Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah adanya tanda-


tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.1
Penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh ASNA (Asean Neurologic
Association) di 28 Rumah Sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan
pada penderita stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study)
dan dilakukan survey mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan dan
mortalitas serta morbiditasnya. Hasilnya menunjukkan bahwa penderita laki-laki
lebih banyak dari perempuan dengan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak
yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,7% dan di atas usia 65 tahun 33,5%.
Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat dengan
bertambahnya usia dan merupakan penyebab kecacatan yang utama diantara
semua orang dewasa dan kecacatan yang memerlukan fasilitas perawatan jangka
panjang diantara populasi usia tua.2
Pengobatan yang tepat pada stroke dapat meningkatkan kemungkinan
bertahan hidup dan tingkat pemulihan yang dapat diharapkan. Peningkatan
pengobatan dari semua jenis stroke telah menghasilkan penurunan drastis dalam
tingkat kematian dalam beberapa dekade terakhir. Rehabilitasi diperlukan untuk
memperbaiki fungsi akibat gangguan ini.3
Rehabilitasi adalah semua upaya yang ditujukan untuk mengurangi
dampak dari semua keadaan yang menimbulkan disabilitas dan atau handicap
serta memungkinkan penyandang disabilitas dan atau handicap untuk
berpartisipasi secara aktif dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.4
Tujuan rehabilitasi stroke yaitu lebih ke arah meningkatkan kemampuan
fungsional penderita dari pada ke arah memperbaiki defisit neurologisnya, atau
mengusahakan agar penderita sejauh mungkin dapat memanfaatkan kemampuan

1
sisanya untuk mengisi kehidupan secara fisik, emosional, dan sosial ekonomi
dengan baik.5,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Menurut WHO stroke didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal maupun global dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih ataupun menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.1

Gambar 1. Patogenesis stroke

B. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan kematian nomor
dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan
semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara
yang sedang berkembang.7,8
Menurut WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke
pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit tekanan
darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia.
Sebanyak 75% penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan. Di

3
Indonesia, penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita
kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari
serangan stroke dan kecacatan.9

C. KLASIFIKASI STROKE
1. Berdasarkan Waktu
a. TIA (Trancient Ischemic Attack)
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan
peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.10
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gangguan neurologi yang timbul dan akan menghilang secara
sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.10
c. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang
muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan
dalam beberapa jam atau beberapa hari.10
d. Completed Stroke
Gangguan neurologi yang timbul bersifat menetap atau permanen.10

2. Berdasarkan Etiologi
a. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah suatu kondisi yang terjadi terutama disebabkan
oleh pecahnya pembuluh darah di otak. Pembuluh darah pecah dan kemudian
melepaskan darah ke otak. Setelah pecahnya arteri, pembuluh darah tidak mampu
membawa darah dan oksigen ke otak dan menyebabkan sel mati. Alasan lain yang
dapat menyebabkan strok hemoragik adalah darah yang mengalir ke otak akibat
pecahnya pembuluh darah tersebut membentuk gumpalan di dalam otak dan
menyebabkan kerusakan jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan
fungsi otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita
hipertensi. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktivitas, namun juga dapat

4
terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang
paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol. Stroke hemoragik
terbagi menjadi intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage
(SAH).11

b. Stroke Non Hemoragik


Stroke non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah ke sebagian otak
tertentu. Aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan
kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah
menyumbat di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak, maka
terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemik. Perubahan ini dimulai
dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi dan struktur sel yang diikuti dengan
kerusakan fungsi dan integritas susunan sel, selanjutnya akan berakhir dengan
kematian neuron. Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun trombus
pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau
bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi
proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak. Hampir sebagian besar
pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.11
Klasifikasi Oxford Community Stroke Project (OCSP) juga dikenal sebagai
Bamford, membaginya berdasarkan gejala awal dan episode stroke yaitu total
anterior circulation infarct (TACI), partial anterior circulation infarct (PACI),
lacunar infarct (LACI), dan posterior circulation infarct (POCI).

Klasifikasi Bamford untuk stroke iskemik : 3


Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan untuk stroke iskemik
adalah sistem klasifikasi Bamford (atau klasifikasi Oxford). Stroke ini
dikategorikan berdasarkan gejala awal dan tanda klinis. Sistem ini tidak
memerlukan pencitraan untuk mengklasifikasikan stroke, melainkan diagnosis
murni klinis.

1. Stroke sirkulasi anterior total (TACS)

5
Stroke sirkulasi anterior total (TACS) melibatkan stroke kortikal besar
yang mempengaruhi area otak yang dipasok oleh arteri serebral tengah dan
anterior. Ketiga hal berikut perlu hadir untuk diagnosis TACS:
a. Kelemahan unilateral (dan / atau defisit sensorik) pada wajah, lengan
dan kaki
b. Hemianopia homonym
c. Disfungsi otak yang lebih tinggi (disfasia, gangguan visuospasial)

2. Stroke sirkulasi anterior parsial (PACS)


Stroke sirkulasi anterior parsial (PACS) adalah bentuk TACS yang
kurang parah, di mana hanya sebagian dari sirkulasi anterior yang
terganggu. Dua hal berikut harus ada untuk diagnosis PACS:
a. Kelemahan unilateral (dan / atau defisit sensorik) pada wajah, lengan
dan kaki
b. Hemianopia homonim
c. Disfungsi otak yang lebih tinggi (disfasia, gangguan visuospasial)

3. Sindrom sirkulasi posterior (POCS)


Sindrom sirkulasi posterior (POCS) melibatkan kerusakan pada area
otak yang disuplai oleh sirkulasi posterior (mis. Otak kecil dan batang
otak). Salah satu dari hal berikut harus ada untuk diagnosis POCS:
a. Kelumpuhan saraf kranial dan defisit motorik / sensorik kontralateral
b.Defisit motorik / sensorik bilateral
c. Gangguan konjugasi mata (mis., Gaze palsy horizontal
d. Disfungsi serebelar (mis. Vertigo, nystagmus, ataxia)
e. Hemianopia homonim terisolasi

4. Sindrom Lacunar (LACS)


Sindrom lacunar (LACS) melibatkan stroke subkortikal yang terjadi
sekunder akibat penyakit pembuluh darah kecil. Tidak ada kehilangan

