Anda di halaman 1dari 31

PENGARUH CULTURE SHOCK TERHADAP

KEHIDUPAN MAHASISWA DAERAH DI


ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS
INDONESIA

Disusun Oleh :
Corryna Felicia (1806215894)

Sangkala Wira G (1806184831)

Larasati (1806217003)

Siti Amalia (1806216493)

Fakultas Ilmu Administrasi

Universitas Indonesia

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

BAB I Pendahuluan 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 5

BAB II Tinjauan Pustaka 6


2.1 Multikulturalisme 6
2.2 Pluralisme 7
2.3 Culture Shock 7

BAB III Metode Penelitian 10


3.1 Desain Penelitian 10
3.2 Lokasi Penelitian 10
3.3 Data dan Jenis Data 10
3.4 Metode Pengumpulan Data 11
BAB VI Gambaran Umum dan Lokasi Penelitian 12
4.1 Gambaran Umum 12
4.2 Lokasi Penelitian 13
BAB V Hasil dan Analisis 14
5.1. Deskripsi Sampel Penelitian 14
5.2. Identitas Responden 14
5.3 Hasil Penelitian dan Analisis 16
5.4 Pembahasan 24
BAB VI Kesimpulan dan Saran 29
6.1 Kesimpulan 29
6.2 Saran 30
Daftar Pustaka 31

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, suku,


ras, maupun agama. keanekaragaman tersebut dapat disebut juga dengan istilah
multikulturalisme. Multikulturalisme yang dimiliki Indonesia menjadi modal
penting dalam mengembangkan sikap-sikap toleransi dan saling menghormati
satu sama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menerapkan
toleransi yang lebih dalam dan untuk menghindari konflik merupakan melalui
konsep keberagaman dari sudut pandang pluralisme. Namun, keanekaragaman
yang dimiliki Indonesia seringkali menjadikan seseorang sulit untuk
menyesuaikan diri di lingkungan yang memiliki budaya berbeda-beda pada setiap
daerahnya. Salah satu hambatan dalam proses penyesuaian diri yang harus
dihadapi yaitu munculnya culture shock.
Culture shock atau gegar budaya dapat terjadi ketika seseorang memasuki
suatu lingkungan yang baru dan berbeda dari lingkungan sebelumnya. Gegar
budaya juga diartikan sebagai “rasa bingung dan kecemasan yang dialami oleh
orang yang tinggal atau hidup di lingkungan atau budaya baru tanpa persiapan
yang cukup” (KBBI). Pada salah satu penelitian tentang “Culture shock:
Adjustment to New Cultural Environments, Oberg (1960, hlm.142) mengatakan
bahwa “gegar budaya muncul karena kecemasan sebagai dampak dari hilangnya
semua tanda dan lambang yang sudah lazim dalam hubungan keseharian. Tanda-
tanda tersebut mencakup seribu satu cara yang dilakukan dalam mengendalikan
diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari. Budaya layaknya kompas bagi
arah perilaku yang menuntun cara berpikir dan berperasaan individu. Ketika
individu berada dalam budaya yang berbeda, ia akan mengalami kesulitan ketika
kompas yang digunakannya tidak menunjukkan arah yang sama dengan kompas
budaya tempat mereka tinggal sebelumnya.”

3
Culture shock dapat terjadi di berbagai lingkungan, salah satunya adalah pada
Asrama Mahasiswa UI. Dalam lingkungan Asrama mahasiswa UI terdapat
banyak mahasiswa pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang tentunya
membutuhkan suatu penyesuaian diri. Munculnya berbagai perbedaan seperti
perbedaan budaya, cara pandang, latar belakang, bahasa, kehidupan sosial,
pakaian dan makanan, serta kebiasaan yang berbeda-beda menjadi serangkaian
masalah yang harus dihadapi oleh mahasiswa daerah yang berada di Asrama
Mahasiswa UI. Adanya culture shock selanjutnya juga dapat mempengaruhi
kehidupan mahasiswa yang berada di lingkungan tersebut.
Penelitian ini akan terfokus pada masalah culture shock yang dihadapi oleh
mahasiswa perantau yang bertempat tinggal di Asrama Mahasiswa UI. Makalah
yang berjudul “PENGARUH CULTURE SHOCK TERHADAP KEHIDUPAN
MAHASISWA DAERAH DI ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS
INDONESIA” ini penulis pilih karena dinilai menarik dan masih jarang
dilakukan, serta nantinya diharapkan menjadi evaluasi bagi pihak-pihak yang
bersangkutan agar dapat meningkatkan pelayanannya guna mengurangi atau
memperbaiki efek dari gegar budaya di lingkungan Asrama Mahasiswa UI yang
berlokasi di Jalan Profesor Miriam Budiardjo, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Kota
Jakarta Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, agar lebih terarah dan terfokus pada pokok
masalah, maka rumusan masalah yang kami tetapkan adalah sebagai berikut:

1.2.1. Apakah penyebab culture shock yang dihadapi oleh para mahasiswa
dalam menyesuaikan diri di lingkungan Asrama Mahasiswa UI?

