Anda di halaman 1dari 42

Kepemimpinan Berfikir Sistem: Aplikasi pada Bidang Kesehatan | Ade Heryana, S.St, M.

KM

Kepemimpinan
Berfikir Sistem
Aplikasi pada Bidang Kesehatan

Oleh: HERRY PERMANA


(NPM. 20280018)

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT (S2)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN (FIKES)
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
TAHUN 2020
Untuk sitasi gunakan format berikut:
Heryana, A. (2019). Kepemimpinan Berfikir Sistem: Aplikasi pada Bidang Kesehatan.
Jakarta: e-book tidak dipublikasikan.
Kepemimpinan Berfikir Sistem: Aplikasi pada Bidang Kesehatan | Herry Permana

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...... i

BAB 1 – Kepemimpinan ………………….............................................. 3

BAB 2 – Konsep Sistem …………………………………………………………. 9

BAB 3 – Karakteristik Sistem …………………………………………....……. 14

BAB 5 – Berfikir Sistem ………………………………………………....……… 29

BAB 7 – Kepemimpinan Berfikir Sistem …………………………....………. 36

i
BAB 1 – Kepemimpinan

KONSEP KEPEMIMPINAN
Ketika berbicara tentang kepemimpinan, kita tentu mengaitkannya dengan
manajemen. Padahal dalam beberapa hal keduanya memiliki pengertian
berbeda. Manajemen lebih berorientasi kepada tugas bedasarkan
rasionalitas, birokrasi, dan pemenuhan kontrak kerja. Sedangkan
kepemimpinan lebih berorientasi kepada pencapaian tujuan berdasarkan
nilai-nilai, idealis, visi, symbol-simbol, dan perubahan emosional. Meskipun
berbeda, ada anggapan bahwa kesuksesan seseorang dalam memimpin
membutuhkan kesuksesan dalam mengelola (manage) organisasi, serta
kepemimpinan dan manajemen saling melengkapi (Antonakis & Day, 2018).
Misalnya seorang manajer klinik dihadapkan pada permasalahan karyawan
dengan prestasi tinggi namun sering terlambat ke kantor. Dari sudut
pandang manajemen, tindakan karyawan ini salah meskipun memiliki
prestasi yang baik. Namun dari sudut pandang kepemimpinan, tindakan
karyawan yang sering terlambat ini belum tentu salah.
Definisi kepemimpinan sendiri yang dikutip dari berbagai literatur memiliki
perbedaan pengertian dan sudut pandang. Definisi pertama menurut
Emmerling, Canboy, Serlavos, & (Foguet, 2015) yang menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi dan
memudahkan orang lain dalam mencapai tujuan organisasi maupun
anggotanya. Definisi ini melihat kepemimpinan sebagai proses menjalankan
kepemimpinan.
Definisi lain penulis kutip dari Antonakis & Day (2018) yang mendefinisikan
kepemimpinan bukan hanya sebagai proses dalam memimpin namun juga
sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah proses, kepemimpinan adalah
tindakan mempengaruhi seseorang untuk mencapai tujuan yang terjadi
antara pimpinan dengan bawahan, dengan pengikut kelompok, atau dengan
institusi. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, kepemimpinan adalah ilmu
yang secara sistematik mempelajari proses dan hasil dari tindakan
memimpin, yang tergantung kepada sifat dan perilaku pemimpin, interpretasi
orang terhadap karakter pemimpin, dan atribut yang diberikan orang
terhadap hasil dari kepemimpinan. Sehingga menurut Antonakis & Day,
dalam kepemimpinan ada 3 hal yang dipelajari:
a. Proses dan tindakan memimpin berdasarkan sifat dan perilaku
pimpinan. Misalnya: ilmu kepemimpinan mempelajari apa yang
dilakukan seorang kepala puskesmas yang memiliki sifat dermawan
serta sering membantu masyarakat kecil
b. Proses dan tindakan memimpin berdasarkan interpretasi orang lain
terhadap karakteristik pemimpin. Misalnya: kepemimpinan kepala
puskesmas dipelajari melalui persepsi bawahannya terhadap karakter
yang ada pada pimpinannya

3
c. Proses dan tindakan memimpin berdasarkan atribut yang diberikan
orang terhadap hasil kepemimpinannya. Misalnya: kepemimpinan
kepala puskesmas dipelajari melalui kepuasan pihak lain terhadap
pecapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) organisasi yang
dipimpinnya. Pihak lain tersebut bisa atasan kepala puskesmas, teman
sejawat, bawahan atau masyarakat yang terkait.

Definisi terakhir penulis kutip dari ahli kepemimpinan Peter G. Northouse


yang menjelaskan kepemimpinan lebih komprehensif ke dalam empat aspek
sebagai berikut (Northouse, 2016):
1. Kepemimpinan sebagai proses, artinya dalam kepemimpinan bukan
hanya menyangkut sifat dan karakter yang ada pada pimpinan,
melainkan terdapat juga kondisi-kondisi saling menguntungkan antara
pimpinan degan pengikutnya.
2. Kepemimpinan melibatkan pengaruh, artinya kepemimpinan
merupakan cara untuk mempengaruhi pengikut.
3. Kepemimpinan terjadi dalam kelompok, artinya kepemimpinan
membutuhkan wadah untuk mengimplementasikannya yaitu kelompok
atau organisasi, baik organisasi dalam skala kecil, menengah maupun
besar.
4. Kepemimpinan fokus pada tujuan. Tujuan tersebut bukan hanya yang
diharapkan oleh kelompok namun juga oleh individu.

PENDEKATAN KEPEMIMPINAN
Kebutuhan yang tinggi terhadap kepemimpinan menyebabkan
dikembangkannya pendekatan-pendekatan untuk memahami apa itu
kepemimpinan. Terdapat tiga pendekatan yang dianut para ahli dalam
menjelaskan kepemimpinan yaitu: (1) pendekatan klasik, (2) pendekatan
kontekstual, dan (3) pendekatan identitas (Gardner & Carlson, 2015).
Perbedaan ketiganya akan dijelaskan berikut ini. Ketiga pendekatan ini
dideskripsikan pada tabel 5 berikut.
Tabel 6.1. Tiga Pendekatan Kepemimpinan
Pendekatan
Pendekatan Klasik Pendekatan
Identitas
(Pendekatan Kontekstual
(Pendekatan
Individual) (Pendekatan Sosial)
Psikologis)
Kepemimpinan Kepemimpinan Kepemimpinan
merupakan kualitas diperoleh seseorang diperoleh ketika
kepribadian seseorang jika ada kesesuaian bawahannya
yang berbeda dari antara individu orang mendapatkan
kebanyakan orang lain tersebut dengan kesamaan “identitas”
atau leadersip as lingkungannya atau dengan kelompok dan
charisma (charismatic leadership as bawahan tersebut
leadership). Misalnya: contingency bertindak sesuai
seorang ulama (contingency dengan identitas
memimpin kegiatan leadership). Misalnya: tersebut atau
Pendekatan
Pendekatan Klasik Pendekatan
Identitas
(Pendekatan Kontekstual
(Pendekatan
Individual) (Pendekatan Sosial)
Psikologis)
sosialisasi imunisasi keputusan untuk leadership as identity
karena memiliki mengangkat putra representation.
karisma yang membuat daerah sebagai Misalnya: seorang
masyarakat mau pimpinan sebuah staff LSM yang
mendengarkan. puskesmas didasarkan mantan penderita HIV
atas kesesuaian bersedia diarahkan
karakter dengan oleh pimpinannya
wilayahnya. karena organisasi
tersebut bertujuan
menanggulangi
penularan HIV
Kepemimpinan Kepemimpinan Kepemimpinan
merupakan kualitas diperoleh seseorang diperoleh seseorang
kecerdasan seseorang melalui proses ketika bawahannya
yang memungkinkan perubahan sosial yaitu merasakan bahwa
dirinya dapat pengikutnya mau kesamaan identitas
mempengaruhi orang bertindak hanya untuk sosial yang
lain atau leadership as menjalankan perintah diyakininya terdapat
intelligence (intelligence pimpinannya jika dalam kelompok
leadership). Misalnya: terjadi kondisi yang bukan hanya terjadi
seorang dokter yang saling menguntungkan tetapi juga
diangkat menjadi ketua atau leadership as diimplementasikan
tim penanganan kasus transaction dalam aktivitas
penyakti menular (transactional organisasi sehari-hari
karena kemampuan leadership). Misalnya: atau leadership as
akademik di bidang ini. seorang bawahan identity realization.
hanya mau mejalankan Misalnya: staff LSM
tugas ketika pimpinan (contoh di atas)
memerintah dengan bukan hanya mau
memberikan imbalan. diarahkan tetapi juga
menjalankan
tugasnya dengan
kesungguhan
Kepemimpinan muncul
karena pimpinan
bekerjasama dengan
bawahan untuk
memuaskan apa yang
mereka inginkan dan
butuhkan, serta terjadi
saling mendukung
antara pimpinan-
bawahan atau
leadersip
Pendekatan
Pendekatan Klasik Pendekatan
Identitas
(Pendekatan Kontekstual
(Pendekatan
Individual) (Pendekatan Sosial)
Psikologis)
as transformation
(transformational
leadership). Misalnya:
pimpinan program
Kesling di puskesmas
bersama dengan staff
lainnya sama-sama
melakukan tugas
dengan kesadaran
untuk meningkatkan
kualitas hidup
masyarakat

