Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN E-GOVERNMENT SEBAGAI UPAYA MENGURANGI


PRAKTIK MALADMINISTRASI PADA PELAYANAN PUBLIK (STUDI
KASUS PADA PELAYANAN PENERBITAN SURAT IZIN MENGEMUDI)

Diajukan sebagai Makalah Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara

Disusun oleh :
Dina Novita (1806216663)
Ilmu Administrasi Negara Kelas B

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
DEPOK
JANUARI 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, definisi pelayanan
publik merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangan yang ditujukan bagi warga
negara, penduduk atas barang, jasa, dan atau layanan administratif oleh penyelenggara
pelayanan publik. Berdasarkan definisi tersebut, penyelenggaraan pelayanan publik
yang berkualitas kepada masyarakat sudah menjadi menjadi tanggung jawab dan peran
dasar negara melalui instansi/lembaga penyelenggara pelayanan.
Meskipun begitu, hingga saat ini berbagai bentuk permasalahan dalam
pelayanan publik masih ditemukan secara masif. Permasalahan tersebut sering terjadi
sebab adanya praktik maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Dari data Ombusman, laporan pengaduan dari masyarakat atas dugaan tindakan
maladministrasi pada pelayanan publik setiap tahunnya menunjukan banyaknya
permasalahan pada pelayanan publik Indonesia. Adapun berdasarkan Laporan Akhir
Tahun Ombudsman 2019, total laporan/aduan masyarakat mencapai 7.974 laporan
(Ombudsman, 2019). Lalu, hingga pada triwulan II (April-Juni) tahun 2020, tercatat
laporan/aduan masyarakat yang diterima Ombudsman sebanyak 4.257 (Ombudsman,
2020). Pada laporan tahun 2019, berdasarkan substansi laporannya, Ombudsman
menerima laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi pada pelayanan publik
terbanyak adalah terkait penundaan berlarut (33,62%) selanjutnya diikuti oleh
penyimpangan prosedur (28,97%) dan peringkat ketiga adalah tidak memberikan
pelayanan (17,70%) (Ombudsman, 2019).
Lalu, berdasarkan klasifikasi instansi terlapor, laporan pengaduan masyarakat
yang menempati urutan tiga terbanyak adalah ditujukan untuk Pemerintah Daerah
(41,62%), diikuti oleh Instansi Pemerintah/Kementerian (11,22%), serta Kepolisian
(10,25%) (Ombudsman, 2019). Dari data tersebut, Kepolisian menjadi lembaga
tertinggi ketiga yang kerap mendapat kritik dari masyarakat dalam menyelenggarakan
pelayanan publik. Salah satu pelayanan publik yang dilayani oleh Kepolisian adalah
pelayanan pembuatan atau penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dilakukan di
Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT). Dalam pelayanan SIM, masih
sering ditemukan pelanggaran administrasi. Permasalahan pada pelayanan SIM masih
menjadi tantangan yang besar untuk diatasi oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan
reformasi administrasi pada pelayanan SIM.
Reformasi administrasi ditujukan untuk menghapus segala hambatan dan
melakukan perbaikan sehingga menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan
terbuka. Penerapan e-government yang marak dilakukan oleh setiap instansi di
Indonesia merupakan salah satu upaya untuk melakukan perbaikan administrasi.
Menurut (Lehtinen, 1983: 6), pelayanan adalah rangkaian kegiatan yang berlangsung
dalam interaksi antar orang dengan orang atau dengan mesin dan memberikan kepuasan
masyarakat. Dari definisi tersebut, pelayanan dapat diselenggarakan secara elektronik,
sesuai dengan konsep e-government.
Penerapan e-government dijadikan sebagai cara atau instrumen dalam upaya
meminimalisir tindakan maladministrasi pada penyelenggaraan pelayanan SIM. Akan
tetapi, perkembangan e-government di Indonesia belum diterapkan secara efektif
sehingga tujuan tersebut tidak tercapai. Hal ini ditunjukan pada skor Indonesia dari
survey yang dilakukan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu E-government
Development Index (EGDI) yang dilakukan setiap dua tahun.

