Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS:

PENDEKATAN DIAGNOSTIK DAN TATA LAKSANA INFEKSI


PARASIT CACING DIOCTOPHYMA RENALE PADA
MANUSIA

Disusun oleh:
dr. R. Agung Suryoputro Reksoprodjo
1706118955

Chief:
dr. Nicholas Kristanta Sandjaja

Supervisor:
Dr. dr. Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI

Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta 2018
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi Kasus
Pendekatan diagnostik dan Tata laksana infeksi parasit
cacing Dioctophyma Renale pada manusia

Oleh:

dr. R. Agung Suryoputro Reksoprodjo


PPDS Ilmu Penyakit Dalam Tahap I
NPM 1706118955

Telah disetujui untuk dipresentasikan di RSUPN Cipto Mangunkusumo


Pada bulan Agustus 2018

Supervisor, Chief of Ward,

Dr. dr. Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI dr. Nicholas K. Sandjaja

Universitas Indonesia
iii

LEMBAR KONSULTASI

Dokter penanggung jawab pasien


Tanggal Aktivitas Tanda tangan
Revisi pertama

Revisi kedua

Persetujuan akhir

Chief of Ward
Tanggal Aktivitas Tanda tangan
Revisi pertama

Revisi kedua

Persetujuan akhir

iv
iii

UNDANGAN

Universitas Indonesia
Presentasi kasus dengan topik:
Tata laksana infeksi parasit cacing Dioctophyma renale
pada manusia

Presentan : dr. R. Agung Suryoputro Reksoprodjo


Chief of Ward : dr. Nicholas Kristanta Sandjaja
DPJP : Dr. dr. Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI

Bersama ini turut mengundang


Moderator: Divisi Tropik dan Infeksi, Departemen IPD, FKUI-RSCM
Narasumber:
• Divisi Tropik dan Infeksi, Departemen IPD, FKUI-RSCM
• Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen IPD, FKUI-RSCM
• Departemen Parasitologi, FKUI
• Departemen Bedah Urologi, FKUI-RSCM

Disetujui oleh,

Dr. dr. Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Universitas Indonesia
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa karya ilmiah saya
berupa presentasi kasus dengan judul:

Pendekatan diagnostik dan tata laksana infeksi parasit


cacing Dioctophyma renale pada manusia

Saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas
Indonesia

Jika di kemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai
plagiarisme atas karya ilmiah ini, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima
sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, Agustus 2018

dr. R. Agung Suryoputro Reksoprodjo


NPM 1706118955

vi

DAFTAR ISI

Universitas Indonesia
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………...ii
UNDANGAN……………………………………………………………………iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME……………………………………..iv
DAFTAR ISI………………………………………………………………….....v
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………vi
LAMPIRAN…………………………………………………………………….vii
BAB I……………………………………………………………………………1
LATAR BELAKANG…………………………………………………………..1
BAB II…………………………………………………………………………...2
ILUSTRASI KASUS……………………………………………………………2
BAB III………………………………………………………………………......9
DISKUSI…………………………………………………………………………9
BAB IV…………………………………………………………………………15
KESIMPULAN…………………………………………………………………15
BAB V…………………………………………………………………………..16
LAMPIRAN…………………………………………………………………….16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..19

Universitas Indonesia
vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hasil EKG pasien


Gambar 2. Hasil Rontgen Thorax pasien
Gambar 3. Cacing Dioctophyma renale pada sediaan sampel urin
Gambar 4. Hasil USG ginjal pasien
Gambar 5. Hasil CT scan abdomen dengan kontras
Gambar 6. Pedis sinistra pre dan post skin graft
Gambar 7. Telur cacing Dioctophyma renale

LAMPIRAN
Tabel 1. Hasil laboratorium pasien
Tabel 2. Kurva gula darah harian
Tabel 3. Balans cairan harian

Universitas Indonesia
1

BAB I
LATAR BELAKANG

Infeksi cacing sangat banyak ditemukan pada daerah dengan iklim tropis maupun
subtropis dan merupakan salah satu masalah yang masih sulit untuk diberantas terutama pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah dan masyarakat yang tinggal di lingkungan
dengan sanitasi yang buruk. Infeksi cacing gelang merupakan salah satu infeksi cacing terbanyak
pada manusia selain cacing tambang dan cacing pita. Cacing-cacing tersebut menginfeksi
manusia lewat perantara tanah dan tempat hidupnya di manusia adalah di usus. Infeksi parasit
cacing dilaporkan menginfeksi dua miliar orang di seluruh dunia. Cacing gelang yang terbanyak
menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides.1 Namun dari beberapa kasus infeksi cacing
gelang yang pernah dilaporkan ada beberapa kasus yang tidak biasa, yaitu kasus infeksi cacing
yang jarang menginfeksi manusia. Cacing tersebut adalah Dioctophyma renale atau disebut juga
giant kidney worm yang termasuk dalam kelas nematoda. Dioctophyma renale merupakan cacing
parasit yang sering menginfeksi karnivora mamalia, seperti anjing, kucing, dan mamalia
pemakan daging lainnya.2 Cacing tersebut tinggal di daerah dengan suhu hangat dengan area
terbuka yang di sekitarnya ada sungai atau danau. Cacing ini tidak memiliki host yang spesifik
sehingga dapat menginfeksi semua mamalia termasuk manusia. Kasus Dioctophyma renale yang
menginfeksi manusia sangat jarang ditemukan, dari kasus yang pernah dilaporkan dari seluruh
dunia hanya kurang lebih 20 kasus yang menginfeksi manusia, kasus yang ditemukan tidak
hanya infeksi di ginjal saja tetapi menginfeksi rongga peritoneum dan kutis. 3 Pada kasus yang
akan dibahas di bawah ditemukan cacing Dioctophyma renale. Oleh karena itu kasus ini cukup
menarik untuk dibahas dan dipelajari bersama-sama. Pembahasan kasus ini juga diharapkan
meningkatkan kewaspadaan dokter akan penyebab lain dari gangguan faal ginjal.

