Anda di halaman 1dari 15

KONVERGENSI, KONSTRUTIVISME, PRAGMATISME

A. KONVERGENSI
Latar Belakang Munculnya Teori Konvergensi
Dalam ilmu psikologi sangat erat hubungannya dengan ilmu pendidikan, yaitu suatu
pembawaan dan lingkungan. Soal pembawaan ini adalah soal yang tidak mudah dan dengan
demikian memerlukan penjelasan, dan uraian yang tidak sedikit. Telah bertahun-tahun lamanya
para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi dan lain- lain memikirkan dan berusaha mencari
jabawan atas pertanyaan: Perkembangan manusia tergantung pada pembawaan ataukah
lingkungan atau dengan kata lain perkembangan anak muda hingga menjadi dewasa, faktor-
faktor yang menentukan itu, kadang-kadang yang dibawa dari keturunan, pembawaan ataukah
pengaruh- pengaruh lingkungan ada beberapa pendapat.
Urgensi Teori Konvergensi
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor bawaan (endogen) dan lingkungan (eksogen) saling
berhubungan dalam perkembangan individu. Bakat individu yang merupakan salah satu faktor
bawaan akan menjadi actual atau berkembang membutuhkan kesempatan untuk
mengaktualisasikan bakat tersebut. Untuk itu diperlukan lingkungan yang baik dan mendukung
perkembangan bakat individu.
Pembawaan dan lingkungan dianggap penting dalam proses pendidikan, sebab keduanya
adalah faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya dalam pendidikan. Meskipun faktor
lingkungan tidak terlalu fatal, namun tetap menjadifaktor yang harus diperhatikan oleh para
pendidik. Lingkungan yang mendukung akan memudahkan keberhasilan, namun jika
lingkungan anak kurang mendukung tentu saja hasil pendidikan kurang optimal.
Sebenarnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan adalah tidak terlalu memaksa,
tetapi tetap memiliki pengaruh yang besar terhadap perkemabngan individu. Sehingga pengaruh
lingkungan yang dapat berupa kesempatan-kesempatan bagi individu, tergantung pula pada
keputusan individu apakah bersikap menerima, menolak, atau netral terhadap kesempatan-
kesempatan itu. Dengan demikian proses perkembangan individu merupakan suatu interaksi
antara faktor bawaan, lingkungan dan penentuan diri individu yang bersangkutan.
Manusia adalah sebagai makhluk homo educundus, yaitu makhluk yang dapat dididik.12,
maka ia layak untuk mendapatkan didikan dari lingkungan sekitarnya baik itu lingkungan
keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Ia juga bertanggung jawab atas dirinya
sendiri yaitu dengan cara belajar. Sedang sebagai makhluk yang dapat mendidik maka wajib
atasnya untuk mendidik dan mengajarkan apa yang telah dia dapat dari belajar tersebut
walaupun yang
didapatkannya itu hanya sepotong kuku, artinya apa yang ia dapatkan baru sedikit.
Teori konvergensi menganggap setiap manusia sepanjang hayatnya selalu berada dalam
perkembangan. Dimana dalam perkembangan tersebut didasarkan atas tujuan pendidikan yaitu
manusia penerus hingga akhir hayatnya. Berdasarkan proses perkembangannya manusia itu
selalu ditentukan oleh perpaduan pengaruh dari faktor pembawaan (kemampuan dasar) dan
faktor lingkungan sekitar baik yang disengaja
(seperti pendidikan) maupun yang tidak disengaja seperti pergaulan dan lingkungan alam, sesuai
dengan pandangan konvergensi.
Islam telah memberikan konsep atau pandangan bahwa perkembangan manusia diletakkan pada
posisi dua titik lingkaran yaitu sebagai makhluk pribadi yang selalu mempererat hubungan
dengan Tuhan dan sekaligus menjalin hubungan dengan masyarakatnya. Dengan ikatan dalam
lingkaran inilah maka manusia menempuh rangkaian proses perkembangan yang menuju
kearah martabat hidup manusiawi sesuai dengan kehendak Tuhannya. Sehingga antara
kedua kemampuan ini saling pengaruh-mempengaruhi dalam pribadi internal manusia muslim
yang hidup dinamis.
Pandangan Islam sebagaimana tersebut di atas lebih bercorak konvergensi karena mengakui
adanya pengaruh internal (keimanan dalam pribadi) dan pengaruh eksternal (berupa kegiatan
sosialitas dalam masyarakat). Jelasnya bahwa manusia tidak saja dipandang sebagai makhluk
idal dan structural akan tetapi juga diletakkan pada posisi potensial dalam proses
perkembangannya14 Namun faktor kemampuan potensial yang alami dari anugerah Tuhanya
bagaimana pun memiliki ciri-ciri khas dalam perkembangannya menurut lingkungan sekitar
dimana ia tinggal.
Dalam proses pendidikan, khususnya pendidikan Islam mempunyai tugas untuk mengembangkan
fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud kehidupan manusia yang
makmur dan bahagia. Karena ajaran agama Islam mengandung unsur pondasi bagi
perkembangan seseorang. Sedangkan dalam usaha pengembangannya haruslah dilakukan
secara sadar, berencana dan sistematis.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
Bahwasanya manusia dalam usaha perkembangannya tidaklah dilakukan secara langsung
(serentak) akan tetapi setahap demi setahap (step by step) atau sedikit demi sedikit. Mulai
manusia tersebut dalam kandungan sampai dengan masa remaja, dewasa bahkan sampai
manusia itu kemudian mati, ia akan mengalami perkembangan yaitu melalui proses
pendidikan, baik dari dalam dirinya, keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Pengertian Teori Konvergensi
Konvergensi adalah sebuah hukum yang berasal dari ahli psikologi Jerman bernama
Williams Stern, bahwa pembawaan dan lingkungan kedua- duanya menentukan
perkembangan manusia. Menurut Djumransjah, teori konvergensi ialah teori yang ingin
mengompromikan dua macam aliran yang eksterm, yaitu aliran empirisme dan aliran
nativisme, dimana pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya sama
berpengaruh terhadap hasil perkembangan anak didik.
