Anda di halaman 1dari 25

KARYA TULIS HADIST SEBAGAI OBJEK KAJIAN HADIST

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kedudukan hadis (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Qur‟an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Ber-hujjah dengan
hadis sahih tidak diperdebatkan lagi bahkan menjadi keharusan. Namun
bagaimana cara menentukan kesahihan suatu hadis merupakan kajian yang tidak
sederhana. Hal ini karena terdapat jarak waktu yang panjang antara munculnya
hadis (pada masa Rasulullah SAW) dengan masa penghimpunan (pembukuan)
hadis itu sendiri, (Abu Syahbah dalam Muhid, 2012).
Hadis sebagai dasar operasional ketentuan agama, dalam perkembangannya
dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melegitimasi ajaran/ideologinya, guna
menarik dan menguatkan keyakinan pengikutnya. Hal ini sudah terjadi sejak masa
klasik, dan hal ini semakin marak seiring perkembangan kelompok-kelompok
keagamaan yang ada. Usaha memurnikan hadis juga sudah dilakukan sejak zaman
klasik, dimulai sejak zaman Nabi, dilanjutkan pada era sahabat, tabi’in dan tabi’
al-tabiin serta masa-masa sesudahnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
pemurnian hadis dilakukan umat Islam sejak abad pertama hijriah hingga masa
kotemporer. Pada makalah ini akan dikerucutkan pembahasan Objek Kajian Ilmu
Hadis.
Namun bagaimanapun urgensi kedudukan hadis, pada kenyataannya tidak
semua hadis yang dissandarkan kepada Nabi SAW mencapai validitas kesahihan
sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh para pakar dalam bidang ilmu hadis
tentang ke-sahihan sebuah hadis baik dari sisi internal hadis (matn al-hadits)
maupun dari sisi eksternalnya (sanal al-hadits).
Persolana selanjutnnya, sekalipun terhadap hadis yang telah dinilai sahih
baik dari segi internal dan eksternal masih menimbulkan problem tersendiri dalam
hal pemahaman akan kandungan hadis, mengingat hadis yang merupakan upaya
faktualisasi ajaran Islam melalui ucapan, tindakan ataupun ketetapan (taqrir) Nabi
SAW tidaklah berangkat dari ruang hampa melainkan sangat erat kaitannya
dengan kearifan lokal (local winsdom) masyarakat Arab saat itu.
Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa
kalangan yang serius sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan untuk
mengklasifikasikan hadis dari aspek kualitas hadis baik ditinjau dari segi matan
hadis maupun sanad hadis. Sehingga dapat ditemukan hadis-hadis yang layak
sebagai hujjah dan hadis yang tidak layak sebagai hujjah. Hadis sebagai dasar
operasional ketentuan agama, dalam perkembangannya dimanfaatkan kelompok
tertentu untuk melegitimasi ajaran/ideologinya, guna menarik dan menguatkan
keyakinan pengikutnya. Hal ini sudah terjadi sejak masa klasik, dan hal ini
semakin marak seiring perkembangan kelompok-kelompok keagamaan yang ada.
Usaha memurnikan hadis juga sudah dilakukan sejak zaman klasik, dimulai sejak
zaman Nabi, dilanjutkan pada era sahabat, tabi‟in dan tabi‟ al-tabiin serta masa-
masa sesudahnya.
Di era sekarang ini, banyak hadis-hadis palsu yang tersebar keseluruh
penjuru negeri. untuk menentukan apakah itu hadis palsu atau bukan, dapat
dilakukan suatu penelitian atau kajian tentang hadis tersebut menggunakan karya
tulis sebagai alat untuk mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
Karya tulis adalah uraian atau laporan tentang kegiatan, temuan, atau
informasi yang dapat berasal dari data primer dan/atau data sekunder. Maksudnya
adalah untuk menyebarkan hasil tulisan atau laporan tersebut dengan tujuan
tertentu sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak terlibat kegiatan
penulisan tersebut. Secara umum, karya tulis terdiri atas karya tulis ilmiah dan
karya tulis nonilmiah.
Karya tulis ilmiah adalah suatu karya tulis yang disusun berdasarkan
pendekatan metode ilmiah (aplikasi dari metode ilmiah) yang ditujukan untuk
kelompok pembaca tertentu dan disajikan dengan menggunakan format tertentu
yang baku. Menyusun suatu karya tulis ilmiah bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah dan sederhana. Di samping penulis harus menguasai keterampilan dan
pengetahuan bahasa yang baik dan benar, diperlukan pula pemahaman kaidah-
kaidah penulisan ilmiah dan persyaratannya serta penulis harus mampu pula
menyajikannya dengan menggunakan format tertentu yang sudah baku.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan karya tulis Ilmiah ?
2. Apa yang dimaksud dengan hadis dan objek kajian hadis ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Karya Tulis Ilmiah


