Anda di halaman 1dari 11

Nama : Alvin Sandyka .

NIM : 18413241023

Kelas : A 2018

UJIAN AKHIR SEMESTER

SOSIOLOGI GENDER

1. Dari tugas podcast kelompok yang dibuat, pengalaman berharga (lesson learned)
apa yang dapat anda ambil dalam proses wawancara dengan narasumber?
Silahkan ceritakan!
Jawab:
Dari penugasan kelompok dengan hasil akhir produk podcast yang telah diunggah di
platform Spotify dan Instagram TV, yang dapat saya ambil dalam proses wawancara
dengan narasumber yaitu mengenai perihal kesetaraan gender yang ternyata juga
disebutkan dalam agama, dalam hal ini agama Islam pada materi pembahasan podcast
kelompok saya. Hal-hal dan pengalaman yang menurut saya berharga dari pembahasan
podcast yang kelompok kami buat yaitu hal-hal mengenai peran perempuan dalam Islam,
dan kepemimpinan perempuan dalam Islam.
Peran perempuan dalam Islam selama ini yang saya ketahui itu perannya kurang
menyeluruh, dan perannya hanya ada di bidang tertentu saja khususnya bidang atau
urusan rumah tangga. Dengan adanya pembahasan podcast ini saya lebih memahami
bahwa peran perempuan dalam perspektif Islam itu sebenarnya perannya sama atau
sederajat dengan laki-laki apabila menyangkut bidang dalam kehidupan seperti bidang
urusan publik (umumnya bagian pekerjaan), domestik (urusan dalam rumah tangga), dll.
Peran laki-laki yang selama ini di mata orang-orang menganggap bahwa laki-laki harus
melindungi perempuan itu sebenarnya kurang benar, Bu Alimatul Qibtiyah
mengungkapkan pada podcast ini bahwa laki-laki dan perempuan keberadaannya itu
harusnya mereka saling melindungi satu sama lain, jadi jangan hanya bergantung pada
laki-laki saja. Mungkin peran perempuan untuk melindungi itu dapat diwujudkan dalam
hal-hal tertentu yang dapat membuat keberadaan atau kondisi laki-laki itu merasa aman
seperti contohnya dengan adanya seorang ibu yang melindungi anak laki-lakinya. Tidak
hanya melindungi, namun laki-laki dan perempuan itu harusnya juga saling menghargai,
saling mencintai, dan melakukan hal-hal kebaikan yang lainnya agar tercipta hubungan
maupun lingkungan yang damai serta tentram. Jadi, posisi antara laki-laki dan perempuan
itu hakikatnya sama keberadaannya di hadapan Allah SWT. Kemudian perihal dalam
sektor atau ranah publik, sebenarnya perempuan juga diperbolehkan untuk bekerja di
sektor publik. Sehingga, peran perempuan tidak harus melulu di ranah rumah tangga saja
dan laki-laki yang di ranah publik dalam mencari nafkah untuk keluarga. Namun, mereka
sebenarnya dalam berkeluarga harusnya dapat berkomunikasi, membicarakan dengan
baik-baik dalam hal mengatur keluarga dan rumah tangganya.
Kemudian mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam, perempuan juga
sangat diperbolehkan untuk menjadi pemimpin baik dalam ranah keluarga, publik,
kelompok/organisasi, dan lainnya dengan catatan yaitu selama kapasitasnya sangat
memadai untuk menjadi seorang pemimpin. Menurut saya, juga adanya hal seperti itu
saya sangat setuju karena selama ini banyak juga pemimpin laki-laki yang tidak memiliki
kapasitas seorang pemimpin dan akhirnya peran dan tanggung jawabnya dalam
memimpin kurang baik. Dalam pandangan saya, menjadi seorang pemimpin itu memang
tidak memandang apa jenis kelaminnya, namun apakah orang tersebut memang memadai
dan memiliki kapasitas sebagai seorang pemimpin sehingga jabatan yang nantinya
diemban dapat dilaksanakan dengan baik. Kapasitas pemimpin yang ideal menurut saya
ialah pribadi yang memiliki softskill berupa kemampuan leadership, tegas, disiplin,
bertanggung jawab, komunikatif, serta dapat dipercaya oleh orang-orang yang akan
dipimpinnya. Maka dari kapasitas tersebut, tidak memungkinkan bahwa perempuan itu
dapat dan sangat memiliki potensi untuk menjadi pemimpin.