Universitas Indonesia
2

BAB II
ILUSTRASI KASUS

Pasien perempuan Ny. NS, usia 55 tahun berasal dari Jakarta, datang ke IGD RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo pada tanggal 13 Juli 2018. Pasien masuk ruangan pada tanggal 15 Juli
2018 dengan keluhan utama penurunan kesadaran yang memberat sejak dua hari SMRS.
Penurunan kesadaran dimulai sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit. Saat itu pasien mulai
sulit berkomunikasi, keluhan kelemahan sisi tubuh, bicara pelo, dan kejang disangkal. Demam
juga disangkal. Semakin lama semakin memberat; pasien menjadi gelisah, terlihat seperti
bingung dan tidak dapat berkomunikasi. Semakin lama kesadaran semakin menurun sehingga
keluarga membawa ke IGD RSCM. Di IGD pasien diperiksa gula darah mencapai 320 mg/dL,
hasil pemeriksaan fungsi ginjal pasien ureum 231 mg/dL dan kreatinin 7,7 mg/dL; diputuskan
untuk dilakukan cuci darah di IGD. Setelah dilakukan cuci darah kesadaran pasien membaik.
Satu hari setelah pasien masuk rawat inap ditemukan cacing pada urine bag pasien. Cacing
diambil sebagai sampel dan dikirim ke Parasitologi. Dari pemeriksaan didapatkan bahwa cacing
tersebut adalah cacing yang mempunyai siklus hidup di ginjal, yaitu Dioctophyma renale.
Sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengeluh diare, BAB cair sehari
lima kali, konsistensi cair namun masih ada ampas, warna kuning kecoklatan dan terdapat lendir.
BAB hitam disangkal. Pasien tidak mau makan, perut dirasakan mual dan ada muntah setiap kali
pasien makan. Muntah hitam disangkal. Pasien juga mengeluh lemas, lemas dirasakan seluruh
tubuh. Pasien juga mengeluh sulit BAK, harus sedikit mengedan, perut bawah terasa nyeri, nyeri
dirasakan seperti ditusuk-tusuk. BAK rasa tidak selesai. Ingin BAK terus. Nyeri BAK, BAK
darah, dan nyeri pinggang disangkal. Riwayat BAK keluar cacing juga disangkal.
Sejak tiga tahun sebelum masuk rumah sakit pasien terdiagnosis diabetes dan hipertensi.
Keluhan pasien saat itu lemas dan sering BAK, saat diperiksa gula darah pasien mencapai 300
mg/dL. BAK masih lancar dan banyak. Pasien diperbolehkan rawat jalan dan mendapat
metformin 2x500mg. Untuk tekanan darah tinggi diberikan amlodipine 1x10 mg. Pasien hanya
meminum obat yang diberikan saja tanpa kontrol kembali ke Puskesmas atau rumah sakit. Pasien
tidak kontrol karena tidak ada keluhan. Nyeri dada dan dada berdebar disangkal. Sesak nafas
disangkal, tidur menggunakan tiga bantal disangkal, terbangun malam hari karena sesak

