Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH STUDI KEBANTENAN

Multikulturalisme dan Pluralisme pada Masyarakat Banten dalam


Bidang Budaya, Agama, dan Etnik

Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Kebantenan


Dosen Pengampu : Dr.H.Agus Rustamana,M.Pd.,M.Si

Disusun Oleh :
Kelompok 12
Fikral Aditya Asril (3334200091)
Khairul Majiid (3334200014)
Bagus Prasetya (3334200041)
Daniel Ibornov Ghani (3334200107)
Muhammad Alifanza Ahsani (3334200100)
Methalia Novrindah (3334200060)

JURUSAN TEKNIK METALURGI


FAKULTAS TENIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah


SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inaya-Nya
kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas penyusunan makalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Studi Kebantenan ini.

Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih


kepada Bapak Dr. H. Agus Rustamana,M.Pd.,M.Si. selaku dosen pengampu mata
kuliah Studi Kebantenan yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini serta selalu mendukung kelancaran tugas kami, tidak lupa
pada tim anggota kelompok 12 yang selalu kompak dan konsisten dalam
penyelesaian tugas ini.

Dalam makalah kami akan membahas tentang Budaya dan Sejarah di


daerah Banten ini. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca akan
saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan dan peningkatan
kualitas penyusunan makalah dimasa yang akan datang. Dan kami berharap,
semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami penyusun dan
para pembaca semuanya. Aamiin.

Cilegon, 27 Februari 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
BAB II 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Multikulturalisme 6
2.2 Pluralisme 7
BAB III 13
PEMBAHASAN 13
3.1 Budaya Masyarakat Banten 13
3.1.1 Bahasa 13
3.1.2 Alat Musik (Angklung Buhun) 14
3.1.3 Tradisi Debus 16
3.1.4 Rudat 18
3.1.5 Tari Cokek 19
3.1.6 Pencak Silat 21
3.2 Etnik Masyarakat Banten 22
3.2.1 Asal usul 22
3.2.2 Bahasa 23
3.3 Agama Masyarakat Banten 23
3.3.1 Tokoh Pendidikan Islam di Banten 24
3.3.2 Peninggalan Sejarah Agama di Banten 24
BAB IV 26
PENUTUP 26
4.1 Kesimpulan 26
DAFTAR PUSTAKA 27

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banten terlahir dengan penduduk yang multikultur, baik dari sisi budaya,
agama, maupun etnik. Keanekaragaman ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak
dapat dinapikan oleh siapapun. Keanekaragaman tersebut menimbulkan
multikulturalisme dan pluralisme dalam masyarakat banten. Keanekaragaman
pada masyarakat banten menjadi kekuatan sekaligus modal sosial (social kapital)
untuk mewujudkan banten yang maju, unggul dan sejahtera. Realitas warna-warni
dalam sebuah provinsi bukan hanya menggambarkan keindahan tapi menampilkan
kerukunan, kedamaian dalam pergaulan satu sama lain.
Masyarakat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan dan kekhasan
tersendiri yang membedakan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Keunikan tersebut menjadikan sebuah modal bagi eksistensi budaya Banten untuk
dapat diperkenalkan kepada masyarakat umum.
Keunikan budaya Banten dapat dilihat dari berbagai macam kesenian
tradisional, upacara adat, tradisi kepercayaan dalam ritual keagamaan dan
kegiatan lainnya. Kegiatan budaya ini masih dipertahankan dan dilestarikan
karena masyarakat Banten beranggapan bahwa didalam suatu budaya itu
mengandung nilai – nilai budaya kewarganegaraan yang telah mengakar dalam
jiwa masyarakat Banten. Nilai – nilai budaya kewarganegaraan tersebut tercermin
dari pola tingkah laku dan kebiasaan masyarakat setempat.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Multikulturalisme dan Pluralisme pada Masyarakat Banten
dalam Bidang Budaya, Agama, dan Etnik ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mempelajari dan memahami multikulturalisme dan pluralisme yang ada
pada masyarakat Banten dalam bidang budaya, agama, dan etnik

