Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“DEMOKRASI ELEKTORAL DAN PILKADA LANGSUNG”


Tema : Sinergi dan Kolaborasi Pemimpin di Era Demokrasi
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Latihan Kepemimpinan Mahasiswa Upi
Kampus Cibiru 2020

Disusun Oleh :
R. Moch Rizky Sunandar Saputra Hana Nur Shofiyah
Euis Nur Amanah Asdiniah Lucky Lukman N
Sekar Ayu Cahyani Siti Humaeroh
Ulpa Nurul Jannah Rafa Adiputra W
Lesi Oktiani Putri Kristiantoro Widhi Nugroho
Mae Afriliani Tri Nugraha Prawira
Ratih Setiawati Indah Cahaya Putri
Mochamad Aldi Sidik Maulana Yuga Fibra N
Syifa Hanifa Wardani M. Faja Tirta Sumitra
Vesha Nuriefer Haliza Lena Yulia
Suryani Lestari Nabella Yaniariza Putri
Kania Adinda Nur Fitri

Kelompok 14 Barata Guru


Sektor Indrapasta
Evaluator Mela Rosaliana

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


KAMPUS CIBIRU
2020
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat
rahmat, karunia, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“DEMOKRASI ELEKTORAL DAN PILKADA LANGSUNG”. Untuk memenuhi
tugas LKM 2020 tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada teteh Mela
Rosaliana sebagai evaluator kami.
Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang kami
alami, namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari teteh evaluator dan
teman-teman sehingga kami mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu pada
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Allah
SWT dan rekan-rekan yang telah berpartisipasi.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini memberikan informasi dan
wawasan yang lebih luas dan menjadi penambah pengetahuan kepada pembaca
khusunya para mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia kampuus daerah Cibiru,
dan umumnya kepada masyarakat dalam upaya peningkatan wawasan serta
pengetahuan.

Bandung, 28 Oktober 2020

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................... 3
2.1 Demokrasi dan Demoratisasi .................................................... 3
2.2 Akselerasi Proses Demokratisasi .............................................. 7
2.3 Pemilu dan Pilkada Langsung .................................................. 14
2.4 Pilkada Langsung ...................................................................... 15
2.5 Sisi Gelap Demokrasi dan Pilkada Langsung........................... 18
BAB III PENUTUP ....................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ............................................................................... 20
3.2 Saran ......................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 23
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demokratisasi merupakan bentuk perubahan ke rezim politik yang lebih
demokratis. Demokrasi ialah bentuk pemerintahan yang di mana semua warga
negaranya ini memiliki hak yang seimbang dalam mengambil keputusan yang
dapat mengubah hidupnya. Konsep demokrasi sebagai bentuk pemerintahan ini
merupakan berasal dari filsuf Yunani, akan tetapi pemakaian konsep ini sudah
dipakai dalam zaman modern sejak terjadinya perselisihan revolusi dalam
masyarakat Barat pada akhir abad ke-18.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip Trias Politik yang membagi tiga
kekuasaan politik negara ( Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif ) untuk
mewujudkan tiga jenis Lembaga Negara yang saling lepas serta berada dalam
peringkat yang seimbang antara satu dengan yang lainnya. Gagasan tentang
Demokrasi sebenarnya sudah muncul sejak sekitar abad 5 SM, yakni pada masa
Yunani Kuno.
Masyarakat akan antusias memberikan suara dalam pemilu bila mereka
merasa yakin dengan sistem penyelenggaraan pemilu. Dengan kata lain, bila
penyelenggaraan pemilu dipraktikkan sesuai standar tersebut, jaminan kredibilitas
pemilu dapat disuguhkan. Pemilu dan Pilkada merupakan salah satu wujud paling
ekspresif dari langkah-langkah politik penataan desain kelembagaan untuk
mengkonsolidasikan demokrasi. Perspektif kelembagaan baru ini meyakini bahwa
desain kelembagaan yang dianut oleh suatu negara memiliki pengaruh terhadap
wajah demokrasi yang dimiliki.
Selama penyelanggaran demokrasi elektoral yang bernama Pilkada langsung
diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang sungguh-sungguh malah
melahirkan berbagai sisi gelap dari demokrasi langsung, seperti jual-beli
kedaulatan konstituen, money politics (politik uang), rezim dan birokrasi
kleptokratik, dan merebaknya praktik dinastik di berbagai lapisan masyarakat.
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud demokrasi dan demokratis?
2. Apakah yang dimaksud pemilu dan pilkada langsung?
3. Apakah yang dimaksud sisi gelap demokrasi lektoral?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan dari pembuatan
makalah ini yaitu menjawab, menjelaskan dan mengembangkan pemikiran
mengenai demokrasi dan pemilu.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah yang berjudul “Demokrasi Elektoral dan Pilkada
Langsung” yang dapat kita petik, diantaranya sebagai berikut :
1. Mengetahui lebih dalam tentang Demokrasi dan Demokratisasi.
2. Dapat memahami proses akselerasi Demokratisasi.
3. Memahami arti Pemilu dan Pilkada langsung.
4. Lebih mengetahui dan lebih berjaga-jaga karena adanya sisi gelap Demokrasi
Elektoral dan Pilkada Langsung.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Demokrasi dan Demokratisasi

Demokratisasi merupakan perubahan ke rezim politik yang lebih demokratis.


Perubahan ini bisa terjadi karena dari pihak rezim otoriter lalu ke demokrasi
keseluruhan, mulai dari sistem politik otoriter sampai ke semi-demokrasi, atau bisa
juga dari sistem politik semi-otoriter lalu ke demokrasi. Demokrasi ialah bentuk
pemerintahan yang di mana semua warga negaranya ini memiliki hak yang seimbang
dalam mengambil keputusan yang dapat mengubah hidupnya. Demokrasi sudah
mengizinkan warga Negara untuk dapat ikut serta berpartisipasi baik itu secara
langsung atau pun melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan
pembuatan hokum tersebut.

Konsep demokrasi sebagai bentuk pemerintahan ini merupakan berasal dari filsuf
Yunani, akan tetapi pemakaian konsep ini sudah dipakai dalam zaman modern sejak
terjadinya perselisihan revolusi dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke-18. Pada
pertengahan abad ke-20 dalam perdebatan mengenai arti demokrasi muncul 3
pendekatan umum yakni sebagai suatu bentuk pemerintahan, demokrasi didefinisikan
berdasarkan sumber wewenang pemerintahan, tujuan yang dilayani pemerintah, serta
prosedur untuk membentuk pemerintahan. Masalah-masalah serius mengenai
ketidaktepatan muncul ketika demokrasi didefinsikan berdasarkan sumber wewenang
atau tujuan, namun dalam studi ini digunakan definisi berdasarkan prosedur.

