Anda di halaman 1dari 4

TMT 622304

PEMBUATAN BAJA
JURUSAN TEKNIK METALURGI UNTIRTA
TUGAS MINGGU 3

PENCAMPURAN BATUBARA COKING DENGAN BATUBARA LIGNITE HASIL


KARBONISASI SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN KOKAS
Muhamad Kahfa Sjafa Al-Dhafi (3334200052)
Tangerang, Indonesia
Cilegon, Indonesia,

*Email Penulis: 3334200052@untirta.ac.id

ABSTRAK
Indonesia memiliki sumberdaya batubara kualitas rendah jenis non-coking coal dengan jumlah cadangan terbesar.
Berdasarkan kebutuhan akan kokas yang terus meningkat untuk industri steel making dengan menggunakan blast furnace
maka diperlukan pengembangan batubara jenis non-coking coal sebagai bahan baku pembuatan kokas dengan metode coal
blending. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kualitas kokas yang baik berdasarkan variasi komposisi, waktu
karbonisasi sehingga menghasilkan kokas dengan kandungan sulfur dan abu serta bentuk CSN (crucible swelling number)
yang sesuai dengan standar kualitas kokas secara komersial. Metode coal blending dilakukan dengan cara pencampuran
batubara coking coal dan non coking coal pada berbagai komposisi sehingga menghasilkan bahan kokas dengan nilai CSN
antara 4-9 selanjutnya dilakukan proses karbonisasi dengan 3 variasi waktu karbonisasi yaitu pada 2, 4, dan 6 jam kemudian
dilakukan analisa kimia dan perhitungan nilai kekuatan fisik kokas. Pengujian kekuatan kokas dengan menghitung
perbandingan antara berat kokas akhir setelah diuji I-type tumbler test dengan berat kokas awal menjadi persen kekuatan
kokas. Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin lama waktu karbonisasi, berat kokas semakin berkurang karena jumlah
volatile matter yang semakin habis terbakar dan kekuatan kokas cenderung semakin meningkat dengan terbentuknya pori-
pori pada kokas, dengan perolehan variasi komposisi dengan kekuatan rata-rata yang paling besar yaitu pada CSN 7 dengan
waktu karbonisasi 4 jam dihasilkan kekuatan kokas maksimum 49,20 %.

Kata kunci: kokas, coal blending, coking coal, non-coking coal, swelling, karbonisasi.

