Anda di halaman 1dari 64

KOMPETISI PENELITIAN DOSEN

LAPORAN PENELITIAN

INTEGRASI ANTAR KELOMPOK ETNIS


Penelitian Terhadap orang Jawa, Minang, dan Batak
di Jogja, Tanah Karo dan Padang

Oleh
Drs. Mahli Zainuddin, M.Si.

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Desember 2004 LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN
AKHIR
HASIL PENELITIAN KOMPETISI PENELITIAN DOSEN (KPD)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Judul Penelitian : INTEGRASI ANTAR KELOMPOK ETNIS
Penelitian Terhadap orang Jawa, Minang, dan
Batak di Jogja, Tanah Karo dan Padang
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Peneliti
a. Nama Lengkap : Drs. Mahli Zainuddin, M.Si.
b. Jenis Kelamin : L
c. Pangkat/Golongan/NIP : III/d/113014
d. Jabatang Fungsional : Lektor
e. Fakultas/Jurusan : Fakultas Agama Islam/KPI
f. Bidang Ilmu : Sosiologi Agama
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Jumlah Tim Peneliti : 1 orang
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
4. Lokasi Penelitian : Jogja, Padang, Tanah Karo
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
5. Jangka Waktu Penelitian : 6 (enam bulan)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
6. Biaya yang Diperlukan : Rp. 10.000.000,-
(Sepuluh Juta Rupiah)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yogyakarta, 25 Desember 2004

Mengetahui,
Dekan Fakultas Agama Islam UMY, Ketua Peneliti,

DRS. ABD MADJID, M.AG. DRS. MAHLI ZAINUDDIN, M.Si.


NIK. 113020 NIK. 114014

Menyetujui,
Ketua LP3 UMY

DRS. H. SAID TUHULELEY


NIK. 113012

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, setelah mengalami beberapa kali keterlambatan

penelitian dengan judul INTEGRASI ANTAR KELOMPOK ETNIS (Penelitian

Terhadap orang Jawa, Minang, dan Batak di Jogja, Tanah Karo dan Padang)

ini akhirnya dapat diselesaikan.

Penelitian ini terselenggara atas bantuan dana hibah dari program

Kompetisi Penelitian Dosen (KPD) yang diluncurkan oleh Lembaga

Penelitian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Oleh karena itu dengan

ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada sponsor tersebut. Dalam

pelaksanaan penelitian ini, mulai persiapan, pengumpulan dan analisa data,

sampai pada penulisan laporan, peneliti banyak dibantu berbagai pihak

secara langsung maupun tidak. Kepada mereka yang tidak bisa peneliti

sebutkan satu persatu disini itu peneliti mengucapkan terima kasih. Peneliti

berdoa agar bantuan mereka dicatat sebagai amal saleh oleh Allah SWT.

Akhirnya, betapapun kecilnya, semoga penelitian ini bisa berguna

bagi peneliti sendiri dan bagi semua pihak yang selalu mendambakan dan

tidak pernah jera mengusahakan terbentuknya masyarakat yang rukun

karena terintegrasi dengan baik, dimanapun.

Yogyakarta, 25 Desember 2004

Peneliti,

Drs. Mahli Zainuddin, M.Si.


RINGKASAN DAN SUMMARY

Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang sifatnya


multidimensional. Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat,
kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana juga bisa melahirkan konflik.
Konflik-konflik yang sudah terjadi memakan banyak korban, ada yang bisa
ditemukan resolusinya dan ada yang sampai sekarang masih berlangsung. Secara
umum konflik yang terjadi melibatkan etnis Dayak-Melayu-Madura (di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), Maluku-Makasar-Bugis-Buton (di
Maluku dan Maluku Utara), belum terlihat konflik besar antar etnis di luar etnis
tersebut. Antar etnis Jawa, Batak dan Minang, misalnya, yang merupakan tiga
etnik besar di Indonesia, lebih terlihat nuansa integrasi, di banding nuansa
konflik. Untuk memahami kenyataan interaksi sosial, di samping melihat konflik
juga harus dilihat aspek-aspek integratif dalam hubungan antar kelompok.
Ruang lingkup penelitian ini adalah integrasi sosial antar etnis Jawa-
Minang-Batak di Jogja, Padang, dan Tanah Karo. Penelitian dilakukan dengan
pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kualitas integrasi
antar etnis Jawa, Minang dan Batak di Jogja, Padang, dan Tanah Karo adalah
tinggi (73,3%). Perbedaan kepemelukan agama, status sosial ekonomi, tingkat
pendidikan dan etnisitas tidak memiliki hubungan signifikan dengan kualitas
integrasi. Variabel yang memiliki derajat hubungan yang signifikan dengan
kualitas integrasi adalah posisi minoritas-mayoritas kelompok etnis dalam
interaksi mereka dengan kelompok etnis lain.
Oleh karena itu dalam rangka menciptakan integrasi sosial yang lebih
baik di berbagai wilayah lain, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap
variabel mayoritas-minoritas ini. Penelitian yang dimaksud hendaknya dilakukan
dengan pendekatan kualitatif, dalam rangka memahami dinamika sosiologis yang
lebih mendalam tentang integrasi sosial antara kelompok minoritas dengan
kelompok mayoritas itu.
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ii
RINGKASAN DAN SUMMARY iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v-vi

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan Penelitian 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Integrasi Sosial 9
B. Etnisitas 19
C. Hubungan Antar Kelompok 26
D. Kelompok Mayoritas dan Kelompok Minoritas 33
E. Penelitian Terdahulu 35
F. Hipotesa Penelitian 39

BAB III. METODE PENELITIAN


A. Variabel Penelitian 41
B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian 41
C. Subyek Penelitian 44
D. Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur 45
E. Metode Analisa Data 50

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Data 51
B. Hasil Pengujian Hipotesis 56

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan 62
B. Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN 68
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Adalah kenyataan bahwa Indonesia merupakan masyarakat

majemuk yang sifatnya multidimensional. Hal itu antara lain ditimbulkan

oleh perbedaan suku, tingkat sosial, pengelompokan organisasi politik,

dan agama. Dari aspek kesukuan, pemerintah Indonesia membagi suku

bangsa Indonesia menjadi tiga golongan yaitu: (1) suku bangsa yang

memiliki daerah asal dalam wilayah Indonesia, (2) golongan keturunan

asing yang tidak memiliki wilayah asal dalam wilayah Indonesia (Cina,

Arab atau India) atau karena keturunan campuran (Indo Eropa) dan (3)

masyarakat terasing yaitu kelompok masyarakat yang dianggap sebagai

penduduk yang masih hidup dalam tahap kebudayaan sederhana dan

biasanya masih tinggal di daerah dalam lingkungan yang terisolasi. Dari

sisi agama, walaupun negara Indonesia mempunyai sekitar 90% penduduk

yang beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Lima agama

dunia yang memuja satu Tuhan secara resmi diakui, walaupun masih

banyak religi lainnya (terutama dalam masyarakat terasing, yang diterima

dan disebut kepercayaan tradisional) (Koentjaraningrat, 1993: 12-9).

Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat,

kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana dia juga bisa

melahirkan konflik. Pada tahun 1995 Karel C. Steenbrink dengan optimis

menulis bahwa Indonesia selama masa 45 tahun terakhir memberikan


gambaran kerukunan agama yang hampir-hampir bebas dari berbagai

konflik. Itu merupakan prestasi yang sangat hebat- merupakan

perkembangan yang dianggap luar biasa di tempat lain (Steenbrink, 1995:

217). Dalam konteks ini dapat difahami pernyataan Geertz bahwa

kesadaran akan kesatuan kebudayaan antara lain dalam bentuk

nasionalisme cenderung melindungi masyarakat dari perpecahan

(Robertson, 1995: 220).

Tetapi dewasa ini hanya ada sedikit masyarakat multikultural yang

tidak memiliki sejarah permusuhan antar etnik yang membentuk mereka

(Giddens, 1992: 162). Bangsa Indonesia, misalnya, pada paruh kedua

dekade terakhir abad ke-20, menghadapi berbagai konflik: baik yang

bernuansa kesukuan, kedaerahan, keagamaan, maupun antar kelompok

lainnya. Di antara konflik itu adalah konflik di Timor-timor (1995),

Situbondo (1996), Tasikmalaya (1997) Surabaya, Ambon, Ujung Pandang,

Pekalongan, Pasuruan (Thayib, 1997: 207-8), Kupang (1998), Maluku dan

Maluku Utara (1999- ) Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (2000- ) .

Konflik-konflik yang memakan banyak korban harta maupun jiwa

itu ada yang bisa ditemukan resolusinya dan ada yang sampai sekarang

masih berlangsung. Konflik antar komunitas Islam dan Kristen di

Situbondo, misalnya, bisa diselesaikan. (Lihat Retnowati, 2000). Sebaliknya

adalah konflik Ambon. Konflik Ambon telah berlangsung sejak 19 Januari

1999 dan mengakibatkan tewasnya ribuan jiwa serta ratusan ribu

penduduk mengungsi (TEMPO, 23 Januari 2000). Walau telah

diberlakukan keadaan darurat sipil, sampai saat ini konflik antar umat
beragama di Ambon pada khususnya maupun kepulauan Maluku pada

umumnya belum juga berakhir. Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya

adalah tragedi kemanusiaan sekaligus tragedi bangsa yang memilukan.

Sebelumnya tidak terbayangkan bisa terjadi bentrokan massal antara dua

kelompok pemeluk agama berbeda di Indonesia sampai berdarah-darah

(Ecip, 1999: 5). Sampai Desember 2000, masyarakat Ambon belum juga

masuk masa post-konflik menuju damai yang dalam situasi demikian

konflik kekerasan masih sangat mudah terjadi (Trijono, 2001: 181-2).

Setelah beberapa saat konflik antar etnis Madura dengan Dayak

dan Melayu reda di Sambas Kalimantan Barat dan sekitarnya, meledak

pula konflik dengan skala yang lebih hebat di Sampit dan sekitarnya,

Kalimantan Tengah. Kerusuhan yang sampai saat masih sulit menemukan

resolusi konfliknya itu telah mengakibatkan 469 orang tewas dan puluhan

ribu warga mengungsi (ADIL, 19 Maret 2001, hal. 17). Dengan demikian,

kerusuhan Sampit antara etnis Dayak dan Madura ini lebih parah dari

kerusuhan Sambas yang ‘hanya’ menewaskan 50 orang itu (REPUBLIKA,

23 Februari, 2001).

Kalau konflik-konflik yang terjadi di atas dilihat dalam interaksi

antar etnis, maka secara umum terlihat bahwa konflik yang terjadi

melibatkan etnis Dayak-Melayu-Madura (di Kalimantan Barat dan

Kalimantan Tengah), Maluku-Makasar-Bugis-Buton (di Maluku dan

Maluku Utara). Dengan kata lain, secara relatif, dalam dekade ini belum

terlihat konflik yang cukup besar antar etnis di luar etnis tersebut. Antar

etnis Jawa, Batak dan Minang, misalnya, yang merupakan tiga etnik yang
cukup besar di Indonesia, lebih terlihat nuansa integrasi, di banding

nuansa konflik.

Konflik dan integrasi dalam masyarakat merupakan suatu

keniscayaan. Dalam kehidupan nyata konflik bisa saja hidup bersebelahan

dengan integrasi, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan

sebenarnya bisa ditata kembali (Usman, 1996: 80). Oleh karena itu Untuk

memahami kenyataan interaksi sosial, di samping melihat konflik yang

terjadi juga harus dilihat aspek-aspek integratif dalam hubungan antar

kelompok masyarakat.

Dengan perspektif seperti itu, dalam rangka memahami interaksi

antar kelompok masyarakat Indonesia yang majemuk itu, melihat

bagaimana integrasi sosial terjalin antara etnis yang tidak bertikai adalah

sesuatu yang menarik untuk dilakukan. Apalagi etnis-etnis itu adalah etnis

Jawa, Batak dan Minang, yang secara historis merupakan etnis-etnis besar

di Indonesia.

