METEDOLOGI PENELITIAN
3.1. Umum
Untuk dapat melaksanakan suatu pekerjaan yang baik, perlu dibuat suatu
metode pendekatan teknis sehingga segala sesuatunya dapat dilaksanakan secara
systematis dan praktis.
1
belum dilakukan secara optimal mengingat hanya beberapa kolong yang sudah
dimanfaatkan. Pemeberadayaan akan optimal jika aspek fisik kolong dan aspek sosial-
ekonomi masyarakat dapat diidentifikasi dengan baik. Aspek fisik kolong meltpui
parameter dimensi kolong, parameter aksebilitas kolong. Sedangkan aspek sosial-
ekonomi masyarakat terutama untuk melihat kegiatan ekonomi dan keingin
masyarakat terhadap kolong.
Untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik maka dibuatlah kerangka pikir
dan bagan alir penelitian identifikasi kawasan dan design konservasi kabupaten
Bangka Tengah serperti pada gambar 3.1
2
Pen gu mpulan Data Awal
Peta Topografi
Peta Geologi Regional
Peta Tata Guna lahan
Data Hidroklimatologi
Laporan Desain & Studi
Terdahulu
Buku referensi dan
pedoman sesuai dengan
pekerjaan, dll
- Wawancara - So sialisasi
- Pengamatan - Kondisi Sosek dan
PENGUKURAN DAN SURVEY HIDROLOGI INVESTIGASI GEOL OGI
- Ku alitas Air Demografi
PEMETAAN TOPOGRAFI TEKNIK (OPTIONAL)
- Up dating Peta Situasi - Pen guku ran Aru s - Bor tan gan
- Pemasang an BM d an CP - Samp lin g Air d an - Pengujian Laboratoriu m
- Pen gu kuran detail syarat Sed imen Mekt an
pembuatan Ko nstr uksi - Test Sedimen
Ko lo ng
ANAL ISA PENGOLAHAN DATA DAN ANAL ISA HIDROLGI ANAL ISA GEOLOGI ANALISA SOSIAL
KONSERVASI PENGGAMBARAN DAN HIDROMETRI TEKNIK EKONOMI
LINGKUNGAN TOPOGRAFFI
Desain Tata Letak dan Perh itun gan Simulasi (Optimasi) Kolon g
Desain Detail Kolong Ko lo ng
3
1)Kegiatan Pengumpulan dan Pengkajian Data Awal
Pengumpulan data di tingkat pusat meliputi kegiatan inventarisasi data dan
wawancara dengan nara sumber, untuk mendapatkan masukan-masukan yang
mendukung dalam pelaksanaan desain. Wawancara dengan nara sumber lebih
diarahkan pada permasalahan-permasalahan yang saat ini dihadapi serta tanggapan
terhadap rencana pembangunan peningkatan fungsi kolong.
Data-data yang dibutuhkan meliputi sebagai berikut :
a) Peta rupabumi dari Bakosurtanal
b) Peta Geologi Teknik, Geologi Lingkungan (Direktorat Geologi ESDM)
c) Peta Seismotektonik (Direktorat Geologi ESDM)
d) Peta RTRW
e) Peta Hidrologi dari BMG, Balai Wilayah Sungai atau Dinas PSDA Provinsi
f) Peta Daerah Aliran Sungai
g) Data hidroklimatologi dari Dinas PSDA dan/atau Dinas Pertanian
h) Data debit dari Balai Wilayah Sungai atau Dinas PSDA Provinsi
i) Data Meteorologi dari BMG atau Dinas Pertanian
j) Data Tata Guna Lahan dari Bappeda atau Dinas Kehutanan
k) Survey Harga Satuan material di Lokasi Pekerjaan
l) Rencana Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan
m) Data isu-isu penting berhubungan dengan SDA
n) Buku-buku laporan/studi terdahulu (jika ada)
o) Inventarisasi Permasalahan
p) Peraturan/Kebijakan Pemerintah yang mendukung dalam pelaksanaan pekerjaan.
2) Survey Lapangan
Survei lapangan bertujuan untuk:
Melakukan koordinasi dengan Satuan Kerja, Pemda Provinsi dan Kabu-paten/Kota
serta Instansi/Dinas lainnya yang terkait dengan pekerjaan ini tentang tujuan
survey.
4
Orientasi awal lokasi pekerjaan di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi
lapangan dalam rangka penyempurnaan rencana kerja.
Melakukan Survei dan Inventarisasi Data DTA Kolong di Pulau Belitung
Dalam hal koordinasi dan pengumpulan data sekunder yang sesuai dengan lingkup
pekerjaan, maka sumber data sekunder untuk aspek teknis, sosial ekonomi, lingkungan dapat
diperoleh dari instansi pemerintah terkait setempat baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten.
Teknik-teknik pengumpulan data pada saat kunjungan lapangan ini adalah sebagai berikut:
1) Data collecting : konsultan akan mengumpulkan data sekunder, laboran ataupun jurnal
yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan kolong, termasuk di dalamnya:
Melakukan koordinasi secara internal dan instansi terkait
5
Pengumpulan data-data pendukung yang meliputi data hidroklimatologi, debit
kolong, kebutuhan air baku, tataguna lahan, populasi penduduk, sosial ekonomi, dan
banjir , d.l.l.
2) Wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait untuk mengetahui kondisi
wilayah.
3) Penggunaan daftar pertanyaan (questioner) untuk mendapatkan data-data yang
dibutuhkan.
Data iklim yaitu temperatur, penyinaran matahari, kecepatan angin dan kelem-baban
Peta-peta hidrologi dan iklim seperti lokasi stasiun curah hujan, stasiun klimatologi
a. Kondisi kolong berupa Luas, Umur kolong, kedalaman, volume tampungan, Status
kolong dan Sumber Air
b. Dana (pembiayaan) berdasarkan Dana Pemerintah (APBN/APBD), Swasta, dan Iuran
Pelanggan
c. Pemanfaatan Kolong : Untuk kebutuhan Penduduk yaitu Air minum klas 1 dan Klas 2
Municipal (perkotaan) dan domestik, pariwsata, irigasi, dan industri
6
d. Perlindungan/pelestarian Sumber Daya Air yaitu pengendalian banjir, perlindungan
kekeringan dan luas tutupan lahan
e. Kualitas Air yaitu : Tingkat keasaman, Tingkat pencemaran, Tingkat sedimentasi
f. Kuantitas Air yaitu jumlah ketersediaan air, kebutuhan air dan Alokasi air untuk
pengguna/distribusi
g. Aksesibilitas yaitu jarak dari pusat kota, jarak dari desa dan akses jalan masuk
1. Umur/usia Kolong
Indikasi kolong terpilih hendaknya kolong yang berumur lebih dari 20 tahun. Kondisi
biogeofisik kolong ini sudah semakin normal seperti layaknya sebuah danau atau kolam
tua. Keanekaragaman hayati kolong ini (plankton, ikan, dan organisme akuatik lainnya)
sudah menyerupai perairan tergenang alami. Air di kolong ini sudah dapat dimanfaatkan
masyarakat bagi kehidupan sehari-hari.
Kolong eks tambang yang akan dikembangkan / ditata lingkungannya menjadi kawasan
wisata hendaknya memiliki luasan antara 0 – 60 Ha ( merujuk pada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 Tanggal 16 Maret 2007 Tentang Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan )
Kolong yang terpilih hendaknya kolong yang secara operasional sudah tidak ada ada
aktifitas penambangan atau dengan kata lain status operasionalnya sudah tidak aktif. Ini
menjadi penting mengingat sangatlah tidak mungkin melakukan pengembangan wisata
apabila status operasionalnya masih aktif.