Joseph Schumpeter dalam buku klasiknya kapitalisme, sosialisme, and demokrasi


(2012) mengutarakan bahwa demokrasi ialah “kehendak rakyat (sumber) dan
kebaikan bersama (tujuan)” (the will of the people and the common good). Setelah
meruntuhkan secara efektif pendekatan itu, Schumpeter mengemukakan apa yang ia
namakan “Metode Demokrasi”, yang merupakan “prosedur kelembagaan untuk
mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk
membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat”.
4

Dengan mengikuti tradisi Schumpeterian, studi ini mendefinisikan sistem politik


abad ke-20 sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling
kuat dan sistem itu dipilih melalui pemilu yang adil, jujur dan berkala, dan para calon
secara kompetitif untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa
berhak memberikan suara.

Dalam studinya ini, Huntington memberikan argumen teorinya mengenai


demokratisasi yang tengah berlangsung secara luas di negara-negara dunia dalam
beberapa gelombang. Secara sederhana ia menggambarkan gelombang-gelombang
demokratisasi dalam bentuk kuantitas negara sepanjang akhir abad ke-20, dan di
sela-sela gelombang tersebut terjadi gelombang arus balik, yakni penguatan kembali
pada totaliteranisme. Gelombang Ketiga Demokratisasi menjadi masa pertumbuhan
yang paling subur diantara gelombang lainnya, sebab proses menuju demokrasi itu
berjalan seiring dengan globalisasi. Melalui globalisasi, dunia menjadi “global village”
(perkampungan dunia). Oleh karena itu, dalam konteks politik, globalisasi merupakan
wahana bagi “penyebaran virus demokrasi” –meminjam istilah Fukuyama-keseluruh
antero dunia.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip Trias Politik yang membagi tiga
kekuasaan politik negara ( Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif ) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis Lembaga Negara yang saling lepas serta berada dalam peringkat yang
seimbang antara satu dengan yang lainnya. Keseimbangan dan independensi antara
ketiga jenis Lembaga Negara ini sangat diperlukan supaya ketiga Lembaga Negara ini
menjadi saling berbagi dan saling mengontrol satu sama lain.

Ketiga jenis Lembaga Negara tersebut adalah Lembaga-Lembaga pemerintah yang


memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan Eksekutif,
Lembaga-Lembaga pengadilan yang telah mengatur kekuasaan Yudikatif, dan
Lembaga-Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan menjalankan
kekuasaan Legislatif. Keputusan Legislatif sudah dibuat oleh masyarakat atau wakil
yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang sudah diwakilkan
serta yang sudah memilih melalui proses pemilihan umum Legislatif, selain itu sesuai
hukum dan peraturan. Sementara menurut para ahil, pengertian demokrasi adalah
sebagai berikut:
5

1. Joseph A. Schmeter, mengemukakan bahwa demokrasi ialah sebuah


perencanaan institusional guna untuk mencapai suatu keputusan politik
dimana setiap individunya memiliki kekuasaan untuk memutuskan cara
perjuangan yang kompetitif.
2. Sidney Hook: demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan dimana
pemerintahan baik langsung maupun keputusan langsung pada suatu
kesepakatan yang tercipta dari suara rakyat.
3. Terry L. Karl dan Philippe C. Schmiter, mengemukakan bahwa demokrasi
ialah suatu sistem pemerintahan dimana pihak pemerintah akan
memberikan tanggung jawab atas semua tindakan masyarakat di wilayah
publik. Memberikan tanggung jawab ini berdasarkan keputusan yang dibuat
oleh rakyat dengan melakukan pemungutan suara yang menganut asa
kebebasan.
4. Henry B. Mayo: demokrasi adalah suatu sistem yang menunjukan
kebijakan umum ditentukan berdasarkan keputusan yang ditentukan oleh
organisasi yang melakukan pemilihan secara selektif, pengawasan dan
dilakukan oleh rakyat dengan landasan pandangan persamaan atau politik
tanpa ada paksaan dari pihak lain.

Dari pegertian dan makna demokrasi di atas dapat diterik dari bahwa hakikat
demokrasi dapat dikatakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.Pemerintahan dari rakyat memiliki arti bahwa sebuah sistem pemerintahan yang
sah dan asli oleh rakyat. Diakui dan sah memiliki arti bahwa tanggung jawab
pemerintahan diberikan oleh rakyat. Pemerintah yang tidak menyetujui adalah
pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan dan persetujuan rakyat. Rakyat
memegang kendali penuh atas pemilihan pemerintahan berdasarkan persamaan
pandangan dan politik tanpa ada paksaan.Pemerintahan oleh rakyat memiliki
pengertian bahwa pemerintah menjalankan kekuasaannya bukan atas kewenangan atau
tujuan semata, melainkan didasari oleh keinginan rakyat. Segala sesuatu yang
dilakukan oleh pemerintah nanti akan dikaji, pengawasan yang dilakukan oleh rakyat
baik itu secara langsung maupun melalui lembaga rakyat (DPR, MPR). Maka dari itu
pemerintah harus tunduk pada pengawasan rakyat.Pemerintahan untuk rakyat memiliki
arti bahwa segala kuasa yang dilimpahkan kepada pemerintah dibuat untuk
6

kepentingan rakyat. Maka dari kepentingan rakyat sudah seharusnya didahulukan


sebelum kepentingan pemerintah. Demokrasi mengandung nilai-nilai moral. Jadi
dalam penerapannya, Demokrasi harus dilandasi dengan nilai-nilai Demokrasi.
Nilai-nilai demokrasi tersebut antara lain:

1. Menyelesaikan perselisihan dengan cara damai


2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah, seperti:
1) Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur dan jujur
2) Batasi pemakaian kekerasan sampai seminimal mungkin
3) Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka-ragaman
4) Menjamin tetap tegaknya keadilan.