Disamping ketiga pendekatan di atas, para ahli yang melakukan studi


tentang kepemimpinan terbagi ke dalam 9 (sembilan) aliran atau mazhab
yang ada sejak tahun 1900an hingga kini. Beberapa aliran kepemimpinan
ini ada yang sudah tidak aktif hingga sekarang, ada yang hilang tetapi
kemudian aktif kembali, dan ada yang tetap aktif bertahan hingga
sekarang. Aliran-aliran tersebut dideskripsikan pada tabel 6 berikut.
Tabel 6.2. Sembilan Aliran Pendekatan Kepemimpinan (1900 – 2020)
Aliran Penjelasan
Trait (sifat)  Muncul tahun 1900an dengan fokus studi
atau kepemimpinan pada sifat dan pengungkapan
„Great kisah/pengalaman orang yang dianggap berhasil dalam
Man‟ teori memimpin. Sifat tersebut misalnya kecerdasan dan
keinginan mendominasi. Menurut aliran ini:
kepemimpinan tidak dapat dikembangkan karena
merupakan bakat yang dibawa sejak lahir.
 Tahun 1960-1970 aliran ini sempat menghilang karena
adanya studi lain yang menyatakan pendekatan sifat
tidak relevan dengan kondisi sebenarnya.
 Namun sejak tahun 1990an hingga saat ini aliran trait
aktif kembali melalui studi kepemimpinan yang lebih
maju dan dapat membuktikan bahwa sifat (kecerdasan,
kestabilan emosi, kepribadian) berkaitan dengan
kepemimpinan seseorang.
Behavioral  Muncul tahun 1940an dengan fokus studi kepada
(Perilaku) gaya/perilaku pemimpin.
 Menurut aliran ini kepemimpinan merupakan proses
saling mempengaruhi yang menguntungkan, dan hasil
pemikirannya adalah adanya perbedaan antara
kepemimpinan demokratis dengan otoriter, adanya
Aliran Penjelasan
faktor konsiderasi (dukungan, personal) dan faktor
pencetus (arahan, tugas) dalam kepemimpinan,
 Sejak tahun 1990an aliran ini sudah tidak aktif karena
berbagai penelitian yang menunjukkan gaya
kepemimpinan tidak relevan dengan hasil yang didapat
atau kenyataannya. Hal ini merupakan pencetus
lahirnya aliran baru yaitu contingency
Contingency  Muncul tahun 1960an yang mengkritisi aliran
(kesesuaian) behavioral dengan pendekatan kontinjensi atau
kepemimpinan didasarkan pada kondisi situasional
(situasional leadership). Aliran ini melakukan diagnosis
terhadap stuasi spesifik dan kebutuhan bawahan
 Dari aliran ini muncul pemikiran/konsep kepemimpinan
yaitu hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan
posisi kekuasaan pemimpin berkaitan dengan efektifitas
dalam memimpin. Konsep lainnya adalah peran
pemimpin sebagai sarana untuk mencapai tujuan, teori
Substitusi Kepemimpinan, gaya pengambilan keputusan
 Namun tahun 2010an muncul studi baru yang
menyebabkan aliran ini tidak aktif kembali
Contextual  Muncul tahun 1960an berbarengan dengan aliran
(kontekstual) contingency.
 Aliran ini mempelajari kepemimpinan dalam sudut
pandang yang lebih luas dan mendalam (kontekstual),
seperti mempelajari aspek kebudayaan, tingkatan
hirarkis pemimpin, faktor gender, karateristik
organisasi, dan kondisi krisis.
 Hasil pemikiran aliran ini adalah teori
transactional leadership (kepemimpinan dengan
motivasi) dan transformational leadership
(pemimpin sebagai role model, inspiratory, dan
penyemangat
 Berbeda dengan aliran contingency, aliran ini mulai
tahun 1990an terus menunjukkan eksistensi dan aktif
hingga saat ini
Skeptics  Muncul tahun 1970an merupakan aliran yang
(skeptis) mengkritik ilmu kepemimpinan dan studi-studinya
 Aliran ini mengkritik keabsahan kuesioner dalam
penelitian kepemimpinan, yang berdampak pada
validitas teori kepemimpinan, hasil studi kepemimpinan
yang tidak relevan dengan keberhasilan organisasi, dan
sebagainya
 Kritik ini direspon oleh para peneliti kepemimpinan,
dengan salah satunya membuat kuesioner yang berbeda
untuk lokasi yang memiliki karakteristik beragam
 Akhirnya sejak tahun 1990an aliran ini sudah tidak
aktif
Aliran Penjelasan
Relational  Muncul tahun 1970an setelah saat contingency
(hubungan) berkembang
 Fokus studi pada hubungan antara pimpinan dengan
bawahan, sehingga memunculkan teori kepemimpinan
seperti Leader-Member Exchange (LMX) theory, teori
shared leadership, teori servant leadership
 Meskipun mengalami penurunan pada tahun 2000,
namun sejak tahun 2010an aktif kembali hingga kini
dengan berbagai penemuan
New  Muncul tahun 1970an ketika studi tentang
leadership kepemimpinan meredup dan menciptakan cara berfikir
(kebaruan (paradigm) yang baru
kepemimpin  Melahirkan teori kepemimpinan seperti:
an) charismatic leadership, visionary leadership,
transformational leadership
 Mulai 1980an terus aktif sampai sekarang dan
merupakan topik yang paling banyak diteliti saat ini
Information  Muncul tahun 1980an
- processing  Fokus pada pemahaman tentang bagaimana dan
(informasi- mengapa pengaruh dalam kepemimpinan dilegitimasi
proses) oleh proses menyesuaikan antara karakter personal
pemimpin dengan harapan awal ketika memiliki
pemimpin
 Sejak tahun 1990an hingga sekarang terus aktif
Biological/ev  Muncul tahun 2010an sebagai aliran yang
olutionary menggunakan pendekatan ilmu biologi dan evolusi,
(biologis/evol disebut juga pendekatan perkembangan dan
usi) pengalaman individu
 Menurut aliran ini, kepemimpinan lahir karena proses
evolusi dalam bentuk kemampuannya untuk tetap
bertahan yang dipengaruhi karakter fisik pemimpin
(gen, hormon, neuroscience, penampilan fisik, dan
sebagainya).
 Studi aliran ini terus aktif sampai sekarang
Sumber: (Antonakis & Day, 2018) dan (Emmerling et al., 2015)
Seluruh pendekatan kepemimpinan yang telah dijelaskan sebelumnya
merupakan teori tentang bagaimana munculnya kemampuan memimpin
pada individu. Dengan demikian seluruh pendekatan tersebut saling
melengkapi, atau tidak berarti bahwa pendekatan yang satu lebih baik
dibandingkan dengan pendekatan yang lain.
BAB 2 – Konsep Sistem

PENDAHULUAN
Pertengahan September 2017, dunia kesehatan Indonesia dikejutkan
dengan peredaran obat PCC (Paracetamol, Caffeine, Carisoprodol) secara
ilegal serta dikonsumsi secara bebas oleh remaja di salah satu kota besar.
Ternyata peredaran obat PCC sudah menjalar ke berbagai kota lain.
Seorang pengamat melihat bahwa peredaran obat PCC terjadi secara
sistemik, hal ini dilihat dari besarnya jumlah obat PCC yang beredar,
besarnya nilai transaksi yang konon mencapai puluhan milyar per bulan,
serta sasarannya kepada para remaja. Untuk itu diusulkan agar
pemerintah melakukan pendekatan secara sistem, bukan secara parsial.
Salah satu pendekatan sistem adalah memberikan edukasi tentang
penggunaan obat kepada masyarakat.
Kondisi di atas memberi pemahaman kepada kita bahwa permasalahan
yang sudah terjadi secara sistemik, maka penyelesaian terbaik dilakukan
dengan pendekatan sistem. Misalnya Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah solusi
sistematis yang diperkuat dengan Undang-undang No.40 tahun 2004 untuk
mencapai Universal Health Coverage (UHC), karena akses terhadap
pelayanan kesehatan bukan hanya masalah sehat atau sakit tetapi
menyangkut masalah ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Demikian
pula program Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang digerakkan
oleh lintas kementerian merupakan pendekatan sistemik untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat.
Kehidupan manusia (dan kita tentunya) terhubung sepenuhnya dengan
sistem, baik sistem manusia (human system) maupun sistem yang dibuat
oleh manusia (man-made system). Saat Anda keluar rumah menuju kampus
dengan memesan ojek online, maka Anda terhubung dengan sistem aplikasi
ojek online. Saat Anda dibonceng oleh ojek online, Anda tergabung dalam
sistem lalu lintas darat di kota Anda. Saat Anda tiba dan memasuki gedung
kampus, Anda tergabung dalam sistem yang ada di gedung tersebut seperti
kelistrikan, pendingin udara, dan sebagainya. Saat Anda naik ke lantai atas
gedung, Anda menggunakan sistem lift gedung. Saat Anda masuk kelas
untuk belajar, Anda tergabung dengan sistem akademik kampus. Bahkan
Anda akan tergabung dengan sistem manusia yang terdiri dari seorang
teman, atau sekelompok teman, atau satu kelas mahasiswa.
Permasalahan sistem yang ada di sekitar manusia lambat laun menjadi
besar dan berubah dari semula sederhana menjadi kompleks. Agar dapat
memecahkan masalah tersebut dibutuhkan tools atau sarana yang
memungkinkan manusia dapat memahami kompleksitas permasalahan.
Sarana tersebut adalah konsep sistem.

1
0
SEJARAH DAN DEFINISI SISTEM
Istilah “sistem” sebenarnya sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Pada saat
itu istilah ini dipakai dalam bidang musik. Sehingga pengertian “sistem”
pada masa itu adalah sekumpulan interval, skala atau sederetan not yang
dikembangkan dengan interval tertentu. Dalam bahasa Latin, sistem bukan
saja diartikan sebagai kumpulan not namun juga identik dengan “allness”
atau “wholeness” atau “universe”1. Selanjutnya sejak abad 17 istilah sistem
digunakan dalam bahasa Inggris dengan pengertian yang berbeda-beda
mulai dari yang berkaitan dengan alam semesta, proses berkumpul secara
berurutan, hingga proses yang berlangsung secara sistematik (Aslaksen,
2013).
Pengertian sistem semakin berkembang sejalan dengan konsep bahwa
“segala suatu di dunia ini saling berhubungan”. Sehingga lahirlah General
System Theory yang digagas oleh Ludwig von Bertalanfy. Menurut
Bertalanfy sistem adalah “… an entity that maintains its existence through
the mutual interaction of its parts to achieve” (Batle-Fisher, 2015). Secara
bebas dapat diartikan sistem adalah suatu entitas yang berusaha menjaga
keberadaannya dengan melakukan hubungan yang menguntungkan
dengan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan. Sistem pelayanan
kesehatan di klinik berusaha mencapai tujuan yaitu mencapai efisiensi
yang optimal dengan melakukan koordinasi antar bagian dari pelayanan di
klinik seperti poli dokter umum, radiologi, laboratorium klinik, keuangan,
administrasi, dan pemasaran. Dalam hal ini, klinik merupakan entitas.
Definisi sistem lainnya dijelaskan oleh World Health Organization (WHO).
WHO mendefinisikan sistem dengan penekanan pada pendekatan dalam
memecahkan masalah. Dalam laporannya WHO mendefinisikan sistem
sebagai berikut “… an approach to problem solving that views "problems" as
part of a wider, dynamic system” (World Health Organization, 2009).
Terjemahan secara bebas definisi tersebut adalah sistem merupakan suatu
pendekatan untuk memecahkan masalah, dengan menempatkan atau
memposisikan “masalah” sebagai bagian dari permasalahan yang lebih luas
yang besifat dinamis. Misalnya masalah kepatuhan ibu hamil dalam
menjalankan pemeriksaan kehamilan (Ante Natal Care/ANC) merupakan
bagian dari permasalahan sosial dan budaya yang ada di keluarga dan
wilayahnya. Artinya masalah kepatuhan itu bukan hanya dilekatkan pada
si ibu hamil sendiri. Contoh lainnya adalah penyebaran penyakit
leptospirosa merupakan masalah yang diturunkan dari masalah lingkungan
dan ekologis yang lebih luas seperti kebiasaan buang sampah, banjir,
lingkungan kumuh dan sebagainya.

