Anda di halaman 1dari 76

BAB III

METEDOLOGI PENELITIAN

3.1. Umum

Untuk dapat melaksanakan suatu pekerjaan yang baik, perlu dibuat suatu
metode pendekatan teknis sehingga segala sesuatunya dapat dilaksanakan secara
systematis dan praktis.

3.2. Konsep Pendekatan

Konsekuensi logis dari kegiatan penambangan timah adalah terjadinya lubang


bekas penambangan timah yang menurut istilah dari daerah belitung itu adalah
Kolong. Kolong pasca penambangan timah telah terjadi sejak penambangan timah
dimulai, yang tersebar di seluruh daerah provinsi Bangka-Belitung. Penambangan
dengan sistem tambang terbuka menyebabkan terjadinya lubang raksasa yang pada
umumnya terisi air sebagaimana layaknya reservoir alam. Pembentukan kolong dapat
dilakukan dengan cara semprot (hydraulic mining) ataupun cara keruk (dredging).
Kegiatan ini akan meninggalkan kolong-kolong yang berbeda bentuk, kedalaman, dan
kecepatan reklamasinya, terutama dalam hal regenerasi biota. Kolong yang
terbentuk dari lubang bekas galian tambang memiliki ukuran dan kedalaman yang
berbeda tergantung jenis galiannya. Kedalaman kolong bervariasi mulai dari 1 hingga
21 m, namun umumnya kedalaman kolong di atas 5 m. 

Pemanfaatan kolong lebih efisien diaharapkan akan mendorong pertumbuhan


perekonomian masyarakat dan pemerintahan daerah. Dengan berfungsinya kolong
secara optimal, permasalahan setempat yang dihadapi masyarakat maupun
pemerintah daerah dapat dipecahkan dengan baik. Pemanfaatan kolong saat ini

1
belum dilakukan secara optimal mengingat hanya beberapa kolong yang sudah
dimanfaatkan. Pemeberadayaan akan optimal jika aspek fisik kolong dan aspek sosial-
ekonomi masyarakat dapat diidentifikasi dengan baik. Aspek fisik kolong meltpui
parameter dimensi kolong, parameter aksebilitas kolong. Sedangkan aspek sosial-
ekonomi masyarakat terutama untuk melihat kegiatan ekonomi dan keingin
masyarakat terhadap kolong.
Untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik maka dibuatlah kerangka pikir
dan bagan alir penelitian identifikasi kawasan dan design konservasi kabupaten
Bangka Tengah serperti pada gambar 3.1

2
Pen gu mpulan Data Awal
 Peta Topografi
 Peta Geologi Regional
 Peta Tata Guna lahan
 Data Hidroklimatologi
 Laporan Desain & Studi
Terdahulu
 Buku referensi dan
pedoman sesuai dengan
pekerjaan, dll

Su rvey L ap oran Pen dahu lu an


 Koordinasi dan Sosialisasi
 Obervasi Lapangan
 Identifikasi & Inveterisasi Permasalahan

SURVEY KONSERVASI PENENTUAN L OKASI SURVEY SOSIAL


LINGKUNGAN KONSERVASI KOLONG EKONOMI

- Wawancara - So sialisasi
- Pengamatan - Kondisi Sosek dan
PENGUKURAN DAN SURVEY HIDROLOGI INVESTIGASI GEOL OGI
- Ku alitas Air Demografi
PEMETAAN TOPOGRAFI TEKNIK (OPTIONAL)

- Up dating Peta Situasi - Pen guku ran Aru s - Bor tan gan
- Pemasang an BM d an CP - Samp lin g Air d an - Pengujian Laboratoriu m
- Pen gu kuran detail syarat Sed imen Mekt an
pembuatan Ko nstr uksi - Test Sedimen
Ko lo ng

ANAL ISA PENGOLAHAN DATA DAN ANAL ISA HIDROLGI ANAL ISA GEOLOGI ANALISA SOSIAL
KONSERVASI PENGGAMBARAN DAN HIDROMETRI TEKNIK EKONOMI
LINGKUNGAN TOPOGRAFFI

PEKERJ AAN DETAIL DESAIN KOLONG

DETAIL DESAIN KOLONG

 Desain Tata Letak dan Perh itun gan Simulasi (Optimasi) Kolon g
 Desain Detail Kolong Ko lo ng

PENGGAMBARAN PRA ANALISA BIAYA DAN


DESIGN DAN KEL AYAKAN EKONOMI
PERHITUNGAN VOLUME

BOQ Gamb ar Des ign ,


RAB

Gambar 3.2 Bagan Alir Pekerjaan

3
1)Kegiatan Pengumpulan dan Pengkajian Data Awal
Pengumpulan data di tingkat pusat meliputi kegiatan inventarisasi data dan
wawancara dengan nara sumber, untuk mendapatkan masukan-masukan yang
mendukung dalam pelaksanaan desain. Wawancara dengan nara sumber lebih
diarahkan pada permasalahan-permasalahan yang saat ini dihadapi serta tanggapan
terhadap rencana pembangunan peningkatan fungsi kolong.
Data-data yang dibutuhkan meliputi sebagai berikut :
a) Peta rupabumi dari Bakosurtanal
b) Peta Geologi Teknik, Geologi Lingkungan (Direktorat Geologi ESDM)
c) Peta Seismotektonik (Direktorat Geologi ESDM)
d) Peta RTRW
e) Peta Hidrologi dari BMG, Balai Wilayah Sungai atau Dinas PSDA Provinsi
f) Peta Daerah Aliran Sungai
g) Data hidroklimatologi dari Dinas PSDA dan/atau Dinas Pertanian
h) Data debit dari Balai Wilayah Sungai atau Dinas PSDA Provinsi
i) Data Meteorologi dari BMG atau Dinas Pertanian
j) Data Tata Guna Lahan dari Bappeda atau Dinas Kehutanan
k) Survey Harga Satuan material di Lokasi Pekerjaan
l) Rencana Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan
m) Data isu-isu penting berhubungan dengan SDA
n) Buku-buku laporan/studi terdahulu (jika ada)
o) Inventarisasi Permasalahan
p) Peraturan/Kebijakan Pemerintah yang mendukung dalam pelaksanaan pekerjaan.

2) Survey Lapangan
Survei lapangan bertujuan untuk:
 Melakukan koordinasi dengan Satuan Kerja, Pemda Provinsi dan Kabu-paten/Kota
serta Instansi/Dinas lainnya yang terkait dengan pekerjaan ini tentang tujuan
survey.

4
 Orientasi awal lokasi pekerjaan di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi
lapangan dalam rangka penyempurnaan rencana kerja.
 Melakukan Survei dan Inventarisasi Data DTA Kolong di Pulau Belitung

3.3.2. Pekerjaan Survey Inventarisasi, Pengukuran Dan Penyelidikan


a. Inventarisasi Data
Setelah tersusun rencana/program kerja yang definitif sesuai dengan persetujuan
Direksi yang tertuang dalam Laporan Pendahuluan, maka dilakukan survey dan inventarisasi
data yang terdiri dari:

 Inventarisasi Data Sekunder dan Potensi SDA


 Penelusuran Sungai Serta Daerah Berpotensi Tergenang
 Inventarisasi Data Hidroklimatologi, Hidrometri
 Inventarisasi Data Sosial Ekonomi
 Survey Pengukuran dan Pemetaan Topografi Kolong
 Survey Geoteknik/Mekanika Tanah
Pekerjaan Survey dan Inventarisasi merupakan tahap pekerjaan yang sangat penting
sebelum memasuki tahap analisa. Ketelitian, keakuratan dan kejelian pada pelaksanaan
pekerjaan survey dan inventarisasi akan menentukan kualitas hasil pekerjaan ini. Tahap
pekerjaan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui semua potensi yang ada
untuk ditindak lanjuti dengan kegiatan lebih lanjut berupa Identifikasi Kawasan Konservasi di
Pulau Belitung.

Dalam hal koordinasi dan pengumpulan data sekunder yang sesuai dengan lingkup
pekerjaan, maka sumber data sekunder untuk aspek teknis, sosial ekonomi, lingkungan dapat
diperoleh dari instansi pemerintah terkait setempat baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten.

Teknik-teknik pengumpulan data pada saat kunjungan lapangan ini adalah sebagai berikut:

1) Data collecting : konsultan akan mengumpulkan data sekunder, laboran ataupun jurnal
yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan kolong, termasuk di dalamnya:
 Melakukan koordinasi secara internal dan instansi terkait

5
 Pengumpulan data-data pendukung yang meliputi data hidroklimatologi, debit
kolong, kebutuhan air baku, tataguna lahan, populasi penduduk, sosial ekonomi, dan
banjir , d.l.l.
2) Wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait untuk mengetahui kondisi
wilayah.
3) Penggunaan daftar pertanyaan (questioner) untuk mendapatkan data-data yang
dibutuhkan.

b. Inventarisasi Data Hidroklimatologi, Hidrometri

Inventarisasi data Hidroklimatologi dan Hidrometri meliputi:

 Data iklim yaitu temperatur, penyinaran matahari, kecepatan angin dan kelem-baban

udara ( harian, maksimum, rata-rata)


 Debit (harian, maksimum dan minimum).

 Curah hujan (minimum 10 tahun terakhir) (harian, maksimum dan minimum)

 Peta-peta hidrologi dan iklim seperti lokasi stasiun curah hujan, stasiun klimatologi

dan pengukuran debit


 Karakteristik daerah aliran sungai.

Lingkup pelaksanan survey dan inventarisasi secara umum terdiri dari :

C. Survey Potensi Kolong Konservasi Sumber Daya Air


Kolong eks tambang di Kabupaten Belitung keberadaannya terindentifikasi 150 buah
kolong dan tersebar hampir disetiap kecamatan.

Dalam kajian Kriteria diambil berdasarkan :

a. Kondisi kolong berupa Luas, Umur kolong, kedalaman, volume tampungan, Status
kolong dan Sumber Air
b. Dana (pembiayaan) berdasarkan Dana Pemerintah (APBN/APBD), Swasta, dan Iuran
Pelanggan
c. Pemanfaatan Kolong : Untuk kebutuhan Penduduk yaitu Air minum klas 1 dan Klas 2
Municipal (perkotaan) dan domestik, pariwsata, irigasi, dan industri

6
d. Perlindungan/pelestarian Sumber Daya Air yaitu pengendalian banjir, perlindungan
kekeringan dan luas tutupan lahan
e. Kualitas Air yaitu : Tingkat keasaman, Tingkat pencemaran, Tingkat sedimentasi
f. Kuantitas Air yaitu jumlah ketersediaan air, kebutuhan air dan Alokasi air untuk
pengguna/distribusi
g. Aksesibilitas yaitu jarak dari pusat kota, jarak dari desa dan akses jalan masuk

Pemilihan sampel tersebut sebelumnya telah didiskusikan dengan tim


pengarah/direksi pekerjaan. Dari jumlah sampel tersebut nantinya untuk diambil alternatif
Untuk memilihnya maka digunakan Analitic Hyrarci Proces (AHP) Expert Choist 11.5 beberapa
kriteria dan sub criteria .

1. Umur/usia Kolong
Indikasi kolong terpilih hendaknya kolong yang berumur lebih dari 20 tahun. Kondisi
biogeofisik kolong ini sudah semakin normal seperti layaknya sebuah danau atau kolam
tua. Keanekaragaman hayati kolong ini (plankton, ikan, dan organisme akuatik lainnya)
sudah menyerupai perairan tergenang alami. Air di kolong ini sudah dapat dimanfaatkan
masyarakat bagi kehidupan sehari-hari.

2. Cakupan / Luasan Kolong

Kolong eks tambang yang akan dikembangkan / ditata lingkungannya menjadi kawasan
wisata hendaknya memiliki luasan antara 0 – 60 Ha ( merujuk pada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 Tanggal 16 Maret 2007 Tentang Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan )

3. Status Operasional Kolong

Kolong yang terpilih hendaknya kolong yang secara operasional sudah tidak ada ada
aktifitas penambangan atau dengan kata lain status operasionalnya sudah tidak aktif. Ini
menjadi penting mengingat sangatlah tidak mungkin melakukan pengembangan wisata
apabila status operasionalnya masih aktif.

7
4. Kemudahan Akses (Tingkat Pencapaian)

Aksesibilitas atau tingkat pencapaian dengan pusat pelayanan (ibu kota kecamatan dan
ibu kota kabupaten) merupakan faktor yang sangat penting. Pengembangan kolong
sebagai objek wisata sangat bergantung pada kemudahan pencapaiannya. Suatu objek
wisata tidak mempunyai daya tarik efektif jika tidak ditunjang oleh kemudahan untuk
mencapainya. Kemudahan untuk mencapai objek wisata diasumsikan bahwa faktor jarak
suatu objek wisata dari pusat pelayanan (ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten)
berpengaruh langsung terhadap pengembangan wisata

5. Perlindungan Kekeringan
Kolong terpilih hendakmya memiliki kondisi air yang tidak mudah kering walaupun dalam
kondisi kemarau panjang.

6. Perlindungan/Peleestarian

Kolong yang terpilih hendaknya tidak berada dalam kawasan Hutan Lindung Kabupaten
Belitung. Batas dan luasan kawasan Hutan Lindung Kabupaten Belitung didasarkan pada
SK. Menhut No. 357/Menhut-II/2004. Ini menjadi penting untuk dipahami mengingat
dalam arahan pengendalian ruang RTRW Kabupaten Belitung ( 2011 – 2031) jelas
disebutkan bahwa dalam hutan lindung tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang
berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi

3.3.1 Analisa Data Hidroklimatologi dan Hidrometri

1. Analisis Hidroklimatologi
Untuk dapat menyusun suatu perencanaan, salah satu faktor yang sangat penting
adalah penentuan debit banjir rencana. Besarnya debit banjir rencana yang digunakan
untuk desain hidraulik ini akan digunakan debit banjir dengan kala ulang seperti yang
tercantum dalam Pedoman Pengendalian Banjir.

