Materi ACLS PDF
Materi ACLS PDF
SUPPORT)
Oleh : Fatir M.Natsir
REVIEW ARTIKEL
Indian J. Anaesth.2005;49 (2):96-104
Ringkasan:
Resusitasi serebral adalah tujuan yang paling penting dari seluruh upaya resusitasi
dan agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian yang tidak terputus mulai
dari bantuan hidup dasar dan intermediat (BLS dan ILS) dan berakhir dengan
bantuan hidup jantung lanjut (ACLS). Waktu sama dengan keadaan kritis dan
interval waktu antara pingsannya korban dan mulainya upaya resusitasi oleh
penolong menentukan hasil dari semua upaya resusitasi. Setiap masyarakat
seharusnya melaksanakan rangkaian upaya untuk mempertahankan kelangsungan
hidup yang mencakup resusitasi kardiopulmoner dini (CPR), defibrilasi dini dan
ACLS dini.9,2Banyak upaya resusitasi tidak akan berhasil; penolong harus
mengetahui kapan harus berhenti dan yang lebih penting lagi kapan untuk tidak
memulainya. Rencana lanjutan sama pentingnya dan setiap percobaan resusitasi
memiliki struktur yang berkembang setiap waktu dan melewati berbagai tahap.2Di
dalam lingkungan masyarakat dan juga rumah sakit kita, tingkat kesadaran tentang
protokol resusitasi sangat buruk dan kami berharap dengan mereview pedoman-
pedoman tersebut kita dapat merumuskan strategi- strategi resusitasi dalam
masyarakat kita dan dengan penuh harapan melaksanakannya dalam waktu dekat
mendatang.
Kata kunci : bantuan hidup dasar (BLS), bantuan hidup jantung lanjut (ACLS),
penilaian A B C D, defibrilasi.
1
PENDAHULUAN
Teresusitasi dari keadaan henti jantung- paru adalah salah satu bentuk hasil
intervensi yang paling efektif dalam ilmu kedokteran.1 Fibrilasi ventrikel tetap
merupakan irama jantung yang paling sering ditemukan pada saat henti jantung dan
yang mayoritas terjadi di luar rumah sakit. Resusitasi kardiopulmoner (CPR) yang
dilakukan di rumah atau di tempat umum hanya membantu 50% saja untuk
menghidupkan kembali jantung dan mengembalikan pernapasan, bahkan di sebagian
besar masyarakat yang berhasil. Bahkan setelah jantung berdenyut kembali, hanya
separuh dari korban henti jantung dengan ventrikel fibrilasi (VF) yang masuk rumah
sakit dapat bertahan hidup dan pulang ke rumah, dengan kata lain 3 dari 4 percobaan
tidak akan berhasil.2 Keberhasilan kembalinya sirkulasi pada henti jantung yang
terjadi di luar rumah sakit di beberapa negara seperti Amerika Serikat bervariasi dari
3- 33%; hanya 20% dari pasien- pasien tersebut yang masih hidup untuk kemudian
keluar dari rumah sakit dan hanya 50% pada kasus seperti itu yang memiliki keluaran
neurologis yang memuaskan.3,4 Terdapat sebuah konsensus yang berkembang tentang
fakta bahwa kembalinya sirkulasi spontan bukanlah akhir dari upaya resusitasi dan
banyak tindakan dibutuhkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang
dan keluaran neurologis.1,2
Resusitasi serebral adalah tujuan CPR yang paling penting dan beberapa
orang lebih senang menggunakan istilah resusitasi jantung paru dan otak (CPCR).
Tindakan resusitasi dimulai dengan bantuan hidup dasar, dilanjutkan dengan bantuan
hidup intermediat, dan berakhir dengan bantuan hidup jantung lanjut (ACLS).
