Kabupaten Kebumen
KATA PENGANTAR
Kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian serius
pemerintah. Salah satu aspek penting dalam mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan
adalah penyediaan data kemiskinan yang akurat. Setiap tahun, BPS berupaya menyajikan data
terkait kemiskinan salah satunya melalui publikasi Analisis Kemiskinan Kabupaten Kebumen
2020. Publikasi ini berisi data dan informasi mengenai kemiskinan serta indikator/variabel lain
yang terkait dengan isu kemiskinan di Kabupaten Kebumen. Data dan informasi yang tersaji
pada publikasi ini bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode Maret
2020, dan periode-periode sebelumnya untuk memperoleh data series kemiskinan.
1
Daftar Isi
2
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 36
5.1. Kesimpulan ............................................................................................................... 36
5.2. Saran ......................................................................................................................... 36
REFERENSI ................................................................................................................................... 37
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
jumlah penduduk miskin di Indonesia bersamaan dengan pengumpulan data konsumsi rumah
tangga melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Sejak 2002, penghitungan angka
kemiskinan dilakukan setiap tahun dengan dilaksanakannya survei modul konsumsi rumah
tangga melalui Susenas.
Pemutakhiran metode pengukuran kemiskinan dilakukan pada 1998. Pemutakhiran
tersebut dengan menyempurnakan keranjang makanan (food basket) dan komponen bukan
makanan berdasarkan survei terbatas di sepuluh provinsi. Penghitungan garis kemiskinan
makanan didasarkan pada kebutuhan energy minimum penduduk Indonesia sebesar 2.100
kilokalori per hari, yang merupakan rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WNPG) 1978. Metode ini menghasilkan perluasan komoditas dalam keranjang makanan di
setiap daerah, yang menghasilkan 52 jenis komoditas dalam keranjang makanan nasional.
Penghitungan garis kemiskinan bukan makanan didasarkan pada 51 komoditas di perkotaan
dan 47 komoditas di perdesaan yang mencakup perumahan, pakaian dan alas kaki, perawatan
kesehatan, biaya pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.
5
BAB II.
KAJIAN PUSTAKA
6
Pada hampir semua negara berkembang, penghitungan kemiskinan cenderung
menggunakan pendekatan absolut. Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan, yaitu
pendapatan US$1 per hari, sebagai standar daya beli di berbagai negara. Garis kemiskinan
absolut adalah nilai nominal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, yang meliputi
kelompok makanan dan kelompok bukan makanan. Kemiskinan, menurut pendekatan
kemiskinan absolut, akan turun ketika seluruh penduduk dalam satu daerah mengalami
peningkatan pendapatan pada tingkat yang sama. Kondisi ini biasa dikenal sebagai
pertumbuhan yang memiliki dampak netral pada ketimpangan (inequality-neutral growth).
Sebaliknya di negara maju, penghitungan kemiskinan biasanya menggunakan
pendekatan relatif, yang disebut garis kemiskinan yang relatif tinggi (strongly relative poverty
line). Negara-negara tersebut biasanya menggunakan nilai konstan terhadap nilai rata-rata atau
nilai tengah pendapatan masyarakat di satu daerah. Jika seluruh penduduk di daerah mengalami
pertumbuhan pendapatan pada tingkat yang sama, kemiskinan tidak akan mengalami
perubahan nilai garis kemiskinan dan, bahkan, akan meningkat. Di antara sekian negara maju,
Amerika Serikat adalah satu-satunya negara maju yang menggunakan garis kemiskinan absolut
dalam menentukan indikator kemiskinannya.