8
Penentuan besarnya debit banjir rencana tergantung dari ketersediaan data dan
kebutuhan analisa. Jika hanya membutuhkan puncak banjir dapat dilakukan dengan
analisa frekuensi, tetapi jika membutuhkan penelusuran banjir, maka harus dilakukan
analisa hidrograf. Metoda analisis debit banjir rencana dapat dilakukan berdasarkan
ketersediaan data :
 Jika data debit banjir maksimum tahunan sesaat yang tersedia >20 tahun dan
memenuhi syarat untuk analisa frekuensi (stasioner, homo-gen, independensi dan
keacakan), maka perhitungan besarnya debit banjir rencana dapat dilakukan dengan
distribusi frekuensi Gumbel, Log Pearson Tipe III atau Log Normal 2 maupun Pearson III
baik dengan cara grafis maupun cara analisis.
 Jika data debit banjir maksimum sesaat yang tersedia < 20 tahun, maka perhitungan
debit banjir rencana dapat menggunakan Metode Analisis Regional yang merupakan
hasil analisa menggunakan gabungan data dari berbagai DPS.
 Jika besarnya debit banjir rencana diperkirakan dari data hujan dan data karakteristik
DAS, maka besarnya debit banjir rencana dapat dilakukan dengan metode empiris,
metoda rasional atau metode analisis regresi (IOH).
 Jika terdapat data hidrograf banjir dan data hujan durasi pendek pada saat yang sama
dengan hirdrograf banjir, maka dapat digunakan Metoda hubungan hujan limpasan
dengan Unit Hidrograf.
Dengan demikian data-data yang akan dikumpulkan dalam pelaksanaan pekerjaan ini
antara lain :
 Hasil pengukuran debit kolong
 Hasil survai hidroklimatologi.
 Hasil survai daerah aliran sungai.

2. Analisis Curah Hujan


Kegiatan analisa curah hujan rencana digambarkan dalam bagan alir seperti pada
gambar terlampir. Berdasarkan bagan alir tersebut diatas maka tahapan analisa curah
hujan adalah sebagai berikut :
 Uji Konsistensi Data

9
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui penyimpangan atau kesalahan data yang
diketahui dari ketidak konsistenan datanya. Metode yang digunakan adalah "Double
Mass Curve". Dimana ploting komulatif data curah hujan dari stasiun penakar hujan
dengan komulatif data stasiun curah hujan lainnnya, sehingga didapatkan hubungan
berupa garis lurus.

 Hujan Titik
Hujan titik merupakan data-data yang yang sudah diperbaiki termasuk data yang
hilang untuk analisa selanjutnya. Pengisian data hilang dilakukan karena adanya data
yang tidak lengkap yang disebabkan karena tidak tercatatnya data hujan oleh
petugas, alat penakar rusak dan sebab lain. Hal tersebut biasa ditandai dengan
kosongnya data dalam daftar.
Salah satu metode pengisian data hilang adalah metode normal, persa-maannya
adalah sebagai berikut :
n
1 Rx
r x= ∑ ri
n 1 Ri
di mana :
rx = Curah hujan yang diisi.
Rx = Curah hujan rata-rata setahun ditempat pengamatan yang datanya
harus dilengkapi.
Ri = Curah hujan rata-rata setahun di pos hujan pembandingnya.
ri = Curah hujan dipos hujan pembandingnya.
n = Banyaknya pos hujan pembanding.
Pemeriksanaan hujan abnormal untuk mengetahui data-data yang abnormal sehingga
dalam analisa selanjutnya tidak diikutkan. Metode yang digunakan adalah "Iwai
Kadoya"

 Hujan Rerata
Hujan rerata merupakan wilayah yang dihitung dari hujan titik dari beberapa stasiun
penakar hujan yang berpengaruh terhadap daerah aliran sungai. Salah satu metode
yang digunakan untuk menghitung hujan wilayah/daerah adalah metode Thiesen.

10
Poligon Thiesen diperoleh dengan cara membuat poligon yang memotong tegak
lurus pada tengah-tengah garis hubung dua pos penakar hujan, persamaannya adalah
sebagai berikut :
n
Ai
R AVG =∑ Ri
1 A

START

- Data hujan tiap stasiun


- Luas daerah tangkapan
- Data Sedimentasi

Uji Konsistensi

Hujan Titik (Point Rainfall )

Hujan Rerata Daerah


(Area Rainfall)

Analisa Statistik ( Cs dan Ck ) Hujan Maksimum yang


mungkin terjadi (PMP )

Hujan Rancangan

Tidak

Uji Kesesuaian
Distribusi Frekuensi

Ya
Distribusi Hujan Jam-
jaman

Analisa Debit Banjir


Rencana

LAPORAN PENDUKUNG
HIDROLOGI & HIDROMETRI

Gambar 3.11 Bagan Alir Analisa Hidrologi

di mana :

11
RAVG = Curah hujan rata-rata (mm)
Ai = Luas pengaruh stasiun ke i dari 1 sampai n (km2)
A = Luas daerah aliran sungai (km2)
Ri = Curah hujan pada stasiun ke-I dari 1 sampai n (mm)

 Analisa Sebaran Cs dan Ck


Sebelum menentukan metode yang sesuai untuk analisa hujan rancangan terlebih
dahulu ditentukan besarnya nilai sebaran Cs dan Ck. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
bagan alir (Gambar B19).

12
START

Penyiapan Data Urutan Data Dari Kecil


Hujan Maksimum ke Besar

Hitung Parameter Statistik Hitung Probababilitas


Ya
Dasar Seri X dan Y Tiap Varian Xi

Cs = 0
Pilih Kertas Probabilitas
Ck =3 Ya SEBARAN NORMAL
yang Sesuai
?

Tidak

Cs(ln X)=0 SEBARAN LOG


Ck(ln Y=3 NORMAL 2 PAR.
?

Tidak

Cs > 0
Pilih Kertas Probabilitas
1,5 Cs^2+3-Ck SEBARAN PEARSON III
yang Sesuai
?

Tidak

Cs(ln X) > 0
SEBARAN LOG Plot Sebaran Teoritik &
1,5 Cs(ln X)^2+3=Ck(ln X)
PEARSON III Empirik
?

Tidak

Uji Kecocokan Sebaran


Cs = 1,14
Ck = 5,40 SEBARAN GUMBEL EV1 dengan Smirnov
Kolmogorov
?

PILIH SEBARAN YANG


PALING MENDEKATI

BACA CURAH HUJAN


RENCANA PADA COCOK?
SEBARAN TEORITIK

AMBIL SEBARAN YANG


SELESAI
PALING MENDEKATI

Gambar 3.12 Bagan Alir Uji Kesesuaian Distribusi

Persamaan Cs dan Ck adalah sebagai berikut :


i−n i=n

Cs=
n 2

( n−1 )( n−2 ) [ ]
∑ ( Xi− X )
i=1

nS 3
3

Ck=
3
n
( n−1 ) ( n−2 )( n−3 ) [ ]
∑ ( Xi− X )3
i=1

nS 4

di mana :

13
S = Standar Deviasi X = Hujan rata-rata
n = Banyaknya data Cs = Koefisien Skew
Xi = Data Ck = Koefisien Kurtosis
i = Urutan data dari yang terbesar

 Hujan Rancangan
Meskipun telah diuji Cs dan Ck, namun metode yang digunakan ter-gantung dari hasil
diskusi dengan Direksi menghendaki analisa dengan berbagai macam metode.
Metode yang biasa digunakan adalah :
a. Metode Gumbel Tipe I
Persamaannya adalah sebagai berikut :

X T =X + S×K
di mana :
XT = Besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun.

X = Besarnya curah hujan rata-rata.


S = Standard deviasi
K = Faktor frekwensi
b. Metode Pearson III
Persamaannya adalah sebagai berikut :

X =X +k .σ X
di mana :
X = besarnya suatu kejadian

X = Nilai rata-rata hitung dari variabel X (  )


 = Faktor yang nilainya tergantung dari parameter skala, bentuk dan letak.
k = Faktor sifat distribusi Pearson tipe III.
c. Metode Normal
Persamaannya adalah sebagai berikut :

X =X +tp.σ
di mana :

14
X = besarnya suatu kejadian

X = Nilai rata-rata hitung dari variabel X (  )


tp = Karakteristik dari distribusi probabilitas normal.
Disamping metode di atas, untuk perencanaan bangunan pengendali banjir sangat
penting untuk memperhitungkan kemungkinan Curah Hujan Maksimum yang terjadi
(PMP), metode yang biasa digunakan adalah Hersfield dengan persamaan sebagai
berikut :

X T =X +Km×Sn
di mana :
XT = Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi

X = Curah hujan maksimum rata-rata


Sn = Standard deviasi
Km = Faktor frekwensi.
 Uji Distribusi Curah Hujan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui suatu kebenaran hipotesa distribusi
curah hujan yang digunakan. Metode yang diusulkan adalah Smirnov Kolmogorov.
Dalam metode Smirnov Kolmogorov dilakukan pengeplotan data pada kertas
probabilitas dan garis durasi yang sesuai, yang langkahnya adalah sebagai berikut :
 Data curah hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari kecil ke besar.
 Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull :
100 m
P= %
( n+1 )
di mana :
P = Probabilitas ( % )
m = Nomor urut data seri yang telah disusun
n = Banyaknya data
 Plot data hujan Xi
 Plot persamaan analisa frekwensi yang sesuai
 Distribusi Hujan Jam-jaman

15
Sebaran/distribusi hujan jam-jaman yang dihitung berdasarkan curah hujan harian
pada umumnya digunakan rumus Mononobe :
R24 t 2/ 3
Rt =
t T()
di mana:
Rt = Intensitas hujan rata-rata, dalam T jam
R24 = Curah hujan efektif dalam 1 hari
t = Waktu konsentrasi hujan
T = Waktu mulai hujan
Curah hujan ke-t dihitung dengan persamaan :
Rt =t×Rt −( t−1 )×R( t−1 )
Disamping metode tersebut distribusi curah hujan juga dapat ditentukan dari pola
distribusi yang ada pada stasiun terdekat dengan lokasi analisa yang mempunyai data
curah hujan jam-jaman.

3. Analisa Debit Banjir Rencana


Metode yang digunakan untuk analisa debit banjir rencana tergantung dari jumlah data
debit dan data hujan (lihat bagan alir).
Untuk “Identifikasi Kawasan Konservasi di Pulau Belitung” dengan berdasarkan bagan
tersebut, maka metode yang kami usulkan untuk dipakai adalah metode empiris,
metode regresi dan metode matematis, kecuali data debit debit lengkap (lebih dari 10
tahun). Penjelasan singkat metode tersebut adalah sebagai berikut :
 Metode Empiris
Metode empiris yang biasa digunakan adalah metode Unit Hidrograph Nakayasu,
yaitu sebagai berikut :
C× A×R0
Q p=
3,6×( 0,3×T p + T 0,3 )
di mana:
Qp = Debit puncak banjir (m3/dt)
C = Koefisien pengaliran
A = Luas daerah aliran sungai (km2)

16
Ro = Hujan satuan (1 mm)
Tp = Waktu puncak (jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan untuk penurunan debit, dari debit puncak menjadi
30% dari debit puncak (jam).
Aliran dasar yang digunakan untuk metode empiris dan regresi mengguna-kan
parameter luas daerah aliran sungai dan kerapatan sungai. Persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut :
QB = 0,4751 x A0,6444 x D0,943
QB = Aliran dasar, m3/dt
A = Luas daerah aliran sungai, km2
D = Kerapatan sungai, km/km2

 Metode Regresi
Metode GAMA I. Parameter-parameter yang digunakan adalah :
a) Faktor sumber (SF) adalah perbandingan antara jumlah panjang sungai sungai
tingkat 1 dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.
b) Frekwensi sumber (SN) adalah perbandingan antara jumlah sungai sungai tingkat
satu dengan jumlah sungai semua tingkat.
c) Faktor lebar (WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dititik
sungai yang berjarak 0,75 L dengan lebar DAS yang diukur dititik sungai yang
berjarak 0,25 L dari tempat pengukuran.
d) Luas DAS sebelah hulu (RUA) adalah perbandingan antara luas DAS yang diukur
dihulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara lokasi

e) Pengukuran dengan titik yang dekat dengan titik berat DAS, melewati titik
tersebut.
f) Faktor simetri (SIM) adalah (WF) x (RUA)
g) Jumlah pertemuan sungai (JN) adalah jumlah semua pertemuan sungai didalam
DAS.
h) Kerapatan jaringan sungai (D), Luas daerah aliran sungai ( A )

17
Data Hujan Data Hujan &
Data Debit Data Debit Data Debit
Panjang & Data Data Karak-
>20 thn (10~20) thn (4~20) thn
Debit (1~3) thn teristik Basin

Cara Cara Cara Banjir Debit Alur Cara Regresi


Empiris Matematis diatas Penuh Cara Cara
- IOH
ambang Empiris Rational
- GAMA1
(POT)
Unit
Kalibrasi
Hidrograph - Weduwen
Hidrograf
- Haspers
Satuan SCS
- Melchior
Data diper-
panjang

BANJIR RATA-RATA TAHUNAN (Q)

Analisis Frekuensi Probabilitas Banjir


Regional

Analisis Frekuensi Probabilitas


Gumbel, Log Pearson, Log Normal

BANDINGKAN DENGAN CARA


PERHITUNGAN LAINNYA

DEBIT BANJIR RENCANA (QT)

Gambar 3.13 Perhitungan Debit Banjir Rencana

Persamaan-persamaan yang digunakan untuk perhitungan ada-lah sebagai berikut :


Qp = 0,1836 x A0,5886 x JN0,2381 x TR-0,4008

TR = 0,43 x ( L /(100SF))3 + 1,0665 SIM + 1,2775

TB = 27,4132 x TR0,1457 x S-0,0956 x SN0,7344 x RUA0,2574

K = 0,5617 x A0,1798 x S-0,1446 x SF-1,0897 x D0,0452

 = 10,4903 - 3,859 x 10-6 x A2 + 1,6985 x 10-13 (A/SN)4

B = 1,5518 x A-0,1491 x N-0,2725 x SIM-0,0259 x S-0,0733

Di mana :

18
Qp = Debit puncak ( m3/dt )

TR = Waktu naik ( jam )

TB = Waktu dasar ( jam )

K = Koefisin tampungan

 = Hujan efektif ( mm/jam )

B = Koefisien reduksi

 Model Matematis
Model matematis merupakan salah satu cara pendekatan terhadap sistem hidrologi
secara terkonsepsi. Salah satu metode model matematis yang digunakan untuk
keperluan studi ini adalah metode SSARR (Streamflow Synthetis and Reservoir
Regulation). Bagan alir perhitungan mengikuti mengikuti Gambar B21 dan Gambar
B22.
Konsep dasar perhitungan debit untuk berbagai macam komponen mengikuti
persamaan kontinyuitas tampungan sebagai berikut :

I 1 +I 2 O 1 +O2
( ) (2
Δt−
2 )Δt=S2−S 1

di mana :
I1 = Debit masukan pada periode awal (m3/dt).

