Anda di halaman 1dari 86

11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.

htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 1/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 2/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


BULETIN KONSUMSI PANGAN


Volume 10 Nomor 1 Tahun 2019


Ukuran Buku :�
21,0 cm x 29,7 cm








Penanggung Jawab:
Dr. Ir. I Ketut Kariyasa, M.Si



Redaktur :
Dr. M. Luthful Hakim



Penyunting/Editor:
Agus Sumantri, S.Sos



Penulis Artikel :
Ir. Sabarella, M.Si (Beras)
Ir. Wieta B. Komalasari, M.Si (Jagung)
Sri Wahyuningsih, S.Si (Kedelai)�
Maidiah Dwi Naruri Saida, S.Si (Cabai)
Megawati Manurung, SP (Bawang Merah)
Sehusman, SP (Daging Sapi)
Rinawati, SE (Daging Ayam)�
Yani Supriyati, SE (Gula)





Desain grafis:
Rinawati, SE



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian


Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 3/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 4/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm



epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 5/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 6/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 7/86





KATA PENGANTAR




Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya sehingga publikasi Buletin Konsumsi
Pangan komoditas pertanian tahun 2019 dapat diterbitkan.� Buletin Konsumsi Pangan komoditas pertanian� yang terbit
setiap semester merupakan salah satu upaya Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian dalam meningkatkan pelayanan data
dan informasi pertanian. Buletin Konsumsi Pangan Volume 10 Nomor 1 Tahun 2019 menyajikan perkembangan konsumsi dan
neraca penyediaan dan penggunaan komoditas beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan
gula. Data yang disajikan dalam buletin ini diolah oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian
bersumber dari publikasi hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS, website FAO (Food Agriculture Organization)
dan� website USDA (United States Departement of Agriculture) dan sumber lainnya.

Besar harapan kami bahwa buletin ini dapat bermanfaat bagi para pengguna baik di lingkup Kementerian Pertanian
maupun para pengguna lainnya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan di masa
mendatang.





Jakarta,�� Mei 2019
Kepala Pusat,


Dr. Ir. Ketut Kariyasa, M.Si











DAFTAR ISI


8/86
KATA PENGANTAR� ....................................................................................................... iii DAFTAR ISI�������
............................................................................................................ v

I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

II. METODOLOGI ......................................................................................................... 3

III. POLA KONSUMSI MASYARAKAT INDONESIA� ............................................................. 5 IV.� KONSUMSI DAN NERACA
PENYEDIAAN - PENGGUNAAN BERAS ................................. 11

V. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN � PENGGUNAAN JAGUNG .............................. 22

VI. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN � PENGGUNAAN KEDELAI ............................. 35

VII. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN � PENGGUNAAN CABAI ................................. 46

VIII. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN � PENGGUNAAN BAWANG MERAH ................ 55 IX. KONSUMSI DAN NERACA
PENYEDIAAN � PENGGUNAAN DAGING SAPI ....................... 62

X. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN � PENGGUNAAN DAGING AYAM ....................... 72

XI. KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN � PENGGUNAAN GULA PASIR ......................... 84

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 96



Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian v


��������������� �

9/86

10/86

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian ��� v

11/86

12/86
11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 13/86


11/2/2020

BAB I.� PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang

P
angan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi
hak asasi setiap rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

pembangunan nasional.

Kebutuhan pangan merupakan penjumlahan dari kebutuhan pangan untuk konsumsi langsung, kebutuhan industri dan permintaan
lainnya.� Konsumsi langsung adalah jumlah pangan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk
makanan juga semakin meningkat dan beragam.� Oleh karena itu salah satu target Kementerian Pertanian adalah peningkatan diversifikasi
pangan, terutama untuk mengurangi konsumsi beras dan terigu, yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan
hewani, buah-buahan dan sayuran. Selain itu juga diupayakan tercapainya pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman
yang tercermin oleh meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 84,1 pada tahun 2015 menjadi 92,5 pada tahun 2019 (Tabel 1.1).

Tabel 1.1. Sasaran Konsumsi Energi, Protein dan Skor Pola Pangan Harapan (PPH), 2015 � 2019
Tahun
No Kelompok Pangan
2015 2016 2017 2018 2019
Konsumsi energi per kelo mpok pa ngan (kk al/kapit
a/hari)
1 Padi-padian 1,165 1,161 1,156 1,152 1,147
2 Umbi-umbian 53 69 84 100 115
3 Pangan Hewani 191 200 208 217 225
4 Minyak dan Lemak 238 232 227 221 215
5 Buah/biji berminyak 43 49 54 60 65
6 Kacang-kacangan 65 72 80 87 95
7 Gula 94 98 101 104 108
8 Sayur dan Buah 111 112 113 114 115
9 Lain-lain 42 48 53 59 65
Total Energi 2,004 2,040 2,077 2,113 2,150
Konsumsi protein (gram/ kapita/h ari)
1 Protein 56.1 56.4 56.6 56.8 57
Skor PPH 84.1 86.2 88.4 90.5 92.5
Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian����


�Berkenaan dengan konsumsi pangan, maka Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian menyusun Buletin Konsumsi Pangan strategis
seperti beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula. Buletin ini menyajikan perkembangan konsumsi
serta neraca penyediaan dan penggunaan.� �


1.2. Tujuan

Tujuan disusunnya buletin ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsumsi pangan komoditas beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula.

2. Untuk mengetahui neraca penyediaan dan penggunaan komoditas beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi,
daging ayam dan gula.

3. Untuk mengetahui konsumsi domestik komoditas pertanian di dunia.

14/86
11/2/2020
1.3. Ruang Lingkup Publikasi�

Buletin Konsumsi Pangan Volume 10 No. 1 Tahun 2019 menyajikan informasi perkembangan pola konsumsi komoditas beras, jagung,
kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula untuk masyarakat Indonesia dan konsumsi rumah tangga per kapita per
tahun dan prediksi 3 tahun ke depan yakni tahun 2019, 2020 dan 2021 serta konsumsi di negara-negara di dunia untuk komoditas yang
dibahas.� Neraca bahan pangan disajikan tahun 2015 � 2018 dan prediksi untuk tahun 2019. Komoditas yang dianalisis pada buletin ini
adalah beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan gula.��



15/86
11/2/2020

BAB II.� METODOLOGI


2.1. Sumber Data

Data konsumsi rumah tangga yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari publikasi hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS
(hasil survei Maret). Sejak tahun 2011, BPS melaksanakan SUSENAS setiap triwulan, namun dalam publikasi buletin ini digunakan data hasil
SUSENAS terbaru yaitu Bulan Maret tahun 2017, dengan menggunakan kuesioner modul konsumsi/pengeluaran rumah tangga.�
Pengumpulan data dalam SUSENAS dilakukan melalui wawancara dengan kepala rumah tangga dengan cara mengingat kembali (recall)
seminggu yang lalu pengeluaran untuk makanan dan sebulan untuk konsumsi bukan makanan. Data konsumsi/pengeluaran yang
dikumpulkan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1) pengeluaran makanan (dikumpulkan kuantitas dan nilai rupiahnya) dan (2) pengeluaran
konsumsi bukan makanan (yang dikumpulkan nilai rupiahnya, kecuali listrik, gas, air dan BBM dengan kuantitasnya).� Data konsumsi rumah
tangga yang bersumber dari SUSENAS (BPS) disajikan per kapita per minggu. Selanjutnya dalam penyajian publikasi ini dikonversi menjadi
per kapita per tahun dengan dikalikan dengan 365/7.� Selain data konsumsi rumah tangga, pada publikasi ini juga ditampilkan tabulasi data
neraca bahan pangan berdasarkan perhitungan Pusdatin.��


2.2. Metode

Cara perhitungan neraca bahan pangan adalah sebagai berikut:

1. Penyediaan (supply) :
Ps = S awal + P + I � E�� dimana:
Ps������ = total penyediaan dalam negeri
P������� = produksi
S awal ��= stok awal tahun
I�������� = Impor
E = ekspor

2. Penggunaan (utilization) Pg = Pk + Bn + Id + Tc + F dimana:
Pg = total penggunaan
Pk = pakan
Bn = benih
Id = industri
Tc = tercecer
F = total penggunaan untuk bahan makanan

Total penggunaan untuk bahan makanan dihitung berdasarkan data konsumsi (RT dan di luar RT) dikalikan dengan jumlah penduduk.
Besaran konsumsi rumah tangga menggunakan data hasil SUSENAS, sementara konsumsi di luar RT menggunakan data hasil survei
Industri Mikro Kecil (IMK) dan Industri Besar Sedang (IBS) � BPS atau menggunakan proporsi dari Tabel I/O � 2005. Besarnya
penggunaan untuk benih diperoleh dari perhitungan data luas tanam dikalikan dengan kebutuhan benih per hektar. Data penggunaan
untuk pakan dan tercecer menggunakan besaran konversi terhadap penyediaan dalam negeri, seperti yang digunakan pada perhitungan
Neraca Bahan Makanan (NBM) Nasional. Jumlah penduduk yang digunakan untuk menghitung total konsumsi menggunakan data proyeksi
dari BPS-Bappenas seperti tersaji pada Tabel 1.2.

Neraca bahan pangan memberikan informasi tentang situasi pengadaan/ penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam
negeri, impor-ekspor dan stok serta data penggunaan pangan untuk kebutuhan pakan, bibit, penggunaan untuk industri, serta informasi
ketersediaan pangan untuk konsumsi penduduk suatu negara/wilayah dalam kurun waktu tertentu.


Tabel 1.2.�� Proyeksi Jumlah Penduduk, 2012 � 2019

Jumlah Jumlah
Tahun Penduduk Tahun Penduduk
(000 jiwa) (000� jiwa )
2012 245,425.2 2016 258,496.5
2013 248,818.1 2017 261,355.5
2014 252,164.8 2018 264,161.6

16/86
11/2/2020
2015 255,587.9 2019 266,911.9
Sumber: BPS-Bappenas
Keterangan: 2015 - 2019 hasil SUPAS 2015�����������







BAB III.� POLA KONSUMSI MASYARAKAT INDONESIA


3.1. Perkembangan Pengeluaran Makanan dan Non Makanan Masyarakat Indonesia

H
ukum ekonomi menurut Ernst Engel (1857), menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk
makanan menurun dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini dapat digunakan untuk menggambarkan

kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan data SUSENAS, pengeluaran penduduk Indonesia per bulan untuk makanan dan non makanan selama tahun 2009 - 2018
menunjukkan adanya fluktuasi pergeseran. Pada awalnya persentase pengeluaran untuk makanan lebih besar dibandingkan pengeluaran
untuk non makanan, namun di tahun 2011, 2015, 2016 dan 2018 persentase pengeluaran non makanan sedikit lebih tinggi dibandingkan
pengeluaran untuk makanan.�

Persentase pengeluaran per bulan pada tahun 2009 untuk makanan sebesar 50,62% dan non makanan sebesar 49,38%, tahun 2011,
2015 dan 2016 persentase non makanan menjadi sedikit lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk makanan.� Tahun 2018 persentase
ini� menjadi sebesar 48,68% untuk pengeluaran makanan dan 51,32% untuk non makanan, seperti� tersaji pada� Gambar 3.1.
�Besarnya rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2018 untuk bahan makanan sebesar Rp. 556.899,- dan non makanan sebesar
Rp. 567.818,-.

Gambar 3.1.�� Perkembangan Persentase Pengeluaran Penduduk Indonesia untuk


Makanan dan Non Makanan, Tahun 2009 � 2018

Pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan tahun 2018 sebagian besar dialokasikan untuk makanan dan minuman jadi yang
mencapai 33,98%, disusul rokok sebesar 11,75%, padi-padian 12,02%, sayur-sayuran sebesar 7,12%, ikan sebesar 7,78%, telur dan susu
sebesar 5,78%, sementara kelompok makanan lainnya kurang dari 5%.

Pola pengeluaran penduduk Indonesia untuk bahan makanan selama 3 tahun terakhir terlihat mengalami perubahan yang cukup
nyata. terutama untuk rokok dan tembakau. Persentase pengeluaran untuk rokok di tahun 2018 lebih tinggi dari pengeluaran untuk jenis
makanan yang lain bahkan padi-padian. Pengeluaran untuk rokok ini terlihat setara dengan total pengeluaran untuk sayur dan buah. Hal ini

17/86
11/2/2020
menarik dan perlu dicermati terutama terkait pencapaian ketahanan pangan keluarga. Sementara pengeluaran untuk padi-padian terlihat
menurun dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun, yaitu 16,23% di 2015 menjadi 12,02% di 2018.

(Gambar 3.2).

��


Gambar 3.2.� Persentase Pengeluaran Bahan Pangan Menurut Jenis Tahun 2015 dan 2017

Perkembangan pengeluaran nominal bahan makanan per kapita per bulan tahun 2016 sampai tahun 2018 mengalami pertumbuhan
rata-rata sebesar 10,05%, namun demikian secara riil hanya meningkat sebesar 8,86%. Apabila ditinjau menurut kelompok barang,
pengeluaran per kapita sebulan untuk padi-padian secara riil mengalami penurunan sementara secara nominal sedikit meningkat.� Hal ini
mengindikasikan terjadinya kenaikan indeks harga atau dengan kata lain harga kelompok padi-padian meningkat pada periode waktu ini.�

Indikasi penurunan kuantitas konsumsi juga terjadi pada kelompok rorok dan tembakau.� Secara riil terjadi penurunan pengeluaran
per kapita sebulan untuk rokok dan tembakau (Tabel 3.1).
Pertumbuhan tertinggi selama tahun 2016 � 2018 terjadi pada kelompok buah-buahan yaitu rata-rata sebesar 21,63% setiap
tahunnya. Kelompok komoditas lainnya adalah makanan dan minuman jadi serta ikan meningkat cukup besar setiap tahunnya pada tahun
2016 � 2018.

Hal yang dapat dicermati juga adalah rendahnya laju peningkatan pengeluaran untuk rokok. Selama tahun 2016 � 2018, besarnya
pertumbuhan pengeluaran untuk rokok ini paling rendah dibandingkan kelompok komoditas lain. Rendahnya laju pertumbuhan pengeluaran
untuk rokok ini disebabkan karena naiknya harga yang diindikasikan dengan tingginya laju IHK atau inflasi kelompok rokok dan tembakau.�
Secara rinci perkembangan pengeluaran nominal dan riil menurut kelompok komoditas dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1.� Perkembangan Pengeluaran Nominal dan Riil Kelompok Bahan Makanan, Tahun 2016 � 2018
( Rp/Kapita/Bulan )
2016 2017 2018 Pertumbuhan
2016-2018 (%)
Kelompok
No. Barang
Nominal IHK �Riil Nominal IHK �Riil Nominal IHK �Riil Nominal Riil
1 Padi-padian ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� 2.05 -1.46
64,566 127.50 50,640 61,455128.49 47,829 66,936 136.36 49,088
2 Umbi-Umbian ����� � ����� ����� � ����� ������ ��� ����� ������� 2.51
5,057 127.50 3,966 5,764 128.49 4,486 5,623 136.36 4,124 5.77
3 Ikan ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� ����� 7.99
33,620 135.72 24,772 40,478141.99 28,507 43,352 150.73 28,761 13.75
4 Daging ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� ������� 3.06
20,526 132.35 15,509 24,987134.09 18,635 23,006 143.61 16,020 6.90
5 Telur dan susu ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� ������� 4.32
28,025 126.79 22,103 29,357128.10 22,918 32,196 133.84 24,056 7.21
6 Sayur-sayuran ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� 8.21 4.39
34,505 156.48 22,051 42,397163.61 25,914 39,664 167.71 23,650
7 Kacang- ��� � ����� ��� � ����� ���� ��� ����� ������� 3.62
kacangan 10,349 130.55 7,927 11,252131.60 8,550 11,292 132.89 8,497 4.54
8 Buah-buahan ���� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� ����� 18.54
19,268 148.29 12,993 22,850150.51 15,182 28,486 156.05 18,254 21.63
9 Minyak dan ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� ������� 0.63
Kelapa 12,705 113.50 11,194 13,588120.29 11,296 13,527 119.33 11,336 3.25
10 Bahan ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� ������� 1.48
minuman 16,019 122.44 13,083 17,078125.29 13,631 17,162 127.46 13,465 3.55
11 Bumbu- ����� � ����� ����� � ����� ���� ��� ����� ������� 9.57
bumbuan 9,166 187.08 4,900 9,656 184.16 5,243 10,755 182.95 5,879 8.36
12 Konsumsi ����� � ����� ��� � ����� ���� ��� ����� ������� -0.07
lainnya 9,443 127.15 7,427 10,909132.30 8,246 10,238 139.77 7,325 4.69
13 Makanan & �� � � 102,933 � 172,600
� � 127,700 �� 189,223 ��� � 134,909 ����� 14.85
minuman jadi 133,834 130.02 135.16 140.26 19.30
14 Rokok dan ��� � ��� ��� � ��� ���� ��� ��� ������� -5.57
Tembakau 63,555 139.10 45,690 65,586 150.42 43,601 65,439 160.62 40,742 1.49
Bahan �460,638 137.28 �335,546 �527,957 140.20 376,579 � 556,899 � 397,222 ���� 8.86
Makanan 140.20 10.05
Sumber: Badan Pusat Statistik
Keterangan: IHK 2016 - 2018 tahun dasar 2012 = 100

DKI Jakarta merupakan daerah dengan nilai pengeluaran per kapita sebulan yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 2.039.157,- sementara
yang terendah adalah NTT dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp. 704.754,- per kapita sebulan.� Secara rata-rata nasional, pengeluaran
per kapita sebulan adalah Rp. 1.124.717,-.�

18/86
11/2/2020
Proporsi pengeluaran untuk makanan di DKI Jakarta hanya sebesar 41,58% dari total pengeluaran. Sebaliknya di provinsi Papua
proporsi pengeluarannya adalah yang tertinggi secara nasional yaitu sebesar 57,19% dari total pengeluaran. Secara rinci proprosi
pengeluaran makanan dan bukan makanan menurut provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.3.



Gambar 3.3. Proporsi Pengeluaran Menurut Provinsi, Maret 2018

3.2. Perkembangan Konsumsi Kalori & Protein Masyarakat Indonesia


Konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan data SUSENAS menunjukkan kenaikan pada tahun 2018. Rata-rata
konsumsi kalori penduduk Indonesia pada tahun 2018 sebesar 2.147,09 kkal atau naik sebesar 154,00 kkal dibandingkan tahun 2015.
Sementara konsumsi protein meningkat 7,08 gram.� Kenaikan konsumsi kalori terjadi pada hampir semua kelompok barang, dimana
tertinggi terjadi pada kelompok makanan dan minuman jadi sebesar 131,65 kkal serta buah-buahan sebesar 13,01 kkal.� Konsumsi kalori
dari padi-padian mengalami penurunan sebesar 37,50 kkal. Konsumsi protein dari ikan juga mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan
sumber protein lainnya yaitu naik sebesar 1,17 gram. (Tabel 3.2).

Tabel. 3.2. Rata-rata Konsumsi Kalori (kkal) dan Protein (gram) per kapita sehari menurut kelompok makanan, Maret 2015 dan Maret 2018
Kelompok Kalori (kkal/kapita/hari) Protein (gram/kapita/hari)
No. Barang 2015 2018 Perubahan 2015 2018 Perubahan
1 Padi- �������� 875.53 ������� -37.50 ����� ����� -0.87
padian 838.03 20.59 19.72
2 Umbi- ���������� ��������� 2.94 ������� ������� 0.02
Umbian 35.43 38.37 0.34 0.36
3 Ikan ���������� ��������� 6.94 ������� ������� 1.17
42.52 49.46 7.14 8.31
4 Daging ���������� ��������� 7.62 ������� ������� 0.60
52.37 59.99 3.13 3.73
5 Telur dan ���������� ��������� 5.03 ������� ������� 0.27
susu 58.31 63.34 3.23 3.50
6 Sayur- ���������� ��������� 8.27 ������� ������� 0.32
sayuran 29.68 37.95 1.97 2.29
7 Kacang- ���������� ��������� 6.75 ������� ������� 0.62
kacangan 47.18 53.93 4.72 5.34
8 Buah- ���������� ��������� 13.01 ������� ������� 0.14
buahan 38.54 51.55 0.43 0.57
9 Minyak �������� 255.49 ������� 1.93 ������� ������� -0.05
dan 257.42 0.25 0.20

19/86
11/2/2020
Kelapa
10 Bahan ���������� ��������� 2.45 ������� ������� -0.01
minuman 95.62 98.07 0.84 0.83
11 Bumbu- ������������ ��������� 1.88 ������� ������� 0.05
bumbuan 9.37 11.25 0.43 0.48
12 Konsumsi ���������� ��������� 3.43 ������� ������� -0.02
lainnya 55.90 59.33 1.18 1.16
13 Makanan �������� 396.77 ������� 131.65 ����� ����� 4.84
dan 528.42 10.86 15.70
minuman
jadi
Jumlah ����� 1,992.69 ���� 2,147.09 154.40 ����� ������ 7.08
55.11 62.19
Sumber: SUSENAS, BPS���������

Kenaikan pada pola konsumsi protein penduduk Indonesia terjadi pada hampir semua kelompok barang, dimana kenaikan tertinggi
terjadi pada kelompok makanan dan minuman jadi sebesar 3,70 gram/kapita/hari dan ikan 1,09 gram/kapita/hari.� Rata-rata konsumsi
kalori dan protein penududuk Indonesia tahun 2015 dan 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 3.2.


Gambar 3.3.� Persentase Konsumsi Kalori Penduduk Indonesia Tahun 2015 dan 2018


Gambar 3.4. Persentase Konsumsi Protein Penduduk Indonesia Tahun 2015 dan 2018

Sumber utama konsumsi kalori penduduk Indonesia adalah dari kelompok padi-padian yang mencapai 43,94% pada tahun 2015,
diikuti oleh kelompok makanan dan minuman lain sebesar 19,91%. Demikian pula, sumber protein pada pola konsumsi protein penduduk
Indonesia berasal dari kelompok padi-padian yang mencapai 37,36% pada tahun 2015 dan disusul dari kelompok makanan dan minuman
jadi sebesar 19,71% (Gambar 3.3 dan Gambar 3.4).

�Tahun 2018 terjadi penurunan share konsumsi kalori dari kelompok padi-padian menjadi sekitar 39,55%. Penurunan ini terakomodir
dalam peningkatan konsumsi makanan dan minuman jadi menjadi 23,15%. Sementara konsumsi protein terutama ikan dan daging
meningkat dibandingkan tahun 2015. Demikian juga dengan konsumsi kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati meningkat di tahun
2017 menjadi sebesar 9,05% dibandingkan tahun 2015 sebesar 8,56% (Gambar 3.3 dan Gambar 3.4).




20/86
11/2/2020


BAB IV.� KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN - PENGGUNAAN BERAS

B
eras merupakan bahan pangan pokok lebih dari setengah penduduk dunia, dan� konsumsi beras menyumbang asupan lebih dari
20% kalori. Lebih dari 90% beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6 negara Asia (China, India, Indonesia,

Bangladesh, Vietnam and Jepang). Pada saat ini, di negara-negara Asia

menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan produksi dan ekspor beras sedangkan angka konsumsi justru cenderung
menurun. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan urbanisasi, konsumsi per kapita beras mempunyai kecenderungan menurun
di negaranegara Asia Tengah dan berpenghasilan tinggi seperti Jepang, Taiwan dan Republik Korea. Tetapi, hampir seperempat populasi di
Negara Asia masih tergolong miskin dan belum memiliki akses yang cukup terhadap beras seperti Afghanistan, Korea Utara, Nepal dan
Vietnam.�

Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok, maka Pemerintah
Indonesia berupaya mencapai mencapai swasembada beras melalui dua cara. Pada satu sisi, pemerintah mendorong para petani
untuk meningkatkan produksi dengan mendorong inovasi teknologi dan menyediakan pupuk bersubsidi, dan di sisi lain, berusaha
mengurangi konsumsi beras masyarakat melalui kampanye seperti "satu hari tanpa beras" (setiap minggunya), sementara
mempromosikan konsumsi makanan-makanan pokok lainnya. Strategi ini belum bisa dikatakan berhasil karena jumlah produksi beras
hanya sedikit meningkat dan kebanyakan orang Indonesia enggan untuk mengganti beras dengan bahan-bahan makanan lain.�

Beras juga merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Berdasarkan data hasil SUSENAS - BPS,
konsumsi beras per kapita cenderung menurun yakni dari 107,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 96,33 kg/kapita/tahun pada
tahun 2018 (Susenas � BPS, 2002 dan 2018). Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun mempunyai
kecenderungan laju pertumbuhannya melandai. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni 1,19% per tahun
pada periode tahun 2016-2020 (Proyeksi Penduduk Indonesia-BPS, 2014).� Dengan kenyataan ini maka total konsumsi domestik beras
Indonesia akan terus meningkat walaupun per kapitanya menunjukkan penurunan.�
Dalam tulisan ini akan diulas keragaan dan prediksi konsumsi beras hasil SUSENAS - BPS, serta hasil perhitungan Pusdatin untuk
neraca penyediaan dan penggunaan beras. Konsumsi beras menurut SUSENAS dibedakan dalam wujud beras dan makanan jadi berbahan
dasar beras. Wujud makanan jadi berbahan dasar beras kemudian dikonversi menjadi wujud beras untuk memperoleh total konsumsi beras.


4.1. Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia

Cakupan data konsumsi menurut hasil SUSENAS - BPS merupakan konsumsi dalam wujud beras dan makanan olahan berbahan
dasar beras di rumah tangga . Guna mendapatkan angka konsumsi total beras, maka makanan olahan berbahan dasar beras dikonversi ke
wujud asal beras dengan faktor konversi menurut Pusat Studi Keanekaragaman Pangan dan Gizi, IPB (PSKPG-IPB) seperti tersaji pada Tabel
4.1.


Tabel 4.1. Besaran Konversi Makanan Jadi Berbahan Dasar Beras ke Bentuk Asal Beras

Konversi Konversi ke Bentuk


No Jenis Pangan Satuan
(gram) bentuk asal konversi

1 Beras kg 1000 1 Beras


2 Beras Ketan kg 1000 1 Beras
3 Tepung beras kg 1000 1.01 Beras
4 Lainnya padi-padian kg 1000 1 Beras
5 Bihun ons 100 1 Beras
6 Bubur bayi kemasan 150 gr 150 1 Beras
7 Lainnya konsumsi - 100 1 Beras
lainnya
8 Kue basah buah 30 0.4 Beras
9 Nasi campur/rames porsi 500 0.5 Beras
10 Nasi goreng porsi 250 0.5 Beras
11 Nasi putih porsi 200 0.5 Beras
12 Lontong/ketupat sayur porsi 350 0.25 Beras
13 Bubur ayam *) porsi 125 0.2 beras
Sumber : Studi PSKPG-IPB

21/86
11/2/2020
Keterangan : *) Data tersedia mulai tahun 2017
�������







22/86
11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 23/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Tabel 4.2. Perkembangan Konsumsi Beras Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2002-2018 serta Prediksi 2019-2021
Konsumsi 1) Pertumbuhan (
Tahun %)
(kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun)
2002 2.0656 107.7057
2003 2.0789 108.4018 0.65
2004 2.0520 106.9991 -1.29
2005 2.0190 105.2770 -1.61
2006 1.9945 103.9980 -1.21
2007 1.9188 100.0507 -3.80
2008 2.0116 104.8909 4.84
2009 1.9603 102.2146 -2.55
2010 1.9321 100.7453 -1.44
2011 1.9728 102.8661 2.11
2012 1.8727 97.6455 -5.08
2013 1.8680 97.4045 -0.25
2014 1.8647 97.2329 -0.18
2015 1.8862 98.3526 1.15
2016 1.9288 100.5714 2.26
2017 1.8684 97.4258 -3.13
2018 1.8473 96.3255 -1.13
Rata- 1.9495 101.6534 -0.67
rata
2019 *) 1.8613 97.0545 -0.38
2020 *) 1.8592 96.9430 -0.11
2021 *) 1.8582 96.8939 -0.05
Sumber : SUSENAS, BPS
Keterangan : 1) Merupakan total konsumsi setara beras������������
������������������ *) Hasil prediksi Pusdatin dengan� model trend kuadratik� (MAPE=1,21175)


Total konsumsi beras selama periode tahun 2002 � 2018 cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun
2003, 2008, 2011, 2015 dan 2016 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 0,65%, 4,84%, 2,11%, 1,15% dan 2,26% dibandingkan
tahun sebelumnya.� Rata-rata konsumsi beras selama periode 2002 - 2018 sebesar 1,95 kg/kapita/minggu atau setara dengan 101,65
kg/kapita/tahun dengan laju penurunan rata-rata sebesar 0,67% per tahun.� Konsumsi beras tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang
mencapai 108,42 kg/kapita/tahun. Setelah itu, konsumsi beras cenderung terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2018 menjadi
sebesar 96,33 kg/kapita/tahun. Perkembangan konsumsi beras total per kapita dari tahun 2002 � 2018, serta prediksi 2019 - 2021
disajikan pada Tabel 4.2.

