Buku ini bagian dari Seri Buku “Kurang Pintar” yang digagas oleh Bambang Trim.
Buku ini terbit perdana dalam bentuk elektronik.
Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk cetakan atau berkas elektronik untuk tujuan komersial.
Penggunaan atau pengutipan konten buku dibenarkan dengan menyebutkan sumbernya.
KUBUKU
Cimahi, Jawa Barat
www.bambangtrim.com
Kredit Kover:
Canva Pro
Daftar Isi
Prakata—v
01 MENGEDIT NASKAH—5
Ilmu Dasar Mengedit—6
Dua Bentuk Naskah—9
Penyuntingan Tradisional—11
Penyuntingan Modern—16
Cetak Coba—17
02 MARKAH RALAT—19
Fakta Seputar Markah Ralat—21
Menggunakan Markah Ralat—22
Tabel Markah Ralat—29
03 INTUISI EDITOR—33
Cara Saya Berlatih—34
Menajamkan Intuisi—37
Daftar Pustaka—39
Penulis Kurang PIntar—40
iii
iv
Prakata
O
rang kurang pintar, bacalah buku ini. Serius atau ber-
canda? Bolehlah keduanya. Namun, saya benar-benar
bersyukur karena buku acuan “kurang pintar” ini dapat
dituntaskan meskipun gagasannya secara tidak sengaja saya tu-
liskan tahun 2013.
Waktu menuliskan esai tersebut, saya terpengaruh dinamika
Pilpres 2014. Alhasil, saya lontarkan gagasan untuk menulis Buku
Kurang Pintar Memilih Presiden. Ada rasa canda memang di dalam
tulisan tersebut.
Saat terjadi pandemi COVID-19 yang membuat saya berdiam
di rumah dalam waktu yang lama, gagasan ini malah terpikir kem-
bali. Akhirnya, saya wujudkan saja dalam bentuk buku sebenarnya
dengan topik perdana dari dunia saya yakni dunia penulisan dan
penerbitan buku.
Buku ini aman dan nyaman dibaca untuk remaja usia 13 tahun
hingga orang dewasa yang “merasa kurang pintar” dan memer-
lukan informasi serta pengetahuan dalam format ringkas, padat,
dan bernas. Membaca buku ini boleh jadi Anda autopintar.
v
Saya berkutat dengan riset pustaka, menghim-
pun banyak data dan fakta serta dalam hal terten-
tu wwmewawancarai beberapa narasumber un-
tuk mewujudkan Buku Kurang Pintar ini. Semoga
pembaca dapat menikmatinya dan tidak terbeba-
ni, apalagi malah “masuk angin” karena membaca
buku ini.
Saya menyadari bahwa buku ini banyak sekali
kelebihannya. Karena itu, selamat membaca dan
berbahagia.
Bambang Trim
vi
Mereka yang merasa sudah pintar biasanya
enggan membaca buku. Karena itu, lebih
baik kurang pintar daripada kurang ajar
karena enggan membaca buku.
—Bambang Trim, Tukang Buku Keling
vii
Foto: Annie Spratt/Unsplash
viii
ORANG
KURANG PINTAR
BACA BUKU INI
S
aya memang tidak sedang bercanda menulis
buku bertajuk BUKU “KURANG PINTAR” ini.
Tentu kalau merasa sudah pintar, Anda tidak
perlu membaca buku ini. Buku ini memang dikhu-
suskan bagi mereka yang dahaga akan informasi
dan pengetahuan yang memintarkan di antara be-
gitu banyak seliweran informasi di dunia maya yang
membodohkan.
1
Seperti halnya kutipan Steve Jobs yang sangat populer: Tetaplah
bodoh, tetaplah lapar, demikian pesan sebenarnya dari buku ini. Me-
mang lebih baik kita berada dalam kondisi “kurang pintar” daripada
“kurang ajar”.
Buku “Kurang Pintar” ini diterbitkan berseri dalam format buku
referensi kekinian tentang suatu topik. Para pembaca akan disuguhi
sub-subtopik yang dikemas secara ringkas, padat, dan bernas.