7
4. Kemudahan Akses (Tingkat Pencapaian)
Aksesibilitas atau tingkat pencapaian dengan pusat pelayanan (ibu kota kecamatan dan
ibu kota kabupaten) merupakan faktor yang sangat penting. Pengembangan kolong
sebagai objek wisata sangat bergantung pada kemudahan pencapaiannya. Suatu objek
wisata tidak mempunyai daya tarik efektif jika tidak ditunjang oleh kemudahan untuk
mencapainya. Kemudahan untuk mencapai objek wisata diasumsikan bahwa faktor jarak
suatu objek wisata dari pusat pelayanan (ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten)
berpengaruh langsung terhadap pengembangan wisata
5. Perlindungan Kekeringan
Kolong terpilih hendakmya memiliki kondisi air yang tidak mudah kering walaupun dalam
kondisi kemarau panjang.
6. Perlindungan/Peleestarian
Kolong yang terpilih hendaknya tidak berada dalam kawasan Hutan Lindung Kabupaten
Belitung. Batas dan luasan kawasan Hutan Lindung Kabupaten Belitung didasarkan pada
SK. Menhut No. 357/Menhut-II/2004. Ini menjadi penting untuk dipahami mengingat
dalam arahan pengendalian ruang RTRW Kabupaten Belitung ( 2011 – 2031) jelas
disebutkan bahwa dalam hutan lindung tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang
berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi
1. Analisis Hidroklimatologi
Untuk dapat menyusun suatu perencanaan, salah satu faktor yang sangat penting
adalah penentuan debit banjir rencana. Besarnya debit banjir rencana yang digunakan
untuk desain hidraulik ini akan digunakan debit banjir dengan kala ulang seperti yang
tercantum dalam Pedoman Pengendalian Banjir.
8
Penentuan besarnya debit banjir rencana tergantung dari ketersediaan data dan
kebutuhan analisa. Jika hanya membutuhkan puncak banjir dapat dilakukan dengan
analisa frekuensi, tetapi jika membutuhkan penelusuran banjir, maka harus dilakukan
analisa hidrograf. Metoda analisis debit banjir rencana dapat dilakukan berdasarkan
ketersediaan data :
Jika data debit banjir maksimum tahunan sesaat yang tersedia >20 tahun dan
memenuhi syarat untuk analisa frekuensi (stasioner, homo-gen, independensi dan
keacakan), maka perhitungan besarnya debit banjir rencana dapat dilakukan dengan
distribusi frekuensi Gumbel, Log Pearson Tipe III atau Log Normal 2 maupun Pearson III
baik dengan cara grafis maupun cara analisis.
Jika data debit banjir maksimum sesaat yang tersedia < 20 tahun, maka perhitungan
debit banjir rencana dapat menggunakan Metode Analisis Regional yang merupakan
hasil analisa menggunakan gabungan data dari berbagai DPS.
Jika besarnya debit banjir rencana diperkirakan dari data hujan dan data karakteristik
DAS, maka besarnya debit banjir rencana dapat dilakukan dengan metode empiris,
metoda rasional atau metode analisis regresi (IOH).
Jika terdapat data hidrograf banjir dan data hujan durasi pendek pada saat yang sama
dengan hirdrograf banjir, maka dapat digunakan Metoda hubungan hujan limpasan
dengan Unit Hidrograf.
Dengan demikian data-data yang akan dikumpulkan dalam pelaksanaan pekerjaan ini
antara lain :
Hasil pengukuran debit kolong
Hasil survai hidroklimatologi.
Hasil survai daerah aliran sungai.
9
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui penyimpangan atau kesalahan data yang
diketahui dari ketidak konsistenan datanya. Metode yang digunakan adalah "Double
Mass Curve". Dimana ploting komulatif data curah hujan dari stasiun penakar hujan
dengan komulatif data stasiun curah hujan lainnnya, sehingga didapatkan hubungan
berupa garis lurus.
Hujan Titik
Hujan titik merupakan data-data yang yang sudah diperbaiki termasuk data yang
hilang untuk analisa selanjutnya. Pengisian data hilang dilakukan karena adanya data
yang tidak lengkap yang disebabkan karena tidak tercatatnya data hujan oleh
petugas, alat penakar rusak dan sebab lain. Hal tersebut biasa ditandai dengan
kosongnya data dalam daftar.
Salah satu metode pengisian data hilang adalah metode normal, persa-maannya
adalah sebagai berikut :
n
1 Rx
r x= ∑ ri
n 1 Ri
di mana :
rx = Curah hujan yang diisi.
Rx = Curah hujan rata-rata setahun ditempat pengamatan yang datanya
harus dilengkapi.
Ri = Curah hujan rata-rata setahun di pos hujan pembandingnya.
ri = Curah hujan dipos hujan pembandingnya.
n = Banyaknya pos hujan pembanding.
Pemeriksanaan hujan abnormal untuk mengetahui data-data yang abnormal sehingga
dalam analisa selanjutnya tidak diikutkan. Metode yang digunakan adalah "Iwai
Kadoya"
Hujan Rerata
Hujan rerata merupakan wilayah yang dihitung dari hujan titik dari beberapa stasiun
penakar hujan yang berpengaruh terhadap daerah aliran sungai. Salah satu metode
yang digunakan untuk menghitung hujan wilayah/daerah adalah metode Thiesen.
10
Poligon Thiesen diperoleh dengan cara membuat poligon yang memotong tegak
lurus pada tengah-tengah garis hubung dua pos penakar hujan, persamaannya adalah
sebagai berikut :
n
Ai
R AVG =∑ Ri
1 A
START
Uji Konsistensi
Hujan Rancangan
Tidak
Uji Kesesuaian
Distribusi Frekuensi
Ya
Distribusi Hujan Jam-
jaman
LAPORAN PENDUKUNG
HIDROLOGI & HIDROMETRI
di mana :
11
RAVG = Curah hujan rata-rata (mm)
Ai = Luas pengaruh stasiun ke i dari 1 sampai n (km2)
A = Luas daerah aliran sungai (km2)
Ri = Curah hujan pada stasiun ke-I dari 1 sampai n (mm)
12
START
Cs = 0
Pilih Kertas Probabilitas
Ck =3 Ya SEBARAN NORMAL
yang Sesuai
?
Tidak
Tidak
Cs > 0
Pilih Kertas Probabilitas
1,5 Cs^2+3-Ck SEBARAN PEARSON III
yang Sesuai
?
Tidak
Cs(ln X) > 0
SEBARAN LOG Plot Sebaran Teoritik &
1,5 Cs(ln X)^2+3=Ck(ln X)
PEARSON III Empirik
?
Tidak
Cs=
n 2
( n−1 )( n−2 ) [ ]
∑ ( Xi− X )
i=1
nS 3
3
Ck=
3
n
( n−1 ) ( n−2 )( n−3 ) [ ]
∑ ( Xi− X )3
i=1
nS 4
di mana :
13
S = Standar Deviasi X = Hujan rata-rata
n = Banyaknya data Cs = Koefisien Skew
Xi = Data Ck = Koefisien Kurtosis
i = Urutan data dari yang terbesar
Hujan Rancangan
Meskipun telah diuji Cs dan Ck, namun metode yang digunakan ter-gantung dari hasil
diskusi dengan Direksi menghendaki analisa dengan berbagai macam metode.
Metode yang biasa digunakan adalah :
a. Metode Gumbel Tipe I
Persamaannya adalah sebagai berikut :
X T =X + S×K
di mana :
XT = Besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun.
X =X +k .σ X
di mana :
X = besarnya suatu kejadian
X =X +tp.σ
di mana :
14
X = besarnya suatu kejadian
X T =X +Km×Sn
di mana :
XT = Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi
15
Sebaran/distribusi hujan jam-jaman yang dihitung berdasarkan curah hujan harian
pada umumnya digunakan rumus Mononobe :
R24 t 2/ 3
Rt =
t T()
di mana:
Rt = Intensitas hujan rata-rata, dalam T jam
R24 = Curah hujan efektif dalam 1 hari
t = Waktu konsentrasi hujan
T = Waktu mulai hujan
Curah hujan ke-t dihitung dengan persamaan :
Rt =t×Rt −( t−1 )×R( t−1 )
Disamping metode tersebut distribusi curah hujan juga dapat ditentukan dari pola
distribusi yang ada pada stasiun terdekat dengan lokasi analisa yang mempunyai data
curah hujan jam-jaman.