Bantuan hidup intermediate, adalah istilah yang dibuat baru-baru ini untuk
menjembatani celah antara BLS dan ACLS; termasuk di dalamnya penggunaan
defibrilator eksternal otomatis (AED’S) dan beberapa alat bantu pernapasan lanjutan
oleh anggota penolong terlatih. ACLS mencakup penggunaan peralatan dan teknik
lanjut untuk membuat dan mempertahankan ventilasi dan juga sirkulasi,
mempertahankan akses intravena, terapi untuk pasien dengan henti jantung dan paru,
selain itu juga untuk mengobati pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) dan
pasien- pasien stroke yang memenuhi syarat.2
2
Meskipun penelitian tentang ACLS telah berlangsung berpuluh tahun
lamanya, kemampuan bertahan hidup korban setelah mengalami henti jantung,
bahkan di negara- negara barat, tetap saja buruk. Berkaitan dengan adanya kendala
etik, banyak dari penelitian tersebut dilakukan pada hewan mamalia dan beberapa
penelitian dengan hasil yang memuaskan telah di uji cobakan pada manusia dengan
protokol penelitian yang didesain dengan baik dan tersusun teliti.1 Resusitasi oleh
orang yang pertama kali menemukan korban (responder) dan orang- orang yang ada
di sekitar korban (bystander) menjadi sasaran di negara- negara berkembang, dan
penggunaan defibrilator eksternal otomatis (yang dapat menganalisa irama jantung
dan merekomendasikan tindakan yang sesuai) baik oleh penolong awam maupun
yang terlatih sedang dianjurkan. Defibrilasi bifasik dan mungkin trifasik sedang
menggantikan defibrilasi monofasik konvensional sebagai prosedur yang telah
terbukti jelas sama atau lebih manjur dan lebih sedikit mencederai
miokardium.1,2,5,6,7,8
Waktu adalah kritis; interval waktu yang pendek sejak korban pingsan sampai
pertolongan menentukan seluruh keluaran pasien.9 Setiap masyarakat harus berusaha
untuk melaksanakan rangkaian upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup
dan memberikan komponen ACLS yang berkualitas tinggi. Sayangnya di masyarakat
kita dan juga di rumah sakit- rumah sakit kita terdapat protokol-protokol resusitasi
bermutu rendah. Tujuan kami adalah untuk mereview pedoman- pedoman resusitasi
sehingga kita dapat mengembangkan strategi- strategi yang efektif untuk
melaksanakannya dalam waktu dekat mendatang. Rekomendasi baru berdasar pada
review dari bukti- bukti dan opini konsensus serta pedoman dari konferensi ACLS
pada tahun 2000; Perhatian telah diberikan pada pengklasifikasian berbagai macam
intervensi atas dasar efek klinis yang terbukti pada percobaan klinis yang baik.
3
Klasifikasi rekomendasi untuk intervensi terapi10
Survey ini merupakan komponen pertama dan yang paling penting dari setiap
upaya resusitasi. Langkah pertama adalah untuk memastikan korban dan juga
penolong aman dari berbagai faktor lingkungan di sekitarnya, misalnya pada tempat
terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penolong kemudian menilai respon korban;
penolong harus selalu menganggap korban mengalami henti jantung atau paru atau
keduanya kecuali jika terbukti tidak demikian. Pada kasus trauma penolong harus
memikirkan kemungkinan adanya cedera servikal dan memastikan leher korban
distabilisasi sehingga tidak memperburuk cedera; penolong harus memposisikan
dirinya, berlutut di samping korban sejajar dengan bahunya.
4
perbaikan menyeluruh dalam kelangsungan hidup korban. Keseluruhan konsensus
pada kasus henti jantung di luar rumah sakit adalah bahwa kompresi dada saja yang
dilakukan oleh penolong awam sama efektifnya jika dikombinasikan dengan
pernapasan mulut ke mulut.11,12,13,14,15
5
program- program untuk mencapai defibrilasi lebih awal (kelas 1).2 Defibrilator
eksternal otomatis direkomendasikan untuk tempat-tempat publik dengan probabilitas
tinggi terjadinya henti jantung, minimal terjadi satu kasus henti jantung dalam lima
tahun (kelas 2b),2,10 VF/ pulseless VT dapat didefibrilasi dengan kejut monofasik
(200j- 300j- 360j) atau kejut bifasik (150j-150j-150j); upaya terbaru menunjukkan
bahwa penting untuk mengulangi CPR setelah defibrilasi jika defibrilasi
