Anda di halaman 1dari 142

BAB 1

DASAR-DASAR ANALISIS DALAM ILMU MEKANIKA


BAHAN

1.1. Kedudukan Mekanika Bahan dalam Teknik Sipil

Mekanika bahan merupakan ilmu yang mempelajari karakteristik elemen


struktur berkaitan dengan kekuatan (strength), kekakuan (stiffness) dan stabilitas
(stability) akibat adanya beban yang bekerja pada sistem struktur.
Suatu sistem struktur pasti dirancang untuk memenuhi fungsi tertentu dan
menanggung pengaruh luar yang mungkin terjadi. Sebuah gedung perkantoran
berfungsi untuk melindungi komunitas manusia yang melakukan aktifitas di
dalamnya, menanggung dan melindungi segala peralatan yang tersimpan di
dalamnya, memikul berat sendiri serta mampu menahan beban angin maupun gempa
yang mungkin terjadi pada bangunan tersebut.
Beban maupun pengaruh luar yang bekerja pada suatu sistem struktur akan
menimbulkan tanggap (response) dari sistem struktur itu sendiri. Struktur yang pada
awalnya menempati kedudukan awal (initial configuration) yang seimbang dengan
beban nihil, akan berpindah untuk mencapai kedudukan akhir yang berimbang
dengan beban yang bekerja. Perpindahan (displacement) pada setiap titik bermateri
dalam sistem struktur terjadi secara tidak seragam sehingga menimbulkan deformasi.
Hal inilah yang menimbulkan gaya dalam pada setiap elemen struktur, sebagai reaksi
akibat bekerjanya beban luar untuk diteruskan ke bagian tumpuan.
Ilmu mekanika bahan ini sangat berguna dalam membantu para ahli di bidang
teknik sipil untuk melakukan perancangan struktur secara optimal yang memenuhi
persyaratan;
A.) Setiap elemen harus mampu menahan gaya luar (external force) yang
bekerja dalam sistem struktur.

B.) Deformasi yang terjadi akibat bekerjanya beban pada semua


elemen struktur tidak boleh terjadi secara berlebihan meskipun kekuatan
material yang digunakan masih mencukupi. Hal ini disebabkan karena deformasi yang
terlalu besar akan menyebabkan tidak optimalnya fungsi sistem struktur dan timbulnya
rasa tidak aman dan nyaman bagi penggunanya.
C.) Pada saat beban bekerja, semua elemen struktur harus tetap dalam
kondisi seimbang. Stabilitas struktur yang tidak memadai dapat
menimbulkan deformasi tidak diperkirakan sebelumnya, misalnya
suatu kolom langsing menanggung beban aksial maka akan timbulnya
kemungkinan kegagalan akibat fenomena tekuk (buckling).

1.2. Asumsi-Asumsi yang digunakan

Beberapan anggapan dasar yang sering digunakan dalam berbagai


penyelesaian analisis matematis berkaitan dengan mekanika bahan meliputi :
A.) Kontinuitas (continuity). Semua titik bermateri yang ada dalam
elemen struktur dianggap selalu berhubungan secara kontinu. Pada
kenyataannya tidak ada material kontinu sempurna, karena setiap
bahan tersusun dari atom yang juga berongga. Tetapi karena elemen
struktur yang diperhitungkan berukuran jauh lebih besar dari jarak
susunan atom, maka asumsi ini dapat digunakan.

B.) Homogen (homogeneity). Anggapan ini berarti semua titik bermateri


yang ada dalam elemen struktur diasumsikan memiliki sifat
(properties) yang sama.
C.) Isotropis (isotropy). Semua titik bermateri dalam elemen struktur
dianggap memiliki sifat (properties) yang sama dalam segala arahnya.

D.) Tidak ada tegangan awal (stress-free material). Hal ini berarti dalam
material yang digunakan sebagai elemen struktur bebas dari segala
tegangan sisa (residual stress) yang mungkin timbul pada proses
fabrikasi.

E.) Memenuhi prinsip Saint Venant yang menyatakan distribusi tegangan


yang terdapat pada potongan tampang melintang (cross-section)
dianggap seragam, kecuali pada bagian ujungnya.

2
1.3. Klasifikasi Elemen Struktur Bangunan Sipil menurut Arah Beban

Dalam bidang Teknik Sipil berbagai elemen struktur dapat dibedakan


menurut jenis beban yang bekerja padanya. Jenis-jenis struktur yang sering
digunakan antara lain :
A.) Elemen Struktur dengan Beban Longitudinal

i.) Batang Tekan merupakan elemen struktur dengan beban


aksial tarik. ii.) Batang Tarik merupakan elemen struktur dengan beban
aksial tekan. iii.) Kolom merupakan batang tekan yang pada umumnya
diletakkan
dengan posisi vertikal.
B.) Elemen Struktur dengan Beban Transversal
i.) Balok yang pada masing-masing ujungnya diberikan tumpuan.
ii.) Kantilever merupakan balok dengan tumpuan jepit pada salah satu
ujungnya.
C.) Elemen Struktur dengan Beban yang bekerja di atas Luasan
Bidang

i.) Plat merupakan elemen struktur berupa luasan yang pada umumnya
diletakkan pada posisi horisontal dengan beban transversal
diatasnya.
ii.) Panel merupakan sejenis plat dengan posisi vertikal.
iii.) Cangkang merupakan elemen struktur sejenis plat yang berbentuk
kurvatur.

a.) i.

a.) ii
a.) iii

b.) i b.) ii
3
c.) i

c.) ii

c.) iii

Gambar 1.1. Jenis Elemen Struktur dan Pembebanan

1.4. Tumpuan
Jenis-jenis tumpuan yang sering digunakan dalam bidang teknik sipil dapat
dibedakan menurut arah reaksi dan kekangan yang diberikan. Jenis-jenis tumpuan
tersebut meliputi :
A.) Rol merupakan tumpuan yang hanya memberikan reaksi dalam arah
vertikal, sehingga terjadi pergerakan dalam arah horisontal dan rotasi.

B.) Sendi merupakan tumpuan yang memberikan reaksi dalam arah vertikal
dan horisontal, sehingga hanya terjadi perpindahan dalam bentuk rotasi.

C.) Jepit merupakan jenis tumpuan yang mampu memberikan reaksi dalam
bentuk gaya arah vertikal, horisontal dan momen sehingga tidak ada lagi
pergerakan yang dapat terjadi.

a. b. .

Gambar 1.2. Jenis Tumpuan dan Arah Reaksi

4
1.5. Formulasi Umum Sifat Penampang Datar

Dalam analisis struktur, khususnya mekanika bahan sering kali muncul


kebutuhan untuk mendefinisikan sifat-sifat geometris (geometrical properties)
bidang datar yang digunakan. Misalnya, beban aksial yang bekerja pada suatu
batang akan menimbulkan intensitas gaya (tegangan) yang dihitung sebagai
besaran gaya per satuan luas penampang, sehingga muncul kebutuhan untuk
menentukan luas tampang datar dalam perhitungan tegangan.
Bahasan materi dalam bagian ini mencakup penyajian formulasi dan
langkah penghitungan beberapa sifat geometris bidang datar. Sifat-sifat geometris
tampang datar (cross-sectional properties) yang sering diterapkan dalam
mekanika bahan di antaranya; luas, momen statis dan momen inersia.
Semua besaran sifat tampang datar dapat diwakili oleh formulasi terpadu
yang ada di bawah ini.

m
Mx =
∫ y mdA 1.1.a.)
A
n
My =
∫ xn dA 1.1.b.)
A

m n m n
Mx y =∫y x dA 1.1.c.)

n n 2 2 n/2
M r = ∫ r dA = ∫( x + y ) dA 1.1.d.)
A A

m
di mana Mx merupakan momen ke-m dari tampang datar terhadap sumbu X,
n n
My momen ke-n terhadap sumbu Y dan Mr adalah momen ke-n dari tampang datar
m n

terhadap sumbu Z, sedangkan Mx y merupakan momen sentrifugal


tampang datar.

1.6. Luas Penampang

Luas tampang (A) merupakan luas bidang datar yang dihitung menurut
fungsi sumbu X dan Y, mewakili luas tampang melintang elemen struktur yang
menanggung beban di atasnya. Rumus untuk menghitung luas tampang
merupakan kasus paling khusus dari Persamaan (1.1.) di mana m = n = 0,
sehingga diperoleh Persamaan

A = ∫dA (1.2.)
A

di mana dalam tata sumbu Kartesius misalnya, dapat digunakan bentuk


diferensial luas dA = dx.dy.

dA
dx

x dy

y
X

Gambar. 1.1. Luasan Tampang datar

1.7. Momen Statis

Didefinisikan sebagai momen pertama luasan tampang yang dihitung


berdasarkan jarak pusat berat luasan (A) terhadap sumbu yang ditinjau (X dan Y).
Rumus yang digunakan untuk menghitung momen statis ini didapatkan dengan
menggunakan Persamaan 1.1.a dan 1.1.b dengan nilai m = 1 dan n = 1, sehingga
diperoleh Persamaan berikut :

1
S x = M x = ∫ y dA 1.3.a.)
A

1
S y = M y = ∫ x dA 1.3.b.)
A

6
1.8. Pusat Berat Penampang

Titik berat suatu penampang dapat dipandang sebagai sebuah titik, yang jika
seluruh permukaan dipusatkan (lumped) di sana, akan memberikan momen statis
yang nilainya sama terhadap kedua sumbu atau terhadap sumbu manapun juga,
dengan kata lain momen statis suatu penampang terhadap semua garis yang
melalui pusat berat penampang selalu bernilai nol.
Koordinat pusat berat tampang dapat dihitung menggunakan Persamaan di
bawah ini;

x.dA
y

0 1.4.a.)
dA

y.dA

x 1.4.b.)

dA
A

d dA
x
x (X0, Y0)
dy

Sy y
X

Sx

Gambar. 1.2. Momen Statis Tampang datar


1.9. Momen Inersia

Momen Inersia (Ix dan Iy) merupakan momen kedua dari luasan
tampang
(A) yang dihitung menurut kwadrat jarak antara pusat berat luasan (A) dengan
sumbu yang ditinjau (X dan Y), sedangkan momen inersia (J) yang dihitung
terhadap sumbu yang tegak lurus luasan tampang (sumbu Z) disebut sebagai
momen inersia polar. Nilai ketiga jenis momen inersia tersebut (Ix, Iy dan J)
selalu berharga positif. Momen sentrifugal (Ixy) yang dihitung berdasarkan jarak
luasan tampang terhadap sumbu X dan Y dapat mengambil semua nilai real
(positif, negatif maupun nol). Rumus yang digunakan untuk menghitung momen
statis ini didapatkan dengan menggunakan Persamaan 1.1.a dan 1.1.b dengan nilai
m = 2 dan n = 2, nilai m = n = 1 pada Persamaan 1.1.c dan nilai n = 2 pada
Persamaan 1.1.d, sehingga diperoleh Persamaan berikut :

2
Ix =Mx =
∫ y 2dA 1.5.a.)
A
2
Iy =My =
∫ x2dA 1.5.b.)

1 1
I xy = M x y = ∫ yx dA 1.5.c.)

2 2 2 2
J = M r = ∫ r dA = ∫( x + y )dA = I y + I x 1.5.d.)
A A

r x
dA
y
X
Gambar. 1.3. Momen Inersia Tampang datar
Tabel 1.1. Momen Inersia Tampang yang Sering Digunakan

Momen Inersia
Bentuk Tampang _ _ Tampang
Y
X
0 0

Empat b/ h/
Persegi 2 2 Ix = b.h3/12

Panjang h Iy = h.b3/12

Jo = (b.h3 + h.b3)/12
Ixy = 0

b/ h/
Segitiga 3 3 Ix = b.h3/36
Siku-
Siku h Iy = h.b3/36

Jo = (b.h3 + h.b3)/36
Ixy = -b2.h2/72

Lingkar D= D D
an 2.R /2 /2 Ix = π.D4/64 = π.R4/4

Iy = π.D4/64 = π.R4/4

Jo = π.D4/32 = π.R4/2
Ixy = 0

Ellipse h b Ix = π.b.h3/4
2
.h Iy = π.h.b3/4

Jo = π.b.h(h2 + b2)/4
2
.b Ixy = 0

Setenga D 4.
h /2 R/3.π
Lingkar
an Iy = π.R4.(1/8
Ix /8 – 8/9π2)
R
Jo = π.R4.(1/4 – 8/9π2)
D
Ixy = 0

Semi- 4.
ellippse b h/3.π Ix = π.b.h3.(1/8 – 8/9π2)
h Iy = π.h.b3/8
Jo = π.b.h(h2/8 – 8h2/9π2
b + b2/8)

Ixy = 0
1.10. Radius Girasi

Radius (jari-jari) girasi didefinisikan sebagai sebagai letak suatu titik


terhadap tata sumbu yang melalui pusat berat tampang, di mana apabila seluruh
permukaan dipusatkan di sana akan memberikan momen inersia yang sama
terhadap sumbu tersebut. Dalam bentuk Persamaan matematis dapat dinyatakan
bahwa :
2

rx .A = I x (1.
6.a.)

(1.
2 6.b.)
rz .A = J

(1.
Selanjutnya radius girasi rx, ry dan rz dinyatakan dalam 6.c.)
rumus :

(1.
=
7.a.)