Universitas Indonesia
3

disangkal. Penurunan kesadaran disangkal. Kesemutan pada tangan dan kaki disangkal,
penglihatan kabur disangkal.
Enam bulan sebelum masuk rumah sakit pasien dirawat di RSCM dengan gula darah
tinggi dan punggung kaki sebelah kiri bengkak. Saat itu gula darah diketahui mencapai 400
mg/dL. Awalnya kaki bengkak tidak dirasakan pasien, menurut pasien awalnya kecil lalu
semakin membesar. Pasien tidak merasakan nyeri. Demam ada, namun tidak terlalu tinggi.
Dilakukan amputasi pada jari kaki kirinya (metatarsal) karena dikatakan sudah terinfeksi. Pasien
kemudian berobat jalan dengan pengobatan metformin 3x500 mg dan insulin glargine 1x10 unit.
Lima minggu SMRS pasien kontrol untuk luka pada kakinya ke Poliklinik Bedah Vaskular dan
setiap minggu rutin diganti verban. Luka pasien dikatakan membaik, perdarahan tidak ada, dan
tidak didapatkan nanah. Dua minggu sebelum masuk rumah sakit pasien dirawat di bagian bedah
RSCM untuk dilakukan NPWT (negative pressure wound therapy). Pasien di terapi untuk luka
amputasi di kaki kirinya. Pasien di persiapkan untuk dilakukann STSG (soft tissue skin graft).
Persiapan selama satu minggu.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh timbul bercak-bercak merah
di lipat paha dan sekitar kemaluan. Bercak tersebut bertambah lebar. Pasien merasakan nyeri dan
gatal di tempat bercak-bercak tersebut. Saat kontrol ke Poliklinik Bedah pasien sudah
dikonsulkan ke dokter spesialis kulit kelamin dan dikatakan menderita infeksi jamur, lalu
diberikan obat anti jamur. Setelah kontrol dikatakan jamur sudah tidak ada dan didiagnosis
sebagai dermatitis. Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat sakit
kuning, sakit liver, sakit paru-paru, sakit ginjal disangkal, riwayat stroke dan riwayat sakit
jantung juga disangkal.
Ibu pasien dan ke-enam saudara kandung pasien memiliki sakit diabetes. Riwayat sakit
kuning, sakit liver, sakit jantung, sakit paru-paru disangkal. Pasien adalah seorang janda
ditinggal mati, pasien tinggal dengan anaknya (dua orang). Riwayat merokok ada sejak usia
sekitar 20 tahunan dan berhenti sekitar tiga bulan yang lalu. Sehari merokok 3-5 batang,
konsumsi alkohol, intravenous drug user disangkal. Pasien memiliki kebiasaan menyukai
makan-makanan mentah seperti sushi. Pasien mempunyai peliharaan seekor kucing dirumah,
kucing tersebut jarang dimandikan atau divaksinasi. Pembayaran dengan BPJS.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang, delirium. Tekanan darah 140/90
mmHg, frekuensi nadi 84 kali per menit, frekuensi napas 20 kali per menit, suhu 36,4ᵒC, dan

Universitas Indonesia
4

saturasi oksigen perifer 98% room air. Tinggi badan pasien 155 cm dengan berat 65 kg sehingga
indeks masa tubuh pasien 27 (overweigth). Konjungtiva tampak pucat, sklera tidak ikterik.
Kelenjar getah bening leher tidak teraba, tekanan vena juguler tidak meningkat dan terpasang
CDL pada juguler kanan. Bunyi napas dasar vesikuler tidak disertai rhonki dan wheezing. Bunyi
jantung 1 dan 2 normal, tidak ada murmur dan gallop. Perut tampak buncit, supel, hepar dan
limpa tidak teraba, nyeri tekan abdomen negatif, shifting dullness positif, dan bising usus
normal. Pada kedua tungkai teraba hangat, tidak terdapat edema pitting dan terdapat verban pada
pedis sinistra post amputasi.
Pada pemeriksaan laboratorium awal pada tanggal 14 Juli 2018 ditemukan bahwa Hb 8,2
g/dL, leukosit 10.4710/µL, trombosit 250.000/µL, fungsi ginjal ureum 231 mg/dL, kreatinin 7.7
mg/dL. Elektrolit natrium 132 mEq/L, kalium 6.1 mEq/L, klorida 109 mEq/L. GDS 320 mg/dL,
keton negatif. Protein total 7.81 mg/dL, albumin 2.69 mg/dL, globulin 5.12 mg/dL. Fungsi hati
SGOT 57.2 U/L, SGPT 31,8 U/L. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan warna jernih, berat
jenis 1.010, glukosa negatif, protein negatif, keton negatif, darah samar 2+, leukosit 25, eritrosit
45, bakteri positif.
Pada pemeriksaan elektrokardiogram tanggal 13 Juli 2018 didapatkan sinus rhytm, QRS
rate 79x/menit, P wave normal, interval PR 0.16’, kompleks QRS 0.08’, ST-T changes tidak ada,
T inverted, LVH, RVH dan blok tidak ada.

Gambar1. Hasil EKG pasien

Dari hasil pemeriksaan diatas daftar masalah awal pada pasien adalah sebagai berikut: 1)
penurunan kesadaran ec ensefalopati uremikum, 2) acute on CKD pada CKD stage V, 3) riwayat
gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan sedang, 4) DM tipe 2, 5) gastropati uremikum, 6)
riwayat ulkus DM sinistra pasca amputasi 1 bulan lalu post skin graft, 7) infeksi saluran kemih,
8) Anemia renal dd/ penyakit kronik, 9) hipoalbuminemia, 10) hipertensi, 11) hiperkalemia, 12)
tinea kruris.

