Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

CULTURE AWARENESS AND BELIEF IN HEALTHCARE

PRACTICES IN EUROPEAN

Disusun Oleh:

(Kelompok 5)

Anastasia Novita Dewi (201943004)

Anna Prabandari (201943010)

Emiliana Hesti Purwantiningsih (201943016)

Hernyu Widegdo (201943022)

Maria Magdalena Diyah P (201943028)

Pascalia Skolastika Doq (201943034)

Theresia Tri Winarti (201943040)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH
YOGYAKARTA
2020
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya
hingga makalah terselesaikan dengan baik. Kami juga berterimakasih kepada
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian makalah yang berjudul ‘CULTURE
AWARENESS AND BELIEF IN HEALTHCARE PRACTICES IN EUROPEAN”.
Dan kami harap makalah ini dapat bermanfaat dan sebagai pengalaman bagi
para pembaca.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan Makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata, sekali lagi mengucapkan terima kasih banyak kepada semua
pihak yang telah membantu, dan khusus kepada dosen mata kuliah peka budaya
yang telah mendorong kami dengan memberikan tugas membuat makalah ini,
sehingga kami dapat berproses dan merupakan pembelajaran yang sangat
berarti bagi kami untuk bekal kami dalam berkerja dan melaksanakan praktek
profesi dan yang akan datang.

Yogyakarta, September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR…..……………..……………………………….…. i

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……..…………...……………………………….……… 1


B. Urgensi……..…………...…………………………………..…….……… 3
C. Ruang Lingkup……..…………...………………………….…….……… 3
D. Tujuan……..…………...………………………………………….……… 3
E. Manfaat……..…………...……………………………….………………. 4
F. Metode Penulisan……..…………...…………………………….……… 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Culture Awareness and belief in healthcare practice of Europa


1. Budaya kesehatan kaum immigrant di European ………….……5
2. Pendidikan Kesehatan Reproduksi……..…………...……….…… 6
B. Karakteristik perilaku kesehatan pada penduduk di European
1. Perilaku Kesehatan kaum minoritas di European….………...… 7
2. Penggunaan terapi komplementer dan obat
alternative di European…..…………………………………………. 8
C. Contoh – contoh budaya / kepercayaan dalam praktik
Kesehatan di European
1. Mengabaikan kesehatan mental……..…………...………..……… 9
2. Kepercayaan terhadap Magic/Sihir……..…………....…………… 10
3. Menggunakan tanaman herbal……..…………..………….……… 10
D. Aplikasi peka budaya dan nilai kepercayaan Pada Penerapan
Asuhan Keperawatan Pada Penduduk European
1. Nilai-nilai yang menjadi dimensi caring………………….….....… 11

ii
2. Pelayanan prima……..…………...………………………………… 12
3. Faktor komunikasi……..…………...…………………………..…… 12
4. Perawat dalam pelayanannya memberikan pelayanan
yang tepat dan dapat diandalkan……..…………...………….……12
5. Cultural Competence……...…..…………...…………………..……12

Daftar Pustaka

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan
termasuk tuntutan akan asuhan keperawatan yang berkualitas akan
semakin besar. Pada masa globalisasi, dimana perpindahan penduduk
baik antar provinsi ataupun antar negara sangat dimungkinkan,
menyebabkan adanya pergeseran terhadap tuntutan asuhan
keperawatan yang profesional. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki
oleh seorang perawat adalah peka budaya (Novieastari, E., Ibrahim, K., &
Ramdaniati, D. a. (2020).
Kepribadian individu adalah cerminan dari kebudayaan
masyarakat ketika kebudayaan itu terbentuk dari sejumlah unsur perilaku
yang terintegrasi menjadi satu kesatuan. Individu sebagai calon anggota
masyarkat di persiaspkan sedini mungkin untuk menerima adat kebiasaan
yang berlaku, seperti bagaimana manusia berinterasi terhadap
lingkungan, bagaiman mengolah alam lingkungan dalam menacapai
tujuan dan bagaiman memahami perilaku masusia dan kebudayaan
berdasarkan kepada alam dn lingkungan. Sebaliknya ketika alam
lingkungan mempengarui manusia masyarakat bukan merupakan
halangan atau menghambat kebudayaan dan unsur kebudayaan
diwujudkan oleh masyarakat baik pendidikan, tehnologi, hasil karya, mata
encaharian, maupun kesenian yang mempunyai kaitan erat dengan
siklus kehidupan manusia dan masyarakat (Noviestari, E., Gunawijaya,
J., & Indracahyani, A, 2018).
Kata "kebudayaan" berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhayah
yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal.
kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi
atau akal”. Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing
yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere,