menghasilkan irama tanpa denyut nadi. Terdapat juga konsensus yang berkembang
menyatakan bahwa korban VF yang tidak mendapatkan defibrilasi bahkan 5 menit
setelah kejadian, harus mendapatkan terapi perfusi (CPR) sebelum defibrilasi.1
Jika tidak berespon Cek kemamampuan Goyang-goyangkan dan berteriak pada korban
berespon
* Jaw thrust pada korban yang dicurigai mengalami cedera servikal **selama 5 menit saja ***nilai
selama 10 menit saja ****2 bantuan napas perlahan (selama 1.5- 2.0S) mulut ke mulut atau dengan
alat misalnya face mask atau face shield atau bag ke masker ventilasi *****rasio 15:2 pada satu orang
penolong, rasio 5:1 pada lebih dari satu penolong. ($) dirumuskan oleh penulis
6
Survei ABCD Sekunder
Jalan napas : Penolong haruslah menyediakan jalan napas tahap lanjut; hanya
orang- orang yang melakukan 6-12 kali intubasi setiap tahun yang boleh melakukan
percobaan intubasi. Penolong yang minim pengalaman harus menggunakan laryngeal
mask airway (LMA) atau Esophageal-Tracheal Combitube.2,10
7
sirkulasi dan yang ditimbulkan oleh cedera reperfusi. Kematian sering terjadi
berkaitan dengan kegagalan jantung dan neurologik dan banyak dari kematian
tersebut terjadi dalam 48 jam pertama setelah resusitasi.27 Strategi perlindungan organ
vital dapat meningkatkan hasil resusitasi mencakup penggunaan defibrilator energi
rendah, penggunaan vasopresor yang tidak meningkatkan konsumsi oksigen
miokardium, hipotermi,17,28 penggunaan ionotropik (Dobutamin), metabolik
(glukosa-insulin-kalium), dan mekanik (pompa balon intra-aorta, bypass jantung-
paru, pijat jantung minimal invasif), bantuan sirkulasi; penggunaan pembuka saluran
kalium, penghambat pertukaran natrium/ hidrogen, penghambat calpain (Cariporide),
antioksidan dan pengaturan ekspresi gen yang juga sedang dievaluasi.
Telah terdapat sedikitnya dua percobaan acak terpublikasi pada manusia yang
telah membandingkan dua kelompok pasien post henti jantung VF yang berespon
terhadap resusitasi dengan kembalinya sirkulasi spontan;29,30 kedua kelompok
tersebut diacak untuk mendapatkan keadaan normotermia dan hipotermia ringan (32-
34oC). Hasilnya ditentukan sesuai dengan pemulihan neurologik yang baik untuk
membolehkan mengeluarkan pasien. Kelompok yang mendapatkan keadaan
hipotermia ringan didapatkan memiliki keluaran yang lebih baik jika dibandingkan
dengan mereka yang mendapatkan keadaan normotermia.
8
TINJAUAN IRAMA JANTUNG PADA ACLS2
Sejak tahun 60-an epinefrin telah digunakan sebagai obat pilihan untuk kejut
VF refrakter; epinefrin bekerja sebagai agonis alpa yang menyebabkan vasokonstriksi
9
sistemik yang mempertahankan vasokonstriksi perifer; yang mempertahankan tonus
pembuluh darah perifer dan mencegah kolaps pembuluh darah, selain meningkatkan
perfusi arteri koroner.2,10
10
ALGORITMA UNTUK IRAMA JANTUNG YANG MEMATIKAN2
SURVEY ABCD
SEKUNDER
Percobaan defibrilasi sampai Epinefrin 1 mg IV, ulangi setiap 3- 5 menit
3 kali kejut
TIDAK ADA RESPON
Perhatikan 5H dan 5T
Takikardi2
Secara klinis penolong harus mengetahui apakah pasien stabil atau tidak;
penting juga untuk mengelompokkan apakah takikardinya kompleks sempit atau
lebar karena hal tersebut yang menuntun pilihan terapi obat.
Jika pasien tidak stabil, penolong harus menstabilkan denyut jantung sebagai
penyebab dari gejala (hampir selalu denyut jantung lebih dari 150). Langkah
berikutnya adalah untuk mengkardioversi irama tidak stabil tersebut. Defibrilator
modern/ kardioverter dapat menghasilkan kejut yang tidak sinkron maupun kejut
yang sinkron; pada awalnya kejut listrik dapat menurun dimana saja di siklus jantung,
sementara sebagai akhirnya kejut dihasilkan secara sinkron dengan puncak kompleks
11
QRS. Kejut listrik tersinkronisasi mennghindarkan dihasilkannya kejut sepanjang
repolarisasi jantung, periode yang rentan selama kejutan dapat memicu fibrilasi
ventrikel. Rekomendasi ACLS adalah untuk mensinkronkan pasien dengan takikardi
stabil dan pasien dengan takikardi tidak stabil yang sangat tidak stabil, yang
penundaan sebentar saja dapat mengakibatkan kemunduran klinis yang lebih lanjut.