Column1
2014 2016 2018 2020
0
20
40
60
80 88
106 107
100 116
120
140

Grafik 1.1 Peringkat EGDI Indonesia Tahun 2014-2020


Sumber : United Nation E-Government Knowledgebase, 2014-2020
Melihat grafik di atas, dari tahun 2016-2020 terus terjadi tren peningkatan
peringkat EGDI Indonesia dari 193 negara yang disurvey. Namun, dari tahun 2014-
2016 mengalami penurunan sebesar 10 peringkat dari 106 ke peringkat 116.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa telah ada upaya oleh pemerintah
Indonesia untuk menerapkan dan mengembangkan e-government secara optimal.
Namun, dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara, pada tahun
2020 Indonesia masih kalah peringkat dari negara Singapura (11), Malaysia (47),
Thailand (57), Brunei Darussalam (60), Filipina (77), Vietnam (86).
Penerapan e-government diharapkan membawa dampak pada peningkatan
kualitas layanan SIM serta terhindar dari praktik maladministrasi. Untuk itu,
pelaksanaan e-government di Indonesia harus memiliki dasar dan pedoman yang baik
agar dapat mencapai tujuan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan
mengurangi permasalahan administrasi. Hal tersebut menjadi tantangan untuk
melaksanakan e-government pada pelayanan SIM dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan kualitas pelayanan publik menjadi perhatian bagi pemerintah
karena sudah menjadi peran dasar dalam menyejahterakan masyarakat melalui
penyediaan pelayanan publik yang prima. Laporan pengaduan masyarakat yang tinggi
terkait pelayanan publik, terutama dari Instansi Kepolisian mengenai penyediaan
layanan pembuatan SIM menunjukan adanya masalah maladministrasi pada pelayanan
tersebut. Untuk itu, diperlukan reformasi administrasi guna meminimalisir tindakan
maladministrasi sehingga mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih
dan baik. Penerapan e-government di era perkembangan zaman serba teknologi menjadi
suatu upaya dan solusi tepat dalam menjawab permasalahan tersebut. Akan tetapi,
dalam penerapannya di Indonesia masih dihadapi tantangan maupun kendala. Oleh
karena itu, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik maladministrasi dalam pelayanan penerbitan Surat Izin
Mengemudi (SIM)?
2. Apa saja tantangan dan kendala penerapan e-government dalam meminimalisir
praktik maladministrasi dalam pelayanan penerbitan SIM?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk menganalisis bentuk praktik maladministrasi dalam pelayanan penerbitan
SIM
2. Untuk mengidentifikasi kendala dan tantangan penerapan e-government dalam
pelayanan penerbitan SIM
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Konsep E-Government


Holmes (dalam Indrajit, 2004) menggambarkan electronic government sebagai
penggunaan teknologi informasi terutama pada internet untuk menyediakan pelayanan
publik yang lebih memudahkan, berorientasi pada masyarakat, efektif, dan yang
terpenting lebih baik daripada sebelumnya. Holmes mendefinisikannya secara khusus
penerapan e-government pada pelayanan publik. Secara luas, penerapan e-government
berarti menggunakan teknologi informasi secara maksimal sehingga relasi antara
pemerintah dengan pihak lain seperti masyarakat dan swasta dapat membaik. Hal ini
bersinggungan dengan pendapat Silock (2001) yang mendefinisikan e-government
merupakan pemanfaatan teknologi oleh pemerintah guna meningkatkan akses serta
perbaikan layanan yang akan memberikan manfaat bagi warga negara, sektor bisnis,
pemerintah lainnya, dan pegawai negeri. Berdasarkan penggunaannya, e-government
diklasifikasikan ke dalam empat bentuk, yaitu (Indrajit, 2002; Aprianty, 2016):
a. Government to Citizen (G-to-C)
E-government dalam bentuk G-to-C yaitu praktik yang paling umum ditemukan
di berbagai negara, dimana instansi pemerintah membuat dan mengimplementasikan
berbagai macam teknologi informasi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
memuaskan masyarakat.
b. Government to Business (G-to-B)
E-government dalam bentuk G-to-B merupakan praktik dari pemenuhan
pelayanan informasi bagi pelaku bisnis. Pelaku bisnis atau swasta diberikan informasi
berupa data dari pemerintah melalui bentuk e-government ini. Di samping itu, tidak
hanya menyediakan data namun pemerintah juga menyediakan platform agar pelaku
bisnis dapat berinteraksi dengan pemerintahan sebagai lembaga yang memiliki orientasi
profit.
c. Government to Government (G-to-G)
E-government dalam bentuk G-to-G juga dibutuhkan dalam rangka
memperlancar interaksi antara satu instansi pemerintah dengan pemerintah lainnya
dalam bekerjasama, baik antar negara ataupun antar entitas negara dalam melaksanakan
hal-hal yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, mekanisme politik,
mekanisme hubungan sosial dan kultur, dan seterusnya.
d. Government to Employee (G-to-E)
E-government dalam bentuk G-to-E dibentuk untuk para pegawai yang bekerja
di instansi publik secara internal dan khusus agar kinerja pegawai dapat ditingkatkan
dan kesejahteraan pegawai pun akan meningkat.

