangunan karena kegagalan bangunan sudah
menyentuh pada kualitas manfaat yang dihasilkan dari bangunan. Sehingga

11
klausula tanggung gugat kegagalan bangunan dalam kontrak konstruksi harus
mencantumkan terpisah dari klausula tanggung gugat kegagalan bangunan.
Perbedaan ciri pada kegagalan bangunan dan kegaggalan konstruksi berbeda
dengan klausula kegagalan bangunan dan harus ditegaskan dalam kontrak
konstruksi.
Dalam hal terjadinya kegagalan bangunan, maka Penilai ahli memiliki
fungsi utama yaitu berwenang untuk menyatakan adanya kegagalan bangunan.
Dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi mengatur bahwa yang dikategorikan sebagai Ahli yang berwenang
untuk menyatakan adanya kegagalan bangunan adalah individu yang memiliki
kriteria sebagai berikut:
a. Memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja pada jenjang jabatan ahli di bidang
yang sesuai dengan klasifikasiproduk bangunan yang mengalami Kegagalan
Bangunan;
b. Memiliki pengalaman sebagai perencana, pelaksana,dan/atau pengawas pada
Jasa Konstruksi sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami
Kegagalan Bangunan; dan
c. Terdaftar sebagai penilai ahli di kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Jasa Konstruksi.
Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi dijelaskan bahwa Ahli yang berwenang untuk menyatakan adanya
kegagalan bangunan memiliki tugas yang meliputi:
a. Menetapkan tingkat kepatuhan terhadap Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. Menetapkan penyebab terjadinya Kegagalan Bangunan;
c. Menetapkan tingkat keruntuhan dan/atau tidak berfungsinya bangunan;
d. Menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan;
e. Melaporkan hasil penilaiannya kepada Menteri dan instansi yang
mengeluarkan izin membangun, paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja
terhitung sejaktanggal pelaksanaan tugas; dan
f. Memberikan rekomendasi kebijakan kepada Menteri dalam rangka
pencegahan terjadinya Kegagalan Bangunan.

12
Dalam kontrak konstruksi terdapat syarat kesepakatan atau consensus para
pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian. Tanggung gugat yang dapat
dilakukan para pihak terutama penyedia jasa terhadap kegagalan bangunan adalah
tanggung gugat yang didasari adanya wanprestasi, karena pihak penyedia jasa
tidak memenuhi atau lalai melaksanakan keajiban sebagaimana yang telah
ditentukan dalam perjanjian yang disepakati para pihak dan telah menimbulkan
kerugian terhadap salah satu pihak. Wanprestasi juga disebut sebagai ingkar janji,
atai juga melanggar perjanjian, dan bila penyedia jasa telah melakukan atau
berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) yang dilakukan oleh penyedia jasa
dapat berupa 4 macam, yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi dan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang telah dijanjikan, tapi tidak sebagaimana yang telah
dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjiannya tidak boleh dilakukan.
Dalam kontrak jasa konstruksi penyedia jasa / kontraktor pelaksana dapat
dikatakan wanprestasi jika telah lalai atau ingkar janji dalam hal:
a. Persyaratan;
b. Kualitas; dan/atau
c. Waktu.
Terjadinya wanprestasi pihak penyedia jasa / kontraktor pelaksana dalam suatu
perjanjian atau yang disebut dengan Debitur, membawa akibat bagi penyedia jasa
tersebut, antara lain:
a. Mengganti kerugian;
b. Benda yang menjadi objek perikatan semenjak terjadi wanpresatsi menjadi
tanggung gugat penyedia jasa atau debitur;
c. Jika perikatan tersebut timbul dari perikatan timbal balik, pengguna jasa atau
kreditur dapat meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Untuk melihat ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh
kontraktor dalam suatu kegagalan bangunan dapat dilihat pada ketidak patuhan
terhadap metode kerja yang benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam

13
ketentuan Pasal 63 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
dijelaskan bahwa Penyedia Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan
Bangunan kesalahan Penyedia Jasa. Dengan demikian, pendapat Ahli
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Jasa Konstruksi amatlah penting. Hal ini ditujukan untuk menilai apakah
benar kegagalan bangunan tersebut terjadi karena kesalahan Kontraktor atau
kesalahan perencanaan. Apabila kegagalan bangunan terjadi karena kesalahan
perencanaan atau kesalahan Pengguna Jasa, maka Pengguna jasalah yang harus
bertanggung jawab, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Sehingga dalam hal ini,
penyusunan kontrak harus disusun dengan sangat baik dan mekanisme
pembuktian harus dijalankan dengan baik. Namun, dalam hal jenis kontrak adalah
lumsum, maka biasanya para pihak akan menuangkan klausul yang intinya adalah
apabila terjadi risiko termasuk kegagalan bangunan, maka yang akan menanggung
risiko tersebut adalah pihak kontraktor. Dengan demikian, sesuai dengan
ketentuan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, maka kontraktor yang harus bertanggung
gugat atas kegagalan bangunan yang terjadi dalam kontrak jenis Lumsum.
Untuk melakukan tanggung gugat, maka perlu pengajuan gugatan oleh
pihak yang dirugikan dimana dalam hal ini yang dirugikan adalah pengguna jasa.
Terhadap hal tersebut, pengguna jasa dapat menuntut atas dasar wanprestasi
kepada peyedia jasa sebagai berikut:
a. Pengguna jasa dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari penyedia jasa;
b. Pengguna jasa dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada penyedia jasa
(pasal 1267 BW);
c. Pengguna jasa dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin
kerugian karena keterlambatan;
d. Pengguna jasa dapat melakukan pembatalan perjanjian;
e. Pengguna jasa dapat melakukan pembatalan disertai ganti rugi kepada
penyedia jasa, ganti rugi itu berupa pembayaran denda.
Tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk memposisikan penggugat dalam
keadaan seandainya perjanjian tersebut terpenuhi, dalam arti posisi para pihak

14
seperti dalam keadaan semula yaitu menyepakati dan menjalankan hak dan
kewajibannya sebagaimana yang didasari dengan itikad baik. Dengan demikian
ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Pelaksanaan ganti rugi sendiri dapat dilakukan melalui mekanisme
pertanggungan yang pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan
sistem pertanggungan bagi perencana dan pengawas konstruksi.30
Pertanggungjawaban pelaksana konstruksi di bidang usaha dikenakan kepada
pelaksana konstruksi maupun sub pelaksana konstruksi dalam bentuk sanksi
administrasi sesuai tingkat kesalahan. Besaran ganti rugi yang menjadi tanggung
jawab pelaksana konstruksi dalam hal terjadi kegagalan hasil pekerjaan konstruksi
diperhitungkan dengan mempertimbangkan antara lain tingkat kegagalannya.
Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan yang
pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem
pertanggungan bagi pelaksana konstruksi.

2.4 Studi Kasus Kegagalan Konstruksi/Bangunan


2.4.1 Proyek Pembangunan Gudang Pengepakan Ikan Lampulo Banda Aceh

Gambar 2.1 Kegagalan Konstruksi Gudang Pengepakan Ikan Lampulo


Banda Aceh
A. Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Proyek Pembangunan Gudang
Pengepakan Ikan Lampulo
Tahap perencanaan pembangunan gudang pengepakan ikan dilaksanakan
oleh pihak Konsultan CV. Ganessa Consultant. Objek dari pekerjaan perencana

15
adalah melakukan review desain bangunan, di sini konsultan tidak membuat
desain bangunan dari awal , tetapi melakukan tinjauan terhadap desain yang sudah
ada sebelumnya untuk disesuaikan dengan lokasi pembangunan.
Pelaksanaan pembangunan dilaksanakan oleh CV. Vende Mestika. Objek
dari perjanjian adalah membangun 10 unit gudang pengepakan ikan dengan
mengacu kepada rancangan yang telah dibuat oleh perencana jasa konstruksi.
Kontrak kerja konstruksi menggunakan jenis satuan harga (unit price). Durasi
pembangunan selama 180 (seratus delapan puluh) hari dimulai dari tanggal 2 Mei
2013, dalam masa pembangunan, pelaksana jasa pernah mengajukan perubahan
kontrak (adendum) satu kali. Perubahan dilakukan untuk menyesuaikan volume
dari pekerjaan. Ada bagian yang dikurangi dan ada bagian yang ditambah.
Pembangunan gudang pengepakan ikan selesai dibangun pada bulan
November 2013 dan diterima oleh Pejabat Pembuat Komitmen (yang selanjutnya
di sebut dengan PPK) . Proses penerimaan tahap pertama diwakili oleh Rahimah
Khairi Isfani, Bagian Kasi Prasarana Tangkap dan Tata Ruang Kelautan dan
Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. Proses penerimaaan tidak
dilakukan lagi proses pengecekan lapangan, PPK langsung menerima prestasi
penyedia jasa.
Hasil penelitian didapatkan bahwa dalam proses pembangunan gedung
tidak di awasi dengan baik. Hal ini terjadi karena terlambatnya penetapan pihak
pengawas konstruksi oleh pengguna jasa. Proses pembangunan dimulai dan
memasuki waktu 3 bulan, belum ada pihak yang ditunjuk untuk bertugas
mengawasi jalannya pembangunan. Sehingga pembangunan tidak dilaksanakan
dengan baik khususnya dari segi kualitas bangunan yang buruk dan kurang
diperhatikan spesifikasi bangunannya sesuai ketentuan.
Penerimaan tahap akhir setelah masa pemeliharaan dilaksanakan pada
bulan mei 2014, penerimaan diterima oleh PPK yang di wakili oleh Rahimah
Khairi Isfani. Proses penerimaan tahap akhir ini pengguna jasa langsung
menerima dan tidak memeriksa hasil dari pemeliharaan di lapangan.
Bangunan pengepakan ikan diresmikan pada awal tahun 2014, Bangunan
di peruntukkan kepada toke bot sebagai gudang pengepakan ikan untuk
mempermudah toke bot dalam melakukan pengepakan ikan sebelum di