Dalam pengembangan dan membudayakan kehidupan Demokrasi perlu prinsip-prinsip


sebagai berikut:

1. Pemerintahan yang berdasarkan konstitusi


2. Pemilu yang bebas, jujur, dan adil
3. Dijaminnya HAM
4. Persamaan kedudukan didepan hukum
5. Peradilan yang bebas dan tidak memikat
6. Kebebasan berserikat / berorganisasi dan pendapat
7. Kebebasan pers / media massa

Gagasan tentang Demokrasi sebenarnya sudah muncul sejak sekitar abad 5 SM,
yakni pada masa Yunani Kuno. Pada waktu itu Demokrasi dilakukan secara langsung
karena negara-negara Yunani pada masa itu wilayahnya sangat sempit dan
penduduknya sedikit. Pada waktu itu, rakyat dikumpulkan dengan tujuan
bermusyawarah guna mengambil keputusan tentang kebijakan pemerintahan. Namun
Demokrasi itu tidak berjalan lama karena dampak konflik politik dan melemahnya
Dewan Kota dalam kebijakan pemerintahan. Sejak runtuhnya Demokrasi, bangsa
Eropa menerapkan sistem Monarki Absolute hingga abad ke-19. Kekuasaan mutlak
tersebut digunakan oleh raja untuk bertindak sewenang-wenang.
7

2.2 Akselerasi Proses Demokratisasi

Agar terjadi percepatan proses demokratisasi di suatu negara membutuhkan suatu


kondisi yang kondusif. Ada beberapa hal yang dapat menjadi permasalahan dalam
kondisi untuk terciptanya akselerasi demokratisasi dalam suatu negara. Ada yang
beranggapan bahwa faktor ekonomi adalah merupakan prasyarat utama bagi
berlangsungnya proses demokratisasi di suatu negara. Masyarakat industri modern
yang diasumsikan memiliki tingkat kemampuan ekonomi yang tinggi akan lebih
mudah menciptakan suatu negara yang demokratis. Asumsi itu didukung oleh seorang
ahli politik yang bernama Seymour M. Lipset yang menyatakan bahwa semakin kaya
suatu bangsa maka akan semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan
demokrasi (Sorensen, 1993). Pendapat Lipset ini didukung kenyataan bahwa
modernisasi dan kesejahteraan akan selalu disertai dengan sejumlah faktor yang
kondusif bagi demokrasi yaitu meningkatnya tingkat melek huruf dan tingkat
pendidikan, urbanisasi dan pembangunan media massa. Kesejahteraan masyarakat
yang tinggi juga akan menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk meredakan
ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik. Pernyataan Lipset itu juga didukung
oleh hasil penelitian yang dilakukan pengamat politik yang lain yaitu Robert Dahl,
yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi suatu negara akan
semakin mungkin bagi masyarakat untuk menjadi demokratis.

Namun pendapat dan argumen yang dilontarkan Lipset dan Robert Dahl itu
terbantahkan oleh kenyatan empiris yang terjadi di sejumlah negara. Di argentina
pernah terjadi praktek politik otoritarianisme selama bertahun-tahun padahal tingkat
pendapatan perkapita rakyatnya relatif tinggi, bangsa ini pada saat itu cukup makmur
secara ekonomi. Demikian pula kasus yang sama terjadi di Taiwan dan Korea Selatan.
Bahkan pada kasus yang terjadi di Negara Korea Selatan tentang suatu pembangunan
ekonomi yang sangat cepat disertai dengan distribusi pendapatan yang cukup merata,
tetapi hal itu tidak disertai dengan korelasi yang paralel dengan berlangsungnya praktek
akselerasi demokratisasi. Jadi menurut pengamatan beberapa ilmuwan politik
bahwasannya kemakmuran suatu masyarakat, kesejahteraan ekonomi suatu bangsa
tidak dapat menjadi jaminan absolut akan terjadinya pelaksanaan konsep demokrasi di
negara-negara ekonomi maju itu.
8

Menurut asumsi, hal ini lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem nilai dan keyakinan
akan menjelaskan dalam konteks serta makna dari tindakan politik. Apabila budaya
politik disangkutpautkan dengan sistem budaya yang cakupannya lebih luas pada suatu
masyarakat, mungkin akan diidentifikasi kedalam suatu nilai dan keyakinan budaya
yang kondusif dalam demokrasi. Salah satu jawaban yang muncul dari pertanyaan itu
adalah apa yang terjadi pada gerakan Protestantisme. Ideologi Protestantisme
mendukung terjadinya praktek demokrasi di suatu negara, namun bagi ideologi yang
lain yaitu Katolisisme dalam banyak kasus terutama di Amerika Latin justru
menghambat demokrasi ke dalam pengertian yang lebih luas lagi, sejumlah budaya
lebih menekankan kedalam suatu hierarki, otoritas dan intoleransi dibandingkan
dengan budaya yang lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa budaya-budaya itu kurang
kondusif bagi pelaksanaan demokratisasi di suatu negara, termasuk dalam hal ini
adalah Islam dan Konfusionisme (Sorensen, 1993).

Namun demikian memang diakui oleh banyak ahli bahwa sulit untuk melihat suatu
hubungan yang sistematis dan pasti antara pola budaya tertentu dan privalensi
demokrasi, ada hal-hal yang bersifat relatif. Sistem budaya merupakan subyek
perubahan yang bersifat dinamis. Hal ini nampak pada ideologi Katolisisme, pada satu
kurun waktu tertentu dalam perjalanan sejarah, ideologi ini menghambat demokrasi di
Amerika Latin, tetapi pada sisi lain gereja Katolik juga memainkan peranan penting
dan aktif dalam oposisinya terhadap pemerintah otoriter di tahun 1980-an. Demikian
juga dengan ideologi Islam, di beberapa negara di Timur Tengah ideologi ini mungkin
menghambat proses demokratisasi, namun di Indonesia pada masa reformasi ini,
kelompok- kelompok partai yang berspesifikasi pada ideologi Islam sangat mendukung
pada terjadinya proses demokratisasi yang sedang berlangsung dengan marak di
Indonesia. Prakondisi lain yang dianggap dapat menjadi pemicu dan pemacu bagi
tegaknya iklim demokrasi di suatu negara adalah struktur sosial masyarakat. Prakondisi
ini berupa faktor-faktor internal yang berupa sistem pelapisan sosial yang ada di
masyarakat. Diartikan bahwa kelas sosial tertentu akan memberikan dukungan yang
signifikan bagi terjadinya proses demokratisasi namun kelas sosial yang lain justru
menentangnya.
9

Kelas yang selama ini diposisikan sebagai faktor penghambat proses demokratisasi
pada situasi dan kondisi yang berbeda mereka justru memberikan dukungan yang besar
bagi terciptanya iklim demokrasi. Faktor lain yang bisa dijadikan modalm dalam
berlangsungnya iklim demokratis pada suatu masyarakat yaitu faktor eksternal.
Kondisi ekonomi politik, ideologi dan elemen lain dalam skala global akan
mempengaruhi praktek demokrasi di suatu negara. Menurut beberapa kalangan, faktor
eksternal ini akan sangat mempengaruhi tingkat akselerasi kesadaran masyarakat
khususnya pada negara berkembang, pentingnya suatu penerapan ideologi demokrasi
dalam sistem politiknya. Pengamat modernisasi berpendapat bahwa faktor-faktor
eksternal itu akan mempengaruhi bagi upaya pengembangan dan penguatan penerapan
doktrin demokrasi di negara-negara dunia ketiga. Namun pendapat ini dapat ditolak
kebenarannya, teoritisi dependensi sudah menarik kesimpulan yang bertolak belakang.
Ketimpangan dan distorsi ekonomi yang terjadi di masyarakat dunia ketiga disebabkan
oleh karena adanya ketergantungan pada sistem ekonomi dunia. Hal ini membuat
praktek demokratisasi di negara dunia ketiga sulit diwujudkan.