2.2 Maladministrasi
2.2.1 Definisi Maladministrasi
Maladministrasi ialah sebuah perilaku tidak wajar, tidak sopan, dan minimnya
kepedulian terhadap masalah yang dialami seseorang sebab terdapat penyelewengan
kekuasaan secara semena-mena dan dianggap sebagai kekuasaan dalam melakukan
perbuatan tidak adil dan diskriminatif atas ketentuan undang-undang atau fakta, dan
atau tidak didasarkan pada tindakan yang tidak layak, tidak adil, bersifat menindas, dan
diskriminatif (Hartono et al., 2003). Hal ini juga didukung oleh pendapat Filipino
(dalam Irmandani, 2018) yang memberikan definisi maladministrasi sebagai tindakan
menyalahgunakan wewenang yang dilakukan oleh administrator publik dalam
melaksanakan fungsinya dalam bentuk KKN dengan segala perilaku tidak jujur, buruk,
kepentingan konflik, melanggar peraturan, tidak adil terhadap bawahan, melanggar
prosedur, tidak menghormati kehendak pembuat peraturan perundangan, pemborosan,
dan menutupi kesalahan. Sementara itu, Widodo (2001) menambahkan bahwa
maladministrasi merupakan tindakan melanggar hukum, yang mana tindakan tersebut
menyimpang dari etika administrasi dan menjauhkan administrator publik dalam
mencapai tujuan administrasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
maladministrasi adalah perbuatan yang menyimpang dari hukum dan etika adminstrasi
dalam menjalankan tugasnya yang ditandai dengan tindakan diskriminatif, tidak adil,
tidak jujur, pelanggaran terhadap prosedur, inefisiensi, dan lain-lain. Maladministrasi
menghalangi pelaksanaan reformasi birokrasi dan penerapan good governance karena
penyimpangan yang dilakukan pada lingkungan birokrasi pemerintah. Maladministrasi
juga dapat membuka pintu bagi terjadinya korupsi. Untuk itu, maladministrasi perlu
dihindari karena perbuatan tersebut akan merugikan bagi masyarakat dan pemerintah itu
sendiri.
2.2.2 Bentuk-bentuk Maladminstrasi
Nurtjahyo, et al (2013) mengemukakan bentuk-bentuk perilaku yang
dikategorikan sebagai perilaku maladminsitrasi, yang terbagi menjadi 6 (enam) bentuk
berdasarkan kedekatan karakteristik berikut ini :
1. Bentuk maladministrasi berkaitan dengan ketepatan waktu dalam proses
penyedian pelayanan publik, yang dibagi lagi menjadi;
 Penundaan Berlarut. Tindakan mengindikasikan adanya penundaan atau
penguluran waktu oleh pejabat publik dalam memberikan pelayanan
terhadap masyarakat sehingga pelayanan tidak selesai pada waktu yang
sepatutnya dan menimbulkan ketidakpastian pada pemberian layanan.
 Tidak Menangani. Artinya pejabat publik sama sekali tidak memberikan
layanan dengan sebagaimana mestinya kepada masyarakat.
 Melalaikan kewajiban. Pejabat publik tidak melakukan tanggungjawabnya
dalam penyediaan layanan kepada masyarakat dan bertindak secara ceroboh.
2. Bentuk maladministrasi yang berkaitan dengan keberpihakan pada satu sisi
menimbulkan adanya rasa ketidakadilan dan diskriminasi, yang terdiri dari :
