Anda di halaman 1dari 39

Badan Pusat Statistik

Kabupaten Kebumen
KATA PENGANTAR

Kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian serius
pemerintah. Salah satu aspek penting dalam mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan
adalah penyediaan data kemiskinan yang akurat. Setiap tahun, BPS berupaya menyajikan data
terkait kemiskinan salah satunya melalui publikasi Analisis Kemiskinan Kabupaten Kebumen
2020. Publikasi ini berisi data dan informasi mengenai kemiskinan serta indikator/variabel lain
yang terkait dengan isu kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Data dan informasi yang tersaji
pada publikasi ini bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode Maret
2020, dan periode-periode sebelumnya untuk memperoleh data series kemiskinan.

Publikasi Analisis Kemiskinan Kabupaten Kebumen 2020 diharapkan dapat memberikan


informasi memadai bagi semua pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan dan
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Pada akhirnya, kami menyampaikan
apresiasi tinggi dan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangsih dalam penyelesaian publikasi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan untuk perbaikan atau kesempurnaan publikasi yang akan datang.

Kebumen, Desember 2020


Kepala Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kebumen

Kus Haryono, S.ST., M.Si.

1
Daftar Isi

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 1


DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4
1.1. Latar Belakang........................................................................................................... 4
1.2. Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 5
1.3. Sumber Data............................................................................................................... 5
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ................................................................................................. 6
2.1. Definisi Kemiskinan................................................................................................... 6
2.4.1. Kemiskinan relatif ............................................................................................. 7
2.4.2. Kemiskinan absolut ........................................................................................... 8
2.2. Terminologi Kemiskinan........................................................................................... 8
2.3. Metodologi Penghitungan Kemiskinan.................................................................... 9
2.4. Konsep dan Definisi ................................................................................................. 10
2.4.1. Pendidikan ........................................................................................................ 10
2.4.2. Ketenagakerjaan .............................................................................................. 10
2.4.3. Fasilitas perumahan......................................................................................... 11
2.4.4. Program pemerintah ....................................................................................... 11
BAB III. GAMBARAN UMUM KEMISKINAN KABUPATEN KEBUMEN 2020 ...... 13
3.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Kabupaten Kebumen 2009 – 2020 .......... 13
3.2. Perbandingan Kemiskinan Kabupaten Kebumen dengan Kabupaten/Kota
Sekitar dan Provinsi Jawa Tengah ........................................................................ 15
3.3. Gambaran Umum Perekonomian Kabupaten Kebumen .................................... 17
3.4. Gambaran Demografi Kabupaten Kebumen ........................................................ 20
3.5. Pola Konsumsi Penduduk ....................................................................................... 24
3.6. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Kebumen .................................................. 26
BAB IV. KARAKTERISTIK PENDUDUK MISKIN KEBUMEN 2020 ........................ 31
4.1. Pendidikan ................................................................................................................ 31
4.2. Ketenagakerjaan ...................................................................................................... 32
4.3. Fasilitas Perumahan ................................................................................................ 33
4.4. Program pemerintah ............................................................................................... 34

2
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 36
5.1. Kesimpulan ............................................................................................................... 36
5.2. Saran ......................................................................................................................... 36
REFERENSI ................................................................................................................................... 37

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penanggulangan dan pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas
pembangunan di Indonesia. Setiap kepala daerah di Indonesia menjadikan penurunan tingkat
kemiskinan sebagai program pada masa kepemimpinan mereka. Hal ini sejalan dengan tujuan
pertama dalam Sustainable Development Goal’s (SDG’s), yaitu mengakhiri segala bentuk
kemiskinan di dunia (BPS, 2019). Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut
berkomitmen menjalankan amanah SDG’s tersebut. Sebagai upaya pelaksanaan komitmen
SDG’s, pemerintah telah mengeluarkan berbagai program penanggulangan dan pengentasan
kemiskinan. Program-program tersebut terintegrasi dengan kebijakan-kebijakan kepala daerah
sesuai dengan karakteristik setiap daerah.
Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan dan pengentasan
kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data
kemiskinan ini berguna untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan,
membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk
miskin dengan tujuan memperbaiki kondisi mereka. Oleh karena itu, data-data tersebut harus
tersedia bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga hingga level kabupaten/kota.
Pada dasarnya kemiskinan bersifat multidimensi. Kemiskinan dapat ditinjau dalam
berbagai perspektif, baik secara ekonomi (pendapatan/pengeluaran), sosial, atau budaya. Hal
ini berarti data kemiskinan bukan hanya mengenai gambaran makro, yaitu jumlah dan
persentase penduduk miskin. Data kemiskinan harus disajikan secara komprehensif mencakup
kondisi perekonomian, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, atau perumahan/tempat
tinggal sesuai karakteristik daerah masing-masing. Ketersediaan data kemiskinan yang akurat
dan komprehensif akan membantu kepala daerah dalam memperoleh gambaran utuh mengenai
kemiskinan dan kondisi daerahnya. Hal ini tentu bermanfaat dalam perumusan kebijakan
penanggulangan dan pengentasan kemiskinan sesuai kondisi dan karakteristik penduduk dan
daerah.
BPS merupakan lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
menghitung dan memetakan angka kemiskinan di Indonesia. BPS telah menghitung angka
kemiskinan sejak awal 1980-an dan dipublikasikan secara resmi pada 1984. Publikasi tersebut
mencakup angka kemiskinan periode 1976-1981. Sejak itu, setiap tiga tahun, BPS menghitung

4
jumlah penduduk miskin di Indonesia bersamaan dengan pengumpulan data konsumsi rumah
tangga melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Sejak 2002, penghitungan angka
kemiskinan dilakukan setiap tahun dengan dilaksanakannya survei modul konsumsi rumah
tangga melalui Susenas.
Pemutakhiran metode pengukuran kemiskinan dilakukan pada 1998. Pemutakhiran
tersebut dengan menyempurnakan keranjang makanan (food basket) dan komponen bukan
makanan berdasarkan survei terbatas di sepuluh provinsi. Penghitungan garis kemiskinan
makanan didasarkan pada kebutuhan energy minimum penduduk Indonesia sebesar 2.100
kilokalori per hari, yang merupakan rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WNPG) 1978. Metode ini menghasilkan perluasan komoditas dalam keranjang makanan di
setiap daerah, yang menghasilkan 52 jenis komoditas dalam keranjang makanan nasional.
Penghitungan garis kemiskinan bukan makanan didasarkan pada 51 komoditas di perkotaan
dan 47 komoditas di perdesaan yang mencakup perumahan, pakaian dan alas kaki, perawatan
kesehatan, biaya pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan publikasi ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui jumlah dan persentase penduduk miskin Kabupaten Kebumen tahun 2020.
2. Mengetahui kondisi demografi, sosial, dan perekonomian Kabupaten Kebumen 2020.
3. Mengetahuhi karakteristik penduduk miskin Kabupaten Kebumen 2020.

1.3. Sumber Data


Sumber data yang digunakan dalam publikasi ini berdasar dari hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2020 yang dilaksanakan di Kabupaten Kebumen. Publikasi
ini juga menggunakan hasil Susenas tahun-tahun sebelumnya untuk mengetahui perkembangan
kemiskinan dan karakteristik penduduk miskin dari tahun ke tahun. Data series tersebut
diharapkan dapat mempermudah Pemerintah Kabupaten Kebumen dalam merumuskan
program pembangunan di Kabupaten Kebumen, khususnya program penanggulangan dan
pengentasan kemiskinan.