B. Permasalahan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah hubungan antar kelompok etnis. Ras

maupun etnik merupakan kenyataan sosial yang penting karena orang

menilai penting akan keberadaan kelompok yang dianggap sebagai ras

atau etniknya.

Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik fisik

yang penting, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan

tidak fungsional bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Faktor


kebudayaanlah yang paling banyak berpengaruh terhadap lahirnya

perbedaan di kalangan kelompok etnik, bukannya faktor keturunan.

Dalam penelitian ini, dengan mengacu kepada Koentjaraningrat

(1983) yang mengusulkan isitilah kelompok etnik diganti dengan

golongan etnik atau suku bangsa, maka kelompok etnik yang

dimaksudkan adalah suku bangsa. Jadi fokus penelitian ini adalah

hubungan sosial berupa integrasi antar suku bangsa, yaitu suku Jawa,

Batak dan Minang.

Ruang lingkup penelitian adalah integrasi sosial antar etnis Jawa-

Batak-Minang di Yogyakarta (wilayah dimana etnis Jawa sebagai

mayoritas, etnis Batak dan Minang sebagai minoritas), Tanah Karo

(wilayah dimana etnis Batak sebagai mayoritas, etnis Jawa dan Minang

sebagai minoritas), dan Padang (wilayah dimana etnis Minang sebagai

mayoritas, etnis Jawa dan Batak sebagai minoritas). Dari segi agama,

pemilahan subyek dalam tiga etnis juga berangkat dari asumsi bahwa

orang Minang-Padang identik dengan Islam, orang Batak-Tanah Karo

mayoritas beragama Kristen dan orang Jawa-Yogyakarta tidak lebih

mengidentikkan diri kepada agama tertentu, dibanding dua kelompok

etnis lainnya.

Dengan latar belakang seperti itu, penelitian ini akan mencoba

menggali data untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa

kelompok etnis Jawa-Batak-Minang saling berinteraksi di Yogyakarta, Tanah Karo

dan Padang?
Secara lebih spesifik, dengan mengacu pada research questions

tersebut maka penelitian ini akan berusaha memperoleh penjelasan

tentang

1. bagaimanakah kualitas integrasi antar kelompok etnis Jawa-Batak-

Minang di Yogyakarta, Tanah Karo dan Padang?

2. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan kepemelukan

agama?

3. adakah perbedaan kualitas integrasi antara wilayah suatu kelompok

etnis sebagai mayoritas dengan wilayah mereka sebagai minoritas?

4. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan tingkat

pendidik- an?

5. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan status sosial

ekonomi?

6. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan etnisitas?

D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Penelitian mengenai integrasi antar kelompok etnis ini bertujuan

1. secara kuantitatif, memberikan informasi empiris tentang kualitas

integrasi yang telah terjalin antar kelompok etnis Jawa-Batak-Minang di

Yogyakarta, Tanah Karo dan Padang, dalam kaitannya dengan faktor

kepemelukan agama, mayoritas-minoritas, tingkat pendidikan, status

sosial ekonomi dan etnisitas.

2. secara kualitatif, ingin mengkaji dinamika sosiologis dari integrasi antar

kelompok etnis itu dengan melihat bagaimana proses integrasi terjalin ,


hal-hal yang menjadi saluran bagi jalinan integrasi itu dan hal-hal

spesifik lainnya yang tidak bisa diungkapkan dengan instrumen-

instrumen penelitian kuantitatif.

Sedangkan kontribusi yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. berdasarkan informasi empiris yang bisa diperoleh dalam penelitian ini

diharapkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap persoalan

hubungan antar kelompok etnis dapat mengambil sikap yang tepat baik

dalam mempertahankan integrasi yang sudah terjalin dengan baik di

tengah masyarakat maupun dalam memahami berbagai konflik yang

melibatkan kelompok-kelompok etnis serta usaha-saha mencari resolusi

konflik itu sendiri.

2. Pemahaman mengenai dinamika sosiologis integrasi antar kelompk

etnis sangat berguna karena penelitian-penelitian yang berkaitan

dengan persoalan hubungan antar kelompok etnis selama ini lebih

banyak melihat aspek konflik dan resolusinya. Padahal konflik dan

integrasi adalah dua hal yang merupakan sisi-sisi dari satu mata uang

yang sama yang tidak bisa dilihat secara sepihak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Integrasi Sosial

1. Pengertian Integrasi Sosial

Dengan membaca berbagai literatur sosiologi terlihat bahwa

tidak ada satu kesepakatan definitif tentang pengertian integrasi. Jadi


terdapat beberapa pengertian tentang integrasi. Sebagai

perbandingan, berikut ini diambil empat defenisi yang diperoleh dari

beberapa sumber

Dalam Collins Dictionary of Sociology, misalnya, konsep

integrasi dipakai dalam tiga makna: pertama, integrasi berarti suatu

tingkat dimana seorang individu merasa memiliki suatu kelompok

sosial atau kolektivitas dengan menerima norma, nilai, kepercayaan

kelompok sosial itu. Kedua, integrasi berarti suatu tingkat dimana

aktivitas atau fungsi tertentu dari lembaga atau subsistem yang

berbeda dalam suatu masyarakat berada dalam keadaan saling

melengkapi, tidak saling kontradiktif. Ketiga, integrasi adalah

hadirnya suatu lembaga khusus yang mendorong dan mengkoordinir

kegiatan-kegiatan masing-masing subsistem masyarakat (Jary, 1991:

315).

Charles H. Banton, dalam kaitannya dengan hubungan antar

ras, mendefinsikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang

mengakui adanya perbedaan ras dalam suatu masyarakat tetapi tidak

memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut (Kamanto,

1993: 141).

Sunyoto Usman melihat integrasi sosial sebagai suatu proses

ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling

menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan-kedekatan

hubungan sosial, ekonomi dan politik (Usman, 1996: 79).


Dengan kalimat yang lain integrasi juga didefenisikan sebagai

proses atau potensialitas yang mendorong ke arah proses dimana

komponen-komponen dua kelompok sosial atau lebih menjadi

terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan antara

kelompok-kelompok yang ada. Dengan pegertian ini tercakup di

dalamnya kasus integrasi dan potensialitas integrasi (Mudzhar, 1998:

129)

Integrasi sosial juga berarti solidaritas sosial yang sama-sama

dibentuk oleh suatu masyarakat atau suatu kelompok. Solidaritas

menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau

antara kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan

kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman

emosional mereka. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan

kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional (Johnson, 1986:

181).

Walau terdapat beberapa titik tekan dari berbagai pengertian

yang dibuat oleh para ahli tersebut, nampak bahwa dalam suatu

konsep integrasi sosial setidak-tidaknya tercakup hal-hal sebagai

berikut. Pertama, bahwa integrasi merupakan suatu tingkatan dalam

hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Kedua, dalam

hubungan itu hadir suatu kesadaran kolektif yang antara lain

berbentuk rasa memiliki kelompok, saling menjaga keseimbangan

dan kebersamaan.

2. Prasyarat Integrasi Sosial


Dengan mengacu pada definisi David Jary dan Julia Jary

tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat bisa terintegrasi bila:

pertama, individu yang menjadi anggota masyarakat mengalami rasa

memiliki sebagai suatu kelompok sosial atau kolektivitas

berdasarkan antara lain atas norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan-

kepercayaan yang disepakati bersama. Kedua, aktivitas maupun

fungsi dari institusi atau subsistem di dalam suatu masyarakat lebih

saling melengkapi daripada saling berlawanan satu dengan lainnya.

Ketiga, adanya lembaga tertentu yang menganjurkan untuk saling

mengisi/mengimbangi dan mengkoordinir aktivitas dari berbagai

susbsistem dari masyarakat itu sendiri (Jary, 1991: 315).

Sedangkan menurut Sunyoto Usman, masyarakat terintegrasi

karena: pertama, adanya kesepakatan sebagian besar anggotanya

terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental.

Integrasi semacam ini lebih sering tercipta dalam kehidupan

masyarakat yang majemuk (poly-communal) yaitu masyarakat yang

ditandai oleh segmentasi berbagai macam kelompok sosial dengan

sub kebudayaan sendiri yang unik. Masyarakat seperti ini juga

ditandai oleh tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi dengan

struktur sosialk yang terbelah ke dalam institusi-institusi yang tidak

bersifat komplementer. Kesepakatan terhadap nilai-nilai sosial

tertentu yang bersifat fundamental sangat krusial karena mampu

meredam kemungkinan berkembangnya konflik-konflik ideologi

akibat dari kebencian atau antipati antar kelompok


Kedua, adanya kenyataan bahwa sebagian besar anggota

masyarakat terhimpun dalam berbagai unit-unit sosial sekaligus

(cross-cutting affiliations). Dengan mekanisme ini konflik yang terjadi

(baik yang nampak/kasus konflik maupun yang laten/potensialitas

konflik) teredam oleh loyalitas ganda (cross-cutting loyalities). Cross-

cutting affiliation memungkinkan elemen-elemen sosial yang saling

bertentangan tetap dipertahankan dalam suatu posisi yang relatif

seimbang. Kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi saling

mengawasi aspek-aspek sosial yang potensial menciptakan

permusuhan.

Ketiga, adanya saling ketergantungan dalam pemenuhan

kebutuhan ekonomi. Perbedaan pemilikan dan penguasaan sumber

daya ekonomi memang mengelompokkan masyarakat ke dalam

kelompok pendapatan (kaya, memengah, miskin). Model

pembangunan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah

tumbuhnya eksploitasi antar kelompok dan spesialisasi yang terjadi

bersifat fungsional sehingga ciri-ciri diferensiasi tidak terlalu sukar

diseimbangkan (Usman, 1996: 80-1).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prasyarat bagi

adanya suatu integrasi sosial itu adalah adanya : kesadaran kolektif,

aktivitas yang saling melengkapi, lembaga tertentu yang berfungsi

koordinatif, cross cutting affiliations, dan saling ketergantungan

ekonomi.

3. Bentuk Integrasi Sosial


Durkheim membagi integrasi sosial atas dua hal: pertama,

integrasi normatif, yang ada dalam perspektif budaya dan

menekankan solidaritas mekanik yang terbentuk melalui nilai-nilai

dan kepercayaan. Kedua, integrasi fungsional yang menekankan

pada solidaritas organik, suatu solidaritas yang terbentuk melalaui

relasi saling tergantung antara bagian atau usnur dalam masyarakat

(Shills, 1972: 382).

Sosiolog lainnya, Cooley, membagi integrasi sosial ke dalam

tiga bentuk: pertama, integrasi normatif yang merupakan tradisi baku

masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi mereka yang

mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi

komunikatif. Komunikasi dalam hal ini hanya dapat dibangun bagi

mereka yang memiliki sifat saling tergantung dan mau diajak

bekerjasama menuju tujuan yang dikehendaki. Ketiga, integrasi

fungsional yang hanya akan terwujud bila anggota yang mau

mengikatkan diri menyadari fungsi dan peran mereka dalam

kebersamaan (Shills, 1972: 381).

4. Tahap-tahap Integrasi Sosial

Integrasi melalui tahapan-tahapan (Astrid S. Susanto, 1979):

akomodasi, kerjasama, koordinasi dan asimilasi. Mengutip Ogburn

dan Nimkoff, Astrid mendefenisikan akomodasi sebaga pribadi atau

kelompok bekerja bersama dengan mengesampingkan perbedaan-

perbedaan atau permusuhan-permusuhan. Jadi walaupun ada

perbedaan dan permusuhan, itu dilupakan dalam rangka kerja


bersama. Ini terjadi karena adanya kepentingan yang sama, adanya

tujuan obyektif yang sama. Fase ini juga ditandai dengan tercapainya

kompromi dan toleransi.

Fase berikutnya adalah fase kerjasama. Ini terjadi bila

pekerjaan kelompok (kerja bersama) berlangsung cukup lama. Pada

fase ini juga mulai muncul solidaritas ketika reaksi terhadap suatu

kejadian adalah sama bahkan terjadi pembagian kerja. Bila kebiasaan

bekerjasama lambat laun mencapai situasi dimana orang/kelompok

mengharapkan dan mempunyai kesediaan untuk bekerjasama, maka

ini berarti tercapai fase koordinasi.

