Anda di halaman 1dari 29

POLISITEMIA VERA

BAB 1

TINJAUAN TEORI

1.1 DEFINISI

Menurut bahasa, polisitemia vera (PV) terdiri dari dua kata yaitu polisitemia dan vera.
Polisitemia berasal dari bahasa Yunani yaitu poly (banyak), cyt (sel) dan hemia (darah). Jadi,
polisitemia berarti peningkatan sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit) di dalam darah.
Sedangkan vera berasal dari bahasa Latin yang artinya sejati. Kata vera digunakan untuk
membedakannya dari keadaan (penyakit) lain yang mengakibatkan peningkatan sel darah
merah.

Jadi, polisitemia vera adalah suatu gangguan atau kelainan mieloproliferatif kronik yang
ditandai dengan peningkatan sel darah merah (eritrositosis) sehingga terjadi hiperviskositas
aliran darah.

1.2 ETIOLOGI

Polisitemia vera selanjutnya disngkat PV, merupakan suatu penyakit atau kelainan
pada sistem mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum
tulang. Mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik dan belum diketahui penyebabnya.
Seperti diketahui pada orang dewasa sehat, eritrosit, granulosit, dan trombosit yang beredar
dalam darah tepi diproduksi dalam sumsum tulang. Seorang dewasa yang berbobot 70 kg
akan menghasilkan 1 x 1011neutrofildan2x1011eritrositsetiapharinya.
Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun, walaupun kadang-kadang
ditemukan + 5% pada mereka yang berusia lebih muda. Angka kejadian polisitemia vera
ialah 7 per satu juta penduduk dalam setahun. Penyakit ini dapat terjadi pada semua
ras/bangsa, walaupun didapatkan angka kejadian yang lebih tinggi di kalangan bangsa
Yahudi. Pada pria didaptkan dua kali lebih banyakwanita.
Sebagai suatu penyakit neoplastik yang berkembang lambat, PV terjadi karena sebagian
populasi eritrosit berasal dari satu klon induk darah yang abnormal. Berbeda dengan
keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan eritropoetin untuk
proses pematangannya (eritropoetin serum , 4 mU/mL). Hal ini jelas membedakannya dari
eritrositosis atau polisitemia sekunder dimana eritropoetin tersebut meningkat secara
fisiologis (wajar sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang menigkat), biasanya pada
keadaan dengan saturasi oksigen arteiral rendah, atau eritropoetin tersebut meningkta secara
non fisiologis (tidak wajar) pada sindrom paraneoplastik manifestasi neoplasma lain yang
mensekresi eritropoetin. Di dalam sirkulais darah tepi pasien polisitemia vera didapati
peninggian nilai hematokrit yang menggambarkan terjadinya peningkatan konsentrasi
eritrosit terhadap plasma, dapat mencapai . 49% pada wanita (kadar Hb . 16 mg/dL) dan .
52% pada pria (kadar Hb . 17 mg/dL), serta didapati pula peningkatan jumlah total eritrosit
(hitung eritrosit >6 juta/mL). Kelainan ini terjadi pada populasi klonal sel induk darah (sterm
cell) sehingga seringkali terjadi juga produksi leukosit dan trombosityangberlebihan.

Etiologi polisitemia vera belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Tetapi diduga
karena adanya mutasi dari sel-sel progenitor erythroid dan perubahan fungsi tirosin kinane,
yaitu janus kinase 2 (JAK2).

Sel-sel progenitor erythroid dari pasien dengan  PV membentuk coloniesin dalam ketiadaan
eritropoietin, juga menunjukkan hipersensitivitas sel-sel myeloid, dan berbagai faktor
pertumbuhan.

Janus kinase 2 (JAK2) merupakan suatu tirosin kinase sitoplasma yang mempunyai
peran kunci dalam transduksi sinyal beberapa reseptor fator pertumbuhan hematopoietik,
termasuk erythropoietin, granulosit-makrophage colony-stimulating factor (GM-CSF),
interleukin (IL)-3, IL-5, thrombopoietin, and hormon pertumbuhan.

1.2.1 Faktor Resiko

1.      Usia > 60 tahun, dengan sejarah trombositosis.

2.      Hipoksia dari penyakit paru-paru (kronis) jangka panjang dan merokok. Akibat dari hipoksia
adalah peningkatan jumlah eritropoietin. Dengan adanya peningkatan jumlah eritropoietin
oleh ginjal, akan mengakibatkan peningkatan pembentukan sel darah merah di sumsum
tulang.

3.      Penerimaan karbon monoksida (CO) kronis. Hemoglobin mempunyai afinitas yang lebih
tinggi terhadap CO daripada oksigen.

4.      Orang yang tinggal di dataran tinggi mungkin juga mempunyai resiko polisitemia pada
tingkat oksigen lingkungan yang rendah.
5.      Orang dengan mutasi genetik (yaitu pada gen Janus kinase-2  atau JAK-2), jenis polisitemia
familial dan keabnormalan hemoglobin juga membawa faktor resiko.

1.3 PATOFISIOLOGI

Terdapat 3 jenis polisitemia yaitu relatif (apparent), primer, dan sekunder.

1.      Polisitemia relatif berhubungan dengan hipertensi, obesitas, dan stress. Dikatakan relatif
karena terjadi penurunan volume plasma namun massa sel darah merah tidak mengalami
perubahan.

2.      Polisitemia primer disebabkan oleh proliferasi berlebihan pada sel benih hematopoietik tanpa
perlu rangsangan dari eritropoietin atau hanya dengan kadar  eritropoietin rendah. Dalam
keadaan normal, proses proliferasi terjadi karena rangsangan eritropoietin yang kuat.

3.      Polisitemia sekunder, dimana proliferasi eritrosit disertai peningkatan kadar eritropoietin.
Peningkatan massa sel darah merah lama kelamaan akan mencapai keadaan hemostasis dan
kadar eritropoietin kembali normal. Contoh polisitemia ini adalah hipoksia.

Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan sifat sel tunas (stem
cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal pada sumsum tulang terdapat
pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan pertumbuhan dan
pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi abnormal masih belum
diketahui.

Progenitor sel darah penderita menunjukkan respon yang abnormal terhadap faktor
pertumbuhan. Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi oleh jumlah eritropoetin. Kelainan-
kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan DNA yang dikenal dengan mutasi.
Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus kinase-2) yang memproduksi protein penting yang
berperan dalam produksi darah.

Pada keadan normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan
eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah terjadi ikatan, terjadi fosforilasi pada
protein JAK. Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi, kemudian memfosforilasi
domain reseptor di sitoplasma. Akibatnya, terjadi aktivasi signal transducers and activators of
transcription (STAT). Molekul STAT masuk ke inti sel (nucleus), lalu mengikat secara
spesifik sekuens regulasi sehingga terjadi aktivasi atau inhibisi proses trasnkripsi dari
hematopoietic growth factor.
Pada penderita PV, terjadi mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617 dimana terjadi pergantian
valin menjadi fenilalanin (V617F), dikenal dengan nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan
aksi autoinhibitor JH2 tertekan sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol.
Oleh karena itu,  proses eritropoiesis dapat berlangsung tanpa atau hanya sedikit
hematopoetic growth factor.

Terjadi peningkatan produksi semua macam sel, termasuk sel darah merah, sel darah putih,
dan platelet. Volume dan viskositas darah meningkat. Penderita cenderung mengalami
thrombosis dan pendarahan dan menyebabkan gangguan mekanisme homeostatis yang
disebabkan oleh peningkatan sel darah merah dan tingginya jumlah platelet. Thrombosis
dapat terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke, pembuluh vena, arteri
retinal atau sindrom Budd-Chiari.

Fungsi platelet penderita PV menjadi tidak normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya
pendarahan. Peningkatan pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia,
peningkatan resiko pirai dan batu ginjal.

1.4 MANIFESTASI KLINIS

Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil, dan


trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis
sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan
neoplastik jaringan ikat.
Tanda dan gejala yang predominan pada polisitemia vera adalah sebagai akibat dari :
1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan :
a. penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebihjauh lagi akanmenimbulkan eritrostasis
sebagai akibat penggumpalan eritrosit.
b. penurunan laju transpor oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala
dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark) seperti di otak,
mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.
2. Penurunan shear rate
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer yaitu agregasi
trombosit pada endotel. Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan, walaupun
jumlah trombosit >450 ribu/mL. Perdarahan terjadi pada 10-30% kasus PV, manifestasinya
dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointerstinal.
3. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada PV tidak ada korelasi trombositosis
dengan trombosis. Trombosis vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30-50%
kasus PV.
4. Basofilia (hitung basofil >65/mL)
Lima puluh persen kasus PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutama setelah
mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan urtikaria suatu keadaan yang
disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat adanya basofilia.
Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningktana kadar histamin.
5. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien polisitemia vera. Splenomegali ini terjadi
sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.
6. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% polisitemia vera. Sebagaimana halnya
splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis
ekstramedular.
7. Laju siklus sel yang tinggi
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah sekuestasi sel
darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam urat darah akan meningkat.
Di sisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout
dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia vera.