16
distribusikan12. Belum sempat semuanya difungsikan oleh masyarakat, kanopi
bangunan runtuh. Runtuhnya kanopi gudang pengepakan ikan lampulo terjadi
pada 22 Februari 2016, bangunan baru berumur 2 tahun semenjak diresmikan.
Akibat dari runtuhnya kanopi, 2 unit sepeda motor dan 2 unit becak milik warga
rusak tertimpa beton kanopi. Runtuhnya bangunan bukan disebabkan faktor alam
seperti cuaca atau gempa karena ketika kejadian kondisi alam sangat tenang, tidak
ada efek cuaca. Jadi dapat disimpulkan bahwa bangunan tersebut mengalami
kegagalan dan kerusakan bukan karena faktor cuaca melainkan karena kurangnya
perhatian dan pengawasan terhadap kualitas bangunan dalam pembangunan
tersebut.
Akibat runtuhnya kanopi gudang pengepakan ikan Lampulo menimbulkan
kerugian. Besarnya kerugian didasarkan pada perhitungan dari perencana jasa
konstruksi, pelaksana jasa konstruksi, dan pengawas jasa konstruksi , kerugian
terdiri dari fisik bangunan maupun kerugian non fisik bangunan (kerugian untuk
pihak ke-3). Besarnya kerugian fisik bangunan ditaksir oleh penyedia jasa lebih
kurang sejumlah Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan kerugian non
fisik bangunan yakni ganti rugi terhadap kerusakan sepeda motor warga yang
rusak lebih kurang sejumlah Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dengan
perincian 2 unit becak dan 2 unit sepeda motor yang rusak, jadi total kerugian
semuanya sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
B. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Konstruksi Saat Terjadi Kegagalan Bangunan
Pada Gudang Pengepakan Ikan Lampulo
Kegagalan bangunan dari segi tanggung jawab dapat dikenakan kepada
institusi maupun orang perseorangan, yang melibatkan ketiga unsur yang terkait,
yaitu perencana jasa konstruksi, Pengawas jasa konstruksi,dan Pelaksana jasa
konstruksi. Tanggung jawab para pihak disajikan sebagai berikut ini:
1. Tanggung Jawab Perencana Jasa Konstruksi
Tanggung jawab perencana jasa konstruksi jika kegagalan bangunan di
sebabkan karena kesalahannya sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan
ganti rugi. Dalam kasus runtuhnya kanopi gudang pengepakan ikan Lampulo
pihak perencana jasa konstruksi bersedia bertanggung jawab atas runtuhnya
kanopi gudang pengepakan ikan lampulo dengan cara membayar ganti rugi,

17
besarnya bayaran ganti rugi uang tunai sejumlah Rp. 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah). Perencana jasa konstruksi dengan itikat baik bersedia
membayar ganti rugi walaupun bukan karena kesalahannya dikarenakan agar
kasus ini cepat selesai. Porsi pembayaran ganti rugi yang dilakukan
berdasarkan kesepakan bersama antar perencana jasa konstruksi, pelaksana
jasa konstruksi, dan pengawas jasa konstruksi.
2. Tanggung Jawab Pelaksana Jasa Konstrksi
Bentuk pertanggung-jawaban yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana jasa
konstruksi dengan cara membayar ganti rugi dan memperbaiki bagian yang
rusak. Perbaikan dilakukan oleh pelaksana jasa konstruksi karena bidang
usaha dari kontraktor pelaksana merupakan melaksanakan pembangunan.
Besarnya ganti rugi yang dibayar oleh pelaksana jasa konstruksi sejumlah
setengah dari total kerugian yang ditimbulkan yakni Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), perhitungan mengapa pelaksana membayar ganti rugi
paling besar bukan karena kesalahan yang dilakukannya, tetapi karena nilai
kontrak dari pekerjaan pelaksana paling besar diantara para pihak lain dalam
kontrak kerja konstruksi.
Penyedia jasa konstruksi dalam memperbaiki kanopi yang runtuh tidak sesuai
dengan ketentuan bestek, di dalam bestek kontrak kerja konstruksi kanopi
menggunakan bahan beton. Penyedia jasa konstruksi memperbaiki kanopi
yang runtuh dengan kanopi berbahan dari besi dan atap menggunakan fiber,
bukan dari beton seperti sebelum runtuh serta bagian utama dari bangunan
tidak diperhatikan. Pelasana jasa konstruksi hanya memperbaiki bagian yang
terlihat rusak secara langsung sedangkan bagian utama bangunan tidak
diperhatikan, padahal dilihat dari penyebab runtuhnya kanopi tersebut, bagian
utama bangunan juga mempunyai resiko untuk runtuh.
3. Tanggung Jawab Pengawas Jasa Konstruksi Tanggung jawab yang diberikan
oleh pengawas jasa kontruksi dilakukan dengan cara membayar ganti rugi
sama seperti yang dilakukan oleh perencana jasa konstruksi. Pengawas jasa
konstruksi membayar sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
untuk kerugian bangunan dan kerugian pihak ketiga. Perhitungan mengapa
pertanggungan yang dilakukan oleh perencana dan pengawas sama karena