(1.
1
2 7.b.)
z

(1.
7.c.)
dius girasi memberikan indikasi tendensi penyebaran permukaan
B tampang relatif terhadap pusat berat. Untuk luas tampang (A) yang
e sama dengan nilai radius girasi yang lebih besar maka semakin jauh
s pula titik-titik permukaan menyebar dari pusat permukaan tampang,
a dan semakin kecil jari-jari girasi maka semakin dekat sebaran titik-
r titik permukaan dari pusat berat. Radius (jari-jari) girasi terhadap
a sumbu X dan Y (rx dan ry) selalu bernilai positif.
n

r
a
I
st

A
I = ∫s.t.dA = (x.cosα + y.sinα ).(− x.sinα + y.cosα ).dA
st 0
A A A A
I 2 2 2 2
= − ∫ x .dA.cosα .sinα + ∫ y .dA.sinα .cosα − ∫ x.y.dA.sin α + ∫ x. y.dA.cos α
st 0 0 0 0
2 2
I = − I y .cosα .sinα + I x .sinα .cosα − I xy .sin α + I xy .cos α
st

I
st
sin 1− 1+
sin 2α 2α cos 2α cos 2α
=
−Iy. Ix. I xy . I xy
2 2 2 2

I
.sin 2α + I xy .cos 2α (1.14.)
Nilai ekstrim momen inersia serta arah tata sumbu yang bersangkutan (yang
ditentukan oleh sudut rotasi α relatif terhadap sumbu X) dapat diperoleh dengan
menyamakan turunan terhadap α dengan nol, sehingga diperoleh :

I I
I
=
s .cos 2α − I xy .sin 2α

Is I

−2. .sin 2α − 2.I xy .cos 2α


α

I
.sin
= −2. I xy .cos 2α + 2α

2.I xy .cos 2α + (I x −Iy ).sin 2α =0


− 2.I xy .cos 2α = (I x −Iy ).sin 2α
sin 2
2α .I xy

(
cos
2α Ix −Iy)
2
tan
.I xy
2α s = − (1.15.)
(
Ix −Iy)

Analog Persamaan di atas maka diperoleh :


2
tan .I xy (1.16.)
2αt = −
Sudut putar untuk mendapatkan nilai momen inersia sentrifugal ekstrim
dapat diperoleh menurut Persamaan di bawah ini :

I
=
st .sin 2α + I xy .cos 2α

I
I st y

2. .cos 2α − 2.I xy .sin 2α


α

I
0
=2. .cos 2α − I xy .sin 2α

2.I xy .sin 2α = (I x − I
y ).cos 2α
s I
in 2α x −Iy
+
2
c
os 2α .I xy

(
tan
Ix −Iy)
2α st = + (1.17.)
2.
I xy

Analisis sifat tampang datar akibat transformasi sumbu juga dapat dilakukan
dengan cara grafis yang dikenal dengan Metode Lingkaran Mohr. Keandalan
metode ini sangat tergantung pada kecermatan penggambaran, ketelitian
pengukuran skala dan sudut putar. Berikut ini disampaikan urutan langkah
penggambaran Lingkaran Mohr untuk analisis sifat tampang datar :
A.) Tentukan suatu tata sumbu Kartesius dengan besaran Ix dan Iy diukurkan
pada sumbu absis dan besaran Ixy pada ordinat dengan skala yang tepat.

B.) Tentukan titik O sebagai pusat lingkaran dengan nilai (I x + Iy)/2 pada arah
sumbu mendatar.
C.) Pada titik dengan absis Ix dan Iy, masisng-masing diukurkan Ixy sebagai
ordinat, sehingga diperoleh titik A(Ix, Ixy) dan titik B(Iy, -Ixy).
D.) Gambarkan lingkaran dengan pusat titik O((Ix + Iy)/2,0) melalui titik
A dan

I
titik B. Jari-jari lingkaran ini dapat dihitung
sebesar I xy
+

E.) Perpotongan lingkaran dengan sumbu absis memberikan nilai Ix dan Iy


ekstrim (maksimum di sebelah kanan (C) dan minimum di sebelah kiri (A)).

14

F Arah sumbu ekstrim As=At untuk mendapatkan


.) inersia maksimum
diberikan oleh setengah sudut AOC yang setara dengan besar sudut
ADC,

atau setengah sudut BOD. Arah sumbu ekstrim Ast diberikan sebagai
setengah sudut AOE atau setengah sudut BOF. Dalam hal ini perputaran
sumbu dianggap positif jika berlawanan dengan putaran jarum jam.

Ix +I
y
2

O
O
B

F
Ix −I
y
2
Keterang
an :
B(Iy, C(Is
A(Ix, Ixy) -Ixy) max, 0)
D(Is min,
E(0, F(0,
0) Ist max) Ist min)

Gambar 1.5. Lingkaran Mohr untuk Analisis Inersia Tampang

15
Berdasarkan Gambar 1.5, ada beberapa hal penting yang dapat disampaikan
yaitu :
A.) Tata sumbu yang memberikan nilai Is dan It ekstrim membentuk sudut
o
sebesar π/4 atau 45 terhadap sumbu yang memberikan nilai Ist
ekstrim.
B.) Pada saat nilai ekstrim untuk Is dan It tercapai, maka nilai Ist selalu
berharga nol.
C.) Untuk kasus dengan Ixy = 0, maka nilai Ix dan Iy pada sumbu absis
juga merupakan nilai Is dan It ekstrim.

D.) Pada kasus dimana nilai Ix = Iy dan Ixy = 0, maka nilai Is = It = Ix = Iy


untuk semua arah sumbu.
E.) Nilai Ist ekstrim sama dengan besarnya jari-jari lingkaran mohr yang
terbentuk, atau dapat juga dinyatakan sebagai setengah dari selisih
momen inersia non-silang maksimum dan minimum ((I s max – Is min)/2).

Selanjutnya nilai momen inersia ekstrim dapat dihitung dengan Persamaan


di bawah ini :

I I
2
max I xy (1.18.)

I
max ± I xy (1.19.)
t

1.12. Contoh Penerapan

Contoh 1.1. : Suatu balok yang memiliki bentuk tampang T, dengan ukuran yang
tercantum pada Gambar 1.6. Hitung nilai inersia ekstrim dari
tampang balok tersebut.
I 0 cm

y2

II y1 Y1
Y Y
0 2 5 cm

45 30 cm45
cm cm

Gambar 1.6. Tampang Melintang Balok T

Penyelesaian
Untuk mempermudah penyelesaian soal, dapat digunakan tabel perhitungan
dengan membagi tampang melintang balok menjadi dua bagian luasan.

a. Perhitungan sifat tampang dengan acuan sumbu X

B L S d I A.
0 2
agian uas A y x y x dy
( (c (c ( (c (c
2 3 4 4
cm ) m) m) cm) m) m)
8 96000 2 10000 73329
I 1200 0,00 ,00 4,72 ,00 4,08
3 84375 - 10546 71128
II 2250 7,50 ,00 17,78 87,50 8,90
18037 10646 14445
3450 - 5,00 - 87,50 82,98

=
= Sx 80375 55,28 cm
34
A 50
0 2
I + A.dy = 1064687,50 + 1444582,98 =
4
X =IX 2509270,48 cm
b. Perhitungan sifat tampang dengan acuan sumbu Y

Ba L S d I A.
0 2
gian uas A x y x y dx
( ( (c ( ( (c
2 3 4 4
cm ) cm) m) cm) cm ) m)
6 14
I 1200 0 72000 0 40000 0
I 6 13500 16
I 2250 0 0 0 8750 0
20700 16
3450 - 0 - 08750 0

X Σ 2 = c
= Sy =07000 60 m
Σ 3
A 450
0 2
I + A.dx = 1608750,00 + 0,00 =
4
Y =IY 1608750,00 cm

c. Perhitungan momen inersia sentrifugal

Bagi Lu d A.d
an as A x y dy x x.dy
(c (c (c (c ( (c
2 4
m) m) m) m) cm) m)
80 24,
I 1200 60 ,00 72 0 0
37 -
II 2250 60 ,50 17,78 0 0

3450 - - - 0 0

4
I XY = ΣA.dx.dy = 0 cm

I I
I

s
=
.cos 2α − I xy .sin 2α

I I
− I
s
I
=
cos 2.0
.
xy .sin 2.0

2509720,48 + 2509270,48 −
1608750,00 1608750,00 0 0
.cos 0 − 0.sin 0
2 2
2509720,48 + 2509270,48 −
1608750,00 1608750,00
s .1 − 0.0
2 2
Is = 2059010,24 + 450260,24 − 0

4
Is = 2509270,48 cm

e. Perhitungan momen inersia sentrifugal ekstrim cara analitis

tan 2α st = + (2509270,48 − 1608750,00)


2.0
tan 2α st = ∞
0
Ast = 45

I
st =
.sin 2α + I xy .cos 2α

I 0
.sin
st = 2.45 + I xy .cos 2.45

2509270,48 −
1608750,00
= 0
.sin 90 + 0.cos 90
0

t
2
2509270,48 −
1608750,00
st .1 + 0.0
2
Ist = 450260,24 + 0

4
I st = 450260,24 cm
f. Penentuan momen inersia ekstrim dengan lingkaran Mohr

B A
O

D C

F
Gambar 1.7. Lingkaran
Mohr

Berdasarkan Gambar di atas dapat ditentukan secara skalatis bahwa


Besarnya momen inersia ekstrim pada titik C berimpit dengan titik
.) A, maka
4
s max = Ix = 2509270,48 cm
Besarnya sudut putar untuk mendapatkan momen inersia ekstrim
i.) pada titik
C dapat diukur menurut sudut AOC

0
.As 0

0
s 0
Besarnya momen sentrifugal ekstrim pada titik E dapat
ii.) inersia diukur
menurut jari-jari lingkaran Mohr, atau sebesar
I
−I 2509270,48 −
st max R=
max min 1609750,00
2
=
4
450260,24 cm
Besarnya sudut putar untuk mendapatkan momen inersia sentrifugal
v.) ekstrim
pada titik E dapat diukur menurut sudut AOE

0
.Ast 90
Soal Latihan

1.1. Tentukan besaran sifat-sifat tampang berikut nilai momen inersia ekstrim
dari bentuk-bentuk penampang yang tergambar di bawah ini :

110 mm
a.)

10 mm

220 mm 1
0 mm

110
mm

.) 0 mm

10 2
mm 20 mm

200 mm
10 mm
c.)

2
8 mm 20 mm

110 mm

21
5

BAB II
DASAR TEORI

2.1. Teori Tegangan – Regangan Umum


Untuk merancang sistem perpipaan yang baik dan benar, seorang engineer
harus memahami perilaku sistem perpipaan akibat pembebanan dan regulasi yang
mengatur perancangan sistem perpipaan itu sendiri. Perilaku pada sistem
perpipaan antara lain digambarkan dengan parameter-parameter fisik berikut,
seperti : perpindahan, percepatan, tegangan, gaya, momen, dan besaran-besaran
lainnya. Kegiatan di dalam engineering untuk memperoleh perilaku sistem
perpipaan ini dikenal dengan analisis tegangan pipa.
Tegangan () dalam suatu elemen mesin adalah besarnya gaya yang
bekerja tiap satuan luas penampang. Tegangan dapat diketahui dengan melakukan
pengujian, dan besarnya kekuatan sangat tergantung pada jenis material yang
diuji. Bahan yang sering dan umum digunakan adalah baja (steel). Rumus untuk
mencari nilai tegangan, yaitu:
y
..…….................................................................................
F (2.1)

A
Dengan :
(B) = Tegangan (N/m 2 )
F = Gaya yang diberikan (N)

A = Luas penampang (m 2 )
Regangan () merupakan perubahan panjang per satuan panjang awal.
Regangan rata-rata dinyatakan oleh perubahan panjang dibagi dengan panjang
awal, atau secara matematis dapat dituliskan :
ΔL
ε L .
……...............................................................................(2.2)
4
5

D
engan :
Regangan

Perubahan panjang batang (m)

L L1L

Akhir panjang batang (m)

L Panjang batang awal (m)


1

Gambar 2.1. Kurva Tegangan – Regangan untuk Baja Karbon. Pradana


(2014)

(I) Titik a adalah batas proporsional


(J) O – B adalah daerah elastis, dimana :

Regangan (deformasi = perubahan bentuk) akan sebanding dengan


tegangan yang bekerja :
S = E .ε (Hukum Hooke)
Dengan : σ = Tegangan
E = Modulus elastisitas
I = Regangan
Apabila beban tidak bekerja lagi, maka material akan kembali ke
bentuk semula.
I X2 – X3 adalah daerah plastis, dimana :

Tegangan yang bekerja melampaui kekuatan luluh (yield
strength)
6

material, maka perubahan bentuk yang terjadi akan permanen


meskipun beban ditiadakan.
I X4 adalah daerah tegangan material tertinggi, dimana :

Tegangan mencapai harga kekuatan tarik (tensile strength) material,


maka material akan mengecil di bagian tertentu dan akhirnya
patah/putus.