I2 = Debit masukan pada periode akhir (m3/dt).

O1 = Debit keluaran pada periode awal (m3/dt).

O2 = Debit keluaran pada periode akhir (m3/dt).

S1 = Tampungan pada periode awal (m3/dt).

S2 = Tampungan pada periode akhir (m3/dt).

19
Δ t = Interval waktu (jam atau menit).

Hujan rata-rata pada daerah aliran dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

P1 .W 1+P2 .W 2+.. .+Pn . W n


Pd=
n

di mana :
Pd = Hujan rata-rata (mm)

P1, P2,…, Pn = Hujan harian pada setiap stasiun No.1, 2 … n (mm).

W1, W2, Wn = Faktor bobot yang dipergunakan pada masing-masing (%).

n = Banyaknya stasiun curah hujan.

20
PRECIPITATION

RAINFALL
EVAPOTRANSPIRATION

MOISTURE

SMI
SOIL MOISTURE

RUN OFF

BII

DIRECT RUN OF
BASE
FLOW

S-SS
ROUTING

SUB SURFACE
SURFACE
ROUTING

ROUTING
STREAM FLOW

Gambar 3.14 Proses Perhitungan Debit Pada Akhir Periode

Hujan rata-rata yang didistribusi dihitung dengan persamaan sebagai :


Wp = Pd x Dist.

di mana :
Wp = Hujan rata-rata yang didistribusi (mm).

Dist. = Persen dari distribusi hujan harian (%), jika perhitungan dilaku-kan
dalam harian, Dist = 100 %.

Persentase curah hujan yang menjadi aliran permukaan (surface flow) dan aliran dasar
(baseflow), diatur oleh persentase limpasan tanah atau "run of percent" (ROP) dan
kebasahan tanah atau "soil moisture index" (SMI) yang didapat dari lengkung ROP

21
dengan SMI. Persamaan-persamaan untuk menghitung RGP dan SMI adalah sebagai
berikut :
RGP = ROP x Wp

PH
SMI 2=SMI 1 + ( Wp−RGP )− [ 24
xKExETI ]
di mana :
RGP = Generated run-off untuk satu periode yang diambil (cm)

ROP = Run-off percent (%)

Wp = Hujan rata-rata pada daerah aliran sungai (mm)

SMI1 = Soil moisture index permulaan periode (mm/hari)

SMI2 = Soil moisture index akhir periode (mm/hari)

PH = Periode routing

ETI = Evapotranspiration index.

KE = Faktor yang mereduksi ETI pada hari-hari hujan.

PH
BII 2=BII 1+ ( 24 . RG−BII 1 ) .
Ts. BII+0,5 PH

RG = RGP/PH

di mana :
BII1 = Baseflow infiltration index permulaan periode routing (mm/hari).

BII2 = Baseflow infiltration index akhir periode routing (mm/hari).

RG = Run - off, (mm/jam)

TsBII = Time of storage untuk perhitungan BII (jam).

22
Persamaan untuk menghitung index infiltrasi aliran dasar (Baseflow Infiltration Index
= BII) yang dihitung setiap akhir periode adalah :
Aliran permukaaan dan aliran dasar permukaan (RGS) dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
RGS = RG. ( 1 - BFP )

di mana :
BFP = Persentase aliran dasar (%).

Lengkung aliran permukaan (RS) dengan total input aliran permukaan dan aliran
dasar permukaan (RGS) dibuat dalam bentuk tabel. Bentuk lengkung yang lazim
dipergunakan didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut :
 Komponen RS diambil minimum 10 % dari total input RGS.
 Komponen RGS akan mencapai maksimum ( KSS ) dan akan konstan untuk RGS
diatas 200 % dari KSS.
Dengan asumsi tersebut diatas persamaan untuk menghitung aliran permukaan
adalah sebagai berikut :
RS = ( 0,1 + 0,2 (RGS/KSS) ) x RGS

di mana :
RS = Surface component input rate, (cm/jam)

RSS = Subsurrface component input rate, (cm/jam)

RGS = Total input rate to surface and subsurface components, (cm/jam).

KSS = Maximum subsurface input rate, (cm/jam).

4. Pemilihan Debit Banjir Rencana


Debit banjir rencana dipilih berdasarkan daerah/lokasi yang akan ditanggu-langi. Debit
banjir rencana minimum. Kala Ulang yang lebih tinggi bisa saja dipilih tergantung pada
lokasi setempat. Kala ulang yang lebih tinggi ini akan dipilih kalau secara ekonomis
membuktikan lebih menguntungkan.

23
Tabel 3. 1 Kala Ulang Minimum yang Disarankan sebagai Banjir Rencana yang berkenaan
dengan Genangan Banjir

Tipe proyek (untuk proyek pengendali Fase Fase

Sistem Saluran banjir sungai) dan Populasi Total 2) (untuk Awal Akhir
sistem drainase) 1) 1)

Sungai Proyek Darurat 5 10

Proyek Baru 10 25

Proyek Peningkatan

 Untuk luar kota/kota dengan jumlah 25 50


penduduk <2.000.000
 Untuk Perkotaan dengan jumlah pen-
duduk > 2.000.000 25 100

Sistem Drainase  Luar kota 2 5


Utama (CA <500 ha)  Kota dengan jumlah penduduk < 500.000
5 10
 Kota dengan jumlah penduduk antara
500.000 - 2.000.000 5 15
 Kota dengan jumlah penduduk > 2.000.000

10 25

Sistem Drainase  Luar kota 1 2


Sekunder (CA < 500  Kota dengan jumlah penduduk < 500.000
2 5
ha)  Kota dengan jumlah penduduk antara
500.000-2.000.000 2 5
 Kota dengan jumlah penduduk > 2.000.000

24
5 10

Sistem Drainase  Luar kota dan perkotaan 1 2


Tersier (CA <10 ha)

Keterangan :
1) Standar banjir rencana tertinggi akan digunakan jika analisa ekonomi menunjukkan
standar tersebut diperlukan sekali atau jika banjir mengakibatkan resiko tinggi dalam
kehidupan manusia.
2) P = jumlah penduduk ibukota
3) Proyek Darurat dilaksanakan tanpa studi kelayakan teknis dan ekonomis pendahuluan
pada tempat-tempat dimana genangan sangat luas dan masalah banjir menimbulkan
resiko besar terhadap nyawa manusia.
4) Proyek Baru, meliputi proyek-proyek pengendalian banjir pada tempat dimana sebe-
lumnya tidak pernah ada proyek pengendalian banjir atau dimana proyek darurat sudah
dilaksanakan.
5) Proyek Peningkatan, meliputi proyek-proyek rehabilitasi serta perbaikan dari proyek-
proyek yang sudah ada. Kebanyakan Proyek Pengembangan Wilayah Sungai dianggap
sebagai peningkatan.

25
Tabel 3. 2 Kala Ulang Minimum yang Disarankan sebagai Banjir Rencana Bagi Bangunan
Sungai
Kala ulang
Jenis Bangunan Detail Penjelasan
(Tahun)
Pelindung Tebing 25 Krib, Bronjong, Riprap dan lain-lain
Sungai
Perlindungan Gerusan 50 Krib, Rip-rap, bronjong dan sebagainya
Lereng Tanggul
Normalisasi Alur Bervariasi Alur sungai digunakan Debit Alur Penuh/
Debit Regim Sungai
Bendung 50 - 100
Jembatan 50
Jalur Perlintasan Pipa 50  Pipa yang melintang diatas sungai atau
tertanam di dasar sungai dan
mengangkut bahan non polutan

100  Pipa yang melintang diatas sungai atau


terta-nam di dasar susngai dan
mengangkut bahan polutan
Sumber : Sosialisasi NSPM & Advis Teknis, Puslitbang SDA, Tahun 2003

5. Analisa Evapotranspirasi
Evaporasi dan evapotranspirasi sangat mempengaruhi debit sungai, besarnya kapasitas
waduk, dan besarnya kebutuhan air untuk tanaman.
Besarnya evaporasi dan evapotranspirasi tergantung kondisi iklim seperti radiasi
matahari, kecepatan angin, kelembaban udara, dan temperature udara. Persamaan
untuk menghitung besarnya evaporasi yang sebenar-nya dari evapotranspirasi dapat
dihitung dengan berbagai macam metode. Metode yang kami usulkan adalah yang biasa
digunakan yaitu Penman Modifikasi. Data klimatologi yang diperlukan pada metode ini
adalah radiasi matahari, kecepatan angin, kelembaban udara, dan temperature udara.
Persamaan-persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
e = ETo * ( m/20 ) * ( 18 -n )

ETo = c x ( W x Rn + (1-W) x f(U) x (ea - ed) )

26
Rn = 0,75 x Rs - Rn1   = 0,25

Rs = (0,25 + 0,5 x n/N) x Ra

AETo = ETo - e

f(U) = 0,27 ( 1 + U/100 )

ed = ea x Rh/100

n = 0,66 Z x 0,12

di mana :
AETo = Evapotranspirasi aktual (mm/hari)

Eto = Evapotranspirasi potensial (mm/hari)

m = Proporsi permukaan tanah yang tidak ditutupi oleh tanaman dalam tiap
setengah bulanan. Dihitung dari peta tata guna lahan.

n = Jumlah hari hujan dalam setengah bulan.

c = Faktor penyesuaian rasio U siang ke U malam untuk Rhmax dan Rs,


(Tabel)

W = Faktor penimbang untuk suhu dan lintang (Tabel)

Rn = Jumlah radiasi netto, mm/hari

Rs = Jumlah radiasi matahari gelombang pendek, m/hari

Ra = Radiasi dari luar (extra-terr.rad), mm/hari (Tabel)

n = Rata-rata lamanya cahaya matahari sebenarnya, jam/hari.

N = Lama cahaya matahari maksimum yang mungkin, jam/hari (Tabel)

Rn1 = Radiasi matahari gelombang panjang netto, mm/hari yang merupakan


fungsi dari suhu, tekanan uap jenuh dan lamanya penyinaran matahari
(Tabel)

27
f(U) = Suatu fungsi angin

U = Kecepatan angin rata-rata siang hari, m/dt ditinggian 2 meter.

ea-ed = Defisit tekanan uap atau selisih antara uap jenuh ( ea ) pada T rata-rata
dalam mmbar, dan tekanan uap jenuh sebenarnya (ed ) dalam mbar.

ea = Tekanan uap jenuh sebagai fungsi dari suhu (Tabel)

Rh = Kelembaban relatif rata-rata, %

Z = Lamanya penyinaran matahari seperti terukur, jam/hari

3.3.1.1 Analisa Erosi dan Sedimentasi

Di Indonesia yang merupakan daerah beriklim tropik basah, erosi yang terpenting
adalah erosi oleh air hujan. Pada umumnya jenis erosi yang disebabkan oleh air adalah erosi
permukaan (surface erosion). Proses erosi ini merupakan proses awal terjadinya kerusakan
lahan dan merupakan penyebab terbesar terjadinya erosi di DAS.

a. Tingkat bahaya erosi


Evaluasi terhadap proses terjadinya erosi, perlu dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui seberapa besar potensi atau tingkat bahaya erosi yang terjadi, pada suatu
kawasan atau bidang tanah, serta untuk mendeteksi besarnya indeks bahaya erosi, yang
telah terjadi.

Tingkat bahaya erosi yang terjadi dinyatakan dalam Indeks Bahaya Erosi (IBE) dan
didefinisikan sebagai berikut :

Kehilangan Tanah ( ton / Ha/Tahun )


Indeks Bahaya Erosi =
T (ton /Ha/ Tahun )

28
Nilai T adalah merupakan suatu jumlah kehilangan tanah yang disebab-kan oleh
terjadinya suatu proses pelarutan pada permukaan tanah akibat tumbukan dan aliran air
hujan yang masih dapat diberikan toleransi.

Selanjutnya batasan tingkat bahaya erosi dapat diklasifikasikan seperti pada tabel di
bawah ini.

Tabel 3. 3 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi

Nilai Indeks Bahaya Erosi (IBE) Kriteria


<1,0 Rendah

1.01-4,0 Sedang

4,01-10,0 Tinggi

>10,01 Sangat Tinggi


Sumber : Arsyad, Konservasi Tanah dan Air 1989

b. Sedimentasi
Proses sedimentasi adalah pelepasan, pengangkutan dan pengendap-an tanah yang
tererosi. Hampir semua penyebab dari sedimentasi adalah hasil erosi yang dipercepat,
terutama erosi permukaan dan erosi parit. Sedimentasi merupakan pecahan material
yang diangkut dalam suspensi atau yang terbawa oleh air dan angin, atau yang
terakumulasi oleh angkutan dasar. Dari proses sedimentasi tersebut, sedimen yang
dihasilkan hanya sebagian yang masuk kedalam sungai dan terbawa keluar DAS,
sedangkan sebagian lagi diendapkan disepanjang lintasan menuju aliran sungai.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil sedimentasi dalam suatu DAS terdiri dari jumlah
dan intensitas curah hujan, formasi geologi dan tipe tanah, tata guna lahan, topografi,
erosi daerah hulu, limpasan permu-kaan, karakteristik sedimen dan karak-teristik
hidraulika saluran.