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Multikulturalisme
Multikulturalisme merupakan suatu bentuk pandangan ideologis yang
mengedepankan asas kebersamaan dan kemanusiaan. yang umumnya dipengaruhi
maupun dilatarbelakangi dari realitas sejarah dan kondisi berbagai perbedaan
yang ada dalam realitas. Beberapa pengertian tentang multikulturalisme menurut
para ahli sebagai berikut:

a) Menurut Azyumardi Azra (2007), multikulturalisme adalah


pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan
terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat. (Azra, 2007)

b) Menurut Bikhu Parekh (1997), multikulturalisme adalah suatu


masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya
dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsep
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial,
sejarah, adat serta kebiasaan. (Abidin, 2016)

c) Menurut Lawrence Blum, multikulturalisme adalah pemahaman


atas suatu ideologi yang menerima perbedaan dengan dasar
kesadaran, baik secara individual atau kelompok. (Abidin, 2016)

d) Menurut M.Atho’ Muzar (2007), multikulturalisme mencakup


gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh
masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya,
agama, dsb. Tetapi mempunyai cita-cita untuk mengembangkan
semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk
mempertahankan. (Abidin, 2016)

6
Faktor-faktor penyebab timbulnya multikultural adalah keadaan geografis,
pengaruh kebudayaan asing, perkawian campur dan juga iklim yang berbeda.
Permasalahan yang terjadi dalam multikultural yaitu keanekaragaman budaya dan
masyarakat dianggap pendorong utama penyebab permasalahan multikultural.
Contohnya seperti keanekaragaman suku bangsa, keanekaragaman agama, dan
keanekaragaman ras. (Bourdieu, 1990)

Konsep multikurturalisme sebenarnya telah dikemukakan oleh para


pendiri bangsa Indonesia untuk menggambarkan kebudayaan bangsa Indonesia
dalam sebuah konsep ideologi bangsa (Pancasila). Permasalahan yang mendukung
ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hokum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika, moral, tingkat serta mutu produktivitas. (Abidin,
2016)

Beberapa upaya membangun Indonesia yang multikultural dengan cara


menyebarkan konsep multikulturalisme secara bagi bangsa Indonesia, serta
mendorong keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun local untuk
mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya. Membentuk kesamaan pemahaman
di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan
konsep-konsep pendukungnya. Dan berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan
cita-cita ini. Di dalam konteks Indonesia, multicultural mendapatkan momentum
setelah jatuhnya Orde Baru. (Bourdieu, 1990)

2.2 Pluralisme
Kata pluralisme yang kata asalnya plural, sering diterjemahkan sebagai
jamak atau majemuk dan dibelakang kata plural ditambah isme yang berarti
paham atau keprcayaan (Achmad, 2014). Pluralisme adalah bentuk kelembagaan
dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau
dunia secara keseluruhan. Pluralisme melindungi kesetaraan dan munumbuhkan
rasa persaudaraan di antara manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
Pluralisme menuntut upaya untuk memahami pihak lain dan kerjasama mencapai
kebaikan bersama. Pluralisme adalah bahwa semua manusia dapat menikmati hak

7
dan kewajibannya setara dengan manusia lainnya. Kelompok-kelompok minoritas
dapat berperanserta dalam suatu masyarakat sama seperti peranan kelompok
mayoritas. Pluralisme dilindungi oleh hukum negara dan hukum internasional
(Osman, 2006).

Definisi lain dari pluralisme dapat diartikan bahwa Pluralisme merupakan


suatu sistem nilai atau pandangan yang mengakui keragaman di dalam suatu
bangsa. Keragaman atau kemajemukan dalam suatu bangsa itu haruslah senantiasa
dipandang positif dan optimis sebagai kenyataan riil oleh semua anggota lapisan
masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara (sutarno, 2007).

Esensi makna pluralisme tidak hanya diartikan sebagai sebuah pengakuan


terhadap keberagaman suatu bangsa, akan tetapi disamping itu pluralisme juga
mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi.8 Oleh karena itu
secara praktis pluralisme selalu dikaitkan dengan prinsip-prisip demokrasi, hal ini
dapat diartikulasikan bahwa pluralisme berkenaan dengan hak hidup
kelompok-kelompok yang hidup dalam suatu komunitas.

Dalam tataran formil selalu ada Negara yang menyatakan dirinya sebagai
Negara demokrasi, akan tetapi dalam praktenya tidak mengakui pluralisme
sebagai kenyataan dan keniscayaan yang harus disadari dan diterima sebagai
konsekuensi logis dalam menjalani kehidupan, yang pada gilirannya bahkan
berujung pada sikap diskriminatif terhadap salah satu kelompok yang berbeda
utamanya dalam kelompok agama-agama (susilo)

Pluralisme terdiri dari beberapa jenis yang saat ini berkembang di


masyarakat, diantaranya: (Abdul, 2021)

Jenis-jenis pluralisme terbagi menjadi beberapa macam, antara lain:

● Pluralisme Budaya

Pluralisme budaya adalah kondisi budaya yang majemuk, yang mana


istilah ini digunakan untuk menggambarkan penerimaan budaya alternatif.