1.2.2. Bagaimana dampak culture shock yang terjadi pada mahasiswa UI yang
bertempat tinggal di Asrama Mahasiswa UI?

1.2.3. Apakah solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya culture

4
shock yang dialami oleh mahasiswa daerah di Asrama Mahasiswa UI?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1. Untuk mengetahui penyebab culture shock yang dihadapi oleh para
mahasiswa dalam menyesuaikan diri di lingkungan Asrama Mahasiswa UI

1.3.2. Untuk mendeskripsikan dampak culture shock yang dialami mahasiswa


daerah di lingkungan Asrama Mahasiswa UI

1.3.3. Untuk mengetahui solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya
culture shock yang dialami oleh mahasiswa daerah di Asrama Mahasiswa UI

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Multikulturalisme

Indonesia adalah negara yang heterogen, di dalamnya terdiri dari ras, suku,
agama, bangsa yang beragam. Selain ras dan suku bangsa, Indonesia yang sangat
luas ini juga memiliki dari ribuan pulau, terpisah oleh lautan, dan berisi flora dan
fauna yang sangat beraneka ragam. Jika dilihat dari hal tersebut saja, sudah bisa
terlihat bahwa masyarakat Indonesia juga pasti sangat beragam karena berbagai
suku bangsa dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Dari hal tersebutlah
kemudian muncul pemahaman multikulturalisme, yaitu adalah sikap dan paham
yang menerima adanya berbagai kelompok manusia yang memiliki kultur dan
struktur yang berbeda. Jika terdapat perbedaan di dalam sebuah individu maupun
kelompok, hal tersebut bukan merupakan ancaman atas keberadaannya, dan
bukan berarti ia mau mengadopsi dan menganggap kultur pihak lain itu sama
baiknya dengan kultur etnisnya sendiri.

“Multikulturalisme adalah pandangan dunia yang kemudian dapat


diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami
sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik”
(Azyumardi Azra, 2007)

“Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari


beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit
perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi
sosial, sejarah, adat serta kebiasaan” (“A Multicultural society, then is one that
includes several cultural communities with their overlapping but none the less
distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of social

6
organizations, historis, customs and practices”); (Parekh, 1997)

2.2 Pluralisme

Pluralisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa orang dari ras,
agama, serta kepercayaan politik yang berbeda dapat hidup dengan damai di
masyarakat yang sama. Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka
dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa
saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama
(koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Dalam pluralisme, prinsip kesetaraan (equality), perbedaan (difference),


toleransi (tolerance), dan dapat bekerjasama antar dan intraetnis sangat dihargai
sebagai perwujudan prinsip demokrasi modern. Indonesia, sebagai salah satu
negara kepulauan dan memiliki penduduk yang sangat banyak, juga memiliki
budaya yang sangat beragam. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari
perbedaan bahasa, sukubangsa, dan keyakinan agama yang dianut. Dengan
adanya perbedaan-perbedaan ini, di satu sisi menjadi nilai positif yang menambah
kekayaan bangsa yang tidak ternilai, namun di sisi lain pluralitas tersebut
mengandung potensi yang bisa menimbulkan konflik atau bahkan disintegrasi
nasional.

2.3 Culture Shock

“Culture shock adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh orang-
orang ketika mereka bepergian atau pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru”
(Odera, 2003). Istilah ini diperkenalkan untuk pertama kali di tahun 1958 untuk
mendeskripsikan kecemasan ketika seseorang bergerak ke suatu lingkungan yang
sepenuhnya baru baik dalam negerinya sendiri sampai berpindah ke negeri lain
yang di mana seseorang tersebut merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau
bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru dan tidak
mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai. Culture shock secara umum terjadi
di minggu awal datang ke tempat yang baru.

7
Menurut Guanipa (1998) “gejala culture shock diantaranya mengalami
kesedihan, kesepian, kesulitan untuk tidur, lebih mudah untuk marah, ada rasa
untuk tidak ingin berhubungan dengan orang lain, identitas yang pudar, berusaha
sangat gigih untuk menyerap segalanya di budaya baru, tidak adanya percaya diri,
dan rindu keluarga.”
“Gejala-gejala gangguan culture shock, seperti diungkapkan Oberg” (dalam
Hidajat, dkk., 2000) memiliki enam buah aspek yaitu:
1. Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis.
2. Perasaan kehilangan keluarga, teman, status, dan kepemilikan.
3. Penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan yang baru.
4. Adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran
tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.
5. Tidak menyukai kenyataan adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai
atau norma dan sopan santun antara daerah asal dan daerah baru.
6. Perasaan tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidakmampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
“Terdapat empat tingkatan ketika seseorang mengalami culture shock
yang dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U – Curve. “
1. Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian
kiri atas dari kurva U. Fase ini terjadi ketika seseorang baru saja
berpindah dari tempat asalnya ke tempat baru dan masih berisi
kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi
individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru
mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sekolah baru,
dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan
ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang
menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi
frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah,
tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

8
3. Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai
budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat
penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya
baru.
4. Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah
mengerti elemen kunci dari budaya barunya seperti nilai-nilai, adab
khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain (Samovar, Richard
dan Edwin, 2010: 169).