Dalam hal ini terdapat hubungan antara kecepatan, konsentrasi dan debit sedimen dari
suatu aliran dengan berbagai macam kedalaman. Kecepatan aliran, semakin ke dasar

29
sungai akan semakin berkurang dan kecepatan minimum terjadi pada dasar sungai.
Sebaliknya, konsentrasi sedimen bertambah dan mencapai maksimum pada dasar
sungai.

c. Metode Analisis
Salah satu cara menghitung besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan adalah dengan
menggunakan Metode USLE (Universal Soil Loss Equation).

Persamaan Umum USLE adalah sebagai berikut :

A=R×K ×L×S×C×P

di mana :

A = Besarnya Erosi (ton/ha/th)

K= Erodibilitas tanah
L = Faktor Panjang lereng
S = Faktor kemiringan Lereng (%)
R= Faktor erosivitas hujan
C = Faktor Pengolalaan Tanaman
P = Faktor Konservasi Tanah

d. Parameter Model USLE


Dari persamaan umum USLE, besarnya erosi dapat diperoleh dari perkalian parameter-
parameter seperti digambarkan pada Gambar E39.

 Faktor Erosivitas hujan (R) :


Erosivitas hujan terjadi sebagian karena pengaruh air hujan yang turun secara
langsung di atas tanah, dan sebagian lagi karena aliran air permukaan. Erosivitas
hujan sangat berkaitan dengan energi kinetik dari air hujan yang dapat
mengakibatkan terlepasnya partikel-partikel tanah.

30
Faktor erosivitas hujan adalah hasil perkalian antara energi kinetik hujan (E) dari suatu
kejadian hujan dengan intensitas maksimum selama 30 menit (I30).

Di Indonesia, faktor erosivitas hujan dihitung berdasarkan hasil penelitian dari Bols
(1978) dengan persamaan sebagai berikut :

1 ,21 −0, 47 0 , 53
EI 30=6 ,119×( Rain ) × ( Days ) ×( MaxP )

Di mana :

Rain = Rb = Curah hujan rata-rata bulanan (cm)

Days = D = Jumlah hari hujan rata-rata perbulan (hari)

Max P = Rm = Curah hujan maks.rata-rata selama 24 jam dalam


sebulan (cm)

Erosi adalah Fungsi dari

Erosivitas Erodibiltas

Curah Hujan Karakteristik Management


Fisik

Management Management
Energi
Tanah Tanaman

R K LS P C

Sumber : N.Hudson, Soil Conservation,1970

Gambar 3.15 Hubungan Erosivitas dan Erodibilitas


Kemudian untuk menentukan faktor erosivitas hujan digunakan persamaan:

12
R= ∑ ( EI 30 )
n=1

Di mana :

31
R = Faktor erosivitas hujan;
n = Periode bulan yang bersangkutan
 Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah tergantung pada keadaan topografi, kemiringan lereng, besarnya
gangguan oleh manusia, dan karakteristik tanah. Karakteristik tanah bersifat dinamis
dan dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tata guna lahannya sehingga
angka erodibilitas juga akan berubah.

Klasifikasi erodibilitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. 4 Klasifikasi Erodibilitas Tanah

Kelas Nilai K Klasifikasi Erodibilitas Tanah


1 0,00 – 0,10 Sangat Rendah
2 0,11 – 0.20 Rendah
3 0.21 – 0.32 Sedang
4 0.33 – 0.43 Agak tinggi
5 0.44 – 0.55 Tinggi
6 0.56 – 0.64 Sangat tinggi

Sumber : Arsyad, Konservasi Tanah dan Air 1989

 Faktor Lereng (LS)


Evaluasi dan Interpretasi didasarkan atas peta rupa bumi hasil dari foto udara. Peta
DAS yang ditinjau dibuat unit-unit atau petak-petak kisi-kisi. Untuk memudahkan
perhitungan kisi-kisi dibuat seragam untuk efektifnya adalah 1 cm untuk peta skala
besar maupun kecil

Peta dasar yang digunakan adalah peta topografi yang kontur dan tulisannya jelas.
Untuk daerah yang luas dan tidak dilakukan pengukuran, maka peta topografi diambil
dari peta skala 1:25.000

32
Banyaknya nilai kemirngan lereng pada masing-masing kisi maka perlu dilakukan
klasifikasi kemiringan lereng. Berdasarkan aturan yang berlaku, yaitu Surat Keputusan
Menteri Pertanian (SK.Mentan) No.827/Kpts/Um/11/ 1980 dan SK.Mentan No.
683/Kpts/Um/8/ 1981 serta Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990, pembagian kelas
lereng disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3. 5 Pembagian Kelas Lereng

Kelas Lereng Kemiringan Lereng (%) Keterangan


1 0–8 Datar
2 8 – 15 Landai
3 15 – 25 Agak Curam
4 25 – 40 Curam
5 > 40 Sangat Curam

Sumber : Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan Edisi Kedua, Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan,
2000

Salah satu metode untuk menentukan kemiringan lereng metode Horton, dengan
persamaan sebagai berikut :

π. n. Δh
tan β=
2p
di mana :

 = kemiringan lereng rata-rata yang dibatasi kisi-kisi ( 0 )

33
 = konstanta lingkaran
n = jumlah titik potong garis kontur dengan sisi kisi-kisi, dengan
anggapan sisi kisi-kisi merupakan garis yang menerus (titik sudut
kisi-kisi bukan sebagai titik potong dua garis yang menerus).
h = beda tinggi garis kontur (m).
p = keliling kisi-kisi, setelah dikalikan dengan bilangan skala (m ).
Faktor kelerengan dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

L
LS= √ ( 1, 38+0 , 965 S+0 , 138 S 2 )
100  untuk S < 20 %

0,6 1,4
L S
LS=
22( ) () x
9  untuk S > 20 %

di mana :

L = panjang lereng ( m )
S = kemiringan lereng rata-rata ( % )
 Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor pengelolaan Tanaman di pengaruhi oleh jenis vegetasi, keadaan permukaan
tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang tererosi sehingga
besarnya C tidak konstan sepanjang tahun.

 Faktor Konservasi Tanah (P)


Faktor konservasi tanah adalah perbandingan antara besarnya erosi pada tanah yang
ditanami tanaman dengan besarnya erosi pada tanah tanpa tanaman.

e. Klasifikasi Erosi
Dari hasil perhitungan erosi dapat ditentukan dengan klasifikasi erosi, seperti terlihat
pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. 6 Klasifikasi Erosi

Klasifikasi Erosi Besarnya erosi (ton / ha/ th)

34
Sangat Berat > 330
Berat 25-330
Sedang 50-125
Kecil 12,5-50
Sangat Kecil < 12,5
Sumber : Soewarno, Hidrologi, 1991

f. Perhitungan Sedimen
Perhitungan angkutan sedimen di lahan dapat ditentukan dengan persamaan SDR
(Sediment Delivery Ratio), sedangkan angkutan sedimen melayang di saluran dengan
persamaan Qs (Angkutan sedimen melayang Suspended Load).

Sebagai sedimen hasil proses erosi akan terbawa dan masuk kedalam saluran atau
sungai, dan sebagian lagi akan tetap tinggal di dalam DAS. Besarnya angkutan sedimen
dapat ditentukan dengan terlebih dahulu memperkirakan harga SDR.

Harga SDR dapat di tentukan dengan persamaan sebagai berikut :

Angku tan se dim en


SDR=
Ea
di mana :

SDR = sediment Delivery ratio (%)


Ea = erosi aktual (ton/tahun)

Kemudian untuk mencari besarnya angkutan sedimen di lahan, persamaan diatas dapat
di ubah menjadi persamaan berikut ini :

Angkutan sedimen di lahan = Ea x SDR


Jika data-data pada suatu DAS tidak lengkap maka harga SDR dapat di tentukan dari
Tabel di bawah ini ;

Tabel 3. 7 Harga SDR

35
No Luas DAS (Km2) SDR (%)
1 0.1 53

2 0.5 39

3 1 35

4 5 27

5 10 24

6 50 15

7 100 13

8 200 11

9 500 8.5

10 26000 4.9

Sumber : Arsyad, 1989

3.3.1.2. Analisis Kebutuhan Air Baku

a. Kriteria Laju Pertumbuhan Penduduk


Perhitungan laju pertumbuhan penduduk yang dilakukan dengan rumus dan cara-
cara yang digunakan mengambil dari buku Pedoman Perencanaan Sumber Daya Air Wilayah
Sungai, Buku 3. Adapun persamaan pertumbuhan penduduk sebagai berikut :

Pt 1t
{
r= (
P0 }
) −1 ; Pt =P 0 (1+ r )t

r = Laju pertumbuhan penduduk


Pt = Penduduk pada tahun proyeksi
P0 = Penduduk tahun awal
t = Selisih tahun Pt dan P0
b. Kebutuhan Air Rumah Tangga (Domestik)
Kebutuhan air rumah tangga (domestik) dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan

36
kebutuhan air perkapita.Kriteria penentuan kebutuhan air rumah tangga (domestik) yang
dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum,menggunakan
parameter jumlah penduduk sebagai penentuan jumlah air yang dibutuhkan perkapita per
hari.Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8. Kriteria Penentuan Kebutuhan Air Rumah Tangga (Domestik)

No Jumlah Penduduk Domestik (liter/Kapita/hari)


1 > 1000.000 150
2 500.000 - 1000.000 135
3 100.000 - 500.000 120
4 20.000 - 100.000 105
5 < 20.000 82,5
Sumber : Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum

c. Kebutuhan Air Perkotaan


Kebutuhan air perkotaan dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase
jumlah kebutuhan air domestik. Kriteria Penentuan kebutuhan air perkotaan memakai
Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum, menggunakan
parameter jumlah penduduk sebagai penentuan status kota dan besar kebutuhan air
berdasarkan status kota tersebut. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada Tabel
3.9.danTabel 3.10. berikut :

Tabel 3.9. Pembagian Status Kota

Kategori Status Kota Jumlah Penduduk (jiwa)


I Metropol i ta n > 1.000.000
II Bes ar 500.000 - 1000.000
III Seda ng 100.000 - 500.000
IV Kecil 20.000 - 100.000
V IKK 3000 - 20.000
VI Des a < 3000
Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum

37
Tabel 3.10. Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Status Kota

38
Jenis Kebutuhan Air M utu
M etropol itan Besar Sedang Kecil
Untuk Fasil itas Perkotaan Air
Komersial Kelas
a. Pasar 0,1-1,00 (l/dt) Satu
B. Hotel
- Lokal 400 (l/kamar/hari)
- Interlokal 1000 (l/kamar/hari)
c. Hostek 135-180 (l/orang/hari)
d. Bioskop 15 (l/orang/hari)
Sosial dan Institusi Kelas
a. Universitas 20 (l/sisw a/hari) Dua
b. Sekolah 15 (l/sisw a/hari)
c. Masjid 1-2 (m³/hari/unit)
d. Rumah Sakit
< 100 tempat tidur 340 (l/tp.tdr/hari)
> 100 tempat tidur 400-450 (l/tp.tdr/hari)
e. Puskesmas 1-2 (m³/hari/unit) 40 % dari 30 % dari 25 % dari
f. Kantor 0,01-45 (l/dt/hari) kebutuhan kebutuhan kebutuhan
g. Militer 10 (m³/hari/unit) air baku air baku air baku
h. Klinik Kesehatan 135 (l/orang/unit) rumah rumah rumah
Fasilitas Pendukung Kota tangga tangga tangga
a. Taman 1,4 (l/m²/hari) (domestik) (domestik) (domestik)
b. Read Watering 1,0-1,5 (l/m²/hari)
c. Sew er System 4,5 (l/kapita/hari)
(air kotor)
Fasilitas Transportasi Ada T idak Ada
Fasilitas Fasilitas
Kamar Mandi Kamar Mandi
(liter/kapita/hari)
a. Stasiun Menengah 45 23
b. Stasiun P enghubung dan 70 45
Menengah dimana ada
tempat (kotak) surat
c. Terminal 45 45
d. Bandar Udara Lokal dan 70 70
Internasional
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum

39
d. Kebutuhan Air Industri
Kebutuhan air industri meliputi kebutuhan untuk proses industri, termasuk bahan
baku, kebutuhan air pekerja industry dan pendukung kegiatan industry. Kebutuhan air
industry dihitung berdasarkan jumlah unit industri dan jumlah tenaga kerja indsutri.Kriteria
penentuan kebutuhan air industri memakai Pedoman Konstruksi dan Bangunan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, menggunakan parameter jumlah unit
industri dan jumlah pekerja industri sebagai penentuan klasifikasi/jenis industri dan besar
kebutuhan air berdasarkan jenis industry tersebut.Adapun kriteria tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.11.danTabel 3.12.berikut :

Tabel 3.11. Klasifikasi Industri

Jumlah Tenaga Kerja Klasifikasi Industri


1 - 4 ora ng Ruma h Ta ngga
5 - 19 ora ng Keci l
20 - 99 orang Seda ng
> 100 ora ng Bes a r
Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU

Tabel 3.12. Kebutuhan Air Industri Berdasarkan Jenis Industri

Jenis Industri Kebutuhan Air (liter/hari)


Industri rumah Tangga Belum ada rekomendasi
Industri Kecil 1000
Industri Sedang 18000 - 67000
Industri Besar 225000 - 1,35 juta
Industri Tekstil 400 - 700
Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU

e. Kebutuhan Air Penggelontoran/Pemeliharaan Sungai


Kebutuhan air untuk penggelontoran salurandiestimasi berdasarkan perkalian
antara jumlah penduduk perkotaandengan kebutuhan air untuk penggelontoran
perkapita.MenurutIWRD, besar kebutuhan air untuk penggelontoran atau pemeliharaan
sungai saat ini adalah 330 liter/kapita/hari. Kebutuhan airuntuk selanjutnya dapat

40
dihitung sebagai berikut :
q( f )
Q f =365 harix xP (n)
1000
dengan:

Qf :jumlah kebutuhan air untuk penggelontoran,dalam m³/th,


q(f) : kebutuhan air untuk pemeliharaan/penggelontoran, dalam ltr/kapita/hr,
P(n) :jumlah penduduk kota, dalam kapita (orang).

f. Kebutuhan Air Pariwisata


Kebutuhan air bersih pariwisata meliputi kebutuhan air hotel dan kebutuhan air
restaurant.Untuk sarana perhotelan/penginapan didasarkanpada kebutuhan untuk tiap
tempat tidur dan data jumlah tempat tidur yangada, sedangkan untuk restaurant
didasarkan pada jumlah restaurant yang ada.Satuan pemakaian air menurut
Direktorat Teknik Penyehatan,Dirjend Cipta Karya DPU, untuk perhotelan
ditentukan sebesar 200liter/tempat tidur/hari, sedangkan untuk restourant ditentukan
sebesar 400 liter/restaurant/hari.

g. Kebutuhan Air Perkebunan


WS Pulau Bangka terdapat 3 jenis tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit, karet,
dan lada.Kebutuhan air perkebunan dihitung berdasarkan pada luasan perkebunan tersebut.
Satuan pemakaian kebutuhan air perkebunan menurut Perda No. 6 tahun 2010 sebesar 1
liter/detik/Ha.

h. Kebutuhan Air Irigasi


Kebutuhan air irigasi dihitung berdasarkan pada luasan irigasi.Sesuai dengan Perda No. 6
tahun 2010 tentang Irigasibesarnya kebutuhan air irigasi sebesar 1 liter/detik/Ha.