5
BAB II.

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kemiskinan


Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar, yang secara ekonomi diukur dari pendapatan atau pengeluaran. Sen (1981),
peraih hadiah Nobel Ekonomi, berargumen bahwa kemiskinan biasanya ditandai dengan
kegagalan individu mendapatkan kapabalitas dasar, yang menyebabkan tiadanya kesempatan
dan pilihan untuk hidup secara bermartabat. Pendekatan Sen diukur dengan sebuah indeks
kemiskinan multidimensi. Adapun pendekatan eksklusi sosial mengategorikan seseorang
disebut miskin jika ia tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan dengan standar kehidupan
layak tidak tercapai (World Bank, 2006). Lebih lanjut, Bank Dunia menggunakan
ketidakcukupan sandang, pangan, dan papan; ketidakmampuan untuk mengakses perawatan
kesehatan; dan rendahnya akses terhadap pendidikan, sebagai indikator untuk menandai
seseorang dikategorikan miskin atau tidak. Sementara itu, United Nations (2006)
menggambarkan kemiskinan sebagai kondisi yang berkaitan dengan ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Sebagaimana Bank Dunia, PBB juga mengajukan beberapa
indikator teknis yang dapat digunakan sebagai penanda miskin atau tidaknya seseorang, seperti
kurang gizi, buta huruf, kesehatan yang buruk, pakaian dan perumahan yang tidak layak, dan
ketidakberdayaan.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disarikan definisi kemiskinan sebagai kondisi
ketika taraf hidup seseorang dianggap lebih rendah dari standar kemiskinan yang dikenal
sebagai garis kemiskinan. Pada dasarnya, terdapat dua pendekatan dalam menentukan garis
kemiskinan, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Adapun menurut sifatnya,
kemiskinan terbagi menjadi dua, yaitu kemiskinan sementara (transient poverty) dan
kemiskinan kronis (chronic poverty). Penduduk yang tergolong miskin sementara adalah
mereka yang pengeluaran rumah tangganya berada di bawah garis kemiskinan. Mereka
menjadi miskin karena perekonomian secara umum memburuk sehingga pendapatannya tidak
mencukupi kebutuhan minimumnya. Kelompok penduduk ini akan tergolong tidak miskin jika
kondisi perekonomian membaik karena mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang memberikan
penghidupan lebih baik.

6
Pada hampir semua negara berkembang, penghitungan kemiskinan cenderung
menggunakan pendekatan absolut. Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan, yaitu
pendapatan US$1 per hari, sebagai standar daya beli di berbagai negara. Garis kemiskinan
absolut adalah nilai nominal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, yang meliputi
kelompok makanan dan kelompok bukan makanan. Kemiskinan, menurut pendekatan
kemiskinan absolut, akan turun ketika seluruh penduduk dalam satu daerah mengalami
peningkatan pendapatan pada tingkat yang sama. Kondisi ini biasa dikenal sebagai
pertumbuhan yang memiliki dampak netral pada ketimpangan (inequality-neutral growth).
Sebaliknya di negara maju, penghitungan kemiskinan biasanya menggunakan
pendekatan relatif, yang disebut garis kemiskinan yang relatif tinggi (strongly relative poverty
line). Negara-negara tersebut biasanya menggunakan nilai konstan terhadap nilai rata-rata atau
nilai tengah pendapatan masyarakat di satu daerah. Jika seluruh penduduk di daerah mengalami
pertumbuhan pendapatan pada tingkat yang sama, kemiskinan tidak akan mengalami
perubahan nilai garis kemiskinan dan, bahkan, akan meningkat. Di antara sekian negara maju,
Amerika Serikat adalah satu-satunya negara maju yang menggunakan garis kemiskinan absolut
dalam menentukan indikator kemiskinannya.

2.4.1. Kemiskinan relatif


Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada perbedaan relatif tingkat
kesejahteraan antar kelompok masyarakat (Zahra, Fatin A, Afuwu, & Auliyah R, 2019).
Mereka yang berada di lapisan terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat
digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini, dapat saja mereka yang
digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak dasarnya, namun tingkat
keterpenuhannya berada di lapisan terbawah.
Kemiskinan relatif memahami kemiskinan dari dimensi ketimpangan antar kelompok
penduduk. Pendekatan ketimpangan ini tidak berfokus pada pengukuran garis kemiskinan,
tetapi pada besarnya perbedaan antara kelompok pendapatan/pengeluaran, misalkan antara 20
atau 10 persen masyarakat paling bawah dengan 80 atau 90 persen masyarakat lainnya. Kajian
yang berorientasi pada pendekatan ketimpangan ini lebih fokus pada upaya memperkecil
perbedaan antara mereka yang miskin dan mereka yang tidak miskin. Sementara itu, garis
kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antardaerah
dan antarwaktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. Namun untuk
menentukan sasaran program yang ditujukan untuk penduduk miskin, ukuran kemiskinan
relatif bisa digunakan.

7
2.4.2. Kemiskinan absolut
Konsep kemiskinan absolut atau kemiskinan mutlak berkaitan dengan standar hidup
minimum yang dianggap layak di satu daerah pada waktu tertentu (Puspita, 2015). Pada konsep
ini seseorang disebut miskin jika kehidupannya dianggap lebih rendah daripada tingkat
kehidupan layak. Kehidupan layak menjadi garis pemisah antara miskin dan tidak miskin, atau
dengan garis kemiskinan. Kemiskinan absolut bisa dipahami sebagai perbedaan antara tingkat
pendapatan seseorang dan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
dasar. Seseorang disebut miskin, menurut konsep kemiskinan absolut, jika tidak bisa
memenuhi kebutuhan pokok minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan, yang diperlukan untuk bisa hidup layak dan bekerja secara optimal. Kebutuhan
pokok minimum biasanya diterjemahkan dalam ukuran finansial, mengingat banyaknya
dimensi yang harus dipenuhi untuk menggambarkan kehidupan yang layak.
Salah satu kelebihan konsep kemiskinan absolut adalah kemampuannya untuk
diperbandingkan antarwaktu dan antardaerah, dengan catatan definisi kemiskinan tidak
mengalami perubahan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat kehidupan dikatakan miskin atau
tidak bergantung pada struktur rumah tangga. Pada 2010, menurut Biro Sensus Amerika
Serikat, untuk satu keluarga yang beranggotakan empat orang, tanpa anak di bawah usia 18
tahun, jumlah pendapatan minimal adalah US$22.541. Sementara untuk keluarga dengan
tambahan dua anak dengan jumlah orang dewasa tetap empat orang, jumlah pendapatan
minimalnya US$22.162 per tahun. Definisi kemiskinan yang tidak berubah ini membuat
konsep kemiskinan absolut bisa digunakan untuk menilai apakah kebijakan penanggulangan
kemiskinan berhasil atau tidak.

2.2. Terminologi Kemiskinan


Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan
struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan (Sambodho et al., 2013).
Struktur atau tatanan kehidupan tersebut bukan hanya menciptakan kemiskinan, tapi juga
melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat. Pada kondisi struktur yang demikian
tersebut, kemiskinan menggejala bukan oleh faktor-faktor alami atau oleh faktor-faktor pribadi,
melainkan oleh faktor struktur/tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini
menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang atau akses untuk
mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Hal tersebut menyebabkan

8
mereka menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan
bermartabat sebagai manusia.
Sementara itu, kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-
faktor adat dan budaya dari suatu daerah tertentu (Syawie, 2011). Adat atau budaya tersebut
membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator
kemiskinan tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan
dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang
melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik.

2.3. Metodologi Penghitungan Kemiskinan


BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach) dalam mengukur kemiskinan (BPS, 2020). Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Tahap pertama adalah
menentukan penduduk referensi yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis
Kemiskinan Sementara (GKS). Penentuan GKS untuk tingkat Kabupaten/Kota dengan cara:

Catatan:

 Untuk mencari GKS pada tingkat kabupaten ke-i digunakan elastisitas provinsi ke-j di
level perdesaan.
 Untuk mencari GKS pada tingkat kota ke-i digunakan elastisitas provinsi ke-j di level
perkotaan.
 Untuk kabupaten/kota yang bukan kota inflasi, laju inflasinya diperoleh dari
kabupaten/kota yang berdekatan (pendekatan sister city).

9
Langkah berikutnya adalah menentukan persentase penduduk miskin (P0) sementara
kabupaten/kota ke-i di provinsi ke-j yaitu dengan cara mengalikan pertumbuhan P0 provinsi
ke-j periode t ke t-1 dengan P0 kabupaten ke-i pada tahun t-1. Langkah ketiga adalah
menetapkan Garis Kemiskinan dengan cara menarik titik potong antara GKS dan P0 sementara.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin.

