NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam
Terapi ARV lini pertama untuk anak usia 5 tahun keatas dan dewasa, termasuk ibu hamil
dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B dan ODHA dengan TB
Nama : Ira Camelia Fitri
NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam
Paduan Pilihan TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTc
Paduan AZTb + 3TC + EFV (atau NVP)
Alternatif TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP
a
Jangan memulai TDF (Tenofovir) jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50
ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b
Jangan memulai dengan AZT (Zidovudin) jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c
Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
Terapi ARV lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun
Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI
Zidovudin (AZT) a Lamivudin (3TC) Nevirapin (NVP)
Stavudin (d4T) b Efavirenz (EFV)d
Tenofovir (TDF) c
a
Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka
dipertimbangkan pemberian Stavudin (d4T).
b
Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka
dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl) setelah pemakaian 6
– 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4T.
c
Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu
dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh
karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan.
d
EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak
dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT.
Kombinasi ARV lini kedua terdiri dari 2 NRTI + ritonavir-boosted protease inhibitor (PI).
Golongan Protease Inhibitor (PI) :
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) : tablet heat stable lopinavir 200 mg + ritonavir 50 mg:
400 mg/100 mg setiap 12 jam
HIV dan koinfeksi Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r
TB dosis gandaa
Berbasis TDF AZT + 3TC +LPV/r dosis gandaa
ABC : abacavir, 3TC : lamivudine, FTC: emtricitabine, AZT: zidovudine, LPV: lopinavir
6.
ARV lini pertama
a
Anemi berat adalah Hb < 7,5 g/dl (anak) atau < 8 g/dl (dewasa) dan neutropenia berat
jika hitung neutrofil < 500/mm3. Singkirkan kemungkinan malaria pada daerah endemis.
b
Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter (berulang) dan berat yang dapat
menghalangi minum obat ARV (mual dan muntah persisten).
c
Penggunaan PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat
berikutnya bila sudah terjadi kegagalan terapi.
d
AZT dan d4T mempunyai pola resistansi yang hampir serupa, berbeda dengan TDF. Pada
substitusi setelah pemakaian lama d4T ke TDF, harus diperhatikan bagaimana supresi
virus dan riwayat kepatuhan ODHA.
e
Toksisitas SSP ini bersifat self-limiting. Karena EFV menyebabkan pusing, dianjurkan
untuk diminum saat malam hari.
f
Penggunaan triple NRTI mungkin kurang poten dibanding paduan lain
g
Ruam kecil sampai sedang dan toksisitas hati dapat diatasi dengan pemantauan, terapi
simtomatik dan perawatan suportif. Ruam yang berat didefinisikan sebagai lesi luas
dengan deskuamasi, angioedema, atau reaksi mirip serum sickness, atau lesi disertai gejala
konstitusional seperti demam, lesi oral, melepuh, edema fasial, konjungtivitis seperti
Sindrom Stevens-Johnson. Pada ruam yang berat, apalagi jika disertai peningkatan SGOT
>5 kali batas ambang normal (BAN), dapat mengancam jiwa, oleh karena itu hentikan
NVP atau EFV. Kedua obat NRTI lainnya diteruskan hingga 1-2 minggu ketika ditetapkan
paduan ARV berikutnya mengingat waktu paruh yang lebih pendek dibanding NVP atau
EFV.
Nama : Ira Camelia Fitri
NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam
h
Hepatotoksisitas yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak
terinfeksi HIV yang belum mencapai usia remaja.
I
Menaikkan secara bertahap dosis NVP atau yang disebut eskalasi dosis dapat
menurunkan risiko toksisitas
metabolik,
dislipidemia, diare
TDF Disfungsi tubulus - Sudah ada penyakit ABC atau ddI
(Tenofovir) renalis ginjal sebelumnya
Sindrom Fanconi - Usia lanjut
- IMT < 18,5 atau BB<
50 kg
- DM tak terkontrol
- Hipertensi tak
terkontrol
- Penggunaan bersama
obat nefrotoksik lain
atau boosted PI
Menurunnya - Riwayat osteomalasia
densitas mineral dan fraktur patologis
tulang - Faktor risiko
osteoporosis atau
bone-loss lainnya
Asidosis laktat atau - Penggunaan
hepatomegali nukleosida analog
dengan steatosis yang lama
- Obesitas
Eksaserbasi Jika TDF dihentikan Gunakan
hepatitis B (hepatic karena toksisitas lainnya alternatif
flares pada koinfeksi hepatitis obat hepatitis
B lainnya seperti
entecavir
ABC Reaksi Gen HLA-B*5701 subtitusi dengan
(Abacavir) hipersensitivitasa TDF
AZT Anemia atau - anemia atau D4T
(Zidovudine) neutropenia berata, neutropenia sebelum
miopati, lipoatrofi mulai terapi
Nama : Ira Camelia Fitri
NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam
a
Hipersensitivitas ABC biasanya terjadi dalam 6 minggu pertama dan dapat
mengancam jiwa. Segera hentikan obat dan jangan pernah menggunakan lagi.