2. Dari beberapa teori feminisme yang telah dipelajari, mulai dari gelombang
pertama, kedua, hingga ketiga. Menurut anda, mana yang paling bisa diterapkan
untuk permasalahan kesenjangan gender di Indonesia? Jelaskan...
Jawab:
Dari adanya beberapa teori feminisme yang ada mulai dari gelombang pertama, kedua,
hingga ketiga, menurut saya jika disesuaikan dengan permasalahan kesenjangan gender
yang ada di Indonesia, saya rasa yang paling bisa diterapkan yakni teori feminisme
eksistensialis yang mana ada pada feminis gelombang kedua. Dalam gerakan feminis
gelombang kedua lebih membahas dan memberikan dorongan kepada perempuan untuk
mencapai kedewasaan, identitas, dan keutuhan diri. Untuk teori yang dapat diterapkan
mungkin lebih ke teori feminisme eksistensial, karena menurut saya, banyak perempuan
di Indonesia yang masih belum bisa mandiri dan selalu menjadi objek di mata laki-laki.
Padahal, keberadaan manusia itu selalu ditentukan oleh dirinya sendiri, sehingga ia
sendirilah yang mampu mewujudkan eksistensinya, yang harusnya sadar akan dirinya dan
tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
Dalam eksistensialisme yang merupakan aliran dalam ilmu filsafat yang
menekankan pada manusia, yang mana manusia dipandang sebagai makhluk yang harus
bereksistensi dengan akal dan kesadarannya secara penuh. Untuk permasalahan
kesenjangan gender yang ada di Indonesia, saya melihat bahwa keberadaan perempuan
saat ini masih merasa senang untuk menjadi objek dari laki-laki. Dimana kalau setahu
dan sepenglihatan saya, mereka berusaha untuk tampil cantik dan mempesona dihadapan
laki-laki dengan segala usaha dan apapun yang dapat mereka gunakan agar kemudian
dapat menikah dan ia akhirnya menjadi ibu rumah tangga biasa. Bukannya saya
merendahkan usaha perempuan tersebut untuk dandan seperti itu dan menganggap hal
tersebut adalah hal yang sia-sia, namun menurut saya, kaum perempuan tentu juga pasti
memiliki potensi lain yang lebih baik di bidang lain yang dapat mereka peroleh dan latih,
tentunya mereka harus sadar terlebih dahulu akan potensi tersebut maupun keinginan
yang dicapainya. Mungkin perempuan juga ingin lebih memposisikan diri dan mengalah
terhadap adanya patriarki yang masih kental di bidang yang ia inginkan sehingga mereka
mengurungkan niat atau keinginannya tersebut. Lamanya budaya patriarki yang ada pada
suatu bidang, tentu akan menghambat eksistensi perempuan menjadi terhambat. Namun
jika mereka tidak mencoba speak up dan hanya menerima budaya tersebut saja, ya tidak
akan merubah apapun. Untuk itu, sangat penting untuk membangkitkan kesadaran kaum
perempuan akan keberadaannya dan menggali potensinya yang lain, agar ia mampu hidup
mandiri dan juga jangan sampai hanya menjadi objek bagi laki-laki.

3. Perhatikan artikel dari Katadata.com berikut ini!


Pandemi Covid-19 membuat perempuan semakin rentan menjadi korban
kekerasan. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Angka ini setara
dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019. Mayoritas laporan masuk pada April
atau bulan kedua kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berjalan di
sejumlah daerah Indonesia. Angkanya mencapai 232 laporan. Lebih banyak dari bulan
sebelumnya yang 181 laporan. Sedangkan, pada Mei sebanyak 207 laporan. Ranah kasus
kekerasan paling banyak dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT)/ranah personal (RP). Persentasenya mencapai 69% dari total kasus sepanjang
Januari-Mei 2020. Disusul kekerasan di ranah komunitas (30%) dan negara (1%).Bentuk
KDRT/RP yang paling banyak berupa kekerasan psikis, yakni 398 laporan. Lalu, jenis
paling banyak adalah kekerasan terhadap istri, yakni 170 laporan.