1
Allness = segenap, keseluruhan. Wholeness = keutuhan, sesuatu yang utuh. Universe = alam
semesta, jagad raya
ASAL MULA SISTEM
Sistem berhubungan erat dengan kegiatan manusia sehari-hari.
Kemunculan sistem disebabkan oleh aktivitas manusia yang tiap hari
semakin bertambah dan semakin kompleks.
Bayangkan lingkungan Rumah Tangga (RT) tempat Anda dilahirkan. Coba
Anda bandingkan keadaannya dengan keadaan saat ini. Jumlah penduduk
semakin bertambah karena kelahiran dan adanya pendatang. Jumlah
rumah makin bertambah, sehingga makin sempitnya ruang publik.
Lapangan sepakbola yang luas berubah menjadi lapangan futsal yang lebih
sempit. Kondisi ini menimbulkan berbagai masalah seperti kejahatan.
Akhirnya diterapkan Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) di
kampung-kampung untuk mencegah kejahatan.
Pertambahan penduduk berpengaruh kepada sistem transportasi. Warga
membutuhkan transportasi yang cepat, murah, dan dengan pelayanan yang
baik. Maka muncullah sistem aplikasi ojek online yang dilengkapi dengan
pemesanan makanan, pengiriman barang, bahkan jasa pijat secara online.
Termasuk juga upaya mengintegrasikan sistem transportasi antar kota,
seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota DKI Jakarta dengan wilayah
Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang menggunakan TransJ.
Saat Anda pertama kali masuk kuliah permasalahan pembelajaran masih
sederhana. Namun saat menginjak semester lima, enam dan seterusnya
akan timbul kebingungan/kekacauan akibat banyaknya kegiatan, tugas,
masalah akademis dan sebagainya. Ketika itu pula Anda secara otomatis
membentuk sebuah “sistem” untuk mengatasi permasalahan kuliah.
Begitu pula ketika sebuah posyandu pertama kali berdiri dengan jumlah
kader dan pengunjung yang belum banyak, permasalahan belum terasa
kompleks. Namun pelayanan posyandu berangsur kompleks seiring dengan
penambahan jumlah pengunjung, jenis pengunjung (bukan hanya ibu
hamil dan bayi namun lansia, remaja dsb), jenis pelayanan, jumlah kader.
Kompleksitas ini menyebabkan posyandu membentuk sistem yang akan
mengendalikan pelayanan kesehatan.
Pelayanan di Puskesmas sejak adanya Jaminan Kesehatan Nasional
semakin ramai. Warga yang tadinya jarang ke pelayanan kesehatan,
semakin dimudahkan untuk berobat dengan adanya BPJS Kesehatan.
Kondisi ini menimbulkan antrian pasien yang panjang, dan akhirnya dibuat
sistem aplikasi pendafatran pasien BPJS Kesehatan (disebut P-Care) untuk
mengatasi masalah ini.
Kemunculan sistem dalam kehidupan manusia tidak terjadi begitu saja.
Sistem lahir atau timbul karena adanya kompleksitas permasalahan.
Sistem timbul karena adanya mess (kekacauan atau situasi yang
membingungkan). Situasi mess ini lama kelamaan semakin membesar dan
saling berkaitan satu sama lain (Hester & Kevin, 2014). Secara grafis
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1. Kompleksitas Masalah diatasi dengan Berfikir Sistem.
Sumber: (Hester & Kevin, 2014)

JENIS SISTEM
Hampir setiap waktu kita mendengarkan dan bahkan mengucapkan kata
“sistem”. Bahkan sering seseorang menyalahkan “sistem” jika mengalami
satu kejadian atau mendapatkan satu kegagalan. Kata “sistem” hampir
dipakai di seluruh aktivitas manusia dan pada berbagai level kehidupan.
Misalnya sistem pendidikan, sistem transportasi, sistem tata surya, sistem
ekologi, sistem angkasa, dan sebagainya (Aslaksen, 2013).
Dilihat dari subyeknya, terdapat dua jenis sistem yaitu: (1) Sistem manusia
(human system); dan (2) Sistem buatan manusia (man-made system). Sistem
manusia terdiri dari subsistem-subsistem yang membetuk manusia dan
menyebabkan manusia dapat berinteraksi dengan sistem manusia lainnya.
Subsistem tersebut antara lain sistem pernafasan, sistem pencernaan,
sistem syaraf, sistem peredaran darah, sistem reproduksi, sistem hormonal,
dan sebagainya. Manusia dalam kehidupannya dapat menciptakan sistem
yang dibentuk untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan.
Sistem informasi dibuat manusia untuk mengolah berbagai data sehingga
menghasilkan informasi untuk pengambilan keputusan. Sistem kesehatan
diciptakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan pada masyarakat
seperti akses pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan
sebagainya.
Dilihat dari interaksinya dengan lingkungan, sistem juga terbagi atas (1)
Sistem yang terbuka (open system); dan (2) Sistem yang tertutup (closed
system). Sistem tertutup ditandai dengan tidak adanya interaksi elemen-
elemen sistem dengan lingkungan luar. Hampir seluruh sistem buatan
manusia dapat bersifat tertutup, tergantung pada desain yang ditentukan
oleh pembuatnya. Sistem akuntansi pada sebuah perusahaan karena
mengandung data keuangan yang sangat rahasia, dapat dibuat tertutup
dari lingkungan luar. Sementara sistem manusia yaitu manusia itu sendiri
merupakan sistem yang terbuka dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Ungkapan manusia adalah makhluk sosial menguatkan pernyataan bahwa
manusia adalah sistem yang terbuka. Secara grafis sistem tertutup dan
terbuka disajikan pada gambar 3.2.

Lingkungan Input Input Lingkungan

Proses Proses

Output Output

Gambar 3.2. Sistem Tertutup (kiri) dan Sistem Terbuka (kanan)

Dari gambar terlihat bahwa sistem tertutup “menolak” informasi atau


umpan balik dari lingkungan, sedangkan sistem terbuka selalu menerima
informasi dan umpan balik dari lingkungan. Sifat ketertutupan dan
keterbukaan sistem mempengaruhi karakteristik sistem yang akan dibahas
secara lengkap pada sub topik berikutnya.
Disamping sistem terbuka dan tertutup, ada juga sistem yang terisolasi
(isolated system). Pada sistem ini pertukaran atau interaksi antar elemen
(input-proses-output) tidak terjadi atau mengalami kemacetan (Mele & Pels,
2010). Contohnya pada unit pelayanan kesehatan di puskesmas yang tidak
mampu mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM) disebabkan oleh
interaksi yang buruk antar bagian dari sistem pelayanannya.
BAB 3 – Karakteristik Sistem

PENDAHULUAN
Sistem memiliki karakter atau ciri-ciri yang sudah diterima secara umum
oleh khalayak. World Health Organization (2009) memaparkan karakteristik
dari sistem antara lain:
1. Self-organizing artinya sistem mampu mengorganisasi dirinya sendiri
2. Constantly changing artinya sistem mengalami perubahan secara
konstan
3. Tighly linked artinya elemen-elemen dalam sistem terhubung satu
sama lain secar ketat
4. Governed by feedback artinya sistem membutuhkan umpan balik
untuk bertindak
5. Non-linier artinya sistem berjalan atau bergerak dengan pola tidak
linier atau looping
6. History dependent artinya performa atau kinerja sistem tergantung
kepada kondisi yang dialami sebelumyna
7. Counter-intuitive artinya sistem tidak memilih atau mengambil
keputusan secara intuisi
8. Resistant to change artinya sistem dapat beradaptasi atau tahan
terhadap segala macam perubahan.
Penjelasan karakter sistem secara lengkap dilakukan oleh Hester & Kevin
(2014) dalam bentuk aksioma sistem (system axiom). Aksioma merupakan
pernyataan-pernyataan yang telah diterima kebenarannya dan tidak
dibutuhkan pembuktian. Adapun karakter atau aksioma sistem tersebut
tersebut dijelaskan berikut ini.

A. Centrality axiom
Aksioma ini menganggap sistem terdiri dari dua hal yang terpisah yaitu
1) emergence & hierarchy; dan 2) communication & control.
1. Prinsip emergence & hierarchy
Prinsip emergence menyatakan bahwa seluruh bagian dari sistem
pada dasarnya merupakan penjumlahan dari subsistem-subsistem
yang ada di bawahnya sehingga akan mengalami perkembangan.
Suatu subsistem memiliki arti bagi sistem jika ikut berkontribusi
dan bukan hanya bagian dari sistem saja. Penerapan prinsip ini
telah digunakan dalam penjelasan fenomena alam (pola cuaca, bola
salju, bukit pasir), hingga masalah-masalah sistem sosial (bahasa,
sistem lalu lintas, aplikasi/software, dan sebagainya).
Sistem

Subsistem Subsistem Subsistem


1 2 3
Sistem = subsistem 1 + subsistem 2 + subsistem 3
Subsistem 3 tidak berarti bagi sistem karena tidak memiliki kontribusi

Gambar 4.1. Prinsip Emergence

Sedangkan prinsip hierarchy menyatakan bahwa keseluruhan sistem


dibentuk dari subsistem di bawahnya. Subsistem terbentuk dari sub
subsistem, dan seterusnya. Lihat gambar 4.2 berikut.
Desain sistem

