Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan sebuah substansi yang di berikan kepada manusia atau binatang
sebagai perawatan dan pengobatan , bahkan sebagai pencegahan terhadap gangguan
kesehatan. Pemberian obat pada pasien dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya
Oral, intrakutan, subkutan, intravena langsung, bolus, melalui selang intravena,
intramuscular,melalui rectum, melalui vagina, mata, kulit, telinga dan hidung. Dengan
menggunakan prinsip 6 benar yaitu:

1. Benar pasien

2. Benar obat

3. Benar dosis obat

4. Benar cara pemberian obat

5. Benar waktu pemberian obat

6. Benar dokumentasi

Vagina merupakan Alat kelamin yang memiliki peranan penting pada diri seorang
Wanita. Yaitu berfungsi sebagai alat untuk mengeluarkan urine. Pada sebagian wanita
memiliki gangguan pada sistem perkemihan dan harus diobati melalui Alat kelaminnya
yaitu vagina. Hal ini berhubungan erat dengan Pemberian Obat pada Vagina.
Obat adalah benda atau zat yang dapat digunakan untuk merawat penyakit,
membebaskan gejala, atau mengubah proses kimia dalam tubuh. Untuk itu, obat sangat
diperlukan.
Pemberian Obat pada Vagina merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan
obat melalui vagina, yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat dan mengobati
saluran vagina atau serviks. Oleh karena itu, khususnya untuk para wanita perlu
mengetahui hal ini dalam menjaga organ reproduksinya.
Rectum Merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan obat melalui anus
atau rektum, dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan ini
disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat,
menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar. Contoh pemberian
obat yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac supositoria yang berfungsi secara
lokal untuk meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obat aminofilin

1
suppositoria dengan berfungsi mendilatasi bronkus. Pemberian obat supositoria ini
diberikan tepat pada dnding rektal yang melewati sfingter ani interna. Kontra indikasi
pada pasien yang mengalami pembedahan rektal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian Pemberian Obat pada Vagina dan Rektum
2. Tempat-tempat pemberian Obat dan Rektum
3. Persiapan Alat dalam pemberian Obat
4. Persiapan Tempat & Lingkungan
5. Persiapan Pasien dalam pemberian Obat
6. Cara Kerja dalam Pemberian Obat melalui Vagina dan Rektum
7. Hal-hal yang diperlukan dalam Pemberian Obat

1.3 Tujuan

Tujuan Umum :
1. Mengetahui Pemberian Obat Pervagina dan Rektum
2. Mendapatkan efek terapi obat (mengurangi rasa nyeri, terbakar, ketidaknyamanan)
dan mengobati saluran vagina atau serviks (infeksi, peradangan).
Tujuan Khusus :
1.      Mengetahui pengertian pemberian Obat Pervagina dan Rektum
2.      Mengetahui indikasi dan kontra indikasi pemberian Obat Pervagina dan Rektum
3.      Mengetahui tujuan pemberian Obat Pervagina dan Rektum
4.      Mengetahui macam-macam Obat Pervagina dan Rektum
5.      Mengetahui keuntungan dan kerugian pemberian Obat Pervagina dan Rektum
6.      Mampu melakukan tindakan pemberian Obat Pervagina dan Rektum

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemberian Obat Melalui Vagina

Pemberian Obat pada Vagina merupakan cara memberikan obat dengan


memasukkan obat melalui vagina, yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat dan
mengobati saluran vagina atau serviks. Oleh karena itu, khususnya untuk para wanita perlu
mengetahui hal ini dalam menjaga organ reproduksinya.
2.1.1 Indikasi dan kontra indikasi pemberian Obat Pervagina
Indikasi : Pada bagian Vaginitis, keputihan vagina dan serviks (leher rahim) karena
berbagai etiologi, ektropia dan parsio dan serviks. Servik sebagai hemoestasis setelah biopsy
dan pengangkatan polip di serviks, erosi uretra eksterna dan popiloma uretra kondiloma
akuminata. Luka akibat penggunaan instrument ginekologi untuk mempercepat proses
penyembuhan setelah electron koagulasi.
Kontra Indikasi : Jangan diberikan pada orang yang mempunyai kecenderungan
hipersensitif atau alergi.
Tujuan Pemberian Obat pervagina adalah :
         Mengobati Infeksi pada vagina
         Menghilangkan rasa nyeri, terbakar, dan ketidaknyamanan pada Vagina
         Mengurangi Peradangan
Macam-macam Obat Pervagina, yaitu tersedia dalam bentuk krim dan suppositoria
yang digunakan untuk mengobati infeksi lokal. Satu ovula dimasukan sedalam mungkin ke
dalam vagina setiap hari sebelum tidur selama 1-2 minggu boleh dipakai sebagai pengobatan
tersendiri atau sebagai terapi interval pada kontensasi. Pamakaian selama masa haid
(menstruasi) tidak dianjurkan.
2.1.2 Persiapan alat dalam Pemberian Obat Pervagina
Alat dan Bahan :
a. Sarung tangan sekali pakai
b. Obat dalam tempatnya
c. kain kasa, kapas
d. Pelumas untuk supositoria
e. Handuk bersih
f. Pengalas
3
g. Gorden

Dalam Pemberian Obat Bidan harus memperhatikan:

1. Interpretasikan dengan tepat resep obat yang dibutuhkan


2. Hitung dengan tepat dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan resep
3. Gunakan prosedur yang sesuai dan aman, ingat prinsip 5 benar dalam pengobatan.
4. Setelah memvalidasi dan menghitung dosis obat dengan benar, pemberian obat
dengan akurat dapat dilakukan berdasarkan prinsip 5 benar.