1
artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani.
Dari asal arti tersebut, yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai
segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan - kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup
semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari
pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara
atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Seorang yang meneliti
kebudayaan tertentu akan sangat tertarik objek-objek kebudayaan seperti
rumah, sandang, kebiasaan, kepercayaan, cara hidup, keyakinan , dan
sebagainya.
Berdasarkan Joint Commission International bahwa institusi
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit berkarya untuk mewujudkan
rasa percaya pasien, menjalin komunikasi terbuka dengan mereka serta
memahami dan melindungi nilai-nilai budaya, psikososial, dan spiritual
mereka. Setiap individu pasien berhal untuk dihormati dan dilindungi nilai-
nilai dan kebudayaannya sesuai dengan keragaman dan keunikannnya
(JCI, 2010 dalam (Noviestari, E., Gunawijaya, J., & Indracahyani, A.,
2018).
Menurut Madeliene Leininger, (2002) dalam (Noviestari, E.,
Gunawijaya, J., & Indracahyani, A., (2018). adalah seorang pelopor teori
perawatan Budaya ( Culture Care Theory) dengan model Sunrise. Model
tersebut memberikan panduan kognitif untuk memperjelas fenomena
budaya perawatan dari perspektif holistik beragam faktor yang berpotensi
dapat mempengaruhi perawatan dan kesejahteraan sesorang.
Asuhan keperawatan peka budaya merupakan asuhan
keperawatan yang menggunakan kompetensi budaya dalam membantu
pasien memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kebutuhan budayanya
(Leininger & Mc. Farland, 2002) dalam (Novieastari, E., Ibrahim, K., &
Ramdaniati, D. a., 2020). Seorang perawat yang memiliki kompetensi
kultural diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan yang akan

2
lebih bermakna bagi kehidupan paisen yang berasal dari beragam
kebudayaan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien dengan pendekatan budaya yang diberikan perawat.

B. Urgensi
1. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan - kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Kebudayaan dan kepercayaan di daerah dapat menimbulkan
masalah contohnya kebiasaan dan komunikasi,
3. seorang perawat harus memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang budaya pasien, menerima dan menghormati perbedaan
budaya, sehingga pemberian asuhan keperawatan secara holistik
dapat berjalan dengan sesuai tujuan.

C. Ruang lingkup kajian


Ruang lingkup kajian adalah kepercayaan dan budaya yang
mempengaruhi praktek kesehatan di European

D. Tujuan
Tujuan umum :
Mampu menerapkan konsep peka budaya dalam menganalisa fenomena
budaya kesehatan pada penduduk Europea.
Tujuan khusus :
1. Mampu mendeskripsikan kesadaran budaya dan keyakinan dalam
keperawatan kesehatan penduduk Europea.
2. Mampu mendeskripsikan karakteristik perilaku kesehatan penduduk di
Europea.
3. Mampu mendiskripsikan contoh budaya/kepercayaan dalam praktik
kesehatan pada penduduk di Europea.
4. Mendeskripsikan aplikasi peka budaya dan nilai kepercayaan pada
penerapan asuhan keperawatan pada penduduk di Europea.

3
E. Manfaat
1. Sebagai sarana ilmu untuk menambah pengetahuan tentang
fenomena kepercayaan dan budaya yang mempengaruhi praktek
kesehatan di Europea.
.
F. Metode Penulisan
1. Metode penulisan makalah ini, menggunakan Metode Pustaka, yaitu
metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data
dari berbagai sumber pustaka di internet yang berkaitan dengan
permasalahan yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya
dalam praktik kesehatan di Europea.
2. Mengolah data dan informasi, melakukan analisa data dan
memberikan kesimpulan terkait dengan fenomena kepercayaan dan
budaya yang mempengaruhi praktek kesehatan di Europea.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Culture Awareness and belief in healthcare practice of European


