Disusun Oleh:
Kelompok 2
Rahmadayani
Zahrul Qutni
Nuriyah
Fuji Hasbul
Sofia
Fitriani
Mahfud
Dosen Pengampu:
John Wahidi, S.Pd., M.Pd.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji
syukur alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Demokrasi dan
Perkembangannya.
Pada kesempatan ini kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini dapat
terselesaikan karena adanya bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
izinkanlah kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Farah Ivana, S.E., M.Si.
Ak.,, sebagai dosen pengampu, serta kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan
dan bimbingan dan teman-teman yang berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran pada
semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan bagi rekan-
rekan mahasiswa yang lainnya pada umumnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
Banda Aceh, 13 Desember 2021
Penyusun
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3
ii
BAB III PENUTUP...........................................................................................................16
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
9. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Demokrasi Di Indonesia.
10. Untuk mengetahui Konsep Islam Dan Demokrasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat
sebagai kepala negara.
Demokrasi Liberal sering disebut sebagai demokrasi parlementer. Di
Indonesia demokrasi ini dilaksanakan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah
NO.14 Nov. 1945. Menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
Demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak
warga negara, baik sebagai individu ataupun masyarakat. Dan karenanya lebih
bertujuan menjaga tingkat representasi warganegara dan melindunginya dari
tindakan kelompok atau negara lain.
4
menjalankan dengan sungguh-sungguh agenda kerakyatan, bukan sekadar
agenda demokrasi atau agenda politik partai semata.
5
7. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem
pendidikan
6
yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara.
Dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum,
bukan kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang
berpaham konstitusionalisme, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum.
Konsep negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara melalui perlembagaan peradilan yang bebas
dan tidak memihak dan penjaminan hak asasi manusia.
Konsep negara hukum berdasarkan atas istilah rechtsstaat dan the rule of law
yang diterjemahkan menjadi negara hukum. Rechtsstaat memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: 1. Adanya perlindungan terhadap HAM; 2. Adanya pemisahan dan
pembagian kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM; 3.
Pemerintahan berdasarkan peraturan; 4. Adanya peradilan administrasi. Sedangkan
the rule of law dicirikan oleh : 1. Adanya supremasi aturan – aturan hukum; 2.
Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum; 3. Adanya jaminan perlindungan
HAM. Dengan demikian konsep negara hukum sebagai gabungan dari kedua konsep
diatas dicirikan sebagai berikut : 1. Adanya jaminan perlindungan terhadap HAM; 2.
Adanya supremasi hukum di dalam penyelenggaraan pemerintahan; 3. Adanya
pemisahan dan pembagian kekuasaan negara; 4. Adanya lembaga peradilan yang
bebas dan mandiri.
7
dan cita – cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan – kebijakannya.
8
menuntut adanya kualitas tanggapan pihak penguasa dan kaum elit, hal ini dapat
kita lihat pada demokrasi perwakilan. Pendekatan partisipatoris adalah
pembuatan kebijakan umum yang menuntut adanya keterlibatan yang lebih
tinggi.
2. Persamaan diantara warga Negara Tingkat persamaan yang ditunjukkan biasanya
yaitu dibidang; politik, hukum, kesempatan, ekonomi, sosial dan hak.
3. Kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga Negara.
4. Supremasi Hukum Penghormatan terhadap hukum harus dikedepankan baik oleh
penguasa maupun rakyat, tidak terdapat kesewenang-wenangan yang biasa
dilakukan atas nama hukum, karena itu pemerintahan harus didasari oleh hukum
yang berpihak pada keadilan.
5. Pemilu berkala Pemilihan umum, selain mekanisme sebagai menentukan
komposisi pemerintahan secara periodik, sesungguhnya merupakan sarana utama
bagi partisipasi politik individu yang hidup dalam masyarakat yang luas,
kompleks dan modern.
Berdasar pada the rule of law, maka prinsip demokrasi adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang.