8. Mengapa virus hepatitis C dapat diusir dari tubuh, sedangkan HIV tidak bisa?
Virus Hepatitis C (VHC) merupakan virus RNA untai tunggal, positif sepanjang
kira-kira 10000 pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) pada masing-masing
ujung 5’ dan 3’. Setelah berada di sitoplasma sel hati, VHC akan melepaskan selubung
virusnya dan RNA virus siap melakukan translasi. Daerah ORF akan menghasilkan suatu
polyprotein :
- protein-protein structural dari core (E1 dan E2) dan envelope
- protein-protein regulator dari region non structural (NS2, NS3, p7, NS4b, NS5a, dan
NS5b)
Regio E2 memuat tempat sequence yang identic dengan tempat fosforilasi protein
kinase interferon (PKR) dan Regio NS5a merupakan interferon sensitivity determining
region (ISDR) yang mungkin berperan dengan kerentanan VHC terhadar terapi interferon.
Melalui 2 regio ini, Interferon melakukan fungsinya dengan menghambat replikasi virus
Hepatitis C sehingga virus hepatitis C tidak akan berkembang dalam tubuh pasien dan
akhirnya mati. Selain itu, target utama VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit
sel B melalui reseptor yang mungkin serupa dengan CD81. Ketika terjadi infeksi oleh VHC,
Nama : Ira Camelia Fitri
NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam
reaksi cytotoxic T-Lymphocytes (CTLs) spesifik kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh VHC. Reaksi imunitas yang kuat ditambah dengan adanya terapi interferon,
ribavirin dan sofasbuvir bisa mengeliminasi VHC dari tubuh.
Pada HIV yang diinfeksi adalah limfosit CD4 atau T helper (Th) sehingga dari waktu
ke waktu jumlah dan fungsinya semakin menurun. HIV dapat bertahan dalam tubuh karena
HIV mempunyai kemampuan untuk tetap dalam limfosit CD4 dan mempunyai kemampuan
untuk replikasi, adanya variabilitas genetik HIV dan trapping HIV pada permukaan sel
folikuler dendritik. Pooling tersebut mengandung DNA provirus dengan daya replikasi.
Perusakan sel limfosit CD4 yang membawa provirus ini terjadi sangat lambat sekali dan
prosesnya tidak dipengaruhi HAART (highly active anti retroviral therapy) sehingga
menghambat eradikasi HIV. Trapping oleh sel folikuler dendritic sebenarnya merupakan
fungsi fisiologis untuk melakukan klirens terhadap pathogen, akan tetapi pada HIV justru
menjadi reservoir kronik yang stabil (karena HIV terbebas dari serangan CTLs spesifik) dan
merupakan sumber infeksi bagi limfosit CD4, sehingga terjadi inflamasi kronik yang
mengakibatkan terjadi destruksi jaringan limfosit pada stadium lanjut. HIV dapat bertahan
dan berada dalam organ atau sel tertentu pada manusia, sehingga merupakan sumber HIV
secara kronik.
Berbeda dengan HIV AIDS, seseorang yang sudah terinfeksi HIV walau tidak
menunjukkan tanda dan gejala menderita HIV AIDS bisa menularkan virus HIV ke orang lain
melalui kontak langsung dengan cairan tubuh (misalnya darah dari orang yang menderita HIV
mengenai anggota tubuh yang luka). Oleh karena itu, prevalensi penderita HIV AIDS lebih
banyak dibandingkan Ebola.
Kasus flu burung pada unggas pertama kali dilaporkan tahun 2003. Untuk kasus flu
burung pada manusia pertama kali dilaporkan tahun 2005. WHO menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan jumlah korban H5N1 tertinggi di dunia. Sejak Juli tahun 2005, kasus
flu burung ini menyebabkan kematian. Data dari CDC (Central for Disease Control and
Prevention) Sampai Maret tahun 2016, kasus H5NI secara global dilaporkan 816 orang
menderita Avian Influenza, yang mana 53% kasus berakibat fatal. H5NI endemic di Mesir,
India, Cina, Bangladesh, Vietnam.