7
2.4.2. Kemiskinan absolut
Konsep kemiskinan absolut atau kemiskinan mutlak berkaitan dengan standar hidup
minimum yang dianggap layak di satu daerah pada waktu tertentu (Puspita, 2015). Pada konsep
ini seseorang disebut miskin jika kehidupannya dianggap lebih rendah daripada tingkat
kehidupan layak. Kehidupan layak menjadi garis pemisah antara miskin dan tidak miskin, atau
dengan garis kemiskinan. Kemiskinan absolut bisa dipahami sebagai perbedaan antara tingkat
pendapatan seseorang dan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
dasar. Seseorang disebut miskin, menurut konsep kemiskinan absolut, jika tidak bisa
memenuhi kebutuhan pokok minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan, yang diperlukan untuk bisa hidup layak dan bekerja secara optimal. Kebutuhan
pokok minimum biasanya diterjemahkan dalam ukuran finansial, mengingat banyaknya
dimensi yang harus dipenuhi untuk menggambarkan kehidupan yang layak.
Salah satu kelebihan konsep kemiskinan absolut adalah kemampuannya untuk
diperbandingkan antarwaktu dan antardaerah, dengan catatan definisi kemiskinan tidak
mengalami perubahan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat kehidupan dikatakan miskin atau
tidak bergantung pada struktur rumah tangga. Pada 2010, menurut Biro Sensus Amerika
Serikat, untuk satu keluarga yang beranggotakan empat orang, tanpa anak di bawah usia 18
tahun, jumlah pendapatan minimal adalah US$22.541. Sementara untuk keluarga dengan
tambahan dua anak dengan jumlah orang dewasa tetap empat orang, jumlah pendapatan
minimalnya US$22.162 per tahun. Definisi kemiskinan yang tidak berubah ini membuat
konsep kemiskinan absolut bisa digunakan untuk menilai apakah kebijakan penanggulangan
kemiskinan berhasil atau tidak.
8
mereka menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan
bermartabat sebagai manusia.
Sementara itu, kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-
faktor adat dan budaya dari suatu daerah tertentu (Syawie, 2011). Adat atau budaya tersebut
membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator
kemiskinan tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan
dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang
melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik.
Catatan:
Untuk mencari GKS pada tingkat kabupaten ke-i digunakan elastisitas provinsi ke-j di
level perdesaan.
Untuk mencari GKS pada tingkat kota ke-i digunakan elastisitas provinsi ke-j di level
perkotaan.
Untuk kabupaten/kota yang bukan kota inflasi, laju inflasinya diperoleh dari
kabupaten/kota yang berdekatan (pendekatan sister city).
9
Langkah berikutnya adalah menentukan persentase penduduk miskin (P0) sementara
kabupaten/kota ke-i di provinsi ke-j yaitu dengan cara mengalikan pertumbuhan P0 provinsi
ke-j periode t ke t-1 dengan P0 kabupaten ke-i pada tahun t-1. Langkah ketiga adalah
menetapkan Garis Kemiskinan dengan cara menarik titik potong antara GKS dan P0 sementara.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
2.4.2. Ketenagakerjaan
Bekerja adalah kegiatan penduduk miskin usia 15 tahun ke atas dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan yang dilakukan
paling sedikit selama satu jam berturut-turut dalam seminggu terakhir.
Bekerja di sektor informal adalah penduduk miskin yang mempunyai status/kedudukan
dalam pekerjaan utamanya adalah berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak
tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas, atau pekerja keluarga/tidak dibayar.
Bekerja di sektor formal adalah penduduk miskin yang mempunyai status/kedudukan
dalam pekerjaan utamanya adalah bekerja dibantu buruh tetap/buruh dibayar atau
buruh/karyawan/pegawai.
10
Bekerja di sektor pertanian adalah penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian
tanaman padi dan palawija, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan
dan pertanian lainnya.
Bekerja di sektor bukan pertanian adalah penduduk miskin yang bekerja selain di sektor
pertanian, seperti pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan gas,
konstruksi/bangunan, perdagangan, hotel dan rumah makan, transportasi, keuangan,
jasa atau lainnya.
Tidak bekerja adalah penduduk miskin yang menjadi pencari pekerjaan/menganggur
dan bukan angkatan kerja (penduduk miskin yang tidak bekerja maupun tidak mencari
pekerjaan).