Hal-hal yang harus diperhatikan :

a. Pemberian bentuk, rute dosis waktu yang tepat


b. simpankanlah obat supostoria padat pada tempatnya
c. minimalkan rasa malu klien
d. kurangi dan cegah penularan infeksi
e. Jaga kenyamanan klien
f. Pertahankan hygienie perineum
g. jaga privasi kerja
h. Hindarkan tindakan yang menyebabkan pasien merasa sakit
i. Perhatikan teknik septik dan antiseptik
j. Pemberian obat harus dalam posisi rekumben
k. Menginformasikan kepada pasien apa yang terjadi

Persiapan Pasien sebelum Pemberian Obat Pervagina, yaitu :


a)      Mengindentifikasikan Klien dengan tepat dan tanyakan namanya
b)      Menjaga Privasi, meminta Klien untuk berkemih terlebih dahulu
c)      Mengatur posisi Klien berbaring supinasi dengan Kalik fleksi dan pinggul supinasi eksternal
d)     Menutup dengan selimut mandi dan ekpose hanya pada area perineal saja

Persiapan Pasien dan Lingkungan dalam Pemberian Obat Pervagina


      Menjelaskan kepada Pasien tujuan tindakan yang akan dilakukan.
      Memberitahukan Prosedur Tindakan yang akan dilakukan.

4
      Menutup Jendela, Korden, dan memasang sampiran atau sketsel apabila diperlukan.
      Menganjurkan Orang yang tidak berkepentingan untuk keluar ruangan.

Prosedur Kerjanya
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Gunakan sarung tangan.
4. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa.
5. Bersihkan sekitar alat kelamin dengan kapas sublimat.
6. Anjurkan pasien tidur dalam posisi dorsal recumbert.
7. Apabila jenis obat suppositoria maka buka pembungkus dan berikan pelumas pada obat.
8. Regangkan labia minora dengan tangan kiri dan masukkan obat sepanjang dinding kanal
vaginal posterior sampai 7,5-10 cm.
9. Setelah obat masuk, bersihkan daerah sekitar orifisium dan labia dengan tisu.
10. Anjurkan untuk tetap dalam posisi kurang lebih 10 menit agar obat bereaksi.
11. Cuci tangan.
12. Catat jumlah, dosis, waktu, dan cara pemberian.

Catatan: apabila menggunakan obat jenis krim, isi aplikator krim atau ikuti petunjuk
krim yang tertera pada kemasan, renggangkan lipatan labia dan masukkan aplikator kurang
lebih 7,5 cm dan dorong penarik aplikator untuk mengeluarkan obat dan lanjutkan sesuai
langkah nomor 8, 9, 10, 11.

Pervagina : Untuk obat ini bentuknya hampir sama atau menyerupai obat yang
diberikan secara rektal, hanya saja dimasukkan ke dalam vagina.

.     Pemberian obat – obatan atau cairan tertentu melalui vagina dapat dilakukan
dengan cara :
a. Mengumbah (irigasi).
b. Mengoleskan.
c. Supposutorium.

5
Pemberian Obat ini Dilakukan pada :
a. Pasien dengan vagina yang kotor.
b. Persiapan tindakan pembedahan jalan lahir.
c. Pasien dengan radang vagina.
d. Post partum dengan lochea yang berbau.

Pemberian Obat Melalui Vagina Tidak Boleh dilakukan pada Saat Pasien:
a.    Menstruasi
b.    Khusus pada paisen spartus antara lain :
- Perdarahan
- Plasenta previa
- Ketuban pecah dini
- Persalinan paterm

Contoh obat supositoria vagina :


a. Flagil Supositoria
b. Vagistin Supositoria
c. Albotil Supositoria
d. Mistatin Supositoria
e. Tri Costatis Supositoria
f. Neoginoksa Supositoria

2.1.3 Keuntungan & Kerugian Pemberian Obat Pervagina :


Keuntungan :
         Proses penyembuhan lebih cepat, dimana jaringan nekrotik dikoagulasi kemudian
dikeluarkan.
         Mengobati Infeksi pada Vagina
         Mengurangi Peradangan

6
Kerugian dan Masalah:
 Dapat menimbulakan pengeluaran jaringan rusak, dan vagina berupa Bau dan rasa tidak
nyaman.
 Kerusakan mobilitas fisik
 Risiko terjadinya komplkasi terhadap terapi obat
 Nyeri
 Kurang pengetahuan klien terhadap medikasi
 Disfungsi seksual