Karya ilmiah adalah suatu tulisan yang memuat kajian suatu masalah
tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Kaidah-kaidah keilmuan
itu mencakup penggunaan metode ilmiah dan pemenuhan prinsip-prinsip
keilmiahan, seperti: objektif, logis, empiris, sistematis, lugas, jelas, dan konsisten.
Karya ilmiah dapat dipilah menjadi dua, (i) karya ilmiah yang ditulis dengan
berdasar pada hasil penelitian, dan (ii) karya ilmiah yang ditulis dengan berdasar
pada hasil pemikiran serius. Baik jenis (i) maupun (ii), dalam penulisannya tetap
menggunakan metode analisis masalah yang bersifat mendekati kebenaran
(ilmiah).
Karya tulis ilmiah adalah sebuah karya tulis yang disajikan secara ilmiah
dalam sebuah forum atau media ilmiah. Karakteristik keilmiahan sebuah karya
terdapat pada isi, penyajian, dan bahasa yang digunakan. Isi karya ilmiah tentu
bersifat keilmuan, yakni rasional, objektif, tidak memihak, dan berbicara apa
adanya. Isi sebuah karya ilmiah harus fokus dan bersifat spesifik pada sebuah
bidang keilmuan secara mendalam. Kedalaman karya tentu sangat disesuaikan
dengan kemampuan sang ilmuwan. Bahasa yang digunakan juga harus bersifat
baku, disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku di Indonesia. Bahasa ilmiah
tidak menggunakan bahasa pergaulan, tetapi harus menggunakan bahasa ilmu
pengetahuan, mengandung hal-hal yang teknis sesuai dengan bidang keilmuannya.
Secara mendasar fungsi karya ilmiah adalah sebagai sarana komunikasi
akademik dalam sebuah bidang kajian keilmuan. Di samping itu terdapat fungsi
dan manfaat yang bersifat pragmatis bagi guru yang menulis karya ilmiah. Hal ini
berkait dengan karir dan kepangkatan guru sebagai tenaga profesional. Menurut
Soehardjono (2006) prestasi kerja guru tersebut, sesuai dengan tupoksinya, berada
dalam bidang kegiatannya: (1) pendidikan, (2) proses pembelajaran, (3)
pengembangan profesi dan (4) penunjang proses pembelajaran.
Dalam hal gagasan, DePorter (1999) menyebutkan bahwa
pengelompokkan (clustering) adalah salah satu cara memilah gagasan-gagasan
dan menuangkannya ke atas kertas secepatnya, tanpa pertimbangan. Hal ini
dilakukan dengan beberapa tahap:
a) Melihat gagasan dan membuat kaitan antara gagasan.
b) Mengembangkan gagasan yang telah dikemukakan.
c) Menelusuri jalan pikiran yang ditempuh otak agar mencapai suatu konsep.
d) Bekerja secara alamiah dengan gagasan-gagasan tanpa penyuntingan atau
pertimbangan.
e) Memvisualisasikan hal-hal khusus dan mengingatnya kembali dengan
mudah.
f) Mengalami desakan kuat untuk menulis.

Dalam rangka menghindari hambatan-hambatan yang dialami saat


menulis, DePorter (1999:187) memberikan kiat-kiat, yakni:

a) pilihlah suatu topik


b) gunakan timer untuk jangka waktu tertentu.
c) Mulailah menulis secara kontinu walaupun apa yang Anda tulis adalah
―Aku tak tahu apa yang harus kutulis‖.
d) Saat timer berjalan, hindari:
1) Pengumpulan gagasan
2) Pangaturan kalimat
3) Pemeriksaan tata bahasa
4) Pengulangan kembali
5) Mencoret atau menghapus sesuatu
e) Teruskan hingga waktu habis dan itulah saatnya berhenti.
1. Manfaat Penulisan Karya Ilmiah
Ada beberapa manfaat dari kegiatan penulisan karya ilmiah bagi
seseorang. Manfaat itu di antaranya;
a) Sarana Pengembangan Pemikiran
Tahap-tahap perkembangan kognitif seseorang membutuhkan dukungan.
Dukungan itu ialah pembiasaan diri untuk menyadari dan membedakan
antara pemikiran atau gagasan dengan segala sesuatu tentang dunia nyata;
tentang peristiwa-peristiwa, tentang berbagai kondisi atau keadaan.
Dengan demikian, diperlukan pula penciptaan simbol-simbol dan
menyadari keberadaannya di samping objek peristiwa itu sendiri. Langkah
itu memungkinkan seseorang untuk melakukan eksplorasi atas
pengalaman-pengalaman nyata yang tidak mungkin ditampung karena
keterbatasan seseorang.
b) Sarana untuk menyimpan, mengorganisasi, dan mensintesiskan gagasan.
Kemampuan pikir untuk mengingat atau menyimpan seluruh pengalaman
sangat terbatas. Di samping itu, pikiran kita juga sangat terbatas
kemampuannya untuk mengorganisasikan seluruh pengalaman itu.
Apalagi, jika kita ingin mensintesiskannya. Dengan menulis, kita akan
lebih mapu berfokus pada pemikiran-pemikiran kita, sekaligus juga
menemukan saling hubungan antarmateri (informasi dan gagasan) yang
kita tulis. Hal itu akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang
berharga untuk dijawab dan membantu kita untuk menemukan cara baru
dalam penyelesaian masalah.
c) Sarana untuk membantu menemukan kesenjangan dalam logika atau
pemahaman; Melalui kegiatan menulis, kita dapat menemukan adanya
kesulitan dan atau kekurangan pengetahuan kita tentang berbagai teori atau
konsep. Dengan ditemukannya kesulitan atau kekurangan itu, kita
dimungkinkan untuk menyadari dan kemudian menemukan alur
pemahaman kita terhadap suatu masalah, konsep, atau teori. Setidaknya,
kita bisa menyadari adanya berbagai isu yang patut dipikirkan dan
mengkajinya melalui pembacaan ulang berbagai teori baru.
d) Sarana untuk membantu mengungkap sikap kita terhadap suatu masalah.
Melalui kegiatan menulis, kita akan memperoleh kejelasan letak atau
kedudukan kita di tengah-tengah permasalahan yang dikaji. Melalui
kegiatan ini kita dimungkinkan untuk melihat secara objektif kelemahan
dan kekuatan dari berbagai perspektif yang berbeda-beda.
e) Sarana untuk berkomunikasi. Melalui kegiatan menulis kita dapat menata
berbagai informasi yang adakalanya bertentangan dan berserakan. Melalui
kegiatan ini kita bisa menyusun konsep, kategori, dan mengorganisasikan
berbagai konsepsi yang simpang-siur menjadi pola-pola yang mudah
dipahami. Kata-kata sebagai simbol dari pikiran atau emosi dapat kita
gunakan untuk menyampaikan pikiran, emosi, dan memotivasi tindakan.
Dengan tulisan, akhirnya kita dapat menyampaikan gagasan, pikiran, dan
perasaan kita kepada orang lain.
B. Hadist dan Ruang Lingkupnya
1. Pegertian Hadits
Kata ‫( الحديث‬bentuk jamak : ‫ حدثان‬,‫ ) أألحاديث‬secara etimologi merupakan

isim mashdar dari kata kerja : ‫ حديثا‬,‫ يحدث‬,‫ حدث‬yang berarti “komunikasi, cerita,
percakapan, baik dalam konteks agama maupun duniawi, atau dalam konteks
sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual”. Penggunaan dalam bentuk kata sifat
(adjective), mengandung arti : (1) berarti ‫“ الجذيذ‬al-Jadid” (sesuatu yang baru)

lawan kata dari ‫ذيم‬XX‫" الق‬al-Qadim" (sesuatu yang lama), (2) berart ‫بر‬XX‫" الخ‬al-
Khabar” (berita), yaitu, sesuatu yang dipercakapkan atau dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain, dan (3) berarti ‫القريب‬al-Qarib" (sesuatu yang dekat).