Fase terakhir dari integrasi adalah asimilasi yaitu proses

dimana individu/kelompok yang tidak sama menjadi sama dan itu

terlihat dari kepentingan dan pandangan-pandangan mereka. Tiap

pihak telah menyesuaikan diri sehingga tercapai situasi adanya

pengalaman dan tradisi bersama (Susanto, 1979: 123-126).

Untuk mengintegrasikan orang yang mengelompok secara

longgar ke dalam suatu kelompok solidaritas memerlukan waktu

berinterkasi yang cukup panjang. Karena itu integrasi lebih besar

kemungkinannya ditemukan dalam masyarakat yang perubahannya

lambat ketimbang di dalam masyarakat yang berubah secara cepat.

Dengan lambatnya perubahan sosial seseorang berkesempatan untuk

menempati posisi yang sama atau serupa dalam jangka panjang. Jika

perubahan sosial berlangsung cepat, orang yang berteman akrab kini,

mungkin tak seakrab itu kemaren.


Syarat penting lainnya bagi terciptanya integrasi adalah

tersedianya sarana komunikasi yang tepat. Orang yang menghadapi

persoalan bersama belum tentu akan bersatu untuk memecahkannya

kecuali jika mereka menyadari situasi bersama mereka. Dan yang

terpenting adalah bahwa orang tidak akan bersatu kecuali jika ada

suatu keuntungan yang dapat diduga sebelum mereka menyatukan

diri (Svalastoga, 1989: 98-9).

5. Unsur-unsur Integrasi Sosial

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

setidaknya ada 10 elemen yang harus ada dalam situasi sosial yang

disebut integrasi. Ke sepuluh elemen itu bisa dilihat sebagai tahap-

tahap atau dilihat sebagai unsur-unsur yang saling melengkapi.

Dalam hal ini peneliti tidak melihat kesepuluh hal itu sebagai sebuah

proses tetapi lebih sebagai unsur atau indikasi suatu integrasi karena

masing-masing indikator itu kadang saling tumpang tindih dan yang

satu tidak harus menjadi prasyarat bagi hadirnya elemen yang lain.

Ke sepuluh indikator itu adalah: 1) tidak memasalahkan adanya

perbedaan-perbedaan, 2) munculnya usaha-usaha adaptasi, 3)

hadirnya kompromi dan toleransi, 4) adanya kerja bersama, 5) adanya

reaksi yang sama terhadap suatu kejadian, 6) munculnya pembagian

kerja, 7) berkembangnya solidaritas, 8) adanya kerjasama yang telah

berlangsung lama, 9) adanya harapan-harapan dan kesediaan untuk

bekerjsama, 10) mengkahiri kebiasaan-kebiasaan lama atau adanya

pengalaman-pengalaman bersama yang baru


6. Integrasi Sosial dan Konflik Sosial

Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat,

kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana dia juga bisa

melahirkan konflik. Konflik memang bentuk kontradiktif dari

integrasi. Tetapi tidak selamanya kedua hal tersebut harus

dipertentangkan. Dalam kehidupan nyata integrasi bisa saja hidup

bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan

hubungan sebenarnya bisa ditata kembali (Usman, 1996: 80). Oleh

karena itu untuk lebih memahami fenomena integrasi, seyogyanya

difahami juga hal-hal yang terkait dengan konflik.

Konflik ialah pertentangan antar dua kelompok sosial atau

lebih, atau potensialitas yang menyebabkan pertentangan. Dengan

demikian pengertian ini mencakup pengertian kasus konflik dan

potensialitas konflik (Mudzhar, 1998: 129).

Konflik muncul karena adanya perjuangan antar individu

atau kelompok dalam suatu masyarakat atau bahkan antar negara.

Seringkali karena persaingan dalam penguasaan akses atau

pengontrolan terhadap sumber daya maupun kesempatan-

kesempatan yang terbatas (Jary, 1991: 111). Dalam model Weberian,

berbagai macam konflik bermula ketika setiap kelompok budaya

(seperti kelompok etnis, agama maupun intelektual) berjuang

mencari keuntungan (Borgotta, 288).

Perebutan kepentingan akan tetap sebagai sesuatu yang laten

bila tidak ada suatu kelompok yang bergerak untuk berjuang secara
aktif. Hal ini terjadi bila anggota-anggota suatu kelompok tersebut

berkumpul secara fisik, memiliki sumberdaya material untuk saling

berhubungan, dan menyepakati suatu budaya yang sama.

Dari aspek strata sosial, kelas-kelas sosial tinggi pada

umumnya lebih mobil dibanding kelas sosial rendah dan

kebanyakan perebutan kekuasaan terjadi pada faksi-faksi yang

berbeda di kalangan kelas tinggi tersebut. Kelas rendah cenderung

terpecah dalam kelompok-kelompok lokal dan akan lebih mudah

digerakkan kalau mereka secara etnis maupun keagamaan homogen

dan terkonsentrasi dalam suatu tempat tertentu.

Konflik terbuka biasanya meningkatkan solidaritas

kelompok pada kedua pihak yang bertikai. Coser, mengelaborasi

teori Simmel, menulis bahwa konflik mengarah kepada pemusatan

kekuasaan di dalam masing-masing kelompok dan memotivasi

kelompok-kelompok untuk mencari sekutu-sekutu. Dengan

demikian konflik cenderung memecah masyarakat, atau bahkan

negara (yang sedang berperang), ke dalam dua kutub. Proses

perpecahan itu bisa dibatasi ketika terdapat keanggotaan lintas

antar kelompok: jika pengelompokan kelas, etnis, agama, saling

silang, misalnya. Dengan demikian adanya saling silang dalam

suatu konflik (cross-cutting conflict) cenderung membuat masing-

masing menjadi netral. Sebaliknya ketika yang ada adalah ‘saling

himpit’ ( tidak ada saling silang) maka konflik menjadi lebih

ekstrim (Borgotta, 288).


B. Etnisitas

1. Antara Ras dan Kelompok Etnis

Ras maupun etnik merupakan kenyataan sosial yang penting

karena orang menilai penting akan keberadaan kelompok yang

dianggap sebagai rasnya. Tetapi ras adalah konsep yang

membingungkan karena tidak ada kesepakatan umum mengenai

istilah tersebut (Horton &Hunt, 1992: 60). Oleh karena itu dapat

difahami ketika Weber melihat etnisitas sebagai suatu identitas,

kesadaran, afiliasi dan komitmen pada suatu aksi yang sangat

beragam, sesuai dengan pengalaman historis dari kategori etnis yang

spesifik dan batas-batas politik dimana hal itu dterjadi (Krishnan,

1995: 34). Dalam kaitan ini Koentjaraningrat (1983) mengusulkan

istilah kelompok etnik diganti dengan istilah golongan etnik atau

suku bangsa (Kamanto, 1993: 137)

Salah satu defenisi menyebut ras sebagai suatu kelompok

manusia yang agak berbeda dengan kelompok lainnya dalam segi

ciri-ciri fisik bawaan, di samping itu banyak juga ditentukan oleh

pengertian yang digunakan oleh masyarakat. Lazimnya umat

manusia dibagi kedalam tiga kelompok ras utama: Mongoloid

(kuning dan coklat), Negroid (hitam) dan Kaukasoid (putih). Tetapi

klasifikasi beberapa kelompok tidaklah tegas karena ciri-ciri fisik

mereka tumpang tindih sebagai akibat adanya kenyataan bahwa

beberapa kelompok ras telah saling kawin mawin sejak ribuan tahun
yang lalu, sehingga hampir semua kelompok ras telah saling

bercampur baur.

Para ahli sosiologi lalu menggunakan istilah kelompok etnik

untuk menyebutkan setiap bentuk kelompok -baik kelompok ras

maupun yang bukan kelompok ras- yang secara sosial dianggap

telah berada dan mengembangkan subkulturnya sendiri. Walaupun

perbedaan kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu,

namun ciri-ciri pengenalnya dapat berupa bahasa, agama, wilayah

kediaman, kebangsaan, bentuk fisik, atau gabungan dari beberapa ciri

tersebut (Horton & Hunt, 1992: 60-1).

Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik

fisik yang penting, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat

kosmetik dan tidak fungsional bila dibandingkan dengan makhluk

hidup lainnya. Faktor kebudayaanlah yang paling banyak

berpengaruh terhadap lahirnya perbedaan di kalangan kelompk

etnik, bukannya faktor keturunan.

2. Asimilasi dan Amalgamasi

Keberadaan kelompok etnik tidak selamanya permanen dan

seringkali hilang karena adanya asimilasi atau amalgamasi. Asimilasi

berarti perbauran budaya dimana dua kelompok melebur

kebudayaan mereka sehinga melahirkan satu kebudayaan. Biasanya

terjadi pertukaran unsur-unsur budaya dan umumnya terjadi jika

suatu kelompok menyerap kebudayaan lainnya. Amerikanisasi

berarti kelompok imigran memberikan beberapa unsur budaya


mereka tetapi lebih banyak menyerap inti budaya yang bersumber

dari Inggris. Amerikanisasi nama-nama yang bukan berciri Anglo-

Saxon (Inggris) merupakan salah satu wujud asimilasi. Amalgamasi

berarti perbauran biologis dua kelompok manusia yang masing-

masing memiliki ciri fisik yang berbeda, sehingga keduanya menjadi

satu rumpun. Asimilasi dan amalgamasi telah banyak terjadi

sehingga sekarang sulit menemukan adanya suatu kelompok

individu yang besar dan merupakan tipe kelompok ras yang asli.

Perkawinan antar ras pada umumnya belumlah dianggap

sebagai hal yang biasa. Salah satu masalah yang dikaitkan dengan hal

ini adalah lebih tingginya tingkat perceraian pada pasangan hasil

perkawinan antar ras daripada tingkat perceraian pada pasangan

yang keduanya orang kulit hitam dan pasangan yang keduanya

aorang kulit putih. Adanya persamaan hukum dan peningkatan

hubungan antar ras yang berbeda barangkali akan meningkatkan

perkawinan antar ras. Namun demikian tingkat perkawinan antar

orang kulit hitam dengan orang kulit putih masih rendah dan

pelaku-pelaku perkawinan semacam itu cenderung mengalami

penolakan dari kedua kelompk ras (Horton & Hunt, 1992: 62-4).

3. Etnisitas: Aspek Obyektif dan Subyektif

Orang merasa berkepentingan dengan identitas etnis dan

merasa tidak nyaman dengan identitas yang dipaksakan negara atau

identitas kelompok lain karena perasaan bahwa mereka berasal dari

masa lalu yang dibatasi oleh bahasa, kebiasaan, agama, ras dan
daerah. Kesadaran etnis mencerminkan/menampakkan akar yang

paling dalam dari perasaan manusia. Jadi etnisitas adalah primordial:

orang akan mendukung anggota kelompoknya jika harus memilih

menjadi orang luar (outsiders) atau menjadi anggota (members).

Konflik tidak terelakkan bila suatu daerah dihuni oleh lebih dari

satu etnis, dan nepotisme menjadi-jadi bila bila suatu kelompok

menyadari identitas mereka dan merasa perlu melindunginya.

Identitas etnis memiliki aspek obyektif dan subyekyif. Aspek

obyektif adalah bahasa, agama, ras, kedaerahan dan budaya. Aspek

subyektif adalah bahwa kelima hal itu ditafsirkan secara subyektif

oleh masing-masing pihak. Bahasa: tidak semua pemakai bahasa

yang sama merasa satu etnis (misal: antara Bosnia muslim, Krotia dan

Serbia; antara suku Hutu dan Tutsi). Agama: tidak semua mereka

yang satu agama merasa satu etnis (misal: antara muslim India,

Pakistan dan Banglades; antara muslim Kurdi dengan muslim Iraq,

Iran, Suriah dan Turki). Kedaerahan: tanpa berasal dari satu

kawasanpun orang bisa merasa satu etnis (misal: Yahudi sebelum

Israel-1948; orang-orang Gipsi di Eropa Tengah dan Timur). Ras:

warna kulit sering merupakan konstruk sosial, tidak biologis (kulit

berwarna di Afrika Selatan sama dengan kulit hitam di Amerika

Serikat). Budaya: walau sama berbahasa Inggris, budaya kelas atas

dan budaya kelas bawah sangat berbeda di Inggris, khususnya

dalam hal cara makan, musik, sport, percakapan, pakaian.