2.2. Macam-macam Tegangan yang Terjadi Pada Suatu Material


2.2.1. Tegangan Normal
Syidad (2016) mengatakan tegangan normal ( ) adalah intensitas gaya yang
bekerja normal (tegak lurus) terhadap irisan yang mengalami tegangan. Bila gaya-
gaya luar yang bekerja pada suatu batang yang sejajar terhadap sumbu utamanya dan
potongan batang penampang tersebut konstan, tegangan internal yang dihasilkan
adalah sejajar pada sumbu-sumbu tersebut. Terdapat beban-beban yang menyebabkan
terjadinya tegangan normal, yaitu:
A. Gaya Tarik
Kekuatan dari gaya tarik dapat diperoleh dengan melakukan percobaan uji
tarik terhadap spesimen yang mempunyai luas penampang A dan panjang L, seperti
ditunjukkan pada gambar 2.3. Spesimen dijepit pada mesin uji lalu diberikan gaya
tarik berlawanan arah, hingga spesimen tersebut putus. Spesimen tersebut akan

mengalami yang disebut pertambahan panjang (∆L) dan pengecilan luas penampang
pada bagian yang memiliki kekuatan yang lebih besar.
7

Gambar 2.2. Spesimen Uji Tarik. Ceper


(2011)

F ...........................................................
........................
t (2.3)
A
D
engan :
= Tegangan
t tarik (N/m )
= Gaya yang diberikan (N)
= Luas penampang (m 2 )
B. Momen Lentur

Gambar 2.3. Momen Lentur. Haris (2015)


8

2.2.2. Tegangan Geser


Mytho (2010) mengatakan tegangan geser () adalah tegangan yang bekerja
sejajar dengan bidang pembebanan. Tegangan geser terjadi jika suatu benda bekerja
dengan dua gaya yang berlawanan arah, tegak lurus sumbu batang, tidak segaris gaya
namun pada penampangnya tidak terjadi momen. Tegangan ini banyak terjadi pada
konstruksi. Macam-macam beban yang menyebabkan terjadinya tegangan geser
adalah sebagai berikut :

A. Gaya Geser
Gaya geser cenderung untuk memutar bahan searah jarum jam dan bekerja
kebagian bawah. Gaya geser ada dua macam yaitu geser tunggal dan geser ganda,
sebagaimana ditunjukan pada gambar 2.4 ini adalah gaya geser tunggal :

Gambar 2.4. Gaya geser Tunggal. Subhan (2015)

................................................................................................
(2.4)
D
engan :

=g I Tegangan geser (N/m )


2

F Gaya geser yang bekerja (N)


A 2
Luas penampang (m )
9

B. Momen Puntir
Puntir adalah suatu kondisi yang dialami oleh suatu benda, dimana terjadi
akibat adanya gaya yang bekerja berlawanan arah terhadap kedua ujungnya. Khoonah
(2014) mengatakan bila material mendapat beban puntiran, maka antara suatu
penampang lintang dengan penampang lintang yang lain akan mengalami pergeseran
sebagaimana ditunjukan pada gambar 2.5 yang menunjukkan terjadinya pergeseran
yang akan mengakibatkan rotasi pada penampang lintangnya.

Gambar 2.5. Batang Silindris dengan Beban Puntiran. Khoonah (2014)

2.3. Kode Standar Desain Pipa


Kode standar desain pipa adalah pedoman untuk mendesain atau membangun
suatu sistem perpipaan yang dibuat dengan berdasarkan pengalaman-pengalaman para
engineer dibidang industri, tujuan utamanya adalah sebagai solusi dari masalah-
masalah mengenai terjadinya banyak kegagalan pada sistem perpipaan karena tidak
dibuat atau dirancang dengan aman.
Menurut Santoso (2014) pada saat ini terdapat beberapa kode standard dari
komite B31, yang sering dipakai sebagai pedoman di Indonesia sesuai dengan
kebutuhan masing-masing industri, yaitu :
I ASME / ANSI B31.1 digunakan pada sistem perpipaan di industri
pembangkit listrik.
J ASME / ANSI B31.3 digunakan pada sistem perpipaan di industri proses &
petrokimia
1
0

I ASME / ANSI B31.4 digunakan pada pipe transport minyak dan zat cair
lainnya.
J ASME / ANSI B31.5 digunakan pada sistem perpipaan pendingin
K ASME / ANSI B31.8 digunakan pada pipa transport gas
Selain ASME B31, ada beberapa kode standar pipa yang lain, baik
dari
Amerika maupun dari negara lain, seperti :
I ASME Boiler and pressure Vessel, section III, subsection NB, NC, ND, untuk
sistem perpipaan di industri pembangkit listrik tenaga nuklir.
J API kode seri untuk industri di bidang migas.
K Stoomwezen dari Belanda.
L SNCT kode dari Prancis untuk petrokimia.
M Canadian Z662 dari Kanada.
N BS7195 dari Inggris.
O NORWEGIAN dan DNV dari Norwegia.
Kode standar desain pipa ini bukanlah buku petunjuk perancangan yang
memberi instruksi bagaimana cara merancang atau membuat sistem perpipaan. Kode
standar desain pipa ini hanya sebuah alat yang digunakan untuk mengkaji sebuah
rancangan sistem perpipaan dengan memberikan persamaan-persamaan yang telah
disederhanakan guna menentukan besarnya tegangan dan menjamin keamanan pada
sistem perpipaan.

2.4. Beberapa Tahap Perancangan Dalam Analisis Tegangan Pipa


Analisis tegangan pipa adalah suatu ilmu yang membahas tentang aspek
tegangan yang terjadi dalam suatu instalasi perpipaan akibat beban-beban yang
terjadi. Berfungsi untuk memeriksa tegangan maksimum yang terjadi pada sistem
perpipaan agar tidak melebihi tegangan yang diizinkan material.
Menurut Santoso (2007) analisa tegangan pipa juga sebagai salah satu bagian
dari proses perancangan sistem perpipaan dan pipe transport, yang berkaitan erat
dengan tata letak pipa, perancangan pada sistem spesifikasi pipa, serta perancangan
1
1

tumpuan pipa (piping support). Sebagaimana ditunjukan pada gambar 2.6.


Hubungan antara beberapa disiplin ilmu yang berhubungan dengan analisa tegangan
pipa :

Diagram
Perancangan Tata SistemSpesifik
Proses dan
Letak Pipa asi Pipa
Instrumentasi

Analisis Fleksibilitas dan


Tegangan Pipa

Perancangan Laporan Gambar Akhir Tata


Tumpuan Analisa Letak
Pipa Tegangan Pipa

Gambar 2.6. Hubungan Antara Beberapa Disiplin Ilmu. Santoso (2007)

Hasil-hasil yang dihasilkan dari kelompok analisa tegangan pipa mencakup


dan menginformasikan mengenai data yang berisi gambar isometrik pipa beserta
informasi mengenai tegangan, gaya dan perpindahan, serta data input dan output dari
perangkat lunak (software). Hasil-hasil yand diperoleh dapat digunakan atau
difungsikan sebagai acuan perubahan tata letak pipa, tumpuan pipa, dan penyusunan
laporan analisa tegangan.

2.5. Teori Dasar Tegangan Pipa


Dalam perancangan suatu sistem perpipaan, seorang engineer harus mengerti
prinsip dasar tegangan pipa dan hal-hal yang berhubungan dengan tegangan pipa.
Sebuah konstruksi pipa akan dinyatakan rusak apabila tegangan dalam yang terjadi
melebihi tegangan batas material atau tegangan yang diizinkan.
Tegangan dalam pipa disebabkan oleh beban luar seperti berat mati, tekanan,
pemuaian termal dan bergantung pada geometri pipa dan jenis material pipa.
1
2

Sedangkan tegangan batas yang diizinkan lebih banyak ditentukan oleh jenis
material dan metode produksinya.
Dalam membahas kode standar, pengertian tegangan pipa dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
a. Tegangan pipa aktual, yaitu tegangan hasil pengukuran dengan
perhitungan analisa secara manual ataupun dengan perangkat lunak
komputer.
b. Tegangan pipa kode, yaitu tegangan hasil perhitungan dengan
menggunakan persamaan tegangan yang tertera dalam kode standar
tertentu.
Menurut Santoso (2007) tegangan adalah besaran vektor yang selain memiliki
nilai juga memiliki arah. Nilai dari tegangan didefinisikan sebagai gaya (F) per satuan
luas (A). Untuk mendefinisikan arah pada tegangan pipa, sebuah sumbu prinsip pipa
dibuat saling tegak lurus sebagaimana ditunjukan pada gambar 2.7

Gambar 2.7. Prinsip Arah Tegangan pada Pipa. Santoso (2007)

Sumbu terletak di bidang tengah dinding pipa dan salah satu yang arahnya
sejajar dengan panjang pipa disebut sumbu axial atau longitudinal. Sumbu yang tegak
lurus terhadap dinding pipa dengan arahnya bergerak dari sudut pipa menuju luar
13

pipa disebut sumbu radial, sedangkan sumbu yang sejajar dengan dinding
pipa tapi tegak lurus dengan sumbu axial disebut sumbu tangensial.

2.6. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Tegangan Dalam Pipa


Beberapa faktor yang dapat menyebabkan tegangan dalam pipa, antara
lain:
= Beban panas (thermal)
= Beban berat (komponen-komponen pipa dan fluida)
= Tekanan internal
2.6.1 Beban Panas (Thermal)
Menurut Santoso (2007) suhu yang sangat tinggi tentu saja akan
menimbulkan
perubahan panjang pada pipa. Perubahan panjang pipa :
ΔL  L1  L0  α.(T1  T0 ).L0
............................................................. 2.15)

Tegangan aksial yang


terjadi, 

J  E.ε  E. ΔL  E.α.α1 T0).L0 .................................................


(2.16)
L0L0
σ  E . α . (T 
T ) ............................................................................... (2.17)
0
D
engan :
Tegang
an (N/m )
Regan
gan (m)
Modulus elastisitas
2
(N/m )
L = Perubahan panjang batang (m)
Suhu awal atau
instalasi ( )
Suhu F
1 operasi ( )
Koefisien muai
material pipa

Pertambahan panjang batang(m)


L0 = Panjang awal (m)
1
4

2.6.2 Beban Berat


Tegangan-tegangan yang terjadi pada sistem perpipaan juga diakibatkan oleh
pengaruh berat. Gaya berat ini arahnya sama dengan pada umumnya yaitu vertikal ke
bawah sesuai dengan arah gravitasi. Beban tersebut dibagi menjadi 2, yaitu :
J Beban mati (dead load)
Beban mati adalah beban dengan kondisi atau besar yang konstan,
meliputi berat pipa dan berat komponen-koponen pipa.
K Beban hidup (live load)
Beban hidup adalah seluruh beban yang tidak tetap, meliputi berat
pipa, komponen-komponen pipa dan berat fluida yang mengalir.
Beban berat sendiri akan menimbulktan terjadinya defleksi atau lengkungan.
Masalah yang terjadi pada beban berat rata-rata dialami pada pipa-pipa yang memiliki
diameter besar. Arah dari beban berat sendiri adalah ke bagian bawah.
Sebuah beban berat dapat diatasi dengan menambah penyangga pipa (pipe
support), untuk menghemat jumlah penyangga pipa dapat dilakukan dengan membuat
bentangan (span) yang besar, namun span yang besar juga pasti akan menimbulkan
lengkungan yang besar sehingga pasti akan menimbulkan tegangan yang besar .
Sehingga penambahan bentangan (span) maksimum yang diperbolehkan, tergantung
dari diameter dan schedule pipa.

2.6.3 Tekanan Internal


Tekanan Internal dari fluida kerja yang mengalir di dalam pipa akan
menimbulkan tegangan-tegangan pada pipa. Menurut Santoso (2007) untuk tekanan
yang relatif kecil, pengaruh tegangan yang ditimbulkan juga relatif kecil, sebaliknya
untuk tekanan tinggi akan menyebabkan tegangan yang tinggi pula, sebagaimana
ditunjukan pada gambar 2.8
1
5

(a) Sambungan Transversal/Tangensial (b) Sambungan Longitudinal/Aksial

Gambar 2.8. Sambungan pada Pipa. Santoso (2007)

Jenis-jenis tegangan yang terjadi menurut jenis sambungan pada pipa adalah :
J Tegangan Longitudinal atau Aksial
Tegangan longitudinal adalah tegangan yang arahnya sejajar dengan pipa.
Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya tegangan longitudinal seperti axial force
dan internal pressure.
J Tegangan Transversal
Tegangan transversal ini terjadi pada pipa dengan jenis sambungan
longitudinal atau aksial.

2.7. Teori Tegangan Normal Maksimum


Teori tegangan normal maksimum merupakan sebuah teori kegagalan yang
sederhana, Santoso (2007) mengatakan kegagalan akan terjadi bila tegangan normal
maksimum terjadi melebihi dari tegangan luluhnya.

2.8. Teori Tegangan Geser Maksimum (TRESCA)


Teori ini sering disebut juga dengan teori Tresca. Tresca menulis suatu paper
yang penting, berhubungan dengan teori tegangan geser maksimum pada tahun 1864,
1
6

dan J Guest dari Inggris menguji penggunaan teori ini sekitar tahun 1900.
Oleh karena itu teori tegangan geser ini kemudian disebut dengan teori Tresca atau
teori Guest.
Guest J (1900) menyatakan bahwa konstruksi akan berada di daerah aman
apabila beban yang diberikan memberikan tegangan normal yang tidak lebih dari
tegangan luluhnya dan tegangan geser tidak lebih dari setengah tegangan luluhnya.

2.9. Teori Energi Distorsi Maksimum (Von Mises)


Energi elastis total dibagi ke dalam dua bagian yaitu yang berhubungan
dengan perubahan volumetrik bahan, sedang yang lain menyebabkan distorsi geser
(gangguan), untuk material-material ulet, misalnya baja dan besi cor.
Von Mises dan Hencky (1925) bahan ulet (ductile) yang dibebani dalam
berbagai arah (hidrostatik), mempunyai batas tegangan yang lebih besar dari
tegangan batas yang dihitung seperti pada teori Tresca. Batas tegangan tersebut
disebut tegangan ekuivalen.