16
Ro = Hujan satuan (1 mm)
Tp = Waktu puncak (jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan untuk penurunan debit, dari debit puncak menjadi
30% dari debit puncak (jam).
Aliran dasar yang digunakan untuk metode empiris dan regresi mengguna-kan
parameter luas daerah aliran sungai dan kerapatan sungai. Persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut :
QB = 0,4751 x A0,6444 x D0,943
QB = Aliran dasar, m3/dt
A = Luas daerah aliran sungai, km2
D = Kerapatan sungai, km/km2
Metode Regresi
Metode GAMA I. Parameter-parameter yang digunakan adalah :
a) Faktor sumber (SF) adalah perbandingan antara jumlah panjang sungai sungai
tingkat 1 dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.
b) Frekwensi sumber (SN) adalah perbandingan antara jumlah sungai sungai tingkat
satu dengan jumlah sungai semua tingkat.
c) Faktor lebar (WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dititik
sungai yang berjarak 0,75 L dengan lebar DAS yang diukur dititik sungai yang
berjarak 0,25 L dari tempat pengukuran.
d) Luas DAS sebelah hulu (RUA) adalah perbandingan antara luas DAS yang diukur
dihulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara lokasi
e) Pengukuran dengan titik yang dekat dengan titik berat DAS, melewati titik
tersebut.
f) Faktor simetri (SIM) adalah (WF) x (RUA)
g) Jumlah pertemuan sungai (JN) adalah jumlah semua pertemuan sungai didalam
DAS.
h) Kerapatan jaringan sungai (D), Luas daerah aliran sungai ( A )
17
Data Hujan Data Hujan &
Data Debit Data Debit Data Debit
Panjang & Data Data Karak-
>20 thn (10~20) thn (4~20) thn
Debit (1~3) thn teristik Basin
Di mana :
18
Qp = Debit puncak ( m3/dt )
K = Koefisin tampungan
B = Koefisien reduksi
Model Matematis
Model matematis merupakan salah satu cara pendekatan terhadap sistem hidrologi
secara terkonsepsi. Salah satu metode model matematis yang digunakan untuk
keperluan studi ini adalah metode SSARR (Streamflow Synthetis and Reservoir
Regulation). Bagan alir perhitungan mengikuti mengikuti Gambar B21 dan Gambar
B22.
Konsep dasar perhitungan debit untuk berbagai macam komponen mengikuti
persamaan kontinyuitas tampungan sebagai berikut :
I 1 +I 2 O 1 +O2
( ) (2
Δt−
2 )Δt=S2−S 1
di mana :
I1 = Debit masukan pada periode awal (m3/dt).
19
Δ t = Interval waktu (jam atau menit).
Hujan rata-rata pada daerah aliran dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
di mana :
Pd = Hujan rata-rata (mm)
20
PRECIPITATION
RAINFALL
EVAPOTRANSPIRATION
MOISTURE
SMI
SOIL MOISTURE
RUN OFF
BII
DIRECT RUN OF
BASE
FLOW
S-SS
ROUTING
SUB SURFACE
SURFACE
ROUTING
ROUTING
STREAM FLOW
di mana :
Wp = Hujan rata-rata yang didistribusi (mm).
Dist. = Persen dari distribusi hujan harian (%), jika perhitungan dilaku-kan
dalam harian, Dist = 100 %.
Persentase curah hujan yang menjadi aliran permukaan (surface flow) dan aliran dasar
(baseflow), diatur oleh persentase limpasan tanah atau "run of percent" (ROP) dan
kebasahan tanah atau "soil moisture index" (SMI) yang didapat dari lengkung ROP
21
dengan SMI. Persamaan-persamaan untuk menghitung RGP dan SMI adalah sebagai
berikut :
RGP = ROP x Wp
PH
SMI 2=SMI 1 + ( Wp−RGP )− [ 24
xKExETI ]
di mana :
RGP = Generated run-off untuk satu periode yang diambil (cm)
PH = Periode routing
PH
BII 2=BII 1+ ( 24 . RG−BII 1 ) .
Ts. BII+0,5 PH
RG = RGP/PH
di mana :
BII1 = Baseflow infiltration index permulaan periode routing (mm/hari).
22
Persamaan untuk menghitung index infiltrasi aliran dasar (Baseflow Infiltration Index
= BII) yang dihitung setiap akhir periode adalah :
Aliran permukaaan dan aliran dasar permukaan (RGS) dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
RGS = RG. ( 1 - BFP )
di mana :
BFP = Persentase aliran dasar (%).
Lengkung aliran permukaan (RS) dengan total input aliran permukaan dan aliran
dasar permukaan (RGS) dibuat dalam bentuk tabel. Bentuk lengkung yang lazim
dipergunakan didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut :
Komponen RS diambil minimum 10 % dari total input RGS.
Komponen RGS akan mencapai maksimum ( KSS ) dan akan konstan untuk RGS
diatas 200 % dari KSS.
Dengan asumsi tersebut diatas persamaan untuk menghitung aliran permukaan
adalah sebagai berikut :
RS = ( 0,1 + 0,2 (RGS/KSS) ) x RGS
di mana :
RS = Surface component input rate, (cm/jam)
23
Tabel 3. 1 Kala Ulang Minimum yang Disarankan sebagai Banjir Rencana yang berkenaan
dengan Genangan Banjir
Sistem Saluran banjir sungai) dan Populasi Total 2) (untuk Awal Akhir
sistem drainase) 1) 1)
Proyek Baru 10 25
Proyek Peningkatan
10 25
24
5 10
Keterangan :
1) Standar banjir rencana tertinggi akan digunakan jika analisa ekonomi menunjukkan
standar tersebut diperlukan sekali atau jika banjir mengakibatkan resiko tinggi dalam
kehidupan manusia.
2) P = jumlah penduduk ibukota
3) Proyek Darurat dilaksanakan tanpa studi kelayakan teknis dan ekonomis pendahuluan
pada tempat-tempat dimana genangan sangat luas dan masalah banjir menimbulkan
resiko besar terhadap nyawa manusia.
4) Proyek Baru, meliputi proyek-proyek pengendalian banjir pada tempat dimana sebe-
lumnya tidak pernah ada proyek pengendalian banjir atau dimana proyek darurat sudah
dilaksanakan.
5) Proyek Peningkatan, meliputi proyek-proyek rehabilitasi serta perbaikan dari proyek-
proyek yang sudah ada. Kebanyakan Proyek Pengembangan Wilayah Sungai dianggap
sebagai peningkatan.
25
Tabel 3. 2 Kala Ulang Minimum yang Disarankan sebagai Banjir Rencana Bagi Bangunan
Sungai
Kala ulang
Jenis Bangunan Detail Penjelasan
(Tahun)
Pelindung Tebing 25 Krib, Bronjong, Riprap dan lain-lain
Sungai
Perlindungan Gerusan 50 Krib, Rip-rap, bronjong dan sebagainya
Lereng Tanggul
Normalisasi Alur Bervariasi Alur sungai digunakan Debit Alur Penuh/
Debit Regim Sungai
Bendung 50 - 100
Jembatan 50
Jalur Perlintasan Pipa 50 Pipa yang melintang diatas sungai atau
tertanam di dasar sungai dan
mengangkut bahan non polutan
5. Analisa Evapotranspirasi
Evaporasi dan evapotranspirasi sangat mempengaruhi debit sungai, besarnya kapasitas
waduk, dan besarnya kebutuhan air untuk tanaman.
