Anda di halaman 1dari 3

Nama : Baiq Maya Lispiani

NIM : C1L018079

Kelas : Ganjil (A)

KEHUTANAN MILENIAL
TANTANGAN KEHUTANAN INDONESIA DI ERA 4.0

Teknologi informasi digital yang semakin canggih dan mudah diakses menyebabkan
“yang tidak mungkin” di masa lalu menjadi “sangat mungkin” didapatkan saat ini. Adanya
perubahan atau perkembangan teknologi tentu saja mempunyai sisi negatif dan sisi
positifnya. Perkembangan supercepat dalam dunia komunikasi akan memberikan dampak
terhadap semua lini kehidupan masyarakat termasuk akan menggoyang struktur-struktur
sosial-ekonomi bahkan rezim keilmuan yang telah mapan.

Buku ini menganalisis tentang perbedaan cara pandang rimbawan beda generasi
dalam melihat sumber daya hutan dan pengelolaannya, serta menyajikan berbagai contoh
pengelolaan hutan masa kini yang sesuai dengan tuntutan di era 4.0. Sudah tentu, Indonesia
bukan wakanda, dan Rimbawan bukan pula Black Panther. Meskipun demikian, apa yang
oleh buku ini dinamakan sebagai “Kehutanan Milenial”, informasi dan komunikasi
memainkan peran sangat penting, jika bukan sentral. Bagi kalangan generasi milenial atau
sering disebut sebagai generasi Z, hal semacam itu bukan keistimewaan, tapi keniscayaan
belaka.

Pengelolaan Sumber Daya Hutan merupakan proses jangka panjang dan oleh karena itu
terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan jaman. Pada
awalnya, pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan secara sederhana, hutan hanya
dipandang sebagai tempat untuk mencari makan dengan cara berburu dan meramu yang
dilakukan oleh manusia pada zaman batu tua (Paleolithikum). Namun, dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dengan ditemukannya mesin uap
yang menandai dimulainya revolusi industri 1.0 pada abad 18, hutan berfungsi sebagai
sumber biomass utama sebagai penggerak pembangunan. Sejak saat itu, permintaan kayu
hutan untuk industri meningkat sangat tajam sehingga penebangan hutan semakin meluas dan
terus terjadi hingga saat ini. Over eksploitasi sumber daya hutan ini selanjutnya berdampak
pada penurunan kualitas dan produktivitas hutan sehingga pembangunan justru melambat,
seperti yang diprediksi oleh malthus (1766 – 1834) dengan teorinya "diminishing return”.
Berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini baik melalui intervensi teknologi
untuk intensifikasi eksploitasi sumber daya hutan atau dengan cara mencari dan
memanfaatkan bahan substitusi. Namun demikian, dampak kerusakan hutan dari masa
lampau sudah tidak dapat diperbaiki lagi (irreversible) sehingga jejaknya masih terlihat dan
dirasakan hingga saat ini. Dampak yang ditimbulkan dari perjalanan panjang pengelolaan
sumber daya hutan meninggalkan cerita dan membangun cara pandang yang berbeda bagi
generasi di setiap jamannya.

Bagi kalangan generasi ini melalui jaringan internet dan gadget adalah kebutuhan
primer, mengingat segala keperluan hidup, dari mulai konsumsi, transportasi, dan transaksi,
diselenggarakan melalui jaringan internet dan gadget. Sejalan dengan pertumbuhan generasi
Z yang diikuti dengan kemajuan-kemajuan tak terbayangkan di bidang teknologi informasi
dan komunikasi, transformasi kehutanan menuju “Kehutanan Milenial” atau kehutanan 4.0
tidak terelakkan lagi. Satu hal yang perlu dicatat disini adalah, bahwa kehutanan milenial
tidak hanya mengacu pada kebaruan piranti dan alat, gimana internetisasi dan komputerisasi
menjadi platform utama. Kebaruan itu sesungguhnya juga menyangkut paradigma dan nilai,
dimana paradigma dan nilai-nilai Kehutanan jaman old, untuk tidak mengatakan kehutanan
kolonial, ditransformasikan menjadi paradigma dan nilai-nilai Kehutanan zaman now, jika
bukan kehutanan milenial.

Nilai-nilai kehutanan lama yang meninggalkan warisan mengenaskan, seperti


kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial, sudah saatnya ditransformasikan menjadi nilai-
nilai kehutanan baru yang lebih menekankan pada keberlanjutan dan pemerataan. dominasi
pengelolaan hutan yang ditujukan untuk melakukan akumulasi keuntungan dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip 4.0, yang lebih mengutamakan koneksi, partisipasi
dan transparansi. Semakin meningkatnya apresiasi gen Y dan gen Z terhadap produk-produk
intagible yang dihasilkan oleh hutan, maka seharusnya pengelolaan sumberdaya hutan tidak
lagi hanya didasarkan pada pertimbangan kontribusi finansial secara langsung tetapi harus
pula didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan fungsi ekosistem hutan sebagai penyangga
kehidupan manusia.
Untuk generasi mendatang produk intangiblelah yang akan menjadi masa depan
kehutanan di Indonesia, kita bisa melihat survey yang dilakukan terhadap responden yang di
hadapkan oleh jawaban tentang fungsi utama hutan, dimana 90% responden menjawab fungsi
utama hutan adalah sebagai penyedia jasa lingkungan yang berupa air, oksigen dan penyerap
CO2. Setiap generasi memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat sumber daya hutan.
perbedaan cara pandang yang terjadi antar generasi dalam melihat sumber daya hutan
terutama ditentukan oleh kesadaran lingkungan yang dimiliki tiap generasi. Paling tidak, ada
3 aspek utama yang mempengaruhi kesadaran lingkungan tersebut, yaitu latar belakang
budaya, struktur sosial dan akses teknologi. Pandangan antar berbagai generasi tentu berbeda
terhadap masa depan kehutanan Indonesia. Seperti dalam hal pengetahuan tentang hutan yang
meliputi produk intangible yang ada didalam hutan, pandangan terhadap kondisi hutan saat
ini dan masa mendatang dsb. Sehingga kita dapat menentukan peluang kerja bagi lulusan
kehutanan dakam berbagi versi dari generasi ke generasi dan semua informasi tersebut bisa
kita dapatkan melalui internet ataupun media sosial lainnya.

Anda mungkin juga menyukai