8
Maksudnya, orang-orang hidup bersama dengan saling toleransi terhadap
budaya orang lain yang berbeda-beda agar tercapai pluralitas.

Karena, sering sekali keberagaman budaya ini menyebabkan konflik.


Hal ini disebabkan oleh munculnya persaingan, sikap egosentrisme dan
primordialisme yang mengklaim bahwa kebudayaan mereka paling terbaik
dibandingkan budaya lain.

● Pluralisme Agama

Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang memiliki makna luas,


berkaitan dengan penerimaan terhadap agama yang berbeda dan digunakan
dalam cara yang berbeda-beda. Pluralitas agama ini mengingatkan bahwa
semua keyakinan itu sama, karena kebenaran setiap agama adalah relatif.
Karena itu, setiap umat beragama tak boleh mengklaim bahwa keyakinan yang
dianutnya paling benar dan lainnya salah.

Selain itu, keberagaman agama dalam masyarakat ini menjadikan hidup


lebih berwarna. Keberagaman ini juga bisa diimbangi dengan sikap toleransi.
Tanpa sikap toleransi, keberagaman agama ini bisa mengakibatkan perpecahan
maupun konflik dalam masyarakat. Seperti yang kita tahu, di Indonesia ada 6
agama yang diakui oleh pemerintah, yakni islam, Kristen, katolik, hindu,
budha dan konghucu. Setiap warga negara Indonesia berhak memeluk salah
satu dari keenam agama tersebut.

● Pluralisme Sosial

Pluralisme sosial adalah sebuah paham yang menerima keberagaman


berupa sikap saling menghormati dalam interaksi sosial yang terjadi antar
individu atau kelompok pada sebuah tatanan sosial.

Dalam kehidupan bersosial, pluralisme akan tercapai bila masyarakat


saling hidup berdampingan dan menunjukkan sikap menghargai maupun
menghormati dengan orang lainnya.

● Pluralisme Ilmu Pengetahuan

9
Pluralisme ilmu pengetahuan adalah keanekaragaman ilmu yang
menjadi faktor utama pertumbuhan ilmu pengetahuan. Banyaknya teori yang
bermunculan, tapi belum bisa dibuktikan kebenarannya ini merupakan bentuk
kebebasan berpikir ilmiah sehingga bisa disimpulkan bahwa ekonomi sosial
termasuk bagian dari pluralisme ilmu pengetahuan.

Adanya pluralitas ilmu pengetahuan ini bisa memperlihatkan hak


individu dalam mengambil keputusan atas suatu kebenaran yang bersifat
menyeluruh atau universal bagi setiap individu.

● Pluralisme Media

Pluralisme media adalah keberagaman teknologi untuk membantu


orang-orang komunikasi, baik dalam jarak jauh maupun jarak dekat. Karena,
media salah satu sarana penyampaian informasi dan diakui keberadaannya.
Ada pula beragam media yang bisa digunakan untuk menyampaikan pendapat.

Faktor-faktor penyebab dari tumbuh kembangnya pluralisme ini dapat


disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan faktor eksternal. Kedua faktor
tersebut masih terbagi lagi menjadi beberapa bagian. Penjelasan dari kedua
faktor ini adalah sebagai berikut.

● Faktor Internal
Faktor internal dalam kasus ini yaitu mengenai masalah teologis.
Keyakinan seseorang yang mutlak dan absolut terhadap apa yang diyakini
dan diimaninya merupakan hal yang wajar. Sikap absolutism agama tak
ada yang mempertentangkannya hingga muncul teori relativisme agama.
Dalam pemikiran relativisme ini merupakan sebuah konsep daari sikap
dasar pluralism terhadap agama (Yusuf dkk, 2005).

● Faktor Eksternal
Dalam faktor eksternal ini terbagi menjadi 2, yaitu faktor sosio-politik dan
faktor keilmuan.
- Faktor Sosio-Politik

10
Faktor ini berhubungan dengan munculnya pemikiran mengenai
masalah liberalisme yang menyuarakan kebebasan, toleransi,
kesamaan, dan pluralisme. Liberalisme inilah yang menjadi cikal bakal
pluralisme. Pada awalnya liberalisme hanya menyangkut mengenai
masalah politik belaka, namun pada akhirnya menyangkut masalah
keagamaan juga. Politik liberal atau proses demokratisasi telah
menciptakan perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan
pandangan manusia terhadapa agama secara umum. Sehingga dari
sikap ini timbullah pluralisme agama. Situasi politik global yang kita
alami saat ini menjelaskan kepada kita secara gamblang tentang betapa
dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia secara
umum. Dari sinilah terlihat jelas hakikat tujuan yang sebenarnya sikap
ngotot barat untuk memonopoli tafsir tunggal mereka tentang
demokrasi. Maka pluralisme agama yang diciptakan hanya merupakan
salah satu instrumen politik global untuk menghalangi munculnya
kekuatan-kekuatan lain yang akan menghalanginya (sururin, 2005).