8. Difisiensi vitamin B12 dan asam folat.


Laju silkus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisinesi asam folat dan vitamin B12.
Hal ini dijumpai pada + 30% kasus PV karena penggunaan/ metabolisme untuk pembuatan
sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12 (UB12 –
protein binding capacity) dijumpai meningkat pada lebih dari 75% kasus. Seperti diketahui
defisiensi kedua vitamin ini memegang peranan dalam timbulnya kelainan kulit dan mukosa,
neuropati, atrofi N.optikus, serta psikosis.

1.4.1 Perjalanan Klinis:

a. Fase eritrositik atau fase polisitemia


Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini didapatkan peningkatan jumlah
eritrosit yang dapat berlangsung hingga 5-25 tahun. Pada fase ini dibutuhkan flebotomi
secara teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal.
b. Fase burn out (terbakar habis ) atau spent out (terpakai habis)
Dalam fase ini kebutuhan flebotomi menurun sangat jauh atau pasien memasuki
periode panjang yang tampaknya seperti remisi, kadang-kadang timbul anemia tetapi
trombositosis dan leukositosis biasanya menetap.
c. Fase mielofibrotik
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis dan perjalanan
klinis menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasia mieloid. Kadang-kadang terjadi
metaplasia mieloid pada limpa, hati,. kelenjar getah bening dan ginjal.
d. Fase terminal
Pada kenyataannya kematian pasien dengan polisitemia vera diakibatkan oleh
komplikasi trombosis atau perdarahan. Kematian karena mielofibrosis terjadi pada kurang
dari 15%. Kelangsungan hidup rerata (median survival) pasien yang diobati berkisar antara 8
dan 15 tahun, sedangkan pada pasien yang tidak mendapat pengobatan hanya 18 bulan.
Dibandingkan dengan pengobatan flebotoni saja, risko terjadinya leukimia akut meningkat 5
kali jika pasien diberi pengobatan fosfor P32 dan 13 kali jika pasien mendapat obat sitostatik
seperti klorambusil.

1.4.2 TANDA DAN GEJALA

1.      Sakit kepala, keringat berlebihan, telinga berdengung, gangguan penglihatan (seperti
pandangan kabur), pusing dan vertigo. Gejala-gejala ini diduga merupakan efek dari
pembuluh darah membesar dengan aliran darah lebih lambat, terjadi pada sekitar 30% pasien
PV.

2.      Gatal-gatal pada kulit, terutama setelah mandi air hangat atau mandi dengan menggunakan
shower (terjadi pada beberapa pasien), terjadi pada sekitar 40% pasien PV.

3.      Erythromelalgia yang ditandai dengan eritema pada kulit, terutama pada telapak tangan,
lobus telinga, hidung, dan pipi. Hal ini dapat terjadi akibat tingginya konsentrasi eritrosit
dalam darah. Beberapa pasien juga mengalami rasa panas terbakar pada kaki.

4.      Tukak lambung dapat berhubungan dengan PV, dan dapat menyebabkan perdarahan
gastrointestinal.

5.      Pembesaran limpa, yang dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik atau menggunakan tes
USG.
6.      Angina atau gagal jantung kongestif merupakan efek berbahaya akibat viskositas darah yang
tinggi dan adanya platelet yang dapat menyumbat pembuluh darah koroner dan membentuk
gumpalan, terjadi pada sekitar 30% pasien PV

7.      Gout, yaitu peradangan sendi yang disebabkan oleh meningkatnya kadar asam urat. PV dapat
memperburuk keadaan gout juga merupakan faktor resiko dari gout.

8.      Perdarahan atau memar, terjadi pada sekitar 25% pasien PV.

9.      Kehilangan berat badan

1.5 KOMPLIKASI

Kelebihan sel darah merah bisa berhubungan dengan komplikasi lainnya yaitu:

1.Ulkus Gastrikum

2.Batu ginjal

3.Bekuan darah didalam vena dan arteri yang bisa menyebabkan serangan jantung adan
stroke adn bisa menyumbat aliran darah kelenganndan tungkai dan kadang juga bisa
berkembang menjadi leukimia.

1.6 PENATALAKSANAAN

A.Prinsip pengobatan
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan
mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)
4. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik
pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala trombosis
a. Leukositosis progresif
b.Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik

c. Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan
berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

B.Media Pengobatan
1. Flebotomi
Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang apsien
polisitemia selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan.
Indikasi flebotomi :
1. polisitemia vera fase polisitemia
2. polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55 % (target Ht < 55%)
3. polisitemia sekunder nonfisiologis bergtantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate, sebagai penatalaksanaas
terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.
Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut adalah mempertahankan hematokrit
< 42% pada wanita, dan < 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan
penurunan shear rate. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan
penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.

2. Kemoterapi Sitostatika
Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan
menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik, sedangkan
penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi
karena afek leukemogenik, dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian, FDA masih
membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV.indikasi penggunaan kemoterapi
sitostatik :
1. hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
2. flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan . 2 kali sebulan
3. trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
4. urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
5. splenomegali simtomatik/mengancam ruptur limpa
Cara pemberian kemoterapi sitostatik :
1. Hidroksiurea (Hydrea 500 mg/tablet) dengan dosis 800-1200 mg/m2/hari atau
diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.
2. Klorambusil (Leukeran 2 mg/tablet) dengan dosis induksi 0,1-0,2
mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4
minggu.
3. Busulfan (Myleran 2 mg/tablet) 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8mg/m2/hari, jika telah
tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.
Pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3
minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit :
1. Pada pria < 47% dan memberikannya lagi jika > 52%
2. Pada wanita < 42% dan memberikannya lagi jika > 49%

3. Fosfor Radiokatif (P32)


Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau
dengan keadaan sosiekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur. P32
pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena, apabila diberikan per
oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama:
1. mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan
tetapi hal ini jarang dibutuhkan,
2. tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, dan
diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
Panmeiosis dapat dikontrol dengan cara ini pada sekutar 80% pasien untuk jangka waktu 1-2
bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius setelah
pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil.

Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiperagregasi) atau terbukti


menimbulkan trombosis masih dapat terjadi emskipun eritrositosis dan leukositosis dapat
terkendali.

4. Kemoterapi Biologi (Sitokin)


Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk mengontrol
trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3), produk biologi yang digunakan adalah
Interferon (Intron-A 3&5 juta IU, Roveron-A 3 & 9 juta IU) digunakan terutama pada
keadaan trombositema yang tidak dapat dikendalikan. Dosis yang dianjurkan 2 juta
IU/m2/subkutan atau intramuskular 3 kali seminggu.
Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatik Siklofosfamid (Cytoxan 25 mg
& 50 mg/tablet) dengan dosis 100mg/m2/hari, selama 10-14 ahri atau target telah tercapai
(hitung trombosit < 800.000/mm3) kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
100mg/m3 1-2 kali seminggu.

5.Pengobatan Suportif
a. Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien dengan
penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.
b. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, ika diperlukan dapat diberikan
Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA)
c. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2
d. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga
dapatmenekantrombopoesis.

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Tujuannya untuk mencegah bertambah parahnya penyakit dan meningkatkan kualitas hidup
pasien.

1.      Banyak berolahraga, latihan ringan seperti jalan santai dan jogging dapat memperlancar
aliran darah sehingga dapat mengurangi resiko penggumpalan darah. Selain itu juga
dianjurkan untuk melakukan peregangan kaki dan lutut.

2.      Tidak merokok. Merokok dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang akan
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke akibat gumpalan darah.

3.      Merawat kulit dengan baik, untuk mencegah rasa gatal, mandi dengan air dingin dan segera
keringkan kulit. Hindari mandi menggunakan air panas. Jangan biasakan menggaruk karena
dapat menimbulkan luka dan infeksi.

4.      Menghindari temperatur yang ekstrim. Buruknya aliran darah pada penderita polisitemia vera
menyebabkan tingginya resiko cedera akibat suhu panas dan dingin. Di daerah dingin,
gunakan baju hangat dan lindungi terutama bagian tangan dan kaki. Untuk di daerah panas,
lindungi tubuh dari sinar matahari serta perbanyak minum air.

