Anda di halaman 1dari 8

Conjugal Visit Bagi Narapidana Dalam Pemenuhan Kebutuhan Biologis

Perspektif Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999


Dan Hak Suami-Istri Dalam Islam
(Studi Lapangan di Rutan Klas II B Tanjung Pura dan Lapas Pemuda Klas III
Langkat, Sumatera Utara)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

Ilham Fakhrun Aulia

NIM 16210026

PROGRAM STUDY AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021
A. Latar Belakang

Kebutuhan dasar manusia merupakan kebutuhan yang sangat di butuhkan oleh


manusia. Kebutuhan ini menyangkut fisiologi dan psikologis yang mempertahankan
kehidupan dan kesehatan.

Teori Hierarki kebutuhan yang di kemukakan oleh abraham maslow


menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu;

1. Kebutuhan Fisiologis, yang merupakan kebutuhan paling dasar pada manusia,


antara lain: pemenuhan kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, cairan (minuman),
nutrisi (makanan), eliminasi, istirahat dan tidur, aktivitas, keseimbangan suhu tubuh,
serta seksual.

2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, di bagi menjadi perlindungan fisik dan
perlindungan psikologis. Perlindungan fisik, meliputi perlindungan dari ancaman
terhadap tubuh dari kehidupan, seperti kecelakaan, penyakit, bahaya lingkungan, dll.
Perlindungan psikologis, perlindungan dari ancaman peristiwa atau pengalaman baru
atau asing yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang.

3. Kebutuhan rasa cinta, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki, membei dan
menerima kasih sayang, kenhangatan persahabatan dan kekeluargaan.

4. Kebutuhan akan harga diri dari perasaan dihargai oleh orang lain serta pengakuan
dari orang lain.

5. Kebutuhan aktualisasi diri, ini merupakan kebutuhan tertinggi dalam hierarki


Maslow, yang berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada orang lain atau lingkungan
serta mencapai potensi diri sepenuhnya.

Kebutuhan seksual menempati hierarki terdasar dalam teori hierarki kebutuhan


Maslow tersebut, menandakan bahwa sebuah kebutuhan yang sangat alamiah yang
menjadi karunia tuhan yang bahkan orang lain tak boleh membatasi dengan
sepenuhnya. Dan kebutuhan sesual itu sendiri merupakan kebutuhan dasar manusia
berupa ekspresi perasaan dua orang individu secara pribadi yang saling menghargai,
memerhatiakn dan menyayangi sehingga terjadi sebuah hubungan timbal bali antara
dua individu tersebut.1
1
Alimul Aziz, Kebutuhan Dasar Manusia, Buku 1, (Jakarta: Salemba Medika, 2009), 25.
Pada narapidana, ekspresi dan pemenuhan kebutuhan seksual mengalami
hambatan untuk disalurkan. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada kecenderungan
keputusan sikap individu. Narapidana yang menjalani masa hukuman di Lapas sering
mengalami hambatan dalam beradaptasi terhadap lingkungan penjara maupun dalam
upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan, baik kebutuhan biologis maupun psikologis.
Cooke, Baldwin, dan Howison (1990), menyatakan bahwa narapidana menghadapi
berbagai masalah, tidak hanya dari dalam lapas, tetapi juga dari luar lapas.
Narapidana mengalami pidana secara fisik dan pidana secara psikologis,seperti
hilangnya kebebasan individu, kasih sayang dari anak atau pasangan. Bahwa pidana
penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga
menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya
kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan
homoseksual dan mastribusi di kalangan terpidana.2

Dalam hal ini bukan hanya untuk pemenuhan terhadap hak atau kebutuhan
dasar yang harus di dapatkan oleh narapidana, akan tetapi juga mencegah perbuatan
menyimpang yang menjadi effect dari tidak mendapatkan kebutuhan seksual tersebut,
seperti di lansir pada detiknews.com pada tanggal 11 Juli 2019, memberitakan dan
menguak segudang perbuatan seksual abnormal di lingkungan lapas kelas IIB Cianjur
yang di lakukan oleh sejumlah narapidana, dan tentu hal ini tidak menjadi sebuah
kegiatan yang tidak menjadi sebuah kerahasiaan di sebagian Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.3