1. Budaya kesehatan kaum immigrant di European
Berdasarkan jurnal Reducing the health care burden for
marginalised migrants: The potential role for primary care in Europe
Penduduk migran di European mengalami ketidakadilan yang signifikan
dalam hak dan akses ke perawatan kesehatan berkualitas tinggi.
Penduduk migran tersebut harus digali perannya dalam perawatan
primer dalam mengurangi hambatan tersebut dan mengidentifikasi cara-
cara di mana kebijakan perawatan kesehatan dan sistem dapat
mempengaruhi kemampuan perawatan primer untuk memenuhi
kebutuhan yang rentan dan penduduk migran yang terpinggirkan.
Perawatan primer yang peka budaya dapat memainkan peran kunci
dalam memberikan perawatan berkualitas tinggi yang dapat diakses
kepada para migran dalam situasi yang rentan. Pembuat kebijakan dan
praktisi perlu menghargai itu dengan mendanai, dapat membatasi akses
ke perawatan dan berdampak negatif pada kualitas perawatan yang
dapat diberikan praktisi kepada populasi tersebut (O'Donnel, C. A.,
Burns, N., Mair, F. S., Dowrick, C., Clissman, C., Mujisenbergh, M. v., et
al, 2015).
Sistem perawatan kesehatan, dan perawatan primer secara
khusus, telah menjadi dasar yang mempertimbangkan kemampuan
sistem perawatan primer di lima negara European untuk menyediakan
perawatan kesehatan kelompok migran yang terpinggirkan. Ini telah
disoroti lebih luas pengaruh sosial dan politik pada perawatan primer dan
cara di mana sistem dan kebijakan perawatan kesehatan tingkat makro
yang beroperasi di tingkat nasional dapat memperkuat atau mengurangi
hambatan untuk perawatan kesehatan primer (O'Donnel, C. A., Burns, N.,
Mair, F. S., Dowrick, C., Clissman, C., Mujisenbergh, M. v., et al, 2015).

5
Hambatan untuk mengakses layanan kesehatan antara lain
termasuk bahasa dan komunikasi, hambatan dan masalah seputar
kompetensi antar budaya dan pemahaman. Pendanaan perawatan
kesehatan mengandalkan pajak atau asuransi sosial. Namun, sistem
perawatan kesehatan memang demikian mengadopsi metode
pendanaan, manajemen dan hak yang semakin beragam antara lain
Irlandia mempunyai asuransi kesehatan swasta yang signifikan. Di
Austria dan Belanda, pendanaan perawatan kesehatan secara tradisional
didasarkan pada asuransi sosial. Hambatan lain dalam pemberian
layanan kesehatan adalah ketidakmampuan untuk mengakses perawatan
karena status migran (misalnya pencari suaka atau tidak berdokumen
migran); kurangnya akses ke asuransi kesehatan. Tingkat penyedia
hambatan difokuskan pada praktisi perawatan kesehatan, khususnya
dokter rumah sakit dan dokter keluarga / dokter umum. Hambatan lain
adalah kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi, miskin, kesadaran
dan kompetensi budaya. Waktu tunggu dan sistem rujukan dianggap
sebagai hambatan tingkat penyedia. Tingkat sistem hambatan termasuk
kurangnya layanan juru bahasa dan nasional (O'Donnel, C. A., Burns, N.,
Mair, F. S., Dowrick, C., Clissman, C., Mujisenbergh, M. v., et al, 2015).
2. Pendidikan kesehatan reproduksi
Sandra C Buttigig etc all .dalam penelitian yang berjudul Need
Assesment for Sexual Health Services in development in a Small
European Union Member State (2019). Penelitian tersebut melakukan
survei terhadap sisa yang berusia 16-21 tahun. Penelitian tersebut
dilatar belakangi oleh adanya suatu momentun di milenum baru tentang
kesehatan seksual di Malta-negara kecil anggota Uni European. Tabu
dan norma menjadi hambatan yang kuat bagi penyedian informasi dan
layanan kesehatan reproduksi Hasil penelitian tersebut wanita lebih
berpengalaman dalam kaitannya dengan layanan dan risiko yang
tersedia dibandingkan laki-laki. Sekolah merupakan sumber informasi
yang paling umum, sedangkan tenaga kesehatan yaitu dokter umum
dianggap sumber terpercaya untuk kebutuhannya. Kerahasiaan
dianggap sebagai fitur yang paling diminta dalam layanan kesehatan
reproduksi. Kesimpulan dan penelitian tersebut adalah tiga kebutuhan

6
multisektoral yang penting yaitu sistem penyebaran informasi kesehatan
seksual yang memadai, pendidikan kesehatan seksual berbasis ilmiah
bagi para profesional yang berhubungan dengan kaum muda, dan
layanan kesehatan seksual yang dirancang dengan baik dan dapat
diakses.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa informasi tentang
kesehatan reproduksi menjadi hal yang sangat penting untuk
masyarakat terutama remaja, di mana hal tersebut sering kali tidak bsia
didapatkan secara terbuka sehingga remaja justru mencari informasi
secara tidak benar, yang berdampak pada perilaku seks bebas.