2.10. Kelelahan Metal


Sistem perpipaan mempunyai banyak komponen perpipaan, dimulai dari pipa,
bejana, dan peralatan-peralatan yang sering mengalami kerusakan setelah beroperasi
selama bertahun-tahun. Kegagalan-kegagalan pada suatu komponen seperti ini
dikenal dengan nama kelelahan metal (fatigue), yang disebabkan oleh pembebanan
berulang-ulang yang besarnya cenderung rendah. Kegagalan dapat terjadi dimana
tegangan pipa lebih rendah dibandingkan kekuatan luluhnya. Menurut Ceria (2012)
kelelahan metal disebabkan karena konsentrasi tegangan yang besar menyebabkan
deformasi plastis yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya retakan-retakan halus,
sementara tegangan rata-rata pada keseluruhan penampang pipa maupun bejana tekan
jauh di bawah kekuatan luluhnya. Jika beban ini terjadi secara berulang kali maka
retakan halus tersebut akan merambat sampai kegagalan yang menyeluruh pada
dinding pipa maupun komponen-komponen sistem perpipaan lainnya.
1
7

Secara umum kelelahan metal disebabkan oleh beban perpindahan, bukan oleh
beban gaya (force load). Santoso (2007) mengatakan jika beban perpindahan
menyebabkan tegangan lokal di material pipa yang melebihi titik plastis atau
tegangan luluh, maka akan terjadi beberapa hal yang penting. Bila beban perpindahan
ini diulang, maka tegangan residu harus dilawan dahulu, lalu kemudian tegangan
luluh yang baru dapat dilampaui. Fenomena ini menghasilkan tegangan absolute yang
lebih rendah daripada beban perpindahan yang sama besar sebagaimana ditunjukan
pada gambar 2.9. dimana maksimum range dari tegangan dibatasi sebesar dua kali
tegangan luluh (2Sy).

Gambar 2.9. Kurva Maksimum Range dari Tegangan. Santoso (2007)


Berdasarkan fenomena ini, besar maksimum dari perbedaan tegangan
ekspansi (Stress espansion range) pada pipa adalah dua kali tegangan lelah.

2.11. Tegangan Primer dan Tegangan Sekunder


Tegangan kode memberikan standar kriteria kegagalan untuk perancangan
sistem pipa. Ada dua kriteria kegagalan yang berbeda, yaitu :
= Kegagalan yang disebabkan oleh beban primer.
= Kegagalan yang disebabkan oleh beban sekunder.
1
8

2.11.1. Beban Primer


Karakteristik beban primer diantaranya adalah :
a. Beban primer pada umumnya disebabkan oleh gaya (force), seperti : tekanan,
gaya berat (bobot mati), gaya pegas (spring), gaya dari relief valve dan fluid
hammer.
b. Beban primer tidak bersifat membatasi diri (self limiting), artinya setelah
deformasi plastis terjadi, selama beban itu bekerja, maka deformasi akan
berlanjut hingga kesetimbangan gaya dapat tercapai.
= Beban sifatnya tidak berulang-ulang (kecuali beban dengan variasi tekanan,
selain dikategorikan sebagai beban primer, juga dikategorikan sebagai beban
sekunder).
= Batas tegangan yang diijinkan pada tegangan primer didapatkan melalui
teori kegagalan, seperti : teori Von Mises, Tresca, dan Rankine.
= Kegagalan dapat terjadi oleh satu beban tunggal yang menimbulkan
deformasi plastis total atau patah.

2.11.2. Beban sekunder


Karakteristik Beban Sekunder adalah :
a. Beban sekunder pada umumnya biasa disebabkan oleh perpindahan
(displacement), seperti : ekspansi thermal, getaran, dan perpindahan anchor.
= Beban sekunder bersifat membatasi diri sendiri (self limiting), artinya setelah
deformasi plastis terjadi, deformasi tidak berlanjut terus menerus karena
tegangan berkurang dengan sendirinya bahkan cenderung menghilang.
= Beban sekunder memiliki sifat berulang.
= Batas tegangan yang diizinkan untuk tegangan sekunder didapat berdasarkan
jumlah siklus beban dari kegagalan kelelahan metal.
Kegagalan tidak dapat terjadi olehs atu beban tunggal, melainkan kerusakan
dapat terjadi setelah sejumlah beban berulang bekerja pada sistem perpipaan. Maka
1
9

dari itu, meskipun sebuah sistem perpipaan sudah sukses beroperasi bertahun-
tahun, hal ini tidak menjamin perancangan perpipaan yang baik.

2.12. Beban Occational


Beban occational adalah beban primer yang terjadi dalam waktu yang singkat
dan jarang terjadinya. Karena beban ini hanya bekerja sebentar, beban ini tidak akan
mengakibatkan kegagalan karena rangkak (creep), sehingga tegangan yang terjadi
diperbolehkan melebihi tegangan akibat beban primer yang tetap (sustained load).
Yang termasuk beban occational pada sistem perpipaan adalah:
− Beban angin
− Beban gempa
− Beban fluid transient, karena perubahan tekanan maupun suhu seperti beban
kejut.
Beban occational memiliki sifat yang dinamis baik besarnya maupun arahnya,
sangat cepat sehingga pipa tidak cukup waktu untuk merespon seperti pada beban
statis. Karena itu untuk mengevaluasi akibat beban ini, seharusnya dilakukan dengan
analisa dinamis. Beban Occasional dapat dibedakan menurut profil beban sebagai
fungsi waktu , yaitu beban yang acak (random) dan beban kejut.

2.12.1. Beban Random


Beban acak (random) mengalami perubahan besar dan arah secara
acak.
Beban yang termasuk tipe ini adalah :

A. Beban angin
Santoso (2007) mengatakan jika udara mengalir membentur permukaan
dinding pipa maka akan menimbulkan “tekanan equivalen” pada pipa, yang
diakibatkan berkurangnya momentum yang dimiliki angin tersebut. Walaupun angin
memiliki sifat yang tidak bisa diperdiksi seperti arah dan kecepatan rata-rata, namun
perubahan arah dan kecepatan sering terjadi, misalnya karena hembusan angin kuat
yang datang secara tiba-tiba. Perubahan arah dan kecepatan angin ini besifat acak
20

(random) sebagaimana ditunjukan pada gambar 2.10

Gambar 2.10. Profil Beban Angin. Santoso (2007)

Menurut Santoso (2007) perumusan yang digunakan dalam menghitung


besarnya beban angin sebagai berikut :

. A. sθ ........………...…………………...(2.27)
q G C in
L
D

engan :

qz Gz Cd = tekanan
ekuivalen angin = Gust-
Factor
= koefisien bentuk
= 0,5-1,2 tergantung kekasaran dan
tinggi pipa = D.l
= sudut antara sumbu aksial pipa dan arah angin
Menurut Santoso (2007) tekanan equivalen angin (qz) adalah energi angin
yang besarnya berbanding lurus dengan berat jenis udara dan kecepatan angin dalam
kuadrat, sering ditulis dalam kode setelah nilai berat jenis dimasukkan dan
memperhatikan koefisien exposure (Kz) dan koefisien Impotance (I) dan juga
koefisien topografi (Kzt).
qz  0,613 . Kz . Kzt .V2 . I . (N/m2 ) ……………..…………..(2.28)
Dengan :
21

Kz = koefisien exposure
Kzt = koefisien topografi
V = kecepatan dasar angin (mph atau ./dtk)
= faktor importansi dari kehunian

B. Beban Gempa
Beban gempa disebut juga dengan beban seismic, disebabkan oleh
bergeraknya tanah secara random atau acak. Sebagaimana ditunjukan pada gambar
2.11

Gambar 2.11. Profil Beban Gempa. Santoso (2007)


Menurut Santoso (2007) rumus beban total akibat gempa sebagai
berikut :
V Z. I . K. C. S . W .……….…….......…………...……
(2.29)
Dengan:
J = koefisien zona gempa
1/8 untuk zona 0 (hanya pada ANSI 58.1)
3/16 untuk zona 1
3/8 untuk zona 2
3/4 untuk zona 3
1 untuk zona 4
I = importance factor pemakai
= 1,0 untuk pipa dan bejana tekan
2
2

J = konstanta jenis ukur


2,0 untuk struktur selain gedung termasuk pipa dan bejana tekan
C = faktor beban geser =
1/2
1/(15T) <0,12 T = periode natural dari
struktur
S = koefisien soil
1,0-1,5 dimana CS<0,14
W = berat mati dari pipa

2.12.2. Beban Kejut


Perubahan tekanan dan temperatur secara mendadak karena sebuah proses,
dapat menimbulkan tegangan dan gaya yang perlu diperhitungkan besarnya. Beban
yang terjadi akibat perubahan mendadak ini memiliki karakteristik kejut, yaitu dari
beban yang minimum menjadi maksimum, kemudian setelah durasi tertentu aksi
beban ini menghilang kembali. Contoh dari jenis beban ini adalah:

A. Beban relief valve


Katup relief valve adalah katup yang membatasi tekanan rangkaian
maksimum, mencegah bagian tekanan menjadi tekanan deengan beban berlebih, dan
mengontrol torsi yang dibangitkan oleh motor dan silinder hidrolik. Sistem perpipaan
mencapai level tertentu, maka relief valve akan terbuka dan membebaskan fluida
keluar untuk menurunkan tekanan dalam pipa, pada saat melepaskan fluida tersebut
timbul gaya yang bekerja pada katup (valve) atau pipa. Gaya ini berubah dari nihil
sampai nilai maksimum selama valve mengalami pembukaan, lalu nilai itu tetap
selama valve terbuka penuh untuk melepaskan fluida secukupnya, sehingga tekanan
berlebih akan menghilang. Kemudian valve menutup, dimana besar gaya dari nilai
maksimum berkurang sampai nihil selama proses menutupnya valve tersebut.
Sebagaimana ditunjukan pada gambar 2.12. berikut.
2
3

Gambar 2.12. relief valve. Lit2 (2008)

B. Beban karena water atau fluid hammer


Menurut Prastowo dan Sisiwanto (2014) mengungkapkan bahwa jika aliran
fluida dihentikan secara tiba-tiba oleh pompa atau valve yang menutup, fluida dari
pipa upstream tidak akan dapat berhenti secara langsung. Fluida ini memberikan
tambahan kompresi (tekanan) di area penutupan. Di sisi lainnya dari area penutupan
(valve atau pompa), aliran meninggalkan tempat penutupan tersebut menyebabkan
penurunan tekanan. Perubahan tekanan ini ikut mengalir dengan fluida. Perbedaan
tekanan ini pada pipa lurus antara dua bend atau elbow menyebabkan gaya aksial
yang tidak balance, karena batas perbedaan tekanan ini ikut mengalir, dengan
kecepatan suara di fluida. Beban yang tidak balance ini juga berpindah dari satu
segment pipa lurus, ke segment pipa lurus lainnya sebagaimana ditunjukan pada
gambar 2.13. berikut.
24

Gambar 2.13. Profil Beban Water atau Fluid Hammer.


Sisiwanto, Prastowo, dan Cahyono (2014)

2.13. Persamaan Tegangan Kode ASME/ANSI B31.3


1. Menurut Santoso (2007) rumus tegangan karena beban tetap (Sustained
Load)
2

i M i M d  .….….(2.30)
x

t
Tegangan Longitudinal pipa disebabkan oleh bobot berat dan tekanan.
Dengan :
Fax = gaya aksial karena beban tetap (lb)
Mi = momen lendutan dalam bidang (in plane) karena beban tetap
(in-lb) Mo = momen lendutan luar bidang (out plane) karena beban tetap
(in-lb) ii, io = faktor intensifikasi (SIF) in plane dan out plane
Sh = tegangan dasar yang diizinkan oleh material menurut Appendiks A dari
ASME/ANSI B31.3 code.
2. Menurut Santoso (2007) tegangan karena beban Ekspansi (Expansion
Load)

ii . Mi 2  io . Mo 2
 SA  f . 1,25 . SC  1,25 . Sh - Sl 
 4 . MT 2
E  .......…(2.31)
Z
25

Tegangan kombinasi pipa disebabkan oleh perbedaan temperature


(beban
ekspansi thermal.)
Dengan :
Mi = momen lendutan dalam bidang (in plane) karena beban
ekspansi (in-lb)
Mo = momen lendutan luar bidang (out plane) karena beban
ekspansi (in-lb)
MT = faktor intensifikasi (SIF) in plane dan out plane
Sh = tegangan dasar yang diizinkan oleh material menurut
Appendiks A dari ASME/ANSI B31.3 code pada temperatur
terendah (dingin)
Sh = tegangan dasar yang diizinkan oleh material menurut
Appendiks A dari ASME/ANSI B31.3 code pada temperatur
tertinggi (panas)
f= faktor reduksi dengan mempertimbangkan kelelahan material
(beban dinamis yang berulang)
3. Menurut Santoso (2007) tegangan karena beban okasional (Occasional
Load)
S
l  Socc  1,33 . Sh ..………………….. ……………………(2.32)

Tegangan kombinasi pipa karena beban perpindahan tumpuan, anchor misalnya


karena gempa bumi dan sebagainya.

2.14. Pembatasan Tegangan Perpipaan Menurut Caesar II


Caesar II mendefinisikan beberapa beban kombinasi seperti beban sustained,
beban ekspansi, beban occational (kadang-kadang), dan beban operasi. Menurut
Santoso (2007) berikut perumusan untuk masing-masing beban :
1. Beban Sustained
2
. F
2 2
.D I M I M
xl …….…
- Stress S (2.33).
2
(D0 -
2
Di ) A
2
6

- Allowabl : Sh (Stress yang diizinkan untuk bahan pipa saat beroperasi)


e

- Rasio
- Combin: W+P (Berat + tekanan)
- Aturan Aman : SL < Sh
2. Beban Expansion

Stre ……………………………...
ss S E= b 4St ……….(2.34)
Allo
wable SA= f[1,25(Sc Sh) Sl]
-
Rasio

- Combin: Cold to T ( Temperatur )


-
Aturan Aman : SE  SA
3.
Beban Occasional

 S S
Stre x
lp ……………………………………..
ss 0 (2.35)
Allo : K .
wable Sh
Rasi
o : SLO / (1,33 . SH )
- Combin: W+P+T+(beban dinamis)
- Aturan Aman : SL < 1,33 . SH
4. Beban Operating : Beban operating merupakan beban yang didefinisikan oleh
pengguna Caesar dan tidak memiliki allowable stress karena tidak diatur oleh
kode, fungsinya untuk mengetahui besar tegangan apabila beberapa beban di
kombinasikan.