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya sulit sekali untuk


merumuskan suatu model yang absolut untuk dapat dijadikan rujukan bagi terjadinya
akselerasi untuk pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Prakondisi yang nampaknya
kondusif bagi implementasi ideologi demokrasi di suatu negara ternyata di dalamnya
juga terdapat hal-hal yang kontra produktif bagi berlakunya iklim demokrasi. Namun
demikian pengakuan terhadap pentingnya prakondisi di atas bagi terlaksananya suatu
proses demokratisasi di suatu negara bukan suatu hal yang percuma.

Pelaksanaan demokrasi pada suatu negara tidak dapat lepas dari struktur serta
masalah kondisi yang dimana merupakan sudah hasil dari pembangunan dan aktifitas
elit politik pada masa lalu. Oleh karena itu kita harus melihat bahwasanya
terlaksananya atau tidak terlaksananya proses demokratisasi di suatu negara
dipengaruhi dan ada kaitannya dengan prakondisi ekonomi, sosial, budaya dan
lain-lain,
10

Tahun 1998 merupakan babak baru dalam dinamika sistem politik di Indonesia,
pada tahun itu dimulai tradisi demokrasi pada semua proses politik dalam negara.
Setelah hampir 32 tahun terdominasi dan terhegemoni pada sistem politik yang sangat
militeristik dan bersifat sentralistik, maka pada era 1998 ini melepaskan proses politik
Indonesia dari jeratan intervensi politik negara yang sangat dominasi. Angin perubahan
bertiup kencang menyapu debu-debu praktek otoritarianisme di masa lampau diganti
dengan iklim yang segar bagi berseminya tunas-tunas demokrasi di segala bidang
kehidupan.

Reformasi politik yang telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun memberikan
manfaat yang besar bagi dinamika sistem politik di Indonesia. Fenomena kebebasan
politik ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi terbangunnya suatu tata pemerintahan
yang bersih, adil dan berwibawa. Dengan terjadinya proses demokratisasi di Indonesia
ini tentu sangat diharapkan akan terbentuk dalam suatu negara demokratis yang
memiliki kredibilitas yang tinggi dan mewujudnya masyarakat sipil yang sejahtera.
Banyak keuntungan dan kemanfaatan yang diraih sebagai dampak terjadinya
gelombang perubahan di Indonesia. Keberhasilan dari arus reformasi ini diantaranya
yaitu terbentuknya puluhan partai yang digalang oleh berbagai kelompok masyarakat
yang memiliki latar belakang aspirasi, tradisi politik yang sangat bervariasi, serta
ideologi. Demikian pula terjadi liberalisasi media massa yang sangat luas, media sangat
leluasa dalam mencari dan menyebarkan informasi pada publik. Rakyat tidak dihalangi
ketika ingin menyampaikan aspirasinya. Keterbukaan bagi seluruh elemen masyarakat
didalam melontarkan kritik dan saran kepada penguasa di ruang publik.

Hal positif lain yang dicapai dengan adanya reformasi di segala bidang di Indonesia
adalah partisipasi sipil meningkat, masyarakat politik tumbuh subur, berbagai upaya
pemulihan dan pembangunan ekonomi diselenggarakan, desentralisasi dan otonomi
daerah diterapkan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan transparan, kampanye perlindungan HAM semakin marak,
reformasi sektor pertahanan dan keamanan menjadi agenda yang diprioritaskan.
11

Musim semi demokratisasi di Indonesia terlihat juga pada terjadinya desakralisasi


lembaga kepresidenan. Pada masa orde baru yang bercorak absolut, presiden adalah
penguasa tunggal dan tidak dapat tersentuh oleh hukum. Tetapi ketika reformasi
bergulir presiden dapat ditumbangkan dari tampuk kekuasaannya melalui mekanisme
konstitusional oleh rakyat. Suatu fenomena kemajuan pada sistem politik di Indonesia.
Hal lain yang dapat menjadi parameter keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia
ialah terselenggaranya tiga kali pemilu yang relatif lancar yaitu pemilu tahun 1999,
2004, dan yang terakhir tahun 2009. Bagi sebuah negara demokrasi, pelaksanaan
pemilu adalah merupakan momentum dalam mempertegas arah konsolidasi demokrasi
dan penguatan kelembagaan politik. Dengan terlaksananya pemilu di Indonesia itu,
maka transisi demokrasi di Indonesia dapat berjalan sesuai rencana dan mampu
mendorong Indonesia sebagai negara “South East Asia’s only fully functioning
Democracy”. Proses demokratisasi di Indonesia akan menjamin semakin kokohnya
sistem demokrasi sosial yang berlanjut (suistainable constitutional democracy), dimana
hal ini sangat dibutuhkan guna menempatkannya sebagai instrumen efektif yang
bekerja bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Namun demikian kita juga tidak boleh menutup mata, bahwa sebagai bangsa yang
baru saja menjalankan roda demokrasi dalam praktek penyelenggaraan negara, masih
banyak ditemui kelemahan dan kekurangan. Kelemahan itu diantaranya adalah sektor
kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, pendididkan, kesehatan,
pengelolaan lingkungan hidup dll, masih jauh dari apa yang diangankan masyarakat.
Pemaksaan kehendak, kekerasan politik, korupsi dan keculasan yang dilakukan aparat
legislatif, eksekutif dan yudikatif bukannya semakin menyusut namun menunjukkan
eskalasi yang meningkat, munculnya puluhan partai baru pada pemilu 2009 tidak dapat
memberikan rasa optimisme untuk masyarakat, justru malah menciptakan rasa pesimis,
skeptis bahkan sikap sinis terhadap masyarakat. Anggapan yang berkembang pada
masyarakat, partai politik hanya akan dijadikan kedok dan kendaraan bagi petualang
politik dalam meraih dan mewujudkan hasrat pribadi dan ambisi yang jauh dari upaya
menyejahterakan rakyat.
12