Sebaliknya, untuk menghindari penundaan yang berbahaya, pasien yang sangat tidak
stabil, seperti mereka yang dalam syok berat atau pulseles VT, harus mendapatkan
kejut listrik yang tidak sinkron. Jika, kejut yang tidak sinkron menimbulkan VF,
defibrilasi harus dilakukan dengan segera.
Pada VT, perhatian diberikan pada apakah pasien stabil atau tidak, morfologi
(monomorfik atau polimorfik), fraksi ejeksi dan interval QT. Ketika QT normal, VT
disebabkan karena iskemia atau ketidakseimbangan elektrolit; penolong harus
menangani iskemia, dan melakukan koreksi elektrolit.
12
Pada korban dengan interval QT yang memanjang (Torsades), penolong harus
mengoreksi elektrolit, coba magnesium, menambah kecepatan pacing, isoprotrenol,
fenitoin atau lidokain.
Fibrilasi atrium/ atrial flutter diterapi dalam tahap biasa yang bergantung pada
beberapa faktor; jika pasien tidak stabil, penolong melakukan satu kali kardioversi,
jika pasien stabil, kontrol denyut jantung menjadi prioritas diikuti dengan konversi
irama jantung jika dianggap perlu dan/atau sesuai.
Kardioversi DC Kardioversi DC
Prokainamid Amiodaron
*Penolong harus mencoba 50J untuk PSVT atau atrial flutter pada percobaan pertama
kardioversi
13
PROTOKOL FIBRILASI ATRIUM/ ATRIAL FLUTTER2
14
ALGORITMA UNTUK TAKIKARDI KOMPLEKS SEMPIT STABIL (SVT)2
Bradikardi2
Penting untuk mengenali bradikardi yang dihasilkan oleh infark miokard akut,
khususnya infark inferior atau infark ventrikel kanan; efek parasimpatik
menyebabkan bradikardi tapi hipotensi, jika ada dikaitkan dengan keadaan
hipovolemia dan pasien seperti itu membutuhkan pemberian cairan dengan
15
menggunakan normal saline (250-500 ml selama 15- 30 menit) dan tindakan ini dapat
menyelamatkan jiwa. Atropin adalah obat pilihan dalam penatalaksanaan awal dari
banyak kasus bradikardi; obat ini bekerja dengan menghalangi fungsi nervus vagus.
Akan tetapi area jantung yang tidak dipersarafi oleh nervus vagus tidak akan
berespon terhadap atropin; oleh karena itu atropin tidak diindikasikan pada blok
jantung derajat III atau Mobitz tipe II. Penggunaannya dapat mempercepat denyut
atrial dan menghasilkan peningkatan blok nodus AV.
BRADIKARDI, (2)
(ABSOLUT/ RELATIF*)
16
SINDROM KORONER AKUT (ACS)2
Semua tenaga ACLS dilatih untuk menekankan pada reperfusi awal pada
elevasi segmen ST, menghindari terapi fibrinolitik pada ACS dengan depresi segmen
ST karena hal ini menimbulkan resiko bahaya.
17
ALGORITMA UNTUK NYERI DADA ISKEMIK: 31
Elevasi segmen ST/ LBBB onset baru Depresi segmen ST atau T terbalik/ EKG non-diagnostik
angina tidak stabil resiko tinggi Angina intermediate/ resiko rendah
Tidak ada penundaan
reperfusi
Mulai terapi tambahan**** Glikoprotein IIb/IIIa
Beta-bloker IV, Heparin Penghambat reseptor
+
ACE-inhibitors setelah 6 jam + (UHF/LMWH, Nitrogliserin IV YES
atau jika stabil
Nilai status klinis
18
Rekomendasi baru untuk sindrom koroner akut31
a. Semua pasien dengan infark miokard membutuhkan aspirin dan beta- bloker
jika tidak ada kontraindikasi.