18
nilai kontrak perencanaan dan pengawasan itu sama dan pengawas pun
menerimanya serta tim ahli lapangan dari pengawas jasa konstruksi dan
perencana jasa konstruksi merupakan orang yang sama.
C. Format Tolak Ukur Kegagalan Bangunan
Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai
ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta bersifat independen
dan mampu memberikan penilaian secara objektif, yang harus dibentuk dalam
waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya
kegagalan bangunan. Tujuan ditetapkan penilai ahli independen bukan dari pihak
dalam kontrak konstruksi agar hasil penilaian yang diberikan bersifat objektif dan
memberikan rasa keadilan bagi semua pihak tanpa adanya intervensi kepentingan
para pihak dalam kontrak konstruksi.
Inspektorat Jenderal Aceh sebagai unsur pengawas yang mempunyai tugas
menyelenggarakan pengawasan internal di lingkungan Daerah Provinsi telah
memerintahkan kepada pengguna jasa dan penyedia jasa untuk membentuk tim
ahli yang bertugas memberikan penilaian objektif mengenai terjadinya keruntuhan
pada konstruksi bangunan gudang pengepakan ikan lampulo untuk mengetahui
penyebab, besarnya kerugian dan pihak yang bertanggung jawab, sesuai surat dari
Inspektorat Aceh nomor 790/ A.I/ 254/IA tanggal 3 Maret 2016.
Inspektorat Aceh memerintahkan kepada pengguna jasa dan penyedia
untuk membentuk tim penilaian ahli sebelum melakukan tindakan. Hasil
penelitian bahwa pengguna jasa dan penyedia jasa tidak menghiraukan perintah
dari inspektorat aceh untuk membentuk tim penilai ahli. Penyedia jasa beralasan
bahwa jika membentuk tim ahli menghabiskan lebih banyak uang daripada
kerugian yang ditimbulkan.
Penyedia jasa bertindak atas kesimpulan bersama sehingga semua
kerugian dan pertanggungan disepakati bersama antara perencana jasa konstruksi,
pelaksana jasa konstruksi dan pengawas jasa konstruksi. Hal ini dapat
menimbulkan situasi yang menguntungkan bagi perencana jasa konstruksi,
pelaksana jasa konstruksi dan pengawas jasa konstruksi untuk menilai sendiri
kerusakan dan bagaimana cara pertanggungan atas kerusakan yang timbul dari
gagal bangunan. Tanpa adanya tim penilai, maka tidak ada pihak yang dinilai

19
bersalah, sehingga perencana jasa konstruksi, pelaksana jasa konstruksi, dan
pengawas jasa konstruksi secara bersama-sama menanggung kerugian sesuai
besar bagian yang disepakatinya bukan berdasarkan kesalahan, serta hasil
kesepakatan tidak dibuat secara tertulis.
D. Akibat Hukum Kegagalan Bangunan dan Upaya Penyelesaiannya
Akibat hukum dari kegagalan bangunan mewajibkan pihak yang bersalah
bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbukan serta dapat dikenakan
sanksi. Bentuk tanggung jawab penyedia jasa konstruksi dengan cara mengganti
segala kerugian yang ditimbulkan dari runtuhnya kanopi tersebut baik kerugian
negara maupun kerugian pihak ke 3 (tiga) serta memperbaiki bagian yang telah
rusak. Akan tetapi dalam kasus runtuhnya kanopi gudang pengepakan ikan
Lampulo karena tidak adanya tim penilaian ahli yang dibentuk maka tidak ada
pihak yang dinilai bersalah, sehingga para penyedia jasa yang terdiri dari
perencana jasa konstruksi, pelaksana jasa konstruksi, dan pengawas jasa
konstruksi berinisiatif untuk secara bersama-sama menanggung kerugian yang
ditimbulkan akibat runtuhnya kanopi gudang pengepakan ikan Lampulo tanpa
mempermasalahkan pihak mana yang bersalah.
Penyelesaian kasus Kegagalan bangunan yakni runtuhnya kanopi gudang
pengepakan ikan Lampulo dilakukan melalui proses negosiasi internal antara
pengguna jasa dan penyedia jasa. Negosiasi dilakukan antara perwakilan
pengguna jasa dengan pihak perencana, pelaksana, dan pengawas jasa konstruksi,
negosiasi dilakukan untuk membahas bagaimana cara penyelesaian yang akan
dilakukan, yang bertempat di gedung Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh.
Proses negosiasi yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan unsur
penyedia jasa yang terdiri dari perencana jasa konstruksi, pelaksana jasa
konstruksi dan pengawas jasa konstruksi tanpa melibatkan penilaian dari tim ahli
yang independen. Hasil dari proses negosiasi didapatkan keputusan bahwa
Perencana, pelaksana, dan pengawas akan menanggung segala kerugian yang
ditimbulkan dengan cara memperbaiki bagian yang rusak dan membayar ganti
rugi kepada pihak ke 3 berdasarkan kesepakatan dari unsur penyedia jasa.
Sanksi adminitrasi dan pidana dapat diberikan kepada perencana,
pelaksana dan pengawas jasa konstruksi yang terbukti melakukan kesalahan