Narapidana juga manusia. Di balik jeruji besi, para napi menghadapi beragam
persoalan, termasuk urusan syahwat. Mereka terkungkung secara fisik, tapi juga
terkekang dalam pemenuhan kebutuhan seksual sebagai hak dasar yang manusiawi.
Dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM ditegaskan bahwa setiap
orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunanya melalui
perkawinan. Ketentuan pasal ini termasuk di dalamnya hak untuk melakukan
hubungan seksual bagi suami isteri secara sah dan harus dilindungi. Hak ini,

2
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2009), 71.
3
Mukhlis Dinillah, “Over Kapasitaspenjara di Jabar napi jadi Gay dan Lesbi”,
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4615454/over-kapasitas-penjara-di-jabar-napi-jadi-gay-
dan-lesbian, di akses pada tanggal 06 November 2019
berdasarkan pendekatan sistem, tergolong sebagai hak asasi manusia dan hak dasar
manusia yang harus dilindungi.

Dalam islam telah di jelaskan beberapa hak suami dan istri, salah satunya ialah
Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang
harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan,

ِ ْ‫ َوعَا ِش ُر ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬                   


... ) 19: ‫ (النسا‬... ‫ف‬

“...Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik…”4


Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan
menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai,
hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain.”5 Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib
memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup
perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang
dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan;
bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa
dalam hal ini.

Salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Amr yang terlalu banyak
menggunakan waktunya untuk menunaikan ibadah; siang untuk melakukan puasa dan
malam harinya untuk melakukan shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain.
“Isterimu mempunyai hak yang wajib kau penuhi.

Demikian pentingnya kedudukan kebutuhan biologis itu dalam hidup manusia


sehingga Islam  menilai hubungan suami isteri yang antara lain untuk menjaga
kesucian diri dari perbuatan zina itu sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala.
Dalam hal ini hadits Nabi riwayat Muslim mengajarkan, “Dan dalam hubungan
kelaminmu bernilai shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya
Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita memenuhi syahwatnya itu
memperoleh pahala?” Nabi menjawab, “Bukkankah apabila ia melakukannya dengan

4
QS. An-Nisa’ (4): 19
5
Pasal 33 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
yang haram akan berdosa? Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan
cara yang halal akan mendapat pahala.”6
Berbagai instrumen hukum nasional seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan serta instrumen hukum internasional seperti International Covenant on
Civil and Political Rights, Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment dan konvensi mengenai kepenjaraan
menempatkan hak biologis adalah bagian dari hak asasi manusia yang menuntut peran
aktif negara untuk melakukan pemenuhan terhadap hak tersebut.

Adapun mengenai perbandingan yang dilakukan penulis, Negara Australia


dan Kanada memiliki program untuk mengkakomodasi kebutuhan biologis
narapidananya. Hal ini dilandasi sebagai kesadaran negara untuk tetap menjamin hak-
hak narapidana selama di penjara dan usaha untuk melestarikan hubungan
keluarganya. Program private family visit di Australia diatur melalui Corrections
Management (Private Family Visits) Policy 2010. Sementara di Negara Kanada
program Private Family Visit diatur melalui Private Family Visit xii Number 710-8
pada tingkat Commisioner’s Directives. Terkait dengan evaluasi peraturan perundang-
undangan yang mengatur pemenuhan hak biologis narapidana di Indonesia didapatkan
hasil bahwa tidak ada peraturan perundangundangan di Indonesia yang mengatur
mengenai conjugal visit, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan syarat
substantif didalam peraturan perundangundangan menjadi penghambat bagi
narapidana untuk dapat mengajukan haknya serta mendorong adanya praktik jual beli
persyaratan di Lembaga Pemasyarakatan.