B. Karakteristik perilaku kesehatan pada penduduk di European


a. Perilaku Kesehatan kaum minoritas di European
Kurangnya kesadaran tentang kesehatan mental yang buruk,
ekspektasi budaya, stigma berkelanjutan, budaya layanan kesehatan
yang tidak sensitif dan terfragmentasi serta interaksi dengan penyedia
layanan kesehatan yang tidak kompeten dan secara budaya tidak
kompeten semuanya berdampak pada kemampuan wanita etnis minoritas
untuk menerima dukungan kesehatan mental sebelum kelahiran yang
memadai di Inggris. Wanita dari kelompok etnis minoritas memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan mental. Buruknya
kesehatan mental perinatal berdampak pada morbiditas dan mortalitas ibu
dan bisa memiliki dampak yang buruk pada kesejahteraan anak dan
keluarga watson, H., Harrop, D., Walton, E., & Young, A. (2019).
Menurut Watson, H., Harrop, D., Walton, E., & Young, A, (2019).
dalam jurnal yang berjudul “A systematic review of ethnic minority
women’s experiences of perinatal mental health conditions and services in
Europe” mengatakan bahwa wanita dari kelompok etnis minoritas tidak
waspada terhadap gangguan kesehatan mental perinatal. Meskipun
sudah terbiasa atau mengalami gejala kesehatan mental perinatal,
mereka tidak menganggapnya sebagai penyakit, tetapi menganggap
bahwa hal tersebut sebagai masalah biasa, kekurangan istirahat, isolasi,
kekurangan dukungan, pengaruh roh jahat yang mana hal tersebut akan
pulih kembali. Wanita kulit hitam di Karibia menjelaskan bahwa depresi

7
tak bisa diterima dalam kebudayaan mereka karena bisa berdampak pada
peran mereka di masyarakat.
Budaya tersebut dipengaruhi oleh dampak dari sejarah perbudakan
mereka, dan wanita diharapkan harus kuat dan mempertahankan
keluarga dan tak diperkenankan untuk mengaku depresi karena
merupakan kelemahan atau tak bisa menyelesaikan masalah. Begitu juga
di antara wanita Bangladesh, depresi bisa dianggap kelemahan. (Watson,
H., Harrop, D., Walton, E., & Young, A, 2019).
Wanita yang mengalami gangguan kesehatan mental perinatal
menggambarkan gejala yang dialami meliputi: kecemasan, mood yang
rendah dan kesedihan, menangis berkepanjangan, pikiran negatif, sakit di
dada atau perut, kelemahan, perubahan perilaku seperti kesulitan
meninggalkan rumah, dan masalah nafsu makan atau tidur. (Watson, H.,
Harrop, D., Walton, E., & Young, A, 2019).
b. Penggunaan terapi komplementer dan obat alternative di European
Tidak hanya Negara Asia saja yang kini menggunakan terapi
komplenter dan alternative, menurut jurnal Kemppainen, Kemppainen,
Reippainen, Salmenniemi, & Vuolanto (2018) Use of complementary and
alternative medicine in Europe: Health – related and sociodemographic
determinant, secara total, 25,9% dari populasi umum telah menggunakan
terapi komplementer dan alternatif selama 12 bulan terakhir. Biasanya,
hanya satu pengobatan CAM (Complementary and Alternative Therapy)
yang telah digunakan, dan lebih sering digunakan sebagai pengobatan
pelengkap daripada pengobatan alternatif. Penggunaan CAM sangat
bervariasi menurut negara, dari 10% di Hongaria hingga hampir 40% di
Jerman. Dibandingkan dengan mereka yang sehat, penggunaan CAM
adalah dua hingga empat kali lipat lebih besar di antara mereka yang
memiliki masalah kesehatan.
Profil kesehatan pengguna modalitas CAM yang berbeda bervariasi.
Misalnya, nyeri punggung atau leher dikaitkan dengan semua jenis CAM,
sedangkan depresi hanya dikaitkan dengan penggunaan terapi pikiran-
tubuh. Individu dengan kondisi kesehatan yang sulit didiagnosis lebih
cenderung menggunakan CAM, dan penggunaan CAM lebih umum di
antara wanita dan mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Pendapatan

8
yang lebih rendah dikaitkan dengan penggunaan terapi pikiran-tubuh,
sedangkan tiga modalitas CAM lainnya dikaitkan dengan pendapatan
yang lebih tinggi (Kemppainen, L. M., Kemppainen, T. T., Reippainen, J.
A., Salmenniemi, S. T., & Vuolanto, P. H. 2018).