20
sehingga terjadi kegagalan bangunan. Penyedia jasa juga di blacklist (dimasukkan
kedalam daftar penyedia jasa yang bermasalah). Hasil penelitian tidak ada sanksi
administrasi, sanksi pidana, maupun blacklist yang diberikan kepada perencana,
pelaksana dan pengawas jasa konstruksi. Pengguna jasa beralasan bahwa penyedia
jasa sudah melaksanakan kewajibannya dengan baik, padahal tanggung jawab
yang dilakukan oleh pihak perencana, pelaksana dan pengawas jasa konstruksi
tidak sesuai dengan ketentuan, serta dilihat dari jenis proyeknya dengan anggaran
yang besar dan objek pembangunan bangunan sederhana sepatutnya penyedia jasa
diberikan sanksi agar tidak terjadi lagi hal yang sama.
2.4.2 Tol Bekasi Cawang-Kampung Melayu atau Becakayu di Jalan DI
Panjaitan, Jakarta Timur

Gambar 2.2 Kondisi pascarobohnya tiang pancang tol Bekasi Cawang-Kampung


Melayu atau Becakayu di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur
Peristiwa robohnya penyangga Tol Becakkayu yang melibatkan Waskita
Karya apakah terbukti merupakan persoalan kegagalan bangunan, karena hingga
saat ini tim evaluasi masih bekerja dan belum ada hasilnya. jika terbukti bahwa ini
adalah kegagalan bangunan maka harus dituntaskan, siapa saja pihak yang
bertanggung jawab. Walaupun dari mulai penyedia dan pengguna merupakan
badan hukum milik pemerintah, penegakan hukum sesuai dengan aturan dalam
UndangUndang harus ditegakkan. Hal ini menyangkut kepercayaan publik terkait
dengan keselamatan, keamanan dan kehandalan dari infrastruktur yang sedang
dibangun. Proyek Jalan Tol Becakayu merupakan Proyek Strategis Nasional
(PSN) yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk mulai tahun 2014

21
dengan nilai kontrak Rp7,23 triliun dan memiliki panjang ruas 11 km. Untuk itu,
aparat Kepolisian harus memproses secara hukum kelalaian oknum yang
membangun proyek-proyek infrastruktur. Bila ada titik kelalaian yang
menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Apalagi, kecelakaan proyek
pembangunan infrastruktur telah terjadi untuk yang kedelapan kali dalam lima
bulan terakhir atau kurang lebih dua kali dalam sebulan.
Prof Manlian Simanjuntak, Guru Besar Fakultas Desain dan Teknik
Perencanaan, Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten mencatat
bahwa ada beberapa pandangan dan rekomendasi yang penting diperhatikan
oleh pemerintah. Pertama, Presiden Joko Widodo harus segera tanggap,
respon dan evaluasi kinerja Kementerian yang terkait dengan pembangunan
fisik. Upaya ini membutuhkan evaluasi lintas Kementerian. Kedua, sampai
saat ini, kajian tentang peristiwa kecelakaan ini belum lengkap data teknis
yang diterima. Namun kajian visual dapat disimpulkan bahwa kegagalan
konstruksi Proyek Jalan Tol Becakayu terjadi saat proses konstruksi.
Metode Konstruksi dengan proses cetak di tempat Elemen Struktur Vertikal
(Pier Head) terlihat gagal. Cek metode pelaksanaannya, cek formworknya,
cek scheduling, cek human system, cek SOP dan lain-lainya. Ketiga,
komitmen pemerintah daerah yang belum mensosialisasi hasil kajian
kegagalan konstruksi yang lalu juga penting sebagai respon komitmen.
Keempat, komitmen profesional konstruksi juga harus dibuktikan dengan
sikap jujur apakah benar proses konstruksi berjalan baik? Minimal apakah
sudah melibatkan perancang, pembangun, penyedia bahan dan alat. Kelima,
komitmen pemberi tugas atau pengguna jasa harus lebih pro aktif daripada
penyedia jasa.
Sanksi hukum yang diterapkan kepada PT. Waskita Karya terkait
kecelakaan tol Becakayu, di tinjau berdasarkan Undang-undang No 2 Tahun 2017
Tentang Jasa Konstruksi bila terbukti telah terjadi kegagalan bangunan
berdasarkan pasal 96 maka akan dikenai sanksi administratif berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda administratif;
c. Penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;