Universitas Indonesia
5
1

Saat di IGD tim jaga merencanakan HD cito dengan akses CDL di jugular dextra. Setelah
dilakukan HD cito kesadaran pasien membaik, fungsi ginjal pasien membaik dan kadar kalium
darah pasien juga menurun. Setelah HD kesadaran compos mentis, ureum 104, kreatinin 2.7 dan
kalium 4.7. Saat HD pasien juga dilakukan transfusi sehingga Hb pasien menjadi 9.8 setelah HD.
Setelah HD pasien dikirim ke ruangan lantai 7 dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah
140/80 mmHg, nadi 80x/menit, nafas 22x/menit, suhu 36.7ᵒC, SpO2 99%

Gambaran Rontgen thorax pasien setelah HD cito tanggal 13 Juli 2018

Gambar 2. Hasil Rontgen thorax pasien


Didapatkan kesan foto sebagai berikut:
- Elongasi dan kalsifikasi aorta
- Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
- CDL dengan tip distal pada proyeksi confluence vena cava superior – atrium kanan
- Tidak tampak pneumotoraks, pneumomediastinum dan emfisema subkutis.

Saat diterima dokter jaga ruangan tanggal 15 Juli 2018 di urin bag pasien terlihat ada cacing.
Cacing tersebut diambil kemudian sample cacing beserta urin dikirim ke laboratorium patologi
klinik, dari patologi klinik dikirim ke parasitologi. Pada tanggal 20 Juli pemeriksaan keluar dari
parasitologi dan diketahui cacing tersebut adalah cacing yang memang siklus hidupnya di ginjal,
yaitu dictophyma renale. Terapi awal yang diberikan pada pasien saat di ruangan adalah IVFD
triofusin 1000 500 ml/24 jam, O2 3 liter/menit nasal kanul, NGT alirkan pasien dipuasakan, Drip
insulin novorapid 1 unit/jam, Cefotaxim 3x1 gram IV, Levofloxacin 1x750 mg/48 jam,
Omeprazole 2x40 mg IV, Natrium bikarbonat 3x500 mg PO, CaCO3 3x500 mg, Asam folat

Universitas Indonesia
6
3x15 mg PO, Metokloperamid 3x10 mg IV, Vitamin B12 2x50 mg. Pasien direncanakan untuk
dilakukan pemeriksaan: darah perifer lengkap,ureum kreatinin, elektrolit Na/K/Cl, profil lipid,
KGDH/hari USG ginjal dan CT scan abdomen dengan kontras, pemeriksaan urin pagi hari untuk
melihat telur cacing serta cek feses parasit termasuk cek jenis cacing. Pasien direncanakan untuk
rawat bersama ke Metabolik Endokrin, Ginjal Hipertensi, Bedah Vaskular dan Bedah Urologi.
Hasil sampel cacing dari urine bag

Gambar 3. Dioctophyma renale dalam botol sampel urin

Pada pemeriksaan USG ginjal tanggal 18 Juli 2018 didapatkan gambaran sonogram
kedua ginjal yang menunjukkan gambaran penyakit parenkim ginjal kronik.

Universitas Indonesia
7

Gambar 4. Hasil USG ginjal pasien

Sedangkan hasil pemeriksaan CT scan abdomen dengan kontras tidak ditemukan kelainan
radiologis pada organ-organ intra abdomen, penebalan fokal jaringan lunak subkutis di dinding
abdomen kiri bawah suspek scar pascaoperasi.

Gambar 5. Hasil CT scan abdomen dengan kontras

Berdasarkan hasil evaluasi laboratorium (lampiran tabel 1) dan pemeriksaan penunjang


lainnya, didapatkan bahwa klinis penurunan kesadaran pasien semakin membaik. Hasil
pemeriksaan fungsi ginjal menunjukkan sesuai dengan klinis pasien yang membaik. Dengan
hasil fungsi ginjal dan eGFR yang membaik tanpa perlu HD lagi (pasien dilakukan HD sebanyak

Universitas Indonesia
8

3 kali) dipikirkan bahwa gangguan ginjal pasien masih mungkin disebabkan oleh obstruksi
akibat cacing, setelah cacing tersebut keluar fungsi ginjal pasien berangsur membaik. Assessment
pasien setelah evaluasi di ruang perawatan berdasarkan klinis, hasil laboratorium dan
pemeriksaan penunjang adalah: 1) DM tipe 2, 2) Acute on CKD,3) Infeksi saluran kemih ec
dioctophymiasis, 4) Hipertensi, 5) Riwayat penurunan kesadaran ec. Ensefalopati uremikum, 6)
Riwayat ulkus DM sinistra post amputasi pedis sinistra post skin graft, 7) Gastropati uremikum
perbaikkan, 8) Kandidosis intertriginosa.
Pasien mendapat terapi insulin untuk mengendalikan kadar gula darah harian (lampiran
tabel 2), pasien mendapatkan insulin drip selama 7 hari kemudian dilanjutkan dengan pemberian
metfotmin 2x500 mg dan lantus 1x12 unit. Lama diberikan insulin oleh karena regulasi gula
darah untuk persiapan skin graft dan karena diet pasien belum adekuat.
Pasien dilakukan operasi skin graft untuk luka post amputasinya pada tanggal 21 Juli 2018.
Berikut gambar pre dan post skin graft