- Faktor Keilmuan
Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan
dengan munculnya pluralisme. Namun yang berkaitan langsung
dengan pembahasan ini adalah maraknya studi-studi ilmiah modern
terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal dengan
perbandingan agama. Diantara temuan dan kesimpulan penting yang
telah dicapai adalah bahwa agama- agama di dunia hanyalah
merupakan ekspresi atau manifestasi yang beragam dari suatu hakikat
metafisik yang absolut dan tunggal, dengan kata lain semua agama
adalah sama (sururin, 2005).

Dalam penjelasan pluralisme diatas bahwa pluralisme dapat memberikan


dampak yang mana dapat berupa dampak positif maupun negatifnya. Dalam hal
positif pluralisme bisa menjadi media dari sikap toleransi keberagaman antar
masyarakat, dan bentuk warga yang modern. Sementara dampak negatif yang

11
dapat ditimbulkan diantaranya dapat memunculkan sikap persaiangan antar suku,
ras, maupun agama, pemicu terjadinya perpecahan jika tidak di tafsirkan secara
benar, dan munculnya sikap egois dan individual yang berkedok kebudayaan
dalam penerapannya di kalangan masyarakat.

12
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Budaya Masyarakat Banten


Mayoritas seni budaya Banten merupakan kesenian peninggalan sebelum
Islam dan dipadu atau diwarnai dengan agama Islam. Misalnya arsitektur masjid
dengan tiga tingkat sebagai simbolisasi Iman, Islam, Ihsan, atau Syari’at,
Tharekat, Hakekat. Mengenai kesenian lain, ada pula yang teridentifikasi kesenian
lama (dulu) yang belum berubah, kecuali mungkin kemasannya. Dalam catatan
sejarah potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, sebagian besar anggota
masyarakat memeluk Agama Islam dengan semangat religius yang sangat tinggi,
tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai. Potensi dan
kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain meliputi Bahasa, Alat musik
(angklung buhun), Seni Bela Diri Pencak Silat, Debus, Rudat, Tari Cokek. Berikut
beberapa budaya yang akan kami jelaskan.

3.1.1 Bahasa
Penduduk Asli yang hidup di Provinsi Banten berbicara menggunakan
dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda Kuno. Dialek tersebut
dikelompokkan sebagai bahasa kasar dalam bahasa Sunda modern, yang
memiliki beberapa tingkatan dari tingkat halus sampai tingkat kasar
(informal), yang pertama tercipta pada masa Kesultanan Mataram
menguasai Priangan (bagian tenggara Provinsi Jawa Barat). Namun
demikian, di Wilayah Banten Selatan Seperti Lebak dan Pandeglang
menggunakan Bahasa Sunda Campuran, Sunda Kuno, Sunda Modern dan
Bahasa Indonesia, di Serang dan Cilegon, bahasa Jawa Banten digunakan
oleh etnik Jawa. Dan, di bagian utara Kota Tangerang, bahasa

13
Indonesia dengan dialek Betawi juga digunakan oleh pendatang beretnis
Betawi. Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa dan dialek Betawi, bahasa
Indonesia juga digunakan terutama oleh pendatang dari bagian lain
Indonesia.

3.1.2 Alat Musik (Angklung Buhun)

Gambar 3.1 Angklung Buhun


Angklung Buhun adalah alat musik angklung tradisional dari
masyarakat Baduy di Banten. Bagi masyarakat Baduy, kesenian Angklung
Buhun ini merupakan salah satu kesenian yang dianggap sakral dan
memiliki nilai khusus di dalamnya. Kesenian Angklung Buhun biasanya
hanya di tampilkan pada acara tertentu saja, terutama pada saat penanaman
padi.