Analisis sistem
Level 1 Sistem

Subsistem Subsistem
Level 2 1 2

Sub Sub Sub


Level 3 subsistem 1.1 subsistem 1.2 subsistem 2.1

Gambar 4.2. Prinsip Hierarchy


Berdasarkan prinsip hierarchy maka terdapat dua implikasi dalam
mempelajari sistem:
a. Dalam merancang suatu sistem, sebaiknya perancangan dimulai
dari sistem yang tertinggi hirarkinya; dan
b. Dalam menganalisis sistem, sebaiknya sistem dipecah-pecah
menjadi subsistem yang kecil, kemudian subsistem tersebut
dipahami, dan akhirnya membentuk sistem kembali.
2. Prinsip communication & control
Prinsip communication & control menyatakan bahwa Komunikasi dan
Kontrol mempengaruhi kinerja operasional suatu sistem.
Komunikasi berfungsi sarana penyampaian dan pelaporan kinerja
sistem, sedangkan Kontrol berfungsi untuk menjaga sistem agar
tetap beradaptasi dengan lingkungan dan tetap dapat beroperasi.
Sistem pemantauan pelanggaran lalu lintas dengan CCTV
merupakan salah satu contoh sistem dengan Komunikasi dan
Kontrol. Fungsi kontrol dijalankan oleh CCTV yang memantau
perilaku pengendara agar sistem lalu lintas tetap teratur dan tertib.
Sedangkan fungsi Komunikasi dijalankan oleh Speaker yang
menyampaikan informasi agar pengendara mematuhi aturan lalu
lintas.
B. Contextual axiom
Aksioma centrality pada prinsipnya menjelaskan bahwa sistem
mendapat informasi dari lingkungan dan faktor-faktor di sekelilingnya.
Aksioma sentralitas terdiri dari 3 prinsip yaitu Holism, Darkness, dan
Complementary.
1. Prinsip Holism
Prinsip holism menyatakan bahwa untuk memahami suatu sistem
maka jangan hanya melihat pada fungsi dari bagian-bagian sistem
saja melainkan pada keseluruhan sistem tersebut. Misalnya Anda
ditugaskan oleh dosen mempelajari sistem pencernaan, maka
sebaiknya jangan hanya mempelajari fungsi mulut, tenggorok,
lambung, dan usus saja. Namun Anda sebaiknya mempelajari
hubungan antar organ-organ tersebut sehingga terbentuk sistem
pencernaan.
2. Prinsip Darkness
Prinsip darkness menyatakan bahwa tidak ada sistem yang dapat
diketahui secara keseluruhan (100%) oleh manusia karena adanya
keterbatasan daya observasi. Misalnya ketika seseorang ditugaskan
untuk menginvestigasi sistem pelayanan rawat jalan di Rumah
Sakit, maka tidak mungkin orang tersebut mampu mengobservasi
seluruh sistem. Prinsip ini secara tidak langsung menyatakan
bahwa manusia harus bekerjasama dalam mempelajari suatu
sistem.
3. Prinsip Complementary
Prinsip complementary menyatakan bahwa setiap orang harus
memahami berbagai sudut pandang orang lain dalam mempelajari
suatu sistem. Misalnya ketika seorang dokter akan memahami
sistem keselamatan dan kesehatan kerja di suatu perusahaan maka
ia tidak bisa menggunakan sudut pandang medis saja melainkan
harus memahami sudut pandang dalam lain dalam penerapan K3.
C. Goal axiom
Aksioma Goal menyatakan bahwa setiap sistem memiliki perilaku dan
menggunakan cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan spesifik.
Sistem pelayanan rawat inap di RS A berbeda dengan sistem pelayanan
rawat inap di RS B dalam mencapai tujuannya melayani pasien dengan
baik dan berkualitas.
Aksioma tujuan (goal axiom) terdiri dari enam prinsip yaitu 1)
Equifinality; 2) Multifinality; 3) Purposive behavior; 4) Satificing; 5) Finite
causality; dan 6) Viability.
1. Prinsip Equifinality
Prinsip equifinality umumnya terjadi pada sistem manusia atau
sistem yang terbuka. Prinsip ini menyatakan bahwa sistem akan
mencapai tujuan yang sama meskipun berasal dari asal (origin) yang
berbeda (lihat gambar 4.3). Misalnya dua orang perawat yang
bekerja pada satu klinik akan memiliki tujuan yang sama yaitu
mendapat penghasilan meskipun mereka berasal dari perguruan
tinggi yang berbeda.

Gambar 4.3. Prinsip Equifinality pada Sistem.


Sumber: (Hester & Kevin, 2014) hal. 60-61

2. Prinsip Multifinality
Prinsip multifinality umumnya terjadi pada sistem buatan manusia
atau sistem yang tertutup. Prinsip ini menyatakan bahwa sistem
tertutup (sistem buatan manusia) akan mencapai tujuan yang
berbeda meskipun berasal dari titik/tempat yang sama (lihat gambar
3.6). Misalnya pada sistem transportasi Bis Antar Kota dengan
beberapa jalur pelayanan yang memiliki tujuan berbeda-beda
meskipun berasal dari satu terminal. Lalu pada sistem distribusi
makanan di rumah sakit dari satu lokasi yaitu instalasi gizi yang
disalurkan ke berbagai ruang rawat inap.
Gambar 4.4. Prinsip Equifinality dan prinsip Multifinality
(Sumber: Hester & Adams, 2014:60-61)

3. Prinsip Purposive Behavior


Prinsip purposive behavior menyatakan bahwa untuk mencapai
tujuannya, setiap prinsip memiliki perilaku atau aksi yang berbeda-
beda. Khusus untuk sistem tertutup atau sistem yang dibuat oleh
manusia, perilaku untuk mencapai tujuan (purposive behavior)
diturunkan dari visi, misi, tujuan dan sasaran.
Misalnya untuk mencapai tujuan Puskesmas dalam menjalankan
Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Usaha Kesehatan Pribadi
(UKP) dijalankan dengan berbagai upaya (perilaku). Upaya ini
mengacu pada visi, misi, tujuan, dan sasaran yang telah ditetapkan
untuk Puskesmas tersebut.
4. Prinsip Satisficing
Prinsip satisficing menyatakan bahwa setiap sistem memiliki
ukuran/dimensi untuk mencapai tujuannya. Pada sistem terbuka
(pada manusia) ukuran pencapaian tujuan adalah yang paling
memuaskan, sedangkan pada sistem tertutup (buatan manusia)
ukuran tujuan yang akan dicapai adalah yang paling optimal.
Setiap manusia sesuai dengan kodratnya ingin mencapai tujuan
hidup, yang biasanya untuk mencapai kepuasan yang diinginkan.
Ketika seorang mahasiswa Kesmas belajar di perguruan tinggi
tujuannya adalah menjadi sarjana kesehatan masyarakat. Setelah
menjadi sarjana, ia ingin bekerja untuk mendapatkan penghasilan.
Setelah bekerja, ingin mencapai posisi puncak di perusahaan, dan
seterusnya hingga dirinya merasakan kepuasan.
Sementara pada sistem tertutup, karena sistem ini dibuat oleh
manusia, umumnya tujuan yang dicapai merupakan subyektifitas
dari si pembuatnya, yaitu mencapai kondisi seoptimal mungkin.
Konsep optimal sebenarnya merujuk pada pencapaian hasil yang
telah ditetapkan standar pencapaiannya dengan sumberdaya yang
terbatas. Misalnya sistem perparkiran di Mall ketika telah
kendaraan yang parkir di gedung telah memenuhi kuota yang
ditentukan, maka sistem akan menolak bila ada kendaraan yang
akan parkir.
5. Prinsip Finite Causality
Prinsip finite causality menyatakan bahwa hasil yang didapat sebuah
sistem akan terbatas (finite) karena untuk mencapai tujuan setiap
sistem memiliki keterbatasan. Prinsip ini merupakan pembatas dari
prinsip satisficing di atas yang menyatakan manusia mencapai
tujuan yang memuaskan, sementara secara alamiah setiap manusia
memiliki keterbatasan.
Implikasi dari prinsip ini adalah setiap sistem memiliki standar
pencapaian yang berbeda-beda disesuaikan dengan
kemampuan/spesifikasinya. Sistem pengolahan limbah di RS tipe A
memiliki tujuan yang berbeda dengan RS tipe B. Sistem proteksi
kecelakaan pada perusahaan minyak dan gas yang memiliki risiko
tinggi, akan berbeda dengan sistem proteksi kecelakaan pada
perusahaan yang melayani jasa perkantoran.
6. Prinsip Viability
Prinsip viability menyatakan bahwa terdapat dua dimensi yang
saling bertentangan pada suatu sistem yaitu perubahan (change)
dan pengawasan (control). Setiap sistem secara dinamis akan
mengalami perubahan dan tidak bisa lepas dari perubahan akibat
lingkungan sekitarnya. Namun perubahan ini harus dikendalikan
(kontrol) agar tidak memberikan akibat negatif bagi sistem. Misalnya
sistem sanitasi air bersih di suatu perusahaan misalnya, akan
menyesuaikan dengan perubahan jika musim kemarau datang.
Untuk mengatasi ini perusahaan kemungkinan akan memperdalam
sumur pompa artesis atau membeli air bersih dari perusahaan jasa
air. Penerapan salah satu alternatif ini harus dilakukan pengawasan
agar tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Misalnya
dengan melakukan Amdal, atau melakukan pengendalian mutu
terhadap air bersih yang telah dibeli.
Perubahan (change) yang dialami sistem mengikuti ketentuan
berikut yang saling bertentangan yaitu:
 Setiap sistem harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan
tujuannya masing-masing (disebut prinsip Otonomi), namun
 Setiap sistem harus bergabung dengan sistem lain untuk
mencapai tujuannya karena tidak dapat berjalan secara
sendirian (disebut prinsip Integrasi).
Misalnya setiap poli rawat jalan di rumah sakit harus mampu
melayani pasiennya dengan baik, namun masing-masing poli tidak
bisa bekerja sendiri. Poli tersebut harus bekerjasama dengan poli
rawat jalan lain, atau dengan poli rawat inap, bahkan dengan unit
penunjang medis lainnya seperti laboratorium, apotik, radiologi, dan
sebagainya.
Pengawasan (control) yang dialami sistem mengikuti ketentuan
berikut yang saling bertentangan yaitu:
 Setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
(disebut prinsip Adaptasi), namun
 Setiap sistem ketika menjalankan penyesusian akan mengalami
ketidakstabilan (disebut prinsip Stabilitas)
Misalnya ketika manajemen pelayanan RS memutuskan mengganti
aplikasi pendaftaran pasien dengan sistem baru, maka sistem
pelayanan akan mengalami “ketidakstabilan” atau gangguan atau
error yang harus diatasi oleh bagian pelayanan.

D. Operational Axiom
Aksioma operasional menjelaskan tentang pencapaian kinerja
operasional suatu sistem. Menurut aksioma ini ketika menilai/melihat
kinerja operasional suatu sistem, maka harus dilihat secara natural (in
situ). Aksioma ini terdiri dari tujuh prinsip yaitu 1) Dynamic equilibrium;
2) Relaxation time; 3) Basins of stability; 4) Self-organization; 5)
Homeostatis dan Homeorhesis; 6) Suboptimization; dan 7) Redundancy.
1. Prinsip Dynamic Equilibrium
Prinsip dynamic equilibrium menyatakan bahwa jika sistem
berinteraksi dengan lingkungan dari luar maka akan terjadi reaksi
dari sistem tersebut kemudian secara berangsur akan mengalami
keseimbangan (kembali ke titik awal). Lihat gambar 3.7 dibawah.
Misalnya sebuah sistem pelayanan radiologi di RS yang mengalami
gangguan pada alat pembaca hasil exposure secara digital akan
mengalami ketidakstabilan (dalam bentuk pelayanan menjadi lama).
Lamanya pelayanan akan terjadi selama alat tersebut diperbaiki
atau menggunakan backup alat lain. Setelah alat diperbaiki, maka
sistem pelayanan kembali ke titik semula (waktu pelayanan menjadi
normal).
Sistem 1 (Awal) Sistem 2 (tidak
stabil)

Sistem kembali ke keseimbangan semula

Gambar 4.5. Sistem akan Kembali ke Titik Awal ketika Bereaksi

2. Prinsip Relaxation Time


Prinsip relaxation time menyatakan bahwa sistem akan memiliki
waktu memperbaiki diri, jika waktu yang dibutuhkan untuk kembali
menjadi stabil lebih pendek dibandingkan rata-rata waktu
datangnya gangguan terhadap sistem (lihat gambar 3.8).