22
d. Pencantuman dalam daftar hitam;
e. Pembekuan izin; dan/atau
f. Pencabutan izin.
Namum bisa saja peristiwa kegagalan bangunan di bawa ke ranah pidana,
jika melihat isi pasal 86 Undang-undang No 2 tahun 2017 maka bisa saja, karena
dalam pasal Pasal 86 dikatakan bahwa :(1) Dalam hal terdapat pengaduan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b akan adanya
dugaan kejahatan dan/atau pelanggaran yang disengaja dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi, proses pemeriksaan hukum terhadap Pengguna Jasa dan/atau
Penyedia Jasa dilakukan dengan tidak mengganggu atau menghentikan proses
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.(2) Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b terkait dengan kerugian
negara dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, proses pemeriksaan hukum hanya
dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dari lembaga negara yang
berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan
dalam hal: 1) terjadi hilangnya nyawa seseorang; dan/atau 2) tertangkap tangan
melakukan tindak pidana korupsi.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki
Hadimuljono menyatakan pihaknya akan memberikan rekomendasi sanksi untuk
kontraktor pelaksana pembangunan jalan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu
(Becakayu). Rekomendasi pemberian sanksi itu berdasarkan hasil evaluasi Komite
Keselamatan Konstruksi. Adapun kontraktor utama proyek tol Becakayu adalah
PT Waskita Karya (Persero). Basuki mengungkapkan ambruknya bekisting pier
head atau cetakan kepala tiang di proyek jalan tol Becakayu diakibatkan oleh
jumlah baut yang terpasang pada bracket penyangga cetakan kurang dari
semestinya. Menurut Basuki, insiden ambruknya cetakan kepala tiang proyek Tol
Becakayu ini terjadi akibat perilaku tidak disiplin dari pekerja konstruksi
pelaksana pembangunan. Dia menambahkan rekomendasi sanksi ini diberikan
karena ada kelalaian dan ketidakdisiplinan dalam pelaksanaan SOP (standar
operasi prosedur) di pengerjaan proyek Tol Becakayu. Selain itu, juga ada
kelemahan pengawasan.

23
2.4.3 Jembatan Mahakam II, Kutai Kertanegara

Gambar 2.3 Ambruknya Jembatan Mahakam II, Kutai Kertanegara


Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menegaskan bahwa
proyek jembatan tersebut dibangun oleh salah satu BUMN konstruksi yaitu PT
Hutama Karya (Persero), namun pengelolaannya telah diserahkan kepada
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan dikerjakan oleh pihak swasta.
Kementerian PU menyatakan bahwa pengawasan terhadap Jembatan Kutai
Kartanegara bukan merupakan tugas dari kementerian tersebut, karena jembatan
tersebut merupakan milik Pemerintah Kabupaten Kukar. Dengan demikian,
Pemerintah Kabupaten Kukar memiliki kewenangan untuk mengawasi fasilitas
termasuk jembatan di daerahnya, sedangkan Kementerian PU hanya sebatas
memberikan masukan mengenai pemeliharaan, jika diperlukan.
Perawatan terhadap Jembatan Kutai Kartanegara pernah dilakukan pada
tahun 2007 berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh PT Indenes Utama
Engineering Consultant. Namun semenjak tahun 2008-2010 tidak ada lagi
kegiatan pemeliharaan terhadap Jembatan Kutai Kartanegara karena ketiadaan
anggaran. Menurut keterangan dari Kepala Dinas PU Kabupaten Kukar, Didi
Ramyani, PU telah mengusulkan anggaran pemeliharaan kepada DPRD Kukar,
akan tetapi tidak terealisasi. Pendapat berbeda diungkapkan oleh Wakil Ketua
DPRD Kukar, Didik Agung Eko, yang membantah bahwa PU pernah mengajukan
anggaran pemeliharaan pada kurun waktu tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan
bahwa alokasi APBD 2010 Kabupaten Kukar untuk infrastruktur cukup besar,