Sejalan dengan perilaku konsumsi beras pada tahun � tahun sebelumnya, maka pada tahun 2019 diprediksikan akan terjadi sedikit
peningkatan konsumsi per kapita beras, yakni menjadi sebesar 97,05 kg/kapita/tahun atau naik sebesar 0,76% dibandingkan tahun 2018.�
Sementara� tahun 2020 konsumsi beras per kapita diprediksikan menurun 0,11% dibandingkan tahun 2019 dan kemudian tahun 2021
turun sebesar 0,05% atau menjadi�

96,89 kg/kapita/tahun.� Keragaan konsumsi beras tahun 2002 � 2018 serta prediksi tahun 2019 - 2021 secara lengkap tersaji pada Tabel
4.2 dan Gambar 4.1.

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 24/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Gambar 4.1. Perkembangan Konsumsi Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2002-
2018 serta Prediksi 2019-2021

Tabel 4.3.� Perkembangan Pengeluaran Nominal dan Riil untuk Konsumsi Makan Berbahan
Baku Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 � 2018�

Tahun� (Rupiah/Kapita)
Pertumbuhan
No Uraian
2014 2015 2016 2017 2018 (%)

1 Nominal 1,150,497 1,235,309 1,287,042 1,383,089 1,484,872 6.60


2 IHK*) �������� �������� ������� ��������� ����� 5.37
110.89 123.04 127.50 128.49 136.36
3 Riil 1,037,512 1,003,990 1,009,458 1,076,418 1,088,935 1.28
Sumber: BPS, diolah Pusdatin
Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya dengan tahun dasar 2012=100����




Gambar 4.2.� Perkembangan Pengeluaran nominal dan riil untuk Konsumsi Makanan Berbahan
Baku Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 � 2018


Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi beras bagi penduduk Indonesia tahun 2014 � 2018 secara nominal
menunjukkan peningkatan sebesar 6,60%, yakni dari Rp. 1,15 juta/kapita/tahun pada tahun 2014 menjadi Rp. 1,48 juta/kapita/tahun pada
tahun 2018. Namun demikian setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi beras secara riil sebenarnya meningkat
sebesar 1,28%. Hal ini� menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia sedikit meningkat.

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 25/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi beras dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 � 2018 secara rinci tersaji
pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.2.


4.2. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Beras

Penyusunan neraca penyediaan dan penggunaan beras didasarkan atas beberapa data dan asumsi. Perhitungan penyediaan beras
diawali dengan perhitungan penyediaan gabah, karena data produksi yang dirilis BPS adalah dalam wujud gabah kering giling (GKG). Total
penyediaan gabah Indonesia berasal dari produksi dalam negeri ditambah impor dan dikurangi ekspor. Sementara penggunaan gabah
adalah untuk benih, pakan, bahan baku industri bukan makanan dan tercecer, sehingga sisanya diasumsikan merupakan gabah yang siap
untuk digiling menjadi beras dengan faktor konversi sebesar 62,74%, kecuali tahun 2019 menggunakan angka konversi 64,02%
berdasarkan hasil survei konversi gabah ke beras (BPS, 2018). Penggunaan gabah untuk benih dihitung berdasarkan rata-rata kebutuhan
benih per hektar sebesar 49,43 kg/ha� (SOUT-BPS, 2013) dikalikan dengan luas tanam pada tahun yang bersangkutan. Penggunaan gabah
untuk pakan, bahan baku industri bukan makanan dan tercecer menggunakan faktor konversi yang digunakan pada perhitungan NBM
Nasional masing-masing sebesar 0,44%, 0,56% dan 5,4% terhadap total penyediaan.

Total penyediaan beras Indonesia adalah berasal dari gabah yang siap digiling menjadi beras ditambah impor beras, dikurangi
ekspor dan ditambah stok beras awal tahun. Data stok yang tersedia hanya stok beras pemerintah yang bersumber dari BULOG, sedangkan
data stok di masyarakat tidak tersedia.

Tabel 4.4.Neraca Penyediaan dan Penggunaan Beras di Indonesia, 2014 - 2019


Tahun
No. Uraian
2014 2015 2016 2017 2018 2019 *)
A. PENYEDIAAN GABAH 70,847,774 75,399,195 ��� 79,356,617 81,151,739 83,037,377 83,999,998
- Produksi (Ton Gabah Kering Giling) ���� 70,846,465 75,397,841 79,354,767 81,148,594 ���� 83,037,150 ���� 84,000,000

Luas Tanam (Ha) ���� 14,291,803 ��� ������ 15,699,364 ��� 16,259,493 ���� 16,899,650 ���� 16,683,000
Luas Panen (Ha) ���� 13,797,307 14,622,579 15,156,166 15,696,915 ���� 16,335,202 ���� 15,850,000
14,116,638

- Impor (Ton) ����������� 1,413 59 2,141 291 ���������� �������������� 229 ������������� 0.65
- Ekspor (Ton) 1,394 3,145 ����������������� �����������������
85 0.384 2 3

B PENGGUNAAN GABAH �� 5,240,701 5,548,343 5,854,843 5,997,418 6,149,742 6,200,641


- Kebutuhan Benih ( 49,43 kg/ha x LT) �������� �������� ����������� �������� �������� 835,350 �������� 824,641
706,444 722,794 776,020 803,707

- Kebutuhan Untuk Pakan (0,44%� �������� 331,756 349,169 357,068 365,364 369,600
dari A) 311,730 422,235 4,071,557 444,397 4,285,257 454,450 4,382,194 465,009 4,484,018 470,400 4,536,000
- Bahan baku industri bukan 396,748 3,825,780
makanan (0,56% dari A) - Tercecer ( 5,4%�
dari A)

C GABAH TERSEDIA UNTUK DIGILING ( A- 65,607,072 69,850,852 73,501,774 75,154,321 76,887,635 77,799,357
B)

D PENYEDIAAN BERAS 44,475,874 46,447,701 48,558,286 49,186,690 51,468,136 48,239,302 52,107,054 49,807,148
- PENYEDIAAN Beras Tersedia (GKG ke Beras 41,161,877 43,824,425 46,115,013 47,151,821
=� 62,74%)**)

- Impor (Ton) 842,770 860,188 1,281,042 304,381 ����� 2,254,292 �������� 125,566
- Ekspor (Ton) 2,941 2,474,168 1,902 1,764,990 2,247 1,164,479 4,349 1,734,837 3,996 978,538 286
- Stok awal tahun (Ton) - BULOG �������� 2,174,626

E PENGGUNAAN BERAS 31,643,581 31,627,520 32,592,392 31,399,538 32,937,767 29,475,151 33,156,843 29,782,030
- Konsumsi� (penduduk x tkt konsumsi) 28,779,569 29,292,929 29,626,284 29,162,047

- Pakan ternak/unggas (0,17% dari D) 69,975 1,029,047 74,502 1,095,611 78,396 1,152,875 80,158 82,007 1,205,983 84,672 1,245,179
- Susut/tercecer ( 2,5% dari D) �������� 1,164,479 ����������� 1,178,796 978,538 �������� 2,174,626 2,044,962
1,764,990 1,734,837
- Stok akhir akhir (Ton) - BULOG
Neraca� 12,832,294 14,820,180 15,965,895 17,787,151 18,530,370 18,950,212
(D-E) Keterangan
- Jumlah Penduduk (jiwa) mulai th 2015 sumber 252,164,800 255,587,900 258,496,500 261,355,500 264,161,600 266,911,900
SUTAS 2015
- Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun dalam dan di luar Rumah 114.13 114.61 114.61 111.58 111.58 111.58
Tangga (Bapok, BPS)

- Produksi GKG 2017 = Angka tetap, 2018 = Angka Ramalan I (Rakor Solo, Juli 2018)� dan tahun 2019 angka sasaran (IKU) Ditjen Tanaman Pangan -� Ekspor impor� 2019 merupakan data kumulatif Januari sd. April� 2019
- Stok akhir Bulog tahun 2018 menjadi stok awal Bulog 2019, stok akhir 2019 merupakan stok sd April� 2019

- - *) Tahun 2019 merupakan prediksi Pusdatin� **) Tahun 2019 menggunakan angka konversi 64,02% (Hasil Survei Konversi Gabah Beras- BPS, 2018)���������������

Penggunaan beras di Indonesia adalah untuk konsumsi langsung per kapita, kebutuhan pakan, tercecer dan sebagai stok akhir tahun. Pada
analisis ini, total konsumsi langsung diperoleh dari konsumsi per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk. Besaran konsumsi beras per
kapita� yang digunakan bersumber dari survei bahan pokok (Bapok) BPS untuk tahun 2014, 2015 dan 2017, sehingga untuk tahun 2016
menggunakan hasil survei tahun 2016 serta tahun 2018 dan 2019 menggunakan hasil survei tahun 2017� yaitu sebesar� 111,58
kg/kapita/tahun.� Konsumsi tersebut� merupakan penjumlahan konsumsi rumah tangga hasil SUSENAS ditambah dengan konsumsi di
luar rumah tangga (restoran, hotel, katering, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, IMK dan IBS). Penggunaan beras untuk pakan dan
tercecer masing-masing sebesar 0,17% dan 2,5% yang merupakan faktor konversi yang digunakan dalam perhitungan NBM nasional.
Hasil perhitungan neraca penyediaan dan penggunaan beras tahun 2014 � 2019 tersaji pada Tabel 3.4. Data produksi GKG tahun
2014 sd. 2017 merupakan angka tetap dan tahun 2018 angka ramalan 1 hasil rapat koordinasi antara Ditjen Tanaman Pangan, BPS dan
instansi terkait pada Juli 2018 yang bertempat di Solo Jawa Tengah.� Data produksi padi tahun 2019 merupakan angka sasaran produksi
(IKU),� Ditjen Tanaman Pangan. Selama periode tersebut, total penyediaan gabah terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,48%
per tahun, yang terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi padi nasional. Pada tahun 2014 total penyediaan gabah Indonesia
mencapai 70,85 juta ton dan meningkat menjadi sebesar 83,04 juta ton pada tahun 2018 dan sesuai angka sasaran produksi (IKU) Ditjen

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 26/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Tanaman Pangan akan meningkat kembali menjadi sebesar 84 juta ton pada tahun 2019. Seiring dengan meningkatnya penyediaan gabah,
penggunaan gabah untuk benih, pakan, bahan baku industri non makanan dan tercecer juga mengalami peningkatan dari sebesar 5,24
juta ton pada tahun 2014 menjadi sebesar 6,15 juta ton pada tahun 2018 dan diperkirakan menjadi 6,20 juta ton pada tahun 2019.

Selisih antara penyediaan dengan penggunaan gabah merupakan kuantitas gabah yang siap digiling atau tersedia dalam wujud
beras, dengan faktor konversi sebesar 62,74%, kecuali untuk tahun 2019 menggunakan angka konversi 64,02% bersumber dari Survei
KonversiGabah Beras, BPS tahun 2018.� Berdasarkan angka konversi tersebut di atas, maka besarnya beras tersedia dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 3,90% yakni dari 41,16 juta ton pada tahun 2014 menjadi sebesar 49,81 juta ton pada
tahun 2019. Total penyediaan beras Indonesia berasal dari beras yang tersedia ditambah impor dan stok di Bulog awal tahun, serta
dikurangi beras yang dieskpor. Total penyediaan beras di Indonesia selama periode tahun 2014 � 2019 terus mengalami peningkatan
dengan rata-rata sebesar 3,23%, yakni dari 44,48 juta ton pada tahun 2014 menjadi sebesar 52,11 juta ton pada tahun 2019.�
Peningkatan total penyediaan beras juga disebabkan oleh meningkatnya stok beras pemerintah di Bulog.�

Penggunaan beras yang terbesar adalah untuk konsumsi penduduk atau per kapita.� Data yang bersumber dari survei bahan pokok
BPS untuk konsumsi rumah tangga maupun di luar rumah tangga tahun 2014 sebesar 114,13 kg/kapita/tahun dan tahun 2015 sebesar
114,61 kg/kapita/tahun� dan 2017 sebesar 111,58� kg/kapita/tahun. Pada perhitungan penggunaan beras diasumsikan tidak ada
perubahan besarnya konsumsi langsung per kapita pada tahun tersebut. Total konsumsi diperoleh dari angka konsumsi per kapita dikalikan
dengan jumlah penduduk, dimana dari tahun 2014 � 2016 mengalami peningkatan, namun tahun 2017 mengalami penurunan dengan
rata-rata penurunan 1,57%, sehingga total konsumsi beras dari 28,78 juta ton 2014 menjadi 29,78 juta ton tahun 2019.
Penggunaan beras lainnya adalah untuk pakan dan tercecer, masing-masing menggunakan faktor konversi sebesar 0,17% dan 2,5%
terhadap total penyediaan, serta sebagai stok akhir.� Stok akhir� data yang tersedia di Bulog tahun 2018 sebesar 2,17 juta ton.
Berdasarkan rincian penggunaan beras tersebut diatas, maka total penggunaan beras Indonesia mencapai 31,64 juta ton pada tahun 2014
dan terus mengalami peningkatan menjadi� 33,16 juta ton pada tahun 2019.

Neraca penyediaan dan penggunaan beras adalah selisih antara total penyediaan dengan penggunaan beras. Selama periode tahun
2014 hingga 2019 terjadi surplus beras yang mencapai 12,83 juta ton pada tahun 2014 hingga 18,95 juta ton pada tahun 2019. Surplus
neraca penyediaan dan penggunaan beras ini diasumsikan merupakan beras yang disimpan di masyarakat, yakni di rumah tangga,
penggilingan, pedagang beras, hotel, restoran, catering dan lain-lain (Tabel 4.4).

Berdasarkan hasil survei konsumsi bahan pokok (Bapok) BPS tahun 2014, 2015 dan 2017 menurut pengelolaannya menunjukkan
persentase sebaran� konsumsi beras sebesar 73,92% berada di dalam rumah tangga, 17,46% di rumah makan dan penyedia makanan
minuman, 7,33% di industri mikro kecil dan 1,29% lainnya (Gambar 4.3).


Gambar 4.3. Persentase Sebaran Konsumsi Beras, Rata-rata 2014 � 2017

Rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun hasil survei Bapok BPS tahun 2017 sebesar 111,58 kg/kapita yang terdiri dari
konsumsi dalam rumah tangga (Susenas) sebesar 81,61 kg/kapita atau 73,14% dari total konsumsi beras, sedangkan konsumsi di luar
rumah tangga sebesar 29,97 Kg/kapita atau 26,86% dari total konsumsi.� Bila dirinci konsumsi beras per provinsi menunjukkan Provinsi
Jawa Barat memiliki angka konsumsi beras yang terbesar mencapai 128.40 Kg/Kapita dan terendah di Papua sebesar 66,88 Kg/kapita
(Gambar 4.4). Rendahnya konsumsi beras di Papua karena memiliki pangan pokok selain beras seperti sagu dan ubu jalar.��

Dari konsumsi tersebut, Provinsi Jawa Barat memiliki pola konsumsi beras di dalam rumah tangganya hanya 64,48% dan di luar
rumah tangga 35,52%, sedangkan di Papau konsumsi beras di dalam rumah tangga sebesar mencapai 89.44% dan di luar rumah tangga

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 27/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

hanya 10,56%, artinya pola konsumsi beras masyarakat di Papau lebih banyak didapat dari konsumsi di dalam rumahnya, sementara di
Jawa Barat sekitar sepertiga di dapat di luar rumah tangga seperti dari rumah makan, hotel restoran dan Katering.


Gambar 4.4. Konsumsi Beras per Provinsi, tahun 2017

4.3. Konsumsi Domestik Beras di Dunia

Menurut data dari USDA, konsumsi domestik beras terbesar di dunia didominasi oleh negara-negara di Asia dengan jumlah
penduduk yang relatif besar dimana bahan pangan pokok penduduknya adalah beras. Cina merupakan negara dengan total konsumsi
domestik beras terbesar di dunia. Pada periode tahun 2015-2019 rata-rata konsumsi domestik beras di Cina mencapai 142,91 juta ton per
tahun atau 29,66% dari total konsumsi domestik beras dunia. Disusul India dengan rata-rata konsumsi domestik sebesar 98,24 juta ton
atau 20,39% dari total konsumsi domestik di dunia. Indonesia menempati urutan ketiga dalam konsumsi domestik beras di dunia
mengingat lebih dari 90% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokoknya yakni mencapai 37,97 juta ton atau
7,88% dari total konsumsi domestik beras dunia. Bangladesh dan Vietnam berada di urutan berikutnya dengan rata-rata konsumsi
domestik persediaan beras masing-masing sebesar 35,28 juta ton (7,32%) dan 21,9 juta ton (4,54%). Negara-negara lainnya adalah
Philipina, Birma, Thailand,� Jepang,� dan Brazil dengan total konsumsi domestik beras masing-masing di bawah 3% dari total konsumsi
domestik beras dunia. Kontribusi negara-negara dengan konsumsi domestik beras terbesar di dunia tahun 2015 � 2019 disajikan pada
Gambar 3.3 dan Tabel 3.5.


Tabel 4.5. Negara dengan Konsumsi Domestik Beras Terbesar di Dunia, 2015 � 2019

Konsumsi Domestik (000 Ton) Rata-


�Share
No Negara rata��
2015 2016 2017 2018 2019 (%)
2015-2019
1 Cina 141,028 141,761 142,487 144,290 145,000 142,913 29.66
2 India 93,451 95,838 98,819 101,100 102,000 98,242 20.39
3 Indonesia 37,850 37,800 38,100 38,100 38,000 37,970 7.88
4 Bangladesh 35,100 35,000 35,200 35,500 35,600 35,280 7.32
5 Vietnam 22,500 22,000 21,500 21,500 22,000 21,900 4.54
6 Philipina 12,900 12,900 13,250 13,900 14,450 13,480 2.80
7 Birma 10,400 10,000 10,200 10,250 10,400 10,250 2.13
8 Thailand 9,100 12,000 11,000 10,800 10,900 10,760 2.23
9 Jepang 8,806 8,730 8,600 8,556 8,480 8,634 1.79
10 Brazil 7,900 7,950 7,750 7,700 7,650 7,790 1.62
Lainnya 87,579 93,376 95,418 97,809 99,010 94,638 19.64
Total dunia 466,614 477,355 482,324 489,505 493,490 481,858 100.00
Sumber : USDA diolah Pusda n��������

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 28/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Tahun 2015-2019

BAB V.� JAGUNG

Jagung - sweet corn (Zea mays L.) merupakan salah satu komoditas pangan yang penting, selain gandum dan padi.� Sebagai
sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat.�

Dalam nomenklatur ekonomi tanaman pangan Indonesia, jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi/beras. Akan
tetapi, dengan berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan
lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan
selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan
baku industri dibanding sebagai bahan pangan (Kasryno et all, 2007).

Jagung merupakan makanan yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia sendiri, jagung merupakan
makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Madura dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kandungan gizi Jagung per 100 gram bahan
adalah Kalori: 320 Kalori, Protein: 8,28 gr, Lemak: 3,90 gr, Karbohidrat: 73,7 gr, Kalsium : 10 mg, Fosfor : 256 mg, Ferrum : 2,4 mg,
Vitamin A: 510 SI, Vitamin B1: 0,38 mg, Air: 12 gr (Neraca Bahan Makanan BKP, 2018).

Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat Indonesia.
Kandungan gizi utama jagung adalah pati (7273%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30%: 70-75%, namun pada jagung pulut
(waxy maize) 0-7%: 93-100%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8-
11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein (Suarni dan Widowati, 2007).

Jagung banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya). Selain itu juga diambil minyaknya (dari bulir),
dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri lainnya (dari tepung bulir dan
tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural.��

Amerika sebagai salah satu negara utama penghasil jagung, pernah mengembangkan pembuatan bioethanol untuk biofuel dengan
bahan baku jagung. Bioetanol merupakan etanol yang berasal dari sumber hayati, misalnya tebu, nira sorgum, ubi kayu, jagung, garut, ubi
jalar, jagung, jerami, dan kayu. Penggunan jagung sebagai bahan baku bioethanol di Amerika berkurang dan digantikan oleh switchgrass
setelah harga jagung kembali naik. Di beberapa negara, penggunaan jagung sebagai bahan baku bioethanol secara besar-besaran dapat
mengganggu kebutuhan pangan karena bahan yang mengandung karbohidrat, glukosa, dan selulosa sebagian besar merupakan bahan
pangan.

Data konsumsi jagung menurut SUSENAS yang diterbitkan oleh BPS sampai dengan tahun 2014 dibedakan atas konsumsi jagung
basah/jagung muda, jagung pocelan, tepung jagung pada kelompok padi-padian dan minyak jagung pada kelompok minyak dan lemak.�
Data SUSENAS tahun 2015-2016 hanya membedakan jagung menjadi jagung basah dengan kulit dan jagung pipilan/beras jagung,
sementara tahun 2017 data tepung jagung kembali muncul. Terkait dengan perubahan data ini maka pada buletin tahun 2018 ini jagung
hanya akan dibedakan dalam wujud jagung basah dengan kulit dan jagung pipilan saja.� Jagung total disini tidak lagi merupakan
penjumlahan dari wujud jagung pocelan, tepung jagung dan minyak jagung seperti halnya sebelum tahun 2015.�


5.1. Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Jagung Basah dengan Kulit di Indonesia

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 29/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Berdasarkan keragaan data hasil SUSENAS BPS, konsumsi jagung basah selama periode tahun 2003 � 2018 sangat berfluktuatif
namun cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 18,10% setiap tahunnya.� Peningkatan konsumsi jagung basah
cukup signifikan terjadi pada tahun 2007 dibanding tahun sebelumnya yakni dari 0,782 kg/kapita pada tahun 2006 meningkat menjadi
2,399 kg/kapita pada tahun 2007 atau naik sebesar 206,67%. Berikutnya di tahun 2015 kembali terjadi peningkatan sebesar 127,22% dari
tahun 2014 sebesar 0.666 kg/kapita menjadi 1,512 kg/kapita.� Tahun 2018 konsumsi jagung basah sekitar 1,534 kg/kapita atau naik
14,87% dari tahun 2017.







Tabel 5.1.� Perkembangan Konsumsi Jagung Basah Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 � 2018 serta Prediksi 2019 � 2021
Konsumsi Pertumbuhan
Tahun (%)
(kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun)
2003 0.020 1.043
2004 0.026 1.356 30.00
2005 0.033 1.721 26.92
2006 0.015 0.782 -54.55
2007 0.046 2.399 206.67
2008 0.024 1.251 -47.83
2009 0.012 0.626 -50.00
2010 0.018 0.939 50.00
2011 0.012 0.626 -33.33
2012 0.011 0.574 -8.33
2013 0.011 0.574 0.00
2014 0.013 0.666 16.03
2015 0.029 1.512 127.22
2016 0.035 1.825 20.69
2017 0.026 1.335 -26.82
0.029 1.534 14.87
2018
Rata-rata 0.022 1.173 18.10
2019 *) 0.026 1.381 -10.00
2020 *) 0.027 1.431 3.63
2021 *) 0.028 1.485 3.75
Sumber���� : SUSENAS, BPS
Keterangan: *) hasil prediksi Pusdatin ���������� �



Hasil prediksi konsumsi jagung basah tahun 2018 diperkirakan sebesar 1,251 kg/kapita atau turun sebesar 6,29% dibandingkan
tahun 2017.� Pada tahun berikutnya yakni 2019 dan 2020 besarnya konsumsi jagung basah cenderung meningkat.� Keragaan konsumsi
jagung basah tahun 2002 � 2017 serta prediksinya hingga tahun 2020 tersaji secara lengkap pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.1.

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 30/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


Gambar 5.1.� Perkembangan Konsumsi Jagung Basah Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 � 2018 serta Prediksi 2019 � 2021

Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi jagung basah bagi penduduk Indonesia tahun 2014 � 2018 secara
nominal menunjukkan peningkatan sebesar 33,35%, yakni dari Rp. 3.550,29/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 9.208,33/kapita pada
tahun 2018. Namun demikian setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara riil hanya
mengalami peningkatan sebesar 26,99%. Secara kuantitas, konsumsi per kapita jagung basah cenderung mengalami kenaikan.
Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 � 2018
secara rinci tersaji pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.2.


Tabel 5.2.� Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung Basah Secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 �
2018�

Tahun Rata2
Kelompok Barang
2014 2015 2016 2017 2018 pertumb. (%)
Nominal 3,550.29 7,725.52 9,229.29 7,449.72 9,208.33 35.35
IHK *) 110.89 123.04 127.50 128.49 136.36 5.37
Riil 3,201.63 6,278.87 7,238.66 5,797.90 6,752.96 26.99
Sumber����� : BPS, diolah Pusdatin
Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian����������


Gambar 5.2.� Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung Basah secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia,
2014 � 2018

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 31/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


5.2. Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Rumah Tangga Jagung Pipilan di Indonesia

Selain konsumsi dalam wujud jagung basah dengan kulit, data SUSENAS juga mencakup konsumsi jagung dalam wujud jagung
pipilan. Selama periode tahun 2003 � 2018, konsumsi per kapita jagung pipilan di Indonesia berfluktuasi namun cenderung mengalami
penurunan dengan rata-rata sebesar 4,12%.� Penurunan konsumsi jagung pipilan terbesar terjadi pada tahun 2008 dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yakni sebesar 26,67% atau dari 3,129 kg/kapita pada tahun 2007 menjadi 2,294 kg/kapita pada tahun 2008. Pada
periode berikutnya hingga tahun 2016, konsumsi jagung pipilan terus mengalami penurunan kecuali tahun 2012 meningkat 26,09%.�
Konsumsi jagung pipilan tahun 2018 adalah sebesar 1,002 kg/kapita (Tabel 5.3).



epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 32/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 33/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm




Tabel 5.3.� Perkembangan Konsumsi Jagung Pipilan Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 � 2018 serta Prediksi 2019 � 2021

Konsumsi Pertumbuhan
Tahun
(kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) (%)
2003 0.044 2.294
2004 0.048 2.503 9.09
2005 0.042 2.190 -12.50
2006 0.050 2.607 19.05
2007 0.060 3.129 20.00
2008 0.044 2.294 -26.67
2009 0.035 1.825 -20.45
2010 0.030 1.564 -14.29
2011 0.023 1.199 -23.33
2012 0.029 1.512 26.09
2013 0.025 1.304 -13.79
2014 0.023 1.199 -8.00
2015 0.023 1.199 0.00
2016 0.021 1.095 -8.70
2017 0.019 0.976 -10.82

2018 0.019 1.002 2.58


Rata- 0.033 1.743 -4.12
rata
2019*) 0.019 1.002 0.01
2020*) 0.018 0.949 -5.26
2021*) 0.017 0.899 -5.26
Sumber���� : SUSENAS, BPS
Keterangan: *) hasil prediksi Pusdatin�����

Berdasarkan hasil prediksi, konsumsi jagung pipilan di Indonesia pada tahun 2019 diprediksikan akan relatif stabil dibandingkan tahun
2018 yakni menjadi sebesar 1,002 kg/kapita. Demikian juga pada tahun 2020-2021 diprediksikan sedikit menurun.�

Perkembangan konsumsi jagung pipilan di Indonesia tahun 2003�2018, serta prediksi tahun 2019 � 2021 secara lengkap tersaji pada Tabel
5.3.