2.4. Konsep dan Definisi


2.4.1. Pendidikan
 Pendidikan yang ditamatkan adalah ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki oleh penduduk
miskin berumur 15 tahun ke atas. Publikasi ini mengelompokkan pendidikan yang
ditamatkan menjadi tiga, yaitu SD ke bawah (tidak mempunyai ijazah), mempunyai
ijazah SD atau SMP, dan mempunyai ijazah SMA atau ijazah perguruan tinggi.
 Angka melek huruf adalah proporsi penduduk miskin yang dapat membaca dan menulis
kalimat sederhana dalam aksara tertentu, yaitu huruf latin, huruf arab, atau huruf
lainnya. Publikasi ini menyajikan angka melek huruf penduduk miskin untuk kelompok
umur 15-24 tahun dan 15-55 tahun.
 Angka partisipasi sekolah adalah proporsi dari penduduk miskin yang masih
bersekolah. Publikasi ini menyajikan angka partisipasi sekolah penduduk miskin pada
kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun sehingga dapat digunakan untuk memantau
pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun diantara penduduk miskin berusia sekolah.

2.4.2. Ketenagakerjaan
 Bekerja adalah kegiatan penduduk miskin usia 15 tahun ke atas dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan yang dilakukan
paling sedikit selama satu jam berturut-turut dalam seminggu terakhir.
 Bekerja di sektor informal adalah penduduk miskin yang mempunyai status/kedudukan
dalam pekerjaan utamanya adalah berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak
tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas, atau pekerja keluarga/tidak dibayar.
 Bekerja di sektor formal adalah penduduk miskin yang mempunyai status/kedudukan
dalam pekerjaan utamanya adalah bekerja dibantu buruh tetap/buruh dibayar atau
buruh/karyawan/pegawai.

10
 Bekerja di sektor pertanian adalah penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian
tanaman padi dan palawija, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan
dan pertanian lainnya.
 Bekerja di sektor bukan pertanian adalah penduduk miskin yang bekerja selain di sektor
pertanian, seperti pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan gas,
konstruksi/bangunan, perdagangan, hotel dan rumah makan, transportasi, keuangan,
jasa atau lainnya.
 Tidak bekerja adalah penduduk miskin yang menjadi pencari pekerjaan/menganggur
dan bukan angkatan kerja (penduduk miskin yang tidak bekerja maupun tidak mencari
pekerjaan).

2.4.3. Fasilitas perumahan


 Air terlindung adalah leding meteran, leding eceran, dan sumur bor/pompa, sumur
terlindung, mata air terlindung yang jarak penampungan kotoran/limbah ≥ 10 meter.
 Rumah tangga pengguna air layak adalah rumah tangga miskin yang menggunakan
sumber utama air minum dari air tidak sustain (air hujan), air terlindung maupun tidak
terlindung dengan syarat sumber mandi/cuci/dll yang digunakan berasal dari air
terlindung.
 Rumah tangga pengguna jamban sendiri/bersama adalah rumah tangga yang
menggunakan fasilitas tempat pembuangan air besar yang digunakan oleh rumah
tangga sendiri atau bersama dengan rumah tangga tertentu.

2.4.4. Program pemerintah


 Rumah Tangga Miskin penerima Program Subsidi Beras Bagi Masyarakat
Berpendapatan Rendah (Proram Rastra) adalah rumah tangga miskin yang menerima
program nasional beras sejahtera (Rastra). Program Rastra (sebelumnya disebut
program Beras Miskin/Raskin) adalah program bantuan dari pemerintah untuk keluarga
berpendapatan rendah (rumah tangga miskin dan rentan) yang bertujuan untuk
mengurangi beban pengeluaran para Keluarga Sasaran Penerima Manfaat (KPM)
dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras.
 Rumah Tangga Miskin penerima Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) adalah
rumah tangga miskin yang menerima bantuan sosial pangan BPNT yang disalurkan
dalam bentuk non tunai dari pemerintah kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
setiap bulan melalui mekanisme uang elektronik yang digunakan hanya untuk membeli

11
bahan pangan di pedagang bahan pangan atau disebut e-warung yang bekerja sama
dengan Bank Penyalur. Bahan pangan dalam program BPNT ini adalah beras dan/atau
telur.

12
BAB III.

GAMBARAN UMUM KEMISKINAN KABUPATEN KEBUMEN 2020

3.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Kabupaten Kebumen 2009 – 2020


Perkembangan kemiskinan Kabupaten Kebumen selama satu dekade terakhir (2009 –
2020) dapat ditinjau melalui analisis tren tingkat kemiskinan. Analisi tren ini bermanfaat untuk
mengetahui sejauh mana keberhasilan program pengentasan kemiskinan pemerintah daerah
Kabupaten Kebumen. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam analisis tren tersebut
antara lain garis kemiskinan (rupiah/kapita/bulan), jumlah (ribu jiwa) dan persentase penduduk
miskin, serta indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan.

350 30
309,6
300 279,4 25
263,1 262,8
25,37 251,1
24,06 242,3 241,9 235,9
250 233,4
22,7 22,4 20
21,32 208,7 201,3 211,09
20,5 20,44 19,86
200 19,6
17,47 16,82 17,59 15
150
10
100

50 5

0 0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin

Grafik 3.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Kebumen, 2009 – 2020

Program pengentasan kemiskinan Kabupaten Kebumen selama satu dekade terakhir


relatif berhasil. Hal ini terlihat dari perkembangan tingkat kemiskinan selama 2009 – 2020
yang mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase (Grafik 3.1). Jumlah
penduduk miskin di Kabupaten Kebumen pada 2009 sebanyak 309,6 ribu jiwa (25,37 persen),
kemudian pada 2020 menurun menjadi 211,09 ribu jiwa (17,59 persen). Pada satu sisi,
penurunan ini merupakan keberhasilan yang harus diapresiasi. Akan tetapi, masih terdapat
tantangan yang memerlukan perhatian serius, yakni peningkatan jumlah dan persentase
penduduk miskin pada 2020 dibandingkan dengan 2019. Pada 2020, jumlah penduduk miskin
di Kabupaten Kebumen bertambah dari 201,3 ribu jiwa (16,82 persen) menjadi 211,09 ribu
jiwa (17,59 persen).

13
6,00

4,87
5,00

3,94 4,08
3,68 3,78
4,00 3,57 3,62
3,35
2,78
3,00 2,48 2,58 2,62

2,00
1,34 1,19
0,96 1,11 0,99
0,92 0,91
0,75 0,61 0,65
1,00 0,55 0,55

0,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan

Grafik 3.2. Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Kabupaten Kebumen, 2009 –
2020

Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran


masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks,
semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Grafik 3.2 menunjukkan
bahwa selama periode 2009 – 2020, indeks kedalaman kemiskinan relatif berfluktuasi. Secara
umum pada periode tersebut, indeks kedalaman kemiskinan turun dari 4,87 menjadi 2,62. Akan
tetapi selama tiga periode terakhir (2018 – 2020), indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten
Kebumen cenderung meningkat, dari 2,48 menjadi 2,62. Peningkatan ini mengindikasikan
bahwa kesenjangan rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan
cenderung semakin melebar. Potret ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Kebumen dalam mengentaskan kemiskinan, sebab rata-rata pengeluaran
penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan.
Indeks Keparahan Kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran
pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi
ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Secara keseluruhan, Grafik 3.2
membuktikan bahwa selama periode 2009 – 2020 indeks keparahan kemiskinan cenderung
menurun dari 1,34 menjadi 0,55. Penurunan ini menandakan ketimpangan pengeluaran di
antara penduduk miskin di Kabupaten Kebumen relatif semakin kecil. Penurunan indeks
kedalaman kemiskinan juga menggambarkan bahwa kondisi penduduk miskin di Kabupaten
Kebumen semakin homogen. Hal ini tentu memudahkan Pemerintah Daerah Kabupaten

14
Kebumen dalam penentuan program pengentasan kemiskinan, sebab cukup dengan program
yang sama akan menghasilkan respon yang relatif sama.