11
bahan pangan di pedagang bahan pangan atau disebut e-warung yang bekerja sama
dengan Bank Penyalur. Bahan pangan dalam program BPNT ini adalah beras dan/atau
telur.
12
BAB III.
350 30
309,6
300 279,4 25
263,1 262,8
25,37 251,1
24,06 242,3 241,9 235,9
250 233,4
22,7 22,4 20
21,32 208,7 201,3 211,09
20,5 20,44 19,86
200 19,6
17,47 16,82 17,59 15
150
10
100
50 5
0 0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin
Grafik 3.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Kebumen, 2009 – 2020
13
6,00
4,87
5,00
3,94 4,08
3,68 3,78
4,00 3,57 3,62
3,35
2,78
3,00 2,48 2,58 2,62
2,00
1,34 1,19
0,96 1,11 0,99
0,92 0,91
0,75 0,61 0,65
1,00 0,55 0,55
0,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Grafik 3.2. Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Kabupaten Kebumen, 2009 –
2020
14
Kebumen dalam penentuan program pengentasan kemiskinan, sebab cukup dengan program
yang sama akan menghasilkan respon yang relatif sama.
Klaten
Kota Semarang
Kota Salatiga
Jepara
Kota Magelang
Kota Tegal
Rembang
Temanggung
Boyolali
Wonogiri
Semarang
Kota Surakarta
Kendal
Cilacap
Demak
Wonosobo
Karanganyar
Purbalingga
Brebes
Kota Pekalongan
Kudus
Sukoharjo
Batang
Tegal
Jawa Tengah
Magelang
Purworejo
Sragen
Banjarnegara
Pemalang
Grobogan
Pekalongan
Banyumas
Kebumen
Grafik 3.3. Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota,
2020
15
kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi dibandingkan dengan
kemiskinan Provinsi Jawa Tengah. Hal yang menarik adalah seluruh kabupaten/kota sekitar
Kebumen dan Kawasan Barlingmascakeb masuk dalam kategori ini, yaitu Wonosobo,
Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas, Purworejo, dan Cilacap. Apabila dibandingkan antar
kabupaten-kabupaten tersebut, Cilacap dan Purworejo menjadi Kabupaten dengan persentase
penduduk miskin terkecil di Kawasan Barlingmascakeb, yakni masing-masing sebesar 11,46
persen dan 11,78 persen.
20,32
19,60
18,80
17,59
17,58
17,47
17,36
17,21
17,05
16,82
16,63
15,90
15,64
15,62
15,46
15,03
14,76
13,94
13,81
13,50
13,26
12,53
11,78
11,67
11,46
11,45
11,25
10,73
Grafik 3.4. Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota sekitar Kebumen, 2017 – 2020
Grafik 3.4 menyajikan potret yang menarik bahwa pada 2017 dan 2018, persentase
penduduk miskin Kabupaten Kebumen lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten
Wonosobo. Akan tetapi, sejak 2019 persentase penduduk miskin Kabupaten Kebumen menjadi
lebih tinggi daripada Kabupaten Wonosobo. Potret ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran
bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen terkait kebijakan/program pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Wonosobo yang secara siginifikan mampu menurunkan tingkat
kemiskinan di wilayahnya. Selain itu, hal ini sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi
efektivitas kebijakan/program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Kebumen selama tiga
tahun terakhir.
16
Provinsi Jawa Tengah, persentase penduduk miskin di Kabupaten Kebumen masih relatif
tinggi. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah atau kebijakan-kebijakan pengentasan
kemiskinan yang lebih efektif, komprehensif, dan tepat sasaran. Perumusan kebijakan-
kebijakan ini membutuhkan data-data dasar mengenai kondisi Kabupaten Kebumen, baik dari
aspek ekonomi, sosial, ataupun demografi. Selain itu, data terkait gambaran karakteristik
penduduk miskin di Kabupaten Kebumen juga mutlak diperlukan. Data ini bertujuan agar
seluruh kebijakan pengentasan kemiskinan dapat berjalan lebih optimal dan tepat sasaran.