2.2 Pengertian Pemberian Obat Melalui Rektal


Pemberian Obat via Anus/Rektum Merupakan cara memberikan obat dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum, dengan tujuan memberikan efek lokal dan
sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk
mendapatkan efek terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air
besar. Contoh pemberian obat yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac supositoria yang
berfungsi secara lokal untuk meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obat
aminofilin suppositoria dengan berfungsi mendilatasi bronkus. Pemberian obat supositoria ini
diberikan tepat pada dinding rektal yang melewati sfingter ani interna. Kontra indikasi pada
pasien yang mengalami pembedahan rektal.
Obat dapat diberikan melalui rektal. Obat dalam bentuk cairan yang banyak diberikan
melalui rektal yang disebut enema. Obat tertentu dalam bentuk kapsul yang besar dan
panjang (supositoria) juga dikemas untuk diberikan melalui anus/ rektum.
1. Supositoria merupakan bentuk obat yang paling sering dignakan secara rektal pada
anak. Obat ini biasanya dikombinasikan dengan basa gliserin atau lanolin yang
mencair pada suhu tubuh.
Ada beberapa keuntungan penggunaan obat supositoria antara lain:
a. supositoria tidak menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan bagian atas
b. beberapa obat teretentu dapat di absorpsi dengan baik melalui dinding permukaan
rektum.
c. Supositoria rektal diperkirakan mempunyai tingkatan (titrasi) aliran pembuluh
darah yang besar, karena pembuluh darah vena pada rektum tidak
ditransportasikan melalui liver.
2. Pemberian obat elalui enema

7
a. Umumnya, obat diberikan di dalam enema. Ikuti prosedur lembaga untuk
pemberian enema pada anak.
b. Anak, khususnya selama masih bayi, sangat rentan mengalami kelebihan cairan
dan ketidakseimbangan elektrolit karenanya, alat bantu serta jumlah larutan untuk
enema harus dievaluasi secara cermat.
Ada beberapa prinsip yang harus dipegang dalam memberikan obat dalam bentuk enema dan
sipositoria, antara lain:
a. Untuk mencegah peristaltik, lakukan enema retensi secara pelan dengan cairan sedikit
(tidak lebih dari 120ml) dan gunakan rektal tube kecil.
b. Selama enama berlangsung, anjurkan pasien berbaring miring ke kiri dan bernapas
melalui mulut untuk merilekskan spingter.
c. Retensi enema dilakukan setelah pasien buang air besar
d. Anjurkan pasien untuk berbaring telentang 30 menit setelah pemberian enema
e. Obat supositoria harus disimpan di lemari es karena obat akan meleleh pada suhu
kamar.
f. Gunakan pelindung jari atau sarung tangan. Gunakan jari telunjuk untuk pasien
dewasa dan jari ke empat pada pasien bayi.
g. Anjurkan pasien tetap miring ke kiri selama 20 menit setelah obat masuk.
h. Bila diperlukan, beritahu pasien cara mengerjakan sendiri enema atau memasukkan
supositoria.

2.2.1 Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Obat Melalui Rektum


 

 INDIKASI

1. Konstipasi

Konstipasi berhubungan dengan jalur pembuangan yang kecil, kering, kotoran yang keras,
atau tidak lewatnya kotoran di usus untuk beberapa waktu. Ini terjadi karena pergerakan feses
melalui usus besar lambat dimana reabsorbsi cairan terjadi di usus besar. Konstipasi
berhubungan dengan pengosongan kotoran yang sulit dan meningkatnya usaha atau tegangan
dari otot-otot volunter pada proses defekasi.

Ada banyak penyebab konstipasi :


 1. Kebiasaan buang air besar (b.a.b) yang tidak teratur
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi adalah kebiasaan b.a.b yang
tidak teratur. Refleks defekasi yagn normal dihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini

8
terkondisi menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan untuk defekasi
hilang.
Anak pada masa bermain biasa mengabaikan refleks-refleks ini; orang dewasa
mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan.
Klien yang dirawat inap bisa menekan keinginan buang air besar karena malu menggunakan
bedpan atau karena proses defekasi yang sangat tidak nyaman. Perubahan rutinitas dan diet
juga dapat berperan dalam konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi adalah
membiasakan b.a.b teratur dalam kehidupan.
 2. Penggunaan laxative yang berlebihan
Laxative sering digunakan untuk menghilangkan ketidakteraturan buang air besar.
Penggunaan laxative yang berlebihan mempunyai efek yang sama dengan mengabaikan
keinginan b.a.b – refleks pada proses defekasi yang alami dihambat. Kebiasaan pengguna
laxative bahkan memerlukan dosis yang lebih besar dan kuat, sejak mereka mengalami efek
yang semakin berkurang dengan penggunaan yang terus-menerus (toleransi obat).
 3. Peningkatan stres psikologis
Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik
usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan
usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan dengan
konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan adanya
periode pertukaran antara diare dan konstipasi.
 4. Ketidaksesuaian diet
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses menghasilkan produks ampas
sisa yang tidak cukup untuk merangsang refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat
seperti; beras, telur dan daging segar bergerak lebih lambat di saluran cerna. Meningkatnya
asupan cairan dengan makanan seperti itu meningkatkan pergerakan makanan tersebut.
 5. Obat-obatan
Banyak obat-obatan dengan efek samping berupa konstipasi. Beberapa di antaranya seperti ;
morfiin, codein, sama halnya dengan obat-obatan adrenergik dan antikolinergik,
melambatkan pergerakan kolon melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat. Penyebab
lainnya seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada
mukosa usus menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat
menyebabkan diare pada sebagian orang.
6. Latihan yang tidak cukup
Pada klien dengan masa rawat inap yang lama, otot secara umum akan melemah, termasuk
otot abdomen, diafragma, dasar pelvik, yang digunakan pada proses defekasi. Kurangnya
latihan secara tidak langsung dihubungkan dengan berkurangnya nafsu makan dan
kemungkinan kurangnya jumlah serat yang penting untuk merangsang refleks pada proses
defekasi.
 7. Umur
Pada manula, otot-otot dan tonus spinkter semakin melemah turut berperan sebagai penyebab
punurunan kemampuan defekasi.
  8. Proses penyakit
Beberapa penyakit pada usus dapat menyebabkan konstipasi, beberapa di antaranya obstruksi
usus, nyeri ketika defekasi berhubungan dengan hemorhoid, yang membuat orang

9
menghindari defekasi; paralisis, yang menghambat kemampuan klien untuk buang air besar;
terjadinya peradangan pelvik yang menghasilkan paralisis atau atoni pada usus.
Konstipasi bisa jadi beresiko pada klien, regangan ketika b.a.b dapat menyebabkan stres pada
abdomen atau luka pada perineum (post operasi); Ruptur dapat terjadi jika tekanan saat
defekasi cukup besar. Ditambah lagi peregangan sering bersamaan dengan tertahannya napas.
Gerakan ini dapat menyebabkan masalah serius pada orang dengan sakit jantung, trauma
otak, atau penyakit pada pernapasan. Tertahannya napas meningkatkan tekanan intra torakal
dan intrakranial. Pada kondisi tertentu, tekanan ini dapat dikurangi jika seseorang
mengeluarkan napas melalui mulut ketika mengejan/regangan terjadi. Bagaimanapun,
menghindari regangan merupakan pencegahan yang terbaik.

2. Impaksi Feses (tertahannya feses)

Impaksi feses dapat didefenisikan sebagai suatu massa atau kumpulan yang mengeras, feses
seperti dempul pada lipatan rektum. Impaksi terjadi pada retensi yang lama dan akumulasi
dari bahan-bahan feses. Pada impaksi yang gawat feses terkumpul dan ada di dalam colon
sigmoid. Impaksi feses ditandai dengan adanya diare dan kotoran yang tidak normal. Cairan
merembes keluar feses sekeliling dari massa yang tertahan. Impaksi dapat juga dinilai dengan
pemeriksaan digital pada rektum, selama impaksi massa yang mengeras sering juga dapat
dipalpasi.
Diare yang bersama dengan konstipasi, termasuk gejala yang sering tetapi tidak ada
keinginan untuk defekasi dan nyeri pada rektum. Hadirnya tanda-tanda umum dari terjadinya
penyakit ; klien menjadi anoreksia, abdomen menjadi tegang dan bisa juga terjadi muntah.
Penyebab dari impaksi feses biasanya kebiasaan buang air besar yang jarang dan konstipasi.
Obat-obat tertentu juga berperan serta pada impaksi. Barium digunakan pada pemeriksaan
radiologi pada saluran gastrointestinal bagian atas dan bawah dapat menjadi faktor penyebab,
sehingga setelah pemeriksaan ini hasil pengukuran diperoleh untuk memastikan pergerakan
barium.
Pada orang yang lebih tua, faktor-faktor yang beragam dapat menyebabkan impaksi; asupan
cairan yang kurang, diet yang kurang serat, rendahnya aktivitas, melemahnya tonus otot.
Pemeriksaan digital harus dilakukan dengan lembut dan hati-hati karena rangsangan pada
nervus vagus di dinding rektum dapat memperlambat kerja jantung pasien.

3. Persiapan pre operasi

Biasanya pada semua tindakan operasi sebelumnya di lakukan enema. Anastesia umum (GA)
dalam pembedahan bisa diberikan melalui enema dengan tujuan untuk mengurangi efek
muntah selama dan setelah operasi, juga mencegah terjadinya aspirasi.

4. Untuk tindakan diagnostik misalnya pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi seperti colonoscopy, endoscopy, dll.

5. Pasien dengan melena

10
 Kontra Indikasi
Irigasi kolon tidak boleh diberikan pada pasien dengan diverticulitis, ulcerative colitis,
Crohn’s disease, post operasi, pasien dengan gangguan fungsi jantung atau gagal ginjal,
keadaan patologi klinis pada rektum dan kolon seperti hemoroid bagian dalam atau hemoroid
besar, tumor rektum dan kolon.