Demikian juga menurut Edwi Arief, teori konvergensi merupakan gabungan dari kedua
teori, yaitu nativesme dan teori empirisme yang menyatakan bahwa pembawaan dan pengalaman
memiliki peranan dalam mempengaruhi dan menentukan perkembangan individu.
Teori konvergensi, menyebutkan bahwa perkembangan manusia baik dasar (bakat,
keturunan) maupun lingkungan, sama-sama mempunyai peranan yang penting. Bakat
sebagai disposisi telah ada pada masing-masing individu yang kemudian bakat tersebut dapat
terealisasikan dengan nyata apabila sesuai dengan kebutuhan untuk berkembangnya dasar
tersebut.
Dalam teori konvergensi bakat yang dibawa pada waktu anak dilahirkan tidak akan berkembang
dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai dengan perkembangan
bakatnya. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
yang optimal kalau memang pada diri anak tidak dapat bakat yang diperlukan utnuk
mengembangkannya. Karena itu disebut teori konvergensi artinya memusat ke satu titik.
Sehingga teori konvergensi, pendidikan mungkin dilaksanakan, pendidikan diartikan sebagai
pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk
mengembangkan potensi yang baik dan mencegah potensi yang kurang baik. Oleh karena
yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Sementara menurut W. Stern, disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat ke satu
titik), jadi menurut teori konvergensi :
a. Pendidikan mungkin dilaksanakan
b. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik
untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang
baik
c. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Dari pendapat terebut di atas, dapat disimpulkan bahwa teori konvergensi adalah suatu teori yang
berkeyakinan baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan andilnya sama besar dalam
menentukan perkembangan dan pertumbuhan manusia dimasa depan dimana pembawaan
dan lingkungan membatasi hasil penddikan.
Teori Konvergensi Dalam Pendidikan
Pendidikan merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling
berinteraksi. Dalam interaksi antar-individu ini baik antara guru dengan para siswa maupun
antara siswa dengan siswa lainnya, terjadi proses dan peristiwa psikologi. Peristiwa dan proses
psikologi ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para guru dalam
memperlakukan para siswa secara tepat.
Paham konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan individu itu baik dasar
atau pembawaan maupun lingkungan memainkan peranan penting.22 Bakat sebagai
kemungkinan telah ada pada diri individu, akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu
menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang.
Apabila ia hidup pada lingkungan yang baik maka ia akan tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang baik dan sebaliknya apabila ia hidup pada lingkungan yang kurang baik maka ia akan
hidup dan berkembang menjadi anak yang kurang baik pula. Sehingga lingkungan
pendidikan yang di dalamnya terdapat para pendidik berperan penting bagi
perkembangan anak karena pendidikan yang menentukan baik buruknya anak. Tanpa
pendidikan anak tidak akan bisa berkembang karena pendidikan merupakan proses
perkembangan bagi anak.
Menurut Bintarinoors, teori konvergensi dalam pendidikan berarti bertemunya bakat dan
pengaruh lingkungan sehingga apa yang kita lihat pada anak merupakan pertemuan ini. Oleh
karena pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berhasil dengan baik manakala pada diri
anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya.
Langeveld sebagaimana disitir oleh Sumadi, mencoba menemukan hal-hal apa yang
memungkinkan perkembangan anak itu menjadi orang dewasa, ia menemukan hal-hal
sebagai berikut :
a. Justru karena anak itu adalah makhluk hidup (makhluk biologis) maka dia berkembang
b. Bahwa anak itu pada waktu masih sangat muda adalah sangat tidak berdaya, dan
adalah suatu keniscayaan bahwa dia perlu berkembang menjadi lebih berdaya
c. Bahwa kecuali kebutuhan-kebutuhan biologis anak memerlukan adanya perasaan aman,
karena itu perlu adanya pertolongan atau perlindungan dari orang yang mendidik.
d. Bahwa di dalam perkembangannya anak tidak pasif menerima pengaruh dari luar semata-
mata, melainkan ia juga aktif mencari dan menemukan.
Pendapat tersebut dapat dipahami, bahwa anak adalah makhluk hidup yang berkembang, ia
masih muda dan perlu berkembang, ia juga membutuhkan rasa aman, pertolongan, dan hanya
pada pendidik mereka dapat berkembang. Sementara Willem Stern berpendapat, bahwa
pembawaan dan lingkungan merupakan dua garis yang menuju kepada suatu titik
pertemuan (garis
pengumpul). Hasil pendidikan/perkembangan digambarkan sebagai berikut :
Pembawaan
Lingkungan
Hasil Pendidikan/ Perkembangan
Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya merupakan hasil proses kerjasama antara
potensi hereditas (internal), dan lingkungan, serta pendidikan (eksternal). Interaksi antara
pembawaan dan lingkungan (termasuk pendidikan) akan mencapai hasil yang diharapkan,
apabila anak menemukan sendiri peranan seara aktif di dalam mencernakan segala pengalaman
yang diperolehnya.
Menurut Djumransjah, teori konvergensi dalam pendidikan dapat disimpulkan sebagai berkut:
a. Pendidikan itu serba mungkin diberikan kepada anak didik
b. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada anak untuk mengembangkan
pembawaan yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk.
c. Hasil pendidikan tergantung kepada pembawaan dan lingkungan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembawaan dan lingkungan sebagai faktor yang ikut
menentukan dalam proses pendidikan yang harus diketahui oleh para pendidik khususnya.
Karena faktor tersebut terkadang menjadi penghambat dalam pendidikan.
Implementasi Teori Konvergensi dalam Pendidikan
Dalam praktik pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, tujuan
pendidikan yang hendak dicapai oleh masing-masing pendidik adalah berusaha
mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik sehingga terjadi perubahan perilaku.
Sepanjang perkembangan anak, pendidik menginginkan agar anak didiknya pandai
berbicara, membaca, berhitung, bertambah cerdas dan lain sebagainya, sebagaimana
potensi yang dibawanya sejak lahir.