7,00
6,15 6,28
5,79
6,00 5,52 5,58
5,01 5,15
4,88
5,00 4,57
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Secara umum, perekonomian Kabupaten Kebumen relatif baik. Hal ini tercermin dari
pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas 5 persen, kecuali pada tahun 2012 dan 2013 yang
17
mengalami perlambatan menjadi 4,88 persen dan 4,57 persen. Bahkan pada periode 2016 –
2019, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kebumen terus meningkat dari 5,01 persen menjadi
5,58 persen (Grafik 3.5). Peningkatan ini menunjukkan kesuksesan kinerja Pemerintah Daerah
Kabupaten Kebumen dalam menjaga kondusivitas iklim usaha, sehingga jumlah barang dan
jasa yang dihasilkan cenderung terus bertambah.
Grafik 3.6. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kebumen menurut Lapangan Usaha, 2019
18
8,00
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Grafik 3.7. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kebumen, dan
Kabupaten/Kota sekitar, 2011 – 2019
19
50 45,88
43,19
45
40
40,93
35
30 27,94
25
26,18
20 15,88
15
10
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Grafik 3.8. Distribusi PDRB Kabupaten Kebumen menurut Lapangan Usaha, 2011 – 2019
Indikator lain untuk melihat perekonomian suatu daerah adalah bagaimana struktur
ekonomi di daerah tersebut. Struktur ekonomi ditentukan oleh besarnya peranan berbagai
lapangan usaha ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa di suatu daerah. Struktur
ekonomi yang terbentuk dari nilai tambah setiap lapangan usaha menggambarkan seberapa
besar ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi setiap lapangan usaha.
Grafik 3.8 menggambarkan bahwa selama periode 2005 – 2019, terjadi pergeseran struktur
ekonomi di Kabupaten Kebumen. Semula, perekonomian Kabupaten Kebumen cenderung
ditopang oleh sektor pertanian, tapi kemudian bergeser menjadi sektor jasa. Pada 2019, sektor
jasa menyumbang 45,88 persen dari total PDRB Kabupaten Kebumen. Adapun sumbangan
sektor manufaktur dan pertanian masing-masing sebesar 27,94 persen dan 26,18 persen. Hal
yang menarik adalah sumbangan selama periode 2005 – 2019, sumbangan sektor pertanian
terhadap PDRB Kabupaten Kebumen cenderung menurun, sedangkan sektor manufaktur dan
jasa cenderung terus meningkat.
20
diantaranya jumlah penduduk, rasio jenis kelamin, struktur piramida penduduk, dan rasio
ketergantungan penduduk.
1.400.000
1.197.982
1.161.719
1.200.000
1.000.000
800.000
600.000
400.000
200.000
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Grafik 3.4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Kebumen menurut Jenis Kelamin, 2010 – 2019
21
Grafik 3.4.2. Piramida Penduduk Kabupaten Kebumen, 2010 – 2019
22
Grafik 3.4.2 juga menyajikan potret menarik mengenai perkembangan jumlah
penduduk usia produktif/usia kerja (15 – 64 tahun), yakni bagian tengah piramida penduduk
yang sebagian cenderung melebar (kelompok umur 40 – 64 tahun) dan sebagian lain
menyempit (kelompok umur 20 – 39 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa pada satu sisi terjadi
peningkatan jumlah penduduk pada kelompok umur 40 – 64 tahun, tapi pada sisi lain jumlah
penduduk berumur 20 – 39 tahun cenderung menurun. Kondisi ini menggambarkan penduduk
usia kerja di Kebumen justru didominasi oleh penduduk yang cenderung menuju tua,
sebaliknya penduduk yang berumur lebih muda cenderung memilih tidak tinggal di Kebumen.