Gambar 5.3.� Perkembangan Konsumsi Jagung Pipilan Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2003 � 2018 serta Prediksi 2019 � 2021

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 34/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

� g g g p gg , � �

Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi jagung pipilan bagi penduduk Indonesia tahun 2014 � 2018 secara
nominal menunjukkan kenaikan sebesar 2,54%, yakni dari Rp. 5.274,-/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 5.691,94/kapita pada tahun
2018. Setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi jagung secara riil mengalami penurunan sebesar 2,87%. Hal ini
menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita jagung terjadi penurunan demikian juga dengan harganya. Perkembangan
pengeluaran untuk konsumsi jagung secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 � 2018 secara rinci tersaji pada
Tabel 5.4 dan Gambar 5.4.












Tabel 5.4.� Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2014 �
2018�

Tahun Rata-rata
Kelompok Barang pertumbuhan
2014 2015 2016 2017 2018 (%)
Nominal 5,274.79 5,846.13 5,787.86 4,980.07 5,691.94 2.54
IHK *) 5.37
110.89 123.04 127.50 128.49 136.36
Riil 4,756.78 4,751.41 4,539.50 3,875.84 4,174.20 -2.87
Sumber����� : BPS, diolah Pusdatin
Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian�����

Gambar 5.4.� Perkembangan Pengeluaran untuk Konsumsi Jagung Total secara Nominal dan Rill Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2013
� 2017


5.3. Perhitungan Neraca Jagung

�Dalam penyusunan neraca komoditas jagung, diperlukan beberapa data pendukung yang terkait dalam perhitungan penyediaan dan
penggunaan jagung secara keseluruhan.� Ada banyak indikator penyusun yang perlu diketahui dalam menghitung neraca jagung.�

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 35/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Beberapa data dan informasi pendukung dari berbagai sumber digunakan dalam perhitungan neraca komoditas jagung ini.� Berikut ini
disajikan perhitungan untuk menyusun neraca jagung dengan menggunakan data dan informasi pendukung yang bersumber dari berbagai
data yang ada. Secara umum penyusunan neraca pada Tabel 5.5 ini didasarkan pada perhitungan prognosa yang dilakukan oleh Badan
Ketahanan Pangan (BKP), Kementerian Pertanian.


Tabel 5.5.� Neraca komoditas jagung
No. Uraian Angka 2015 2016 2017 2018 2019
konversi
Stok ��������� 28,049
I Penyediaan �20,095,954 �21,637,708 �25,679,510 �26,613,256 �29,121,657
1 Produksi ( Ton �19,612,435 �23,578,413 �28,924,015 �30,055,623 �33,000,000
Pipilan kering
KA 25%)
�- Luas Tanam ������ 4,061,802 ������ 4,935,002 ������ 5,754,465 ������ 6,084,576 ������ 6,680,162
(Ha)
�- Luas Panen ������ 3,787,367 ������ 4,444,369 ������ 5,533,139 ������ 5,734,326 ������ 6,346,154
(Ha)
Produksi ( Ton 13% �17,062,818 �20,513,219 �25,163,893 �26,148,392 �28,710,000
Pipilan kering
KA 15%)
2 Impor (ton) ������ 3,267,694 ������ 1,139,694 �������� 517,496 ������� 737,228 ������� 412,138
3 Ekspor (ton) �������� 234,559 ���������� 15,205 ����������� �������� 272,364 ��������������
1,879 481
II Penggunaan �17,227,604 �18,528,961 �21,534,895 �17,431,755 �19,516,940
(1+2+3)
1 Konsumsi �������� 449,835 �������� 467,879 �������� 391,331 �������� 422,643 �������� 427,059
Langsung (ton)
(susenas x Jml
Penduduk)
2 Kebutuhan untuk ���� 11,960,130 ���� 12,268,196 ���� 14,043,325 ���� 10,820,000 ���� 11,506,033
pakan
�- Bahan Baku ������ 8,250,000 ������ 8,500,000 ������ 9,349,999 ������ 8,300,000 ������ 8,590,000
Industri Pakan
Ternak (Ditjen
PKH)
�- Kebutuhan ������ 3,710,130 ������ 3,768,196 ������ 4,693,326 ������ 2,520,000 ������ 2,916,033
Untuk Pakan
peternak mandiri
3 Penggunaan ������ 4,817,639 ������ 5,792,887 ������ 7,100,239 ������ 6,189,111 ������ 7,583,848
lainnya
- Tercecer dari 5% �������� 853,141 ������ 1,025,661 ������ 1,258,195 ������ 1,307,420 ������ 1,435,500
produksi bersih
(5%)
- Kebutuhan 20 ���������� 81,236 ���������� 98,700 �������� 115,089 �������� 121,692 �������� 133,603
Benih/Bibit (20
kg/ha x luas
tanam)
- Bahan baku 19.8% ������ 3,883,262 ������ 4,668,526 ������ 5,726,955 ������ 4,760,000 ������ 6,014,745
industri non pakan
Neraca� ��� 2,868,350 ��� 3,108,747 ��� 4,144,615 ��� 9,181,502 ��� 9,604,717
(surplus/defisit)
( I - II)
Keterangan

- Jumlah ������ 255,588 ������ 258,497 ������ 261,356 ������ 264,162 ������ 266,912
Penduduk (jiwa)
- Tingkat �������������� �������������� �������������� �������������� ��������������
konsumsi 1.76 1.81 1.50 1.60 1.60
Kg/kapita/tahun
Keterangan :
Produksi jagung 2019 merupakan Angka Sasaran Indikatif 2019, IKU Dtjen. Tanaman Pangan 2019
Stok awal tahun 2018 sebesar 28,049 ribu ton, merupakan stok akhir tahun 2017 di Bulog, belum memperhitungkan stok lainnya. Stok awal tahun 2019� belum tersedia data
Kehilangan/tercecer sebesar 5% dari produksi� (NBM).
Angka konsumsi tahun 2015 - 2019 menggunakan angka susenas BPS (total konsumsi jagung basah setara pipilan dan pipilan kering)
Data ekspor - Impor 2015 - 2019 (BPS), ekspor impor tahun 2019 merupakan ekspor sd Maret 2019
Kebutuhan jagung 2019 terdiri dari: (1) Konsumsi langsung Rumah Tangga 1,60 kg/kap/th (Susenas Triwulan I 2016);
(2) Kebutuhan jagung untuk industri pakan sebesar 8,3 juta ton (Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, 2017);
(3) Kebutuhan pakan peternak lokal sebesar 2,92 juta ton (Ditken PKH Kementan);
(4) Kebutuhan benih dari perhitungan kebutuhan benih 20 kg/ha dari luas tanam 6,680 juta ha (Sasaran Sasaran Indikatif 2019, IKU Dtjen. TP 2019);
dan (5) Kebutuhan industri pangan sebesar 6,01 juta ton (Kajian Pusdatin dari Tabel I/O 2005).

��������� � Tabel 5.6.� Hasil survei Tim Terpadu Ditjen Tanaman Pangan, tahun 2013

Kadar Air (%)
No Provinsi Musim Musim
Hujan Kemarau
1 Jawa Timur 28-30 25-28
2 Jawa Tengah 28-30 25-28
3 Sulawesi 25-28
Selatan
4 Lampung 27-32
5 Sumatera utara 28-32 25-28

�Perkiraan produksi jagung Indonesia tahun 2019 adalah sebesar 33 juta ton. Data pendukung lain yang perlu dicermati terkait angka
produksi ini adalah kadar air jagung di tingkat petani.� Selama ini asumsi produksi jagung berada pada kadar air sekitar 15% dimana pada
level kadar air inilah kualitas jagung yang diperlukan oleh industri baik industri pakan maupun industri lainnya.� Berdasarkan data pada
Tabel 5.6 hasil survei Tim Terpadu Ditjen Tanaman Pangan, kadar air jagung produksi petani secara rata-rata pada batas bawah adalah
sekitar 20-25%.��

Selisih kadar air sekitar 10% ini berdampak pada berat produksi.� Apabila berat jenis jagung diperhitungkan yaitu sekitar 700 g/lt
maka berat produksi jagung 2019 sebesar 33 juta ton (kadar air sekitar 25%) menjadi sekitar 28,71 juta ton dengan kadar air 15%.��

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 36/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

�Impor jagung pipilan kering tahun 2018 sampai dengan April adalah sekitar 412,14 ribu ton.� Sementara ekspor 481 ton.� Jika total
penyediaan jagung adalah produksi bersih dikurangi impor ditambah ekspor, maka pada tahun 2019 besarnya penyediaan jagung adalah
29,12 juta ton.� Penyediaan ini meningkat dibandingkan tahun 2018 (Tabel 5.5).�

�Bagian lain dari neraca ini adalah penggunaan jagung, dimana komponen penyusunnya diantaranya adalah konsumsi langsung, kebutuhan
untuk pakan, industri lainnya non pakan, penggunaan untuk benih serta penggunaan lainnya.� Jagung yang dikonsumsi langsung dihitung
berdasarkan angka konsumsi SUSENAS.� Berdasarkan asumsi yang digunakan dalam perhitungan prognosa BKP, tingkat konsumsi per
kapita tahun 2019 menggunakan angka Susenas tahun 2018.��

Tingkat konsumsi jagung ini merupakan penjumlahan antara jagung pipilan dengan jagung basah berkulit yang dikonversi ke wujud
pipilan dengan angka konversi 39% (NBM).� Berdasarkan angka Susenas tahun 2018, tingkat konsumsi total jagung per kapita adalah
sebesar 1,60 kg.� Jika diasumsikan jagung dikonsumsi oleh seluruh penduduk tahun 2019 (266,91 juta orang) maka konsumsi langsung ini
adalah sebesar 427,06 ribu ton.

�Konsumsi jagung untuk pakan dibedakan menjadi 2 yaitu kebutuhan untuk bahan baku industri pakan serta jagung yang digunakan
sebagai campuran pakan oleh para peternak lokal yang mencampur sendiri pakan untuk ternaknya (self-mixing).� Besarnya jagung yang
diserap oleh pabrik pakan untuk setiap tahunnya dilaporkan oleh GPMT melalui persetujuan Direktorat Pakan, Ditjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan (PKH).� Untuk tahun 2019 data diperoleh dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tahun 2019 kebutuhan jagung
untuk pabrik pakan sekitar 8,59 juta ton, volume ini meningkat dari tahun 2018 yaitu 8,3 juta ton.
�Tahun 2013-2017 kebutuhan jagung untuk peternak mandiri dihitung dengan menggunakan asumsi yang pertama yaitu populasi ternak
yang diberi jagung dimana pakannya dibuat sendiri oleh peternak.� Berdasarkan asumsi yang digunakan oleh Dr. Budi Tangendjaya � FAO,
ayam petelur yang diberi jagung adalah populasi layer yaitu ayam petelur yang berumur di atas 18 minggu.� Jika umur ayam petelur saat
diafkir sekitar 85 minggu, maka persentase populasi layer atau ayam petelur yang berumur lebih dari 18 minggu adalah sekitar 79%.�
Demikian juga untuk ayam buras, diasumsikan populasi yang diberi jagung adalah ayam buras dewasa sekitar 32% dari total populasi.�
Populasi itik yang diberi jagung adalah sekitar 30% dari total populasi itik.

�Asumsi yang kedua adalah besarnya kebutuhan jagung per gram/ekor/tahun yang juga digunakan oleh Dr. Budi Tangendjaya � FAO
dalam perhitungan �Calculator Feed Demand Indonesia�.� Kebutuhan jagung per ekor perhari untuk ayam ras petelur adalah 55,33 gram,
untuk ayam buras 38,4 gram dan untuk itik 17,3 gram.� Berdasarkan data populasi unggas yang dipublikasi oleh Ditjen PKH dan asumsi
kebutuhan jagung per ekor, maka dapat dihitung banyaknya populasi unggas yang diberi jagung serta total kebutuhan jagung dalam
setahun.��

Tahun 2019 sebanyak 2,92 juta ton jagung dibutuhkan untuk pakan yang dibuat oleh peternak mandiri.� Penggunaan jagung lainnya
diantaranya adalah tercecer serta untuk benih dan industri.� Berdasarkan data pendukung dari Neraca Bahan Makanan (NBM) sebanyak 5%
produksi jagung hilang tercecer atau sekitar 1,44 juta ton. Penggunaan jagung untuk benih dihitung berdasarkan asumsi bahwa untuk setiap
hektarnya dibutuhkan sebanyak 20 kg benih.� Tahun 2019 jagung untuk benih dibutuhkan sekitar 133,6 ribu ton untuk ditanam di lahan
seluas 6,68 juta hektar.��

Sementara pengunaan jagung untuk industri lainnya dihitung berdasarkan informasi pendukung dari tabel Input Output BPS.�
Berdasarkan tabel I/O tahun 2005, besarnya jagung yang digunakan oleh industri makanan adalah sebesar 19,8% dari produksi yang ada.
Secara rinci industri yang berbahan baku jagung dengan proporsi penggunaan jagungnya dari besar produksi adalah sebagai berikut: 1)
industri minyak jagung (3,23%); 2) tepung jagung (7,18%); 3) kopi giling dan kupasan (8,91%) dan 4) industri makanan lainnya (0,48%).
Tahun 2018 penggunaan jagung untuk industri non pakan yaitu sebesar 6,01 juta ton.��

�Berdasarkan neraca jagung yang telah dihitung sebelumnya, pada tahun 2019 diperkirakan akan ada surplus sebesar 9,60 juta ton.�
Secara umum, stok jagung terbesar berada di pabrik pakan sehingga surplus jagung di akhir tahun ini ditujukan untuk penyediaan bahan
baku bagi pabrik pakan untuk berproduksi selama sekitar 3 (tiga) bulan ke depan.�


5.4. Penyediaan Total Domestik Jagung Dunia

Menurut data USDA, Amerika Serikat merupakan negara dengan total penyediaan jagung untuk konsumsi domestik terbesar di dunia
yakni pada periode tahun 2014 - 2019 mencapai rata-rata 308,89 juta ton per tahun atau 30,41% dari total penyediaan jagung untuk
konsumsi dunia.� Disusul kemudian oleh China yang menepati urutan kedua dengan rata-rata penyediaan sebesar 251,167 juta ton atau
24,72% dari total penyediaan jagung untuk konsumsi di dunia. Uni Eropa menempati urutan ketiga dalam penyediaan jagung di dunia yang
mencapai 78,40 juta ton atau 7,72%. Negara-negara berikutnya dalam urutan 10 besar adalah Brazil, Meksiko, India, Mesir, Jepang, Kanada,
Vietnam dan Indonesia dengan total penyediaan berkisar antara 1,24% - 6,16%. Kontribusi negara-negara dengan penyediaan jagung
terbesar di dunia disajikan pada Gambar 5.4 dan Tabel 5.7.

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 37/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


Gambar 5.4. Negara dengan penyediaan jagung terbesar di dunia, (rata-rata 2014 - 2019) Tabel 5.7. Sepuluh negara dengan penyediaan
jagung untuk konsumsi terbesar di dunia, 2014 � 2019
Konsumsi Domestik (000 Ton) Rata2� Share Share
No Negara 2014-2019 (%) kumulatif
2014 2015 2016 2017 2018 2019
(%)
1 Amerika �301,837 ��� ��� ��� ��� ��� ������� 30.41 30.41
Serikat 298,844 313,828 313,970 309,893 314,975 308,891
2 China �206,000 ��� ��� ��� ��� ��� ������� 24.72 55.13
229,000 255,000 263,000 275,000 279,000 251,167
3 Uni Eropa �� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 7.72 62.85
77,880 73,500 74,000 76,500 87,000 81,500 78,397
4 Brazil ��� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 6.16 69.01
57,000 57,500 60,500 64,500 66,500 69,500 62,583
5 Meksiko �� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 4.01 73.01
34,550 37,300 40,400 42,500 43,900 45,500 40,692
6 India �� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 2.55 75.57
22,350 23,550 24,900 26,700 29,000 29,000 25,917
7 Mesir �� ����� ������ ������ ������ ������ ���������� 1.52 77.09
13,900 14,850� 15,100� 15,900� 16,200� 16,900� 15,475
8 Jepang �� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 1.50 78.59
14,600 15,200 15,200 15,600 15,500 15,600 15,283
9 Kanada �� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 1.33 79.92
12,823 12,029 12,949 14,015 14,500 14,700 13,503
10 Vietnam ���� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 1.25 81.18
9,400 12,200 12,900 13,500 14,000 14,400 12,733
11 Indonesia �� ����� ������ ������ ������ ������ ��������� 1.24 82.41
12 Negara 12,200 12,100 12,300 12,400 12,900 13,400 12,550 17.59 100.00
lainnya �212,221 ���� ���� ���� ���� ���� ��������
215,134 223,904 232,666 241,605 245,991 178,672
Dunia �974,761 �1,001,207 �1,060,981 �1,091,251 �1,125,998 �1,140,466 ���� 1,015,863 100.00
Sumber: USDA, diolah Pusdatin�����

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 38/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 39/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

BAB VI.� KEDELAI



edelai adalah salah satu komoditas pertanian yang menjadi bahan dasar makanan seperti kecap, tauco, oncom,
tahu, �tempe dan susu. Kedelai merupakan sumber� utama protein nabati dan minyak nabati dan dikenal murah dan terjangkau oleh
masyarakat.� Kedelai saat ini tidak hanya diposisikan sebagai bahan baku industri pangan, namun juga sebagai bahan baku industri non-
pangan, seperti kertas, cat cair, tinta cetak dan tekstil. Di Indonesia, lebih dari 89 persen kedelai digunakan untuk konsumsi bahan pangan.

Kebutuhan kedelai dalam negeri meningkat setiap tahunnya dikarenakan oleh konsumsi yang terus meningkat mengikuti
pertambahan jumlah penduduk. Peningkatan kebutuhan akan kedelai dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap
tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap.�

Mengkonsumsi kedelai memiliki banyak manfaat, pertama kedelai mempunyai kandungan protein yang tinggi dan membantu dalam
membangun sel-sel dalam tubuh. Kedua, kandungan lemak tak jenuh pada kedelai membantu untuk menjaga kesehatan jantung dan
membantu menurunkan kolesterol. Kedelai adalah sumber kalsium yang baik dibandingkan dengan sumber kacang-kacangan lain sehingga
mampu utuk menguatkan tulang dan mencegah osteoporosis. Ketiga, konsumsi kedelai akan menyehatkan pencernaan, karena kandungan
serat larut yang ada dalam kedelai. Keempat pencegah kanker, karena kacang kedelai memiliki kandungan antioksidan sehingga baik untuk
mengurangi risiko berbagai macam kanker. Manfaat kedelai lainnya, bahwa kacang kedelai mengandung magnesium yang berfungsi
mengatur tekanan darah. Kandungan fosfornya juga berfungsi untuk menjaga kekuatan tulang dan gigi.

Kedelai untuk penggunaan dalam negeri, sebagian besar merupakan kedelai impor yang berasal dari Amerika Serikat. Produksi kedelai
di Indonesia tahun 2018 (ARAM 1) sebesar� 982,60 ribu ton, sementara konsumsi langsung sekitar 1,99 juta ton, sehingga produksi kedelai
di dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Selain itu Kedelai impor lebih banyak digunakan oleh industri tempe karena
dianggap kualitasnya lebih baik dari kedelai lokal. Menurut Aldillah 2014, untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai, dapat
mencari bahan baku alternatif lain untuk pembuatan tahu dan tempe, misalnya dari kacang koro dan kacang tunggak.


6.1. Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Kedelai dalam Rumah Tangga di Indonesia

Menurut hasil SUSENAS � BPS� tahun 2015, cakupan konsumsi kedelai� yang� berbahan kedelai hanya dalam wujud tahu, tempe
dan kecap, namun di tahun 2017 makanan yang berbahan kedelai di SUSENAS bertambah yaitu tauco dan oncom. Dalam analisis ini yang
digunakan sebagai konsumsi kedelai dalam rumah tangga adalah berasal dari tiga bahan makanan saja yaitu tahu, tempe dan kecap.


Tabel 6.1. Perkembangan konsumsi tahu, tempe dan kecap dalam rumah tangga di� Indonesia,� 2002-2018 serta prediksi tahun 2019
� 2021

Konsumsi (kg/kapita/tahun)
Tahun
Tahu Tempe Kecap

2002 7,72 8,29 0 , 61


2003 7,46 8,24 0 , 57
2004 6,73 7,30 0 , 57
2005 6,88 7,56 0 , 66
2006 7,20 8,71 0 , 70
2007 8,50 7,98 0 , 68
2008 7,14 7,25 0 , 65
2009 7,04 7,04 0 , 62
2010 6,99 6,94 0 , 66
2011 7,40 7,30 0 , 67
2012 6,99 7,09 0 , 57
2013 7,04 7,09 0 , 44
2014 7,07 6,95 0 , 48
2015 7,49 6,98 0 , 85
2016 7,87 7,35 0 , 93
2017 8,16 7,68 0 , 89
2018 8,23 7,61 0 , 83
Rata-rata 7,41 7,49 0 , 67
2019*) 8,38 7,89 0 , 88

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 40/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

2020*) 8,52 7,95 0 , 91


2021*) 8,67 8,01 0 , 95
Sumber : SUSENAS, BPS
��������������� *) hasil prediksi Pusdatin�������




Perkembangan konsumsi tahu di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 2002-2018 berfluktuatif. Rata-rata konsumsi tahu
tahun 2002-2017 adalah sebesar 7,41 kg/kapita/th. Sementara untuk konsumsi tempe sedikit lebih besar dari konsumsi tahu pada periode
yang sama, yaitu sebesar 7,49 kg/kapita/th. Pangan lainnya dengan bahan baku kedelai adalah kecap. Konsumsi kecap per kapita jauh di
bawah konsumsi tahu dan tempe. Selama periode tahun 2002 � 2018, rata-rata konsumsi kecap hanya sebesar 0,67 kg/kapita/tahun.

Prediksi konsumsi kedelai dalam wujud tahu tahun 2019 hingga 2021 diperkirakan meningkat rata-rata sebesar 1,78%. Konsumsi
tahu diprediksikan sebesar 8,38 kg/kapita pada tahun 2018 dan terus meningkat menjadi sebesar 8,67 kg/kapita pada tahun 2021. Begitu
pula untuk konsumsi tempe diprediksikan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018. Konsumsi tempe diprediksikan sebesar 7,89
kg/kapita pada tahun 2019 dan terus meningkat menjadi sebesar 8,01 kg/kapita pada tahun 2021. Untuk konsumsi kecap diprediksikan juga
akan mengalami peningkatan selama 2019 - 2021. Konsumsi kecap diprediksikan mencapai 0,95 kg/kapita pada tahun 2021.�

Perkembangan konsumsi wujud olahan kedelai tahu, tempe dan kecap tahun 20022018 serta prediksinya tahun 2019 � 2021
disajikan pada Tabel 6.1.

Konsumsi kedelai olahan dikonversi menjadi ekuivalen kedelai segar dengan faktor konversi tersaji pada Tabel 6.2. Terlihat bahwa
untuk tahu konversi ke kedelai sebesar 35%, tempe sebesar 50% dan kecap 100%.

Tabel 6.2 Faktor konversi konsumsi bahan makanan yang mengandung kedelai

Konversi
Janis Konversi
No Satuan ke bentuk
Pangan (Gram)
asal
1 Tahu kg 1000 0.35
2 Tempe kg 1000 0.50
3 Kecap 140ml 140 1.00
Sumber: PSKPG, IPB�����������

Dari hasil konversi tahu, tempe dan kecap ke wujud ekuivalen kedelai, akan diperoleh konsumsi kedelai total di Indonesia. Pada
tahun 2002 � 2018, konsumsi total kedelai relatif berfluktuasi namun cenderung meningkat sebesar 0,22%. Pada tahun 2002, konsumsi
total kedelai mencapai 7,45 kg/kapita dan menjadi 7,51 kg/kapita pada tahun 2018.
Konsumsi total kedelai terendah terjadi pada tahun 2014 sebesar 6,43 kg/kapita/tahun. Penurunan terbesar untuk total konsumsi
kedelai terjadi di tahun 2008 dimana konsumsi dalam rumah tangga turun sebesar 11,37% dibandingkan tahun sebelumnya yang disebabkan
konsumsi tahu turun cukup tinggi. Sementara peningkatan konsumsi total kedelai terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 10,50%. Pada
tahun 2019, konsumsi total kedelai diprediksikan akan mengalami peningkatan 3,24% menjadi sebesar� 7,76 kg/kapita dan terus meningkat
pada tahun 2020 dan 2021 menjadi sebesar 7,87 kg/kapita dan 7,98 kg/kapita.


Tabel 6.3. Perkembangan konsumsi kedelai yang terdapat pada tahu, tempe dan kecap dalam rumah tangga di� Indonesia,� 2002-2018
serta prediksi tahun 2019 � 2021

Konsumsi setara kedelai Jumlah


(kg/kapita/tahun)
Tahun
( kg/kap/th Pertumb. (
Tahu Tempe Kecap %)
)
2002 2,701 4,145 0,606 7 , 45
2003 2,610 4,119 0,569 7,30 -2 , 06
2004 2,354 3,650 0,569 6,57 -9 , 93
2005 2,409 3,780 0,664 6,85 4 , 26
2006 2,519 4,354 0,701 7,57 10 , 50
2007 2,975 3,989 0,679 7,64 0 , 92
2008 2,500 3,624 0,650 6,77 -11,37
2009 2,464 3,520 0,621 6,60 -2 , 51
2010 2,446 3,468 0,664 6,58 -0 , 40
2011 2,592 3,650 0,672 6,91 5 , 11

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 41/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

2012 2,446 3,546 0,569 6,56 -5 , 10


2013 2,464 3,546 0,443 6,45 -1 , 65
2014 2,474 3,476 0,482 6,43 -0 , 31
2015 2,622 3,491 0,850 6,96 8 , 24
2016 2,756 3,676 0,933 7,37 5 , 78
2017 2,857 3,841 0,895 7,59 3 , 09
2018 2,879 3,804 0,831 7,51 -1 , 04
Rata-rata 2,592 3,746 0,671 7,008 0,220
2019*) 2,932 3,944 0,882 7,76 3 , 24
2020*) 2,983 3,973 0,914 7,87 1 , 46
2021*) 3,035 4,003 0,946 7,98 1 , 44
Sumber : SUSENAS, BPS
��������������� *) hasil prediksi Pusdatin�����������


2002 � 2018 dan prediksi 2019 - 2021

Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi olahan kedelai bagi penduduk Indonesia tahun 2014 � 2018 secara
nominal menunjukkan peningkatan sebesar 2,77%, yakni dari Rp. 136.221/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 151.902/kapita pada tahun
2018. IHK yang digunakan adalah IHK kelompok kacang-kacangan dan kecap diasumsikan sama menggunakan IHK kacang-kacangan.
Pengeluaran untuk konsumsi olahan kedelai setelah dikoreksi dengan faktor inflasi menunjukkan bahwa secara riil sejatinya mengalami
peningkatan hanya sebesar 0,83%. Hal ini menunjukan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita olahan kedelai mengalami
peningkatan. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi olahan kedelai secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun
2014 � 2018 tersaji pada Tabel 6.4 dan Gambar 6.2.