Besarnya evaporasi dan evapotranspirasi tergantung kondisi iklim seperti radiasi
matahari, kecepatan angin, kelembaban udara, dan temperature udara. Persamaan
untuk menghitung besarnya evaporasi yang sebenar-nya dari evapotranspirasi dapat
dihitung dengan berbagai macam metode. Metode yang kami usulkan adalah yang biasa
digunakan yaitu Penman Modifikasi. Data klimatologi yang diperlukan pada metode ini
adalah radiasi matahari, kecepatan angin, kelembaban udara, dan temperature udara.
Persamaan-persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
e = ETo * ( m/20 ) * ( 18 -n )
26
Rn = 0,75 x Rs - Rn1 = 0,25
AETo = ETo - e
ed = ea x Rh/100
n = 0,66 Z x 0,12
di mana :
AETo = Evapotranspirasi aktual (mm/hari)
m = Proporsi permukaan tanah yang tidak ditutupi oleh tanaman dalam tiap
setengah bulanan. Dihitung dari peta tata guna lahan.
27
f(U) = Suatu fungsi angin
ea-ed = Defisit tekanan uap atau selisih antara uap jenuh ( ea ) pada T rata-rata
dalam mmbar, dan tekanan uap jenuh sebenarnya (ed ) dalam mbar.
Di Indonesia yang merupakan daerah beriklim tropik basah, erosi yang terpenting
adalah erosi oleh air hujan. Pada umumnya jenis erosi yang disebabkan oleh air adalah erosi
permukaan (surface erosion). Proses erosi ini merupakan proses awal terjadinya kerusakan
lahan dan merupakan penyebab terbesar terjadinya erosi di DAS.
Tingkat bahaya erosi yang terjadi dinyatakan dalam Indeks Bahaya Erosi (IBE) dan
didefinisikan sebagai berikut :
28
Nilai T adalah merupakan suatu jumlah kehilangan tanah yang disebab-kan oleh
terjadinya suatu proses pelarutan pada permukaan tanah akibat tumbukan dan aliran air
hujan yang masih dapat diberikan toleransi.
Selanjutnya batasan tingkat bahaya erosi dapat diklasifikasikan seperti pada tabel di
bawah ini.
1.01-4,0 Sedang
4,01-10,0 Tinggi
b. Sedimentasi
Proses sedimentasi adalah pelepasan, pengangkutan dan pengendap-an tanah yang
tererosi. Hampir semua penyebab dari sedimentasi adalah hasil erosi yang dipercepat,
terutama erosi permukaan dan erosi parit. Sedimentasi merupakan pecahan material
yang diangkut dalam suspensi atau yang terbawa oleh air dan angin, atau yang
terakumulasi oleh angkutan dasar. Dari proses sedimentasi tersebut, sedimen yang
dihasilkan hanya sebagian yang masuk kedalam sungai dan terbawa keluar DAS,
sedangkan sebagian lagi diendapkan disepanjang lintasan menuju aliran sungai.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil sedimentasi dalam suatu DAS terdiri dari jumlah
dan intensitas curah hujan, formasi geologi dan tipe tanah, tata guna lahan, topografi,
erosi daerah hulu, limpasan permu-kaan, karakteristik sedimen dan karak-teristik
hidraulika saluran.
Dalam hal ini terdapat hubungan antara kecepatan, konsentrasi dan debit sedimen dari
suatu aliran dengan berbagai macam kedalaman. Kecepatan aliran, semakin ke dasar
29
sungai akan semakin berkurang dan kecepatan minimum terjadi pada dasar sungai.
Sebaliknya, konsentrasi sedimen bertambah dan mencapai maksimum pada dasar
sungai.
c. Metode Analisis
Salah satu cara menghitung besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan adalah dengan
menggunakan Metode USLE (Universal Soil Loss Equation).
A=R×K ×L×S×C×P
di mana :
K= Erodibilitas tanah
L = Faktor Panjang lereng
S = Faktor kemiringan Lereng (%)
R= Faktor erosivitas hujan
C = Faktor Pengolalaan Tanaman
P = Faktor Konservasi Tanah
30
Faktor erosivitas hujan adalah hasil perkalian antara energi kinetik hujan (E) dari suatu
kejadian hujan dengan intensitas maksimum selama 30 menit (I30).
Di Indonesia, faktor erosivitas hujan dihitung berdasarkan hasil penelitian dari Bols
(1978) dengan persamaan sebagai berikut :
1 ,21 −0, 47 0 , 53
EI 30=6 ,119×( Rain ) × ( Days ) ×( MaxP )
Di mana :
Erosivitas Erodibiltas
Management Management
Energi
Tanah Tanaman
R K LS P C
12
R= ∑ ( EI 30 )
n=1
Di mana :
31
R = Faktor erosivitas hujan;
n = Periode bulan yang bersangkutan
Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah tergantung pada keadaan topografi, kemiringan lereng, besarnya
gangguan oleh manusia, dan karakteristik tanah. Karakteristik tanah bersifat dinamis
dan dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tata guna lahannya sehingga
angka erodibilitas juga akan berubah.
Peta dasar yang digunakan adalah peta topografi yang kontur dan tulisannya jelas.
Untuk daerah yang luas dan tidak dilakukan pengukuran, maka peta topografi diambil
dari peta skala 1:25.000
32
Banyaknya nilai kemirngan lereng pada masing-masing kisi maka perlu dilakukan
klasifikasi kemiringan lereng. Berdasarkan aturan yang berlaku, yaitu Surat Keputusan
Menteri Pertanian (SK.Mentan) No.827/Kpts/Um/11/ 1980 dan SK.Mentan No.
683/Kpts/Um/8/ 1981 serta Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990, pembagian kelas
lereng disajikan pada tabel berikut.
Sumber : Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan Edisi Kedua, Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan,
2000
Salah satu metode untuk menentukan kemiringan lereng metode Horton, dengan
persamaan sebagai berikut :
π. n. Δh
tan β=
2p
di mana :
33
= konstanta lingkaran
n = jumlah titik potong garis kontur dengan sisi kisi-kisi, dengan
anggapan sisi kisi-kisi merupakan garis yang menerus (titik sudut
kisi-kisi bukan sebagai titik potong dua garis yang menerus).
h = beda tinggi garis kontur (m).
p = keliling kisi-kisi, setelah dikalikan dengan bilangan skala (m ).
Faktor kelerengan dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
L
LS= √ ( 1, 38+0 , 965 S+0 , 138 S 2 )
100 untuk S < 20 %
0,6 1,4
L S
LS=
22( ) () x
9 untuk S > 20 %
di mana :
L = panjang lereng ( m )
S = kemiringan lereng rata-rata ( % )
Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor pengelolaan Tanaman di pengaruhi oleh jenis vegetasi, keadaan permukaan
tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang tererosi sehingga
besarnya C tidak konstan sepanjang tahun.
e. Klasifikasi Erosi
Dari hasil perhitungan erosi dapat ditentukan dengan klasifikasi erosi, seperti terlihat
pada tabel dibawah ini.
34
Sangat Berat > 330
Berat 25-330
Sedang 50-125
Kecil 12,5-50
Sangat Kecil < 12,5
Sumber : Soewarno, Hidrologi, 1991
f. Perhitungan Sedimen
Perhitungan angkutan sedimen di lahan dapat ditentukan dengan persamaan SDR
(Sediment Delivery Ratio), sedangkan angkutan sedimen melayang di saluran dengan
persamaan Qs (Angkutan sedimen melayang Suspended Load).
Sebagai sedimen hasil proses erosi akan terbawa dan masuk kedalam saluran atau
sungai, dan sebagian lagi akan tetap tinggal di dalam DAS. Besarnya angkutan sedimen
dapat ditentukan dengan terlebih dahulu memperkirakan harga SDR.