24
yaitu sekitar Rp. 800 miliar, sehingga apabila permohonan diajukan tidak
mungkin ditolak dengan minimnya anggaran.
Pemeliharaan akhirnya baru dilakukan lagi pada tahun 2011 dengan
anggaran Rp. 2,99 miliar oleh PT Bukaka Teknik Utama. Presiden Direktur PT
Bukaka Teknik Utama menyatakan bahwa pihaknya terikat kontrak dengan Dinas
PU Kukar dimulai 11 Oktober sampai dengan 12 Desember 2011 dengan nilai
kontrak Rp. 2,789 miliar. Jembatan tersebut runtuh pada saat PT Bukaka Teknik
Utama masih dalam tahap persiapan dan belum memulai kegiatan pemeliharaan.
Pasca runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara, Polres Kukar dan
Bareskrim Mabes Polri langsung membentuk tim yang bertugas melakukan
penyidikan. Adapun jumlah saksi yang diperiksa dari waktu ke waktu terus
mengalami peningkatan. Saksi-saksi tersebut berasal dari warga, pekerja, pejabat
terkait dan perusahaan kontraktor. Namun belum ada pihak yang ditetapkan
sebagai tersangka. Penetapan tersangka hingga saat ini masih menunggu hasil
analisis dari tim ahli independen yang beranggotakan Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) PU dibantu oleh 9 profesor ahli bidang konstruksi dari
perguruan tinggi ITB, UGM, dan ITS. Tim ini diharapkan dapat menuntaskan
investigasi dalam jangka waktu 1 minggu karena Komisi V DPR memberikan
tenggat waktu 1 bulan kepada pemerintah untuk melakukan investigasi mengenai
penyebab runtuhnya jembatan.
Sementara itu terhadap para korban, Pemerintah Kabupaten Kukar akan
memberikan bantuan sebanyak 25 juta untuk korban meninggal, 15 juta untuk
luka berat dan 5 juta untuk luka ringan. Bantuan tersebut akan diberikan setelah
proses evakuasi atas korban selesai dilakukan.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 18
Tahun 1999) lahir pada saat sedang dilakukannya pembangunan Jembatan Kutai
Kartanegara, sehingga terkait konstruksi jembatan, maka PT Hutama Karya
sebagai penyedia jasa konstruksi terikat dengan ketentuan UU No. 18 Tahun
1999. Berdasarkan Pasal 25 UU No. 18 Tahun 1999, pengguna dan penyedia jasa
konstruksi wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. Bagi penyedia jasa
konstruksi Pasal 25 ayat (2) UU No. 18 Tahun 1999 membatasi tanggung jawab
hanya untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. Dengan demikian,

25
jangka waktu pertanggungjawaban telah terlewati oleh PT Hutama Karya sebagai
penyedia jasa, sehingga yang tertinggal hanyalah tanggung jawab pengguna jasa
konstruksi.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, masalah perencanaan dan pengendalian pembangunan
menjadi urusan wajib pemerintah kabupaten/ kota. Jembatan Kutai Kartanegara
berada dalam wilayah Kabupaten Kukar, oleh sebab itu pengendalian terhadap
jembatan ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Kukar. Apabila
dihubungkan dengan UU No. 18 Tahun 1999, Pemerintah Kabupaten Kukar
merupakan pengguna jasa konstruksi dari Jembatan Kutai Kartanegara.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kukar sebagai bagian dari organisasi
pemerintahan menurut Alinea IV Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berperan sebagai organ yang menjalankan tujuan negara
sehingga memiliki tanggung jawab untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia.
Dalam hal ini sudah sewajarnya Pemerintah kabupaten Kukar ikut bertanggung
jawab apabila gagal melindungi warga negaranya seperti yang terjadi pada
peristiwa runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara ini. Masyarakat yang menjadi
korban pada dasarnya dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan prosedur gugatan
telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP No. 29 Tahun 2000).
Saat ini Polres Kukar sedang melakukan penyidikan terkait adanya
kelalaian dalam proses perbaikan/ perawatan hingga jembatan runtuh. Untuk
tindak pidana umum ini dapat dikenakan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP tentang
kelalaian membuat orang luka dan meninggal dunia. Penyidikan juga sedang
dilakukan oleh Polda Kaltim terkait dugaan adanya penyimpangan anggaran
dalam proses pembangunan hingga mutunya di bawah standar. Penyimpangan
anggaran ini termasuk dalam tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pasal-
pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Runtuhnya jembatan terjadi ketika sedang dilakukan perawatan oleh PT
Bukaka Teknik Utama. Tanggung jawab PT Bukaka Teknik Utama tergantung
kontrak dengan Pemerintah Kabupaten Kukar dan hasil investigasi dari tim ahli