 Persengkokolan. Pejabat publik membentuk persekutuan dan melakukan
tindakan kecurangan mengakibatkan rasa ketidakadilan pada masyarakat.
 Kolusi dan Nepotisme. Tindakan yang dilakukan pejabat publik dalam
mengutamakan sanak keluarga, kerabat, maupun kolega tanpa adanya
penilaian objektif dan pertanggungjawaban dalam penyediaan layanan.
 Bertindak Tidak Adil. Tindakan memihak, melebihkan, atau mengurangi
dalam penyediaan pelayanan sehingga masyarakat menerima layanan
dengan tidak semestinya.
 Nyata-Nyata Berpihak. Pejabat publik secara jelas lebih mementingkan
salah satu pihak sehingga merugikan pihak lainnya.
3. Bentuk maladministrasi yang ditandai dengan pelanggaran terhadap hukum dan
peraturan perundangan, antara lain:
 Pemalsuan. Tindakan meniru sesuatu yang dilakukan secara tidak sah dan
melanggar hukum demi kepentingan diri sendiri
 Pelanggaran Undang-Undang. Tindakan yang tidak mematuhi peraturan
yang berlaku dalam proses penyediaan pelayanan.
 Perbuatan Melawan Hukum. Tindakan menentang ketentuan dan hukum
yang berlaku dalam proses penyediaan pelayanan.
4. Bentuk maladministrasi yang berkaitan dengan kompetensi yang berdampak pada
kualitas pelayanan publik, diantaranya :
 Diluar kompetensi. Tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik yang
melakukan sesuatu diluar kewenangannya.
 Tidak Kompeten. Pejabat publik tidak cakap dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
 Intervensi. Tindakan campur tangan terhadap sesuatu yang bukan tanggung
jawabnya.
 Penyimpangan Prosedur. Pejabat publik tidak mengikuti aturan prosedur
yang berlaku dalam penyediaan pelayanan publik.
5. Bentuk maladministrasi yang berkaitan dengan sikap arogansi pejabat publik
dalam penyediaan pelayanan publik.
 Bertindak Sewenang-Wenang. Pejabat publik bertindak melebihi
wewenangnya sehingga tindakan tersebut berlawanan dengan ketentuan.
 Penyalahgunaan Wewenang. Pejabat publik menggunakan wewenang yang
dimilikinya untuk sesuatu yang tidak seharusnya.
 Bertindak Tidak Layak/Tidak Patut. Dalam penyediaan pelayanan, pejabat
publik melakukan tindakan yang tidak pantas kepada masyarakat.
6. Bentuk maladministrasi yang mengindikasikan tindakan korupsi secara aktif,
antara lain :
 Permintaan Imbalan Uang/Korupsi. (a) Meminta imbalan atas apa yang
telah ia seharusnya lakukan dalam menyediakan layanan kepada
masyarakat, (b) Dan tindakan menggelapkan uang negara untuk keuntungan
pribadi atau golongan.
 Penguasaan Tanpa Hak. Pejabat publik memiliki sesuatu yang seharusnya
bukan menjadi miliknya, namun milik masyarakat.
 Penggelapan Barang Bukti. Pejabat publik menggunakan barang, uang, dan
lainnya dengan tidak sah, yang merupakan bukti alat suatu perkara.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Maladministrasi dalam Pelayanan Penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM)