2. Kedudukan yang sama di dalam hukum.
3. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang.
9
klasik (Yunani Kuno), melainkan berhasil menyesuaikan berdasarkan kebutuhan-
kebutuhan yang sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri. Dengan kata lain
renaissance di Eropa yang bersumber dari tradisi keilmuan Islam dan berintikan
pada pemuliaan akal pikiran untuk selalu mencipta dan mengembangkan ilmu
pengetahuan telah mengilhami munculnya kembali gerakan demokrasi. Selanjutnya
pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional. Dari demokrasi
konstitusional melahirkan demokrasi welfare state. Untuk pertama kali seorang raja
berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak
bawahannya.
Pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi antara lain:
John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Mostesquieu dari Perancis (1689-1755)
yang mencetuskan Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan. Hal ini
dilatarbelakangi pemikiran bahwa kekuasaan - kekuasaan pada sebuah pemerintahan
yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan
menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi
warga negara dapat lebih terjamin. Locke berpendapat bahwa kekuasaan negara
harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif
yang membuat peraturan dan Undang-Undang; kekuasaan eksekutif yang
melaksanakan Undang-Undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili; dan
kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara
dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan dalam pemerintahan menjadi tiga
cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif
(kekuasaan untuk membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk
melaksanakan Undang-Undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di
bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas
pelanggaran Undang-Undang). Hal ini adalah untuk mewujudkan tiga jenis lembaga
negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu
sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip check and balance. Teori ini kemudian di kembangkan oleh C.F
Strong dalam bukunya Modern Political Constitution.
10
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk
memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat
keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu
orang/lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak
keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia
berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan
kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap
kekuasaan lainnya. Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan
kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu
orang atau satu badan yang menetapkan Undang-undang dan menjalankannya secara
sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila
pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan
yudikatif.
11
II.9 Sejarah Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-undang Dasar 1945 memberikan
penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme
kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah
sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hierarki seharusnya rakyat adalah
pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam
pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika
untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di Indonesia, sampai kemudian
Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan.
Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan
untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk ke dalam alam
demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu
demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu. Tumbangnya Orde Baru pada
tanggal 21 Mei 1998, adalah momentum pergantian kekuasaan yang sangat revolusioner
dan bersejarah di negara ini. Dan pada tanggal 5 Juli 2004, terjadilah sebuah pergantian
kekuasaan lewat Pemilu Presiden putaran pertama. Pemilu ini mewarnai sejarah baru
Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memilih secara langsung presidennya.
Sebagai bangsa yang besar tentu kita harus banyak menggali makna dari sejarah.
Hari Kamis, 21 Mei 1998, dalam pidatonya di Istana Negara Presiden Soeharto
akhirnya bersedia mengundurkan diri atau lebih tepatnya dengan bahasa politis ia
menyatakan “berhenti sebagai presiden Indonesia”. Momentum lengser keprabuan-Nya
Raja Indonesia yang telah bertakhta selama 32 tahun ini tentu sangat mengejutkan
berbagai pihak. Karena sehari sebelumnya ia sudah berniat akan segera membentuk
Kabinet Reformasi. Setelah melalui saat-saat yang menegangkan, akhirnya rezim yang
begitu kokoh dan mengakar ini berhasil ditumbangkan. Gerakan mahasiswa sekali lagi
menjadi kekuatan terpenting dalam proses perubahan ini. Sebuah perubahan yang telah
memakan begitu banyak korban, baik korban harta maupun nyawa. Kontan saja
mahasiswa kala itu langsung bersorak-sorai, menangis gembira, dan bersujud syukur atas
keberhasilan perjuangannya menumbangkan rezim Orde Baru.
Setelah tumbangnya Orde Baru tibalah detik-detik terbukanya pintu reformasi yang
telah begitu lama dinanti. Secercah harapan berbaur kecemasan mengawali dibukanya
jendela demokrasi yang selama tiga dasawarsa telah ditutup oleh pengapnya
otoritarianisme Orde Baru.