26
jasa konstruksi. Namun, Polri telah memanggil beberapa pihak dari PT Bukaka
Teknik Utama, bahkan Direktur PT Bukaka Teknik Utama sampai dipanggil
paksa untuk dapat hadir sebagai saksi.
Standar perawatan jembatan untuk jembatan bentang panjang seperti
jembatan Kutai Kartanegara sampai sekarang ini belum ada. Terdapat kabar
bahwa standar baku sudah dirumuskan akan tetapi belum disahkan. Standar yang
ada selama ini adalah untuk jembatan-jembatan gantung/suspensi dengan bentang
pendek. Sedangkan Jembatan Kutai Kartanegara merupakan hasil pembangunan
jembatan dengan teknologi tinggi dengan bentang yang panjang. Sangat riskan
sekali apabila tidak memiliki standar baku untuk pemeliharaannya.
Beberapa pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai pemilik jembatan sekaligus yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perawatan jembatan. Pemerintah
Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara kurang memperhatikan rencana perawatan
sebagaimana seharusnya. PT. Hutama Karya sebagai kontraktor pelaksana
pembangunan jembatan disini akhirnya tidak bisa dituntut karena masa jaminan
konstruksi selama 10 tahun dari sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi
(Final Hand Over/FHO) telah terlampaui. Akan tetapi bisa dijadikan pelajaran
untuk para pelaksana proyek bahwasanya dalam melaksanakan pekerjaan harus
sesuai dengan spesifikasi dan dengan profesionalitas tinggi untuk dapat
menghasilkan bangunan yang bagus dan kokoh. PT. Bukaka Teknik Utama dalam
pekerjaan perawatan tidak berdasar standar yang memadai dan dikerjakan oleh
orang yang tidak mempunyai kompetensi dibidang yang dibutuhkan.
Pertanggungjawaban perdata seharusnya dalam hal ini dikenakan terhadap PT.
Bukaka Teknik Utama. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kutai Kartanegara. Seharusnya dapat dituntut ganti rugi atas kerugian
yang ditimbulkan dan hilangnya kuntungan yang diharapkan. Sedangkan
penyelenggara pengadaan barang/jasa dalam hal ini KPA, PPTK juga tidak
melaksanakan pengawasan sebagai mana tugas dan kewajiban yang dibebankan.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah:
a. Kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak
sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak
kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat dari
kesalahan dari pengguna jasa atau penyedia jasa.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan konstruksi/bangunan adalah
umur/layan daya bangunan, bencana, maintanance/perawatan, kesalahan
dalam perencanaan, kesalahan operasional, kesalahan dalam proses studi
kelayakan, kesalahan dalam pelaksanaan, kegagalan pengerjaan interior dan
kegagalan pondasi.
c. Akibat hukum yang ditimbulkan dari kegagalan konstruksi diantaranya
pengguna jasa dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari penyedia jasa,
pengguna jasa dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada penyedia jasa
(pasal 1267 BW), pengguna jasa dapat menuntut dan meminta ganti rugi,
hanya mungkin kerugian karena keterlambatan, pengguna jasa dapat
melakukan pembatalan perjanjian, pengguna jasa dapat melakukan
pembatalan disertai ganti rugi kepada penyedia jasa, ganti rugi itu berupa
pembayaran denda.
d. Contoh kegagalan konstruksi/bangunan diantaranya Proyek Pembangunan
Gudang Pengepakan Ikan Lampulo Banda Aceh, Tol Bekasi Cawang-
Kampung Melayu atau Becakayu di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur,
Jembatan Mahakam II, Kutai Kertanegara.

3.2 Saran
Saran dalam makalah ini adalah kegagalan konstruksi/bangunan
hendaknya bisa dihindari dengan mengikuti aturan yang berlaku baik dalam
perencanaan maupun pelaksanaan di lapangan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Jenis dan Penyebab Kegagalan Struktur Bangunan.


https://www.situstekniksipil.com/2018/05/jenis-dan-penyebab-kegagalan-
struktur.html

Himawan, Adhitya. 2018. Pakar Duga Kegagalan Proyek Jalan Tol Becakayu Saat
Konstruksi.
https://www.suara.com/bisnis/2018/02/20/142112/pakar-duga-kegagalan-
proyek-jalan-tol-becakayu-saat-konstruksi

Manurung, Edison Hatoguan. 2018. Sanksi Hukum yang di Berikan Terhadap PT


Waskita Karya Terkait Kelalaian Proyek Tol Becakayu Bila Ditinjau
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Kontruksi.
Universitas Mpu Tantular. Jakarta.

Purbasari, Yeni. 2015. Pertanggungjawaban Terhadap Runtuhnya Jembatan


Kutai Kartanegara. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Trianda, M. Dhuhar, Khairani. 2018. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Konstruksi


Terhadap Kegagalan Bangunan (Suatu Penelitian di Proyek
Pembangunan Gudang Pengepakan Ikan Lampulo Banda Aceh).
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Yushar. 2019. Tanggung Gugat Kontraktor dalam Kegagalan Bangunan.


Universitas Airlangga. Surabaya.

iv

Anda mungkin juga menyukai