3.2. Perbandingan Kemiskinan Kabupaten Kebumen dengan Kabupaten/Kota


Sekitar dan Provinsi Jawa Tengah
Pada 2020 jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 3.980,9 ribu
jiwa (11,41 persen), meningkat dibanding 2019 yang sebanyak 3.867,4 ribu jiwa (11,19
persen). Dengan demikian, pada 2020 secara umum kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah
mengalami peningkatan baik dari sisi jumlah maupun persentase. Peningkatan ini terjadi di
semua kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kondisi ini merupakan early warning bagi seluruh
pemerintah kabupaten/kota dalam penanggulangan dan pengentasan kemiskinan, apalagi
dalam situasi pandemi covid-19 yang belum usai. Potret ini secara tidak langsung juga
menunjukkan relatif belum kuatnya pondasi ekonomi dalam menghadapi situasi krisis, baik
krisis ekonomi atau kesehatan.
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Blora
Pati

Klaten
Kota Semarang
Kota Salatiga
Jepara

Kota Magelang

Kota Tegal

Rembang
Temanggung

Boyolali

Wonogiri
Semarang

Kota Surakarta

Kendal

Cilacap

Demak

Wonosobo
Karanganyar

Purbalingga

Brebes
Kota Pekalongan
Kudus

Sukoharjo

Batang
Tegal

Jawa Tengah
Magelang

Purworejo

Sragen

Banjarnegara

Pemalang
Grobogan
Pekalongan

Banyumas

Kebumen

Grafik 3.3. Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota,
2020

Pada 2020, apabila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain, Kebumen merupakan


kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Jawa Tengah (Grafik 3.3).
Persentase tertinggi berikutnya adalah Kabupaten Wonosobo dan Brebes, dengan persentase
penduduk miskin masing-masing sebesar 17,36 persen dan 17,03 persen. Adapun
kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin terendah adalah Kota Semarang,
Kota Salatiga, dan Kabupaten Jepara dengan persentase masing-masing sebesar 4,34 persen,
4,94 persen dan 7,17 persen. Grafik 3.3 juga menunjukkan bahwa masih terdapat 15

15
kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi dibandingkan dengan
kemiskinan Provinsi Jawa Tengah. Hal yang menarik adalah seluruh kabupaten/kota sekitar
Kebumen dan Kawasan Barlingmascakeb masuk dalam kategori ini, yaitu Wonosobo,
Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas, Purworejo, dan Cilacap. Apabila dibandingkan antar
kabupaten-kabupaten tersebut, Cilacap dan Purworejo menjadi Kabupaten dengan persentase
penduduk miskin terkecil di Kawasan Barlingmascakeb, yakni masing-masing sebesar 11,46
persen dan 11,78 persen.
20,32
19,60
18,80

17,59
17,58
17,47

17,36
17,21

17,05

16,82
16,63

15,90
15,64
15,62
15,46

15,03
14,76
13,94

13,81

13,50

13,26
12,53

11,78
11,67

11,46
11,45
11,25

10,73

2017 2018 2019 2020

Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen Wonosobo Purworejo

Grafik 3.4. Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota sekitar Kebumen, 2017 – 2020

Grafik 3.4 menyajikan potret yang menarik bahwa pada 2017 dan 2018, persentase
penduduk miskin Kabupaten Kebumen lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten
Wonosobo. Akan tetapi, sejak 2019 persentase penduduk miskin Kabupaten Kebumen menjadi
lebih tinggi daripada Kabupaten Wonosobo. Potret ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran
bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen terkait kebijakan/program pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Wonosobo yang secara siginifikan mampu menurunkan tingkat
kemiskinan di wilayahnya. Selain itu, hal ini sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi
efektivitas kebijakan/program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Kebumen selama tiga
tahun terakhir.

Kemiskinan masih menjadi tantangan pembangunan di Kabupaten Kebumen. Dalam


satu dekade terakhir, berbagai program pengentasan kemiskinan memang telah berhasil
menurunkan jumlah atau persentase penduduk miskin di Kabupaten Kebumen. Tentunya
capaian ini perlu diapresiasi. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kabupaten/kota di

16
Provinsi Jawa Tengah, persentase penduduk miskin di Kabupaten Kebumen masih relatif
tinggi. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah atau kebijakan-kebijakan pengentasan
kemiskinan yang lebih efektif, komprehensif, dan tepat sasaran. Perumusan kebijakan-
kebijakan ini membutuhkan data-data dasar mengenai kondisi Kabupaten Kebumen, baik dari
aspek ekonomi, sosial, ataupun demografi. Selain itu, data terkait gambaran karakteristik
penduduk miskin di Kabupaten Kebumen juga mutlak diperlukan. Data ini bertujuan agar
seluruh kebijakan pengentasan kemiskinan dapat berjalan lebih optimal dan tepat sasaran.

3.3. Gambaran Umum Perekonomian Kabupaten Kebumen


Salah satu indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu wilayah adalah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar
harga konstan. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
dalam satu wilayah tertentu, atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Sementara itu,
PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDRB atas
dasar harga berlaku berguna untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas
dasar harga konstan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari suatu periode ke periode,
yaitu dari tahun ke tahun atau dari triwulan ke triwulan.

7,00
6,15 6,28
5,79
6,00 5,52 5,58
5,01 5,15
4,88
5,00 4,57

4,00

3,00

2,00

1,00

0,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Grafik 3.5. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kebumen, 2011 – 2019

Secara umum, perekonomian Kabupaten Kebumen relatif baik. Hal ini tercermin dari
pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas 5 persen, kecuali pada tahun 2012 dan 2013 yang

17
mengalami perlambatan menjadi 4,88 persen dan 4,57 persen. Bahkan pada periode 2016 –
2019, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kebumen terus meningkat dari 5,01 persen menjadi
5,58 persen (Grafik 3.5). Peningkatan ini menunjukkan kesuksesan kinerja Pemerintah Daerah
Kabupaten Kebumen dalam menjaga kondusivitas iklim usaha, sehingga jumlah barang dan
jasa yang dihasilkan cenderung terus bertambah.

R,S,T,U. Jasa lainnya 10,78


Q. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9,36
P. Jasa Pendidikan 8,24
O. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 3,95
M,N. Jasa Perusahaan 10,11
L. Real Estate 6,82
K. Jasa Keuangan dan Asuransi 4,62
J. Informasi dan Komunikasi 15,48
I. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 9,12
H. Transportasi dan Pergudangan 7,78
G. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 7,29
F. Konstruksi 5,08
E. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 4,43
D. Pengadaan Listrik dan Gas 7,2
C. Industri Pengolahan 7,18
B. Pertambangan dan Penggalian 3,24
A. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan -0,54
-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Grafik 3.6. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kebumen menurut Lapangan Usaha, 2019

Pada 2019 seluruh lapangan usaha di Kabupaten Kebumen mengalami pertumbuhan


positif, kecuali lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yang melambat sebesar
0,54 persen (Grafik 3.6). Pertumbuhan positif tertinggi terjadi pada lapangan usaha informasi
dan komunikasi yang tumbuh 15,48 persen. Pertumbuhan ini menggambarkan bahwa usaha di
bidang informasi dan komunikasi semakin menggeliat. Dalam era industri 4.0, pertumbuhan
sektor ini akan menjadi kunci keberhasilan suatu daerah dalam memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di daerahnya.
Berikutnya, lapangan usaha lain yang juga mengalami pertumbuhan positif relatif tinggi adalah
sektor jasa, yaitu jasa perusahaan dan jasa lainnya dengan pertumbuhan masing-masing sebesar
10,11 persen dan 10,78 persen. Pertumbuhan sektor jasa ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa perekonomian Kabupaten Kebumen semakin berkembang dengan mulai tumbuhnya
sektor-sektor terkait kebutuhan tersier masyarakat, yaitu sektor jasa-jasa.