6
fungsi otak yang lebih tinggi (mis. Disfasia).Salah satu dari berikut ini
harus ada untuk diagnosis LACS:
a. Stroke sensorik murni
b.Stroke motor murni
c. Stroke senori-motor
d.Hemiparesis ataksis

D. SISTEM SKORING
Penentuan terapi stroke saat ini berdasarkan jenis patologi stroke iskemik atau
hemoragik. Diagnosis gold standar dengan menggunakan CT Scan atau MRI.
Ada beberapa system skoring yang dapat dipakai untuk membantu dokter
membedakan antar stroke iskemik atau hemoragik. Yang cukup banyak
dipakai adalah Siriraj Stroke Score dengan sensitivitas dan spesifisitas
berkisar antara 71-82%.9

No Gejala/Tanda Penilaian Indeks Skor


1 Kesadaran (1) Komposmentis X 2,5 +
(2) Mengantuk
(3) Semikoma/koma
2 Muntah (1) Tidak X2 +
(2) Ya
3 Nyeri Kepala (1) Tidak X2 +
(2) Ya
4 Tekanan Darah Diastolik X 10% +
5 Atheroma (1) Tidak X (-3) -
a. DM (2) Ya
b. Angina
Pektoris
c. Klaudikasio
termiten
6 Konstanta -12 -12
Hasil SSS

Keterengan Siriraj Stroke Score :


SSS > 1 = stroke hemoragik
SSS < 1 = Stroke non hemoragik

7
Suatu tes algoritma pengganti, Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM)
dapat digunakan sebagai diagnosis pengganti dalam menetukan jenis patologi
stroke dengan parameter penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan reflex
babinski.9

E. FAKTOR RESIKO

8
Faktor resiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan
terhadap serangan stroke. Faktor resiko umumnya dibagi menjadi 2 golongan
besar yaitu: 11,12
1. Tidak dapat dimodifikasi: Umur, jenis kelamin, ras dan factor genetik.
2. Dapat dimodifikasi: diabetes melitus, penyakit jantung, inaktivitas fisik,
obesitas, peningkatan kolesterol dan hipertensi.

F. PATOGENESIS
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran
dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh
hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di
area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu
defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan
iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.7
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan
lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi,
meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian
sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik
(penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah
yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.7
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia)
akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya
adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik,
gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.7
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit
sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika
korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik
kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan
apatis karena kerusakan dari sistem limbik.7

9
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia
kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan
terjadi kehilangan memori.7
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di
daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid
anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis),
dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri
komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.7
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua
eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri
basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan
medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan:7
 Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf
vestibular).
 Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan
tetraplegia (traktus piramidal).
 Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian
wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan
traktus spinotalamikus).
 Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarus), singultus (formasio retikularis).
 Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada
kehilangan persarafan simpatis).
 Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot
lidah (saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]),
strabismus (saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).
 Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh
(namun kesadaran tetap dipertahankan).

10
1. Stroke Non Hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh
trombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya
aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat,
aliran darah ke area trombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian
menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli
disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri
karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba
berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologi fokal. Perdarahan otak dapat
disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.3
2. Stroke Hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke
substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen
intrakranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial
yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan tekanan
intra kranial (TIK) yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga
timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau
ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan
penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak
ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.3

Gambar 2. Stroke hemoragik dan stroke iskemik

11
G. MANIFESTASI KLINIK
Pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada saat melakukan aktivitas,
namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan
penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol, serta
terdapat nyeri kepala dan terdapat muntah.
Sedangkan pada stroke non hemoragik umumnya terjadi setelah
beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, tidak ada
muntah dan tidak terdapat nyeri kepala, kesadaran umumnya baik dan terjadi
proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak serta sering terdapat
gangguan bicara. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami
stroke jenis ini.13
Pasien dengan perdarahan intraserebral lebih cenderung mengalami sakit
kepala dibandingkan stroke iskemik, perubahan status mental, kejang, perubahan
tingkat kesadaran yang menunjukkan penignkatan tekanan intrakranial, mual dan
muntah, dan / atau hipertensi yang nyata. Meski begitu, tak satu pun dari temuan
ini andal membedakan antara hemoragik dan stroke iskemik.2
a. Defisit neurologis fokal
Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika hemisfer
dominan (biasanya kiri) terlibat, sindrom yang terdiri dari berikut ini
dapat terjadi:2
1. Hemiparesis kanan
2. Kehilangan hemisensor kanan
3. Preferensi pandangan kiri
4. Potong bidang visual yang tepat
5. Afasia
6. Abaikan (tidak biasa)
Jika hemisfer nondominan (biasanya kanan) terlibat, sindrom yang
terdiri dari hal-hal berikut dapat terjadi:2
1. Hemiparesis kiri
2. Kehilangan hemisensorik kiri
3. Preferensi pandangan kanan

12
4. Potong lapang pandang kiri

Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang
bersifat akut, baik deficit motorik, deficit sensorik, penurnan kesadaran, gangguan
fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak. 4
Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun.
Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis
berupa:
a. Terjadi pada waktu aktif
b. Nyeri kepala , yang diikuti dengan muntah dan penurunan
kesadaran
c. Adanya riwayat hipertensi kronis
d. Nyeri telinga homolaterlal (lesi pada bagian temporal), afasia (lesi
pada thalamus)
e. Hemiparese kontralateral
2. Gejala perdarahan subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan gejala
klinis berupa:
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.

13
Table perbedaan perdarahan intracerebral(PIS) dengan perdarahan
subarachnoid (PSA)4
Gejala dan tanda PIS PSA
Kelainan/deficit Hebat Ringan
Sakit kepala Hebat Sangat hebat
Kaku kuduk Jarang Biasanya ada
Kesadaran Terganggu Terganggu sebntar
Hipertensi Selalu ada Biasanya tidak ada
Lemah sebelah tubuh Ada sejak awal Awalnya tidak ada
LCS Eritrosit>5000/mm3 Eritrosit>25000/mm3
Angiografi Shift ada Shift tidak ada
Ct-scan Area putih Kadang normal

H. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke, dilakukan
pemeriksaan klinis yang teliti, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan fisik dapat
membantu menentukan lokasi kerusakan pada otak. Untuk memperkuat diagnosis
biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan. Kedua pemeriksaan tersebut juga bisa
membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah perdarahan atau tumor otak.7
1. Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mencong
atau bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain
itu, pada anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti
diabetes mellitus, hipertensi atau kelainan jantung. Obat-obatan yang dikonsumsi,
riwayat penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada anamnesa.