1. PENDAHULUAN memanaskan coking coal di dalam coke oven pada suhu


900 – 1100oC. Pada suhu 900oC, volatile matter mulai
Kokas sebagai bahan baku proses pembuatan baja di menguap jika dipanaskan di dalam tungku tertutup [2].
dalam blast furnace, kokas dihasilkan dari pemanasan Setelah volatile matter menguap semua, bersamaan
batubara jenis coking coal. Coking coal adalah batubara mulai terbentuk pula kokas yang stabil. Beberapa
yang ketika dipanaskan pada temperatur tinggi tanpa kandungan dalam batubara yang mempengaruhi kualitas
udara mengalami tahapan plastis sementara, yaitu secara pembuatan kokas, diantaranya adalah kandungan sulfur,
berurutan mengalami pelunakan, pengembangan, dan kandungan abu (ash) dan bentuk CSN (crucible swelling
memadat kembali menjadi kokas [1]. Batubara lainnya number).
yang tidak memiliki kemampuan untuk dijadikan kokas Batubara dengan kadar sulfur tinggi mempunyai nilai
merupakan batubara jenis non-coking coal. Indonesia jual yang rendah jika batubara dipakai sebagai bahan
memiliki sumberdaya batubara kualitas rendah dengan bakar. Apabila dipakai sebagai kokas metalurgi pada
jumlah cadangan terbanyak. Batubara kualitas rendah ini pembuatan baja maka batubara dengan sulfur yang tinggi
lebih banyak merupakan batubara jenis non-coking coal. akan menimbulkan masalah dengan keberadaan sulfur di
Oleh karena itu, dilakukan pengembangan batubara jenis dalam produk baja. Oleh karena itu, berdasarkan standar
non-coking coal di Indonesia sebagai bahan baku industri kualitas batubara, kadar sulfur maksimal adalah 1% [3].
metalurgi yaitu dengan cara metode coal blending. Pada analisa kadar abu, semakin banyak mineral yang
Metode coal blending merupakan proses terdapat di dalam batubara maka kadar abunya juga
pencampuran batubara jenis coking coal dan non-coking semakin tinggi [2]. Mineral matter tersebut akan
coal dengan perbandingan komposisi tertentu. Metode mempengaruhi proses karbonisasi batubara sehingga
ini dilakukan agar batubara jenis non-coking coal yang kadarnya di dalam batubara maksimal 12%. Selain itu,
melimpah di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai kemampuan swelling yaitu kemampuan batubara untuk
kokas. Proses pembuatan kokas dilakukan dengan memuai juga mempengaruhi kualitas batubara. Bila
1
pemuaian kokas menunjukan nomor 0-2, batubara hitam dan berkilau, kandungan suplhur rendah dan
tersebut bukan batubara kokas yang baik karena pori - karbon yang tinggi. Anthracite merupakan klasifikasi
porinya terlalu rendah. Bila CSN-nya 8-9 tingkat tertinggi dari batubara, kadar air umumnya kurang dari
pemuaiannya terlalu tinggi berarti bila dijadikan kokas 15%. Indonesia adalah pemasok batubara terbesar kedua
terlalu berpori-pori besar sangat rapuh. Batubara dengan bagi Jepang. Batubara Indonesia terutama dihasilkan dari
nomor CSN 4-6 adalah ideal untuk diproses menjadi Kalimantan, Sumatera, serta sejumlah kecil dari Jawa,
kokas karena batubara ini akan menjadi kokas yang Sulawesi, dan tempat lain. Batubara Indonesia memiliki
cukup berpori dan kuat menahan beban. kadar abu dan sulfur yang rendah sehingga dikenal
Pada penelitian ini dilakukan analisa pengaruh ramah lingkungan. Hal ini menyebabkan batubara
komposisi batubara yang digunakan dalam pembuatan Indonesia semakin kompetitif di pasar dunia. Dan untuk
kokas dengan metode coal blending, juga akan dilakukan menjamin pasokan batubara bagi industri dalam negeri,
analisa pengaruh kandungan (%) total sulfur, kandungan membuka tambang–tambang baru melalui daya dorong
(%) abu serta CSN (crucible swelling number) dan investasi termasuk investasi asing, serta mengeliminasi
perbedaan waktu pemanasan kokas agar mengetahui penambangan ilegal maka pemerintah mengeluarkan
waktu optimum yang digunakan untuk menghasilkan Peraturan Menteri tahun 2011. Pemerintah juga
kokas paling baik. Tujuan penelitian meliputi memberikan perhatian yang serius terhadap upaya
pemanfaatan batubara kualitas rendah agar dapat pengembangan energi berbahan baku batubara seperti
dimanfaatkan menjadi kokas, mendapatkan kualitas pencairan batubara dan gasifikasi batubara. Cadangan
kokas yang baik dengan metode coal blending, batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi
mendapatkan variasi komposisi berdasarkan kandungan yang terus dilakukan, sehingga angkanya pun terus
(%) total sulfur, kandungan (%) abu serta bentuk CSN membesar seiring dengan ditemukannya lapisan –
(crucible swelling number) yang menghasilkan lapisan baru batubara. Meskipun total sumber daya
campuran batubara yang sesuai dengan standar kualitas batubara Indonesia mencapai 104,7 miliar ton, tapi
kokas, mendapatkan variasi waktu karbonisasi yang cadangan yang bisa ditambang hanya sekitar
memberikan kualitas kokas paling baik. seperlimanya saja, yaitu sebesar 21,1 miliar ton. Menurut
[6] jumlah persentase cadangan batubara-batubara di
2. TINJAUAN LITERATUR Indonesia ditunjukan pada Gambar 1.