18
8,00

7,00

6,00

5,00

4,00

3,00

2,00

1,00

0,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Jawa Tengah

Grafik 3.7. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kebumen, dan
Kabupaten/Kota sekitar, 2011 – 2019

Grafik 3.7 menunjukkan bahwa pada dasarnya apabila dibandingkan dengan


Kabupaten/Kota sekitar, kondisi perekonomian Kabupaten Kebumen relatif baik. Selama
periode 2011 – 2019, Kebumen tidak pernah menjadi kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi
terendah. Bahkan, selama dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kebumen
selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah. Pada 2020, perekonomian
Kabupaten Kebumen mampu tumbuh sebesar 5,58 persen, sedangkan rata-rata Provinsi Jawa
Tengah sebesar 5,41 persen. Sementara itu diantara kabupaten/kota di Kawasan
Barlingmascakeb dan kabupaten/kota sekitar, Banyumas menjadi kabupaten dengan
pertumbuhan ekonomi tertinggi, yaitu mencapai 6,32 persen. Adapun kabupaten dengan
pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Cilacap yang tumbuh sebesar 2,33 persen.
Data-data ini menggambarkan bahwa secara riil kinerja ekonomi di Kabupaten Kebumen tidak
kalah dengan kabupaten/kota sekitar dan rata-rata kabupaten/kota di Jawa Tengah.

19
50 45,88
43,19
45

40
40,93
35

30 27,94

25
26,18
20 15,88
15

10

0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Pertanian Manufaktur Jasa-jasa

Grafik 3.8. Distribusi PDRB Kabupaten Kebumen menurut Lapangan Usaha, 2011 – 2019

Indikator lain untuk melihat perekonomian suatu daerah adalah bagaimana struktur
ekonomi di daerah tersebut. Struktur ekonomi ditentukan oleh besarnya peranan berbagai
lapangan usaha ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa di suatu daerah. Struktur
ekonomi yang terbentuk dari nilai tambah setiap lapangan usaha menggambarkan seberapa
besar ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi setiap lapangan usaha.
Grafik 3.8 menggambarkan bahwa selama periode 2005 – 2019, terjadi pergeseran struktur
ekonomi di Kabupaten Kebumen. Semula, perekonomian Kabupaten Kebumen cenderung
ditopang oleh sektor pertanian, tapi kemudian bergeser menjadi sektor jasa. Pada 2019, sektor
jasa menyumbang 45,88 persen dari total PDRB Kabupaten Kebumen. Adapun sumbangan
sektor manufaktur dan pertanian masing-masing sebesar 27,94 persen dan 26,18 persen. Hal
yang menarik adalah sumbangan selama periode 2005 – 2019, sumbangan sektor pertanian
terhadap PDRB Kabupaten Kebumen cenderung menurun, sedangkan sektor manufaktur dan
jasa cenderung terus meningkat.

3.4. Gambaran Demografi Kabupaten Kebumen


Pembangunan berwawasan kependudukan menempatkan penduduk bukan hanya
menjadi obyek pembangunan, tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Paradigma ini
menjadikan data-data demografi atau kependudukan sebagai dasar setiap perumusan kebijakan
pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pengentasan kemiskinan. Oleh karena
itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen perlu mengetahui gambaran demografi

20
diantaranya jumlah penduduk, rasio jenis kelamin, struktur piramida penduduk, dan rasio
ketergantungan penduduk.

1.400.000
1.197.982
1.161.719
1.200.000

1.000.000

800.000

600.000

400.000

200.000

0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Laki-laki Perempuan Total

Grafik 3.4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Kebumen menurut Jenis Kelamin, 2010 – 2019

Sepanjang periode 2010 – 2019 jumlah penduduk Kabupaten Kebumen terus


meningkat, dari 1.161.719 jiwa menjadi 1.197.982 jiwa, atau naik 3,12 persen (Grafik 3.4.1).
Berdasarkan jenis kelamin, selama periode tersebut jumlah penduduk perempuan selalu lebih
banyak daripada laki-laki. Pada 2019, lebih dari separuh penduduk Kabupaten Kebumen adalah
perempuan, sedangkan laki-laki hanya sebesar 49,78 persen. Pada 2019, rasio jenis kelamin di
Kabupaten Kebumen sebesar 99,13, yang berarti terdapat 99 laki-laki per 100 wanita. Oleh
karena itu, kebijakan pembangunan di Kabupaten Kebumen harus responsif gender dengan
melibatkan atau memberdayakan perempuan dalam setiap proses perumusan kebijakan
pembangunan, mulai tahap pengusulan hingga eksekusi program. Pemberdayaan perempuan
ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan perempuan dan partisipasi perempuan
dalam pasar kerja. Peningkatan partisipasi perempuan dalam pasar kerja tentu akan
meningkatkan pula pendapatan suatu rumah tangga, sehingga secara tidak langsung
memperbesar peluang keluar dari jurang kemiskinan (Rahman & Wulansari, 2018).

21
Grafik 3.4.2. Piramida Penduduk Kabupaten Kebumen, 2010 – 2019

Piramida penduduk menggambarkan struktur penduduk suatu daerah berdasarkan


kelompok umur. Grafik 3.4.2 menunjukkan bahwa Kabupaten Kebumen mengalami
pergeseran struktur umur penduduk. Pada 2010, struktur umur penduduk Kabupaten Kebumen
masih tergolong muda dengan tingkat kelahiran yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat kematian, sehingga penduduk Kabupaten Kebumen didominasi oleh usia relatif muda.
Akan tetapi pada 2019 struktur tersebut cenderung bergeser dengan semakin rendahnya tingkat
kelahiran dan semakin bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas). Pada satu
sisi potret ini menunjukkan keberhasilan program keluarga berencana dan pembangunan
kesehatan. Akan tetapi, pada sisi lain peningkatan jumlah penduduk lanjut usia juga
menimbulkan tantangan baru, diantaranya peningkatan prevalensi penyakit degeneratif dan
kemiskinan di wilayah-wilayah yang didominasi oleh penduduk lanjut usia (Zahra et al., 2019).

22
Grafik 3.4.2 juga menyajikan potret menarik mengenai perkembangan jumlah
penduduk usia produktif/usia kerja (15 – 64 tahun), yakni bagian tengah piramida penduduk
yang sebagian cenderung melebar (kelompok umur 40 – 64 tahun) dan sebagian lain
menyempit (kelompok umur 20 – 39 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa pada satu sisi terjadi
peningkatan jumlah penduduk pada kelompok umur 40 – 64 tahun, tapi pada sisi lain jumlah
penduduk berumur 20 – 39 tahun cenderung menurun. Kondisi ini menggambarkan penduduk
usia kerja di Kebumen justru didominasi oleh penduduk yang cenderung menuju tua,
sebaliknya penduduk yang berumur lebih muda cenderung memilih tidak tinggal di Kebumen.
Hal ini diduga disebabkan relatif minimnya kesempatan kerja di Kebumen, sehingga mereka
cenderung memutuskan bekerja dan bertempat tinggal di luar Kebumen untuk memperoleh
kesejahteraan yang lebih baik. Sementara itu, semakin bertambahnya jumlah penduduk berusia
relatif tua tentu juga berpengaruh terhadap penurunan produktivitas kerja, sehingga mereka
relatif semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (Amalia, 2017).

57,00 56,62
56,50 56,81
55,98 55,91 55,98
55,82
56,00
55,52
55,50 55,29
55,68
55,00

54,50
54,48
54,00

53,50

53,00
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Grafik 3.4.3. Rasio Ketergantungan Penduduk Kabupaten Kebumen, 2010 – 2019

Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dan semakin berkurangnya jumlah penduduk
berumur relatif muda berdampak pada beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif.
Hal ini tercermin dari Grafik 3.4.3 yang menunjukkan adanya peningkatan rasio
ketergantunggan penduduk di Kebumen selama tiga tahun terakhir, yakni dari 54,48 pada 2017
menjadi 55,98 pada 2019. Hal ini berarti pada 2019, setiap 100 penduduk usia kerja (produktif)
mempunyai tanggungan sebanyak 56 penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
Peningkatan rasio ketergantungan penduduk juga mengindikasikan semakin tingginya beban
yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang
belum produktif dan tidak produktif lagi. Peningkatan ini juga menyebabkan Kebumen

23
cenderung semakin jauh dari bonus demografi atau demographic dividend. Hal ini tentu
berdampak pada semakin hilangnya kesempatan Kebumen meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya atau mengentaskan kemiskinan melalui pemanfaatan bonus demografi, yaitu
pemberdayaan penduduk usia produktif.