9
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif. “Metode penelitian kuantitatif diartikan sebagai metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau
sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara
random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.”
(Sugiyono, 2013, p.13)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia. Subyek


yang diteliti merupakan mahasiswa S1 2018 di Universitas Indonesia yang bertempat
tinggal di Asrama Mahasiswa UI. Lokasi penelitian tersebut dipilih ditentukan karena
Asrama Mahasiswa UI merupakan tempat yang tepat untuk menemui mahasiswa dari
berbagai daerah dan memiliki berbagai perbedaan budaya atau multikultural. Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei menggunakan link berikut :
https://tiny.cc/IsiGratisOVO

3.3 Data dan Jenis Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis data primer.
Menurut Indiantoro dan Supomo (2013: 146-147) “data primer merupakan sumber
data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli, sedangkan data
sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui media perantara.”
Pada penelitian ini data primer akan diperoleh melalui hasil survei melalui
kuesioner yang akan disebar kepada mahasiswa luar Jabodetabek di Asrama UI.

10
3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah
metode survei yang dilakukan melalui penyebaran kuesioner. Menurut Sugiyono
(2013; 199) “kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan atas pernyataan tertulis yang
dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atas pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawabnya.” Dalam penelitian ini, kuisioner yang
digunakan adalah kuisioner online yang dapat diisi melalui
https://tiny.cc/IsiGratisOVO yang kemudian disebarkan melalui chat group
penghuni Asrama Mahasiswa UI pada aplikasi LINE. Populasi pada penelitian ini
sendiri adalan Mahasiswa UI angkatan 2018 yang bertempat tinggal di Asrama
Mahasiswa UI yang diketahui melalui bagian Tata Usaha Asrama UI yaitu berjumlah
762 orang. Sedangkan jumlah sampel yang didapatkan yaitu sebanyak 120 orang.

11
BAB IV

GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum

Kondisi multikulturalisme terjadi di Indonesia, begitu pula di wilayah Asrama


Mahasiswa Universitas Indonesia. Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia menuntut ilmu di Universitas Indonesia sehingga terjadi multikulturalisme.
Ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi multikulturalisme dapat menyebabkan
culture shock yang mampu berdampak negatif terhadap mahasiswa itu sendiri.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi culture shock di


wilayah Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia, penyebab beserta solusinya
melalui kuisoner yang diisi oleh 120 responden dengan pernyataan sebagai berikut :

- Saya merasa sulit beradaptasi di lingkungan asrama


- Saya merasa nyaman dengan lingkungan asrama yang multikultural
- Saya merasa takut/tegang saat pertama kali memasuki wilayah yang
mempunyai budaya yang berbeda
- Saya merasa minder dengan latar belakang budaya saya
- Saya sering merasa kehilangan jati diri ketika berada di lingkungan baru
(asrama)
- Saya merasa kesulitan berkomunikasi karena bahasa yang berbeda
- Saya sering merasa rindu dengan keluarga dan teman-teman di daerah
- Saya merasa perubahan budaya membawa dampak negatif terhadap prestasi
akademik saya
- Saya merasakan perubahan sifat dalam diri karena sulitnya beradaptasi dan
adanya multikulturalisme
- Saya merasa paguyuban saya turut membantu proses beradaptasi
- Kebiasaan apa yang kalian lakukan untuk mengurangi hal-hal buruk akibat
perbedaan budaya tersebut?

12
4.2 Lokasi Penelitian

Penelitian untuk penyelesaian makalah ini dibagi menjadi dua cara, secara
online maupun offline. Pada cara online, kuesioner disebarkan melalui beberapa grup
penghuni asrama di aplikasi LINE. Calon responden diminta untuk mengklik
https://tiny.cc/IsiGratisOVO di browser kemudian mengisi kuesioner dengan
identitas dan beberapa pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya.

Selain penyebaran kuesioner secara online, kami juga melaksanakan


penyebaran secara offline di daerah Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia, sesuai
dengan sasaran responden makalah kami yaitu Mahasiswa Universitas Indonesia non-
Jabodetabek yang tinggal di Asrama Mahasiswa.

13
BAB V

HASIL DAN ANALISIS

5.1. Deskripsi Sampel Penelitian

Objek yang diteliti pada penelitian ini adalah mahasiswa UI khususnya


angkatan 2018 yang bertempat tinggal di Asrama Mahasiswa UI. Tujuan dari
penelitian ini sendiri menitikberatkan pada pengaruh adanya culture shock terhadap
kehidupan mahasiswa UI yang berada di Asrama Mahasiswa UI.