41
3.3.1.2.1. Kriteria Baku Mutu Air
Sebagai tolak ukur evaluasi data kualitas air sungai WS Pulau Bangka adalah
Baku Mutu (BM) air pada sumber air yang datur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 disebutkan bahwa penggolongan air
menurut peruntukannya ditetapkan sebagai berikut:

air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau
Kelas I peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
Kelas II
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
Kelas III peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau
Kelas IV peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut

Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air
dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status
mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai
dari “US-EPA (United State - Environmental Protection Agency)” dengan mengklasifikasikan
mutu air dlm empat kelas, yaitu:

Kelas A : baik sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu

Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 cemar ringan

Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 cemar sedang

Kelas D : buruk, skor = -31 cemar berat

42
3.3.2. Neraca Air

Untuk mengetahui keberadaan sumber air di lokasi pekerjaan perlu juga dilakukan
analisa neraca (keseimbangan) air. Tujuannya adalah untuk mengetahu inflow, outflow dan
storage untuk setiap sumbe air yang ada. Dengan demikian dari hasil analisis ini nantinya
akan diperoleh nilai prediksi minus atau surplus apabila sumber air tersebut digunakan
sebagai pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat setempat.

Analisis ini bisa dilakukan dengan teori keseimbangan air:

ΔS = Qi – Qo

Dimana:

ΔS = simpanan air yang ada di kolong (m3/det)

Qi = debit air yang masuk (m3/det)

Qo = debit yang keluar (pemakaian) (m3/det)

Apabila tidak diketahui debit yang masuk (Qi), maka analisis keseimbangan air dapat
dilakukan dengan melalui pendekatan FJ. Mock. Yaitu dengan menganalisis ketersediaan air
yang ada di kolong.

3.3.3. Analisis Pendayagunaan Sumber Daya Air


Mengingat daerah otonomi, baik daerah kabupaten, kota atau provinsi memiliki
wilayah yang tidak sama dengan wilayah daerah pengaliran sungai (sistem wilayah sungai),
dalam pengelolaan sumberdaya air memerlukan asas pengembangan sumberdaya air yang
berupa Pendayagunaan sumber daya air dalam pengelolaan yang optimal.
a. Secara ekonomi layak (Economically Feasible).

b. Secara lingkungan berkelanjutan (Environmentally Suistainable)

c. Secara sosial adil (Socially Equitable)

Pemanfaatan Sumber Daya Air

43
Inventarisasi juga dilakukan dari segi pemanfaatannya. Setiap sumber air yang
ditemui dicatat juga dari segi pemanfaatannya, yaitu: Air baku, Pertanian Perikanan, dan lain-
lain

3.3.4. Analisis Sosial, Ekonomi,


Untuk melakukan analisis/kajian aspek-aspek tersebut, digunakan beberapa metode
analisis, yang antara lain meliputi kajian pustaka, survei partisipatori, dan wawancara semi
terstruktur, Dalam konteks studi evaluasi pemanfaatan sumberdaya air, dapat diartikan
sebagai sekelompok pendekatan dan metode yang memungkinkan stake holders sumberdaya
air untuk saling berbagi, meningkatkan, dan menganalisis tentang pemanfaatan atas
sumberdaya air, membuat rencana dan merumuskan beberapa rekomendasi pengembangan
pemanfaatan sumberdaya air untuk mendukung berbagai sektor pengembangan wilayah.
Data kependudukan yang diperlukan dalam studi ini adalah data jumlah penduduk,
kepadatan dan tingkat pertumbuhannya. Data ini digunakan untuk melakukan analisis
kebutuhan air baku, selain itu juga untuk memprediksi proyeksi kebutuhan air pada masa-
masa yang akan datang. Sedangkan data sosial ekonomi meliputi data sarana prasarana
sosial, pendidikan, industri dan sebagainya. Data kependudukan, sosial dan ekonomi
dikumpulkan dari Kantor BPS Provinsi Bangka Belitung, Kantor Bappeda Kabupaten Belitung
dan Belitung Timur.

a. Faktor Perkembangan Jumlah Penduduk


Perkiraan tentang jumlah dan persebaran penduduk pada masa yang akan datang
dibuat per kecamatan, dengan mempertimbangkan posisi relatif setiap kecamatan terhadap
ruas jalan utama terdekat, hirarki permukiman, prospek perkembangan ekonomi masa depan
yang diharapkan mampu mengendalikan arus migrasi keluar dan merangsang migrasi masuk,
dan tingkat keberhasilan pembangunan bidang kesehatan dan Keluarga Berencana.

b. Rencana Tata Ruang/Rencana Kawasan Konservasi

44
Dalam rangka perencanaan pengembangan sumberdaya air dalam suatu wilayah,
rencana peruntukan wilayah bagi jenis penggunaan lahan tertentu mutlak harus diketahui.
Penyusunan rencana spasial harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah yang ada.
Adapun data rencana tata ruang yang diperlukan adalah Rencana Tata Ruang
Kabupaten/Kota serta Rencana Tata Ruang Provinsi.

3.3.5. Analisis Potensi Kolong


Analisis Potensi Kolong menggunakan Multi Criteria Decision Making (MCDM) dengan
memperhatikan permasalahan pengelolaan sumberdaya air terutama pemanfaatan air, maka
diperlukan suatu evaluasi dalam penentuan potensi untuk pengelolaan kolong Konservasi
Sumber Daya Air
Keinginan untuk memanfaatkan air beberapa macam tujuan tersebut dapat
menimbulkan kebijakan yang saling bertentangan (conflicting nature). Untuk memperoleh
nilai kemanfaatan maksimal semua tujuan penggunaan air secara simultan, sulit atau bahkan
umumnya tidak mungkin dapat dicapai. Usaha untuk memperoleh solusi optimal dapat
ditempuh dengan cara : 1) memberikan nilai faktor bobot sesuai urutan prioritas masing-
masing kriteria, 2) menentukan urutan prioritas alternatif solusi, dan 3) kalau mungkin
menetapkan solusi terbaik (the best alternative).
Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metoda pengambil keputusan
Multi Criteria Decision Making, yang peralatan utamanya adalah hirarki, dimana suatu masalah
yang tidak terstruktur dipecah ke dalam kelompok-kelompok persoalan dan kemudian diatur
menjadi suatu hirarki.
AHP digunakan untuk menemukan skala rasio baik dari perbandingan pasangan yang
diskret maupun kontinyu. Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual
atau suatu skala dasar yang mencerminkan perasaan dan preferensi relatif. (Sri Mulyono,
1991).
Dalam menyelesaikan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami sebagai berikut ini.

1) decomposition, adalah memecah persoalan yang utuh menjadi beberapa elemen hingga
elemen tersebut tidak dapat sampai diuraikan lagi,

45
2) comparative judgement, adalah proses penilaian atau perbandingan antara dua elemen
(pairwise comparation) dalam suatu level sehubungan dengan level di atasnya.
Perbandingan dua elemen ditunjukkan pada matriks di bawah ini :

A1 A2 …… A3

A1 w1 /w 1 w1 /w 2 . .. .. . . w 1 /w n
[A] = A2
.. .. .
An
[ w2 /w1 w2 /w 2
. .. . .. .. . . . .. .. . .. ..
wn /w 1 wn /w 2
. .. .. . . w2 /w n
. .. .. . .. . .. .. . .. ..
. .. .. . w n /wn
] ……….(1)

dengan :

[A] = matriks bujur sangkar,

A1, A2, ……….., An = kumpulan elemen sebanyak n,

w1, w2, ……….., wn = nilai atau intensitas masing-masing elemen.

3) synthesis of priority, adalah proses penentuan prioritas elemen, elemen dalam satu level.
Setelah diperoleh skala perbandingan antara dua elemen melalui wawancara, kemudian
dicari vektor prioritas (eigen vector) dari suatu level hirarki pada skala preferensi dalam
Tabel 3.13. berikut ini.

Tabel 3.13. Skala Preferensi Analytic Hierarchy Process (AHP)

Skala Definisi Keterangan

1 Sama tingkat kepentingannya Ai dan Aj memberikan kontribusi sama

3 Sedikit (moderate ) lebih penting Ai sedikit lebih penting dibanding Aj

5 Lebih penting Ai lebih penting dibanding Aj

7 Sangat lebih penting Ai sangat lebih penting dibanding Aj

9 Mutlak lebih penting (extreme ) Ai muklak lebih penting dibanding Aj


46
2,4,6,8 Nilai antara
4) Logical consistency, adalah prinsip rasionalitas AHP yaitu obyek yang serupa antara-
antara obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu, dengan syarat inkonsistensi tidak
lebih dari 10 persen. Pengukuran konsistensi matriks didasarkan pada eigen value
maksimum ( ). Konsistensi diukur dengan Consistency Ratio (CR) yaitu dengan cara
max

menghitung terlebih dahulu Consistency Index (CI). Perhitungan CI digunakan persamaan


berikut ini.

( λmax −n)
CI = (n−1 ) ……………………..………………….. (2)

dengan :

n = ordo matriks

 max = eigen value terbesar

Consistency Index menggambarkan deviasi preferensi dari konsistensinya, dengan n


adalah jumlah elemen yang hendak dibandingkan dan max adalah nilai eigen value
terbesar.
Dari hasil perhitungan persamaan tersebut di atas dapat dihitung Consistensy Ratio
(CR) dalam persamaan berikut ini.
CI
CR = RI …………………………….……..…….. (3)

Nilai indeks konsistensi didapat dalam Random Index (RI), yaitu indeks yang
menyatakan konsistensi matriks reciprocal yang dibentuk secara random.

Penilaian kepentingan relatif dua elemen berlaku reciprocal artinya jika elemen i
dinilai 3 kali lebih penting dibanding j, maka elemen j harus sama dengan 1/3 kali lebih
penting dibandingkan elemen i. Disamping itu, perbandingan dua elemen yang sama
menghasilkan angka 1, artinya sama penting.

Random Index diperoleh dengan ordo matriks pada Tabel 3.14. berikut ini.

47
Tabel 3.14. Random Index Ordo Matriks

Ordo matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber : Saaty, 1980

Identifikasi Konservasi Potensi

Sumber Daya Air

Ya

Kolong Konservasi
Idendtifikasi kriteria kebutuhan SDA
yang sesuai
Kolong Konservasi yang sesuai

Implementasi Pengembangan SDA


Konservasi Potensi Kolong
48

Aspek ekonomi Aspek Konservasi Aspek Pendayagunaan SDA


Kolong
Gambar 3.16 : Bagan alir Pengelolaan Potensi Kolong SDA
Pencapaian

Tujuan

Mulai
UU

PP
Matriks
Perpres
Penentuan tingkat
Perda Konservasi Kolong yg ada
sesuai
Normalisasi

elemen matrik

Penentuan tidak

Penentuan

prioritas
Kriteria Pengembangan

Menghitung
Kolong sesuai dengan
eigen value
Perda
PPerda
Menetapkan
Consistensi Consistensi ratio
Random indeks
indeks (CI)
((RI)

Eevaluasi

Selesai

Konservasi SDA
Gambar 3.17 . Analisis Potensi Kolong Konservasi SDA dengan metode Expert Choice
Pengelolaan Kolong
Berkelanjutan

49
3.3.5. Analisis Data Pengukuran Topografi

Kegiatan yang dilaksanakan dalam analisis data pengukuran topografi meliputi


berbagai jenis hitungan dalam pengukuran yang terdiri dari :
 Hitungan azimuth matahari
 Hitungan poligon (koordinat)
 Hitungan Waterpass (elevasi)
 Hitungan Situasi (titik detail)

Perhitungan pendahuluan poligon dan sipat datar dilakukan di lapangan secara


konvensional dan perhitungan definitif dilakukan di kantor. Perhitungan pendahuluan ter-
sebut dilakukan di lapangan dengan maksud apabila terjadi kesalahan pengukuran bisa
langsung diatasi dan diukur kembali.

1) Hitungan Azimuth Matahari


Proses hitungan azimuth pengamatan matahari sebagai berikut :

- Azimuth pengamatan matahari dihitung dengan metode tinggi matahari.

- Hitungan pengamatan matahari dilakukan secara konvensional menggunakan


formulir hitungan matahari dan deklinasi didapatkan dari tabel deklinasi matahari
tahun terakhir.

- Lintang tempat pengamatan berdasarkan interpolasi dari peta rupabumi skala


1:25.000.

- Azimuth ke matahari dapat dihitung dengan rumus persamaan segitiga astronomi.


Dengan segitiga bola dapat dihitung besarnya azimuth, yaitu dengan rumus trigono-
metri sebagai berikut :
Sin  SinQ .Sin h
CosA 
Cos .Cos h

di mana :

A = azimuth matahari

50
Q = lintang pengamatan (dari peta topografi)

 = deklinasi matahari (dari almanak matahari)

h = sudut miring ke matahari (dari hasil pengukuran)

- Perhitungan sudut tegak (sudut miring/zenith).