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah kepada Katadata.co.id, Jumat
(18/9), menyatakan hal ini terjadi lantaran PSBB dan penurunan tingkat ekonomi atau
penghasilan membuat ketegangan dalam hubungan suami-istri meningkat. Hasil survei
daring Komnas Perempuan periode April-Mei 2020 terhadap 2.285 orang laki-laki dan
perempuan menyatakan, 10,3% responden mengaku hubungannya dengan pasangan
semakin tegang sejak pandemi Covid-19. Dari angka tersebut, 12% adalah pasangan yang
telah menikah. Berdasarkan tingkat perekonomian, pasangan yang berpenghasilan di
bawah Rp 5 juta dua kali lebih banyak mengaku hubungannya semakin tegang
dibandingkan yang berpenghasilan di atas Rp 5 juta. Sebuah hal yang mengindikasikan
faktor perekonomian berkorelasi dengan tingkat keharmonisan rumah tangga selama
Covid-19. Tekanan ekonomi memang paling dalam dirasakan masyarakat berpenghasilan
di bawah Rp 5 juta. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Juni menyatakan, 70,53%
masyarakat berpenghasilan Rp 1,8 juta pendapatannya turun. Disusul penduduk
berpendapatan Rp 1,8 juta-3 juta (46,77%) dan penduduk berpendapatan Rp 3 juta-4,8
juta (37,19%). Sebaliknya, hanya sekitar 30% penduduk berpendapatan di atas Rp 5 juta
yang pendapatannya turun.
Artikel ini telah tayang di katadata.co.id dengan judul "Kekerasan terhadap
Perempuan di Masa Covid-19 -Analisis Data Katadata" ,
https://katadata.co.id/0/analisisdata/5f69619121b54/kekerasan-terhadap-perempuan-di-
masa-covid-19
Penulis: Muhammad Ahsan Ridhoi
Berdasarkan artikel tersebut, berikan analisis yang mendalam
menggunakan analisis gender (5 bentuk analisis gender) yang telah dibahas dalam
perkuliahan!
Jawab:
Menurut artikel di atas yang mana membahas mengenai kekerasan terhadap
perempuan di masa pandemi covid-19 yang semakin meningkat jika dianalisis
menggunakan bentuk analisis gender bagian aktivitas yakni menurut saya dalam suatu
keluarga kebanyakan di Indonesia yang mana masih banyak kepala keluarganya dan juga
yang bekerja untuk memperoleh pendapatan itu adalah seorang ayah, maka tentu ia harus
wajib menjadi pemimpin keluarga yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya. Berbeda dengan peran ibu dalam keluarga kebanyakan yang mengurusi
urusan rumah tangga, mengurus anak, mengurus keuangan yang diperoleh dari
pendapatan suami, dll. Nah, di masa pandemi ini tentu banyak bisnis yang menghentikan
usahanya, kemudian banyak juga perusahaan yang merumahkan atau melakukan PHK
kepada banyak karyawannya, dll. Sehingga banyak orang terutama yang berkeluarga
terpaksa kesulitan memenuhi kebutuhannya sedangkan ia sudah tidak punya pekerjaan
dan pemasukan. Hal tersebut tentunya memicu terjadinya ketegangan dalam keluarga
karena kondisi ekonominya sulit, dan dari situlah dapat berpotensi terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, dan menurut artikel di atas tadi kebanyakan korbannya ialah
perempuan. Berikut ini merupakan analisis kasus kekerasan yang terjadi sesuai artikel di
atas menggunakan analisis gender:
a. Analisis Aktivitas
Dalam analisis aktivitas ini, yang mana jika dikaji misalnya dalam sebuah
keluarga, perempuan umumnya hanya menjadi ibu rumah tangga sehingga ia
tidak mendapatkan penghasilan berupa uang untuk memenuhi kebutuhan.