Mahasiswa yang bertempat tinggal di Asrama Mahasiswa UI pada umumnya


adalah mahasiswa perantau yang berasal dari luar daerah jabodetabek dengan latar
belakang budaya yang berbeda-beda serta berasal dari fakultas yang berbeda-beda
pula.

Jumlah mahasiswa UI angkatan 2018 yang bertempat tinggal di asrama UI


atau populasinya adalah sebanyak 762 orang yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia. Hingga batas akhir pengumpulan survei, jumlah responden atau sampel
yang didapatkan adalah sejumlah 120 orang.

5.2. Identitas Responden

Berdasarkan survei yang telah dilakukan, sejumlah 120 orang responden yang
didapatkan berasal dari fakultas yang berbeda-beda yang tersebar di 14 fakultas yang
berada di Universitas Indonesia. Berikut adalah rinciannya:

Tabel 5.1. Asal Fakultas Responden

No Asal Fakultas Jumlah


.

1 FK 3

14
2 FKG 1

3 FIK 8

4 FKM 10

5 FF 11

6 FMIPA 13

7 FT 9

8 FASILKOM 5

9 FH 2

1 FPsi. 4
0

1 FEB 7
1

1 FIB 17
2

1 FISIP 10
3

1 FIA 20
4

Total responden 120 orang

15
Jika dilihat berdasarkan asal tempat tinggal, maka tempat tinggal responden
tersebar di seluruh Indonesia mulai dari daerah Aceh hingga Papua. Namun,
mayoritas responden berasal dari pulau jawa, khususnya Jawa Tengah.

5.3. Hasil Penelitian dan Analisis

Penelitian ini menggunakan metode kuisioner yang dapat diakses melalui link
https://tiny.cc/IsiGratisOVO dan disebarkan melalui beberapa group-chat Asrama
Mahasiswa UI dengan bantuan beberapa pihak. Pertanyaan yang diajukan sebanyak
1l soal, dengan 10 soal merupakan soal dengan jawaban berjenjang antara skala 1
sampai 6 dan 1 soal lainnya berupa soal terbuka dengan jawaban singkat.

Gambar 5.1. Hasil Penelitian Kuesioner Soal 1

Berdasarkan grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyak responden yang


mengisi variabel tersebut adalah sebanyak 120 orang responden. Jenis pertanyaan
pada variabel tersebut merupakan pertanyaan berjenjang dengan skala 1 sampai 6
dengan indikator 1 (sangat tidak sulit) hingga 6 (sangat sulit). Dari total 120
responden tersebut sejumlah 28 orang (23,3%) menjawab sulitnya tingkat adaptasi
berada pada skala 1 (sangat tidak sulit), selanjutnya sebanyak 49 orang (40,8%)
menyatakan bahwa tingkat adaptasi di lingkungan Asrama memiliki skala 2 (tidak

16
sulit), lalu sebanyak 27 orang (22,5%) memilih skala 3 (cukup tidak sulit) dalam
beradaptasi di lingkungan asrama, kemudian sejumlah 9 orang (7,5%) memilih skala
4 (cukup sulit), dan 6 orang (5%) memilih skala 5 (sulit), serta sebanyak 1 orang
(0,8%) menyatakan memilih skala 6 (sangat sulit) dalam beradaptasi di lingkungan
asrama. maka dapat dinyatakan bahwa mayoritas Mahasiswa UI yang bertempat
tinggal di Asrama Mahasiswa UI tidak merasa kesulitan dalam beradaptasi sehingga
indikator adanya culture shock menjadi lebih kecil karena mahasiswa mempunyai
tingkat adaptasi yang cukup baik. Sulitnya adaptasi sendiri merupakan salah satu
gejala adanya culture shock, sehingga dapat dilihat bahwa gejala culture shock
memiliki kemungkinan kecil terjadi pada mahasiswa tersebut.

Gambar 5.2. Hasil Penelitian Kuisioner Soal 2

Berdasarkan grafik tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 120 orang
yang menanggapi soal tersebut, sebanyak 1 orang (0,08%) memilih skala 1
(sangat tidak nyaman), 3 orang (2,5%) memilih skala 2 (tidak nyaman), 13 orang
(10,8%) memilih skala 3 (cukup tidak nyaman), 25 orang (20,8%) memilih skala
4 (cukup nyaman), dan sebanyak 53 orang (44,2%) memilih skala 5 (nyaman),
serta sisanya sebanyak 25 orang (20,8%) memilih skala 6 (sangat nyaman). Dari
data tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas mahasiswa memilih skala 5 atau
nyaman terhadap lingkungan Asrama Mahasiswa UI. Nyaman atau tidaknya
mahasiswa disini masih berkaitan dengan baiknya tingkat adaptasi, jika seseorang
mempunyai tingkat adaptasi yang baik, maka cenderung akan merasa nyaman

17
dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, adanya berbagai fasilitas yang
disediakan oleh asrama juga menjadi faktor kenyamanan yang dirasakan oleh
mahasiswa.