Buku ini dapat dinikmati para pembaca junior atau senior agar
autopintar. Karena itu, buku ini boleh disebut Buku “Kurang Pintar”
Junior-Senior.
Ide buku ini sebenarnya berasal dari sebuah esai saya di situs web
manistebu.com bertajuk “Mari Menulis Buku Kurang Pintar” yang di-
publikasikan tahun 2013. Saat pandemi COVID-19 melanda dunia dan
Indonesia, saya banyak merenung di rumah demi memunculkan se-
buah gagasan segar tentang buku.
Saya tertarik dengan kutipan yang pernah diucapkan Nicholas
Murray Butler berikut ini.
2
Saya ingin menulis sebuah buku yang
berbeda. Karya yang menyebabkan saya
membuat sesuatu terjadi. Jadilah ide Buku
“Kurang Pintar” ini meskipun gagasannya
seperti sebuah guyonan tak serius atau
boleh jadi tidak segar-segar amat.
Namun, insyaallah saya menulisnya
sangat serius. Buku ini pun diterbitkan ber-
seri dengan beberapa pilihan topik “kurang
pintar” yang saya rencanakan juga meli-
batkan beberapa pengarang pendamping
(co-author) atau sebaliknya, saya yang
menjadi pendamping. Harapan saya dan
tentunya yang terlibat di dalam proyek
“kurang pintar” ini adalah membangkitkan
daya literasi tiap generasi menjadi genera-
si yang genial; generasi yang tetap merasa
kurang pintar dan tetap merasa haus ilmu.
Generasi yang mau “merendahkan diri” di
hadapan para guru meskipun mereka kelak
menjadi seorang ahli/pakar. Foto: Austin Distel/Unsplash
3
Penyuntingan mekanis sebagai pengetahuan
dan keterampilan mendasar seorang editor/penyunting
(Canva Pro)
4
01
MENGEDIT NASKAH
P
ernah menerima hasil koreksi naskah yang penuh
coretan? Mungkin Anda pernah menerimanya dari
guru, dosen, atau atasan Anda. Kemudian, apakah
Anda mengerti maksud coretan tersebut sebagai instruksi
koreksi?
Pekerjaan para editor memperbaiki naskah awalnya me-
mang identik dengan mencoret naskah. Namun, coretan edi-
tor sejatinya memiliki arti tertentu sehingga yang memba-
canya dapat mengerti apa yang perlu diperbaiki—penulis dan
pengatak halaman.
Tanda atau simbol yang digunakan editor untuk mengedit
naskah disebut markah ralat (correction mark). Ada be-
gitu banyak markah dengan maksud berbeda-beda. Buku
ini secara praktis memberi tahu Anda tentang penggunaan
markah ralat tersebut dalam kegiatan pengeditan atau pe-
nyuntingan.
5
ILMU DASAR MENGEDIT
J
ika dalam wawancara kerja seorang editor tidak dapat menja
wab apa itu pengeditan atau penyuntingan mekanis (mechani-
cal editing), ia menjadi sinyal bagi saya untuk tidak meneruskan
wawancara. Mengapa? Hal itu adalah pengetahuan mendasar bagi
seorang editor atau penyunting.
6
Penyuntingan naskah itu sejatinya
pekerjaan rumit. (Canva Pro)
7
Keputusan penyuntingan nomor 1 dan 2 masih dapat dikatakan
sebagai penyuntingan ringan (light copyediting). Adapun nomor 3
dan 4 sudah masuk pada kategori penyuntingan sedang (middle co-
pyediting) dan nomor 5 masuk kategori penyuntingan berat (heavy
copyediting).
Penyuntingan ringan dapat dilakukan oleh editor mula. Penyun
tingan sedang dapat dilakukan oleh editor madya atau editor mahir.
Adapun penyuntingan berat disarankan hanya dilakukan oleh editor
ahli—mereka berpengalaman atau memiliki rekam jejak lebih dari 15
tahun sebagai editor.
