Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN LO

SKENARIO BLOK FARMASI SAINS DAN INDUSTRI


“PROSES PRODUKSI SERBUK INJEKSI LIOFILISASI REMDESIVIR 100 MG”

OLEH :
KELOMPOK TUTORIAL G
ANGGOTA :

1. TRI NOVASARI SETYA W. 20811013


2. DEKA BELLA UTAMI 20811074
3. MARTINUS L. TAMBA 20811010
4. SRI ESTIKA ROHMAN 20811022
5. NURHALIMAH 20811028
6. HAFISAH 20811047
7. RISMANADA JULIAN P. 20811049
8. METRIANA SARI 20811071
9. DIANAH SALMA 20811052

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2020
LAPORAN LO
“Proses Produksi Serbuk Injeksi Liofilisasi Remdesivir 100 mg”

LEARNING OBJECTIVE (LO)


1. Mampu mengetahui dan menjelaskan tentang tahap pengembangan obat
2. Mampu mengetahui dan menjelaskan tentang tahap preformulasi skala lab, pilot dan
produksi
3. Mampu mengetahu dan menjelaskan tentang tatalaksana registrasi obat sesuai
BPOM dan sertifikasi halal MUI
4. Mampu mengetahui dan menjelaskan tentang peran dari apoteker di departemen
pada industri farmasi (QA,QC, RnD, IPC)
5. Mampu mengetahui dan menjelaskan tentang kelengkapan dokumen
pengepakan/packaging dan kelengkapan dokumen batch record