Gambar 5.3. Hasil Penelitian Kuesioner Soal 3

Dari data tersebut, dapat diamati bahwa sejumlah 120 orang responden
memiliki pendapat yang berbeda-beda dan terbagi dari skala 1 hingga 6, jawaban
antara skala 1 hingga 6 tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Jumlah
responden yang memilih skala 1 (sangat tidak takut) adalah sebanyak 22 orang
(18,3%), yang memilih skala 2 (tidak takut) adalah sebanyak 24 orang (20%),
selanjutnya yang memilih skala 3 (cukup tidak takut) yaitu sebanyak 27 orang
(22,5%), lalu sebanyak 23 orang (19,2%) memilih skala 4 (cukup takut), dan
sebanyak 13 orang (10,8%) memilih skala 5 (takut), dan yang terakhir sebanyak
11 orang (9,2%) merasa sangat takut untuk memasuki wilayah yang memiliki
budaya berbeda. Maka dapat dilihat bahwa mayoritas responden atau sebanyak 27
orang merasa tidak cukup takut dalam memasuki wilayah baru, ketakutan dalam
memasuki wilayah baru yang berbeda budaya juga merupakan salah satu gejala
adanya culture shock sehingga dapat dinyatakan bahwa gejala culture shock
terjadi di Asrama Mahasiswa UI karena tingkat ketakutan dalam memasuki
wilayah baru masih cukup besar.

18
Gambar 5.4. Hasil Penelitian Kuesioner Soal 4

Berdasarkan data yang terdapat pada grafik tersebut, dari sebanyak 120 orang
responden sebanyak 55 orang (45,8%) memilih skala 1 (sangat tidak minder), 30
orang (25%) memilih skala 2 (tidak minder), 15 orang (12,5%) memilih skala 3
(cukup tidak minder), 11 orang (9,2%) memilih skala 4 (cukup minder), lalu
sebanyak 7 orang (5,8%) memilih skala 5 (minder), dan 2 orang (1,7%) memilih
skala 6 (sangat minder). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden atau sebanyak 55 orang menyatakan sangat tidak minder dengan latar
belakang budayanya, sehingga kemungkinan untuk kehilangan jati diri menjadi
kecil, dan gejala culture shock menjadi kecil pula.

Gambar 5.5. Hasil Penelitian Kuesioner Soal 5

19
Dari data tersebut diperoleh sebanyak 120 responden dengan jawaban yang
berbeda-beda. Pada skala 1 (sangat tidak merasa) dipilih oleh sebanyak 41 orang
(34,2%), skala 2 (tidak merasa) dipilih oleh 35 orang (29,2%), skala 3 (cukup
tidak merasa) dipilih oleh sebanyak 30 orang (25%), skala 4 (cukup merasa)
dipilih oleh 6 orang (5%), lalu sebanyak 4 orang (3,3%) memilih skala 5
(merasa), dan sejumlah 4 orang (3,3%) memilih skala 6 (sangat merasa). Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar responden atau sekitar 41 orang
sangat tidak merasa kehilangan jati dirinya ketika memasuki lingkungan baru atau
dalam hal ini adalah lingkungan Asrama Mahasiswa UI sehingga kemungkinan
terjadinya gejala culture shock menjadi kecil.

Gambar 5.6 Hasil Penelitian Kuisioner Soal 6

Dari data tersebut, dapat diamati bahwa sejumlah 120 orang responden
memiliki pendapat yang berbeda-beda dan terbagi dari skala 1 hingga 6, jawaban
antara skala 1 hingga 6 tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Jumlah
responden yang memilih skala 1 (sangat tidak sulit) adalah sebanyak 33 orang
(27,5%), yang memilih skala 2 (tidak sulit) adalah sebanyak 39 orang (32,5%),
selanjutnya yang memilih skala 3 (cukup tidak sulit) yaitu sebanyak 21 orang
(17,5%), lalu sebanyak 11 orang (9,2%) memilih skala 4 (cukup sulit), dan
sebanyak 11 orang (9,2%) memilih skala 5 (sulit), dan yang terakhir sebanyak 5
orang (4,2%) merasa sangat sulit untuk berkomunikasi karena bahasa yang
berbeda. Maka dapat dilihat bahwa mayoritas responden atau sebanyak 39 orang

20
merasa tidak sulit dalam berkomunikasi karena adanya bahasa yang berbeda antar
mahasiswa, dapat disimpulkan bahwa bahasa bukanlah suatu kesulitan yang
dihadapi saat berkomunikasi di daerah Asrama Mahasiswa UI