2.15. Tegangan Dan Defleksi Karena Beban Bobot Mati


Bobot mati dari pipa diasumsikan terdistribusi merata per satuan panjang pipa,
dan pipa dianggap ditumpu oleh support secara kontinyu pada jarak (pipe
2
7

support span) yang sama, sebagaimana ditunjukan pada gambar 2.14. berikut,
maka teori dasar batang elastis dapat diterapkan.

Gambar 2.14. Tumpuan Terdistribusi Merata. Santoso (2007)

Permasalahan yang masih ada dalam menerapkan teori batang elastis ini
adalah bagaimana memodelkan jenis tumpuan tadi dalam teori, yaitu apakah tumpuan
sederhana (pinned support / simply supported) sebagaimana ditunjukan pada gambar
2.15 di mana rotasi bebas sepenuhnya.

Gambar 2.15. Tumpuan Sederhana. Santoso (2007)


Atau tumpuan jepit (fixed / clamped support) sebagaimana ditunjukan pada
gambar 2.16. di mana rotasi sepenuhnya ditahan.

Gambar 2.16. Tumpuan Jepit. Santoso (2007)


2
8

2.16. Jarak Antara Support Maksimum (Maximum Pipe Span)


Manufacturur Standardization Society of the Valve and Fitting Industry
(MSS) dalam MSS-SP-69 telah mempublikasikan hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus-rumus di atas setelah dimodifikasi dengan menggunakan satuan
lb, psi, ft-in.
Kemudian mengambil asumsi berikut :
a. Ketebalan pipa yang digunakan adalah standard pipa ANSI
b. Tidak ada beban terkonsentrasi di antara dua support
c. Tidak ada perubahan arah pipa horizontal maupun vertikal di antara dua
support
d. Stress Intensification Factor, SIF di support diabaikan
e. Maksimum tegangan yang diizinkan 15.000 psi (carbon steel)
f. Maksimum lendutan yang diizinkan 0,1 inchi

Tabel 2.1. MSS-SP-69 maksimum pipe span. Santoso (2007)


2
9

Untuk kasus dimana asumsi di atas tidak berlaku, maka engineer harus
memberi perhatian lebih jauh, misalnya jika ada perubahan arah horizontal
mengharuskan maksimum pipe span dikurangi sampai 75% dari nilai acuan dari tabel.
Jika hal ini tidak diperhatikan, maka tip sagging bisa menimbulkan masalah tegangan
yang besar. Posisi support yang terbaik adalah tepat pada belokan (bend), hanya saja
ini biasanya tidak dibolehkan oleh kode pipa karena menyebabkan masalah lain, yaitu
konsentrasi tegangan (SIF) yang tinggi.
Untuk kasus dimana ada beban terkonsentrasi, seperti : valve, maka
standard
MSS merekomendasikan supaya valve dipasang sedekat mungkin dengan
support.
Reduksi dari pipe span acuan juga bisa digunakan sampai di bawah 50%.
Perubahan arah vertikal bisa dianggap sebagai beban terkonsentrasi pada
bagian pipa mendatar dengan berat riser sebagai beban konsentrasinya. Pipe span di
bagian pipa vertikal (riser) tidak ditentukan dengan standard ini, karena beban berat
tidak menimbulkan tegangan dan defleksi seperti yang diuraikan di atas. Hal yang
perlu diperhatikan adalah bahaya buckling akibat tegangan kompresi di riser, oleh
karena itu direkomendasikan riser support yang menahan berat diletakkan di atas titik
berat riser.

2.17. Metode analisis kebocoran


Analisa kebocoran membahas tentang aspek kebocoran yang terjadi dalam
suatu instalasi perpipaan akibat beban-beban yang terjadi. Berfungsi untuk
menganalisa dan memeriksa kebocoran yang terjadi pada sistem perpipaan agar tidak
melebihi pembebanan yang di izinkan oleh standard komponen - komponen fitting
pada sistem perpipaan.

2.17.1. Flange
1. Periksa tekanan keseluruhan pada flange :
Menurut Santoso (2007) metode perhitungan dengan tekanan
equivalen (peq) berdasarkan standard ASME Section III, Flange Check
(NC-3658) base oil adalah:
3
0

...............................................................................
D
engan : peq  (2.43)
P  PASME

PASME = tekanan kerja pada temperature desain ASME B16.5,


B16.47 (bar)
P= tekanan operasi (bar)
Peq = tekanan equivalen (bar)
Sedangkan, nilai tekanan equivalen (peq) berdasarkan standard
ASME Section III, Flange Check (NC-3658) base oil adalah:
5092 1
........................................................
96 x MF 27 x FA
eq  3 2
(2.44)

Dengan :
P tekanan equivalen (bar)
eq
resultan momen puntir pada kondisi desain (DaN.m)
M
gaya aksial pada kondisi desain (DaN)
F
diameter gasket efektif (mm)
F o .............................................................
A  ........... 2.45)
2
G

F i
Gambar 2.17. Local Axis. Wiki (2007)
31

Metode ini berlaku untuk semua Welding Neck Flanges in Carbon Steel or
0
Stainless Steel or Duplex stainless steel pada temperatur < 120 C dan terhubung pada
0
vessel or equipment. Untuk temperatur >120 C, tekanan equivalen-nya (peq), harus
dibagi lagi dengan faktor koreksi (β), faktor koreksi (β) ditetapkan oleh
perusahaan/intansi terkait untuk menghindari batasan suhu dan tekanan.
2. Menurut Santoso (2007) kesimpulan dari persamaan metode pembagian
faktor koreksi :
p
.............................................................................
eq  P P
(2.46)
SME
β

Dengan :
Peq = tekanan equivalen (bar)
PASME = tekanan kerja pada temperature desain ASME B16.5,
B16.47 (bar)
P = tekanan operasi (bar)
β = koefisien beta pada static loads dan dynamic loads
32

Tabel 2.2. Koefisien beta pada static loads. Santoso (2007)


33

Tabel 2.3. Koefisien beta pada static loads and dinamic loads. Santoso
(2007)

2.17.2. Gasket
Gasket adalah materi atau gabungan dari beberapa materi yang diapit
diantara dua sambungan mekanis yang dapat dipisah. Fungsi utama dari gasket
sendiri adalah untuk mencegah kebocoran selama jangka waktu tertentu.
BAB III ANALISIS STRUKTUR

BAB III
ANALISIS STRUKTUR

Persoalan yang dibahas dalam mata kuliah prasyarat terdahulu adalah


mengenai kesetimbangan suatu benda tegar dan semua gaya yang terlibat
merupakan gaya luar terhadap benda tegar tersebut. Sekarang kita akan meninjau
persoalan yang menyangkut kesetimbangan struktur yang terdiri dari beberapa
bagian batang yang bersambungan. Persoalan semacam ini bukan saja
memerlukan penentuan gaya luar yang beraksi pada struktur tetapi juga penentuan
gaya yang mengikat bersama berbagai bagian struktur itu. Dari sudut pandang
struktur sebagai keseluruhan, gaya ini merupakan gaya dalam.
Sebagai contoh, tinjau sistem yang diperlihatkan pada gambar 3.1(a) yang
membawa beban w. Sistem ini terdiri dari batang balok AD, CF, dan BE yang
disambung pada pin tak bergesekan, sistem tersebut didukung oleh pin di A dan
kabel DG. Diagram benda bebas dari sistem tersebut digambarkan pada gambar
3.1(b) Gaya luar yang terdapat pada sistem tersebut adalah berat w, kedua

komponen Ax dan Ay dari reaksi di A, dan gaya T yang ditimbulkan oleh kabel di
D. Jika sistem itu diuraikan dan diagram benda bebas untuk masing-masing
komponen dibuat, maka akan terdapat gaya dalam yang mengikat sambungan-
sambungan batang kerangka sistem. (gambar 3.1(c))
Perlu diperhatikan bahwa gaya yang ditimbulkan di B oleh bagian BE
pada bagian AD sudah dinyatakan sebagai gaya yang sama besar dan berlawanan
arah dengan gaya yang timbul pada titik yang sama oleh bagian AD pada bagian
BE. Demikian juga gaya yang ditimbulkan di E oleh BE pada CF telah
diperlihatkan sama dan berlawanan arah dengan gaya yang ditimbulkan oleh CF
pada BE. Dan komponen gaya yang ditimbulkan di C oleh CF pada AD
ditunjukkan sama dan berlawanan arah dengan komponen gaya yang ditimbulkan
oleh AD pada CF.
4
1
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Gambar 3.1. Contoh gaya dalam pada Sistem rangka batang


sederhana

Dalam bab ini dan bab berikutnya, kita akan meninjau tiga bagian besar
struktur teknik, yaitu :
z Rangka batang (truss) yang dirancang untuk menumpu beban dan biasanya
berupa struktur yang dikekang penuh dan stasioner. Rangka batang terdiri dari
batang-batang lurus yang berhubungan pada titik-titik kumpul yang terletak di
ujung-ujung setiap batang.
aa Portal (frame) yang juga dirancang untuk menumpu beban dan biasanya juga
berupa struktur yang dikekang penuh dan stasioner. Namun, portal selalu
terdiri dari paling kurang satu batang dengan pelbagai gaya, yaitu batang yang
mengalami tiga atau lebih gaya yang umumnya tidak searah.
bb Mesin yang dirancang untuk menyalurkan dan mengubah gaya-gaya dan
merupakan struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang bergerak. Mesin,
seperti portal, selalu terdiri dari paling sedikit satu batang dengan pelbagai
gaya.

A. TRUSS (RANGKA BATANG)


1. DEFINISI RANGKA BATANG (TRUSS)
Truss (penunjang) merupakan salah satu jenis umum dari struktur teknik.
Truss terdiri dari bagian berbentuk lurus dan sambungan (sendi) penghubung.
Bagian-bagian truss dihubungkan pada ujung-ujungnya saja dengan memakai
sambungan paku keling atau las atau memakai pin. Contoh truss sederhana
diperlihatkan pada gambar 3.2 dan 3.3 berikut.

42
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Gambar 3.2. Contoh Truss

Gambar 3.3. Contoh Truss Jembatan

Batang-batang penyusun truss dapat mengalami aksi gaya tarik atau gaya
tekan seperti ditunjukkan pada gambar 3.4.

43
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Gambar 3.4. Gaya tarik dan tekan

Beberapa jenis truss diperlihatkan pada gambar 3.5.

Gambar 3.5. Contoh truss

B. ANALISA RANGKA BATANG DENGAN METODE


SAMBUNGAN

44
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Truss dapat dipandang sebagai kelompok pin dan bagian dua-gaya. Truss
dalam gambar 3.2, diagram benda bebasnya diperlihat pada gambar 3.6(a). Gaya-
gaya tersebut dapat diuraikan lagi menjadi bagian-bagian batang penyusun
trussnya seperti diperlihatkan pada gambar 3.6(b).

Gambar 3.6. Penguraian gaya dalam

Karena keseluruhan truss dalam keseimbangan, maka setiap pin harus


dalam keseimbangan pula.
Ketika kita menggunakan metode sambungan maka kita harus
menggambar diagram benda bebas masing-masing sambungan sebelum
menerapkan persamaan kesetimbangan. Konsep pada metode sambungan adalah
sebagai berikut :
(C) Selalu asumsikan gaya yang tidak diketahui nilainya yang bekerja pada
sambungan dalam keadaan tarik. Jika ini dilakukan, maka solusi numerik dari
persamaan kesetimbangan akan menghasilkan nilai positif bagi batang yang
berada pada kondisi tarik (tension) dan nilai negatif bagi batang yang berada
pada kondisi desak (kompresi). Setelah gaya batang yang tidak diketahui
ditemukan, gunakan besar dan arahnya yang benar (T atau C) pada diagram
benda bebas untuk menganalisa sambungan berikutnya.
(D)Penentuan arah yang benar dari suatu gaya yang belum diketahui kadangkala
harus dilakukan dengan menggunakan cara inspeksi atau pengecekan. Untuk
kasus yang lebih kompleks, penentuan arah gaya dilakukan dengan

4
5
BAB III ANALISIS STRUKTUR

menggunakan asumsi. Kemudian setelah menerapkan persamaan


kesetimbangan, asumsi arah yang kita ambil akan diverifikasi dengan hasil
perhitungan. Jawaban positif menunjukkan asumsi arah yang kita ambil benar,
jawaban negatif menunjukkan asumsi arah yang kita ambil harus dibalik.
Prosedur berikut menyediakan sarana untuk menganalisis truss
menggunakan metode sambungan :
Gambarkan diagram benda bebas untuk pada sambungan yang memiliki
setidaknya satu gaya yang diketahui nilainya dan paling banyak dua gaya yang
tidak diketahui nilainya. (Jika sambungan tersebut terletak di salah satu
tumpuan truss, mungkin perlu untuk menghitung reaksi eksternal di tumpuan
tersebut dengan menggambar diagram benda bebas dari keseluruhan truss).
Gunakan salah satu dari dua konsep tentang metode sambungan yang telah
dijelaskan sebelumnya untuk menentukan jenis dari gaya yang tidak diketahui.
Sumbu x dan y harus berorientasi bahwa gaya-gaya pada diagram benda bebas
dapat dengan mudah diuraikan menjadi komponen-komponen x dan y.