Kemudian untuk mencari besarnya angkutan sedimen di lahan, persamaan diatas dapat
di ubah menjadi persamaan berikut ini :
35
No Luas DAS (Km2) SDR (%)
1 0.1 53
2 0.5 39
3 1 35
4 5 27
5 10 24
6 50 15
7 100 13
8 200 11
9 500 8.5
10 26000 4.9
Pt 1t
{
r= (
P0 }
) −1 ; Pt =P 0 (1+ r )t
36
kebutuhan air perkapita.Kriteria penentuan kebutuhan air rumah tangga (domestik) yang
dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum,menggunakan
parameter jumlah penduduk sebagai penentuan jumlah air yang dibutuhkan perkapita per
hari.Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.8.
37
Tabel 3.10. Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Status Kota
38
Jenis Kebutuhan Air M utu
M etropol itan Besar Sedang Kecil
Untuk Fasil itas Perkotaan Air
Komersial Kelas
a. Pasar 0,1-1,00 (l/dt) Satu
B. Hotel
- Lokal 400 (l/kamar/hari)
- Interlokal 1000 (l/kamar/hari)
c. Hostek 135-180 (l/orang/hari)
d. Bioskop 15 (l/orang/hari)
Sosial dan Institusi Kelas
a. Universitas 20 (l/sisw a/hari) Dua
b. Sekolah 15 (l/sisw a/hari)
c. Masjid 1-2 (m³/hari/unit)
d. Rumah Sakit
< 100 tempat tidur 340 (l/tp.tdr/hari)
> 100 tempat tidur 400-450 (l/tp.tdr/hari)
e. Puskesmas 1-2 (m³/hari/unit) 40 % dari 30 % dari 25 % dari
f. Kantor 0,01-45 (l/dt/hari) kebutuhan kebutuhan kebutuhan
g. Militer 10 (m³/hari/unit) air baku air baku air baku
h. Klinik Kesehatan 135 (l/orang/unit) rumah rumah rumah
Fasilitas Pendukung Kota tangga tangga tangga
a. Taman 1,4 (l/m²/hari) (domestik) (domestik) (domestik)
b. Read Watering 1,0-1,5 (l/m²/hari)
c. Sew er System 4,5 (l/kapita/hari)
(air kotor)
Fasilitas Transportasi Ada T idak Ada
Fasilitas Fasilitas
Kamar Mandi Kamar Mandi
(liter/kapita/hari)
a. Stasiun Menengah 45 23
b. Stasiun P enghubung dan 70 45
Menengah dimana ada
tempat (kotak) surat
c. Terminal 45 45
d. Bandar Udara Lokal dan 70 70
Internasional
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum
39
d. Kebutuhan Air Industri
Kebutuhan air industri meliputi kebutuhan untuk proses industri, termasuk bahan
baku, kebutuhan air pekerja industry dan pendukung kegiatan industry. Kebutuhan air
industry dihitung berdasarkan jumlah unit industri dan jumlah tenaga kerja indsutri.Kriteria
penentuan kebutuhan air industri memakai Pedoman Konstruksi dan Bangunan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, menggunakan parameter jumlah unit
industri dan jumlah pekerja industri sebagai penentuan klasifikasi/jenis industri dan besar
kebutuhan air berdasarkan jenis industry tersebut.Adapun kriteria tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.11.danTabel 3.12.berikut :
40
dihitung sebagai berikut :
q( f )
Q f =365 harix xP (n)
1000
dengan:
41
3.3.1.2.1. Kriteria Baku Mutu Air
Sebagai tolak ukur evaluasi data kualitas air sungai WS Pulau Bangka adalah
Baku Mutu (BM) air pada sumber air yang datur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 disebutkan bahwa penggolongan air
menurut peruntukannya ditetapkan sebagai berikut:
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau
Kelas I peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
Kelas II
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
Kelas III peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau
Kelas IV peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut
Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air
dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status
mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai
dari “US-EPA (United State - Environmental Protection Agency)” dengan mengklasifikasikan
mutu air dlm empat kelas, yaitu:
42
3.3.2. Neraca Air
Untuk mengetahui keberadaan sumber air di lokasi pekerjaan perlu juga dilakukan
analisa neraca (keseimbangan) air. Tujuannya adalah untuk mengetahu inflow, outflow dan
storage untuk setiap sumbe air yang ada. Dengan demikian dari hasil analisis ini nantinya
akan diperoleh nilai prediksi minus atau surplus apabila sumber air tersebut digunakan
sebagai pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat setempat.
ΔS = Qi – Qo
Dimana:
Apabila tidak diketahui debit yang masuk (Qi), maka analisis keseimbangan air dapat
dilakukan dengan melalui pendekatan FJ. Mock. Yaitu dengan menganalisis ketersediaan air
yang ada di kolong.
43
Inventarisasi juga dilakukan dari segi pemanfaatannya. Setiap sumber air yang
ditemui dicatat juga dari segi pemanfaatannya, yaitu: Air baku, Pertanian Perikanan, dan lain-
lain
44
Dalam rangka perencanaan pengembangan sumberdaya air dalam suatu wilayah,
rencana peruntukan wilayah bagi jenis penggunaan lahan tertentu mutlak harus diketahui.
Penyusunan rencana spasial harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah yang ada.
Adapun data rencana tata ruang yang diperlukan adalah Rencana Tata Ruang
Kabupaten/Kota serta Rencana Tata Ruang Provinsi.
1) decomposition, adalah memecah persoalan yang utuh menjadi beberapa elemen hingga
elemen tersebut tidak dapat sampai diuraikan lagi,
45
2) comparative judgement, adalah proses penilaian atau perbandingan antara dua elemen
(pairwise comparation) dalam suatu level sehubungan dengan level di atasnya.
Perbandingan dua elemen ditunjukkan pada matriks di bawah ini :
A1 A2 …… A3
A1 w1 /w 1 w1 /w 2 . .. .. . . w 1 /w n
[A] = A2
.. .. .
An
[ w2 /w1 w2 /w 2
. .. . .. .. . . . .. .. . .. ..
wn /w 1 wn /w 2
. .. .. . . w2 /w n
. .. .. . .. . .. .. . .. ..
. .. .. . w n /wn
] ……….(1)
dengan :
3) synthesis of priority, adalah proses penentuan prioritas elemen, elemen dalam satu level.
Setelah diperoleh skala perbandingan antara dua elemen melalui wawancara, kemudian
dicari vektor prioritas (eigen vector) dari suatu level hirarki pada skala preferensi dalam
Tabel 3.13. berikut ini.
( λmax −n)
CI = (n−1 ) ……………………..………………….. (2)
dengan :
n = ordo matriks
Nilai indeks konsistensi didapat dalam Random Index (RI), yaitu indeks yang
menyatakan konsistensi matriks reciprocal yang dibentuk secara random.
Penilaian kepentingan relatif dua elemen berlaku reciprocal artinya jika elemen i
dinilai 3 kali lebih penting dibanding j, maka elemen j harus sama dengan 1/3 kali lebih
penting dibandingkan elemen i. Disamping itu, perbandingan dua elemen yang sama
menghasilkan angka 1, artinya sama penting.
Random Index diperoleh dengan ordo matriks pada Tabel 3.14. berikut ini.