3.5. Pola Konsumsi Penduduk

450.000 419.138
396.781
380.504
400.000
331.367
350.000
293.258 362.440
300.000 332.949 323.790
250.000 300.023
261.155
200.000
150.000
100.000
50.000
0
2015 2016 2017 2018 2019

Makanan Bukan Makanan

Grafik 3.5.1. Rata-rata Pengeluaran perkapita perbulan di Kabupaten Kebumen berdasarkan


Kelompok Komoditas, 2015 – 2019
Secara umum pola konsumsi penduduk Kabupaten Kebumen relatif tidak berubah.
Sebagian besar pengeluaran penduduk Kabupaten Kebumen digunakan untuk kebutuhan
makanan, yakni sekitar Rp. 419.138 per bulan (Grafik 3.5.1). Hal ini menandakan kehidupan
penduduk Kabupaten Kebumen relatif belum maju atau sejahtera, sebab salah satu ciri wilayah
maju adalah pengeluaran konsumsi penduduk didominasi oleh kebutuhan nonmakanan.

24
Rokok
Makanan dan minuman jadi
Konsumsi lainnya
Bumbu-bumbuan
Bahan minuman
Minyak dan kelapa
Buah-buahan
Kacang-kacangan
Sayur-sayuran
Telur dan susu
Daging
Ikan/udang/cumi/kerang
Umbi-umbian
Padi-padian
0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000

Perkotaan + Perdesaan Perdesaan Perkotaan

Grafik 3.5.2. Rata-rata Pengeluaran perkapita perbulan (rupiah) di Kabupaten Kebumen


berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal dan Jenis Kelompok Komoditas Makanan, 2019
Berdasarkan jenis kelompok komoditas makanan, sebagian besar pengeluaran
penduduk Kabupaten Kebumen digunakan untuk kebutuhan makanan/minuman jadi dan padi-
padian, yaitu masing-masing sekitar Rp. 125.667 dan Rp. 55.376 perbulan (Grafik 3.5.2). Hal
yang menarik adalah konsumsi rokok penduduk Kabupaten Kebumen relatif tinggi sebesar Rp.
48.799 rupiah, sedangkan konsumsi ikan/udang/cumi/kerang dan daging justru relatif kecil,
yakni masing-masing sebesar Rp. 15.971 dan 15.748 perbulan. Berdasarkan wilayah tempat
tinggal, juga terdapat potret yang menarik. Rokok, ikan/udang/cumi/kerang, buah-buahan, dan
sayur-sayuran justru lebih banyak dikonsumsi oleh penduduk Kabupaten Kebumen yang
tinggal pedesaan. Adapun penduduk perkotaan cenderung lebih banyak mengkonsumsi
makanan/minuman jadi, daging, serta telur dan susu.

25
Keperluan pesta dan upacara/kenduri

Pajak, pungutan, dan asuransi

Komoditas tahan lama

Pakaian, alas kaki, dan tutup kepala

Aneka komoditas dan jasa

Perumahan dan fasilitas rumah tangga

0 40.000 80.000 120.000 160.000

Perkotaan + Perdesaan Perdesaan Perkotaan

Grafik 3.5.3. Rata-rata Pengeluaran perkapita perbulan (rupiah) di Kabupaten Kebumen


berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal dan Jenis Kelompok Komoditas Nonmakanan, 2019
Berdasarkan jenis kelompok komoditas nonmakanan, sebagian besar pengeluaran
perkapita penduduk Kebumen digunakan untuk kebutuhan perumahan dan fasilitas rumah
tangga sebesar Rp. 158.564 perbulan (Grafik 3.5.3). Adapun pengeluaran perkapita terkecil
adalah untuk kebutuhan pesta dan upacara/kenduri sebesar Rp. 13.938 perbulan. Berdasarkan
wilayah tempat tinggal, terdapat potret yang menarik. Pengeluaran perkapita komoditas tahan
lama serta pakaian, alas kaki, dan tutup kepala dari penduduk yang tinggal di pedesaan justru
lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Sebaliknya, pengeluaran perkapita keperluan
pesta dan upacara/kenduri penduduk yang tinggal di perkotaancenderung lebih besar daripada
pedesaan. Padahal kegiatan pesta dan upacara/kenduri biasanya identik dengan masyarakat
pedesaan.

3.6. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Kebumen


Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek yang dapat menjelaskan kemiskinan di
suatu daerah. Bagaimanapun juga pengukuran kemiskinan dengan pendekatan pengeluaran
tentu berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan seseorang. Beberapa
indikator ketenagakerjaan untuk mengkaji kemiskinan antara lain upah minimum regional,
rata-rata upah/gaji bersih pekerja, tingkat pengangguran terbuka, jumlah penduduk yang
bekerja, serta jumlah pencari kerja, lowongan kerja, dan penempatan/pemenuhan tenaga kerja.

26
2.500.000

2.000.000

1.500.000

1.000.000

500.000

0
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo

2018 2019 2020

Grafik 3.6.1. Upah Minimum Kabupaten Kebumen dan Kabupaten/Kota Sekitar (rupiah),
2018 – 2020
Selama periode 2018 – 2020, upah minimum Kabupaten Kebumen dan kabupaten/kota
sekitar terus meningkat. Pada 2020, upah minimum Kabupaten Kebumen tercatat sebesar Rp.
1.835.000, terendah kedua setelah Kabupaten Banjarnegara yang sebesar Rp. 1.748.000
(Grafik 3.6.1). Relatif rendahnya upah minimum kabupaten ini tentu akan berdampak pada
cenderung sulitnya masyarakat Kebumen dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara
itu, kabupaten yang memiliki upah minimum tertinggi adalah Cilacap dan Purbalingga.dengan
upah masing-masing 2,1 juta rupiah dan 1,9 juta rupiah.

2.500.000

2.000.000

1.500.000

1.000.000

500.000

0
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo

Pertanian Manufaktur Jasa Total

Grafik 3.6.2. Rata-rata Upah/Gaji Bersih sebulan Pekerja Formal Kabupaten Kebumen dan
Kabupaten/Kota Sekitar (rupiah) menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2019

27
Pada 2019, secara keseluruhan rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja formal di
Kabupaten Kebumen sebesar 1,95 juta rupiah (Grafik 3.6.2). Apabila dibandingkan dengan
kabupaten/kota sekitar, rata-rata upah/gaji bersih sebulan ini hanya lebih tinggi dibandingkan
dengan Kabupaten Wonosobo dan Purbalingga yang masing-masing sebesar 1,87 juta dan 1,84
juta rupiah. Adapun kabupaten yang memiliki rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja formal
adalah Kabupaten Cilacap dan Banyumas yang masing-masing sebesar 2,31 juta dan 2,18 juta
rupiah. Hal menarik lain dari Grafik 13 adalah rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja formal
Kabupaten Kebumen di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten
sekitar, yaitu tercatat sebesar 1,1 juta rupiah. Padahal, pertanian merupakan sektor andalan
pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

1.800.000

1.600.000

1.400.000

1.200.000

1.000.000

800.000

600.000

400.000

200.000

0
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo

Pertanian Manufaktur Jasa Total

Grafik 3.6.3. Rata-rata Upah/Gaji Bersih sebulan Pekerja Informal Kabupaten Kebumen dan
Kabupaten/Kota Sekitar (rupiah) menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2019

Senada dengan pekerja formal, rata-rata upah/gaji bersih pekerja informal Kabupaten
Kebumen rendah. Bahkan, apabila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten sekitar,
upah/gaji bersih pekerja informal Kebumen tercatat paling rendah, yaitu sebesar 1,09 juta
rupiah (Grafik 3.6.3). Rata-rata upah/gaji bersih ini pun lebih rendah daripada UMK Kebumen
yang telah ditetapkan. juga lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten sekitar.
Berdasarkan lapangan pekerjaan utama, jasa menjadi sektor dengan rata-rata upah/gaji bersih
sebulan terkecil, yakni 1,24 juta rupiah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara
umum rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja di Kabupaten Kebumen relatif rendah, baik
pekerja formal atau informal. Relatif rendahnya rata-rata upah/gaji bersih ini tentu

28
menghambat penduduk dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, sekaligus keluar dari
lingkaran setan kemiskinan (Kusdiyanti, 2015).

