Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MANAJEMEN MUTU

“PENERAPAN MANAJEMEN MUTU DIDALAM PRODUKSI


SEDIAAN INJEKSI STERIL”

OLEH:
NAMA : ULAN SUCI
NPM : 2018001257
KELAS :C

PROGRAM STUDI APOTEKER FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 1

BAB I ...................................................................................................................... 2

LATAR BELAKANG ........................................................................................... 2

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 2

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3

1.3 Tujuan .......................................................................................................... 3

BAB II .................................................................................................................... 4

KERANGKA KONSEP ........................................................................................ 4

BAB III ................................................................................................................... 8

PELAKSANAAN MANUFACTURING ............................................................. 8

3.1 Alur Produksi Sediaan Injeksi Kering ...................................................... 8

3.2 Alur Produksi Sediaan Injeksi Cair .......................................................... 9

BAB IV ................................................................................................................. 22

PEMBAHASAN .................................................................................................. 22

4.1 Contoh Kasus ............................................................................................. 22

4.2 Penyelesaian Kasus.................................................................................... 23

BAB V................................................................................................................... 25

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 25

5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 25

5.2 Saran ........................................................................................................... 25

BAB VI ................................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

1
BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang

Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.
Dalam pembuatan obat ini, industri farmasi harus menyesuaikan dengan tujuan
penggunaanya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar
dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan pengguna. Karena
menyangkut soal nyawa manusia, industri farmasi dan produknya diatur secara
ketat.
Pengendalian menyeluruh dalam pembuatan obat sangat esensial untuk
menjamin konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. Pembuatan secara
sembarangan tidak dibenarkan bagi produk yang digunakan untuk menyelamatkan
jiwa, atau memulihkan atau memelihara kesehatan. Tidaklah cukup bila produk jadi
hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih penting adalah
bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk tersebut.
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar tercapai tujuan
persyaratan sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan tidak
menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu
rendah atau tidak efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan
manajemen mutu. Manajemen mutu harus dapat mencapai tujuan mutu secara
konsisten yang didesain secara menyeluruh dan ditetapkan secara benar.
Salah satu sediaan yang digunakan dalam proses pengobatan adalah sediaan
injeksi. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan
steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir
(Depkes, 1979). Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah
injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya larutan
obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan
karena berbahaya yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
kapiler (Depkes, 1995).

2
Sediaan injeksi dapat berupa larutan, suspensi, maupun serbuk (injeksi
kering). Untuk zat aktif yang mudah larut dalam air injeksi (aqua pro injection),
dibuat dalam larutan. Untuk zat aktif yang kurang larut dalam air injeksi (aqua pro
injection), dibuat dalam suspensi. Suspensi injeksi biasanya tidak diberikan dalam
rute intravena. Untuk zat aktif yang kurang stabil dalam air (mudah terurai dalam
air), dibuat dalam serbuk injeksi, atau disebut juga injeksi kering. Yang mana dalam
penggunaannya dilarutkan dengan air steril (aqua pro injection) beberapa saat
sebelum diberikan pada pasien. Tidak seperti sediaan yang digunakan dalam rute
peroral, sediaan injeksi memiliki persyaratan steril dalam proses produksinya.
Dengan meminimalkan cemaran mikroba, memperhatikan tonisitas, dan membuat
formulasi yang sesuai, sangat memungkinkan produk injeksi efektif, aman, dan efek
terapinya relatif lebih cepat daripada rute pemberian obat lainnya.
Proses produksi sediaan injeksi telah diatur dalam Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB) Indonesia, dengan memperhatikan standar-standar mutu,
sehingga kualitas sediaan dapat terjamin selama waktu yang telah ditentukan
(sebelum tanggal kadaluarsa). Setiap memproduksi satu bets, ada dokumen-
dokumen yang harus dilengkapi untuk mencapai standar sediaan yang efektif dan
aman.
Setiap proses produksi sediaan farmasi diawasi oleh apoteker, karenanya
pengetahuan tentang produksi sediaan farmasi harus dipahami oleh apoteker,
sehingga apoteker dapat memastikan mutu suatu sediaan farmasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penerapan manajemen mutu dalam produksi sediaan injeksi
steril ?
2. Bagaimana pelaksanaan manufacturing sediaan injeksi steril ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui manajemen mutu dalam produksi sediaan injeksi steril
2. Untuk mengetahui proses manufacturing sediaan injeksi steril

3
BAB II

KERANGKA KONSEP

Pengertian Industri Farmasi


Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri
kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri
Farmasi harus membuat obat sesuai aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang
membahayakan konsumen, baik karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun
mutu obat yang substandar (Menkes RI, 2010).