Gambar 6. Pedis sinistra pasien pre dan post skin graft\

Terapi yang diberikan pada pasien sesuai dengan assessment terakhir adalah IVFD NaCl
0.9% 500 ml/24 jam, IVFD triofusin E 1000 500 ml/24 jam, diet DM 1600 kkal per hari,
Metformin 2x500 mg PO, insulin glargine 1x12 unit SK, Simvastatin 1x20 mg, Amlodipin 1x10
mg PO, Omeprazole 2x20 mg PO, CaCO3 3x500 mg, Asam folat 1x5 mg PO, Metokloperamid
3x10 mg IV, Vitamin B12 2x50 mcg, Lactulax 3x10 ml PO, mikonazol salep kulit 2x1.

Universitas Indonesia
9

BAB III
DISKUSI

Dioctophyma Renale
Dioctophyma renale termasuk dalam kelas nematoda yang disebut juga giant kidney
worm. Cacing ini adalah nematode terbesar yang menginfeksi mamalia, biasa ditemukan
terutama pada mamalia yang memakan daging seperti anjing, kucing, serigala. Sesuai dengan
namanya cacing ini siklus hidupnya adalah di ginjal, namun dapat juga ditemukan di luar ginjal
seperti skrotum, payudara, rongga thorax, rongga perut dan vesika urinaria. 3 Cacing tersebut
hidup di lingkungan dengan suhu sedang terutama daerah dengan aliran air seperti sungai yang
airnya jernih dan di sekitar danau, dengan insidensi tertinggi adalah di sekitar laut Kaspia. 3
Cacing tersebut tidak memiliki host definitif yang tetap sehingga bisa menginfeksi semua
mamalia termasuk manusia. Mamalia yang terinfeksi cacing tersebut memulai siklus infeksi
dengan mengeluarkan telur cacing melalui urin. Infestasi cacing tersebut dalam ginjal manusia
merupakan kasus yang sangat langka dan jarang ditemukan.3

Morfologi
Cacing tersebut berbentuk silindris. Tubuh cacing betina maupun jantan berwarna merah
gelap dan mempunyai tiga lapis kutikula atau lebih yang disekresikan oleh bagian epidermis dari
cacing tersebut. Kutikula tersebut berguna ketika cacing menginvasi saluran pencernaan. Panjang
cacing jantan dewasa berkisar antara 20-40 cm dengan lebar 5-6 mm. Cacing jantan memiliki
bursa kopulatriks yang berbentuk seperti bell dan mempunyai satu spikula, sedangkan untuk
cacing betina dapat tumbuh hingga 103 cm dengan lebar 10-12 mm. Bagian mulut cacing jantan
ataupun betina terdapat di ekstremitas anterior yang berbentuk seperti tunas (kuncup).4,5

Universitas Indonesia
10

Gambar 7. Telur cacing Dioctophyma renale5

Dioctophyma renale memiliki protein yang membentuk struktur tubuhnya mulai dari
dinding tubuh, usus, gonad dan cairan pseudocelomic. Protein yang banyak ditemukan pada
cairan pseudocelomic adalah P17 dan P44, kedua protein ini bersifat mudah larut dan dimiliki
oleh cacing dewasa jantan maupun betina. P17 dan P44 ini bila diekskresikan oleh cacing akan
membuat kerusakan pada parenkim ginjal karena membangkitkan respon inflamasi dan respon
jaringan. P17 membuat tubuh cacing terlihat kemerahan karena membawa oksigen scavenger dan
masih berhubungan dengan hemoglobin yang dimiliki oleh nematoda lain. Untuk P44 bersifat
hidrofobik dan menempel dengan asam lemak serta bertanggung jawab dalam mendistribusi
lemak dalam tubuh cacing.6
11

Siklus hidup
Mamalia yang terinfeksi cacing tersebut mengeluarkan telur cacing lewat urin. Telur
cacing tersebut berubah menjadi larva tahap pertama dalam 15-100 hari. Telur cacing ini harus
berada di lingkungan yang lembab. Larva tahap pertama tersebut ditelan oleh cacing akuatik
(Lumbriculus variegatus) yang berperan sebagai host perantara. Namun Lumbriculus variegatus
ini tidak ditemukan di bumi bagian selatan termasuk Indonesia. Di dalam Lumbriculus
variegatus larva Dioctophyma renale berganti kulit dua kali hingga menjadi larva tahap tiga
yang infeksius.6,7 Host terpapar oleh parasit yang infeksius dengan memakan ikan mentah yang
mengandung larva cacing tersebut atau tidak sengaja memakan cacing akuatik. Setelah larva
berada di dalam saluran pencernaan, larva tersebut melakukan penetrasi di dinding usus dan
bermigrasi ke hepar. Di parenkim hepar larva tersebut menjadi matur dalam waktu 50 hari,
setelah itu larva yang sudah matur tersebut akan bermigrasi ke ginjal dimana larva tersebut akan
berkembang menjadi cacing dewasa. Di ginjal cacing yang sudah matur menyebabkan obstruksi,