Dalam aktivitas pendidikan itu ada beberapa faktor pendidikan yang membentuk pola interaksi
atau faktor yang saling mempengaruhi, diantaranya yaitu: pendidik, peserta didik, isi/bahan,
cara/metode, situasi lingkungan dan tujuan pendidikan. Keenam faktor pendidik tersebut
saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Apabila salah satu saja dari keenam faktor
tersebut tidak terpenuhi maka hasil dari pendidikan tersebut tidak akan bisa berhasil dengan
baik. Oleh karena itu supaya tujuan pendidikan dapat tercapai, maka keenam komponen itu
harus saling berhubungan dan bekerjasama dengan baik.

B. KONSTRUKTIVISME
Epistemologi dan Definisi Konstruktivisme
Seperti cendawan di musim hujan, kini terminologi ”konstruktivisme” telah merebak dalam
dunia pendidikan. Merebaknya istilah ”konstruktivisme’ itu sejalan dengan kebingungan kita
khususnya dalam menerapkan pada tataran praktis dunia pendidikan. Menurut Brooks & Brooks
(1993) konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi dan bukan suatu strategi
pembelajaran. ”Constructivism is not an instructional strategy to be deployed under
appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or way of seeing
the world”. Bahkan menurut Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan
dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld mendefinisikan
konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan
sebagai sesuatu hal yang dengan aktip menerima yang apapun melalui pikiran sehat atau melalui
komunikasi. Hal itu secara aktip teruama dengan membangun pengetahuan. Kognisi adalah
adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk
menemukan suatu tujuan kenyataan (von Glasersfeld, 1989).
Hal ini berbeda dengan pandangan kaum objektivis bahwa pengetahuan adalah stabil sebab
kekayaan esensial objek pengetahuan dan secara relatif tak berubah-ubah. Dengan demikian
secara metafisik kaum objektivis berasumsi bahwa dunia adalah riil, hal itu adalah tersusun, dan
bahwa struktur itu dapat dimodelkan untuk siswa. Objectivisme masih meyakini bahwa tujuan
pikiran adalah untuk "cermin" bahwa kenyataan dan strukturnya itu melalui proses berpikir yang
dapat dianalisis dan decomposable (tidak dapat diubah). Maksudnya bahwa hal itu diproduksi
oleh proses berpikir yang di luar si pembelajar, dan ditentukan oleh struktur dunia nyata
(Murphy,
1997: 28).
Hal ini berbeda dengan pandangan konstruktivisme yang beranggapan bahwa pengetahuan
dan kenyataan itu tidak mempunyai suatu sasaran atau nilai mutlak atau, paling sedikit, bahwa
kita tidak punya cara untuk mengetahui kenyataan ini. Von Glasersfeld (1995) menunjuk dalam
hubungan ini dengan konsep kenyataan: "Hal itu terdiri dari jaringan sesuatu hal dan
berhubungan bahwa kita bersandar pada hidup kita, dan yang lain-pun sama taerhadapnyaa, kita
percaya, orang lain bersandar juga" (Murpy,1997: 7). Siswa menginterpretasikan dan
membangun suatu kenyataan berdasarkan pada interaksi dan pengalamannya dengan lingkungan.
Bukannya berpikir tentang kebenaran dalam kaitannya dengan suatu pencocokan dengan
kenyataan, von Glasersfeld malahan memfokuskan pada pemikiran-pemikiran kelangsungan
hidup: "Untuk konstructivisme, konsep-konsep, model-model, teori-teori, dan seterusnya adalah
dapat berkembang terus jika mereka dapat membuktikan cukup matang dalam konteks
dengannya di mana mereka telah ciptakan". Oleh karena itu dalam kontinum secara
epistemologis, bahwa objectivisime dan konstructivisme akan menghadirkan kebalikan yang
ekstrim. Berbagai jenis konstruktivisme sudah dimunculkan. Kita dapat membedakan antara
konstruktivisme radikal, sosial, phisik, evolusiner, konstruktivisme postmodern, konstruktivisme
sosial, konstruktivisme pengolahan informasi, dan konstruktivisme sistem cybernetic (Steffe
& Gale, 1995; Prawat, 1996; Heylighen,1993; Ernest,1995)
Dengan demikian ruang lingkup epistemologi konstruktivisme secara jelas begitu luas dan sulit
untuk dinamai. Tergantung pada siapa yang anda baca, anda boleh mendapatkan sesuatu
penafsiran yang sedikit berbeda. Namun demikian, banyak para penulis, pendidik dan peneliti
nampak memiliki persetujuan tentang bagaimana epistemologi konstructivisme ini seharusnya
dapat mempengaruhi belajar dan praktek pendidikan. Bagian yang berikut ini mengingatkan
kita, apa makna konstruktivisme untuk belajar. Hal itu penting untuk suatu pertimbangan jika
kita mengambil suatu bentuk aktivitas tertentu maka disamping memberikan dalam aspek
keingintahuan sebagai bagian nafsu akademisnya juga tidak kalah pentingnya memahami
makna yang terkandung dalam upaya perbaikan suatu sistem pembelajaran yang memberikan
sesuatu yang lebih bermanfaat, padu, dan meyakinkan sebagai alternatif pendekatan
pembelajaran yang lebih baik.
Dalam perkembangannya, konstructivisme memang banyak digunakan dalam pendekatan-
pendekatan pembelajaran. Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan yang
didasarkan pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan
mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam Abbeduto, 2004).
Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Schwandt (1994) bahwa konstruktivisme adalah
seperti interpretivis dan konstruktivis. Hal ini sejalan pula dengan pendapat von Glaserfeld
(1987) bahwa pengetahuan bukanlah suatu komunikasi dan komoditas dapat dipindahkan dan tak
satu pengantar-pun itu ada.