Sudut tegak yang digunakan dalam hitungan diberi koreksi sebagai berikut :

Salah indeks (i) dari alat ukur, koreksi ini diperoleh melalui pengecekan alat ukur atau
kalibrasi alat.

- Koreksi refraksi (r).


Untuk menghitung besarnya koreksi refraksi digunakan rumus :

R  rm  cp  ct

di mana :

rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760 mm.Hg, temperatur 0°C dan
kelembaban nisbi 60%.

Harga rm dapat dicari dari Tabel VI pada buku almanak matahari.

p
cp = 760 , dengan p adalah tekanan udara dalam mm.Hg

Bila tekanan udara tidak diukur, tetapi tinggi tempat pengamatan diketahui dari peta
topografi, maka harga cp dapat dicari dari Tabel VIIa almanak matahari.

283
ct = ( 273+ t ) , dengan t adalah temperatur udara dalam °C

(harga ct dapat dicari dari Tabel VIII pada buku almanak matahari).

p  pH  Cos.h n atau p  pH  Sin .Z n

51
- Koreksi paralaks (p), besarnya koreksi paralaks adalah :
pH adalah koreksi paralaks terbesar, berkisar antara 8,66” ~ 8,95”, rata-ratanya 8,8”.

- Koreksi terhadap pusat matahari (1/2 d).

- Dicari berdasarkan letak posisi kwadran yang diamati.

2) Hitungan Poligon
Pelaksanaan perhitungan poligon pendahuluan dilaksanakan di lapangan, supaya bila
terjadi kesalahan pengukuran bisa langsung diperbaiki dan perhitungan definitif dengan
menggunakan komputer dilakukan di kantor.

Syarat-syarat supaya poligon dapat dihitung, maka data yang harus diketahui adalah :

- Sudut jurusan awal/azimuth awal dapat dihitung dari koordinat 2 (dua) buah titik
tetap atau dari pengamatan matahari.

- Sudut mendatar antara 2 sisi pada tiap titik poligon ( ).

- Perhitungan sudut horizontal didapat dari bacaan sudut Biasa (B) kebelakang
dikurangi sudut (B) kemuka dan bacaan sudut Luar Biasa (LB) kebelakang dikurangi
sudut (LB) ke muka. Sudut yang didapat adalah harga sudut rata-rata dari pemba-
caan (B) dan (LB).

- Jarak mendatar antara titik-titik poligon (d).

- Menentukan titik awal :


Titik yang akan dijadikan titik awal adalah titik referensi yang telah diketahui
koordinatnya dan kondisi dinilai cukup stabil. Bila tidak terdapat, akan dibuat
referensi lokal UTM berdasarkan peta rupabumi berpedoman kepada bangunan yang
ada, misalnya pada bangunan paling udik atau dekzerk bendung, dengan persetujuan
Direksi/ Pengawas lapangan.

Tahapan hitungan poligon kring tertutup setelah data yang diperlukan diperoleh adalah
sebagai berikut :

a. Bila yang dihitung sudut dalam (), maka syarat geometrisnya adalah :

52
 sudut ukuran = (N - 2).180°

dimana : N = banyak titik poligon ;  sudut ukuran = jumlah sudut.

U
1

l
wa
ha
ut
im
Az
2

3
4

Gambar 3.18 Bentuk Geometris Poligon Tertutup dengan Sudut Dalam

b. Bila yang dihitung sudut luar (), maka syarat geometrisnya :


 sudut ukuran = (N + 2).180°

dimana : N = banyak titik poligon ;  sudut ukuran = jumlah sudut


U
1
w al
u th a
A zim

3
4

Gambar 3.19 Bentuk Geometris Poligon Tertutup dengan Sudut Luar

53
c. Jika jumlah sudut tidak sama dengan (N-2).180° atau tidak sama dengan (N+2).180°,
maka ada kesalahan penutup sudut sebesar f dan hitungan harus di-koreksi.

Batasan salah penutup sudut maksimum adalah 10 √ N .

d. Sudut mendatar yang benar dihitung dengan rumus :



β=β ukuran +
N

e. Menghitung sudut jurusan yang benar dengan rumus :

αN =α awal +β−180 °

f. Menghitung selisih absis dan ordinat tiap sisi dengan rumus :


Selisih absis, X = d. Sin 

Selisih ordinat, Y = d. Cos 

g. Syarat geometris selisih absis dan ordinat adalah :


Jumlah d.sin  = 0 atau X = 0

Jumlah d.cos  = 0 atau Y = 0

h. Bila tidak sama dengan 0 (nol), berarti ada kesalahan penutup absis (fx) dan ordinat
(fy), sehingga hitungan selisih absis dan ordinat yang benar :

d d
Δx=Δx+
(∑ ) d
×fx Δy =Δy +
(∑ ) d
×fy

i. Menghitung koordinat yang benar :

X =X +ΔX '
Y =Y + ΔY '
j. Untuk mengetahui kesalahan linier poligon didapat dengan rumus :

√ ( fx )2 + ( fy )2
SL=
∑d
Dengan batasan ketelitian linier untuk poligon utama  1/5000

54
3) Hitungan Sipat Datar
Perhitungan pendahuluan untuk memperoleh unsur beda tinggi pada jalur-jalur yang
menghubungkan titik-titik simpul dilaksanakan di lapangan, sehing-ga bila terjadi
kesalahan pengukuran bisa diulang kembali, dan perhitungan definitif dilakukan di
kantor.

Syarat-syarat supaya sipat datar kring tertutup dapat dihitung adalah :

 Ada beda tinggi (h),


 Ada jarak,
 Ada referensi awal (elevasi titik tetap terdahulu).
Tahapan hitungan sipat datar sebagai berikut :

a. Beda tinggi antara dua titik didapat dari bacaan benang tengah belakang (BTb)
dikurangi bacaan benang tengah muka (BTm) atau beda tinggi h = BTb – BTm
b. Untuk mengontrol pembacaan benang tengah (BT) dan untuk memper-oleh jarak
optis, dibaca juga benang atas (BA), benang bawah (BB), dengan kontrol ukuran :
BT = ½ (BA - BB),

sedangkan jarak optis dihitung dengan rumus :

d = c. (BA - BB) atau d = 100(BA - BB)

sehingga jarak tiap slag didapat, yaitu jarak muka ditambah jarak ke belakang atau
D = Dm + Db

c. Dari hasil perhitungan beda tinggi tersebut pada masing-masing kring tertutup
dilakukan perhitungan jumlah beda tinggi,  hi = 0, dengan I =1 s/d n, sehingga
diperoleh kesalahan penutup beda tinggi di tiap-tiap kring.
d. Untuk mengetahui apakah salah penutup sudah memenuhi toleransi yang
diinginkan, dipakai rumus :

T  10 d Km

di mana :

55
T = toleransi

10 = angka yang menyatakan tingkat ketelitian dalam mm

d = jarak total pengukuran dalam Km.

e. Dari salah penutup beda tinggi tiap kring, koreksi dapat dibagikan ke beda tinggi
tiap seksi dengan cara konvensional, tanda koreksi (+) atau (-) adalah kebalikan dari
tanda salah penutup.
f. Elevasi titik-titik pada tiap-tiap seksi diantara titik-titik simpul tersebut diperoleh dari
perhitungan cara konvensional atau perataan sederhana dengan acuan pada elevasi
titik-titik simpul.
4) Hitungan Titik Detail
Perhitungan titik detail menggunakan metode Tachimetri. Sebagaimana telah
diterangkan di atas pada pengukuran Tachimetri unsur yang didapat dari pengukuran
situasi detail yaitu :
 tinggi alat ukur terhadap patok diukur (TA),
 tinggi patok diukur (Tp),
 pembacaan sudut horizontal,
 pembacaan sudut vertikal (h) atau sudut zenith (Z),
 pembacaan benang lengkap (BA, BT, BB)
Dari unsur atau data-data tersebut diatas dapat dihitung :
Jarak optis atau jarak miring, yaitu DM = C (BB-BA) atau DM = 100(BB-BA) dan jarak
mendatar, yaitu D = DM x Cos 2Z atau D = DM x Sin 2h
Hitungan beda tinggi (H) dari tempat berdiri alat ke titik detail dihitung dengan rumus :
(1) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu setinggi alat maka, beda tinggi (H) =
0,5 x DM x Sin 2Z.
(2) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu tidak setinggi alat maka, beda tinggi
(H) = 0,5 x DM x Sin 2 Z + TA - BT.
Hitungan elevasi titik-titik detail selanjutnya dapat dihitung berdasarkan elevasi acuan
awal dan akhir yang diketahui dari tinggi tiap patok poligon/waterpass.
5) Pekerjaan Penggambaran

56
Penggambaran terdiri dari :
 Penggambaran Peta Geometris Sungai
 Penggambaran Peta Situasi Lokasi Rencana embung/kolong, meliputi :
□ Situasi detail bangunan pengambilan, saluran pembawa, jalur pipa pesat, rumah

pembangkit dan saluran pembuang, 1:500.


□ Situasi detail jaringan dan wilayah pelayanan, 1:2.000

□ Potongan memanjang dan melintang sungai tempat lokasi bendung, 1 : 500.

□ Potongan memanjang saluran pembawa, jalur pipa pesat dan saluran pembuang,

1:1.000 (horizontal dan 1:100 (vertikal).


□ Potongan melintang saluran pembawa, jalur pipa pesat dan saluran pembuang,

skala 1:100.
Penggambaran situasi sungai terdiri dari :
 Gambar situasi sungai skala 1:1000
Untuk penggambaran kontur dibuat apa adanya tetapi teliti, dan bagian luar daerah
sungai kontur di plot hanya berdasarkan titik-titik spot height, efek artistik tidak
diperlukan. Interval garis kontur sebagai berikut :

Tabel 3. 15 Interval Kontur

Kemiringan Tanah Interval Kontur


Kurang dari 2% 0,25 m
2 % sampai 5% 0,50 m
Lebih dari 5% 1,00 m

Pemberian angka kontur jelas terlihat, dimana setiap selang lima garis kontur
digambar lebih tebal. Semua legenda ditampilkan, terutama :
(1) Seluruh alur, drainase, sungai (dasar terendah dan lebar jelas terlihat)
(2) Seluruh jalan yang melingkupi areal pekerjaan
(3) Petak-petak tambak, petak-petak sawah, jaringan irigasi dan drainase, batas
kampung, rumah-rumah, jembatan dan saluran. Diameter atau dimensi berikut
ketinggian lantai semua gorong-gorong, jembatan, sekolah, mesjid dan kantor
pemerintahan, dan lain-lain.

57
(4) Tower telepon, tower listrik, dan lain-lain
(5) Daerah rawa
(6) Batas tata guna lahan, misalnya pemukiman penduduk, areal perkantoran, pusat
kota, daerah resapan, belukar berupa rerumputan dan alang-alang, sawah, rawa,
ladang, kampung, kebun dan lain-lain.
(7) Tiap detail topografi setempat, misalnya tanggul curam, bukit kecil dan lain-lain.
(8) Batas pemerintahan (Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa dan lain-lain), nama
kampung, kecamatan, nama jalan dan lain-lain yang dianggap diperlukan.
 Gambar potongan memanjang skala mendatar 1:1000 dan skala vertikal 1:100.
 Gambar potongan melintang skala 1:100.
Gambar situasi sungai dan long section sungai dibuat dengan skala horizontal 1:1000
dan skala vertikal 1:100, pada kertas kalkir ukuran A1. Penarikan garis kon-tur setiap
interval 1 meter ditarik dengan rapidho 0,1 mm dan setiap 5 meter ditarik lebih tebal
dengan rapidho 0,5 mm. Materi lainnya yang dicantumkan dalam gam-bar situasi
sungai, yaitu orientasi arah Utara, garis silang grid, harga koordinat grid, skala garis.
Gambar potongan melintang sungai, digambar pada skala 1:100 baik skala hori-zontal
maupun skala vertikal, digambar pada kertas kalkir ukuran A1.
Data yang dicantumkan pada gambar potongan melintang yaitu :

• bidang persamaan (reference level)

• elevasi tanah asli (original ground level) dan

• jarak (distance)

6) Penggambaran Peta
Seluruh hasil pengukuran selanjutnya diplot dengan format digital AutoCAD pada lembar
berkoordinat Ukuran A1. Format ukuran A1 ini berlaku untuk seluruh lembar gambar dan
peta.
Untuk pengeplotan seluruh peta dan gambar pada lembar A3 tetap menggunakan
format A1. Seluruh hasil pengukuran topografi direkam pada peta indeks berkoordinat
penuh. Seluruh peta mempunya tanda-tanda sebagai berikut :
 Garis kontur

58
 Seluruh titik spot height yang diukur baik sungai, pantai maupun dasar laut

(bathimetri)
 Skala, arah utara dan legenda

 Grid berkoordinat pada interval 10 cm (200 m pada skala 1:2000)

 Blok Judul dan Kotak Revisi

 Catatan kaki pada peta

 Bila penggambaran dilakukan pada beberapa lembar, diagram dari layout lembar

diser-takan untuk menunjukkan hubungan antara satu lembar dengan lembar


berikutnya (overlay)
Adapun standar penggambaran diuraikan seperti dibawah ini :
a) Ukuran Huruf dan Garis
Semua ukuran huruf dan garis dibuat mengacu pada standarisasi dalam
penggambaran peta-peta/gambar-gambar pengairan Kriteria Perenca-naan Irigasi
(Standar Penggambaran KP-07) yang diterbitkan oleh Subdit. Peren-canaan Teknis,
Direktorat Irigasi I, Dirjen Pengairan.

b) Legenda dan Penomoran Gambar


Pencantuman legenda dan penomoran untuk penggambaran bangun-an dan lain-
lain mengacu pada buku Kriteria Perencanaan Irigasi (KP-07).

c) Overlay Lembar Gambar


Penyambungan gambar antara lembar satu dengan lainnya dibuat overlay dengan
ukuran overlay setengah grid (5 cm pada format A1 skala 1:2000) dan dibuat diagram
petunjuk lembarnya. Semua lembar dengan jelas diberi judul dan referensi terhadap
pasangan lembar 1:1000.

d) Peta Indeks/Rencana
Meskipun pengeplotan data hanya pada satu lembar atau beberapa lembar format
A1, pada skala 1:2000, maka peta indeks/ikhtisar skala 1:10.000 tetap dibutuhkan
untuk menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

 Daerah kerja (garis besar)

 Kontur dengan interval 5 m (10 m pada daerah curam)

59
 Spot height yang dipilih

 Grid penuh dan berkoordinat, interval 10 cm pada peta indeks

 Nama kampung dan batas administrasi

3.3.6. Analisis Data Mekanika Tanah

Data dari hasil investigasi di lapangan maupun hasil uji contoh terganggu maupun
tidak terganggu selanjutnya diolah dan dianalisis seperti uraian dibawah ini:
1) Penggambaran Log of Bor Hole
Hasil pemerian (deskripsi) hasil bor tangan dicatat dalam Tabel Log of Bor Hole.