47
Tabel 3.14. Random Index Ordo Matriks
Ordo matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber : Saaty, 1980
Ya
Kolong Konservasi
Idendtifikasi kriteria kebutuhan SDA
yang sesuai
Kolong Konservasi yang sesuai
Tujuan
Mulai
UU
PP
Matriks
Perpres
Penentuan tingkat
Perda Konservasi Kolong yg ada
sesuai
Normalisasi
elemen matrik
Penentuan tidak
Penentuan
prioritas
Kriteria Pengembangan
Menghitung
Kolong sesuai dengan
eigen value
Perda
PPerda
Menetapkan
Consistensi Consistensi ratio
Random indeks
indeks (CI)
((RI)
Eevaluasi
Selesai
Konservasi SDA
Gambar 3.17 . Analisis Potensi Kolong Konservasi SDA dengan metode Expert Choice
Pengelolaan Kolong
Berkelanjutan
49
3.3.5. Analisis Data Pengukuran Topografi
di mana :
A = azimuth matahari
50
Q = lintang pengamatan (dari peta topografi)
Salah indeks (i) dari alat ukur, koreksi ini diperoleh melalui pengecekan alat ukur atau
kalibrasi alat.
R rm cp ct
di mana :
rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760 mm.Hg, temperatur 0°C dan
kelembaban nisbi 60%.
p
cp = 760 , dengan p adalah tekanan udara dalam mm.Hg
Bila tekanan udara tidak diukur, tetapi tinggi tempat pengamatan diketahui dari peta
topografi, maka harga cp dapat dicari dari Tabel VIIa almanak matahari.
283
ct = ( 273+ t ) , dengan t adalah temperatur udara dalam °C
(harga ct dapat dicari dari Tabel VIII pada buku almanak matahari).
51
- Koreksi paralaks (p), besarnya koreksi paralaks adalah :
pH adalah koreksi paralaks terbesar, berkisar antara 8,66” ~ 8,95”, rata-ratanya 8,8”.
2) Hitungan Poligon
Pelaksanaan perhitungan poligon pendahuluan dilaksanakan di lapangan, supaya bila
terjadi kesalahan pengukuran bisa langsung diperbaiki dan perhitungan definitif dengan
menggunakan komputer dilakukan di kantor.
Syarat-syarat supaya poligon dapat dihitung, maka data yang harus diketahui adalah :
- Sudut jurusan awal/azimuth awal dapat dihitung dari koordinat 2 (dua) buah titik
tetap atau dari pengamatan matahari.
- Perhitungan sudut horizontal didapat dari bacaan sudut Biasa (B) kebelakang
dikurangi sudut (B) kemuka dan bacaan sudut Luar Biasa (LB) kebelakang dikurangi
sudut (LB) ke muka. Sudut yang didapat adalah harga sudut rata-rata dari pemba-
caan (B) dan (LB).
Tahapan hitungan poligon kring tertutup setelah data yang diperlukan diperoleh adalah
sebagai berikut :
a. Bila yang dihitung sudut dalam (), maka syarat geometrisnya adalah :
52
sudut ukuran = (N - 2).180°
U
1
l
wa
ha
ut
im
Az
2
3
4
3
4
53
c. Jika jumlah sudut tidak sama dengan (N-2).180° atau tidak sama dengan (N+2).180°,
maka ada kesalahan penutup sudut sebesar f dan hitungan harus di-koreksi.
αN =α awal +β−180 °
h. Bila tidak sama dengan 0 (nol), berarti ada kesalahan penutup absis (fx) dan ordinat
(fy), sehingga hitungan selisih absis dan ordinat yang benar :
d d
Δx=Δx+
(∑ ) d
×fx Δy =Δy +
(∑ ) d
×fy
X =X +ΔX '
Y =Y + ΔY '
j. Untuk mengetahui kesalahan linier poligon didapat dengan rumus :
√ ( fx )2 + ( fy )2
SL=
∑d
Dengan batasan ketelitian linier untuk poligon utama 1/5000
54
3) Hitungan Sipat Datar
Perhitungan pendahuluan untuk memperoleh unsur beda tinggi pada jalur-jalur yang
menghubungkan titik-titik simpul dilaksanakan di lapangan, sehing-ga bila terjadi
kesalahan pengukuran bisa diulang kembali, dan perhitungan definitif dilakukan di
kantor.
a. Beda tinggi antara dua titik didapat dari bacaan benang tengah belakang (BTb)
dikurangi bacaan benang tengah muka (BTm) atau beda tinggi h = BTb – BTm
b. Untuk mengontrol pembacaan benang tengah (BT) dan untuk memper-oleh jarak
optis, dibaca juga benang atas (BA), benang bawah (BB), dengan kontrol ukuran :
BT = ½ (BA - BB),
sehingga jarak tiap slag didapat, yaitu jarak muka ditambah jarak ke belakang atau
D = Dm + Db
c. Dari hasil perhitungan beda tinggi tersebut pada masing-masing kring tertutup
dilakukan perhitungan jumlah beda tinggi, hi = 0, dengan I =1 s/d n, sehingga
diperoleh kesalahan penutup beda tinggi di tiap-tiap kring.
d. Untuk mengetahui apakah salah penutup sudah memenuhi toleransi yang
diinginkan, dipakai rumus :
T 10 d Km
di mana :
55
T = toleransi
e. Dari salah penutup beda tinggi tiap kring, koreksi dapat dibagikan ke beda tinggi
tiap seksi dengan cara konvensional, tanda koreksi (+) atau (-) adalah kebalikan dari
tanda salah penutup.
f. Elevasi titik-titik pada tiap-tiap seksi diantara titik-titik simpul tersebut diperoleh dari
perhitungan cara konvensional atau perataan sederhana dengan acuan pada elevasi
titik-titik simpul.
4) Hitungan Titik Detail
Perhitungan titik detail menggunakan metode Tachimetri. Sebagaimana telah
diterangkan di atas pada pengukuran Tachimetri unsur yang didapat dari pengukuran
situasi detail yaitu :
tinggi alat ukur terhadap patok diukur (TA),
tinggi patok diukur (Tp),
pembacaan sudut horizontal,
pembacaan sudut vertikal (h) atau sudut zenith (Z),
pembacaan benang lengkap (BA, BT, BB)
Dari unsur atau data-data tersebut diatas dapat dihitung :
Jarak optis atau jarak miring, yaitu DM = C (BB-BA) atau DM = 100(BB-BA) dan jarak
mendatar, yaitu D = DM x Cos 2Z atau D = DM x Sin 2h
Hitungan beda tinggi (H) dari tempat berdiri alat ke titik detail dihitung dengan rumus :
(1) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu setinggi alat maka, beda tinggi (H) =
0,5 x DM x Sin 2Z.
(2) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu tidak setinggi alat maka, beda tinggi
(H) = 0,5 x DM x Sin 2 Z + TA - BT.
Hitungan elevasi titik-titik detail selanjutnya dapat dihitung berdasarkan elevasi acuan
awal dan akhir yang diketahui dari tinggi tiap patok poligon/waterpass.
5) Pekerjaan Penggambaran
56
Penggambaran terdiri dari :
Penggambaran Peta Geometris Sungai
Penggambaran Peta Situasi Lokasi Rencana embung/kolong, meliputi :
□ Situasi detail bangunan pengambilan, saluran pembawa, jalur pipa pesat, rumah
□ Potongan memanjang saluran pembawa, jalur pipa pesat dan saluran pembuang,
skala 1:100.
Penggambaran situasi sungai terdiri dari :
Gambar situasi sungai skala 1:1000
Untuk penggambaran kontur dibuat apa adanya tetapi teliti, dan bagian luar daerah
sungai kontur di plot hanya berdasarkan titik-titik spot height, efek artistik tidak
diperlukan. Interval garis kontur sebagai berikut :
Pemberian angka kontur jelas terlihat, dimana setiap selang lima garis kontur
digambar lebih tebal. Semua legenda ditampilkan, terutama :
(1) Seluruh alur, drainase, sungai (dasar terendah dan lebar jelas terlihat)
(2) Seluruh jalan yang melingkupi areal pekerjaan
(3) Petak-petak tambak, petak-petak sawah, jaringan irigasi dan drainase, batas
kampung, rumah-rumah, jembatan dan saluran. Diameter atau dimensi berikut
ketinggian lantai semua gorong-gorong, jembatan, sekolah, mesjid dan kantor
pemerintahan, dan lain-lain.