Boleh dikatakan bahwa proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia baru sebatas
meningkatkan kebebasan politik dan penghargaan atas hak asasi manusia,
Demokratisasi di Indonesia masih direcoki dengan tindakan- tindakan anarkis dan
menyulut kekacauan sosial. Hal ini disebabkan karena iklim demokratis yang
seharusnya mengedepankan ketertiban serta moralitas dalam berpolitik, namun yang
terjadi justru merebaknya fenomena dimana pemimpin dan masyarakat dapat
melakukan apapun sesuai dengan yang mereka inginkan dan sistem hukum dilecehkan
serta tidak dihormati. Meskipun proses pemilu tahun 2009 dapat terselenggara, namun
ada hal yang cukup signifikan sebagai bagian pembelajaran bagi pelaksanaan demorasi
di Indonesia. Pemilu 2009 di Indonesia meskipun secara umum berlangsung kondusif,
namun banyak terjadi kelemahan dan kesemrawutan. Hal ini terjadi karena Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara tidak bisa melaksanakan tugasnya
dengan profesional. Hal ini ditandai dengan adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang
sangat kacau, surat suara yang salah tempat, penghitungan suara yang melebihi batas
waktu yang sudah ditetapkan instrumen teknologi informasi (IT) yang dipergunakan
KPU untuk penghitungan suara secara cepat namun hasilnya tidak seperti yang
diharapkan. Kelemahan-kelemahan ini menunjukkan kacaunya sistem managemen dan
tidak kompetennya personel KPU yang memperihatinkan.

Disamping lemahnya tata kerja KPU dalam penyelenggaraan pemilu 2009, hal
yang tidak kalah pentingnya bagi terjadinya cacat moral dan politik di Indonesia adalah
maraknya praktek jual beli suara (money politics). Hal ini menjelaskan bahwa saat ini
para elit politik di Indonesia masih memandang bahwa menjadi anggota legislatif itu
bukan jabatan yang amanah dan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi
merupakan kekuatan untuk legitimator dan pengakses sumber-sumber kuasa (tidak
hanya politis) tetapi juga sosial, ekonomi dan sebagainya. Sehingga jangan heran jika
rakyat menjadi skeptis dan apatis terhadap hasil pemilu 2009 tersebut. Rakyat menjadi
malas untuk berpartisipasi dalam kegiatan lima tahun ini, hal ini terlihat pada suatu
pemilu yang meningginya angka pemilih yang tidak menggunakan haknya (golput).
Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan, kedepan harus ada penyempurnaan baik pada
institusi penyelenggara KPU maupun kualitas intelektual dan moral dari para calon
legislatif.
13

Akselerasi demokratisasi di Indonesia ini masih sangat panjang dan banyak liku,
masih dibutuhkan berbagai upaya yang harus konkret dalam mengimplementasikan
konsep demokrasi. Adapun upaya-upaya itu diantaranya, yaitu:

1) Pemahaman nilai-nilai demokrasi secara individual. Nilai-nilai yang


mendorong untuk terwujudnya kompetisi, partisipasi dan kebebasan perlu
diinternalisasikan pada tingkat individual sehingga dapat terwujud tata tertib
sosial. Perilaku kompetisi tidak diartikan sebagai perilaku saling memaki,
menghujat dan menjatuhkan, partisipasi tidak dimaknai sebagai kemauan yang
bebas tanpa batas.
2) Pembentukan masyarakat sipil dan kelembagaan sosial. Demokrasi
mensyaratkan adanya masyarakat sipil yang mandiri (Chandoke, 1999) yaitu
masyarakat yang sadar akan terbentuknya ketertiban sosial tanpa melalui cara-
cara kekerasan. Segala persoalan yang timbul dan dihadapi oleh masyarakat
harus diselesaikan melalui dialog dan negosiasi dalam rangka mencari solusi
tanpa campur tangan kekuasaan negara melalui tangan-tangan aparatnya.
Apabila hal ini dapat terwujud di Indonesia maka masyarakat yang memiliki
tipe ini akan menjadi kekuatan pengontrol bagi kebijakan publik dan
pembentukan hukum karena ia akan mengontrol kinerja lembaga pemerintah,
legislatif dan yudikatif dengan sikap kritisnya.
3) Perbaikan umtuk meningkatkan kapasitas lembaga legislatif sebagai sarana
untuk perjuangan kinerja parlemen, yaitu dengan institusi politik yang mewakili
kepentingan masyarakat baik itu di tingkat lokal, regional maupun nasional
yang dirasa sangat mutlak diperlukan. Mereka yang telah terpilih dan duduk di
DPR baik pusat, tingkat I dan II seyogyanya tidak lagi sekedar menyuarakan
kepentingan kelompoknya tetapi harus menyatu dan menyuarakan kepentingan
masyarakat secara luas. Ini semua untuk menghindari kesan bahwa demokrasi
perwakilan hanya memberi kesempatan partisipasi lima tahun sekali kepada
masyarakat ketika negara sedang menyelenggarakan pemilu. Setelah terbentuk
wakil-wakilnya di DPR dan setelah presiden terpilih membentuk kabinet,
mereka kaum eksekutif dan legislatif bekerja sendiri untuk mengeluarkan
berbagai kebijakan dan hukum dengan meninggalkan masyarakat
14

di belakangnya. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam


pengambilan kebijakan publik dan pembuatan perundang-undangan tidak ada
cara lain kecuali para anggota DPR harus aktif mendatangi masyarakat. Jangan
mengulang kegagalan DPR masa lalu yang hanya menunggu masukan dari
masyarakat dan kemudian menampung aspirasi itu. Situasi ini akan
menghasilkan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga yang terhormat ini.

4) Peningkatan kepekaan pemerintah, hal ini terjadi bila secara umum pemerintah
bisa menegakkan keadilan dan sekaligus mensejahterakan kehidupan segenap
lapisan kehidupan segenap lapisan masyarakat yang ada di negara Indonesia.
Indikator yang paling sesuai dengan adanya pemerintahan yang memiliki
kepekaan ialah pemerintahan yang secara aktif mampu mengambil peran dalam
pembentukan undang-undang tanpa harus menunggu masalah muncul. Sebelum
mengusulkan perundangan, melalui kebijakan departemen yang terkait
pemerintah harus bersikap terbuka dan sekaligus aktif mencari masukan, kritik
dan saran dari masyarakat.