2.2.2 Persiapan alat dalam Pemberian Obat Melalui Rektum


 Prosedur pemberian enema
Persiapan pasien
a.       Mengucapkan salam terapeutik
b.      Memperkenalkan diri
c.       Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang
d.      Prosedur dan tujuan  tindakan yang akan dilaksanakan.
e.       Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
f.       Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
g.      Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
h.      Menjaga privasi klien.
i.        Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama
berkomunikasi dan melakukan tindakan
j.          Pasien disiapkan dalam posisi yang sesuai

Peralatan
1. Disposible enema set
2. 1 set enema berisi
a. wadah untuk tempat larutan
b. pipa untuk menghubungkan wadah ke rectal tube

11
c. klem untuk menjepit pipa, untuk mengontrol aliran larutan ke pasien
d. rectal tube dengan ukuran yang tepat
e. pelumas yang digunakan untuk rectal tube sebelum dimasukkan
f. termometer untuk mengukur suhu larutan
g. sabun / garam.
h. sejumlah larutan yang dibutuhkan dengan suhu yang tepat. Larutan ditempatkan di wadahnya,
diperiksa suhunya, kemudian menambahkan sabun / garam.
3. selimut mandi untuk menutupi klien
4. perlak agar tempat tidur tidak basah
5. bedpan. 

   Intervensi

1.      Tutup pintu/pasang sampiran (screen).


Rasional: memberikan privasi pada klien.
2.      Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
Rasional: pencegahan terjadinya transmisi bakteri.
3.      Kaji kondisi anal dan deformitas.
Rasional: pengkajian merupakan tahap awal setiap prosedur yang akan memberikan
informasi suatu tindakan dapat dilaksanakan atau tidak.
4.      Jelaskan prosedur kepada klien bahwa ia mungkin akan merasakan gembung ketika larutan
dimasukkan.
Rasional: memberikan informasi dapat meningkatkan kesiapan dan kerjasama pasien selama
proses tindakan enema berlangsung.
5.      Bantu klien orang dewasa atau usia toddle untuk mengambil posisi lateral kiri, dengan kali
kanan fleksi dan beri selimut mandi.
Rasional: posisi ini memudahkan aliran larutan sesuai dengan gravitasi ke dalam sigmoid dan
kolon descenden yang berada pada sisi kiri. Kaki kanan fleksi agar anus lebih tampak.
6.      Letakkan perlak di bawah bokong klien agar sprey tidak basah.
Rasional: merupakan tindakan preventif untuk menjaga kebersihan tempat tidur.
7.       Beri pelumas pada rectal tube 5cm jika untuk orang dewasa. Untuk anak-anak beberapa
enema yang dijual sudah mempunyai tube yang sudah dilumasi.
Rasional: pelumas memudahkan masuknya tube melalui spinkter ani dan        meminimalisir
trauma.

12
8.      Buka klem lewatkan beberapa larutan melalui pipa penghubung dan rectal tube, kemudian
tutup klem.
Rasional: pipa diisi dengan larutan untuk mengeluarkan udara di dalamnya. Udara yang
masukke dalam rektum menyebabkan peregangan yang tidak perlu.
9.      Masukkan rectal tube dengan lembut dan perlahan ke dalam rektum, tujukan ke unbilikus.
Masukkan tube dengan jarak yang tepat.
Rasional: pemasukan pipa k eumbilikus memandu opipa di sepanjang rektum. Rectal tube
dimasukkan melewati spinkter internal
10.  Jika terjadi tahanan di spinkter internal, suruh klien untuk bernapas dalam dan lewatkan
sedikit larutan melalui pipa. Jika tahanan berlangsung lama, tarik pipa dan laporkan pada
perawat yang bertanggung jawab
Rasional: bernapas dalam dan memasukkan sedikit larutan bisa membuat spinkter rileks.
11.  Jika tidak ada tahanan, buka klem dan angkat wadah larutan ke atas rektum pada ketinggian
yang tepat ; 30-45cm untuk dewasa dan 7,5 untuk bayi
Rasional: pada ketinggian ini, larutan tidak mendesak tekanan yang cukup untuk mengganti
kerusakan lapisan pada rektum
11. Masukkan cairan dengan perlahan. Jika klien mengeluh merasa gembung atau nyeri, gunakan
klem untuk menghentikan aliran selama 30 detik, kaji warna kulit, keringat, dyspnoe. Jika
tidak dijupai kelainan buka kembali alirannya dengan kecepatan yang rendah.
Rasional: memasukkan cairan dengan perlahan dan menghentikan aliran untuk sementara
menurunkan kemungkinan spasme intestinal dan pengeluaran yang dini pada larutan.
13. Setelah semua larutan dimasukkan atau ketika klien tidak bisa menerima lagi dan ingin b.a.b,
tutup klem dan keluarkan rectal tube dari anus
Rasional: keinginan untuk b.a.b biasanya mengindikasikan bahwa cairan yang masuk sudah
cukup
14. Gunakan tekanan yang tetap pada anus dengan tissu atau tekan bokong untuk membantu
menahan enema. Biarkan klien dalam posisi berbaring.
Rasional: beberapa enema lebih efektif jika ditahan 5-10 menit. Waktunya tergantung pada
jenis enema. Klien lebih mudah menahannya pada posisi berbaring daripada ketika duduk
atau berdiri, karena gravitasi membantu pengaliran peristaltik.
15. Bantu klien untuk duduk pada bedpan atau toilet. Jika spesimen feses dibutuhkan anjurkan
klien menggunakan bedpan
Rasional: posisi duduk lebih dianjurkan karen amembantu proses defekasi
16. Suruh klien agar tidak menyiram toilet jika ia selesai menggunakannya.
Rasional: untuk mengevaluasi output/keberhasilan tindakan enema
17. Catat pemasukan dan pengeluaran enema; jumlah, warna, konsistensi, pengeluaran flatus dan
perenggangan abdomen.