Pelaksanaan pelayanan SIM di Kepolisian masih dilakukan dengan sistem tatap
muka. Adapun terdapat prosedur penerbitan SIM yang harus dilakukan oleh setiap
Polres, dimana setiap Polres memilki sistem/prosedur yang berbeda-beda. Namun,
secara keseluruhan, skema prosedur untuk pelayanan penerbitan SIM adalah sebagai
berikut :

1. Pemohon SIM mengajukan permohonan pembuatan SIM dengan melampirkan


dokumen persyaratan; (1) e-KTP asli, (2) Fotocopy e-KTP, (3) Surat Keterangan
Dokter Sehat Jasmani, dan Surat Keterangan Sehat Rohani (Psikologi).
2. Pemohon SIM melakukan pembayaran PNBP pada ATM atau teller bank. Setiap
jenis SIM memiliki tarif berbeda dan jika membuat SIM baru akan lebih mahal.
3. Pemohon SIM mengisi formulir pendaftaran.
4. Pemohon SIM melakukan identifikasi data diri, seperti pengambilan foto, tanda
tangan, dan sidik jari.
5. Pemohon SIM melakukan uji teori Avis. Jika tidak lulus, akan mengulang uji
teori dengan tenggang waktu paling lambat 14 hari.
6. Jika lulus, pemohon SIM akan lanjut melakukan uji keterampilan mengemudi.
Jika tidak lulus, mengulamg setiap ujian maksimal sebanyak 3 kali untuk setiap
materi ujian.
7. Jika lulus, pemohon SIM melakukan uji praktek. Jika tidak lulus, prosedurnya
sama dengan uji teori avis.
8. Jika lulus, SIM akan diproduksi cetak dan diserahkan kepada pemohon.
9. Untuk prosedur uji teori avis dan uji praktek, apabila setelah 30 hari dinyatakan
tidak lulus dan tidak ada keterangan, maka uang akan dikembalikan.
Praktik maladministrasi pada pelayanan SIM seringkali ditemukan pada setiap
tahapannya. Adapun dari investigasi yang dilakukan oleh Ombudsman, ditemukan
pelanggaran administrasi yang paling sering terjadi adalah pungutan liar, penggunaan
calo, SIM tembak, dan tidak memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi (kompas,
2016). Maladministrasi ini terjadi karena dari kedua belah pihak, yaitu pemohon dalam
hal ini masyarakat serta petugas kepolisian yang mengurus pembuatan layanan SIM
yang melakukannya secara sengaja untuk mendapatkan pelayanan dengan cara yang
tidak sah.
Adapun berdasarkan bentuk maladministrasi, pelanggaran pada pelayanan
penerbitan SIM termasuk ke dalam beberapa bentuk maladministrasi. Pungutan liar
yang dilakukan oleh petugas layanan pembuatan SIM ini merupakan bentuk
maladministrasi yang berkaitan dengan permintaan imbalan uang/korupsi. Biasanya,
pemohon SIM menginginkan agar pembuatan SIM selesai dalam waktu yang cepat,
sehingga petugas meminta imbalan berupa uang tunai. Ombudsman menemukan praktik
pungutan liar tersebut pada beberapa Polres, seperti Polres Mataram, Polresta Manado,
Polres Ambon, Polresta Kupang, Polresta Palangkaraya, Polresta Samarinda, Polresta
Jayapura, dan Polresta Padang. Dalam temuannya, pungutan liar banyak terjadi pada
Satpas tersebut dengan imbalan uang sekitar Rp100 ribu sampai dengan Rp520 ribu
(CNN, 2016). Menurut Adrianus Meliala, pelanggaran ini tidak sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak (CNN, 2016). Maka dari itu, pungutan liar ini juga merupakan
bentuk maladministrasi yang berupa perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, penggunaan jasa calo untuk mendapatkan SIM sudah menjadi
permasalahan yang begitu sering, bahkan petugas pembuatan SIM yang justru
menawarkan jasa tersebut dan hal tersebut sudah menjadi budaya dalam masyarakat
(kompas, 2019). Praktik calo ini merupakan bentuk kolusi dan persengkokolan, karena
untuk mendapatkan layanan pembuatan SIM, terdapat penilaian yang tidak objektif
serta adanya persekutuan antara pemohon dengan calo terkait pembuatan SIM dengan
kilat. Dengan menggunakan jasa calo, pemohon harus membayar lebih mahal dari tarif
yang seharusnya. Penggunaan jasa calo menandakan bahwa pemohon juga mendukung
praktik korupsi karena terdapat pemberian imbalan untuk mendapatkan sebuah layanan
publik, dalam hal ini pelayanan pembuatan SIM.
Lalu, adanya pembuatan SIM tembak merupakan permasalahan yang sering
terjadi pula dalam pembuatan SIM. SIM tembak ini menandakan adanya proses
pembuatan SIM dengan kilat atau dalam hal ini tidak mengikuti prosedur secara
lengkap. Pembuatan SIM tembak ini biasanya melewati beberapa prosedur, seperti uji
teori avis dan uji praktek. Pemohon SIM memilih untuk mendapatkan SIM dengan
harga mahal namun dengan proses yang cepat daripada harus melakukan berbagai
prosedur yang lama dan rumit dengan harga yang murah. Hal ini menunjukan bahwa
SIM tembak merupakan maladministrasi dalam bentuk penyimpangan prosedur.
Padahal, prosedur tersebut merupakan persyaratan yang harus dilaksanakan dengan baik
sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 81 ayat
(1). Hal ini berarti pembuatan SIM dengan cara menembak merupakan maladministrasi
yang berbentuk pelanggaran undang-undang. Lalu, untuk mendapatkan SIM tembak,
perlu ada pendekatan atau tawar menawar dengan aparat petugas penerbitan SIM.
Bahkan, terdapat petugas yang memang menawarkan jasa SIM tembak agar ia
mendapatkan imbalan uang yang lebih besar. Dari kasus ini, membuktikan bahwa
petugas pelayanan publi menyalahgunakan wewenangnya untuk hal yang tidak
seharusnya ia lakukan. Selain itu, penyimpangan prosedur lainnya dalam pembuatan
SIM biasanya terjadi karena pemohon SIM belum memenuhi persyaratan usia yaitu 17
tahun untuk SIM A, SIM C, dan SIM D. Namun, banyak juga kasus seperti pemohon di
bawah umur yang belum memenuhi persyaratan pembuatan SIM malah bisa
mendapatkan SIM dengan memberikan imbalan uang kepada petugas.