2.3 Pemilu dan Pilkada Langsung


Standar pemilihan umum (pemilu) demokratis menyatakan bahwa pemilu jujur
dan adil (free and fair elections) dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum
yang mengatur semua proses pelaksanaan pemilu sekaligus mampu melindungi
para penyelenggara, peserta, kandidat, pemilih, pemantau serta warga negara pada
umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, serta berbagai praktik
curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh karena itu, pemilu
yang jujur dan adil itu membutuhkan peraturan perundangan pemilu beserta aparat
yang bertugas menegakkan peraturan perundangan Pemilu tersebut (Guy S
Goodwin-Gil, 1994). Terdapat sejumlah standar yang dikenal secara internasional,
yang menjadi tolok ukur demokratis-tidaknya suatu pemilu. Standar internasional
ini menjadi syarat minimal untuk peraturan hukum yang menjamin pemilu dalam
demokratis. Indikator dari standar tersebut berjumlah 15 aspek, yaitu yang pertama
penyusunan kerangka hukum, kedua pemilihan sistem pemilu, ketiga penetapan
daerah pemilihan, keempat hak untuk memilih dan dipilih,
15

kelima badan penyelenggara pemilu, keenam pendaftaran pemilih dan daftar


pemilih, ketujuh akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat, ke delapan
kampanye pemilu yang demokratis, ke Sembilan akses ke media dan kebebasan
berekspresi, ke sepuluh pembiayaan dan pengeluaran, sebelas pemungutan suara,
duabelaas penghitungan dan rekapitulasi suara, tigabelas peranan wakil partai dan
kandidat, empatbelas pemantauan pemilu, serta yang terakhir ditaatinya aturan
hukum dan penegakan peraturan pemilu.
Dari semua persyaratan untuk pemilu demokratis di atas itu menghendaki
penyelenggaraan pemilu yang baik dan dapat dijalankan oleh semua orang untuk
dapat terlibat di dalamnya secara sukarela serta bukan dengan paksaan.
Terselenggaranya pemilu sebagaimana indikator pemilu demokratis hanya
mungkin apabila kredibilitas para penyelenggara pemilu (dalam hal ini KPU dan
jajarannya, serta Pengawas Pemilu), terjamin. Suatu pemilu yang ideal adalah bila
mampu diselenggarakan oleh para penyelenggara yang selain pintar dalam
berbicara juga memiliki integritas yang sangat tinggi. Mereka bekerja secara taat
asas, berpijak di atas aturan yang jelas (transparancy), memastikan (measurable),
dan gampang diterapkan (applicable). Kredibilitas mereka dapat ditentukan dari
keyakinan publik atas apa yang telah mereka lakukan sejak awal sampai akhir
penyelenggaraan pada suatu rangkaian pemilihan yang ditanganinya.
Masyarakat akan antusias memberikan suara dalam pemilu bila mereka merasa
yakin dengan sistem penyelenggaraan pemilu. Dengan kata lain, bila
penyelenggaraan pemilu dipraktikkan sesuai standar tersebut, jaminan kredibilitas
pemilu dapat disuguhkan. Begitu pula dengan sebaliknya.

2.4 Pilkada Langsung


Demokratisasi politik tidak hanya bergantung pada kondisisosial dan ekonomi,
tetapi juga pada desain kelembagaan politik. Asumsi yang mendasari pandangan ini,
bahwa pemilu/pilkada merupakan jalan untuk merotasi ke pemimpinan dimana
rakyat terlibat secaralangsung dan terbuka. Pemilu dan Pilkada ialah salah satu
bentuk paling ekspresif dari suatu langkah-langkah politik dalam penataan desain
kelembagaan untuk mengkonsolidasikan demokrasi. Perspektif kelembagaan baru
ini meyakini bahwa desain kelembagaan yang dianut oleh suatu negara memiliki
pengaruh terhadap wajah demokrasi yang dimiliki.
16

Merujuk pada Robert Dahl sebagai mana dikutip Marijan, desain kelembagaan ini
dirancang untuk memenuhi criteria procedural dari demokrasi.
Jika alur nalar pendekatan kelembagaan ini di sederhanakan, dapatlah
dinyatakan bahwa untuk mengkonsolidasikan demokrasi dan mengembangkannya,
maka yang perlu diperbarui adalah desain dari aspek- aspek kelembagaan politik
beserta prosedur-prosedurnya yang memungkinkan demokrasi dapat berlangsung
dengan baik. Problematika krusialnya ini bahwa di daerah-daerah terutama pilkada
yang mudah lebih sering memperlihatkan ritual prosedural yang dikooptasi oleh para
elitlokal dan kelompok oligarkisnya untuk mendapat dukungan dan legitimasi
politik dari pada menjadi peste rakyat yang adil, kompetitif dan berkeadilan. Para
actor politik lokal, dengan kekuatan modal dan jaringan kekerabatan yang
dimilikinya kerap melakukan berbagai upaya manipulatif, perilaku dan
tindakan-tindakan anti-demokrasi lainnya untuk memenangi kontestasi seperti
pemilukada. Beberapa upaya manipulative tersebut dilakukan dengan cara :
1. Membelisuara (money politic)
2. Mempengaruhi atau bahkan menekan pihak penyelenggara dan
pihak-pihak otoritas kepemiluanlainnya (KPU
maupunBawaslu/Panwas)
3. Menebar ancaman dan kekerasan kepada pihak-pihak yang dianggap
dapat menghalangi jalan mereka untuk meraih kemenangan; dan
lain-lain.
Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung pertama kali
yaitu pada tanggal 1 Juni 2005, yang menyusul satu tahun setelah pertama kalinya
pemilu dilaksanakan secara langsung. Sementara itu, dalam perspektif otonomi
daerah (yang ruhnya adalah desentralisasi kewenangan pemerintahan), Pemilukada
langsung ini juga dapat mengutuhkan dan mengkomplitkan implementasi
prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi dalam bingkai besar agenda politik
nasional, yakni demokratisasi ini menuju era kehidupan yang demokrasi substantif
atau demokrasi yang sesungguhnya. Karena Pemilu kadang langsung pada dasarnya
yaitu pilar yang bersifat memperkokoh bangunan demokrasi secara nasional.
Demikian misalnya dinyatakan oleh Tip O Neil seperti dikutip Agustino (2014),”all
politics is local”, yang maksudnya bahwa demokrasi akan berkembang subur dan
17