5.      Waspada terhadap luka. Aliran darah yang buruk menyebabkan luka sulit sembuh, terutama
di bagian tangan dan kaki. Periksa bagian tersebut secara berkala dan hubungi dokter apabila
menderita luka atau cedera.

TERAPI MEDIS DAN NON MEDIS

Terapi-terapi yang sudah ada saat ini belum dapat menyembuhkan pasien. Yang dapat
dilakukan hanya mengurangi gejala dan memperpanjang harapan hidup pasien.

Tujuan terapi yaitu:

1.      Menurunkan jumlah  dan memperlambat pembentukan sel darah merah (eritrosit).
2.      Mencegah kejadian trombotik misalnya trombosis arteri-vena, serebrovaskular, trombosis
vena dalam, infark miokard, oklusi arteri perifer, dan infark pulmonal.

3.      Mengurangi rasa gatal dan eritromelalgia ekstremitas distal.

Prinsip terapi:

1.      Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan
mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.

2.      Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum terkendali.

3.      Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)

4.      Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda.

5.      Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik
pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:

1.Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala trombosis

2.Leukositosis progresif

3.Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik

4.Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan
berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

Terapi Polisitemia:

1.  Flebotomi

Flebotomi adalah terapi utama pada PV. Flebotomi mungkin satu-satunya bentuk pengobatan
yang diperlukan untuk banyak pasien, kadang-kadang selama bertahun-tahun dan merupakan
pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan
penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.

Pada flebotomi, sejumlah kecil darah diambil setiap hari sampai nilai hematokrit mulai
menurun. Jika nilai hematokrit sudah mencapai normal, maka darah diambil setiap beberapa
bulan, sesuai dengan kebutuhan. Target hematokrit yang ingin dicapai adalah <45% pada pria
kulit putih dan <42% pada pria kulit hitam dan perempuan.

2.  Kemoterapi Sitostatika/ Terapi mielosupresif (agen yang dapat mengurangi sel darah
merah atau konsentrasi platelet)
Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Lebih baik  menghindari
kemoterapi jika memungkinkan, terutama pada pasien uisa muda. Terapi mielosupresif dapat
dikombinasikan dengan flebotomi atau diberikan sebagai pengganti flebotomi.

Kemoterapi yang dianjurkan adalah Hidroksiurea (dikenal juga sebagai hidroksikarbamid)


yang merupakan salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik karena dianggap lebih
aman, tetapi masih diperdebatkan tentang keamanan penggunaan jangka panjang.

Penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi
karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian, FDA masih
membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV.

Pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3 minggu
sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit:  pada pria < 45%
dan memberikannya lagi jika > 52%, pada wanita < 42% dan memberikannya lagi jika >
49%.

3. Fosfor Radiokatif (P32)

Isotop radioaktif (terutama fosfor 32) digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan
sumsum tulang. P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena,
apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu
pemberian pertama P32:

a.       Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan
tetapi hal ini jarang dibutuhkan.

b.       Tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, dan
diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.

4.  Kemoterapi Biologi (Sitokin)

Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk mengontrol
trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3). Produk biologi yang digunakan adalah
Interferon (Intron-A, Roveron-) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang tidak
dapat dikendalikan. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatik
Siklofosfamid (Cytoxan).

5.   Pengobatan pendukung

1.      Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien dengan penyakit
yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.
2.      Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika diperlukan dapat diberikan Psoralen
dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA).

3.      Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.

4.      Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.

5.      Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau  tambahan ketika hidroksiurea tidak memberikan
toleransi yang baik atau dalam kasus trombositosis sekunder (jumlah platelet tinggi).
Anagrelid mengurangi tingkat pembentukan trombosit di sumsum. Pasien yang lebih tua dan
pasien dengan penyakit jantung umumnya tidak diobati dengan anagrelid.

1.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera, peninggian massa eritrosit haruslah
didemonstrasikan pada saat perjalanan penyakit ini. Pada hitung sel jumlah eritrosit dijumpai
> 6 juta/mL, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat
defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah
metaplasia meiloid di akhir perjalanan penyakit ini.
2. Granulosit
Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus PV, berkisar antara 12-25 ribu/mL
tetap dapat sampai 60 ribu?mL. Pada dua pertiga kasus ini juga terdapat basofilia.
3. Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat > 1 juta/mL.
Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.
4. B12 Serum
B12 serum dapat meningkat, hal ini dijumpai pada 35 % kasus, tetapi dapat pula menurun,
yaitu pada + 30% kasus, dan kadar UB12BC meningkat pada > 75% kasus PV.
5. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali bila ada kecurigaan terhadap
penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi
sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier
seri eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari gambaran histopatologi sumsum
tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis
merupakan petanda patognomonik PV.
6. Pemeriksaan sitogenetik
Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatik dapat
dijumpai kariotip 20q-,=8,+9,13q-,+1q. Variasi abnormalitas sitogenetik dapat dijumpai
selain bentuk tersebut di atas terutama jika pasien telah mendapatkan pengobatan P53 atau
kemoterapi sitostatik sebelumnya

2.1 LANDASAN ASUHAN KEPERAWATAN

2.1.2 Pengkajian
A. Pemeriksaan fisik
1. Peningkatan warna kulit
2. Gejala-gejala kelebihan beban sirkulasi (Dispneu,batuk kronis,peningkatan
tekanan darah, pusing dan lain-lain)
3. Gejala-gejala trombosis (Angina), disebabkan oleh peningkatan viskositas darah.
4. Splenomegali dan hepatomegali
5. Gatal, khususnya setelah mandi air hangat yang diakibatkan oleh hemolisis
sel darah yang tidak matang
6. Riwayat perdarahan hidung
2.1.3 Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan sel darah merah dan
volume darah.
2.Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
pembentukan trombus sekunder.
3.Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah
berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi dan rencana tindakan,
kesulitan penyesuaian terhadap kondisi kronis.
2.1.4 Intervensi
Dx 1
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan, volume cairan pada tubuh klien
berada dalam batas normal
1. Batasi masukan cairan bila gejala kelebihan cairan terjadi
R : Untuk mencegah kelebihan cairan lebih lanjut
2. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan
R : Farmakoterapi sepanjang hidup diperlukan secara efektiv untuk
mengontrol polisitemia vera
Dx 2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan klien berada
dalam keadaan normal
1. Anjurkan klien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif
R : Imobilisasi mempredisposisikan klien pada pembentukan trombus
2. Anjurkan masukan cairan bila tidak ada gejala-gejala kelebihan beban cairan
R : Cairan membantu menurunkan viskositas darah
3. Pantau hasil lab darah lengkap dan status vaskuler perifer setiap 8 jam
R : Untuk mendeteksi komplikasi dini
Dx 3
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan agar pengetahuan klien
mengenai perubahan penatalaksanaan di rumah dapat terpenuhi
1. Evaluasi pemahaman klien mengenai kondisi dan terapi klien
R : Kepatuhan ditingkatkan bila klien memahami hubungan antara kondisi dan terapi
yang mereka dapatkan
2. Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang mengalami penyakit kronis.
R : Pengungkapan perasaan memudahkan koping serta mengurangi ansietas
3. Instruksikan klien untuk mencari pertolongan medis bila gejala-gejala kelebihan beban
sirkulasi terjadi
R : Intervensi diperlukan untuk mencegah kerusakan jaringan permanen

2.1.5 Evaluasi
1. Tanda-tanda vital dalam batas normal
2. Bunyi nafas bersih
3. Penurunan berat badan
4. CRT < 2 detik
5. Tidak cyanosis
6. Akral hangat
7. Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan rencana tindakan.
BAB III

DARTAR PUSTAKA

Handayani,wiwik.Andi Sulistyo W.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan


Gangguan Sistem Hematologi.Salemba Medika:Jakarta
http://www.tanyadokter.com/disease.asp?id=1001649
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|
id&u=http://www.wrongdiagnosis.com/p/polycythemia/symptoms.htm

Diposkan oleh KRISTY SAHABAT PERAWAT di 10.13

Myelofibrosis merupakan salah satu dari kelainan mieloproliferatif, yaitu suatu keadaan yang
ditandai oleh proliferasi endogen satu atau lebih komponen hemopoetik dalam sumsum
tulang dan, pada banyak kasus, hati dan limpa. Kelainan mieloproliferatif ini berkaitan erat,
bentuk peralihan terjadi dan, pada banyak pasien, evolusi dari satu penyakit ( enity ) menjadi
penyakit lain terjadi selama perjalanan penyakit. Polisitemia vera, trombositopeni esensial
dan mielosklerosis secara kolektif dikenal sebagai “ kelainan mieloproliferatif non-
leukemik”. 1