2) Rekomendasi Bahan Bangunan


Bahan bangunan yang harus dianalisis adalah volume depositnya, lokasi dan
pencapaiannya dan perkiraan karakteristiknya. Luas penyebarannya dibuat-kan peta
situasinya termasuk kondisi tata guna lahan sekarang, jika diper-lukan.

a) Bahan Urugan Tanggul


Tanah sebagai bahan tanggul saluran harus mempunyai kriteria sebagai berikut:

 Dalam keadaan jenuh air, tanggul saluran harus mampu bertahan terhadap gejala

gelincir dan longsor.


 Waktu banjir tidak terjadi rembesan atau bocoran.

 Mudah dalam pelaksanaan penggalian, pengangkutan dan pema-datan.

 Tidak terjadi retak yang membahayakan stabilitas tubuh tanggul.

 Bebas dari bahan organis, seperti akar-akaran, pohonan dan rumput-rumputan.

Kadang-kadang karena sulit mendapatkan kualitas bahan tanggul yang baik


berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka tanah sebagai bahan timbunan tanggul
dibuat kombinasi dari beberapa klasifikasi tanah atau tanggul dibuat dari pasangan
batu, bronjong, kombinasi dan beton. Beberapa jenis tanah dan nilainya sebagai
bahan timbunan tanggul dapat dilihat pada Tabel B9 berikut.

60
Tabel 3. 16 Beberapa Jenis Tanah dan Nilainya Sebagai Bahan Urugan
Tanggul

Simbol Klasifikasi
No Nama Bahan Nilai
Bahan
1 Batuan -
Batu besar
2 -
Batu ukuran biasa
3 GW ; GP Kerikil 6
4 GM ; GC Tanah berkerikil 1
5 SW ; SP Pasir 5
6 SM ; SC Tanah Pasiran 2
7 ML ; CL ; OL Tanah Kohesif 3
8 MH ; CH ; OH Lempung 4
9 Pt Tanah organis 7
Sumber : Perbaikan dan Pengaturan Sungai, Editor Dr. Suyono Sosro-
darsono dan Dr. Masatersu Tominaga

b) Bahan Konstruksi
Bahan konstruksi untuk pekerjaan beton, pasangan batu, pasangan batu kosong,
dan lain lain diperoleh dari quarry. Bahan bangunan untuk konstruksi tersebut
terdiri dari pasir, kerikil dan batu. Syarat-syarat bahan bangunan tersebut adalah :

 Gradasi bahan sesuai dengan fungsi yang dibebankan pada lapisan.

 Kekerasan bahan dan kekuatan geser setinggi mungkin.

 Bahan tidak mengandung campuran zat organis atau mineral yang mudah larut.

 Bahan mempunyai kestabilan struktur yang cukup tinggi terhadap pengaruh

atmosfir maupun kimia lainnya.


 Agar bahan mempunyai kemampuan drainase yang cukup memadai.

3 3
a= y 0= ( √ h2 +d2 −d )
4 4
 Apabila 90 < 

61
1
a=a0 = ( √h 2 +d 2 −d )
2

3.4. Desain Embung/Kolong


Pengembangan desain dilakukan dengan meneliti kondisi dan data yang ada baik
yang berupa data primer maupun sekunder untuk kemudian dianalisis dan dikembangkan
menjadi alternatif-alternatif penanganan yang tepat sesuai dengan permasalahan. Beberapa
lokasi alternative rencana embung/kolong hasil identifikasi di lapangan, dikaji untuk memilih
salah satu lokasi definitif yang di detail desain. Dalam menguji efektifitas terhadap alternatif-
alternatif tersebut dilakukan simulasi dengan menggunakan perangkat lunak tertentu yang
sesuai dengan tujuannya. Demikian pula dengan perencanaan bangunan-bangunan
pengendali banjir dilakukan dengan menggunakan formula/rumus yang biasa di gunakan di
Indonesia.

a. Klasifikasi embung urugan

Sehubungan dengan fungsinya sebagai pengempang air atau mengangkat


permukaan air di dalam suatu embung/kolong, maka secara garis besar tubuh
embung/kolong merupakan penahan rembesan air ke arah hilir serta sebagai penyangga
tandon air tersebut.
Ditinjau dari penempatan serta susunan bahan yang membentuk tubuh embung
untuk dapat memenuhi fungsinya dengan baik, maka embung urugan dapat digolongkan
dalam 3 (tiga) tipe utama, yaitu :
 Embung urugan homogen (Embung homogen)
 Embung urugan zonal (Embung zonal)
 Embung urugan bersekat (Embung sekat)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

62
(1) Embung Homogen
Apabila bahan yang membentuk tubuh embung terdiri dari tanah yang hampir sejenis
dan gradasinya (susunan ukuran butirnya) hampir seragam. Tubuh embung/kolong
secara keseluruhannya berfungsi ganda, yaitu sebagai bangunan penyangga dan seka-
ligus sebagai penahan rembesan air.

(2) Embung zonal


Embung urugan digolongkan dalam tipe zonal, apabila timbunan yang mem-bentuk
tubuh embung/kolong terdiri dari batuan dengan gradasi (susunan ukuran butiran) yang
berbeda-beda dalam urutan-urutan pelapisan tertentu.

Pada embung tipe ini sebagai penyangga utama dibebankan kepada timbunan yang lulus
air (zone lulus air), sedangkan penahan rembesan dibebankan kepada timbunan yang
kedap air (zone kedap air).

Berdasarkan letak dan kedudukan dari zona kedap airnya, maka tipe ini masih dibedakan
menjadi 3 (tiga), yaitu :

 Embung urugan zonal dengan tirai kedap air atau ”Embung tirai (front core fill type

dam)”, ialah embung zonal dengan zona kedap air yang membentuk lereng udik
embung tersebut.
 Embung urugan zonal dengan inti kedap air miring atau ” Embung inti miring (inclined

core fill type dam”, ialah embung zonal dengan zona kedap airnya terletak didalam
tubuh embung dan berkedudukan miring ke arah hilir.
 Embung urugan zonal dengan inti kedap air tegak atau ” Embung inti tegak (central

core fill type dam)” adalah embung zonal yang zona kedap airnya ter-letak di dalam
embung dengan kedudukan vertikal. Biasanya inti tersebut terle-tak di dalam tubuh
embung dengan kedudukan vertikal. Biasanya inti tersebut terletak di bidang tengah
dari tubuh embung.

63
Tabel 3. 17 Tipe embung

Tipe Skema umum Keterangan


Zona kedap air Apabila 80% dari seluruh bahan
Embung Zona lulus air
pem-bentuk tubuh embung terdiri
dari bahan yang bergradasi
Drainasi
hampir sama.
Zona lulus air Apabila bahan pembentuk tubuh
Embung tirai

Zona kedap air ben-dungan terdiri dari bahan


yang lulus air, tetapi dilengkapi
Zona transisi dengan tirai kedap air di udiknya.
Embung Zonal

Bendungn inti

Zone lulus air Apabila bahan pembentuk tubuh


Zone inti kedap air
ben-dungan terdiri dari bahan
Zone lulus air
yang lulus air, tetapi dilengkapi
Zone transisi
dengan inti kedap air yang
Embung
miring

Apabila bahan miring


berkedudukan pembentuk
ke hilir.tubuh
Zone inti kedap air
Zone lulus air Zone lulus air ben-dungan terdiri dari bahan
yang lulus air, tetapi dilengkapi
Zone transisi Zone transisi
Apabila bahan
inti pembentuk
kedap air tubuh
Embung

dengan yang
inti vertikal
sekat

Zone lulus air


Zone sekat ben-dungan terdiri dari bahan
yang lulus air, tetapi dilengkapi
Sumber : Embung tipe urugan, Ir. Suyono Sosrodarsono, dengan
Kensakudinding
Takeda, ti-dak
1981 lulus air di

b. Karakteristik Utama embung Urugan

Beberapa karakteristik utama embung urugan adalah sebagai berikut:


(1) Embung urugan mempunyai alas yang luas, sehingga beban yang harus didukung oleh
pondasi embung persatuan unit luas biasanya kecil. Beban utama yang harus didukung
oleh pondasi terdiri dari berat tubuh embung dan tekanan hidrostatis dari dalam
embung.
Karena hal tersebut, maka embung urugan dapat dibangun di atas batuan yang sudah
lapuk atau di atas alur sungai yang tersusun dari batuan sedimen dengan kemampuan

64
daya dukung yang rendah asalkan kekedapannya dapat diperbaiki pada tingkat yang
dikehendaki.

(2) Embung urugan selalu dapat dibangun dengan menggunakan bahan batuan yang
terdapat di sekitar calon embung. Dibandingkan dengan jenis embung beton yang
memerlukan bahan-bahan fabrikan seperti semen dalam jumlah besar dengan harga
yang tinggi dan didatangkan dari tempat yang jauh, maka embung urugan dalam hal ini
menunjukkan tendensi yang positip.
(3) Dalam pembangunannya embung urugan dapat dilaksanakan secara mekanis dengan
intensitas yang tinggi (full mechanized) dan karena banyaknya tipe-tipe peralatan yang
diproduksi, maka dapat dipilih peralatan yang paling cocok, sesuai dengan sifat-sifat
bahan yang akan digunakan serta kondisi lapangan pelaksanaannya.
(4) Kelemahannya karena tubuh embung terdiri dari timbunan tanah atau timbunan batu
yang berkomposisi lepas, maka bahaya jebolnya embung umumnya disebabkan oleh hal-
hal sebagai berikut :
a) longsoran yang terjadi baik pada lereng udik, maupun lereng hilir tubuh embung.
b) terjadinya sufosi (erosi dalam atau piping) oleh gaya-gaya yang timbul dalam aliran
filtrasi yang terjadi didalam tubuh embung
c) suatu konstruksi yang kaku tidak diinginkan di dalam tubuh embung, karena
konstruksi tersebut tak dapat mengikuti gerakan konsolidasi dari tubuh embung
tersebut.
d) proses pelaksanaan pembangunan biasanya sangat peka terhadap pengaruh iklim.
Lebih-lebih pada embung tanah, dimana kelembab-an optimum tertentu perlu
dipertahankan terutama pada saat pelaksa-naan penimbunan dan pemadatannya.

c. Volume Total embung/kolong

Beberapa istilah yang berhubungan dengan volume embung (storage) seperti


diuraikan di bawah ini :
 Volume embung aktif (active storage, useful storage, usable storage, working storage)

adalah volume embung yang dapat digunakan untuk memenuhi salah satu atau lebih

65
tujuan pembangunannya seperti halnya pengairan, PLTA, pengendalian banjir dan lain-
lain.
 Volume embung tidak aktif (in active storage) adalah volume embung antara bagian

terbawah dari bangunan pengeluaran dengan permukaan air teren-dah untuk operasi.
 Volume embung mati (dead storage) adalah volume embung yang terletak di bagian

terbawah dari bangunan pengeluaran.


 Volume embung banjir (flood storage) adalah sebagian dari volume embung aktif yang

digunakan untuk mengontrol (meredam) banjir yang terjadi.


 Volume total embung (reservoir capacity, gross storage, storage capacity) adalah volume

total embung yang meliputi volume aktif storage, inactive storage dan dead storage)

Untuk menetapkan volume embung dilakukan berdasarkan cara sebagai berikut :


(1) Berdasarkan data topografi
Setelah lokasi dan as embung ditentukan, maka perlu dihitung volume total embung.
Untuk keperluan ini diperlukan peta topografi dengan skala 1:10.000 dengan beda tinggi
(interval contour) 5 m atau 10 m. Luas masing-masing untuk setiap ketinggian kontur
dihitung (F). Kemudian dicari volume yang dibatasi oleh 2 garis kontur yang berurutan.
Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar-gambar dibawah ini:

+130.00
F130

+125.00
F125

+120.00
F120

+115.00
F115

+110.00
F110

+105.00
F105

+100
F100

Gambar 3.22 Penampang Memanjang embung

Luas embung untuk masing-masing elevasi dicari, yaitu :

F100 untuk elevasi +100.00

66
F105 untuk elevasi +105.00

F110 untuk elevasi +110.00

F115 untuk elevasi +115.00

F120 untuk elevasi +120.00

F125 untuk elevasi +125.00

F130 untuk elevasi +130.00

Seperti terlihat pada gambar terlihat, bahwa beda tinggi antara 2 kontur adalah h, maka
volume antara 2 kontur yang berturutan dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

1
V n = ×Δh ( F n−1 +F n + √ Fn−1×F n )
3

di mana :

h = beda tinggi antara 2 kontur

Fn = luas permukaan embung pada elevasi n

Vn = volume antara 2 kontur yang berturutan.

Sesudah semua luas dan volume masing-masing diketahui, selanjutnya digambarkan


pada sebuah grafik hubungan antara elevasi, luas, dan volume embung.

Dari grafik tersebut dengan mudah dapat dicari luas dan volume setiap elevasi tertentu
pada embung. Dengan demikian luas dan volume total embung dapat ditentukan pula.