Batubara merupakan bahan bakar fosil yang dapat


terbakar, terbentuk dari endapan organik, atau disebut
juga batuan organik yang terutama terdiri dari karbon,
hidrogen dan oksigen. Batu bara terbentuk dari
tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan
lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan
dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk Gambar 1. Persebaran Jenis Batubara di Indonesia
lapisan batu bara [4]. Klasifikasi batubara didasarkan
pada tingkat tanaman fosil telah berubah menjadi karbon Dilihat dari wilayah, maka hampir seluruh cadangan
dan diindikasikan berapa lama usia batubara tersebut, batubara Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan
semakin tua batubara umumnya memiliki kandungan Kalimantan (49,56%), sedangkan sebagian kecil terdapat
karbon yang lebih tinggi. Klasifikasi batubara di Jawa, Sulawesi, dan Papua. Batubara tersebut hampir
berdasarkan kandungan karbonnya yaitu antrasit, semuanya berjenis batubara uap, dengan karakteristik
bituminus, subbituminus dan lignite. Batubara dengan kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari cadangan yang
kadar karbon tertinggi adalah jenis batubara terbaik dan ada, diketahui bahwa jumlah untuk tipe bituminus dan
paling bersih saat digunakan. Semakin usianya muda, sub-bituminus sebesar kurang lebih 40%, sedangkan
nilai kalorinya semakin menurun dan tingkat kandungan sebagian besar sisanya adalah lignit. Antrasit juga
debu pada batubara tersebut meningkat. Penjelasan tipe diproduksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit.
batubara tersebut berdasarkan [5] yaitu: lignite banyak Di Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat
digunakan sebagai bahan bakar pembangkit tenaga batubara kokas sehingga pembangunan tambang di sana
listrik. Lignite adalah jenis batubara muda, berwarna berlangsung dengan pesat dalam beberapa tahun
coklat kehitaman, memiliki kadar air tinggi (sampai belakangan ini [7].
45%), dan kandungan sulfur tinggi dan cenderung hancur
bila terkena kondisi cuaca buruk, nilai kalori (ash free 2.2 Coking Coal
basis) kurang dari 5700 kcal/kg. Subbituminous Coal Coking coal didefinisikan sebagai batubara yang
disebut juga lignite hitam. Subbituminous berwarna lebih mengalami pelunakan, pemuaian dan mengeras kembali
hitam dibanding Lignite dan mengandung moisture menjadi kokas selama proses karbonisasi [8]. Proses
sekitar 20-30%. Subbituminous digunakan untuk tersebut dinamakan tahapan plastis. Batubara jenis ini
menghasilkan listrik dan pemanas ruangan. Bituminous digunakan untuk membuat kokas pada industri besi baja,
Coal merupakan batubara lembut, padat, dan berwarna pengecoran, dan industri lainnya. Bituminous memenuhi
hitam dan memiliki moisture kurang dari 20%. kriteria untuk digunakan sebagai coking coal, terutama
Bituminous digunakan untuk menghasilkan listrik, kokas, pengujian kadar batubara termasuk moisture, ash,
dan pemanas ruangan. Anthracite Coal Sering disebut kandungan sulfur, kandungan volatile, tar dan plasticity.
sebagai hard coal, antrasit memiliki struktur yang keras, Coking coal merupakan batubara yang diubah menjadi
2
kokas dengan menghilangkan pengotornya untuk
menghasilkan karbon yang hampir murni. Sifat fisik dari
batubara kokas menyebabkan batubara melunak,
mencair dan kemudian membeku kembali menjadi CSN 9
bongkahan keras namun berpori pada saat dipanaskan
tanpa udara. Coking coal juga harus memiliki kandungan
sulfur dan fosfor rendah. Kokas terbuat dari pembakaran Tabel 1. Bentuk-bentuk swelling kokas setelah
dari campuran batubara bituminus (disebut juga karbonisasi 4 jam
metallurgical coal atau coking coal) pada temperatur
Bentuk Tampak Tampak
tinggi tanpa udara sampai volatile matter-nya hilang. swelling Tampak atas samping bawah
Hampir semua coking coal digunakan dalam oven kokas.
Proses tersebut terdiri dari pemanasan batubara menjadi
kokas sekitar 1000-1100ºC tanpa oksigen untuk
menghilangkan senyawa volatile (pirolisis). Proses ini CSN 4
menghasilkan bahan berpori keras yang dinamakan
kokas. Kokas digunakan terutama untuk melebur bijih
besi dan bahan besi lainnya di dalam blast furnace,
penggunaan kokas sebagai sumber panas dan agen CSN 5
pereduksi untuk menghasilkan pig iron atau hot metal.
Kokas, bijih besi, dan kapur dimasukan kedalam blast
furnace secara continous. Udara panas ditiupkan ke
dalam furnace untuk membakar kokas, sebagai sumber CSN 6
panas dan agen pereduksi oksigen untuk menghasilkan
besi cair.