Tabel perbedaan stroke hemoragik dan stroke iskemik.4

14
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti tingkat
kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks patologis
dan fungsi saraf kranial.

Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai
berikut :
Tabel 3. Glasgow Coma Scale(GCS)
Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motoric
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1

Derajat kesadaran :
Kompos mentis = GCS 15-14
Somnolen = GCS 13-8
Sopor = GCS 7-4
Koma = GCS 3

15
Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat
dinilai melalui tes yang dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan
menutup kancing bajunya. Kemudian melepas dan memakai sandalnya.
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis
mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit
dalam perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata
menentukan suatu kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut :
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh

Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks


patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks
Babinsky, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.10

16
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui
otak, berbeda dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang. Saraf
kranial merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang
memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI,
XI, XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).
Tabel 4. Gangguan nervus kranialis. 4

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan


lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata, kontriksi pupil, Diplopia (penglihatan
akomodasi kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan
pada platum dan telinga mengecap pada duapertiga
luar; sekresi kelenjar anterior lidah; mulut
lakrimalis, submandibula kering; hilangnya
dan sublingual; ekspresi lakrimasi; paralisis otot
wajah wajah
VIII: Vestibulokoklearis Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging
keseimbangan terus menerus);
vertigo;nistagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya
pada faring dan telinga; pengecapan pada sepertiga
mengangkat palatum; posterior lidah; anestesi
sekresi kelenjar parotis pada faring; mulut kering
sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan
pada faring, laring dan menelan) suara parau;
telinga; menelan; fonasi; paralisis palatum
parasimpatis untuk jantung
dan visera abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan
leher dan bahu otot kepala, leher dan bahu

17
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah

Table perbedaan stroke hemoragik dan stroke iskemik4

3. Pemeriksaan Penunjang
CT scan

 Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan


stroke infark dengan stroke perdarahan.
 Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah
didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan
menunjukkan gambaran hiperdens.
Intracranial Hemorrhage

Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut (<24 jam), gambaran


radiologi akan terlihat hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24 jam – 5 hari)
akan terlihat isodense, sedangkan pada fase kronik (> 5hari) akan terlihat
gambaran hypodense. Perdarahan terjadi di intracerebral sehingga gambaran CSF
akan terlihat jernih.

18
Subarachnoid Hemorrhage

Pada subarachonid hemorrhage, gambaran radiologi akan memperlihatkan


ruangan yang diisi dengan CSF menjadi isodens.

Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama
untuk mendeteksi pendarahan posterior.

Pemeriksaan Angiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem


karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau
aneurisma pada pembuluh darah.

Pemeriksaan USG

Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.

Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada
stroke perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging
atau berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang
gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).

19
Pemeriksaan Penunjang Lain.

Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen


kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),
elektrolit darah, foto toraks, EKG, echocardiografi.

Table perbedaan pemeriksaan penunjang4

20
I. DIAGNOSIS TOPIS
Diagnosis topis dapat ditentukan dari gejala yang timbul, antara lain dengan
cara membedakan letak lesi apakah kortikal atau subkortikal (kapsula interna,
ganglia basalis, thalamus), batang otak dan medula spinalis. 14
1. Gejala klinis pada topis di kortikal
a. Afasia
b. Wajah dan lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh
c. Kejang
d. Gangguan sensoris kortikal
e. Deviasi mata ke daerah lesi

2. Gejala klinis pada topis subkortikal


a. Wajah, lengan dan tungkai mengalami kelumpuhan yang sama berat
b. Gangguan sensorik
c. Sikap distonik
3. Gejala klinis pada topis di batang otak
a. Hemiplegi alternans

21
b. Nistagmus
c. Gangguan pendengaran
d. Tanda serebelar
e. Gangguan sensorik wajah ipsilateral dan pada tubuh kontralateral
4. Gejala klinis pada topis di medulla spinalis
a. Gangguan sensorik setinggi lesi
b. Gangguan miksi dan defekasi
c. Wajah tidak ada kelainan
d. Brown Sequard syndrome

J. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan stroke non hemoragik

1. Umum : Ditujukan terhadap fungsi vital : paru-paru, jantung, ginjal,


keseimbangan elektrolit dan cairan, gizi, higiene.
2. Khusus : Pencegahan dan pengobatan komplikasi

Penatalaksanaan khusus storke non hemoragik atau stroke iskemik

Penderita stroke non hemoragik atau stroke iskemik biasanya diberikan:

1. Anti agregasi platelet : Aspirin, tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol,


cilostazol
2. Trombolitik : Alteplase (recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA))
Indikasi : Terapi trombolitik pada stroke non hemoragik akut. Terapi harus
dilakukan selama 3 – 4,5 jam sejak onset terjadinya simptom dan setelah
dipastikan tidak mengalami stroke perdarahan dengan CT scan.
Kontra Indikasi : rtPA tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami
resiko tinggi perdarahan, pasien yang menerima antikoagulan oral (warfarin),
menunjukkan atau mengalami perburukan pendarahan, punya riwayat stroke
atau kerusakan susunan saraf pusat, hemorrhage retinopathy, sedang
mengalami trauma pada external jantung (<10 hari), arterial hipertensi yang
tidak terkontrol, adanya infeksi bakteri endocarditis, pericarditis, pancreatitis