Gambar 5.7 Hasil Penelitian Kuisioner Soal 7

Dari data tersebut, dapat diamati bahwa sejumlah 120 orang responden
memiliki pendapat yang berbeda-beda dan terbagi dari skala 1 hingga 6, jawaban
antara skala 1 hingga 6 tersebut tmemiliki perbedaan yang signifikan. Jumlah
responden yang memilih skala 1 (sangat tidak rindu) adalah sebanyak 2 orang
(1,7%), yang memilih skala 2 (tidak rindu) adalah sebanyak 9 orang (7,5%),
selanjutnya yang memilih skala 3 (cukup tidak rindu) yaitu sebanyak 18 orang
(15%), lalu sebanyak 21 orang (17,5%) memilih skala 4 (cukup rindu), dan
sebanyak 28 orang (23,3%) memilih skala 5 (sulit), dan yang terakhir sebanyak
42 orang (35%) merasa sangat rindu kepada keluarga dan teman-teman yang
berada di daerah. Maka dapat dilihat bahwa mayoritas responden atau sebanyak
42 orang merasa rindu kepada keluarga dan teman-teman yang berada di daerah.
Dapat disimpulkan bahwa meskipun sudah memiliki kehidupan baru di daerah
Universitas Indonesia, responden masih merasakan rindu terhadap keluarga dan
teman-teman di daerah mereka berasal.

21
Gambar 5.8 Hasil Penelitian Kuisioner Soal 8

Dari data tersebut, dapat diamati bahwa sejumlah 120 orang responden memiliki
pendapat yang berbeda-beda dan terbagi dari skala 1 hingga 6, jawaban antara skala 1
hingga 6 tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Jumlah responden yang
memilih skala 1 (sangat tidak berpengaruh) adalah sebanyak 34 orang (28,3%), yang
memilih skala 2 (tidak berpengaruh) adalah sebanyak 24 orang (20%), selanjutnya
yang memilih skala 3 (cukup tidak berpengaruh) yaitu sebanyak 28 orang (23,3%),
lalu sebanyak 24 orang (20%) memilih skala 4 (cukup berpengaruh), dan sebanyak 7
orang (5,8%) memilih skala 5 (berpengaruh), dan yang terakhir sebanyak 3 orang
(2.5%) merasa sangat berpengaruh. Maka dapat dilihat bahwa mayoritas responden
tidak merasa terpengaruh akan terjadinya perbedaan budaya yang mereka rasakan
berdampak kepada prestasi akademik.

22
Gambar 5.9 Hasil Penelitian Kuisioner Soal 9

Dari data tersebut, dapat diamati bahwa sejumlah 120 orang responden memiliki
pendapat yang berbeda-beda dan terbagi dari skala 1 hingga 6, jawaban antara skala 1
hingga 6 tersebut memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Jumlah responden yang
memilih skala 1 (sangat tidak sulit) adalah sebanyak 17 orang (14,2%), yang memilih
skala 2 (tidak sulit) adalah sebanyak 31 orang (25,8%), selanjutnya yang memilih
skala 3 (cukup tidak sulit) yaitu sebanyak 33 orang (27,5%), lalu sebanyak 20 orang
(16,7%) memilih skala 4 (cukup sulit), dan sebanyak 14 orang (11,7%) memilih skala
5 (sulit), dan yang terakhir sebanyak 5 orang (4,2%) merasa sangat sulit. Maka dapat
dilihat bahwa responden merasakan sedikit perubahan sifat dalam dirinya karena
sulitnya beradaptasi dan adanya multikulturalisme.

23
Gambar 5.10 Hasil Penelitian Kuisioner Soal 10

Dari data tersebut, dapat diamati bahwa sejumlah 120 orang responden memiliki
pendapat yang berbeda-beda dan terbagi dari skala 1 hingga 6, jawaban antara skala 1
hingga 6 tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Jumlah responden yang
memilih skala 1 (sangat tidak membantu) adalah sebanyak 12 orang (10%), yang
memilih skala 2 (tidak membantu) adalah sebanyak 8 orang (6,7%), selanjutnya yang
memilih skala 3 (cukup tidak membantu) yaitu sebanyak 16 orang (13,3%), lalu
sebanyak 17 orang (4,2%) memilih skala 4 (cukup membantu), dan sebanyak 27
orang (22,5%) memilih skala 5 (membantu), dan yang terakhir sebanyak 40 orang
(33,3%) merasa sangat membantu. Maka dapat dilihat bahwa responden merasa
paguyuban yang berasal dari daerah mereka turut membantu proses beradaptasi.

5.4. Pembahasan

5.4.1. Penyebab dan Tingkat Culture Shock di Asrama UI

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di lingkungan asrama UI


dan indikator-indikator yang telah didapatkan, culture shock yang terjadi di
Asrama Mahasiswa UI terbagi atas 2 penyebab, yaitu penyebab internal atau
penyebab yang dating dari dalam diri seseorang dan penyebab eksternal atau
penyebab yang muncul dari luar diri seseorang atau lingkungan sekitar orang

24
tersebut.