9
8,12 8,02
8

7
6,12 6,07
6 5,58 5,58
5,18 4,76
5
4,14
3,66 3,58
4 3,25
3

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2017 2018 2019 2020

Grafik 3.6.4. Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten Kebumen, 2008 – 2020

Pada dasarnya selama periode 2008 – 2020, Pemerintah Kabupaten Kebumen berhasil
menurunkan tingkat pengangguran terbuka, dari 6,12 persen menjadi 4,76 persen (Grafik
3.6.4). Capaian ini tentunya perlu diapresiasi sebagai wujud keberhasilan program
ketenagakerjaan dan pembangunan secara luas. Akan tetapi, pada 2020 tingkat pengangguran
terbuka Kabupaten Kebumen kembali meningkat menjadi 6,07 persen. Secara tidak langsung,
peningkatan ini sebagai dampak dari pandemi covid-19 yang terjadi di Indonesia dan negara-
negara lain. Pandemi memaksa perusahaan menghentikan aktivitas produksi, sehingga
memaksa mereka merumahkan sebagian/seluruh karyawan. Kondisi ini mengakibatkan
meningkatnya jumlah pengangguran di Kabupaten Kebumen. Peningkatan jumlah
pengangguran ini secara tidak langsung memicu terjadinya lonjakan persentase penduduk
miskin di Kebumen pada 2020.

29
3,38%

7,54%

1,54% Tidak tamat SD


SD
5,16%
SMP
60,03% SMA
SMK
14,97%
Diploma I/II/II
Universitas

7,38%

Grafik 3.6.4. Persentase Penduduk 15 tahun ke atas di Kabupaten Kebumen yang termasuk
Pengangguran Terbuka menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi, 2019

Grafik 3.6.4 menyajikan potret menarik. Pengangguran terbuka di Kabupaten Kebumen


justru didominasi oleh penduduk berpendidikan SMK, sebesar 60,03 persen. Hal ini cukup
ironis, sebab SMK seharusnya mencetak lulusan yang siap kerja. Akan tetapi para lulusan SMK
ini justru sulit terserap dalam pasar kerja. Kondisi ini diduga disebabkan oleh adanya miss-
match antara keahlian atau keterampilan lulusan SMK dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh
pasar kerja. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya memberikan fokus kebijakan pengentasan
kemiskinan melalui penyesuaian kurikulum SMK dengan kebutuhan pasar kerja saat ini dan
masa yang akan datang. Hal ini bertujuan agar para lulusan SMK dapat masuk ke dalam pasar
kerja, memperoleh pendapatan, membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pada
akhirnya, kebijakan-kebijakan ini akan memperbesar peluang rumah tangga keluar dari jerat
kemiskinan.

30
BAB IV.

KARAKTERISTIK PENDUDUK MISKIN KABUPATEN KEBUMEN 2020

4.1. Pendidikan

80

70

60 54,47
48,78
50
48,17
40

30 25,47

20
20,06
10
3,05

0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

< SD SD/SMP SMA +

Grafik 4.1. Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Kebumen berdasarkan Tingkat


Pendidikan Tertinggi, 2009 – 2020

Beberapa hasil kajian membuktikan bahwa pendidikan memiliki kaitan erat dengan
kemiskinan. Seseorang yang berpendidikan relatif lebih tinggi, maka kemungkinan seseorang
tersebut masuk dalam kategori penduduk miskin semakin kecil (Indriani, 2018; Zahra et al.,
2019; Syapsan et al., 2020). Akan tetapi, hasil kajian relatif berbeda dengan potret karakteristik
penduduk miskin di Kabupaten Kebumen. Lebih dari separuh penduduk miskin di Kabupaten
Kebumen justru berpendidikan SD/SMP (Grafik 4.1). Adapun persentase penduduk miskin
yang berpendidikan di bawah SD, yaitu tidak tamat SD atau belum/tidak pernah bersekolah,
hanya mencapai 25,47 persen. Sementara itu, penduduk miskin yang berpendidikan SMA ke
atas relatif kecil, yakni 20,06 persen.
Grafik 4.1 juga menyuguhkan potret menarik dengan melihat tren karakteristik
penduduk miskin berdasarkan tingkat pendidikan selama 2009 – 2020. Persentase penduduk
miskin berpendidikan di bawah SD pada periode tersebut cenderung menurun. Demikian pula
dengan persentase penduduk miskin berpendidikan SD/SMP yang selama tiga tahun terakhir

31
menunjukkan tren yang menurun. Sebaliknya, persentase penduduk miskin berpendidikan
SMA ke atas selama 2009 – 2020 memiliki tren yang cenderung meningkat. Bahkan persentase
penduduk miskin berpendidikan SMA ke atas bertambah relatif besar, yaitu dari 3,05 persen
menjadi 20,06 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena penduduk yang berpendidikan relatif
rendah (SD/SMP atau di bawah SD) cenderung menerima pekerjaan apapun, sedangkan
penduduk berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) akan cenderung memilih pekerjaan sesuai
latar belakang pendidikan mereka. Hal ini menyebabkan penduduk berpendidikan lebih tinggi
relatif sulit memperoleh pendapatan, sehingga peluang menjadi penduduk miskin cenderung
semakin besar.

4.2. Ketenagakerjaan
Kemiskinan dapat ditinjau dari perspektif ketenagakerjaan. Kebijakan-kebijakan
ketenagakerjaan yang tepat akan dapat mendukung program pengentasan kemiskinan.
Indikator yang dapat digunakan antara lain karakteristik penduduk miskin berdasarkan
lapangan pekerjaan utama dan status pekerjaan utama. Melalui potret ini, pemerintah dapat
mengetahui gambaran karakteristi pekerjaan penduduk miskin di Kabupaten Kebumen, apakah
mereka bekerja di sektor pertanian atau nonpertanian, dan apakah mereka bekerja di sektor
formal atau informal.

50
45 41,40
40
35,07
35
32,93 37,20
30 32,00
25 21,40
20
15
10
5
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Tidak Bekerja Bekerja di Sektor Pertanian Bekerja di Sektor Nonpertanian

Grafik 4.2. Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Kebumen berdasarkan Lapangan


Pekerjaan Utama, 2011 – 2020

32
Pada 2020, sebagian besar penduduk miskin di Kabupaten Kebumen tidak bekerja
dengan persentase 41,40 persen (Grafik 4.2). Hal yang menarik adalah justru 37,20 persen
penduduk miskin Kabupaten Kebumen bekerja di bidang nonpertanian, sedangkan penduduk
miskin yang bekerja di bidang pertanian hanya 21,40 persen. Data ini menggambarkan bahwa
bidang pertanian justru relatif lebih tahan terhadap kemiskinan dibandingkan dengan
nonpertanian. Hal ini juga tercermin dari tren selama 2011 – 2020, yaitu penduduk miskin yang
bekerja di bidang pertanian cenderung menurun dari 35,07 persen menjadi 21,40 persen.
Sebaliknya, pada periode yang sama, penduduk miskin yang bekerja di bidang nonpertanian
memiliki tren yang cenderung meningkat dari 32,93 persen menjadi 37,20 persen. Demikian
halnya dengan tren penduduk miskin yang tidak bekerja juga cenderung bertambah dari 32
persen menjadi 41,40 persen.

4.3. Fasilitas Perumahan


Karakteristik penduduk miskin juga dapat ditinjau dari aspek fasilitas perumahan, yaitu
penggunaan air layak dan jamban sendiri/bersama. Data ini dapat digunakan oleh pemerintah
untuk mengetahui profil penduduk miskin Kabupaten Kebumen, apakah mereka telah
menggunakan air layak dalam berbagai keperluan atau tidak. Selain itu, melalui data ini
pemerintah juga dapat mengetahui sejauh mana penggunaan jamban sendiri/bersama di
kalangan penduduk miskin Kabupaten Kebumen.