22
akut, punya riwayat ulcerative gastrointestinal disease selama 3 bulan
terakhir, oesophageal varicosis, arterial aneurisms, arterial/venous
malformation, neoplasm dengan peningkatan resiko pendarahan, pasien
gangguan hati parah termasuk sirosis hati, portal hypertension (oesophageal
varices) dan hepatitis aktif, setelah operasi besar atau mengalami trauma yang
signifikan pada 10 hari, pendarahan cerebral, punya riwayat cerebrovascular
disease, keganasan intrakranial, arteriovenous malformation, pendarahan
internal aktif. Dosis : dosis yang direkomendasikan 0,9mg/kg (dosis
maksimal 90 mg) secara infusi selama 60 menit dan 10% dari total dosis
diberikan secara bolus selama 1 menit. Pemasukan dosis 0,09 mg/kg (10%
dari dosis 0,9mg/kg) secara iv bolus selama 1 menit, diikuti dengan 0,81
mg/kg (90% dari dosis 0,9mg/kg) sebagai kelanjutan infus selama lebih dari
60 menit. Heparin tidak boleh dimulai selama 24 jam atau lebih setelah
penggunaan alteplase pada terapi stroke.
Efek Samping : 1% sampai 10% : kardiovaskular (hipotensi), susunan saraf
pusat (demam), dermatologi (memerah(1%)), gastrointestinal (perdarahan
saluran cerna(5%), mual, muntah), hematologi (pendarahan mayor (0,5%),
pendarahan minor (7%)), reaksi alergi (anafilaksis, urtikaria(0,02%),
perdarahan intrakranial (0,4% sampai 0,87%, jika dosis ≤ 100mg)
Faktor Resiko : a. Kehamilan; Berdasarkan Drug Information Handbook
menyatakan Alteplase termasuk dalam kategori C. Maksudnya adalah pada
penelitian dengan hewan uji terbukti terjadi adverse event pada fetus
( teratogenik atau efek embriocidal) tetapi tidak ada kontrol penelitian pada
wanita atau penelitian pada hewan uji dan wanita pada saat yang bersamaan.
Obat dapat diberikan jika terdapat kepastian bahwa pertimbangan manfaat
lebih besar daripada resiko pada janin. Pada BNF disebutkan bahwa Alteplase
berpeluang menyebabkan pemisahan prematur plasenta pada 18 minggu
pertama. Secara teoritis bisa menyebabkan fetal haemorrhage selama
kehamilan, dan hindarkan penggunaannya selama postpartum. b. Gangguan
hati; hindari penggunaannya pada pasien gangguan hati parah.

23
Karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan Alteplase (rt-PA) :
 Terdiagnosis stroke non hemoragik.
 Tanda-tanda neurologis tidak bisa terlihat jelas secara spontan.
 Simptom stroke tidak mengarah pada perdarahan subarachnoid.
 Onset simptom kurang dari 3 jam sebelum dimulai terapi dengan
Alteplase.
 Tidak mengalami trauma kepala dalam 3 bulan terakhir.
 Tidak mengalami myocardial infarction dalam 3 bulan terakhir.
 Tidak terjadi gastrointestinal hemorrhage atau hemorrhage pada saluran
kencing dalam 21 hari terakhir.
 Tidak melakukan operasi besar dalam 14 hari terakhir.
 Tidak mengalami arterial puncture pada tempat-tempat tertentu dalam 7
hari terakhir.
 Tidak mempunyai riwayat intracranial hemorrhage.
 Tidak terjadi peningkatan tekanan darah (sistolik kurang dari 185 mmHg
dan diastolik kurang dari 110 mmHg).
 Tidak terbukti mengalami pendarahan aktif atau trauma akut selama
pemeriksaan.
 Tidak sedang atau pernah mengkonsumsi antikoagulan oral, INR 100 000
mm3.
 Kadar glukosa darah >50 mg/dL (2.7 mmol/L).
 Tidak mengalami kejang yang disertai dengan gangguan neurologi
postictal residual.
 Hasil CT scan tidak menunjukkan terjadinya multilobar infarction
(hypodensity kurang dari 1/3 cerebral hemisphere).
3. Antikoagulan : heparin, LMWH, heparinoid (untuk stroke emboli)
4. Neuroprotektan.

24
Terapi komplikasi

1. Antiedema : larutan Manitol 20%


2. Antibiotik, antidepresan, antikonvulsan : atas indikasi
3. Anti trombosis vena dalam dan emboli paru.

Penatalaksanaan faktor risiko

1. Antihipertensi : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu


2. Antidiabetika : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu
3. Antidislipidemi : atas indikasi.

Terapi non medikamentosa

1. Operatif
2. Phlebotomi
3. Neurorestorasi (dalam fase akut) dan rehabilitasi medik
4. Low Level Laser Therpahy (ekstravena/intravena)
5. Edukasi (aktifitas sehari-hari, latihan pasca stroke, diet).

Penatalaksanaan Stroke Hemoragik


a. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang
b. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Terapi medik pada PIS akut:

25
a. Terapi hemostatik 10
 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat
haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten
terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat
untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
 Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
 Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-
significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah
lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation 10
 Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan
fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin
K.
 Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K
dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR
lebih cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah
sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
 Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang
memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.
Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor
replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
 Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer
weight heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan
trombositopenia atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan
dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.
 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka
pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya
perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
 Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap
kontroversial.

26
 Tidak dioperasi bila: 10
 Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.
 Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan
perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih
mungkin untuk life saving.
 Dioperasi bila: 10
 Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan
klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi
ventrikel harus secepatnya dibedah.
 PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau
angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome
yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.
 Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang
memburuk.
 Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia
muda dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih
menguntungkan.
Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid
1. Pedoman Tatalaksana 10
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk
untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan
dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan
O2 2-3 L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologi yang timbul.

27
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif: 10
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di
ruang gawat darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalang nafas yang adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA 10


a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan
ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam
pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk
terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada
operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture 10


a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan
ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang
setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan
hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang
segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi
aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang

28
segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik
khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi
untuk perdarahan ulang.

4. Tatalaksana pencegahan vasospasme 10


a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3
atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin
oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh
vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau
intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H
yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan
mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat
mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak
dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu
bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada
pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.

29
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge
pressure 12-14 mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat
yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau
tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.10
6. Antihipertensi 10
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90
mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan
TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse
dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan
karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra
yang mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila
perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat
terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam
pertama.1
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau
0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya
dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan
untuk pengobatan hiponatremi.1
8. Kejang

30
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian
antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada
pasien-pasien yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas,
aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk
menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti
konvulsan sebagai profilaksis.10
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV.
Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400
mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk
menghentikan kejang.10
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada
penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada
penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya,
hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.10

9. Hidrosefalus 10
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi
(atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya
dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara
temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan 10
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.
Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau
pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.