Sedangkan pria (suami atau ayah) umumnya menjadi kepala keluarga dan juga
mempunyai pekerjaan untuk menafkahi keluarganya, namun karena dalam
kondisi pandemi pendapatan yang ia terima kemungkinan berkurang atau malah ia
kehilangan pekerjaannya karena di-PHK. Sementara kebutuhan keluarga harus
tetap terpenuhi, sehingga akhirnya ia bingung mau mencari pekerjaan atau
pendapatan dimana lagi, karena lowongan pekerjaan di masa pandemi juga tidak
banyak karena kondisi ekonomi juga terhambat akibat adanya pandemi covid-19
yang tidak kunjung usai. Sehingga di dalam keluarga tersebut berpotensi
terjadinya keributan karena tidak adanya pendapatan atau pemasukan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, dan dari situlah berpotensi juga terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga yang mana menurut laporan artikel kebanyakan
dilakukan oleh pria terhadap perempuan dalam sebuah keluarga. Menurut saya,
yang lebih berpotensi untuk melakukan suatu kekerasan dalam rumah tangga ialah
seorang pria dalam hal ini ialah ayah atau suami, dan kemungkinan yang ia
lakukan ialah memukul atau melakukan kekerasan terhadap istrinya maupun
anaknya yang mengeluh maupun protes perihal kebutuhan keluarganya yang
kurang tercukupi di masa pandemi covid-19 ini.
b. Analisis Manfaat
Dalam analisis manfaat ini, jika kita melihat dari sebuah keluarga yang mana
seorang ayah sebagai kepala keluarga dan juga yang mencari nafkah, sedangkan
ibu sebagai yang mengurusi rumah tangga, dan juga dalam keluarga tersebut
terdapat beberapa anak juga. Jika dilihat dengan analisis manfaat ini, maka yang
menjadi pemanfaat, penikmat, maupun mendapat keuntungan adalah seluruh
anggota keluarga tersebut. Karena sudah pasti mereka mendapat nafkah yang
didapat dari pekerjaan ayah. Namun jika ditinjau dari adanya kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang mana dilakukan oleh pelaku yang kemungkinan besar
adalah pria (suami) kepada perempuan (istri) maka yang mendapat manfaat ialah
si pelaku tersebut yang melakukan kekerasan tersebut. Manfaat yang didapatkan
pelaku tersebut mungkin sebatas peluapan emosi dan kepuasannya saja, perihal
hukuman yang didapatnya nanti jika ia dilaporkan ia pasti tidak kepikiran akan
hal tersebut pada waktu melakukan kekerasan tersebut karena ia terbawa emosi,
suasana, dan juga situasi pada saat itu.
c. Analisis Akses
Dalam analisis akses, apabila kita melihat kasus kekerasan tadi terjadi di sebuah
keluarga dimana seorang ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah,
sedangkan ibu sebagai yang mengurus rumah tangga keluarga tersebut maka yang
lebih menjangkau peluang untuk menjangkau urusan politik dan sosial keluarga
itu harusnya ayah, karena ia sebagai kepala keluarga yang memimpin keluarga
dan juga harus memperhatikan anggota keluarganya. Nah, apabila terjadi
kekerasan dalam rumah tangga keluarga tersebut, yang paling menjangkau juga
harusnya si ayah. Karena dalam masa pandemi covid-19 ini tentu apabila dalam
keluarga tersebut sedang dalam kondisi ekonomi yang sulit juga, maka ia juga
berpotensi untuk emosi, lelah dengan keadaan, sulit memperoleh pendapatan
maupun pekerjaan untuk menghidupi keluarga, sehingga ia bisa saja meluapkan
emosi tersebut pada anggota keluarganya dengan cara-cara kekerasan.