Tabel 6.4.� Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi kedelai (total),� 2014 � 2018

Tahun
Kelompok Pertumbuhan
No.
Barang 2014 2015 2016 2017 2018 (%)

1 Pengeluaran 136.221,28 139.335,50 141.046,43 146.149,01 151.902,39 2 , 77


Nominal
2 IHK *) ���� ���� ���� ���� ���� 1 , 94
123,08 127,78 130,55 131,60 132,89
3 Pengeluaran Riil 110.677,02 109.043,28 108.040,16 111.059,70 114.306,86 0 , 83
Sumber����� : BPS, diolah Pusdatin
Keterangan : *) IHK Kelompok kacang-kacangan�������������


Gambar 6.2.� Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi kedelai, 2014 � 2018


6.2. Konsumsi Kedelai Per Provinsi

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 42/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


�Konsumsi kedelai dalam bentuk makanan jadi yaitu tahu, tempe dan kecap di Provinsi Indonesia dapat dilihat pada tabel 6.5. Untuk
komsumsi kedelai yang ada di tahu dan tempe pada tahun 2018 terlihat yang paling tinggi terdapat di Provinsi Jawa Timur, masing-masing
sebesar 5,11 kg/kap/th dan 5,76 kg/kap/th. Sedangkan konsumsi terendah untuk tahu dan tempe terdapat di Provinsi Maluku Utara,�
masing masing sebesar 0,89 kg/kap/th dan 0,56 kg/kap/th. Sementara Provinsi tertinggi untuk konsumsi kedelai yang terdapat di kecap
adalah Provinsi Kalimantan Selatan sebesat 1,34 kg/kap/th dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. �

Untuk Konsumsi kedelai total pada periode tahun 2014 � 2018, Provinsi tertinggi adalah Jawa Timur, dengan rata-rata sebesar 11,39
kg/kap/th. Ini dikarenakan konsumsi kedelai yang ada pada tahu dan tempe cukup tinggi di provinsi tersebut. Sedangkan untuk rata-rata
pertumbuhan tertinggi dari konsumsi kedelai terjadi di Provinsi Maluku Utara, yaitu sebesar 27,2%� dikarenakan konsumsi kecap di provinsi
tersebut meningkat cukup tinggi di tahun 2015. Sementara di DKI Jakarta, konsumsi kedelai yang terdapat pada makanan jadi menurun
cukup tinggi tahun 2018 dibandingkan dengan 2017 yaitu dari 7,92 kg/kap/th menjadi hanya 5,39 kg/kap/th.
�Secara Nasional, konsumsi kedelai yang ada di makanan jadi, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 4,02% (Tabel 6.6).�


Tabel 6.5. konsumsi kedelai yang terdapat pada tahu, tempe dan kecap per Provinsi, 2018

Konsumsi setara kedelai (kg/kapita/tahun)
2018
No Provinsi Total
Tahu Tempe Kecap
1 ACEH 1,10 2,38 0,42 3 , 90
2 SUMATERA UTARA 1,82 2,25 0,89 4 , 96
3 SUMATERA BARAT 2,36 1,78 0,27 4 , 41
4 RIAU 2,00 2,45 0,60 5 , 04
5 JAMBI 2,43 2,89 0,58 5 , 89
6 SUMATERA SELATAN 2,14 3,20 0,78 6 , 12
7 BENGKULU 1,91 3,13 0,44 5 , 48
8 LAMPUNG 2,21 4,69 0,60 7 , 49
9 KEPULAUAN BANGKA 1,51 2,13 0,85 4 , 48
BELITUNG
10 KEPULAUAN RIAU 2,03 2,58 0,78 5 , 39
11 DKI JAKARTA 2,03 2,58 0,78 5 , 39
12 JAWA BARAT 3,14 3,81 1,01 7 , 96
13 JAWA TENGAH 3,23 5,29 0,95 9 , 48
14 DI YOGYAKARTA 3,28 5,63 0,71 9 , 62
15 JAWA TIMUR 5,11 5,76 0,98 11 , 84
16 BANTEN 2,75 4,47 0,95 8 , 17
17 BALI 2,74 3,57 0,40 6 , 71
18 NUSA TENGGARA BARAT 2,30 3,01 0,26 5 , 57
19 NUSA TENGGARA TIMUR 1,08 1,20 0,17 2 , 45
20 KALIMANTAN BARAT 1,47 1,88 0,64 3 , 98
21 KALIMANTAN TENGAH 2,43 2,81 0,95 6 , 20
22 KALIMANTAN SELATAN 2,00 2,37 1,34 5 , 70
23 KALIMANTAN TIMUR 2,49 3,58 0,86 6 , 92
24 KALIMANTAN Utara 2,16 2,74 0,91 5 , 82
25 SULAWESI UTARA 2,36 1,78 0,51 4 , 64
26 SULAWESI TENGAH 1,97 1,88 0,56 4 , 42
27 SULAWESI SELATAN 1,52 2,35 0,77 4 , 64
28 SULAWESI TENGGARA 1,38 2,01 0,52 3 , 91
29 GORONTALO 2,51 1,14 0,45 4 , 11
30 SULAWESI BARAT 1,13 1,88 0,52 3 , 53
31 MALUKU 1,08 0,90 0,43 2 , 41
32 MALUKU UTARA 0,89 0,56 0,47 1 , 93
33 PAPUA BARAT 2,12 2,10 0,61 4 , 83
34 PAPUA 1,80 1,31 0,31 3 , 42
INDONESIA 2,88 3,80 0,83 7 , 51
Sumber : BPS diolah Pusdatin�������������







Tabel 6.6.� konsumsi total setara kedelai (tahu, tempe dan kecap) per Provinsi, 2014 -� 2018

No Provinsi Konsumsi setara kedelai (kg/kapita/tahun)

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 43/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Pertumbuhan�
2014 2015 2016 2017 2018
2014 - 2018 (
%)
1 ACEH 2,52 3,01 3,21 3,84 3,90 11 , 78
2 SUMATERA UTARA 4,13 4,17 5,06 4,79 4,96 5 , 17
3 SUMATERA BARAT 3,48 4,10 4,04 4,52 4,41 6 , 42
4 RIAU 4,14 4,74 4,93 5,08 5,04 5 , 17
5 JAMBI 3,95 5,43 5,57 5,80 5,89 11 , 43
6 SUMATERA SELATAN 5,77 6,21 6,09 6,34 6,12 1 , 59
7 BENGKULU 4,11 4,74 4,97 5,07 5,48 7 , 60
8 LAMPUNG 5,97 7,34 7,34 7,66 7,49 6 , 29
9 KEPULAUAN BANGKA 3,79 4,56 4,75 5,10 4,48 4 , 92
BELITUNG
10 KEPULAUAN RIAU 6,09 4,92 5,55 5,51 5,39 -2 , 33
11 DKI JAKARTA 7,46 6,62 6,92 7,92 5,39 -6 , 06
12 JAWA BARAT 6,68 7,06 7,95 8,25 7,96 4 , 64
13 JAWA TENGAH 8,89 9,57 9,53 9,76 9,48 1 , 70
14 DI YOGYAKARTA 8,31 8,32 9,07 9,50 9,62 3 , 78
15 JAWA TIMUR 10,57 11,11 11,60 11,82 11,84 2 , 90
16 BANTEN 6,89 8,05 9,06 8,13 8,17 4 , 90
17 BALI 6,09 6,91 6,68 6,50 6,71 2 , 69
18 NUSA TENGGARA BARAT 4,05 4,49 4,78 5,35 5,57 8 , 33
19 NUSA TENGGARA TIMUR 1,36 1,70 1,94 2,68 2,45 17 , 29
20 KALIMANTAN BARAT 3,21 3,32 3,85 3,99 3,98 5 , 69
21 KALIMANTAN TENGAH 4,42 5,32 5,90 6,39 6,20 9 , 15
22 KALIMANTAN SELATAN 4,05 5,23 5,66 5,73 5,70 9 , 49
23 KALIMANTAN TIMUR 5,16 6,46 6,83 6,95 6,92 8 , 06
24 KALIMANTAN Utara 4,75 5,33 5,93 5,82 7 , 19
25 SULAWESI UTARA 3,26 4,02 4,95 5,01 4,64 10 , 11
26 SULAWESI TENGAH 2,92 4,06 3,67 4,31 4,42 12 , 27
27 SULAWESI SELATAN 2,81 3,92 4,06 4,65 4,64 14 , 34
28 SULAWESI TENGGARA 2,01 2,64 2,98 3,66 3,91 18 , 50
29 GORONTALO 2,35 3,42 3,15 3,71 4,11 16 , 53
30 SULAWESI BARAT 1,96 2,46 3,04 3,36 3,53 16 , 12
31 MALUKU 1,72 2,33 2,49 2,59 2,41 9 , 81
32 MALUKU UTARA 0,88 1,72 1,67 1,96 1,93 27 , 24
33 PAPUA BARAT 3,88 4,21 3,55 4,30 4,83 6 , 58
34 PAPUA 2,53 3,06 3,31 3,26 3,42 8 , 08
INDONESIA 6,43 6,96 7,37 7,59 7,51 4 , 02
Sumber : BPS diolah Pusdatin�������������

6.3. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Kedelai�

�Penyediaan total kedelai Indonesia berasal dari produksi dalam negeri (yang telah dikurangi tercecer) ditambah impor kemudian
dikurangi ekspor. Beberapa data dan informasi pendukung bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) seperti data ekspor dan Impor.
Ketersediaan data kedelai saat ini untuk produksi adalah hingga tahun 2018 (ARAM 1). Untuk tahun 2019, angka produksi dihitug dari
proporsi angka sasaran Ditjen Tanaman Pangan terhadap rata-rata realisasi tahun 2017-2018 dan untuk data tercecer merupakan 5% dari
produksi kedelai.�

Produksi kedelai tahun 2018 (ARAM 1) sebesar� 982.598 ton dan angka sasaran tahun 2019,� produksi kedelai diperkirakan
meningkat signifikan sebesar 1,5 juta ton. Untuk data kedelai yang tercecer pada tahun 2018 sebesar 49,13 ribu ton dan meningkat menjadi
77 ribu ton pada tahun 2019. Data ekspor dan impor tersedia hingga tahun 2018, untuk tahun 2019 data ekspor impor menggunakan
realisasi hingga bulan April ditambah asumsi bulan Mei sd. Desember sama dengan tahun 2018. Cakupan kode HS yang digunakan untuk
data ekspor impor kedelai adalah 1201001000 (kacang kedelai benih) dan 1201009000 (lain-lain/kacang kedelai selain untuk benih).

Perkembangan volume ekspor dan impor kedelai di Indonesia periode 2012 - 2018 berfluktuatif namun cenderung meningkat. Ekspor
kedelai sangat kecil dibandingkan impornya. Pada tahun 2018 rata-rata� 70% total penyediaan kedelai berasal dari impor. Besarnya volume
impor tahun 2019, diprediksi sebesar 2,7 juta ton sementara volume ekspor hanya 3,86 ribu ton. Pada tahun 2019, total penyediaan kedelai
diprediksi sebesar 4,18 juta ton.

Penggunaan kedelai di Indonesia terutama untuk bahan makanan atau konsumsi langsung, benih/bibit, Horeka dan industri besar
sedang. Penggunaan kedelai untuk konsumsi langsung dihitung dengan mengalikan tingkat konsumsi kedelai perkapita dengan jumlah
penduduk pada tahun yang bersangkutan. Data konsumsi kedelai yang digunakan pada tahun 2014 sampai dengan 2018 adalah data
SUSENAS � BPS yang diolah Pusdatin menggunakan faktor konversi konsumsi bahan makanan yang mengandung kedelai.��� Konsumsi
langsung ini sudah termasuk industri rumahan untuk tahu dan tempe. Penggunaan kedelai untuk benih menggunakan angka rata-rata yang
dikeluarkan oleh Ditjen Tanaman Pangan sebesar� 50 kg/ha dari luas tanam. Sementara Penggunaan kedelai untuk Horeka dan kebutuhan
industri dihitung berdasarkan hasil Survei konsumsi bahan pokok 2017.

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 44/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

�Tingkat konsumsi kedelai per kapita menggunakan data dari hasil perhitungan Susenas Triwulan I (Tabel 6.5).� Jika diasumsikan pada
tahun 2018 kedelai dikonsumsi oleh seluruh penduduk sejumlah 264,16 juta orang maka konsumsi langsung adalah sebesar 1,98 juta ton.
Konsumsi langsung tahun 2019 lebih besar dibandingkan tahun 2018 sebesar 2,0 juta ton. Penggunaan kedelai untuk benih pada tahun
2019 diperkirakan sekitar 53 ribu ton untuk ditanam di lahan seluas 1,1 juta hektar.��

Kebutuhan kedelai untuk hotel, restoran dan rumah makan (Horeka) periode tahun 2014 - 2019 meningkat dari 73,13 ribu ton tahun
2014 menjadi 98,76 ribu ton pada tahun 2019. Sementara penggunaan kedelai untuk industri besar sedang pada tahun 2019 sebesar 336,3
ribu ton sekitar 13,5% dari penggunaan kedelai total.� Program penguatan industri pedesaan skala kecil maupun industri besar yang
bermitra dengan produsen kedelai perlu ditindaklanjuti. Bentuk makanan olahan yang menarik, rasa sesuai dengan selera konsumen dan
kemasan yang bagus akan mempunyai daya tarik bagi konsumen. Damardjati et al. (2005) mencontohkan bahwa PT Garuda Food telah
berhasil memproduksi snack kedelai oven dengan rasa enak dan dikemas dalam kemasan yang menarik dan terkesan elit.

Neraca kedelai Indonesia selama periode 2014 � 2018 menunjukkan adanya surplus pasokan kedelai yang cukup tinggi. Surplus
tersebut disebabkan tingginya produksi dan volume impor yang masih tinggi. Surplus kedelai ini diasumsikan diserap oleh importir,
pedagang dan untuk keperluan industri selain tahu, tempe dan kecap, seperti industri susu kedelai dan peyek. Pada tahun 2018, surplus dari
pasokan kedelai mencapai 1 juta ton dan diperkirakan meningkat pada tahun 2019 menjadi sebesar 1,69 juta ton. Secara rinci penyediaan
dan penggunaan kedelai tahun 2014 � 2019 dapat dilihat pada Tabel 6.7.��


Tabel� 6.7. Penyediaan dan penggunaan Kedelai, 2014 � 2019�

No. Uraian 2014 2015 2016 2017
A. PENYEDIAAN �������� 2.831.755 �������� 3.170.597 ���� 3.077.109 �������� 3.182.233 ���
KEDELAI (Ton)
Produksi ������������ 954.997 ������������ 963.018 �������� 859.653 ������������ 538.728 ����
�� - Luas ������������ 615.564 ������������ 690.589 �������� 597.914 ������������ 357.266 ����
Tanam (Ha)
�� - Luas ������������ 615.685 ������������ 614.095 �������� 576.987 ������������ 355.799 ����
Panen (Ha)
� - Tercecer ( ��������������� 47.750 ��������������� 48.151 ����������� 42.983 ��������������� 26.936 ������
5%� dari
produksi)
Produksi setelah ������������ 907.247 ������������ 914.867 �������� 816.670 ������������ 511.792 ����
dikurangi
tercecer
- Impor ��������� 1.965.811 ��������� 2.256.932 ����� 2.261.803 ��������� 2.671.914 ���
- Ekspor 41.304 ����������������� 1.202 ������������� 1.365 ����������������� 1.473 ������

B PENGGUNAAN ��������� 2.063.893 ��������� 2.230.679 ����� 2.355.118 ��������� 2.428.273 ���
KEDELAI (Ton)
- Konsumsi ��������� 1.622.086 ��������� 1.779.542 ����� 1.903.873 ��������� 1.984.400 ���
Langsung
(penduduk x tkt
konsumsi)
- Kebutuhan ��������������� 30.778 ��������������� 34.529 ����������� 29.896 ��������������� 17.863 ������
Benih ( 50 kg/ha
* LT)
- Hotel, Restoran ��������������� 73.128 ��������������� 74.120 ����������� 74.964 ��������������� 96.702 ������
dan Rumah
makan
- Industri Besar ������������ 337.901 ������������ 342.488 �������� 346.385 ������������ 329.308 ����
Sedang
Neraca� (A-B) 767.862 939.917 721.991 753.960
Keterangan
- Jumlah 252.165 255.587,9 258.496,5 261.355,5
Penduduk (000
jiwa)
- Kenaikan �������������������� �������������������� ���������������� �������������������� �������
jumlah 1,35 1,36 1,14 1,11
penduduk (%)
- Tingkat 6,43 6,96 7,37 7,59
konsumsi
Kg/kapita/tahun
Ket. :��� - Produksi kedelai 2019 dihitung dari proporsi sasaran Ditjen TP 2019 thd rata-rata realisasi 2017-2018� - Ekspor Impor Kedelai segar tahun 2019 mrp prediksi pusda n
- Tingkat konsumsi menggunakan data Susenas� Maret Tw1, dengan konversi ke bentuk asal
- Data Horeka dan industri dihitung berdasarkan hasil Survey Bapok 2017 BPS�����������������������


6.4.�� Konsumsi Domestik Kedelai di beberapa negara di Dunia

Berdasarkan data dari USDA, konsumsi domestik kedelai dunia dikuasai oleh empat negara yaitu Cina, Amerika, Argentina dan Brazil.
Rata-rata konsumsi domestik kedelai di Cina pada periode� tahun 2014 - 2019 mencapai 100,05 juta ton per tahun atau 30,12% dari total
konsumsi domestik dunia. Konsumsi domestik kedelai negara Amerika Serikat sebesar 57,66 juta ton.� Negara Argentina dan Brazil
konsumsi domestik untuk kedelai pada periode tersebut sekitar 44 - 48 juta ton atau di bawah 15% sementara negara lainnya menyumbang
di bawah 6%. Indonesia menempati urutan kesebelas dengan konsumsi kedelai sebesar 3,0 juta ton (Tabel 6.6).

Tabel 6.8.� Negara dengan konsumsi domestik kedelai terbesar di dunia, 2014 � 2019
Ketersediaan (000 Ton) Rata- Share
rata�� Share kumulatif
No Negara (%)
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2014 - (%)
2019
1 Cina 87,800 95,900 103,500 106,300 103,100 103,700 100,050 30.12 30.12

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 45/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

2 Amerika 54,989 54,474 55,723 58,999 60,656 61,093 57,656 17.36 47.48
Serikat
3 Argentina 45,485 49,467 49,809 43,633 48,903 52,150 48,241 14.52 62.00
4 Brazil 43,085 42,397 43,061 46,512 45,350 46,500 44,484 13.39 75.40
5 Uni Eropa 16,040 16,580 16,040 16,600 17,960 17,660 16,813 5.06 80.46
� �
11 Indonesia 2,750 2,854 3,000 3,050 3,185 3,275 3,019 0.91 81.37
Negara 53,723 54,568 60,413 63,463 68,093 71,042 61,884 18.63 100.00
Lainnya
Dunia 303,872 316,240 331,546 338,557 347,247 355,420 332,147 100.00
Sumber : USDA diolah Pusdatin���������������



Gambar 6.3. konsumsi domestik kedelai terbesar di dunia, 2014 � 2019





BAB VII.� CABAI

C
abai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena
memiliki harga jual yang tinggi dan� memiliki beberapa manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin yang berfungsi
dalam mengendalikan penyakit kanker. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan
harian setiap orang, namun harus dikonsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung (http://id.wikipedia.org/wiki/cabai).

Cabai kaya jenis antioksidan lain, seperti vitamin A, zat antioksidan pada cabai membantu melindungi tubuh dari efek radikal bebas
yang merugikan, yang dapat dihasilkan karena stres, dan kondisi penyakit lain. Cabai juga mengandung banyak mineral, seperti kalium,
mangan, zat besi, dan magnesium. Kalium merupakan komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengontrol detak
jantung dan tekanan darah. Cabai juga termasuk dalam kelompokpenghasil vitamin B-kompleks, seperti niacin, pyridoxine (vitamin B-6),
riboflavin dan thiamin (vitamin B-1).�

Di Indonesia, cabai digunakan untuk bumbu masakan yang dibedakan menjadi cabai merah, cabai hijau dan cabai rawit.��

Cabai merah besar merupakan salah satu jenis sayuran yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Konsumsi cabai orang Indonesia relatif
tinggi dan akan semakin meningkat saat hari raya Idul Fitri.�

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka permintaan akan konsumsi cabai berpotensi meningkat. Di Indonesia, lebih dari
45 persen cabe digunakan untuk konsumsi langsung rumah tangga, 50 persen untuk bahan baku industri olahan, 5 persen tercecer dan
sisanya digunakan untuk benih dengan persentase yang sangat kecil.�

Permasalahan cabai di Indonesia saat ini yaitu masalah penyakit pada tanaman cabai yang dapat merugikan hasil produksi. Ada
banyak penyakit yang menggangu tanaman cabai, beberapa diantaranya adalah penyakit kuning dan antraknosa. Penyakit ini mampu
menghancurkan hasil panen produksi 20 - 90% dan berkembang pada musim hujan. ��

��

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 46/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

7.1. Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Cabai dalam Rumah Tangga di Indonesia

Cakupan data konsumsi cabai menurut hasil SUSENAS � BPS, dibedakan dalam wujud cabai merah, cabai hijau dan cabai rawit.�
Cabai merah dan cabai hijau didefinisikan sebagai cabai besar.��
Konsumsi total cabai besar di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 20022018 berfluktuasi namun cenderung mengalami
peningkatan sebesar 3,29%. Konsumsi rumah tangga cabai mera dan cabai rawit di Indonesia cenderung sama sedangkan konsumsi cabai
hijau lebih sedikit.� Konsumsi cabai merah pada tahun 2002 adalah 1,429 kg/kapita dan mengalami peningkatan menjadi 2,958 kg/kapita
pada tahun 2015 atau meningkat hingga 102.68% dibandingkan tahun 2014 yang hanya 1,460 kg/kapita.� Selama periode tahun 2002 �
2018, konsumsi cabai merah terbesar terjadi pada tahun 2015 yang mencapai 2,958 kg/kapita, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada
tahun 2003 hanya sebesar 1,351 kg/kapita. Pada tahun 2019 hingga 2021 konsumsi cabai merah diprediksi naik menjadi 1,905
kg/kapita/tahun atau naik sebesar 6,99% dibandingkan tahun sebelumnya.��

Rata-rata konsumsi rumah tangga cabai hijau dari tahun 2002-2018 adalah sebesar 0,260 kg/kapita. Tahun 2002 konsumsi cabai
rawit sebesar 0,219 dan naik pada tahun 2007 menjadi sebesar 0,302. Tahun 2008-2014 berkisar diantara 0,198 sampai dengan 0,266.
Sedangkan untuk tahun 2015 dan 2016 data konsumsi rumah tangga cabai hijau tidak tersedia di SUSENAS-BPS. Tahun 2017-2018
konsumsi cabai rawit meningkat dari pada tahun sebelumnya yaitu sebesar 0,368 dan 0,360. Jumlah konsumsi cabai hijau secara umum
lebih sedikit dibandingkan dengan konsumsi cabai merah.�

Konsumsi cabai rawit di rumah tangga pada periode 2002 � 2018 berfluktuasi namun cenderung meningkat. Pada tahun 2002,
konsumsinya adalah 1,126 kg/kapita kemudian meningkat menjadi sebesar 1,835 kg/kapita pada tahun 2018 atau naik dengan rata-rata
sebesar 7,53%.�

Peningkatan konsumsi cabai rawit diprediksikan masih akan terjadi pada tahun 2019 -

2021 sehingga mencapai 1,850 kg/kapita atau naik 0,78% dibandingkan tahun 2018. Konsumsi total cabai besar terendah terjadi pada tahun
2003 sebesar 1,580 kg/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi total cabai besar terbesar terjadi pada tahun 2015 sebesar 76,79% atau sebesar
2,958 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2019 - 2021 konsumsi total cabai besar diprediksikan akan mengalami peningkatan menjadi 2,26
kg/kapita atau naik sebesar 5,77%.�

Perkembangan konsumsi cabai per kapita tahun 2002-2018 serta prediksinya tahun 2019� 2021 disajikan pada Tabel 7.1 dan Gambar 7.1.�


Tabel 7.1. Perkembangan konsumsi dalam rumah tangga di� Indonesia,� 2002 - 2018 serta prediksi tahun 2019 - 2021
Cabai Merah Cabai Hijau Total Cabai Besar Cabai Rawit
Tahun Pertumb. Pertumb. Pertumb.
Pertumb. ( Kg/Kapita
(Kg/Kapita) (Kg/Kapita) (Kg/Kapita)
(%) (%) (%) ) (%)
2002 1.429 0.219 1.648 1.126
2003 1.351 -5.47 0.229 4.76 1.580 -4.11 1.199 6.48
2004 1.361 0.77 0.240 4.55 1.601 1.32 1.147 -4.35
2005 1.564 14.94 0.261 8.70 1.825 14.01 1.272 10.91
2006 1.382 -11.67 0.235 -10.00 1.616 -11.43 1.168 -8.20
2007 1.470 6.42 0.302 28.89 1.773 9.68 1.517 29.91
2008 1.549 5.32 0.266 -12.07 1.815 2.35 1.444 -4.81
2009 1.523 -1.68 0.235 -11.76 1.757 -3.16 1.288 -10.83
2010 1.528 0.34 0.256 8.89 1.783 1.48 1.298 0.81
2011 1.497 -2.05 0.261 2.04 1.757 -1.46 1.210 -6.83
2012 1.653 10.45 0.214 -18.00 1.867 6.23 1.403 15.95
2013 1.424 -13.88 0.198 -7.32 1.622 -13.13 1.272 -9.29
2014 1.460 2.54 0.214 7.89 1.673 3.19 1.261 -0.92
2015 2.958 102.68 N/A - 2.958 76.79 2.962 134.96
2016 2.294 -22.45 N/A - 2.294 -22.45 2.451 -17.26
2017 1.773 -22.72 0.368 - 2.141 -6.67 1.490 -39.19
2018 1.781 0.43 0.360 -2.26 2.141 -0.03 1.835 23.15
Rata- 1.647 4.00 0.260 0.33 1.888 3.29 1.491 7.53
rata
2019 *) 1.905 6.99 0.359 -0.24 2.26 5.77 1.850 0.78
2020 *) 1.905 0.00 0.359 0.00 2.26 0.00 1.850 0.00
2021 *) 1.905 0.00 0.359 0.00 2.26 0.00 1.850 0.00
Sumber����� : SUSENAS bulan Maret, BPS Keterangan : *) Hasil prediksi Pusdatin���

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 47/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


Gambar 7.1.� Perkembangan konsumsi total cabai per kapita pertahun di Indonesia,�
2002 � 2018 dan prediksi 2019 - 2021

Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi cabai bagi� penduduk Indonesia tahun 2014 � 2018 menunjukkan
kecenderungan meningkat untuk cabai besar atau cabai merah dan cabai hijau. Kenaikan pertumbuhan rata-rata pengeluaran nominal
penduduk Indonesia untuk konsumsi cabai besar pada periode tersebut sebesar 13,56%. Pada tahun 2014 sebesar Rp 44.162/kapita dan Rp
65.296/kapita pada tahun 2018.� Angka pada tahun 2018 tersebut menurun dibandingkan dengan tahun 2017 yaitu��� Rp
66.312/kapita. Setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi besar secara riil juga mengalami peningkatan sebesar
3,43%. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi besar dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014 � 2018 secara
rinci tersaji pada Tabel 7.2 dan Gambar 7.2.

Tabel 7.2.� Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai,� 2014 - 2018
Tahun Pertumb.
No. Cabai Besar
2014 2015 2016 2017 2018 (%)
1 Pengeluaran Nominal 44,162 38,256 62,154 66,312 65,296 13.56
(Rp/kapita)
2 IHK *) 134 146 187 184 ������� 8.73
183
3 Pengeluaran Riil� 32,961 26,253 33,223 36,008 35,692 3.43
(Rp/kapita)
Sumber����� : BPS, diolah Pusdatin
Keterangan : *) IHK Kelompok bumbu-bumbuan (Cabai besar & rawit)


Gambar 7.2.� Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai besar, 2014 � 2018

�Besarnya pengeluaran per kapita untuk konsumsi cabai rawit dari tahun 2014-2018 mengalami peningkatan sebesar 14,67%. Tahun 2014
pengeluaran per kapita untuk konsumsi cabai rawit sebesar Rp 39.853,- dan naik pada tahun 2016 menjadi Rp 50.579,-. Kemudian

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 48/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

mengalami pengingkatan yang cukup besar pada tahun 2017 yaitu menjadi Rp 81.343,-. Namun pada tahun 2018 terjadi penurunan
menjadi sebesar Rp 56.279,-.

�Setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran riil konsumsu cabai rawit juga mengalami pengingkatan sebesar 6,12 %. Pengeluaran
riil tertinggi adalah pada tahun 2017 yaitu Rp 44.169,-. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi besar dalam rumah
tangga di Indonesia tahun 2014 � 2018 secara rinci tersaji pada Tabel 7.3 dan Gambar

7.3.


Tabel 7.3.� Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai rawit,� 2014 � 2018

Cabai Tahun Pertumb.