C. Contoh – contoh budaya / kepercayaan dalam praktik kesehatan di


European
1. Mengabaikan kesehatan mental
Beberapa wanita tidak menyadari bahwa tersedia dukungan bagi
wanita dengan masalah kesehatan mental perinatal dan akses ke
layanan. Dukungan ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang berbeda
antara lain Mereka merasa takut mengakses dukungan karena takut
dianggap sebagai ibu yang tidak baik sehingga anak-anaknya akan
diambil dari mereka. Alasan lain menghindari layanan karena tidak mau
dianggap mempunyai masalah kesehatan jiwa, ingin menghindari
pemakaian obat, atau ingin menghindari layanan yang diberikan oleh
petugas kesehatan dengan etnis beda atau yang tidak memiliki bela
rasa berdasar pengalaman buruk sebelumnya.
Wanita kulit hitam berusaha mencari dukungan, mereka tidak
mau dijadikan bahan pembicaraan diluar keluarga mereka. Identifikasi
gejala menjadi terbatas karean petugas yang melakukan pengkajian
kebanyakan adalah seorang pria dan orang asing sehingga mereka
takut pada suaminya kecuali ditanya oleh petugas wanita juga. Kesulitan
bahasa juga menyulitkan menerangkan gejala mereka, untuk meminta
dukungan, dan mengakses dukungan yang ditawarkan.
Banyak isu praktis juga yang berdampak pada wanita
mengakses dukungan kesehatan mental perinatal, meliputi: waktu
tunggu, tak adanya pengasuh anak, tanggung jawab domestik, biaya
perjalanan, dan waktu layanan yang tersedia. Beberapa wanita
berpendapat bahwa keluarga cukup mendukung dan memfasilitasi
akses dukungan, sementara lainnya dilarang mengakses layanan
dukungan oleh anggota keluarga atau dilarang mengekspresikan
kebutuhan layanan ketika anggota keluarga ikut bersama mereka.
Banyak wanita merasa terisolasi secara emosional dan diperberat bila

9
mereka merasa dicurigaii oleh pasangan, anggota keluarga, atau teman,
terpisah secara fisik dari anggota keluarga atau tidak adanya
persahabatan. Wanita terutama menghargai dan mencari dukungan dari
orang lain dengan pengalaman sama tentang kesehatan mental
perinatal yang buruk secara pribadi.
2. Kepercayaan terhadap Magic/Sihir
Menurut Ruran A. R Gurung, (2019) menyampaikan bahwa
penting untuk memahami peran budaya dalam kesehatan fisik maupun
mental dalam iklim global saat ini. Budaya mempengaruhi bagaimana
individu menunjukkan gejala, mengkomunikasikan gejala mereka dan
mengatasi tantangan psikologis dan ketersediaan mereka untuk mencari
bantuan. Di sebagian negara pendekatan medis berbasis bukti Barat
atau pendekatan tradisional. Dalam sistem tradisonal banyak praktisi
memberikan bantuan, misalnya di Europea cerita rakyat tentang
pengobatan dan agama Voodoo Hindia Barat.
3. Menggunakan tanaman herbal
Data dari Medicinal plants in the records of Latvian folk medicine
from the 19th century (2019), mencatat dan menganalisa pengetahuan
etnobotani yang ditemukan dalam catatan pengobatan rakyat Latvia
yang tersdia di Archives of Latvian Folkore. Dalam penelitian tesebut
dilakukan penggunaan tumbuhan dikelompokkan menjadi salah satu
dari 17 kategori berdasarkan sistem tubuh dan masalah psikologis dan
sosial. Hasil penelitian tersebut didapatkan 211 generasi dan 71 famili
yang digunakan dalam konsisi masalah kesehatan seperti gangguan
gangguan sistem pencernaan, gangguan sistem pernafasan dan
gangguan kulit. Kesimpulan penelitian tersebut bahwa tumbuhan yang
disebutkan dalam catatan rakyat Latvia secara ilmiah diinformasikan
tentang keamanan dan kemanjuran dan layak untuk dieksplorasi lebih
lanjut sebagai pengobatan herbal tradisonal (Sile, I., Romane, E.,
Reinsone, S., Maurina, B., Tirzite, D., & Dambrova, M, 2020).
Dari hasil penelitian tersebut ternyata pengobatan herbal
tradisonal masih digunakan oleh masyarakat European dalam
mengatasi masalah kesehatannya, walaupun data yang didapatkan
masih minim terkait kasus yang dapat diatasi dengan pengobatan