4. Etnisitas dan Konflik


Perbedaan etnis tidak selalu berarti konflik terbuka. Banyak

etnis di suatu tempat yang tidak merasa terancam secara sosial

politik, mereka bisa bekerja sama sesuai aturan. Tetapi di tempat

lain perbedaan etnis bisa berarti susah di atur, mengarah kekerasan,

menciptakan instabilitas yang luas dan bahkan menghancurkan

kehidupan. Dalam hal konflik etnis, meski banyak yang muncul

secara spontan, banyak juga yang butuh rekayasa politik, penggerak,

jaringan organisasi, diskursus (perangkat prinsip-prinsip dan ide-ide)

untuk mengaktifkannya (Yusuf Bangura, 1995).

Di Indonesia etnisitas biasanya dihubungkan dengan suku

bangsa yang tersebar di seluruh nusantara dan berkaitan dengan

pembagian hukum adat (Singarimbun, 1992: 56).

Pada sebagian negara yang mejemuk etnisitas menunjukkan

gejala separatisme yang berakar pada perasaan primordial suku

bangsa sehingga kurang menyumbang pada nasionalisme

kebangsaan. Hal ini nampak dalam kurang efektifnya interaksi antar

suku bangsa. Interaksi antar suku bangsa menjadi sulit karena

perbedaan budaya dijadikan indikasi untuk membedakan efektivitas

interaksi di dalam suku bangsa (in group) dengan kelompok luar (out

group) yang ditandai dengan menguatnya solidaritas in group dan

melemahnya solidaritas out group (Eriksen, 1993: 12).

Kesetiaan pada etnis juga tumbuh di daerah/kota lain di

luar daerah asal. Ini disebut urbanism ethnic. Di daerah perantauan,

orang yang berasal dari daerah atau etnis yang sama


memperlihatkan kecenderungan masih mempunyai kesetiaan

kepada etnis atau daerah asalnya (Sudagung, 1987: 79).

Implikasi politik dari persamaan dan perbedaan etnik dari

warga suatu negara tidak dapat diabaikan. Baik pada saat etnik ini

diakui secara resmi maupun pada saat dianggap tidak ada, jaringan

kerjasama etnik terpelihara dan berfungsi secara informal. Jaringan

kerjasama etnik ini akan timbul ke permukaan jika otoritas negara

yang bersifat supra etnik menjadi melemah yang mengharuskan

warga etnik itu berjuang sendiri memperjuangkan aspirasi serta

kepentingan mereka (Amal dan Armawi, 1996: 140). Bahkan sejak

1970-an, di dorong oleh berbagai kekecewaan berlarut dalam negara

nasionalnya masing-masing, telah muncul gerakan-gerakan etnik

yang mengajukan beraneka ragam tuntutan politik, minimal untuk

mendapatkan perhatian dan otonomi, maksimal mendirikan negara

etnik tersendiri (Kontjaraningrat, 1993: 1-2). Bahkan Alfin Toffler

meramalkan bahwa masalah etnik ini akan berlanjut terus sampai

abad ke-21 (Toffler, 1990: 249-250).

5. Stratifikasi Etnis

Menurut Donald l. Noel (1968) stratifikasi etnik muncul bila

terpenuhi tiga persyaratan: etnosentrimse, persaingan dan perbedaan

kekuasaan. Etnosentrisme menurut Sumner (1940) adalah suatu

sudut pandang yang menempatkan kelompok sendiri di atas segala-

galanya dan menilai kelompok lain dengan memakai kelompok

sendiri sebagai acuan. Stratifikasi etnik tidak terjadi bila hanya salah
satu atau dua prasyarat yang terpenuhi. Etnosentrisme saja, misalnya,

tidak menyebabkan stratifikasi etnik bila antara kedua kelompok

yang berinteraksi terjalin kerjasama dan saling ketergantungan.

Etnosentrisme dan persaingan tanpa disertai perbedaan kekuasaan,

menurut Noel, hanya akan melahirkan persaingan berkepanjangan

tanpa penyelesaian. Kontak antara kelompok kulit hitam dengan

kelompok kulit putih berkembang menjadi hubungan perbudakan

dimungkinkan karena adanya etnosentrisme di pihak kelompok kulit

putih, adanya persaingan di bidang ekonomi, dan adanya kekuasaan

lebih besar di pihak kelompok kulit putih (Kamanto, 1993: 139).

C. Hubungan Antar Kelompok

1. Pengertian Kelompok

Kelompok (group) adalah kumpulan orang yang

menyepakati suatu masalah dan bergerak bersama dalam menyikapi

masalah tersebut, memiliki harapan bersama dan memiliki suatu rasa

senasib sepenanggungan. Ada banyak macam kelompok:

persahabatan informal, kelompok-kelompok etnis, masyarakat,

kelompok antar masyarakat. Hubungan antar kelompok adalah

bentuk-bentuk hubungan yang dikembangkan di antara dua

kelompok (Borgotta, 962).

2. Pola-pola Hubungan Antar Kelompok

Berdasar sejarah hubungan antar kelompok para ilmuan

sosial telah mengidentifikasi berbagai kemungkinan pola hubungan.


Banton (1968) menulis bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat

diikuti proses akulturasi, dominasi, paternalisme, integrasi dan

pluralisme. Pola hubungan seperti itu juga bisa berlaku dalam

hubungan antar kelompok lain di luar kelompok ras.

Akulturasi terjadi manakala kebudayaan kedua kelompok ras

yang bertemu mulai berbaur dan berpadu. Sering terjadi antara

kebudayaan dua masyarakat yang posisinya relatif sama, walau juga

bisa terjadi antar kebudayaan yang posisinya tidak sama.

Dalam sejumlah kasus akulturasi terjadi pula proses

dekulturasi seperti terjadi pada kasus hilangnya kebudayaan asli dan

hancurnya kehidupan keluarga orang-orang Afrika yang secara paksa

diculik untuk dijadikan budak di Amerika Utara, dan dibunuhnya

unsur pimpinan orang Aztec di Mexico.

Dominasi terjadi bilamana satu kelompok ras menguasai

kelompok lain. Di samping dalam hubungan antar ras, dominasi juga

terjadi dalam hubungan aktara kelompok pria terhadap wanita,

orang kaya terhadap orang miskin, orang dewasa terhadapa orang

yang cukup umur.

Menurut Banton, ada empat macam kemungkinan yang

terjadi dalam hubungan dominatif ini: pembunuhan secara sengaja

dan sistematis terhadap anggota suatu kelompok tertentu (genocide),

pengusiran, perbudakan, segresi dan asimilasi. Pembunuhan yang

melibatkan pengusiran, penahanan, penganiayaan dan perkosaan

terhadap kaum wanita antara lain terjadi pada kasus ethnic cleanshing
yang menimpa warga muslim Bosnia. Kematian warga suatu

kelompok ras dalam jumlah besar sering terjadi pula karena mereka

menjadi korban berbagai penyakit baru yang dibawa oleh kelompok

ras pendatang yang dominan.

Pengusiran antara lain dialami orang-orang keturunan India

di Uganda, warga asing kleturunan Tionghoa dari pedesaan

Indonesia, warga Palestina di tepi Barat Sungai Yordan.

Sementara itu Stanley Lieberson (1961) membedakan dua

pola utama dominasi yaitu dominasi kelompopk pendatang atas

kelompok pribumi (migrant superordination) dan pola dominasi

kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous

superordination). Pengendalian politik dan ekonomi oleh migran

menghasilkan perubahan besar pada institusi politik dan ekonomi

serta demografi penduduk setempat dan suatu waktu cenderung

memancing reaksi keras dari mereka. Dominasi pribumi di bidang

ekonomi dan politik kurang memancing konflik di pihak migran

yang didominasi.

Dalam rangka memantapkan kepentingan mereka kelompok

migran dominan kadang kala merubah komposisi penduduk

dengan mendatangkan migran dari masyarakat lain. Kelompok

pribumi dominan berusaha mempertahankan dominasi mereka

dengan jalan mengendalikan jumlah dan jenis migran yang masuk

dalam masyarakat mereka.

Paternalisme adalah bentuk lain dominasi kelompok ras


pendatang atas kelompok ras pribumi. Pola ini menurut Banton

muncul manakala kelompok pendatang yang lebih kuat mendirikan

koloni di daerah jajahan. Ini kemudian memunculkan tiga kelompok

masyarakat: masyarakat metropolitan (di daerah asal pendatang),

masyarakat kolonial yang terdiri dari para pendatang dan sebagian

masyarakat pribumi, dan masyarakat pribumi yang dijajah.

Integrasi adalah pola hubungan yang mengakui adanya

perbedaan ras dalam masyarakat tetapi tidak memberikan makna

penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait

dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu dan tidak

ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang

diraih dengan usaha.

Pluralisme merupakan suatu pola hubungan yang di

dalamnya mengenal pengakuan persamaan hak politik dan hak

perdata semua warga masyarakat namun memberikan arti penting

lebih besar pada kemajemukan kelompok ras dari pada dalam pola

integrasi. Dalam pola pluralisme ini solidaritas dalam masing-

masing kelompok ras lebih besar (Kamanto, 1993: 140-3).

Perspektif lain yang dominan dalam hubungan antar

kelompok berasal dari pemikiran-pemikiran Marxian yang dikenal

dengan teori konflik. Dalam pandangan ini hubungan-hubungan

yang saling bersaing beserta konsekwensinya muncul dari sistem

stratifikasi sosial dalam masyarakat. Masyarakat dilihat sebagai

sesuatu yang secara konstan selalu berubah. Masyarakat


membedakan anggota-anggotanya, memberikan kekuasaan,

martabat, uang, lebih besar pada satu kelompok dibanding kelompok

lain. Akibatnya muncul ketidakadilan sosial yang menjadi bagian

esensial dari suatu sistem stratifikasi. Lebih lanjut, kelompok-

kelompok yang berbeda dalam masyarakat (seperti kelas-kelas,

kelompok etnis-ras) bersaing untuk menguasai sumberdaya tersedia

yang terbatas (Borgotta, 964).

Ada tiga kondisi yang diperlukan dalam konflik antar

kelompok dan dalam adanya berbagai ketidakadilan. Pertama,

adanya minimal dua kelompok. Orang harus menyadari kelompok

mereka dan kelompok orang lain dengan dasar ciri khas masing-

masing. Ciri itu bisa fisik, atau cukup ciri non fisik berupa

kepercayaan-kepercayaan atau nilai-nilai.

Kedua, dua kelompok itu bersaing satu dengan lain atau

merasa bahwa mereka bersaing dalam memperebutkan sumberdaya

yang terbatas seperti uang, tanah atau pekerjaan. Anggota-anggota

kelompok akan melindungi kepentingan mereka dengan berusaha

mendapatkan sumber daya itu untuk mereka, bila perlu dengan

ongkos yang ditanggung oleh kelompok lain.

Ketiga, kekuatan kedua kelompok tidak seimbang sehingga

salah satu bisa mengungguli kelompok yang lain dalam

memperebutkan sumberdaya. Dalam kondisi demikian satu

kelompok menjadi semakin dominan seiring dengan berkembangnya

persaingan. Kelompok yang lebih kuat menganggap kelompok lain


sebagai inferior. Ketika kelompok yang lemah berusaha melindungi

dan menuntut hak mereka, kelompok yang kuat akan merasa

terancam dan akan berusaha memperkuat diri pada tingkat yang

lebih tinggi. Maka keteganganpun meningkat. Kebanyakan anggota

kelompok dominan biasanya mudah dan segera melihat kelompok

lain dengan istilah-istilah yang negatif.