T2

Sistem 1 (Awal) Sistem 2 (tidak


stabil)

T1

Sistem kembali
Sistem ke keseimbangan
kembali semula
ke keseimbangan semula

Gambar 4.6. Sistem akan Kembali ke Titik Awal ketika Bereaksi


Pada gambar 4.6 terlihat ada dua jenis waktu, yaitu T 1 (waktu yang
dibutuhkan oleh sistem untuk kembali ke titik
semula/stabil/seimbang), dan T2 (rata-rata waktu timbulnya
gangguan ke dalam sistem). Jika T1 > T2, maka sistem memiliki
relaxation time. Namun jika T1 < T2, maka sistem tidak memiliki
relaxation time atau tidak memiliki waktu untuk recovery terhadap
gangguan.
Pada contoh sistem pelayanan radiologi di atas, misalnya waktu
yang dibutuhkan untuk memperbaiki alat adalah 1 jam (T 1). Bila 30
menit kemudian datang kembali gangguan pada sistem atau T 2
(misalnya Sistem Informasi RS di bagian radiologi error) maka sistem
pelayanan tidak memiliki waktu relaxation time karena T 1 < T2.
Namun jika gangguan berikutnya datang 5 jam kemudian (T 2) maka
sistem pelayanan memiliki relaxation time yang cukup karena T1 >
T2.
Prinsip relaxation time digunakan pula dalam menganalisis sistem
antrian di pelayanan. Misalnya pada pendafataran pasien BPJS
Kesehatan di RSUD, jika rata-rata waktu melayani pendaftaran
pasien BPJS adalah 15 menit (T1) dan rata-rata jeda waktu
kedatangan antar pasien BPJS Kesehatan ke bagian pendaftaran
adalah 10 menit (T2) maka sistem akan mengalami ketidakstabilan
(berbentuk antrian pasien yang panjang) karena T 1 < T2. Namun jika
rata-rata waktu kedatangan pasien adalah 30 menit, maka sistem
pendaftaran tidak akan mengalami antrian karena T1 < T2.
3. Prinsip Basins of Stability
Prinsip basin of stability menyatakan bahwa setiap sistem memiliki
sarana/wadah untuk menampung kondisi stabilitas, yakni sistem
akan melakukan evaluasi untuk mengantisipasi timbulnya
gangguan. Salah satu cara untuk menghindari ketidakstabilan
misalnya dengan menjaga agar proses terjadi secara berurutan.
Misalnya pada antrian pasien pendaftaran terjadi komplain terhadap
lamanya waktu tunggu pelayanan. Saat sistem pendaftaran sedang
stabil (tidak ada pasien yang mengantri) manajer pelayanan akan
mengevaluasi permasalahan waktu tunggu yang lama. Ternyata
diperoleh akar masalahnya adalah antrian yang tidak sesuai nomor
urut sehingga pasien yang seharusnya dilayani sesuai nomor
uurutnya diambil alih antrian pelayanannya oleh pasien lain.
Berdasarkan hal tersebut manajer pelayanan memutuskan untuk
menjaga agar antrian pelayanan sesuai dengan urutan yang datang
pertama atau First Serve First Order (FSFO).
4. Prinsip Self-organization
Prinsip self-organization menyatakan bahwa setiap sistem mampu
mengorganisasikan dirinya (yaitu menentukan struktur dan
performanya sendiri). Atas dasar hal tersebut, seringkali terjadi
praktisi sistem (orang yang mendesain sistem atau orang yang
bekerja dengan sistem) mengalami kesulitan untuk memodifikasi
sistem karena ada “kekuatan” self-organization.
Misalnya pemerintah dan BPJS Kesehatan ingin agar sistem
pembayaran iuran Jaminan Kesehatan Nasional oleh peserta
mandiri berjalan dengan lancar, sehingga berbagai intervensi dan
metode digunakan agar mereka mau membayar tepat waktu. Namun
upaya ini ternyata sulit, karena sistem sosial yang ada pada
masyarakat telah terbentuk dengan kuat, misalnya kebiasaan
masyarakat yang tidak peduli dengan risiko sakit yang dihadapinya
atau keyakinan bahwa sakit ada di tangan Yang Maha Kuasa
sehingga pasrah saja dan tidak perlu membayar iuran BPJS
Kesehatan.
5. Prinsip Homeostatis dan Homeorhesis
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa setiap sistem akan menjaga
stabilitasnya jika mengalami gangguan. Prinsip ini menyatakan
bahwa sistem akan membentuk sistem pertahanan di dalam yang
tidak terlihat secara kasat mata oleh manusia. Sistem pertahanan
tersebut ada dua bentuk yaitu hoemostatis (yang sifatnya tidak
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar) dan homeorhesis (yang sifatnya
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar).
Prinsip homeostatis terjadi di dalam sistem dan tidak berhubungan
dengan lingkungan sehingga prinsip ini menjelaskan kepada kita
kenapa suatu sistem terlihat stabil atau tidak mengalami
perubahan, padahal di dalamnya sedang terjadi perubahan.
Misalnya sebuah sistem kelistrikan gedung yang berpotensi
menimbulkan kebakaran. Sepintas terlihat sistem ini aman, namun
pekerja yang bertanggung jawab terhadap keselamatan gedung
sering tidak menyadari bahwa arus listrik yang mengalir pada
instalasi bisa melebihi kemampuannya. Sistem kelistrikan akan
menyesuaikan kondisi ini dengan memutus aliran listrik secara
otomatis melalui sekring listrik. Namun jika sistem pengaman tidak
mampu, maka potensi kebakaran bisa terjadi. Aplikasi prinsip
homeostatis juga bisa diterapkan pada manusia yang terlihat sehat-
sehat saja, padahal sistem dalam tubunya sedang menyesuaikan diri
dengan gaya hidupnya yang tidak sehat, seperti sistem tubuh
manusia sedang “mati-matian” menahan serangan asap rokok yang
mengandung zat nikotin dan racun lainnya.
Prinsip homeorhesis berbeda dengan homeostatis karena pengaruh
faktor-faktor di luar lingkungan sehingga perubahan yang terjadi
pada sistem bersifat dinamis. Misalnya pada sistem pelayanan
promosi kesehatan PHBS kepada masyarakat akan berjalan dinamis
mengikuti kultur dan karakteristik masyarakat yang akan dilayani.
Prinsip homeorhesis pada manusia akan tampak nyata pada sistem
perilaku seseorang sesuai dengan teori Stimulus Respon (S-R).
Perilaku seseorang merupakan stimulus terhadap respon yang
timbul di sekitarnya, sehingga misalnya Anda akan ikut melakukan
pemeriksaan dini kanker serviks jika teman atau orangtua Anda
juga memeriksakan dirinya.
6. Prinsip Suboptimization
Prinsip suboptimization menerangkan bahwa sistem tidak akan
mencapai hasil yang optimal meskipun susbsistem yang ada di
bawahnya telah mencapai titik optimal. Misalnya pada sistem
pelayanan rawat inap di rumah sakit masih sering terjadi keluhan
pasien, meskipun kepala pelayanan sudah meyakini bahwa SDM
telah terlatih, sarana sudah memadai, anggaran cukup, standar
prosedur telah lengkap, dan proses berjalan lancar.
7. Prinsip Redundancy
Setiap sistem membutuhkan sumberdaya untuk mencapai
tujuannya. Prinsip ini menerangkan bahwa sistem yang memiliki
duplikasi (redundancy) sumberdaya atau “energi cadangan” agar
bisa berjalan dengan baik. Misalnya sebuah program kesehatan
yang baik harus dibuat dengan beberapa opsi misalnya Plan A, Plan
B, bahkan Plan C. Diharapkan dengan adanya redundancy, program
tetap berjalan ketika rencana yang sudah disiapkan gagal.

E. Viability axiom
Untuk menjamin agar suatu sistem berjalan dengan baik (sesuai
dengan aksioma operasional di atas), maka paramater-parameter kunci
pada sistem tesebut harus dikendalikan. Aksioma ini terdiri dari lima
prinsip yaitu: 1) Requisite variety; 2) Requisite hierarchy; 3) Feedback; 4)
Circular causality; dan 5) Recursion.
1. Prinsip requisite variety
Setiap sistem memiliki elemen-elemen yang disebut dengan Input-
Proses-Output. Output dari sistem dapat bervariasi tergantung
bagaimana interaksi antara Input dan Proses.
Pada sistem terbuka (manusia), variasi dari ouput sistem tidak
terbatas. Perilaku manusia tidak dapat ditentukan hanya 1, 2, atau
3 saja tetapi tidak terbatas sehingga lebih sulit bagi praktisi sistem
untuk memahami perilaku orang dibanding mesin/alat. Keinginan
manusia juga tidak bisa dibatasi dengan variasi yang terbatas.
Variabilitas yang terhingga ini bisa menimbulkan dampak negatif
jika tidak menyesuaikan dengan kemampuan sistem. Ada dua cara
untuk menghindari efek negatif ini yaitu dengan:
a. Menentukan batas-batas sistem. Untuk mengatasi keinginan
manusia yang tidak terbatas, maka diterapkan alokasi/budget
dana seperti plafon kartu kredit.
b. Membuat kebijakan atau peraturan. Untuk mengatasi dampak
negatif akibat perilaku manusia yang tidak terbatas jumlahnya
maka dibuat aturan atau kebijakan, misalnya untuk membatasi
perilaku tidak aman (unsafe act) saat bekerja di ketinggian maka
dibuat tata tertib atau standar prosedurnya.
Pada sistem tertutup atau sistem yang dibuat oleh manusia, output
sistem dapat ditentukan atau dibatasi sesuai dengan keinginan.
Misalnya untuk menghindari ketidaknyamanan pada ruang
pendaftaran, maka sistem pelayanan pendaftaran bisa dirancang
dengan membatasi pasien hingga 100 orang per hari.
2. Prinsip requisite hierarchy
Kadang suatu sistem berjalan tanpa ada kebijakan yang mengatur
atau membatasi outptu sistem. Untuk mengatasi hal ini, prinsip
requisite hierarchy menyatakan bahwa pengaturan output sistem
akan dijalankan secara alamiah berdasarkan prinsip hirarki pada
sistem. Perilaku subsistem yang berada level rendah akan mengikuti
perilaku yang diterapkan oleh sistem di atasnya.
Implikasi dari prinsip ini adalah keteladanan pemimpin akan
menentukan perilaku orang-orang di bawahnya. Misalnya perilaku
unsafe act akan dijalankan oleh pekerja jika manajemen perusahaan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap K3.
3. Prinsip feedback
Untuk mencapai kinerja sistem yang optimal maka dibutuhkan
umpan balik (feedback) bagi sistem tersebut. Feedback (baik pada
sistem terbuka dan tertutup) digunakan sebagai kontrol terhadap
perilaku sistem sehingga dapat menangkal gangguan yang tidak
diharapkan. Prinsip feedback digunakan sebagai dasar dalam
sibernetika. Monitoring dan Evaluasi (Monev) pada suatu program
kesehatan merupakan contoh prinsip feedback.

Gambar 4.7. Sistem membutuhkan Umpan Balik (Feedback)


4. Prinsip circular causality
Prinsip circular causality menjelaskan bahwa setiap sistem akan
memberikan dampak kepada sistem lainnya. Sistem A akan
berdampak pada sistem B. Sistem B akan berdampak pada sistem
C. Sistem C akan berdampak pada sistem A dan seterusnya.
Permasalahan yang terjadi pada Jaminan Kesehatan merupakan
contoh circular causality. Rendahnya kualitas pelayanan
menyebabkan peserta JKN mandiri (yang membayar iuran secara
mandiri atau tidak ditanggung pemerintah) merasa dirugikan
sehingga tidak ada kemauan untuk membayar.
5. Prinsip recursion
Prinsip recursion menerangkan bahwa karakteristik sistem atau
regulasi sistem pada level teratas dipengaruhi oleh karakteristik dan
regulasi sistem level di bawahnya. Prinsip ini merupakan
pendekatan bottom-up pada sistem. Karakteristik pelayanan sebuah
Rumah Sakit ditentukan oleh karakteristik pelayanan dari unit-unit
pelayanan yang ada.