Prinsip-prinsip dan Karaktersitik Pembelajaran Konstruktivisme
Belum banyak buku-buku yang beredar apalagi yang berbahasa Indonesia tentang pembelajaran
konstruktivisme. Namun demikan kita dapat memeperoleh beberapa sumber tentang
pembelajaran konstruktivisme dari literatur asing baik dari buku-buku maupun internet. Seperti
kita lihat dalam bagian penjelasan, Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The
case for constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci konstruktivist teori
belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk membimbing/memandu pada kajian struktur
kurikulum dan perencanaan pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip
konstruktivisme:
Cheklist dan Penerapan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu teori pengetahuan dengan akar filosofi, psikologi dan cybernetics.
seperti itu adalah definisi yang disajikan oleh ahli teori tokoh konstruktivis, von Glasersfeld
(1989). Bagaimana cara teori pengetahuan ini diterjemahkan ke dalam praktek? Bagaimana cara
definisi dari apa yang berarti untuk "membangun pengetahuan" menginformasikan tindakan
kita sebagai pendidik? Sedangkan konstructivisme dengan jelas memperoleh popularitas
sebagai paradigma baru untuk belajar, banyak pertanyaan bagaimana filosofi dapat
diterapkan. Mereka membantah bahwa hal itu tidak akan menghasilkan suatu metode,
pendekatan atau ilmu pedagogi tertentu.
Daftar ckeklist yang berikut ini dirancang untuk melayani sebagai suatu instrumen sederhana
untuk observasi dari beberapa cara di mana dalam karakteristik konstructivis ini menyajikan
dalam belajar proyek, aktivitas dan lingkungan. Observasi perlu memberikan wawasan yang
mendalam sebagai jalan dalam filsafat konstruktivis untuk diterjemahkan ke dalam
praktik.Daftar cheklist hanya akan diberlakukan bagi proyek, aktivitas dan belajar yang
lingkungan diperkenalkan yang online. Karena alasan ini, maka tergantung pada bagaimana
proyek itu diuraikan, mungkin tidak selalu baik untuk mengamati semua karakteristik. Banyak
kemungkinannya akan lebih jelas jika dalam situasi kelas yang nyata. Juga, proyek tertentu boleh
menekankan lebih sedikit karakteristik yang tergantung pada guru dan kelompok para siswa.
Karena ini memberi alasan, daftar checklist melayani suatu tujuan terbatas. Meskipun begitu, itu
perlu memberikan beberapa pemahaman yang mendalam ke dalam bagaimana konsep
konstruktivisme bisa diterapkan dalam suatu seting pembelajaran yan sebenarnya..
Beakangan ini secara meningkat, peneliti maupun pendidik sedang menghubungkan
konstruktivisme, teknologi dan belajar. Hal ini dianggap tidak mengejutkan karena banyak orang
melihat lingkungan belajar yang berbasis-komputer mendukung kuat untuk prinsip filsafat
konstruktivisme. Penggunaan E-Mail maupun Internet secara luas dan mendalam dapat
memberikan kesan umum, bahwa konteks dan autentik 'dunia' waaupun maya. Metode proyek
yang berbasis-komputer dan lingkungan dapat membuat penggunaan parsial internet untuk
memberikan para siswa dengan kekayaan belajar lingkungan dan alat-alat kognitif yang canggih.

Daftar checklist menyajikan dalam bagian yang sebelumnya tentang karakteristik daftar situs
atau prisip-prinsip belajar konstruktivis dan pengajaran. Karakteristik ini didasarkan pada
konstruktivisme teori belajar dan epistemologi. Dalam bagian ini, daftar nama (checklist) akan
dapat diberlakukan bagi suatu seleksi proyek berbasis-komputer dan lingkungan yang manapun
diuraikan on-line atau yang beroperasi lingkungan online. Proyek ini, aktivitas dan lingkungan
mempunyai fakta umum bahwa mereka dilukiskan oleh kreator sebagai konstruktivis dan semua
menyertakan beberapa bentuk teknologi elektronik.
Dalam metode proyek, aktivitas dan lingkungan diri mereka tidaklah dipandang dalam operasi.
Daftar nama (checklist) kemudian hanya diberlakukan bagi uraian proyek dan bukan untuk
kenyataan, observasi personal. Tempat yang menguntungkan ini tidak membolehkan untuk
observasi seperti fenomena gurumaupun siswa, reaksi siswa kepada mereka daam engalaman
beajar, kemajuan belajar siswa, dan banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi tingkat
yang bermacam-macam karakteristik konstruktivisme bisa jadi dengan sukses diterapkan dalam
suatu situasi belajar. Karena alasan ini, ada sejumlah pembatasan pada inkuiri di sini. Pada waktu
yang sama, daftar nama (checklist) memberikan suatu instrumen sederhana yang dapat melayani
kedua-duanya yang bermakna bagi penerapan suatu proyek konstructivis atau lingkungan yang
bermakna dalam implementasi suatu proyek konstruktivist atau lingkungan dan suatu makna
catatan secara singkat pengkarakteran suatu lingkungan.

C. PRAGMATISME
Pragmatisme merupakan gerakan filsfat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad
terakhir. Ia adalah filsafat yang mencerminkan dengan kuat sifat-sifat kehidupan Amerika.
Pragmatisme banyak hubungannya dengan nama seperti Charles S. Peirce (1839-1934), Willam
James (1842-1910), John Dewey (1859-1952) dan George Herberrt Mead (1863-1931).
Pragmatisme berusaha untuk menengahi antra tradisi empiris dan tradisi idealis, dan
menghubungkan hal yang sangat berarti dalam keduanya. Pragmatisme adalah suatu sikap,
metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan
sebagai ukuran untuk menetapkan nilai-nilai kebenaran. William James mendefinisikan
pragmatisme sebagai sikap memandang jauh terhadap benda- benda pertama, prinsip-
prinsip dan kategori-kategori yang dianggap sangat penting, serta melihat ke depan kepada
benda-benda yang terakhir, buah akibat dan fakta-fakta.