Hubungan antar dua kelompok bisa berupa asimilasi.

Asimilasi meliputi adaptasi terhadap budaya setempat dimana

seseorang memasuki masyarakat dan budaya baru. Dalam banyak

kelompok orang Asia di Amerika, misalnya, anak-anak mereka

belajar Bahasa Inggris, berpakaian ala Amerika, memakan makanan

Amerika dan nampak seperti serta menganggap diri mereka sebagai

orang Amerika.

Bentuk hubungan antar kelompok yang lain adalah

akomodasi. Akomodasi yang dimaksudkan berkaitan dengan

keputusan dua atau lebih kelompok untuk mengesampingkan

perbedaan-perbedaan yang signifikan yang ada di antara mereka

dalam rangka kepentingan bersama. Hal ini mengarah kepada

pluralisme budaya dimana berbagai bentuk budaya yang berbeda

hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang sama.

Amerika Serikat, misalnya adalah masyarakat yang plural dimana

berbagai agama, etnis dan kelompok ras yang berbeda diizinkan

hidup secara berdampingan (Borgotta, 964).


Dalam kaitan hubungan antar umat beragama, Kuntowijoyo

menyarankan perlunya pola hubungan dalam bentuk kerukunan atau

toleransi, yang hanya cocok untuk masyarakat agraris, diganti

dengan pola hubungan kerjasama atau kooperasi antar umat

beragama (Andito, 1998: 359).

D. Kelompok Mayoritas dan Kelompok Minoritas

Salah satu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian

terhadap hubungan antar kelompok ialah hubungan mayoritas-

minoritas. Dalam konteks ini yang coba dijelaskan adalah konsep

mayoritas karena bila di suatu tempat terdapat kelompok mayoritas

maka tentu secara otomatis kelompok lain disebut minoritas.

Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian mayoritas.

Kinloch mendefenisikan mayoritas sebagai any power group that defines

itself as normal and superior and others as abnormal and inferior on the basis of

certain perceived characteristics, and exploits or discriminates against them in

consequence. Dari defenisi ini dijumpai beberapa unsur sebagai berikut:

mayoritas merupakan kelompok kekuasaan, kelompok tersebut

menganggap diri mereka normal dan superior sedangkan kelompok lain

(minoritas) tidak normal dan rendah karena mempunyai beberapa ciri

tertentu, atas dasar anggapan tersebut kelompok lain mengalami

eksploitasi dan diskriminasi.

Dalam pengertian Kinloch kelompok mayoritas ditandai

dengan adanya kelebihan kekuasaan dan tidak dikaitkan dengan jumlah


anggota kelompok, jadi boleh saja kelompok mayoritas itu jumlahnya

lebiih kecil dari minoritas tetapi mereka lebih berkuasa seperti

kelompok Kulit Putih di Afrika Selatan pada masa sistem apartheid

masih berlaku di sana.

Berbeda dengan Kinloch, Mely G. Tan, membedakan kelompok

mayoritas dengan kelompok minoritas atas dasar kelompok kecil

masyarakat kota dan kelompok besar masyarakat desa, kelompok kecil

kaum terdidik dan massa tak terdidik, antara sejumnlah orang kaya dan

sejumnlah besar orang miskin, serta klasifikasi yang terkait dengan sifat

majemuk masyarakat Indonesia.

Edward M. Bruner melihat mayoritas dalam kaitannya dengan

kebudayaan. Dalam penelitiannya di Medan ddan Bandung Bruner

melihat bahwa ada tidaknya suatu kebudayaan mayoritas dominan

menentukan bentuk hubungan antar kelompok di suatu wilayah.

Medan merupaka suatu kota yang terdiri dari sejumlah minoritas tanpa

adanya suatu kebudayaan dominan sehingga antar kelompok-

kelompok etnis yang ada berkembang persaingan ketat dan hubungan

antar etnis tegang. Sementara di kota Bandung kebudayaan yang

dominan ialah kebuidayaan Sunda selaku kelompok mayoritas

sehingga di sana para pendatang harus menyesuaikan diri dengan

kebudayaan tersebut dan hubungan antar etnis yang ada bersifat lebih

terbuka dan santai (Kamanto, 1993: 135-6)

E. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang interaksi antar komunitas, baik berbentuk konflik

maupun integrasi, telah banyak dilakukan. M. Atho Mudzhar, misalnya,

setelah meneliti interaksi antar Kelompok Islam dengan Kelompok

Towani Tolotang dan Tolotang Benteng (kelompok aliran kepercayaan di

Amparita, Sulawesi Selatan) menemukan bahwa aspek-aspek yang

mendorong integrasi sosial di Amparita adalah: adanya kepercayaan yang

sama tentang Gunung Lowa, adanya pemilikan bersama atas kekayaan

kebudayaan lama, adanya pendidikan dan kegiatan-kegiatan kepemudaan

yang melibatkan semua kelompok, adanya ritus dan jaringan sewa

menyewa yang melibatkan semua kelompok dalam aktivitas pertanian,

adanya interaksi dalam Golkar dan lembaga pemerintahan desa, adanya

pemukiman yang membaur dan sumber air minum yang sama, dan

adanya faktor kekerabatan (Mudzhar, 1998: 203-226)

Mujiyana dalam penelitiannya tentang potensi konflik antar umat

beragama di Kabupaten Sleman menyimpulkan bahwa konflik antar umat

beragama antara lain disebabkan oleh: dalam satu tempat tinggal atau

pemukiman terdapat berbagai penganut agama dengan karakteristiknya

masing-masing, orang berpindah dari satu agama ke agama lain,

peringatan hari besar suatu agama tertentu yang kurang memperhatikan

masyarakat sekitarnya (Mujiana, 1999: 117).

Kalau menurut Mujiyana peringatan hari besar agama menjadi

sumber konflik, Retnowati justru melihat sebaliknya. Dalam penelitiannya

tentang hubungan antar Islam dan Kristen pasca Kerusuhan Situbondo,

Retnowati justru menemukan peringatan hari besar agama sebagai salah


satu hal yang mengintegrasikan masyarakat antar agama. Lebih lanjut

Retnowati melihat bahwa Islam dan Kristen di Situbondo terintegrasi

karena: pemakaian bahasa yang sama yaitu bahasa Madura dalam

kehidupan sehari-hari, adanya saling ketergantungan fungsional antar

warga masyarakat dalam pekerjaan, adanya tradisi tolong menolong,

gotong royong dan perkumpulan sosial, serta karena adanya perayaan

hari besar agama (Islam) dimana warga Kristen juga ikut berpartisipasi

(Retnowati, 2000: 89-95).

Kerusuhan Situbondo yang berlangsung pada 10 Oktober 1996 ini

berakibat tewasnya 5 jiwa dan rusaknya 34 bangunan yang di antaranya

berupa terbakarnya 20 gereja. Setelah melakukan penelitian mendalam

tentang konflik Situbondo ini, Retnowati (2000) menulis sebagai berikut.

Pertama, kerusuhan itu merupakan konflik sosial keagamaan yaitu konfliki

horizontal meyangkut hubungan antar agama. Penyebabnya adalah

akumulasi segala keresahan dan ketidakpuasan yang dialami masyarakat,

jadi bukan merupakan sesuatu yang bersifat spontan. Masalah pokok

sebagai penyebab konflik bukan pada perbedaan aspek doktrin ajaran

tetapi pada masalah non teologis, terutama pada kecemburuan keagamaan

yaitu karena adanya gaya hidup beragama kelompok Kristen yang

demonstratif. Kedua, telah terjadi kesenjangan komunikasi sosial antar

agama karena tumbuhnya gaya hidup eksklusif dari kelompok sosial

tertentu. Ketegangan yang lama terpendam meledak dalam bentuk

amukan massa yang didukung oleh faktor non agama. Ketiga, kesenjangan

ekonomi bukan merupakan faktor utama konflik, penguasaan sumberdaya


ekonomi yang tidak simetris antara pelaku ekonomi hanya merupakan

faktor pendukung saja. Keempat, pola pembinaan lembaga gereja dan

pesantren cenderung eksklusif, berorientasi ke dalam yaitu berisi tentang

pendidikan agama sendiri, kurang berorientasi ke luar. Dalam hal ini

pemeluk agama kurang mendapatkan pengetahuan dan pemahaman

tentang agama lain. Sikap beragama yang demikian ini sangat rentan

konflik karena mudah terjadi kesalahpahaman, streotype negatif,

prasangka dan curiga terhadap agama lain. Kelima, Resolusi konflik

berhasil dilakukan melalui konsiliasi dan mediasi. Dialog dilakukan

antara lembaga gereja, NU dan pesantren dan menghasilkan kesepakatan

bersama menyangkut sumber-sumber konflik dan solusinya. Keenam,

konflik menghasilkan nilai dan tatanan baru, menyadarkan pemeluk

agama untuk menjalani kerjasama, perlunya keterbukaan dan saling

pengertian (Retnowati, 2000: 102-4).

Dalam penelitian penulis tentang integrasi antar komunitas Islam

dan Kristen di Yogyakarta, ditemukan kenyataan bahwa kalau dilihat dari

sisi etnisitas, kelompok etnis Tionghoa memiliki kualitas integrasi lebih

tinggi dari etnis Jawa dan kalau dilihat dari sisi mayoritas-seimbang di

daerah yang ada mayoritas pemeluk agama tertentu memiliki kualitas

integrasi lebih rendah dari daerah yang formasi kepemelukan agamanya

seimbang.. Sedangkan faktor pendidikan terbukti tidak signifikan dalam

mempengaruhi kualitas integrasi antar komunitas Islam dan komunitas

Kristen di Kecamatan Ngampilan. Variabel etnisitas lebih dominan dalam

mempengaruhi kualitas integrasi karena di dalam variabel etnisitas itu


sendiri melekat juga variabel mayoritas/seimbang. Pada etnis Tionghoa

melekat dua aspek: minoritas sebagai etnis Tionghoa di tengah mayoritas

etnis Jawa dan minoritas sebagai pemeluk Kristen di tengah mayoritas

pemeluk Islam.

Dalam perspektif teori hubungan antar kelompok, antar komunitas

Islam dan Kristen di Kecamatan Ngampilan ini terjalin integrasi dalam arti

perbedaan antar komunitas diakui perbedaannya tetapi tidak diberi makna

penting dalam interaksi antar mereka. Kenyataan integrasi ini juga

didukung oleh adanya kesadaran kelompok, aktivitas-aktivitas yang lebi

saling melengkapi, dan adanya lembaga ketiga yang mengkoordinasikan

aktivitas aktivitas bersama itu (Mahli Zainuddin, 2001)

Setelah melakukan penelitian tentang konflik dan integrasi antar

etnis Dayak-Madura, Majid, Mahli dan Khairuddin, menemukan data

kuantitatif bahwa varaibel yang berpengaruh secara signifikan terhadap

kualitas konflik dan integrasi antar etnis Dayak-Madura ini adalah

kepemelukan agama. Manurut hasil penelitian itu kualitas integrasi orang

Islam lebih tinggi daripada kualitas integrasi orang Kristen (Abd. Madjid,

Khoiruddin Bashori dan Mahli Zainuddin, 2001)

F. Hipotesa Penelitian

Setelah membaca beberapa teori sebagaimana ditulis di atas, maka

penulis menyusun hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap

permasalah penelitian, sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan kualitas integrasi antar kelompok etnis yang


berbeda.

2. Terdapat perbedaan kualitas integrasi antar pemeluk agama yang

berbeda.

3. Terdapat perbedaan kualitas integrasi suatu kelompok etnis di wilayah

mereka sebagai mayoritas dibanding dengan wilayah dimana mereka

sebagai minoritas. Kualitas integrasi kelompok etnis sebagai mayoritas

lebih tinggi dibanding sebagai minoritas.

4. Ada hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan kualitas

integrasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula

kualitas integrasi.