Penyebab internal yang melatarbelakangi culture shock di lingkungan


Asrama Mahasiswa UI sendiri diantaranya adalah sulitnya beradaptasi dan
menyesuaikan diri dengan budaya baru serta adanya stigma atau pemikiran
buruk terhadap budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri. Selain itu,
sulitnya membuka diri pada budaya lain di tempat baru juga menyebabkan
adanya culture shock. Sehingga orang yang cenderung open minded akan
memiliki kemungkinan kecil akan terjadinya culture shock di lingkungan
Asrama Mahasiswa UI.

Selanjutnya, penyebab eksternal yang menyebabkan culture shock di


lingkungan asrama mahasiswa UI sendiri terbagi atas beberapa aspek, yaitu
diantaranya adanya aspek bahasa, adat istiadat, dan pendidikan .

Dari aspek Bahasa, perbedaan bahasa yang terjadi di lingkungan


Asrama Mahasiswa UI terjadi akibat adanya perbedaan daerah asal yang mana
setiap daerah di Indonesia sendiri memiliki bahasa yang sangat beragam.
Seseorang yang mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi akan memiliki
tingkat geger budaya yang lebih besar dan seringkali dianggap sebagai
penghambat dalam berkomunikasi.

Dari aspek adat istiadat perbedaan budaya yang melatarbelakangi


mahasiswa tersebut juga turut menyebabkan adanya culture shock di
lingkungan Asrama Mahasiswa UI. Pendatang baru atau mahasiswa perantau
tentu saja harus menyesuaikan diri dengan adat istiadat yang ada di
lingkungan UI atau lebih tepatnya di lingkungan asrama yang multikultural.
Perbedaan adat istiadat yang demikian ini jika tidak ditanggapi dengan baik
maka akan menyebabkan adanya culture shock.

Dari aspek Pendidikan, culture shock dapat terjadi karena adanya


kekhawatiran tidak dapat mengikuti tipe Pendidikan di tempat yang baru

25
sehingga mahasiswa dituntut untuk dapat berpikir keras untuk menyesuaikan
diri dengan perkembangan Pendidikan di tempat yang baru.

Kemudian berdasarkan hasil penelitian, jika dilihat berdasarkan


indikator-indikator yang ada, menurut Samovar, Richard dan Edwin
(2010:169) dapat digolongkan pada tahap recovery atau fase ketiga dimana
mahasiswa sudah mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini,
mahasiswa secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam
caranya menanggulangi budaya baru.

5.4.2. Solusi untuk Mengatasi Culture Shock

Data Pertanyaan Terbuka Tindakan yang dilakukan mahasiswa untuk


mengurangi dampak negatif dari kehidupan lingkungan asrama yang
multikultural

Untuk mengikis hal-hal buruk yang mempengaruhi kepribadian dan gaya


hidup mahasiswa di lingkungan baru yang multikultural, banyak kegiatan
yang dilakukan mahasiswa sesuai hobi, minat dan kemampuannya, yaitu :

- Toleransi dan adaptasi

Toleransi sangat di perlukan agar adaptasi berjalan dengan baik,


contohnya seperti menghargai pendapat orang lain,adat istiadat dan
budayanya.Manfaat yang kita dapat peroleh juga banyak seperti meningkatkan
rasa persaudaraan dengan orang lain,menghindari perpecahan, dan dapat
meningkatkan iman agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negatif

- Komunikasi dan saling terbuka

Komunikasi sangat diperlukan sekali dalam kehidupan mahasiswa,


contohnya seperti ketika dosen menjelaskan kita dapat bertanya kepada beliau
tentang materi yang masih belum dimengerti.Contoh lain adalah saat kita
berorganisasi kita dapat saling bertukar pendapat dengan orang lain agar

26
pekerjaan dapat mudah untuk di selesaikan.Manfaat yang kita dapat juga
banyak seperti dapat mengenal diri sendiri dan orang lain,mengubah sikap dan
perilaku,memperlancar hubungan sesama

- Olahraga bersama

Olahraga bersama merupakan aktivitas yang baik untuk kehidupan


mahasiswa yang setiap harinya hanya belajar dan berorganisasi,dengan
belorahraga dapat menyehatkan tubuh dan terhindar dari serangan penyakit.
Olahraga juga memiliki banyak manfaat untuk kehidupan social seperti dapat
melatih kerjasama dalam tim.

- Belajar bersama

Belajar bersama adalah hal positif dalam kehidupan kampus,selain dapat


meninkatkan komunikasi tetapi juga dapat meningkatkan akademik
mahasiswa itu sendiri.

- Aktif berorganisasi

Aktif berorganisasi dapat mengurangi kejenuhan saat kita belajar terus


menerus.Selain itu dalam aktif berorganisasi kita juga dapat melatih soft skill
kita dan menambah banyak teman agar lebih mudah dalam mencari pekerjaan
untuk kedepannya.