a. Terapi fibrinolitik pre- rumah sakit (kelas 2a) bermanfaat untuk pasien- pasien
yang memenuhi syarat ketika transportasi ke rumah sakit memerlukan waktu
>60 menit.
b. Pasien- pasien dengan syok kardiogenik atau gagal jantung karena infark
miokard akut perlu untuk dipindahkan ke rumah sakit dimana PCI/CABG
tersedia jika, waktu transpornya 30-45 menit.
c. PCI dapat disamakan dengan terapi fibrinolitik di rumah sakit besar dengan
operator yang berpengalaman.
d. PCI lebih unggul dari terapi fibrinolitik pada pasien usia <75 tahun dengan
syok kardiogenik.
e. Heparin bolus 80 m/kg dan infus 12 m/kg perhari diindikasikan sebagai terapi
tambahan dengan terapi fibrinolitik (misalnya, alteplase) dan untuk semua
pasien yang menjalani PCI.
19
B. Infark Miokard Akut dengan Depresi Segmen ST31
FARMAKOLOGI RESUSITASI
a. Amiodaron (kelas 2b) 300 mg IV bolus cepat adalah obat pilihan untuk henti
jantung karena VT/VF yang tetap berlangsung setelah pemberian kejut berkali-
kali. (Lidokain 1.0-1.5 mg/kg kelasnya tidak dapat ditentukan untuk indikasi
yang sama).8,32,33
b. Amiodaron dan Sotalol (kelas 2b) adalah obat yang direkomendasikan untuk
terapi VT monomorfik stabil dan polimorfik.32
e. Magnesium sulfat (kelas 2b) 1-2 g IV diberikan pada keadaan torsade de pointes
atau ketika pasien dicurigai iskemia karena hipomagnesemia.31
20
f. Prokainamid (kelas tidak ditentukan) sampai 50 mg/kg diberikan pada korban
VF/VT yang berespon terhadap terapi kejut dengan kembalinya denyut nadi
secara intermitten atau pada korban yang bukan VF/VT tetapi aritmianya
berulang.
h. Epinefrin dosis tinggi 0.1 mg/kg pada dewasa (kelas tidak ditentukan) tampaknya
tidak memperbaiki survival atau keluaran neurologik pada pasien-pasien henti
jantung.35
Sodium Bikarbonat2
21
KESIMPULAN
a. Resusitasi serebral merupakan tujuan ACLS yang paling penting, kecuali jika
ventilasi dan sirkulasi spontan dimulai dengan cepat, resusitasi yang berhasil
tidak dapat terwujud.
b. Jangan pernah melupakan pasien, tangani pasien bukan aritmianya; para petugas
kegawatdaruratan harus secara konstan meninjau kembali resusitasi daripada
fokus pada satu usaha resusitasi.
c. Agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian tidak terputus yang dimulai
dengan BLS dan diakhiri dengan ACLS; keduanya disatukan oleh ILS (bantuan
hidup intermediat) yang mencakup penggunaan defibrilator eksternal otomatis
(AED’s) dan beberapa peralatan jalan napas lanjut dengan berbagai variasi dari
personel rumah sakit.
d. Waktu adalah kritis, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan
denyut jantung, semakin kecil kesempatan untuk suksesnya resusitasi.
22
meempertahankan keadaan pasien setelah kembalinya sirkulasi dan
memberitahukan kepada keluarga pasien tentang hasil terapi yang diharapkan.
i. Resusitasi yang baik membutuhkan pemikiran yang hati- hati tentang kapan
upaya resusitasi dihentikan dan bahkan yang lebih penting, kapan resusitasi tidak
dimulai. Kita tidak boleh meresusitasi pasien ketika penyakitnya telah berada
pada tahap akhir dan kehidupan berhenti; kita juga tidak boleh meresusitasi
pasien jika bertentangan dengan keinginannya.*
k. Life stick resuscitation dapat dilakukan dan aman serta mungkin bermanfaat
pada pasien asistol atau PEA.
23
REFERENSI
1. AP Adams et al. Recent Advances in Anaesthesia and Intensive Care 2003; 22: 259-99.
2. Richard O. Cummins, ACLS text book. Essential of ACLS 1997; 1-71.
3. Eisenberg et al. Cardiac arrest and resuscitation, Ann Emerg Med 1990; 19: 179-86.
4. Lombardi et al. Phase Study, JAMA. 1994; 271: 678-83.
5. Chapman PD Et al. Monphasic vs biphasic waveforms for non thoracotomy canine internal
fibrillation. J Am Coll Cardiol 1989; 14; 242-45.