Pragmatisme lebih menekankan kepada metoda dan pendirian daripada kepada doktrin filsafat
yang sistematis. Ia adalah metoda penyelidikan eksperimenal yang dipakai dalam segala
bidang pengalaman manusia. Pragmatisme memakai metode ilmiah modern sebagai dasar
suatu filsafat. Ia sangat dekat kepada sains, khususnya biologi dan ilmu-ilmu kemasyarakatan,
dan bertujuan untuk memakai jiwa ilmiah dan pengetahuan ilmiah dalam menghadapi problema-
problema manusia termasuk juga etika dan agama. Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap
sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan
realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu, filsafat telah keliru karena mencari hal-hal
yang mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem
kelompok empiris, dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu
dan kita tidak dapat melangkah keluar daripadanya. Bagi John Dewey, pengalaman adalah
pokok. Pengalaman adalah hasil dari pengaruh timbal balik antara organisme dan lingkungannya.
Walaupun pragmatisme sebagai filsafat yang sistematis adalah baru jika dibandingkan dengan
yang lain, namun sikap dan ide-ide yang serupa dapat ditemukan dalam karangan pemikir-
pemikir yang terdahulu. Sebagai contoh, kata pragmatis dipakai oleh Kant untuk menunjukkan
pemikiran yang sedang berlaku dan ditetapkan oleh maksud-maksud dan rencana-rencana. Ia
menggunakan kata pragmatis sebagai kebalikan dari kata praktikal yang menunjukkan kepada
bidang etika. Kant mengajak untuk mendapatkan watak moral khususnya rasa
kewajiban, dan kemauan untuk menegakkan kebenaran beberapa keyakinan seperti:
kemerdekaan kemauan, Tuhan dan kelangsungan jiwa. Prinsip Kant tentang lebih
pentingnya akal praktis telah merintis jalan bagi pragmatisme.
1. Charles S. Pierce
Charles S. Pierce, yang terkenal sebagai pendiri pragmatisme, mendapat pengaruh dari Kant
dan Hegel. Pierce mengatakan bahwa problema-problema termasuk persoalan-persoalan
metafisik dapat dipecahkan jika kita memberi perhatian kepada akibat-akibat praktis dari
mengikuti bermacam-macam pikiran. Orang mengatakan bahwa pragmatisme muncul pada tahun
1878 ketika Pierce menerbitkan makalanya yang berjudul How To Make Our Ideas Clear.
Walaupun ia tidak pernah menulis suatu buku tentang filsafat atau menyusun pikirannya dalam
suatu bentuk yang sistematis, namun kegiatannya dalam sastra berlangsung bertahun-tahun.
Dengan diterbitkan tulisan-tulisannya dalam dasawarsa terakhir, perhatian kepada filsafat Pierce
bertambah dan diakui sebagai intelektual yang luar biasa. Ia merupakan suatu gabungan yang
langka antara seorang ilmuwan fisika dengan kebiasan-kebiasaan memikir tentang laboratorium,
seorang peminat filsafat, dan seorang yang mempunyai keyakinan moral yang kuat.
Pierce merupakan seorang ahli logika yang mementingkan problema teknis dari logika dan
epistemologi serta metoda sains dalam laboratorium. Perhatiannya dalam logika mencakup
penyelidikan sistem deduktif, metodologi dalam sains empiris dan filsafat yang ada di belakang
metoda dan teknik yang bermacam-macam. Logikanya mencakup teori alamat (signs dan
symbols) dan karyanya dalam hal tersebut merupakan karya perintis. Ia memandang logika
sebagai alat komunikasi atau usaha kooperatif atau umum. Pendekatan semacam itu memerlukan
penelitian yang kritis dan memerlukan bantuan orang lain dalam usahanya yang terus menerus
untuk menjelaskan pikiran-pikiran. Pierce berhasrat untuk mendirikan filsafat atas dasar ilmiah
dan untuk menganggap teori-teori sebagai hipotesa yang berlaku. Ia menamakan pendekatan-
pendekatannya itu pragmatisme.
Salah satu sumbangan Pierce yang paling penting bagi filsafat adalah teorinya tentang arti. Pada
hakekatnya ia membentuk satu dari teori-teori modern tentang arti dengan mengusulkan suatu
teknik untuk menjelaskan pikiran. Hal itu dapat ditemukan dengan baik jika kita menempatkan
pikiran tersebut dalam ujian eksperimental dan mengamati hasilnya. Ukurannya tentang berarti
adalah dengan memperhatikan bagaimana suatu benda akan bertingkah jika ia mempunyai suatu
sifat atau termasuk dalam suatu jenis. Jika benda itu keras ia akan menggores benda-benda lain,
dan jika ia bersifat seperti bensin, ia akan menguap dengan cepat, dan lain-lain.
Empirisme Pierce lebih bersifat intelektual daripada voluntaris (segi kemauan); ini berarti bahwa
ia menekankan kepada intelek dan pemahaman lebih daripada kemauan dan aktivitas. Rasa tidak
enak karena sangsi mendorong kita mencari keyakinan. Hasil dari pencarian tersebut, yang
maksudnya adalah untuk menghilangkan kesangsian, adalah pengetahuan. Dengan begitu maka
ia tidak menekankan kepada rasa indrawi atau kemauan seperti yang dilakukan oleh bentuk-
bentuk terakhir dari pragmatisme umum. Di satu pihak, Pierce bersifat kritis terhadap
intuisionisme dan prinsip-prinsip a priori. Walaupun ia setuju dengan sebagian dari
pandangan-pandangan a priori, ia tidak menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa
empirisme memerlukan pengingkaran terhadap kemungkinan metafisik.
Dalam bidang metafisik dan lain-lainnya, kita harus menjauhkan diri dari rasa telah mencapai
tujuan akhir. Pierce setuju dengan faham fallibilism. Orang yang sangat pandai pun dapat salah
juga. Penyelidikan yang progresif akan membawa kita kepada perubahan yang terus menerus.