No.
rawit 2014 2015 2016 2017 2018 (%)
1 Pengeluaran 39,853 37,773 14.67
Nominal
(Rp/kapita) 50,579 81,343 56,279
2 IHK *) ������� ������� ������� ������� ������� 8.73
134 146 187 184 183
3 Pengeluaran 29,745 25,921 27,035 44,169 30,763 6.12
Riil�
(Rp/kapita)
Sumber����� : BPS, diolah Pusdatin
Keterangan : *) IHK Kelompok bumbu-bumbuan (Cabe Merah& rawit)


Gambar 7.3.� Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi cabai rawit, 2014 � 2018


7.2.� Perkembangan Penyediaan dan Penggunaan cabai di Indonesia

Penyediaan total cabai Indonesia berasal dari produksi terdiri dari luas tanam per hektar dan luas panen per hektar dalam negeri
ditambah impor kemudian dikurangi ekspor. Ketersediaan data cabai saat ini adalah hingga tahun 2018, sedangkan untuk tahun 2019
merupakan angka pronogsa Ditjen Hortikultura. Produksi cabai merah besar di Indonesia pada periode tahun 2014 � 2018 terus mengalami
peningkatan, hingga pada tahun 2019 dipredisi sebesar 1,34 juta ton.� Untuk data ekspor dan impor tersedia hingga tahun 2019. Untuk
tahun 2019 menggunakan data ekspor dan impor dari bulan januari hingga maret. Cakupan kode HS yang digunakan untuk menghitung
ekspor impor cabai dapat dilihat pada tabel 7.3.


Tabel 7.3 Cakupan kode HS Cabai yang digunakan untuk data ekspor impor
Kode HS Deskripsi
07096010 �Cabe (buah dari genus Capsicum)
07096090 Aneka Cabe
07119020 Cabe diawetkan sementara
09042110 Cabe, kering
09042190 Cabe dikeringkan Lainnya
09042210 Cabe, dihancurkan atau di tumbuk
09042290 Cabe Lainnya dihancurkan dan

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 49/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

ditumbuk

Perkembangan volume ekspor dan impor cabai di Indonesia periode 2014 - 2019 berfluktuatif. Penyediaan total cabai di Indonesia
dominan dipasok dari produksi dalam negeri, walaupun ada realisasi impor namun dalam kuantitas yang kecil, sementara yang diekspor juga
dalam kuantitas jauh lebih kecil.�

�Pada periode tersebut, rata-rata� 97% total penyediaan cabai merah berasal dari produksi. Produksi cabai merah besar pada tahun
2014 adalah 1,07 juta ton dan terus mengalami peningkatan menjadi sebesar 1,19 juta ton pada tahun 2018.� Impor cabai pada tahun
2018 sebesar 39,39 ribu ton sementara ekspor hanya sebesar 1,14 ribu ton sehingga penyediaan pada tahun tersebut menjadi sebesar 1,23
juta ton.�

Pada tahun berikutnya, yakni tahun 2019 total penyediaan cabai diprediksi akan mengalami peningkatan disebabkan meningkatnya
produksi. Pada tahun 2019, produksi cabai diprediksikan akan mengalami peningkatan menjadi sebesar 12,23% dibandingkan tahun
sebelumnya atau menjadi 1,34 juta ton dan jumlah impor diprediksikan sebesar 39 ribu ton.

Sehingga pada tahun 2019 penyediaan cabai diprediksikan mencapai 1,38 juta ton.
Komponen penggunaan Cabai di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan atau konsumsi langsung, benih/bibit,
industri dan tercecer. Penggunaan cabai untuk konsumsi langsung dihitung dengan mengalikan tingkat konsumsi cabai perkapita dengan
jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan.���

Tabel 7.4. ���� Penyediaan dan penggunaan Cabai Merah Besar,� 2014 � 2019
No. Uraian 2014 2015 2016 2017 2018
A. PENYEDIAAN �� 1,100,573 ��� 1,071,589 ���� 1,072,239 ������� 1,247,461 ���� 1,230,620 ����
CABAI MERAH
BESAR (Ton)
1 Produksi ��� 1,074,602 ���� 1,045,182 ���� 1,045,587 ������� 1,206,266 ���� 1,192,369 ����
Luas Tanam ������ 135,171 ������� 126,889 ������� 129,574 ���������� 149,674 ������� 141,273 ����
(Ha)
Luas Panen (Ha) ������ 128,734 ������� 120,847 ������� 123,404 ���������� 142,547 ������� 134,546 ����
2 Impor �������� 27,228 ��������� ��������� 29,126 ������������ 43,452 ��������� 39,391 ����
29,036
3 Ekspor 1,257 2,629 2,474 2,257 1,140
B PENGGUNAAN ������ 978,913 ���� 1,297,210 ���� 1,135,293 ������� 1,144,393 ���� 1,120,420 ����
CABE MERAH
BESAR (Ton)
1 Konsumsi ������ 422,070 ������� 755,749 ������� 593,543 ���������� 560,785 ������� 567,133 ����
Langsung
(penduduk x tkt
konsumsi)
2 Penggunaan
lainnya
- Benih ���������� ����������� ����������� �������������� ����������� ����
4,055 3,807 3,887 2,570 2,413 4,982
- Horeka & 355,930 346,186 ������� 346,320 ���������� 313,840 298,092 ����
warung
- Industri 140,226 136,387 136,440 192,410 178,855 ����
- Tercecer �������� 56,632 ��������� ��������� 55,102 ������������ 74,788 ��������� 73,927 ����
55,081
Neraca� (A-B) 121,660 -225,621 -63,054 103,068 110,200
Keterangan
- Jumlah 252,165 255,462 258,705 261,890 265,015
Penduduk (000
jiwa)
- Kenaikan ������������ ������������ ������������� ���������������� ������������� ����
jumlah 1.35 1.31 1.27 1.23 1.19 0.72
penduduk (%)
- Tingkat 1.67 2.96 2.29 2.14 2.14
konsumsi
Kg/kapita/tahun
Sumber����� : BPS
Keterangan:� Produksi Cabe tahun 2019 merupakan angka prognosa Ditjen Hortikultura
a.Stok awal tahun 2019 komoditas cabai besar tidak tersedia data (Asumsi tidak ada stok karena cabai
b.Perkiraan Produksi cabai besar tahun 2019 sebesar 1,34 juta ton (Target Daerah
c. Kehilangan/tercecer� (Estimasi Ditjen Hortikultura).
d.Kebutuhan cabai besar sebesar 832,8 ribu ton terdiri dari: (1) Konsumsi langsung rumah tangga 2,14 kg/kap/th (SUSENAS 2018), (2) Kebutuhan Horeka dan Warung/PKL� (Estimasi Ditjen
Hortikultura, 2019), (3) Kebutuhan benih dan (4) Kebutuhan
Industri (Ditjen Hortikultura, 2019)
e.Jumlah penduduk tahun 2019 sebanyak 266.911,9 ribu� jiwa (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2045,SUPAS)
f. Neraca Kumulatif adalah neraca domestik ditambah stok awal (carry over) bulan sebelumnya.��������������

�Pada tahun 2014, penggunaan cabai besar (cabai merah dan cabai hijau) untuk konsumsi langsung mencapai 422 ribu ton dan�
berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, konsumsi langsung penggunaan cabai besar sebesar 567 ribu ton
dan diprediksikan akan meningkat pada tahun 2019 menjadi 571 ribu ton. Dengan asumsi 1 hektar lahan membutuhkan sebanyak 30 kg
bibit cabai yang sudah dalam bentuk segar, penggunaan cabai besar sebagai benih menurun dari tahun 2014 sampai tahun 2018 dari 4,06
ton menjadi 2,41 ton. Namun pada tahun 2019 diprediksikan akan meningkat lagi menjadi sebesar 4,98 ton. Penggunaan cabai besar untuk
kebutuhan horeka dan warung pada tahun 2014 sebesar 356 ribu ton terus menurun hingga tahun 2018. Dan pada tahun 2019
diprediksikan akan kembali menurun menjadi 115 ribu ton. Pada tahun 2018 penggunaan cabai besar untuk industri sebesar 179 ribu ton
dan diprediksikan akan menurun pada tahun 2019 menjadi sebesar 144 ribu ton. Industri makanan yang biasa menggunakan bahan baku

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 50/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

cabai industri saus dan industri mie instan yang digunakan sebagai bubuk cabai.� Sedangkan untuk cabai yang tercecer pada tahun 2014
sebesar 57 ribu ton dan meningkat menjadi 74 ribu ton pada tahun 2018.� Pada tahun 2019 cabai merah besar yang tercecer diprediksikan
meningkat kembali menjadi 187 ribu ton. Secara rinci neraca penyediaan dan penggunaan cabai besar tahun 2014 � 2019 dapat dilihat
pada Tabel 7.5.


Tabel 7.6. ���� Penyediaan dan penggunaan Cabai Rawit,� 2014 � 2019
No. Uraian 2014 2015 2016 2017 2018 2019
A. PENYEDIAAN ����� 800,473 ��������� ��������� 915,988 ����� 1,153,155 ����� 1,331,559 ����� 1,163,353
CABAI� 869,938
RAWIT (Ton)
1 Produksi ����� 800,473 ��������� ��������� 915,988 ����� 1,153,155 ����� 1,331,559 ����� 1,163,353
869,938
Luas Tanam ����� 141,626 ��������� ��������� 178,044
(Ha) 141,612
Luas Panen ����� 134,882 ��������� ��������� 136,818 �������� 167,600 �������� 171,077 �������� 169,092
(Ha) 134,869
2 Impor
3 Ekspor

B PENGGUNAAN ����� 647,337 ��������� ��������� 703,622 �������� 637,969 �������� 825,661 �������� 973,687
CABE RAWIT 679,725
(Ton)
1 Konsumsi ����� 317,728 ��������� ��������� 325,968 �������� 390,216 �������� 486,380 �������� 489,861
Langsung 321,882
(penduduk x tkt
konsumsi)
2 Penggunaan
lainnya
- Benih (30 ��������� ������������� ������������� ������������ ������������ ��������������
kg/ha luas 4,249 4,248 5,341 2,760 3,728 215
tanam)
- Horeka & ����� 253,376 ��������� ��������� 289,940 �������� 107,270 �������� 146,472 ���������� 98,898
warung 275,364
- Industri 29,800 32,386 34,100 78,220 106,525 �������� 197,796
- Tercecer ������� ����������� ����������� ���������� 59,503 ���������� 82,557 �������� 186,917
42,185 45,846 48,273
Neraca� (A-B) 153,136 190,213 212,366 515,186 505,898 189,6
Keterangan
- Jumlah 252,165 255,462 258,705 261,890 265,015 266,9
Penduduk (000
jiwa)
- Kenaikan ��������� ������������ ������������� �������������� �������������� ��������������
jumlah 1.35 1.31 1.27 1.23 1.19 0.72
penduduk (%)
- Tingkat 1.26 1.26 1.26 1.49 1.84 1
konsumsi
Kg/kapita/tahun
Sumber������� : BPS
Keterangan:� Produksi Cabe tahun 2019 merupakan angka prognosa Ditjen Hortikultura
a.Stok awal tahun 2019 komoditas cabai rawit tidak tersedia data (Asumsi tidak ada
b.Perkiraan Produksi cabai rawit tahun 2019 sebesar 1,16 juta ton (Target Daerah
c. Kehilangan/tercecer� ( Estimasi Ditjen Hortikultura).
d.Kebutuhan cabai rawit sebesar 790,17 ribu ton terdiri dari: (1) Konsumsi langsung rumah tangga 1,84 kg/kap/th (SUSENAS 2018), (2) Kebutuhan Horeka dan Warung/PKL� (EStimasi
Ditjen Hortikultura, 2019), (3) Kebutuhan benih�� dan (4) Kebutuhan Industri�� (Ditjen
Hortikultura, 2019)
e.Jumlah penduduk tahun 2019 sebanyak 266.911,9 ribu� jiwa (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2045,SUPAS)
f. Neraca Kumulatif adalah neraca domestik ditambah stok awal (carry over) bulan sebelumnya.��������������

Produksi cabai rawit pada tahun 2014� mencapai 800 ribu ton dan terus mengalami peningkatan menjadi sebesar 1,33 juta ton pada
tahun 2018.� Namun pada tahun 2019 total penyediaan cabai rawit diprediksi akan mengalami penurunan disebabkan menurunnya
produksi.� Pada tahun 2019, produksi cabai rawit diperkirakan mengalami penurunan sebesar 12,63% dibandingkan tahun 2018 menjadi
1,16 juta ton. �

�Penggunaan cabai rawit sama dengan cabai besar yaitu untuk konsumsi langsung, benih, horeka dan warung, industri dan tercecer. Pada
tahun 2014, penggunaan cabai rawit untuk konsumsi langsung adalah 318 ribu ton dan� terus� mengalami peningkatan hingga tahun
2018. Pada tahun 2018, konsumsi langsung penggunaan cabai rawit sebesar 486 ribu ton dan diprediksikan akan meningkat pada tahun
2019 menjadi 490 ribu ton. Penggunaan cabai rawit untuk horeka dan warung pada periode� 2014 � 2018 sangat berfluktuasi, dimana
pada tahun 2014 penggunaannya sebesar 253 ribu ton dan terus meningkat sampai tahun

2016 sebesar 289,9 ribu ton. Namun setelah tahun 2016 penggunaannya mengalami penurunan sehingga pada tahun 2018 menjadi sebesar
146 ribu ton. Dan pada tahun 2019 diperkirakan penggunaannya masih akan menurun menjadi sebesar 98,89 ribu ton.�� Pada tahun 2018
penggunaan cabai untuk industri sebesar 107 ribu ton dan diprediksikan terus meningkat pada tahun 2019 menjadi sebesar 198 ribu ton.
Industri makanan yang biasa menggunakan bahan baku cabai industri saus dan industri mie instan yang digunakan sebagai bubuk cabai.�
Sedangkan untuk cabai rawit yang tercecer pada tahun 2014 sebesar 42 ribu ton dan meningkat menjadi 83 ribu ton pada tahun 2018.�
Pada tahun 2019, cabai rawit yang tercecer diprediksikan meningkat kembali menjadi 187 ribu ton. Secara rinci neraca penyediaan dan
penggunaan cabai rawit tahun 2014 � 2019 dapat dilihat pada Tabel 7.6.��

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 51/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


BAB VIII.� KONSUMSI DAN NERACA PENYEDIAAN - PENGGUNAAN BAWANG MERAH

B
awang Merah (Alium cape L) merupakan komoditi hortikultura yang seringkali digolongkan ke dalam kelompok bumbu-bumbuan.�
Hal ini� karena bawang merah termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap
makanan/masakan.� Bawang merah juga merupakan bahan obat tradisional karena banyak mengandung zat antibiotika.�
Budidaya bawang merah membuka peluang sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup
tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah.

Bawang merah merupakan tanaman sayuran semusim dengan bagian yang dapat dimakan adalah sebesar 90%. Komposisi zat gizi
yang terkandung dalam per 100 gram bawang merah adalah kalori 39 kkal, protein 2,50 g dan lemak 0,30 g. Penggunaan atau konsumsi
bawang merah oleh masyarakat biasanya cenderung meningkatkan di saat-saat tertentu seperti hari raya besar keagamaan. Disamping itu
bawang merah banyak dikonsumsi bersamaan dengan nasi goreng, sate, tongseng dan masakan jadi lainnya yang menggunakan bawang
merah sebagai taburan dalam bentuk bawang goreng.

Bawang merah juga banyak digunakan oleh industri baik sebagai bahan baku maupun sebagai bahan tambahan.� Industri yang
menggunakan bawang merah ini adalah seperti pada industri kornet, sarden, sambal dan bumbu botol, mie instan dan lain-lain.

8.1. Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Bawang Merah dalam Rumah Tangga di Indonesia

Konsumsi bawang merah dalam rumah tangga selama periode tahun 2002 - 2021 relatif berfluktuasi namun cenderung mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode tahun 2002 � 2021, konsumsi bawang merah terbesar terjadi pada tahun 2007 yang
mencapai 3,014 kg/kapita/tahun sebesar 44,50%, urutan kedua tahun 2014 mencapai 2,487 kg/kapita/tahun sebesar 20,44% urutan ketiga
mencapai 2,764 kg/kapita/tahun sebesar 17,00% pada tahun 2012, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 2,065
kg/kapita/tahun. Tahun 2017 konsumsi bawang merah adalah sebesar 2,570 kg/kapita/tahun atau turun 9,05% bila dibandingkan degan
tahun sebelumnya. Sebaliknya pada tahun 2018 konsumsi bawang merah sekitar 2,764 kg/kapita/tahun atau naik sebesar 7,52
%mengalami peningkatan hingga sebesar hingga tahun dibandingkan tahun sebelumnya.
Prediksi bawang merah tahun 2019 � 2021 akan mengalami peningkatan, tahun 2019 konsumsi bawang merah sedikit peningkatan
menjadi 2,796 kg/kapita/tahun atau naik 1,18% dibandingkan tahun 2018. Tahun 2020 konsumsi bawang merah sekitar 2,832
kg/kapita/tahun atau naik 1,28% dari tahun 2019, dan pada tahun 2021 konsumsi akan naik menjadi 2,867 kg/kapita/tahun atau naik
1,25% dari tahun sebelumnya. Perkembangan konsumsi bawang merah dari tahun 2002 � 2018 serta prediksinya tahun 2019 � 2021
disajikan pada Tabel 8.1 dan Gambar 8.1.

Tabel 8.1. Perkembangan konsumsi bawang merah dalam rumah tangga di Indonesia,� Tahun 2002 � 2018, serta prediksi tahun 2019
-2021
Seminggu Setahun
Pertumbuhan
Tahun (Kg/Kap/Mgg) ( Kg/Kap/Tahun (%)
)
2002 0.423 2.206
2003 0.427 2.227 0.95
2004 0.421 2.195 -1.41
2005 0.454 2.367 7.84
2006 0.400 2.086 -11.89
2007 0.578 3.014 44.50
2008 0.526 2.743 -9.00
2009 0.484 2.524 -7.98
2010 0.485 2.529 0.21
2011 0.453 2.362 -6.60
2012 0.530 2.764 17.00
2013 0.396 2.065 -25.28
2014 0.477 2.487 20.44
2015 0.520 2.713 9.07
2016 0.542 2.826 4.18
2017 0.493 2.570 -9.05
2018 0.530 2.764 7.52
Rata- 0.479 2.496 2.531
rata
2019 *) 0.536 2.796 1.18
2020 *) 0.543 2.832 1.28
2021 *) 0.550 2.867 1.25
Sumber����� : Susenas bulan Maret, BPS

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 52/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Keterangan : *) Hasil prediksi Pusdatin��









��

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 53/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 54/86


11/2/2020

��� di Indonesia, 2002 � 2018 serta prediksi 2019 � 2021


Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi bawang merah bagi penduduk Indonesia tahun 2014 � 2018 secara nominal
menunjukkan mengalami penurunan sebesar 3,32%, yakni dari Rp. 50.719,21 per kapita pada tahun 2013 menjadi Rp. 76.233,62 per
kapita pada tahun 2017, dan kemudian tahun 2018 mengalami penurunan menjadi Rp. 65.047,43 per kapita pada tahun 2018
pengeluaran konsumsi sedikit meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Namun jika pengeluaran nominal tahun 2014 dibandingkan
dengan tahun sebelumnya akan mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu sebesar 27,57%.�


Tabel 8.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi
bawang merah, 2014- 2018

Pengeluaran (Rupiah/Kapita) Pertumbuhan


Uraian (%)
2014 2015 2016 2017 2018
Nominal � � � � � -3.32
50,719.21 51,978.76 74,877.14 76,233.62 65,047.43
IHK ����� ����� ����� ����� ����� 0.13
133.98 145.72 187.08 184.16 182.95
Riil � � � � � -3.44
37,856.28 35,671.32 40,023.60 41,395.13 35,555.57
Sumber����� : BPS, diolah Pusdatin
Keterangan : *) IHK Kelompok bumbu-bumbuan�������������

�Pengeluaran untuk bawang merah setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, menunjukkan bahwa secara riil pada tahun 2013 � 2017
sedikit mengalami peningkat sebesar 0,13%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita bawang merah
penduduk Indonesia terjadi sedikit meningkat. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi bawang merah nominal dan riil dalam rumah
tangga di Indonesia tahun 2013 � 2017 secaraa rinci tersaji pada Tabel 8.2 dan Gambar 8.2.



dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, 2014 � 2018

8.2. Konsumsi Bawang Merah Per Provinsi



Konsumsi bawang merah pada periode tahun 2014 � 2018 terlihat pada table 7.3. Untuk komsumsi bawang merah terlihat yang
paling tinggi pada tahun 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 27,13 kg/kap/th dan 28,25 kg/kap/th. Konsumsi bawang merah di
provinsi yang paling tinggi terdapat di Provinsi Sumatera Barat, dengan rata-rata sebesar 41,91 kg/kap/th dan 44,20 kg/kap/th. Ini di
karenakan konsumsi bawang merah yang ada cukup tinggi di provinsi tersebut. Namun pada tahun 2017 konsumsi bawang merah
mengalami penurunan sebesar 9,02 persen yaitu 25,70 kg/kap/th, tetapi pada tahun 2018 kembali mengalami peningkatan 7,32 persen
atau sebesar 27,58 kg/kap/th. Sedangkan konsumsi terendah untuk bawang merah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, masing
sebesar 13,82 kg/kap/th tahun 2017.





55/86
11/2/2020



Tabel 8.3. Konsumsi Bawang Merah Per Provinsi, 2014 � 2018
Konsumsi Bawang
Merah Pertumbuhan�
No Provinsi (kg/kapita/tahun) 2014 - 2018 (
%)
2014 2015 2016 2017 2018
1 Aceh 29.57 30.29 31.46 32.96 33.36 3.07
2 Sumatera Utara 31.03 29.83 35.73 31.97 33.96 2.91
3 Sumatera Barat 41.01 41.91 44.20 39.69 41.20 0.32
4 Riau 35.12 39.42 37.51 36.97 36.62 1.25
5 Jambi 31.39 33.48 35.98 36.13 38.45 5.24
6 Sumatera Selatan 26.48 28.66 28.15 27.85 28.23 1.69
7 Bengkulu 23.51 28.58 25.94 25.11 27.42 4.58
8 Lampung 28.14 33.64 34.16 30.63 31.55 3.44
9 Kepulauan Bangka 24.37 32.15 30.96 32.99 32.84 8.59
Belitung
10 Kepulauan Riau 32.73 34.40 36.77 34.88 35.10 1.87
11 DKI Jakarta 23.28 22.65 25.30 23.33 26.20 3.37
12 Jawa Barat 19.78 21.93 17.10 20.61 21.44 3.35
13 Jawa Tengah 25.56 27.63 32.48 25.88 28.16 3.53
14 DI Yogyakarta 25.85 28.66 31.49 26.10 28.03 2.76
15 Jawa Timur 26.86 29.86 35.11 28.09 30.14 4.01
16 Banten 24.63 25.09 28.87 23.45 26.96 3.28
17 Bali 39.84 42.93 37.73 36.86 42.25 1.98
18 Nusa Tenggara 26.98 34.99 30.84 28.42 36.20 9.33
Barat
19 Nusa Tenggara 12.76 16.12 15.86 13.82 16.32 7.50
Timur
20 Kalimantan Barat 15.60 18.69 17.98 15.81 16.95 2.78
21 Kalimantan Tengah 27.56 27.56 31.66 27.46 28.18 1.06
22 Kalimantan Selatan 25.96 28.37 29.96 25.98 27.11 1.49
23 Kalimantan Timur 22.16 27.90 29.29 28.04 27.97 6.58
24 Kalimantan Utara 20.78 22.49 22.70 22.38 2.58
25 Sulawesi Utara 23.17 30.76 32.36 25.71 31.80 10.27
26 Sulawesi Tengah 22.10 21.00 23.38 22.18 23.66 1.98
27 Sulawesi Selatan 16.59 18.49 17.82 16.67 17.95 2.26
28 Sulawesi Tenggara 14.69 16.12 16.46 14.96 17.78 5.41
29 Gorontalo 30.62 32.41 29.42 26.93 36.77 6.17
30 Sulawesi Barat 21.93 17.54 18.35 16.88 20.77 -0.10
31 Maluku 20.24 23.40 22.43 19.22 20.44 0.89
32 Maluku Utara 20.13 22.83 21.52 20.77 21.29 1.68
33 Papua Barat 21.23 25.10 24.02 22.10 26.45 6.39
34 Papua 17.03 21.24 19.94 20.16 22.28 7.57
INDONESIA 24.87 27.13 28.25 25.70 27.58 2.88
Sumber : BPS diolah Pusdatin�������������








Sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan tertinggi dari konsumsi bawang merah terjadi di Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar
10,27%� dikarenakan konsumsi bawang merah di provinsi tersebut meningkat cukup tinggi. Sementara yang menduduki urutan ke dua
dan ketiga adalah provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Bangka Belitung, secara umum konsumsi bawang merah dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan, dengan ratarata pertumbuhan sebesar 2,88% (Tabel. 8.3).

56/86
11/2/2020
8.3. Neraca Bawang Merah


Penyusunan neraca bawang merah terbagi menjadi dua komponen yaitu komponen penyediaan dan penggunaan.� Komponen
penyediaan terdiri dari produksi, tercecer, benih (bibit), produksi, impor dan ekspor.� Sementara komponen penggunaan terdiri dari
bahan baku industri, horeka & warung dan yang tersedia untuk dikonsumsi��

Produksi bawang merah Indonesia tahun 2019 (angka prognosa) dari Prognosa Ketersediaan dan Kebutuhan Bawang Merah tahun
2019 bersumber dari Prognosa Ditjen Hortikultura. Produksi bawang merah Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar 1,51 juta ton. Pada
tahun 2019 impor bawang merah diperkirakan sebesar 95 ton dan ekspor 93 ton.� penyediaan bawang merah untuk benih (bibit) dan
yang tercecer diasumsikan sebesar 10% dan 8,26% dari total produksi. Angka ini diambil dari perhitungan produksi kotor Ditjen.
Hortikultura. Pada tahun 2019, penggunaan bawang merah untuk benih adalah sekitar 150 ribu ton dan yang tercecer sebesar 124,72 ribu
ton. Data ekspor dan impor 2019 JanuariMaret 2019 merupakan realisasi angka tetap sementara April adalah angka sementara. Ekspor
dan impor bulan Mei sampai dengan Desember diasumsikan sama dengan tahun 2018. Sedangkan horeka dan warung, bahan baku
industri bersumber dari data Prognosa Pangan BKP tahun 2016-2019.� Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka penyediaan bawang merah
pada tahun 2019 adalah sebesar 1.51 juta ton.

Berdasarkan uraian sebelumnya, konsumsi bawang merah dalam rumah tangga tahun 2019 diprediksi sebesar 2,76
kg/kapita/tahun. Jika angka ini dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama, maka besarnya konsumsi bawang merah
adalah 736,68 ribu ton. Penggunaan bawang merah untuk Horeka mencakup kebutuhan hotel, restoran, katering dan warung� sebesar
36,82 ribu ton dan untuk bahan baku industri sebesar 36,82 ribu ton. Secara rinci neraca bawang merah ini dapat dilihat pada� Tabel
8.4 di bawah ini.