Myelofibrosis, adalah suatu keadaan yang sangat jarang ditemukan, merupakan suatu
kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen berlebihan dalam
sumsum tulang. Biasanya terjadi pada anak-anak. Kurang dari 100 kasus telah dijelaskan
dalam literature medis. Mayoritas dari kasus yang berkembang merupakan sekunder dari
penyakit lainnya. Sebagai contohnya, myelofibrosis biasanya terjadi berhubungan dengan
proses keganasan ( seperti misalnya leukemia megakariosit akut ).2

      Kelainan ini secara definitif merupakan kelainan stem sel hematopoesis klonal,
dihubungkan dengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), dimana adanya
hematopoesis ekstramedular merupakan gambaran menyolok.3

      Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali
dilaporkan oleh Heuck G., pada tahun 1879, dengan lebih dari 30 macam nama, termasuk :
Mielofibrosis primer, mielosklerosis ( kronis ), osteomielofibrosis, metaplasia mieloid
agnogenik, mielofibrosis idiopatik dan lebih sering disebut dengan Mielofibrosis dengan
Metaplasia Mieloid ( MMM ). MMM perlu dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana
mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder.3

      Tefferi pada tahun 2003 menemukan insidensi di Amerika Utara 0,3 – 1,5 kasus per
100.000 populasi.

1. Definisi

 
Mielofibrosis merupakan suatu penyakit yang jarang terjadi pada sumsum tulang dimana
kolagen membentuk jaringan fibrosis didalam cavum sumsum. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan tak terkendali dari precursor sel darah, yang akhirnya menyebabkan
penumpukan jaringan ikat di sumsum tulang. Jaringan ikat yang terbentuk akhirnya
menyebabkan sel darah yang terbentuk mengalami disfungsi.tubuh kita menyadari hal
tersebut, dan berusaha untuk berkompensasi dengan mengirimkan sinyal ke organ
hematopoesis extramedulare, yaitu hati dan lien untuk memproduksi sel darah baru. Namun
sel-sel darah yang akhirnya diproduksi oleh organ tersebut tetap tidak berfungsi dengan baik
dan akhirnya tubuh mengalami anemia.4

1. Etiologi

Mielofibrosis idiopathic atau mielofibrosis primer biasanya terkait dengan factor genetic.
Penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Tidak ditemukan adanya factor pencetus, secara
epidemiologi ada beberapa substansi yang diperkirakan secagai penyebab, misalnya :
Toluena, benzene, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi pada pasien akibat pemberian material
kontras radiografi dengan bahan dasar torium, yaitu Torotras. Korban akibat bom atom
Hiroshima juga mempunyai risiko 18 kali lebih besar daripada populasi lainnya, sindrom
pertama muncul 6 tahun setelah paparan. 2,5

1. Insidensi

Mielofibrosis idiopatik mengenai 2 dari 1 juta orang. Sekitar 10 – 15% kasus mielofibrosis
idiopatik muncul pada awalnya sebagai polistemia vera atau trombosis esensial. MMM
menyerang golongan umur menengah dan tua, biasanya ditemukan pada usia diatas 50 tahun,
rerata umur 60 atau 65 tahun, pria dan perempuan memiliki kemampuan yang sama. MMM
kurang sering menyerang usia muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali ketimbang anak
perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya factor familial.6

           

1. Patogenesis

Tanda dari mielofibrosis adalah adanya peningkatan pewarnaan retikulin. Jaringan fibrosis
yang terdapat pada mielofibrosis adalah jaringan kolagen dan mengandung fibronektin,
dimana pewarnaan retikulin ( perak atau Gomori ) bereaksi dengan protein yang terdapat
pada kolagen tipe III dan biasanya diperkirakan sebagai suatu bentuk dari prokolagen.4,7
Mielofibrosis idiopatik mempengaruhi produksi sel-sel darah, eritrosit sangat sedikit
diproduksi, terlalu banyak leukosit dan trombosit yang diproduksi.  
Fibrosis pada sumsum tulang mungkin dapat menggambarkan kelebihan produksi matriks.
Seperti yang telah disebutkan, hal ini bisa dikaitkan dengan banyak penyakit. Homeostasis
matrix dihasilkan dari keseimbangan pembentukan dan pengeluarannya. Pembentukannya
dipengaruhi oleh faktor-faktor pertumbuhan, yang paling berpengaruh adalah  faktor
pertumbuhan turunan trombosit ( platelet-derived growth factor / PDGF ) , dan
pengeluarannya menggambarkan aktifitas kolagenase terhadap monosit, makrofag dan
granulosit. Karenanya, penyakit yang berhubungan dengan mielofibrosis dapat
diklasifikasikan baik itu menurut defek dasar produksi matriks, penurunan resorbsi atau
keduanya. Jika termasuk dalam kategori keduanya, dapat ditandai dengan defisiensi vitamin
D karena 1,25(OH)2D3 yang merupakan bentuk aktif vitamin D3 menvegah proliferasi dari
megakariosit dan memicu deferensiasi monosit / makrofag. 2,6,7
Beberapa peneliti percaya bahwa stroma abnormal dari sumsum tulang secara lansung
memicu sirkulasi sistemik dan diseminasi dari prekursor hematopoetik oleh mekanisme yang
belum diketahui. Hal ini mengarah pada hematopoesis ekstramedulare di hati, lien, linfonodi
atau ( biasanya ) ginjal, yang menyebabkan metaplasie mieloid pada organ-organ tersebut,
yang akhirnya menjadi membesar. Biasanya, hipersplenisme juga dapat memberikan
kontribusi terjadinya sitopenia.2,3,7
Diantara para dewasa yang mengalami mielofibrosis idiophatik, analisa sitogenetik dari
sumsum tulang menunjukkan adanya klone abnormal pada kurang lebih sepertiga pasien.
Dengan menggunakan tehnik hibridisasi genomik perbandingan, Al Assar dkk meneliti
sumsum tulang mielofibrosis idiophatik dan menemukan ketidakseimbangan kromosomal
pada 21 dari 25 kasus. Mutasi dari gen 9p, 13q,2q,3p dan 12q merupakan kelainan kromosom
yang biasa ditemukan.3

Proliferasi sel asal hematopoetik lebih merata dengan terkenanya limpa dan hati. Terdapat
fibrosis sekunder dalam sumsum tulang. Agaknya precursor megakariosit abnormal
membebaskan factor pertumbuhan yang meransang fibroblast. Sepertiga atau lebih penderita
mempunyai riwayat polisitemia vera sebelumnya dan beberapa pasien tampil dengan
gambaran klinis dan laboratorium dari kedua kelaianan tersebut ( penyakit mieloproliferatif
intermedia ).

Adanya mutagen diperkirakan sebagai factor pencetus yang menghasilkan hemopatia klonal
pada mielofibrosis. Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti hal nya
perubahan gen bcr/abl pada CML, yang dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada
patogenesisnya. Perubahan tingkat molekuler terjadinya mielofibrosis masih belum jelas,
sampai sekarang masih dalam penelitian. 3

Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti antara sel progenitor cytokine-
independent dari pasien mielofibrosis dengan progenitor cytokine-progenitor ( diperkirakan
normal). Immunophilin FKBP51 berekspresi berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan
fungsi ini terutama pada cytokine-independence . factor transkripsi GATA-1 aktif pada
deferensiasi megakariosit normal. Pada penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1
menghasilkan sindrom yang menyerupai mielofibrosis. Sehingga perubahan lansung pada
GATA-1 penting untuk terjadinya mielofibrosis. Beberapa gen yang berhubungan dengan
pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya : Gen retino-blastoma yang mungkin mengalami
delesi atau perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami metilasi. Perkembangan
mielofibrosis mungkin berhubungan dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.

Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder terhadap hemopatia klonal. Sel
fibroblast mensekresi kolagen yang akan diakumulasi, sel ini normal dan bersifat poliklonal.
Mereka distimulasi oleh sitokin yang dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal
sel hemopoetik yang dikembangkan lainnya. Perusakan dan sintesis kolagen terjadi sehingga
adanya konsentrasi prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan petanda sintesis
kolagen baru yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam
ruang ekstraseluler dan elemen vascular dalam sumsum tulang. Empat dari lima tipe kolagen
terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada MMM, dan
timbunan kolagen meningkat setara dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM
persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan pada tahap akhir kolagen tipe 1
( kolagen polimetrik) tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat molekul matriks yang
lebih banyak mengandung heksosamin dari pada normal. Vaskularisasi juga meningkat,
luasnya neovaskularisasi ini berhubungan dengan luasnya penyakit dan mungkin hal ini
penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming growth factor ( TGF ) – β sebagai
mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM. Sitokin ini disintesa oleh
megakariosit dan sel endotel seperti hal nya pada system monosit – makrofag. TGF – β lebih
poten dalam mensekresi kolagen daripada growth factor derivat platelet atau epidermal
growth factor dan mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF – β juga stimulus yang
poten terhadap angiogenesis.3
Kenaikan kadar TGF -  β dapat dideteksi dengan naiknya sirkulasi platelet dan megakariosit
yang merupakan fragmen MMM. Beberapa growth factor lain diperkirakan juga meransang
fibroblas pada MMM, antara lain : Platelet derived growth factor yang terdapat pada
megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin -1 ,
basic fibroblas growth factor, dan kalmoudulin. Beberapa mekanisme bebasnya kenaikan
kadar sitokin ke dalam lingkungan sumsum tulang antara lain : sekresi sederhana dari granula
– α megakariosit, megakariosit displastik yang rusak dalam sumsum tulang dan rusaknya
megakariosit sitoplasma oleh leukosit PMN. 3
Distribusi hematopoesis ekstramedulare pada MMM fetus melibatkan liver dan limpa. Model
mielofibrosis dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan ultrastruktur
memperlihatkan hematopoesis yang meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai
melepaskan prekursor hematopoesis. Ruangan ekstramedulare ditumbuhi pindahan sel
hematopoesis. Lepasnya prekursor sumsum serupa dengan kerusakan sinusoid hasil
hematopoesis ekstramedulare pada metastasis kanker dan mungkin merupakan mekanisme
umum.3

            Setengah dari pasien mielofibrosis idiopatik memiliki mutasi gen JAK2. Para peneliti
saat ini masih meneliti paparan gen tersebut dalam progresifitas mielofibrosis idiopatik dan
implikasinya dalam perkembangan terapi terbaru.4

1. Gambaran Klinis

Pada 25% kasus  mielofibrosis berpenampilan asimptomatis, diagnosis disugesti dengan


adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara inseidensil terdapat spleno-megali.
Gejala klinis pada umumnya kelelahan otot dan penurunan berat badan ( 7 – 39% ), sindroma
hipermetabolik ( demam, keringat malam terdapat pada 5 – 20 % pasien ), perdarahan dan
memar, kadang terdapat masa dalam perut, Gout dan kolik renal terdapat 4 – 6 %, tophi
jarang didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang ditemukan. 3,6
Dapat juga ditemukan pucat pada pasien, palpitasi, nafas yang pendek, gatal-gatal, mudah
merasa kemyang meski baru sedikit makan, sakit perut atau rasa tidak nyaman pada perut,
sakit di bahu kiri atau bagian atas tubuh sebelah kiri, perdarahan spontan, nyeri tulang,
terutama di kaki.8,9
Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama. Hepatomegali
diketemukan pada separuh pasien, 2 – 6 % terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti
komplikasi : asites, varises esofagus, perdarahan gastrointestinal dan ensefalopati hepatik.
Juga diketemukan petekie, ekhimosis, dan limfadenopatia. Beberapa pasien memeperlihatkan
adanya dermatosis neutrofilik serupa sweet-syndrome dan mengalami hematopoesis
ekstramedulare dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang
dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat dalam hematopoesis mungkin akan terdapat efusi
pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neurologis berupa : peninggian
tekanan intrakranial, delirium,koma, perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik dan
paralisis.
Berikut ini pengelompokkan gejala berdasarkan penyebabnya :
Hepatosplenomegali :
 Pembesaran abdomen
 Nyeri abdomen
 Penurunan berat badan

Gejala Anemia:
·        Kelelahan
·        Nafas pendek
·        Kelemahan
·        Tampak pucat
·        Palpitasi
      Gejala Infeksi :

 Demana mencapai atau lebih 38° C


 Menggigil
 Keringat malam
 Batuk
 Radang tenggorokkan
 Lecet di bibir atau mulut
 Rasa panas atau sakit saat berkemih
 Bengkak yang tidak kunjung membaik, mengeluarkan sekret, kemeraha dan hangat
saat disentuh
 Kaku kuduk

     Gejala Perdarahan :

 Mudah berdarah
 Perdarahan yang masif dan memanjang
 Perdarahan spontan
 Nyeri kepala berat atau gangguan penglihatan
 Kaku leher
 Nyeri di eprsendian
 Petekia

1. Pemeriksaan Laboratorium

Darah
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit berbentuk tear drop  yang dihubungkan
adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil immatur dan platelet besar
abnormal. Retikulosit meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering
diketemukan. Abnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoesis,
bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoesis ekstramedulare. Bagaimana
perubahan ini terjadi masih belum jelas.3
Anemia dengan Hb kurang dari 10 g/dl diketemukan pada 60% kasus, yang dapat terjadi
akibat hemodilusi akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang
dan hemolisis.
Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis : aniso-poikilositosis , oval dari eritrsoit, reaksi
leukomoid ( samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu
normoblast ).
Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan : hipersplenisme, autoantibodi eritrosit,
hemoglobin H yang didapat dan adanya sensitivitas membran komplemen yang serupa PNH (
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria ).
Morfologi anemia tidak khs pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila
defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan
gastrointestinal. Jumlah leukosit meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia,
sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa meiloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan
mungkin tidak dipikirkan adanya konversi kearah leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas
>1% memeberikan prognosis jelek. Juga diketemukan neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim
neutrofil, trombosit meningkat pada awal MMM, pada progresivitas penyakit dapat terjadi
trombositopenia.3
Platelet biasanya berukuran besar, dalam sirkulasi diketemukan megakariosit yang utuh
ataupun mengalami fragmentasi. Fungsi platelet sering tidak normal, gangguan waktu
perdarahan dan retraksi jendalan dan penurunan : kadar platelet faktor 3, platelet
adhesiveness dan aktivitas lipogenesis. Perubahan pada faktor pemebekuan yang terlarut
dapat terajdi pada penyakit tersebut. Koagulasi intravaskular diseminata ( DIC ) subklinik
dapat ditemui pada 15% pasien MMM bentuk lanjut dan defisiensi faktor V yang didapat
dapat terjadi pada pasien tersebnut diatas. Kadar asam urat dan enzim laktat dehidrogenase
hampir selalu meningkat, menggambarkan adanya masa yang berlebihan dari sel
hematopoetik atau adanya hematopoesis yang tidak efektif atau keduanya. Juga dapat terjadi
kenaikan kadar enzim alkalinefosfatase serum yang merupakan keterlibatan tulang, terjadi
penurunan kadar albumin, kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin
B12 pada pasien dengan leukositosis, yang merupakan refleksi dengan peningkatan masa
neutrofil.3
Sumsum tulang 3
Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil (drytap) dan memerlukan biopsi
sumsum tulang untuk menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah dibuat oleh
Italian Society of Hematology.
Data morfologi dan klinis digabungkan untuk mendiagnosis banding MMM dari penyakit
CMPD lainnya, dan dari sindroma mielodisplasi dengan fibrosis sumsum tulang. Kriteria
tersebut adalah : fibrosis sumsum tulang dan kelaianan morfologi hiperplasia sumsum tulang
dan hematopoesis ekstramedulare. Ketiga elemen tersebut di atas harus terdapat untuk kriteria
MMM.
Fibrosis harus terjadi pada semua kasus MMM, dan biasanya pada pasien lanjut. Pada
stadium awal fibrosis minimal dan hiperplasia sumsum tulang mungkin lebih jelas. Keadaan
tersebut diatas disebut fase selular MMM. Bilamana fibrosis sumsum tulang tidak terbukti
pasien yang dicurigai MMM, perlu diambil material dari tempat lain, karena penyebaran
tidak merata.
Fibrosis mungkin perlu  digradasi menurut sistem yang telah dipubliaksi dan buktia danya
osteosklerosis. Bila fibrosis masif, selularitas keseluruhan akan turun, tetapi adanya
hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusoid sumsum tulang akan meluas, disini akan terjadi
hematopoesis intravaskular.
Kenaikan jumlah sel mast dapat diobservasi pada pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi.
Pada sediaan apusan sumsum tulang, sepintas tidak terlihat kelaianan, tetapi sering
didapatkan hiperplasia neutrofilik dan megakariosit. Adanya mikromegakariosit dan
makromegakariosit dapat ditemukan, sehingga menimbulkan nuclear-cytoplasmic
asynchrony.
Granulosit dapat hipo atau hiperlobulasi sehingga memeperlihatkan anomali  Pelger-Huet
didapat atau adanya  nuclear-cytoplasmic asynchrony. Prekursor eritroid normal atau
meningkat, yang dapat diperiksa dengan scanning isotop sumsum tulang dengan koloid sulfur
untuk sel retikuloendoteliel dan dengan koloid besi untuk sel eritroid yang menunjukkan
adanya ekspansi sumsum tulang sampai pada tulang panjang normal inaktif.