12
Momentum ini menjadi penanda akan dimulainya transisi demokrasi yang
diharapkan mampu menata kembali indahnya taman Indonesia. Pada hari-hari selanjutnya
kata “reformasi” meskipun tanpa ada kesepakatan tertulis menjadi jargon utama yang
menjiwai ruh para pejuang pro-demokrasi. Selang tiga tahun pasca turunnya Soeharto dari
tahun 1998 sampai 2000, telah terjadi tiga kali pergantian rezim yang memunculkan nama-
nama: Habibie, Gus Dur, dan Megawati sebagai presiden Republik Indonesia. Dan
duduknya ketiga presiden baru tersebut, juga diwarnai dengan perjuangan yang sengit dan
tak kalah revolusioner. Lagi-lagi untuk ke sekian kalinya mahasiswa menjadi Avant guard
yang Mendobrak perubahan tersebut. Megawati yang baru satu tahun mencicipi empuknya
kursi presiden pun oleh mahasiswa kembali dituntut mundur lantaran dianggap gagal dan
tidak bisa memenuhi amanat reformasi. Pada tanggal 21 Mei 2003, di hampir seluruh
penjuru Indonesia mahasiswa turun ke jalan kembali dan menuntut segera turunnya
pemerintahan Megawati. Sekaligus pada hari itu juga mahasiswa secara resmi
mendeklarasikan “Matinya Reformasi” dan bahkan lebih jauh lagi memunculkan jargon
baru yaitu “Revolusi”. Munculnya jargon baru ini menjadi diskursus yang cukup hangat
diperbincangkan. Jargon ini kemudian merebak dan dengan cepat menjangkiti elemen
prodemokrasi lainya yang juga menghendaki proses demokratisasi secara lebih cepat.
Mahasiswa pun lantas menantang kalau memang tidak ada seorang pun tokoh reformis
yang layak dan sanggup mengawal transisi demokrasi, maka saatnya kaum muda
memimpin.
Dari sepenggal perjalanan sejarah perjuangan mahasiswa tersebut, kita bisa melihat
betapa serius, visioner, dan revolusionernya tekad mereka untuk mewujudkan transisi
demokrasi yang sesungguhnya. Namun, ketika kita mengaca pada sejarah secara objektif,
kita akan menemukan bahwa masa transisi demokrasi di negara dunia ketiga rata-rata
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Yaitu, antara 20 sampai 25 tahun, yang artinya
itu empat sampai lima kali Pemilu di Indonesia. Itu pun kalau memenuhi beberapa syarat
dan tahapan yang normal.
Menurut pemetaan Samuel Huntington, pada tingkatan paling sederhana,
demokratisasi mensyaratkan tiga hal : berakhirnya sebuah rezim otoriter, dibangunnya
sebuah rezim demokratis, serta konsolidasi kekuatan prodemokrasi. Sedikit berbeda Eep
Syaefullah Fatah dalam bukunya Zaman Kesempatan; Agenda-agenda Besar
Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Mizan, 2000, xxxviii-xli), mengajukan empat tahapan
proses demokratisasi dengan mengaca pada pengalaman di Indonesia. Tahapan pertama,
berjalan sebelum keruntuhan rezim oritarian atau totalitarian. Tahapan ini disebutnya
13
dengan Pratransisi. Tahapan kedua, terjadinya liberalisasi politik awal. Dan tahap ini
ditandai dengan terjadinya Pemilu yang demokratis serta regulasi kekuasaan sebagai
konsekuensi dari hasil Pemilu. Tahapan ketiga adalah Transisi. Tahapan ini ditandai
adanya pemerintahan atau pemimpin baru yang bekerja dengan legitimasi yang kuat.