Secara umum pada periode 2014 sampai 2019 penyediaan bawang merah nasional mengalami kenaikan.� Keragaan impor dan
ekspor bawang merah pada periode yang sama cenderung berfluktuasi dimana tahun 2014 tercatat impor tertinggi yaitu sebesar 74,90
ribu ton. Sementara ekspor tertinggi tercatat pada tahun 2015 sebesar 8,42 ribu ton.� Konsumsi bawang merah oleh rumah tangga
terlihat berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat.�


Tabel 8.4. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Bawang Merah Tahun 2014 � 2019
Angka
No. Uraian konversi 2014 2015 2016 2017 2018*)
I Penyediaan �� 1,304,448 �� 1,238,194 �� 1,447,343 �� 1,462,726 �� 1,492,619 �� 1,509,9
1. Produksi ( Ton) �� 1,233,984 �� 1,229,184 �� 1,446,860 �� 1,470,155 �� 1,498,659 �� 1,509,9
2. Impor (ton) �������� 74,903 �������� 17,429 ����������� 1,219
�������������� �������������� ������
194 228
3. Ekspor (ton) ����������� 4,439 ����������� 8,418 �������������� ����������� 7,623 ����������� 6,268 ������
736
IIPenggunaan ������ 852,450 ������ 917,764 �� 1,318,789 �� 1,277,182 �� 1,347,407 �� 1,086,0
(1+2)
1. Konsumsi ������ 627,125 ������ 693,315 ������ 730,548 ������ 671,749 ������ 730,029 �����
Langsung (ton)
(susenas x Jml
Penduduk)
2. Penggunaan ������ 225,325 ������ 224,449 ������ 588,241 ������ 605,433 ������ 617,377 �����
lainnya
�-� Tercecer 8.26% ������ 101,927 ������ 101,531 ������ 119,511 ������ 121,435 ������ 123,789 �����
�-� 10.00% ������ 123,398 ������ 122,918 ������ 144,686 ������ 147,016 ������ 149,866
Benih/Bibit ��������������� �������������� ������ 289,944 ������ 235,582 ������ 240,294 150,995�
�- Horeka dan - -
warung
�- Bahan baku ��������������� �������������� �������� 34,100 ������ 101,401 ������ 103,428 �����
industri - -
III Neraca (I - II) 451,998 320,431 128,555 185,544 145,212
Keterangan
�- Jumlah ������ 252,165 ������ 255,588 ������ 258,497 ������ 261,356 ������ 264,162 �����
Penduduk (000
jiwa)
�- Tingkat ������������� 2.49 ������������ 2.71 ������������ 2.83 ������������ 2.57 ������������ 2.76 ����
konsumsi
Kg/kapita/tahun
Keterangan :
Angka konversi mengacu pada angka konversi yang digunakan dalam perhitungan NBM
Angka ngkat konsumsi kg/kapita/tahun menggunakan angka SUSENAS BPS
Sumber data ekspor - Impor adalah BPS
� *)����� Angka sementara, Ditjen Hor kultura
**)����� Angka prognosa, Ditjen Hor kultura���������������� ����

57/86
11/2/2020


BAB IX.� DAGING SAPI


D
aging sapi merupakan salah satu komoditas pertanian penting dan strategis di Indonesia. terdapat beberapa alasan yang membuat
daging sapi memiliki peran� penting dan strategis yaitu (1) pengembangan komoditas daging sapi sebagai bagian dari subsektor
peternakan berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru bagi peningkatan PDB sektor pertanian (sumbangan PDB peternakan
dan hasil-hasilnya berkisar 12% terhadap PDB sektor pertanian); (2) terdapat kurang lebih 4,83 juta orang jumlah tenaga kerja
subsektor peternakan tahun 2018 �(Sakernas Februari 2018, BPS); (3) sentra produksi daging sapi tersebar di banyak daerah,
sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional; (4) pengembangan produksi
komoditas daging sapi mendukung upaya peningkatan ketahanan pangan dan ketersediaan pangan.

Salah satu program yang dicanangkan Kementerian Pertanian untuk mengakselerasi percepatan target pemenuhan populasi
sapi potong dalam negeri yaitu UPSUS SIWAB. Program tersebut dituangkan dalam peraturan Menteri Pertanian No. 48/Permentan/
PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting yang ditanda tangani Menteri
Pertanian tanggal 3 Oktober 2016. Program ini bertujuan mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengejar swasembada daging
sapi yang ditargetkan tercapai pada 2026 dan mewujudkan Indonesia yang mandiri dalam pemenuhan pangan asal hewan, dan
sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat. Didukung 2 Balai Besar Inseminasi Buatan di Lembang dan

Singosari dengan target melakukan Inseminasi buatan pada 4.000.000 ekor sapi indukan/tahun.

Tingkat konsumsi daging sapi dan olahannya masyarakat Indonesia tahun 2002 sebesar 1,035 kg/kapita/tahun dan tahun 2018
menjadi sebesar 2,51 kg/kapita/tahun. Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya pola konsumsi serta selera masyarakat telah
menyebabkan konsumsi daging secara nasional cenderung meningkat. Meningkatnya konsumsi daging sapi mengakibatkan adanya
peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari tiga sumber yaitu: sapi lokal, sapi
impor, dan daging impor.

Manfaat daging sapi bagi tubuh manusia setiap 100 gram daging sapi mengandung protein 18,8 gram. Pada tubuh makluk hidup
seperti manusia, protein merupakan penyusun bagian besar organ tubuh, seperti: otot, kulit, rambut, jantung, paru-paru, otak, dan lain-
lain.

58/86
11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 59/86


11/2/2020
Adapun fungsi protein yang penting bagi tubuh manusia, antara lain untuk: 1) pertumbuhan; 2) memperbaiki sel-sel yang rusak, 3) sebagai
bahan pembentuk plasma kelenjar, hormon dan enzim; 4) sebagian sebagai cadangan energi, jika karbohidrat sebagai sumber energi
utama tidak mencukupi; dan 5) menjaga keseimbangan asam basa darah. Selain protein tersebut, lemak juga bermanfaat bagi tubuh
manusia, yaitu sebagai simpanan energi/tenaga. Lemak yang terdapat dalam daging sapi berfungsi sebagai sumber energi yang padat bagi
tubuh manusia, setiap gram lemak menghasilkan energi sebanyak 9 kkal. Selain itu lemak juga berfungsi bagi tubuh manusia untuk
menghemat protein dan thiamin, serta membuat rasa kenyang yang lebih lama.��

Pendekatan pada kajian konsumsi daging sapi ini adalah dengan pendekatan pengeluaran konsumsi di perkotaan dan perdesaan
serta konsumsi perkapita di perdesaan dan perkotaan untuk menggambarkan konsumsi daging sapi di Indonesia. Selain konsumsi dalam
wujud daging sapi segar, data Susenas juga mencakup konsumsi daging sapi dalam bentuk yang diawetkan dan makanan jadi. Menurut
konsep definisi Permentan No.50/Permentan/OT.140/9/2011 dijelas-kan bahwa yang dimaksud dengan daging adalah bagian dari otot
skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan
daging variasi, berupa daging segar, daging beku, atau daging olahan.� Dengan demikian dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu
(a) daging sapi segar; (b) daging sapi awetan dan (c) daging sapi dari makanan jadi.� Daging sapi segar terdiri dari daging sapi tanpa
tulang, tetelan dan tulang, sementara daging sapi awetan terdiri dari dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan lainnya (daging awetan).�
Daging sapi dari makanan jadi seperti soto/gule/sop/rawon, daging goreng/bakar, sosis, nugget dan lain-lain. Perlu dijelaskan khusus untuk
konsumsi hati dan jeroan dalam analisis ini tidak dihitung sebagai konsumsi daging sapi karena wujudnya sudah bukan daging sapi tapi
sudah masuk edibel oval.� Dengan demikian konsumsi daging sapi dapat diakumulasikan antara konsumsi daging sapi segar ditambah
konsumsi daging sapi awetan dan daging sapi dari makanan jadi. Dari Tabel 9.1 terlihat angka konversi terbesar adalah dendeng yaitu
mencapai 2,5%, tetapi data untuk konsumsi dendeng tahun-tahun sebelumnya tidak tersedia dalam Susenas, hanya tahun 2017 data
tersedia.� Untuk Data Susenas tahun 2018, data yang tercakup dalam susenas yaitu (1) daging sapi (2) daging dalam kaleng (3) lainnya
(daging awetan) (4) Tetelan (5) soto/gule/sop/rawon (6) daging (goreng/ bakar) dan (7) daging olahan (sosis, nugget, daging asap, dll).
Untuk daging olahan (sosis, nugget, daging asap, dll) diasumsikan dalam bungkusan 250 gram terdapat kurang lebih 16 potong sosis atau
nugget, sehingga beratnya sekitar 15,625 gram.� Konversi daging sapi lainnya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1.� Besaran konversi wujud daging sapi segar, awetan dan makanan jadi

Konversi Konversi ke Bentuk


No Janis Pangan Satuan (Gram) Bentuk asal Konversi

1 Daging sapi kg 1000 1.000 Daging


2 Dendeng kg 1000 2.500 Daging
3 Abon ons 100 2.000 Daging
4 Daging dalam kaleng kg 1000 1.000 Daging
5 Sosis, nugget, daging asap, baso kg 1000 1.000 Daging
6 Lainnya (daging awetan) kg 1000 0.500 Daging
7 Tetelan kg 1000 0.200 Daging
8 Soto/gule/sop/rawon porsi 250 0.330 Daging
9 Ayam/Daging (goreng, bakar, dll)/2 potong 150 1.000 Daging

9.1 Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Daging Sapi Total dalam Rumah Tangga (di Perdesaan dan Perkotaan)�

Konsumsi daging sapi total dalam bahasan ini terdiri dari konsumsi daging sapi segar ditambah konsumsi daging sapi awetan dan
daging sapi dari makanan jadi. Konsumsi daging sapi total periode tahun 2002-2018 berkisar antara 0,84 -2,52 kg/kapita/tahun. Bila
dicermati perkembangan konsumsi daging sapi selama periode tersebut diperoleh rata-rata sebesar 1,43 kg/kapita/tahun dengan rata-rata
pertumbuhan perkapita per tahun sebesar 8,06%. Konsumsi daging sapi total paling tinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun
2018 mencapai 2,518 kg/kapita/tahun dengan pertumbuhan sebesar 0,25%.� Tahun 2019 total konsumsi daging sapi diprediksi
mengalami sedikit peningkatan menjadi 2,560 kg/kapita/tahun atau naik sebesar 1,67%.� Sementara pada tahun 2020 dan 2021
diprediksi masing-masing sebesar 2,703 kg/kapita/tahun dan 2,856 kg/kapita/tahun atau meningkat sebesar 5,62% dan 5,64%.

�Dari Gambar 9.1 terlihat bahwa peningkatan konsumsi daging sapi total merupakan akumulasi dari daging sapi segar + awetan
+ olahan menunjukan bahwa perkembangan konsumsi daging sapi tahun 2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan tahun 2016 yaitu sebesar 2,511 kg/kapita/tahun karena tersedianya data olahan seperti dendeng, abon, daging dalam
kaleng dan� tulang. Sementara tahun 2018 tersedia data daging olahan berupa sosis, nugget, daging asap dan lain-lain dalam bentuk
matang.�

60/86
11/2/2020


Tabel 9.2. Perkembangan total konsumsi daging sapi**) dalam rumah�
tangga di� Indonesia, 2002�2018 serta prediksi� 2019 � 2021
Konsumsi Konsumsi
Pertumb.
Tahun (%)
Gram/Kap/Hari Kg/Kap/Thn
2002 ���������� ��������
2.835 1.035
2003 ���������� �������� -1.02
2.806 1.024
2004 ���������� �������� 11.05
3.116 1.137
2005 ���������� �������� -15.51
2.633 0.961
2006 ���������� �������� -12.49
2.304 0.841
2007 ���������� �������� 42.20
3.277 1.196
2008 ���������� �������� -0.80
3.251 1.187
2009 ���������� �������� -5.81
3.062 1.118
2010 ���������� �������� 8.62
3.326 1.214
2011 ���������� �������� 49.12
4.959 1.810
2012 ���������� �������� -3.21
4.800� 1.752�
2013 ���������� �������� -34.03
3.166 1.156
2014 ���������� �������� 5.65
3.345 1.221
2015 ����������� �������� 45.54
4.869 1.777
2016 ����������� �������� 6.01
5.161 1.884
2017 ���������� �������� 33.31
6.881 2.511
2018 ���������� �������� 0.25
6.898 2.518
Rata- ���������� �������� 8.055
rata 3.923 1.432
2019*) ���������� �������� 1.67
7.013 2.560
2020*) ���������� �������� 5.62
7.407 2.703
2021*) ���������� �������� 5.64
7.825 2.856
Sumber : Susenas, BPS
Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin
���������������� **) Total konsumsi: penjumlahan konsumsi daging sapi segar, olahan dan awetan
a) Data tidak tersedia di SUSENAS 2018 (Dendeng, Abon, Daging dalam kaleng dan� Tulang)


Gambar 9.1.� Perkembangan konsumsi daging sapi**) dalam rumah� tangga di Indonesia,
Tahun 2002 � 2021

61/86
11/2/2020

�Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi daging sapi murni bagi penduduk Indonesia selama lima tahun terakhir secara
nominal menunjukkan peningkatan yang positif.� Peningkatan pertumbuhan rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi
daging sapi murni pada periode 2014-2018 sebesar 19,05%, yakni dari� Rp. 26.270,-/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 49.758,-/kapita
pada tahun 2018.���

Besarnya pengeluaran tersebut, setelah dikoreksi dengan faktor inflasi menggunakan pertumbuhan indeks harga konsumen (IHK)
daging dan hasilnya tahun dasar 2012=100, menunjukkan pengeluaran riil untuk konsumsi daging sapi murni.� Pada tahun 2014 � 2018
konsumsi daging sapi murni secara riil mengalami peningkatan sebesar 13,15%. Hal ini menunjukan bahwa secara kuantitas juga terjadi
peningkatan konsumsi per kapita daging sapi murni penduduk Indonesia (Tabel 9.3 dan Gambar 9.2).


Tabel 9.3. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi daging sapi murni dengan harga nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia,
2014 - 2017
Pengeluaran (Rupiah/kapita/tahun)
Pertumbuhan
No Uraian
(%)
2014 2015 2016 2017 2018

1 Nominal 26,269.94 40,855.26 46,146.43 47,030.73 49,758.27 19.05


2 IHK 117.77 124.99 132.35 134.09 143.61 5.11
3 Riil 22,305.35 32,687.69 34,866.75 35,074.87 34,649.20 13.15
Sumber : IHK dari BPS��


Gambar 9.2. Pengeluaran untuk konsumsi daging sapi murni dengan harga nominal�� dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, 2014 �
2018
�Jika dilihat dari rata-rata konsumsi daging sapi murni per kapita per provinsi pada periode tahun 2014 - 2018, rata-rata nasional konsumsi
daging sapi hanya sebesar 0,4011 kg/kapita/tahun. Dari 34 provinsi di Indonesia hanya 8 provinsi yang tingkat konsumsi daging sapinya
diatas rata-rata nasional. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi tertinggi konsumsi daging sapi mencapai 1,3225 kg/kapita/tahun, dari
sini dapat dilihat bahwa kota Jakarta masih menjadi barometer untuk menentukan tingkat konsumsi tertinggi daging sapi murni. Kemudian
Provinsi Nusa Tenggara Barat menempati urutan ke 2 dengan konsumsi daging sapi sebesar 0,6134 kg/kapita/tahun. Urutan ketiga Provinsi
Kepulauan Riau dengan konsumsi daging sapi sebesar 0,6077 kg/kapita/tahun, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.3 dan Gambar 9.3.

Tabel 9.3. Perkembangan konsumsi daging sapi murni dalam rumah tangga per provinsi di��
Indonesia, 2014 � 2018
Konsumsi kg/kapita/minggu Konsumsi kg/kapita/tahun Rata-rata
No. Provinsi 2014 2015 2016 2017 2018 2014 2015 2016 2017 2018 2014-
2018
1 ACEH 0.0044 0.0039 0.0045 0.0039 0.0047 0.2274 0.2014 0.2346 0.2038 0.2467 0.2228
2 SUMATERA UTARA 0.0026 0.0039 0.0030 0.0029 0.0039 0.1376 0.2020 0.1539 0.1512 0.2037 0.1697
3 SUMATERA BARAT 0.0090 0.0106 0.0095 0.0112 0.0101 0.4671 0.5503 0.4973 0.5844 0.5274 0.5253
4 RIAU 0.0044 0.0062 0.0054 0.0052 0.0061 0.2312 0.3226 0.2808 0.2699 0.3204 0.2850
5 JAMBI 0.0026 0.0049 0.0056 0.0055 0.0055 0.1375 0.2534 0.2898 0.2853 0.2848 0.2502
6 SUMATERA SELATAN 0.0068 0.0058 0.0067 0.0054 0.0053 0.3547 0.3007 0.3472 0.2828 0.2760 0.3123
7 BENGKULU 0.0055 0.0067 0.0053 0.0057 0.0059 0.2866 0.3502 0.2772 0.2980 0.3066 0.3037
8 LAMPUNG 0.0028 0.0033 0.0030 0.0045 0.0034 0.1448 0.1743 0.1573 0.2349 0.1795 0.1782
9 KEPULAUAN BABEL 0.0051 0.0090 0.0066 0.0079 0.0091 0.2664 0.4708 0.3425 0.4141 0.4763 0.3940
10 KEPULAUAN RIAU 0.0071 0.0159 0.0117 0.0133 0.0103 0.3704 0.8277 0.6089 0.6959 0.5357 0.6077
11 DKI JAKARTA 0.0167 0.0229 0.0214 0.0285 0.0373 0.8720 1.1924 1.1154 1.4865 1.9460 1.3225
12 JAWA BARAT 0.0056 0.0096 0.0117 0.0115 0.0115 0.2936 0.4984 0.6082 0.5982 0.6020 0.5201
13 JAWA TENGAH 0.0022 0.0043 0.0039 0.0038 0.0044 0.1159 0.2231 0.2058 0.1966 0.2285 0.1940
14 DI YOGYAKARTA 0.0033 0.0062 0.0064 0.0051 0.0071 0.1715 0.3221 0.3332 0.2657 0.3688 0.2922
15 JAWA TIMUR 0.0073 0.0103 0.0122 0.0132 0.0123 0.3806 0.5353 0.6356 0.6887 0.6438 0.5768
16 BANTEN 0.0057 0.0124 0.0105 0.0099 0.0118 0.2989 0.6475 0.5468 0.5157 0.6161 0.5250
17 BALI 0.0024 0.0029 0.0027 0.0035 0.0026 0.1235 0.1532 0.1423 0.1824 0.1367 0.1476
18 NUSA TENGGARA 0.0111 0.0113 0.0116 0.0119 0.0130 0.5772 0.5889 0.6051 0.6192 0.6767 0.6134

62/86
11/2/2020
BARAT
19 NUSA TENGGARA 0.0053 0.0069 0.0073 0.0088 0.0086 0.2783 0.3619 0.3795 0.4588 0.4498 0.3857
TIMUR
20 KALIMANTAN BARAT 0.0023 0.0044 0.0051 0.0031 0.0040 0.1183 0.2270 0.2664 0.1594 0.2105 0.1963
21 KALIMANTAN TENGAH 0.0016 0.0045 0.0056 0.0036 0.0043 0.0852 0.2345 0.2915 0.1869 0.2237 0.2044
22 KALIMANTAN SELATAN 0.0021 0.0076 0.0038 0.0033 0.0040 0.1118 0.3937 0.1984 0.1707 0.2102 0.2170
23 KALIMANTAN TIMUR 0.0055 0.0077 0.0092 0.0087 0.0084 0.2877 0.4038 0.4801 0.4526 0.4385 0.4125
24 �KALIMANTAN UTARA - 0.0022 0.0030 0.0059 0.0046 - 0.1170 0.1569 0.3071 0.2374 0.2046
25 SULAWESI UTARA 0.0020 0.0024 0.0028 0.0030 0.0032 0.1062 0.1230 0.1457 0.1578 0.1690 0.1404
26 SULAWESI TENGAH 0.0026 0.0037 0.0029 0.0038 0.0038 0.1366 0.1922 0.1501 0.1998 0.1999 0.1757
27 SULAWESI SELATAN 0.0011 0.0031 0.0032 0.0037 0.0022 0.0598 0.1628 0.1653 0.1936 0.1150 0.1393
28 SULAWESI TENGGARA 0.0021 0.0027 0.0036 0.0032 0.0027 0.1096 0.1428 0.1881 0.1659 0.1428 0.1498
29 GORONTALO 0.0035 0.0057 0.0070 0.0052 0.0060 0.1824 0.2978 0.3639 0.2703 0.3135 0.2856
30 SULAWESI BARAT 0.0008 0.0008 0.0008 0.0009 0.0014 0.0420 0.0428 0.0435 0.0494 0.0714 0.0498
31 MALUKU 0.0009 0.0012 0.0016 0.0029 0.0034 0.0491 0.0640 0.0857 0.1490 0.1791 0.1054
32 MALUKU UTARA 0.0005 0.0013 0.0015 0.0022 0.0016 0.0237 0.0702 0.0766 0.1159 0.0850 0.0743
33 PAPUA BARAT 0.0042 0.0076 0.0040 0.0032 0.0027 0.2183 0.3986 0.2080 0.1652 0.1420 0.2264
34 PAPUA 0.0019 0.0042 0.0038 0.0057 0.0043 0.0997 0.2176 0.1995 0.2968 0.2222 0.2072
INDONESIA 0.0051 0.0078 0.0081 0.0085 0.0089 0.2663 0.4042 0.4237 0.4448 0.4665 0.4011
Sumber : Susenas, BPS
Keterangan : '-' = tidak tersedia data����������




Gambar 9.3. Perkembangan konsumsi daging sapi murni dalam rumah tangga per provinsi di��
Indonesia, rata-rata 2014 � 2018


9.2.� Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Sapi di Indonesia

�Dalam penyusunan neraca daging sapi ada beberapa data pendukung yang terkait dalam perhitungan penyediaan dan penggunaan
daging sapi keseluruhan. Secara umum penyusunan neraca daging sapi didasarkan pada perhitungan prognosa yang dilakukan oleh Badan
Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, tetapi ada juga asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis ini.� Penyediaan total
daging sapi di Indonesa berasal dari produksi dalam negeri ditambah impor kemudian dikurang ekspor. Ketersediaan data daging sapi saat
ini adalah hingga tahun 2018 (ASEM), kemudian untuk tahun 2019 sebesar 429.412� ton (angka potensi produksi daging sapi, Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan). Penyediaan daging sapi Indonesia periode 2014-2018 mengalami peningkatan dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 3,85% per tahun. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan jumlah sebesar 635,23 ribu ton, dimana
impor daging sapi mengalami peningkatan cukup signifikan, dengan pertumbuhan sebesar 132,09% dibandingkan tahun sebelumnya.
Produksi daging sapi di Indonesia periode tahun 2014-2018� cenderung stabil dengan ratarata pertumbuhan sebesar 0,01% per tahun.
Produksi tahun 2019 angka perkiraan/potensi produksi mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan tahun 2018 yaitu sebesar 429.412
ton atau menurun sebesar 13,48%. Data ekspor dan impor tahun 2019 menggunakan realisasi hingga bulan April 2019 yang bersumber dari
BPS, sementara untuk bulan Mei s.d Desember diasumsikan data rata-rata tahun 2017 dan 2018. Cakupan kode HS yang digunakan untuk
data ekspor impor daging sapi adalah :
Kode HS Deskripsi
'02011000 Karkas dan setengah karkas dari lembu segar
atau dingin
'02012000 Potongan daging lainnya, bertulang dari
lembu
'02013000 Daging tanpa tulang dari lembu
'02021000 Karkas dan setengah karkas dari lembu, beku

63/86
11/2/2020
'02022000 Potongan daging lainnya, bertulang
'02023000 Daging tanpa tulang
'02102000 Daging binatang jenis lembu diasinkan dlm
air garam, dikeringkan atau diasapi
'16025000 Daging, sisa daging atau darah lainnya
yang diolah atau diawetkan dari binatang
jenis lembu

Perkembangan volume impor daging sapi di Indonesia periode 2014 � 2018 mengalami kenaikan yaitu dari 76,89 ribu ton (2014)
menjadi 164,26 ribu ton (2018) atau rata-rata meningkat sebesar 34,40% per tahun. Kenaikan volume impor tertinggi terjadi pada tahun
2016 yaitu sebesar 116,76 ribu ton dari 50,31 ribu ton pada tahun 2015 atau meningkat sebesar 132,09%. Pada periode tersebut, impor
terbesar terjadi pada tahun 2018, yaitu sebesar� 164,26 ribu ton. Sementara volume ekspor daging sapi Indonesia masih sangat kecil,
pada periode tahun 2014-2018 rata-rata volume ekspor hanya sebesar 13 ton per tahun dengan rata-raa peningkatan pertumbuhan sebesar
79,75%. Pada tahun 2014 volume ekspor hanya sebesar 3 ton menjadi sebesar 29 ton pada tahun 2017 dan turun kembali menjadi sebesar
14 ton tahun 2018.��

Komponen penggunaan daging sapi di Indonesia hanya terdiri dari penggunaan sebagai bahan makanan atau konsumsi langsung.
Penggunaan daging sapi untuk konsumsi langsung dihitung dengan mengalikan tingkat konsumsi perkapita dengan jumlah penduduk pada
tahun yang bersangkutan, tetapi untuk tahun 2017 � 2019 diasumsikan menggunakan tingkat partisipasi penduduk mengkonsumsi daging
sebesar 58,91% (sumber Susenas, BPS).� Dengan asumsi tersebut tahun 2014-2018, penggunaan daging sapi untuk konsumsi langsung
mengalami peningkatan, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,29% per tahun. Peningkatan penggunaan daging sapi ini seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Untuk Tahun 2019 diprediksi akan mengalami kenaikan dari 389,04 ribu ton tahun 2018 menjadi
402,53 ribu ton tahun 2019. Secara rinci penyediaan dan penggunaan daging sapi tahun 2014 � 2019 dapat dilihat pada Tabel 9.4.


�Neraca daging sapi Indonesia selama periode 2014 - 2019 menunjukkan terjadinya surplus yang dikarenakan meningkatnya impor dan
penggunaan asumsi tingkat partisipasi penduduk mengkonsumsi daging.


Tabel 9.4 Penyediaan dan penggunaan daging sapi, 2014 - 2019
Tahun

No. Uraian
2014 2015 2016 2017 2018*) 2019**)
A. PENYEDIAAN DAGING SAPI 574,555 556,963 635,231 604,938 660,549 588,409
- Produksi Daging Sapi (karkas + jeroan) Ton 497,670 506,661 518,484 486,320 496,302 429,412
- Impor (Ton) 76,887 50,309 116,761 118,647 164,261 159,012
- Ekspor (Ton) 3 7 15 29 14 15

PENGGUNAAN DAGING SAPI


B - Konsumsi Langsung (Konsumsi RT dan di 307,907 454,220 486,987 355,658 389,044 402,529
Luar
RT x Jumlah penduduk)���������� 307,907 454,220 486,987 355,658 389,044 402,529

Neraca� (D-E) 266,648 102,743 148,243 249,280 271,505 185,880


Keterangan
- Jumlah Penduduk (000 jiwa) 252,165 255,588 258,497 261,356 264,162 266,912
- Kenaikan jumlah penduduk (%), rata-rata 1.35 1.36 1.14 1.11 1.07 1.04
1,63%
- Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun 1.22 1.78 1.88 2.31 2.50 2.56
Keterangan :�� *) Angka Sementara, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
��������� **) Produksi daging sapi� tahun 2019 sebesar 429.412� ton� (Potensi produksi Ditjen. Peternakan dan Kesehatan Hewan,2019)
�������� **) Ekspor-Impor bulan Januari-April 2019 data realisasi BPS, ditambah Mei-Desember diasumsikan rata-rata tahun 2017 dan 2018,��������������� Tingkat konsumsi
kg/kapita/tahun, data 2017, 2018 dan 2019 bersumber dari prognosa BKP.��������������� Tahun 2017 - 2019 diasumsikan tingkat partisipasi penduduk mengkonsumsi daging sebesar
58.91% (Susenas 2018, BPS)



9.3.�� Penyediaan Total Domestik Daging Sapi beberapa Negara di Dunia

�Menurut data USDA, negara penyedia terbesar daging sapi selama periode tahun 2014 - 2019 masih negara Amerika Serikat dimana
mencapai 11,79 juta ton per tahun atau sebesar 20,05% sharenya terhadap total penyediaan daging sapi dunia. Negara terbesar berikutnya
adalah Brazil, China, Argentina dan India dengan rata-rata total penyediaan daging sapi berkisar antara 2,42 - 7,83 juta ton. Negara
berikutnya adalah Rusia, Meksiko, Pakistan, Turki dan Jepang dengan rata-rata total penyediaan daging sapi masing-masing di bawah 2 juta
ton.� Sementara Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berdasarkan data Neraca Bahan Makanan rata-rata penyediaan sebesar
582 ribu ton atau sekitar 0,99% dari total penyediaan dunia (Tabel 9.5 dan Gambar 9.3).