67
Luas waduk (ha)
700 600 500 400 300 200 100 0
+130.00

+125.00

Luas waduk
+120.00
Volume waduk

Elevasi m
+115.00

+110.00

+105.00

+100.00
0 15 30 45 60 75 90 105
6
Volume waduk x 10 m3

Gambar 3.23 Grafik hubungan antara elevasi, luas dan volume embung

(2) Berdasarkan data hidrologi dengan garis masa debit


Data debit, baik yang diukur secara langsung di sungai maupun yang diperoleh dari curah
hujan yang dikonversikan ke debit air disusun dalam sebuah tabel. Makin panjang data
pengukuran, hasilnya semakin baik. Sedangkan periode waktu dapat diambil bulanan,
setiap 10 hari, setiap minggu (7 hari), setiap 6 hari atau setiap 3 hari. Makin pendek
periode waktu hasilnya akan semakin teliti tetapi akan memakan waktu yang cukup
lama, oleh karena itu bila diambil bulanan atau setiap 10 hari (1 bulan diambil 3 periode)
hasilnya sudah cukup memadai.

Volume embung/kolong total yang dihitung berdasarkan topografi belum tentu sama
dengan volume total embung/kolong yang dihitung berdasarkan inflow.

Kondisi yang paling baik adalah apabila volume embung/kolong total berdasarkan
topografi lebih besar dari volume berdasarkan inflow karena hal ini menunjukkan, bahwa
kapasitas atau daya tampung embung/kolongnya lebih besar. Ini berarti, bahwa air yang
harus dibuang lewat bangunan pelimpah relatif sedikit.

Demikian pula umur embung/kolong lebih panjang karena dapat menampung endapan
lebih banyak. Sebaliknya apabila volume total embung/kolong yang dihitung

68
berdasarkan topografi lebih kecil dari volume embung/kolong berdasarkan inflow, maka
debit air yang dibuang melalui bangunan pelimpah relatif besar.

Apabila volume embung/kolong yang dihitung berdasarkan topografi terpaksa lebih kecil
dibandingkan dengan inflow, maka perhitungan kapasitas bangunan pelimpah harus
dilakukan dengan periode ulang yang cukup besar.

d. Kapasitas Pengendalian Banjir


Pada prinsipnya merencanakan sebuah bangunan pelimpah pada embung urugan,
adalah tanpa memperhitungkan adanya kapasitas pengen-dalian banjir yang biasanya
terdapat pada ruangan di bagian sebelah atas permukaan air penuh calon embung/kolong.
Akan tetapi dalam keadaan di mana bangunan pelimpah direncanakan tanpa pintu
pengatur (bangunan pelimpah tetap) dan apabila pada saat embung/kolong terisi penuh luas
muka airnya cukup besar dibandingkan dengan luas daerah pengaliran, maka status kapasitas
pengendalian banjir pada calon embung/kolong tersebut dapat dipertimbangkan.
Bangunan pelimpah yang direncanakan dengan mempertimbangkan suatu kapasitas
pengendalian banjir di dalam embung/kolong (flood storage), biasa-nya debit pelimpahan
bangunan tersebut akan lebih rendah dari debit banjir maksimum rencana, karena sebagian
air banjir untuk sementara akan tertahan di dalam embung/kolong.
Untuk menghitung kapasitas pengendalian banjir pada embung/kolong semacam ini
dapat digunakan beberapa metode yang pada hakekatnya didasarkan pada persamaan
sebagai berikut :
Pengaliran air yang Pengaliran air yang
Volume air yang tertahan di
melintasi bangunan = masuk ke dalam -
dalam embung/kolong
pe-limpah embung/kolong

e. Memperkirakan volume sedimen


Dalam merencanakan sebuah embung/kolong diperlukan penelitian yang seksama
terhadap permasalahan yang diakibatkan sedimentasi dalam embung/ kolong maupun
perubahan-perubahan konfigurasi alur sungai di sekitar embung/ kolong tersebut. Survey dan
investigasi serta analisis-analisis yang kurang memadai serta kesalahan-kesalahan
perhitungan akan mengakibatkan hal-hal yang sangat fatal.

69
Dalam merencanakan embung/kolong perlu dipertimbangkan dengan matang adanya
kapasitas mati (dead storage) yang antara lain digunakan untuk penampungan endapan
sedimen yang masuk ke dalam embung/kolong dan bertahan di dasarnya. Walaupun
kemajuan teknologi sudah sedemikian majunya, pengerukan endapan sedimen pada suatu
embung/kolong secara ekonomis belumlah memadai. Akibat terjadinya sedimentasi yang
sangat cepat pada embung/kolong yang direncanakan untuk dapat berfungsi lebih dari 50
tahun (misalnya), ternyata hanya dalam waktu beberapa tahun saja endapan sudah
memenuhi kapasitas matinya (dead storage), sehingga embung/kolong yang dibangun
dengan biaya yang besar harus menghentikan fungsinya.
Pembangunan sebuah embung/kolong biasanya direncanakan untuk dapat berfungsi
dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun dan bahkan ada yang sampai 100 tahun. Oleh karena
itu dalam menentukan volume sedimen, survey, investigasi dan analisis-analisis yang
dilaksanakan tidak saja terbatas pada keadaan yang telah lalu, tetapi mencakup juga
perkiraan-perkiraan kemungkin-an terjadinya perubahan-perubahan dari kondisi daerah
poengaliran di masa-masa yang akan datang, dimana kemungkinan-kemungkinan perubah-
annya akan menimbulkan perubahan intensitas proses sedimentasi yang terjadi di daerah
pengaliran tersebut.
Karena banyaknya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intensitas sedimentasi
tersebut, maka penelitian yang dilakukan menyangkut bidang yang sangat luas dan ana-
lisisnya biasanya cukup rumit.
Faktor terpenting biasanya sangat mempengaruhi proses sedimentasi di daerah
pengaliran sungai adalah :

(1) Cakupan areal daerah pengaliran


Kapasitas sedimen yang dihanyutkan oleh suatu sungai biasanya berbading lurus de-
ngan luas daerah pengalirannya, karena itu untuk satuan intensitas sedimentasi
digunakan volume sedimen yang dihanyutkan dari setiap km 2 per tahun (m3/km2/tahun).

(2) Kondisi geologi daerah pengaliran


Kondisi daerah pengaliran, seperti struktur geologi yang membentuk daerah pengaliran,
jenis-jenis batuan serta daerah penyebarannya, tingkat pelapuk-an serta daya tahan
batuan terhadap pengaruh-pengaruh cuaca dan karakteristik geologi lainnya akan sa-

70
ngat mempengaruhi intensitas proses-proses degradasi serta erosi pada batuan tersebut
dan selanjutnya akan mempengaruhi intensitas sedimentasi pada sungai yang
bersangkutan.

(3) Kondisi topografi


Elevasi suatu daerah pengaliran, kondisi perbukitan maupun pegunungannya, tingkat
kemiringan akan sangat mempengaruhi intensitas degradasi dari batuan yang terdapat
di daerah pengaliran.

(4) Kondisi meteorologi


Karakteristik dari hujan yang jatuh di daerah pengaliran antara lain mengenai intensitas,
frekuensi serta durasinya sangat mempengaruhi intensitas degra-dasi dan erosi dari
batuan yang membentuk daerah pengaliran lebih-lebih pada daerah yang bergunung-
gunung, dimana air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah dengan mudah
mengikis lapisan atasnya serta menghanyutkan masuk kedalam alur sungai.

(5) Karakteristik hidrolika sungai


Intensitas penggerusan tebing sungai dan kapasitas transportasi sedimen sangat
dipengaruhi oleh karakteristik hidrolika dari sungai yang bersangkutan, yaitu debit
sungai, kecepatan aliran air sungai, konfigurasi alur sungai, bentuk penampang lintang
sungai, kemiringan dan kekasaran dari batuan pembentuk alur sungai. Kekasaran
tersebut biasanya tergantung dari tekstur batuan, konfigurasi alur sungai dan vegetasi
yang terdapat pada alur sungai tersebut.

(6) Vegetasi pada daerah pengaliran


Biasanya vegetasi yang menutupi daerah pengaliran sungai akan sangat membantu pada
penurunan intesitas proses-proses degradasi maupun erosi pada batuan di daerah ini.

(7) Kegiatan manusia


Kegiatan-kegiatan manusia baik yang langsung pada sungai (seperti pembuatan ba-
ngunan serta pekerjaan yang dilakukan dalam alur sungai), maupun kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pada areal-areal di daerah pengaliran (seperti pengusahaan tanah perta-

71
nian, pengusahaan hutan, pembangunan jaringan jalan, perkampungan dan lain-lain-nya)
sangat mempengaruhi kapasitas sedimentasi pada sungai yang bersangkutan.

(8) Karakteristik embung/kolong


Karakteristik calon embung/kolong seperti kapasitas, kedalaman, fluktuasi permukaan
air yang terdapat didalamnya dan banyaknya embung/kolong- Embung/kolong yang
sudah dibangun pada sungai yang bersangkutan akan sangat mem-pengaruhi intensitas
sedimentasinya.

Umumnya tidak mungkin untuk mengidentifisir semua faktor-faktor seperti tersebut


di atas dan memasukannya kedalam perhitungan-perhitungan sedimen-tasi, sehingga dalam
perhitungan terpaksa menggunakan asumsi-asumsi dan pengalaman akan sangat membantu
untuk memperoleh angka-angka estimasi yang memadai.
Contoh metode perhitungan untuk memperkirakan volume sedimen-sedimen yang
akan ditampung oleh embung/kolong dalam kapasitas matinya (dead storage), sepanjang
umur efektif embung/kolong adalah sebagai berikut :
(1) Perhitungan perkiraaan volume sedimen berdasarkan metode perbandingan
Perhitungan dilakukan berdasarkan perbandingan dengan sedimentasi sesunggunya
yang terjadi pada embung/kolong- Embung/kolong yang sudah ada, baik pada sungai
dimana direncanakan akan dibangunan embung/kolong maupun pada sungai yang
terdapat disekitarnya.

Apabila memang sudah banyak embung/kolong yang dibangun di sungai-sungai tersebut


diatas dan data yang dikumpulkan cukup relevan, maka dengan menggunakan metode
ini hasilnya akan sangat memuaskan dan dapat diandalkan.

Terlebih lagi apabila diadakan penyesuaian-penyesuaian sehubungan dengan adanya


perbedaan-perbedaan yang menyolok dari beberapa faktor yang biasanya adalah faktor-
faktor pada karakteristik embung/kolong dan pada kondisi topografi dari daerah
pengalirannya.

Untuk perhitungan perkiraan volume sedimen dapat digunakan rumus seperti berikut :

72
F
Ps  Rs 
A

di mana :

Rs = angka sedimentasi tahunan suatu embung/kolong (m 3/m3/tahun)

Rs = V/F (sedimen tahun-tahun yang telah lalu)

F = kapasitas embung/kolong (m3)

V = volume sedimen seluruhnya (m3)

Ps = harga satuan sedimentasi (m3/km2/tahun)

A = luas daerah pengaliran (km2)

(2) Perhitungan perkiraan volume sedimen dengan menggunakan data dari embung/kolong-
Embung/kolong lapangan.
Apabila luas daerah pengaliran calon embung/kolong lebih kecil dari 100 km2, maka
angka satuan sedimentasi dapat dicari dengan menggunakan tabel dibawah ini, yang
dibuat berdasarkan hasil-hasil pencatatan yang sesungguhnya dari embung/kolong-
Embung/kolong lapangan yang telah dibangun.

73
Tabel 3. 18 Tabel untuk memperoleh angka satuan sedimentasi di daerah pengaliran sungai


Daerah Pengaliran
2
(km ) 2 5 10 20 30 50 100
Topografi Geografi
100 300 800
zona A
~300 ~800 ~1200
Stadium permulaan 100 200 500
zona B
pembentukan ~200 ~500 ~1000
100 150 400
zona C
~150 ~400 ~800
100 200 500
zona A
~200 ~500 ~1000
Stadium akhir 100 150 400
zona B
pembentukan ~150 ~400 ~1000
50 100 300
zona C
~100 ~350 ~500
kurang dari 50 100 300
zona B
Stadium 50 ~100 ~350 ~500
pertengahan 50 100
zona C kurang dari 50
~100 ~200
50 100
zona B kurang dari 50
Merupakan data ~100 ~200
yang stabil 50 100
zona C kurang dari 50
~100 ~200

Sumber : Bendungan tipe urugan, Ir. Suyono Sosrodarsono, Kensaku


Takeda, 1981

Karakteristik penting yang sangat mempengaruhi tingkat sedimentasi adalah


karakteristik topografi dan geologi sebagai berikut :

Tabel 3. 19 Karakteristik topografi daerah aliran sungai

74
Perbedaan
Peningkatan gejala Kemiringan
Karakteristik elevasi dan
erosi dalam alur dasar Lain-lain
topografi permukaan
sungai sungai
alur
Intensitas erosinya Kemiringan
Stadium
terbe-sar dengan Lebih besar tebing
permulaan 1/100 ~ 1/500
proses peng-gerusan dari 500 m sungai
pembentukan
tebing sungainya sekitar 30°
Intensitas erosinya
Stadium akhir besar dengan proses 1/500 ~
 400 m
pembentukan pengge-rusan dasar 1/700
sungai
Intensitas erosinya
Stadium
kecil, kecuali dalam  1/800  300 m
pertengahan
keadaan banjir
Merupakan Intensitas erosinya
dataran yang kecil, walaupun  1/1000  100 m
stabil dalam keadaan banjir
Sumber : Bendungan tipe urugan, Ir. Suyono Sosrodarsono, Kensaku Takeda, 1981

Karakteristik geologi biasanya dirumuskan dan dibedakan sebagai berikut :

(1) Zone A
Daerah pengaliran yang lebih dari 1/3 bagian terdiri dari daerah pegunungan berapi,
daerah longsor dan terutama daerah yang terbentuk dari batuan yang berasal dari
gunung berapi (zone of volcanic origin).

(2)Zone B
Daerah pengaliran yang antara 1/3 sampai dengan 1/5 bagian terdiri dari batuan
seperti tersebut diatas

(3)Zone C
Daerah pengaliran yang tidak termasuk dalam kategori kedua zone tersebut.

75
76

Anda mungkin juga menyukai