Belakangan ini masalah pemenuhan kebutuhan biologis yang seharusnya


menjadi hak narapidana dijadikan bisnis bagi sejumlah pihak yang tidak
bertanggungjawab yang konon melibatkan orang dalam. Conjugal visit telah banyak
diterapkan pada lembaga pemasyarakatan internasional meskipun jumlahnya masih
sedikit sehingga dapat dikatakan bahwa Conjugal visit suatu faktor yang sangat
penting dalam mengurangi homoseksualitas meningkatkan moral penghuni penjara
dan dalam hubungannya dengan program mengunjungi keluarga dan kunjungan

6
K.H. Azhar Ahmad Basyir, MA., Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Uli Press, 2000), 53-54.
keluarga merupakan faktor yang menjanjikan dalam mengawetkan hubungan
pernikahan.

Conjugal visit sesungguhnya bukanlah istilah yang sering dipergunakan dalam


lembaga pemasyarakatan secara harfiah conjugal visit adalah “an opportunitiy for
physical contact granted to a prisioner and the prisioner’s spouse usually in the form
of an overnight stay at the prison artinya kesempatan untuk kontak fisik yang
diberikan kepada tahanan dan pasangan tahanan biasanya dalam bentuk menginap
semalam di penjara.7

Pada tahun 2009 dan 2010 ada wacana yang sudah tersajikan di DPR
mengenai pembuatan fasilitas atau bilik asmara di dalam lembaga pemasyarakatan,
akan tetapi dalam perkembangan masalah yang di hadapi oleh Kementrian Hukum
dan HAM terkhusus pada Direktur Jendral Pemasyarakatan (PAS) lebih memfokskan
kepada over kapasitas yang terjadi pada lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Oleh sebab itu penulis ingin kembali mendorong sistem Conjugal Visit yang
tersalurkan pada program pembuatan bilik asmara dalam pemenuhan kebutuhan
biologis narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh sebab itu penulis
mengambil sebuah judul “Conjugual Visit Bagi Narapidana Dalam Pemenuhan
Kebutuhan Biologis Perspektif Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Dan Hak
Suami-Istri Dalam islam

(Studi Komparatif di Rutan Klas II B Tanjung Pura dan Lapas Pemuda Klas III
Langkat, Sumatera Utara)”

B. Rumusan Masalah

7
Bryan A. Garner, ed, Black’s Law Dictionary Ninth Edition, (St Paul: Thomson
Reuters, 2009), 343.
1. Mengapa Conjugal Visit sangat di butuhkan oleh para narapidana dalam
pemenuhan kebutuhan biologisnya sebagai kodratnya?

2. Bagaimana Penerapan Conjugal Visit yang efektif dan efesien pada Rutan Klas II
Tanjung Pura dan Lapas Klas III Langkat?

D. Metode Penelitian

Metode penelitian pada penelitian ini yaitu jenis penelitian yuridis-empiris.


Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara terhadap
narapidana, keluarga narapidana, petugas lapas maupun ketua lapas.
Metode pengumpulan data yang menjelaskan tentang beberapa yang digunakan
metode peneliti dalam mengumpulkan data seprti metode wawancara, metode
observasi, dan metode dokumentasi, dan juga metode analisis data atau teknik
pengolahan keabsahan data yang menjelaskan tentang meingkatkan derajat
kepercayaan data mengenai seberapa jauh kebenaran dari suatu penelitian, mengenai
beberapa sumber informasi yang didapatkan oleh peneliti di lapangan maupun buku-
buku dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka
Al-Qur’ân al-Karîm.
Departemen Agama RI. alQur’an dan Terjemahnya. Juz 1 –
Juz 30. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah alQur’an, 1982-1983.
Alimul Aziz, Kebutuhan Dasar Manusia, Buku 1. Jakarta: Salemba Medika, 2009.
Bryan A. Garner, ed, Black’s Law Dictionary Ninth Edition. St Paul: Thomson
Reuters, 2009.

Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: Refika


Aditama, 2009.
K.H. Azhar Ahmad Basyir, MA., Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Uli Press, 2000.

Mukhlis Dinillah, “Over Kapasitaspenjara di Jabar napi jadi Gay dan Lesbi”,
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4615454/over-kapasitas-penjara-di-jabar-
napi-jadi-gay-dan-lesbian, di akses pada tanggal 06 November 2019

Anda mungkin juga menyukai