13
Rasional: Pencatatan merupakan aspek legal sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat.
Pemberian enema pada pasien yang tidak bisa mengontrol diri
Kadang-kadang perawat perlu memberikan enema untuk klien yang tidak bisa mengontrol
otot spinkter externalnya dan lalu tidak bisa menahan larutan enema untuk beberapa menit.
Pada kasus ini klien dianjurkan pada posisi supine di atas bedpan. Bagian kepala dari bedpan
bisa sedikit disudut, misal 30 derajat jika perlu, dan kepala dan punggung klien ditahan
dengan guling. Perawat mengenakan sarung tangan untuk memegang rectal tube, untuk
mencegah kontak langsugn dengan larutan dan feses yagn dikeluarkan dengan tangan ke
dalam bedpan selama pemberian enema.
 Prosedur Pemberian Suppositoria

1.      Persiapan Alat


         Obat sesuai yang diperlukan (krim, jelly, foam, supositoria)
         Aplikator untuk krim vagina
          Pelumas untuk supositoria
         Sarung tangan sekali pakai
          Pembalut
         Handuk bersih
          Gorden / sampiran
2.      Persiapan Pasien dan Lingkungan
         Menjelaskan kepada pasien tujuan tindakan yang akan dilakukan.
         Memebritahukan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
          Menutup jendela, korden, dan memasang sampiran atau sketsel bila perlu.
         Menganjurkan orang yang tidak berkepentingan untuk keluar ruangan.
3.      Pelaksanaan
         Periksa kembali order pengobatan mengenai jenis pengobatan waktu, jumlah dan dosis obat.
         Siapkan klien
  Identifikasi klien dengan tepat dan tanyakan namanya
  Berikan penjelasan pada klien dan jaga privasi klien
  Atur posisi klien dalam posisi sim dengan tungkai bagian atas fleksi ke depan
  Tutup dengan selimut mandi, panjangkan area parineal saja
         Kenakan sarung tangan
          Buka supositoria dari kemasannya dan beri pelumas pada ujung bulatan dengan jeli, beri
pelumas sarung tangan pada jari telunjuk dan tangan dominan anda.

14
         Minta klien untuk menarik nafas dalam melalui mulut dan untuk merelaksasikan sfingterani.
Mendorong supositoria melalui spinter yang kontriksi menyebabkan timbulnya nyeri
         Regangkan bokong klien dengan tangan dominan, dengan jari telunjuk yang tersarungi,
masukan supusitoria ke dalam anus melalui sfingterani dan mengenai dinding rektal 10 cm
pada orang dewasa dan 5 cm pada bayi dan anak-anak.
Anak supositoria harus di tetapkan pada mukosa rectum supaya pada kliennya di serap dan
memberikan efek terapeutik
         Tarik jari anda dan bersihkan areal anal klien dcngan tisu.
         Anjurkan klien untuk tetap berbaring terlentang atau miring selama 5 menit untuk mencegah
keluarnya suppositoria
         Jika suppositoria mengandung laktosit atau pelunak fases, letakan tombol pemanggil dalam
jangkauan klien agar klien dapat mencari bantuan untuk mengambil pispot atau ke kamar
mandi
         Buang sarung tangan pada tempatnya dengan benar
         Cuci tangan
          Kaji respon klien
         Dokumentasikan seluruh tindakan.
Intervensi
No. LANGKAH RASIONAL
Pengkajian
1. Review order yang mencakup nama klien, nama Menjamin keamanan dan
obat, dosis, bentuk obat, rute, dan waktu ketepatan administrasi obat
pemberian peda klien
2. Review informasi yang brehubungan dengan Mengizinkan perawat untuk
pengibatan, meliputi efek saat diberikan kepada memberikan pengobatan dan
tubuh, tujuan, efek samping, dan implikasi memonitor
keperwatannya
3. Reviw medikal Record untuk tindakan oprasi pada Kondisi yang menjadi kontra
rektum indikasi supositoria
4. Reviw berbagai tanda dan gejala dari masalah perut Kondisi tersebut mungkin
(konstipasi atau diare) menjadi indikasi penggunaan
supositoria
5. Kaji kemampuan klien untuk melakukan posisi saat Keterbatasan gerak
pemberian supositoria dan memertahankan obat mengindikasikan
ketidakmampuan memberikan
obat sendiri
6. Review pengetahuan klien pada tujuan terapi Indikasi pemberian pendidikan
supositoria dan ketertarikannya untuk melakukan kesehatan. Level motivasi
administrasi sendiri berefek pada pendekantan
pembelajaran
Perencanaan
1. Hasil yang diinginkan:

