DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
FATIMAH NUR P 2008020112
AHMAD WILDAN M.R 2008020115
RETNO FARDILA SARI 2008020122
R. PRASETYO FAJAR R 2008020124
VEGGA DWI FADILLA 2008020137
NOOR SABELLA A 2008020142
NUR KHASANAH 2008020146
SHERLI MELINDA 2008020156
HESTI RATNASARI 2008020160
ISHMA YASMIN N 2008020183
QORI DESWARA 2008020184
NARENDRA ISTIA P 2008020194
ANISA 2008020201
SUSTIAWATI 2008020213
BAGUS MUSTOFA 2008020214
I. TOPIK TUTORIAL
Topik tutorial yang akan dibahas adalah Penerimaan Bahan dan Produksi
Steril (PPIC, produksi, evaluasi).
IV. TERMINOLOGI
1. PPI
Prosedur Produksi Induk, terdiri dari Prosedur Pengolahan Induk dan
Prosedur Pengemasan Induk, yang masing-masing berisi prosedur
pengolahan dan prosedur pengemasan yang rinci untuk suatu produk
dengan bentuk sediaan, kekuatan dan ukuran bets spesifik (BPOM,
2006).
2. GMP
GMP singkatan dari Good Manufacturing Practice atau di Indonesia
dikenal dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik merupakan suatu
pedoman cara pembuatan obat yang bertjuan untuk memastikan agar
mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan
penggunaan (BPOM, 2012).
3. Injeksi
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi umumnya berupa
larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena dan
dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Sediaan steril injeksi dapat
berupa ampul, ataupun berupa vial. Adapun syarat sediaan steril adalah
sterilitas, bebas kontaminasi pirogenik dan endotoksin, bebas
partikulat, stabil secara fisika, kimia, dan mikrobiologi, isotonis, dan
isohidris (Depkes RI, 1995).
4. Industri Farmasi
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
(MenKes, 2010)
5. Preformulasi
Menurut Majalah Farmasetika (2019) Preformulasi terdiri dari
kata pre yang artinya sebelum dan formulasi yang artinya perumusan
atau penyusunan. Preformulasi merupakan tahap awal dalam ranhkaian
pembuatan sediaan farmasi yang berpusat pada sifat fisika kimia zat
yang digunakan yang berpengaruh pada obat.
6. Atropine Sulfat
Merupakan antidotum yang digunakan untuk inhibitor kolinesterase
antikolinergik, midriatika, preanestetik medikasi, antispasmodik, dan
antidotum untuk insektisida golongan organofosfat (Badan POM RI,
2012). Atropin Sulfat mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak
lebih dari 101,0%, (C17H23NO3)2.H2SO4, dihitung terhadap zat
anhidrat (DEPKES RI, 2020).
7. RnD
Research and Development (R&D) merupakan salah satu
departemen dalam industri farmasi yang berperan dalam
pengembangan produk baru, pengatasan masalah produksi, proyek
penelitian khusus, penentuan spesifikasi bahan baku untuk
manufacturing, penyusunan metode analisa, penentuan shelf- life
produk, dan penunjang data untuk penyusunan dossier registrasi
(formula, data stabilitas, dan kemasan) (Fatmawati, 2014).
8. QA
Quality Assurance merupakan personil kunci industri farmasi yang
bertugas memastikan peralatan dan mesin ditempatkan, dirawat, dan
bekerja sesuai fungsinya sehingga meminimalkan masalah sebelum
proses produksi harus terqualifikasi dan kalibrasi sebelum digunakan
(qualifikasi peralatan) (Fatmawati, 2015).
9. Proses Terbit
Proses Terbit merupakan langkah langkah awal dalam produksi suatu
obat.
10. Manajemen Material
Untuk memungkinkan pelaksanaan manajeman material secara efektif,
seperti pengendalian raw material dan meterial untuk kegiatan mainten
menciptakan sistem pasok perlu dilakukannya sistem audit yang harus di
laksanakan secara teratur.(Widana,I kwtut 2020)
11. Produksi
Produksi yaitu proses menghasilkan sesuatu yang mengendalikasn
kualitas, optimasi, perencanaan, realisasi, sanitasi, dan laporan
produksi. (lesmana,ending 2020)
12. Prosedur Produksi
Prosedur produksi yaitu menjelaskan bagaimana cara tugas secara
umum menguraikan Langkah-langkah kunci dalam penyelesaian suatu
proses produksi berlangsung (lesmana,ending 2020)
13. Master Batch Record
Dokumen tertulis (dapat hardkopi atau softkopi) dari batch yang
disiapkan selama proses pembuatan produk farmasi. Dalam batch
record tertuang data aktual dari proses pembuatan batch produk, detail
langkah demi langkahnya. Batch record merupakan salah satu
dokumen penting dalam pembuatan obat dan dokumen penting dalam
suatu industri farmasi, kalau boleh saya bilang ini merupakan dokumen
utama dalam pembuatan obat di industri farmasi.