Dengan demikian pemakaian kata‫حديث‬ di sini seolah-olah dimaksudkan untuk

membedakannya dengan al-Qur’an yang bersifat‫ القديم‬. (Alfiah., dkk. 2016).


Kata hadits mempunyai beberapa arti; yaitu
1. “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal ini
yang dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid
adalah hadis Nabi saw. Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-
Qur’an disebut wahyu yang matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril,
sedangkan hadis adalah wahyu yang ghair matluw sebab tidak dibacakan oleh
malaikat Jibril. Nah, kalau keduanya sama-sama wahyu, maka dikotomi, yang
satu qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.
2. “Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,
3. “Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan
ungkapan (megabarkan kepada kami, memberitahu kepada kami dan
menceritakan kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan
“hadits Rasulullah” yang jamaknya “alhadits”. Allah-pun, memakai kata
hadits dengan arti khabar dalam firman-Nya:

Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya


jika mereka orang benar”.(QS.52:34)

Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi perbedaan


antara pendapat antara ahli hadits dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada yang
memberikan pengertian hadis secara terbatas (sempit) dan ada yang memberikan
pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas diantaranya sebagaimana
yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah:

‫ما اضيف الى النبى صل هللا عليه وسلم من قول او فعل اوتقرير او صفت‬

“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan
atau persetujuan atau sifat”.

Ulama hadis yang lain memberikan pengertian hadis sebagai berikut :

‫اقواله صل هللا علليه وسلم وافعا له واحو له‬

“Segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatan dan segala keadaanya.”

Sedangkan pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh


sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya
meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi
sabda, perbuatan dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis
maqthu’) (Alfiah., dkk. 2016).
Dari pengertian yang diberikan ahli ushul fiqhi atas, hadits berarti
informasi tentang kehidupan Nabi SAW ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan
makan dan pakaian yang tidak ada relevansinya dengan hukum, maka tidak
disebut sebagai hadis.

2. Struktur dan Fungsi Hadis


Menurut Alamsyah (2015) Hadis terdiri dari tiga unsur, yaitu sanad, matan
dan mukharrij.
a) Pengertian sanad. Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu
yang dijadikan sebagai sandaran. Sanad dikatakan demikian karena suatu
hadis bersandar kepadanya. Sedangkan pengertian sanad menurut istilah
ilmu hadis, ada beberapa definisi, di antaranya ialah:
1) As Suyuti dalam Alamsyah (2015) menyebutnya sebagai:
‫ا ِالجبارعن طريق المتن‬
Artinya: Berita tetntang jalan matan.
2) Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah;
‫سلسلة الرخال الموصلة الى المتن‬
Artinya: mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai
kepada matan hadis.
Dalam bidang ilmu hadis, sanad merupakan salah satu ukuran dalam
menimbang sahih atau dha’if suatu hadis. Jika para pembawa hadis tersebut
orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak fasik,
menjaga kehormatan diri, dan mempunyai daya ingat yang kuat, sanadnya
bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber
berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih. Begitupun sebaliknya, andaikan
salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau setiap
para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil),
maka hadis tersebut dha’if sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
b) Pengertian Matan
Kata matan menurut bahasa berarti, (Alamsyah, 2015)
‫ماارتفع وصلب من االرض‬
Artinya: Tanah yang tinggi dan keras
Sedangkan arti matan menurut istilah, ada beberapa pengertian yang
diajukan ulama hadis, diantaranya:
1) Menurut Muhammad At Tahhan
‫ اليه السندمن الكالم‬X‫ماينتهي‬
Artinya: “suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
2) Menurut Ath Tibbi

‫الفا ظ الحديث تتقوم بهامعان‬


Artinya: “lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”.
(Alamsyah, 2015)
Jadi pada dasarnya matan itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis,
baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi.
Posisi matan dalam sebuah hadis sangat penting karena dari matan hadis tersebut
muncul berita Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik, itu tentang syariat
atau pun yang lainnya.
c) Pengertian Mukharrij.
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata
takhrij atau ikhraj yang dalam bahasa Arab artinya menampakkan, mengeluarkan
dan menarik. Sedangkan menurut istilah, mukharrij ialah orang yang
mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Di dalam suatu hadis
biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah
mengeluarkan hadis tersebut. Misalnya mukharrij terakhir yang termaksud dalam
Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim
dan begitu seterusnya. Pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir
hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari yang menunjukkan bahwa beliaulah
yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan tertulis dalam kitabnya, yaitu Shahih
Al- Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan
hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim (atau disepakati oleh
keduanya atau muttafaq ‘alaih).
C. Objek Kajian Hadist
1. Ilmu Rijal al-Hadits
Kata rijal al-hadis terdiri dari dua suku kata dan telah menjadi istilah yang
baku bagi ulama hadis, sehingga kedua kata itu tidak dapat diartikan secara
terpisah. Istilah rijal al-hadis menurut bahasa berarti orang-orang di sekitar hadis.
Jika kata rijal al-hadi ditambah dengan kata ilmu di depannya sehingga menjadi
‘ilmu rijal al-hadis, yang berarti ilmu tentang orang-orang di sekitar hadis.
Sedang ‘ilmu rijal al-hadis secara terminologi adalah ilmu untuk mengetahui para
periwayat hadis dalam kapasitas mereka sebagai periwayat hadis.

Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadis, karena
secara khusus ilmu tersebut mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam Mukhtar (2011) membagi ‘ilmu rijal al-hadis
kepada dua ilmu yang benar, yakni;

a) ‘Ilmu Tarikh al-Ruwah; merupakan suatu ilmu yang membicarakan


tentang keadaan-keadaan periwayat mengenai kelahirannya,
kewafatannya, guru-gurunya, negerinya, tempat kediamannya, perlawatan-
perlawatannya dan segala yang berhubungan dengan urusan hadis.
b) ‘Ilmu jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang kritik yang
berisi celaan dan pujian terhadap para periwayat hadis.

Para ulama sangat mementingkan hal-hal yang demikian itu, karena


mereka ingin mengetahui ke-muttashil-an (ketersambungan) sanad dan ke-
munqathi’-an (keterputusan) sanad, begitu pula kemarfu’- annya (hadis yang
disandarkan kepada Nabi) dan ke-mauquf-annya (hadis yang disandarkan kepada
sahabat Nabi). (Mukhtar, 2011).

2. Ilmu Jarhi Wat Ta’dil


Dari segi bahasa, jarh terambil dari kata dasar ja-ra-ha, artinya melukai.
Sedang menurut pengertian ahli hadits, jarh artinya mencela atau mengkritik
perawi hadits dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun
kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut para ulama hadits adalah memuji
perawi (tazkiyah al-rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan
dhabit. Yang dimaksud dengan adil di sini tentu bukan adil dalam konteks hukum
dan kriminal seperti yang ada dalam literatur bahasa Indonesia sekarang ini, tetapi
lebih merupakan penggambaran atas kualitas moral, spiritual, dan relegiusitas
seorang perawi. Sedangkan istilah dhabit sendiri merupakan gambaran atas
kapasitas intelektual sang perawi yang benar-benar prima, (Imron, 2017).
Ilmu Jarh wa Ta’dil mengupas seluk-beluk Sejarah hidup perawi secara
spesifik, yakni bagaimana kualitas intelektual maupun kualitas moral perawi
(dhabit atau tidak, jujur atau tidak), tsiqqah atau tidak). Singkatnya, Ilmu Jarh wa
Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan kebaikan maupun keburukan orang-orang
yang namanya tercantum dalam sanad sebuah hadis.
a) Hal-hal yang Disyaratkan dan Tidak Disyaratkan dalam Jarh wa Ta’dil
Dalam tradisi ilmu-ilmu hadits, seorang yang hendak melakukan jarh
maupun ta’dil sebelumnya harus memenuhi bebarapa syarat sebagai berikut;
1) Ia harus seorang yang alim, wara’, bertakwa, dan jujur. Ini 1. adalah syarat
yang paling mendasar, sebab orang yang tidak memiliki sifat-sifat
tersebut, bagaimana mungkin ia dapat menetapkan kualitas seorang
perawi.
2) Ia harus mengetahui sebab-sebab seseorang di- jarh maupun di-ta’dil. Al-
Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Yang diterima adalah tazkiyah (rekomendasi)
dari seseorang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang
tidak tahu, agar rekomendasi itu tidak hanya berdasar pada apa yang
diketahui dari luar dan tidak melalui penyelidikan yang mendalam.”
3) Ia harus menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak
meletakkan kalimat di luar maknanya, sehingga terhindar dari melakukan
jarh dengan kalimat yang bukan kalimat jarh.
Masih terkait dengan jarh wa ta’dil, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan bahwa hal-hal tersebut tidak disyaratkan dalam jarh wa ta’dil, yaitu:
1) Tidak disyaratkan harus laki-laki ataupun wanita. Jarh wa ta’dil adalah
area bebas gender.
2) Tidak disyaratkan harus merdeka. Dengan demikian, periwayatan budak
sama nilainya dengan periwayatan non budak, selagi memenuhi syarat-
syarat di atas.
3) Sebagian ulama menyatakan, jarh maupun ta’dil hanya bisa diterima
dengan kesaksian dua orang atau lebih. Namun sebagian yanhg lain
menerima jarh dan ta’dil dari satu orang saja, karena banyaknya jumlah
tidaklah disyaratkan dalam diterima atau ditolaknya sebuah riwayat. Ini
berbeda dengan persaksian, (Imron, 2017).
3. Ilmu ‘Ilal Al- Hadits
Ilmu ‘ilal al-hadīth adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas
tentang kecacatan-kecacatan atau penyakit-penyakit yang tersembunyi yang
terdapat pada hadith. Beberapa pengertian ilmu ‘ilal hadith yang dipaparkan oleh
ulama’ antara lain adalah :
Artinya; “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi dari segi
dia dapat mencacatkan hadith seperti mewashalkan yang munqathi’. merafakan
yang mauquf, memasukkan hadith ke dalam hadith, atau membuat suatu sanad ke
dalam suatu matan atau lain-lain” (Hasby al-Ṣiddiqy dalam Husein, 2017).
Jadi ilmu ‘ilal al-hadīth adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
yang samar dari segi penyebab hadith menjadi cacat, seperti menyambung hadith
yang sebenarnya putus, menjadikan hadith marfū’ padahal mauqūf atau
memasukkan matan hadith kepada hadith yang lain. Beberapa hal yang mendasari
urgennya penelitian terhadap hadith Nabi, di antaranya adalah, pertama; terkait
dengan posisi hadith sebagai sumber hukum Islam kedua. Kedua; terkait dengan
historisitas hadith, dengan alasan bahwa tidak semua hadith telah tertulis di masa
Nabi Saw, sehingga secara faktual diyakini telah terjadi berbagai reduksi dan
pemalsuan hadith.
Selain itu, penelitian hadith penting dilakukan didasarkan pada
pertimbangan teologis, historis-dokumenter, praktis, dan pertimbangan teknis di
mana kedudukannya sebagai salah satu sumber ajaran dalam Islam. Hadith
sebagai sesuatu yang sentralistik, menarik perhatian para tokoh untuk melakukan
studi hadith. Keyakinan mereka yang menjadikan hadith sebagai salah satu
sumber ajaran Islam menuntut mereka untuk mengikuti Nabi dengan segenap
ajaran yang dibawanya dalam bentuk hadith, sehinga muncul keinginan kuat
untuk menjaga hadith dari berbagai bentuk kekeliruan, reduksi dan pemalsuan,
yang pada akhirnya melahirkan seperangkat kaidah dalam ‘ulūm al-hadīth yang
dijadikan sebagai tolok ukur sah tidaknya sebuah hadits.