3.1.2.1 Asal Mula Angklung buhun

Kesenian Angklung Buhun ini merupakan kesenian yang


tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat Baduy. Menurut sumber
sejarah yang ada, Angklung Buhun berasal dari Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten. Kesenian Angklung Buhun sendiri dipercaya sudah
ada sejak terbentuknya masyarakat Baduy, sehingga bagi mereka
kesenian ini memiliki makna yang sangat penting dalam
mempertahankan eksistensi masyarakat di sana. Angklung Buhun ini
dalam bahasa sunda berarti “angklung tua” atau “angklung kuno”.
Seperti yang dikatakan di atas, Angklung Buhun ini sudah ada sejak
ratusan tahun yang lalu. Sehingga bagi masyarakat Baduy, Angklung

14
Buhun ini menjadi salah satu pusaka yang memiliki makna sangat
penting di dalamnya.
Kesenian Angklung Buhun ini hanya dimainkan pada acara
tertentu saja. Biasanya Angklung Buhun hanya dimainkan sekali
dalam satu tahun, yaitu pada saat upacara ngaseuk. Upacara ngaseuk
ini merupakan salah satu bagian dari upacara adat saat penanaman
padi.

3.1.2.2 Perkembangan Angklung Buhun

Angklung Buhun ini hampir sama dengan alat musik


angklung pada umumnya, baik dari segi bentuk maupun suara.
Namun tampilan sedikit berbeda terlihat pada pernak-pernik yang
terdapat pada bagian atas bingkai angklung. Pada bagian atas
Angklung Buhun biasanya dihias dengan batang padi atau daun
panjang yang diikat secara berkelompok. Dalam pertunjukannya,
biasanya terdapat 9 jenis angklung dan 3 buah bedug kecil
memanjang. Jenis angklung tersebut diantaranya indung, ringkung,
gimping, dondong, enklok, indung leutik, trolok, reol 1, dan reol 2.
Sedangkan untuk bedug terdiri dari bedug, telingtung, dan ketug.
Jenis-jenis instrument tersebut tentu memiliki fungsi dan makna
simbol tertentu di dalamnya.

Pemain Angklung Buhun ini diharuskan laki-laki yang


merupakan para seniman buhun. Untuk jumlahnya di sesuaikan
dengan jumlah alat musik Angklung 15 Buhun, diantaranya 9
pemain angklung dan 3 orang pemain bedug. Dalam
pertunjukannya, para pemain Angklung Buhun ini menggunakan
busana khas masyarakat badui. Busana tersebut diantaranya adalah
baju lengan panjang dan celana pendek berwarna hitam. Selain itu
juga terdapat ikat kepala dari kain yang memiliki warna sedikit
berbeda dari warna bajunya

15
Dalam perkembangannya, kesenian Angklung Buhun ini
masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Baduy di Provinsi
Banten. Selain bagian dari warisan budaya, kesenian ini juga
merupakan warisan tradisi yang memiliki makna penting bagi
masyarakat Baduy sehingga tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Kesenian Angklung Buhun ini sangat jarang bisa ditemukan di
masyarakat. Karena sifatnya yang sakral dan bagian dari ritual,
kesenian ini hanya ditampilkan pada acara tertentu saja.

3.1.3 Tradisi Debus

Gambar 3.2 Debus

Debus merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang


diciptakan pada abad ke-16, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan
Maulana Hasanuddin (1532-1570), dalam rangka penyebaran agama
Islam. Agama Islam diperkenalkan ke Banten oleh Sunan Gunung Jati,
salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi
damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda Kelapa.37 Kemudian,
ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan
semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Apalagi, di
masa pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang
dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC.
Kedatangan kaum kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat

16
jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman
akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran akidah dengan
tradisi pra-Islam. Hal ini yang terdapat pada kesenian debus.

Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat
dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar.
Ada lagi pendapat bahwa debus berasal dari kata tembus. Dalam pespektif
lain, ada lagi yang menyebutkan bahwa debus berasal dari kata gedebus,
yaitu nama salah satu benda tajam yang digunakan dalam pertunjukan
kekebalan tubuh. Benda tajam tersebut terbuat dari besi, dan digunakan
untuk melukai diri sendiri. Oleh karena itu kata debus dapat diartikan
sebagai tidak tembus. Debus adalah salah satu ilmu warisan leluhur yang
cukup dikenal hingga kepelosok Nusantara. Bahkan oleh sedulur yang
sudah diakui kepiawaiannya dalam keilmuan debus, atraksi memotong
lidah, memotong anggota badan yang lain juga sering kali dipertontonkan
baik dalam negeri hingga ke mancanegara.

Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri sebenarnya ada


hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh Nurrudin
Ar-Raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan suatu ritual
sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena
“bertatap muka” dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai
benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi sederhananya adalah “la haula wala
Quwwata illa billah al-‘aliyy al-adzhim” atau tiada daya upaya melainkan
karena Allah semata. Jadi kalau Allah tidak mengijinkan pisau, golok,
parang atau peluru sekalipun melukai mereka, maka mereka tak akan
terluka. Pada kelanjutannya, tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di
Minang pun dikenal istilah Dabuih. Keyakinan kepada Allah model inilah
yang menjadikan debus hingga saat ini masih terus dikenal bahkan
menjadi warisan budaya

Pada zaman dahulu, ilmu debus dijadikan sarana perisai untuk


melawan senjata api para penjajah dan dijadikan pengobatan apabila ada

17
yang terluka karena sabetan pedang atau terjangan peluru. Namun kini
seiring perkembangan zaman, ilmu langka ini dijadikan komoditi hiburan
dan seni budaya. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan
biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali
oleh orang lain. Atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang
ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam
atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa
luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit,
pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai
terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika
itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat
dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh dan
masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.

3.1.4 Rudat
Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang merupakan
perpaduan unsur tari, syair shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu
dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat terdiri dari sejumlah
musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang
(pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari.Menurut
beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan
dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan
dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa
pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan
Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M). Tidak
banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena
sekarang sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit
bahkan sebagian sudah meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan
nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua
orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang pemilik naskah
yang menjadi sesepuh disana. Meskipun tidak banyak yang mengetahui

18
pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat sebetulnya
jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkahlangkahnya
merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan
diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi
rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau
dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari
mancanegara. Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan
sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah
terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV Pangeran
Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596- 1651
M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena
dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri
dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.

3.1.5 Tari Cokek

Gambar 3.3 Tari cokek

Cokek adalah sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang


dimainkan kali pertama sekitar abad ke-19. Ketika itu, tarian ini
diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan tanah Tionghoa di
Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan
Sio Kek mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang.
Tan Sio Kek mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan
Cina. Ketika itu, para musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah
alat musik dari negara asalnya.

19
Salah satu alat musik yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai.
Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu kemudian memainkan alat musik
yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat yang bersamaan, grup
musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik tradisional
dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang.

Lantunan nada dari perpaduan alat musik daratan Cina dan


Tangerang itu kemudian dikenal dengan nama musik Gambang Kromong.
Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek menghadirkan tiga orang
wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari mengikuti alunan
musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta
menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi
anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di
provinsi Banten mulai mengenal nama tari Cokek.

Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari
wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7
orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik.
Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri
khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai
bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek
relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning,
serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai
selendang.

Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai


pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta
pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan
yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan
sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke
Tangerang.

20
Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang
terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di
tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton
untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali
tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari
Cokek.

Jika pertunjukan Cokek diselenggarakan untuk acara pernikahan,


penari Cokek biasanya mengajak pengantin lelaki atau beberapa orang
tamu undangan untuk menari bersama. Ketika diselenggarakan untuk
menyambut tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu kehormatan
itulah yang mendapat kesempatan pertama menari bersama penari Cokek.

Tanda ajakan dari penari yakni sehelai selendang yang dikalungkan


ke leher para tamu. Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai
selendang dari penari Cokek telah dikalungkan, pantang bagi tamu itu
ataupun siapa saja untuk menolak. Penolakan itu diyakini dapat
mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah yang
nantinya menari bersama para penari Cokek hingga pertunjukan tari
Cokek

3.1.6 Pencak Silat


Kebudayaan pencak silat merupakan seni bela diri yang berakar dari
budaya asli bangsa Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah
menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat
secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi
oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad
ke15 di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama
dengan pelajaran agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau.
Budaya sholat dan silat menjadi satu keterikatan erat dalam penyebaran
pencak silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari
rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi

21
penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan
spiritual.

Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga


penyebarannya tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak
nama dari jurus dan gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari
aksara dan bahasa arab. Pencak silat Banten mulai dikenal seiring dengan
berdirinya kerajaan Islam Banten yang didirikan pada abad 15 masehi
dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin. Perkembangan pencak silat
pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat sebagai alat untuk
penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal ketangkasan bela
negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai berbagai
aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan masyarakat
umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah. Pada saat ini
pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas dengan pendekar dan
jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.

3.2 Etnik Masyarakat Banten


Etnik merupakan kelompok manusia dalam sistem sosial atau kebudayaan
yang mempunyai kedudukan tertentu karena hukum budaya istiadat, agama,
bahasa, dan perilaku. contohnya yang ada di masyarakat banten.