64/86
11/2/2020


Tabel 9.5.� Negara dengan penyediaan daging sapi terbesar di dunia, 2013 � 2018

Total Ketersediaan (000 Ton) Share (%) Kumula f ( % )
No. Negara Rata-rata
2014 2015 2016 2017 2018 2019
1 Amerika ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� 11,791 ������� ���������
Serikat 11,241 11,275 11,676 12,052 12,179 12,323 20.05 20.05
2 Brazil ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 7,830 ������� ���������
7,896 7,781 7,652 7,750 7,865 8,035 13.31 33.36
3 China ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 7,291 ������� ���������
6,544 6,808 6,928 7,313 7,910 8,240 12.40 45.76
4 Argen na ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 2,501 ��������� ���������
2,503 2,534 2,434 2,547 2,544 2,445 4.25 50.01
5 India ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 2,422 ��������� ���������
2,018 2,294 2,436 2,401 2,744 2,640 4.12 54.13
6 Rusia ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 1,924 ��������� ���������
2,297 1,967 1,849 1,800 1,805 1,827 3.27 57.40
7 Meksiko ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 1,844 ��������� ���������
1,839 1,797 1,809 1,841 1,872 1,905 3.13 60.53
8 Pakistan ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 1,695 ��������� ���������
1,627 1,636 1,685 1,722 1,741 1,761 2.88 63.41
9 Turki ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 1,429 ��������� ���������
1,247 1,455 1,495 1,424 1,496 1,458 2.43 65.84
10 Jepang ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� 1,265 ��������� ���������
1,225 1,186 1,215 1,278 1,323 1,360 2.15 67.99
Indonesia 575 557 635 605 661 461 ��������� ��������� ���������
582 0.99 68.98
Negara ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� 18,242 ������� �������
Lainnya 18,985 18,005 18,104 17,946 18,118 18,293 31.02 100.00
Total ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� 58,816 ���� 100.00�
Dunia 57,997 57,295 57,918 58,679 60,258 60,748
Sumber�� : USDA diolah Pusda n���������



Gambar 9.3. Negara dengan penyediaan daging sapi terbesar di dunia, rata-rata 2014 � 2019



BAB X.� DAGING AYAM�

D
aging ayam merupakan salah satu sumber bahan pangan hewani, yang mengandung gizi yang cukup tinggi berupa protein dan
energi. Daging ayam �mengandung protein 18,2 gram, energi sebesar 302 kilo kalori, karbohidrat 0 gram,

lemak 25 gram, kalsium 14 miligram, fosfor 200 miligram, dan zat besi 2 miligram.� Selain itu di dalam daging ayam juga
terkandung vitamin A sebanyak 810 IU, vitamin B1 0,08 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut diperoleh dari penelitian terhadap
100 gram daging ayam, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 58% (sumber : www.organisasi.org).

65/86
11/2/2020
Setiap 100 gram daging ayam mengandung 74 persen air, 22 persen protein, 13 miligram zat kalzium, 190 miligram zat fosfor dan 1,5
miligram zat besi. Daging ayam kaya akan vitamin A, terutama ayam kecil. Selain itu, daging ayam juga mengandung vitamin C dan E.�

Kadar lemak dalam daging ayam tergolong rendah dan termasuk asam lemak tidak jenuh, sehingga sangat ideal bagi anak kecil, orang
setengah baya dan orang lanjut usia, penderita penyakit pembuluh darah jantung dan orang yang lemah pasca sakit.�

Daging ayam lebih unggul daripada daging sapi, kambing dan babi. Daging ayam lebih digemari masyarakat daripada daging-dagingan
lainnya, karena harga yang relatif terjangkau dan mudah diperoleh serta mudah diolah menjadi berbagai macam masakan.�

Produksi daging ayam di Indonesia yang bersumber dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2018 (angka
sementara) sebesar� 3,87 juta ton, dengan produksi sebesar 3,28 juta ton daging ayam ras dan 300,12 ribu ton daging ayam bukan
ras/kampung. Sementara itu konsumsi daging ayam dalam rumah tangga pada tahun 2018 mencapai 1,37 juta ton.�



10.1.� Perkembangan dan Prediksi� Konsumsi Daging Ayam dalam Rumah Tangga di Indonesia


Konsumsi perkapita daging ayam menurut SUSENAS, dirinci menjadi daging ayam ras pedaging dan ayam bukan ras (ayam buras).
Perkembangan konsumsi daging ayam ras di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 2002-2021 pada umumnya mengalami
fluktuasi namun cenderung meningkat dengan� peningkatan 5,79% per tahun, begitu juga untuk konsumsi daging ayam buras pada
periode tersebut mengalami peningkatan rata-rata 0,64% per tahun. Peningkatan terbesar untuk daging ayam ras dan buras terjadi di
tahun

2007 dimana konsumsi dalam rumah tangga naik masing-masing sebesar 37,5% dan 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan
konsumsi daging ayam ras rumah tangga terjadi di tahun 2004, 2006, 2008, 2009, 2012 dan 2018 dengan penurunan konsumsi terbesar
terjadi pada� tahun 2006 yaitu 17,24%. Konsumsi daging ayam ras tahun 2019 hingga 2021 diprediksikan akan mengalami penurunan
hingga menjadi sebesar 7,35 kg/kapita pada tahun tahun 2021.

�Rata-rata konsumsi daging ayam buras periode 2002�2018 sebesar 0,647 kg/kap/tahun. Penurunan konsumsi daging ayam buras rumah
tangga terjadi di tahun 2005, 2006, 2008, 2009, 2012, 2013 dan 2018 dengan penurunan konsumsi terbesar terjadi pada� tahun 2006
yaitu 33,33%. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2019 hingga 2021 memperlihatkan bahwa konsumsi daging ayam buras perkapita
mengalami sedikit peningkatan. Konsumsi daging ayam buras� hingga tahun 2021 diprediksikan akan mengalami peningkatan 8,42
kg/kapita/tahun


Tabel 10.1. Perkembangan konsumsi daging ayam dalam rumah tangga di Indonesia,� 2002 � 2018 serta prediksi 2019 � 2021
( Kg/Kapita )
Konsumsi seminggu Konsumsi setahun
Tahun Daging ayam Daging Daging ayam Pertumbuhan (%) Daging Pertumbuhan ( %
ras ayam ras ayam )
buras buras
2002 0,0490 0,0140 2,5550 0,7300
2003 0,0590 0,0160 3,0764 20,41 0,8343 14 , 29
2004 0,0530 0,0170 2,7636 -10,17 0,8864 6 , 25
2005 0,0580 0,0150 3,0243 9,43 0,7821 -11,76
2006 0,0480 0,0100 2,5029 -17,24 0,5214 -33,33
2007 0,0660 0,0130 3,4414 37,50 0,6779 30 , 00
2008 0,0620 0,0110 3,2329 -6,06 0,5736 -15,38
2009 0,0590 0,0100 3,0764 -4,84 0,5214 -9 , 09
2010 0,0680 0,0120 3,5457 15,25 0,6257 20 , 00
2011 0,0700 0,0120 3,6500 2,94 0,6257 0 , 00
2012 0,0670 0,0100 3,4936 -4,29 0,5214 -16,67
2013 0,0700 0,0090 3,6500 4,48 0,4693 -10,00
2014 0,0765 0,0096 3,9880 9,26 0,4992 6 , 37
2015 0,0915 0,0116 4,7728 19,68 0,6027 20 , 73
2016 0,0980 0,0120 5,1100 7,07 0,6257 3 , 82
2017 0,1090 0,0150 5,6836 11,22 0,7821 25 , 00
2018 0,1068 0,0140 5,5689 -2,02 0,7300 -6 , 67
Rata- 0,07122 0,01242 3,71385 5,79 0,64759 1 , 47
rata
2019*) 0,1181 0,01510 6,1560 65,76 0,7876 21 , 62
2020*) 0,1268 0,01633 6,6130 7,42 0,8516 8 , 13
2021*) 0,1362 0,01771 7,0993 7,35 0,9233 8 , 42
Sumber: Susenas, BPS
Keterangan : *) Hasil prediksi Pusdatin���������

66/86
11/2/2020


Gambar 10.1.� Perkembangan konsumsi daging ayam ras dalam rumah tangga di Indonesia,
2002 � 2018 dan prediksi tahun 2019 - 2021


Gambar� 10.2.� Perkembangan konsumsi daging ayam buras dalam rumah tangga di
Indonesia, 2002 � 2018 dan prediksi tahun 2019 - 2021

Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi daging ayam bagi penduduk
Indonesia selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan baik untuk daging ayam ras maupun daging ayam buras.� Peningkatan
rata-rata pengeluaran nominal penduduk Indonesia untuk konsumsi daging ayam ras pada periode� 2014 - 2018 sebesar 10,75%, yakni
dari Rp.

110.208 ribu/kapita pada tahun 2014 menjadi Rp. 165.292 ribu/kapita pada tahun 2018.� Sementara pengeluaran nominal penduduk
Indonesia untuk konsumsi daging ayam buras pada periode yang sama meningkat 13,13%, yakni dari Rp. 19.417 ribu/kapita pada tahun
2014 menjadi Rp. 31,181 ribu/kapita pada tahun 2018.��

Dalam rangka mendorong peningkatan konsumsi protein hewani di masyarakat,

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen� PKH)� menyelenggarakan� kompetisi�
pemilihan� Duta� Ayam� dan� Telur� periode 2018 �2021. Duta ayam yang terpilih selama 3 tahun ke depan akan menjadi ikon
bidang perunggasan yang dapat diharapkan dapat mengajak dan mempengaruhi masyarakat Indonesia supaya gemar mengkonsumsi
daging dan telur ayam.�

Tabel 10.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan� riil untuk konsumsi daging ayam ras dan buras dalam rumah tangga di Indonesia,
2014 - 2018

No. Uraian Rata-rata


Pengeluaran (Rupiah/kapita)
Pertumb.

67/86
11/2/2020
2014 2015 2016 2017 2018 (%)
D aging ayam ra s
�� �� ��
1 �Nominal �� 110.208,38 �� 128.584,29 145.217,86 157.636,86 165.292,86 10 , 75
�������� �������� 132,35 134,09 143,60
2 �IHK 117,77 124,99 5 , 11
�� �� ��
3 �Riil ��� 93.579,33 �� 102.878,40 109.721,91 117.563,41 115.106,45 5 , 41
Da ging ayam bur as
��� ��� ���
1 �Nominal ��� 19.417,33 ��� 24.663,57 28.000,71 32.448,17 31.181,43 13 , 13
�������� �������� 132,35 134,09 143,60
2 �IHK 117,77 124,99 5 , 11
��� ��� ���
3 �Riil ��� 16.487,50 ��� 19.732,44 21.156,43 24.199,40 21.714,09 7 , 75
Sumber : BPS diolah Pusdatin-Kementan
Keterangan : IHK Kelompok Daging dan Hasil-hasilnya���������������











Gambar 10.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi daging ayam ras���������������� dalam
rumah tangga di Indonesia, 2014-2018

68/86
11/2/2020



Gambar 10.3. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil untuk konsumsi daging ayam buras dalam rumah tangga di Indonesia, 2014-
2018




10.2. �Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Ayam di Indonesia�

Penyusunan neraca penyediaan dan penggunaan daging ayam didasarkan atas beberapa data dan asumsi. Perhitungan penyediaan
daging ayam merupakan penjumlahan dari angka produksi ditambah impor dan dikurangi ekspor. Produksi daging ayam merupakan
penjumlahan produksi daging ayam ras pedaging dan ayam ras petelur.

Penggunaan daging ayam adalah untuk konsumsi langsung, tercecer serta sebagai bahan baku industri pengolahan daging ayam.
Konsumsi langsung dihitung berdasarkan penjumlahan data konsumsi rumah tangga hasil Susenas daging ayam ras dikalikan dengan
jumlah penduduk. Sementara besaran konversi daging ayam yang tercecer sebesar 5% terhadap penyediaan menggunakan faktor konversi
yang digunakan pada perhitungan Neraca Bahan Makanan Nasional.

Tabel 10.3. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Ayam Ras di Indonesia, 2014 � 2019
Tahun

No. Uraian Satuan


2014 2015 2016 2017 2018 2019*)
I PENYEDIAAN 1.642.697 1.731.524 2.016.226 3.286.132 3.565.398 3.647.493
1 Produksi daging ayam ras Ton 1.641.574 1.731.111 2.015.779 3.286.190 3.565.495 3.647.805
(pedaging + petelur)
2 Impor Ton 1.123 417 456 254 304 250
3 Ekspor Ton 0 4 8 312 401 563
II PENGGUNAAN 1.131.516 1.219.257 1.321.983 3.229.115 3.267.638 3.251.767
1 Konsumsi Langsung Ton 1.131.516 1.219.257 1.321.983 1.453.494 1.372.779 1.493.186
(penduduk x tkt konsumsi)
Konsumsi Luar Rumah 0 0 0 1.775.620 1.894.859 1.758.581
Tangga
2 Penggunaan lainnya 0 0 0 0
III NERACA (I-II) 511.182 512.266 694.244 57.017 297.760 395.726
Keterangan
- Jumlah Penduduk Jiwa 252.164.800 255.461.700 258.705.000 261.890.900 265.015.300 268.076.400
- Tingkat konsumsi daging kg/kapita 3,99 4,77 5,11 5,55 5,18 5 , 57
ayam ras
- Tingkat Konsumsi Daging 0,00 0,00 0,00 6,78 7,15 6 , 56
Luar Rumah Tangga
Sumber : Data produksi dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
������������ Data ekspor, impor dan konsumsi langsung dari BPS
Keterangan : *) Angka sementara��������������

Perhitungan neraca penyediaan dan penggunaan daging ayam ras di Indonesia tahun 2014 � 2019 tersaji pada Tabel 10.3.
Penyediaan daging ayam ras di Indonesia dari tahun terus mengalami peningkatan dengan laju rata-rata sebesar 1,39%. Peningkatan
penyediaan daging ayam tersebut lebih dikarenakan meningkatnya produksi dalam negeri. Kebutuhan daging ayam untuk konsumsi
langsung juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun karena meningkatnya jumlah penduduk dan juga tingkat konsumsi per kapita
yang mengalami peningkatan sebesar 1,96%. Daging ayam ras untuk konsumsi langsung mencapai 1,13 juta ton pada tahun 2014 dan
terus meningkat hingga tahun 2019 diprediksikan mencapai 1,49 juta ton.

69/86
11/2/2020
Perhitungan neraca penyediaan dan penggunaan daging ayam buras di Indonesia tahun 2014 � 2019 tersaji pada Tabel 10.4.
Perkembangan produksi daging ayam buras di Indonesia periode 2014-2019 berfluktuatif namun cenderung meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 1,86% per tahun. Tahun 2019 produksi daging sebesar 342,11 ribu ton. Peningkatan penyediaan daging ayam
tersebut lebih dikarenakan meningkatnya produksi dalam negeri. Tahun 2019 kebutuhan daging ayam untuk konsumsi mengalami
peningkatan.

Penggunaan daging ayam buras untuk konsumsi langsung mencapai mengalami peningkatan. �


Tabel 10.4. Neraca Penyediaan dan Penggunaan Daging Ayam Buras di Indonesia,
����������������� 2014 � 2019
Tahun

No. Uraian Satuan


2014 2015 2016 2017 2018 2019*)
I PENYEDIAAN 297,653 299,773 284,988 300,129 313,807 342,110
1 Produksi daging ayam buras Ton 297,653 299,773 284,988 300,129 313,807 342,110
2 Impor Ton 0 0 0 0 0 0
3 Ekspor Ton 0 0 0 0 0 0
II PENGGUNAAN 125,872 154,034 161,745 162,246 140,000 163,018
1 Konsumsi Langsung (penduduk x tkt Ton 125,872 154,034 161,745 162,246 140,000 163,018
konsumsi)
Konsumsi Luar Rumah Tangga 0 0 0 0 0 0
2 Penggunaan lainnya
III NERACA (I-II) 171,781 145,739 123,243 137,883 173,807 179,092
Keterangan
- Jumlah Penduduk Jiwa 252,164,800 255,587,900 258,496,500 261,355,500 264,161,600 266,911,900
- Kenaikan jumlah penduduk % 1.35 1.31 1.27 1.23
- Tingkat konsumsi daging ayam buras kg/kapita 0.50 0.60 0.63 0.62 0.53 0.61
Sumber : Data produksi dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
�������������� Data ekspor, impor dan konsumsi langsung dari BPSKeterangan : *) Produksi 2019 merupakan Angka Sementara Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan���



10.3.� Penyediaan� Daging Ayam Broiler� di� beberapa negara di Dunia

Menurut data USDA, rata-rata total penyediaan konsumsi daging daging ayam broiler dunia periode tahun 2011 � 2015 mencapai
83,41 juta ton. Pada periode ini total penyediaan daging ayam broiler dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.�

Lima negara dengan total penyediaan daging ayam broiler terbesar di dunia secara rinci tersaji pada Tabel 9.4. Lima negara tersebut
adalah Iraq, Korea, Chile, Guatemala dan Belarus. Rata-rata total penyediaan daging ayam broiler di Iraq pada periode tahun 2014 - 2018
mencapai 843 ribu ton per tahun atau 14,48% dari total penyedian daging ayam broiler dunia.�

�Korea menempati urutan ke-2 dengan rata-rata total penyediaan sebesar 765 ribu ton dengan kontribusi terhadap total penyediaan
dunia sebesar 13,14%. Negara berikutnya adalah Chile yang memiliki kontribusi terhadap total penyediaan dunia sekitar 10,91%. Negara
berikutnya� adalah Guatemala dan Belarus yang memiliki rata-rata total penyediaan masing-masing sebesar 636 ribu ton dan 344 ribu
ton. Pada periode yang sama, penyediaan

70/86
11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 71/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

daging ayam broiler di Indonesia hanya 1,58 juta ton menempati urutan ke-11 dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar
1,88%.

Tabel 10.5.� Negara dengan penyediaan daging ayam broiler terbesar di dunia, 2014 � 2018
Rata- Share
No Negara 2014 2015 2016 2017 2018 rata�� Share (%) kumulatif
2013-2018 (%)
1 Iraq 837 793 846 851 890 843 14.48 14.48
2 Korea, South 895 963 991 976 1.02 765 13.14 27.61
3 Chile 567 606 646 670 690 636 10.91 38.53
4 Guatemala 295 333 351 363 378 344 5.90 44.43
5 Belarus 339 335 337 334 335 336 5.77 50.20
6 Kazakhstan 293 306 343 345 354 328 5.63 55.83
7 Hong Kong 309 320 352 298 357 327 5.62 61.45
8 Angola 400 261 244 304 340 310 5.32 66.77
9 Jordan 319 314 293 300 310 307 5.27 72.04
11 Iran 834.00 0.00 0.00 0.00 0.00 167 2.86 74.90
13 Cuba 219 258 264 309 381 286 4.91 79.82
15 Ghana 140 154 127 182 209 162 2.79 82.60
Lainnya 3,260 2,952 2,957 2,973 3,004 1,013 17.40 100.00
Total dunia 8,707 7,595 7,751 7,905 7,249 5,826 100.00
Sumber : USDA diolah Pusda n
Ket : 2018 angka sementara�



Gambar 10.4. Negara dengan penyediaan daging unggas terbesar di dunia, share terhadap rata-rata 2014 � 2018






��������� Pusat Data dan Informasi Pertanian


10.4. Konsumsi Daging Ayam Ras Per Provinsi

Produk daging ayam merupakan sumber protein hewani yang relatif lebih murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Hal ini
menjadi salah satu faktor tingginya partisipasi konsumen terhadap produk ini.�

Untuk konsumsi daging ayam ras tahun 2014 -2018 terlihat yang paling tinggi terdapat di Provinsi Riau sebesar 31,97 kg/kap/th dengan
pertumbuhan 355,13% Sedangkan konsumsi terendah untuk daging ayam ras di Provinsi Maluku Utara,� sebesar 0,74 kg/kap/th dengan
pertumbuhan mengalami penurunan 5,76%. (Tabel 10.5).

Tabel. 10.5 Konsumsi Daging Ayam Ras Per Provinsi 2014 -2018

Konsumsi setara daging ayam ras (kg/kapita/tahun)
Rata-rata Laju Pertumb.
No Provinsi
2014-2018 (%)
2014 2015 2016 2017 2018

72/86
11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

1 ACEH 1.64 2.41 2.59 3.05 3.08 2.55 0.95


2 SUMATERA UTARA 3.22 3.92 3.93 4.37 4.92 4.07 3.45
3 SUMATERA BARAT 4.54 5.99 5.57 6.13 6.12 5.67 0.31
4 RIAU 6.74 8.05 8.11 8.46 128.51 31.97 355.13
5 JAMBI 5.71 6.63 6.38 7.12 6.64 6.50 -1.43
6 SUMATERA SELATAN 4.39 5.43 5.44 127.75 5.48 29.70 -1.20
7 BENGKULU 3.77 4.74 4.35 5.06 5.25 4.63 1.31
8 LAMPUNG 1.96 2.43 2.71 3.47 3.02 2.72 -2.64
9 KEPULAUAN BANGKA 5.91 9.18 7.97 9.71 9.25 8.40 -0.53
BELITUNG
10 KEPULAUAN RIAU 8.94 8.70 9.97 9.88 9.59 9.42 -0.62
11 DKI JAKARTA 7.30 7.46 9.08 7.60 9.06 8.10 4.90
12 JAWA BARAT 5.20 6.09 6.95 4.91 7.34 6.10 12.37
13 JAWA TENGAH 3.17 3.96 4.37 4.63 4.77 4.18 1.18
14 DI YOGYAKARTA 4.58 5.04 5.66 7.89 5.88 5.81 -5.75
15 JAWA TIMUR 3.20 3.90 4.11 4.63 4.35 4.04 -1.09
16 BANTEN 5.73 6.70 6.92 7.89 7.81 7.01 0.08
17 BALI 6.08 6.86 7.86 7.15 8.23 7.23 3.96
18 NUSA TENGGARA BARAT 1.65 2.64 2.34 3.04 3.24 2.58 2.45
19 NUSA TENGGARA TIMUR 0.83 1.12 1.14 1.43 1.47 1.20 1.28
20 KALIMANTAN BARAT 5.31 5.67 5.80 6.68 6.75 6.04 0.53
21 KALIMANTAN TENGAH 7.71 8.04 8.51 9.10 9.30 8.53 0.72
22 KALIMANTAN SELATAN 5.83 6.28 6.43 6.57 6.94 6.41 1.52
23 KALIMANTAN TIMUR 6.11 7.78 7.57 8.81 9.26 7.91 1.69
24 KALIMANTAN UTARA 3.99 4.50 5.42 6.18 5.02 0.00
25 SULAWESI UTARA 0.95 1.88 2.12 2.56 2.00 1.90 -4.11
26 SULAWESI TENGAH 0.67 1.10 1.17 59.92 1.38 12.85 26.42
27 SULAWESI SELATAN 1.51 2.73 2.70 3.03 99.61 21.91 798.64
28 SULAWESI TENGGARA 0.42 1.06 1.08 69.71 1.44 14.74 40.43
29 GORONTALO 0.63 1.25 1.54 1.65 1.35 1.28 -3.34
30 SULAWESI BARAT 0.88 0.82 0.92 0.91 1.09 0.92 5.24
31 MALUKU 1.25 1.59 1.67 1.87 1.65 1.61 -2.56
32 MALUKU UTARA 0.48 0.69 0.80 0.98 0.72 0.74 -5.76
2.57
33 PAPUA BARAT 2.25 2.20 2.75 3.22 3.50 2.78
34 PAPUA 2.68 3.76 3.46 4.96 4.77 3.93 -0.18
INDONESIA 3.99 4.77 5.13 5.67 5.57 5.03 -0.08
Sumber : BPS diolah Pusdatin����



Gambar 10.5. Provinsi dengan konsumsi setara dengan daging ayam ras 2014 � 2018




10.5. Konsumsi Daging Ayam Buras Per Provinsi

Ayam kampung merupakan salah satu jenis ayam buras paling populer di Indonesia. Jenis ini dipelihara untuk diambil daging dan
telurnya. Ayam kampung dipercaya berasal dari domestikasi ayam hutan oleh petani lokal.

73/86
11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Untuk konsumsi daging ayam buras tahun 2014 -2018 terlihat yang paling tinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
sebesar 2,48 kg/kap/th dengan pertumbuhan 212,26% Sedangkan konsumsi terendah untuk daging ayam buras di Provinsi Jambi,�
sebesar 0,93 kg/kap/th dengan pertumbuhan mengalami penurunan 0,04%. (Tabel

10.6).



Tabel. 10.6 Konsumsi Daging Ayam Buras Per Provinsi 2014 -2018

Konsumsi setara daging ayam buras
(kg/kapita/tahun) Rata-rata Laju Pertumb.
No Provinsi
2014-2018 (%)
2014 2015 2016 2017 2018
1 ACEH 0.44 0.74 0.83 0.90 0.63 0.71 -6.59
2 SUMATERA UTARA 0.44 0.66 0.61 0.81 0.85 0.67 2.17
3 SUMATERA BARAT 0.61 0.76 0.69 0.71 0.71 0.70 0.34
4 RIAU 0.57 0.86 0.81 1.05 4.08 1.47 73.36
5 JAMBI 0.71 0.83 0.94 1.11 1.08 0.93 -0.04
6 SUMATERA SELATAN 0.61 0.81 0.82 2.61 1.20 1.21 -11.02
7 BENGKULU 0.74 0.87 0.90 1.12 1.09 0.94 -0.27
8 LAMPUNG 1.28 1.27 1.82 2.04 1.63 1.61 -4.56
9 KEPULAUAN BANGKA 0.47 0.99 0.71 0.98 9.25 2.48 212.26
BELITUNG
10 KEPULAUAN RIAU 0.57 0.62 0.40 0.37 0.38 0.47 0.25
11 DKI JAKARTA 0.44 0.31 0.41 0.61 0.55 0.46 -1.97
12 JAWA BARAT 0.37 0.42 0.54 0.67 0.49 0.50 -6.08
13 JAWA TENGAH 0.51 0.63 0.55 6.44 0.66 1.76 -11.61
14 DI YOGYAKARTA 0.42 0.68 0.77 0.82 0.78 0.69 -0.21
15 JAWA TIMUR 0.44 0.50 0.50 0.67 0.59 0.54 -2.34
16 BANTEN 0.26 0.46 0.45 0.57 0.59 0.47 1.98
17 BALI 0.44 0.47 0.56 0.42 0.68 0.52 15.15
18 NUSA TENGGARA BARAT 0.65 0.95 0.97 1.16 1.42 1.03 6.19
19 NUSA TENGGARA TIMUR 1.00 0.98 1.16 1.51 1.25 1.18 -3.75
20 KALIMANTAN BARAT 0.81 0.84 0.75 1.02 0.92 0.87 -2.27
21 KALIMANTAN TENGAH 0.58 0.76 0.95 0.99 0.85 0.83 -2.92
22 KALIMANTAN SELATAN 0.44 0.56 0.64 0.53 0.48 0.53 -2.11
23 KALIMANTAN TIMUR 0.31 0.51 0.83 0.59 0.72 0.59 6.72
24 KALIMANTAN Utara 0.34 0.49 0.66 0.43 0.48 0.00
25 SULAWESI UTARA 0.42 0.60 0.53 1.02 0.51 0.61 -11.30
26 SULAWESI TENGAH 0.40 0.76 0.67 3.93 0.74 1.30 -14.64
27 SULAWESI SELATAN 0.32 0.49 0.70 0.74 2.58 0.97 62.98
28 SULAWESI TENGGARA 0.34 0.62 0.88 3.14 0.69 1.13 -15.65
29 GORONTALO 1.28 1.10 1.44 1.69 1.76 1.46 1.35
30 SULAWESI BARAT 0.66 0.61 0.61 0.65 0.67 0.64 0.89
31 MALUKU 0.38 0.30 0.29 0.60 0.30 0.37 -11.76
32 MALUKU UTARA 0.24 0.29 0.30 0.43 0.35 0.32 -3.77
33 PAPUA BARAT 0.35 0.55 0.61 0.40 0.40 0.05
0.46
34 PAPUA 0.86 0.57 0.47 0.59 0.55 0.61 -2.00
INDONESIA 0.50 0.60 0.65 0.78 0.72 0.65 -1.45
Sumber : BPS diolah Pusdatin�������

74/86
11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 75/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm



Gambar 10.6. Provinsi dengan konsumsi daging ayam buras 2014 � 2018

























BAB XI. GULA PASIR

Gula merupakan suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula digunakan untuk
mengubah rasa menjadi manis dan paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari
nira tebu, bit gula atau aren.� Gula pasir adalah bahan makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Gula
pasir mengandung energi sebesar 364 kilokalori, protein 0 gram, karbohidrat 94 gram, lemak 0 gram, kalsium 5 mg, fosfor 1 mg dan zat
besi 0 mg. Selain itu di dalam gula pasir juga terkandung vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C.