Pierce percaya kepada chance (nasib), karena walaupun alam itu bertindak secara teratur
menurut hukum alam, ia berpendapat bahwa keteraturan alam itu tak pernah sempurna. Nasib
dan kebiasaan memegang peran dalam kejadian-kejadian di dunia. Fallibilisme dan hari
kemudian yang terbuka menggantikan skeptisisme dan absolutisme, dan pragmatisme
menggantikan sistem kepercayaan yang tetap dalam filsafat dan sains. Walaupun Pierce sangat
memperhatikan logika dan metodologi, tulisan- tulisannya menunjukkan secara jelas bahwa ia
memberi tempat kepada idealisme evolusioner yang menekankan kebutuhan kepada
prinsip cinta, sebagai kebalikan dari individualisme yang sempit dalam urusan-urusan
manusia.
2. William James
Perkembangan pragmatisme yang cepat adalah disebabkan oleh tanah yang subur yang
ditemukan di Amerika dan oleh penyajian yang sangat menarik dari William James. Dalam
bukunya Pragmatism, James mempertentangkan rasionalis yang lunak yang biasanya mempunyai
pandangan yang idealis dan optimis, dengan empiris yang keras, yang suka kepada fakta, dan
yang biasanya merupakan seorang materialis dan pesimis. Kepada mereka itu James berkata:
"Aku menyajikan pragmatisme, suatu aliran yang namanya aneh, sebagai suatu filsafat yang
dapat memuaskan dua macam kebutuhan. Pragmatisme dapat tetap bersifat religius seperti
rasionalisme, tetapi pada waktu yang sama, ia sangat memperhatikan fakta sebagaimana aliran
empirisme".
a. Empirisme Radikal
James mendefinisikan istilah empirisme radikal sebagai berikut: "Aku mengatakan empirisme
oleh karena empirisme merasa puas untuk menganggap hasil pekerjaannya dalam bidang materi
hanya sebagai hipotesa yang dapat diubah menurut pengalaman di kemudian hari". James juga
pernah berkata: "Untuk menjadi radikal suatu empirisme harus tidak menerima dalam bentuknya
unsur apa saja yang tidak dialami secara langsung, atau mengeluarkan dari bentuknya unsur yang
dialami secara langsung". James menganggap hubungan (relation) seperti "lebih besar
daripada" sebagai salah satu dari unsur-unsur yang dialami secara langsung.
Pragmatisme sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah tindakan menengok terhadap
hasil-hasil dari fakta-fakta, dan bukan terhadap prinsip- prinsip dan kategori. Ia menerima
pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sehari-hari sebagai dasar. Realitas adalah hal
yang dialami, apakah itu merupakan benda atau perubahan keadaan. Oleh karena pengalaman
itu terpisah-pisah, maka kelompok pragmatis mendapatkan benda-benda ada yang disambung
dan ada yang perlu dipisah serta menerima apa adanya. Sebagai akibat, mereka
berpendapat bahwa realitas itu banyak (pluralitas) dan tidak satu (monistis) atau dua (dualistic).
Terdapat paham yang kita terima, yakni data rasa yang dibawakan dari luar diri kita sebagai
stimulus (daya perangsang). Kemudian ditambah dengan unsur interpretatif yang diberikan oleh
makhluk yang sadar. Pengalaman kita yang kreatif yang terdiri atas bahan yang kita terima serta
unsur interpretatif merupakan realitas yang kita ketahui. Dengan begitu, maka pengetahuan
didasarkan atas persepsi indrawi atas pengalaman yang membentuk kesadaran yang terus
menerus.
b. Teori Kebenaran William James
James memberikan suatu pernyataan yang membingungkan yaitu truth happens to an ideas
(kebenaran itu terjadi kepada suatu ide). Hal yang membingungkan dalam pernyataan itu adalah
bahwa teori kebenaran yang tradisional mengatakan sebaliknya, yakni bahwa kebenaran itu suatu
hubungan yang pasti dan tetap (statis). Ketika James menyelidiki teori-teori kebenaran yang
tradisional, ia menyatakan, apakah arti kebenaran dalam tindakan. Kebenaran harus
merupakan nilai dari suatu ide. Tidak ada sesuatu motiv dalam mengatakan bahwa sesuatu itu
benar atau tidak benar, kecuali untuk memberi petunjuk bagi tindakan yang praktis.
James akan bertanya, "Apakah perbedaan yang kongkrit yang akan disebabkan oleh ide itu
dalam penghidupan?". "Suatu perbedaan yang tidak menyebabkan perbedaan bukanlah
perbedaan", akan tetapi hanya permainan kata. Suatu ide menjadi benar atau dijadikan benar
hanya oleh kejadian-kejadian. Suatu ide itu benar jika ia berhasil atau jika ia memberi akibat-
akibat yang memuaskan. Kebenaran itu relatif, kebenaran juga berkembang. Kebenaran
(truth) adalah yang menjadikan berhasil dalam cara kita berpikir dan kebenaran (right) adalah
yang menjadikan berhasil cara kita bertindak.
Ide, doktrin dan teori menjadi alat untuk membantu kita menghadapi situasi; doktrin bukannya
jawaban terhadap permasalahan. Suatu teori itu adalah buatan manusia untuk menyesuaikan diri
dengan maksud-maksud manusia, dan satu-satunya ukuran kebenaran suatu teori adalah jika teori
tersebut membawa kita kepada hal-hal yang berfaidah. Keberhasilam (workability),
kepuasan
(satisfiction), konsekuensi dan hasil (result) adalah kata-kata kunci dalam konsep pragmatisme
tentang kebenaran.