Hal ini diduga disebabkan relatif minimnya kesempatan kerja di Kebumen, sehingga mereka
cenderung memutuskan bekerja dan bertempat tinggal di luar Kebumen untuk memperoleh
kesejahteraan yang lebih baik. Sementara itu, semakin bertambahnya jumlah penduduk berusia
relatif tua tentu juga berpengaruh terhadap penurunan produktivitas kerja, sehingga mereka
relatif semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (Amalia, 2017).
57,00 56,62
56,50 56,81
55,98 55,91 55,98
55,82
56,00
55,52
55,50 55,29
55,68
55,00
54,50
54,48
54,00
53,50
53,00
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dan semakin berkurangnya jumlah penduduk
berumur relatif muda berdampak pada beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif.
Hal ini tercermin dari Grafik 3.4.3 yang menunjukkan adanya peningkatan rasio
ketergantunggan penduduk di Kebumen selama tiga tahun terakhir, yakni dari 54,48 pada 2017
menjadi 55,98 pada 2019. Hal ini berarti pada 2019, setiap 100 penduduk usia kerja (produktif)
mempunyai tanggungan sebanyak 56 penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
Peningkatan rasio ketergantungan penduduk juga mengindikasikan semakin tingginya beban
yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang
belum produktif dan tidak produktif lagi. Peningkatan ini juga menyebabkan Kebumen
23
cenderung semakin jauh dari bonus demografi atau demographic dividend. Hal ini tentu
berdampak pada semakin hilangnya kesempatan Kebumen meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya atau mengentaskan kemiskinan melalui pemanfaatan bonus demografi, yaitu
pemberdayaan penduduk usia produktif.
450.000 419.138
396.781
380.504
400.000
331.367
350.000
293.258 362.440
300.000 332.949 323.790
250.000 300.023
261.155
200.000
150.000
100.000
50.000
0
2015 2016 2017 2018 2019
24
Rokok
Makanan dan minuman jadi
Konsumsi lainnya
Bumbu-bumbuan
Bahan minuman
Minyak dan kelapa
Buah-buahan
Kacang-kacangan
Sayur-sayuran
Telur dan susu
Daging
Ikan/udang/cumi/kerang
Umbi-umbian
Padi-padian
0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000
25
Keperluan pesta dan upacara/kenduri
26
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
0
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo
Grafik 3.6.1. Upah Minimum Kabupaten Kebumen dan Kabupaten/Kota Sekitar (rupiah),
2018 – 2020
Selama periode 2018 – 2020, upah minimum Kabupaten Kebumen dan kabupaten/kota
sekitar terus meningkat. Pada 2020, upah minimum Kabupaten Kebumen tercatat sebesar Rp.
1.835.000, terendah kedua setelah Kabupaten Banjarnegara yang sebesar Rp. 1.748.000
(Grafik 3.6.1). Relatif rendahnya upah minimum kabupaten ini tentu akan berdampak pada
cenderung sulitnya masyarakat Kebumen dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara
itu, kabupaten yang memiliki upah minimum tertinggi adalah Cilacap dan Purbalingga.dengan
upah masing-masing 2,1 juta rupiah dan 1,9 juta rupiah.