10
tradisional (Sile, I., Romane, E., Reinsone, S., Maurina, B., Tirzite, D., &
Dambrova, M, 2020).

D. Aplikasi peka budaya dan nilai kepercayaan Pada Penerapan Asuhan


Keperawatan Pada Penduduk Europea.
Menurut Binteriawati, .Pahriah, & Nuraeni, (2020) dalam menangani
pasien yang memiliki kebudayaan bervariasi, maka ada beberapa
prinsip yang bisa di pegang antara lain:
1. Nilai-nilai yang menjadi dimensi caring.
Caring terhadap klien dan keluarga, sejawat, rekan kerja lintas
profesi maupun manajer. Tetapi yang belum banyak dilakukan adalah
caring terhadap organisasi. Merawat pasien dengan baik dan ramah
semata-mata demi kepentingan organisasi dan menjadi bagian tak
terpisahkan dari organisasi. Menjadi penciri dari organisasi, sehingga
apapun yang dilakukannya adalah mewakili organisasi dan apapun
yang dialami oleh perawat dalam melaksanakan pekerjaan, adalah
juga yang dialami oleh organisasi.
Caring terhadap organisasi dapat diaplikasikan dalam bentuk
pelayanan kepada pasien :
a. Knowing (memahami nilai-nilai profesional yang harus
ditunjukkan demi nama baik organisasi);
b. Being With (terlibat, ambil bagian, mengambil tanggung jawab
terhadap penciptaan “nama baik” organisasi);
c. Doing For (meniatkan seluruh pelayanan keperawatan yang
diberikan semata-mata untuk membesarkan “nama baik”
organisasi);
d. Enabling (menjamin turun temurunnya nilai-nilai dan budaya-
budaya organisasi dan menjadi “penciri” atas nilai-nilai dan
budaya organisasi);
e. Maintaining Belief (menjadi agen-agen perubahan demi
tertanamnya nilai-nilai dan budaya organisasi dan
melaksanakan siklus penjaminan mutu demi terpeliharanya
nilai-nilai tersebut)

11
2. Pelayanan prima
Menurut Budiono, (2012) dalam Suroso, (2017) adalah pelayanan
jasa yang dapat membuat pelanggan merasa mendapatkan
pelayanan sesuai harapan, sesuai dengan indikator yang ditentukan
serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga merasa puas.
Pelayanan prima harus memberikan yang terbaik bagi pelanggan,
melakukan apapun yang mungkin untuk memuaskan pelanggan,
serta membuat keputusan yang dapat memberikan keuntungan pada
pelanggan tapi tidak merugikan perusahaan (Gerson, 2011) dalam
Suroso, (2017). Pelayanan prima dilaksanakan dalam rangkaian
kegiatan secara utuh yang bersifat wajar, lancar, terbuka, sederhana,
tepat sasaran, terjangkau, lengkap, dan tidak rumit.
3. Faktor komunikasi.
Komunikasi adalah sesuatu untuk dapat menyusun dan
menghantarkan suatu pesan dengan cara yang gampang sehingga
orang lain dapat mengerti dan menerima (Nursalam, 2002).
Komunikasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan unsur
utama bagi perawat dalam melaksanakan pelayanan keperawatan
untuk mencapai hasil yang optimal. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan komunikasi terapeutik antara lain:
pendidikan, lama bekerja, dan pengetahuan, sikap dan kondisi
psikologi (Sumijatun, 2011) dalam (Jaya. K, 2014),
4. Perawat dalam pelayanannya memberikan pelayanan yang tepat dan
dapat diandalkan.
Asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan standar asuhan
keperawatan dan standar prosedur operasional. Pelayanannya pun
disampaikan perawat dengan sikap ramah dan merespon keluhan
atau permintaan dari pasien dan saat bekerjasama dengan teman
sejawat atau dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan (Jaya.
K, 2014).
5. Cultural Competence
Perawat menunjukkan pengetahuan dan pemahaman tentang
budaya pasien, menerima dan menghormati perbedaan budaya dan
menyesuaikan perawatan agar selaras dengan budaya pasien