terbangun kuat di nasional apabila pada tingkatan yang lebih rendah (lokal)
nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Atau sebagaimana dinyatakan pula oleh Juan
J. Linz dan Alfred Stepan (1996) berpendapat bahwa suatu Negara bisa
dikatakan demokratis bila sudah memenuhi prasyarat antara lain, yaiu memberikan
kebebasan kepada warganya untuk dapat merumuskan preferensi polotik melalui
jalur perserikatan, informasi dan komunikasi, kemudian memberikan ruang
berkompetisi yang sehat dan melaluicara-caradamai; serta tidak melarang siapapun
berkompetisi untuk jabatan-jabatan politik.
Dalam konteks itu, Pemilukada langsung mengejewantahkan adanya
desentralisasi tata kelola kekuasaan pada tahap dan sumber muasalnya, yaitu rakyat.
Kemudian seperti dinyatakan Joseph A. Schumpeter (Marijan, 2007), bahwa
demokrasi yang sesungguhnya memang hanya mungkin dapat diwujudkan mana
kalater dapat pranata politik yang memungkinkan terciptanya 3 (tiga) situasi politik
ideal. Yaitu political equality, local accountability, dan local responsiveness. Dan
pranata yang paling tepat ialah Pemilu langsung oleh pemilik sejati kekuasaan.
Semangat dan pikiran demokratisasi inilah yang telah mendasari pilihan sikap
banyak pihak untuk menyambut dan mendorong perubahan model Pemilukada,
dari elites vote ke popular vote tadi sejak awal dekade 2010 ini. Meskipun
sebetulnya UUD 1945 sendiri sama sekali tidak mewajibkan mekanisme setegas itu.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menyatakan, bahwa “Gubernur, Bupati, dan
Walikotamasing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis”. Tidak ada kewaijban konstitusi agar
Pemilukada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Teksnya adalah “dipilih
secara demokratis”, dan ini tentu saja bias langsung oleh rakyat, bisa juga oleh para
wakil rakyat di lembaga legislatif.
18

2.5 Sisi Gelap Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung

Selama penyelanggaran demokrasi elektoral yang bernama Pilkada langsung


diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang sungguh-sungguh malah melahirkan
berbagai sisi gelap dari demokrasi langsung, sepertu jual-beli kedaulatan konstituen,
money politics (politik uang), rezim dan birokrasi kleptokratik, dan merebaknya
praktik dinastik di berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pilkada langsung
melahirkan sejumlah problematika baru, beberapa diantaranya sebagai berikut ini.
Pertama, mahar politik (political dowry) digambarkan sebagai fenomena
transaksi antara kandidat pemimpin dan partai politik untuk memperebutkan jabatan
yang diinginkan. Bentuk mahar politik ini berupa pemberian dana dalam jumlah
tertentu dari kandidat kepada partai politik agar partai politik mencalonkan dirinya
dalam pemilihan umum.
Kedua, maraknya money politics (politik uang), yaitu transaksi jual-beli suara
yang dilakukan antara kandidat dan pemilih suara. Caranya, yaitu dengan memberikan
paket bingkisan atau amplop dengan kisaran nominal yang diberikan cenderung kecil.
Money politics ini muncul karen kurang percaya dirinya kandidat pemimpin daerah
tersebut, ada ketatukan bahwa dia tidak akan dipilih oleh rakyat.
. Ketiga, munculnya roving bandits, yaitu menjarah sumber daya lokal untuk
kepentingan pribadi atau golongan. Dengan cara memanfaatkan demokrasi elektoral
dan modalitas kapitalis sehingga dapat menguasai panggug politik di daerahnya dan
menempatkan golongannya dalam jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Menurut McGuire dan Olson, para bandit lokal ini selain ingin menguasai daerah
yang dikuasainya demi keuntungan pribadi, melainkan ingin juga menguasai ke
berbagai daerah lain. Sehingga dalam melaksanakan proyek APBD dan APBN diputar
dalam lingkaran keluarga/golongan sehingga kesempatan usaha menyempot bagi
pelaku usaha daerah dan kualitas peoyrk yang rendah.
Keempat, muncul praktik shadow state (pemerintahan bayangan), yaitu
orang-orang dari luar pemerintahan daerah mengendalikan jalannya pemerintahan di
daerah. Sehingga dalam jalannya pemerintah dikendalikan oleh orang-orang luar yang
memiliki kendali atas pemimpin daerah, ha ini disebabkan oleh ketidakberdayaannya
pemimpin daerah menghadapi tekanan-tekanan dari luar pemerintahan.
19

Kelima, gejala kebangkitan (revivalism) dan prolifesi dinasti politik di daerah.


Dinasti politik adalah kekuasaan yang dikuasai oleh satu keluarga yang
memungkinkan terjadinya pewarisan kekuasaan kepada anggota keluarga secara
turun-menurun.
Hal ini disebabkan oleh kepercayaan yang didasari bahwa keluarga atau kerabat
tidak akan berkhianat, kesetiaan dalam menjalankan tugas dan menjaga nama
keluarga atau kerabat, solidaritas karena dapat dipastikan keluarga dan kekerabatan
memiliki rasa solidaritas yang tinggi, dan proteksi dalam arti mempertahankan
kehormatan keluarga. Dampaknya adalah menghambat konsolidasi dan pembangunan
demokrasi tingkat lokal, maraknya gejala personalisasi politik yang mengambil
keputusan bukan berdasarkan keadaan rakyat melainkan keluarga, dan peluang politik
dan ekonomi menjadi terbata
20

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demokratisasi merupakan perubahan ke rezim politik yang lebih demokratis.
Demokrasi ialah bentuk pemerintahan yang di mana semua warga negaranya ini
memiliki hak yang seimbang dalam mengambil keputusan yang dapat mengubah
hidupnya. Hakikat demokrasi ini dapat juga dikatakan sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat memiliki arti
bahwa sebuah sistem pemerintahan yang sah dan asli oleh rakyat. Diakui dan
memiliki arti bahwa tanggung jawab pemerintahan itu diberikan untuk rakyat.
Pemilu adalah proses pemilihan oleh rakyat yang mempunyai hak untuk
memilih pemimpinnya. Pemilu yang ideal adalah mampu diselenggarakan oleh
para penyelenggara yang cakap, juga memiliki integritas yang tinggi serta bekerja
secara taat asas, berpijak di atas aturan yang jelas, memastikan, dan gampang
diterapkan.
Pilkada langsung adalah proses pemilihan dimana rakyat terlibat secara
langsung dan terbuka. Demokratisasi politik yang tidak hanya bergantung pada
kondisisosial dan ekonomi, tetapi juga pada desain kelembagaan politik. Pilkada
merupakan salah satu bentuk yang paling ekspresif dari langkah politik untuk
penataan dalam desain kelembagaan untuk mengkonsolidasikan suatu demokrasi.
Berbagai sisi gelap dari demokrasi langsung yang dilahirkan pilkada membuat
problematika baru, diantaranya:
1. Mahar politik (political dowry) digambarkan sebagai fenomena
transaksi antara kandidat pemimpin dan partai politik untuk
memperebutkan jabatan yang diinginkan. Sehingga lahirlah
pemimpin-pemimpin yang tidak kompeten dalam menjalankan
tugasnya dan kerap melakukan korup
2. Maraknya politik uang (money politics), yaitu transaksi jual-beli suara
yang dilakukan antara kandidat dan pemilih suara. Dengan cara
memberikan paket bingkisan atau amplop dengan kisaran nominal
yang cenderung kecil.
21