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
0
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo
Grafik 3.6.2. Rata-rata Upah/Gaji Bersih sebulan Pekerja Formal Kabupaten Kebumen dan
Kabupaten/Kota Sekitar (rupiah) menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2019
27
Pada 2019, secara keseluruhan rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja formal di
Kabupaten Kebumen sebesar 1,95 juta rupiah (Grafik 3.6.2). Apabila dibandingkan dengan
kabupaten/kota sekitar, rata-rata upah/gaji bersih sebulan ini hanya lebih tinggi dibandingkan
dengan Kabupaten Wonosobo dan Purbalingga yang masing-masing sebesar 1,87 juta dan 1,84
juta rupiah. Adapun kabupaten yang memiliki rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja formal
adalah Kabupaten Cilacap dan Banyumas yang masing-masing sebesar 2,31 juta dan 2,18 juta
rupiah. Hal menarik lain dari Grafik 13 adalah rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja formal
Kabupaten Kebumen di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten
sekitar, yaitu tercatat sebesar 1,1 juta rupiah. Padahal, pertanian merupakan sektor andalan
pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
1.800.000
1.600.000
1.400.000
1.200.000
1.000.000
800.000
600.000
400.000
200.000
0
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo
Grafik 3.6.3. Rata-rata Upah/Gaji Bersih sebulan Pekerja Informal Kabupaten Kebumen dan
Kabupaten/Kota Sekitar (rupiah) menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2019
Senada dengan pekerja formal, rata-rata upah/gaji bersih pekerja informal Kabupaten
Kebumen rendah. Bahkan, apabila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten sekitar,
upah/gaji bersih pekerja informal Kebumen tercatat paling rendah, yaitu sebesar 1,09 juta
rupiah (Grafik 3.6.3). Rata-rata upah/gaji bersih ini pun lebih rendah daripada UMK Kebumen
yang telah ditetapkan. juga lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten sekitar.
Berdasarkan lapangan pekerjaan utama, jasa menjadi sektor dengan rata-rata upah/gaji bersih
sebulan terkecil, yakni 1,24 juta rupiah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara
umum rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja di Kabupaten Kebumen relatif rendah, baik
pekerja formal atau informal. Relatif rendahnya rata-rata upah/gaji bersih ini tentu
28
menghambat penduduk dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, sekaligus keluar dari
lingkaran setan kemiskinan (Kusdiyanti, 2015).
9
8,12 8,02
8
7
6,12 6,07
6 5,58 5,58
5,18 4,76
5
4,14
3,66 3,58
4 3,25
3
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2017 2018 2019 2020
Pada dasarnya selama periode 2008 – 2020, Pemerintah Kabupaten Kebumen berhasil
menurunkan tingkat pengangguran terbuka, dari 6,12 persen menjadi 4,76 persen (Grafik
3.6.4). Capaian ini tentunya perlu diapresiasi sebagai wujud keberhasilan program
ketenagakerjaan dan pembangunan secara luas. Akan tetapi, pada 2020 tingkat pengangguran
terbuka Kabupaten Kebumen kembali meningkat menjadi 6,07 persen. Secara tidak langsung,
peningkatan ini sebagai dampak dari pandemi covid-19 yang terjadi di Indonesia dan negara-
negara lain. Pandemi memaksa perusahaan menghentikan aktivitas produksi, sehingga
memaksa mereka merumahkan sebagian/seluruh karyawan. Kondisi ini mengakibatkan
meningkatnya jumlah pengangguran di Kabupaten Kebumen. Peningkatan jumlah
pengangguran ini secara tidak langsung memicu terjadinya lonjakan persentase penduduk
miskin di Kebumen pada 2020.
29
3,38%
7,54%
7,38%
Grafik 3.6.4. Persentase Penduduk 15 tahun ke atas di Kabupaten Kebumen yang termasuk
Pengangguran Terbuka menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi, 2019
30
BAB IV.
4.1. Pendidikan
80
70
60 54,47
48,78
50
48,17
40
30 25,47
20
20,06
10
3,05
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Beberapa hasil kajian membuktikan bahwa pendidikan memiliki kaitan erat dengan
kemiskinan. Seseorang yang berpendidikan relatif lebih tinggi, maka kemungkinan seseorang
tersebut masuk dalam kategori penduduk miskin semakin kecil (Indriani, 2018; Zahra et al.,
2019; Syapsan et al., 2020). Akan tetapi, hasil kajian relatif berbeda dengan potret karakteristik
penduduk miskin di Kabupaten Kebumen. Lebih dari separuh penduduk miskin di Kabupaten
Kebumen justru berpendidikan SD/SMP (Grafik 4.1). Adapun persentase penduduk miskin
yang berpendidikan di bawah SD, yaitu tidak tamat SD atau belum/tidak pernah bersekolah,
hanya mencapai 25,47 persen. Sementara itu, penduduk miskin yang berpendidikan SMA ke
atas relatif kecil, yakni 20,06 persen.