Kedudukan Ilmu ‘ilal al-hadīth


Ilmu ‘ilal al-hadīth memiliki kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan
cabang ilmu hadith lain. Para ulama’ menganggap penting ilmu ini, karena
berkaitan erat dengan keṣahihan hadith. Mereka mengumpulkan jalan-jalan
hadith, menemui para ulama’ dengan jalan mudhākarah dan mengemukakan
hadith itu kepada huffāẓ, cara ini ditempuh untuk mengetahui mana hadith yang
kuat dan mana yang mu’allal. Hanya orang yang diberikan pemahaman yang
cemerlang dan hafalan yang luas yang sanggup mengetahui ilmu ini. Oleh karena
itu hanya sedikit pula ulama’ yang mendalaminya.
Dalam menerangkan kedudukan ilmu ini, Ibn Ṣalah dalam Husein (2017)
mengatakan; “Sesungguhnya mengetahui ‘ilal al-hadīth adalah suatu ilmu
yang termulia dan terhalus yang dapat mengetahui demikian itu hanyalah
ahli khibrah yang mempunyai pengalaman yang luas dan pemahaman yang
cemerlang”.

Lebih lanjut Ajjāj al-Khatīb berpendapat mengenai pentingnya ilmu ‘ilal


al-hadīth antara lain;
a) Nasehat untuk Agama.
b) Menjaga sunnah Rasulullah Saw.
c) Untuk memisahkan atau membedakan apa yang terdapat di dalam diri
seorang periwayat dari kesalahan, lupa dan keraguan pada dirinya.
d) Untuk membedakan mana hadith yang cacat dan mana hadith yang
terhindar dari cacat.

Ilmu ‘‘ilal al-hadīth diaplikasikan dengan mengumpulkan seluruh sanad


yang berkaitan dengan hadith yang diteliti, meneliti perbedaan-perbedaan
periwayat, membandingkan para periwayat dari segi kekuatan dan ketepatan
hafalan mereka, lalu menyingkap kesalahan yang terdapat padanya, dan
memberikan penilaian terhadap riwayat yang cacat tersebut. (Husein, 2017).
4. Ilmu Garīb Al-Ḥadīṡ
Kata garīb secara bahasa bisa diartikan dengan asing atau tidak dikenal.
Sedangkan kata garīb al-ḥadīṡ adalah hadis yang mengandung kata-kata yang
sulit dipahami. Sebenarnya garīb dalam hadis bisa ditinjau dari dua persepektif:
Pertama, berkaitan dengan sanad yang dikenal dengan hadis garīb dan kedua,
berkaitan dengan matan. Yang berkaitan dengan matan inilah yang akan
dijelaskan dalam artikel ini. Definisi ‘Ilm Garīb al-Ḥadīṡ yaitu ilmu yang
berkaitan dengan matan hadis menurut Dr. Muḥammad ‘Ajjāj al-Khaṭīb adalah:
‫هلذاالعلم يبين ما يحفى معناه من ألفا ظ الحديث النبوي‬
Artinya: Ilmu ini (‘Ilm Garīb al-Ḥadīṡ) menjelaskan kata-kata hadis Nabi
yang kurang jelas maknanya.
Nūr al-Dīn ‘Itr mendefinisikan ilmu garīb hadis yaitu lafal-lafal yang
terdapat dalam matan hadis yang sulit dikenal dan dipahami maknanya. Begitu
juga dengan Abū Zahrah dalam karyanya al-Ḥadīṡ wa al-Muḥaddiṡūn
mendefinisi-kan garīb hadis sebagai apa-apa yang terdapat dalam hadis, kalimat-
kalimat samar yang jauh dari pemahamannya karena sedikit penggunaannya
(Zahra dalam Ach Baiquni, 2018)
Dari penjelasan definisi di atas nyatalah bahwa yang menjadi objek kajian
ilmu ini adalah kata-kata yang sulit (musykil) dan susunan kalimat yang susah
dipahami maksudnya. Sehingga, ilmu ini menjadi disiplin ilmu yang sangat
diperlukan terutama oleh para perawi atau penerima hadis yang tidak bisa
memahami apa yang disampaikan rawi sebelumnya.

Teori Garīb al-Ḥadiṡ sebagai Perangkat Memahami Hadis


Ada beberapa pendekatan untuk menafsiri kata-kata yang garīb atau asing
yang ditawarkan oleh para pakar ‘ilm garīb al-ḥadīṡ di antaranya: (a) ‘Abd Salam
al-Salām Allus dalam kitab Jāmi‘ fī Garīb al-Ḥadīṡ. Beliau menawarkan beberapa
pendekatan yaitu: Pendekatan Alquran, pendekatan hadis lain, pendekatan
pendapat para ahli bahasa melalui syi‘irnya. (b) Abū ‘Ubayd al-Harawī dalam
Kitab Garīb al-Ḥadīṡ melakukan penafsiran melalui pendekatan Alquran,
pendekatan hadis lain, pendekatan pendapat ahli bahasa dan pendakatan melalui
pendapatnya sendiri. (c) Al-Hitabi dalam kitab Garīb al-Ḥadīṡ dalam menafsiri
kata yang asing mengunakan pendekatan Alquran, pendekatan hadis lain,
pendekatan pendapat ahli bahasa dan pendapat ulama pendahulunya. (d) al-Harabī
menawarkan pendekatan yang sama dengan Al-Khaṭṭābī (e) Ibnu Ḥajar
al-‘Asqalānī dalam Tafsīr al-Garīb al-Ḥadīṡ hanya menawarkan satu penafsiran
yaitu melalui pendapatnya. (f) Sedangkan dalam Kitab Minhāj Abū Ubayd fī
Garīb al-Ḥadīṡ dalam menafsiri kata yang asing menawarkan pendekatan
Alquran, pendekatan hadis lain, pendekatan pendapat ahli bahasa dan pendekatan
sejarah, (Kasit al-Zaydī dalam Ach Baiquni, 2018)