Selain gula pasir di Indonesia juga dikenal �Gula Kristal Rafinasi�, dalam perdagangan dunia mempunyai nama internasional yaitu
�White Sugar�. Jenis gula tersebut di perdagangkan pada bursa gula internasional di London. Gula Kristal Rafinasi atau White Sugar
dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai gula meja atau digunakan sebagai bahan baku pada industri makanan, minuman dan
industri farmasi

(http://www.agrirafinasi.org/tentang-gula/rahasia-gula).

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 76/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Manfaat gula untuk tubuh manusia antara lain gula merupakan sumber energi yang instan, dapat meningkatkan kemampuan otak,
sebagai obat depresi, dapat menyembuhkan luka dengan cepat dari obat-obatan dan bagi penderita tekanan darah rendah gula baik untuk
dikonsumsi.� Gula memang tidak mengandung zat gizi lain, seperti protein, vitamin atau mineral, juga tidak mengandung serat. Tetapi
sebagai bagian dari karbohidrat, gula adalah sumber kalori penghasil energi (sebagai pemberi tenaga) untuk aktivitas dan menjaga proses
metabolisme tubuh, serta pertumbuhan sel-sel tubuh.


11.1. Perkembangan dan Prediksi��� Konsumsi Gula Pasir� Dalam� Rumah Tangga di Indonesia

Perkembangan konsumsi gula pasir di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun 2002-2018 pada umumnya mengalami
penurunan dengan rata-rata penurunan 1,7% per tahun. Penurunan terbesar untuk gula pasir terjadi di tahun 2012 dimana konsumsi
dalam rumah tangga turun sebesar 12,29% dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga terjadi
di tahun 2007, tahun 2013, tahun� 2015 dan tahun 2016. Peningkatan pertumbuhan konsumsi terbesar terjadi pada� tahun 2016 yaitu
9,72% dengan konsumsi gula pasir sebesar 7,47 kg/kapita/tahun. Sedangkan untuk konsumsi gula pasir dalam rumah tangga tahun 2018
menurun sebesar 1,75% dengan konsumi sebesar 6,83 kg/kapita/tahun. Prediksi tahun 2019 untuk gula pasir mengalami penurunan
sebesar 3,43% dengan kebutuhan Konsumsi gula pasir sebesar 6,59 kg/kapita/tahun. Tahun� 2019 dan 020 diprediksi relatif turun
sebesar 1,34% dan 1,36%, ini memperlihatkan bahwa konsumsi gula pasir perkapita belum ada peningkatan dan cenderung mengalami
penurunan semenjak tahun 2017.

Tabel 11.1.� Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia,��� 2002 -2018 serta prediksi 2019- 2021��
Konsumsi
Pertumbuhan�
Tahun
(ons/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) (%)
2002 1.765 9.203
2003 1.739 9.068 -1.47
2004 1.712 8.927 -1.55
2005 1.704 8.885 -0.47
2006 1.541 8.035 -9.57
2007 1.654 8.624 7.33
2008 1.617 8.432 -2.24
2009 1.516 7.905 -6.25
2010 1.475 7.691 -2.70
2011 1.416 7.383 -4.00
2012 1.242 6.476 -12.29
2013 1.275 6.648 2.66
2014 1.229 6.409 -3.59
2015 1.305 6.805 6.17
2016 1.432 7.467 9.72
2017 1.333 6.949 -6.94
2018 1.309 6.827 -1.75
rata- 1.486 7.749 -1.683
rata
2019*) 1.296 6.593 -3.43
2020*) 1.299 6.605 0.19
2021*) 1.305 6.636 0.47
Sumber: SUSENAS, BPS
Keterangan : *) Angka prediksi Pusdatin, Kementan ������ �

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 77/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm


Gambar 11.1. Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 � 2021

Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi gula pasir bagi penduduk Indonesia, maka tahun 2014 � 2018 secara
nominal menunjukkan peningkatan sebesar 2,04%, yakni dari Rp. 83.154,52-/kapita/tahun pada tahun 2014 menjadi Rp.
89.694,87/kapita/tahun pada tahun 2018. Sebaliknya setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi gula secara riil
mengalami penurunan sebesar 2,03%. Pengeluaran Nominal gula pasir untuk tahun 2018 sebesar Rp 89.694,87/kapita/tahun, Sedangkan
pengeluaran riil sebesar Rp.70.371,45/kapita/tahun. IHK untuk konsumsi gula pasir dimasukkan ke dalam kelompok minuman yang tidak
beralkohol. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita gula penduduk Indonesia terjadi tendensi penurunan.
Perkembangan pengeluaran nominal dan riil konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia tahun 2014-2018 secara rinci tersaji
pada Tabel.11.2 dan Gambar.11.2.








�Tabel 11.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi gula pasir, 2014 � 2018
Rata-rata
Pengeluaran (Rupiah/kapita) Pertumb.
No. Uraian
2014 2015 2016 2017 2018 (%)
1 �Nominal �83,154.52 �81,453.45 �89,372.86 �92,698.35 �89,694.87 2.04
2 �IHK 108.39 115.15 122.44 125.29 127.46 4.16
3 �Riil � 76,717.89 �70,738.36 �72,991.70 �73,987.52 �70,371.45 -2.03
Sumber : BPS diolah Pusdatin-Kementan
Keterangan : IHK Kelompok Minuman yang tidak beralkohol�������

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 78/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm



Gambar 11.2.� Perkembangan pengeluaran nominal dan riil dalam rumah tangga untuk konsumsi gula pasir di Indonesia, 2014 �
2018


11.2. Perkembangan Konsumsi Gula Pasir dalam rumah tangga Per Provinsi.

�Pada Periode tahun 2014-2018 perkembangan rata-rata konsumsi gula pasir di Indonesia tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah masingmasing sebesar 10,88 Kg/kapita/tahun dan 10,69 Kg/kapita/tahun. Sedang untuk rata-rata konsumsi gula
putih terendah di Provinsi Jawa barat sebesar 3,32 Kg/kapita/tahun, Secara nasional konsumsi gula putih sebesar 6,89 Kg/kapita/tahun.
Apabila di lihat dari Laju pertumbuhan tahun 2014-2018 adalah Provinsi Papua yang tertinggi yaitu 12,39% dan Provinsi Kalimantan Barat
adalah laju pertumbuhan yang terendah dari tahun 2014-2018 sebesar 0.02%. Secara rinci tersaji pada tabel 11.3 dan Gambar 11.3.

Tabel 11.3.� Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga Per Provinsi,���
����������������� 2014-2018�
Konsumsi (kg/kapita/tahun) Pertumbuhan
No Provinsi Rata2 2014 - 2018
2014 2015 2016 2017 2018 %
1 �ACEH 8.058 8.329 9.347 8.851 8.851 8.687 2.57
2 �SUMATERA 8.080 8.082 9.029 8.890 8.810 8.578 2.33
UTARA
3 �SUMATERA 6.765 7.069 7.778 7.166 6.825 7.121 0.48
BARAT
4 �RIAU 8.681 10.037 9.271 8.854 8.914 9.151 1.04
5 �JAMBI 8.211 8.136 9.141 8.981 8.871 8.668 2.12
6 �SUMATERA 9.708 9.541 9.731 9.643 9.821 9.689 0.30
SELATAN
7 �BENGKULU 7.570 6.958 8.238 7.813 7.585 7.633 0.56
8 �LAMPUNG 6.898 7.086 7.718 7.707 7.537 7.389 2.33
9 �KEP. BANGKA 9.148 8.709 9.691 9.426 9.085 9.212 0.03
10 �KEPULAUAN 9.110 10.116 9.999 8.752 8.441 9.284 -1.53
RIAU
11 �DKI JAKARTA 4.282 4.565 5.533 4.995 5.272 4.929 5.91
12 �JAWA BARAT 2.748 3.172 3.985 3.419 3.284 3.322 5.72
13 �JAWA TENGAH 6.420 6.926 7.779 7.058 7.194 7.075 3.21
14 �D I 6.700 7.562 8.100 7.688 7.299 7.470 2.46
YOGYAKARTA
15 �JAWA TIMUR 8.086 8.171 9.213 8.379 8.033 8.376 0.15
16 �BANTEN 3.722 4.869 5.144 4.495 4.031 4.452 3.38
17 �BALI 4.616 4.898 5.189 5.005 4.770 4.896 0.95
18 �NUSA 4.818 6.022 5.887 5.756 5.726 5.642 5.00
TENGGARA
19 �NUSA 5.778 6.700 7.567 6.782 6.632 6.692 4.08
TENGGARA
20 �KALIMANTAN 9.965 11.016 10.934 9.917 9.874 10.341 0.02
BARAT
21 �KALIMANTAN 11.027 10.479 11.359 10.179 10.451 10.699 -1.07
TENGAH
22 �KALIMANTAN 10.463 11.679 11.350 10.672 10.255 10.884 -0.27
SELATAN
23 �KALIMANTAN 8.117 7.387 8.301 8.685 8.436 8.185 1.29
TIMUR
24 �KALIMANTAN - 9.884 10.176 9.448 9.107 9.654 -2.60
UTARA
25 �SULAWESI 8.897 8.484 9.457 9.321 9.162 9.064 0.92
UTARA
26 �SULAWESI 8.220 8.506 9.060 8.671 8.452 8.582 0.79
TENGAH
27 �SULAWESI 7.497 7.764 8.492 8.063 7.971 7.957 1.69

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 79/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

SELATAN
28 �SULAWESI 7.073 7.349 7.310 6.991 6.934 7.132 -0.45
TENGGARA
29 �GORONTALO 8.405 8.916 9.040 8.190 7.582 8.427 -2.34
30 �SULAWESI 8.073 8.163 8.514 7.898 7.745 8.079 -0.94
BARAT
31 �MALUKU 8.100 8.070 8.395 8.084 8.067 8.143 -0.06
32 �MALUKU UTARA 9.421 9.499 8.866 8.490 9.077 9.070 -0.79
33 �PAPUA BARAT 7.853 8.109 8.293 9.130 9.006 8.479 3.57
34 �PAPUA 4.739 6.858 5.942 7.212 6.981 6.346 12.39
Indonesia 6.409 6.805 7.466 6.949 6.827 6.891 1.80
Sumber:� BPS, diolah Pusdatin��������������



Gambar. 11.3. Perkembangan rata-rata konsumsi gula pasir dalam rumah tangga,�
Tahun 2014-2018


11.3. Neraca Gula�


Penyediaan gula pasir di Indonesia berasal dari produksi dalam negeri ditambah stok awal dan impor kemudian dikurangi ekspor.
Data produksi berupa tebu dan raw sugar bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan, data produksi tersebut sebelumnya dikurang
tercecer sebesar 0,98% (Neraca Bahan Makanan), sedangkan data impor dan ekspor bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Penyediaan gula dari tebu dalam negeri, dimana produksi gula terdiri dari eks. tebu dan eks. raw sugar,� tahun 2014
produksi� eks tebu sebesar 2,58 juta ton.�� Produksi tebu dari tahun 2015-2018 terus mengalami penurunan rata-rata sebesar
4,04%. Sedangkan tahun 2019 produksi tebu diperkirakan mengalami peningkatan sekitar 12,7% yaitu dari tahun 2018 sebesar
2,17 juta ton menjadi� 2,45 juta tahun

2019 ton (Angka sangat sementara sumber dari Ditjen Perkebunan). Penyediaan gula pasir pada tahun 2014-2018 rata-rata
mengalami peningkatan sebesar 7,05%.
Prediksi penyediaan gula pasir Tahun 2019 sebesar 8,38 juta ton.�

Neraca 2014-2018 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 10,12%,� besarnya penyediaan gula pasir disebabkan impor
gula pasir yang cukup tinggi, impor yang dilakukan berupa gula rafinasi yang dibutuhkan untuk industri. Kelebihan gula pasir
dalam neraca di pergunakan untuk kebutuhan konsumsi industri besar. Untuk impor gula pasir tahun 2014 mencapai 3,04 juta
ton dengan ekspor hanya sebesar 939 ribu ton, tahun 2015 - 2016 impor gula pasir masing-masing sebesar 3,47 juta ton dan
4,84 juta ton dengan ekspor masing-masing sebesar 443 ribu ton dan 426 ribu ton.�

Pada tahun 2017 dan 2018 impor gula pasir sebesar 4,57 juta ton dan 5,13 juta ton dengan ekspor sebesar 428 ribu ton
dan 514 ribu ton. Tahun 2019 perkiraan Data impor sebesar 5,13 juta ton� dan ekspor sekitar 514 ribu ton, kode HS yang di
gunakan dalam penghitungan Neraca adalah semua kode HS Gula pasir karena di pergunakan untuk konsumsi rumah tangga,
Konsumsi Khusus (hotel, restorant, catering, RS), Konsumsi industri rumah tangga dan konsumsi industri besar yang banyak

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 80/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

menggunakan kebutuhan gula. Kode HS yang di gunakan adalah kode HS yaitu 17011300, 17011400, 17019100, 17019910,
17019990, 17031010, 17031090, 17039010 dan 17039090, dengan deskripsi dapat dilihat pada Tabel 11.4.


Tabel. 11.4.� Kode HS dan Deskripsi data ekspor impor �
Kode HS Deskripsi

17.01 Gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi, Cane or beet sugar and chemically pure sucrose, in solid form.
dalam bentuk padat.
- Gula kasar tidak mengandung tambahan bahan perasa atau
pewarna: -�� Raw sugar not containing added flavouring or colouring matter :

1701.13.00 - - Gula tebu yang dirinci pada Catatan subpos 2 pada Bab ini -� - Cane sugar specified in Subheading Note 2 to this Chapter
1701.14.00 - - Gula tebu lainnya -� - Other cane sugar
- Lain-lain: -�� Other :
1701.91.00 - - Mengandung tambahan bahan perasa atau pewarna -� -� Containing added flavouring or colouring
matter -� -� Other :
1701.99 - - Lain-lain:
- - - Gula murni: -� - - Refined sugar :
1701.99.11 - - - - Putih -� - - - White
1701.99.19 - - - - Lain-lain -� - - - Other
1701.99.90 - - - Lain-lain - - - Other


�� Penggunaan gula pasir di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan atau konsumsi langsung dalam
rumah tangga, konsumsi khusus, konsumsi industri rumah tangga, dan konsumsi bahan baku industri. Konsumsi langsung dimana data
diperoleh dari hasil SUSENAS dikalikan dengan jumlah penduduk, konsumsi khusus yang diperuntukan di hotel, restoran, katering dan
rumah sakit (horeka), didapat dari perkalian angka 3,06 kg/kap/tahun (2013 s/d 2015) dan 3,34 kg/kap/tahun tahun 2016 (prognosa BKP)
dikalikan dengan jumlah penduduk, begitu juga konsumsi industri rumah tangga didapat dari perkalian angka 1,56 kg/kap/tahun (2013 s/d
2015) dan 1,64 kg/kap/tahun tahun 2016 dan tahun 2017, sumber prognosa BKP dikalikan dengan jumlah penduduk.�

Dari perhitungan tersebut, maka penggunaan gula pasir yang di konsumsi langsung dari tahun 2014 -2015 mengalami
kenaikan yaitu dari 1,62 juta ton menjadi 1,74 juta ton, sedangkan tahun 2016-2017 mengalami penurunan yaitu dari 1,93 juta
ton menjadi 1,82 juta ton. Penggunaan gula pasir untuk dikonsumsi langsung tahun 2018-2019 sebesar 1.80 juta ton dan 1,82
juta ton (angka sementara). Untuk Konsumsi khusus (hotel, restoran, catering, RS) pada tahun 2014-2018 rata-rata mengalami
kenaikan sebesar 3,48% dan tahun 2019 penggunaan untuk konsumsi khusus (Hotel, restoran, Catering, RS) pengunaannya
akan meningkat dari 882 ribu ton, 2018 menjadi sebesar 891 ribu ton, 2019.�

Gula pasir untuk konsumsi industri rumah tangga pada tahun 2014-2018 ratarata meningkat sebesar 2,47%, Sedangkan
untuk tahun 2019 diprediksi akan mengalami kenaikan dari 433 ribu ton (Tahun 2018) menjadi 437 ribu ton (Tahun 2019).
Apabila di lihat dari neraca data penyediaan dan penggunaan gula pasir mengalami surplus, dimana pada tahun 2014 surplus
gula pasir sebesar 3,35 juta ton, naik menjadi sebesar 3,85 juta ton pada tahun 2015, untuk tahun 2016-2017 juga mengalami
kenaikan dari 4,22 juta ton (2016) menjadi 4,38 juta (2017), sedangkan� tahun 2018 sebesar 4,92 ribu ton. Untuk tahun 2019
di prediksi naik neracanya sebesar 5,23 juta ton. Surplus gula pasir ini di gunakan untuk kebutuhan industri lainnya. Secara rinci
neraca gula pasir tahun 2014 � 2019 dapat di lihat pada Tabel 11.5.� dan Gambar 11.4.


� Gambar 11.4. Neraca gula pasir di Indonesia, 2014 � 2019



Tabel 11.5.� Neraca gula pasir tahun 2015 � 2019
No.������������� Uraian ���������� �2014 ����������� �2015 ����������� �2016 ����������� �2017 ����������� �2018*) ������� �2019**)
A. PENYEDIAAN GULA ����������������� ��������������6,134,266 ������������� �������������6,772,894 ��������������
�������������7,434,384 �������������� �������������7,506,135 �������������� �������������8,036,792 ��������������
�������������8,384,476

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 81/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

�Produksi (Ton) ��� �������������2,794,637 �������������� �������������2,561,829 �������������� �������������2,204,619 ��������������


�������������2,121,671 �������������� �������������2,174,400 �������������� �������������2,450,000
- Eks. Tebu ����������� ��������������2,579,173 ������������� �������������2,497,997 �������������� �������������2,204,619
�������������� �������������2,121,671 �������������� �������������2,174,400 �������������� �������������2,450,000
- Eks. Raw Sugar���������������� 215,464������������������
63,832������������������������������������������������������������������������������������������������� Stok Awal
Tahun������������� 1,240,157������������� 1,182,400���������������� 816,592������������� 1,245,000������������� 1,248,197�������������
1,458,967
�Impor Gula (Ton) ����������������������� ��������������3,039,324 ������������� �������������3,472,012 ��������������
�������������4,840,018 �������������� �������������4,568,355 �������������� ��������������������5,129,077 ����������
��������������4,991,020
�Ekspor (Ton) ������� �939,853 ����� �����������������443,347 ������������� ����������������426,844 ��������������
����������������428,891 �������������� ������������������������514,882 ��������� �����������������515,511

B. PENGGUNAAN GULA������������� 2,781,243������������� 2,920,116������������� 3,218,281����������� ��3,117,971�������������


3,118,889������������� 3,152,230 - Konsumsi Langsung (penduduk x tkt konsumsi)������������� 1,616,242������������� 1,739,300�������������
1,930,969������������� 1,816,421������������� 1,803,364������������� 1,823,008 - Konsumsi Khusus (Hotel, restoran, catering, RS)����������������
771,624���������������� 782,099���������������� 863,378���������������� 872,927���������������� 882,300����������������
891,486
- Konsumsi industri rumah tangga ����������������� �����������������393,377 ������������� ����������������398,717 ��������������
����������������423,934 �������������� ����������������428,623 �������������� ����������������433,225 ��������������
����������������437,736
- Konsumsi industri besar ������� �Na ���������������� �Na ���������������� �Na ���������������� �Na ���������������� �Na
���������������� �Na
C. Neraca� (A-B) ���� �3,353,023 �� �3,852,778 �� �4,216,103 �� �4,388,164 �� �4,917,903 �� �5,232,246
Keterangan
- Jumlah Penduduk (000 jiwa) �252,165 ����� �255,588 ����� �258,497 ����� �261,356 ����� �264,162 �������������������266,912
- Kenaikan jumlah penduduk (%), rata-rata 1,74% ������������� �1.35 ������������� �1.36 ������������� �1.14 ������������� �1.11 ������������� �1.07
������������� �1.04
- Tingkat konsumsi Kg/kapita/tahun (Susenas) ������������������ �6.41 ������������� �6.81 ������������� �7.47 ������������� �6.95 ������������� �6.83
�������������� �6.83
- Tingkat konsumsi horeka+RS Kg/kap/thn (Sucofindo ���� �3.06 ������������� �3.06 ������������� �3.34 ������������� �3.34 ������������� �3.34
������������� �3.34
- Tingkat konsumsi industri RT Kg/kap/thn (Sucofindo ���� �1.56 ������������� �1.56 ������������� �1.64 ������������� �1.64 ������������� �1.64
������������� �1.64
Keterangan :
*)� Angka sementara������ **) Angka perkiraan (ekpor-impor tahun 2019 Januari-April-Asem� )
- Produksi Tebu 2018 menggunakan sta s k perkebunan Tahun 2018, Direktorat Jenderal Perkebunan
- Produksi gula pasir tahun 2019 sebesar 2,26 juta ton (Ditjen Perkebunan, 2018). Tidak termasuk impor gula Tahun 2018 dan raw sugar diolah menjadi gula pasir Tahun 2018 - Produksi Raw Sugar, bersumber dari DGI
- Stok awal tahun 2019 sebesar 1,46 juta ton (Ditjen Perkebunan, 2019) Stok Fisik Digudang�� PG Tebu ditambah dengan Diluar Gudang PG/ Pedagang*)
- Data ekspor impor tahun 2014-2019 bersumber dari BPS� (Kode HS:17011300,17011400,17019100,17019910,17019990,17031010,17031090,17039010,17039090)
- Konsumsi langsung data Susenas Tw. 1, Tingkat Konsumsi khusus (Horeka) 2012 s.d 2015 : 3,06kg/kap/th, 2016 : 3,34 (kg/kap/th sumber prognosa BKP )
- Tingkat konsumsi Industri rumah tangga 2012 s.d 2015 :1,56 kg/kap/th, 2016 dan 2017 : 1,64 kg/kap/th (Sucofindo )
- Konsumsi industri non rumah tangga yaitu dari penjumlahan ketersedian dengan industri non makanan dlm kg/kap/tahun (NBM) dikurangi ngkat�� konsumsi rumah tangga (Susenas) ditambah ngkat konsumsi horeka dan ngkat konsumsi industri rumah
tangga
- Jumlah penduduk dari proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, BAPPENAS-BPS�������������








11.4� Penyediaan gula pasir di beberapa negara di Dunia


Rata-rata penyediaan gula dunia berdasarkan sumber USDA, periode tahun 2014 � 2018 sebesar 171,878 juta ton. Pada periode ini
total penyediaan gula dunia terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Kumulatif penyediaan gula ke-10 negara terbesar mencapai 62,45%
dari total penyediaan gula dunia. �India merupakan negara terbesar dalam penyediaan gula pada periode tersebut. Lima negara dengan
total penyediaan� terbesar di dunia secara rinci dapat dilihat pada Tabel 11.6. Ada 5 (Lima) negara terbesar yang ratarata
ketersediaannya di atas 5% yaitu India, Uni Eropa, Cina, Amerika Serikat, Brazil dengan rata-rata ketersediaan �Rata-rata total
penyediaan gula di India pada periode tahun 2014 - 2018 mencapai 26,56 juta ton per tahun atau 15,45% dari total penyedian gula
dunia.�

Dua negara berikutnya adalah Uni Eropa dan Cina masing-masing sebesar 18,75 juta ton dan 15,70 juta ton dengan kontribusi
terhadap total penyediaan dunia masing-masing sebesar 10,91% dan 9,13%. Negara terbesar keempat dan kelima adalah Amerika Serikat
dan Brazil dengan kontribusi masing-masing sebesar 6,34% dan 6,25%. Negara lainnya memiliki kontribusi terhadap total penyediaan
dunia dibawah 4%. Sementara Indonesia menempati urutan ke-6 dengan rata-rata total penyediaan gula sebagai bahan makanan sebesar
6,07 juta ton per tahun atau 3,53% dari total penyediaan gula dunia. Persentase kontribusi total penyediaan gula tebu di 10 negara
terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel

11.6. dan Gambar 11.5.



Tabel 11.6. Negara dengan total penyediaan gula� pasir terbesar di dunia, 2014 � 2018�
Ketersediaan (000 Ton)
Share Kumulatif
No Negara Rata2
2014 2015 2016 2017 2018 (%) (%)

1 India 26,500 26,800 25,500 26,500 27,500 26,560 15.45 15.45


2 Uni Eropa 18,700 18,700 18,750 18,800 18,800 18,750 10.91 26.36
3 Cina 15,600 15,800 15,600 15,700 15,800 15,700 9.13 35.50
4 Amerika Serikat 10,785 10,779 10,979 10,930 11,045 10,904 6.34 41.84
5 Brazil 11,400 10,500 10,550 10,600 10,670 10,744 6.25 48.09
6 Indonesia 5,400 5,600 6,323 6,378 6,670 6,074 3.53 51.62
7 Rusia 5,700 5,867 5,942 6,077 5,945 5,906 3.44 55.06
8 Pakistan 4,600 4,800 5,100 5,300 5,500 5,060 2.94 58.01
9 Meksiko 4,638 4,703 4,769 4,512 4,678 4,660 2.71 60.72
10 Mesir 2,900 2,930 2,950 3,050 3,100 2,986 1.74 62.45

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 82/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Negara lain 61,839 63,005 64,545 66,155 67,126 64,534 37.55 100.00

Total Dunia
168,062 169,484 171,008 174,002 176,834 171,878 100.00
Sumber : h p://apps.fas.usda.gov/psdonline/diolah Pusda n
update 8 Mei 2019



Gambar 11.5. Negara dengan penyediaan gula terbesar di dunia,� share������������������ terhadap rata-rata
2014 � 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1970. Isi Kandungan Gizi Daging Ayam. http://www.organisasi.org/1970 /01/isi-kandungan-gizi-daging-ayam-komposisi-nutrisi-
bahan-makanan.html.
[terhubung berkala].

Anonimous, 2013. Analisis Permintaan Daging Ayam pada Tingkat Rumah Tangga.
https://jurnalee.files.wordpress.com/2013/08/analisis-permintaan-daging-ayam-padatingkat-rumahtangga-di-kecamatan-tobelo-
kabupaten-halmahera-utara.pdf.
[terhubung berkala].

Anonimous, 2015. Bensin dari Jagung Sebagai Alternatif Sumber Energi Masa Depan. https://www.kompasiana.com/omgitsamri/bensin-
dari-jagung-sebagai-alternatifsumber-energi-masa-depan_552909eb6ea834b31f8b4586 [terhubung berkala].

Anonimous, 2017. FAO Statistics. http://faostat.fao.org/site/609/default.aspx#ancor.
[terhubung berkala].

Anonimous, 2017. Upaya Kementan. http://www.majalahinfovet.com/2017/06/ begini-upaya-kementan-wujudkan.html
[terhubung berkala].

Anonimous, 2018. Rahasia Gula. http://www.agri-rafinasi.org/tentang-gula/rahasia-gula. [terhubung berkala].

Anonimous, 2019. Custom Query. http://apps.fas.usda.gov/psdonline/psdQuery.aspx
[terhubung berkala].

Anonimous, 2018. Lebih Sehat Dengan 6 Makanan Alternatif Pengganti Nasi.
https://adira.co.id/lebih-sehat-dengan-6-makanan-alternatif-pengganti-nasi/
[terhubung berkala].

Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional, Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia tahun 2018. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional, Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia tahun 2018. Jakarta.

Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 1993 sampai dengan Tahun 2018.
Jakarta.

Kasryno, et al. 2007. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia. Puslitbang TP. Jakarta.

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 83/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

Suarni dan Widowati, S. 2007. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Maros

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 84/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 85/86


11/2/2020 epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm

epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/buletin/konsumsi/2019/Buletin Konsumsi Vol 10 No 1 2019.htm 86/86

Anda mungkin juga menyukai