Grafik 4.1 juga menyuguhkan potret menarik dengan melihat tren karakteristik
penduduk miskin berdasarkan tingkat pendidikan selama 2009 – 2020. Persentase penduduk
miskin berpendidikan di bawah SD pada periode tersebut cenderung menurun. Demikian pula
dengan persentase penduduk miskin berpendidikan SD/SMP yang selama tiga tahun terakhir
31
menunjukkan tren yang menurun. Sebaliknya, persentase penduduk miskin berpendidikan
SMA ke atas selama 2009 – 2020 memiliki tren yang cenderung meningkat. Bahkan persentase
penduduk miskin berpendidikan SMA ke atas bertambah relatif besar, yaitu dari 3,05 persen
menjadi 20,06 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena penduduk yang berpendidikan relatif
rendah (SD/SMP atau di bawah SD) cenderung menerima pekerjaan apapun, sedangkan
penduduk berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) akan cenderung memilih pekerjaan sesuai
latar belakang pendidikan mereka. Hal ini menyebabkan penduduk berpendidikan lebih tinggi
relatif sulit memperoleh pendapatan, sehingga peluang menjadi penduduk miskin cenderung
semakin besar.
4.2. Ketenagakerjaan
Kemiskinan dapat ditinjau dari perspektif ketenagakerjaan. Kebijakan-kebijakan
ketenagakerjaan yang tepat akan dapat mendukung program pengentasan kemiskinan.
Indikator yang dapat digunakan antara lain karakteristik penduduk miskin berdasarkan
lapangan pekerjaan utama dan status pekerjaan utama. Melalui potret ini, pemerintah dapat
mengetahui gambaran karakteristi pekerjaan penduduk miskin di Kabupaten Kebumen, apakah
mereka bekerja di sektor pertanian atau nonpertanian, dan apakah mereka bekerja di sektor
formal atau informal.
50
45 41,40
40
35,07
35
32,93 37,20
30 32,00
25 21,40
20
15
10
5
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
32
Pada 2020, sebagian besar penduduk miskin di Kabupaten Kebumen tidak bekerja
dengan persentase 41,40 persen (Grafik 4.2). Hal yang menarik adalah justru 37,20 persen
penduduk miskin Kabupaten Kebumen bekerja di bidang nonpertanian, sedangkan penduduk
miskin yang bekerja di bidang pertanian hanya 21,40 persen. Data ini menggambarkan bahwa
bidang pertanian justru relatif lebih tahan terhadap kemiskinan dibandingkan dengan
nonpertanian. Hal ini juga tercermin dari tren selama 2011 – 2020, yaitu penduduk miskin yang
bekerja di bidang pertanian cenderung menurun dari 35,07 persen menjadi 21,40 persen.
Sebaliknya, pada periode yang sama, penduduk miskin yang bekerja di bidang nonpertanian
memiliki tren yang cenderung meningkat dari 32,93 persen menjadi 37,20 persen. Demikian
halnya dengan tren penduduk miskin yang tidak bekerja juga cenderung bertambah dari 32
persen menjadi 41,40 persen.