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)


Cara Pembuatan Obat yang Baik adalah bagian dari Pemastian Mutu yang
memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai
standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin
edar dan spesifikasi produk. (Badan POM RI, 2018).

Manajemen Mutu Industri Farmasi


Unsur dasar manajemen mutu adalah sistem mutu dan pemastian mutu.
Sistem mutu mencakup struktur organisasi, prosedur, proses, dan sumber daya.
Pemastian mutu/Quality Assurance (QA) adalah semua pengaturan yang dibuat
dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat yang dihasilkan dengan mutu yang
sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Sedangkan pengawasan mutu/Quality Control
(QC) adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel,
spesifikasi, pengujian serta organisasi, dokumentasi, prosedur pelulusan (Badan
POM RI, 2018).
Konsep dasar Pemastian Mutu, CPOB, Pengawasan Mutu dan Manajemen
Risiko Mutu adalah aspek manajemen mutu yang saling terkait. Pemastian mutu
mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain di luar pedoman ini seperti desain
dan pengembangan produk.

4
A. Quality Management System
Quality Management System (QMS) adalah suatu sistem yang memuat
garis besar kebijakan dan prosedur yang diperlukan untuk meningkatkan dan
mengontrol proses yang akhirnya akan menuju pada peningkatan business
performance. QMS meliputi serangkaian elemen-elemen yang saling terkait dan
berinteraksi yang mengarahkan dan mengontrol organisasi untuk mengacu pada
peningkatan mutu. Oleh sebab itu QMS hendaknya diaplikasikan pada seluruh
kegiatan unit.

B. Quality Management System Industri Farmasi


1. Prinsip
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan
tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen
izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan
penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen
bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan
Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua
departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk
mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem
Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar
serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik termasuk Pengawasan
Mutu dan Manajemen Risiko Mutu.

5
Gambar 1. Diagram Hubungan QMS, QA, GMP, dan QC

2. Quality Assurance
Quality Assurance (QA) atau Pemastian Mutu adalah suatu konsep
luas yang mencakup semua hal baik secara tersendiri maupun secara kolektif,
yang akan memengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan. Pemastian Mutu
adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk
memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan
pemakaiannya. Karena itu Pemastian Mutu mencakup CPOB ditambah
dengan faktor lain di luar Pedoman, seperti desain dan pengembangan
produk.

3. Good Manufacturing Practice


Good Manufacturing Practice (GMP) atau Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB) adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan
bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar
mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin
edar dan spesifikasi produk. CPOB mencakup Produksi dan Pengawasan
Mutu.
Pedoman CPOB sesuai dengan Badan POM meliputi 12 aspek yaitu :
manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan
higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu,
penanganan keluhan produk dan penarikan kembali produk dan produk

6
kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak,
kualifikasi dan validasi.

4. Quality Control
Quality Control (QC) atau Pengawasan Mutu adalah bagian dari
CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan
pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang
memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan
dan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang
belum diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan
dinyatakan memenuhi syarat. Setiap industri farmasi hendaklah mempunyai
fungsi Pengawasan Mutu. Fungsi ini hendaklah independen dari bagian lain.
Sumber daya yang memadai hendaklah tersedia untuk memastikan bahwa
semua fungsi Pengawasan Mutu dapat dilaksanakan secara efektif dan dapat
diandalkan.

7
BAB III

PELAKSANAAN MANUFACTURING

3.1 Alur Produksi Sediaan Injeksi Kering


Injeksi kering atau serbuk injeksi adalah sediaan steril dan bebas substansi
pirogen. Karena ketidakstabilan bahan aktif dalam lingkungan berair, serbuk injeksi
tidak dapat disediakan dalam bentuk larutan. Sehingga ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada serbuk ineksi ini antara lain (Bansal, 2002):
1. Serbuk injeksi harus dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut yang sesuai
sebelum digunakan. bentuk sediaannya dapat berupa larutan atau suspense
2. Molekul zat aktif yang dibuat dalam bentuk serbuk injeksi termasuk beta
laktam, sefalosporin, dan acyclovir.