3.2 Penerapan E-Government dalam Pelayanan Penerbitan Surat Izin Mengemudi


(SIM)
Praktik maladministrasi pada pembuatan SIM di atas menunjukan bahwa
permasalahan pelayanan publik masih sangat tinggi sehingga diperlukan adanya
pembenahan kualitas layanan. Praktik maladministrasi dapat terjadi karena faktor
sumber daya manusia dalam hal ini petugas pembuatan layanan SIM yang tidak
berintegritas dan kurang kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai pemberi
layanan SIM kepada masyarakat. Selain itu, pelayanan pembuatan SIM memiliki
kompleksitas prosedur yang harus dijalani oleh pemohon, mulai dari persyaratan
administratif hingga prosedur uji praktik serta uji teorinya. Maka dari itu, diperlukan
perbaikan kualitas SDM dan prosedur layanannya sebagai upaya meningkatkan kualitas
pelayanan SIM. Terlebih lagi di era globalisasi dengan kondisi persaingan yang ketat
dan penuh tantangan, seluruh pelayanan diminta untuk diberikan sebaik-baiknya kepada
masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Reformasi dapat dilakukan denga menerapan e-government menjadi solusi untuk
mengurangi praktik maladministrasi tersebut sehingga tercipta pemerintahan yang
bersih dan baik. Adapun pelaksanaan e-government pada pelayanan pembuatan SIM
sudah diterapkan, namun baru pada beberapa polres dan pelaksanaannya juga kurang
efektif dan optimal. Pelayanan dengan standar teknologi pada pelayanan penerbitan
SIM dapat dilihat perubahan sistemnya pada tahap registrasi pendaftarannya yang sudah
mulai dapat dilakukan secara online sehingga tidak perlu lagi mengantri di Polres untuk
melakukan registrasi. Pembuatan SIM online ini ditujukan untuk memberikan
kemudahan dan menyederhanakan proses pembuatan SIM. Serta, alasan dasar
terciptanya pembuatan SIM online adalah untuk menghilangkan korupsi dan praktik
calo pada pelayanan pembuatan SIM (Nugroho, 2014). Selain itu, pengurusan
perpanjangan SIM juga dapat dilakukan dengan sistem online melalui kanal situs
https://sim.korlantas.polri.go.id (detik, 2020). Ditambah lagi, pada masa pandemi
seperti ini, antrean yang menyebabkan kerumunan akibat pelayanan publik sudah
sepatutnya dihindari agar tidak terdapat penyebaran virus corona. Maka dari itu, instansi
Kepolisian semakin gencar menguatkan pendaftaran secara online.
Meskipun begitu, setelah registrasi online, pemohon masih perlu datang ke
Polres langsung untuk melakukan tes kesehatan serta identifikasi dan verifikasi data diri
dengan melakukan pengambilan foto, tanda tangan, dan sidik jari. Tahapan ini
sebenarnya dapat dilakukan secara daring juga dengan memanfaatkan perkembangan
sistem informasi manajemen yang pesat. Pesatnya perkembangan teknologi di era 4.0
ini, seharusnya aparat publik menggunakannya dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik yang prima. Lalu, dari penelitian yang dilakukan oleh Agnes Juwita,
meskipun pada Satpas Polres Jember sudah dilakukan registrasi pembuatan SIM secara
online, masyarakat merasa tidak puas atas kinerja pelayanan sebab pelayanan masih