Terapkan persamaan kesetimbangan dua gaya FX = 0 dan FY = 0,


selesaikan anggota gaya yang tidak diketahui, dan verifikasi benar arah
mereka yang benar.
Lanjutkan untuk menganalisa sambungan yang lain, di mana perlu untuk
memilih lagi sambungan yang memiliki paling banyak dua gaya yang tidak
diketahui dan paling sedikit satu gaya yang diketahui.
Satu gaya yang telah diselesaikan dari analisis pada salah satu ujung tumpuan,
hasilnya dapat digunakan untuk menganalisa gaya-gaya lain yang bekerja pada
sambungan ujung yang lain. Ingat, batang dalam keadaam kompresi akan
menekan pada sambungan dan batang dalam keadaan tension akan menarik
pada sambungan.
Sebagai contoh, kita akan menganalisis truss pada gambar 3.6 dengan
meninjau keseimbangan masing-masing pin secara berturut-turut. Diagram benda
bebas dan polygon gaya ditabelkan pada tabel 3.1 berikut ini.

4
6
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Tabel 3.1. Tabel gaya dalam


Diagram benda Poligon Garis
bebas gaya kerja gaya
Sambungan A AC

AC

FAC

Y A
F
X AD X

Y
AX

Sambungan D DC

DC

FDB
DA
F DB

D DB

DA

DC

FD
A

C
Sambungan C CB FCA CB

CA FCD
CB
F
CA

CD
F
CD

Sambungan B BC BD

BD
B FBC

Dari tabel 3.1 dapat digambarkan secara lengkap gaya-gaya yang timbul
pada tiap ujung batang penyusun truss seperti terlihat pada gambar 3.7.
47
BAB III ANALISIS STRUKTUR

FAC FCD FBC

FAC CD BC
FA FA
D D D FBD
F
AX BD

Y
Gambar 3.7. Hasil penguraian gaya dalam

Sehingga dapat disimpulkan bahwa :


Batang AD mengalami tarik
Batang BD mengalami tarik
Batang AC mengalami tekan
Batang BC mengalami tekan
Batang CD mengalami tarik
48
BAB III ANALISIS
STRUKTUR

Contoh 1.
Dengan menggunakan
metode sambungan, tentukan
2000 lb 1000 lb
gaya pada masing-masing
bagian batang dari rangka
batang (truss) yang terlihat
pada gambar

Penyelesaian :
Keseimbangan seluruh rangka
batang:
Fx = 0
Cx = 0

MC=0
(E x 6) – (1000 x 12) – (2000
x 24) = 0 6E = 60000
E = 10000 lb (ke atas)

Fy = 0
E + Cy – 2000 –
1000 = 0 10000 + Cy –
3000 = 0 Cy = - 7000
lb
= 7000 lb (ke bawah)

Sambungan A:

2
000 20 FA 200
00 D 0
1
8 0
FAB
F
AB 6
A
F
AB
FAD
F
AD
49
BAB III ANALISIS STRUKTUR

FAD:2000=1 FAB:2000=
0:8 6:8
8FAD = 8FAB
20000 = 12000
FAD = 2500 lb
(tekan) FAB = 1500 lb (tarik)

Sambungan
D:

DE F
DB
FAD DB

0 0 8 FAD
6

DE DB

D DE
D
FAD:FDE=10 FAD:FDB=1
:12 0:10
2500 : FDE = 2500 : FDB = 10
10 : 12 : 10
10FDE =
30000 FDB = 2500 lb (tarik)
FDE = 3000 lb (tekan)

Sambungan B:
Diasumsikan bahwa gaya FBC menjauhi titik B dan F BE menuju titik sambungan
B

1000

F FB
AB B C

1
0 1
8 8 0
FB
DB 6 E
50
BAB III ANALISIS STRUKTUR


Fx = 0

FBC – FAB – ) ) =
(FBE x – (FDB x 00

FBC – ) = 1500 +
(FBE x 0 (2500 x 0
)

FBC – )= (
(FBE x 0 3000 1)


Fy = 0
)–
1000=0
)
FBE x - (FDB x 0
0
) = 1000 +
FBE x (2500 x )
0 10
)
FBE x = 3000
0
FBE = 3750 lb (positif berarti asumsi arah gaya yang kita ambil benar)
= 3750 lb (tekan)

masukkan ke persamaan (1) :


6
FBC = 3000 + (3750 x 10 ) = 5250 lb (positif berarti asumsi benar)

= 5250 lb (tarik)

Sambungan E:
Diasumsikan arah FEC menuju titik sambungan E
51
BAB III ANALISIS STRUKTUR

F
BE

6 6 EC

88
(K) 10

E
FDE
10000


Fx = 0
) + FDE – )
FBE x (FEC x =0
0 0

) = ) + 3000
FEC x (3750 x = 5250

0 0
FEC = 8750 lb (positif berarti arah gaya yang diasumsikan benar)
FEC = 8750 lb(tekan)

Contoh 2.
Dengan
menggunakan metode
sambungan, tentukan gayadalam
masing-masing bagian batang truss
yang terlihat pada gambar.Nyatakan
apakah masing-masing dalam keadaan
tarik atau desak.
5
2
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Penyelesaian :
A MA=0
y
(C x 5,25) – (105
x 3) = 0 C = 60 kN

Ax
Fx = 0
Ax – C = 0
Ax = 60 kN

Fy = 0
Ay – 105 = 0
C Ay = 105 kN

Sambungan B :

FAB AB
FAB
1,25 B
B ,25
5,25 105
BC 5 105
4
1
05 FBC BC

105 : FAB = 5,25 : 3,25 105 : FBC = 5,25 : 5


5,25FAB = 341,25 5,25FBC = 525
FAB = 65 kN (tarik) FBC = 100 kN (desak)
53
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Sambun
gan A:
Asumsi : arah FAC diambil menjauhi titik A

y Fy = 0
Ay – FAC – )
,25
(FAB x =0
,25

3 A ,25
x
1,25 )
105
3,25 – (65 x ,25 =FAC
FAC = 80 kN( positif berarti
FAB
FAC
asumsi
yang diambil benar)
FAC = 80 kN (tarik)

T ANALISA RANGKA BATANG DENGAN METODE PEMBAGIAN


Metode sambungan (sendi) sangat efektif bilamana harus menentukan
semua gaya-gaya dalam suatu truss. Tetapi, bilamana hanya ingin mencari
satu buah gaya saja atau hanya gaya-gaya pada bagian tertentu saja, maka metode
lain yaitu metode pembagian, akan ternyata lebih efisien.
Sebagai contoh kita ingin menentukan gaya dalam bagian BD dari truss
yang diperlihatkan dalam gambar 3.8(a). Untuk mengerjakan ini, kita harus
menggambarkan suatu garis yang membagi truss menjadi dua bagian yang
terpotong sempurna, tetapi tidak memotong lebih dari tiga bagian. Tiga bagian
truss tersebut salah satunya adalah bagian yang diinginkan. Kedua bagian dari
truss yang diperoleh setelah pemotongan dipisahkan dan salah satunya digunakan
untuk menyelesaikan persoalan kita.
Seperti pada metode sambungan, ada beberapa konsep yang dapat
membantu kita dalam mengerjakan metode pembagian, yaitu :
J Selalu asumsikan gaya yang tidak diketahui nilainya yang bekerja pada bagian
yang dipotong dalam keadaan tarik. Jika ini dilakukan, maka solusi numerik
dari persamaan kesetimbangan akan menghasilkan nilai positif bagi batang
yang berada pada kondisi tarik (tension) dan nilai negatif bagi batang yang
berada pada kondisi desak (kompresi).
5
4
BAB III ANALISIS STRUKTUR

J Penentuan arah yang benar dari suatu gaya yang belum diketahui kadangkala
harus dilakukan dengan menggunakan cara inspeksi atau pengecekan. Untuk
kasus yang lebih kompleks, penentuan arah gaya dilakukan dengan
menggunakan asumsi. Kemudian setelah menerapkan persamaan
kesetimbangan, asumsi arah yang kita ambil akan diverifikasi dengan hasil
perhitungan. Jawaban positif menunjukkan asumsi arah yang kita ambil benar,
jawaban negatif menunjukkan asumsi arah yang kita ambil harus dibalik.
Prosedur berikut menyediakan sarana untuk menganalisis truss
menggunakan metode pembagian :
Diagram benda bebas :
J Buat keputusan tentang bagaimana harus memotong truss yang melalui batang
yang ingin dihitung besar gayanya.
K Sebelum mengisolasi bagian yang tepat, pertama kali mungkin diperlukan
untuk menentukan reaksi eksternal truss, sehingga tiga persamaan
kesetimbangan hanya digunakan untuk memecahkan gaya batang di bagian
yang dipotong.
L Gambarkan diagram benda bebas dari bagian dari truss yang dipotong yang
memiliki jumlah gaya paling sedikit.
M Gunakan salah satu dari dua konsep tentang metode sambungan yang telah
dijelaskan sebelumnya untuk menentukan jenis dari gaya yang tidak diketahui.
Persamaan kesetimbangan :
J Momen harus dijumlahkan terhadap titik yang terletak di persimpangan dari
garis-garis aksi dari dua gaya yang tidak diketahui, dengan cara ini, gaya
ketiga yang tidak diketahui ditentukan langsung dari persamaan.
K Jika dua gaya yang tidak diketahui sejajar, gaya-gaya itu dapat kita jumlahkan
secara tegak lurus terhadap arah gaya-gaya yang tidak diketahui ini untuk
menentukan gaya ketiga yang tidak diketahui.
Dalam gambar 8(a). garis nn telah dilewatkan melalui bagian BD, BE,
dan
CE. Bagian ABC (sebelah kiri) dipilih untuk menyelesaikan persoalan ini
(gambar 8(b)). Gaya yang beraksi pada bagian ABC adalah beban P1 dan P2 pada
titik A dan B dan tiga gaya yang tidak diketahui FBD, FBE, dan FCE. Karena belum

5
5
BAB III ANALISIS STRUKTUR

diketahui gaya-gaya tersebut berada dalam keadaan tegang atau tekan,


maka diambil asumsi bahwa gaya-gaya tersebut dalam keadaan tegang.

Gambar 3.8. Prinsip metode pembagian

Contoh 3.

Tentukan gaya
pada bagian EF dan GI
pada rangka batang
(truss) seperti yang
diperlihatkan pada
gambar dengan metode
pembagian

Penyelesaian :

Sebuah diagram
benda bebas dari
seluruh truss
digambarkan;
gaya-gaya luar yang
beraksi pada benda
bebas ini terdiri dari
beban-beban terapan
dan reaksi-reaksi pada
B dan J.

Kesetimbangan seluruh rangka batang:


MB=0
(28 x 8) + (28 x 24) + (16 x 10) – (32 x J) = 0
56
BAB III ANALISIS STRUKTUR

J = 33 kips.
FX=0 FY=0
BX+16 BY+33–28–28=0
=0
BX = - BY = 23 kips
16 kips
= 16 kips (kiri)
Gaya pada bagian EF:
Garis nn
dilewatkan
melalui truss
sehingga memotong
bagian EF dan dua
tambahan bagian.
FY=0
23–28–
FEF=0 FEF = - 5
kips
FEF = 5 kips (tekan)

Gaya pada bagian GI:


Garis mm dilewatkan melalui
truss sehingga memotong bagian GI
dan dua tambahan bagian. MH=0

(16 x 10) – (33 x 8) – (F GI x


10)= 0 FGI = - 10,4 kips
FGI = 10,4 kips (tekan)
57
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Contoh 4.

Tentukan gaya-gaya
pada bagian FH, GH, dan GI
dari rangka batang atap
seperti yang diperlihatkan
pada
gambar menggunakan
metode pembagian

Penyelesaian :

Kesetimbangan seluruh rangka batang:


MA=0
(1 x 5) + (1 x 10) + (1 x 15) + (1 x 20) + (1x25) + (5 x 5) + (5 x 10) + (5 x
15) – (L x 30)= 0
J = 7,5 kN
FX=0 FY=0
AX = 0 kN AY+7,5–1–1–1–1–1–5–5-5=0
AY = 12,5 kN

5
8
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Gaya pada bagian FH:

Gaya FFH digeser sampai ke titik F.


Kemudian diuraikan menjadi
komponen X dan Y MG=0

(1 x 5) + (1 x 10) – (7,5 x
15) - (FFH cos 28,07 x 8)= 0
FFH = - 13,9 kN
FFH = 13,9 kN (tekan)

Gaya pada bagian GH:


Gaya FGH digeser sampai ke titik
G.
Kemudian diuraikan
menjadi
komponen X dan Y
ML=0
= (1 x 10) - (1 x 5) – (FGH cos
43,15 x 15)= 0
FGH = - 1,37 kN
FGH = 1,37 kN (tekan)

Gaya pada bagian GI:

MH=0
(FGI x 5,33) + (1 x 5) – (7,5 x 10)
=0
FGI = 13,13 kN (tarik)
59
BAB III ANALISIS STRUKTUR

Contoh 5.
Rangka batang pada contoh 1, Tentukan gaya-gaya pada bagian BC, BE,
dan DE dengan metode pembagian.
Penyelesaian :
Telah dihitung pada
contoh 1 : E = 10000 lb ( ke atas )
CX=0
CY = 7000 lb ( ke bawah )
Kita lewatkan garis nn
n memotong
bagian BC, BE, dan DE.
Gunakan
bagian kiri (segitiga ABD)
untuk
menghitung FBC, FBE, dan
FCE.
n

2 1000
000 lb lb

BC
A

BE

FDE
E
D

Gaya pada bagian BC:


ME=0
(FBC x 8) - (1000 x 6) – (2000 x 18) = 0
FBC = 5250 lb (tarik)

Gaya pada bagian DE:


60
BAB III ANALISIS STRUKTUR

MB=0
-(FDE x 8) - (2000 x 12) = 0
FDE = -3000 lb
= 3000 lb (desak)

Gaya pada bagian BE:


Uraikan FBE menjadi komponen X dan Y.
FY=0
J FBE sin  - 1000 – 2000 =
0 FDE = -3750 lb
3750 lb (desak)

LATIHAN
K Determine the force in each member of the truss and state if the members are
in tension or compression. Given P1 = 7 kN and P2 = 7kN.