Universitas Indonesia
hidronefrosis dan kerusakan parenkim ginjal. Ginjal yang tidak terinfeksi oleh cacing biasanya
akan mengalamai hipertrofi sebagai kompensasi akibat fungsi ginjal satunya yang sudah rusak
oleh infestasi cacing tersebut. Hal yang unik adalah cacing Dioctophyma renale lebih banyak
ditemukan di ginjal sebelah kanan, hal ini mungkin imbas dari letak anatomi dimana ginjal kanan
dekat dengan hepar. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kedua ginjal dapat juga
terinfeksi secara bersamaan.6,7 Faktor risiko pada kasus ini adalah kebiasaan pasien makan-
makanan mentah terutama ikan mentah seperti sushi yang mungkin saja menjadi tempat telur dan
larva cacing tersebut berada. Pasien mempunyai kucing peliharaan berupa seekor kucing yang
jarang di vaksin dan dibersihkan. Selain itu pasien juga senang memberi makan dan bermain
dengan kucing liar.7

Manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang


Gejala klinis yang ditemukan pada infeksi cacing tersebut seperti infeksi saluran kemih
oleh karena infestasi cacing tersebut di ginjal. Dari beberapa kasus yang dilaporkan cacing
tersebut ditemukan secara insidental. Nyeri suprapubik, hematuria, pyuria, nyeri pinggang, dan
demam dapat ditemukan, penurunan fungsi ginjal yang progresif dapat ditemukan berdasarkan
hasil pemeriksaan ureum dan kreatinin sebagai monitor. 7,8 Pada kasus ini pasien datang dengan
fungsi ginjal yang buruk dicurigai gangguan ginjal akibat diabetes, lalu dilakukan hemodialisa.
Pasien juga mengeluhkan nyeri suprapubik, BAK rasa tidak tuntas dan harus mengedan ketika
BAK. Dipikirkan terdapat infeksi saluran kemih oleh karena bakteri. Namun, pada saat akan
membuang urin pada kantong urin ditemukan cacing. Sehingga infeksi saluran kemih yang
terjadi pada pasien oleh karena parasit. Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia dan
eosinofilia, hal ini mungkin disebabkan pasien menderita penyakit ginjal kronik yang
terkonfirmasi lewat USG ginjal, kemudian dipikirkan juga akibat dari hematuria mikroskopik
akibat infestasi cacing. Namun hal ini kemungkinan lebih kecil karena cacing sudah keluar dari
saluran kemih pasien dan tidak ditemukan adanya sisa cacing pada pemeriksaan imaging. Pada
pemeriksaan darah lengkap tiga hari terakhir Hb pasien cenderung relatif stabil. Selain itu
ditemukan adanya eosinofilia yang khas akibat infeksi cacing yang menyerang manusia, pada
kasus ini ditemukan adanya eosinofilia pada pemeriksaan differential count nya. Laporan kasus
yang pertama dari Iran juga melaporkan bahwa terdapat eosinophilia pada pasien yang terinfeksi
cacing Dioctophyma renale.9 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk melihat

Universitas Indonesia
12

adanya cacing di ginjal adalah dengan USG ginjal dan CT scan abdomen dengan kontras.
Penemuan diagnostik infestasi cacing Dioctophyma renale pada manusia tidak spesifik, dapat
menyerupai seperti kista, tumor, neoplasma pada ginjal atau di massa di retroperitoneal. 10-12 Pada
kasus ini USG ginjal dilakukan didapatkan gambaran sesuai dengan parenkim ginjal kronik
namun tidak ditemukan adanya hidronefrosis, CT scan abdomen dilakukan setelah cacing
tersebut keluar dari saluran kemih. Tidak ditemukan adanya hidronefrosis ataupun sisa dari
cacing. Setelah cacing keluar dari saluran kemih pasien fungsi ginjal pasien berangsur membaik
dan tidak di hemodialisa secara rutin. Dapat diambil kesimpulan bahwa gangguan akut pada
penyakit ginjal kronik yang terjadi pada pasien curiga akibat cacing Dioctophyma renale.
Ditemukannya telur cacing pada pemeriksaan urin juga merupakan diagnostik pasti terinfeksi
cacing ini, namun pada kasus ini tidak ditemukan telur cacing pada pemeriksaan urin lengkap. 13
Infeksi cacing yang terjadi pada pasien dipikirkan oleh karena pasien imunokompromais akibat
gula darah yang tidak terkontrol dan kebiasaan pasien makan makanan mentah seperti sushi.