cenderung lama dan masih terdapat antrean panjang. Dari fakta tersebut, penerapan e-
government pada pelayanan pembuatan SIM belum secara komprehensif dan belum
begitu efektif untuk mengurangi permasalahan maladministrasi yang terjadi secara
masif.
Selanjutnya, dalam penerapan pelayanan pembuatan SIM secara online ini juga
masih dihadapi kendala dan tantangan. Dari segi sumber daya manusianya (SDM),
petugas pelayanan SIM belum memiliki pemahaman akan penggunaan teknologi
informasi dengan baik sehingga menghambat pelaksanaan e-government pada layanan
pembuatan SIM. Dari segi pengguna layanan, dalam konteks ini adalah masyarakat,
terdapat golongan masyarakat yang belum memahami bagaimana mekanisme
pembuatan SIM secara online, kurangnya sosialisasi yang dilakukan dan penyebaran
informasi yang kurang kepada masyarakat menjadi faktor pemicu kendala ini. Ditambah
lagi, permasalahan teknis terkait koneksi jaringan yang terkadang masih didapati error
dan trouble. Kendala jaringan ini menjadi permasalahan yang krusial sebab mekanisme
pembuatan SIM secara online sangat membutuhkan dukungan jaringan yang stabil
sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan dan maintenance secara berkala.
Adapun penerapan e-government dalam pelayanan penerbitan SIM merupakan
salah satu bentuk praktik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang ditujukan untuk
masyarakat (Government-to-Citizen). Hal ini bertujuan untuk menjadikan pelayanan
SIM sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu minim dari pelanggaran administrasi,
prosedur jelas dan tidak berbelit-belit sehingga menciptakan kepuasan masyarakat akan
pelayanan yang diberikan serta mewujudkan good governance.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, kasus maladministrasi yang kerap terjadi pada
pelayanan penerbitan SIM antara lain pungutan liar, praktik calo, pembuatan SIM
tembak, dan penyimpangan persyaratan usia. Untuk pungutan liar ini ialah termasuk ke
dalam bentuk maladministrasi permintaan imbalan uang/korupsi dan pelanggaran
terhadap hukum. Lalu, penggunaan jasa calo merupakan bentuk maladministrasi yang
berkaitan dengan kolusi, persengkokolan, dan praktik korupsi aktif. Selanjutnya,
pembuatan SIM dengan cara menembak ialah bentuk maladministrasi yaitu
penyimpangan prosedur serta pelanggaram terhadap undang-undang. Banyaknya bentuk
maladministrasi yang dilakukan baik oleh pengguna layanan maupun penyedia layanan,
maka dari itu diperlukan upaya perbaikan kualitas dari instansi Kepolisian. Upaya
tersebut yaitu dengan menerapkan e-government dalam layanan pembuatan SIM online.
Meskipun begitu, untuk menerapkan e-government ini dihadapi berbagai kendala dan
juga tantangan, yaitu diantaranya SDM yang belum memadai secara kompetensi dan
keahlian, kendala sosialisasi kepada masyarakat yang belum memahami dengan jelas
mekanisme baru terkait pelayanan pembuatan SIM secara online, serta kendala koneksi
dan jaringan yang kurang stabil sehingga menghambat proses pelayanan.