5. Ilmu Nasikh Wa al-Mansukh


Secara etimologis, kata naskh yang bentuk isim failnya “nasikh” dan isim
maf’ulnya “mansukh”, mempunyai arti yang beragam, antara lain :
menghilangkan (al-Izalah), menggantikan (at-Tabdil), at-tahwil (peralihan), danal-
naql“ Pemindahan. Jadi “nasikh” adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus,
memindahkan dan mengubah, sedang “mansukh” adalah sesuatu yang dibatalkan.
dihapus. dipindahkan. dirubah dan lain sebagainya (Ulama’i’, 2016).
Sedangkan secara Etimologi, Nasikh adalah mengangkat hukum syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian dengan menghilangkan ‘amal pada
hukum-hukumnya atau menetapkannya. Dalam terminologi hukum Islam (fiqih)
hukum yang dibatalkan namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang
kemudian (menghapus)disebut nasikh.
An Naskh menurut bahasa Arab mengarah kepada dua arti: Pertama
memiliki arti “Izaalatu syain wa i’daamuhu” yaitu menghilangkan sesuatu dan
meniadakannya atas dasar Allah SWT: (QS. Al-Hajj: 52 )
‫فينسخ هللا مايلقى الشيطن ثم يكم هللا ايته‬.
Lafadz yansakhu dalam ayat diatas bermakna menghilangkan atau meniadakan
bisikan-bisikan syaithan dan penyesatannya.
Kedua memiliki arti “Naqlu al syay’i wa tahwiluhu ma’a baqaaihi fi
nafsihi” yaitu menyalin dan memindahkan sesuatu dengan tetap menjaga perkara
yang disalin tersebut. Makna ini diambil dari penuturan ayat al Qur’an: (Qs. Al-
Jaatsiyah: 29)
‫انا كنا نستنسخ ما كنتم تهتلون‬.
Yaitu bermakna memindahkan amal-amal kalian ke dalam shuhuf (lembaran-
lembaran) (Malik, 2016).
Adapun al Zarkasyi dalam Malik (2016) berpendapat, An Naskh bisa
diartikan ke dalam empat makna, yatu bermakna al Izalah
(menghilangkan/menghapus) sesuai ayat Qs. Al Hajj: 52, at Tabdiil (mengganti)
seperti dalam firman Allah SWT; “wa idza baddalnaa aayatan makaana aayatin”
Qs. An Nahl: 101, bisa berarti at Tahwil (merubah), dan juga berarti an Naql
(memindah).
Sedangkan secara istilah, Ushuliyyun dan Fuqoha mendefinisikan an
Naskh dengan arti “rof’u as syaari’ hukman syar’iyyan bi dalilin syar’iyyin
mutaraakhin ‘anhu” yaitu pengangkatan (penghapusan) oleh as Syaari’ (Allah
Swt) terhadap hukum syara’ (yang lampau) dengan dalil syara’ yang terbaru.
Yang dimaksud dengan pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan
kontinuitas pengamalan hukum tersebut dengan mengamalkan hukum yang
ditetapkan terakhir, (Musthofa Dib al Bugha dalam Malik, 2016).
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa terjadinya naskh harus
memenuhi beberapa syarat:
a) Hukum yang di-naskh harus bersifat hukum syar’i
b) Dalil yang berfungsi menghapus hukum berupa khitab syar’i (wahyu ilahi)
yang muncul lebih akhir dari pada khitab yang di-naskh hukumnya.
c) Khitab yang dihapus hukumnya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Apabila
dibatasi waktu maka hukum tersebut terhapus dengan habis masa waktunya
dan tidak dianggap sebagai naskh.
A. Pedoman Mengetahui an Naskh
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh para ulama memberi pedoman
dengan mengidentifikasi beberapa cara berikut:
a. Ada keterangan tegas atau pentransimisian yang jelas dari Nabi S.A.W
atau sahabat seperti dalam redaksi hadits: (kuntu nahaitukum ‘an ziyaratil
qubuur alaa fazuuruuhaa), dan seperti ucapan Anas bin Malik dalam kisah
Ashab Bi’r Ma’unah (nazala fiihim qur’an qara’naahu hatta rufi’a).
b. Konsensus (ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan histori. Histori ayat dapat diketahui dari keterangan sahabat,
yang bukan ijtihad sahabat itu sendiri. Misalkan sahabat itu mengatakan:
“Ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian, sedangkan ayat ini
turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian, jadi ayat ini lebih kemudian
dari ayat itu”. (osihon Anwar dalam Malik, 2016)
Dalam menentukan Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad
para mujtahid tanpa penukilan yang sahih, tidak juga pendapat para hali tafsir,
atau karna ayat-ayat yang kontradiktif secara lahiriah, atau terlambatnya
keislaman salah seseorang dari dua periwayat. yang dipegang dalam masalah ini
adalah penukilan yang meyakinkan dan sejarah. (Malik, 2016).
B. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Masalah yang penting disoroti adalah sejauh manakah jangkauan nasakh
itu ? Apakah semua ketentuan hukum di dalam syariat ada kemungkinan
terjangkau nasakh ? Dalam menjawab hal ini, Abu Anwar memberikan batasan
beberapa syarat yang diperlukan dalam nasakh, yaitu :
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan. Nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah, akidah,
dan juga janji dan ancaman Allah.
b. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah kitab
syar`i yang datang kemudian.
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu
tertentu. Sebab, jika demikian hukum akan berakhir dengan waktu
tersebut. (anwar dalam Ulama’i’, 2016)
6. Ilmu Asbab al-Wurud
Menurut ahli bahasa, kata asbab al-wurud adalah syibh al-jumlah yang
berupa susunan mudaf-mudaf ilaih (al-idafah) dengan asbab sebagai mudaf dan
al-wurud sebagai mudaf ilaih. Kata asbab adalah bentuk plural dari sabab yang
secara bahasa artinya al-hablu. Di samping itu, ada juga yang mengartikan “segala
sesuatu yang dapat menghubungkan (penyebab) pada sesuatu yang lain”, atau
dalam pengertian umum berarti “segala sesuatu yang menjadi perantara bagi
sesuatu yang diharapkan”. Sedangkan al-wurud adalah bentuk singular dari al-
mawarid. Ia adalah masdar dari warada-yaridu-wurudan yang berarti tempat
minum (al-manahil) atau air yang datang/sampai (Muin, 2013).
Adapun menurut al-Suyuti, secara terminologi asbab al-wurud diartikan
sebagai sesuatu yang menjadi metode (tariq) untuk menentukan maksud suatu
hadis yang bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk
menentukan ada tidaknya nasakh (pembatalan) dalam suatu hadis. Jika pengertian
yang dikemukakan al-Suyuti ini lebih mengacu pada arti asbab al-wurud secara
fungsional, yaitu untuk menentukan takhsis dari yang umum, membatasi yang
mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya nasikh-mansukh dalam hadis dan
sebagainya, maka definisi yang kiranya lebih tepat adalah definisi yang
dikemukakan oleh M. Hasbi ash-Shiddieqy dalam Muin (2013). Menurutnya,
asbab al-wurud adalah suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi saw
menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi saw menuturkannya.
Di samping itu, ada juga ulama yang memberikan definisi asbab al-wurud
dengan mengiaskannya pada definisi asbab al-nuzul. Jika asbab al-nuzul adalah
sesuatu yang terjadi pada waktu ayat/ayat-ayat itu diturunkan, maka asbab al-
wurud adalah sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-
pertanyaan) yang terjadi pada waktu hadis itu disampaikan oleh Nabi Saw.
(Jalaluddin al-Suyuti dalam Muin, 2013).
Berdasarkan ketiga definisi di atas, maka dapat ditarik benang merah
bahwa asbab al-wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa
atau pertanyaan-pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis itu
disampaikan oleh Nabi Saw. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk
menentukan apakah hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad,
nasakh atau mansukh, dan sebagainya.