5. Ada hubungan positif antara status sosial ekonomi dengan kualitas

integrasi. Semakin tinggi status sosial ekonomi maka semakin rendah

kualitas integrasi.

6. Ada hubungan positif antara tingkat etnisitas ekonomi dengan kualitas

integrasi. Semakin tinggi etnisitas maka semakin rendah kualitas

integrasi.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang tidak sekedar

bersifat deskriptif tetapi lebih jauh juga berusaha melakukan

eksplanasi. Karena tujuannya eksplanatif maka survei ini di samping

menggambarkan karakter tertentu dari populasi juga melakukan uji

hubungan antar variable (Faisal, 1993: 23). Oleh karena itu ditetapkan

variable penelitian sebagai berikut.

1. Variabel Bebas

a. Kelompok mayoritas/seimbang

b. Kepemelukan agama

b. Tingkat pendidikan

c. Status sosial ekonomi

d. Etnisitas

2. Variabel Tergantung: kualitas integrasi

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kelompok Mayoritas/seimbang

Kelompok mayoritas yang dimaksud disini adalah

kelompok mayoritas yang disebabkan besarnya angggota

kelompok. Jadi tidak dikaitkan dengan kekuatan politik atau

ekonomi yang dimiliki oleh kelompok. Kelompok yang dimaksud


terbentuk berdasarkan kesukuan. Dengan demikian kelompok

mayoritas adalah kelompok dimana disana komposisi

kependudukan didominasi oleh suku tertentu. Sedangkan

kelompok seimbang adalah kelompok dimana komposisi

kesukiuan relatif seimbang.

Adapun kelompok mayoritas yang dijadikan sampel

penelitian ini adalah masyarakat Yogyakarta (dimana mayoritas

penduduknya adalah suku Jawa dan disana tinggal juga suku

Minang dan Batak sebagai kelompok minoritas), masyarakat

Padang (dimana mayoritas penduduknya adalah suku Minang,

dengan suku Jawa dan Batak sebagai penduduk minoritas), dan

Tanah Karo (berpenduduk mayoritas suku Batak dan suku Jawa

dan Minang sebagai etnis minoritas).

2. Kepemelukan Agama

Kepemeluka agama adalah identifikasi diri responden

terhadap agama tertentu. Dalam penelitian in, kepemelukan agama

dibatasi pada Agama Islam dan Agama Kristen (meliputi Kristen

Protestan dan Katolik).

3. Status Sosial ekonomi

Status sosial ekonomi adalah status sosial yang ada dalam

masyarakat yang terbentuk karena adanya perbedaan dalam

penguasaan sumber daya ekonomi. Dalam hal ini indikator yang

dijadikan ukuran adalah sejauhmana benda-benda tertentu dimiliki


oleh responden penelitian. Masing-masing benda itu lalu diberi

skor yang nantinya, setelah dilakukan tabulasi, menunjukkan

variasi tertentu. Variasi itulah yang kemudian dikelompokkan ke

dalam status sosial ekonomi tinggi, sedang dan rendah.

3. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimaksudkan adalah lamanya

proses pendidikan formal yang dilalui oleh seseorang. Untuk

mengukur hal ini maka dilihat dari pendidikan terakhir yang

berhasil diselesaikan yang meliputi: tidak tamat SD, tamat SD,

tamat SMTP, tamat SMTA, dan tamat pendidikan tinggi.

4. Etnisitas

Mengacu pada Horton dan Hunt (1992) kelompok etnik atau

etnisitas yang dimaksudkan disini adalah bentuk kelompok yang

secara sosial dianggap telah berada dan mengembangkan sub

kulturnya sendiri. Dalam penelitian ini masyarakat yang akan

diteliti adalah masyarakat yang teridiri dari tiga etnik yaitu etnik

Jawa, Minang, dan Batak. Tetapi dalam realitasnya tingkat etnisitas

mereka tentu berbeda.

Mengacu pada teori tentang etnisitas sebagai mana terlihat

pada landasan teori maka indikator dari etnisitas yang dipakai

dalam penelitian ini adalah: lokasi tempat tinggal sekarang di

tempat kelahiran atau di rantau, lama merantau, bahasa yang

digunakan dalam keluarga sehari-hari, intensitas pulang kampung,

dan rencana menetap di hari tua.


5. Kualitas Integrasi

Kualitas Integrasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah derajat hubungan antar kelompok ketika masing-masing

mereka saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan

kedekatan-kedekatan hubungan. Tinggi rendahnya kualitas

integrasi itu diukur dengan sejauh mana unsur-unsur integrasi

diketahui, disikapi dan dihayati oleh anggota kelompok.

C. Subyek Penelitian

Sebagaimana ditulis dalam Permasalahan Penelitian, ruang

lingkup penelitian ini adalah integrasi sosial antar etnis Jawa-Batak-

Minang di Yogyakarta (wilayah dimana etnis Jawa sebagai mayoritas, etnis

Batak dan Minang sebagai minoritas), Tanah Karo (wilayah dimana etnis

Batak sebagai mayoritas, etnis Jawa dan Minang sebagai minoritas), dan

Padang (wilayah dimana etnis Minang sebagai mayoritas, etnis Jawa dan

Batak sebagai minoritas). Dari segi agama, pemilahan subyek dalam tiga

etnis juga berangkat dari asumsi bahwa orang Minang-Padang identik

dengan Islam, orang Batak-Tanah Karo mayoritas beragama Kristen dan

orang Jawa-Yogyakarta tidak lebih mengidentikkan diri kepada agama

tertentu, dibanding dua kelompok etnis lainnya.

Dari ketiga lokasi penelitian itu ditetapkan sample sejumlah 180

orang, dengan masing-masing lokasi berjumlah 60 orang responden.

Dari 60 orang responden itu lalu dibagi ke dalam tiga kelompok

berdasarkan suku.
Dengan demikian diperoleh subyek penelitian sebagaimana

terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1
Distribusi Subyek Penelitian

Yogyakarta Padang Tanah Karo


Jawa Minang Batak Jawa Minang Batak Jawa Minang Batak
20 20 20 20 20 20 20 20 20
60 60 60
180

D. Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur yang Dipergunakan

Data dikumpulkan dengan teknik yang bervariasi sesuai

dengan jenis data.

1. Angket dipakai untuk mengumpulkan data tentang tingkat

pendidikan, etnisitas dan status sosial ekonomi

2. Penelusuran data sekunder dipergunakan dalam rangka

mengidentifikasi data tentang kontribusi kepemelukan agama:

mayoritas atau seimbangnya komposisi kepemelukan agama di

suatu lokasi

3. skala dimanfaatkan untuk mengumpulkan data tentang kualitas

integrasi yang telah terjalin antar komunitas itu.

Pada tahap pertama data dikumpulkan melalui angket dan

skala. Pada skala ini pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan

dalam sebuah daftar diberi lajur-lajur jawaban yang tingkat

kebenarnnya ditetapkan oleh skala (alternatif) yang menyertai

pertanyaaan itu (Surakhmad, 1989: 185).


Sebagaimana disebutkan di atas, skala digunakan untuk

mengetahui kualitas integrasi. Skala yang dipakai adalah skala Likert

(Faisal, 1999: 143) yang penyusunannya melalaui tahapan-tahapan

sebagai berikut.

Pertama, pembuatan blue print yang diabstraksikan dari

konstruk teoritis yang dipilih. Mengacu pada defenisi Ogburn dan

Nimkoff (dalam Susanto, 1979: 124) bahwa integrasi melalui beberapa

tahap yaitu: akomodasi, kerjasama, koordinasi dan asimilasi. Masing-

masing fase itu juga memiliki beberapa indikasi. Dengan

menggabungkan indikasi-indikasi itu maka penulis mengambil

sepuluh indikasi dari suatu pola hubungan sosial yang disebut

integrasi itu.

Kesepuluh indikasi integrasi yang kemudian menjadi kisi-kisi

dalam penyusunan skala integrasi adalah sebagai berikut

1. Tidak memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan

2. Munculnya usaha-usaha adaptasi

3. Hadirnya kompromi dan toleransi

4. Adanya kerjasama

5. Adanya reaksi yang sama terhadap suatu kejadian

6. Munculnya pembagian kerja

7. Berkembangnya solidaritas

8. Adanya kerjasama yang telah berlangsung lama

9. Adanya harapan-harapan dan kesediaan untuk bekerjasama


10. Mengakhiri kebiasaan-kebiasaan lama atau adanya pengalaman-

pengalaman bersama yang baru.

Kedua, berdasarkan cetak biru tersebut dikembangkan

pernyataan-pernyataan (items) yang relevan untuk setiap indikasi.

Untuk setiap indikasi penulis rumuskan sembilan (9) item yang

masing-masing terdiri dari tiga (3) item tentang wawasan, tiga (3) item

tentang sikap dan tiga (3) item tentang perilaku. Sehingga pada tahap

ini keseluruhan pernyataan berjumlah 90 item.

Ketiga, peneliti kemudian menguji coba skala ini pada 30

subyek, pemeluk Islam dan Kristen dan dari 90 butir itu diperoleh 58

butir sahih. Selanjutnya dengan mempertimbangkan proporsi butir

tiap aspek maka ditetapkan masing-masing aspek dua butir. Sehingga

keseluruhan skala integrasi memiliki 20 butir dengan reliabilitas alpha

= 0,965.

Keempat, kedua puluh butir itu sebagian merupakan item yang

favourable (bila dijawab setuju maka nilainya maksimal dan bila

dijawab tidak setuju maka nilainya minimal) dan sebagian merupakan

item unfavourable (bila dijawab setuju maka nilainya minimal dan bila

dijawab tidak setuju maka nilainya maksimal).

Dengan urutan kerja seperti itu maka diperoleh dua puluh item

skala integrasi yang peneliti minta diisi oleh responden dengan cara

memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yaitu: SS= Sangat

Setuju, S=Setuju, R=Ragu-ragu, TS=Tidak Setuju, STS=Sangat Tidak


Setuju. Rincian tentang butir-butir tersebut bisa dilihat pada table

berikut:

Tabel 2
Butir-butir Skala Kualitas Integrasi
(dengan Pernyataan dan Alternatif Jawaban)

Indikasi 1 (tidak memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan)


01 saya sering merasa tidak nyaman kalau harus kumpul-
kumpul dengan orang yang beda suku dengan saya SS-S--R--TS-STS
02 Kalau harus minta tolong pada tetangga, saya biasanya
akan lihat dulu tetangga itu satu suku atau tidak SS-S—R--TS-STS
dengan saya

Indikasi 2 (munculnya usaha-usaha adaptasi)


03 Saya senang mengawali kenalan dengan tetangga
baru yang beda suku, walau saya lebih dulu jadi SS-S—R--TS-STS
warga kampung
04 Saya selalu berusaha tidak terlalu akrab dengan
tetangga yang berbeda suku dengan saya SS-S—R--TS-STS

Indikasi 3 (hadirnya kompromi dan toleransi)


05 Tidak masalah bagi saya apakah tetangga saya satu
suku atau tidak dengan saya SS-S--R---TS-STS
06 Saya bisa memahami bila ada teman saya yang nikah
dengan suku lain SS-S—R--TS-STS

Indikasi 4 (adanya kerjasama)


07 Saya merasa kurang nyaman kalau dalam suatu
kegiatan harus bekerja bersama dengan orang yang SS-S--R--TS-STS
beda suku dengan saya
08 Teman-teman yang beda suku sepertinya merasa tidak
senang bila bekerja bersama dengan saya SS-S--R--TS-STS

Indikasi 5 (adanya reaksi yang sama terhadap


suatu kejadian)
09 Saya selalu berusaha menjenguk tetangga saya yang
sakit, walaupun dia tidak sesuku dengan saya SS-S—R--TS-STS
10 Ketika ada peringatan 17 Agustus saya rasa orang di
luar suku saya tidak begitu peduli SS-S—R--TS-STS
Indikasi 6 ( munculnya pembagian kerja)
11 Saya merasa canggung bila dalam melayat harus
mengangkat jenazah tetangga yang berbeda suku SS-S—R--TS-STS
dengan saya
12 Menurut saya kalau ada warga kampung yang
menikah perlu dibentuk panitia yang melibatkan SS-S—R--TS-STS
warga semua suku