15
         Klien melaporkan tanda dan gejala hilang Obat efektif
setelah obat diberikan
          Klien menjelaskan tujuan pengobatan Feedback proses belajar klien
         Klien melakukan administrasi pupositoria Mendemonstrasikan
pembelajaran
2. Cek kelengkapan dan keakuratan MAR dengan Lembar order merupakan
catatan order obat, cek nama klien, nama obat, sumber terpercaya dan satu-
rute pemberian, dosis, dan waktu pemberian. satunya catatan legal obat.
Bandingkan MAR dengan label obat 3 klai selama Pastiak kebenaran medikasi
persiapan
3. Cek gelang identitas klien dan tanyakan namanya Memastikan benar pasien
4. Terangkan prosedur pada klien, lakuakn secara Memberikan kepahaman pada
spesifik jika klien mengininkan melakukannya klien dan meningkatkan keja
sendiri sama. Klien mungkin untuk
melakukan sendiri medikasi
supositoria
Implementasi
1. Tutup pintu atau batasi dengan pembatas Memberikan privasi dan
meminimalisasi rasa malu
2. Lakukan cuci tangan, rapika alat sesuai urutan, dan Mengirasi transfer
gunakan sarung tangan mikroorganisme. Membantu
perawat dalam tindakan yang
cekatan
3. Bantu klien mencapai posisi Sim’s dengan kaki Posisi tersebut mengekspose
bagian atas fleksi mengarah ke kepala anus dan memebnatu klien
merelaksasikan spingter
eksternal. Posisi miring kiri
meminimalisasi kemungkinan
supositoeia dan feses keluar
4. Pastikan hanya area anal yang terbuka Memberikan privasi dan rasa
relax
5. Periksa kondisi anus eksternal, dan palapasi dinding Meastikan tidak terjadi
rektum jika perlu. Buka sarung tangan dengan aman perdarahan pada rektum,
dan buang ke tenpat sampah infeksius palapasi memastikan rektum
tidak berisi feses yang mengkin
menggangu penempatan
supositoria. Mengirang
transmisi mikroorganisme
6. Gunakan sarung tangan baru Minimalisasi kontak dengan
material feses dan mengurangi
transmisi mikroorganisme
7. Keluarkan supositoria dari kemasan, berkan Lubrikan mengurang gesekan
lubrikan pada ujungnya. Lubrikasi juga jari tengah saat supositoria memasuki
dari tangan dominan, jika klien punya hemoragi, rektum
berikan lubrikan yang lebih banyak dan lakukan
secara lembut
8. Minta klien untuk tarik napas dala lewat mulut dan Mengurang nyeri dan
merilekskan spingter eksterna memuluskan pemasukan
9. Pisahkan bokong klien dengan tangan nondominan. Supositoria harus menempel di
Dengan jari tengah tangan nondominan masukan mukosa anus untuk absorbsi 
supositoria secara halus ke dalam anus, melewati dan aksi obat yang lebih
spingter internal, menempel di dinding anus efektif
sedalam 10 cm (4 inchi)

16
10. Tarik jari, dan bersihkan area anal Meberikan rasa nyaman
11. Lepaskan sarung tangan dengan aman dan masukan Mengurangi transmisi
ke tempat sampah tertentu mikroorganisme
12. Minta klien untuk tidur terlentang atau tetap pada Menghindari keluarnya
satu sisi selama 5 menit supositoria
13. Bila supositoria mengandung laksatif atau detergen Kontrol eliminsi berlebih
fekal, sipakan bedpen yang mudah dijangkau klien
14. Bila supositoria dierikan untuk konstipasi, ingatkan Memberikan kesempatan
klien untuk tidak mengguyur toilt setelah defekasi kepada staff untuk
mengevaluasi hasil dari
supositoria
15. Lakukan cuci tangan, dan buang sarung tangan, Menurunkan resiko transmisi
bersihkan alat mikroorganisme
Evaluasi
1. Kembali 5 menit kemudian untuk memestikan Memastikan jika obat
supositoria tidak keluar terdistribusi dengan baik,
pemasukan kembali mengkin
perlu
2. Tanyakan apakah klien mengalami Memastikan apakah pemasukan
ketidaknyamanan selama pemasukan supositoria mengiritasi
3. Evaluasi apakah sanda dan gejala hilang pada Memastikan efektifitas obat
masalah eliminasi
4. Minta klien untuk menjelaskan kembali tujuan dari Mencerminkan kepahaman
medikasi klien tentang tujuan
pengibatan
5. Izinkan klien untuk melakukan redemonstrasi untuk Demonstrasi adalah alat ukur
pengobatan berikutnya pembelajaran