d. Kontrol
Dalam hal kontrol, sebenarnya baik pria maupun perempuan pasti mempunyai
kuasa kontrol perannya dalam keluarganya. Jika melihat kebanyakan keluarga di
Indonesia yang masih seorang ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah
serta ibu sebagai yang mengontrol keuangan dan rumah tangga dalam keluarga,
menurut saya yang lebih dominan dalam memiliki kontrol untuk mengatur segala
urusan dalam keluarga ialah seorang ayah, karena ayah merupakan seorang
pemimpin keluarga, dan juga ialah yang mencari nafkah dengan bekerja yang
kemudian memperoleh pendapatan. Apabila sebelum terjadi kekerasan dalam
rumah tangga, seharusnya masing-masing anggota keluarga dapat untuk
mengontrol emosi dan egonya masing-masing. Namun apabila benar-benar terjadi
kekerasan tersebut, jika permasalahan tidak dapat diselesaikan secara
kekeluargaan, maka pihak dari keluarga maupun adanya saksi yang melihat
kejadian tersebut haerusnya melaporkan kejadian tersebut pada pihak kepolisian
untuk diusut lebih lanjut. Kemudian apabila sudah diselidiki lebih lanjut, maka
pihak pengadilan harusnya bersikap adil dan jujur dalam menangani kasus
tersebut dan menjatuhkan hukuman yang tepat pada pelaku. Disini kita dapat
melihat bahwa apabila kasus kekerasan yang terjadi di rumah tangga tersebut
dilaporkan, maka pihak kepolisian dan pihak pengadilan juga memiliki kontrol
terhadap pelaku kekerasan. Pihak kepolisian memiliki kontrol yang dominan
dalam menyelidiki kasus kekerasan hingga selesai penyelidikan, dan juga pihak
pengadilan mempunyai kontrol yang dominan pula setelah penyelidikan tersebut
untuk kemudian pelaku kekerasan tersebut diadili di pengadilan.
e. Dampak
Dalam hal dampak, apabila kita melihat kasus kekerasan tadi terjadi di sebuah
keluarga dimana seorang ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah,
sedangkan ibu sebagai yang mengurus rumah tangga keluarga tersebut, serta
mereka memiliki beberapa anak, dan kemudian telah terjadi kekerasan dalam
rumah tangga dalam keluarga tersebut. Maka, dampak negatifnya untuk keadilan
dan kesetaraan gender adalah (1) Semakin pudarnya kesetaraan gender yang ada
dalam lingkup keluarga tersebut, yang mana dapat dilihat dengan terjadinya
kekerasan tersebut; (2) stigma perempuan sebagai makhluk yang lemah di mata
masyarakat makin kuat, karena apabila korban dari kekerasan tersebut adalah
perempuan maka stigma, stereotipe, sifat perempuan yang terbentuk dari budaya
dan juga media yang mana dianggap makhluk yang lemah, lembut, penurut, dll
tersebut akan makin benar keadaannya; (3) Pria sebagai makhluk atau manusia
yang stigma, stereotipenya yang dianggap berani, kuat, dll dapat dilabeli juga
dengan label berbuat seenaknya dengan kekuatannya, mementingkan otot maupun
kekuatan saja namun tidak bermain otak, dll. Kemudian untuk dampak positifnya
mungkin dengan adanya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi tersebut dan
pelaku sudah diadili dengan seadil-adilnya, lalu pelaku sudah mengakui dan tidak
mengulang kesalahannya, maka berpotensi untuk menciptakan hubungan yang
lebih harmonis dan lebih mengerti serta menjunjung kesetaraan gender.
4. Dalam pemberitaan tersebut, jelaskan bagaimana bentuk bias gender dalam berita
yang ditulis. Bagaimana dampak pemberitaan tersebut bagi mengakarnya “rape
culture”di masyarakat kita!
Artikel lengkap: https://jatim.suara.com/read/2020/06/30/160529/wanita-dicegat-7-
pemuda-saat-jalan-sendirian-diperkosa-ramai-ramai
Jawab:
Bentuk bias gender dalam berita yang ada pada artikel tersebut adalah berupa
kekerasan atau violence yakni tindakan kekerasan terhadap korban yang mana seorang
wanita. Kekerasan yang didapat wanita tersebut berupa secara fisik berupa perlakuan
pemerkosaan yang dilakukan oleh 7 orang pelaku yang merupakan pria. Wanita korban
pemerkosaan tersebut awalnya dicegat di sebuah jalan yang sepi di desa, yang mana
kalau menurut pandangan saya sudah pasti para pelaku pemerkosaan tersebut sudah
merencanakan hal tersebut dan mereka itu masih memiliki pemikiran serta menganggap
bahwa perempuan itu memiliki sifat feminim yang lemah, lembut, penurut, dll. Sehingga
para pelaku melancarkan aksinya tersebut. Yang dapat saya pahami ialah ternyata
pembedaan karakter maskulin dan feminim tersebut berpotensi melahirkan tindakan
kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, hal tersebut dapat diartikan
sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Adanya
anggapan bahwa perempuan itu penurut, dapat menyebabkan perlakuan yang semena-
mena juga dengan wujudnya dapat berupa tindakan kekerasan tertentu.
Dampak pemberitaan tersebut bagi mengakarnya rape culture di masyarakat kita
adalah jika reaksi yang ditimbulkan pembaca dan masyarakat secara luas yang
menyalahkan si wanita sebagai korban dengan berbagai alasan seperti: “kok bisa sih dia
sendirian jalan malem-malem di tempat sepi?”, “kenapa dia nggak melawan atau
menolak mereka?”, dan lain sebagainya. Menurut saya, sang korban masih mending
dengan memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang ia timpa tersebut ke
kepolisian, bayangkan ada berapa kasus yang serupa namun korban tidak berani melapor
karena ia takut dengan adanya stigma negatif di masyarakat kita akan hal tersebut, seperti
adanya anggapan bahwa jika ia pernah menjadi korban pemerkosaan ia tidak mempunyai
masa depan, tidak mempunyai teman, dikucilkan oleh lingkungan, dll. Padahal mereka
kan sebenarnya adalah korban, mereka tidak menginginkan juga hal tersebut terjadi
padanya. Mereka sebenarnya butuh keadilan baik secara hukum untuk para pelakunya
maupun secara sosial yang menyangkut tindakan masyarakat sekitar terhadapnya dan
juga masa depannya.
Kalau menurut saya, adanya reaksi, komen, dan perlakuan lain yang dikatakan
oleh netizen pembaca artikel tersebut tentu sangat mempengaruhi kondisi psikis korban,
jadi dengan adanya hal-hal yang justru memojokkan korban semakin nampak adanya bias
gender dalam hal ini kekerasan, dan juga budaya rape culture ini yang makin terlihat
jelas. Alangkah lebih baiknya apabila kita jangan selalu menyalahkan korban, karena ia
pun tidak tahu atau memperkirakan pada waktu itu akan terjadi hal tersebut. Yang
seharusnya menjadi titik fokus dalam sebuah violence atau kekerasan berupa
pemerkosaan ini ialah para pelakunya, yang mana mereka secara berkelompok pasti
sudah merencanakan perbuatan tersebut. Nah, rape culture di masyarakat akan
berkembang apabila penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tidak
menemukan pelaku pemerkosaan, dan juga apabila pelakunya sudah ditemukan namun
tidak mendapat hukuman yang pantas dengan perbuatan yang telah mereka lakukan,
dalam hal ini menyangkut ketegasan hukum oleh lembaga hukum. Apabila terjadi reaksi
yang menyalahkan korban pemerkosaan tersebut di masyarakat, lalu dari pihak kepolisian
kesulitan dalam penyelidikan pelaku, dan juga lembaga hukum yang tidak tegas
menangani kasus pemerkosaan ini, maka menurut saya adanya rape culture di Indonesia
akan makin meningkat.
Sumber Referensi:
- Afandi, Agus. 2019. Bentuk-bentuk Perilaku Bias Gender. Jurnal Unesa
(diakses pada Rabu, 23 Desember 2020 Pukul 16.35 WIB)
Link: https://journal.unesa.ac.id/index.php/JOFC/article/view/6819/3288
- Iftihal Muslim Rahman. 2020. Bahaya Banget! Rape Culture Ini Gak Boleh
Dilanggengkan Terus!. Herstory.co.id
(diakses pada Kamis, 24 Desember 2020 Pukul 09.02 WIB)
Link:https://herstory.co.id/read4620/bahaya-banget-rape-culture-ini-gak-boleh-
dilanggengkan-terus
- Sasiana Gilar. 2020. Powerpoint Relasi dan Analisis Gender. Besmart.uny.ac.id
(diakses pada Kamis, 24 Desember 2020 Pukul 09.41 WIB)
Link: http://besmart.uny.ac.id/v2/mod/resource/view.php?id=369908

Anda mungkin juga menyukai