a. Urgensi dan Signifikansi Asbab al-Wurud


Dalam diskursus hadis, pengetahuan tentang asbab al-wurud dinilai sangat
urgen karena akan membantu dalam memahami suatu hadis. Dalam hal ini
(urgensi dan signifikansi asbab al-wurud), al-Suyuti memetakannya (minimal) ke
dalam 6 fungsi, yaitu:
1) Menentukan adanya takhsis dari hadis yang bersifat ‘am
2) Membatasi pengertian hadis yang masih Mutlaq
3) Men-tafsil hadis yang masih bersifat global
4) Menentukan ada atau tidaknya nasakh-mansukh dalam suatu hadis
5) Menjelaskan sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum.
6) Menjelaskan maksud dari suatu hadis yang musykil. (Jalaluddin al-Suyuti,
dalam Faizin, 2016)

7. Ilmu Mubhamat
Kata al-Mubhamat menurut bahasa, berasal dari kata al-ibham yang
menunjuk kepada makna tersembunyi (‫ ) ءافخال‬dan tertutup (‫) قالغتسإلا‬. Misalnya
kalimat tariq mubham yaitu jalan tersembunyi dan tidak jelas. Kata al-Mubhamat
berasal juga dari kata abhama yang bermakna samar-samar. Artinya suatu lafaz
yang maknanya tidak jelas, sehingga untuk memahaminya diperlukan dalil lain.
Adapun menurut istilah memiliki makna yaitu semua lafaz yang termaktub dalam
Al-Qur’an tanpa menyebutkannya secara spesifik atau sesuatu yang tertentu yang
dikenal, baik dari manusia maupun selainnya. Ilmu tentang mubhamat merupakan
salah satu disiplin ilmu Al-Qur’an yang hanya bersumber pada penukilan
(periwayatan), tidak pada yang lain. (Usman al-Sabt dalam Hasan, 2020).

Al-Mubhamat adalah
‫ السند‬X‫علم يعرف به المبهر الذي وقع فى المتن اوفى‬

Artinya: “ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam
matan atau dalam sanad”. (Agus, 2009)
Sesuai dengan tempatnya, mubham dapat dibagi menjadi dua: Mubham
(penyamaran nama) dalam sanad, dan Mubham (penyamaran nama) dalam matan.
Ibmu katsir berkata, “pembahasan yang peling penting adalah pembahasan
yang dapat mengungkap nama-nama yang mubham dalam sanad, seperti apabila
disebutkan dalam sebuah sanad: ‘an Fulan, bin Fulan, ‘an ‘ammihi, atau ‘an
ummihi, kemudian pada sanad lain disebutkan nama-nama yang samar itu. Maka
apabila ternyata orang yang bersangkutan itu tsiqot atau dhoif atau harus dikaji
lebih lanjut, maka penelitian yang seperti ini adalah yang paling bermanfaat dalam
bidangnya”.
Di antara faedah terungkapnya nama yang mubham dalam martan adalah
agar dapat diketahui dengan pasti siapa rawi yang menyandang sifat keutamaan
atau sebaliknya; atau mengetahui kemungkinan suatau hadis wurud lantaran
sebabnya, dan ada hadis lain yang menentang. Dengan demikian, bisa diketahui
sejarah hadis tersebut jika telah dikatahui dengan pasti, sehingga jelas waktu
masuk Islamnya, mana yang memansukh dan mana yang di-mansukh.
Berikut ini contoh dari mubhamat. Abu dawud meriwayatkan. Katanya:
menceritakan kepada kami musadad, katanya: menceritakan kepada kami Abu
‘Awanah dari manshur dari Rab’iy bin Hirasy dari imra’atihi (istrinya) dari ukhti
(saudara perempuan) Hudzaifah, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:

‫ اماانه ليس منكم امرأةتحلي ذهبا‬.‫ اماكن فى الفضة ماتحلين به‬,‫يا معشرالنسآء‬
‫تظهره االعذبت به‬.