CSN 7
3. PEMBAHASAN

Hasil percobaan menunjukan perubahan bentuk kokas


setelah dipanaskan beberapa jam. Bentuk kokas yang
sebelumnya berbentuk serbuk berubah menjadi lengket, CSN 8
menggumpal dan mengembang. Perilaku tersebut
meupakan sifat plasticity. Tabel 3, Tabel 4. dan Tabel 5.
menunjukan bentuk-bentuk kokas hasil percobaan
karbonisasi.
CSN 9

Tabel 1. Bentuk-bentuk swelling kokas setelah karbonisasi 2 jam


Bentuk Tampak Perubahan terlihat dengan semakin besarnya nilai
Tampak
swelling Tampak atas samping bawah CSN maka kokas semakin mengembang dan semakin
banyak poros yang terbentuk dari hasil karbonisasi
tersebut. CSN 4 memiliki jumlah komposisi lignit
terbanyak, dan seiring bertambahnya nilai CSN
CSN 4
komposisi lignitnya semakin berkurang. CSN 9
memiliki komposisi lignit terendah. Perbandingan
komposisi-komposisi tersebut menyebabkan
perbedaan bentuk mengembang, karena kemampuan
CSN 5
mengembang dari kokas disebabkan jumlah coking
coal pada setiap komposisi. Lignit yang tidak memiliki
sifat muai (nilai CSN=0) tetap dalam bentuk serbuk,
sedangkan coking coal terus memuai menyebabkan
CSN 6
lignit terdesak dan membentuk alur lignit. Alur lignit
semakin jelas pada komposisi mulai dari CSN 7, 8 dan
9. Alur yang terbentuk membuktikan lignit tidak
mempunyai sifat menggumpal atau sifat plasticity. Alur
CSN 7
lignit yang terlihat tersebut, tetap dalam bentuk
serbuk sehingga dapat disimpulkan bahwa lignit tidak
bisa dijadikan sebagai kokas yang baik. Hal ini akan
mempengaruhi perilaku kokas selama proses di dalam
CSN 8 blast furnace, karena kokas yang baik memiliki sifat
plasticity yangbaik pula. Apabila kokas tidak memiliki
sifat plasticity, maka reaksi hanya terbatas pada
permukaannya saja, sehingga mempengaruhi proses
3
kokas sebagai reduktor baja. Penelitianbatubara jenis
lignit selama ini masih terbatas menjadi batubara
semikokas, tetapi tetap saja lignittidak bisa digunakan
sebagai kokas yang baik dalam proses steelmaking
untuk penggunaan dalamblast furnace.

4. KESIMPULAN

Lignit yang merupakan batubara jenis non-coking coal


tidak mampu melunak, lengket dan mengembang sehingga
tidak cocok digunakan sebagai kokas untul blast furnace,,
Semakin lama waktu pemanasaan, coking coal semakin
mengembang tapi pada kondisi tertentu pengembangan akan
maksimum dan mulai terjadi penyusutan bila diukur dari tinggi
kokas, Setiap komposisi tertentu, bentuk pengembangan
kokasnya berbeda-beda semakin banyak coking coal maka
kokas semakin mengembang.

5. DAFTAR PUSTAKA
Referensi Jurnal
Curran, J.: Fundamental Factors Influencing Coke Strength.
The University of Newcastle,Australia (2009)..
Suarez-ruiz, I.: Organic petrologi: An Overview. Instituto
Nacional Del Carbon (INCAR-CSIC) Oviedo, Spain, 2012.
Khairil & Irwansyah: Kaji Eksperimental Teknologi Pembuatan
Kokas dari Batubara sebagai Sumber Panas dan Karbon
pada Tanur Tinggi (Blast Furnace). Universitas Syiah Kuala,
Aceh (2010).

Buku
Valia & Hardarshan, S.: Coke Production for Blast Furnace
Ironmaking Scientist, Ispat Inland Inc. (2006)
Annual Book ASTM Standard. Gaseous Fules, Coal and Coke,
Petroleum Products, Lubricant and Fossil Fuels, Section 5
Vol.05.05: American Society for Testing and Materials,
Philadelphia, Pennsylvania (2002).

Prosiding
Karen, et al.: Understanding the microstructure of coal during
carbonization using rheometry and 1H NMR. ICCS&T,
Okinawa (2005).
Adiarso, dkk.: Teknologi Pemanfaatan Batubara Peluang dan
Tantangan. Balai Besar Teknologi Energi BPPT PUSPIPTEK
: Tangerang, 2010

Paten
Stovesonline (2011).
COALTECH (2007).

Anda mungkin juga menyukai