6. Gliner BE et al. Trans thoracic defibrillation of swine with monophasic and biphasic waveforms.
Circulation 1995; 92:1634-43.
7. Richard L Page et al. Use of AEDS by US Airline. N Engl J Med 2000; 343: 1210-7.
8. Schuder et al. Transthoracic ventricular defibrillation in 100 kg calf with one cycle of bidirectional
rectangular, wave stimuli. Trans Biomed Eng 1983; 30: 415-22.
9. Cummins R et al. chain of survival concept, AHA. Circulation. 1991; 83(5): 1832-47.
10. M Mark Awar et al. ACLS Geriatrics 2003; 5: 30-34.
11. Alfred Halstrom et al. CPR by chest compression alone or with mouth to mouth ventilation. N Engl
J Med 2000; 342(21);1546-53
12. Cummins et al. Pre hospital CPR, JAMA 1985; 253: 2408-12.
13. Eisenberg MS et al. Cardiac arrest in community JAMA 1979; 241: 1905-07.
14. Thompson RG et al. Bystander initiated CPR for the management of VF. Ann Intern Med 1979;
90:737-40.
15. Waalewijm RA et al. Out of hospital cardiac arrests in Amsterdam and surrounding areas.
Resuscitation 1998; 38:157-167.
16. Babbs C F, Ralston et al. Theoretical advantages of abdominal counterpulsation in CPR. Ann
Emerg Med 1984; 22: 499-506.
17. Leone et al. Mild hypothermia improves neurological outcomes, during and after arrest in dogs. J
Cereb Flow and Metab 1990; 10: 57-70.
18. Wenzel, Inder KH et al. Effects of phased chest and abdominal compression and decompression
CPR on myocardial and cerebral blood flow in pigs. Crit Care Med 2000; 28: 1107-1112.
19. Hans Richard et al. Phased chest and abdominal Compression Decompression Vs Conventional
CPR in out of hospital Cardiac arrest. Circulation 2001; 104: 768-7.
20. Dlaisaine P, Lurie KG et al. comparison of standard CPR with active compression decompression
for out of hospital cardiac arrest. N Engl J Med 1999; 314: 1993-99.
21. Sterz et al. Active compression decompression in patients with cardiac arrest. Circulation 1996; 94:
1-9.
22. Cogbill PD et al. Rationale for selective thoracotomy in trauma. J Trauma 1983; 23: 453-60.
23. Danne PD et al. Emergency Bay Thoracotomy. J Trauma 1984; 24: 796-802.
24
24. Pavia EF et al. Minimally invasive direct CPR versus closed chest CPR in pigs. Resuscitation
2000; 47: 287-299.
25. Jene JL, Jones RE et al. Improved cardiac cell excitation with symmetrical biphasic defibrillation,
Am J Physiol 1989, 253:1418-1424.
26. Negovsky et al. Post resuscitation disease. Crit Care Med 1988; 16: 942-52.
27. Sterz F et al. Mild hypothermic CPR improves outcome after prolonged cardiac arrest in dogs. Crit
Care Med 1991; 19:379-389.
28. Michael Holzer. The hypothermia after cardiac arrest (HACA) study group. N Engl J Med 2002;
346: 549-556.
29. Bernard SA et al. Treatment of comatose survivors of out of hospital cardiac arrest with induced
hypothermia. N Engl J Med 2002; 346: 557-563.
30. Richard O, Cummins. In: ACLS text book, The acute coronary syndromes, including acute
myocardial infarction 1997; 1-30.
31. Peter K Kindenchuck et al. Amioadarone as compared with lidocaine for shock resistant VF. N
Engl J Med 2002; 346;884-91.
32. Weaver WD et al. Effect of epinephrine and lidocaine therapy on outcome after cardiac arrest due
to VF. Circulation 1990;82(6): 2027-34.
33. Kurt H Linder et al. Comparison of epinephrine with vasopressin in out of hospital VF. Lancet
1997; 349(22):535-7.
34. C Vandyke et al. High dose versus standard dose epinephrine in cardiac arrest. Resuscitation 2000;
45: 161-66.
25