Moralitas, seperti kebenaran, bukannya tetap akan tetapi berkembang karena situasi kehidupan,
sumber dan otoritas bagi kepercayaan, dan tindakan hanya terdapat dalam pengalaman. Hal yang
baik adalah sesuatu yang memberikan kehidupan yang lebih memuaskan; yang jahat adalah
sesuatu yang condong untuk merusak kehidupan. James adalah seorang pembela yang kuat bagi
kemerdekaan moral dan indeterminisme. Ia percaya bahwa determinisme adalah pemalsuan
intelektual dan pengalaman. Ia mendukung meliorisme, yang berarti bahwa dunia itu tidak
seluruhnya jahat dan tidak seluruhnya baik, akan tetapi dapat diperbaiki. Usaha manusia untuk
memperbaiki dunia adalah berharga dan berfaidah, dan kecondongan evolusi biologi dan sosial
adalah ke arah perbaikan semacam itu.
c. Kemauan untuk Percaya
James mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada agama. Doktrin pluralisme
kebenaran, meliorisme, begitu juga doktrinnya tentang kemauan untuk percaya, semuanya
memberi sumbangan kepada pendapatnya tentang agama dan Tuhan. Pada akhir-akhir
karyanya ia mengakui bahwa 'kemauan untuk percaya' dapat dinamakan 'hak untuk percaya'.
Pertama, bahwa empirisme radikal tidak lagi mencari kebutuhan manusia serta kesatuan manusia
dan kesatuan metafisik di belakang pengalaman, dan menekankan aliran kesadaran yang ada.
Kesadaran menunjukkan minat, keinginan dan perhatian; ia merupakan tindakan kemauan dan
rasa indrawi, segi yang menentukan adalah kemauan dan bukan akal. Kemauan menetapkan
bagaimana dan apa yang akan kita alami; dengan begitu maka secara empiris berpikir itu nomor
dua sesudah 'mau'. Apa yang dipilih dan ditekankan menjadi vital dan riil. Dengan begitu maka
dunia yang kita alami sebagian besar adalah bikinan kita sendiri.
Mengenai ide-ide kita, keadaannya sama dengan persepsi indrawi kita.
Ide-ide yang menarik minat serta minta perhatian kita cenderung untuk menjauhkan
ide-ide yang lain dan menguasai lapangan; dan ide-ide tersebut condong untuk menemukan
ekspresi dalam tindakan-tindakan kita. Dalam kehidupan individual memerlukan mengambil
beberapa keputusan. Bagaimana mereka harus bertindak untuk mengambil keputusan tersebut
dan memformulasikan keyakinan mereka? Dalam beberapa keadaan, keadaannya jelas dan pasti,
dan dalam keadaan tersebut mereka perlu bertindak sesuai dengan kejelasan tersebut. Dalam
situasi lain, di mana pilihan antara tindakan yang dipertimbangkan itu dipaksakan atau sangat
remeh, mereka dapat menangguhkan keputusan mereka atau sama sekali tidak mengambil
keputusan. Tetapi terdapat situasi di mana orang-orang menghadapi permasalahan yang sangat
menentukan (crucial) dan mereka harus mengambil pilihan dan bertindak, karena kegagalan
mengambil pilihan berarti telah memihak kepada salah satu alternatif. Jika masalahnya adalah
kehidupan, dipaksakan dan harus segera dilakukan, orang harus bertindak walaupun tidak
mempunyai kejelasan yang dapat dipakai dasar untuk mengambil keputusan.
Doktrin James tentang kehendak untuk percaya, berlaku bagi situasi nomor tiga ini, di mana
suatu pengambilan keputusan diharuskan oleh situasi. Sebagai contoh, apakah saya mengawini
wanita (atau pria) ini sekarang, atau harus menunggu sampai saya menjadi pasti bagaimana
jadinya perkawinan itu nanti? Di sini seseorang tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah
perkawinan itu akan bahagia dan sukses. Tidak semua fakta dapat diketahui dan seseorang tidak
dapat menunggu sampai bukti-bukti terkumpul semua; walaupun begitu, soalnya tetap hidup, dan
dipaksakan serta harus dilakukan. Untuk tidak bertindak sudah berarti mengambil keputusan,
yakni tidak akan mengawini orang itu sekarang. Jika kemauan untuk percaya mendorong kepada
kepada pengambilan keputusan dan bertindak, kemauan tersebut membawa kita kepada
penemuan dan keyakinan atau kepada kebenaran dan nilai, hanya karena fakta bahwa ada
kemauan. Nilai-nilai kehidupan adalah empiris, dapat ditemukan dan dicoba dalam proses
kehidupan.
Menurut James, dalam bermacam-macam pengalaman kehidupan, manusia mempunyai
hubungan dengan suatu zat yang lebih (a 'more'). Manusia merasakan di sekitarnya ada sesuatu
yang simpatik dan memberinya dukungan (support). Ia menunjukkan sikap bersandarnya
kepada zat tersebut dalam sembahyang dan doa. Rasa tentang adanya zat yang lebih (the 'more')
membawakan ketenangan, kebahagiaan, dan ketenteraman; selain itu hal ini merupakan
pengalaman universal. Dalam arti keagamaan, Tuhan adalah kecondongan ideal tersebut atau
pendukung yang murah hati dalam pengalaman manusia.
Seperti telah diketahui, James terpengaruh oleh hal-hal yang baru, kemerdekaan, kemauan
individualitas dan ketidakseragaman yang bersifat inheren dalam alam ini. Akibatnya ia
menekankan pendapat bahwa Tuhan itu terbatas. Oleh karena dalam dunia ini terdapat
kemungkinan-kemungkinan yang riil baik untuk kejahatan atau untuk kebaikan, maka tak
mungkin ada Tuhan yang maha baik dan maha kuasa yang menciptakan dunia sebagai yang
kita ketahui. Walaupun begitu Tuhan itu bermoral dan bersikap bersahabat dan manusia dapat
bekerja sama dengan Tuhan dalam perjuangan menciptakan suatu dunia yang lebih baik.
3. John Dewey
Makin besar dan kuatnya pragmatisme secara terus menerus adalah berkat tulisan-tulisan John
Dewey. Dewey mencapai kemasyhuran dalam logika, epistimologi, etika, estetika, filsafat politik
ekonomi dan pendidikan. Bagi Dewey dan pengikut-pengikutnya istilah instrumentalisme
dianggap lebih tepat dari istilah pragmatisme, akan tetapi kedua-duanya tetap dipakai.