Saya menemukan banyak para editor yang tidak cukup memiliki
“amunisi” pengetahuan tentang ilmu penyuntingan dan ilmu penerbi-
tan. Betul, mereka adalah para autodidak, tetapi mereka sebenarnya
tidak siap untuk diterjunkan menjadi editor, kecuali tentu dipaksakan.
Ada yang beruntung memiliki kecintaan terhadap dunia tulis-menu-
lis sekaligus talenta untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi, ada
juga yang menjadi “buntung” karena hanya sekadar mencoba-coba.
8
DUA BENTUK NASKAH
S
aat ini seorang editor atau penyunting menerima dua bentuk
naskah yaitu naskah tercetak (hardcopy) dan naskah elektro
nik (softcopy). Tuntutan zaman menyebabkan naskah tercetak
semakin jarang diminta oleh penerbit karena dapat menyebabkan
sampah kertas selain adanya isu paperless terkait lingkungan.
Namun, bukan berarti tidak ada lagi yang bekerja dengan naskah
dalam bentuk tercetak. Penyuntingan naskah tercetak (hardcopy ed-
iting) terkadang dianggap lebih akurat dibandingkan penyuntingan
naskah elektronik (on-screen editing) jika dihubungkan dengan daya
tahan mata, apalagi bagi mereka yang sudah melewati usia 40 tahun.
9
Artinya, mengedit naskah dalam durasi yang lama di depan kom-
puter setidaknya berpengaruh terhadap konsentrasi editor. Berbeda
halnya dengan mengedit langsung pada naskah tercetak yang jelas
lebih ramah terhadap mata. Memang sempat ada perdebatan bahwa
layar komputer saat ini semakin canggih sehingga dapat menyesuai-
kan dengan cahaya ruangan dan lebih nyaman bagi mata. Mengedit
di layar komputer (on screen editing) saat ini dianggap paling relevan.
10
PENYUNTINGAN TRADISIONAL
P
enyuntingan mekanis pada naskah tercetak kini digambar-
kan sebagai penyuntingan tradisional/konvensional. Namun,
pengetahuan dan keterampilan penyuntingan jenis ini harus
dikuasai oleh para editor.
Sebagaimana saya sampaikan pada awal buku ini bahwa untuk
menguji seorang editor atau mereka yang mengaku sebagai editor,
saya akan bertanya apa yang mereka ketahui tentang penyuntingan
mekanis (mechanical editing). Selanjutnya, saya akan memberikan
naskah tercetak dan meminta sang editor mengedit dengan meng-
gunakan markah ralat yang standar.
Jika mereka tampak dalam situasi tidak biasa atau bingung
mengedit naskah tercetak tersebut, hal itu pun sudah menjadi sinyal-
bagi saya bahwa sang editor belum paham ilmu dasar penyuntingan
naskah.
Jadi, hardcopy editing saat ini dapat digunakan untuk merekrut
para editor, mengetes apakah mereka benar-benar memahami
penyuntingan mekanis. Hardcopy editing juga berguna dalam situasi
ketika naskah tidak dapat disajikan secara elektronik. Misalnya, ketika
Anda diminta mengedit dokumen rahasia yang hanya tersedia dalam
bentuk tercetak atau Anda tiba-tiba diminta atasan untuk mengedit
11
teks pidato yang hanya tersedia dalam bentuk tercetak. Demikian
pula jika seorang penulis hanya memiliki naskah tercetak untuk diedit
maka editor pun harus menggunakan cara-cara tradisional atau kon-
vensional tersebut.
Markah adalah kata lain untuk menyebut tanda. Kita sering men-
dengar kata ini digunakan dalam konteks lalu lintas. Ya, markah jalan.
Sejak kapan markah ralat ini digunakan? Wikipedia menyebutkan
bahwa penggunaan markah ralat dimulai sejak munculnya aktivitas
penerbitan skala besar. Aktivitas ini dapat dihubungkan sejak ditemu-
kannya mesin cetak pada pertengahan abad ke-15 oleh Gutenberg.
12
gereja) sehingga terdapat perubahan pada
kata atau istilah yang dianggap tidak tepat.
Aktivitas mengoreksi alih-alih men-
jadi mengedit kemudian dikenal di dalam
industri penerbitan secara luas. Seorang
editor dari Amerika, Maxwell Perkins,
menjadi sangat populer. Ia dikenal se
bagai editor penemu talenta para penulis,
di antaranya Ernest Hemingway, F. Scott
Fitzgerald, Marjorie Kinnan Rawlings, dan
Thomas Wolfe.
13
Di Indonesia melalui puisi “Syair Jalan Kreta Api” karya Tan Teng
Kie diketahui tentang kegiatan editor pada tahun 1890-an. Tradisi
pencetakan dan penerbitan telah dibawa oleh Belanda jauh sebelum
berdirinya Balai Pustaka yang kini menjadi penerbit tertua di Indone-
sia (berdiri 1917). Namun, editor kenamaan di Indonesia mulai dikenal
dari zaman Balai Pustaka seiring dengan lahirnya begitu banyak buku,
seperti H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Era tahun 1970-an boleh dikatakan mulai menggeliatnya industri
perbukuan Indonesia meskipun Ikatan Penerbit Indonesia telah ada
sejak tahun 1950. Beberapa tokoh pegiat perbukuan dan editor ke-
mudian muncul membawa pembaruan dalam bidang ilmu penerbit
an.
14
lis artikel atau buku tentang penulisan,
penerbitan, serta penyuntingan naskah.
Beberapa orang di antara mereka
telah tiada, tetapi ilmu yang diwaris-
kannya di dalam buku masih bergema,
terutama bagi saya yang bertekad men-
jadi penerus mereka. Untuk itu, saya pun
berusaha menyambungkan ilmu pe-
nyuntingan naskah agar tidak terputus
mata rantainya pada generasi editor se-
lanjutnya.
15
PENYUNTINGAN MODERN
E
ra penyuntingan modern dimulai pada awal tahun 1990-an ke-
tika terjadi transisi dari analog ke digital. Di dalam dunia kepen-
ulisan terjadi transisi dari mesin tik ke komputer destop. Pada
saat itu mulai lahir istilah penerbitan destop (desktop publishing) ke-
tika perangkat komputer sangat membantu kualitas, kecepatan, dan
keakuratan kerja penerbitan.
Pada pertengahan tahun 1990-an di Indonesia mulai populer pe-
ranti lunak pengatak (desain) halaman seperti Ventura Publisher dan
Aldus Pagemaker. Tampilan sebuah buku menjadi lebih menarik dan
bervariasi. Saat itu hanya segelintir orang yang dapat mengoperasi-
kan aplikasi pendesain halaman tersebut.
Selanjutnya, tahun 2000-an hingga kini terjadi lompatan teknologi
digital yang menyebabkan proses penyuntingan bertransformasi juga
dari analog ke digital. Banyak editor yang lebih tertarik mengedit lang-
sung di naskah elektronik, baik melalui Word atau langsung mengedit
di peranti lunak desain seperti Adobe In-Design. Demikian pula pe-
nyuntingan dapat dilakukan pada berkas PDF (portable document
format) dengan menggunakan peranti lunak seperti Adobe Acrobat.
16
CETAK COBA (PROOF)
T
eknologi digital dengan penemuan laser printer juga menjadi-
kan pembuatan cetak coba (proof) lebih cepat dan lebih tajam
pada kertas HVS. Proof adalah lembaran halaman buku hasil
desain, baik teks maupun gambar sudah ditata letak.
Editor masih harus memeriksa cetak coba atau proof untuk me-
mastikan instruksi koreksi pada naskah sudah dimasukkan oleh pe
ngatak halaman (desainer). Selain itu, cetak coba juga diberikan ke-
pada penulis untuk diperiksa kembali jika kemungkinan ada bagian
yang hilang.
Saat mengedit cetak coba, editor dan penulis harus sama-sama
menggunakan markah ralat dengan warna tinta bolpoin yang berbe-
da. Cetak coba ini nanti kembali diberikan kepada pengatak halaman/
desainer untuk ditata kembali. Setelah itu, pengatak atau desainer
akan membuat dumi buku sebagai acuan.
Seyogianya dumi buku tidak boleh
lagi dikoreksi. Namun, kadang kala,
baik editor maupun penulis sering
memasukkan koreksi tambahan di
dumi buku.
Di penerbit besar, koreksi cetak
coba dikerjakan oleh korektor (proof
reader) dengan maksud menemu-
kan berbagai kesalahan mekanis yang
terlewat oleh editor. Biasanya editor
karena faktor kelelahan dan kejenuh Menemukan kesalahan pada naskah
memerlukan kondisi yang prima.
an tidak dapat menemukan kesalahan (Canva Pro)
“tersembunyi” pada cetak coba.
17
Tak banyak lagi yang tahu bagaimana menggunakan markah ralat dalam
penyuntingan naskah (Bambang Trim)
18
02
MARKAH RALAT
M
ari kembali pada perihal penyuntingan mekanis
bahwa aktivitas yang dilakukan seorang editor
naskah adalah menandai bagian-bagian yang me-
merlukan perbaikan. Karena itu, editor menggunakan markah
ralat. Simbol dan makna pada markah ralat harus disepakati
oleh para pemangku kepentingan publikasi (penerbit) agar
setiap orang dapat memahami maksud dan instruksi pada
markah tersebut.
Di dalam beberapa buku tentang penulisan untuk anak-
anak terbitan asing (Amerika dan Eropa), saya menemukan
bahwa penggunaan markah ralat juga sudah dikenalkan sejak
di sekolah dasar. Artinya, pelajaran menyunting dan meng-
gunakan markah ralat juga masuk ke dalam kurikulum peme-
lajaran di Amerika dan Eropa.
19
Penyuntingan dengan markah ralat diperkenalkan
pada siswa level B (Bambang Trim/
Writer’s Notebok By the Editors of TIME For Kids, 2006)
20
FAKTA SEPUTAR MARKAH RALAT
Markah ralat
Markah ralat telah
terdiri atas simbol
lazim digunakan
di dalam teks dan
sebagai simbol
simbol di margin
yang berlaku
yang dibubuhkan
secara universal
dengan coretan
di penerbit dari
tangan.
berbagai negara.
Penggunaan
markah ralat
secara mekanis
dapat meningkat-
kan intuisi editor
ketika membaca
sebuah naskah.
21
MENGGUNAKAN MARKAH RALAT
B
aiklah pembaca yang budiman, saya langsung saja mengenal-
kan beberapa markah ralat yang berlaku secara universal di
dalam penyuntingan naskah. Maksud saya agar semakin ban-
yak orang yang memahami, terutama para pendidik yang dapat men-
gajarkannya kembali. Jadi, tidak harus editor yang memahami tanda-
tanda ini.
Pertama, hal yang harus Anda pahami bahwa markah ralat di
bubuhkan pada teks dengan menggunakan bolpoin atau spidol ber-
warna cerah (merah atau biru). Ada yang membedakan penggunaan
warna menjadi kode warna. Merah digunakan untuk koreksi salah tik
(typographical error), sedangkan biru digunakan untuk koreksi dalam
hal penghilangan, penambahan, penyesuaian gaya selingkung, dan
pembaruan informasi. Namun, sering editor hanya menggunakan
satu warna.
Dari hal siapa yang melakukan koreksi juga
terkadang dibedakan yaitu antara editor dan
penulis. Editor menggunakan bolpoin berwarna
merah, sedangkan penulis menggunakan bol-
poin berwarna biru sehingga instruksi perbaikan
dapat dipahami oleh pengatak halaman/desain-
er.
Kedua, naskah yang Anda terima kini umum
nya ditik atau diset dengan aplikasi Word. Biasa
nya jika penulis mengikuti pedoman dari pener-
bit, naskah yang ditik sudah mengikuti format
yang disarankan, seperti
22
• ukuran kertas yang digunakan;
• ukuran spasi/jarak antarbaris (biasanya 1,5 atau 2
spasi); dan
• lebar margin kiri-kanan dan atas-bawah.
Format yang ditentukan sedemikian rupa akan san-
gat membantu dalam pembubuhan markah ralat pada
teks. Halaman naskah pada dasarnya dapat dibagi dua
dengan membayangkan garis khayal. Garis khayal me-
23
mandu editor untuk membubuhkan markah ralat pada margin kri
atau margin kanan naskah.
Penyuntingan ini secara manual menggunakan markah ralat.
Berikut penjelasan beberapa markah ralat yang sering digunakan dan
contoh penggunaannya.
Memasukkan Perubahan
Masukkan tanda sisip ( ) berikut ke dalam teks apabila ada hal yang
ingin dimasukkan. Tuliskan huruf atau kata yang dimasukkan di mar-
gin kanan atau margin kiri. Apabila materi yang ingin dimasukkan
sangat banyak—berupa kalimat ataupun paragraf—, gunakan secarik
kertas (kertas post-it) dengan kode penempatan (misalnya Teks A)
dibubuhkan pada kiri atas kertas dan ditempelkan pada halaman nas-
kah tersebut.
Contoh:
Tidak selalu ada korlasi antara tingkat pendidikan dan tata krama
dalam berinteraksi di media sosial.
Memindahkan Teks
Terkadang ada teks yang tidak sesuai dengan urutan sebenarnya
ataupun tidak tepat penempatannya. Editor dapat menginstruksikan
pemindahan teks dengan tanda sisip dengan melingkari bagian yang
ingin dipindahkan dan diteruskan dengan tanda panah ke tempat pe-
mindahan.
Contoh:
24
Menakuk Teks
Faktor kesalahan menata teks, menyebabkan hasil tata letak teks ti-
dak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini ada teks-teks yang
semestinya menjorok ke dalam (bertakuk), tetapi tidak menjorok.
Perhatikan contoh berikut.
Buku yang baik mengandung tiga daya, yaitu
• daya gugah;
• daya ubah; dan
• daya pikat
Menghilangkan Teks
Editor kerap menghilangkan huruf, kata, kalimat, atau bah-
kan paragraf dalam suatu teks yang memang tidak dibu-
tuhkan. Editor dapat menggunakan tanda seperti ini
( ) untuk menghilangkan kata dan merapatkannya kembali. Tanda
ini disebut close-up.
Contoh:
25
Penghilangan huruf dapat juga dengan tanda seperti ini. Pada ba-
gian margin di kiri atau kanan diberi tanda ( ) yang artinya dihilang-
kan atau delete.
Penghilangan satu kata bisa menggunakan cara seperti ini.
Membalikkan Teks
Ada kata yang hurufnya ditik terbalik ataupun gabungan kata (frasa)
yang urutan katanya keliru. Editor harus ekstra berhati-hati, teru-
tama pada kata-kata yang karena hurufnya terbalik bermakna lain.
Perhatikan contoh:
26
Memisahkan Teks atau Memberi Spasi
Kata seperti kata depan yang seharusnya dipisahkan dari kata yang
sesudahnya dapat dipisahkan dengan tanda spasi ( ). Di margin kiri
atau kanan teks dibubuhkan tanda ( # ) yang artinya dipisah.
Contoh:
Membatalkan Koreksi
Adakalanya editor berubah pikiran tentang teks yang telah dikorek
si untuk dikembalikan ke bentuk semula atau membatalkan koreksi
yang dibuatnya. Tanda yang biasa digunakan untuk instruksi sema-
cam ini adalah garis putus-putus di bawah teks yang dikoreksi. Ke-
mudian, di margin teks kiri atau kanan diberi tulisan stet (Let is stand)
artinya tanda koreksi dibatalkan dan kembalikan ke semula.
Contoh:
Presiden Donald Trump.
27
Mengubah ke Huruf Miring (Italik)
Kata-kata dalam bahasa asing, bahasa daerah, ataupun bahasa per-
cakapan harus dicetak miring di dalam teks. Editor menginstruksikan
huruf tegak menjadi huruf miring dengan cara memberi garis bawah
pada kata atau kelompok kata yang akan dimiringkan. Pada margin
dituliskan kata ‘miring’ atau ‘italik’.
28
TABEL MARKAH RALAT
kata
ganti kata Ganti istilah
balikkan
balikkan huruf membeli kepala
sambungkan
Pindahkan bagian pada
baris yang sama.
29
Tanda pada Instruksi Tanda pada Teks
Margin
set subskrip
menjadi H2O
set superskrip
suhunya 30oC
sisipkan koma
Untuk itu diperlukan suatu strategi
mengatasi lonjakan permintaan.
30
Tanda pada Instruksi Tanda pada Teks
Margin
kurangi kurangi spasi antarbaris Spasi yang terlalu lebar juga sulit
untuk dibaca.
31
Saya belajar dan berlatih menggunakan marka ralat sejak tahun 1991
(Bambang Trim)
32
03
INTUISI MENGEDIT
S
aya sangat merasakan efek dari menggunakan markah
ralat secara terus-menerus. Intuisi mengedit saya
muncul dan menguat. Sejak belajar di Prodi D-3 Ed-
iting, Unpad, saya selalu membawa bolpoin merah ke mana
pun.
Apa yang saya lakukan mungkin sangat berlebihan kala itu.
Jadi, ketika menemukan poster di jalan yang biasa dipasang
di papan pengumuman, saya mengeditnya dengan markah
ralat. Apabila mendapatkan selebaran informasi atau pro-
mosi, saya pun mengeditnya.
Dosen saya pun ada yang mengajarkan demikian dalam
mata kuliah Praktik Penyuntingan. Setiap ia menemukan se-
barang cetakan, apakah itu surat undangan, selipat (leaflet),
atau selebaran, ia tugaskan kami mengeditnya. Kemudian,
setelah itu baru dibahas.
33
CARA SAYA BERLATIH
J
ika ditanyakan bagaimana saya berlatih menggunakan markah
ralat, begitulah seperti yang saya ceritakan bahwa saya ke mana
pun, bahkan hingga kini, selalu membawa bolpoin atau spidol
merah. Saya akan mulai mengedit ketika menemukan materi tertulis.
Memang saat ini pengeditan dengan markah ralat yang saya
lakukan sudah mulai berkurang. Umumnya kini untuk mempercepat
proses, saya menggunakan fitur Review yang terpasang di Word un-
tuk mengedit. Kali lain saya juga menggunakan Adobe Acrobat untuk
mengedit berkas dalam format PDF.
Namun, penggunaan markah ralat tetap saya pertahankan untuk
mengasah intuisi saya dengan bekerja mekanis secara manual. Ada
kenikmatan tersendiri apabila saya menggunakan tangan langsung
untuk membubuhkan coretan. Hal ini mungkin sama dengan para
ilustrator yang merasakan sensasi berbeda antara bekerja dengan
bantuan komputer atau bekerja full dengan tangan.
Saat ini banyak sekali dokumen yang memerlukan pengeditan, ti-
dak terkecuali dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah.
Hal ini menunjukkan betapa lemahnya kemauan atau kemampuan
mengedit pada personel-personel yang bertugas menulis sekaligus
memublikasikan dokumen.
34
Dokumen surat edaran yang sempat menghebohkan
dan viral di dunia maya (Bambang Trim)
35
Tentu dapat diperdebatkan apakah tindakan saya mengeposkan
editan penuh coretan itu etis atau tidak. Adapun surat itu sendiri oleh
Kepala Staf Kepresidenan, Pak Muldoko, dianggap melanggar etika
birokrasi. Saya memang tidak berniat membahas isi surat tersebut
karena hanya ingin menyoroti tata bahasa dan tata tulis.
Intuisi keeditoran saya bereaksi ketika melihat surat itu, apa-
lagi di dunia maya yang luar biasa. Akan tetapi, karena beragamnya
warganet, saya pun kini agak menahan diri untuk mengedit tulisan
orang, baik berupa status di media sosial maupun berupa dokumen.
Umumnya kita memang tidak suka dikoreksi, apalagi disalahkan.
Saya juga kerap melakukan kesalahan berbahasa dan kesalahan
tik di media sosial. Alasan semacam pembelaan diri adalah karena
terburu-buru atau menyebut itu tulisan sekali jadi, langsung pos. Me-
mang situasi kondisi saat kita menulis berpengaruh.
Jika ada yang mengkritik, saya pasang emoji tersenyum atau ter-
tawa saja, lalu mengeditnya. Tidak perlu diperpanjang dan tidak perlu
merasa geram dikoreksi orang lain. Mungkin orang itu memang se-
dang berlatih menjadi editor atau memang sedang perlu mencari-
cari kesalahan orang. Hehehe.
36
MENAJAMKAN INTUISI
A
pakah sama antara intuisi dan naluri? Mirip, tetapi tidak sama.
Di KBBI intuisi diberi makna “daya atau kemampuan menge-
tahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipela-
jari; bisikan hati; gerak hati”. Adapun naluri lebih bersifat alamiah ter-
tanam pada diri seseorang—mungkin ada yang tajam dan ada yang
tidak.
Ada satu kata lagi yang mengandung makna mirip yakni ‘firasat’.
Kata ‘firasat’ di KBBI salah satunya bermakna “kecakapan mengeta-
hui (meramalkan) sesuatu dengan melihat keadaan (muka dan se
bagainya)”.
Jadi, editor itu sejatinya memiliki intuisi, naluri, atau firasat?
Mungkin ketiga dan mungkin pula salah satunya yang menonjol. Con-
toh editor yang punya firasat bagus itu ya seperti Max Perkins. Ia
mampu melihat potensi seorang penulis dan melejitkannya.
Kalau saya mengatakan memiliki intuisi mengedit tanpa pernah
mempelajarinya, tentu hal ini terlalu berlebihan. Jadi, daya untuk
mengetahui atau memahami sesuatu keliru secara cepat (tiba-tiba)
pada naskah itu muncul karena saya intens belajar dan berlatih sebe-
lumnya.
Sering kali terjadi pada saya yang mungkin tidak dapat saya jelas-
kan bagaimana terjadinya ketika saya membaca naskah pada satu
baris, tetapi mata saya justru menangkap kesalahan pada baris lain.
Apa yang terjadi pada diri saya itu mungkin pas disebut tacit knowl-
edge dalam bidang pengeditan—pengetahuan yang dimiliki seseorang
37
yang terbentuk secara lateral, susah untuk dijelaskan dan diajarkan
kepada orang lain.
Saya ceritakan pula di sini bagaimana saya mengingat informasi
di sebuah buku, lalu menyimpannya. Ajaibnya informasi itu muncul
ketika saya ingin menulis buku atau ketika orang lain mendiskusikan
gagasannya menulis buku. Dengan cepat saya langsung mencari buku
itu dan menemukan rujukan di sana.
Terkait kebahasaan, Kunjana Rahardi (penulis buku penyuntingan
bahasa), pernah mengungkap istilah intuisi linguistik—semacam daya
menggunakan bahasa yang baik dan benar, termasuk menemukan
kesalahan berbahasa. Daya ini saya kira muncul karena rasa cinta dan
hasrat menggebu seseorang untuk mengerti dan memahami perso
alan kebahasaan.
Begitu pula dengan penyuntingan atau pengeditan yang lebih ru-
mit lagi karena bukan sekadar masalah kebahasaan. Seseorang harus
mau dan mampu bergumul dengan teks; mempersunting dan meni-
kahinya.
Terima kasih telah membaca Buku “Kurang Pintar” ini. Semoga
Anda semakin pintar dan bernas.
38
Daftar Pustaka
39
Penulis Kurang Pintar
40