12
Cultural Competence yang dimiliki perawat menunjukkan
pengetahuan dan pemahaman tentang budaya pasien, menerima
dan menghormati perbedaan budaya dan menyesuaikan perawatan
agar selaras dengan budaya pasien (Ozga et al, 2018).dalam
(Binteriawati, Pahriah & Nuraeni, 2020).
Ada lima faktor yang harus dimiliki perawat yang merupakan
faktor utama dari cultural competence di tingkat penyedia
layanan kesehatan yaitu
a. Kesadaran budaya (cultural awareness)
b. Pengetahuan budaya (cultural knowledge)
c. Keterampilan budaya (cultural skill)
d. Pertemuan budaya (cultural encounters)
e. Keinginan budaya (cultural desire).
Perawat yang memiliki cultural competence akan selaras secara
budaya dan akan bertindak atau membuat keputusan dengan
mempertimbangkan aspek kognitif, suportif fasilitatif atau
dukungan yang disesuaikan dengan nilai-nilai budaya,
kepercayaan, dan budaya individu, kelompok atau institusional
untuk memberikan atau mendukung layanan kesehatan atau
layanan kesejahteraan yang bermakna, bermanfaat dan
memuaskan (Binteriawati, Pahriah & Nuraeni, 2020).

13
Daftar pustaka

Binteriawati ,Y. Pahriah, T . Nuraeni , A. ( 2020 ). Pengalaman Perawat terkait


Pelaksanan Culture Competensi di Ruang Intensive Care Unit,
Faletehan Health Journal, 7 ( 1) 52 – 61

Gurung, R. A. (2019). Pengaruh budaya kesehatan. Psikologi Lintas Budaya :


Tema dan Perspektif Kontemporer .

Kemppainen, L. M., Kemppainen, T. T., Reippainen, J. A., Salmenniemi, S. T., &


Vuolanto, P. H. (2018). Use of complementary and alternative
medicine in Europe: Health-related and sociodemographic
determinants. Scandanavian Journal of Public Health , 448-455.

Liu, B., Ahlberg, M., Hjern, A., & Stehpahnson, O. (2019). Kesehatan Perinatal
pengungsi dan wanita pencari suaka 2014-17: Studi Kohort
Berbasis Register. European Journal of Public Health , 1048-1055.

Novieastari, E., Ibrahim, K., & Ramdaniati, D. a. (2020). Dasar-Dasar


Keperawatab,Volume1,9 th Indonesia edition. Singapore: Elsevier.

Noviestari, E., Gunawijaya, J., & Indracahyani, A. (2018). Pelatihan Asuhan


Keperawatan Peka Budaya Efektif Meningkatkan Kompetensi
Kultural Perawat. Jurnal Keperawatan Indonesia, 27-33

O'Donnel, C. A., Burns, N., Mair, F. S., Dowrick, C., Clissman, C., Mujisenbergh,
M. v., et al. (2015). Reducing the health care burden for
marginalized migrants: the potential role for primary care in
Europe. Health Policy .

Priebe, S., Giacco, D., & EL-Nagib, R. (2016). Public health aspects of mental
health among migrants and refugees: a review of the evidence on
mental healath care for refugees; asylum seekers and irregular
migrantas in the WHO European Region. Health Evidence
Network Synthesis Report .
Sile, I., Romane, E., Reinsone, S., Maurina, B., Tirzite, D., & Dambrova, M.
(2020). Data on medicinal plants in the records of Latvian folk
medicine from 19th centruty. Elsevier .

Suroso ; ( 2017 ), Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh


Terhadap Tingkat Kepuasan Pasien di Ruham Sakit, Jurnal
Keperawatan Indonesia Vol 18, No 1 hal 38 – 44

Watson, H., Harrop, D., Walton, E., & Young, A. (2019). A systemic review of
ethnic minority women's experiences of perinatal mental health
conditions and services in Europe. PLOS One .

Jaya. K ; (2014), Mentoring Budaya Organisasi oleh Manager Keperawatan,


Jurnal Manajemen Keperawatan, Vol 2 no 2 hal 94 – 102

Anda mungkin juga menyukai