120
96,59 97,76
100 91,15
86,47 83,94 85,27
81,54
80 76,06 73,69
69,77 68,54 68,31
60,03 56,49
60
40
20
0
Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen Wonosobo Purworejo
Grafik 4.3. Persentase Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Kebumen dan Kabupaten/Kota
Sekitar yang Menggunakan Air Layak dan Jamban Sendiri/Bersama, 2020
Grafik 4.3 menunjukkan kondisi fasilitas perumahan penduduk miskin di Kabupaten
Kebumen relatif baik dibandingkan dengan kabupaten/kota sekitar, terutama dari aspek
33
penggunaan jamban sendiri/bersama. Pada 2020, lebih dari 96 persen penduduk miskin di
Kabupaten Kebumen telah menggunakan jamban sendiri/bersama. Persentase ini, apabila
dibandingkan dengan kabupaten/kota sekitar, merupakan persentase tertinggi kedua setelah
Kabupaten Purworejo yang sebesar 97,76 persen. Akan tetapi, capaian ini masih menyisakan
pekekrjaan rumah dari sisi penggunaan air layak. Pada 2020, penduduk miskin di Kabupaten
Kebumen yang menggunakan air layak sebesar 56,49 persen. Persentase ini merupakan
persentase terkecil diantara kabupaten/kota sekitar.
Tabel 4.1.
Persentase Rumah Tangga Miskin yang Menerima dan Memanfaatkan Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT)/Program Sembako, Rata-rata Jumlah dan Harga Beras
yang Dibeli Selama 4 bulan Terakhir, Menurut Kabupaten/Kota, 2020
Ruta Miskin Penerima
Kabupaten/Kota Rata-rata Beras ( Kg) Rata-rata Harga (Rp)
Manfaat Program (%)
Tabel 4.1 menjelaskan bahwa tidak lebih dari separuh rumah tangga (ruta) miskin di
Kabupaten Kebumen yang menerima manfaat program sembako. Adapun kabupaten lain di
sekitar Kebumen capaiannya telah lebih dari 50 persen. Bahkan, Kabupaten Wonosobo hampir
34
60 persen ruta miskin telah menerima manfaat program sembako. Potret ini menunjukkan
bahwa program bantuan pangan nontunai/program sembako di Kebumen relatif belum tepat
sasaran. Sementara itu, rata-rata beras yang diterima oleh ruta miskin di Kebumen adalah
hampir 12 kg, dengan rata-rata harga Rp. 9.843/kg.
35
BAB V.
5.1. Kesimpulan
1. Tingkat kemiskinan Kabupaten Kebumen masih relatif tinggi di Jawa Tengah.
2. Mayoritas penduduk miskin berpendidikan SD/SMP, pengeluaran perkapita perbulan
untuk komoditas makanan, bekerja di sektor informal, dan jika dibandingkan dengan
kabupaten sekitar, relatif sedikit yang menggunakan air layak.
3. Secara umum, sebagian besar penduduk kebumen mengkonsumsi komoditas makanan
berupa makanan/minuman jadi, padi-padian, dan rokok. Adapun komoditas
nonmakanan, mayoritas pengeluaran untuk kebutuhan perumahan/fasilitas rumah
tangga, aneka komoditas dan jasa, serta komoditas tahan lama.
4. Program bantuan sosial, khususnya terkait BPNT dan Program Sembako, relatif belum
optimal.
5. UMK Kebumen relatif rendah, bahkan rata-rata upah/gaji bersih sebulan pekerja
informal di Kebumen paling kecil dibandingkan dengan kabupaten/kota sekitar.
6. TPT Kebumen pada 2020 masih relatif tinggi dan didominasi oleh penduduk
berpendidikan SMK.
7. Jumlah lowongan kerja di Kebumen relatif sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah
pencari kerja.
5.2. Saran
1. Optimalisasi pengendalian harga.
2. Efektivitas program bantuan atau perlindungan sosial bagi penduduk/rumah tangga
miskin.
3. Optimalisasi pengawasan penerapan upah minimum kabupaten, khususnya di
perusahaan/industri besar.
4. Deregulasi atau penyederhanaan birokrasi untuk menarik investasi di Kabupaten
Kebumen.
5. Optimalisasi pemberdayaan perempuan dalam pasar kerja.
6. Optimalisasi dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, khususnya
yang bersifat informal.
7. Pemanfaatan teknologi pertanian untuk memaksimalkan output usaha.
36
REFERENSI
37
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kebumen
JL. Arungbinang 17 A, Kebumen
Telp. (0287) 381163
www.kebumenkab.bps.go.id