- Beribadah sesuai keyakinanan dan agamanya

Mengikuti kegiatan keagamaan dapat meningkatkan keyakinan kita untuk


melakukan hal positif terus menerus dan menghindari hal-hal yang buruk
seperti merokok dan narkoba.Selain itu juga dengan beribadah kita juga dapat
mendekatkan diri pada yang maha kuasa.

- Menyadari bahwa perbedaan itu kodrati untuk saling mengenal

Perbedaan memang sering terjadi entah di dalam kampus dan

27
pekerjaan.Melalui pembelajaran ini kita menyadari bahwa perbedaan itu
kodrati untuk saling mengenal karena manusia adalah mahluk social yang
tidak dapat hidup sendiri (Bergantung pada orang lain)

28
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah kami lakukan pada beberapa mahasiswa
daerah di Asrama Mahasiswa UI, dapat disimpulkan bahwa mayoritas mereka tidak
terlalu terpengaruh dengan adanya multikultural di lingkungan Universitas Indonesia
sehingga mereka juga tidak mengalami culture shock yang berkepanjangan. Hal ini
didasarkan oleh pertanyaan-pertanyaan dari kuesioner kami di mana 7 dari 10
pertanyaan yang kami berikan menunjukan indikator bahwa mahasiswa di Asrama UI
tidak mengalami hal-hal yang menyebabkan culture shock.

Mahasiswa di Asrama UI yang kami teliti mayoritas memiliki tingkat adaptasi


yang baik, memiliki tingkat kepercayaan diri yang cukup baik, dan juga masih
berpegang teguh pada jati diri yang dimilikinya. Culture shock yang terjadi pada
mahasiswa di Asrama UI hanya terjadi ketika mereka baru memasuki wilayah baru
yang dalam hal ini adalah Universitas Indonesia. Terjadinya perubahan lingkungan
dari lingkungan lamanya yaitu daerahnya masing-masing ke Universitas Indonesia
dan harus merantau jauh dari keluarga menjadi alasan utama mahasiswa merasakan
culture shock di awal kedatangannya.

Culture shock yang terjadi pada mahasiswa di Asrama UI masih bersifat


normal karena mahasiswa baru memulai kehidupannya di daerah baru dengan situasi
dan kondisi yang berbeda dengan daerah asalnya. Mahasiswa di Asrama UI memiliki
beberapa kegiatan yang bisa membantu mereka untuk mengurangi hal-hal buruk
akibat perbedaan budaya yang ada.

Dari hasil penelitian kami, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori dari
Samovar tentang empat tingkatan seseorang mengalami culture shock, mahasiswa di
Asrama UI berada di fase ketiga di mana mahasiswa sudah mulai mengerti mengenai
budaya barunya. Pada tahap ini, mahasiswa secara bertahap membuat penyesuaian

29
dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian tentang Pengaruh Culture Shock terhadap


Kehidupan Mahasiswa Daerah di Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia, peneliti
memberi saran kepada calon mahasiswa maupun mahasiswa daerah di Asrama
Universitas Indonesia untuk mengatasi culture shock sebagai berikut:
a. Mencari informasi terlebih dahulu tentang keadaan, situasi sosial, dan budaya
di Universitas Indonesia. Hal ini dilakukan agar bisa mempersiapkan diri dan
lebih familiar di lingkungan tersebut.
b. Mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum memutuskan untuk hidup di
Universitas Indonesia. Kesiapan diri diperlukan untuk menghadapi berbagai
perbedaan ketika memulai hidup dalam suatu budaya dan lingkungan yang
baru.
c. Memiliki kepekaan budaya untuk membangun toleransi di tengah-tengah
kehidupan Universitas Indonesia yang sangat multikultural.
d. Menghargai budaya yang ada di Universitas Indonesia dan bersikap terbuka
dengan menerima lingkungan sosial budaya yang baru.
e. Memperluas jaringan pertemanan karena bisa membantu menumbuhkan
perasaan nyaman di lingkungan baru sehingga dapat meminimalisir
kecemasan yang berkelanjutan yang disebabkan oleh efek culture shock.

30
Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun


Multikulturalisme Indonesia”

Guanipa, C. (1998). Culture Shock. http:// www.amigos.org/culture/shock.htm.

Hidajat, V. dan Sodjakusumah, T.I. (2000). Hubungan Antara Culture Shock dan
Prestasi Akademis. Jurnal Psikologi Vol. 5, No. 1, 46-55.

Kumbara, A. A., & Anom, N. (2009). Pluralisme dan Pendidikan Multikultural di


Indonesia. dalam Jurnal Jantra, 4(7), 531-539.

Odera, P. (2003). Culture Shock in A Foreign Land: Rwandan Experience. Kigali


Institute of Education Journal Vol. 1, No. 1.

31

Anda mungkin juga menyukai