31
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

Pencegahan Stroke
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan
mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun
kelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:10
 Mengatur pola makan yang sehat
 Melakukan olah raga yang teratur
 Menghentikan rokok
 Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
 Memelihara berat badan yang layak
 Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
 Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
 Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
 Pemakaian antiplatelet

32
Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah
pengendalian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA,
dislipidemia, dan sebagainya.10
K. PROGRAM REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA STROKE
Perhatian utama rehabilitasi adalah evaluasi potensi perkembangan pasien
dengan rehabilitasi yang intensif. Tujuan dari rehabilitasi harus realistis dan
fleksibel sebab status neurologis dari pasien dan derajat kelainan biasanya
berubah seiring waktu. Hal terbaik didapatkan jika pasien dan keluarga
berpartisipasi dalam mencapai tujuan rehabilitasi.12
1. Fase awal
Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi
fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum
memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan
adalah proper bed positioning, latihan lingkup gerak sendi, stimulasi elektrikal
dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional.14
2. Fase lanjutan
Tujuannya adalah untuk mencapai kemandirian fungsional dalam
mobilisasi dan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada
waktu penderita secara medik telah stabil. Biasanya penderita dengan stroke
trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke.
Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah
stroke. Program pada fase ini meliputi: 15,16
a. Fisioterapi
1) Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2
ke bawah).
2) Diberikan terapi panas superficial (infrared) untuk melemaskan otot.
3) Latihan lingkup gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif
tergantung dari kekuatan otot.
4) Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
5) Latihan fasilitasi atau reedukasi otot.

33
6) Latihan mobilisasi.

Gambar 3. terapi panas superficial (infrared)

Gambar 4. Latihan gerak sendi

Gambar 5. Latihan untuk menguatkan otot pada pasien stroke

Gambar 6. Latihan untuk menguatkan otot tangan dan jari pada stroke

34
b. Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), meskipun pemulihan fungsi neurologis
pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang
disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat
dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang
disesuaikan.

Gambar 7. Terapi okupasi pada penderita stroke

c. Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini
dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
1) Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas, menelan,
meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2) Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.
3) Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
4) Pelaksana terapi adalah tim medic dan keluarga.

35
Gambar 8. Terapi bicara pada penderita stroke

d. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam
membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara
lain: arm sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up
splint, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO).

Gambar 9. Pemakaian kursi roda pada penderita stroke

e. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui
serial fase psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase
penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat,
sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat, berhenti pada salah satu fase,
bahkan kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus berada pada fase
psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.

36
f. Sosial Medik danVokasional
Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara keluarga,
keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup
serta keadaan rumah penderita.17

37
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. Y
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 73 tahun
Alamat : Jl. Kuras No. 4, Desa Ridan Permai,
Bangkinang Kota
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Poliklinik : Saraf
No. RM : 159827
Tgl. Berobat : 28 Maret 2019

3.2. Anamnesis: Autoanamnesis


a. Keluhan utama:
Bicara pello dan tidak dapat menelan
b. Riwayat penyakit sekarang:
- Pasien datang ke IGD RSUD Bangkinang pada pukul 12.03 WIB
tanggal 28-03-2019 dengan keluhan sulit berbicara dan menelan terus
menerus sejak pukul 05.00 WIB yang lalu, pasien menyangkal adanya
nyeri kepala, dan riwayat muntah disangkal.
b. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat stroke 1 tahun yang lalu, dan mengalami kelemahan pada
anggota gerak kanan.
- Riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu.
- Riwayat DM sejak 1 tahun yang lalu.
- Riwayat operasi disangkal
- Riwayat trauma kepala disangkal
- Riwayat terpapar bahan kimia disangkal

38
c. Riwayat penyakit keluarga:
- Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan hal serupa dengan pasien
- Riwayat DM di keluarga disangkal
- Riwayat hipertensi di keluarga tidak diketahui menurut keluarga os.
- Riwayat stroke di keluarga disangkal
d. Riwayat pribadi dan sosial:
Pasien tidak bekerja semenjak terkenan stroke 1 tahun yang lalu,
hanya melakukan kegiatan dirumah dan tinggal bersama suami dan anak
nomor 2. Keluarga os juga mengatakan jika pasien sering berjalan-jalan
sore disekitar rumah.

3.3. Pemeriksaan Fisik


a. Umum
Keadaan umum : Tampak sakit berat
GCS : E4V5M6
Kesadaran : Composmentis
Kooperatif : Kooperatif
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 60 kg
IMT : 26,6 (overweight)
Keadaan Gizi : Baik
Rambut : Hitam keputihan, mudah dicabut
Turgor Kulit : Normal
Kulit dan Kuku : Warna coklat dan bersih

Tanda Vital
Tekanan darah : 180/100 mmHg
Suhu tubuh : 37oC
Frekuensi denyut nadi : 90 kali/menit, regular
Frekuensi nafas : 20 kali/menit

39
Kelenjar Getah Bening
Leher : Tidak ada pembesaran
Aksilla : Tidak ada pembesaran
Inguinal : Tidak ada pembesaran

Thoraks
a. Paru
Inspeksi : Tampak simetris kanan dan kiri, scar (-/-), retraksi
dinding dada (-/-)
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, vocal fremitus kanan
dan kiri simetris, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler di seluruh bagian parenkim paru,
wheezing (-/-), rhonki (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat, ictus cordis teraba 2 cm medial
di ICS 5 linea midclavikula sinistra
Perkusi :
Kanan atas jantung : ICS II linea parasternalis dextra
Kanan bawah jantung : ICS IV linea parasternal dextra
Kiri atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah jantung : ICS IV linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-)
Kesan: Paru dan jantung dalam batas normal

Abdomen
Inspeksi : Cekung, scar (-)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Perkusi : Timpani

40
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Pemeriksaan ginjal : Tidak teraba kanan dan kiri, nyeri ketok ginjal (-/-)
Pemeriksaaan hepar : Tidak teraba
Pemeriksaan lien : Tidak teraba
Kesan: Abdomen dalam batas normal

Korpus Vertebra
Inspeksi : Tidak tampak kelainan
Palpasi : Tidak teraba kelainan
Kesan: Vertebra dalam batas normal

3.4. Status Neurologi


a. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku Kuduk : Negatif Brudzinki II : Negatif
Brudzinki I : Negatif Tanda Kernig : Negatif

b. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial


Pupil : Isokor

c. Pemeriksaan Nervus Kranialis

N. I Olfaktorius
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Positif Positif
Obyektif dengan bahan Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
N. II Optikus
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Lapangan Pandang Normal Normal
Melihat Warna Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Funduskopi Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

N. III Okulomotorius
Kanan Kiri
Bola Mata Normal Normal

41
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Gerakan bulbus Normal Normal
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso / endopthalmus Tidak ada Tidak ada
Diplopia Tidak ada Tidak ada
Pupil : Bentuk Normal Normal
Reflek cahaya Positif Positif
Reflek akomodasi Normal Normal
Reflek konvergensi Normal Normal