F. Design axiom
Aksioma rancangan (design) berlaku hanya pada sistem tertutup yang
menyatakan bahwa sistem tertutup dapat direncanakan, diarahkan,
dan dikembangkan dengan cara memodifikasi sumberdaya yang dimiliki
atau dengan memodifikasi hubungan antar elemen dalam sistem.
Aksioma rancangan terdiri dari empat prinsip: 1) Requisite parsimony;
2) Requiste saliency; 3) Minimum critical specification; dan 4) Pareto.
1. Prinsip requisite parsimony
Prinsip requisite parcimony menyatakan bahwa setiap sistem
memiliki keterbatasan dalam mengendalikan berbagai parameter
dalam sistem seperti: tujuan, sasaran, konsep, hirarki, konfigurasi,
tingkat desain dan sebagainya. Jumlah ideal parameter tersebut
antara angka 5 sampai dengan 9. Hal ini berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Miller yang menyatakan bahwa rata-rata jumlah
obyek yang bisa diperhatikan dan diingat secara cepat oleh manusia
secara optimal adalah 7 (law of requisite parsimony).
2. Prinsip requisite saliency
Prinsip requisite saliency menjelaskan bahwa sistem memiliki
“atribut-atribut” yang merupakan ciri khas dari sistem tersebut.
Atribut tersebut memiliki ranking atau tingkatan yang berbeda pada
setiap sistem.
Misalnya sistem pengolahan limbah di RS memiliki atribut antara
lain efisien, bersih, efektif, dinamis, dan simpel. Di antara lima
atribut tersebut ternyata atribut “simpel” yang berada di urutan
pertama. Hal seperti ini berlaku juga pada sistem lainnya.
3. Prinsip minimum critical specification
Seperti diketahui bahwa setiap sistem memiliki tujuan dan sasaran
spesifik yang harus dijalankan. Menurut prinsip minimum critical
specification, tujuan dan sasaran sistem tersebut harus ditetapkan
seminimal mungkin sesuai dengan kebutuhan sistem. Misalnya saat
seseorang ingin melakukan medical check up maka ia akan memilih
pemeriksaan yang sesuai dengan kemampuan finansialnya.
4. Prinsip pareto

Prinsip pareto menyatakan sistem memiliki hukum/aturan natural


yang menggambarkan bahwa pada hampir seluruh sistem
menghasilkan 80% output yang dihasilkan oleh 20% input, dan
menghasilkan 20% output yang dihasilkan oleh 80% input.
Misalnya pada sistem inventory obat di apotik. Sebanyak 80% nilai
inventory berasal dari jenis obat mahal yang jumlahnya hanya
sekitar 20% dari seluruh item obat. Demikian pula sebaliknya.

Gambar 4.8. Prinsip/Hukum Pareto


G. The information axiom
Menurut aksioma ini, suatu sistem akan menciptakan, memproses,
mentransfer, dan memodifikasi informasi yang masuk. Prinsip ini
berupaya menjelaskan bagaimana informasi mempengaruhi sistem.
Aksioma informasi terdiri dari tiga prinsip yaitu: 1) Information
redundancy; 2) Redundancy of potential command; dan 3) Finagle’s Laws
of Information.
1. Prinsip information redundancy
Informasi yang masuk pada suatu sistem akan mengalami
pengulangan atau duplikasi. Duplikasi informasi bisa memberi
dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah informasi
tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi segala macam
kesalahan dalam sistem. Namun dampak negatifnya adalah akan
terjadi pemborosan ruang informasi (dikenal dengan spam).
2. Prinsip redundancy of potential command
Prinsip ini menjelaskan bahwa duplikasi yang terjadi pada sistem
bukan hanya informasi (yang berasal dari luar sistem) namun juga
terjadi pada perintah/command (yang berasal dalam sistem). Pada
setiap sistem akan terjadi duplikasi perintah yang terjadi secara
serial, dan ini akan mengefektifkan kinerja sistem.
3. Prinsip Finagle’s laws of information
Prinsip ini menjelaskan bahwa sistem yang mengalami kekacauan
atau berada dalam kompleksitas yang tinggi umumnya hampir tidak
membutuhkan data/informasi yang akurat dalam pengambilan
keputusan. Ketika sedang terjadi bencana alam, maka sistem
pelayanan kesehatan tidak membutuhkan metode untuk
pengumpulan informasi sesuai aturan/kebijakan, namun
membutuhkan kecepatan tim dalam menangani masalah kesehatan
akibat bencana.
BAB 4 – Berfikir Sistem

KONSEP BERFIKIR SISTEM

Berbagai kompleksitas dan karakteristik sistem yang sudah dijelaskan di


awal membawa kita pada sebuah pemikiran yang menyeluruh terhadap
suatu masalah menggunakan konsep sistem yang sudah kita pelajari di
awal bab ini. Pemikiran yang melibatkan seluruh elemen dalam suatu
sistem ini disebut dengan Berfikir Sistem atau System Thinking. Istilah-
istilah yang sering digunakan dan memiliki kesamaan dengan berfikir
sistem antara lain complexity thinking (berfikir kompleks), loop thinking
(berfikir non-linier), dan holism thinking (berfikir holistik).
Berfikir sistem diterapkan untuk menggantikan pemikiran reduksionis yang
sudah lama berkembang sebelum abad 20. Terdapat perbedaan prinsip
antara pemikiran reduksionis dengan berfikir sistem. Gambar berikut
mendeskripsikan perbedaan tersebut (Shaked & Schechter, 2017).

Pendekatan Reduksionis Berfikir Sistem


Suatu komponen dapat dipecah- Suatu komponen terbentuk adari
pecah ke dalam beberapa bagian, bagian-bagian yang saling
dan bagian tersebut dapat berhubungan
digabungkan kembali Bagian-bagian tersebut terkait dan
Bagian-bagian tersebut saling saling mempengaruhi secara
bekaitan (sebab-akibat) kompleks
Karakteristik komponen ada dalam Karakteristik komponen tidak
masing-masing bagian tergambarkan dalam bagian-
bagian

Gambar 5.1. Perbedaan Pendekatan Reduksionis dengan Berfikir Sistem


Berfikir sistem pertama kali diperkenalkan oleh Barry Richmond pada
tahun 1994 dan mendefinisikan berfikir sistem sebagai ilmu dan seni
tentang bagaimana menginterpretasikan perilaku secara reliabel dengan
mengembangkan pemahaman yang mendalam terhadap struktur yang
melandasi perilaku tersebut. Menurut Richmond orang yang berfikir sistem
layaknya seperti individu yang dapat melihat hutan dan pohon dalam
secara bersamaan (Arnold & Wade, 2015).
Arnold & Wade berupaya mendefinisikan berfikir sistem melalui studi
literatur terhadap para ahli di bidang ini. Hasil studi mereka menghasilkan
definisi berfikir sistem sebagai berikut: kemampuan untuk mengidentifikasi
dan memahami sistem, memprediksi perilaku sistem, dan merancang
modifikasi sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Arnold & Wade,
2015).
Berfikir sistem yang mulai dikembangkan pada awal abad 20, pertama kali
diaplikasikan pada bidang teknik, ekonomi, dan ekologi. Masalah pada
bidang kesehatan juga lambat laun disadari memiliki karakteristik yang
kompleks dan seperti fenomena gunung es sehingga diperlukan berfikir
sistem untuk menanganinya. Beberapa penggunaan berfikir sistem pada
bidang kesehatan masyarakat antara lain:
1. Pada pemberantasan penyakit yaitu awal tahun 2000-an diaplikasikan
pada masalah-masalah kesehatan seperti tobacco control, obesitas, dan
TBC, digunakan untuk membantu menimimalisir penyebaran virus
H5N1 atau flu burung (Shaked & Schechter, 2017), menghentikan
wabah scabies di bangsal perawatan di Taiwan menggunakan tools Root
Cause Analysis atau RCA (Chuang, Howley, & Lin, 2015)
2. Pada bidang K3 yaitu dalam proses safety inspection di lokasi
konstruksi berdasarkan penelitian yang dilakukan di Brazil (Saurin,
2016), dan dalam mengevaluasi penerapan K3 pada tingkat mikro, meso
dan makro (Niskanen, Louhelainen, & Hirvonen, 2016). Penerapan
berfikir sistem cenderung mendapat perhatian yang tinggi dalam K3,
dan bersinergi dengan konsep budaya keselamatan, iklim keselamatan,
rekayasa ketahanan kerja, makro ergonomic, sistem sosio-teknik, dan
sistem manajemen keselamatan (Goh, Love, & Dekker, 2014).
3. Pada manajemen bencana yaitu dalam menganalisis ketahanan
terhadap bencana pada masyarakat pedesaan di Zimbabwe (Mavhura,
2017)
4. Pada peningkatan penerapan patient safety dengan melakukan
intervensi program pendidikan berfikir sistem (System Thinking
Education Program/STEP) pada perawat di rumah sakit (Tetuan et al.,
2017).
Konsep tentang berfikir sistem hadir berdasarkan pepatah yang
menyatakan bahwa “the whole is greater than the sum of its parts”. Artinya
ketika elemen-elemen dalam organisasi/sistem digabungkan maka akan
menghasilkan penjumlahan yang lebih besar. Secara matematis dapat
diekspresikan sebagai berikut: 5 + 6 + 7 + 8 > 26, hasil dari penjumlahan
menggunakan tanda “>” bukan “=” yang menunjukkan lebih besar dari.
Dalam konteks organisasi, jika beberapa orang dengan kualitas yang
berbeda berkumpul membentuk organisasi maka kualitas yang dihasilkan
tidak linier.