Indikasi 7 (berkembangnya solidaritas)


13 Kalau ada rumah tetangga yang tidak sesuku dengan
saya kemasukan pencuri, sedangkan yang punya SS-S—R--TS-STS
rumah tidak berada di rumah, maka saya akan
berpura-pura tidak tahu
14 Saya kurang bisa merasakan suasana duka ketika
melayat di rumah orang yang tidak sesuku dengan SS-S—R--TS-STS
saya

Indikasi 8 (adanya kerjasama yang telah


berlangsung lama)
15 Saya pernah bekerjasama dengan orang yang beda
suku dengan saya dalam waktu yang cukup lama SS-S—R--TS-STS
16 Saya tidak suka harus bekerjasama dengan orang yang
beda suku dalam waktu yang lama SS-S—R--TS-STS

Indikasi 9 (adanya harapan-harapan dan kesediaan


untuk bekerjasama)
17 Saya merasa senang bila tidak diundang dalam acara
pernikahan yang dilakukan oleh tetangga saya yang SS-S—R--TS-STS
berbeda suku dengan saya
18 Walau tidak diminta saya selalu berusaha terlibat
membantu tetangga yang berbeda suku dengan saya SS-S—R--TS-STS
yang memerlukan bantuan

Indikasi 10 (mengakhairi kebiasaan-kebiasaan lama


atau adanya pengalaman-pengalaman bersama
yang baru)
19 Saya biasa ikut gotong royong bersama tetangga yang
berbeda suku dengan saya membersihkan tempat SS-S—R--TS-STS
ibaddah mereka
20 Saya sering bermain/nongkrong di rumah tetanggga
yang tidak sesuku dengan saya SS-S—R--TS-STS

E. Metode Analisa Data

Untuk menguji hipotesis, teknik analisis data yang digunakan adalah

teknik analisis statistik Analisis Variansi. Semua tes dibantu oleh program

komputer SPSS.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Kualitas Integrasi Antar Kelompok Etnis

Tabel 3
Kualitas Integrasi Antar Kelompok Etnis

Kualitas Integrasi frekwensi Prosentase


Rendah 11 6,1
Sedang 37 20,6
Tinggi 132 73,3
Total 180 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa secara umum kualitas integrasi antar

etnis Jawa, Minang dan Batak di Jogja, Padang, dan di Tanah Karo

adalah tinggi (73,3%). Mereka yang memiliki kualitas integrasi sedang

sebanyak 20,6%. Sedangkan responden yang berkualitas integrasi

rendah sangat sedikit (6,1%).

Data pada tabel ini dengan jelas menunjukkan bahwa mayoritas

anggota kelompok etnis, baik orang Jawa, orang Minang, maupun

orang Batak yang berdomisili di Jogja, Padang dan Tanah Karo betul-

betul tidak lagi memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan di antara

mereka, selalu berusaha beradaptasi dengan teman yang berbeda

suku, sudah ada kompromi di antara mereka, sering bekerjasama,

memiliki reaksi yang sama terhadap suatu kejadian, telah ada

pembagian kerja antar mereka, dan telah berkembang solidaritas antar

mereka. Mereka juga pernah bekerjasama dalam waktu yang lama,

memiliki harapan-harapan dan kesediaan untuk bekerjasama, telah


mengakhiri kebiasaan-kebiasaan lama atau memiliki pengalaman-

pengalaman bersama yang baru.

2. Kualitas Integrasi dan Kelompok Etnis

Tabel 4
Kualitas Integrasi Etnis Jawa, Batak, dan Minang

Kualitas Jawa Minang Batak


Integrasi F % F % F %
Rendah 03 05 06 10 02 3,3
Sedang 12 20 10 16,7 15 25
Tinggi 45 75 44 73,3 43 71,7
Total 60 100 60 100 60 100

Tabel ini memperjelas deskripsi data tabel sebelumnya. Pada tabel sebelumnya dijelaskan bahwa kualitas

integrasi di wilayah penelitian berada pada kelompok tinggi 73,3%. Pada tabel ini terlihat bahwa mereka yang

berada pada kelompok kualitas intergasi tinggi itu ternyata terbanyak pada orang Jawa (75%), diikuti oleh orang

Minang (73,3%), dan kemudian orang Batak (71,7%). Orang Batak yang berada pada kualitas integrasi sedang

adalah paling banyak (25%), diikuti oleh orang Jawa (20%) dan orang Minang (16,7%). Sedangkan pada

kualitas integrasi rendah paling banyak ada pada orang Minang (10%), diikuti oleh orang Jawa (05%), dan

orang Batak (3,3%).

3. Kualitas Integrasi dan Kepemelukan Agama

Tabel 5
Kualitas Integrasi Pemeluk Islam dan Pemeluk Kristen

Kualitas Agama
Integrasi
Islam Kristen
frekwensi prosentase frekwensi prosentase
Rendah 11 11 -
Sedang 31 19,4 06 30
Tinggi 118 73,8 14 70
Total 160 100 20 100

Tabel ini juga memperjelas deskripsi data tabel sebelumnya. Pada tabel sebelumnya dijelaskan bahwa kualitas

integrasi di wilayah penelitian berada pada kelompok tinggi 73,3%. Pada tabel ini terlihat bahwa mereka yang
berada pada kelompok kualitas intergasi tinggi itu ternyata kebanyakan adalah pemeluk Agama Islam (73,8%)

sedangkan pemeluk Agama Kristen adalah 70%. Sementara pada kualitas integrasi sedang didominasi oleh

pemeluk Kristen (30 %), dengan proporsi pemeluk Islam pada tingkat ini hanya 19,4 %.

4. Kualitas Integrasi dan Mayoritas/minoritas

Tabel 6
Kualitas Integrasi Penduduk Mayoritas dan Penduduk Minoritas

Mayoritas Minoritas
Kualitas Integrasi
f % f %
Rendah 07 11,7 04 3,3
Sedang 16 26,7 21 17,5
Tinggi 37 61,7 95 79,2
Total 60 100 120 100

Tabel ini menunjukkan bahwa kualitas integrasi tinggi lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada

posisi minoritas (79,23 %) dibanding di wilayah mayoritas (61,7%). Sedangkan pada level kualitas integrasi

sedang, lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada posisi sebagai mayoritas (26,7%) dibanding di

wilayah minoritas (17,5%). Sementara itu kualitas integrasi pada level rendah lebih banyak dimiliki penduduk di

wilayah mereak sebagai mayoritas (11,7%) dibanding di wilayah dimana mereka sebagai minoritas (3,3%).

5. Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan

Tabel 7
Kualitas Integrasi dan Tingkat

Kualitas Tingkat Pendidikan


Integrasi
SD SMTP SMTA PT
f % f % f % f %
Rendah 02 13,3 01 4,2 05 7,2 03 4,2
Sedang 03 20 07 29,2 13 18,8 14 19,4
Tinggi 10 66,7 16 66,7 51 73,9 55 76,4
Total 15 100 24 100 69 100 72 100

Hal yang paling menonjol dari tabel ini adalah bahwa kelompok berpendidikan tinggi memiliki kualitas intergasi

kategori tinggi terbesar (76%), diikuti oleh mereka yang berpendidikan SMTA (73,9%). Sedangkan pada level

kualitas integrasi sedang, lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada tingkat pendidikan SMTP

(29,2%), diikuti oleh tingkat pendidikan dasar (20%), pendidikan tinggi (19,4%), dan SMTA (18,8%).

Sementara itu pada level kualitas integrasi rendah lebih banyak dimiliki penduduk di wilayah yang

berpendidikan SD (13,3%), diikuti secara berurutan oleh tingkat pendidikan SMTA (7,2%), dan SMTP maupun

pendidikan tinggi (masing-masing 4,2%).


6. Kualitas Intergasi dan Status Sosial Ekonomi

Tabel 8
Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi

Status Sosial Ekonomi


Kualitas
Rendah Menengah Tinggi
Integrasi
f % f % f %
Rendah 05 7,7 04 4,4 02 8,3
Sedang 14 21,5 18 19,8 05 20,8
Tinggi 46 70,8 69 75,8 17 70,8
Total 65 100 91 100 24 100

Tabel ini memperlihatkan bahwa kualitas integrasi pada level tinggi lebih banyak dimiliki oleh penduduk dengan

status sosial ekonomi menengah (75,8%), diikuti oleh tingkat sosial ekonomi tinggi dan rendah (masing-masing

70,8%). Sedangkan pada level kualitas integrasi sedang, lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada

status sosial ekonomi rendah (21,5%), diikuti oleh tingkat sosial ekonomi tinggi (20,8%), dan tingkat sosial

ekonomi menengah (19,8%). Sementara itu pada level kualitas integrasi rendah lebih banyak dimiliki penduduk

dengan status sosial ekonomi tinggi(8,3%), diikuti secara berurutan oleh tingkat sosial ekonomi rendah (7,7%),

dan tingkat sosial ekonomi menengah (4,4%).

B. Hasil Pengujian Hipotesis

Research questions penelitian ini adalah penelitian ini adalah

bagaimana dan mengapa kelompok etnis Jawa-Batak-Minang saling

berinteraksi di Yogyakarta, Tanah Karo dan Padang? Selanjutnya, setelah

membaca berbagai teori terkait peneliti menulis hipotesa yang merupakan

jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian. Setelah

mengumpulkan data dan menganalisa data itu dengan bantuan program

komputer SPSS, maka hasil uji hipotesis penelitian ini adalah sebagai

berikut.

3. Hipotesis pertama penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan

kualitas integrasi antar kelompok etnis yang berbeda.


Untuk melihat perbedaan kualitas integrasi antar etnis ini maka

dipakai analisa ANOVA. Ada dua cara pengambilan kesimpulan.

Pertama, membandingkan antar F hitung dengan F tabel. Bila F hitung

lebih besar dari F tabel maka hipotesis diterima (artinya ada perbedaan

kualitas integrasi antar kelompok etnis yang berbeda). Dari analisa

data terlihat bahwa F hitung (0,057) lebih kecil dari F tabel (3,05). Ini

berarti bahwa hipotesis ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas integrasi

antar kelompok etnis Jawa, Minang, dan Batak di lokasi penelitian.

Kedua, melihat tingkat signifikansi (P). Bila P lebih kecil dari 0,05

maka berarti hipotesis diterima. Hasil analisis data memperlihatkan

bahwa tingkat signifikansi (P=0,945) lebih besar dari 0,05. Ini berarti

bahwa hipotesis ditolak. Dengan demikian, dengan meihat tingkat

signifikansi juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

kualitas integrasi antar kelompok etnis Jawa, Minang, dan Batak di

lokasi penelitian.

Selanjutnya, jika dilihat secara lebih detil, nampak bahwa tingkat

signifikansi dalam kualitas integrasi antar kelompk etnis semua lebih

besar dari 0,05 (Jawa+Minang=0,804, Jawa+Batak=0,941, Minang-

Batak=0,747)

4. Hipotesis kedua penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan

kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda.

Sebagaimana pada hipotesis pertama, untuk melihat perbedaan

kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda ini juga dipakai
analisa ANOVA dengan dua cara pengambilan kesimpulan: pertama,

membandingkan antar F hitung dengan F tabel. Dari analisa terlihat

bahwa F hitung (0,336) lebih kecil dari F tabel (3,05). Ini berarti bahwa

hipotesis ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak

ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas integrasi antar pemeluk

agama yang berbeda di lokasi penelitian.

Kedua, melihat tingkat signifikansi (P). Hasil analisis

memperlihatkan bahwa tingkat signifikansi (P=0,715) lebih besar dari

0,05. Ini berarti bahwa hipotesis ditolak. Dengan demikian, dengan

melihat tingkat signifikansi juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda di

lokasi penelitian.