Abnormalitas kromosom
Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal kariotipe. Hanya sedikit pasien
memperlihatkan abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada pasien MMM
menyisakan sel hematopoesis normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom yang
dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del 13 (q13q21) dan del 20q. Kromosom yang
sering terganggu adalah : 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan monosomi, delesi partial
dan translokasi juga sering ditemukan. Fibroblas tidak berperan terhadap abnormalitas
kromosom pada MMM.3
Kerusakan sistem imun
Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada MMM, hal ini kontras dengan
CMPD lainnya. Sel limfosit T dan B lansung terpengaruh oleh defek sel stem pada MMM
dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem
imun humoral telah ditemukan. Menurunnya kadar C3 dapat terjadi dan menyebabkan
naiknya kemungkinan infeksi bakterial. Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain :
autoantibodi eritrosit, antibodi platelet, antibodi antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi
antiphosfolipid. Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati monoklonal dapat
timbul 10% pasien MMM, pada beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel
plasma pernah dilaporkan.
 Pemeriksaan patologi
Gambaran khas pada MMM adalah adanya fibrosis sumsum tulang dan hematopoesis
ekstramedulare. Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 30 – 70 % kasus,
terutama mengenai kerangka axial dan bagian proksimal tulang panjang. Korteks tulang
mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang. Hematopoesis terutama terjadi
di lien dengan adanya splenomegali, liver dan beberapa organ lain juga dapat terlibat,
misalnya : limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum, usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, 
mammae, dura, ovarium dan thimus. Gugusan hematopoesis mungkin mengandung beberapa
campuran turunan precursor mieloid dan kemungkinan terlihat sebagai infiltrat mikroskopis
atau tumor makroskopis.proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedulare daripada
dalam sumsum tulang dan hematopoesis ekstramedulare, ada tendensi adanya indeks mitosis
rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopoesis medulare.
Kerusakan organ targer dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitar jeringan normal, tetapi
arsitektur normal tetap dapat dipertahankan.3
 

1. Prognosis

Seperti leucemia, mielofibrosis berkembang dengan progresif dan seringkali membutuhkan


terapi untuk mengontrol penyakitnya. Mielofibrosis dapat berkembang menjadi leucemia
limfositik akut atau limfoma. Meski sejumlah factor untuk memperkirakan waktu bertahan
hidup telah dikeluarkan, namun biasanya survival rate ataupun perkembang anemia biasanya
memilki prognosis kurang baik. Survival rate pada pasien mielofibrosis biasanya 5 tahun.10
Pada MMM rata-rata dapat bertahan hidup 3 – 7 tahun dan kurang 20% dapat hidup lebih 10
tahun. Perpanjangan hidup median Kira – kira 3 - 4 tahun tetapi banyak pasien hidup 10
tahun atau lebih. Kurang dari 10% pasien mengalami transformáis akhir menjadi leucemia
akut. Prognosis ini diperkirakan sesuai dengan waktu pertengahan timbulnya crisis blastik
pada CML dan kemungkinan lebih jelek pada ET dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih
banyak memberikan survivallebih pendek. Prognosis lebih baik jira : tidak terdapat gejala
konstitusi , Hb > 10gr/dl, platelet > 100 x 10 9 /L dan tidak ada hepatomegali. Pasien lebih
muda mempunyai kemampuan survival lebih baik, seperti hal nya rendahnya konsentarsi
mieloblas dalam sirkulasi. Adanya abnormalitas sitogenetik termasuk single clone dengan
translokasi kromosom 1, 5q-, trisomy 8, 13q-, atau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih
jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume plasma
atau peningkatan kadar receptor IL-2 terlarut dan mempunyai survival lebih jelek. 3
Reily, Snowden dan Spearing dkk ( 1997 ) membuat beberapa skor prognosis meliputi : usia,
kadar Hb, gejala konstitusi dan kariotipe. Dapat juga digunakan Mayo Prognostic Scoring
System ( MPSS ), yang meliputi :

1. Hemoglobin lebih dari 10 mg/dl


2. Hitung leukosit kurang dari 4 atau lebih dari 30 x 109 /L.
3. Hitung trombosit kurang dari 100 x 109 /L
4. Hitung jenis monosit absolut sama atau lebih dari 1 x 109/L. 2

Pasien dikelompokkan berdasarkan grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16


bulan dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu simptom dan sitopenia menjadi
memberat walaupun secara spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul
misalnya : penurunan berat badan, edema extremitas bawah, infeksi terutama pneumonia.
Hampir semua pasien terjadi splenomegali yang semakin memberat sehingga timbul rasa
sakit dan nyeri tulang.
Sebagian pasien terjadi hipertensi portal dengan varises esofagus , akibat dari : kenaikan
aliran darah splenoportal, trombosis vena hepática, trombosis vena portal, hemokromatosis
post transfusi dan hematopoesis intrasinusoidal.
Perdarahan dapat diakibatkan oleh trombositopenia, defek platelet, disseminated
intravascular coagulation ( DIC ) atau defisiensi factor pemebekuan. Kematian pasien MMM
bevariasi antara lain disebabkan oleh : infeksi, perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular
accidents, gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi kearah leucemia dilaporkan 5 – 20
% kasus. Perubahan kearah leucemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa paparan terapi
sitostatika, kejadian kearah leucemia limfositik akut serupa dengan leucemia mieloid akut.
 

1. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi gejala dan mengurangi risiko terjadinya
komplikasi. MMM mungkin dapat disembuhkan dengan hematopoetic stem cells
Transplantation ( HSCT ), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk pasien muda dan merupakan
risiko kematian yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk memperpanjang survival
atau mencegah progresi mielofibrosis.  3,7
Terapi suportif diarahkan lansung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien
asimptomatis dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan
kadar asam urat darah tetap normal, untuk menghambat : nefropatia urat, renal kalkuli dan
gout. Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan berkembang terus sampai timbul
gejala. Bila beberapa terapi gagal memperbaiki hematopoesis, transfusi diperlukan untuk
mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya kejadian
hemolisis. Transfusi darah dapat diberikan untuk mengatasi anemia yang terjadi pada pasien.
Kategori obat :  Antirachitis
Mielofibrosis telah dijelaskan bahwa dapat terjadi pada pasien dan menyebabkan terjadinya
defisiensi vitamin D. Sebagai tambahan, pasien mielofibrosis yang dihubungkan dengan
trombositemia esencial atau mielomonositik leucemia, sebagaimana akut ( idiopathik)
mielofibrosis, telah memberikan respon yang baik terhadap pemberian vitamin D. Vitamin D
beserta analognya dapat menekan proliferasi megakariosit dan memperbaiki mielofibrosis
yang dihubungkan dengan rickets. Efek inhibisi lansung pada trombosis telah ditunjukkan.
Bagaimanapun, beberapa penelitian tidak menunjukkan respon yang sama pada paien dengan
mielofibrosis idiopatik. 2
Yang biasa digunakan adalah calcitriol , yang merupakan metabolit aktif primer dari vitamin
D3. ia dapat meningkatkan tingkat kalsium dengan memicu penyerapan kalsium pada saluran
pencernaan dan retensinya di urin. Dosis yang diberikan pada pasien mielofibrosis lebih
tinggi 5 sampai 10 kali ketimbang dosis fisiologis. Pada dewasa biasanya 2,5 mcg/hari, per
oral. Kontraindikasi pasien yang hipersensitif, hiperkalsemia atau adanya sindroma
malabsorbsi.

Kategori obat : Corticosteroid


Obat ini mempunyai efek imunosupresif dan sitotoksik. Mekanisme sitotoksik kortikosteroid
masih belum dapat diketahui ( namun tampaknya melalui receptor glukokortikoid ). Preparat
yang biasanya digunakan adalah prednison yang bertindak sebagai imunosupresan pada
kelainan autoimun. Prednison dapat menurunkan efek peradangan dengan meningkatkan
permeabilizas kapiler dan menekan aktivitas PMN. Prednison juga dapat mensstabilkan
membran lisosom dan juga menekan produksi limfosit dan antibodi. Efisiensi pada beberapa
kasus dapat merefleksikan defek autoimun yang mendasari dan/atau menekan klon yang
berproliferasi. 2
Dosis yang biasa diberikan adalah 5 – 60 mg/hari per oral. Dikontraindikasikan pada pasien
dengan hipersensitifitas, infeksi virus, tukak lambung, insufiensi hepar, infeksi jaringan ikat,
infeksi jamur atau tuberculosis pada kulit, perdarahan saluran cerna atau ulserasi saluran
cerna.
Selain itu dapat juga digunakan methylprednison  yang dapat menekan proses peradangan
dengan menekan penyebaran leukosit PMN dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler.