a. Karakter dan Tingkatan Berfikir Sistem


Berfikir sistem bukanlah metode yang harus dijalani secara runut dan
baku, namun merupakan sebuah karakter atau perilaku yang
mencerminkan pemecahan masalah secara menyeluruh. Berfikir sistem
memiliki karakteristik yang membedakannya dengan pendekatan yang
berlawanan dengannya yaitu berfikir reduksionis. Penulis mengutip
berbagai karakter dalam berfikir sistem dan dibandingkan dengan cara
berfikir yang biasa saja atau usual approach sebagai berikut:
Tabel 5.1. Perbandingan Usual Approach dan Systems Thinking
Approach
USUAL APPROACH SYSTEMS THINKING APPROACH
 Memfokuskan permasalahan  Melihat masalah sebagai akibat
pada saat ini saja atau pada dari pola perilaku sepanjang masa
waktu tertentu saja (static (dynamic thinking)
thinking)
 Melihat perilaku yang terjadi  Berupaya agar perilaku dalam
dalam sistem merupakan akibat sistem memberikan pengaruh
dari lingkungan luar positif bagi lingkungan luar
(Systems- as-effect thinking) (systems-as-cause thinking)
 Meyakini bahwa untuk  Meyakini bahwa untuk memahami
memahami sesuatu dibutuhkan sesuatu dibutuhkan pengetahuan
pengetahuan setiap detail dari masalah secara kontekstual dan
masalah (tree-by-tree thinking) menyeluruh (forest thinking)
 Mengidentifikasi faktor-faktor  Berfokus pada akibat dari masalah
yang mempengaruhi dan dan memahami bagaimana hal
berhubungan dengan suatu tersebut bisa terjadi (operational
masalah (factors thinking) thinking)
 Memandang sebab-akibat terjadi  Memandang sebab-akibat terjadi
dalam satu arah, tanpa dalam proses yang selalu
memperhatikan ketergantungan berputar/siklus (loop thinking)
antar factor (straight-line
thinking)
 Cenderung menghambat pada  Cenderung mendorong pada
proses kemajuan kemajuan
 Setiap elemen organisasi berdiri  Setiap elemen organisasi tergantug
sendiri satu sama lain
 Saling menyalahkan jika  Fokus pada penyelesaian masalah
ada permasalahan
 Dalam pengambilan keputusan,  Dalam pegambilan keputusan tetap
tidak mengakomodir mempertimbangkan pemikiran/ide
pemikiran/ide yang tidak biasa yang tidak biasa
 Tidak memiliki pedoman/arahan  Menggunakan pemetaan dan
dalam menunjukkan dan simulasi dalam menunjukkan dan
memahami masalah memahami masalah
 Sistem terpisah dengan individu  Menempatkan diri sebagai bagian
dari sistem
Sumber: (World Health Organization, 2009), (Batle-Fisher, 2015)
Namun demikian terdapat perbedaan pengertian antara berfikir sistem
dengan berfikir sistematik, meskipun keduanya terlihat mirip. Berfikir
sistematik dianalogikan dengan otak kiri yang identik dengan logika,
urutan, rasional, analitis, obyektif, dan terpisah-pisah. Sedangkan berfikir
sistem identik dengan otak kanan dengan karakteristik yang bersifat
random, intuisi, holistik, sintesa, subyektif, dan menyeluruh. Secara
terperinci perbedaan tersebut dideskripsikan pada tabel 4 berikut (Hester &
Kevin, 2014).
Tabel 5.2. Perbedaan Berfikir Sistematik vs Berfikir Sistem
Elemen Berfikir Sistematik Berfikir Sistem
 Subyek Alat/mesin Sistem
 Unit analisis Masalah Kompleksitas
 Proses berfikir Telah optimal Telah memuaskan
berhenti jika
 Tujuan akhir Memecahkan Menigkatkan
masalah pemahaman
 Filosofi yang Reduksionis Konstruktivis &
melandasi Reduksionis
 Epistemologi Analisis Analisis dan Sintesis
 Lingkup disiplin Multi dan inter Trans-disiplin
disiplin
 Pendekatan Perspektif Eksploratori

Tingkat berfikir sistem seseorang dapat diukur berdasarkan karakter


yang dimilikinya. Karakter yang dimaksud adalah kecenderungan individu
untuk berfikir reduksionis hingga berfikir sistem. Adapun rincian karakter
tersebut adalah sebagai berikut (Castelle & Jaradat, 2016):
Tabel 5.3. Rincian Karakter Berfikir Sistem
Cenderung berfikir Cenderung berfikir
No Jenis Karakter
sistem jika reduksionis jika
1 Kompleksitas: Complexity (C) Simplicity (S)
kenyamanan  Terbiasa dengan  Menghindari
individu dalam ketidakpastian ketidakpastian
menghadapi  Bekerja dengan  Bekerja dengan
permasalahan yang masalah masalah yang
kompleks multidimensional linier
 Menyukai pencarian  Menyukasi solusi
solusi terbaik
 Mengeksplorasi  Mengeksplorasi
lingkungan sekitar masalah dalam
skala kecil
2 Otonomi: Integration (G) Autonomy (A)
kecenderungan  Menjaga  Menjaga otonomi
menghadapi keterhubungan secara lokal
penggabungan global  Cenderung tidak
berbagai sistem atau  Cenderung bergantung pada
Cenderung berfikir Cenderung berfikir
No Jenis Karakter
sistem jika reduksionis jika
sistem internal bergantung pada sistem saat
sistem saat mengambil
mengambil keputusan keputusan dan
dan menunjukkan menunjukkan
kinerja secara global kinerja secara
lokal
3 Interaksi: skala Interconnectivity (I) Isolation (N)
individu dalam  Cenderung  Cenderung
bekerjasama dengan berinteraksi secara berinteraksi
individu lain global secara lokal
 Mengikuti rencana  Mengikuti
umum rencana detail
 Bekerja dengan tim  Bekerja individu
 Kurang menyukai  Menyukai
pendekatan pendekatan
hubungan sebab- hubungan sebab-
akibat dalam akibat dalam
menyelesaikan menyelesaikan
masalah masalah
4 Perubahan: Holism (H) Reductionism (R)
kecenderungan  Fokus perhatian pada  Fokus perhatian
menerima perubahan keseluruhan pada bagian
 Menyukai gambaran tertentu
umum  Menyukai analisis
 Tertarik pada ide-ide terhadap bagian-
konseptual dan bagian tertentu
abstrak  Tidak tertarik
pada ide-ide
konseptual dan
abstrak
5 Ketidakpastian: Emergence (E) Stability (T)
pilihan individu  Bekerja sesuai dengan  Bekerja mengikuti
ketika harus kondisi yang ada perencanaan yang
memutuskan  Fokus pada detail
sesuatu dengan keseluruhan  Fokus pada detail
pengetahuan yang  Tidak masalah  Tidak menyukai
kurang dengan ketidakpastian
ketidakpastian  Meyakini bahwa
 Meyakini bahwa lingkungan kerja
lingkungan kerja dapat
merupakan sesuatu dikendalikan
yang sulit dikontrol  Menyukai
 Menyukai masalah- masalah-masalah
masalah subyektif oyektif dan teknis
dan non-teknis
Cenderung berfikir Cenderung berfikir
No Jenis Karakter
sistem jika reduksionis jika
6 Sudut pandang Embracement Resistence of
hirarki sistem: cara of Requirement Requirement
individu dalam (Y) (V)
menyelesaikan  Menggunakan sudut  Menggunakan
masalah dalam pandang multidisiplin sudut pandang
sistem kompleks dalam yang terbatas
mempertimbangkan dalam
sesuatu mempertimbangk
 Mengajukan an sesuatu
permintan di bawah  Mengajukan
spesifikasi permintan
 Fokus kepada melebihi
kekuatan dari luar spesifikasi
 Menyukai  Fokus kepada
perencanaan jangka kekuatan dari
panjang dalam
 Terbuka dengan  Menyukai
pilihan lain perencanaan
 Bekerja optimal pada jangka pendek
lingkungan yang  Tertutup dengan
berubah-ubah pilihan lain
 Bekerja optimal
pada lingkungan
yang stabil
7 Fleksibilitas: Flexibility (F) Rigidity (D)
kecenderung  Mengakomodasi  Tidak menyukai
individu menghadapi perubahan perubahan
perubahan rencana  Menyukai  Menyukai
perencanaan yang perencanaan yang
fleksibel tetap
 Terbuka terhadap ide-  Tertutup terhadap
ide baru ide-ide baru
 Tidak menyukai  Menyukai
rutinitas rutinitas

Terdapat empat tingkatan yang dimiliki individu dalam berfikir sistem yaitu:
(1) Berfikir sistem tingkat rendah atau berfikir reduksionis; (2) Berfikir
sistem tingkat menengah; (3) Berfikir sistem tingkat menengah-tinggi; dan
(4) Berfikir sistem tingkat tinggi dan holistic. Keempat tingkatan ini
merupakan hasil pemetaan terhadap rincian karakter berfikir sistem sesuai
tabel 5 yang dideskripsikan pada diagram kartesian (gambar 5.2). Dari
diagram diperoleh informasi bahwa:
Midle-high
Holistic
holistic
system
system
thinker
thinker
(CGIYEHF)
(CAIYEHF)

Middle Reductionist
system system
thinker thinker
(CAIVTRD) (SANVTRD)

Gambar 5.2 Tingkatan Berfikir Sistem


a. Tingkat berfikir sistem rendah jika memiliki karakter: Simplicity (S),
Autonomy (A), Isolation (N), Resistance of requirement (V), Stability (T),
Reductionist (R), dan Rigidity (D).
b. Tingkat berfikir sistem menengah jika memiliki karakter: Complexity (C),
Autonomy (A), Interconnectivity (I), Resistance of requirement (V), Stability
(T), Reductionist (R), dan Rigidity (D)
c. Tingkat berfikir sistem menengah-tinggi jika memiliki karakter:
Complexity (C), Autonomy (A), Interconnectivity (I), Embracement of
requirement (Y), Emergence (E), Holism (H), dan Flecibility (F)
d. Tingkat berfikir sistem tinggi dan holistik jika memiliki karakter:
Complexity (C), Integration (G), Interconnectivity (I), Embracement of
requirement (Y), Emergence (E), Holism (H), dan Flecibility (F)
BAB 5 – Kepemimpinan Berfikir Sistem