3.2.1 Asal usul

Asal usul suku Banten erat kaitannya dengan sejarah


berdirinya Kesultanan Banten, berbeda dengan Suku Cirebon yang bukan
merupakan bagian dari Suku Sunda maupun Suku Jawa (melainkan hasil
percampuran dari dua budaya besar, yaitu Sunda dan Jawa), Suku Banten
bersama Urang Kanekes (Baduy) pada dasarnya adalah sub-etnik
dari Suku Sunda yang mendiami bekas wilayah Kesultanan
Banten (wilayah Karesidenan Banten setelah Kesultanan Banten

22
dihapuskan dan dianeksasi oleh pemerintah Hindia Belanda). Hanya saja
setelah dibentuknya Provinsi Banten, kemudian sebagian orang
menerjemahkan Bantenese sebagai kesatuan etnik dengan budaya dan
bahasa tersendiri, Budaya dan Bahasa Sunda Banten

3.2.2 Bahasa

Penduduk Asli yang hidup di Provinsi Banten berbicara


menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda
Kuno. Dialek tersebut dikelompokkan sebagai bahasa kasar dalam bahasa
Sunda modern, yang memiliki beberapa tingkatan dari tingkat halus
sampai tingkat kasar (informal), yang pertama tercipta pada masa
Kesultanan Mataram menguasai Priangan (bagian tenggara Provinsi Jawa
Barat). Namun demikian, di Wilayah Banten Selatan Seperti Lebak dan
Pandeglangmenggunakan Bahasa Sunda Campuran, Sunda Kuno, Sunda
Modern dan Bahasa Indonesia, di Serang dan Cilegon, bahasa Jawa
Banten digunakan oleh etnik Jawa. Dan, di bagian utara Kota
Tangerang, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi juga digunakan oleh
pendatang beretnis Betawi. Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa dan
dialek Betawi, bahasa Indonesia juga digunakan terutama oleh pendatang
dari bagian lain Indonesia. 

3.3 Agama Masyarakat Banten


Jumlah penduduk Banten menurut Agama/Kepercayaan pada Juni 2021
yaitu sebanyak 11,12 juta jiwa atau 94,82% mayoritas penduduk provinsi Banten
beragama Islam. Kontak awal Islam dengan kepulauan nusantara mayoritas
berlangsung di pesisir pantai, khususnya melalui aktivitas perdagangan antara
penduduk lokal dengan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat (India). Dalam
perjalanan sejarahnya, menurut Hoesein Djajadiningrat, bahwa penyebaran Islam
di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526 M.
Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama

23
Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang
diberi nama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya lahir pula pangeran
Hasanuddin. Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, Syarif
Hidayatullah pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana.
Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran
Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam ini Pangeran Hasanuddin
berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang bahkan
sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Sehingga berangsur-angsur penduduk
Banten Utara memeluk agama Islam.

3.3.1 Tokoh Pendidikan Islam di Banten


● Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi

● K.H. Asnawi

● K.H. Mas Abdurahman

Tokoh-tokoh di atas merupakan tokoh penting dalam pendidikan


islam di Banten.

3.3.2 Peninggalan Sejarah Agama di Banten


● Vihara Avalokitesvara 

Vihara Avalokitesvara merupakan bangunan yang Vihara, yaitu


tempat bersembahyang bagi umat Budha kala itu, dan Vihara tersebut
diberi nama Avalokitesvara. Bangunan vihara ini masih dapat berdiri
dengan kokohnya sampai sekarang.

● Kerkhof

Sebuah tempat untuk bersemayam bagi orang-orang eropa yang


sudah meninggal, orang tersebut diantaranya warga Belanda, Perancis,
Inggris, dan warga Eropa lainnya, itulah yang dinamakan Kerknof.

● Masjid Agung Banten

24
Sultan Maulana Hasanudin (anak pertama Sunan Gunung Jati)
mendirikan masjid ini pada tahun 1652, peninggalan kerajaan banten ini
terletak di Desa Banten Lama, 10 km utara Kota Semarang. Masjid ini
memiliki kelengkapan berupa mercusuar.

● Keraton Surusowan

Keraton Surosowan digunakan sebagai tempat tinggal para sultan Kerajaan


Banten, seperti sultan Maulana Hasanudin 1552- Sultan Haji yang menjabat
selama kurang lebih pada 1672-1687.