14. Dokumen Produksi Induk
Dokumen Produksi Induk merupakan dokumen yang berisi formula
produksi dari suatu produk dalam bentuk sediaan dan kekuatan
tertentu, tidak tergantung dari ukuran bets. (Badan Pengawasan Obat
dan Makanan, 2006)
15. QC
QC atau Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang mencakup
pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta mencakup
organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan
bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan. Bahan
tidak boleh diluluskan untuk digunakan dan produk tidak boleh
diluluskan untuk dijual atau didistribusi sampai mutunya dinilai
memuaskan. (BPOM RI, 2012)
16. Kelas Kebersihan Ruangan
Tingkat kebersihan ruang/area untuk pembuatan obat hendaklah
diklasifikasikan sesuai dengan jumlah maksimum partikulat udara
yang diperbolehkan untuk tiap kelas kebersihan sesuai tabel di bawah
ini:
V. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja yang harus tercantum dalam prosedur produksi induk?
Jawaban:
Prosedur Produksi Induk, terdiri dari Prosedur Pengolahan Induk
dan Prosedur Pengemasan Induk, yang masing-masing berisi prosedur
pengolahan dan prosedur pengemasan yang rinci untuk suatu produk
dengan bentuk sediaan, kekuatan dan ukuran bets spesifik. Prosedur
Produksi Induk dipersyaratkan divalidasi sebelum mendapat
pengesahan untuk digunakan.
Prosedur Pengolahan Induk yang disahkan secara formal
hendaklah tersedia untuk tiap produk dan ukuran bets yang akan
dibuat. Prosedur Pengolahan Induk hendaklah mencakup:
a. Nama produk dengan kode referen produk yang merujuk pada
spesifikasinya;
b. Deskripsi bentuk sediaan, kekuatan produk dan ukuran bets;
c. Daftar dari semua bahan awal yang harus digunakan, dengan
menyebutkan masing-masing jumlahnya, dinyatakan dengan
menggunakan nama dan referen (kode produk) yang khusus bagi
bahan itu; hendaklah dicantumkan apabila ada bahan yang hilang
selama proses;
d. Pernyataan mengenai hasil akhir yang diharapkan dengan batas
penerimaan, dan bila perlu, tiap hasil antara yang relevan;
e. Pernyataan mengenai lokasi pengolahan dan peralatan utama yang
harus digunakan;
f. Metode atau rujukan metode yang harus digunakan untuk
mempersiapkan peralatan kritis (misalnya pembersihan, perakitan,
kalibrasi, sterilisasi);
g. Instruksi rinci tahap proses (misalnya pemeriksaan bahan,
perlakuan awal, urutan penambahan bahan, waktu pencampuran,
suhu);
h. Instruksi untuk semua pengawasan selama proses dengan batas
penerimaannya;
i. Bila perlu, syarat penyimpanan produk ruahan; termasuk wadah,
pelabelan dan kondisi penyimpanan khusus, di mana perlu; dan
j. Semua tindakan khusus yang harus diperhatikan.
Prosedur Pengemasan Induk yang disahkan secara formal
hendaklah tersedia untuk tiap produk dan ukuran bets serta ukuran dan
jenis kemasan. Dokumen ini umumnya mencakup, atau merujuk, pada
hal berikut:
a. Nama produk;
b. Deskripsi bentuk sediaan dan kekuatannya, di mana perlu;
c. Ukuran kemasan yang dinyatakan dalam angka, berat atau volume
produk dalam wadah akhir;
d. Daftar lengkap semua bahan pengemas yang diperlukan untuk satu
bets standar, termasuk jumlah, ukuran dan jenis bersama kode atau
nomor referen yang berkaitan dengan spesifikasi tiap bahan
pengemas;
e. Di mana sesuai, contoh atau reproduksi dari bahan pengemas
cetak yang relevan dan spesimenyang menunjukkan tempat untuk
mencetak nomor bets dan tanggal daluwarsa bets;
f. Tindakan khusus yang harus diperhatikan, termasuk pemeriksaan
secara cermat area dan peralatan untuk memastikan kesiapan jalur
(line clearance) sebelum kegiatandimulai;
g. Uraian kegiatan pengemasan, termasuk segala kegiatan tambahan
yang signifikan serta peralatan yang harus digunakan; dan
h. Pengawasan-selama-proses yang rinci termasuk pengambilan
sampel dan batas penerimaan (BPOM, 2006).
2. Bagaimana alur/tahapan penerbitan proses produksi induk dan
pihak mana saja yang terkait dengan proses penerbitanya?
Jawaban:
Contoh proses dokumentasi SOP di DC sebagaimana di atas adalah
sebagai berikut:
Spesifikasi
Hendaklah tersedia spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan
produk jadi yang disahkan dengan benar dan diberi tanggal; di mana
perlu, hendaklah juga tersedia spesifikasi bagi produk antara dan
produk ruahan.
a. Spesifikasi Bahan Awal
Spesifikasi bahan awal hendaklah mencakup, di mana diperlukan:
1) Deskripsi bahan, termasuk:
a) nama yang ditentukan dan kode referen (kode produk)
internal;
b) rujukan monografi farmakope, bila ada;
c) pemasok yang disetujui dan, bila mungkin, produsen
bahan;
d) standar mikrobiologis, bila ada;
2) petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur
rujukan;
3) Persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas
penerimaan;
4) kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan; dan
5) batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian
kembali.
b. Spesifikasi Bahan Pengemas
Spesifikasi bahan pengemas hendaklah mencakup, di mana
diperlukan:
1) Deskripsi bahan, termasuk
a) nama yang ditentukan dan kode referen (kode produk)
internal;
b) rujukan monografi farmakope, bila ada;
c) pemasok yang disetujui dan, bila mungkin, produsen bahan;
d) standar mikrobiologis, bila ada;
e) spesimen bahan pengemas cetak, termasuk warna;
2) petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur
rujukan;
3) persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan;
4) kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan; dan
5) batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian
kembali.
c. Spesifikasi Produk Antara dan Produk Ruahan
Spesifikasi produk antara dan produk ruahan hendaklah tersedia,
apabila produk tersebut dibeli atau dikirim, atau apabila data dari
produk antara digunakan untuk mengevaluasi produk jadi.
Spesifikasi hendaklah mirip dengan spesifikasi bahan awal atau
produk jadi, sesuai keperluan.
d. Spesifikasi Produk Jadi
Spesifikasi produk jadi hendaklah mencakup:
1) nama produk yang ditentukan dan kode referen (kode
produk);
2) formula/komposisi atau rujukan;
3) deskripsi bentuk sediaan dan uraian mengenai kemasan,
termasuk ukuran kemasan;
4) petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur
rujukan;
5) persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas
penerimaan;
6) kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan khusus, bila
diperlukan; dan masa edar/simpan. (CPOB, 2018)
Kelas A:
Zona untuk kegiatan yang berisiko tinggi, misal zona pengisian,
wadah tutup karet, ampul dan vial terbuka, penyambungan secara
aseptis. Umumnya kondisi ini dicapai dengan memasang unit
aliran udara laminar (laminar air flow) di tempat kerja. Sistem
udara laminar hendaklah mengalirkan udara dengan kecepatan
merata berkisar 0,36 – 0,54 m/detik (nilai acuan) pada posisi kerja
dalam ruang bersih terbuka. Keadaan laminar yang selalu terjaga
hendaklah dibuktikan dan divalidasi. Aliran udara searah
berkecepatan lebih rendah dapat digunakan pada isolator tertutup
dan kotak bersarung tangan.
Kelas B:
Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptis, Kelas ini adalah
lingkungan latar belakang untuk zona Kelas A.
Kelas C dan D:
Area bersih untuk melakukan tahap proses pembuatan yang
mengandung risiko lebih rendah.
Jumlah maksimum partikulat udara yang diperbolehkan untuk
tiap kelas kebersihan adalah sebagai berikut:
Kegiatan yang dapat dilakukan di berbagai kelas:
(Permenkes RI. 2018).
CPOB
Prosedur
Spesifikasi Formulasi
produksi induk
Proses produksi
Evaluasi
FORMULASI
Setiap ml injeksi atropine sulfat mengandung
Perhitungan tonisitas
Atropine sulfat 0,4 mg E NaCl = 0,14
= 0,56 + 0,32
= 0,376
Untuk 20 ml / 1 vial =
- Atropine sulfat =
- Benzyl alcohol =
= 40 mg
- Natrium klorida =
PROSES PRODUKSI
Menurut Dhadhang (2009) tahapan produksi sediaan injeksi cair, yaitu:
Penyiapan bahan pengemas
a. Pencucian dan Sterilisasi wadah
Botol/ampul dicuci dan disterilkan dalam satu rangkaian
alat/mesin otomatis dengan ban berjalan. Sedangkan untuk tutup
karet (vial) dicuci dengan pengocokkan mekanik dalam suatu tangki
yang berisi larutan deterjen panas yang dilanjutkan dengan
pembilasan menggunakan air untuk injeksi dan disterilkan dalam
autoklaf.
b. Penyiapan bahan baku
c. Sterilisasi bahan baku
Sterilisasi bahan baku harus disesuaikan dengan sifat dan
stabilitas dari bahan baku yang akan dilakukan sterilisasi. Hal ini
sangat penting karena untuk menjamin bahwa sediaan yang akan
dibuat bersih dari kontaminasi mikroorganisme.
d. Pencampuran produk
Produk dicampur pada kondisi lingkungan tertentu. Preparat
steril dibuat dengan persyaratan khusus agar memperkecil resiko
pencemaran mikroba. Personil yang bekerja di area bersih dan steril
harus dipilih dengan seksama untuk memastikan bahwa personil
tersebut dapat bekerja dengan disiplin, tidak menderita penyakit
atau dalam kondisi kesehatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
produk.
e. Penyaringan larutan
f. Pengisian
Pengisian larutan steril dilakukan secara otomatis dengan
menggunakan mesin pengisi. Mesin ini harus di desain secara
khusus agar dapat memberikan ketepatan/keakuratan volume
larutan yang akan diisi ke dalam wadah.
g. Penyegelan wadah
Penyegelan ampul dilakukan dengan menggunakan mesin
filling and sealing. Cara penyegelan ampul yaitu dengan
melelehkan leher gelas, sehingga membentuk segel dengan nyala
api gas oksigen bersuhu tinggi. Sedangkan penyegelan vial
dilakukan secara manual dengan menggunakan pinset steril secara
cermat dan hati-hati. Tutup karet pada vial harus cocok dengan
mulut wadah kemudian di-seal dengan alumunium.
h. Pengamatan visual
Pengamatan visual merupakan suatu pengamatan yang
menggunakan indra penglihatan. Pengamatan visual bertujuan
untuk mengamati produk jadi dari suatu sediaan. Hal-hal yang dapat
diamati secara visual yaitu kelarutan, kejernihan serta warna.
i. Pelabelan dan pengemasan
Pelabelan berfungsi untuk menandakan suatu produk agar
tidak tertukar dan memudahkan dalam proses dokumentasi suatu
produk. Sedangkan pengemasan berfungsi untuk membagi dan
mengemas produk ruahan menjadi produk jadi. Pengemasan aseptis
harus memenuhi pernyaratan: produk harus steril, wadah pengemas
harus steril, lingkungan tempat pengisian produk ke dalam wadah
harus steril dan wadah pengepak harus rapat agar mencegah
terjadinya kontaminasi. Vial/ampul dimasukkan dalam dus kecil
dan dilengkapi dengan brosur. kemudian dimasukkan dalam
individual box, diberi kartu kontrol, dimasukkan ke dalam master
box dan disegel.
j. Produk akhir.
B. Spesifikasi Alat
a. Peralatan manufaktur hendaklah didesain, ditempatkan dan
dikelola sesuai dengan tujuannya
b. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal,
produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan
reaksi, adisi atau absorbsi yang dapat memengaruhi identitas,
mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan.
c. Bahan yang diperlukan untuk pengoperasian alat khusus,
misalnya pelumas atau pendingin tidak boleh bersentuhan
dengan bahan yang sedang diolah sehingga tidak memengaruhi
identitas, mutu atau kemurnian bahan awal, produk antara
ataupun produk jadi.
d. Peralatan tidak boleh merusak produk akibat katup bocor,
tetesan pelumas dan hal sejenis atau karena perbaikan,
pemeliharaan, modifikasi dan adaptasi yang tidak tepat.
e. Peralatan manufaktur hendaklah didesain sedemikian rupa agar
mudah dibersihkan. Peralatan tersebut hendaklah dibersihkan
sesuai prosedur tertulis yang rinci serta disimpan dalam
keadaan bersih dan kering.
f. Peralatan pencucian dan pembersihan hendaklah dipilih dan
digunakan agar tidak menjadi sumber kontaminasi.
g. Peralatan produksi yang digunakan hendaklah tidak berakibat
buruk pada produk. Bagian alat produksi yang bersentuhan
dengan produk tidak boleh bersifat reaktif, aditif atau absorbtif
yang dapat memengaruhi mutu dan berakibat buruk pada
produk.
h. Semua peralatan khusus untuk pengolahan bahan mudah
terbakar atau bahan kimia atau yang ditempatkan di area di
mana digunakan bahan mudah terbakar, hendaklah dilengkapi
dengan perlengkapan elektris yang kedap eksplosi serta
dibumikan dengan benar.
i. Hendaklah tersedia alat timbang dan alat ukur dengan rentang
dan ketelitian yang tepat untuk proses produksi dan
pengawasan.
j. Peralatan untuk mengukur, menimbang, mencatat dan
mengendalikan hendaklah dikalibrasi dan diperiksa pada
interval waktu tertentu dengan metode yang ditetapkan. Catatan
yang memadai dari pengujian tersebut hendaklah disimpan.
k. Filter cairan yang digunakan untuk proses produksi tidak boleh
melepaskan serat ke dalam produk. Filter yang mengandung
asbes tidak boleh digunakan walaupun sesudahnya disaring
kembali menggunakan filter khusus yang tidak melepaskan
serat.
l. Pipa air suling, air deionisasi dan bila perlu pipa air lain untuk
produksi hendaklah disanitasi sesuai prosedur tertulis. Prosedur
tersebut hendaklah berisi rincian batas cemaran mikroba dan
tindakan yang harus dilakukan.
C. Teknik Pelaksanaan
a. Pengambilan Sampel
Hendaklah tersedia prosedur tertulis untuk pengambilan sampel
yang mencakup, metode dan alat yang digunakan, jumlah yang
diambil dan tindakan pengamanan yang diperhatikan untuk
menghindarkan kontaminasi terhadap bahan atau penurunan
mutu.
b. Pengujian
Hendaklah tersedia prosedur tertulis untuk pengujian bahan dan
produk yang diperoleh dari tiap tahap produksi yang
menguraikan metode dan alat yang harus digunakan. Pengujian
yang dilaksanakan hendaklah dicatat.
c. Prosedur Pembersihan dan Sanitasi
1. Prosedur tertulis hendaklah ditetapkan untuk pembersihan
alat dan persetujuan untuk penggunaan bagi produksi obat,
termasuk produk antara. Prosedur pembersihan hendaklah
rinci supaya operator dapat melakukan pembersihan tiap
jenis alat secara konsisten dan efektif.
Prosedur hendaklah mencantumkan:
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang
Baik. Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan
Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik Aneks 1 Pembuatan Produk Steril.
BPOM RI, Jakarta, Indonesia.
Badan POM RI . 2012. Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas) Pusat
Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI.
Badan POM. 2018. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (Guidelines on Good
Manufacturing). Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Bambang P. 2007. Manajemen Industri Farmasi. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
BPOM RI. (2012). Pedoman Monioring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga
Kesehatan. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik Dan PKRT
Badan Pom RI, 1–35
Departemen Kesehatan. (2020), Farmakope Indonesia Edisi VI. Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
Dhadhang, K. 2009. Teknologi Sediaan Farmasi. Graha Ilmu. Purwokerto.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2020. Farmakope Edisi VI.
Jakarta.
Eva, Kurnia Septiana. 2021. PT Konimex Pharmaceutical Laboratories. Sukoharjo.
Jawa Tengah
Fatmawati, Aisyah, 2015, Farmasi Indusri, Yogyakarta.
Fatmawati, Nurina, 2014. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker, Universitas
Indonesia.
GMP Center. 2011. Pedoman CPOB/GMP Pharma: Manajemen Mutu. http://gmp-
center.com/2011/03/09/pedoman-cpob-gmp-pharmaceutical/, diakses 12 Juni
2012.
Hardono, T. dan Supriyadi, K. 2020. Modifikasi Autoclave Berbasis Atmega328
(Suhu). Medika Teknika : Jurnal Teknik Elektromedik Indonesia, 1(2).
HP. 1997. Pharmaceutical Process Control. USA: Hewlett-Packard Company.
Majalah Farmasetka, 2019, Gudang Ilmu Farmasetika.
Menteri Kesehatan. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi. Jakarta.
Rowe, R.C., Paul J.S., Marian E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient
Sixth Edition. Lambeth High Street, London.
Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas). 2012. Pusat Informasi Obat dan
Makanan, Badan POM RI.
Susanti, A. T. (2013). Laporan praktek…., Aprilya Tri Susanti, FF, 201