PEMBAHASAN
Pengembangan obat memiliki beberapa tahap, yaitu skrining senyawa obat untuk
mengidentifikasi senyawa yang akan ditarget untuk obat baru, melakukan kajian Pustaka
dan mencari innovator untuk obat yang sudah ada di pasaran, formulasi obat untuk
membuat sediaa farmasi yang sesuai, melakukan percobaan dan optimasi R&D, proses
validasi, uji praklinis dan uji klinis untuk obat baru, registrasi obat (Hairunnisa, 2019). Dalam
uji klinik harus mempertimbangkan aspek CUKB sebagai bentuk perlindungan kepada
subjek uji, dan dilakukan uji klinik pasca pemasaran untuk mengkonfirmasi keamanan obat
yang dikembangkan (BPOM, 2015). Tahap pengembangan obat juga dapat dimulai
dengan preformulasi, desain produk (untuk merancang obat yang akan dibuat, optimasi
produk untuk memastikan produk memenuhi spesifiasi kualitas, desain proses berupa
rancangan dan produksi alat dan metode, scale up dilakukan pada skala kecil ke besar,
validari untuk mengetahui validasi metode (Gibson, 2009). Tahap pengembanagn obat
dipasaran terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu rahap penemuan dan pengembangan
produksi (meluncurkan obat baru), tahap perkenalan (promosi obat), tahap pertumbuhan
(penjualan obat), tahap mendewasan (pempertahankan produk dipasaran), tahap
penurunan (penyusutan produk di pasaran) (Anderson, 2008). Terdapat 3 stakeholder yang
berpengaruh besar pada pengembangan obat, yaitu industri farmasi sebagai penggerak,
peneliti yang melakukan riset, dan pemerintah untuk peningkatan suplai bahan baku
(BPOM, 2018).
Proses pembuatan sediaan farmasi terbagi dalam 3 skala yaitu:
1.) Skala laboratorium dimana dilakukan untuk produksi obat-obat dengan
formulasi baru yang belum pernah diproduksi sebelumnya, pada skala ini dilakukan
pembuatan dengan jumlah bahan yang digunakan lebih sedikit. Biasanya dibuat dalam
jumlah volume 1-2 liter. Pada skala laboratorium penimbangan hingga granulasi dilakukan di
lab RnD sendiri. Uji yang dilakukan pada skala laboratorium antaraya fisika serta kimia
bahan, kemudian sediaan pemasok suatu bahan baku, terakhir di lihat kemasan pasar.
Produksi skala laboratorium bertujuan untuk pengembangan sediaan obat dalam mencapai
formula obat yang bagus yang kemudian akan dicoba dengan dilanjutkan scale up (BPOM,
2009).
2.) Skala pilot (scale up) dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan produk
dengan skala lebih kecil dari produksi masal dengan menggunakan peralatan yang akan
digunakan pada produksi masal. Produksi pilot biasanya juga digunakan untuk memproduksi
produk yang akan di uji ataupun dievaluasi. Produksi skala pilot dapat juga dikatakan
sebagai produksi trial sebelum dilakukannya produksi untuk komersial (produksi skala
massal). Pada skala ini jumlah volume yang dibuat 10-50 liter atau sesuai dengan kapasitas
minimum alat produksi. Biasanya dilakukan modifikasi dan validasi alat serta proses dalam
pembuatan terkait SOP, dilakukan alur dokumen dan produksi, personal, kapasitas alat
dalam suatu proses, pewadahan, serta manajemen penyimpanan dan dilakukan karantina.
Skala produksi bertujuan untuk melakukan percobaan proses suatu produksi obat sebelum
dilakukan pada skala lebih besar yaitu industri. Tujuan lain dilakukannya skala pilot ini
adalah untuk memperoleh data stabilitas selama 6 bulan dan validasi proses terkait
keperluan registrasi ke BPOM. BPOM akan memberikan approved letter kepada industri.
Industri harus memproduksi satu produk komersial untuk mendapatkan nomor izin edar
(BPOM, 2009). Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada produksi skala pilot,
diantaranya: a) Evaluasi bahan baku yang digunakan; b) Evaluasi formulasi dan
peralatan,seperti kapasitas alat, persyaratan proses menurut CPOB,dll (BPOM, 2018).
3.) Skala industri/produksi massal, Produksi massal merupakan produksi dalam
skala paling besar yang dilakukan dengan peralatan, bahan dan formula yang telah
ditentukan sebelumnya. Produksi skala massal biasanya produk akan langsung di
distribusikan kepada konsumen, akan tetapi harus melewati beberapa pengujian terlebih
dahulu. Skala yang dibuat dalam jumlah yang lebih besar dengan volume 100-1000 liter.
Skala ini dilakukan setelah tahap skala laboratorium dan skala pilot telah selesai. Pada
tahap ini, meliputi suatu modifikasi dan serta validasi alat dan proses, penerapan penentuan
suatu SOP, membuat dokumentasi, dan melakukan monitoring. Skala ini bertujuan untuk
melakukan produksi obat untuk keperluan komersial. Formulasi yang diajukan telah
memenuhi serangkaian syarat dan siap untuk diproduksi dalam skala industri (BPOM,
2009).
Produksi obat yang memenuhi syarat dalam skala produksi akan diedarkan di
Indonesia yang sebelumnya telah melakukan registrasi izin edar Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat yaitu 1). Obat yang akan dilakukan registrasi merupakan obat Produksi
Dalam Negeri; dan 2). Obat Impor dengan kriteria obat yang harus dipenuhi dengan
melihat a). Khasiat dan keamanan obat yang meyakinkan dengan bukti uji non-klinik dan uji
klinik; b). Memenuhi persyaratan dengan berdasarkan CPOB dan spesifikasi bahan serta
validasi yang dapat dibuktikan dengan bukti yang sahih; c). Penandaan dan informasi
produk lengkap dan objektif; d). Sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan e). Khusus untuk
obat-obat psikotropika harus memiliki keunggulan dibandingkan dengan obat yang sudah
beredar di indonesia. Tatalaksana registrasi BPOM yaitu: Obat yang akan dilakukan
registrasi sebelumnya harus melakukan pra registrasi; Proses izin edar pada saat
permohonan pra registrasi maupun registrasi dapat dilakukan secara tertulis kepada kepala
badan; Pada dokumen registrasi izin edar disusun mengikuti format yang sesuai yaitu format
ASEAN common technical dossier (ACTD); Melakukan pengisian dokumen dan proses pra
registrasi dan registrasi dapat dilakukan secara elektronik.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal,
Poduk Halal didefinisikan sebagai produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat
Islam. Proses Produk Halal (PPH) merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Jaminan Produk Halal (JPH) adalah
kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan
Penyelengga Jaminan Produk Halal berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh
Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Berikut merupakan tahapan yang dilewati perusahaan yang akan mendaftar proses
sertifikasi halal (LPPOM MUI, 2020): 1) Memahami persyaratan sertifikasi halal dan
mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal (SJH) Perusahaan harus memahami
persyaratan sertifikasi halal yang tercantum dalam HAS 23000. Perusahaan juga harus
mengikuti pelatihan SJH yang diadakan LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler maupun
pelatihan online (e-training); 2) Menerapkan sistem jaminan halal (SJH) Perusahaan
harus menerapkan SJH sebelum melakukan pendaftaran sertifikasi halal, antara lain:
penetapan kebijakan halal, penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH,
pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit dan kaji
ulang manajemen; 3) Menyiapkan dokumen sertifikasi halal Perusahaan harus
menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk sertifikasi halal, antara lain: daftar produk,
daftar bahan dan dokumen bahan, matriks produk, Manual SJH, diagram alir proses, daftar
alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi kebijakan halal, bukti pelatihan internal dan bukti
audit internal. Instansi internal atau ekternal yang bekerja sama dengan MUI akan
melakukan uji terhadap produk dan bahan yang digunakan oleh Industri Farmasi sebagai
pemohon. Kemudian sertifikat halal akan dikeluarkan oleh MUI; 4) Melakukan pendaftaran
sertifikasi halal (upload data). Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara online di
sistem Cerol melalui website www.e-lppommui.org. Perusahaan harus membaca user
manual Cerol terlebih dahulu untuk memahami prosedur sertifikasi halal. Perusahaan harus
melakukan upload data sertifikasi sampai selesai, baru dapat diproses oleh LPPOM MUI; 5)
Melakukan monitoring pre audit dan pembayaran akad sertifikasi. Setelah melakukan
upload data sertifikasi, perusahaan harus melakukan monitoring pre audit dan pembayaran
akad sertifikasi. Monitoring pre audit disarankan dilakukan setiap hari untuk mengetahui
adanya ketidaksesuaian pada hasil pre audit. Pembayaran akad sertifikasi dilakukan dengan
mengunduh akad di Cerol, membayar biaya akad dan menandatangani akad, untuk
kemudian melakukan pembayaran di Cerol dan disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI. 6)
Pelaksanaan audit. Audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah lolos pre audit dan
akad sudah disetujui. Audit dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan dengan produk
yang disertifikasi. 7) Melaksanakan monitoring pasca audit Setelah melakukan upload
data sertifikasi, perusahaan harus melakukan monitoring pasca audit. Monitoring pasca
audit disarankan dilakukan setiap hari untuk mengetahui adanya ketidak sesuaian pada
hasil audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian agar dilakukan perbaikan. 8) Memperoleh
sertifikat halal. Mengunduh Sertifikat halal dalam bentuk softcopy di Cerol. Sertifikat halal
yang asli dapat diambil di kantor LPPOM MUI Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat
perusahaan. Sertifikat halal berlaku selama 2 (dua) tahun.
Peran apoteker pada bagian pengawasan mutu (QC) adalah bertanggung jawab
penuh dalam seluruh tugas pengawasan mutu dalam proses pembuatan obat dan berperan
dalam mengambil keputusan dalam kegiatan yang terdapat dalam industri farmasi mulai dari
bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi (Depkes RI, 2009). Selanjutnya
pada bagian pemastian mutu (QA) apoteker berperan untuk memverifikasi seluruh
pelaksanaan proses produksi, pemastian pemenuhan persyaratan seluruh sarana
penunjang produksi dan pelulusan produksi jadi. Dalam hal ini, pemastian mutu suatu
konsep luas yang mencakup semua hal yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang
dihasilkan, seperti personel, sanitasi, danhigiene, bangunan, sarana penunjang (BPOM,
2018). Pada departemen RnD apoteker berperan dalam menentukan formula, teknik
pembuatan, dan menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan, produk antara, dan
produk jadi. Pengembangan produk ini dilakukan mulai dari skala laboratorium, skala pilot,
hingga skala produksi (Utomo, 2017).Di beberapa industri, bagian pengembangan produk
juga bertanggung jawab terhadap desain kemasan produk (Bragoliet al., 2014). Metode IPC
adalah sebuah strategi yang termasuk bagian QC (Quality Control) untuk memonitor proses
sintesis bahan kimia dan biokimia dari API (Active Pharmaceutical Ingredient). Uji ini
dilakukan untuk menentukan apakah sebuah bahan/produk kimia siap untuk melanjutkan
ketahap produksi selanjutnya (Wood, 2011).
Berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman CPOB,
pengawasan selama proses produksi (IPC) merupakan hal yang penting dalam pemastian
mutu suatu produk farmasi yang mana apoteker berperan untuk memastikan keseragaman
dan keutuhan batch produksi obat, serta memantau hasil dan memvalidasi kinerja dari
proses produksi sehingga tidak terjadi variasi atau perbedaan spesifikasi produk dalam
proses produksi. Pengawasan tersebut hendaknya mencakup semua parameter produk,
volume atau jumlah isi produk yang diperiksa di awal dan selama proses produksi, serta
pemeriksaan kemasan untuk memastikan semua proses tersebut telah sesuai spesifikasi
dan prosedur yang telah ditetapkan.
Pada pengemasan produk induk sebaiknya diperhatikan tentang kelengkapan
dokumennya. Dokumen tersebut umumnya mencakup pada hal berikut ini (BPOM, 2018) :
a. Terdapat nama produk;
b. Mendeskripsikan bentuk sediaan dan kekuatannya yang diperlukan;
c. Terdapat ukuran kemasan yang dicantumkan dalam bentuk angka, berat atau
volume produk dalam wadah akhir;
d. Semua bahan pengemas yang diperlukan untuk satu bets standar meliputi jumlah,
ukuran dan jenis bersama kode atau nomor referensi, nomor bets dan tanggal
kadaluarsa dicantumkan
e. Terdapat prosedur tindakan khusus yang harus diperhatikan
f. Terdapat uraian mengenai rincian kegiatan pengemasan termasuk kegiatan
tambahan yang signifikan
g. Kegiatan seperti pengambilan sampel dan batas penerimaan, diawasi  dengan rinci
selama-proses 
Kelengkapan dokumen pengemasan bets yang tersedia hendaknya dibuat dibuat
berdasarkan bagian relevan dari Prosedur Pengemasan Induk yang berlaku dan metode
pembuatan catatan ini hendaklah didesain untuk menghindar-kan kesalahan transkripsi. 
Pada dokumen harus mencantumkan nomor bets dan jumlah produk jadi yang direncanakan
akan diperoleh. Pada dokumen tersebut mencakup sebagai berikut (BPOM, 2018) :
a. Terdapat nama produk, tanggal dan waktu tiap kegiatan pengemasan;
b. Nama personil yang bertanggung jawab;
c. Terdapat paraf dari operator pada setiap kegiatan;
d. Data-data pemeriksaan seperti identitas dan konformitas dengan Prosedur
Pengemasan Induk termasuk hasil pengawasan selama proses harus dicantumkan;
e. Terdapat rincian kegiatan pengemasan meliputi referensi peralatan dan jalur
pengemasan yang digunakan
f. Mencantumkan sampel bahan pengemas cetak yang digunakan, termasuk spesimen
dari kodifikasi bets, pencetakan tanggal kadaluarsa serta semua pencetakan
tambahan jika dimungkinkan;
g. Catatan terkait masalah khusus yang mungkin terjadi dengan penjelasan dan paraf
sebagai pengesahan untuk semua penyimpangan terhadap Prosedur Pengemasan
Induk harus dicantumkan;
h. Untuk melakukan rekonsiliasi yang memadai diperlukan data jumlah dan nomor
referen atau identifikasi dari semua bahan pengemas cetak dan produk ruahan yang
diserahkan, digunakan, dimusnahkan atau dikembalikan ke stok dan jumlah produk
yang diperoleh