61
BAB III ANALISIS STRUKTUR

L The truss, used to support a balcony, is subjected to the loading shown.


Approximate each joint as a pin and determine the force in each
member. State whether the members are in tension or compression. Set P 1 =
600 lb, P2 = 400 lb, a = 4 ft, and  = 45.

P The Howe Bridge truss is subjected to the loading shown. Determine the force
in members DE, EH, and HG, and state if the members are in tension
or compression. Given F1 = 30 kN, F2 = 20 kN, F3 = 20 kN, F4 =40 kN, a = 4
m, and b = 4 m.

6
2
BAB III ANALISIS STRUKTUR

= Determine the force in members BE, EF, and CB, and state if the members are
in tension or compression. Set F1 = 5 kN, F2 = 10 kN, F3 = 5 kN, F4 = 10 kN,
a = 4 m and b = 4 m.

K The Pratt Bridge truss is subjected to the loading shown. Determine the force
in members LD, LK, CD, and KD, and state if the members are in
tension or compression. Given F1 = 50 kN, F2 = 50 kN, F3 = 50 kN, a = 4 m
and b = 3m.
BA
B4
ANALISIS BATANG
TEKAN

4.1. Inti Tampang Kolom

Kolom merupakan jenis elemen struktur yang memilki dimensi longitudinal


jauh lebih besar dibandingkan dengan dimensi transversalnya dan memiliki fungsi
utama menahan gaya aksial tekan, biasanya kolom terpasang pada posisi vertikal.
Pada Gambar 4.1 dapat ditunjukkan bekerjanya gaya tekan “P” di titik A yang
memiliki nilai eksentrisitas tehadap pusat berat “O”. Besarnya tegangan yang
terjadi pada penampang kolom dapat dihitung dengan menguraikan tegangan yang
terjadi akibat : (a.) Gaya normal “P” sentris terhadap pusat berat “O”; (b.) Gaya
momen kopel terhadap pusat berat “O”, yaitu :

M x = P.n

M y = P.m

sehingga tegangan total yang terjadi dapat dihitung dengan Persamaan


berikut :

My
(
x .y .x
− − 4.1.)

x IY
b

Y0

n
A

Y
X
0
Gambar 4.1. Pembebanan pada Kolom

90
atau

− .n. y .m.x 4.2.)


I
x Y

Deng sama dapat dihitung radius


an cara ang girasi x an y

sehingga Persamaan 4.2 dapat diubah menjadi :

P .y .x
m

− 1 (4.3.)
r

Ax y
Persamaan 4.3 akan bernilai nol jika :

=
+ .y .x 0 (4.4.)
2 2

Persamaan 4.4 merupakan garis lurus ab yang disebut sebagai garis nol,
yaitu garis yang melalui serat-serat pada penampang kolom dengan tegangan sama
dengan nol. Semua serat pada penampang kolom yang terletak pada daerah arsiran
mengalami tegangan tarik sedangkan daerah yang tidak diarsir mengalami
tegangan tekan.
Batasan eksentrisitas pada penampang kolom yang hanya menimbulkan
tegangan tekan sangat penting bagi elemen struktur yang menggunakan bahan
seperti beton, yang memiliki kuat tarik sangat kecil dibandingkan dengan kuat
tekannya. Daerah pada penampang kolom yang merupakan batasan eksentrisitas
di mana jika di dalamnya dikerjakan gaya tekan maka tegangan yang terjadi pada
seluruh penampang kolom masih merupakan tegangan tekan murni disebut
sebagai inti tampang. Inti tampang pada penampang kolom dapat ditentukan
dengan menghitung batasan eksentrisitas pada setiap sisi kolom menggunakan
Persamaan di bawah ini :

(4.5.)

0

− (4.6.)
y0

91
4.2. Persamaan Tekuk Euler

Teori yang dikemukakan oleh Leonhard Euler pada tahun 1744


didasarkan
pada asumsi-asumsi berikut :
a.) Kolom yang dianalisis berbentuk lurus sempurna.
b.) Beban aksial tekan bekerja secara sentris pada penampang kolom.
c.) Dimensi longitudinal kolom jauh lebih besar
dibandingkan dimensi
transversalnya.
Pada kasus kolom ideal dapat digunakan berbagai macam kondisi tumpuan.
Persamaan tekuk Euler pada kolom yang menggunakan tumpuan sendi pada kedua
ujungnya dapat diperoleh dengan cara berikut ini :

Gambar 4.2. Tekuk pada Kolom Bertumpuan Sendi-Sendi

92
2 =
y
.I. M
x
=
P.(− y)

2 =
y
.I. − P.y (
x 4.7.)

2
y

2
=
x .I y 0 (
P 4.8.)
dengan k = , maka Persamaan 4.7 dapat diubah menjadi :

.I

2
y + k
2
.y= 0
2
x
Penyelesaian dari Persamaan 4.8 adalah :
cc = A.cos kx + B.sin kx
di mana A dan B, merupakan konstanta integrasi.
Pada saat x = 0 maka y = 0, sehingga diperoleh A = 0
x = L maka y = 0,
0 = B.sin kL
Sin kL= 0
kL = 0, π, 2π, 3π, ...

Nilai B tidak boleh sama dengan nol, karena semua penyelesaian Persamaan akan
selalu bernilai nol dan merupakan trivial solution, sedangkan nilai 2π, 3π dan
seterusnya tidak memberikan nilai praktis yang signifikan,
maka :

k.L π

tau L π
E
.I
P .E.I
2

tau L2

Maka Beban kritis tekuk Euler pada kolom bertumpuan sendi-


sendi;

2
(4
P .E.I min .9.)
2
cr L

93
Beban kritis tekuk Euler pada kolom ideal yang lain dapat dihitung dengan
cara analog seperti kasus kolom bertumpuan sendi-sendi. Formulasi beban kritis
untuk jenis kolom ideal yang lain adalah :

Kolom bertumpuan 2
.) sendi-jepit, .π .E.I min
r 2
L

Kolom bertumpuan 2
.) jepit-jepit, .π .E.I min
r 2
L
Kolom bertumpuan jepit 2
π .E.Imin
.) bebas,
r 2
4.L
Formulasi tekuk Euler secara umum dapat dinyatakan dalam
bentuk
Persamaan berikut :
π
2
.E.Imin 4.10.)
L
r 2
k

Hasil formula beban kritis pada masing-masing jenis kolom ideal


menunjukkan adanya perbedaan karena pengaruh nilai faktor tekuk “k” untuk
setiap jenis kolom ideal. Nilai faktor tekuk tersebut akan mempengaruhi besarnya
panjang tekuk efektif “Lk” yang merupakan fungsi panjang aktual “L” dan nilai
faktor tekuk “k”. Besarnya panjang tekuk efektif “L k” untuk masing-masing jenis
kolom ideal adalah :

Tabel 4.1. Panjang Tekuk Efektif Kolom Ideal


N Jenis Panjang Tekuk Efektif
o. Tumpuan (LK)

1
. Sendi-Sendi L
2 L
. Sendi-Jepit
2
3
. Jepit-Jepit L/2
4
. Jepit-Bebas 2.L
94
Besarnya tegangan normal kritis pada kolom ideal juga dapat ditentukan dari
Persamaan Euler, yaitu :

2
.E.I
r in

k .A

tau

.E
2
cr (4.11.)
r
min
ma ” menunjukkan angka kelangsingan kolom “λ”,
Lk
i na “ sehingga
r
min
Persamaan 4.11 juga bisa dinyatakan dalam bentuk

2 .E
cr (4.12.)
2

Tegangan kritis yang dihitung dengan Persamaan Euler hanya berlaku


dalam batasan hukum Hooke, sehingga :
σ ≤σp (4
cr .13.)
di mana “σ p ” merupakan batas tegangan
proporsional yang besarnya dapat
ditentukan sama dengan nilai tegangan leleh “ σ
y ”. Selanjutnya dengan

mensubstitusikan Persamaan 4.13 ke dalam Persamaan 4.12 dapat diperoleh :

2 ≤
.E
σy (4.14.)
2

tau
E
≥π. (4.15.)
(E) y

Berdasarkan Persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa Persamaan tekuk


Euler hanya berlaku jika angka kelangsingan kolom “λ” memenuhi kriteria kolom
panjang yang ditunjukkan pada Persamaan 4.15. Angka kelangsingan batas dapat
dihitung dengan :
λ E
g =π. (4.16.)
σ
y

95
Persamaan Parabola
Johnson

σy
Persamaan
Euler
σcr A
Persamaan Tetmayer

Gambar 4.3. Persamaan Kurva Empiris Kolom Baja

4.3. Persamaan Parabola Johnson

Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab di atas bahwa Persamaan Tekuk


Euler hanya sesuai untuk digunakan pada kolom panjang ( slender column), di
mana keruntuhan kolom tejadi akibat fenomena tekuk ( buckling) yang disebabkan
bekerjanya gaya aksial tekan dan momen lentur yang berkerja secara simultan.
Pada kasus kolom pendek dengan angka kelangsingan kurang dari 30 ( λ≤30)
kegagalan yang terjadi murni disebabkan karena bekerjanya gaya aksial tekan

tanpa adanya lenturan sehingga besarnya tegangan kritis (σcr) dapat ditentukan

sama dengan tegangan leleh material yang digunakan (σy). Kasus yang lain adalah
kolom sedang (intermediate column) dengan angka kelangsingan berkisar dari 30

sampai angka kelangsingan batas (30 ≤ λ < λg) tegangan yang terjadi akibat gaya
aksial dan momen lentur memiliki kontribusi yang sama-sama signifikan,
sehingga sampai saat ini tegangan kritis yang terjadi dihitung menurut formula
empiris yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan para ahli, misalnya
penelitian oleh J.B. Johnson yang menghasilkan Persamaan Parabolik Johnson
dan digunakan dalam konsep perancangan menurut AISC 1969.

9
6
Tegangan kritis pada kasus kolom sedang dapat dihitung menurut
Persamaan berikut :

l 2
cr =σy −γ. (4.17.)
r
min
Persamaan di atas dapat digunakan untuk menghitung tegangan kritis
kolom sentris yang memiliki nilai kelangsingan lebih kecil dari angka
kelangsingan batas, di mana pada Gambar 4.3 berada di sebelah kiri. Nilai γ
ditentukan oleh sifat material dan ukuran geometris yang digunakan. Selanjutnya
beban maksimum yang boleh dikerjakan dapat dihitung dengan :

σ .A (4.18.)
r r

4.4. Persamaan Garis Lurus Tetmayer

Persamaan garis lurus ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tetmayer dan Bauschinger terhadap kolom baja struktural bertumpuan sendi-
sendi. Hasil penelitian tersebut menghasilkan formula empiris berdasarkan
tegangan tekan rata-rata yang terjadi pada kolom baja. Formula empiris yang
dihasilkan adalah :
l
cr =σy −β. (4.19)
r

min
Khusus untuk kolom baja struktural, tegangan kritis dapat dihitung dengan :
l
cr = 330 − 1,45 . MPa (4.20.)
r
min
Persamaan ini untuk kolom baja dengan angka kelangsingan
berlaku yang
berkisar 30 sampai 110 (30 ≤ λ < 110).