4.2 Saran
Adapun dari kendala dan tantangan yang dihadapi dalam menerapkan e-
government untuk mengurangi maladministrasi dalam pelayanan pembuatan SIM ini
adalah :

1. Melakukan pelatihan dan pembinaan kepada aparatur petugas pelayanan SIM


terkait penggunaan teknologi informasi pada pelayanan SIM
2. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat lebih digencarkan agar seluruh lapisan
masyarakat menerima informasi terkait mekanisme baru pelayanan SIM secara
online
3. Melakukan perbaikan jaringan dan maintenance secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. (2020, June 11). Cara Membuat SIM Online, Ketahui Langkah Aman dan
Enggak Pakai Ribet. Retrieved January 11, 2021, from
https://www.merdeka.com/trending/cara-membuat-sim-online-ketahui-langkah-
aman-dan-enggak-pakai-ribet-kln.html?page=1
F. H. Edy Nugroho. (2014) Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Rangka
Memberantas Tindak Pidana Korupsi Secara Elektronik. Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 14, No. 3 September, 539-546.
Fatimah, S. (2017). Efektivitas Sistem Pelayanan Pembuatan Surat Izin Mengemudi
(SIM) Secara Online di Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) Colombo
Surabaya. JPAP: Jurnal Penelitian Administrasi Publik, 3(1).
doi:10.30996/jpap.v3i1.1228.
Gatra, S. (2016, May 24). Gelar Investigasi, Ombudsman Temukan Maladministrasi
Penerbitan SIM. Retrieved January 11, 2021, from
https://nasional.kompas.com/read/2016/05/24/20094621/gelar.investigasi.ombuds
man.temukan.maladministrasi.penerbitan.sim.
Hartono, Sunaryati dkk. (2003). Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia.
Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional.
Indrawan, A. (n.d.). Ini Pelanggaran yang Sering Terjadi Dalam Pembuatan SIM.
Retrieved January 11, 2021, from https://news.detik.com/berita/d-3216692/ini-
pelanggaran-yang-sering-terjadi-dalam-pembuatan-sim
Irmandani, Deva. (2018). Mal-Administrasi Dalam Pelayanan Surat Izin Usaha
Perdagangan (Siup) Di Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Kabupaten Sidoarjo. Skripsi thesis, Universitas Airlangga.
Juwita, A. (2020). Optimalisasi Sim Online Sebagai Strategi untuk Mewujudkan
Pelayanan Prima pada Kantor Satpas Jember. Airlangga Development Journal,
2(2), 84. doi:10.20473/adj.v2i2.18072.
Maulana, A. (2019, October 07). Bikin SIM Pakai Jasa Calo, Siap-siap Ditindak Polisi.
Retrieved January 11, 2021, from
https://otomotif.kompas.com/read/2019/10/07/114200515/bikin-sim-pakai-jasa-
calo-siap-siap-ditindak-polisi
Nurtjahjo, H., Maturbongs, Y., & Rachmitasari, D. I. (2013). Memahami
Maldministrasi, Jakarta, Ombudsman Republik Indonesia. Hlm. 14.
Ombudsman Republik Indonesia. (2020). Laporan Ombudsman Triwulan II Tahun
2020.
__________________________. (2019). Laporan Ombudsman Tahun 2019.
Silcock, Rachel. (2001). What is E-Government?. Parliamentary Affairs, Vol 54, Issue
1, pp 88-101. https://doi.org/10.1093/pa/54.1.88
Sohuturon, M. (2016, May 24). Ombudsman Temukan Berbagai Pelanggaran dalam
Pengurusan SIM. Retrieved January 11, 2021, from
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160524174709-20-
133168/ombudsman-temukan-berbagai-pelanggaran-dalam-pengurusan-sim.
United Nation. (n.d). United Nation E-Government Knowledgebase. Retrieved from
https://publicadministration.un.org/egovkb/en-us/
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Widodo, Joko. (2001). Good Governance Telaah dari Dimensi : Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan
Cendekia.

Anda mungkin juga menyukai