Kategori Obat : Imunomodulator


Imunomodulator dapat menekan proses autoimun, memicu imunoregulasi dari klon
abnormal. Preparat yang biasa dipakai adalah interferon alfa 2a. pengobatan dengan
preparat ini telah menunjukkan hasil yang efisien dalam jangka waktu yang panjang bagi
pasien dewasa. Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas TGF – β dan
efektivitasnya pada CML. Interferon – α mungkin dapat bermanfaat menghilangkan nyeri
tulang , trombositopenia dan splenektomi, tetapi efektivitas ini menurun dengan adanya
flulike syndrome berat dan memberatnya anemia. Dosis yang biasa dipakai 1 – 6 juta unit/
hari, subkutan. Selain itu juga dapat digunakan preparat thalidomide. Thalidomide adalah
statu agen imunomodulator yang dapat menekan produksi berlebihan dari tumor necrosis
factor  alpha ( TNF –α ) dan dapat menurunkan regulasi adhesi terhadap membran sel yang
berkaitan dengan migrasi leukosit. Karena beberapa peretimbangan, termasuk efek
teratogeniknya, thalidomide tidak dijual bebas dan hanya diberikan oleh dokter yang
bertanggung jawab terhadap pasiennya dan hanya dijual oleh farmasi yang telah terdaftar
dalam program Persepan dan Pendidkian Keamanan Thalidomide ( STEPS ). Pasien harus
mengikuti survei yang akan dijalankan saat mendapatkan terapi, dan thalidomid hanya dapat
diberikan dalam jangka waktu 28 hari. 2
Preparat ini banyak digunakan untuk memperbaiki anemia dan menurunkan transfusi darah
atau trombosis yang berhubungan dengan mielofibrosis. Pasien dengan MMM berat dapat
diberikan preparat antiangiogenik Talidomid, 20% kasus terjadi perbaikan dengan
menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dan perbaikan hitung darah. Efek samping
serius dilaporkan antara lain : leukositosis dan trombositosis berat hematopoesis
ekstramedulare perikardial, dan dapat terjadi pada dosis awal yang sangat rendah 50 mg/hari.
Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 50 mg/hari dengan prednison 0,5
mg/kgbb/hari, 95% memberikan respon komplit dalam 3 bulan pengobatan. Dosis yang
digunakan adalah 200 mg/hari, per oral, kemudian dosis di titrasi hingga mencapai dosis
target sebesar 800 mg/hari, per oral. Dalam kombinasi dengan pemberian prednison,
digunakan dosis 50mg/hari per oral.     
Allogenic Hematopoietic Stem Cell Transplantion
Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan dengan Allogenic Hematopoietic
Stem Cell Transpalntation ( AHSCT ). Terbatasnya pendekatan ini karena factor umur dan
kondisi pasien, dengan menggunakan donor yang cocok serási dan morbiditas serta mortalitas
yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum tulang dan splenomegali
rupanya bukan hambatan untuk HSCT. 3
Dilaporkan oleh Guardiola dkk ( 1999 ) dan Jurado dkk ( 2001 ) kelompok Internacional
cooperative trial  dengan 55 pasien, hampir semua umur muda, umur rerata 42 tahun, dengan
HLA-identical related donor. MMM dengan umur >45 tahun kemampuan hidup 5 tahun
sebanyak 14%. Semakin menjadi jelas, bahwa pada pasien lebih muda dengan 2 faktor risiko,
dengan prediksi survival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan dilakukan HSCT
secepatnya estela diagnosis tegak. Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin
memberikan hasil akhir yang rendah dan factor risiko jelek tidak ditemukan, maka sebaiknya
difunda dahulu sampai factor risiko muncul, walaupun data tentang hal ini belum banyak
dilaporkan.
AHSCT dapat menyebabkan permasalahan yang cukup serius, yaitu :
1.                Risiko tinggi terjadi toksisitas dari kemoterapi dosis tinggi dan radiasi yang
diberikan sebelum menjalani prosedur ini.
2.                Sel insuk yang didonasikan terkadang menyerang jeringan sehat karena reaksi
yang disebut sebagai “graft versus host disease”  yang dapat menyebabkan kerusakan fatal
pada organ-organ seperti hati, saluran cerna, kulit dan organ lainnya.
Terapi Androgen dan Kortikosteroid
Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat MMM. Dengan respon rate 29 – 57 %.
Perbaikan spontan munngkin dapat terjadi pada MMM, sehingga respon terhadap terapi perlu
dianalisa secara cermat. Perempuan dengan splenomegali minimal dan pasien dengan
kariotipe normal memberikan prognosis lebih baik. Sebelum terapi dengan androgen, pria
perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisis maupun dengan antigen spesifik untuk
prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek virilisasi. Selama terapi dengan
androgen perlu dimonitor faal hati.
Beberapa jadwal dosis telah memberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik oral
: fluoksimesteron, dosis : 2 – 3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan estela 3 – 6 bulan
terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa pasien yang tidak berespon terhadap androgen,
kemungkinan memberikan respon preparat yang lain, karena daya hidup eritrosit memendek
pada MMM, kemungkinan kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit dan
memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan dosis : 1 mg/kg BB sehari, memberikan
respon pada 25 – 50% pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat pada pasien
perempuan. Pasien dengan hemolisis perlu diberikan suplemen asam folat. Androgen dan
kortikosteroid kadang dapat dikombinasikan. Dosis dimulai dengan prednison 30 mg/hari,
dengan kombinasi fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari, bila terdapat respon setelah satu
bulan terapi, dosis prednison diturunkan secara tappering off  sedangkan fluoksimeteron
dilanjutkan. 3
Kemoterapi
Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak memberikan perubahan secara
umum pada MMM, tetapi mungkin sangat memberikan perubahan pada gejala. Kemoterapi
dapat mengurangi hepatomegali dan splenomegali serta memperbaiki penurunan berat badan,
demam dan keringat malam sampai 70% pasien, serta mengurangi leukositosis, trombositosis
dan anemia. Kemoterapi yang pernah digunakan : busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan
hidroksiurea. Pada MMM pemberian kemoterapi harus lebih hati-hati karena cenderung
terjadi toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya pemberian busulfan 2 – 4
mg/hari sudah merupakan dosis maksimum yang dapat diberikan dengan derajat keselamatan
pada MMM. Pasien harus dimonitor secara frekuen dan kontinu, terutama bila timbul
sitopenia.
Hidroksiurea dapat diberikan dosis tereduksi 500-1000 mg selang sehari, dengan penyesuaian
dosis tergantung respon klinis dan hitung darah. Hidroksiurea ( Hydrea ) memiliki efek :
·        Menurunkan hitung jenis trombosit yang terlalu tinggi
·        Menurunkan ukuran splenomegali dan komplikasinya
·        Menurunkan atau mengeliminasi keringat malam dan penurunan berat badan
·        Meningkatkan kadar hemoglobin
·        Terkadang dapat menurunkan derajat fibrosis sumsum tulang
Iradiasi
Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan respon dengan iradiasi splenik,
terutama bial ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami
perbaikan keluhan nyeri dan >50% terjadi pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan
memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan pemantauan ketat.
Dosis fraksi 15 – 100 cGy, 2 -3 kali per minggu. Dosis total 700 – 2400 cGy dapat
memberikan hasil yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara baru dapat
dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor hematopoesis ekstramedulare simptomatis
juga memberikan respon terahadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri tulang dari
tumor atau periostitis dan pada deposit susunan saraf pusat.3
Splenektomi
Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter terhadap terapi : sitopenia, hipertensi
portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan perbaikan :
simptom hipersplenisme, hipertensi portal, anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan
ini tidak selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan. Splenektomi pada MMM
harus hati-hati, karena organomegali yang cukup besar sehingga mungkin terjadi adhesi,
naiknya aliran darah dan status compromised pasien. Adanya DIC ( KID ) ringan yang
ditandai kenaikan kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan risiko perdarahan
yang tidak mudah diperbaiki preoperatif. Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada
stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada perawatan rumah sakit yang lebih modern
turun < 10% dan 25% dalam waktu 3 bulan. Splenektomi kadang menimbulkan krisis
aplastik, karena lien menjadi tempat hematopoesis ekstramedulare, pada fibrosis sumsum
tulang berat. Dilaporkan adanya komplikasi splenektomi yang bermakna : infeksi
intraabdominal, trombositosis berat dengan trombosis dan hepatomegali yang cepat
membesar. Dua terakhir tersebut mungkin memerlukan siklus kemoterapi pascaoperatif.3
Splenektomi dipertimbangkan untuk pasien dengan ; a. Kebutuhan transfusi yang tak dapat
diterima; b. Splenomegali masif yang menyebabkan gejala tidak enak yang tak dapat
dikontrol oleh radioterapi atau khemoterapi dan c. Trombositopenia berat yang disertai
perdarahan berulang.
Pada penyakit lanjut dengan splenomegali berat, risiko operasi sangat besar, pasien dalam
keadaan umum jelek dan angka kematian tinggi karena perdarahan pos operatif dan infeksi.
Trombositosis pasca splenektomi mempunyai risiko tinggi tromboemboli.
Pengobatan lain
Anagrelid dapat menurunkan platelet tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya.
Beberapa pasien dapat diberikan eritropoetin bahkan lebih baik bila dikombinasikan dengan
interferon. Suramin dan imatinib dilaporkan pernah diberikan pada MMM, dengan hasil yang
belum jelas.
Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat
meningkatkan hematopoesis dan memeperbaiki anemia, walaupun hal ini dengan prosedur
komplek dan tidak selalu berhasil pada semua pasien.
HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busulfan, pernah dilakukan pada sejumlah
MMM lanjut yang refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortalitas cukup tinggi ( 6
dari 12 pasien ), hampir semua pasien terjadi perbaikan simptom hipersplenisme dan separo
pasien terjadi perbaikan anemia dan trombositopeni.
          