120

96,59 97,76
100 91,15
86,47 83,94 85,27
81,54
80 76,06 73,69
69,77 68,54 68,31
60,03 56,49
60

40

20

0
Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen Wonosobo Purworejo

Air Layak Jamban Sendiri/Bersama

Grafik 4.3. Persentase Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Kebumen dan Kabupaten/Kota
Sekitar yang Menggunakan Air Layak dan Jamban Sendiri/Bersama, 2020
Grafik 4.3 menunjukkan kondisi fasilitas perumahan penduduk miskin di Kabupaten
Kebumen relatif baik dibandingkan dengan kabupaten/kota sekitar, terutama dari aspek

33
penggunaan jamban sendiri/bersama. Pada 2020, lebih dari 96 persen penduduk miskin di
Kabupaten Kebumen telah menggunakan jamban sendiri/bersama. Persentase ini, apabila
dibandingkan dengan kabupaten/kota sekitar, merupakan persentase tertinggi kedua setelah
Kabupaten Purworejo yang sebesar 97,76 persen. Akan tetapi, capaian ini masih menyisakan
pekekrjaan rumah dari sisi penggunaan air layak. Pada 2020, penduduk miskin di Kabupaten
Kebumen yang menggunakan air layak sebesar 56,49 persen. Persentase ini merupakan
persentase terkecil diantara kabupaten/kota sekitar.

4.4. Program pemerintah


Pemerintah Kabupaten Kebumen terus menjalankan berbagai program pengentasan
kemiskinan. Program ini bersinergi dengan program-program yang telah dicanangkan oleh
pemerintah pusat. Beberapa program tersebut antara lain program subsidi beras dan bantuan
pangan non tunai. Program-program ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan
perlindungan sosial bagi penduduk miskin, sehingga mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya, terutama terkait dengan kebutuhan pangan.

Tabel 4.1.
Persentase Rumah Tangga Miskin yang Menerima dan Memanfaatkan Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT)/Program Sembako, Rata-rata Jumlah dan Harga Beras
yang Dibeli Selama 4 bulan Terakhir, Menurut Kabupaten/Kota, 2020
Ruta Miskin Penerima
Kabupaten/Kota Rata-rata Beras ( Kg) Rata-rata Harga (Rp)
Manfaat Program (%)

Cilacap 41,71 10,71 9.789

Banyumas 54,40 10,17 9.452

Purbalingga 53,30 9,11 10.388

Banjarnegara 39,79 12,98 10.250

Kebumen 49,30 11,56 9.843

Purworejo 38,91 12,28 10.418

Wonosobo 59,09 7,44 10.151

Tabel 4.1 menjelaskan bahwa tidak lebih dari separuh rumah tangga (ruta) miskin di
Kabupaten Kebumen yang menerima manfaat program sembako. Adapun kabupaten lain di
sekitar Kebumen capaiannya telah lebih dari 50 persen. Bahkan, Kabupaten Wonosobo hampir

34
60 persen ruta miskin telah menerima manfaat program sembako. Potret ini menunjukkan
bahwa program bantuan pangan nontunai/program sembako di Kebumen relatif belum tepat
sasaran. Sementara itu, rata-rata beras yang diterima oleh ruta miskin di Kebumen adalah
hampir 12 kg, dengan rata-rata harga Rp. 9.843/kg.

35
BAB V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Tingkat kemiskinan Kabupaten Kebumen masih relatif tinggi di Jawa Tengah.
2. Mayoritas penduduk miskin berpendidikan SD/SMP, pengeluaran perkapita perbulan
untuk komoditas makanan, bekerja di sektor informal, dan jika dibandingkan dengan
kabupaten sekitar, relatif sedikit yang menggunakan air layak.
3. Secara umum, sebagian besar penduduk kebumen mengkonsumsi komoditas makanan
berupa makanan/minuman jadi, padi-padian, dan rokok. Adapun komoditas
nonmakanan, mayoritas pengeluaran untuk kebutuhan perumahan/fasilitas rumah
tangga, aneka komoditas dan jasa, serta komoditas tahan lama.
4. Program bantuan sosial, khususnya terkait BPNT dan Program Sembako, relatif belum
optimal.
5. UMK Kebumen relatif rendah, bahkan rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja
informal di Kebumen paling kecil dibandingkan dengan kabupaten/kota sekitar.
6. TPT Kebumen pada 2020 masih relatif tinggi dan didominasi oleh penduduk
berpendidikan SMK.
7. Jumlah lowongan kerja di Kebumen relatif sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah
pencari kerja.

5.2. Saran
1. Optimalisasi pengendalian harga.
2. Efektivitas program bantuan atau perlindungan sosial bagi penduduk/rumah tangga
miskin.
3. Optimalisasi pengawasan penerapan upah minimum kabupaten, khususnya di
perusahaan/industri besar.
4. Deregulasi atau penyederhanaan birokrasi untuk menarik investasi di Kabupaten
Kebumen.
5. Optimalisasi pemberdayaan perempuan dalam pasar kerja.
6. Optimalisasi dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, khususnya
yang bersifat informal.
7. Pemanfaatan teknologi pertanian untuk memaksimalkan output usaha.

36
REFERENSI

Amalia, A. (2017). Pengaruh Pendidikan, Pengangguran, dan Ketimpangan Gender terhadap


Kemiskinan di Sumatera Utara. At-Tawassuth, 3, 324–344.
BPS. (2019). Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Indonesia 2019. (W. P. Adi
& H. A. Reagan, Eds.). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. (2020). Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota Tahun 2020. (N. Sahrizal, N.
Taufiq, & Masfufah, Eds.). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Indriani, L. (2018). Analisis Kemiskinan Multidimensi Di Provinsi Jawa Tengah 2011-2013
(Analysis of Multidimensional Poverty in Central Java 2011-2013). Jurnal Aplikasi
Statistika & Komputasi Statistik, 2018, 13–24.
Kusdiyanti, H. (2015). Pengembangan Model Pemutusan Vicious Circle of Poverty Keturunan
Pemulung melalui Sekolah Binaan Rintisan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah)
di Wilayah Malang Raya. Snema.
Puspita, D. W. (2015). Analisis Determinan Kemiskinan Di Provinsi Jawa Tengah. Jejak, 8(1),
100–107. https://doi.org/10.15294/jejak.v8i1.3858
Rahman, A., & Wulansari, I. Y. (2018). Kerentanan kemiskinan: Pendugaan, Pemetaan,
Penciri, dan Rekomendasi Kebijakan pada Data Sampel Kecil. Jurnal Aplikasi Statistika
Dan Komputasi Statistik, 10(2), 55–64.
Sambodho, P., Syukri, M., & Mawardi, M. S. (2013). Field Report Studi Pengembangan Modul
Pengentasan Kemiskinan : Mendorong Terwujudnya Pengarusutamaan Kemiskinan dan
Kerentanan: Studi Kasus di Kabupaten Kebumen, Kabupaten Serdang Bedagai, dan
Kabupaten Bombana. USAID.
Sen, Amartya. (1981). Poverty and Families: An Essay on Entitlement and Deprivation.
Oxford: Clarendon Press.
Syapsan, Tampubolon, D., & Kornita, S. E. (2020). Kemiskinan Multidimensi dalam
Percepatan Pencapaian Sustainable Develoment Goals ( SDG's ), 17(1), 24–33.
Syawie, M. (2011). Kemiskinan Dan Kesenjangan Sosial. Informasi, 16(03), 213–219.
United Nations. (2006). Handbook on Poverty Statistics: Concepts, Methods and Policy Use.
https://unstats.un.org/unsd/ methods/poverty/chapters.htm
World Bank. (2006). Making the New Indonesia Work for the Poor. The World Bank.
Zahra, A., Fatin A, A., Afuwu, H., & Auliyah R, R. (2019). Struktur Kemiskinan Indonesia:
Berapa Besar Pengaruh Kesehatan, Pendidikan dan Kelayakan Hunian? Jurnal Inovasi
Ekonomi, 4(02), 67–74. https://doi.org/10.22219/jiko.v4i2.9856

37
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kebumen
JL. Arungbinang 17 A, Kebumen
Telp. (0287) 381163
www.kebumenkab.bps.go.id

Anda mungkin juga menyukai