25
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dalam sejarah tumbuh dan berkembangnya Banten tidak luput dari adanya
multikulturalisme dan pluralisme, kedua hal tersebut terikat satu sama lain dan
memiliki peran yang besar dalam hal ini. Dimana sudah dijelaskan bahwa,
Multikulturalisme ialah pemahaman atas suatu ideologi yang menerima perbedaan
dengan dasar kesadaran, baik secara individual atau kelompok. Sedangkan
pluralisme merupakan sebuah pemikiran yang menghargai adanya perbedaan di
tengah kehidupan masyarakat dan mengizinkan kelompok berbeda yang
diperngaruhi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal. Multikulturalisme
dan pluralisme masyarakat banten berkembang dengan sendirinya secara natural
melalui proses yang panjang hingga menghasilkan kebudayaan yang pada
awalnya berlatar belakang suatu etnik atau agama tertentu kemudian diterima oleh
masyarakat Banten dan berkembang hingga saat ini, contohnya kebudayaan tari
cokek yang diperkenalkan oleh warga tionghoa, maupun tradisi debus yang
ekstreme namun di dalamnya tersirat makna keislaman yang kental. Adapun
multikulturalisme dan pluralisme masyarakat Banten dalam bidang etnik dapat
dilihat dalam beragamnya suku bangsa yang menempati Banten dan dapat
diterima oleh penduduk asli banten itu sendiri yaitu suku baduy. Terakhir,
multikulturaisme dan pluralisme masyarakat Banten dalam bidang agama dapat
dilihat dari rukunnya masyarakat Banten dalam menjalankan kewajibannya
masing-masing sehingga terdapat tokoh-tokoh penting dan bangunan-bangunan
tempat ibadah bersejarah di Banten.

26
DAFTAR PUSTAKA

[1] H. A. Said, “Islam dan Budaya di Banten,” Kalam : Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, vol. 10, no. 1, pp. 123 - 132, 1 Juni 2016.

[2] “Negeriku Indonesia Bhineka Tunggal Ika,” September 2015. [Daring].


http://www.negerikuindonesia.com/2015/09/angklung-buhunkesenian-tradisi
onal.html. [Diakses 28 Februari 2022].

[3] “Sejarah dan Kebudayaan Provinsi Banten” Agustus 2017. [Daring].


https://satpolpp.bantenprov.go.id/upload/photos/untitled%20folder/April/Seja
rah%20Dan%20Kebudayaan%20Provinsi%20Banten.pdf

[4] Muslimah. “Sejarah Masuknya Islam dan Pendidikan Islam Masa Kerajaan
Banten Periode 1552-1935”. IAIN Palangka Raya. Volume 13. Nomor 1.
2017.

[5] Abidin, Z. (2016, Desember). Menanamkan Konsep Multikulturalisme Di


Indonesia. Cimahi: Fisip Universitas Jendral Achmad Yani Repository.

[6] Azra, A. (2007). Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme


Indonesia. Membangun Kembali Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika:
Menuju masyarakat Multikultural , Bali.

[7] Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. California: Standford University


Press

[8] Kebudayaan - Profil Provinsi | Website Resmi Pemerintah

https://www.bantenprov.go.id/profil-provinsi/kebudayaan

[9] Suku Banten

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banten

[10] About: Kelompok etnik - DBpedia

27
http://id.dbpedia.org/page/Kelompok_etnik

[11] SUKU BANTEN | Ensiklopedia Bebas - STT Bandung

http://kk.sttbandung.ac.id/id3/3042-2940/Banten_35237_kk-sttbandung.html

[12] Achmad. 2014. PLURALISME DALAM PROBLEMA. Jurnal Humaniora,

Vol 7 No.2, 189.

[13] Yusuf Mundzirin dkk. 2005. Islam Budaya Lokal. Jogyakarta,Pokja

Akademik UIN Sunan Kalijaga.

[14] Sururin. 2005.Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam: Bingkai Gagasan Yang

Berserak. Bandung:Nuansa.

[15] Fatonah Dzakie. 2014. MELURUSKAN PEMAHAMAN PLURALISME

DAN PLURALISME AGAMA DI INDONESIA. Al-AdYaN/Vol.IX, N0.1.

[16] Yusuf abdul. 20 Agustus 2021. Pengertian Pluralisme Dan Contoh,

https://penerbitbukudeepublish.com/materi/pengertian-pluralisme-dan-contoh/. 1
Maret 2022.

[17] Sutarno. 2007. Pendidikan multicultural, Ditjen Dikti, hlm 33. Jakarta.

[18] Basis Susilo. 2004. Terorisme perang global dan masa depan demokrasi:

Terorisme dan perang global, Mata pena, hlm 39. Jakarta.

[19] Mohamed Fathi Osman. 2006. Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan

Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Terj. Irfan


Abubakar, PSIK Universitas Paramadina, Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai