net/publication/300148478
CITATIONS READS
0 1,670
1 author:
Ary Widiyanto
Forestry Research and Development Agency
41 PUBLICATIONS 13 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Ary Widiyanto on 10 April 2016.
Ary Widiyanto
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO BOX 5 Ciamis
Email: ary_301080@yahoo.co.id
1
Tabel 1. Sifat-sifat kayu yang berpengaruh terhadap kualitas kayu
No. Sifat kayu Kualitas kayu yang dipengaruhi
1. Kayu teras Semakin besar proporsi kayu teras akan meningkatkan
kekuatan kayu, serta meningkatkan gambaran dekoratif
kayu
2 Kayu gubal Merupakan kayu muda yang sel-selnya masih berfungsi
menunjang metabolisme pohon sampai pada saat ditebang.
Keberadaan kayu gubal menurunkan kualitas kayu
Sumber: Kozlowski and Pallardy (1997), Pandit dan Ramdan (2002), SNI 01-5008.1-1999
Prinsip utama teknik silvikutur adalah mengintervensi faktor pertumbuhan
untuk mendapatkan kualitas tanaman yang lebih baik. Diantaranya adalah
meminimalkan persaingan diantara pohon dalam memperoleh nutrisi, cahaya dan air.
Praktek silvikultur meliputi kegiatan membudidayakan dan memelihara pohon hutan,
dengan tujuan mendorong pertumbuhan pohon.
Beberapa teknik silvikultur yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dan
terbukti berpengaruh terhadap kualitas kayu adalah pengaturan jarak tanam,
pemangkasan, pemupukan dan pengairan, serta penjarangan.
1. Pengaturan jarak tanam
Pengaturan jarak tanam adalah pengaturan jarak dari satu pohon ke pohon
lainnya pada arah tegak lurus pada saat penanaman. Semakin lebar jarak tanam maka
akan memacu pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan jarak tanam rapat, karena
faktor cahaya tidak menjadi pembatas. Kualitas kayu yang dipengaruhi oleh jarak tanam
adalah berat jenis, kayu reaksi, resin, panjang sel, jumlah mata kayu, diameter, tinggi
dan angka bentuk dolok.
Pertumbuhan cepat akan mengakibatkan proporsi kayu muda (juvenile wood)
lebih besar, dengan berat jenis (spesific gravity) dan kerapatan kayu (wood density)
yang rendah, sehingga kualitas kayunya juga lebih rendah. Dalam hal ini, pada awal
2
penanaman sebaiknya jarak tanam yang digunakan lebih rapat, agar membentuk batang
lebih silindris, bebas cabang lebih tinggi dan percabangan ringan sehingga terjadi
pemangkasan alami dan jumlah mata kayu lebih sedikit.
Beberapa hasil penelitian menunjukan pengaruh dari jarak tanam terhadap BJ
kayu yang dihasilkannya. Erdmann (1988) menunjukkan bahwa jarak tanam 3,7 m akan
menghasilkan kayu muda kurang lebih enam tahun lebih lama daripada jarak tanam 1,8
m. Berry (1987) dalam Wilcocks dan Bell (1995) mempresentasikan nilai produksi
biomasa (indikator BJ) berdasarkan jarak tanam dan lokasi, dimana perbedaan BJ antara
jarak tanam 1.8 m dan 2,5 m dapat mencapai sepuluh persen. Sjolte - Jorgensen (1967)
mempresentasikan data yang menunjukkan bahwa kecenderungan kualitas untuk cemara
Norwegia berumur 47 tahun menunjukkan BJ sepuluh persen lebih tinggi pada jarak
tanam 2 m dibandingkan dengan jarak tanam 3,5 m, meskipun tidak berbeda jauh antara
jarak tanam 2m dengan 3m. Jayne (1958) dalam Wilcocks dan Bell (1995) menemukan
perbedaan yang lebih kecil ketika ia membandingkan nilai BJ pinus merah pada
perkebunan dengan jarak tanam 1,2 m sampai 2,5 m. Untuk pinus dari wilayah selatan
Amerika, Maeglin (1967) dalam Wilcocks dan Bell (1995) menemukan perbedaan BJ
kurang dari lima persen antara jarak tanam 1 m dengan 2,5 m.
Rendahnya BJ juga dapat memiliki dampak yang signifikan pada hasil pulp.
Misalnya, perbedaan BJ 0,01 akan menyebabkan perbedaan dalam berat serat kayu
kering per meter kubik sebesar 10 kg (Baker 1967). Hal lain yang juga penting dalam
pembuatan pulp adalah persentase kayu reaksi. Kayu reaksi memiliki tingkat lignin
yang tinggi yang mengurangi hasil pembuatan pulp (Hall 1963 dalam Wilcocks and
Bell (1995)). Jumlah kayu reaksi secara tidak langsung berhubungan dengan
meningkatnya sudut serat (fibril angle) (Bendtsen 1978 dalam Wilcocks dan Bell
(1995)).
Beberapa sifat kayu lainnya juga dipengaruhi oleh pengaturan jarak tanam,
sebagaimana ditunjukan oleh beberapa hasil penelitian. Mengenai pengaruh jarak tanam
terhadap variasi kayu reaksi, Sjolte-Jorgensen (1967) menunjukan, pada Norway spruce
tidak menunjukkan peningkatan lignin dengan peningkatan jarak tanam. Kadar lignin
tinggi, yang akan mengurangi rendemen pulp terkait dengan kayu reaksi (Hall, 1963
dalam Wilcocks dan Bell (1995)). Variabel lainnya yang penting bagi kualitas kayu dan
dipengaruhi oleh jarak tanam antara lain kandungan resin, panjang sel dan penyusutan
3
melintang. Bendtsen (1978) dalam Wilcocks dan Bell (1995) mengemukakan bahwa
jarak yang lebih lebar cenderung menghasilkan nilai kualitas sedikit lebih rendah untuk
sebagian besar variabel ini dikarenakan peningkatan persentase kayu juvenil.
Penanaman dengan jarak tanam yang lebih luas akan mengasilkan diameter log
yang lebih besar (Wilcocks dan Bell, 1995). Hal ini menambah secara signifikan
terhadap nilai pohon yang ditebang. Tetapi hal ini meningkatkan kemungkinan ukuran
mata kayu yang lebih besar dan keruncingan kayu yang meningkat sehingga juga dapat
mengurangi nilai produk (Wilcocks dan Bell, 1995).
Secara ringkas, pengaruh jarak tanam terhadap kualitas kayu disarikan pada
Tabel 2 berikut ini.
2. Pemangkasan
Pemangkasan adalah pemotongan cabang yang dilakukan pada tanaman muda
dalam rangka pemeliharaan untuk memperoleh tinggi bebas cabang (clear bole) yang
optimal serta meminimalkan mata kayu. Pemotongan cabang dilakukan sedekat
mungkin dengan batang utama, pada diameter cabang yang masih kecil serta letak
cabang sedekat mungkin dengan permukaan tanah atau cabang dan ranting yang
sudah mulai mengering. Kualitas kayu yang dipengaruhi oleh pemangkasan adalah
persentase kayu teras dan gubal serta angka bentuk atau faktor keruncingan pohon.
4
Pengaruh intensitas pemangkasan terhadap pertumbuhan pohon telah dipelajari
pada jenis tanaman pinus dan jati. Pada jenis pinus, dilakukan pada pohon Pinus elliottii
Englem umur 13 tahun di Rio Grande do Sul, Brazil. Tiga jenis perlakuan pemangkasan
yang dilakukan adalah pemangkasan 0% (control), 40% dan 60%. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh pemangkasan terhadap kehilangan volume kayu.
Perlakuan pemangkasan mengakibatkan kehilangan besar terhadap volume produksi
yaitu kehilangan 12% untuk intensitas pemangkasan 40% dan kehilangan 14% dengan
intensitas pemangkasan 60%. Oleh karena itu, intensitas pemangkasan di bawah 40%
dari tinggi total dianjurkan (Schneider et al. 1999 dalam Viquez dan Perez, 2005)).
Selain pinus, juga telah dilakukan penelitian tentang jati di India yang
menunjukkan bahwa pemangkasan sebelum penjarangan pertama tidak menguntungkan
karena pemangkasan secara alamiah (tanpa campur tangan manusia) telah dianggap
cukup untuk menghasilkan pohon yang bebas mata kayu. Penelitian juga menunjukkan
bahwa pemangkasan akhir tidak berguna, karena itu waktu ideal untuk pemangkasan jati
adalah antara penjarangan kedua dan ketiga (Jha 1999 dalam Viquez dan Perez, 2005)).
Viquez dan Perez (2005) telah melakukan percobaan pemangkasan jati di Kosta
Rika. Menurut studi ini, kondisi awal tanaman relatif seragam (usia 2,2 tahun ) dengan
diameter setinggi dada (dbh) rata-rata 7,6 cm dan tinggi total rata-rata 7,1 ± 0,12 m.
Hasil penelitian menunjukan bahwa total volume per pohon berbeda secara signifikan
antara pemangkasan dengan jarak 3m dari tanah (P- 3m) dengan P-4 m dan P-5 m.
Demikian juga untuk proporsi kayu teras (heartwood), dimana persentase kayu teras
lebih besar pada P-3m.
Dalam penelitian ini, bentuk batang cenderung sedikit berbeda antar perlakuan,
namun secara statistik berbeda nyata. Pemangkasan 3m menghasilkan faktor
keruncingan tertinggi (1,82 cm/m) dan faktor bentuk batang bervariasi tetapi tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Secara lengkap, pengaruh pemangkasan
terhadap kualitas kayu dapat dilihat pada Tabel 3.
5
Tabel 3. Pengaruh pemangkasan terhadap kualitas kayu
Volume total Volume kayu teras Volume kayu gubal Faktor keruncingan
Perlakuan
(m3/pohon) (m3/pohon) (m3/pohon) (cm/m)
6
bagian luar kayu dewasa dimana panjang dan diameter serat lebih tergantung pada
jumlah jaringan kambium. Panjang dan ketebalan dinding sel serat menurun dengan
meningkatnya pertumbuhan diameter dalam kayu dewasa, tapi lebar serat tidak terlalu
terpengaruh oleh tingkat pertumbuhan. Kerapatan kayu menurun setelah pemupukan,
yang disebabkan oleh dinding sel yang tipis dalam lingkaran tahun yang lebar
(Saranpää, 2001).
Secara lebih detil, pengaruh pemupukan terhadap beberapa kandungan kimia
kayu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan kimia batang kayu (pada ketinggian 1,3 m dan 4 m)
dengan pemupukan dan pengairan (P) dibandingkan dengan kontrol (C)
Hemi-
Perla Tinggi selulosa Gula dapat
Lignin α-selulosa Pati Resin Lemak
kuan (m) (% berat larut
kering)
C 1,3 28,0 48,0 21,5 0,35 2,51 0,25 0,43
P 1,3 30,5 48,9 19,9 0,45 2,28 0,28 0,46
C 4,0 28.0 47,7 20,9 0,46 2,46 0,32 0,46
P 4,0 29.6 49,5 19,4 0,60 2,38 0,37 0,45
Sumber: Saranpää (2001), dengan modifikasi
4. Penjarangan
Penjarangan bertujuan untuk mengurangi jumlah tanaman agar tanaman
mempunyai ruang lebih besar untuk tumbuh. Waktu penjarangan akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kualitas kayu dari tegakan sisa. Apabila
penjarangan dilakukan pada awal, maka fungsinya akan sama dengan penggunaan jarak
tanam yang lebar, mengakibatkan terjadinya peningkatan ukuran dari kayu muda,
sehingga membuat kayu mempunyai berat jenis dan kekuatan yang rendah, serat yang
lebih pendek, kandungan lignin yang lebih tinggi serta mempunyai penyusutan
longitudinal lebih tinggi.
Perez dan Kaninen (2005) telah melakukan penelitian pengaruh penjarangan
terhadap kualitas kayu pada tanaman di Kosta Rika. Jati ditanam pada lahan seluas 324
ha dengan jarak tanam 2,5 x 2 m (sekitar 1600 pohon/ha) pada tahun 1994. Hasil
penelitian menunjukan bahwa perbedaan intensitas dan waktu penjarangan berpengaruh
pula terhadap volume kayu teras, angka bentuk pohon dan kerapatan dasar kayu.
Volume kayu teras terbesar didapatkan pada perlakuan penjarangan sebanyak 25% pada
7
tahun keenam, angka bentuk terbaik didapatkan pada perlakuan penjarangan sebanyak
25% pada tahun keenam, 25% pada tahun ke 4 dan ke 5 dan 40% tahun keempat.
PENUTUP
Kesimpulan yang bisa diambil adalah praktek-praktek silvikultur yang
diantaranya meliputi pengaturan jarak tanam, pemangkasan, penjarangan, pemupukan
dan pengairan serta penjarangan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
berpengaruh terhadap kualitas kayu yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sebagaimana dijelaskan pada tulisan diatas,
maka teknik silvikultur yang perlu dilakukan untuk mendapatkan kayu dengan kualitas
sebaik mungkin adalah: 1) Jarak tanam yang rapat pada awal penanaman, 2)
Pemangkasan kurang dari 40% dari tinggi pohon, 3) Pemupukan dan pengarian yang
intensif terutama pada awal pertumbuhan pohon dan 4) Penjarangan dilakukan sekitar
25%-40% dan tidak dilakukan pada awal pertumbuhan pohon.
DAFTAR PUSTAKA