Kemudian yang terakhir, tahap keempat adalah Konsolidasi Demokrasi. Tahap ini menurut
Eep membutuhkan waktu cukup lama, karena juga harus menghasilkan perubahan
paradigma berpikir, pola perilaku, tabiat serta kebudayaan dalam masyarakat. Lantas
bagaimana dengan proses transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia? Itulah pertanyaan
yang harus kita jawab secara objektif dan kita jadikan dasar evaluasi. Esensi konsolidasi
demokrasi sebenarnya adalah ketika telah terbentuknya suatu paradigma berpikir, perilaku
dan sikap baik di tingkat elit maupun massa yang mencakup dan bertolak dari prinsip-
prinsip demokrasi. Dan untuk konteks Indonesia seharusnya konsolidasi demokrasi
ditandai dengan adanya efektivitas pemerintahan, stabilitas politik, penegakan supremasi
hukum serta pulihnya kehidupan ekonomi.
14
Demokrasi dalam Islam berangkat dari Al-Quran dan Hadits. Sementara demokrasi Barat
dari pemikiran-pemikiran kelompok-kelompok tertentu, bahkan mereka berangkat dari
konsep-konsep Injil atau Bible. Bahkan sebagian besar berpendapat demokrasi dipahami
sebagai warisan kemanusiaan yang tiada ternilai harganya yang untuk sampai sekarang
belum ditemukan alternatif yang lebih unggul. Demokrasi terus bertahan dan begitu
digandrungi karena dianggap menghasilkan kebijakan yang bijak, suatu masyarakat yang
adil, suatu masyarakat yang bebas, keputusan yang memajukan kepentingan rakyat atau
manfaat bersama. Semua hal tersebut bisa dianggap benar jika demokrasi yang ditetapkan
kurang lebih dapat mencakup hal-hal yang sesuai syariat, dalam arti demokrasi tersebut
keputusan-keputusan yang dibuat tidak menentang keputusan Allah SWT. Konsep
demokrasi yang dikenal dan sangat dapat dikaitkan dengan konsep musyawarah (syura),
persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretatif mandiri (ijtihad). Sesuai firman Allah
“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-syura: 38)
Dengan ayat itu, kita memahami bahwa Islam telah memosisikan musyawarah pada
tempat yang agung. Ayat itu memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syura
dan menghiasi diri dengan adab syura sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian
Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Dan lebih menegaskan urgensi syura, ayat di
atas menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardhu ‘ain yang tidaklah
Islam sempurna dan tidak pula iman lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat,
infak, dan menjauhi perbuatan keji. Hal tersebut menunjukkan bahwa, Islam secara
langsung menerapkan prinsip pengambilan keputusan, musyawarah yang menjadi sendi
utama dalam demokrasi modern (dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat). dalam sistem
syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang
kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan
hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan. Jadi kesimpulannya sebenarnya
dalam Islam walaupun tidak mengenal kata “demokrasi” namun prinsip-prinsip dasar
demokrasi sendiri tersebut ada. Islam pun tidak seluruhnya menolak konsep yang ada pada
demokrasi (yang dicetuskan dunia barat) walaupun tidak semua juga sesuai. Sehingga
mungkin dibutuhkan berbagai penyesuaian jika hal itu akan diterapkan untuk umat Islam.
Seperti musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi, bukan pada
15
persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Al Quran dan Sunah, produk hukum dan
kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama, dan hukum dan kebijakan
tersebut harus dipatuhi oleh semua warga, dan mungkin masih banyak penyesuaian lain
tentang demokrasi yang ada (di negara kita khususnya yang masih berkiblat ke barat)
dengan demokrasi menurut konsep Islam.
16
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Hampir semua negara di dunia meyakini demokrasi sebagai “tolok ukur tak
terbantah dari ke absahan politik.” Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama
kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik demokrasi.
Tidak ada negara yang ingin dikatakan sebagai negara yang tidak demokratis atau negara
otoriter.
17
DAFTAR PUSTAKA
Sidharta, A. (2004). Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum. Jentera (Jurnal Hukum),
“Rule of Law”, II, 124-125.
18