Artinya:“Wahai kaum wanita. Bukankah cukup bagi kalian menggunakan


perak sebagai perhiasannya. Sungguh tiada seorang perempuan dari kalian yang
memakai perhiasan emas untuk dipertontonkan kecuali ia akan disiksa
karenanya.”
Saudara perempuan Hudzaifah bin al-Yaman yang dimaksud diatas
bernama Fathimah. Sebagian Khaulah. Istri Rab’i tidak diketahui namanya. Hal
ini menjadikan hadis di atas dhaif.
Hukum Hadis Mubham
a. Hadits mubham yang terdapat pada sanad ialah termasuk Hadits Dha’if,
karena itu tidak maqbul. Dasar penolakan hadits mubham pada sanad ini,
ialah ketiadaan dikenal nama dan pribadi si-rawy itu sekaligus tidak dapat
dietahui identitasnya, apakah ia seorang yang dipercaya atau bukan.
Biarpun hadits mubham pada sanad itu mengguankan lafadz penyampaian
berita yang daat difahamkan adanya arti kepercayaan, seperti lafadh
haddatsana-tsiqatun atau haddatsana’adlun (telah bercerita kepadaku
seorang yang dipercaya atau adil), namun menurut pendapat yang lebih
kuat, belum juga diterima sebagai hadits yang maqbul.
b. Berlainan halnya dengan hadits mubham yang terdapat pada matan, tidak
ditolak secara mutlak. Hadits itu masih dapat diterima sebagi hujjah,
asalkan memenuhi syarat penerimaan dapat sauatu haditshadits. Sebab
yang tidak dijelaskan namanya dalam matan hadits tidak dijadikan
sandaran untuk menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadits, tetapi ia
hanya menjadi objek dalam riwayat, bukan subjek yang meriwayatkan.
c. Hukum kedua hadits majhul dan ma’tsur pada prinsipnya adalah dha’if.
Tidak dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi kalau hadits tersebut mempunyai
muttabi’ atau syahid yang tidak sedikit jumlahnya, maka naiklah ia
menjadi hadits hasan lighairih. (Ismail, 2010)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits memiliki kedudukan yang tinggi dalam penetapan hukum Islam.


Tentunya setelah Al-Qur’an yang merupakan sumber dari segala hukum Islam.
Demikian pentingnya posisi hadits dalam agama Islam, maka hadits senantiasa
berkembang dalam arti penelitian terhadap keabsahan materi hadits itu sendiri
maupun dari keterpercayaan sanad-sanadnya. Hadits juga dikatakan sebagai
penjelas dari ayat-ayat Al-qur’an, terutama terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Di
samping juga memberi kelengkapan dasar hukum Islam yang belum atau tidak
ternaktub dalam Al-Qur’an.
Ilmu hadis dibangun sebagai lanjutan usaha para sahabat dalam
memurnikan hadis Nabi. Tradisi para sahabat dilanjutkan para tabi‟in, diteruskan
tabi‟ al-tabi‟In, Dan Puncak Dari Usaha Ini Adalah Dirintisnya Bangunan
Disiplin Ilmu Hadis Secara Mandiri, Termasuk Di Dalamnya Adalah Ilmu Asbab
Al-Wurud, Ilmu Mubhamat, Ilmu Rijal Al-Hadits, Ilmu Jarhi Wat Ta’dil, Ilmu
‘Ilal Al- Hadits, Ilmu Garīb Al-Ḥadīṡ.
DAFTAR PUSTAKA

Ach Baiquni. 2018. Kontribusi Ilmu Garīb Al-Ḥadīṡ Dalam Memahami Hadis. Al-
Bukhārī: Jurnal Ilmu Hadis. Vol. 1, No. 1
Agus, Solahudin. 2009. Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia
Alfiah., dkk. 2016. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Kreasi Edukasi.
Alamsyah. 2015. Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum al-Hadis). Lampung: Anugrah Utama
Raharja (AURA)
Faizin. 2016. Urgensi Asbâb Al-Wurûd Dalam Diskursus Ilmu Hadits. At-Turāṡ.
Vol. 3 N0. 2
Hasan, Salim. 2020. Mubhamat Al-Qur’an: Telaah Konsep Dan Kaidah Mubham
Dalam Al-Qur’an. Al-Tafaqquh: Journal Of Islamic Law. Volume 1
Nomor 1
Husein., T.R. 2017. Urgensi Ilmu ‘Ilal Al-Hadīth. UNIVEASUM. Vol. 11 No. 1
Imron, Ali. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’Dil. MUKADDIMAH: Jurnal Studi
Islam. Volume 2, No. 2,
Ismail Nurdien ZA. 2010. ”Hadis Mubham.
https://www.blogger.com/profile/12829719490844074291, diakses pada 2020-25-12.
Malik, R.A. 2016. Abrogasi dalam Alquran: Studi Nasikh dan Mansukh. Jurnal
Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani. Vol. 12, No. 1
Muin, Munawir. 2013. Pemahaman Komprehensif Hadis Melalui Asbab Al-
Wurud. ADDIN. Vol. 7, No. 2
Mukhtar. Mukhlis. 2011. Penelitian Rijal Al-Hadis Sebagai Kegiatan Ijtihad.
Jurnal Hukum Diktum. Volume 9, Nomor 2,
Suhardjono. 2006. Pengembangan Profesi Guru dan Karya Tulis Ilmiah. Makalah
disajikan pada Temu Konsultasi dalam Rangka Koordinasi dan Pembinaan
Kepegawaian Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen
Pendidikan Nasional, Biro Kepegawaian.

Anda mungkin juga menyukai