Tata laksana
Ivermectin merupakan obat pilihan pada infeksi cacing ini pada hewan, walaupun bukan
obat khusus untuk dioctophimiasis.10 Namun karena infeksi Dioctophyma renale pada manusia
jarang, tidak ada standar terapi anti helmintes untuk manusia. 4,10 Nefrektomi dapat segera
dilakukan bila terbukti masih banyak cacing di dalam ginjal. Hal ini sangat penting karena
cacing ini secara perlahan merusak parenkim ginjal. 2 Albendazole dapat diberikan pada manusia
yang terinfeksi cacing Dioctophyma renale, terdapat satu laporan kasus yang menggunakan
albendazole sebagai anti helmintes dan setelah diberikan albendazole selama 2 hari tidak
ditemukan kembali adanya telur dalam urin pasien tersebut. 13 Pada pasien ini tidak diberikan
obat anti helmintes karena sediaan ivermectin oral untuk manusia belum ada di Indonesia, lalu
pemberian anti helmintes yang lain seperti albendazole tidak diberikan karena pertimbangan
tidak ada bukti klinis dan pemeriksaan penunjang yang menemukan masih adanya cacing atau
telur cacing. Pertimbangan lainnya adalah karena klinis pasien tidak ditemukan gejala infeksi
saluran kemih, tidak ditemukan telur cacing pada pemeriksaan urin lengkap dan pada
pemeriksaan USG ginjal tidak ditemukan adanya tanda-tanda obstruksi ginjal dan hidronefrosis,
lalu pada pemeriksaan CT scan abdomen dengan kontras tidak ditemukan adanya kelainan pada

Universitas Indonesia
13

organ lain terutama ginjal. Pemantauan fungsi ginjal pasien membaik, tidak ada peningkatan
kadar ureum kreatinin kembali setelah cacing keluar dari saluran kemih pasien.

Universitas Indonesia
15

BAB IV
KESIMPULAN

Dioctophyma renale merupakan cacing nematoda terbesar yang menginfeksi mamalia,


terutama mamalia karnivora. Cacing tersebut tidak memiliki host yang spesifik. Cacing tersebut
hidup di lingkungan yang lembab terutama di tempat yang memiliki aliran sungai. Siklus hidup
cacing ini sangat kompleks, larva cacing tersebut menjadi stadium yang infektif di dalam annelid
aquatic. Mamalia khususnya manusia dapat terinfeksi bila tidak sengaja memakan cacing akuatik
ini atau memakan daging ikan yang mentah atau kurang matang saat dimasak. Setelah masuk ke
dalam tubuh cacing tersebut akan bermigrasi ke hati dan akhirnya ke ginjal melalui aliran darah.
Cacing tersebut memiliki protein P17 dan P44 yang bersifat pro inflamasi dan akan merusak
parenkim ginjal.
Gejala klinis pada infeksi parasit ini tidak khas. Namun pada beberapa kasus yang
dilaporkan dapat terjadi demam, nyeri perut bawah, nyeri pinggang, hematuria hingga pyuria.
Dari 20 kasus yang pernah dilaporkan sering cacing ditemukan langsung dalam kantong urin
pasien. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk melihat adanya cacing tersebut di dalam
ginjal. Dimulai dari pemeriksaan urin lengkap, imaging hingga sistoskopi. Pada pemeriksaan
urin lengkap dapat ditemukan telur cacing. Pada pemeriksaan imaging seringkali menyerupai
tumor ataupun massa di retroperitoneal. Tata laksana infeksi cacing ini pada manusia belum ada
panduannya karena kasus yang jarang ditemukan. Pada hewan dapat diberikan ivermectin
sebagai pengobatan utama. Nefrektomi merupakan pilihan utama bila terdapat bukti bahwa
cacing tersebut masih banyak di dalam ginjal.

Universitas Indonesia
16

BAB V
LAMPIRAN

Tabel 1. Hasil laboratorium pasien


14 Juli 14 Juli 17 Juli 19 Juli 22 Juli 24 Juli 26 Juli 30 Juli 1
(pre HD) (post (post (post Agustus
HD) HD) HD)
Hemoglobin 8.2 9.8 10 11 9.7 8.2 8.2 8.2
Leukosit 10.470 22.780 16.730 20.670 9.147 8.830 8.490
8.540
Trombosit 250.000 568.000 713.00 524.000 312.000 349.000 409.000 431.000
0
DC 0/2/69/1 0/5/63/2 0/3/63/2
3/14 0/10 1/11
Ur/Cr 231/7.7 104/2.7 46/1.1 22/0.8 9/0.6 11/0.6
(eGFR: (eGFR: (eGFR: (eGFR: (eGFR: (eGFR:
5) 19 57) 83) 103 102)
Na/K/Cl 132/6.1/1 140/4.7/ 124/3.3/ 133/3.3/ 137/3.4/ 136/4/1 134/4.3/
09 110 100 100 98 01 101
Kol/TG/HD 207/266/2
L/LDL 3/146
pH 7.509 7.456 7.498 7.598 7.568 7.583
pCO2 25.5 24.7 38.3 31.8 46.40 29.4
pO2 127 153.3 76 114.7 93.8 145.3
HCO3 20.5 20.6 30 31.4 42.8 28
satO2 93.1 95 97 98.6 97 98.9
SI/TIBC/Fer 33/141
ritin /17
PT 12 (11.8)
APTT 35.5
(32.5)
SGOT 57.2
SGPT 31.8
Prot/alb/glob 7.81/2.69
/5.12
17
Keton 0