Jika dilihat secara lebih detil, nampak bahwa tingkat signifikansi

dalam kualitas integrasi antar pemeluk agama semua lebih besar dari

0,05 (Islam dengan Katolik = 0,804, Islam dengan Protestan = 0,737,

Katolik dengan Protestan=0,569).

5. Hipotesis ketiga adalah bahwa terdapat perbedaan kualitas integrasi

suatu kelompok etnis di wilayah mereka sebagai mayoritas dibanding

dengan wilayah dimana mereka sebagai minoritas. Kualitas integrasi

kelompok etnis sebagai mayoritas lebih tinggi dibanding sebagai

minoritas.

Untuk menguji hipotesis ini dipakai Uji T dengan menarik

kesimpulan melalui dua cara. Pertama, membandingkan antara T

hitung dengan T tabel. Bila T hitung lebih besar dari T tabel maka
hipotesis diterima. Dari analisa terlihat bahwa T hitung (3,315) lebih

besar dari T tabel (1,960). Ini berarti hipotesis diterima. Artinya ada

perbedaan kualitas integrasi kelompok etnis di wilayah mereka sebagai

mayoritas dibanding dengan wilayah dimana mereka sebagai

minoritas.

Kedua, dengan melihat tingkat signifikansi (P). Bila P lebih kecil dari

0,005 berarti hipotesis diterima. Hasil analisa memperlihatkan bahwa P

(0,001) lebih kecil dari 0,005. Ini berarti hipotesis diterima. Kemudian

dengan melihat perbedaan rata-rata (mean deferences) yang sebesar

-1,8667 dapat disimpulkan bahwa kualitas integrasi kelompok minoritas

lebih besar dibandingkan kelompok mayoritas.

6. Hipotesis keempat adalah bahwa ada hubungan positif antara tingkat

pendidikan dengan kualitas integrasi. Semakin tinggi tingkat

pendidikan maka semakin tinggi pula kualitas integrasi.

Untuk menguji hipotesis ini dipakai Korelasi Pearson yang

mengambil kesimpulan melalui dua cara: pertama, membandingkan r-

hitung dengan r-tabel. Bila r-hitung lebih besar dari r-tabel maka

berarti ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kualitas

integrasi. Hasil analisa data memperlihatkan bahwa r-hitung (0,087)

lebih kecil dari r-tabel (0,1946). Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kualitas

integrasi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan

kualitas integrasi antara tingkat pendidikan yang berbeda.


Kedua, dengan melihat tingkat signifikansi (P). Kalau P lebih kecil

dari 0,05 maka berarti ada hubungan antar variabel. Hasil analisa data

menunjukkan bahwa P (0,245) lebih besar dari 0,05. Maka dapat

disimpulkan juga bahwa tidak ada hubungan antara tingkat

pendidikan dengan kualitas integrasi di lokasi penelitian.

7. Hipoteis kelima adalah bahwa ada hubungan positif antara status sosial

ekonomi dengan kualitas integrasi. Semakin tinggi status sosial

ekonomi maka semakin rendah kualitas integrasi.

Sebagaimana pada hipotesis keempat, untuk menguji hipotesis ini

dipakai Korelasi Pearson yang mengambil kesimpulan melalui dua

cara: pertama, membandingkan r-hitung dengan r-tabel. Bila r-hitung

lebih besar dari r- tabel maka berarti ada hubungan antara status sosial

ekonomi dengan kualitas integrasi. Hasil analisa data memperlihatkan

bahwa r-hitung (0,082) lebih kecil dari r-tabel (0,1946). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status

sosial ekonomi dengan kualitas integrasi. Dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa tidak ada perbedaan kualitas integrasi antara status

sosial ekonomi yang berbeda.

Kedua, dengan melihat tingkat signifikansi (P). Kalau P lebih kecil

dari 0,05 maka berarti ada hubungan antar variabel. Hasil analisa data

menunjukkan bahwa P (0,273) lebih besar dari 0,05. Maka dapat

disimpulkan juga bahwa tidak ada hubungan antara status sosial

ekonomi dengan kualitas integrasi di lokasi penelitian.


8. Hipoteis keenam penelitian ini adalah bawah ada hubungan positif

antara tingkat etnisitas dengan kualitas integrasi. Semakin tinggi

etnisitas maka semakin rendah kualitas integrasi.

Sebagaimana pada hipotesis sebelumnya, untuk menguji hipotesis

ini dipakai Korelasi Pearson yang mengambil kesimpulan melalui dua

cara: pertama, membandingkan r-hitung dengan r-tabel. Hasil analisa

data memperlihatkan bahwa r-hitung (0,076) lebih kecil dari r-tabel

(0,1946). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara etnisitas dengan kualitas integrasi. Dengan kata lain

dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan kualitas integrasi antara

tingkat etnisitas yang berbeda.

Kedua, dengan melihat tingkat signifikansi (P). Hasil analisa data

menunjukkan bahwa P (0,313) lebih besar dari 0,05. Maka dapat

disimpulkan juga bahwa tidak ada hubungan antara etnisitas dengan

kualitas integrasi di lokasi penelitian.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sebagaimana disebutkan pada Pendahuluan bahwa penelitian

ini dilaksanakan untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana

dan mengapa kelompok etnis Jawa-Batak-Minang saling berinteraksi

di Jogja, Tanah Karo dan Padang. Untuk menjawab permasalah

tersebut disusun pertanyaan-pertanyaan penelitian yang kemudian

dicari jawabannya berdasarkan data-data yang ditemukan selama

penelitian dilaksanakan. Setelah data dianalisa maka diperoleh

kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan penelitian

sebabagi berikut.

1. Kualitas integrasi antar etnis Jawa, Minang dan Batak di Jogja,

Padang, dan Tanah Karo adalah tinggi (73,3%). Kualitas integrasi

tinggi ini terbanyak ada pada: orang Jawa (75%, diikuti orang

Minang=73,3%, dan orang Batak=71,7%), pemeluk Islam (73,8%,

diikuti pemeluk Kristen=70%), penduduk pada posisi minoritas

(79,23 %, posisi mayoritas=61,7%), berpendidikan tinggi (76%,

diikuti berpendidikan SMTA=73,9%, SD dan SMTP masing-masing

66,7%), berstatus sosial ekonomi menengah (75,8%, diikuti sosial

ekonomi tinggi dan rendah masing-masing 70,8%).

2. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas integrasi yang

dimiliki masing-masing kelompok etnis Jawa, Minang, dan Batak di


lokasi penelitian.

3. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas integrasi antar

pemeluk agama yang berbeda di lokasi penelitian.

4. Terdapat perbedaan kualitas integrasi kelompok etnis di wilayah

mereka sebagai mayoritas dibanding dengan sebagai minoritas.

Kualitas integrasi kelompok minoritas lebih tinggi dibandingkan

kelompok mayoritas.

5. Tidak ada perbedaan kualitas integrasi antara tingkat pendidikan

yang berbeda.

6. Tidak ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan kualitas

integrasi.

7. Tidak ada hubungan antara etnisitas dengan kualitas integrasi.

B. Saran

1. Data empiris penelitian ini membuktikan bahwa kepemelukan

agama, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan etnisitas

tidak memiliki hubungan signifikan dengan kualitas integrasi.

Satu-satunya variabel yang memiliki derajat hubungan yang

signifikan dengan kualitas integrasi adalah posisi minoritas-

mayoritas kelompok etnis dalam interaksi mereka dengan

kelompok etnis lain. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan

integrasi sosial yang lebih baik di berbagai wilayah lain, perlu

dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap variabel mayoritas-

minoritas ini.
2. Penelitian yang dimaksud hendaknya dilakukan dengan

pendekatan kualitatif, dalam rangka memahami dinamika

sosiologis yang lebih mendalam tentang integrasi sosial antara

kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas itu.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Madjid, Khoiruddin Bashori , Mahli Zainuddin, Dinamika Konflik


dan Integrasi Antar Etnis Dayak dan Madura, Penelitian Hibah
Bersaing Ditjen Binbaga Departemen Agama RI, 2001.

Amal, Ichlasul & Armaidy, Armawi (ed.), Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap
Konsepsi Ketahanan Nasional, Yogyakarta: Gadjahmada
University Press, 1996.

Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers,


1990.

Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas”
Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Bangura, Yusuf, The Search for Identity: Ethnicity, Religion and Political
Violence, makalah ke-6 World Summit for Social Development,
Kopenhagen, 1995.

Borgotta, Edgar F., Encyclopedia of Sociology.

Ecip, S. Sinansari, Menyulut Ambon: Kronologi Merambatnya Berbagai


Kerusuhan Lintas Wilayah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.

Eriksen, Thomas Hylland, Ethnicity and Naturalism. Anthropological


Perspective, Colorado: Pluto Press London Boulder, 1993.

Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pers,


1999.

Giddens, Anthony, Human Societies A Reader, Cambridge: Polity Press,


1992.

Hadi, Sutrisno & Pamardiyanto, Seno, Seri Program Statistik, Yogyakarta:


Universitas Gadjahmadda, 1997.

Horton, Paul B & Hunt, Chester L., Sosiologi, Jakarta: Airlangga, 1992.

Jary, David &Julia, Collins Dictionary of Sociology, Galsgow: HarperCollins,


1991.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1990.

Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Jakarta:


UI-Press, 1993.
Krishnan, Parameswara, Critical Sociology: Essays in Honour of Arthur K.
Davis, Delhi: B.R. Publishing Corporation, 1995.

Lambang Trijono, Keluar Dari Kemelut Maluku, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2001.

Mahli Zainuddin, Integrasi Antar Komunitas Agama: Islam dan Kristen di


Kecamatan Ngampilan Yogyakarta, tesis tidak diterbitkan pada
Program Studi Sosiologi, Program Pasca Sarjana UGM, 2001

Mitchell, G. Duncan, A Dictionary of Sociology, London & Henley:


Routledge& Keegan Paul, 1968.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1998.

Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


1998.

Mujiana, Potensi Konflik Antar Umat Beragama Dalam Masyarakat Majemuk,


tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Ketahanan Nasional,
Program Pasca Sarjana UGM, 1999.

Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar


Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.

O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Jakarta:


Rajawali Pers, 1987.

Retnowati, Agama, Konflik dan Integrasi Sosial (Rekonsiliasi Islam dan Kristen
Pasca Kerusuhan Situbondo), tesis tidak diterbitkan pada Program
Studi Sosiologi, Program Pasca Sarjana UGM, 2000.

Robertson, Roland, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,


Jakarta: Rajawali Pers, 1995.

Shills, David L. (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, New


York: The MacMillan Company and The Free Press, 1972.

Singarimbun, Masri, “Hak Ulayat Masyarakat Daerah.” Makalah


disampaikan pada Seminar Kebudayaan Dayak, Pontianak,
1992.

-------------------------- & Effendi, Sofian, Metode Penelitian Survai, Jakarta:


LP3ES, 1982.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.


Steenbrink, Karel, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam
di Indonesia (1596-1942), Bandung: Mizan, 1995.

Sudagung, Hendro Suroyo, “Pembinaan bangsa dan Karakter Bangsa


Melalui Hubungan Antar Suku Bangsa” dalam Proyeksi,
Universitas Tanjung Pura, 1987.

Sumarjan, Selo, Steriotip Etnik, Asimilasi dan Integrasi Sosial, Jakarta:


Pustaka Grafika Kita, 1988.

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, 1993.

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metoda, Teknik,


Bandung: Tarsito, 1989.

Susanto, Astrid S., Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung:


Binacipta, 1979.

Svalastoga, Kaare, Diferensiasi Sosial, Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Tanja, Victor I., Pluralisme Agama dan Problema Sosial: Diskursus Teologi
tentang Isu-isu Kontemporer, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998.

Thayib, Anshari, dkk. (ed.), Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama,
Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997.

Wirosardjono, Soetjipto, Agama dan Pluralitas bangsa, Jakarta:


Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M),
1994.

Majalah dan Koran:

ADIL, 19 Maret 2001, 29 Maret 2001.

REPUBLIKA, 23 Februari 2001.

TEMPO, 23 Januari 2000.

Anda mungkin juga menyukai