4.5. Kolom dengan Beban Eksentris

Jika suatu beban P dikerjakan pada kolom dengan eksentrisitas “e”, maka
pada suatu titik yang berjarak X akan terjadi momen lentur,
M = − P.y
97
2 =
y
.I. − P.y

2
x

2
y

2
x .I y 0

tau

2 +
y 2
k .y 0 (4.21.)
2
x

Gambar 4.4. Kolom dengan Beban Eksentris

Penyelesaian dari Persamaan di atas adalah :


y = A.cos kx + B.sin kx (4
.22.)
di mana A dan B merupakan suatu konstanta
Mengacu pada Gambar 4.4,
maka
y = e pada saat x = 0
diperoleh nilai
A=e
Dengan menggunakan Persamaan 4.22,
dy
= −k.A.sin kx + k.B.cos kx

98
m
aka
= pada
y 0 saat x =
dx
L L
0 = −e.sin k. + B.cos k.
2 2
atau
k.L
= e. tan
2
sehingga diperoleh Persamaan
(L) = e.cos
kx + e.
k.L
tan
.sin kx 2
k
.L
y = e. cos kx + .
tan sin kx (4.23.)
2
Perlu diingat bahwa dalam Persamaan 4.23 terdapat nilai P
k=
E
.I
defleksi kolom terjadi pada semua nilai beban tidak seperti pada kasus
beban aksial sentris, di mana defleksi hanya terjadi pada saat P = Pcr.
Defleksi maksimum terjadi pada bagian tengah kolom
(kasus simetris).
Sehingga Persamaan 4.23, berubah menjadi :
k
.L .L .L
=
max e. cos tan sin
2 2
= .L
2 .L 2 .L
e.sec cos sin

=
e.sec .L (4.24.)
2
= ∞pada saat nilai .L
max sec =∞
2
atau pada saat
k .L = π
U 2
atau
P
.L =π
E.I

99
atau pada saat nilai
π 2.E.I
P= = P (Beban kritis tekuk Euler)
cr
L2

Apabila nilai ymax mencapai ∞ , hal ini merupakan kasus terburuk yang
dalam kenyatannya tidak akan pernah terjadi, maka harus dicatat bahwa pada
kolom eksentris biasanya beban yang dikerjakan harus lebih kecil dari beban kritis
tekuk Euler. Jika Z merupakan modulus tampang
P.yma
x (4.25.)
max

.e.sec .L
(4.26.)
Z

.e .L
1 sec (4.27.)
2
di , y merupakan jarak antara garis netral
mana Z = dengan penampang
c

c
2
kolom dengan serat terluar pada sisi tekan. Sedangkan I = A.r0 , di mana

r0 merupakan jari-jari girasi penampang kolom terhadap sumbu di mana terjadi


momen lentur, maka :

.yc .yc

2
.r0
y
= c
2
r0
Berdasarkan Persamaan 4.27,
e k
P .y .L
= 1+ sec
ax
r
2
A 2

P e L
= 1+ sec 4.28.)
r
A 2 .I 2

e
P .y P
= 1+ sec 4.29)
r 2 E
A 2 .r .A

1
00
Untuk mendapatkan Persamaan yang dapat berlaku untuk semua kondisi

tumpuan kolom, maka digunakan besaran panjang efektif (Lk), sehingga diperoleh
Persamaan :
e
P .y L k

= 1+ sec (4.30.)
ax
r 2 E
2
A .r .A
0
Persamaan di atas berlaku untuk semua jenis kolom dengan berbagai nilai
angka
Lk
kelangsingan . Persamaan 4.30 dikenal dengan sebutan Persamaan Secant. r

Persamaan tersebut mudah digunakan untuk menghitung besarnya

tegangan maksimum (σ max ), jika semua data yang diperlukan telah diketahui.
Namun apabila ingin dihitung harga P dengan data tegangan maksimum, maka
perlu dilakukan penyelesaian dengan metode numeris. Cara lain yang dapat
dilakukan

k.L
dengan menggunakan cara Webb’s Approximation untuk nilai sec 2
π
+ 0,26
yang berlaku pada kisaran 0 < θ < , di mana :
e.
2
2 −

1
+ 0,26.
π 0,26.
r
ecθ 2.θ e.
2 P
r

π
Substitusi Persamaan 4.31 ke dalam Persamaan 4.24 =
mendapatkan : max P.ymax =
2
k.L
π
2

k
2
.L

1 P
(4.31.)

(4
.32.)

1
01
Selanjutnya Persamaan 4.25 dapat diubah menjadi :
(P + 0,26.P)
.e. cr
(
P −P)
r

max Z (4.33.)
Pers akan memberikan penyelesaian yang lebih mudah
amaan .33 jika
dibandingkan dengan Persamaan 4.26 dan 4.27.
Persamaan 4.31 juga dapat lebih disederhanakan lagi menjadi :
2
s 1 + 0,1.θ (4
ecθ = .34.)
2
1 − 0,4.θ
Sehingga Persamaan 4.26 dapat diubah menjadi :

+ 0,1.
σ .e
=
max
1 L
− 0,4. (4
.35.)
4
.e
+ 0,1.k L

= .
4
− 0,4.k L

4.6. Kombinasi Beban Aksial dan Momen Lentur

Dalam lingkup pekerjaan teknik sipil sering dijumpai kasus di mana suatu
elemen struktur menerima beban yang berupa momen lentur M dan gaya aksial P
sebagaimana ditunjukkan Gambar 4.5, misalnya pada struktur balok beton
prategang atau elemen struktur yang berupa kolom. Kolom berfungsi untuk
menahan beban aksial P searah dengan sumbu batangnya, tetapi jika gaya aksial
tersebut bekerja dengan eksentrisitas m, maka akan terjadi momen lentur sebesar
P.m terhadap sumbu Y.

M M
P P
Gambar 4.5. Balok dengan Kombinasi Gaya Aksial dan Momen Lentur

102
Pada kasus di atas tegangan yang terjadi dalam material yang digunakan
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

tegangan normal akibat beban


aksial; a =
A
dan

tegangan normal akibat momen


lentur; l = ±
P . m) . x

di mana x merupakan jarak beban aksial terhadap sumbu Y dan Iy adalah


momen inersia terhadap sumbu Y.
Tegangan total yang bekerja pada elemen struktur tersebut dapat dihitung
dengan cara superposisi antara tegangan normal akibat beban aksial dengan
tegangan akibat momen lentur, di mana jika tegangan akibat momen lentur
bekerja sesuai dengan tegangan akibat beban aksial (kasus di atas berupa tegangan
tarik) maka diberikan tanda positif, sedangkan jika berlawanan diberikan tanda
negatif.
m

X
m

a a a
1
03

σ
σl l
σl

σ
σ
σa + σl a + σl
a + σl

σl
σa – σl
0 – σa
(a
.) (b.) (c.)

Gambar 4.6. Superposisi Tegangan Akibat Beban Aksial dan Momen


Lentur

Berdasarkan ilustrasi pada Gambar 4.6 dapat dijelaskan bahwa :

a.) Besarnya tegangan total “σr” dipengaruhi oleh tegangan normal tekan akibat
beban aksial dan tegangan normal akibat momen lentur. Sisi yang mengalami
tegangan tekan akibat momen lentur mengakibatkan bertambahnya tegangan
normal tekan, sedangkan sisi yang mengalami tegangan tarik akibat momen
lentur mengakibatkan semakin kecilnya tegangan tekan yang diakibatkan
beban aksial, dan jika tegangan tarik yang diakibatkan momen lentur telah
melebihi tegangan tekan yang diakibatkan beban aksial akan terjadi
fenomena “pembalikan tegangan” seperti ditunjukkan pada Gambar 4.6.c.
b.) Adanya eksentrisitas menyebabkan sumbu normal tidak berimpit dengan
pusat berat, namun dalam perhitungan jarak “x” tetap dihitung dari pusat
berat.
Jika beban aksial P bekerja dengan eksentrisitas “m” dari sumbu Y dan “n”
dari sumbu X seperti terlihat pada Gambar 4.7, maka akan terjadi momen lentur
ke arah sumbu X maupun Y, sehingga tegangan total yang terjadi adalah :

1
04
P . m) . x P.m).y
r (4.22.)

y x

.x .y
2
± 2 (4.23.)
x

Gambar 4.7. Beban Eksentris dalam Dua Arah

Dalam kasus ini tegangan maksimum akan terjadi pada kuadran di mana
beban aksial bekerja, sedangkan tegangan minimum terjadi pada kuadran yang
berseberangan.

4.7. Contoh Penerapan

Contoh 4.1 : Tentukan dan gambarkan batas-batas


inti tampang dari profil
berikut :
Y
15
mm

X
15
mm
15
mm

300 mm

Gambar 4.8. Profil WF 300x300


105
Penyelesaian :

Bentuk dan ukuran profil pada Gambar 4.8 simetris dalam arah vertikal
maupun horisontal, sehingga garis berat berimpit dengan sumbu-sumbu
simetrinya.
2
mm
Luasan tampang

K = (2x300x15) + (15x270)
2 Gari x
= 13050 mm
s AB 0 =∞
Momen inersia tampang =
0 150 mm
x300 168750
1 3 4 5
X 2x x15 mm
y 230,604 0,
2
2x300x15x1 = 164025000 aka =− 0 −
2 4
35 mm
3 4
12 246037 v =
x15x270 50 mm i 2
− x =−
188797500 14467,241
4 =
mm
−96,45 mm
y
x15 67500000 150
1 3 4
0
Y 2x x300 mm
2
3 4
12 759378
x270 x15 mm

68259378
4
mm
188
x 797500
1
X 3050
= 14467,241
2
mm
68
Y 259378
Y
1
= 5230,604
3050
A B

b1
b3

b4
b2

D C

1
06
b
v) =
2 = (u; (0,00; − 96,45 mm)
karena
simetris
v) =
1 = ( u; (0,00; 96,45 mm)

G =
aris BC 0 150 mm
0 =∞
5 =
y − 230,604 −34,87 mm
m x 1
aka =− 0 50

14 =
=−
x
− 467,241 0,00 mm
y0 ∞

b3 = (u; v) = (−34,87mm; 0,00)

karena simetris

b4 = (u; v) = (34,87 mm; 0,00)

(0,00; 96,45)

(- (34,87;
34,87; 0,00) 0,00)

(0,00; -96,45)

Contoh 4.2 : Sebuah kolom setinggi 7 m dengan kondisi ujung sendi-jepit


menggunakan profil WF seperti yang ditunjukkan pada Gambar
4.8 dengan tegangan leleh 240 MPa dan modulus elastisitas 210
GPa, tentukan besarnya beban aksial maksimum yang boleh
dikerjakan pada kolom tersebut.

107
Penyelesaian :

Sifat tampang yang telah dihitung sebelumnya


=
2
13050 mm
=
4
X 188797500 m
68
4
Y 259378 m
=
X 120,28 mm
72,
Y 32 mm

Angka kelangsingan

.7000
K =
l
k= 2
rmin 72,32
N = 68,44

Kelangsing
an batas
2
.E x210000
g π π
σ
2
y 40
=
g 131,42

karena λ<λg , maka kolom baja tersebut tergolong sebagai kolom sedang
dan
untuk analisisnya dapat digunakan Persamaan Parabolik Johnson :

(
k
cr . σy)
.r

in
2

.
7000
= x
1− (240)
131,4
= 207, 45 MPa

maka beban aksial maksimum yang boleh dikerjakan adalah :


Pcr = σcr x A

L 207,45 x 13050
M 2707,265 kN

108
Contoh 4.3. : Sebuah batang tekan dengan panjang 1 m, diameter luar 70 mm
dan diameter dalam 60 mm, kedua ujungnya bertumpuan sendi-
sendi menerima gaya tekan dengan eksentrisitas 5 mm. Hitung
beban maksimum yang dapat dikerjakan, jika batas tegangan yang
diijinkan 250 MPa dengan nilai elastisitas baja sebesar 200 GPa.

Penyelesaian :

Luas tampang (A) batang tekan,

= =
π
(
. 70 − 50
2 2

)4
2
1021 mm
Eksentrisitas (e),
e = 5 mm
Momen inersia tampang (I),

K =
π
(
. 70 − 50
4 4

)4
4
542415 mm
Modulus tampang (Z),
5
42415

3
c 5
= 15497
3
mm
Menggunakan
Persamaan 4.32,

L
.L
1 1
+ 0,1. + 0,1. x

k E
.L .I
ec 2 =
.L
− ,4. 1 − 0,4.

E
.I
6
0
1
+ 0,1.
200000x
= 542415
0
− ,4.
200000x
542415

1
09

1 P
+ 0,1.
6
0,434x10
=
P
1 − 0,4.
6
0,434x10

L 6
0,434x10 + 0,1.P
6
0,434x10 − 0,4.P

Berdasarkan Persamaan 4.26,

.e.sec .L
σ 2
max

0,
6 +
x5 434x10 0,1.P
250
15497
6

021 0,434x10 0,4.P

0
,434x10 ,1.P
0,775 x =
106 3,305.P + P.
0, 0
434x10 ,4.P
= 9,45 0,128 x
6 6
P x 10 N tau 10 N

Digunakan nilai beban terkecil, sehingga beban maksimum yang diijinkan


adalah
128 kN.

Soal Latihan
4.1. Sebuah kolom bertumpuan jepit-sendi dengan bentuk tampang lingkaran
berlubang sepanjang 8 m yang digunakan untuk menahan gaya tekan 400
kN, jika ditentukan diameter luar yang digunakan adalah 200 mm dan nilai
elastisitas besi tuang sebesar 80 GPa, hitung tebal penampang yang
diperlukan dengan menggunakan Persamaan Euler !

110
4.2. Diketahui profil baja dengan bentuk tampang tergambar

10 mm
220 mm
8 mm
mm

250 mm

Q Tentukan daerah inti tampang profil tersebut !


R Jika profil di atas digunakan sebagai kolom dengan panjang aktual 5,00
meter dan kondisi tumpuan kedua ujungnya adalah jepit-bebas,
sedangkan tegangan lelehnya 240 MPa dengan modulus elastisitas 200
GPa, tentukan beban kritis yang boleh dikerjakan pada kolom tersebut !

4.3. Sebuah tiang terbuat dari baja dengan tegangan maksimum yang diijinkan
sebesar 210 MPa, panjang tiang adalah 3 m dengan kondisi kedua ujungnya
bertumpuan sendi-sendi. Diameter luar tiang terukur sebesar 60 mm dengan
tebal 6 mm. Jika gaya tekan (P) pada tiang baja tersebut dikerjakan dengan
eksentrisitas 15 mm, hitung P maksimum yang diijinkan !

4.4. Suatu balok beton prategang berbentuk segi empat dengan lebar balok 35 cm
dan tinggi 60 cm diberi gaya tekan secara konsentris (di pusat berat) sebesar
2500 kN, jika kuat tekan karakteristik beton (fc’) sebesar 50 MPa, dan
tegangan tarik yang diijinkan pada beton sebesar 5 MPa, hitung beban
terbagi rata yang boleh dikerjakan di atas struktur balok !

10 m

111

6
3
2
2

Anda mungkin juga menyukai