Table 2. Kurva gula darah harian


06.00 11.00 17.00
14 Juli - 320 220
15 Juli 165 454 287
16 Juli 481 204 224
17 Juli 262 334 243

Universitas Indonesia
18 Juli 232 155 115
19 Juli 67 264 224
20 Juli 237 175 176
21 Juli 124 132 142
22 Juli 187 181 177
23 Juli 87 130 176
24 Juli 233 189 151
25 Juli 155 273 185
26 Juli 202 249 185
27 Juli 227 128 137
28 Juli 117 115 128
29 Juli 106 130 179
30 Juli 139 109 102
31 Juli 125 112 121
1 Agustus 140 118 111
2 Agustus 107 134 125

18
Tabel 3. Balans cairan harian
Oral IVFD Urin IWL HD Balans/24
jam
14 Juli - 500 - 650 1500 -1650 mL
15 Juli - 500 200 650 -350 mL
16 Juli 400 500 500 650 -250 mL
17 Juli 200 500 600 650 -350 mL
18 Juli 300 500 400 650 1000 -1250 mL
19 Juli 400 500 600 650 -350 mL
20 Juli 450 500 600 650 -300 mL
21 Juli 400 500 700 650 1000 -1450 mL
22 Juli 500 1000 900 650 -50 mL
23 Juli 550 1000 900 650 0 mL
24 Juli 450 1000 800 650 0 mL
25 Juli 600 1000 1000 650 -50 mL
26 Juli 600 1000 1000 650 -50 mL
27 Juli 800 1000 1000 650 +150 mL
28 Juli 800 1000 1000 650 +150 mL
29 Juli 750 1000 1000 650 +100 mL
30 Juli 700 500 600 650 -50 mL
31 Juli 800 500 500 650 +150 mL
1 Agustus 600 500 500 650 -50 mL
2 Agustus 900 - 200 650 +50 mL

Universitas Indonesia
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar BH, Jain CP, Jain MR. A study of prevalence of intestinal worm infestation and
efficacy of anthelmintic drugs. Med J Armed Force India. 2014: 144-8
2. Chauhan S, Kaval S, Tewari S. Dioctphymiasis: A rare case report. J Clin Diagn Res.
2016; 10(2): 1-2
3. Norouzi R, Manochehri A, Hanifi M. A case report of human infection with
Dioctophyma Renale from Iran. Urol J. 2017; 14(2): 3043-5
4. Agrawan R, Kumar P, Mishra PP, Gupta R, Premi HK. Dioctophyma Renale: a chance
finding on bladder catheterization of a pregnant female. Indian Journal of Medical Case
Reports.2014; 3(1): 70-2.
5. Burgos L, Acosta RM, Fonrouge RM, Archelli SM, Gamboa, MN, Linzitto OR, et al.
Prevalence of a zoonotic parasite, Dioctophyma Renale, among male canines in a wild
riverside area of la plata river, province of buenos aires, republic of argentina. Rev Patol
Trop. 2014; 43(4): 420-26.
6. Giorello AN, Kennedy MW, Butti JM, Radman NE, Corsico B, Franchini GR.
Identification and characterization of the major pseudocoelomic proteins of the giant
kidney worm, dioctophyma renale. Parasites & Vectors. 2017; 10: 446
7. Venkatrajaiah N, Kalbande SH, Rao CVM, Reddy VC, Reddy SH, Rao PR, et al.
Dioctophymatosis renalis in humans: first case report from India. 2014; 62(10): 70-3.
8. Li G, Liu C, Li F, Zhou M, Liu X, Niu Y. Fatal bilateral dioctophymatosis. J Parasitol.
2010; 96(6): 1152-4
9. Hanjani AA, Sadighian A, Nikakhtar B, Arfaa F. The first report of human infection with
dioctophyma renale in Iran. Trans R Soc Trop Med Hyg. 1968; 62(5): 647-8
10. Ignjatovic I, Stojkovic I, Kuylesic C, Tasic S. Infestation of the human kidney with
dioctophyma renale. Urol Int. 2003;70: 70-3.
11. Gu Y, Li G, Zhang J, Zhang Y. Dioctophyma renale infection masquerading as a
malignancy. Kidney International. 2012; 82: 1342.
12. Katafigiotis I, Fragkiadis E, Pournaras C, Nonni A, Stravodimos KG. A rare case of 1 39
year old male with a parasite called dioctophyma renale mimicking renal cancer at the

Universitas Indonesia
computed tomography of the right kidney. A case report. Parasitology International.
2013; 62: 459-60
13. Yang J, Li P, Su C, Zhang JY, Gu M. Worms expelled with the urine from a bosniak cyst
III of the left kidney. Urology. 2016; 93(5).

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai