Anda di halaman 1dari 3

Judul: ​Lembar Jawaban Kita

Topik​:
- Realistis vs idealis
Lembar Jawaban Kita menggambarkan secara gamblang realita sistem pendidikan di
Indonesia. Ketika integritas yang dijunjung dilunturkan oleh kepentingan-kepentingan
publik (realistis), kebenaran berubah buram dan sulit untuk ditentukan. Padahal dari usia
dini kita sudah disuguhkan norma-norma yang mana yang benar dan mana yang salah
(idealis), tapi bagaimana jadinya kalau batasannya dibuat keruh? Yang katanya benar
dibuat salah, dan yang salah dianggap benar?
Isi:
OPENING
a) Perkenalan
b) Perkenalan singkat topik + judul film

ISI
a) Sinopsis film
Lembar Jawaban Kita adalah film pendek yang menceritakan skema ujian nasional di
sebuah SD Negeri. Dibuka dengan suasana yang menegangkan seperti
sebagaimananya ujian nasional berlangsung, keadaan berubah ketika di tengah
keheningan ujian, secarik kertas isi jawaban diam-diam diputar ke seantero kelas.
Hanya satu anak, Ali, yang tidak ikut aksinya.
b) Sisi menarik film
Disertai warna yang redup dan musik yang mendukung, suasana ujian dibuat
menegangkan. Di awal film, gerak kamera yang shaky dan ​ground level shot yang
menunjukkan sepatu yang menapak cepat-cepat memberi kesan kita dibawa ke suatu
tempat yang ketat. Paket kertas ujian dibawa buru-buru, ditemani polisi pula, lalu
gerbang ditutup. Namanya Ujian Nasional: berskala besar. Bukan ujian akhir sekolah
saja, tapi seluruh anak sekolah di seantero negeri menjadi partisipannya. Namun, di
balik ketegangan yang ditampilkan, murid-murid terlihat acuh tidak acuh. Bahkan
bersenda gurau di luar ruang ujian. Kenyataannya bukan mereka yang berada di ujung
tanduk, tapi pihak sekolah yang mengedepankan citra mereka, ditentukan oleh apa yang
ditulis oleh para muridnya pada lembar jawaban Ujian Nasional.
c) Bahasan terkait topik
● Idealis
(scene film)
Cuma satu anak yang gak nyontek di film ini: dia juga yang dari awal terlihat
paling gugup dan waswas. Dari dia belajar di luar kelas sebelum ujian mulai,
natap muka ibunya yang juga waswas di luar, seolah nyemangatin anaknya kalo
“kamu harus ngelakuin hal yang bener, ngerjain dengan jujur”. Seakan-akan Ali
dan ibunya udah tau skema ujian nanti kayak gimana, contek menyonteknya,
dan jawaban ujian yang dikasih oleh sekolah. Gimana nggak, sistem
mempertahankan citra sekolah sampe tahap mastiin semua muridnya
lulus/punya nilai bagus walau dengan cara curang sudah jadi rahasia umum.
(sumber eksternal)
Kejadian yang sama banyak terjadi di dunia nyata. Ambil aja contoh kasus yang
sempat banyak dibicarain di tahun 2011, anak SD Gadel 2 Surabaya namanya
Alif yang melapor ke orang tuanya tentang contek massal di sekolahnya. Dia
melaporkan bahwa ada instruksi guru untuk memberi jawaban ke semua
teman-temannya. Yang menyedihkan, akhirnya laporannya tidak banyak
ditanggapi oleh pemerintah. Alih-alih, Alif dan keluarganya malah dikucilkan oleh
warga sekitar karena menyebabkan dua guru dan kepala sekolah di SDN Gadel
2 dicopot status pekerjaannya. Ada juga kasus serupa di SDN di Jakarta, Abrari,
yang dipaksa untuk menyebarkan contekan Ujian Nasional dan memilih untuk
melaporkan langsung kepada pejabat Pemprov DKI Jakarta.
(pembahasan)
Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kenapa perilaku menyontek dilarang.
Prosesnya instan, tidak etis, dan tidak adil untuk orang lain yang belajar dengan
sungguh-sungguh. Di film ini integritas yang udah diajarkan dari dini
dipertanyakan: apa yang bakal kamu lakukan kalo semua orang menyontek?
Tetep bertahan sama integritasmu, atau ikut dengan sistem? Di film Lembar
Jawaban Kita, Ali memilih untuk mempertahankan integritasnya. Dia melakukan
apa yang secara ideal benar, gak make kertas isi jawaban yang dibagiin dan
ngerjain seadanya dengan jujur,, meskipun lembar jawabannya belum terisi
penuh. Ali menggambarkan Alif, Abrari, dan semua anak-anak yang tetap jujur di
antara ribuan contekan-contekan Ujian Nasional.Mereka tetap
mengatasnamakan kejujuran, tidak peduli akibat-akibat yang mengikuti.
● Realistis
(pembahasan)
Mencontek adalah salah satu cara untuk mendapat nilai yang bagus, apalagi
kalau dilakukan bersama-sama, yang diuntungkan juga banyak orang. Kalau
banyak murid dalam satu sekolah nilainya sama-sama cemerlang, nama sekolah
yang bersangkutan juga tidak akan kalah cemerlang. Namun, hal itu hanya
berlaku jika pihak yang seharusnya kontra terhadap tindakan mencontek
(misalnya, pihak pengawas ujian) menormalisasi perbuatan ini dan menutup
mata atau justru terlibat dalam pelaksanaan hal ini.
(scene film)
Seperti yang terlihat pada film ini, sang pengawas ​instead of benar-benar
melakukan pengawasan ujian dengan serius--yang sebenarnya memang tujuan
utama beliau ada di situ, sebagai pengawas ujian-- tapi malah fokus ngerjain hal
lain (mencorat-coret kertas). Saat ada murid yg grasak-grusuk saat melancarkan
aksi mencontek, sang guru hanya berdiri dari duduknya tanpa menghampiri
langsung tempat kejadian. Entah ia ingin para murid dan sekolah terkait
mendapat nilai yang bagus, atau ia hanya melakukan pengawasan ujian demi
formalitas. Yang pasti, keduanya menunjukkan sikap menormalisasi tindak
kecurangan tersebut.
(sumber eksternal)
Seperti salah satu ucapan tokoh di film Bad Genius, suatu perbuatan disebut
kecurangan jika ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam konteks kedua film ini,
perbuatan tersebut adalah tindakan mencontek. Di film bad genius juga bisa
dilihat beberapa manfaat dari tindakan mencontek massal yang terorganisir.
Pihak yang diberi contekan bisa lulus dari suatu tes dan alhasil bisa
membanggakan orang tua. Pihak yang memberi contekan bisa meraup
keuntungan (dalam bentuk uang) dalam nominal yang tidak sedikit dan akhirnya
bisa dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya. Sama seperti pada film Lembar
Jawaban Kita. Pihak murid yang mendapat contekan akan mendapat nilai bagus,
dan pihak sekolah yang mewadahi tindakan mencontek akan mendapat citra
yang bagus pula (asalkan tidak ketahuan). Jadi, kalau memang mau
mengesampingkan hati nurani, banyak hal baik (secara duniawi) yang bisa
dipetik dari perbuatan buruk ini.

CLOSING
Dari film ini, bisa dilihat bahwa mencontek tidak hanya dapat dilakukan oleh murid yang ingin
bernilai bagus, namun mungkin juga dicampur tangani pihak yang lebih tinggi, misalnya para
guru. Secara realistis, mencontek memang membantu memperbagus citra (baik sekolah
maupun diri sendiri)--seperti yang dilakukan mayoritas murid di sekolah ini. Tapi sebenarnya,
dipertanyakan lagi integritas masing-masing ketika kecurangan berlangsung. Untuk ikut terlibat
dalam tindak kriminal ini ataupun tidak, balik lagi ke hati nurani masing-masing individu.

Anda mungkin juga menyukai