N. IV Troklearis
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. V Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik :
Membuka mulut Normal Normal
Mengerakkan rahang Normal Normal
Menggigit Normal Normal
Mengunyah Normal Normal
Sensorik :
Divisi optalmika
Reflek kornea Normal Normal
Sensibilitas Normal Normal
Divisi maksila
Reflek masseter Normal Normal
Sensibilitas Normal Normal
Divisi mandibula
Sensibilitas Normal Normal

N. VI Abdusen

42
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N. VII Fasialis
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris Simetris
Sekresi air mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Menggerakan dahi Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Mencibir/bersiul Normal Normal
Memperlihatkan gigi Normal Normal
Sensasi lidah 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VIII Vestibularis
Kanan Kiri
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Rinne test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Scwabach test: Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Memanjang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Memendek Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus:
Pendular Tidak ada Tidak ada
Vertikal Tidak ada Tidak ada
Siklikal Tidak ada Tidak ada
Hiperakusis Tidak ada Tidak ada

N. IX Glossopharingeus
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal

43
Reflek muntah / Gag reflek Normal Normal

N. X Vagus
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Kecil Kecil
Nadi 90x/menit 90x/menit

N. XI Asesorius
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal

N. XII Hipoglosus
Kanan Kiri
Kedudukan lidah di dalam Lateralisasi Normal
Kedudukan lidah di julurkan:
Tremor Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi Positif Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada

d. Pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan


Keseimbangan Koordinasi
Cara berjalan Tidak dilakukan Tes jari -
Tidak dilakukan
hidung
Romberg tes Tidak dilakukan Tes jari - jari Tidak dilakukan
Stepping tes Tidak dilakukan Tes tumit lutut Tidak dilakukan
Tandem Tidak dilakukan Disgrafia Tidak dilakukan

44
Walking tes
Ataksia Supinasi-
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pronasi
Rebound
Tidak dilakukan
phenomen

e. Pemeriksaan Fungsi Motorik


A. Berdiri dan Kanan Kiri
berjalan
Gerakan
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
spontan
Tremor Tidak ada Tidak ada
Atetosis Tidak ada Tidak ada
Mioklonik Tidak ada Tidak ada
Khorea Tidak ada Tidak ada
Bradikinesia Tidak ada Tidak ada
Pill rolling Tidak ada Tidak ada
B. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Tidak Normal Tidak Normal
normal normal
Kekuatan 4 5 4 5
Trofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Tidak normotonus Tidak Normotrofi
normal normal
f. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal
Sensibilitas nyeri Normal
Sensibilitas termis Normal
Sensibilitas kortikal Normal
Stereognosis Normal
Pengenalan 2 titik Normal
Pengenalan rabaan Normal

g. Sistem Refleks

45
1. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea Normal Normal Biseps Normal Normal
Berbangkis Normal Normal Triseps Normal Normal
Laring Tidak Tidak APR
Normal Normal
dilakukan dilakukan
Maseter Normal Normal KPR Normal Normal
Dinding Bulbokavernosus Tidak Tidak
perut: dilakukan dilakukan
Atas Normal Normal Kremaster Tidak dilakukan
Bawah Normal Normal Sfingter Tidak dilakukan
Tengah Normal Normal
2. Patologis
Lengan Tungkai
Hoffman Negatif Negatif Babinski Negatif Negatif
Tromner Negatif Negatif Chaddoks Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaeffer Negatif Negatif
Klonus kaki Negatif Negatif

h. Fungsi Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Lancar
Sekresi keringat : Normal

i. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Normal Refelek glabella Negatif
Fungsi intelek Normal Reflek snout Negatif
Reaksi emosi Normal Reflek mengisap Negatif
Reflek memegang Negatif

46
Reflek palmomental Negatif

3.5. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
12.
gr% 13-18
Hemoglobin 1
10.
103/mm3 5-11
Lekosit 7
35.
% 37-47
Hematokrit 5
150-
273 103/mm3
Trombosit 450
Hitung Jenis Lekosit      
 Eosinofil 0 % 1-3
 Basofil 0 % 0-1
 Net Stab 4 % 2-6
 Net Seg 78 % 50-70
 Lymfosit 15 % 20-40
 Monosit 3 % Negatif
Gula Darah (stick) 160 mg/dl <150

b. Imaging
Tidak dilakukan
 Saran: CT-Scan atau MRI. Pada stroke karena infark, gambaran CT
scannya secara umum adalah didapatkan gambaran hipodens sedangkan
pada stroke perdarahan menunjukkan gambaran hiperdens.

3.6. Masalah
a. Diagnosis
 Diagnosis klinis : ischemic intracerebral, hemiparesis dextra,
 Diagnosis topik : hemisfer cerebri sinistra
 Diagnosis etiologi: hipertensi
b. Deferensial Diagnosis : stroke hemoragik, hipertensi emergensi

47
3.7. Pemecahan Masalah/Tatalaksana
a. Terapi non farmakologi
1. Edukasi
- Pemahaman mengenai penyakit terhadap pasien dan keluarga
- Menimbulkan rasa simpati dan empati dari anggota keluarganya
sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi maksimal .
2. Terapi Rehabilitasi
- Meningkatkan kualitas hidup penderita dan menghambat bertambah
beratnya gejala penyakit dengan latihan fisioterapi dan okupasi.
b. Terapi Farmakologi
1. Citicolin 4 5
2. Injeksi Ranitidin 125 mg 4 5
3. Clopidogrel 75 mg
4. R/ Amlodipine 1 x 10mg
5. Omeprazol 2 x 1
6. Injeksi Asam tranexamat 500 mg
Follow UP
Tgl. S O A P
29- Bicara pelo TD 134/83 mmHg SNH hari Infus RL 20tpm
Maret- berkurang, N 96x/menit ke 2 Inj.Citicholin 2x500mg
2019 kelemahan Injeksi Ranitidin 125 mg
ekstremitas kanan GCS E4V5M6 Clopidogrel 75 mg
Pupil bulat isokor Amlodipine 1 x 10mg
3mm/3mm Omeprazol 2 x 1
RCL +/+ Injeksi Asam tranexamat
RCTL +/+ 500 mg
Kaku kuduk (-)
Meningeal (-)
Refleks fisiologis