PENDAHULUAN
Kompleksitas masalah kesehatan (termasuk dalam kesehatan masyarakat)
melahirkan pendekatan kepemimpinan yang dapat memberikan solusi
pemecahannya yaitu Kepemimpinan Berfikir Sistem (System Thinking
Leadership). Kepemimpinan berfikir sistem merupakan perpaduan antara
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin, antara
lain:
a. Memecahkan masalah-masalah kompleks dalam organisasi dengan
pendekatan sistem
b. Melakukan rekayasa sistem sehingga dapat mengaplikasikan
rekomendasi pemecahan masalah
c. Mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan pemecahan masalah
Sesuai dengan pembahasan pada sub bab tentang Berfikir Sistem, dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan berfikir sistem merupakan karakter
yang sebaiknya dimiliki individu untuk menghadapi permasalahan yang
kompleks. Dengan kata lain kepemimpinan berfikir sistem bukan
merupakan pendekatan baru dalam sub bidang ilmu kepemimpinan. Dalam
berbagai artikel penelitian kepemimpinan, tidak disebutkan bahwa
kepemimpinan berfikir sistem merupakan salah satu pendekatan
kepemimpinan.
Namun demikian dalam lingkup kesehatan dan pelayanan kesehatan
kepemimpinan berfikri sistem dapat diidentikkan dengan kepemimpinan
transformatif. Awalnya kepemimpinan dalam pelayanan kesehatan
menerapkan tipe kepemimpinan karismatik yang tinggi dan memiliki
potensi untuk bertindak arogan serta tidak terbantahkan dalam proses
pengambilan keputusan. Kondisi demikian sudah tidak relevan dengan
organisasi pelayanan kesehatan saat ini dengan interaksi yang lebih
kompleks dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan dengan latar belakang
yang berbeda-beda (Kumar & Kiljee, 2015).
Pelayanan kesehatan yang modern dengan demikian membutuhkan
kepemimpinan transformatif (transformational leaderhisp). Jenis
kepemimpinan ini berusaha menempatkan kepentingan tenaga kesehatan
lain di atas kepentingan dirinya sendiri, sehingga pemimpin bertindak
sebagai agent of changes. Kepemimpin transformatif juga melibatkan tim
kesehatan dalam merumuskan visi bersama, dan mendorong bawahan
dalam memimpin dalam proses perubahan. Dari sinilah, muncul model
kepemimpinan pada pelayanan kesehatan yang memungkinan seluruh
anggota tim dengan latar belakang yang berbeda menjadi pimpinan, dan
terdiri dari sembilan dimensi:
1. Memimpin dengan rasa peduli yaitu mendorong tim untuk saling
memberikan dukungan dan membentuk lingkungan kerja yang
memiliki rasa kepedulian (leading with care dimension)
2. Menginformasikan visi organisasi yaitu kemampuan dalam
berkomunikasi secara kredibel dan terpercaya, menyampaikan tujuan
jangka panjang organisasi secara jelas dan menginspirasi dalam
membentuk kepercayaan diri anggota tim (sharing the vision dimension)
3. Melibatkan anggota tim yaitu membangun kepercayaan dalam tim dan
mendukung partisipasi dalam menciptakan kreasi (engaging the team
dimension)
4. Saling berhubungan dalam mencapai hasil yaitu melibatkan diri dan
beradaptasi dengan yang lain untuk mengembangkan pendekatan
kolaboratif dalam bekerja dan membangun komitmen yang
berkesinambungan (influencing with results dimension)
5. Mengevaluasi informasi yang diterima yaitu berupaya menghimpun
informasi dari berbagai sumber dan membangun konsep-konsep baru
secara kreatif (evaluating information dimension)
6. Menginsipirasi dalam pencapaian tujuan bersama yaitu disamping
berupaya mengikuti prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang sudah
ditetapkan bersama, pemimpin juga memiliki keberanian untuk
mengambil risiko secara pribadi untuk menghasilkan kemanfaatan
dalam pelayanan (inspiring shared purpose dimension)
7. Menghubungkan atau membuat keterkaitan antar pelayanan yang
diberikan yaitu pemimpin berupaya agar bagian-bagian yang berbeda
dalam sistem organisasi saling terhubung, memahami politik organisasi
dan mengadopsi pendekatan-pendekatan dari luar organisasi yang
terbukti berhasil (connecting our service dimension)
8. Mengembangkan kemampuan seluruh anggota tim yaitu memberikan
kesempatan kepada anggota tim untuk berkembang sehingga dapat
meningkatkan kapabilitas tim dalam jangka panjang (developing
capability dimension)
9. Memiliki ekspektasi yang jelas, berupaya memberikan perbaikan yang
berkseinambungan dan menciptakan pola pikir untuk menciptakan
perubahan yang inofatif (holding to account dimension).
Untuk menjalankan atau menerapkan kepemimpinan berfikir sistem,
Centre for Strategic Management telah membuat daftar tentang bagaimana
mewujudkan seorang pemimpin yang mengarahkan organisasi dengan
pendekatan berfikir sistem. Tabel berikut meringkas pemikiran dari Center
for Strategic Management tersebut (Partner of The Centre for Strategic
Management, 2004).
Tabel 7.1. Lima Puluh Hal yang Harus Diterapkan dalam Kepemimpinan
Berfikir Sistem
No Keterampilan Kegiatan
1 Perencanaan Membuat perecanaan dan
memperbaharui perencanaan jika terjadi
perubahan lingkungan
No Keterampilan Kegiatan
2 Berfikir sistem Melakukan obervasi terhadap lingkungan
organisasi
Menentukan visi/tujuan yang ideal
Memberikan umpan balik terhadap hasil
Mengukur kondisi yang ada saat ini
Menyusun strategi dan menjalankan
segera (just do it)
Menerima masukan dari luar
3 Tanggap terhadap Mengetahui kapasitas diri sendiri
perubahan
Membangun hubungan dengan orang lain
Memahami tim dengan keterampilan dan
pengalaman yang berbeda
Membangun kolaborasi dengan tim yang
multifungsi
Melakukan intergrasi dengan pihak di
luar organisasi
Melakukan pembelajaran tentang
kesuksesan secara global
4 Penguasaan diri (self Menentukan visi pribadi
mastery)
Menyeimbangkan antara fisik dan
mental/emosional
Menanamkan mental pemberani
Membiasakan untuk bersikap tenang
Melakukan obervasi terhadap diri sendiri
5 Membangun hubungan Memupuk kepedulian terhadap orang lain
interpersonal
Menjalankan komunikasi yang efektif
Memberikan pengarahan dan pelatihan
Mengelola konflik secara efektif
Mendukung inovasi dan kreativitas
6 Mendorong Menjadi anggota yang energik dan efektif
pemberdayaan tim
Menjalankan rapat secara efektif
Menjaga perkataan
Melibatkan setiap anggota dalam “tim
kerja”
Bertindak secara intens dengan penuh
kesadaran
7 Kolaborasi lintas Menerapkan kelompok kerja lintas
fungsional fungsional
Mengintegrasikan proses bisnis
Menjalankan berfikir sistem dan
pembelajaran
No Keterampilan Kegiatan
Melayani unit/pihak lain dengan nilai-
nilai
Mengelola proses yang dijalankan anggota
tim
8 Integrasi tujuan Mempertimbangkan keinginan
organisasi konsumen/stakeholder
Memastikan pihak lain menerima pesan
dengan baik
Mensosialisasikan rencana organisasi
Memimpin budaya yang menerima
perubahan
Merancang struktur perubahan secara
efektif
9 Strategi positioning Mengeksplor lingkungan global
Meninjau kembali perencanaan
strategis/bisnis
Membangun jaringan dan mengelola
aliansi
Memposisikan organisasi dalam pasar
Menanamkan kepedulian terhadap isu-isu
internasional
10 Pengendalian emosi Mengetahui gaya kepemimpinan diri
sendiri
Membangun hubungan yang saling
mempercayai
Menciptakan ketergantungan antar unit
dalam organisasi
Melibatkan anggota tim untuk
menciptakan nilai-nilai lintas fungsional
Menyampaikan arahan dan nilai-nilai
yang berlaku umum
Membangun sinergi untuk menghasilkan
winning team
11 Servant leadership Mendahulukan kepentingan anggota dan
organisasi
DAFTAR PUSTAKA
Ahmady, G. A., Mehrpour, M., & Nikooravesh, A. (2016). Organizational
Structure. In 3rd International Conference on New Challenges in
Management and Organization: Organization and Leadership (pp. 455–
462). Dubai: Elsevier.
Antonakis, J., & Day, D. D. (2018). The Nature of Leadership (3rd ed.).
California: SAGE Publications.
Arnold, R. D., & Wade, J. P. (2015). A Definition of System Thinking: A
System Approach. In 2015 Conference on System Engineering Research
(pp. 669–678). New Jersey: Elsevier.
Aslaksen, E. W. (2013). The System Concept and Its Application to
Engineering. New York: Springer.
Batle-Fisher, M. (2015). Application of System Thinking to Health Policy &
Public Health Ethics Public Health and Private Illness. Switzerland:
Springer.
Castelle, K. M., & Jaradat, R. M. (2016). Development of an Instrument to
Assess Capacity for Systems Thinking. In C. H. Dagli (Ed.), Complex
Adaptive Systems (pp. 80–86). Los Angeles: Elsevier.
Chuang, S., Howley, P. P., & Lin, S.-H. (2015). Implementing Systems
Thinking for Infection Prevention: The Cessation of Repeated Scabies
Outbreaks in a Respiratory Care Ward. American Journal of Infection
Control, 43(5), 499–505.
Emmerling, R., Canboy, B., Serlavos, R., & Foguet, J. M. (2015). Leadership
Education: Theory and Practice. In International Encyclopedia of Social
Science and Behavioral Sciences (12th ed., pp. 655–663). New York:
Elsevier Ltd.
Gardner, W. L., & Carlson, J. D. (2015). Authentic Leadership. In
International Encyclopedia of The Social & Behavioral Sciences. Oxford:
Elsevier Ltd.
Goh, Y. M., Love, P., & Dekker, S. (2014). Editorial for Special Issue -
“Systems Thinking in Workplace Safety dan Health.” Accident Analysis
and Prevention, 68, 1–4.
Hester, P. T., & Kevin, M. A. (2014). Systemic Thinking: Fundamentals
for Understanding Problem and Messes. Switzerland: Springer
International.
IAKMI & AIPTKMI. (2012). Blue Print Uji Kompetensi Sarjana Kesehatan
Masyarakat Indonesia. Jakarta: PP IAKMI.
Kumar, R. D. C., & Kiljee, N. (2015). Leadership in Healthcare.
Anesthesia and Intensive Care Medicine. https://doi.org/http://
dx.doi.org/10.1016/j.mpaic.2015.10.012
Leveson, N. G. (2011). Engineering a Safer World: Systems Thinking
Applied to Safety. Vasa.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Lexa, F. J. (2017). Leadership Lessons for Health Care Providers. London:
Elsevier Ltd.
Marquardt, M. J. (2002). The Learning Organization: Mastering the 5
Elements for Corporate Learning. Palo Alto: Davies-Black Publishing.
Mavhura, E. (2017). Applying a Systems-thinking Approach to Community
Resilience Analysis using Rural Livelihoods: The Case of Muzarabani
District, Zimbabwe. International Journal of Disaster Risk Reduction, 25,
248–258.
Mele, C., & Pels, J. (2010). A Brief Review of Systems Theories and Their
Managerial Applications. Service Science, 2(1/2), 126–135.
Niskanen, T., Louhelainen, K., & Hirvonen, M. L. (2016). A System Thinking
Approach of Occupational Safety and Health Applied in Micro-, Meso-,
and Macro-levels: A Finnish Survey. Safety Science, 82, 212–227.
Northouse, P. G. (2016). Leadership: Theory and Practice (7th ed.). London:
SAGE Publications.
Partner of The Centre for Strategic Management. (2004). 50 One-Minute
Tips for Leader: The System Thinking Approach. (S. Haines, Ed.) (1st
ed.).
California: SystemsThinkingPress.
Saurin, T. A. (2016). Safety Inspection in Construction Sites: A System
Thinking Perspective. Accident Analysis and Prevention, 93, 240–250.
Senge, P. M. (1990). The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning
Organization. New York: Doubleday.
Shaked, H., & Schechter, C. (2017). System Thinking for School Leaders:
Holistic Leadership for Excellence in Education. Switzerland: Springer
International.
Tetuan, T., Ohm, R., Kinzie, L., McMaster, S., Moffitt, B., & Mosier, M.
(2017). Does System Thinking Improve the Perception of Safety Culture
and Patient Safety? Journal of Nursing Regulation, 8(2), 31–39.
World Health Organization. (2009). Systems Thinking for Health Systems
Strengthening. Geneva: World Health Organization Press.

Anda mungkin juga menyukai