Dewey adalah seorang yang bersifat kritis secara serius dan terus menerus terhadap jenis-jenis
filsafat klasik dan tradisional dengan usaha untuk mencari realitas yang tertinggi dan
menemukan zat yang tetap (immutable). Dewey mengatakan bahwa filsafat-filsafat semacam itu
telah memperkecil atau menganggap rendah pengalaman manusia. Dewey mengatakan bahwa
manusia telah memakai dua metoda untuk menghindari bahaya dan mencapai keamanan.
Metoda pertama adalah dengan melunakkan atau minta damai kepada kekuatan-kekuatan di
sekitarnya dengan upacara-upacara keagamaan, korban, berdoa, dan lain-lain. Metoda kedua
adalah dengan menciptakan alat untuk mengontrol kekuatan-kekuatan alam bagi maslahat
manusia. Ini adalah jalannya sains, industri, dan seni, dan cara inilah yang disetujui Dewey.
Tujuan filsafat adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk
di dunia, dan sekarang. Perhatian dialihkan dari problema metafisik tradisional kepada metoda,
sikap, dan teknik untuk kemajuan ilmiah dan kema-syarakatan. Metoda yang diperlukan adalah
penyelidikan eksperimental yang diarahkan oleh penyelidikan empiris dalam bidang nilai.
a. Pengalaman dan Dunia Yang Berubah
Experience (pengalaman) adalah salah satu dari kata kunci dalam filsafat instrumentalisme.
Filsafat Dewey adalah mengenai dan untuk pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah
keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling mempengaruhi antara organisme
yang hidup dan lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak mencoba menganggap rendah
pengalaman manusia atau menolak untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian.
Pada masa yang lalu pun para filosof berusaha menemukan pengalaman teoritis tertinggi
(theoritical super-experience) yang dapat dijadikan dasar untuk hidup yang aman dan berarti.
Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi manusia sehingga
tidak melihat alam; pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki
rahasia-rahasia alam.
Dunia yang ada sekarang, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah-sawah dan pabrik-pabrik,
dunia tumbuh-tumbuhan dan binatang, dunia kota yang hiruk- pikuk dan bangsa-bangsa yang
berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memahaminya dan kemudian
berusaha membentuk suatu masyarakat di mana tiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan
kecerdasan.Dewey menganggap persoalan evolusi, relativitas, dan proses waktu secara
sangat serius. Dunia ini masing-masing tetap dalam penciptaan dan selalu bergerak ke muka.
Pandangan tentang dunia seperti tersebut sangat bertentangan dengan gambaan realitas yang
tetap dan permanen yang ditemukan pada filosof Yunani dan Abad Pertengahan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey
dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari filsafat
instrumentalismenya. Pertama, kata temporalisme berarti bahwa ada gerak dan kemajuan yang
riil dalam waktu. Kita tidak dapat lagi mengikuti pandangan seorang penonton tentang realitas.
Pengetahuan kita tidak hanya mencerminkan dunia; ia mengubah bentuk dan wataknya. Kedua,
kata futurisme mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak kepada hari kemarin. Hari esok
yang berasal dari hari kemarin, tidak akan merupakan ulangan, akan tetapi merupakan hal yang
baru. Ketiga, meliorisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita,
pandangan ini juga dianut oleh William James.
b. Metode Kecerdasan
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey adalah teori instrumental tentang ide-ide dan
menggunakan intelegensia (kecerdasan) sebagai metoda. Memikir adalah biologis, ia
mementingkan persesuaian antara suatu organisme dengan lingkungannya. Semua pemikiran dan
semua konsep, doktrin, logika, dan filsafat merupakan alat pertahanan bagi manusia dalam
perjuangan untuk kehidupan.
Penilaian yang reflektif terjadi jika terdapat suatu problema, atau jika adat kebiasaan kita
terhalang dalam krisis-krisis tertentu. Intelegensi adalah alat untuk mencapai suatu tujuan atau
beberapa tujuan yang dicari oleh individual atau masyarakat. Tidak ada bahan tertentu yang
terpisah dalam otak dan mempunyai daya berpikir. Akal dimanifestasikan dalam kemampuan
kita untuk menanggapi apa yang tidak jelas atau problematik dalam pengalaman. Mengerti
dan bertindak, keduanya bersifat terus menerus. Mengetahui terjadi dalam alam dan faktor-faktor
indrawi serta rasional tidak lagi berlomba-lomba, malahan bersama- sama sebagai bagian-bagian
dari proses bersatu. Ide adalah rencana tindakan yang harus dilakukan. Teori ilmiah, seperti alat-
alat yang lain dibuat oleh manusia dalam mencari tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan
yang khusus. Tujuan dan pemikiran adalah untuk membentuk kembali realitas yang telah
dialami dengan peraturan teknik eksperimen.
c. Kemerdekaan Kemauan dan Kebudayaan
Menurut filsafat instrumentalisme Dewey, manusia dan alam selalu saling bersandar. Manusia
bukannya sebagian badan dan sebagian jiwa, ia bersatu dengan alam dan alam
diinterpretasikan sehingga mencakup manusia. Alam dalam manusia adalah alam yang sudah
berpikir dan menjadi cerdas.
Alam dikatakan tidak rasional dan tidak irrasional. Alam dapat dipikirkan dan dipahami, alam
tidak hanya sesuatu yang harus diterima dan dimanfaatkan, tetapi sesuatu yang harus diubah dan
dikontrol dengan eksperimen.
Dewey dengan kelompok instrumentalis modern adalah pembela yang gigih dari
kemerdekaan dan demokrasi. Dewey adalah pembela kemerdekaan moral, kemerdekaan
memilih, dan kemerdekaan intelektual. Ia juga pembela hak-hak sipil dan politik, termasuk di
dalamnya kemerdekaan berbicara, kemerdekaan persurat kabaran, dan kemerdekaan berserikat.
Ia menganjurkan diperluasnya prinsip-prinsip demokrasi dalam bidang sosial dan politik
bagi seluruh bangsa dan kelas.

Anda mungkin juga menyukai