57
(4) Tower telepon, tower listrik, dan lain-lain
(5) Daerah rawa
(6) Batas tata guna lahan, misalnya pemukiman penduduk, areal perkantoran, pusat
kota, daerah resapan, belukar berupa rerumputan dan alang-alang, sawah, rawa,
ladang, kampung, kebun dan lain-lain.
(7) Tiap detail topografi setempat, misalnya tanggul curam, bukit kecil dan lain-lain.
(8) Batas pemerintahan (Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa dan lain-lain), nama
kampung, kecamatan, nama jalan dan lain-lain yang dianggap diperlukan.
Gambar potongan memanjang skala mendatar 1:1000 dan skala vertikal 1:100.
Gambar potongan melintang skala 1:100.
Gambar situasi sungai dan long section sungai dibuat dengan skala horizontal 1:1000
dan skala vertikal 1:100, pada kertas kalkir ukuran A1. Penarikan garis kon-tur setiap
interval 1 meter ditarik dengan rapidho 0,1 mm dan setiap 5 meter ditarik lebih tebal
dengan rapidho 0,5 mm. Materi lainnya yang dicantumkan dalam gam-bar situasi
sungai, yaitu orientasi arah Utara, garis silang grid, harga koordinat grid, skala garis.
Gambar potongan melintang sungai, digambar pada skala 1:100 baik skala hori-zontal
maupun skala vertikal, digambar pada kertas kalkir ukuran A1.
Data yang dicantumkan pada gambar potongan melintang yaitu :
• jarak (distance)
6) Penggambaran Peta
Seluruh hasil pengukuran selanjutnya diplot dengan format digital AutoCAD pada lembar
berkoordinat Ukuran A1. Format ukuran A1 ini berlaku untuk seluruh lembar gambar dan
peta.
Untuk pengeplotan seluruh peta dan gambar pada lembar A3 tetap menggunakan
format A1. Seluruh hasil pengukuran topografi direkam pada peta indeks berkoordinat
penuh. Seluruh peta mempunya tanda-tanda sebagai berikut :
Garis kontur
58
Seluruh titik spot height yang diukur baik sungai, pantai maupun dasar laut
(bathimetri)
Skala, arah utara dan legenda
Bila penggambaran dilakukan pada beberapa lembar, diagram dari layout lembar
d) Peta Indeks/Rencana
Meskipun pengeplotan data hanya pada satu lembar atau beberapa lembar format
A1, pada skala 1:2000, maka peta indeks/ikhtisar skala 1:10.000 tetap dibutuhkan
untuk menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
59
Spot height yang dipilih
Data dari hasil investigasi di lapangan maupun hasil uji contoh terganggu maupun
tidak terganggu selanjutnya diolah dan dianalisis seperti uraian dibawah ini:
1) Penggambaran Log of Bor Hole
Hasil pemerian (deskripsi) hasil bor tangan dicatat dalam Tabel Log of Bor Hole.
Dalam keadaan jenuh air, tanggul saluran harus mampu bertahan terhadap gejala
60
Tabel 3. 16 Beberapa Jenis Tanah dan Nilainya Sebagai Bahan Urugan
Tanggul
Simbol Klasifikasi
No Nama Bahan Nilai
Bahan
1 Batuan -
Batu besar
2 -
Batu ukuran biasa
3 GW ; GP Kerikil 6
4 GM ; GC Tanah berkerikil 1
5 SW ; SP Pasir 5
6 SM ; SC Tanah Pasiran 2
7 ML ; CL ; OL Tanah Kohesif 3
8 MH ; CH ; OH Lempung 4
9 Pt Tanah organis 7
Sumber : Perbaikan dan Pengaturan Sungai, Editor Dr. Suyono Sosro-
darsono dan Dr. Masatersu Tominaga
b) Bahan Konstruksi
Bahan konstruksi untuk pekerjaan beton, pasangan batu, pasangan batu kosong,
dan lain lain diperoleh dari quarry. Bahan bangunan untuk konstruksi tersebut
terdiri dari pasir, kerikil dan batu. Syarat-syarat bahan bangunan tersebut adalah :
Bahan tidak mengandung campuran zat organis atau mineral yang mudah larut.
3 3
a= y 0= ( √ h2 +d2 −d )
4 4
Apabila 90 <
61
1
a=a0 = ( √h 2 +d 2 −d )
2
62
(1) Embung Homogen
Apabila bahan yang membentuk tubuh embung terdiri dari tanah yang hampir sejenis
dan gradasinya (susunan ukuran butirnya) hampir seragam. Tubuh embung/kolong
secara keseluruhannya berfungsi ganda, yaitu sebagai bangunan penyangga dan seka-
ligus sebagai penahan rembesan air.
Pada embung tipe ini sebagai penyangga utama dibebankan kepada timbunan yang lulus
air (zone lulus air), sedangkan penahan rembesan dibebankan kepada timbunan yang
kedap air (zone kedap air).
Berdasarkan letak dan kedudukan dari zona kedap airnya, maka tipe ini masih dibedakan
menjadi 3 (tiga), yaitu :
Embung urugan zonal dengan tirai kedap air atau ”Embung tirai (front core fill type
dam)”, ialah embung zonal dengan zona kedap air yang membentuk lereng udik
embung tersebut.
Embung urugan zonal dengan inti kedap air miring atau ” Embung inti miring (inclined
core fill type dam”, ialah embung zonal dengan zona kedap airnya terletak didalam
tubuh embung dan berkedudukan miring ke arah hilir.
Embung urugan zonal dengan inti kedap air tegak atau ” Embung inti tegak (central
core fill type dam)” adalah embung zonal yang zona kedap airnya ter-letak di dalam
embung dengan kedudukan vertikal. Biasanya inti tersebut terle-tak di dalam tubuh
embung dengan kedudukan vertikal. Biasanya inti tersebut terletak di bidang tengah
dari tubuh embung.
63
Tabel 3. 17 Tipe embung
Bendungn inti
dengan yang
inti vertikal
sekat
64
daya dukung yang rendah asalkan kekedapannya dapat diperbaiki pada tingkat yang
dikehendaki.
(2) Embung urugan selalu dapat dibangun dengan menggunakan bahan batuan yang
terdapat di sekitar calon embung. Dibandingkan dengan jenis embung beton yang
memerlukan bahan-bahan fabrikan seperti semen dalam jumlah besar dengan harga
yang tinggi dan didatangkan dari tempat yang jauh, maka embung urugan dalam hal ini
menunjukkan tendensi yang positip.
(3) Dalam pembangunannya embung urugan dapat dilaksanakan secara mekanis dengan
intensitas yang tinggi (full mechanized) dan karena banyaknya tipe-tipe peralatan yang
diproduksi, maka dapat dipilih peralatan yang paling cocok, sesuai dengan sifat-sifat
bahan yang akan digunakan serta kondisi lapangan pelaksanaannya.
(4) Kelemahannya karena tubuh embung terdiri dari timbunan tanah atau timbunan batu
yang berkomposisi lepas, maka bahaya jebolnya embung umumnya disebabkan oleh hal-
hal sebagai berikut :
a) longsoran yang terjadi baik pada lereng udik, maupun lereng hilir tubuh embung.
b) terjadinya sufosi (erosi dalam atau piping) oleh gaya-gaya yang timbul dalam aliran
filtrasi yang terjadi didalam tubuh embung
c) suatu konstruksi yang kaku tidak diinginkan di dalam tubuh embung, karena
konstruksi tersebut tak dapat mengikuti gerakan konsolidasi dari tubuh embung
tersebut.
d) proses pelaksanaan pembangunan biasanya sangat peka terhadap pengaruh iklim.