Jumlah Kasus Kumulatif Flu Burung pada Manusia di Indonesia, Vietnam dan Thailand
sejak Juli 2005 hingga Januari 2007
Catatan :
K = Kasus konirmasi positif flu burung (termasuk kasus meninggal dunia di dalamnya)
M = Jumlah kasus meninggal dunia akibat flu burung
Nama : Ira Camelia Fitri
NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam
11. Apa yang dimaksud dengan flu unta? Berapa data penderitanya di Indonesia dan didunia?
FLU UNTA
Flu Unta yang disebabkan oleh Virus Corona Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) adalah merupakan salah satu jenis virus yang menyerang organ pernafasan orang yang
mengidapnya yang merupakan jenis penyakit saluran pernafasan yang bisa mengakibatkan
kematian. MERS – Cov adalah merupakan singkatan dari Middle East Respiratory Syndrome
Corona Virus. Virus ini merupakan jenis baru dari kelompok Corona virus (Novel Corona
Virus).
Virus ini pertama kali dilaporkan pada bulan September 2012 di Arab Saudi, virus
SARS tahun 2003 juga merupakan kelompok virus Corona dan dapat menimbulkan pneumonia
berat akan tetapi berbeda dari virus MERS Cov. Informasi yang diperoleh dari website
Kementrian Kesehatan RI www.depkes.go.id memberitakan bahwasannya virus ini berbeda
dengan coronavirus lain yang telah ditemukan sebelumnya.
Nama : Ira Camelia Fitri
NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam
Sehingga kelompok studi corona virus dari Komite Internasional untuk Taksonomi
Virus memutuskan bahwa novel corona virus tersebut dinamakan sebagai MERS-Cov, virus
ini tidak sama dengan corona virus penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS),
namun mirip dengan corona virus yang terdapat pada kelelawar. Virus yang menjadi penyebab
flu unta dapat menyebar dari unta ke manusia, maupun dari manusia ke manusia. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, virus ini telah menyebar pada unta dromedaris yang
hidup di beberapa negara Timur Tengah, termasuk Mesir, Oman, Qatar, dan Arab Saudi.
Tercatat 27 Negara telah melaporkan kasus MERS. Dikawasan Timur Tengah terdapat
di Iran, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yaman.
Untuk Kawasan Eropa terdapat di negara Austria, Prancis, Jerman, Yunani, Italia, Belanda,
Turki, dan Inggris. Sedangkan untuk kawasan lainnya adalah Aljazair, Tunisia, Mesir, Cina,
Malaysia, Korea, Filipina dan Amerika Serikat. Untuk lokasi terjadinya kasus , Arab Saudi
merupakan negara dengan jumlah terbanyak. Data dari WHO sampai 7 Juni 2018 menyebutkan
MERS CoV telah terjadi sebanyak 2220 kasus dengan 790 kasus berujung pada kematian (case
fatality rate 35,6%). Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat kasus MERS.
a
Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak direkomendasi untuk
ODHA dengan TB karena mudah terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh.
Pada ODHA dengan TB ekstra paru, paduan OAT diberikan paling sedikit 9 bulan (2
bulan RHZE diikuti dengan 7 bulan RH). Pada TB ekstra paru pada sistem saraf pusat
(tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang/sendi, direkomendasikan paling sedikit selama
12 bulan. Terapi ajuvan kortikosteroid sebaiknya ditambahkan pada TB meningitis dan
perikardial. Terapi kortikosteroid dimulai secara IV secepatnya, lalu diubah ke bentuk oral
tergantung perbaikan klinis. Rekomendasi kortikosteroid yang digunakan adalah
deksametason 0,3-0,4 mg/kg di tapering-off selama 6-8 minggu atau prednison 1 mg/kg
selama 3 minggu, lalu tapering-off selama 3-5 minggu.
Untuk ODHA dengan TB ekstra paru, pemantauan kondisi klinis merupakan cara
menilai kemajuan hasil pengobatan. Sebagaimana pada kasus TB BTA negatif, perbaikan
kondisi klinis antara lain peningkatan berat badan ODHA merupakan indikator yang
bermanfaat. Manajemen untuk meningitis TB akan dibicarakan lebih detail di bagian
NeuroAIDS. Prinsip pengobatan ODHA dengan TB adalah mendahulukan awal
pemberian pengobatan TB, dan pengobatan ARV dimulai sesegera mungkin dalam waktu 2
– 8 minggu setelah kondisi baik tidak timbul efek samping dari OAT, diberikan tanpa menilai
jumlah CD4 atau berapapun jumlah CD4. Pada ISTC dinyatakan apabila jumlah CD4 kurang
dari 50 sel/mm3 maka ARV diberikan dalam 2 minggu pertama pengobatan OAT, sedangkan
pada TB meningitis pemberian ARV diberikan setelah fase intensif selesai.
Nama : Ira Camelia Fitri
NPM : 1706118910
Ilmu Penyakit Dalam