Refleks patologis

48
+ +
2 2
+ +2
2

(- / -)
Motorik

Sensorik
Otonom:
5 5
BAK (+)
5 5
BAB (+)
N.kranialis:
Lesi N.VII sentral
Lesi N.XII sinistra
23-Apr- Bicara pelo TD 180/100 mmHg SNH hari Infus RL 20tpm
2014 berkurang, N 88x/menit ke 3 Inj.Citicholin 2x500mg
kelemahan T 37,7 oC Injeksi Ranitidin 125 mg
ekstremitas kanan GCS E4V5M6 Clopidogrel 75 mg
(+), batuk Pupil bulat isokor Amlodipine 1 x 10mg
berdahak (+), 3mm/3mm Omeprazol 2 x 1
Demam (+). RCL +/+ Injeksi Asam tranexamat
Kaku kuduk (-) 500 mg
Meningeal (-)
Refleks fisiologis
Refleks patologis
(- / -)
Motorik
Sensorik

49
Otonom:
BAK (+)
BAB (+)
N.kranialis:
Lesi N.VII sentral
Lesi N.XII sinistra

3.8. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
+ +
2 2
+ +
2 2

50
BAB IV
PEMBAHASAN/ANALISIS KASUS

4.1. Anamnesis (autoanamnesis)


Pada pasien ini didiagnosis stroke no hemoragik. Diagnosis didapatkan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Selain itu pasien
memenuhi kriteria diagnosis untuk stroke non hemoragik. Dari anamnesis
didapatkan pasien mengeluhkan lengan dan tungkai kanan mengalami kelemahan
disertai lateralisasi lidah kekanan dan bicara pelo. Pada pasien stroke, hal tersebut
merupakan keluhan yang sering ditemukan serta timbul secara mendadak seperti
kelumpuhan sebagian kedua ekstermitas, bicarapelo, wajah yang tampak miring
kesisi yang lumpuh, mulut yang tampak tertarik ke arah berlawanan dari sisi yang
lumpuh, gangguan bicara, serta nyeri kepala hebat. Pemeriksaan fisik ditemukan
tekanan darah 180/100 mmHg. Jika dilihat, pasien ini mempunyai riwayat
hipertensi. Hipertensi merupakan faktor resiko yang kuat untuk terjadinya stroke.
Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh
darah otak yang mengakibatkan perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak
menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel – sel otak akan
mengalami kematian. Baik sistol yang tinggi maupun tekanan diastol yang tinggi.
Mereka yang belum mendapatkan stroke, maupun yang sudah mengalami stroke
harus mengendalikan hipertensinya dengan baik seperti mengupayakan tekanan
darah sistolik <180 mmHg dan diastole >90 mmHg dan modifikasi gaya hidup.
Kelompok faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan kelompok
faktor risiko yang ditentukan secara genetik atau berhubunga dengan fungsi tubuh
yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Stroke dapat terjadi pada semua
umur tapi sebagian dialami oleh orang yang berusia lebih dari 70 tahun.
Pemeriksaan neurologis yang dilakukan, ditemukan adanya hemiplegia sinistra
disertai parese nervus VII dan nervus XII. Kedua nervus ini merupakan nervus
yang paling sering terkena pada pasien jenis stroke. Adapun penegakkan diagnosis
dari algoritma stroke adalah sebagai berikut: penurunan kesadaran ( - ), nyeri
kepala ( + ), reflex babinsky ( - ). Sehingga bermakna stroke non hemoragik.

51
4.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menunjang ke arah diagnosis kerja adalah
bukti hipertensi pada pemeriksaan tanda vital. Hipertensi merupakan salah
satu faktor resiko penyebab tersering serangan stroke iskemik. Namun
demikian tidak menutup kemungkinan stroke yang menyerang pasien
merupakan stroke hemoragik, dikarenakan tekanan darah yang begitu
tinggi sampai 180/100 mmHg dapat menyebabkan pecahnya pembuluh
darah cerebri.
Pemeriksaan rangsang meningeal dan kaku kuduk yang negatif
dapat membantu menyingkirkan kemungkinan ICH terutama bila ICH
sampai mengisi ventrikel. Dari pemeriksaan nervus kranialis didapatkan
kesan lesi pada N.VII sentral sinistra dan N.XII sinistra. Hal ini membantu
memperkirakan letak lesi iskemik. Dari pemeriksaan motorik didapatkan
kekuatan otot didapatkan terdapat kelemahan pada tangan dan kaki kanan
pasien. Hal ini menunjukkan terdapat lesi pada hemisper sinitra.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum dilakukannya
CT-scan dapat dilakukan penegakkan diagnosis berdasarkan sistem
skoring:
 Gadjah Mada skor
Penurunan kesadaran (-) + sakit kepala (-) + refleks
babinski (-)  stroke iskemik
 Siriraj skor

Skor Stroke Siriraj


Rumus :
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala) + (2 x muntah) + (0,1 x
tekanan diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
Keterangan :
Derajat 0 = kompos mentis; 1 = somnolen;
kesadaran 2 = sopor/koma

Muntah 0 = tidak ada; 1 = ada


Nyeri kepala 0 = tidak ada; 1 = ada

52
Ateroma 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (diabetes;
angina; penyakit pembuluh darah)
Hasil :
Skor > 1 Perdarahan supratentorial
Skor < 1 Infark serebri
Skor pasien:
(2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1 x 140) - (3 x 1) – 12 = -1
 infark cerebri

4.3. Diagnosis
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum dilakukannya
CT-scan dapat dilakukan penegakkan diagnosis berdasarkan sistem
skoring:
 Gadjah Mada skor
Penurunan kesadaran (-) sakit kepala (-) refleks babinski
(-)  stroke iskemik
 Siriraj skor

Skor Stroke Siriraj


Rumus :
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala) + (2 x muntah) + (0,1 x
tekanan diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
Keterangan :
Derajat 0 = kompos mentis; 1 = somnolen;
kesadaran 2 = sopor/koma

Muntah 0 = tidak ada; 1 = ada


Nyeri kepala 0 = tidak ada; 1 = ada
Ateroma 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (diabetes;
angina; penyakit pembuluh darah)
Hasil :
Skor > 1 Perdarahan supratentorial
Skor < 1 Infark serebri
Skor pasien:
(2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1 x 100) - (3 x 1) – 12 = -5
 infark cerebri

53
4.4. Tatalaksana
Pasien ini diberikan terapi berupa non farmakologi dan farmakologi.
Terapi non farmakologi meliputi edukasi tentang penyakit stroke pada pasien dan
keluarganya serta terapi rehabilitasi berupa fisioterapi dan okupasi. Terapi
farmakologi diberikan Citicolin, Injeksi Ranitidin 125 mg, Clopidogrel 75 mg,
Amlodipine 1 x 10mg, Omeprazol 2 x 1, Injeksi Asam tranexamat 500 mg.
Penatalaksanaan pada pasien stroke iskemik yang pertama adalah oksigen
untuk mencegah terjadinya hipoksia otak. Pemberian Clopidogrel ditujukan untuk
melisiskan trombus maupun emboli yang menyumbat pembuluh darah. Citicholin
memiliki sifat neuroprotektif dan neurorestoratif pada sel saraf yang mengalami
iskemi. Pemberian Citicholin diharapkan mencegah kerusakan sel saraf lebih
lanjut sekaligus mengembalikan fungsi sel saraf yang mengalami iskemik.
Pemberian Ranitidine sebagai antagonis H2 bertujuan untuk mencegah terjadinya
stress ulcer.
Dari hasil follow didapatkan perbaikan berangsur-angsur. Tekanan darah
yang masih sangat tinggi perlu diperhatikan dan dikontrol untuk mencegah
terjadinya stroke berulang. Fisioterapi perlu dilakukan pada pasien agar fungsi
motorik yang terganggu dapat dikembalikan mendekati normal sehingga pasien
dapat kembali menjalani aktivitas sehari-harinya mengingat pasien masih dalam
usia produktif.

Prognosis ad vitam pada kasus ini ad bonam, hal ini dipengaruhi oleh
keadaan pasien pada saat datang yang masih dalam keadaan umum yang baik.
Untuk prognosis ad fungsionam dubia ad bonam dikarenakan sangat tergantung
dari ketelatenan pasien dalam menjalani fisioterapi. Kecenderungan bonam
dipengaruhi oleh luas lesi yang tidak terlalu besar sehingga pengembalian fungsi
diharapkan dapat kembali mendekati semula. Prognosis sanationam dubia ad
malam dikarenakan adanya faktor resiko hipertensi yang butuh kesadaran dan
perhatian dari pasien untuk mengontrolnya.

54
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson adalah kelainan degeneratif sistem saraf pusat yang


termasuk dalam suatu kelompok kondisi yang disebut sebagai gangguan gerakan
yang bersifat kronis dan progresif. Pada Penyakit Parkinson, terjadi penurunan
jumlah dopamin di otak yang berperan dalam mengontrol gerakan sebagai akibat
kerusakan sel saraf di substansia nigra pars kompakta di batang otak.
Penyakit Parkinson dianggap sebagai gangguan gerakan dengan tiga tanda
kardinal, yaitu tremor, rigiditas dan bradikinesia. Selain gejala motorik, Penyakit
Parkinson juga menimbulkan gejala non motorik, seperti disfungsi otonom,
keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama
inkontinensia dan hipotensi ortostatik, kulit berminyak dan infeksi kulit seboroik,
pengeluaran urin yang banyak, gangguan seksual, gangguan suasana hati dan
ganguan kognitif.
Penyakit Parkinson merupakan penyakit dengan etiologi yang belum jelas.
namun diduga ada keterlibatan kombinasi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan. Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang
berkembang progresif dan penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu strategi
penatalaksanaannya adalah terapi simtomatik, untuk mempertahankan
independensi pasien, neuroproteksi dan neurorestorasi.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Steven. Hubungan derajat spastisitas maksimal berdasarkan modified


ashworth scale dengan gangguan fungsi berjalan pada penderita stroke
iskemik [thesis]. Semarang: Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro;
2008. p. 1.

2. Hutagalung HS. Efek Aspirin, cilostazol serta clopidogrel terhadap outcome


fungsional pada pasien stroke iskemik [thesis]. Medan: Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Sumatera Utara; 2011. p. 1-2.
3. Van GJ. Main groups of cerebral and spinal vascular disease: overview. In:
Ginsberg MD, Bogousslavsky J, eds. Cerebrovascular disease:
pathophysiology, diagnosis, and management. 1 ed. Malden: Blackwell
Science; 1998:1369-72.

4. Soendoro T. On behalf of RISKESDAS team. Report on result of National


Basic Health Research. Jakarta: The National Institute of Health Research and
Develompment Ministry of Health Republic of Indonesia; 2008.

5. Mardjonjo M, Sidharta P. Neuro klinis dasar. Edisi VI. Jakarta: Dian Rakyat,
1995; 269-302.

6. Prawirosumarto K. Rehabilitasi fisik pada pasien stroke; Rehabilitasi Medik,


Hasil Simposium 1987. Departemen Rehabilitasi Medik. Jakarta. 1987: 121-5.

7. Wirawan RP. Rehabilitasi stroke dalam pelayanan kesehatan primer. SMF


Rehabilitasi Medis RS Fatmawati. Jakarta; 2009.p.61-2.
8. Sutrisno A. Stroke? you must know before you get it!. Jakarta: PT.
GramediaPustakaUtama. 2007. Hal: 1-13.

9. Feigin V. Stroke Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan


stroke. Jakarta: PT. BhuanaIlmuPopuler. 2006.

10. Misbach J, Wendra A. Stroke in indonesia. A first large prospective hospital


based study of acute stroke in 28 hospitals in indonesia. Jakarta. 1996.

11. Walelang Th. Faktor resiko dan pencegahan stroke. Poceeding symposium
stroke update. Manado. Perdosi; 2001.

56
12. Sengkey L, Angliadi LS, Mogi TI. Ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi
medik. Manado: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik;
2006.p.55-9.

13. Kotambunan RC. Diagnosis stroke. Bagian Neurologi FK UNSRAT/SMF


RSUP Manado. Manado, 1995; 1-12.

14. Angliadi LS. Rehabilitasi medic pada stroke. Proceeding symposium stroke
update. Manado. Perdosi; 2001.

15. Sinaki M, Dorsher PT. Rehabilitation after stroke. In: basic clinical
rehabilitation medicine. Philadelphia. Mosby, 1993; p. 87-8.

16. Kolb, Bryan, Whishaw, Ian Q. Fundamentals of Human Neuropsychology,


Fourth Edition. New York: W. H. Freeman and Company, 1996.

17. Harvey RL, et all. Stroke syndromes. In: Braddom LR. Physical Medicine and
Rehabilitation. Second Volume. New York: Elsevier Saunders. 2011; p. 1180-
1.

57

Anda mungkin juga menyukai