1. Diagnosis Banding

Diagnosis MMM berdasarkan triad : fibrosis sumsum tulang, hematopoesis ekstramedulare


dan hematopoesis klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yang mendasari. Tidak
diketemukan tanda – tanda patognomonik dan bukti hematopoesis klonal secara tidak lansung
bila kariotipe abnormal tidak diketemukan. Biopsi sumsum tulang penting dilakukan untuk
menentukan adanya fibrosis dan membuktikan adanya hematopoesis klonal dalam bentuk
panhiperplasia serta untuk menyingkirkan adanya proses infiltrasi. Untuk diagnosis memakai
Italian concensus conference walaupun mungkin tidak berlaku untuk fase awal MMM.
MMM perlu dibedakan dari CML,ET dan PV. Bila fibrosis sumsum tulang sebagai gambaran
utamanya maka diagnosis menjadi sulit. PV yang berakhir dengan MMM like syndrome
adalah 15 – 20 %. Mielofibrosis pada PV lebih sering terjadi setelah beberapa tahun
perjalanan penyakit. Karena pasien dengan postpolisitemik PV, menjadi simtomatik akibat
ekspansi masa sel darah merah dan menjadi awal perhatian, serta diagnosis biasanya dibuat
sebelum timbul fibrosis sumsum tulang. Pasien dengan PV, pertama diketemukan adanya
mielofibrosis fase postpolisitemik perjalananya lebih progresif daripada pasien MMM.
Mielofibrosis juga dapat terjadi pada CML,tetapi untuk deferensial diagnosis dengan MMM
berdasarkan pada analisa genetik.
Mielofibrosis juga dapat terjadi akibat reaksi terhadap : keganasan, infeksi dan beberapa lain.
Hal ini dapat dihubungkan denganperubahan darah tepi dan hematopoesis dengan penampilan
seperti MMM.
Diagnosis mielofibrosis sekunder berdasarkan adanya penyakit yang mendasari.
Mielofibrosis sekunder merupakan gambaran reguler dari kondisi tertentu termasuk
postpolisitemik PV dan komplikasi yang jarang dari systemic lupus erithematosus dan rickets.
Bila mielofibrosis karena infeksi biasanya bentuk kronis, menyebar luas dan biasanya mudah
dideteksi. Hampir semua mielofibrosis sekunder akibat proses keganasan. Pemeriksaan
hidroksiprolin urin suatu metabolit dari kolagen dapat membedakan antara mielofibrosis
sekunder dengan MMM. Pada MMM ekskresi normal, pada proses keganasan dan
mielofibrosis sekunder ekskresi meningkat.
Pengobatan mielofibrosis sekunder terutama pengobatan penyakit primer yang mendasarinya.
Perbaikan pengobatan fibrosis, dilaporkan setelah pengobatan berhasil pada PV, penyakit
Hodgkin, metastase prostat dan karsinoma mammae.  

1. Pencegahan

Selain pengobatan yang dapat diberikan diatas, juga terdapat beberapa langkah yang dapat
dilakukan pasien yang dapat mnegurangi atau mencegah terjadinya gejala mielofibrosis, yaitu
:
·        Menghindari paparan dari orang atau kerumunan yang membawa fluk atau penyakit
menular lainnya jika kadar leukosit pasien rendah.
·        Melakukan higien yang baik, termasuk didalam frekuensi mencuci tangan.
·        Menggosok gigi secara teratur, membersihkan diri ( mandi ) secara teratur dan
perhatikan daerah yang sukar dibersihkan seperti lipatan kulit disekitar daerah rektum.
·        Hindari kegiatan yang dapat menyebabkan timbulnya memar.
·        Gunakan alat pencukur listrik, dan berhati-hati saat menggunting kuku, menggunakan
pisau, dll.
·        Gunakan sepatu dengan sol yang keras, sarung tangan dan celana panjang saat
melakukan aktifitas di luar ruangan seperti misalnya berkebun.
·        Gunakan sikat gigi yang lembut jika pernah mengalami perdarahan gusi.
·        Hindari pemakaian aspirin atau pengobatan lain yang serupa dengan aspirin
( contohnya Motrin, Ibuprofen, atau anti peradangan lainnya) kecuali memang benar
diperlukan. Pengobatan-pengobatan tersebut dapat mempengaruhi pembekuan darah.
·        Diet yang seimbang, karena dapat membantu tubuh memproduksi eritrosit baru.
·        Tidur dan istirahat yang cukup untuk menghemat enegi.
·        Ikut olahraga yang ringan, seperti jalan santai, yang ditujukan untuk menstimulasi
sirkulasi dan meningkatkan tingkat energi.
·        Beri tahu dokter gigi pasien dan staf medis lain yang mungkin terlibat dengan pasien
bahwa pasien mempunyai penyakit ini, karena terdapat risiko perdarahan yang tinggi dari
infeksi dan perdarahan saat menjalani beberapa prosedur. 6
DAFTAR PUSTAKA
1.      Hoffbrand, A.V. Pettit, J.E. Kapita Selekta Hemologi. EGC. Jakarta ; 1996.

2.      Myelofibrosis. Author : J. Marthin Johston, MD. Diakses dari

http://www.emedicine.com// pada tanggal 28 Juli 2008. Last update : Dec 14, 2007.
3.      Sudoyo, Aru. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta . 1996.
4.      The Leukemia and lymphosa society. Idiopathic Myelofibrosis. Diakses pada tanggal 28
Juli 2008 dari www.LLS.org , pdf version.
5.      Idiopathic myelofibrosis. Diakses dari www.about.com, pada tanggal 28 Juli 2008, last
update : 17 Juli 2008.
6.      University of Iowa Health Care. Blood disorders : Idiopathic Myelofibrosis. Diakses
pada tanggal 28 Juli 2008, pada
//www.uihealthcare.com/topics/medicaldepartments/cencercenter/blooddisorders/idiopathicm
yelofibrosis.html
7.         Idiopathic Myelofibrosis. Diakses dari www.rarediseases.org pada tanggal 28 Juli
2008, last update 28 Juni 2002.
8.      Diakses dari www.mayoclinic.com pada tanggal 28 Juli 2008, last update 1 Juli 2008.
9.      Myelofibrosis. Diakses dari www.healthatoz.com pada tanggal 28 Juli 2008. artcle
update 14 Agustus 2006.

10.  Myelofibrosis with Myeloid Metaplasma. Ayalew Tefferi,M.D.  The New England
Journal of Medicine,review article, medical progress volume 342 : 1255 – 1265. 27 April
2000.

11.  Myelofibrosis. Diakses dari www.answers.com pada tanggal 28 Juli 2008.

12.  Advances in therapy of Chronic Idiopathic Myelofibrosis. The Oncologist, vol.11, no.8,
929.
13.  Myelofibrosis. Diakses dari www.wikipedia.com pada tanggal 28 Juli 2008.

Anda mungkin juga menyukai