Tahapan produksi sediaan injeksi kering adalah sebagai berikut (Bhattacharya dkk,
2015):

1. Pemantauan Area: kategori sediaan steril injeksi kering membutuhkan


perhatian besar untuk pemantauan areanya. sampling udara biasa dilakukan
dengan metode sampel udara dan metode plate. Metode plate dilakukan
selama 20 sampai 30 menit di area yang berbeda.
2. Decartoning dan cuci : botol / ampul yang decartens di ruang decarten . vial
atau ampul disimpan dimuat pada wadah berukuran berbeda dan kemudian
dicuci dengan mesin jet cuci . Setiap vial atau ampul dicuci tiga kali. Mesin
jet diisi dengan air demineralisasi dan dikompresi dan udara. air
demineralisasi datang dari tangki disimpan di bagian atas konduktivitas
bangunan air.
3. Pengeringan & Sterilisasi : ampul dan vial yang berada pada nampan yang
telah dicuci kemudian disterilisasi panas kering . Setiap sterilisasi panas
kering memiliki kapasitas rata-rata 48 nampan, atau sekitar sekitar 24.000
ampul per proses. Setiap proses terdiri dari 3 tahap yaitu penguapan,
sterilisasi dan pendinginan . Penguapan dilakukan pada suhu 120 ° C ini
mengarah ke pengeringan botol dan ampul. Suhu meningkat menjadi 350 °
dan dipertahankan selama 45 menit . Ini untuk mencapai sterilisasi botol dan
ampul . Setelah ini vial dan ampul didinginkan

8
4. Pengisisan dan penyegelan : botol yang telah kering dan steril diletakkan
dalam alat yang kemudian botol tersebut akan diisi dengan volume yang
diperlukan. Selanjutnya dilakukan penyegelan. Seluruh proses dilakukan
dengan menggunakan mesin
5. Pemeriksaan dan Pelabelan : botol ampul yang telah diisi dan disterilisasi
akan dilakukan pemeriksaan visual.
6. Pengemasan: vial/ampul dimasukkan dalam dus kecil dan dilengkapi
dengan brosur . kemudian dimasukkan dalam individual box, diberi kartu
kontrol dan dimasukkan ke dalam master box, dan disegel.

Pemantauan Area

Dekortoning vial

Pencucian dan pengeringan vial

Sterilisasi

Pengisisan

Penyegelan wadah

Pengamatan viual

Labeling dan pengemasan

Gambar 2. Diagram Alir Produksi Injeksi Kering

3.2 Alur Produksi Sediaan Injeksi Cair


Injeksi cair merupakan sediaan steril yang bebas substansi pirogen. Secara
umum, metode pembuatan sediaan steril dibagi menjadi 2 yaitu sterilisasi akhir dan
aseptis. Sterilisasi akhir adalah semua bahan (zat aktif dan tambahan) dicampur,
kemudian disterilisasi di akhir dengan menggunakan metode panas-kering (oven),
panas-lembab (autoklaf), radiasi (sinar gamma/uv) atau filtrasi (penyaringan

9
dengan menggunakan membran). Metode ini menjadi pilihan utama, dikarenakan
metode ini lebih menjamin sterilitas dari sediaan tersebut dan metode kerjanya lebih
mudah dibandingkan dengan metode aseptis. Sedangkan metode sterilisasi aseptis
adalah metode sterilisasi untuk zat yang tidak tahan panas atau metode sterilisasi
akhir tidak mungkin dilakukan (BPOM RI, 2013).

Contoh sediaan yang menggunakan metode sterilisasi aseptis yaitu


pembuatan sediaan vaksin yang mengandung bahan biologis. Kelemahan metode
ini yaitu proses kerjanya rumit dan harus memastikan bahwa seluruh aspek
(kebersihan, sirkulasi udara, suhu, kelembapan, jumlah partikel, dll) memenuhi
persyaratan, sehingga menjamin tidak terjadinya kontaminasi. Pemilihan metode
pembuatan sediaan steril harus disesuaikan dengan sifat dan stabilitas dari zat aktif.

Tahapan produksi sediaan injeksi cair, yaitu:

1. Penyiapan bahan pengemas


2. Pencucian dan Sterilisasi wadah
Botol/ampul dicuci dan disterilkan dalam satu rangkaian alat/mesin otomatis
dengan ban berjalan. Sedangkan untuk tutup karet (vial) dicuci dengan
pengocokkan mekanik dalam suatu tangki yang berisi larutan deterjen panas
yang dilanjutkan dengan pembilasan menggunakan air untuk injeksi dan
disterilkan dalam autoklaf.
3. Penyiapan bahan baku
4. Sterilisasi bahan baku
Sterilisasi bahan baku harus disesuaikan dengan sifat dan stabilitas dari bahan
baku yang akan dilakukan sterilisasi. Hal ini sangat penting karena untuk
menjamin bahwa sediaan yang akan dibuat bersih dari kontaminasi
mikroorganisme.
5. Pencampuran produk
Produk dicampur pada kondisi lingkungan tertentu. Preparat steril dibuat
dengan persyaratan khusus agar memperkecil resiko pencemaran mikroba.
Personil yang bekerja di area bersih dan steril harus dipilih dengan seksama
untuk memastikan bahwa personil tersebut dapat bekerja dengan disiplin,

10
tidak menderita penyakit atau dalam kondisi kesehatan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi produk.
6. Penyaringan larutan
7. Pengisian
Pengisian larutan steril dilakukan secara otomatis dengan menggunakan
mesin pengisi. Mesin ini harus di desain secara khusus agar dapat
memberikan ketepatan/keakuratan volume larutan yang akan diisi ke dalam
wadah.
8. Penyegelan wadah
Penyegelan ampul dilakukan dengan menggunakan mesin filling and sealing.
Cara penyegelan ampul yaitu dengan melelehkan leher gelas, sehingga
membentuk segel dengan nyala api gas oksigen bersuhu tinggi. Sedangkan
penyegelan vial dilakukan secara manual dengan menggunakan pinset steril
secara cermat dan hati-hati. Tutup karet pada vial harus cocok dengan mulut
wadah kemudian di-seal dengan alumunium.
9. Pengamatan visual
Pengamatan visual merupakan suatu pengamatan yang menggunakan indra
penglihatan. Pengamatan visual bertujuan untuk mengamati produk jadi dari
suatu sediaan. Hal-hal yang dapat diamati secara visual yaitu kelarutan,
kejernihan serta warna.
10. Pelabelan dan pengemasan
Pelabelan berfungsi untuk menandakan suatu produk agar tidak tertukar dan
memudahkan dalam proses dokumentasi suatu produk. Sedangkan
pengemasan berfungsi untuk membagi dan mengemas produk ruahan
menjadi produk jadi. Pengemasan aseptis harus memenuhi pernyaratan:
produk harus steril, wadah pengemas harus steril, lingkungan tempat
pengisian produk ke dalam wadah harus steril dan wadah pengepak harus
rapat agar mencegah terjadinya kontaminasi. Vial/ampul dimasukkan dalam
dus kecil dan dilengkapi dengan brosur. kemudian dimasukkan dalam
individual box, diberi kartu kontrol, dimasukkan ke dalam master box dan
disegel.
11. Produk akhir

11
Gambar 3. Diagram Alir Produksi Injeksi Cair (Sterilisasi Aseptis)

12
3.3 Pembuatan Produk Steril
Pembuatan produk steril hendaklah dilakukan di area bersih (masuk melalui
ruang penyangga, area bersih sesuai standar, dipasok udara yang telah difilter
dengan efisiensi yang sesuai. Secara garis besar, proses pembuatan produk steril
dibagi menjadi 2 kategori :

1. Produk disterilkan dengan sterilisasi akhir (Sterilisasi Akhir; post sterilization)

Zat aktif harus stabil terhadap molekul air dan pada suhu sterilisasi. Sediaan
disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-
lubangnya ditutup dengan kertas perkamen, disterilkan dengan cara sterilisasi yang
sesuai. Pembuatan produk menggunakan cara ini merupakan pembuatan pada
umumnya.

13
2. Produk diproses secara aseptis, pada sebagian atau semua tahap (Aseptic
Processing)

Tujuan dari proses aseptis adalah untuk mempertahankan sterilitas produk


yang dibuat dari komponen-komponen yang masing-masing telah disterilisasi
sebelumnya menggunakan salah satu cara dari metode yang ada. Kondisi
operasional hendaklah dapat mencegah kontaminasi mikroba. Untuk menjaga
sterilitas komponen dan produk selama-proses aseptis, perhatian perlu diberikan
pada:

 Lingkungan ;
 Personil;
 Permukaan yang kritis;
 Sterilisasi wadah / tutup dan prosedur pemindahannya;
 Waktu tunggu maksimum bagi produk sebelum pengisian ke dalam wadah
akhir; dan
 Filter untuk sterilisasi
Terbatas pada sediaan yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan
dapat mengakibatkan penguraian atau penurunan kerja farmakologinya. Antibiotika
dan beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik secara
aseptik. Cara aseptik bukanlah suatu metode sterilisasi , melainkan suatu cara kerja
untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam
sediaan.
Proses aseptik adalah cara pengurusan bahan steril menggunakan teknik
yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya cemaran kuman hingga
seminimum mungkin. Teknik aseptik dimaksudkan untuk digunakan dalam

14
pembuatan sediaan steril yang tidak dapat dilakukan proses sterilisasi akhir karena
ketidakmantapan zatnya. Sterilitas hasil akhir hanya dapat disimpulkan jika hasil
itu memenuhi syarat Uji Sterilitas yang tertera pada Uji Keamanan Hayati.
Dalam pembuatan larutan steril menggunakan proses ini, obat steril
dilarutkan atau didispersikan dalam zat pembawa steril, diwadahkan dalam wadah
steril, akhirnya ditutup kedap untuk melindungi terhadap cemaran kuman. Semua
alat yang digunakan harus steril. Ruangan yang digunakan harus disterilkan terpisah
dan tekanan udaranya diatur positif dengan memasukkan udara yang telah dialirkan
melalui penyaring bakteri. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan tabir pelindung
atau dalam aliran udara steril.

Sebelum membuat rancangan/lay out pabrik obat steril, penting untuk


memperhatikan sediaan apa yang akan kita produksi. Apakah aseptis atau non
aseptis, volume besar atau kecil, bentuk ampul atau vial, golongan betalaktam – non
betalaktam, dan sebagainya. Pemahaman mengenai bentuk sediaan sangat penting
agar jangan sampai sesudah dibangun ternyata tidak sesuai dengan obat yang akan
diproduksi.

Pada pembuatan produk steril, dibedakan 4 kelas kebersihan, yaitu:


 Kelas A: Zona untuk kegiatan yang berisiko tinggi, misal zona pengisian,
wadah tutup karet, ampul dan vial terbuka, penyambungan secara aseptis.

15
Umumnya kondisi ini dicapai dengan memasang unit aliran udara laminar
(laminar air flow) di tempat kerja. Sistem udara laminar hendaklah
mengalirkan udara dengan kecepatan merata berkisar 0,36 – 0,54 m/detik
(nilai acuan) pada posisi kerja dalam ruang bersih terbuka. Keadaan
laminar yang selalu terjaga hendaklah dibuktikan dan divalidasi. Aliran
udara searah berkecepatan lebih rendah dapat digunakan pada isolator
tertutup dan kotak bersarung tangan.
 Kelas B: Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptis, Kelas ini adalah
lingkungan latar belakang untuk zona Kelas A.
 Kelas C dan D: Area bersih untuk melakukan tahap proses pembuatan yang
mengandung risiko lebih rendah.

3.3.1 Klasifikasi Ruang Bersih dan Sarana Udara Bersih


Ruang bersih dan sarana udara bersih diklasifikasikan sesuai dengan EN
ISO 14644-1. Klasifikasi harus dibedakan dengan jelas dari pemantauan
lingkungan pada saat operasional. Jumlah maksimum partikulat udara yang
diperbolehkan untuk tiap Kelas kebersihan adalah sebagai berikut:

Klasifikasi Kebersihan Ruang Pembuatan Obat

16
Sedangkan Rekomendasi Sistem Tata Udara (HVAC) di ruangan steril adalah :

Contoh Gambar Skematik Sistem Tata Udara Ruang Steril

17
Ruang bersih dan sarana udara bersih hendaklah dipantau secara rutin pada
saat kegiatan berlangsung dan penentuan lokasi pengambilan sampel hendaklah
berdasarkan studi analisis risiko yang dilakukan secara formal dan dari data yang
diperoleh selama penentuan klasifikasi ruangan dan/atau sarana udara bersih.

Untuk zona Kelas A, pemantauan partikel hendaklah dilakukan selama


proses kritis berlangsung, termasuk perakitan alat, kecuali bila dijustifikasi bahwa
kontaminasi yang terjadi dalam proses dapat merusak alat penghitung partikel atau
menimbulkan bahaya, misal organisme hidup dan bahan berbahaya radiologis.
Pada kasus demikian, pemantauan selama kegiatan rutin penyiapan alat hendaklah
dilakukan sebelum terpapar ke risiko kontaminasi tersebut di atas. Pemantauan

18
selama kegiatan proses yang disimulasikan hendaklah juga dilakukan. Frekuensi
pengambilan sampel dan ukuran sampel dalam pemantauan zona Kelas A
hendaklah ditetapkan sedemikian rupa sehingga mudah diintervensi. Pemantauan
Kelas B hendaklah dilakukan pada frekuensi dan jumlah sampel yang memadai
sehingga perubahan pola kontaminasi dan kegagalan sistem dapat terdeteksi dan
memicu alarm bila batas waspada terlampaui.

Pada zona Kelas A dan B, pemantauan jumlah partikel ukuran > 5,0 μm
menjadi penting karena merupakan sarana untuk deteksi dini kegagalan. Partikel
ukuran > 5 μm kadang-kadang dapat terdeteksi yang merupakan pembacaan semu,
hal ini disebabkan oleh lonjakan elektris, stray light, kejadian tidak terduga dan
lain-lain. Namun, pembacaan partikel dalam jumlah rendah yang terjadi secara
berurutan ataupun terus-menerus merupakan indikasi kemungkinan terjadi
pencemaran dan perlu diinvestigasi. Kejadian tersebut merupakan indikasi dini
kegagalan pada sistem tata udara, mesin pengisi atau merupakan indikasi dari
kebiasaan yang kurang sesuai selama perakitan alat dan kegiatan rutin.
Pemantauan area Kelas C dan D pada saat kegiatan rutin hendaklah dilakukan
sesuai dengan prinsip manajemen risiko mutu. Persyaratan batas waspada ataupun
batas bertindak tergantung pada jenis proses yang dilakukan, tetapi “waktu
pemulihan” yang direkomendasikan hendaklah tercapai.

Parameter lain misal suhu dan kelembaban udara akan tergantung pada jenis
produk dan proses yang dilakukan. Parameter ini hendaklah tidak memengaruhi
kelas kebersihan yang dipersyaratkan.

3.3.2 In Process Control


Pengawasan selama proses produksi (in process control) merupakan hal
yang yang penting dalam pemastian mutu produk. Untuk memastikan keseragaman
bets dan keutuhan obat, prosedur tertulis yang menjelaskan pengambilan sampel,
pengujian atau pemeriksaan yang harus dilakukan selama proses dari tiap bets
produk hendaklah dilaksanakan sesuai dengan metode yang telah disetujui oleh
kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) dan hasilnya dicatat.
Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk memantau hasil dan memvalidasi kinerja

19
dari proses produksi yang mungkin menjadi penyebab variasi karakteristik produk
selama proses berjalan.

Prosedur tertulis untuk pengawasan selama proses hendaklah dipatuhi.


Prosedur tersebut hendaklah menjelaskan titik pengambilan sampel, frekuensi
pengambilan sampel, jumlah sampel yang diambil, spesifikasi yang harus diperiksa
dan batas penerimaan untuk tiap spesifikasi. Di samping itu, pengawasan selama
proses hendaklah mencakup, tapi tidak terbatas pada prosedur umum sebagai
berikut:

1. Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk hendaklah


diperiksa pada saat awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan;
dan
2. Kemasan akhir hendaklah diperiksa selama proses pengemasan dengan
selang waktu yang teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan
spesifikasi dan memastikan semua komponen sesuai dengan yang
ditetapkan dalam Prosedur Pengemasan Induk.
Dalam proses produksi produk steril, dilakukan pemeriksaan selama proses
produksi (In Process Control) oleh personil produksi. IPC dilakukan pada tahap-
tahap kritis selama proses pembuatan ssediaan steril, misal:

a. Mixting Process : pH, homogenitas, kehalusan


b. Filling Process : bobot isi
c. Labelling Process : etiket, pencetakan expired date, nomor bets
d. Finishing Process : produk jadi

3.3.3 Kontrol Kualitas (Quality Control)


Quality control atau pengawasan mutu adalah bagian yang esensial dari cara
pembuatan obat yang baik agar tiap obat yang dibuat memenuhi persyaratan mutu
yang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Rasa keterikatan dan tanggung jawab
semua unsur dalam semua rangkaian pembuatan adalah mutlak untuk menghasilkan
obat yang bermutu mulai dari saat obat dibuat sampai pada distribusi obat jadi.
Untuk keperluan tersebut harus ada bagian pengawasan mutu yang berdiri sendiri.
QC dilakukan sejak barang datang, selama proses, pada produk yang dihasilkan,

20
serta pada masa penyimpanan produk. QC berperan dalam pemeriksaan bahan
awal, pemeriksaan selama proses produksi dan pemeriksaan produk jadi. QC
memastikan bahwa bahan, produk, dan metode dalamproses produksi telah
memenuhi kriteria yang telah ditentukan sehingga hasilnya dapat memenuhi
persyaratan secara konsisten. Selain itu juga dilakukan kalibrasi dan kualifikasi alat
serta validasi terhadap metode analisa dan proses produksi. Namun, tidak ada
jaminan bahwa produk yang dihasilkan akan memiliki kualitas sebagaimanayang
diinginkan. Kualitas produk harus dibangun sejak awal dan dijamin oleh Quality
Assurance (QA).
Kontrol kualitas dari sediaan steril meliputi :

 Uji sterilitas
 Uji pirogen
 Uji limulus amebocyte lysate (lal)
 Uji keseragaman bobot
 Uji keseragaman volume
 Uji kebocoran
 Uji pH
 Uji kejernihan, dan
 Uji integritas kemasan.

21
BAB IV

PEMBAHASAN
4.1 Contoh Kasus
Sehubungan dengan adanya kejadian tidak diinginkan yang serius pada
penggunaan obat injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy (Bupivacaine HCl) produksi
Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. di Siloam Hospital Lippo Village Karawaci,
Sabtu 14 Februari 2015, Badan POM menerima informasi dari Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan mengenai kejadian yang mengakibatkan meninggalnya
pasien setelah penggunaan obat tersebut. Badan POM kemudian melakukan
pemeriksaan terkait pemenuhan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Cara
Distribusi Obat yang Baik (CDOB) terhadap produsen injeksi Buvanest Spinal
0,5% Heavy, yaitu Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. dan jalur distribusinya,
yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Enseval Putra Megatrading, Tbk. serta
melakukan monitoring farmakovigilans ke Siloam Hospital Lippo Village
Karawaci.
Metode yang dilakukan yaitu melakukan investigasi secara menyeluruh
terhadap dugaan terjadinya mix-up produk Buvanest Spinal 0,5% Heavy Injeksi
dan Asam Traneksamat Injeksi yang kemungkinan terjadi pada kegiatan pembuatan
obat untuk mendapatkan akar masalah dan menetapkan tindakan perbaikan dan
tindakan pencegahan; dan membuat kajian dan manajemen risiko.
Hasil
Pada tanggal 25 Februari 2015 telah disampaikan hasil investigasi bahwa
Badan POM telah melakukan evaluasi atas hasil investigasi terhadap dugaan
terjadinya mix-up produk Buvanest Spinal 0,5% Heavy Injeksi dan Asam
Traneksamat Injeksi serta hasil kajian dan manajemen risiko PT Kalbe Farma, Tbk.,
dengan kesimpulan bahwa hasil investigasi internal dan kajian manajemen risiko
tersebut belum menggambarkan akar masalah terjadinya dugaan mix-up produk
Injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy, sehingga PT Kalbe Farma tidak dapat
memberikan Corrective Action and Preventive Action (CAPA) yang tepat.
Kesimpulan
Tanggal 2 Maret 2015 Badan POM telah memberikan sanksi administratif
dengan menerbitkan Surat Keputusan Kepala Badan POM tentang pembatalan izin

22
edar Injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produksi Industri Farmasi PT Kalbe
Farma, Tbk. dan diinstruksikan untuk memusnahkan semua persediaan obat yang
ada dalam penguasaan dan hasil penarikan dengan disaksikan oleh Petugas Balai
Besar/Balai POM di seluruh Indonesia dengan membuat Berita Acara Pemusnahan,
dengan catatan obat tersebut sudah tidak digunakan lagi sebagai barang bukti yang
terkait dengan masalah hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

4.2 Penyelesaian Kasus


Fishbond Diagram

Mesin tidak divalidasi


secara berkala.
Kesalahan pada saat
pengemasan (tidak Mesin sudah tidak layak
menerapkan CPOB). Tools
Human digunakan (rusak).

Tidak dilaksanakan
rekualifikasi personil Mesin tidak dibersihkan
atau kurangnya (disterilisasi) secara
training terkait efektif dan berkala.
pembuatan produk.
Terjadinya mix-up
produk Buvanest
Spinal 0,5% Heavy
Injeksi dan Asam
Bahan tidak Traneksamat Injeksi
disimpan secara
rapi dan teratur.
Proses labeling
Adanya kemiripan tidak sesuai SOP.
bentuk fisik
bahan. Tidak dilakukan
proses
Material Process dokumentasi.

Corrective Action and Preventive Action (CAPA)

Temuan Persyaratan Root Cause Analysis CAPA


Terjadinya -Label lepas hendaklah Kesalahan pada saat CA :
mix-up disimpan dan diangkut pengemasan serta -Menarik kembali seluruh
produk dalam wadah tertutup tidak dilaksanakannya sediaan yang beredar di
Buvanest untuk menghindarkan rekualifikasi personel. pasaran sesuai bets yang di
Spinal 0,5% campur baur. review.
Heavy -Tiap penerimaan atau -Memberikan peringatan
Injeksi dan tiap bets bahan kepada seluruh pihak
Asam
pengemas primer terkait (PBF, Rumah Sakit,

23
Traneksamat hendaklah diberi nomor Apotek) untuk tidak
Injeksi. yang spesifik atau menggunakan sedian
penandaan yang tersebut sampai waktu
menunjukkan yang ditentukan.
identitasnya.
-Untuk menghindari PA:
campur baur, hanya satu -Melakukan rekualifikasi
jenis bahan pengemas personil dan training
cetak atau bahan cetak terkait pembuatan produk
tertentu saja yang steril.
diperbolehkan -Memastikan produk yang
diletakkan di tempat dikemas sebelumnya telah
kodifikasi pada saat disingkirkan dari jalur
yang sama. pengemasan dan area
-Semua personel yang sekitarnya.
akan bekerja hendaklah
mendapat pelatihan
teratur dalam bidang
pembuatan produk
steril.

24
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
1. Penerapan Quality Management System merupakan hal yang penting dalam
Industri farmasi yakni sesuai dengan prinsip : Industri farmasi harus
membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya,
memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi)
dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena
tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.
2. Produksi sediaan injeksi kering dilakukan dengan alur pemantauan area,
decartoning, pengeringan dan sterilisasi, pengisian dan penyegelan,
pemeriksaan dan pelabelan, diakhiri dengan pengemasan.
3. Produksi sediaan injeksi cair dilakukan dengan alur penyiapan bahan
pengawas, pencucian dan sterilisasi wadah, penyiapan bahan baku,
sterilisasi bahan baku, pencampuran produk, penyaringan larutan,
pengisisan, penyegelan, pengamatan visual, pelabelan dan diakhiri dengan
pengemasan.

5.2 Saran
Untuk mencegah terjadinya Kejadian Tidak Diinginkan akibat penurunan
integritas/kualitas sediaan farmasi di pasaran, maka pemenuhan Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB) harus diterapkan oleh semua Industri Farmasi selaku
produsen obat.

25
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2018. Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan
Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik Aneks 1 Pembuatan Produk
Steril. BPOM RI, Jakarta, Indonesia.
Bansal, A.K., 2002, Product Development Issues of Powders for Injection,
Pharmaceutical Technology
Bhattacharya, S.S., Bharti, N., dan Banerjee, S., 2014, Process Validation of
Ceftriaxone and Sulbactam Dry Powder Injection, J Chem Eng Process
Technol, 5-211
Department of Health and Human Services. 2013. Consumer Safety Update : FDA
Recalls. Positive Healthcare Disease Management Program. USA
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI.

26

Anda mungkin juga menyukai