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson, C.R., and Zeithami, C.P, 2008, Stage of the Product Life Cycle, Business
Strategy and Business Performance, Jurnal of Academy Management 27 (1): 5-24
2. Badan POM, 2009. Cara Pembuatan Bahan Aktif yang Baik. Jakarta : Badan
Pengawasan Obat dan Makanan RI
3. BPOM. 2015. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 16 Tahun 2015
tentang Tatalaksana dan Pengembangan Obat Baru.
4. BPOM, 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 Tahun 2018
Tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. BPOM, Jakarta.
5. BPOM RI, 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 13 Tahun
2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Nomor Hk.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 Tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat Yang Baik, Jakarta
6. Bragoli, Daniela, FlaviaCortelezzi, dan Giovanni Marseguerra. 2014. R&D and Capital
Structure, and Ownership Concentration: Evidence from Italian Microdata. Journal
Industry and Innovation. Vol. 23 (3), pp. 223-242
7. Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
8. Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
9. Gibson M, 2009, Pharmaceutical Preformulation and Formulation; A Practice from
Candidate drugs Selection to Commercial Dosage Form, Informa Healthcare.
10. Hairunnisa, H., 2019. Sulitnya Menemukan Obat Baru di Indonesia. Farmasetikacom
Online 4, 16. https://doi.org/10.24198/farmasetika.v4i1.22517
11. LPPOM MUI, 2020. Persyaratan Sertifikasi Halal MUI. URL
https://www.halalmui.org/mui14/main/page/persyaratan-sertifikasi-halal-mui (accessed
4.11
12. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 Tahun 2018 tentang
Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
13. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
14. Peraturan Pemerintah RI. 2019. Perautran Pemerintah RI No. 31 Tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal.
15. PerkaBPOM, 2015. Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 16 Tahun
2015 Tentang Tata Laksana Dan Penilaian Obat Pengembangan Baru. Jakarta: Kepala
Badan Pengawas Obat Dan Makanan
16. Utomo, U. A. C., Septiani, A., 2017. Pengaruh Corporate Governance
TerhadapInvestasi Research & Development pada Perusahaan Farmasi di
Indonesia.Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 6 (3), 2337-3806.
17. Wood, C., 2011. In-Process Control Testing.In Separation Science and
Technology (Vol. 10, pp. 397-427).Academic Press

Anda mungkin juga menyukai