Lebih-lebih pada embung tanah, dimana kelembab-an optimum tertentu perlu
dipertahankan terutama pada saat pelaksa-naan penimbunan dan pemadatannya.
adalah volume embung yang dapat digunakan untuk memenuhi salah satu atau lebih
65
tujuan pembangunannya seperti halnya pengairan, PLTA, pengendalian banjir dan lain-
lain.
Volume embung tidak aktif (in active storage) adalah volume embung antara bagian
terbawah dari bangunan pengeluaran dengan permukaan air teren-dah untuk operasi.
Volume embung mati (dead storage) adalah volume embung yang terletak di bagian
total embung yang meliputi volume aktif storage, inactive storage dan dead storage)
+130.00
F130
+125.00
F125
+120.00
F120
+115.00
F115
+110.00
F110
+105.00
F105
+100
F100
66
F105 untuk elevasi +105.00
Seperti terlihat pada gambar terlihat, bahwa beda tinggi antara 2 kontur adalah h, maka
volume antara 2 kontur yang berturutan dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :
1
V n = ×Δh ( F n−1 +F n + √ Fn−1×F n )
3
di mana :
Dari grafik tersebut dengan mudah dapat dicari luas dan volume setiap elevasi tertentu
pada embung. Dengan demikian luas dan volume total embung dapat ditentukan pula.
67
Luas waduk (ha)
700 600 500 400 300 200 100 0
+130.00
+125.00
Luas waduk
+120.00
Volume waduk
Elevasi m
+115.00
+110.00
+105.00
+100.00
0 15 30 45 60 75 90 105
6
Volume waduk x 10 m3
Gambar 3.23 Grafik hubungan antara elevasi, luas dan volume embung
Volume embung/kolong total yang dihitung berdasarkan topografi belum tentu sama
dengan volume total embung/kolong yang dihitung berdasarkan inflow.
Kondisi yang paling baik adalah apabila volume embung/kolong total berdasarkan
topografi lebih besar dari volume berdasarkan inflow karena hal ini menunjukkan, bahwa
kapasitas atau daya tampung embung/kolongnya lebih besar. Ini berarti, bahwa air yang
harus dibuang lewat bangunan pelimpah relatif sedikit.
Demikian pula umur embung/kolong lebih panjang karena dapat menampung endapan
lebih banyak. Sebaliknya apabila volume total embung/kolong yang dihitung
68
berdasarkan topografi lebih kecil dari volume embung/kolong berdasarkan inflow, maka
debit air yang dibuang melalui bangunan pelimpah relatif besar.
Apabila volume embung/kolong yang dihitung berdasarkan topografi terpaksa lebih kecil
dibandingkan dengan inflow, maka perhitungan kapasitas bangunan pelimpah harus
dilakukan dengan periode ulang yang cukup besar.
69
Dalam merencanakan embung/kolong perlu dipertimbangkan dengan matang adanya
kapasitas mati (dead storage) yang antara lain digunakan untuk penampungan endapan
sedimen yang masuk ke dalam embung/kolong dan bertahan di dasarnya. Walaupun
kemajuan teknologi sudah sedemikian majunya, pengerukan endapan sedimen pada suatu
embung/kolong secara ekonomis belumlah memadai. Akibat terjadinya sedimentasi yang
sangat cepat pada embung/kolong yang direncanakan untuk dapat berfungsi lebih dari 50
tahun (misalnya), ternyata hanya dalam waktu beberapa tahun saja endapan sudah
memenuhi kapasitas matinya (dead storage), sehingga embung/kolong yang dibangun
dengan biaya yang besar harus menghentikan fungsinya.
Pembangunan sebuah embung/kolong biasanya direncanakan untuk dapat berfungsi
dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun dan bahkan ada yang sampai 100 tahun. Oleh karena
itu dalam menentukan volume sedimen, survey, investigasi dan analisis-analisis yang
dilaksanakan tidak saja terbatas pada keadaan yang telah lalu, tetapi mencakup juga
perkiraan-perkiraan kemungkin-an terjadinya perubahan-perubahan dari kondisi daerah
poengaliran di masa-masa yang akan datang, dimana kemungkinan-kemungkinan perubah-
annya akan menimbulkan perubahan intensitas proses sedimentasi yang terjadi di daerah
pengaliran tersebut.
Karena banyaknya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intensitas sedimentasi
tersebut, maka penelitian yang dilakukan menyangkut bidang yang sangat luas dan ana-
lisisnya biasanya cukup rumit.
Faktor terpenting biasanya sangat mempengaruhi proses sedimentasi di daerah
pengaliran sungai adalah :
70
ngat mempengaruhi intensitas proses-proses degradasi serta erosi pada batuan tersebut
dan selanjutnya akan mempengaruhi intensitas sedimentasi pada sungai yang
bersangkutan.
71
nian, pengusahaan hutan, pembangunan jaringan jalan, perkampungan dan lain-lain-nya)
sangat mempengaruhi kapasitas sedimentasi pada sungai yang bersangkutan.
Untuk perhitungan perkiraan volume sedimen dapat digunakan rumus seperti berikut :
72
F
Ps Rs
A
di mana :
(2) Perhitungan perkiraan volume sedimen dengan menggunakan data dari embung/kolong-
Embung/kolong lapangan.
Apabila luas daerah pengaliran calon embung/kolong lebih kecil dari 100 km2, maka
angka satuan sedimentasi dapat dicari dengan menggunakan tabel dibawah ini, yang
dibuat berdasarkan hasil-hasil pencatatan yang sesungguhnya dari embung/kolong-
Embung/kolong lapangan yang telah dibangun.
73
Tabel 3. 18 Tabel untuk memperoleh angka satuan sedimentasi di daerah pengaliran sungai
€
Daerah Pengaliran
2
(km ) 2 5 10 20 30 50 100
Topografi Geografi
100 300 800
zona A
~300 ~800 ~1200
Stadium permulaan 100 200 500
zona B
pembentukan ~200 ~500 ~1000
100 150 400
zona C
~150 ~400 ~800
100 200 500
zona A
~200 ~500 ~1000
Stadium akhir 100 150 400
zona B
pembentukan ~150 ~400 ~1000
50 100 300
zona C
~100 ~350 ~500
kurang dari 50 100 300
zona B
Stadium 50 ~100 ~350 ~500
pertengahan 50 100
zona C kurang dari 50
~100 ~200
50 100
zona B kurang dari 50
Merupakan data ~100 ~200
yang stabil 50 100
zona C kurang dari 50
~100 ~200
74
Perbedaan
Peningkatan gejala Kemiringan
Karakteristik elevasi dan
erosi dalam alur dasar Lain-lain
topografi permukaan
sungai sungai
alur
Intensitas erosinya Kemiringan
Stadium
terbe-sar dengan Lebih besar tebing
permulaan 1/100 ~ 1/500
proses peng-gerusan dari 500 m sungai
pembentukan
tebing sungainya sekitar 30°
Intensitas erosinya
Stadium akhir besar dengan proses 1/500 ~
400 m
pembentukan pengge-rusan dasar 1/700
sungai
Intensitas erosinya
Stadium
kecil, kecuali dalam 1/800 300 m
pertengahan
keadaan banjir
Merupakan Intensitas erosinya
dataran yang kecil, walaupun 1/1000 100 m
stabil dalam keadaan banjir
Sumber : Bendungan tipe urugan, Ir. Suyono Sosrodarsono, Kensaku Takeda, 1981
(1) Zone A
Daerah pengaliran yang lebih dari 1/3 bagian terdiri dari daerah pegunungan berapi,
daerah longsor dan terutama daerah yang terbentuk dari batuan yang berasal dari
gunung berapi (zone of volcanic origin).
(2)Zone B
Daerah pengaliran yang antara 1/3 sampai dengan 1/5 bagian terdiri dari batuan
seperti tersebut diatas
(3)Zone C
Daerah pengaliran yang tidak termasuk dalam kategori kedua zone tersebut.
75
76