Hal-hal yang harus diperhatikan


Penggunaan enema yang tidak benar dapat menyebabkan tergangguanya
keseimbangan elektrolit tubuh (pemberian enema berulang) atau perlukaan pada jaringan
kolon atau rektum hingga terjadinya perdarahan bagian dalam. Perlukaan ini dapat
menyebabkan terjadinya infeksi, perdarahan dalam kolon terkadang tidak nampak secara
nyata tetapi dapat diketahui melalui perubahan warna feces menjadi merah atau kehitaman.
Jika terdapat tanda ini maka diperlukan tindakan medis dengan segera.
Tindakan enema juga dapat merangsang nervus vagus yang memicu terjadinya arritmia
misalnya bradikardi. Tindakan enema tidak dapat diberikan selagi adanya nyeri perut yang
belum diketahui penyebabnya, peristaltik usus dapat menyebabkan peradangan apendiks
hingga pecahnya apendiks.
 Rektal supositoria kontra indikasi apabila terjadi perdarahan rektum yang aktif.
 Menempatkan obat kedalan fese membuat penyerapan kurang maksimal dan
memungkinkan obat akan keluar kembali saat defekasi
 Klian dengan mobilitas baik, maka posisinya haruas sim’s. Bila klien imobilitas, maka
diperbolehkan posisi lateral dengan menepatkan bantal pada tangan dan kaki bagian
atas untuk memebrikan kenyamanan.

17
 Jangan mempalpasi rektum jika klien barus menjalani oprasi rektum
 Supositoria dapat dimasukan melalu jalan kolostomi, bukan ileostomi.

1. Simpan obat sipositoria di dalam lemari pendingin (kulkas) sehingga bentuk obat
tetap padat dan tidak lumer. Obat vagina supositoria dan rektal supositoria dapa
disimpan dalam kulkas yang sama. Perhatikan bentuk tiap obat tersebut untuk
membedakan.
2. Posisi klien yang dibatasi geraknya di bagian kaki atau pinggul muka obat dpat
diberikan dengan posisi berbaring dan kaki diabdusikan.
3. Jika klien mempunyai penyakit Hemoroid maka lumaskan pula obat supositoria
dengan jumlah yang cukup.
4. Masukkan obat supositoria dengan hati-hati agar terhindar iritasi vagina atau
ektum.
5. Setelah obat supositoria dimasukkan (ke dalam vagina atau rektal), panas tubuh
akan menyebabkan obat tersebut lumer dan larut sehingga dapat diabsorpsi tubuh.
6. Pada klien yang tidak sadar, mungkin diperlukan pemakaian perineal pas
(semacam pampers) setelah pemberian obat rektal supositoria untuk menampung
feses.
7. Ajarkan klien dan keluarga melakukan perineal hygiene.
8. Pada klien anak-anak, tahan obat dengan cara mengapit kedua belahan bokong
slama beberapa menit sampai obat diabsorpsi tubuh
9. Pada klien manula, biasanya klien tidak mampu mengontrol spinter anal untuk
menahan obat tidak keluar dari rektal.
Keuntungan dan Kerugian
a.      Keuntungan
 Bisa mengobati secara bertahap
 Kalau missal obat einimbulkan kejang, atau panas reaksinya lebih cepat, dapat
memberikan efek local dan sistemik.
 Contoh memberikan efek local dulcolax untuk meningkatkan defeksasi.
b.      Kerugian
 Sakit tidak nyaman daya fiksasi lebih lama dari pada IV.
 Kalau pemasangan obat tidak benar, obat akan keluar lagi.
 Tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami pembedahan rekrtal.

18
Evaluasi
 Klien akan memperlihatkan efek / reaksi tubuh yang minimal terhadap
pengobatan.
 Klien dapat memahami regimen / tata laksana pengobatan yang sedang
dijalani.
Terlibat menggunakan intervensi yang dapat mencegah masalah medikasi pada klien.

BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Pemberian obat pervaginam merupakan cara pemberian obat dengan memesukkan
obat melalui vagina, yang bertujuan untuk mendapatkan terapi obat dan mengobati saluran

19
vagina atau serviks. Tujuan pemberian obat pervaginam mengobati infeksi pada vagina dan
menghilangkan nyeri, rasa terbakar dan ketidaknyamanan pada vagina serta mengurangi
peradangan. Pemberian Obat via Anus/Rektum merupakan cara memberikan obat dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum, dengan tujuan memberikan efek lokal dan
sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk
mendapatkan efek terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air
besar.

2.Saran
Adapun saran-saran dalam penulisan makalah ini adalah :
 Dapat mengetahui dan dapat meningkatkan wawasan tentang Pemberian Obat Pervagina dan
Rektum
 Dengan disusunnya makalah ini kami mengharapkan kepada para pembaca agar dapat
mengetahui dan memahami tentang Pemberian Obat Pervagina dan Rektum serta dapat
memberikan kritik dan saran agar makalah ini dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Demikian saran yang dapat penulis sampaikan semoga dapat membawa manfaat bagi semua
pembaca.

20

Anda mungkin juga menyukai