3. Munculnya roving bandits, yaitu menjarah sumber daya lokal untuk


kepentingan pribadi atau golongan. Dengan cara memanfaatkan
demokrasi elektoral dan modalitas kapitalis sehingga dapat menguasai
panggug politik di daerahnya dan menempatkan golongannya dalam
jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.
4. Muncul praktik pemerintahan bayangan (shadow state) yaitu orang dari
luar pemerintahan daerah mengendalikan jalannya pemerintahan di
daerah. Hal ini disebabkan oleh ketidakberdayaannya pemimpin daerah
menghadapi tekanan-tekanan dari luar pemerintahan
5. Gejala kebangkitan (revivalism) dan prolifesi dinasti politik di daerah.
Dinasti politik adalah kekuasaan yang dikuasai oleh satu keluarga yang
memungkinkan terjadinya pewarisan kekuasaan kepada anggota
keluarga secara turun-menurun. Dampaknya adalah menghambat
konsolidasi dan pembangunan demokrasi tingkat lokal, maraknya
gejala personalisasi politik yang mengambil keputusan bukan
berdasarkan keadaan rakyat melainkan keluarga, dan peluang politik
dan ekonomi menjadi terbatas

Disini di negara kita ada yang di namakan demokrasi dan demokratisasi.


Demokrasi itu bentuk pemerintah dimana semua warga negaranya memiliki hak
setara dalam pengambilan keputusan yang dapat merubah hidup mereka dan
mengizinkan warga negara nya berpartisipasi baik secara langsung atau puk
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Demokratis juga adalah transisi ke rezim politik yg lebih demokratis. Demokrasi
juga dapat dikatain sebagai pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Rakyat juga memegang penuh atas pemilihan pemilihan yang ada di negara ini,
tanpa kita sadari keinginan rakyat ingin sekali pemerintah-pemerintah
menjalankan tugas nya atau kewenangan nya. Segala sesuatu yang di kerjakan
juga dipantau dan diawasi oleh rakyat, baik secara langsung atau tidak langsung
melalui lembaga rakyat (DPR dan MPR). Demokratisasi juga tidak hanya
bergantung pada kondisisosial dan ekonomi tapi pada desain kelembagaan politik,
pandangan ini bahwa pemilu/pilkada merupakan jalan untuk ke pemimpinan
dimana rakyat mempunyai hak nya sendiri.
22

Pemilu juag melimiliki kata demokratis karna menyatakan bahwa pemilu


jujur dan adil, dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur
pemilu, sekaligus mampu melindungi para penyelenggaraan, peserta, kandidat,
pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan.
Demokratisasi politik juga tidak hanya bentanggung jawab hanya bergantung
pada kondisi al dan ekonomi, tetapi juga politik yang mendasari pandangan ini
bahwa pemilu/pilkada merupakan jalan untuk merotasi kepemimpinan secara
langsung dan terbuka, dan perilaku ini juga memiliki beberapa upaya
manipulative. Ada juga sisi gelang demokrasi, yaitu penyelenggaraan elektroal
yang bernama Pilkada langsung dapat melahirkan pemimpin yang
sungguh-sungguh malah melahirkan berbagai sisi gelap dari demokrasi tersebut.

3.2 Saran
Terkait dengan hal tersebut, saya menyarankan beberapa yang harus
diperhatikan mengenai prinsip-prinsip demokrasi sebagi berikut ini:
 Pemerintahan yang berdasarkan konstitusi
 Pemilu yang bebas, jujur, dan adil
 Dijaminnya HAM
 Persamaan kedudukan didepan hukum
 Peradilan yang bebas dan tidak memikat
 Kebebasan berserikat / berorganisasi dan pendapat
 Kebebasan pers / media massa

Makalah yang kami buat ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan.
Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran ,
untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah kami. Harapan penyusun semoga makalah ini dapat
dijadikan dalam suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
23

DAFTAR PUSTAKA

Sutisna, Agus. 2017. Memilih Gubernur Bukan Bandit! Demokrasi Elektoral dan
Pilgub 2017 di Tanah Jawara. SelmaN : CV BUDI UTAMA

B. Arianto. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, 2011 – academia.edu

Berger, Peter. L and Richard Neuhauss. 1977. To Empower People, the Role of
Meediating Structure in Public Policy. Washington : America Enterprise Institute
for Public Policy Research.

Chandoeka, Neera, 1995. State and Civil Sociaety : Exploration in Political Theory.
London : Sage Publication

Falk, Richard, 1981, Human Right and State Sovereignty,New York : Holmes and
Meier.

Held, David. 1987, Human Right and State Sovereignty, New York : Holmes and
Meier.

Lechman, David, 1989, Democracy and Development in Latin America, Cambridge :


Polity Press.

Samuel P. Huntington, 1991, Democratiszion in the Late Twentieth Century, Fisip –


Unpad

Mangun Wijaya, 1994. Dalam Sidney Hook, Sosok Filsuf Humanisme Demokrasi
Dalam Tradisi Pragmatisme. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Macpherson. C.B, 1997. The Life and Times Of Liberal Democracy. Oxford : Oxford
University Press.

Markoff, Jhon, 2002 Gelombang Demokrasi Dunia ( terjemahan ). Yogyakarta :


Pustaka Pelajar.

Meyer. T., 2005. Demokrasi Sosial dan Libertarian. Jakarta : Friederich Ebert
Stiftung.

--------------, 2004. Politik Identitas. Jakarta : Friederich Ebert Stiftung.


24

Sutrisno, Muji, 2000. Demokrasi Semudah Ucapankah ? Yogyakarta : Kanisius

Nugroho, H. 2012. Demokrasi dan Demokratisasi : Sebuah Kerangka Konseptual


Untuk Memahami Dinamika Sosial – Politik di Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi,
1 ( 1 ), 1 – 15.

Suyanto Ladiqi, Ismail Suwardi Wekke, Cahyo Seftyono, 2017. Religoin State And
Society, Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung : Tinjauan Teori dan Sisi
Gelapnya. Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Suyanto Ladiqi, Ismail Suwardi Wekke, Cahyo Soeftyono, 2017. Religion, State and
Society : Exploration of Southeast Asia, Political Science Program Departement of
Politics and Civics Education Universitas Negri Semarang.

Pai.ftk.uin-alauddin.ac.id, Pendidikan Agama Islam.


https//pai.ftk.uin-alauddin.ac.id/artikel/detail_artikel/230

Agus Sutisna, 2017, Demokrasi Elektoral dan Pilkada Langsung : Tinjauan Teori dan
Sisi Gelapnya, Universitas Muhammadiyah Tanggerang, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai