Anda di halaman 1dari 244

PEDOMAN UMUM

MODERNISASI IRIGASI
(Sebuah Kajian Akademik)

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM


DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR
DIREKTORAT IRIGASI DAN RAWA
2011
SAMBUTAN

Pengembangan dan pengelolaan irigasi di indonesia telah berjalan lebih dari


satu abad, maka kita telah mendapat pengalaman berharga dalam pengelo-
laan sistem irigasi maupun layanan kepada petani.

Namun secara menyeluruh kinerja irigasi kita sekarang ini menunjukkan


tingkat layanan yang belum optimal. Hal ini disebabkan antara lain umur
infrastruktur irigasi yang telah melewati umur layanannya dan sistem re-
habilitasi serta operasi dan pemeliharaan yang belum memenuhi harapan.
Disamping itu keikutsertaan petani dalam pengembangan dan pengelolaan
irigasi masih belum memadai akibat alih pengetahuan dari pemerintah ke-
pada petani belum dilaksanakan secara intensif. Di sisi lain tuntutan kinerja
irigasi semakin meningkat terkait dengan semangat mendukung ketahanan
pangan dan dalam rangka menuju kedaulatan pangan.

Keadaan seperti ini mendorong ahli irigasi di Indonesia untuk melakukan


perubahan sistem pengembangan dan pengelolaan irigasi menjadi sistem
irigasi partisipatif yang lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan (sus-
tainable); yang disebut modernisasi irigasi.

Perubahan ini memang mendesak dilakukan mengingat keberadaan air yang


makin langka akibat penurunan fungsi DAS, kompetisi penggunaan air yang
makin meningkat, pengaruh pemanasan global dan perubahan iklim yang
makin terasa. Disamping itu beberapa negara di dunia telah menerapkan
modernisasi irigasi.

Direktorat Irigasi dan Rawa yang mempunyai tugas dalam peminaan dan
pengaturan bidang irigasi dan rawa telah menyiapkan pedoman umum ini
dalam waktu 8 bulan dengan bantuan tim penyusun yang terdiri 5 orang ahli
irigasi.

Melalui proses yang relatif pendek, telah dilakukan kajian pustaka dengan
melihat pengalaman negara lain dan artikel dalam seminar maupun buku-
buku referensi. Selain itu dilengkapi dengan melakukan kunjungan lapan-
gan, dialog dengan pimpinan dan staf pengelola irigasi, dan workshop serta
konsultasi dengan pimpinan dan staf dirjen sumber daya air.

Pedoman ini tidak bersifat statis, dan di masa mendatang masih perlu
dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan budaya masyarakat tani,
kemajuan teknologi, sistem pembiayaan, dan tingkat penerimaan pemangku
kepentingan (stake holder).

Dengan diterbitkannya pedoman ini diharapkan para pengelola irigasi da-


pat memanfaatkan sebagai acuan dalam melaksanakan modernisasi irigasi,
dengan melakukan penyesuain seperlunya sejalan dengan kondisi spesifik
daerah setempat. Karena pedoman masih bersifat umum, maka di masa
datang diperlukan pedoman tambahan yang lebih bersifat teknis dan opera-
sional.

Akhirnya, saya ucapkan selamat atas terbitnya pedoman umum modernisa-


si irigasi ini, dan patut kiranya kita semua memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak atas sumbangan yang sangat besar
bagi pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia.

Jakarta, Desember 2011


Direktur Jenderal Sumber Daya Air ,

Dr.Ir. Mochamad Amron, M.Sc


KATA PENGANTAR

Beberapa negara di dunia telah menerapkan modernisasi irigasi dalam rang-


ka peningkatan layanan kepada petani secara efektif dan efisien. Pengala-
man berharga dari negara tersebut dan artikel dari seminar nasional dan
international, serta referensi buku-buku modernisasi dapat dijadikan acuan
dalam merintis modernisasi irigasi di Indonesia.
Indonesia pernah mempunyai pengalaman modernisasi tetapi masih dalam
skala kecil, hasilnya minim, dan belum menunjukkan hasil yang menggem-
birakan.
Modernisasi irigasi adalah bermaksud melaksanakan Undang-Undang Sum-
ber Daya Air nomor 7 tahun 2004 yang diamanatkan pada pasal 2 sampai
6, dimana subtansi dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan azas Good
Governance. Kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 20
tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2007
tentang pelaksanaan pengelolaan irigasi partisipatif dengan hampiran mana-
jemen provisi.
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air bermaksud menerapkan modernisasi
irigasi di Indonesia dengan maksud untuk meningkatkan tingkat layanan iri-
gasi secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu pe-
doman umum sebagai arah pelaksanaan modernisasi irigasi di Indonesia.
Dalam rangka melahirkan pedoman tersebut telah dibentuk tim penyusun
terdiri dari 5 orang tenaga ahli, yang bertugas untuk mempelajari, mengkaji,
merumuskan, dan menulis dalam bentuk buku.
Selama 8 bulan tim telah melakukan kajian pustaka, mengadakan kunjun-
gan lapangan ke 5 daerah irigasi, dan melakukan dialog langsung dengan
petani, pimpinan dan staf dinas propinsi dan kabupaten serta balai wilayah
sungai. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menggali subtansi modernisa-
si, mencocokkan dengan kebutuhan lapangan, mempelajari tingkat peneri-
maan oleh pemangku kepentingan, dan merumuskan sementara dalam ma-
trik modernisasi. Selanjutnya matrik modernisasi ini dikonsultasikan dengan
pimpinan dan staf Direktorat Jenderal Sumber Daya Air untuk difinalkan
sebagai bahan penulisan draft pedoman. Pada tahap akhir draft pedoman
tersebut didiskusikan dalam workshop internal Dirjen SDA dan forum lebih
luas diluarnya untuk difinalkan.
Bab 1,2 dan 3 menguraikan latar belakang perlunya modernisasi di Indone-
sia, perkembangan kebijakan irigasi di Indonesia, dan modernisasi irigasi di
dunia dan Indonesia.
Bab 4,5 dan 6 menguraikan pembelajaran modernisasi irigasi, tantangan
pengembangan dan pengelolaan irigasi, dan konsep modernisasi irigasi di
Indonesia.
Bab 7,8,9,10 dan 11 menguraikan tentang 5 pilar modernisasi irigasi di In-
donesia, yaitu:
■ Peningkatan keandalan penyediaan air irigasi
■ Perbaikan sarana dan prasarana irigasi
■ Penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi
■ Penguatan institusi pengelola irigasi
■ Pemberdayaan sumber daya manusia pengelola irigasi

Bab 12 dan 13 menguraikan tentang ekonomi dan pembiayaan, sistem pen-


gawasan, dan monitoring serta evaluasi.

Buku pedoman ini disiapkan oleh penyusun berdasarkan pengalaman dari


negara lain dan tulisan dalam seminar, tetapi tidak dilengkapi dengan pen-
galaman modernisasi irigasi secara luas di Indonesia. Berbeda dengan kri-
teria perencanaan irigasi dan pedoman OP irigasi yang berdasarkan atas
pengalaman ke irigasian hampir satu abad. Sehingga pedoman ini masih
bersifat umum dan merupakan pokok-pokok pikiran modernisasi irigasi.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pimpinan dan staf Direktorat
Jenderal SDA, Direktorat Irigasi dan Rawa, Dinas SDA provinsi (Jabar,
Jateng, Jatim, Sulsel), Balai Besar Wilayah Sungai (Citarum, Cimanuk-
Cisanggarung, Pemali-Juana, Brantas dan Jeneberang) dan Tim Penyusun,
atas sumbangan yang besar dalam melahirkan buku pedoman ini.

Semoga pedoman modernisasi ini dapat bermanfaat dan memberikan sum-


bangan dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia pada
masa yang akan datang. Kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbai-
kan ke arah kesempurnaan pedoman ini.

Jakarta, Desember 2011


Direktur Irigasi dan Rawa

Ir. Imam Agus Nugroho, Dipl. HE


EXECUTIVE SUMMARY

Latar Belakang
1) Pengembangan irigasi di indonesia sejak jaman koloni Belanda sampai
saat sekarang telah dapat mengairi luas sawah kurang lebih 7,2 juta ha.
Irigasi tersebut telah mengalami kerusakan seluas 3,81 juta ha (52,9%),
di mana 0,71 juta (9,9%) rusak berat dan 3,10 juta ( 43%) rusak ringan.
2) Kerusakan ini diakibatkan oleh karena umur layanan yang telah terlewati,
gangguan alam, sistem pengelolaan yang belum optimal, dan lemahnya
sistem rehabilitasi serta operasi pemeliharaan (OP) terhadap infrastruktur
irigasi kita. Keadaan demikian kalau dibiarkan terus akan mengganggu
keamanan pangan nasional, yang berakibat pada stabilitas masa depan
bangsa.

Urgensi modernisasi
3) Perkembangan irigasi di dunia tak dapat dipisahkan dari persoalan
pangan. Di banyak negara ketiga perkembangan irigasi sejak dekade
50’an sampai dengan periode 80’an meningkat dengan cepat tetapi
pada periode setelahnya perkembangan irigasi menurun dengan cepat
karena beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah: (i) meningkatnya
jumlah penduduk. (ii) di negara-negara berkembang telah terjadi
kerusakan lingkungan semakin parah (iii) biaya pembangunan sistem
irigasi dan OP sistem semakin lama semakin meningkat, berkurangnya
dana OP selanjutnya akan mengimbas pada menurunnya kinerja irigasi.
Di samping itu sebagian sistem irigasi yang dibangun pada awal masa
pembangunan irigasi pada dekade tahun 50 dan 60’an telah habis umur
teknisnya sesungguhnya memungkinkan untuk dilakukan rehabililtasi.
Akan tetapi sebetulnya dengan terjadinya perubahan lingkungan
ekologis upaya rehabilitasi saja tidak cukup. Dibutuhkan upaya lain
berupa modernisasi irigasi.
4) Pembelajaran modernisasi di Cina air dipompa dari sungai yang dialirkan
dalam sistem irigasi gravitasi. Di India dan Pakistan pelaksanaan
modernisasi dikaitkan dengan pembangunan sebuah dam. Di Israel
penyediaan air dilakukan dengan membangun pengambilan air
tanah dari aquifer kemudian diberikan melalui sistem pemberi yang
dilakukan seefisien mungkin dengan menggunakan drip dan irigasi
curah. Penyediaan air irigasi juga digabungkan penyediaan air minum.
Di Malaysia, sebagian sistem irigasi memperoleh air dari bendungan,
sistem pompa dan sebagian lagi memakai sistem bendung.
Modernisasi irigasi di Indonesia
5) Modernisasi irigasi di Indonesia didefinisikan: upaya mewujudkan sistem
pengelolaan irigasi partisipatif yang berorientasi pada pemenuhan tingkat
layanan irigasi secara efektif, efisien dan berkelanjutan dalam rangka
mendukung ketahanan pangan dan air, melalui peningkatan keandalan
penyediaan air, prasarana, pengelolaan irigasi, institusi pengelola,dan
sumber daya manusia.
Dengan definisi ini maka irigasi di Indonesia diupayakan melalui lima
pilar, yaitu:
• Peningkatan keandalan penyediaan air irigasi
• Perbaikan sarana dan prasarana irigasi
• Penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi
• Penguatan institusi pengelola irigasi
• Pemberdayaan sumber daya manusia pengelola irigasi
6) Sebagai indikator modernisasi irigasi di Indonesia adalah:
• Peningkatan produktifitas air (kg GKG/m3 air)
• Peningkatan pelayanan irigasi (kecukupan, keandalan, keadilan, dan
kecepatan pelayanan)
• Peningkatan efisiensi irigasi
• Pengurangan biaya OP
• Peningkatan pengembalian biaya OP (OM cost recovery)
• Peningkatan keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability)
• Berkurangnya perselisihan
• Berkurangnya kerusakan lingkungan (environment degradation)

Penyediaan Air
7) Penyediaan air irigasi saat ini sering tidak stabil dan tidak handal,
terutama pada sistem penyediaan air yang berasal dari aliran alam (river
run off) berfluktuasi sangat besar. Hal ini terjadi karena fungsi daerah
aliran sungai sebagai penyimpan air menurun akibat vegetasi hutan
semakin berkurang. Sungai-sungai yang menjadi sumber air irigasi pada
musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau hampir tidak ada
airnya.

8) Dalam modernisasi irigasi dilakukan penyempurnaan sistem penyediaan


air irigasi dengan membuat: bendungan, embung, waduk lapangan/
tunggu, saluran tampungan (long storage), pompa air. Hal ini dilakukan
agar penyediaan air lebih stabil dan handal.
Prasarana Jaringan Irigasi
9) Prasarana jaringan irigasi; bendung, saluran, bangunan, alat ukur, pintu-
pintu, jalan inspeksi, sarana drainase dan pengendali banjir serta sarana
pelengkap lainya banyak yang rusak dan hilang. Kerusakan prasarana
yang berat karena terlambatnya pemeliharaan akibat ketidakcukupan
pendanaan OP. Sedangkan prasarana yang hilang akibat tidak cukupnya
pengamanan dalam daerah irigasi.
10) Dalam modernisasi irigasi semua prasarana jaringan irigasi dikembalikan
pada fungsinya sehingga dapat memberikan pelayanan optimum dengan
cara: (1) terwujudnya saluran stabil bebas dari ancaman gerusan
dan endapan, (2) toleransi lebih longgar dalam pembuatan lining, (3)
bangunan irigasi yang dapat menjamin fleksibilitas pemberian air, (4)
pintu elektromekanik atau otomatis, (5) alat ukur debit secara akumulatif,
(6) fasilitas komputer dan telemetri.

Sistem pengelolaan air


11) Sistem pengelolaan air irigasi sekarang umumnya berdasar pasok air
(on supply) dengan metoda kendali hulu (upstream control). Rencana
pembagian air ditentukan secara kaku (rigid) disesuaikan dengan
dugaan ketersediaan air dan kebutuhan air irigasi tanaman sesuai
dengan jadwal dan pola tanam yang telah disepakati (Rencana Tata
Tanam Global) oleh Komisi Irigasi. Tingkat layanan disesuaikan dengan
kemampuan pengguna air untuk membayar IPAIR dan biaya OP yang
disediakan pemerintah. Tingkat layanan irigasi minimal di Indonesia
adalah: (1) Indek Pertanaman 140-160% padi, 50% palawija; (2)
Kehilangan air 30-40%; (3) Selang alokasi air 3-7 hari; (4) Produktivitas
air 0,6-0,7 kg GKG/m3 air; (5) Penyediaan air: kecukupan, keandalan,
keadilan, keluwesan cukup; (6) Sistem pengaliran air orientasi semi-
kebutuhan; (7)Pengendalian muka air pengendalian hulu; (8) Metoda
penggunaan air: permukaan, curah, tetes fasilitas tersedia sebagian;
(9) Penggunaan air kontinyu dan intermittent sebagian; (10) Hak guna
air ada sebagian; (11) Ada drainase sehingga luas sawah gagal panen
karena banjir 20-30%.
12) Pada proses modernisasi irigasi tingkat layanan selalu disesuaikan
dengan keinginan pengguna air (petani). Semakin modern pertaniannya,
maka semakin tinggi mutu tingkat layanan irigasi yang diinginkan. Tingkat
layanan irigasi terdiri dari (a) kecukupan (adequacy), (b) keandalan
(reliability), (c) keadilan (equity), dan (d) kelenturan (flexibility). Tingkat
layanan berdasar kebutuhan (on demand) merupakan suatu tingkat
layanan tertinggi, dimana petani dapat menggunakan air irigasi kapan
saja, berapa saja debitnya, dan berapa lama irigasinya, tergantung pada
kebutuhan air tanaman (jenis tanaman) dan luas lahannya. Dengan
tingkat layanan tertinggi ini, petani akan berinvestasi dengan memilih
jenis tanaman dan teknologi pertanian yang paling menguntungkan,
Tingkat layanan ini harus diimbangi dengan kemampuan membayar
biaya layanan irigasi (ongkos air) untuk memenuhi kenaikan biaya OP
dan peningkatan infratruktur sesuai dengan kesepakatan yang dicapai.

Operasi Jaringan Irigasi


13) Pelaksanaan operasi jaringan irigasi saat ini menunjukkan kinerja yang
belum optimal dengan indikasi sebagai berikut: (1) Perhitungan neraca air
kurang akurat, (2) Operasional pintu terlalu lama sehingga tidak respon
terhadap perubahan yang terjadi. Disamping itu kedisiplinan operasional
pintu belum optimal, (3) Air yang dialirkan ke petak sawah cenderung
boros, (4) Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan
masih cukup besar, (5) Rencana Tata Tanam tidak diimplementasikan
dengan konsisten, (6) Sebagian besar petani kurang puas dengan
kinerja pelayanan.
14) Dalam modernisasi irigasi operasi jaringan irigasi disempurnakan dengan
cara telemetri dan komputerisasi serta perbaikan prasarana irigasi.
Kegiatan ini diharapkan menghasilkan: (1) Perhitungan neraca air akurat
karena dilakukan real time (1-3 hari); (2) Operasional pintu lebih respon
terhadap perubahan yang terjadi. Disamping itu kedisiplinan operasional
pintu lebih dapat terjamin; (3) Air yang dialirkan ke petak sawah lebih
hemat karena dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman pada sehari
sebelumnya; (4) Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan
relatif kecil, karena kehilangan air diamati setiap tahun dan ditindaklanjuti
dengan perbaikan; (5) Rencana Tata Tanam diimplementasikan dengan
konsisten, karena penyediaan air lebih terjamin dan pemeriksaan tata-
tanam lebih intensif; (6) Sebagian besar petani merasa puas dengan
kinerja pelayanan irigasi dan bersedia membayar IPAIR.

Pemeliharaan Jaringan Irigasi


15) Menunjuk amanat UU no 7/2004 pasal 77 ayat 1 menyatakan: pembiayaan-
pembiayaan sumberdaya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata
pengelolaan sumberdaya air, dan amanat PP No 20/2006 pasal 75 ayat
2 menyatakan: pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan
sekunder didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi
pada setiap daerah irigasi, maka biaya pengelolaan irigasi harus dihitung
berdasarkan AKNOP. Praktek yang dilakukan selama ini perhitungan
AKNOP selama perencanaan telah dilakukan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Tetapi pada kenyataannya realisasi
pembiayaan yang diputuskan oleh pemegang otoritas keuangan lebih
rendah dari analisa sebelumnya. Akibatnya pada saat pelaksanaan
tidak semua kerusakan irigasi dapat diatasi, sehingga ada pekerjaan
perbaikan yang tertunda (deferred maintenance). Akumulasi pekerjaan
perbaikan yang tertunda ini selama bertahun-tahun akan mengganggu
operasional sistem irigasi sehingga kinerjanya menurun yang berakibat
pada jeleknya tingkat layanan irigsi.
Dalam irigasi modern amanat yang tertuang dalam peraturan perundangan
tersebut harus ditaati secara konsisten. Realisasi pembiayaan harus
dipenuhi sesuai dengan AKNOP yang sudah dihitung sebelumnya.
Dengan cara demikian diharapkan tidak ada lagi pekerjaan perbaikan
yang tertunda, sehingga operasional irigasi dapat optimal sesuai dengn
harapan irigasi modern. Pada akhirnya layanan irigasi sesuai dengan
tingkat layanan minimal yang disepakati dapat terpenuhi.
17) Pengelolaan irigasi modern meliputi operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Di
samping itu lembaga yang bertanggung jawab dalam OP irigasi harus
bertanggung jawab pula dalam pengadaan pegawai (reqruitment)

Institusi Pengelola Irigasi


18) Pengembangan kelembagaan; di pemerintah pusat terdapat empat
kementerian yang menangani irigasi, selaras dengan instansi pusat
maka di aras daerah baik provinsi maupun kabupaten terdapat empat
instansi atau Satuan Kerja Pembangunan Daerah (SKPD) pula yang
membidangi irigasi. Namun baik di provinsi dan kabupaten nama masing-
masing SKPD sangat beragam. Tentu saja keragaman nama tersebut
juga akan mempengaruhi tugas pokok intansi (tupoksi) dan kompetensi
staf SKPD bersangkutan.
19) Di Indonesia fungsi koordinasi hampir di segala bidang sangatlah lemah.
Di aras pemerintah pusat, meskipun terdapat empat kementerian yang
membidangi irigasi tetapi tidak ada institusi yang ditunjuk sebagai
pemimpin sub-sektor irigasi sehingga setiap kementerian yang terlibat
dalam pengelolaan irigasi berjalan sendiri-sendiri. Dari sudut pandang
ilmu sistem maka keadaan ini akan sangat lemah karena sistem tersebut
tidak dapat bekerja maksimal untuk mencapai tujuannya. Apalagi irigasi
merupakan sebuah sistem yang kompleks. Tidak tercapainya tujuan
sistem irigasi akan mempengaruhi sistem pangan nasional karena sistem
irigasi merupakan subsistem pangan nasional. Untuk itu dalam irigasi
modern diperlukan unit koordinasi tingkat pusat yang akan melakukan
koordinasi dengan keempat kementeriaan tersebut. Selain itu dalam
modernisasi perlu dilakukan langkah- langkah sebagai berikut:
• Membangun tentang konsep modernisasi dan human capital
• Menerbitkan kebijakan tentang modernisasi irigasi dan konsep
pemberdayaan berbasis human capital
• Menciptakan system pembiayaan pengembangan dan pengelolaan
irigasi modern, dengan menerapkan IPAIR sebagai partisipasi
petani.
• Melakukan sosialisasi tentang institusi irigasi pembelajar berbasis
human capital bagi para pelaku.
• Membentuk unit pelaksana manajemen pengetahuan di masing-
masing kabupaten yang mempunyai DI modernisasi.
• Melakukan sosialisasi pengembangan dan pengelolaan irigasi
dengan mengaktifkan kembali penyuluh pengairan seperti tertuang
dalam Permen PU No.65/PRT/1993.
• Dibentuk Brigade Pengamanan Irigasi sebagai pejabat penyidik
pegawai negeri sipil, seperti diamanatkan dalam UU No. 7/2004,
dengan maksud mengamankan irigasi dari gangguan keamanan.

Sumberdaya manusia
20) Sumberdaya manusia pada masa sakarang ini kondisi manusia pelaku
irigasi dalam keadaan yang kurang menggembirakan baik pelaku dari
kalangan birokrasi maupun petani. Sebagai pelaksana pengelolaan
irigasi gabungan antara pemerintah dan petani maka kinerja individu staf
irigasi akan tergantung atas beberapa unsur di antaranya ialah status,
fungsi, pemberdayaan dan pelatihan, penghargaan, jumlah dan mutu
pegawai.
Dalam modernisasi irigasi pemberdayaan sumberdaya manusia
dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) peningkatan status sebagai
pegawai negeri; (2) pemberian jabatan fungsional ahli dan terampil; (3)
penyelenggaraan pelatihan; (4) sertifikasi kompetensi; (5) pemberian
insentif/penghargaan; (6) sistem pengadaan yang tepat, (7) penentuan
jumlah dan mutu pegawai; (8) pemberian seragam kerja (uniform).
DAFTAR ISI

SAMBUTAN..................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................................... vii
EXECUTIVE SUMMARY........................................................................................... ix
DAFTAR ISI..................................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................... xxi

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1. Latar belakang .............................................................................................. 1
1.2. Pokok Masalah ............................................................................................. 3
1.3. Kajian Pustaka............................................................................................... 4
1.4. Metode Pendekatan.................................................................................... 5
1.5. Maksud dan Tujuan Modernisasi Irigasi. ........................................... 5
1.6. Definisi Modernisasi Irigasi...................................................................... 6
1.7. Ruang Lingkup. ............................................................................................. 7

BAB 2 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN IRIGASI DI INDONESIA.... 8


2.1. Irigasi Indonesia dari Masa ke Masa................................................... 8
2.1.1 Irigasi pada masa kerajaan sebelum penjajahan. Irigasi
............. pada
8 masa kerajaan
2.1.2 Irigasi pada masa kolonial . Irigasi pada masa kolonial
......................................................... 9
2.1.3 Irigasi pada masa kemerdekaan. Irigasi pada masa kemerdekaan
.............................................. 12
2.2. Perubahan Paradigma Pembangunan
dan Kebijakan dalam Irigasi.................................................................... 19
2.3. Irigasi Masa Depan...................................................................................... 29

BAB 3 MODERNISASI IRIGASI DI DUNIA DAN DI INDONESIA....... 34


3.1. Modernisasi Irigasi di Dunia.................................................................... 34
3.2. Pengalaman Modernisasi di Indonesia.............................................. 38
3.2.1. Kasus modernisasi di Sidorejo, Waduk Kedung Ombo. . Kasus
38 modernisasi d
3.2.2. Pelaksanaan program Perencanaan Aset . Pelaksanaan program Perencan
manajemen irigasi. ......................................................................... 42
3.2.3. Pengembangan rancang bangun irigasi mikro . Pengembangan rancang ba
di Kabupaten Gunung Kidul....................................................... 44
BAB 4 PEMBELAJARAN MODERNISASI IRIGASI. ................................ 46
4.1. Penyediaan Air. ............................................................................................. 46
4.2. Pengembangan Prasarana . ................................................................... 47
4.3. Sistem Pengelolaan Irigasi. ..................................................................... 48
4.4. Institusi.............................................................................................................. 50
4.5. Sumber Daya Manusia.............................................................................. 51
4.6. Pembelajaran................................................................................................. 52

BAB 5 TANTANGAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN


IRIGASI . .......................................................................................................... 53
5.1. Pengembangan Irigasi............................................................................... 56
5.2. Pengelolaan Irigasi...................................................................................... 56
5.3. Sistem Pembiayaan.................................................................................... 57
5.4. Kelembagaan................................................................................................. 58
5.5. Partisipasi Masyarakat............................................................................... 59

BAB 6 KONSEP MODERNISASI IRIGASI DI INDONESIA. .................. 60


6.1. Pengembangan Konsep dan Takrif Modernisasi Irigasi............ 60
6.1.1. Arti dan makna kata modernisasi. Arti dan makna kata modernisasi
............................................ 60
6.1.2. Pengembangan konsep modernisasi irigasi. Pengembangan
....................... 61konsep modernisa
6.1.3. Takrif modernisasi irigasi dan strategi pelaksanaan. Takrif
....... modernisasi
65 irigasi da
6.1.4. Penetapan strategi pelaksanaan. Penetapan strategi pelaksanaan
............................................. 66
6.2. Pelaksanaan................................................................................................... 68
6.2.1. Study modernisasi. Study modernisasi
.......................................................................... 68
6.2.2. Indeks Kesiapan Modernisasi. Indeks Kesiapan Modernisasi
................................................... 69
6.2.3. Perencanaan modernisasi. Perencanaan modernisasi
.......................................................... 70
6.2.4. Pelaksanaan pengembangan modernisasi. Pelaksanaan
......................... pengembangan
71 mode
6.2.5. Persiapan Operasi dan Pemeliharaan (PROM). Persiapan
................ Operasi
71 dan Pemelih

BAB 7 PENYEDIAAN AIR........................................................................................ 73


7.1. Sistem Penyediaan Air............................................................................... 73
7.2. Ketersediaan. ................................................................................................. 75
7.3. Stabilitas Penyediaan................................................................................. 76
7.4. Keandalan........................................................................................................ 76
7.5. Kehilangan....................................................................................................... 77
7.6. Hak Guna Air.................................................................................................. 78
BAB 8 PRASARANA IRIGASI............................................................................... 80
8.1. Saluran.............................................................................................................. 80
8.1.1. Kondisi saluran. Kondisi saluran
................................................................................. 80
8.1.2. Normalisasi saluran irigasi dan linning. Normalisasi saluran
.................................. 81
irigasi dan linnin
8.1.3 Irigasi pipa. Irigasi pipa
.......................................................................................... 82
8.1.4. Patok kilometer, hektometer dan sempadan. Patok kilometer,
...................... 82 hektometer da
8.1.5. Sipatan penampang (lining guidance). Sipatan penampang
................................... 83
(lining guidance)
8.2. Pengendalian sedimen.............................................................................. 83
8.2.1. Konsep pengendalian sedimen. Konsep pengendalian sedimen
................................................ 84
8.2.2. Pengendalian lumpur di saluran. . Pengendalian lumpur di
............................................. saluran
85
8.2.3. Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder). Bangunan
....... 85 pengeluar se
8.2.4. Bangunan Penangkap Sampah. Bangunan Penangkap Sampah
. .............................................. 87
8.3. Bangunan Bagi.............................................................................................. 87
8.3.1. Tipe diatur. Tipe diatur
........................................................................................... 88
8.3.2. Tipe tidak diatur. Tipe tidak diatur
. .............................................................................. 89
8.3.3. Tipe kombinasi. Tipe kombinasi
. ................................................................................ 89
8.3.4. Sanggar tani. Sanggar tani
...................................................................................... 90
8.3.5. Papan operasi . Papan operasi
................................................................................. 91
8.4. Pintu Bagi dan Pintu Pengatur pada Bangunan
Bagi Tingkat Jaringan Utama.................................................................. 91
8.4.1. Skot balok. Skot balok
........................................................................................... 91
8.4.2. Pintu sorong. Pintu sorong
. ..................................................................................... 92
8.4.3. Pintu radial. .Pintu radial
........................................................................................ 92
8.4.4. Pintu kombinasi sorong dan mercu tetap. Pintu kombinasi
. ........................... 93
sorong dan merc
8.4.5. Alat penggerak. Alat penggerak
................................................................................. 94
8.4.6. Bahan (baja, fiber, plat beton). Bahan (baja, fiber, plat beton)
................................................... 96
8.4.7. Atap pelindung pintu. Atap pelindung pintu
...................................................................... 96
8.4.8. Pengamanan prasara jaringan irigasi. Pengamanan prasara
.................................... 97jaringan irigasi
8.5. Bangunan Ukur Debit................................................................................. 97
8.5.1. Jenis bangunan ukur. Jenis bangunan ukur
..................................................................... 98
8.5.2. Kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan
......................................................... 99
8.5.3.. Sistem pengukuran volume air terakumulasi (menerus). 99
8.5.4. Tipe bangunan ukur Dethridge Meter (Australia). Tipe bangunan
............. 100 ukur Dethri
8.5.5. Bangunan ukur debit yang direkomendasikan. Bangunan
.................. 101
ukur debit yang dir
8.6. Jalan Inspeksi. ............................................................................................... 102
8.6.1. Perkerasan. Perkerasan
......................................................................................... 102

8.6.2. Pengamanan jalan inspeksi. Pengamanan jalan inspeksi 103


.......................................................

8.6.3. Fungsi ganda. .Fungsi ganda


................................................................................... 103
8.7. Sistem drainase dan pengendalian banjir......................................... 103
8.7.1. Kesatuan sistem irigasi dan drainase. Kesatuan sistem irigasi
.................................... 104 dan drainase
8.7.2. Pintu pengendali banjir. Pintu pengendali banjir
................................................................. 105
8.8. Pengembangan Tersier. ............................................................................ 105
8.8.1. Tiga prasarana akses petani. Tiga prasarana akses petani
. .................................................... 106

8.8.2. Aset P3A. Aset P3A


............................................................................................. 107
8.9. Sarana Pelengkap. ...................................................................................... 108
8.9.3. Daerah sempadan . Daerah sempadan
......................................................................... 108

8.9.4. Rumah pengamat, juru dan jaga. .Rumah pengamat, juru


............................................ dan
109 jaga
8.9.5. Transportasi. Transportasi
....................................................................................... 109

8.9.6. Sistem komunikasi. .Sistem komunikasi


........................................................................ 110
8.9.7. Kantor. Kantor
................................................................................................... 110
8.9.8. Peralatan operasi dan pemeliharaan. Peralatan operasi
..................................... dan
111pemeliharaan

BAB 9 PENGELOLAAN IRIGASI......................................................................... 112


9.1. Pengelolaan Air Irigasi............................................................................... 112
9.1.1. Metoda Penggunaan air irigasi . Metoda Penggunaan air
. .............................................. 112
irigasi
9.1.2. Model pengelolaan air sekarang. Model pengelolaan air
.............................................. sekarang
116
9.1.3. Model pengelolaan air masa depan . Model pengelolaan
...................................... air
116masa depan
9.1.4. Tingkat layanan . Tingkat
(level of layanan
services) sistem irigasi
dan drainase...................................................................................... 120
9.1.5.. State of the Art pengelolaan air irigasi ................................. 128
9.1.6. Model tata letak petakan, saluran irigasi, drainase . Model tata letak petakan, sa
dan jalan pertanian . ...................................................................... 131
9.2. Sistem Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Irigasi............... 132
9.2.1. Jaringan hidroklimatologi dan hidrometri . Jaringan hidroklimatologi
............................ 132 dan hidrome
9.2.2. Telemetri . Telemetri
. ........................................................................................... 133

9.2.3. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) jaringan utama . Sistem


... 134 Informasi Pengelo
9.2.4. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) jaringan tersier . .Sistem
... 135Informasi Pengelol
9.2.5. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) drainase . .Sistem
................Informasi
137 Pengelolaan (S
9.3. Sistem Operasi.............................................................................................. 137
9.3.1. Pengumpulan data . Pengumpulan data
........................................................................ 137
9.3.2. Perhitungan kebutuhan air . Perhitungan kebutuhan air
........................................................ 139
9.3.3. Pembagian dan pemberian air . .Pembagian dan pemberian
............................................... 146
air
9.3.4. Monitoring kehilangan air. Monitoring kehilangan air
............................................................ 155
9.3.5. Bukaan pintu . Bukaan pintu
.................................................................................... 155

9.3.6. Pelaksanaan operasi . Pelaksanaan operasi


. .................................................................. 156
9.3.7. Blangko operasi. Blangko operasi
............................................................................... 158

9.3.8. Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi


............................................................... 159
9.4. Pemeliharaan................................................................................................. 161
9.4.1. Jenis pemeliharaan. Jenis pemeliharaan
........................................................................ 161
9.4.2. Penelusuran saluran. Penelusuran saluran
...................................................................... 161
9.4.3. Pengelolaan aset irigasi. Pengelolaan aset irigasi
............................................................... 162
9.4.4. Perhitungan AKNOP. Perhitungan AKNOP
...................................................................... 163

9.4.5. Koordinasi. .Koordinasi


......................................................................................... 163
9.4.6. Pelaksanaan pemeliharaan. Pelaksanaan pemeliharaan
........................................................ 165
9.4.7. Blangko pemeliharaan. Blangko pemeliharaan
.................................................................. 166
9.4.8. Monito. Monito
ring dan evaluasi............................................................... 166

BAB 10 KELEMBAGAAN ........................................................................................ 168


10.1. Kelembagaan Irigasi Masa Sekarang................................................. 168
10.1.1. Institusi penyusun dan aturan hukum . Institusi penyusun dan aturan hukum
perundangan irigasi .................................................................... 169
10.1.2. Institusi koordinasi pembangunan dan . Institusi koordinasi pembangunan
pengelolaan irigasi....................................................................... 169
10.1.3. Institusi pengembang irigasi . Institusi pengembang irigasi
............................................ 170
10.1.4. Institusi pengelola irigasi. Institusi pengelola irigasi
........................................................... 171
10.1.5. Institusi pelaksana pengelolaan (UPT) Kabupaten. Institusi
. ..... 172pelaksana pen
10.1.6. Institusi penerima manfaat (Perkumpulan Petani . Institusi penerima manfa
Pemakai Air, P3A). ....................................................................... 173
10.1.7. Institusi pembiayaan irigasi. Institusi pembiayaan irigasi
...................................................... 174
10.2. Kelembagaan Irigasi Modern.................................................................. 174
10.2.1. Membangun konsep . Membangun
human konsep
capital..................................... 175

10.2.2. Membangun organisasi pembelajar dalam pengelolaan . Membangun organi


irigasi sebagai bagian dari modernisiasi.................................. 177
10.2.3. Membangu. n
Membangu
insitusi koordinasi pengelolaan
dan tata aturan irigasi modern . ............................................. 181
10.2.4. Membangun Institusi pengembang irigasi modern. Membangun
....... 182 Institusi penge
10.2.5. Membangunan Institusi pelaksana pengelolaan irigasi . Membangunan Institus
modern (Unit Teknis Pelaksana,UPT) Kabupaten . ...... 183
10.2.6. Membangun Institusi penerima manfaat . Membangun Institusi penerima man
(Perkumpulan Petani Pemakai Air, P3A) modern.......... 183
10.2.7. Membangun Institusi pembiayaan pada irigasi . Membangun Institusi pembiaya
modern ............................................................................................. 184

BAB 11 SUMBER DAYA MANUSIA..................................................................... 185


11.1. Keberadaan Pelaku Irigasi Saat Ini .................................................... 185
11.1.1. Status dan fungsi staf irigasi saat ini . Status dan fungsi
. ............................... 185
staf irigasi saat ini
11.1.2. Pemberdayaan dan pelatihan. Pemberdayaan dan pelatihan
................................................. 186

11.1.3. Penghargaan . Penghargaan


(reward) .............................................................. 186
11.2. Keberadaan Pelaku Irigasi Modern...................................................... 187
11.2.1. Membangun manusia modern untuk mengelola . Membangun manusia moder
irigasi modern................................................................................. 187
11.2.2. Status dan fungsi staf pengelolaan irigasi modern. .Status
... 191
dan fungsi staf pe
11.2.3. Pemberdayaan dan pelatihan. Pemberdayaan dan pelatihan
................................................. 192

11.2.4. Penghargaan . Penghargaan


(reward) .............................................................. 192
11.2.5. Kuantitas pegawai. Kuantitas pegawai
........................................................................ 192
11.2.6. Uniform. Uniform
.............................................................................................. 192

BAB 12 EKONOMI DAN PEMBIAYAAN............................................................ 193


12.1 Investasi............................................................................................................ 193
12.2 Keuntungan..................................................................................................... 193
12.3 BCR dan IRR.................................................................................................. 193

BAB 13 SISTEM PENGAWASAN, MONITORING & EVALUASI. ......... 194


13.1 Sistem Pengawasan .................................................................................. 194
13.2 Monitoring dan Evaluasi . ......................................................................... 194

BAB 14 PENUTUP........................................................................................................ 195

DAFTAR PUSTAKA. ................................................................................................... 197


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya


di awal pemerintahan Presiden Suharto......................... 24
Gambar 2.2 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya
di awal dasawarsa 90’an................................................. 26
Gambar 2.3 Karakteristik good governance (UNESCAP 2005)........ 27
Gambar 2.4 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya
pada masa reformasi....................................................... 30
Gambar 2.5 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya
pada masa depan........................................................... 33

Gambar 3.1 Retakan tanah timbunan pada konstruksi saluran (Arif


and Mutiningrum,2003.................................................... 41
Gambar 3.2 Salah satu pintu otomatis pada Intake Sidorejo, (Arif
and Mutiningrum)............................................................ 41
Gambar 3.3 Salah satu pintu otomatis AVIS di B.Sr 11 Di Sidorejo
(Arif and Mutiningrum,2003)............................................ 42

Gambar 5.1 Kelembagaan irigasi........................................................ 58

Gambar 6.1 Sistem proses penetapan strategi modernisasi irigasi


dalam tiga ranah pengembangan berkelanjutan............. 68

Gambar 8.1 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder)


type tabung pusaran....................................................... 86
Gambar 8.2 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder)
type terowongan (type saluran pembilas bawah)............ 87
Gambar 8.3 Tata letak bangunan bagi sadap bentuk numbak............ 89
Gambar 8.4 Kombinasi sorong dan ambal tetap................................. 94
Gambar 8.5 Sketsa salah satu potongan memanjang bangunan
bagi/sadap dengan bangunan pelindung pintu dan
motor penggerak pintu.................................................... 97
Gambar 8.6 Sketsa peningkatan alat ukur yang ada menjadi alat
ukur volumetrik................................................................ 100
Gambar 8.7 Bangunan ukur Dethridge Meter (pengukuran volume
air menerus).................................................................... 101
Gambar 9.1 Metode penggunaan air dengan irigasi curah (kiri) dan
irigasi tetes (kanan)......................................................... 113
Gambar 9.2 Budidaya tanaman padi sawah....................................... 114
Gambar 9.3 Pengelolaan air di petakan sawah pada SRI-Organik
(Jabar)............................................................................. 115
Gambar 9.4 Kondisi lengas tanah di daerah perakaran tanaman
pada SRI-Organik (Jabar)............................................... 116
Gambar 9.10 Proses Formulasi spesifikasi tingkat layanan untuk
jaringan irigasi dan drainase yang ada (sumber:
Malano, H.M., PJM van Hofwegen, 2006)...................... 126
Gambar 9. 11 Tata-letak petakan sawah di Jepang............................... 132
Gambar 9.12 Pengolahan tanah........................................................... 142
Gambar 9.13 Alir informasi dari lapang ke pusat operasional
pengelolaan air (OMIS ver 7.00)..................................... 146
Gambar 9.14 Upstream Control.......................................................... 151
Gambar 9.15 Downstream Control..................................................... 152

Gambar 10.1 Hirarki DIPK perubahan dari data menjadi kearifan


(wisdom) (Tobing, 2007)................................................ 176
Gambar 10.2 Proses pemberdayaan yang mengedepankan
pengelolaan modal kecerdasan (Tobing, 2007).............. 177
Gambar 10.3 Peran pemerintah dalam pengembangan organisasi
pembelajar dalam pengelolaan irigasi berbasis human
captal (modifikasi dari Tobing, 2007)............................... 179
Gambar 10.4 Kerangka pengembangan untuk berbagi
(Tobing, 2007)................................................................. 182

Gambar 11.1 Unsur kompetensi indivudual (Spencer dan Spencer,


1993 dalam Tjakraatmadja dan Lantu,2006.................... 189
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan antara PP 77/2001 dengan PP no 20/2006.. 18


Tabel 2.2 Perkembangan teori pembangunan yang dianut
masyarakat dunia sejak berakhirnya perang dunia
kedua (Pieterse, 2001)................................................................... 21
Tabel 2.3 Perbedaan karakteristik majanemen irigasi protektif
dan manajemen provisi.................................................................. 29

Tabel 3.1 Kasus modernisasi irigasi di ZAOHE IRRIGATION


DISTRICT (ZID), China (Peter Mollinga and Gao
Hong,2002).......................................................................................... 36
Tabel 3.2 Perbandingan keunggulan dan kelemahan antara
kendali hulu dan hilir (Ankum, 1991)........................................ 39
Tabel 3.3 Panjang dan kapasitas saluran di jaringan utama DI
SIDOREJO........................................................................................... 40
Tabel 3.4 Alat ukur di DI SIDOREJO............................................................ 40

Tabel 6.1 Perbedaan karakteristik irigasi produktif protektif


dengan irigasi provisi (Pusposutardjo, 1999)....................... 64

Tabel 7.1 Sistem Penyediaan Air Irigasi. .................................................... 73

Tabel 8.1 Kebaikan dan kekurangan pintu kombinasi dan skot


balok .................................................................................................... 94
Tabel 8.2 Tipe pintu ukur dan cara pengukurannya. ............................. 98

Tabel 9.1 Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada


modernisasi irigasi............................................................................ 123
Tabel 9.2 Kerapatan stasiun hujan................................................................ 133
Tabel 9.3 Kebutuhan air setiap tahapan di beberapa daerah........... 140
Tabel 9.4 Perbandingan keuntungan dan kerugian pada sistem
kendali hulu dan hilir........................................................................ 150

Tabel 11.1 Ciri manusia modern dan upaya pencapaian dalam


pengelolaan iriagsi moder............................................................. 187
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Irigasi di Indonesia yang dibangun sejak masa pra kolonial sampai masa
reformasi tahun 2011 telah dikembangkan seluas 7.200.000 Ha terdiri dari
irigasi teknis, setengah teknis, dan sederhana; terdiri irigasi skala kecil sampai
dengan skala besar. Selain untuk irigasi tanaman, daerah irigasi tersebut
juga melayani pembangkitan listrik dan pemenuhan kebutuhan air untuk
berbagai keperluan lainnya, termasuk untuk ibu kota propinsi dan beberapa
kabupaten di sekitarnya; yaitu untuk industri, air minum, penggelontoran
kota, perikanan.

Dalam perjalanan waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan aktivitas


pembangunan dan pengembangan berbagai sektor telah terjadi peningkatan
kebutuhan air untuk menunjang kegiatannya. Pada saat kemampuan
penyediaan air terbatas, kompetisi penggunaan air antar pemanfaat air
sering terjadi; yang dapat berakibat pada pengurangan alokasi air pada
sektor tertentu. Pengurangan alokasi air bisa berakibat pada terganggunya
sistem produksi suatu sektor sampai pada gagalnya produksi.

Di sisi lain akibat pembangunan dan pengembangan yang kurang terkendali


dan kurangnya konsistensi dalam mengimplementasikan tata ruang wilayah
dan tata guna lahan, telah terjadi penurunan fungsi daerah aliran sungai
(DAS) pada daerah irigasi yang bersangkutan dan DAS sekitar lainnya.
Kondisi vegetasi yang makin menurun turut mempercepat penurunan fungsi
daerah aliran sungai (DAS) tersebut. Fungsi DAS yang makin buruk telah
mengakibatkan penurunan karakter hidrologis, yang menyangkut kestabilan
aliran air dan bertambahnya sedimen.

Debit puncak banjir maksimum pada musim hujan ternyata makin membesar
dari tahun ke tahun, mengakibatkan genangan banjir makin luas dengan
frekuensi makin sering. Sebaliknya debit andalan pada musim kemarau
makin lama makin kecil, yang mengakibatkan tingkat kekeringan makin
besar dengan frekuensi makin sering.

Penurunan fungsi DAS juga meningkatkan erosi tanah yang memperbesar


Modernisasi Irigasi PU
2

laju sedimen, yang mengakibatkan penyempitan dan atau pendangkalan pada


alur alam maupun saluran buatan, sehingga kapasitasnya jauh menurun.

Selain itu dari sisi manajemen pemanfaatan air irigasi, kinerja pengelolaan
irigasi (OP dan rehabilitasi) di Indonesia umumnya dapat dikatakan belum
maksimal. Sistem penyediaan, pembagian, pemberian, dan penggunaan
air irigasi belum dilakukan secara optimal, sehingga efisiensi air irigasi
masih sangat rendah. Pemeliharaan sarana dan prasarana irigasi masih
terbengkalai, sehingga banyak pekerjaan pemeliharaan tertunda.
Pembiayaan OP sebagian besar belum memenuhi angka kebutuhan nyata
OP (AKNOP), sesuai amanat UU No.7/2004 dan PP No. 20/2006. Kegiatan
rehabilitasi dilakukan terlambat dengan pembiayaan terbatas, dan bahkan
pada beberapa tempat belum dilakukan rehabilitasi meskipun keadaan
bangunan hampir rusak total.

Kinerja pengelolaan irigasi yang rendah ini disebabkan beberapa hal, yaitu
antara lain institusi pengelola yang kurang mantap, sistem pembiayaan
yang kurang memadai, kualitas, dan kuantitas sumber daya manusia (SDM)
yang kurang memenuhi syarat, dan sistem pengelolaan irigasi yang kurang
sesuai.

Pengelolaan irigasi yang kurang memuaskan ini berakibat pada penurunan


layanan irigasi kepada petani. Petani sering menerima air irigasi tidak tepat
jumlah dan tidak tepat waktu. Aspirasi dan keinginan petani sering tidak
terpenuhi.

Akibat lebih jauh dari pengelolaan irigasi yang kurang adalah kondisi dan
fungsi infrastruktur irigasi yang kurang memadai. Saluran irigasi penuh
sedimen, terkena erosi dan longsor tebing. Bangunan bagi rusak, pintu
macet dan keropos, alat ukur dan bangunan pengendali banjir yang tidak
berfungsi.

Kondisi dan fungsi Infrastruktur irigasi yang kurang memadai ini diperparah
dengan umur bangunan yang sudah melewati umur layanannya. Beberapa
daerah irigasi di Indonesia sudah sangat tua peninggalan masa pra kolonial
dan dibangun dengan teknologi sederhana yang berlaku pada waktu
pembangunan dulu (ada yang dibangun sekitar abad 19).

Disamping itu sistem pengelolaan irigasi di Indonesia sekarang dirasakan


kurang memadai dan tidak sesuai dengan pergeseran paradigma
modern. Dengan adanya isu perubahan iklim dan pemanasan global perlu

Modernisasi Irigasi PU
3

pengelolaan irigasi yang lebih efisien dan efektif. Harus diakui bahwa
pengelolaan irigasi di Indonesia sekarang belum efektif dan efisien;
hal ini ditandai dengan antara lain: periode pembagian air 2 mingguan,
sistem informasi dan pengelolaan data secara manual, perintah operasi
pintu secara manual, pengukuran air kurang memadai, sistem pembagian
air secara manual, penggunaan air di lahan petani terlalu berlebih, dan
kontrol pembagian air kurang memadai. Disamping itu pemeliharaan
dan rehabilitasi kurang memadai dan sering terlambat pelaksanaannya.
Oleh karena itu, perlu penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi untuk
mendapatkan sistem irigasi yang lebih efektif dan efisien.

Munculnya permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh para pelaku


pengelola irigasi belum melakukan sesuatu tata pamong (good governance)
yang baik dalam pengelolaan irigasi. Untuk ke depan pemerintah harus
mempunyai pedoman pelaksanaan irigasi yang baik. Sampai sekarang
pemerintah belum mempunyai pedoman tentang pengelolaan irigasi yang
bermakna kekinian atau modernisasi.

Pedoman ini akan mengantar menemukan pemikiran sistem irigasi yang


lebih efektif dan efisien berupa Modernisasi Irigasi di Indonesia. Sehingga
penulisan buku dimaksudkan sebagai acuan dalam melakukan pemahaman
tentang konsep dan pelaksanaan modernisasi irigasi di Indonesia.

1.2. Pokok Masalah


Pokok masalah yang menjadi penyebab sehingga diperlukan modernisasi
irigasi di Indonesia adalah:

a. Umur infrastruktur sebagian irigasi di Indonesia yang telah melewati umur


layanan (life time). Sebagian Irigasi di Indonesia dibangun masa pra-
kolonial, awal kemerdekaan dan masa Orde Baru. Struktur bangunan
atau bagian bangunan yang umur layanan telah melebihi 50 tahun,
menunjukkan gejala degradasi karena pengaruh faktor luar dan/atau
faktor internal. Untuk itu perlu perbaikan, penyempurnaan, dan mungkin
penggantian. Selain itu bangunan tersebut dibangun dengan teknologi
yang ada pada waktu, yang sebagian tidak sesuai dengan teknologi
sekarang. Sehingga sebagian irigasi di Indonesia perlu penyempurnaan
sesuai dengan perkembangan teknologi baru.

b. Sistem pengelolaan irigasi sudah tidak memadai, sehingga tidak efisien.

Modernisasi Irigasi PU
4

Hal ini ditandai antara lain dengan: periode penyesuaian operasi pintu
2 mingguan, sistem informasi masih manual, perhitungan kebutuhan
air dan jadwal pembagian air masih manual, pengukuran air yang tidak
memadai, penggunaan air di lahan yang masih berlebih. Di samping itu
faktor manusia pelaku OP belum seksama melakukan tugas, hak dan
kewajibannya secara memadai.

c. Kondisi dan fungsi saluran dan bangunan irigasi serta saluran pembuangan
yang telah mengalami penurunan akibat kurang memadainya OP dan
terlambatnya melakukan rehabilitasi.

d. Terbatasnya pembiayaan OP dan rehabilitasi jaringan irigasi, yang tidak


sesuai dengan angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi (AKNPI). Hal
ini tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada di Indonesia.

e. Belum lancarnya pengelolaan OP irigasi di lapangan, meskipun


pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan irigasi pada 3
strata pemerintahan telah diamanatkan dalam UU No.7/2004 tentang
Sumber Daya Air dan PP No.20/2006 tentang Irigasi. Hal ini terjadi
karena antara lain kurang mulusnya pemindahan tanggung jawab OP
dari satu tingkat pemerintahan ke tingkat lainnya. Sehingga sering
dijumpai di lapangan tidak ada kegiatan OP sama sekali, karena tingkat
pemerintahan tertentu telah melepaskan tanggung jawab OP tetapi
pemerintahan yang lain belum mau melaksanakan OP yang menjadi
tanggung jawabnya. Sehingga unit pengelola OP di lapangan harus
diperkuat.

1.3. Kajian Pustaka


Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 – 2025,
diisyaratkan bahwa pengelolaan sumber daya air dititikberatkan pada
keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan demand
management yang ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
penggunaan dan konsumsi air.

Seiring dengan itu, amanat yang tertulis dalam UU No.7/2004 tentang Sumber
Daya Air pasal 77 ayat (1), yang bunyinya: Pembiayaan pengelolaan sumber
daya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya
air.

Modernisasi Irigasi PU
5

Disamping itu juga terdapat amanat PP 20/2006 tentang Irigasi, pasal 75,
ayat (2), yang bunyinya: Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer
dan sekunder didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi
pada setiap daerah irigasi.

Proses modernisasi yang diterapkan di beberapa negara telah ditulis oleh


banyak ahli dan sebagian besar menyangkut tentang:
• Pengelolaan air dan sumber air
• Pelayanan pada petani
• Efektifitas pengelolaan infrastruktur irigasi.

(FAO, Rome 20071; FAO, 19972; FAO, 19973; Malano HM and Paul JM van
Hofwegen4)

1.4. Metode Pendekatan


Untuk melaksanakan kajian ini dilakukan dua macam pendekatan, yaitu
kajian pustaka yang terutama ditujukan untuk menelusuri keadaan sistem
irigasi di Indonesia sekarang serta penerapan modernisasi irigasi yang
akan datang, termasuk syarat-syaratnya, anatomi modernisasi, tahapan
penerapan, kecepatan modernisasi, dan sistem pembiayaan. Kegiatan kedua
dengan melakukan penelitian keadaan irigasi di Indonesia yang sekarang
berjalan, dengan mengecek langsung infrastrutur yang ada, pengelolaan
yang diterapkan, kinerja pengelola, tingkat kepuasan petani, efektifitas
sistem irigasi. Penelitian diperkuat dengan dialog langsung dengan staf
Balai Wilayah Sungai dan petani penerima manfaat. Dilanjutkan dengan
dialog langsung dengan Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Propinsi, dan dengan
Direktorat Irigasi dan Rawa.

1.5. Maksud dan Tujuan Modernisasi Irigasi


Maksud modernisasi irigasi di Indonesia adalah mewujudkan sistem
pengelolaan irigasi dalam memenuhi tingkat layanan (level of service)
irigasi yang telah ditetapkan sebelumnya secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan.

1 Modernizing irrigation management- the MASSCOTE approach


2 Herve Plusquellec. How Design Management and Policy Affect The Peformance of
Irrigation Project
3 Modernization of Irrigation Schemes: Past Experiences and Future Options
4 Management of Irigation and Drainage Systems: A Service Approach.

Modernisasi Irigasi PU
6

Tujuan modernisasi irigasi di Indonesia adalah mendukung produktivitas


usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan
pangan nasional dan kesejahteraan petani.

Sebagai indikator dalam modernisasi irigasi tersebut diatas adalah sebagai


berikut:
• Peningkatan produktifitas air (kg GKG/m3 air)
• Peningkatan pelayanan irigasi (kecukupan, keandalan, keadilan, dan
kecepatan pelayanan)
• Peningkatan efisiensi irigasi
• Pengurangan biaya OP
• Peningkatan pengembalian biaya OP (OM cost recovery)
• Peningkatan keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability)
• Berkurangnya perselisihan
• Berkurangnya kerusakan lingkungan (environment degradation)

1.6. Definisi Modernisasi Irigasi


Untuk mewujudkan modernisasi irigasi di Indonesia, perlu diperhatikan
definisi dari institusi irigasi international:

• ICID: The process of improving an existing project to meet New


project criteria. It includes changes to the existing facilities operasional
procedures, management, and institutional aspects. These changes are
designed to enhance the the economic and social benefits of the project.
Unlike rehabilitation, modernization is not renovation of the project
features in need of repair.

• FAO: Modernization irrigation are combined strategy of institutional,


managerial and technological change with the objective to change from
a supply to service oriented mode of operation. (Hans W. Wolter, 1997)

Dengan memperhatikan definisi modernisasi dari dua institusi internasional


tersebut, melewati kajian yang diuraikan pada berikut diusulkan definisi
modernisasi irigasi di Indonesia:

• Indonesia: upaya mewujudkan sistem pengelolaan irigasi partisipatif


yang berorientasi pada pemenuhan tingkat layanan irigasi secara efektif,
efisien dan berkelanjutan dalam rangka mendukung ketahanan pangan

Modernisasi Irigasi PU
7

dan air, melalui peningkatan keandalan penyediaan air, prasarana,


pengelolaan irigasi, institusi pengelola,dan sumber daya manusia.

1.7. Ruang Lingkup


Lingkup permasalahan yang diangkat dalam pedoman modernisasi irigasi
ini terbatas pada masalah-masalah yang bersifat strategis dan pokok dalam
bidang-bidang utama yang menjadi pilar modernisasi irigasi di Indonesia,
meliputi:
a. Peningkatan keandalan penyediaan air irigasi
b. Perbaikan sarana dan prasarana irigasi
c. Penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi
d. Penguatan institusi pengelola irigasi
e. Pemberdayaan sumber daya manusia pengelola irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
8

BAB 2
PERKEMBANGAN KEBIJAKAN IRIGASI DI INDONESIA

2.1. Irigasi Indonesia dari Masa ke Masa


Dari tinjauan buku sejarah tentang irigasi (van Setten van Meyer,1996)
dapat diketahui bahwa irigasi menjadi tumpuan harapan masyarakat banyak
dalam proses penyediaan pangan meskipun suatu negeri terletak di wilayah
muson tropis. Indonesia yang terletak di wilayah muson tropis ini mempunyai
ciri sangat khas. Banyak hujan yang hampir merata sepanjang tahun,
dataran volkanis yang sangat subur di beberapa pulau utama menyebabkan
penduduk Indonesia menjadikan teknologi padi sawah sebagai satu alternatif
terbaik untuk pengembangan sistem pertanian. Meskipun demikian adanya
betatan (dry spell) yaitu terjadinya hari-hari tanpa hujan menyebabkan petani
Indonesia berupaya untuk mewujudkan teknologi irigasi sebagai satu upaya
mengurangi resiko kegagalan panen karena kekurangan air. Biasanya air
irigasi berasal dari sungai yang mengalir di dekatnya, dan sebagai bangunan
dibuat sebuah bendung untuk menaikkan muka air. Dengan demikian dapatlah
dimengerti bahwa sistem irigasi di Indonesia sejak dahulu dirancang untuk
melayani sistem budidaya padi sawah (rice based irrigation system).

Karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak maka sejak jaman dulu
irigasi menjadi alat peneguh kekuasaan politik bagi pemerintah yang sedang
berkuasa. Pada titik tertentu justru irigasi menjadi penentu sukes atau
tidaknya pembangunan negara agraris dengan memakai suatu paradigma
yang dianut pada masanya (Arif et al, 2010).

2.1.1 Irigasi pada masa kerajaan sebelum penjajahan


Orang memperkirakan bahwa budidaya sawah telah ada di Indonesia beberapa
abad sebelum tarikh Masehi. Budidaya sawah diduga berasal dari pengaruh
budaya Dong-Son. Budaya ini dibawa sewaktu terjadi migrasi dari daratan
Asia Tenggara. Hipotesis lain mengatakan bahwa budidaya sawah berasal
dari Assam Utara dan kemudian menyebar ke beberapa wilayah, termasuk
China, Philippina, dan Indonesia (van der Meer, 1979). Perkembangan

Modernisasi Irigasi PU
9

budidaya sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan


irigasi gravitasi pada abad-abad berikutnya. Jaringan irigasi dibangun untuk
mengantisipasi kegagalan panen akibat terjadinya banjir ataupun kekeringan.
Pengetahuan ini diperoleh berdasarkan pengalaman empiris masyarakat.

Pembangunan sistem irigasi secara utuh membutuhkan banyak tenaga


kerja. Sudah barang tentu tenaga-tenaga kerja itu perlu diatur oleh suatu
sistem kepemimpinan terpusat yang menjadi sumber kekuasaan sehingga
dapat mengorganisasikan secara sepadan. Demikianlah manusia Indonesia
hidup sejak ratusan tahun yang lalu dalam suasana agraris berbasis padi
telah membentuk suatu budaya masyarakat hidrolik (Wittfogel,1975).
Secara garis besar evolusi pengembangan irigasi mengikuti empat tahapan,
yaitu: (i) tahap awal, (ii) pembentuk akhir, (iii) pengembangan kawasan, dan
(iv) penguasaan oleh negara (Lombard,1996; van der Meer. 1979). Pada
tahap-tahap awal pemerintah kerajaan tersebut hampir tidak pernah terlibat
dalam pembangunan sistem irigasi. Semua pembangunan jaringan irigasi
dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa bantuan pemerintah sama sekali.
(P3PK,1995;Windya,1993).

Di Jawa kebanyakan sistem irigasi desa dikembangkan atas inisiatif


beberapa orang dengan dipimpin tetua desa. Baru pada tahap keempat
setelah terbentuk sistem pemerintahan yang kuat, negara baru ikut dalam
proses pembangunan sistem irigasi. Dalam pembangunan sistem irigasi
sering dijumpai suatu kolaborasi antara pemuka agama, masyarakat dan
penguasa kerajaan. Kerjasama terjadi karena masing-masing pihak saling
berkepentingan dan saling menguntungkan serta mempunyai nuansa
politik dan ekonomi. Masyarakat memperoleh keuntungan karena adanya
pertambahan pendapatan akibat kenaikan produksi hasil pertanian,
sedangkan negara akan mendapat memperoleh tambahan pendapatan
pajak, serta pengakuan kekuasaan wilayah (Arif dkk ,2010).

2.1.2 Irigasi pada masa kolonial


Sistem pengelolaan irigasi hampir tidak berubah meskipun sistem kerajaan
Hindu-Budha telah berganti menjadi kerajaan Islam. Masuknya bangsa
Eropa ke Pulau Jawa pada abad ke-16 tidak serta merta merubah budaya
dan teknologi tentang sumberdaya air termasuk irigasi. Pemerintah Kolonial
Belanda mulai melakukan pembangunan sistem irigasi teknis di Indonesia

Modernisasi Irigasi PU
10

pada abad ke 19. Pembangunan itu tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan
kebijakan Sistem Tanam Paksa untuk memacu ekspor komoditi perkebunan
ke pasar Eropa. Kebijakan ini diambil karena pemerintah kolonial mengalami
kesulitan keuangan akibat perang Diponegoro. Pengembangan sistem
perkebunan itu membutuhkan suatu sistem irigasi teknis untuk menjamin
ketersedianya air bagi tanaman perkebunan.

Pembangunan irigasi di masa kolonial Belanda dilakukan dalam beberapa


tahapan. Paling tidak terdapat tiga periode pentahapan, yaitu: (i) masa
tahun 1830-1885, sebagai masa pembangunan fisik bangunan utama
(head work), (ii) masa tahun 1885-1920, tahap pembangunan jaringan
irigasi secara utuh, dan (iii) periode 1920–1942 merupakan pelaksanaan
operasional sistem secara mantap. Pentahapan ini juga berkaitan dengan
tahapan perkembangan stabilitas administrasi Pemerintah Kolonial Belanda
(Ravesteijn, 2003, van der Eng, 1996). Pada masa-masa awal pemerintah
Kolonial baru mengembangkan falisitas bangunan utama (head work) yang
dilakukan masih secara empiris dan mengadopsi bangunan irigasi yang
telah dibangun penduduk asli. Tak jarang timbul persoalan akibat tidak
sempurnanya rancangbangun. Tetapi semuanya itu selalu dapat diselesaikan
melalui perbaikan secara in-situ (van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001).

Pada tahun 1854-1856 terjadi kelaparan yang sangat hebat di Demak dan
Grobogan. Oleh sebab itu Pemerintah Kolonial Belanda membangun sistem
irigasi yang ditujukan untuk memperluas lahan pertanian pangan. Daerah
irigasi (DI) Glapan merupakan sistem irigasi pertama yang dibangun (van
Niel, 2003, van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Dengan demikian
terdapat dua macam sistem irigasi teknis yang dikembangkan, yaitu dengan
tujuan utama irigasi untuk perkebunan tebu dan sistem iriagasi untuk
tanaman pangan. Kedua sistem irigasi itu di kemudian hari mempunyai ciri
pengelolaan yang agak berbeda. Di satu pihak pemerintah kolonial Belanda
juga tidak merubah sistem irigasi yang dibangun oleh masyarakat asli seperti
Subak misalnya.

Pembangunan sistem irigasi tahap pertama ini dilakukan bersamaan dengan


pembentukan institusi pengairan Kolonial. Biro Pekerjaan Umum Kolonial
dibentuk pada tahun 1854 dan kemudian ditingkatkan menjadi statusnya
sebagai Departemen Pekerjaan Umum Kolonial (BOW) tahun 1866.
Pembentukan Institusi Pengairan Kolonial itu tidak terlepas dari munculnya

Modernisasi Irigasi PU
11

beberapa konflik dan intrik antara petugas Depertemen Dalam Negeri dan
Biro Pekerjaan Umum. (Ravesteijn, 2003; van der Eng,1996; van Maanen,
1986).

Pembangunan tahap dua bertujuan untuk melengkapi sistem irigasi


secara utuh. Pekerjaan ini dilakukan setelah melakukan penyigian (survey)
beberapa tempat di Jawa. Penyusunan rancangbangun sedikit demi sedikit
mulai menggunakan perpaduan teori modern dan tradisional tetapi masih
selalu menggunakan kriteria kelayakan teknik dibandingkan ekonomi (van
der Eng,1996).

Terdapat satu hal menarik dari proses pembangunan itu yaitu bahwa bendung
yang dibangun adalah selalu berdasarkan kekhasan lokasi. Pada masa ini
pendidikan teknik hidrolika mulai diperhatikan. Sekolah Tinggi Teknologi Delft
membuka jurusan Rekayasa Hidrolika untuk tipologi wilayah Hindia Belanda
dan pada tahun 1921 dibuka Politeknik Bandung dengan bidang studi yang
sama.

Pembangunan sistem irigasi tahap kedua yang bernuansa teknokratik ini,


menimbulkan sejumlah kritik dari para pejabat Departemen Dalam Negeri.
Pembangunan dengan nuansa teknokratik telah menghilangkan kekhasan
sistem irigasi di Jawa yang sebelumnya mempunyai sistem pengelolaan
mirip Subak di Bali. Oleh sebab itu BOW mengadakan beberapa percobaan
pengelolaan irigasi berbasis partisipasi masyarakat. Percobaan itu dilakukan di
DI Pateguhan, Pasuruhan dan DI Pekalen keduanya di Jawa Timur. Percobaan
di DI Pateguhan mengambil sistem Subak sebagai model sedangkan di DI
Pakalen membentuk sistem pengelolaan irigasi baru dinamakan sistem ulu-
ulu golongan. Pada akhirnya pengusaha perkebunan lebih memilih sistem
ulu-ulu golongan dari pada sistem Subak. BOW mengangggap bahwa
sistem ulu-ulu golongan merupakan tata cara pengelolaan irigasi teknikal
yang paling baik pada saat itu. Sistem ulu-ulu golongan ini kemudian dipakai
di banyak tempat dengan beberapa modifikasi tergantung pada kekhasan
lokasi (Ravesteijn, 2003; van der Eng,1996, van der Meer. 1979, Gelpke,
1986). Pada pembangunan sistem irigasi tahap kedua ini, BOW mulai
meletakkan dasar-dasar tatacara Operasi dan Pemeliharaan (OP) irigasi
beserta institusi pelaksananya.

Pada pembangunan tahap ketiga ini persoalan OP semakin menonjol.


Kekurangan air semakin besar karena semakin banyaknya pabrik gula

Modernisasi Irigasi PU
12

dibangun. Untuk mengatasi hal itu maka dibangunlah bendungan-bendungan


besar dan waduk-waduk lapangan untuk mengairi tanaman tebu pada saat
terjadi kekurangan air. Untuk melaksanakan pembangunan maka pihak
perkebunan juga diminta berkontribusi. Adanya waduk lapangan meski
dapat mengatasi kekurangan air, juga memunculkan pemahaman terhadap
pentingnya persoalan hak air beserta sistem alokasi airnya. Sampai tahun
1941 total waduk yang telah dibangun mencapai kapasitas total sebesar 250
juta m3 (van der Eng, 1996, Wirosumarto, 2001).

2.1.3 Irigasi pada masa kemerdekaan

A. Masa sebelum reformasi


Seperti halnya negara yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada
banyak persoalan,terutama keberkaitan dengan keamanan dan stabilitas
politik, kehancuran ekonomi, kemiskinan dan kekurangan pangan. Keadaan
ini berpengaruh terhadap pembangunan dan pengelolaan irigasi di Indonesia.
Dari tahun 1945 sampai dengan masa pemerintahan Presiden Sukarno hanya
sedikit sistem irigasi yang dibangun. Bahkan sistem irigasi yang dibangun
pada masa penjajahan Belanda banyak yang terlantar (Wirosumarto, 2001,
van der Eng, 1996, FTP-UGM, 2006b). Akibatnya Indonesia masih tetap
menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia.

Dengan mengacu pada fenomena-fenomena empiris yang muncul, maka


pemerintahan Presiden Suharto memfokuskan pembangunan sektor
sumberdaya air terutama pembangunan irigasi. Adapun tujuan pembangunan
itu adalah agar dapat memotong garis kemiskinan melalui peningkatan
produksi pertanian. Untuk mencapai tujuan, maka pembangunan irigasi
dilakukan dengan memakai tiga strategi, yaitu: (i) pembangunan infrastruktur,
(ii) pemberian insentif pada petani, dan (iii) pengembangan institusi, termasuk
penyusunan hukum perundangan dan organisasi pengelolaannya (Afif,
1992).

Sesuai dengan strategi yang dipilih, maka pembangunan irigasi dilakukan


dengan lebih menekankan pada: (i) pembangunan fisik dengan orientasi
pada pencapaian sasaran (target oriented), (ii) hampiran kerekayasaan yang
berbasis pada pertimbangan teknis-ekonomis, (iii) asas sentralistik, dan
(iv) keseragaman metode pelaksanaan dengan mengabaikan keragaman
sosiokultural dan lingkungan strategis setempat.

Modernisasi Irigasi PU
13

Kebenaran pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari


kecepatan pembangunan lahan beririgasi di Indonesia yang sampai dengan
tahun 1990 telah tercetak lebih dari 4,0 juta ha (Moohtar, 1992) dan hampir
separuhnya terletak di Pulau Jawa. Pembangunan jaringan irigasi dengan
terpusatkan di Jawa ini disebabkan oleh karena sejak dahulu kala Pulau
Jawa mempunyai sejarah yang panjang dalam budidaya sawah beririgasi
(Kartodihardjo dan Suryo, 1991, van Setten van der Meer, 1979).

Model pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu


itu sebetulnya juga dilakukan pula oleh hampir seluruh negara berkembang,
seperti terlihat dari data perkembangan lahan beririgasi di dunia pada kurun
waktu antara tahun 1961 – 1990 mencapai lebih dari 100 juta ha, dengan 70
juta ha di antaranya terletak di Asia (Oi, 1997).

Sebagai bagian dari pengembangan institusi, pada tahun 1974 dikeluarkan


Undang-Undang tentang Pengairan sebagai pengganti aturan kolonial
AWR 1936 menyusul kemudian penetapan Peraturan Pemerintah (PP)
tentang irigasi tahun 1982 (Wirosumarto, 2001). Hampiran yang dipakai
dalam pengelolaan irigasi masa orde baru ini disebut sebagai manajeman
produksi. Asas ini mengedepankan monosentrisitas dengan menekankan
pemerintah bertindak pelaksana manajemen irigasi di semua aras dan
menentukan tujuan manajemen. Dengan demikian manajemen irigasi
secara keseluruhan akan bersifat manajemen produksi. Salah satu ciri
pelaksanaan manajemen produksi ini adalah pelaksanaan manajemen
dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial (Huppert et al. 2001).
Namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya Indonesia berhasil
mencapai swasembada beras pada tahun 1984.

Hampiran teknis-ekonomis dalam pembangunan ini ternyata hanya mampu


mewujudkan sebagian besar sasaran pembangunan infrastruktur saja,
misalnya pencapaian swasembada beras (meskipun dalam waktu singkat).
Hasil pembangunan yang tercapai dengan pertumbuhan laju ekonomi secara
cepat ini justru tidak mampu untuk mengimbangi perkembangan dinamika
masyarakat yang terjadi akibat dilaksanakannya pembangunan itu sendiri.

Ketidaksepadanan pembangunan dengan hampiran teknis-ekonomis semata


juga terjadi pada pembangunan sektor sumberdaya air pada umumnya. Hal
ini disebabkan oleh karena karakteristik pembangunan sumberdaya air lebih

Modernisasi Irigasi PU
14

bersifat pada transformasi sosiokultural masyarakat dan lingkungan. Hampiran


teknis-ekonomis semata yang selama ini dilakukan dalam pembangunan
sumberdaya air ternyata telah menimbulkan permasalahan sosial-politik
dan budaya yang cepat berkembang di masyarakat. Dapat dicatat beberapa
permasalahan yang timbul misalnya kasus Nipah, Kasus Kedungombo,
pencemaran badan air di sungai-sungai besar, ketidakseimbangan biaya
operasi dan pemeliharaan dengan investasi pembangunan irigasi, serta
beberapa permasalahan lainnya. Persoalan-persoalan itu terus-menerus
membelenggu kesuksesan yang pernah dicapai pemerintah sehingga
dibutuhkan suatu perubahan.

B. Masa reformasi
Menyadari keinginan adanya perubahan dalam pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya air termasuk irigasi maka pada triwulan akhir tahun 1998,
pemerintah pusat telah mulai memikirkan pentingnya untuk melanjutkan
penataan kembali kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya air nasional.
Langkah pertama adalah melalui keputusan sidang Kabinet bulan Oktober
1998 yang merekomendasikan penggunaan metode Pemahaman Partisipatif
Kondisi Pedesaan (PPKP) atau Participatory Rural Appraisal, PRA untuk
dipakai dalam perancangan dan pelaksanaan program-program yang
tercakup dalam pengelolaan sumberdaya air termasuk program pelatihan
yang diberikan kepada masyrakat.
Langkah kedua adalah membentuk Kelompok Kerja (POKJA) yang bertugas
untuk memikirkan kembali dan menetapkan kebijakan sumberdaya air
nasional. Kelompok kerja ini beranggotakan unsur-unsur birokrasi dari
Departemen terkait, wakil-wakil daerah dan LSM. Agar lebih dapat mencapai
tujuan dan sasaran maka Kelompok kerja ini di bagi dalam beberapa
kelompok. Salah satunya adalah Kelompok Kerja Irigasi.

Dalam waktu relatif singkat, Kelompok Kerja Irigasi dengan dibantu oleh
beberapa staf pengajar dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas,
dan Universitas Pajajaran telah dapat melahirkan suatu konsep Maklumat
Pemerintah Republik Indonesia tentang Pembaharuan Pengelolaan Irigasi.
Konsep ini kemudian didiskusikan dalam Rapat Kerja Departemen Pekerjaan
Umum, Republik Indonesia pada tanggal 13 April 1999 dengan dihadiri oleh
para Wakil Gubernur Seluruh Indonesia dan pada akhirnya ditetapkan dalam

Modernisasi Irigasi PU
15

bentuk Instruksi Presiden (INPRES) no. 3/1999 tertanggal 26 April 1999


tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI).

Secara singkat PKPI 1999 ini mempunyai lima kebijakan yaitu masing-
masing: (I) peninjauan kembali tugas dan tanggung jawab pengelola irigasi,
(ii) pemberdayaan organisasi Petani Pemakai Air (P3A), (iii) penyerahan
pengelolaan irigasi kepada P3A, (iv) dihimpunnya iuran pengelolaan irigasi,
dan (v) perlu adanya keberlanjutan sistem irigasi. Meskipun PKPI 1999 ini
terdiri atas lima kebijakan tetapi sebetulnya mempunyai satu azas yaitu
pemberdayaan masyarakat.
Kebijakan pertama dalam PKPI tentang redefinisi tugas dan tanggung jawab
institusi pengelola irigasi secara harfiah dapat diartikan bahwa pemerintah
berkewajiban untuk mendorong dan meningkatkan peran masyarakat dalam
pengelolaan irigasi yang selama ini banyak didominasi oleh pemerintah.
Apabila kita definisikan bahwa irigasi sebagai suatu proses pengambilan air
dari sumber, pengaliran air di saluran, pembagian air ke petak, memberikan
air ke mintakat perakaran tanaman dan pengatusan kelebihan air, maka
menurut PP23/82 hanya proses pemberian air pada tanaman di petak
tersier saja yang menjadi wewenang petani. Selebihnya menjadi wewenang
pemerintah. Peningkatan tersebut terutama ditujukan kepada masyarakat
agar dapat memberikan peran lebih besar dalam semua proses pengelolaan
irigasi termasuk pengambilan keputusan dan pengawasannya.

Untuk itu diperlukan suatu tatanan institusi baru yang mengatur kewenangan
pengelolaan irigasi pada semua aras. Bentuk kewenangan ini akan mengatur
bentuk pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat tani maupun
tugas masing-masing pihak dalam pengelolaan irigasi secara kesetaraan
dan kemitraan. Penyusunan tatanan baru tersebut harus dilakukan secara
partisipatif dan dialogis baik antara masyarakat dengan pemerintah maupun
antar instansi pemerintah terkait serta antar warga masyarakat yang terlibat.
Tatanan baru yang dibentuk juga harus memperhatikan keragaman sosio-
kultural masyarakat setempat.

Kebijakan kedua bermakna bahwa pemerintah menyadari akan pentingnya


peran organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan
irigasi sehingga pemerintah berkeinginan untuk lebih memberikan peran
yang lebih besar, dari semula hanya sebagai organisasi sosial perkumpulan
pemakai (users) air, menjadi suatu badan usaha ekonomi mandiri. Upaya

Modernisasi Irigasi PU
16

peningkatan peran ini dilakukan secara demokratis. Salah satu alternatif


peningkatan peran P3A menjadi suatu lembaga ekonomi mandiri adalah
dimungkinkannya suatu usaha bisnis berbasis pengelolaan air. Usaha ini
akan memberikan konsekuensi bahwa air yang semula hanya dianggap
sebagai masukan dalam proses produksi menjadi masukan modal dalam
usaha ekonomi yang berorientasi pada keuntungan.

Perwujudan kebijakan pertama dan kedua dilakukan melalui kebijakan ketiga,


yaitu peningkatan peran masyarakat melalui penyerahan pengelolaan irigasi
sebatas kemampuannya di seluruh aras sistem irigasi. Sehingga penyerahan
pengelolaan irigasi (PPI) tersebut juga dilakukan secara bertahap, selektif
dan demokratis. Pelaksanaan (PPI) ini harus dilakukan secara transparan
agar masyarakat dapat mengetahui imbalan dan keuntungan apa yang akan
diperoleh dengan diserahkannya pengelolaan irigasi.

Transparansi tentang imbalan dan keuntungan ini menjadi kunci suksesnya


pelaksanaan kebijakan pembaharuan pengelolaan irigasi ini. Bentuk
transparansi inilah yang tidak pernah dikerjakan dalam pelaksanaan program
Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) sehingga program tersebut cenderung agak
kurang sukses dilaksanakan.

Perbedaan yang sangat mendasar dalam PPI dengan PIK dapat terlihat
dalam dua hal, yaitu: (I) latar belakang pelaksanaan, PIK mengartikan
partisipasi sebagai mobilisasi, sedangkan PPI mengartikan partisipasi
sebagai pemberdayaan masyarakat, (ii) dalam PIK alasan dilakukannya
penyerahan adalah untuk mengurangi beban O&P irigasi, sedangkan dalam
PPI alasan penyerahan adalah untuk maksud pemberdayaan masyarakat,
dan (iii) dalam PIK aset diserahkan kepada P3A, sedangkan dalam PPI aset
masih di tangan pemerintah.

Oleh sebab itu dengan diserahkannya pengelolaan irigasi kepada petani


tidak berarti bahwa pemerintah melepaskan tanggung jawabnya pada
pengelolaan irigasi termasuk kegiatan Operasi dan Pemeliharaan (OP)
nya, justru pemerintah berkewajiban untuk memberikan fasilitas agar
masyarakat mampu mengelola jaringan irigasinya secara mandiri, Dengan
diselenggarakannya proses pemberdayaan masyarakat tersebut secara
tidak langsung diharapkan akan terjadi penurunan beban pemerintah dalam
O&P secara perlahan.

Modernisasi Irigasi PU
17

Kebijakan keempat tentang penggalian iuran dana O&P dari masyarakat


dikeluarkan tidak dengan maksud untuk lebih memberatkan petani dengan
membebani iuran tambahan, tetapi justru untuk memperkuat kelembagaan
petani agar mandiri dalam pengelolaan irigasi. Kunci sukses dari kebijakan
keempat ini adalah kesederhanaan prosedur pemungutan iuran pengelolaan
irigasi, transparansi dan akuntabilitas pengeloalan dana serta imbalan dan
keuntungan yang akan diterima petani dengan pembayaran iuran pengelolaan
irigasi.

Kebijakan kelima tentang keberlanjutan irigasi menyebutkan secara khusus


tentang pencegahan alih fungsi lahan dan kelestarian sumberdaya air. Hal
ini bermakna bahwa keberlanjutan irigasi tidak hanya disebabkan oleh alih
fungsi lahan sebagai keberlanjutan fisik saja tetapi juga disebabkan oleh
sebab-sebab lain termasuk adanya perubahan lingkungan strategis maupun
lingkungan ekologis sistem irigasi sehingga pada akhirnya mengancam
keberlanjutan sistem irigasi secara fisik. Dari beberapa penelitian diperoleh
informasi bahwa ketidakberlanjutan suatu sistem irigasi dapat disebabkan
oleh beberapa sebab, termasuk ketidak berlanjutan sosial ekonomi dan
lingkungan (Arif et al, 1998).

Melalui PP 77/2001 maka sifat manajemen irigasi gabungan antara


pemerintah dan petani digantikan oleh menajemen tunggal oleh petani.
Peran pemerintah dibatasi pada pemberian fasilitasi OP serta rehabilitasi
apabila petani tidak dapat melakukannya. (Arif, 2003).

Dalam pelaksanaannya kemudian program pembaharuan irigasi tersebut


secara cepat hanya terfokus pada pelaksanaan kebijakan kedua
(pemberdayaan Perkumpulan Petani pemakai Air, P3A) dan kebijakan ketiga
(PPI). Kebijakan pertama tidak pernah dihayati secara menyeluruh sehingga
perubahan tatapikir (mindset) seluruh stakeholder manajemen irigasi tidak
terbentuk (Arif, 2003). Untuk kebijakan keempat (prosedur pendanaan)
belum pernah direalisasikan secara tuntas karena UU SDA no 7/2004
sudah disetujui untuk diundangkan dan UU ini tak berkesesuaian dengan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam PP 77/2001, terutama menyangkut
penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A.

Arif (2002) berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan yang terkandung dalam


maklumat PKPI sebetulnya merupakan kebijakan-kebijakan yang berurutan
dan tidak dapat dilaksanakan secara serentak. Apabila tidak maka akan

Modernisasi Irigasi PU
18

timbul bias dalam pelaksanaan dan bahkan menjadi kehilangan makna


karena kelima kebijakan hanya diinterpretasikan sebagai satu kebijakan
saja. Keadaan ini menjadi nyata setelah beberapa kasus pelaksanaan PPI
telah gagal untuk dapat menampilkan keseluruhan program tersebut secara
mendasar seperti yang dicita-citakan. Bahadury et al (2004) misalnya
memberikan suatu contoh bahwa pelaksanaan PPI yang kurang tuntas di
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta justru dapat mengancam keberlanjutan
sistem irigasi yang telah diserahkan pada masyarakat tersebut.

Sebetulnya PP 77/2001 secara mendasar telah memberikan beberapa


perubahan dan memberikan arahan pelaksanaan manajemen irigasi baru
yang sangat berbeda dengan PP 23/1982 yang digantikannya. Arif (2004)
mencatat sebanyak enam dasar perubahan yang diajukan di samping
terdapat beberapa kelemahan konseptual. Kelemahan tersebut menjadikan
PP 77/2001 juga tidak mudah untuk diimplementasikan secara sepadan
(CRRD-UGM-IWMI, 2003).

Dengan dikeluarkannya UU no 7/2004 maka dikeluarkan Peraturan


Pemerintah (PP) no 20/2006 tentang irigasi menggantikan PP 77/ 2001.
Banyak hal menarik untuk dicermati apabila kita membandingkan antara
kedua PP tersebut. Beberapa perbandingan antara kedua PP tersebut
disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan antara PP 77/2001 dengan PP no 20/2006


Item PP 77/2001 PP no 20/2006
Tujuan dan Irigasi untuk peningkatan Irigasi untuk ketahanan pangan dan
sasaran irigasi kesejahteraan petani peningkatan kesejahteraaan petani
Kewenangan Seluruh sistem diserahkan Pengelolaan bersama, pemerintah/
pengelolaannya kepada pemerintah daerah di aras jaringan utama
organisasi petani dan petani di jaringan tersier
Azas Polisentrisitas Polisentrisitas semu karena masih
manajemen tersirat adanya superioritas pemerintah.
Wadah koordinasi antar pengguna dapat
dibentuk pada sistem irigasi multiguna
Konsep Pemberdayaan Mobilisasi sumberdaya dan
partisipasi pemberdayaan secara bertahap
dengan persyaratan adanya perkuatan
pemahaman birokrasi
Sumber air Air atmosferik, air Lebih menekankan pada air atmosferik
irigasi permukaan dan air tanah dan air permukaan. Air tanah tidak
diprioritaskan

Modernisasi Irigasi PU
19

Item PP 77/2001 PP no 20/2006


Kemungkinan Sangat mendukung Sangat mendukung pengembangan
pengembangan pengembangan teknologi teknologi dan konsep manajerial
teknologi dan konsep manajerial

Secara bertahap azas polysentrisitas semu yang menunjukkan dominasi


pemerintah dalam pelaksanaan PP 20/2006 sedikit demi sedikit mulai
berkurang. Sesuai dangan UU no 7/2004 pelaksanaan pengembangan dan
pengelolaan irigasi harus dilakukan secara partisipatif. Melalui Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum no 30 /PRT/M/2007 dikeluarkan satu pedoman
untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif.
Namun Permen PU ini dinilai masih bersifat normatif dan harus dilanjutkan
dengan petunjuk teknisnya karena kondisi sosio-masyrakat yang berbeda
antara satu tempat dengan lainnya.

2.2. Perubahan Paradigma Pembangunan dan Kebijakan dalam


Irigasi
Berulang kali kita dengar tentang kata paradigma. Tetapi sebetulnya apakah
yang dinamakan paradigma itu? Paradigma berasal dari kata dalam bahasa
Yunani, paradeigma, yang berarti model, contoh atau pola. Selanjutnya
banyak ahli telah mentakrifkan tentang arti paradigma itu (Barker, 1999,
Suriasumantri, 1994). Dari banyak arti tersebut dapat ditakrifkan bahwa
paradigma adalah: konsep dasar yang dianut oleh masyarakat tertentu,
termasuk masyarakat ilmu, bukan merupakan ilmu melainkan sarana berpikir
secara ilmiah.

Munculnya paradigma atau konsep dasar baru ini dimulai sebagai luaran atau
hasil penalaran intelektual terhadap suatu fenomena empiris. Munculnya
suatu paradigma baru atau konsep dasar baru dalam pembangunan dimulai
dengan adanya suatu upaya penalaran intelektual terhadap suatu fenomena
empiris yang timbul karena adanya ketidakserasian hasil dalam pelaksanaan
pembangunan yang dilakukan dengan memakai paradigma lama.

Perubahan paradigma tentang pelaksanaan pengelolaan irigasi dapat


dirunut dari masa kerajaan sebelum datangnya bangsa penjajah. Di Jawa
kebanyakan sistem irigasi desa dikembangkan oleh inisiatif beberapa orang
yang dipimpin oleh seorang tetua desa seiring dengan pembangunan atau
pengembangan suatu desa. Kejadian ini bahkan untuk di daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur telah berlangsung sejak awal adanya peradaban5.
5 Lihat Lombard.D. 1996. vol 3 dan van Setten van der Meer (1979)

Modernisasi Irigasi PU
20

Pada awalnya pemerintah-pemerintah kerajaan hampir tidak pernah terlibat


dalam pembangunan sistem irigasi tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam
pembangunan sistem irigasi dimulai pada saat beberapa desa bergabung
atau digabungkan dalam satu kekuasaan. Pada masa itu pemerintah kerajaan
baru membutuhkan pengakuan secara politik dan mereka mengadakan
perjanjian dengan para tetua desa tersebut. Pemerintah memberikan
bantuan pembangunan infrastruktur tetapi sebagai imbalan para tetua desa
mendukung kekuasaan raja. Meskipun sifat pertanian beririgasi masih
bersifat subsisten tetapi pemerintah secara politik mulai melakukan intervensi
terhadap monopoli perdagangan beras dengan melalui sistem pajak yang
dibayarkan dalam bentuk riel. Paradigma pemerintah yang mengambil jarak
terhadap petani dalam manajemen irigasi ini terus berlanjut sampai jaman
pemerintahan Mataram (Lombard, 1996).

Adanya paradigma ini menyebabkan munculnya kemandirian para petani


dengan tetap menjaga institusi irigasi beserta infrakstrukturnya masih
berfungsi dengan baik meskipun sistem kerajaan dan pemerintahannya
telah berganti beberapa kali (van der Meer. 1979; Prasodjo.2004). Adanya
fakta keberhasilan nenek moyang kita dalam pengelolaan aset irigasi diduga
disebabkan oleh adanya beberapa hal, yaitu: (i) masyarakat menganggap
hakekat pemilikan air sebagai milik bersama, (ii) adanya kearifan lokal
sehingga masyarakat berkemampuan membangun infrastruktur yang
keseimbangan dengan lingkungannya, (iii) adanya institusi partisipasif yang
kuat dalam penyelenggaraan irigasi secara mandiri, serta (iv) tidak adanya
dominasi oleh suatu pihak termasuk negara dalam penguasan teknologi
irigasi.

Pada pertengahan abad ke 19 telah terjadi perubahan besar dalam sistem


pertanian di Indonesia. Terjadi suatu perubahan paradigma sistem pertanian
beserta sistem irigasinya. Sebagai pemicu perubahan paradigma adalah
kesulitan keuangan yang sangat parah. Pemerintah Hindia Belanda dengan
melakukan kebijakan tanam paksa pada tahun mulai melakukan intervensi
besar-besaran dalam pelaksanaan manajemen sistem irigasi di Indonesia.
Sistem irigasi yang semula dilakukan sendiri oleh kelompok tani telah diubah
menjadi sistem irigasi pemerintah dengan tujuan utama adalah mendukung
industri perkebunan gula dan tembakau. Meskipun demikian tidak seluruh
sistem irigasi yang ada diambil alih menjadi sistem pemerintah. Sebagian

Modernisasi Irigasi PU
21

sistem irigasi yang terletak di daerah yang tidak sesuai untuk perkebunan
tembakau dan tebu dibiarkan tetap sebagai sistem irigasi yang dikelola oleh
kelompok petani sendiri atau menjadi milik desa.

Sangat menarik dari pelaksanaan paridigma irigasi dan sistem pertanian


adalah bahwa pemerintah Kolonial Belanda melakukan konsep pembelajaran
secara bertahap sampai kurang lebih 150 tahun. Proses pembelajaran
bertahap ini menyebabkan keberadaan institusi dan sebagian besar DI yang
dibangun pemerintah kolonial Belanda masih tetap terjaga keberadaannya,
bahkan DI yang rehabilitasi oleh pemerintah Indonesia pada awal dekade
1970’an itu merupakan DI yang dulu dibangun oleh pemerintah Kolonial
Belanda tersebut (Wirosumarto, 2001).

Setelah selesai Perang Dunia ke II maka timbul pemikiran-pemikiran baru


dalam kosnteks pelaksanaan pembangunan pasca perang. Sejak masa
itu maka berkembanglah berbagai teori pembangunan. Perkembangan
teori pembangunan itu sendiri juga tak terlepas dari fenomena-fenomena
politik yang berkembang di aras global. Suasana pasca perang dunia
ke dua, munculnya perang dingin antara blok Barat dan Timur dan
persaingan hegemoni politik dunia, runtuhnya pemerintahan sosialis dan
komunis, perkembangan teknologi dan lain sebagainya sangat mewarnai
perkembangan paradigma pembangunan yang dianut beserta teori
pembangunan dan pelaku-pelakunya (Shepherd, 1998, van Ufford dan Giri,
2004, Pieterse, 2001). Lebih lanjut Pieterse (2001) memberikan sebuah
matriks perkembangan teori pembangunan yang dianut masyarakat dunia
seperti terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perkembangan teori pembangunan yang dianut masyarakat


dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua (Pieterse,
2001)
Makna Teori
Period Perspektif Hegemoni
pembangunan Penggerak
1950> Modernisasi Pertumbuhan ekonomi, Amerika Teori
modernisasi politik dan Serikat pertumbuhan,
sosial- fungsionalime
struktural
1960> Teori Nasional akumulasi, Dunia ketiga, Neo-marxisme
ketergantungan otosentrik negara G77
1970> Pembangunan nilai kemanusiaan
alternatif

Modernisasi Irigasi PU
22

1980> Pembangunan Kapasitasi, Munculnya Kapabilitas


kemanusiaan peningkatan pemilihan Asian dan masyarakat,
kehendak dan pilihan Pasific Rim, negara
manusia munculnya pembangunan
pasar (development
state)
1980> Neoliberalisme Pertumbuhan Globalisasi, Ekonomi
ekonomi, reformasi penumpukan neoklasikal-
sosial, deregulasi, modal dan monetarisme
liberalisasi,privatisasi korpotisasi
1990> Pasca Pembangunan Authoritarian, engineering
dan bencana

Van Uford, Giri dan Moose (2004) membagi perubahan-perubahan teori


pembangunan tersebut menjadi tiga masa, yaitu (i) pembangunan yang
dilakukan dengan tujuan perbaikan hidup umat manusia dalam suatu
kesetaraan setelah perang dunia ke II, periode ini dimulai pada tahun 1946-
949, (ii) periode pembangunan sebagai agenda politik dan administrasi,
berlangsung antara tahun 1949-1990’an, dan (iii) periode pembangunan
sebagai agenda kritis berlangsung pada tahun 1990-an sampai sekarang.

Ditinjau dari pentahapan pelaksanaan pembangunan menurut van Ufford,


Giri dan Moose (2004) maupun Pieterse (2001) seperti terlihat dalam
Tabel 2.2, maka nampak bahwa dekade 60’an sampai dengan dekade
80’an muncul suatu teori pembangunan yang berazaskan modernisasi.
Tiga strategi pembangunan irigasi masa Presiden Suharto itu sebetulnya
menganut paham modernisasi dan dekolonisasi tersebut. Pada teori ini
keberhasilan konsep diukur dengan adanya laju pembangunan ekonomi yang
cepat. Agar dapat mencapai tujuannya maka digerakkanlah mesin birokrasi
sehingga dominasi pemerintah akan sangat besar. Konsep ini secara global
berlangsung sampai akhir dekade 80’an (Shepherd, 1998; van Ufford, Giri
dan Moos, 2004; Pieterse, 2001). Konsep modernisasi bersendikan tiga pilar,
yaitu (i) penyediaan investasi modal yang akan memicu kenaikan produksi,
(ii) pemakaian sains dalam penyediaan produksi barang dan jasa, (iii)
tumbuhnya konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai suatu organsisasi
besar dalam kekuatan politik dan ekonomi. Teori modernisasi juga memicu
timbulnya urbanisasi.

Munculnya ancaman kekurangan pangan dunia telah memaksa para ahli


di pertanian untuk menemukan galur-galur tanaman pangan yang mampu
untuk berproduksi tinggi dan berumur pendek. Untuk padi kemudian muncul

Modernisasi Irigasi PU
23

padi jenis-jenis IR yang dikembangkan oleh the International Rice Research


Institute (IRRI) di Philippines. Galur-galur padi unggul ini memang mampu
untuk berproduksi tinggi dan berumur genjah. Dari semula tanaman padi
berumur 5-6 bulan menjadi hanya berumur 3–4 bulan saja dengan produksi
hampir dua-tiga kali padi dalam. Meskipun demikian galur padi unggul ini juga
sangat rentan terhadap penyakit, membutuhkan dosis pemupukan yang relatif
tinggi dan diberi air irigasi yang cukup. Kemajuan teknologi ini sering disebut
dengan revolusi hijau. Adanya inovasi-inovasi teknologi ini dikenal dengan
revolusi hijau. Fenomena yang muncul pada sistem pembangunan pertanian
beririgasi saat awal munculnya pemerintahan Orde Baru digambarkan pada
Gambar 2.1.

Pada pertengahan dasawarsa 70-80’an muncul teori-teori pembangunan


yang lebih bersifat sosio-kultural masyarakat dan lebih menekankan pada
pembangunan kemanusiaan dengan pelaksanaan partisipatif (Tabel 2.2).
Untuk mengantisipasi ketaksepadanan yang muncul dari pendekatan teknis-
ekonomis serta penggunaan azas sentralistik maka model pembangunan
partisipatif ini lebih menekankan pada pembangunan sebagai proses
belajar (Soedjadmoko, 1987; Korten, 1981; Chambers 1987). Agar dapat
melaksanakan pembangunan sebagai proses belajar tersebut maka lahirlah
beberapa teori pengumpulan informasi partisipatif seperti Rapid Rural
Appraisal, RRA dan Participatory Rural Appraisal, PRA. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa munculnya permasalahan-permasalahan tersebut di
atas merupakan fenomena empiris bentuk ketidakserasian antara hampiran
teknis-ekonomis dengan kemampuan dan kapasitas pelaksana pembangunan
yang masih menggunakan dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan
masyarakat (Pusposutardjo, 1994; 1996). Fenomena-fenomena yang sama
sebetulnya juga muncul di beberapa negara lain yang melaksanakan strategi
pembangunan serupa (Chambers, 1987, Jamieson. 1987, Beebe, 1987).
Fenomena lainnya adalah munculnya globalisasi, yaitu suatu set kehidupan
yang tidak merupakan suatu kebiasaan di suatu tempat (masyarakat),
kemudian semakin lama menjadi semakin biasa. Proses globalisasi muncul
dengan ditandai adanya lima jenis aliran (flow), yaitu: (I) aliran manusia
antar daerah dan antar negara, (ii) aliran berbagai bentuk informasi melalui
berbagai media, (iii) aliran teknologi, (iv) aliran modal antar negara (korporasi
internasional), dan (v) aliran citra serta gagasan (McGinn, 1994 dalam
Pusposutardjo dan Arif, 1999).

Modernisasi Irigasi PU
24

Gambar 2.1 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya di


awal pemerintahan Presiden Suharto

Dengan adanya proses globalisasi tersebut maka tuntutan masyarakat


terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang
dilakukan pemerintah juga meningkat dan terjadi secara global pula. Di
pihak lain, pemerintah yang pada awalnya memelopori pembangunan
jaringan irigasi secara besar-besaran mulai kesulitan memperoleh investasi
dana untuk melakukan Operasi dan Pemeliharaan sistem jaringan yang

Modernisasi Irigasi PU
25

telah dibangun. Dari data yang diperoleh maka kemampuan pemerintah


pada masa kolonial untuk melakukan OP irigasi adalah setara dengan 30
kg beras, pada tahun 1968 pada saat awal Pelita I menurun menjadi 17.5 kg
beras dan pada tahun 1997/1998 kembali turun menjadi Rp.25.000/ha atau
hanya 12,5 kg beras (Amron, 1999).
Dirunut dari depan, sebetulnya pemerintah Orde Baru telah mulai
melakukan proses pemikiran kembali tentang kebijakan sumberdaya air
seperti ditunjukkan dalam arah Pembangunan Jangka Panjang kedua (PJP
II) dan dimanifestasikan dalam kebijakan PELITA VI pada GBHN 1993
butir Ekonomi 2k (GBHN, 1993). Dalam butir tersebut disebutkan bahwa
kebijakan pengelolaan sumberdaya air tidak lagi hanya dititik beratkan pada
pengembangan irigasi semata tetapi sudah diarahkan untuk mendukung
semua sektor pembangunan secara terpadu, dengan partisipasi masyarakat,
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sedangkan pelaksanan irigasi
ditujukan pada penyimpangan klimat.
Meskipun upaya pemikiran kembali untuk meredefinisi paradigma baru
dalam pembangunan sumberdaya air telah terdokumentasi, tetapi arah
kebijakan pembangunan sumberdaya air seperti halnya kebijakan-kebijakan
pembangunan lainnya tidak dilanjuti dengan perbuatan yang nyata. Banyak
hal yang telah dilakukan tetapi sebagian besar justru saling bertentangan.
Gambar 2.1 menyajikan karakteristik pembangunan irigasi pada masa-masa
akhir pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto.
Adanya pengaruh homogenisasi kultural dalam etika, moral dan kultur yang
sangat nyata ini adalah munculnya tuntutan terhadap proses demokratisasi,
penghormatan terhadap hak azasi manusia serta penegakan supremasi
hukum yang menjadi tuntutan reformasi saat ini Munculnya fenomena-
fenomena tersebut selanjutnya memicu timbulnya paradigma baru dalam
pembangunan dan pengelolaan irigasi yang dipakai pemerintah saat ini, yaitu:
(I) bergesernya orientasi pembangunan dari pertumbuhan ekonomi menjadi
pembangunan kemanusiaan secara berkelanjutan, (ii) pengakuan terhadap
hak azasi manusia serta penegakan supremasi hukum, (iii) disepakatinya
kesepakatan-kesepakatan global dalam pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya alam dan (iv) otonomi pemerintahan sebagai wujud metafora
masyarakat jaringan kerja dari Naisbit (1997) (dalam Gibson (ed), 1997).
Dengan berakhirnya perang dingin maka oleh pihak donor diinginkan adanya
suatu metode pembangunan baru dan dinamakan pembangunan partisipasi.
Konsep ini berazaskan pada pelaksanaan good governance (Streeten,
2002; UNESCAP,2005, JICA,2005; Kinuthia-Njenga,2005:IMF,2003). Takrif

Modernisasi Irigasi PU
26

tentang Good Governance ini banyak sekali dan tergantung pihak-pihak yang
berkepentingan. Bank Dunia mempunyai takrif sendiri, demikian pula IMF,
semua tergantung pada kepentingannya masing-masing. Satu pengertian
yang menarik tentang governance diberikan oleh Report of the Commission
on Global Governance dalam Streeten (2002) sebagai berikut:
Governance is the sum of the many ways individuals and instituions,
public and private, manage their common affairs. It is a continuing
process through which conflicting or diverse interests may be
accomodated and co-operative action may be taken. It includes formal
institutions and regimes empowered to enforce compliance, as well as
informal arrangements that people and institutions either have agreed
to or perceive to be in their interest”.

Gambar 2.2 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya


di awal dasawarsa 90’an

Modernisasi Irigasi PU
27

Dengan pengertian tersebut di atas maka Governance lebih luas dari pada
Government. Dalam skala sempit good governance juga merupakan satu
cara pengambilan keputusan yang dilakukan atas dasar kesepakatan banyak
pihak yang terlibat. Ciri-ciri pelaksanaan good governance disajikan dalam
Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Karakteristik good governance (UNESCAP 2005)

Sebetulnya konsep-konsep pembangunan yang ditawarkan pihak donor


tersebut adalah tak lebih dari konsep neoliberlisme yang digerakkan oleh
pasar. Kebetulan konsep ini bersamaan dengan terjadinya fenomena
globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknologi informatika dan
multi media yang sangat pesat. Bahkan fenomena globalisme ini kemudian
menjadi suatu teori ilmu pengetahuan baru dan disebut sebagai globalisme.
Munculnya konsep-konsep pembangunan ini kemudian juga diikuti
dengan konsep pembangunan berperspektif gender dan pembangunan
berkelanjutan (Pieterse, 2001; Steger, 2002; Streeten,2002; JICA, 2005).
Konsep pembangunan berazaskan neoliberalime ini mempunyai makna
privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan desentralisasi. Statement konvensi
Dublin dan Rio de Janeiro pada tahun 1992 jelas-jelas mencirikan konsep
pembangunan berazaskan neoliberalisme dan konsep ini menjadi dasar
pelaksanaan pengelolaan SDA yang disyaratkan oleh pihak donor untuk
dipakai dan diimpelementasikan bagi negara-negara peminjam.

Modernisasi Irigasi PU
28

UU no 7/2004 secara jelas menyebutkan azas dan tujuan pengelolaan SDA


di Indonesia dan diberikan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan
Pasal 6. sedangkan beberapa bentuk kewenangan dan tanggung jawab
pengelolaan SDA diberikan dalam BAB II yaitu Pasal 13 sampai dengan pasal
19. Pasal-pasal tersebut kemudian menjadi suatu dasar bentuk hubungan
kelembagaan antara pemerintah/pemerintah daerah dengan masyarakat.
Pasal-pasal 2 sampai dengan pasal 6 secara jelas juga memberikan arahan
tentang konsep pembangunan yang dianut oleh pemerintah Republik
Indonesia dalam menjalankan reformasi sumberdaya air. Pasal 2 berbunyi:
“Sumberdaya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan,
kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian,
serta transparansi dan akuntabilitas”.
Bunyi pasal 2 ini nampaknya sesuai dengan takrif good governance
seperti tersaji pada Gambar 2.3 (UN ESCAP, 2005). Sehingga mungkin tak
salah kalau kita katakan bahwa pengelolaan SDA menurut UU no 7/2004
tersebut akan dikelola dengan mengikuti azas good governance dan Pasal
2 sebetulnya dapat disebut sebagai pasal tentang good water governance.
Pasal-pasal tersebut merupakan dasar dari pengelolaan SDA dijadikan dasar
dan dijabarkan pelaksanaannya dalam PP no 20/2006 serta PP lain dalam
lingkup UU no 7/2004.
Fenomena lain yang muncul adalah dilakukannya kebijakan otonomi daerah
dan desentralisasi serta pembagian kewenangan pengelolaan irigasi menu-
rut luas layanannya. Dua kebijakan ini menyebabkan terjadinya perubahan
intitusi pengelolaan irigasi baik di pusat maupun daerah. Apabila tidak di-
lakukan suatu koordinasi yang baik di antara para pengelola akan dapat me-
nyebabkan kinerja pelayanan irigasi secara nasional yang kurang sepadan.
Dalam PP no 20/2006 muncul beberapa pasal yang mengamanatkan
perubahan kebijakan dalam pelaksanaan irigasi. Pemahaman terhadap
pentingnya melakukan manajemen aset irigasi baik aset wujud maupun
nirwujud menjadi suatu kebijakan yang sangat penting. Kebijakan ini
muncul karena telah terjadi perubahan hampiran pelaksanaan pengelolaan
pengelolaan irigasi dari teknikal menjadi manajerial. Hampiran ini disebut
dengan pelaksanaan manajemen provisi. Dalam PP no 20/2006 dan Permen
PU no 30 /PRT/M/2007 tentang pelaksanaan pengelolaan irigasi partisipatif
hampiran provisi ini mulai dijalankan. Perbedaan karakteristik manajemen
irigasi protekif dan manamemen provisi disajikan dalam Tabel 2.3.

Modernisasi Irigasi PU
29

Tabel 2.3 Perbedaan karakteristik majanemen irigasi protektif dan


manajemen provisi
No Diskripsi pembeda Manajemen Produksi- Manajemen Provisi
protektif
1 Obyektif Penyelamatan tanaman Optimum kecukupan air
dari penyimpangan klimat
2 Azas majajemen Kemerataan air Nilai produktifitas
Pemerintah dominan Partisipatif
Tujuan manajemen pemerintah sebagai
ditentukan pemerintah penyedia layanan
tujuan manajemen diset
bersama
3 Tanaman yang Tanaman pangan Tanaman niaga
dibudidayakan
4 Orientasi produksi Kepastian usaha tani Produksi omptimal
5 Satus air Air sebagai masukan Air sebagai modal
produksi
6 Jaringan irigasi Dapat menjamin Berfungsi sebagai
kemerataan distribusi dan kontrol
7 Hak atas air Air maksimum Nilai manfaat

Gambar 2.4 menjabarkan paradigma yang dianut oleh UU no 7/2004 dan PP


no 20/2006 beserta pelaksanaannya.

2.3. Irigasi Masa Depan


Meskipun telah berjalan selama kurang lebih 12 tahun namun fenomena
yang muncul sejak gerakan reformasi dilakukan masih gayut untuk dilakukan.
Bahkan sebagian tuntutan reformasi belum dapat berjalan secara benar.
Fenomena-fenomena yang muncul juga masih tetap gayut untuk dicermati.
Namun di samping itu muncul kesadaran baru bahwa persoalan irigasi
yang dulu hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur saat ini mulai
ditinggalkan.

Sampai saat ini belum ada kebijakan yang mengatur tentang kebijakan
pengelolaan sumberdaya manusia dalam sektor irigasi, meskipun hal ini telah
diamanatkan dalam PP 20/2006. Oleh sebab itu diperlukan suatu hampiran
pembangunan kebijakan baru dalam pengelolaan SDM dalam pembangunan
dan pengelolaan irigasi dengan mengadopsi pemikiran yang menganggap
manusia secara utuh yaitu manusia yang mempunyai kecerdasan. Sebagai
manusia yang utuh maka dia akan dapat mengembangkan seluruh
potensinya tidak hanya tenaga fisiknya saja tetapi juga pengetahuan dan
kemampuannya sebagai suatu hasil proses belajar. Konsep ini disebut
sebagai konsep berbasis modal manusia atau human capital. Dengan apa
yang dimilikinya maka manusia akan dapat mengembangkan kecerdasan
Modernisasi Irigasi PU
30

dan pengetahuannya untuk berkreasi dan berinovasi. Hampiran human


capital memfokuskan untuk membangun suatu organisasi pembelajar dengan
mengedepankan hampiran pengembangan modal manusia sebagai bagian
dari modal kecerdasan (intelectual capital) yang dimilikinya. Dukungan
teknologi informasi dan komunikasi menjadi mutlak harus dilakukan.

Gambar 2.4 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya


pada masa reformasi

Modernisasi Irigasi PU
31

Pada masa depan, persoalan OP akan menjadi sangat penting. Penggunaan


manajemen aset menjadi lebih penting dari sebelumnya karena sangat
menentukan aras pelayanan yang akan diberikan oleh pihak manajemen
kepada pemanfaat dan biaya yang harus ditanggung oleh para pihak. Di satu
sisi kemampuan pemerintah untuk melakukan pembiayaan OP secara relatif
akan terus menurun karena kemampuan pemerintah terbatas sehingga perlu
upaya penggalian dana lain dari para pemanfaat termasuk para pengguna
pengguna aset.

Mencermati adanya perubahan lingkungan strategis dan kebijakan tentang


manajemen irigasi maka diperkirakan akan terjadi perubahan karakteristik
wujud pelaksanaan OP irigasi di masa mendatang, yaitu: (i) OP irigasi
dilaksanakan sebagai satu kesatuan manajemen dan bukan lagi sebagai dua
kegiatan terpisah, tindakan Operasi (O) dan Pemeliharaan (P), (ii) OP irigasi
dilaksanakan berbasis pada gerak permintaan (demand driven) daripada
gerak pasok (supply driven), (iii) O&P irigasi dilaksanakan pada manajemen
berbasis waktu nyata (real time) dan aliran tak tunak (unsteady flow), (iv)
O&P irigasi akan berorientasi pada pencapaian hasil produksi pertanian
serta bukan lagi sebagai tindakan antisipasi penyimpangan klimatik seperti
telah disajikan dalam Tabel 2.3.

Dengan melakukan OP secara baik, secara sepadan maka jaminan akan


terwujudnya produksifitas air akan terjamin. Sampai saat ini posisi tawar
irigasi terhadap penggunaan dan pemanfaatan air lainnya sangat rendah
karena produktifitas air relatif juga sangat rendah dibandingkan lainnya Untuk
itu nilai efisiensi pengelolaan irigasi harus tetap terjaga. Salah satu strategi
yang harus dijalankan adalah dengan mempunyai institusi pengelolaan
irigasi berbasis good governance, mutu manusia pelaku irigasi yang tidak
hanya profesional tetapi juga sadar terhadap lingkungan yang terus berubah
dan menjadi manusia pembelajar.

Seperti diketahui sesuai dengan aturan hukum yang berlaku para pelaku
irigasi di Indonesia akan terdiri atas pegawai pemerintah dan petani.
Telah terbukti secara empiris bahwa petani telah mampu untuk mengolah
data dan informasi yang diterimanya serta mengembangkannya menjadi
pengetahuannya sejak berabad-abad yang lalu. Para petani itu telah dapat
menghasilkan suatu teknologi dan kearifan lokal yang terbukti unggul selama

Modernisasi Irigasi PU
32

berabad-abad. Dengan semakin majunya teknologi dan sistem informasi


saat ini fasilitasi terhadap penggunaan teknologi informasi tersebut sangat
diharapkan.

Sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang dihadapinya maka


dasar pikiran petani dalam pengelolaan irigasi selalu berbasis efektifitas
dan bukan pada efisiensi. Dengan keterbatasan sumberdaya maka dasar
pikiran tersebut harus ditingkatkan sehingga petani memahami persoalan
yang dihadapi dalam pengelolaan air yang semakin rumit ini. Sebaliknya
para pelaku birokrasi selalu berpikir efisiensi dan kadang mengabaikan
dasar pikiran efektif.Oleh sebab itu di lapangan terjadi disharmoni dalam
pengelolaan irigasi. Konsep tujuan pengelolaan irigasi adalah terwujudnya
harmonisasi antar pelaku yang dapat dicapai dengan berbagai cara. Dialog
dan saling berbagi pengetahuan merupakan salah satu cara untuk mencapai
harmonisasi itu.

Dengan dasar berpikir yang serba cakup maka para pelaku akan dapat
memahami terjadinya perubahan dinamika masyarakat beserta lingkungan
strategisnya yang nantinya juga akan ikut mempengaruhi kinerja pengelolaan
irigasi. Untuk itu para anggota birokrasi juga harus diberdayakan pula.
Pemakai azas human capital sangat sesuai untuk dapat dipakai dalam
pemberdayaan birokrasi. Sistem human capital dapat dipakai untuk
mengembangkan pengetahuan birokrasi karena berbasis informasi. Selain
itu azas human capital juga akan dapat mengatasi ego sektoral yang selama
ini sering terjadi di antara para pelaku irigasi, karena dengan melakukan
proses berbagi pengetahuan masing pihak akan dapat mengurangi rasa
egosektoral yang selama ini terjadi.

Proses berbagi pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tatap


muka merupakan proses berbagi pengetahuan paling sering dilakukan
karena dianggap mudah dilakukan. Namun dengan adanya teknologi
informasi dan komunikasi maka proses berbagi pengetahuan dan dialog
tidak harus dilakukan secara tatap muka. Proses itu dapat dilakukan secara
on line dengan memakai internet dalam bentuk beberapa cara teknologi.

Dalam proses berbagi pengetahuan akan dapat didiskusikan dalam banyak


hal termasuk cara peningkatan pelayanan pada petani sehingga proses
pelayanan ini dapat mencapai kinerja yang diharapkan petani sesuai

Modernisasi Irigasi PU
33

dengan kinerja infrastruktur dan OP irigasi. Pada proses dialog dan berbagi
pengetahuan maka aras layanan dalam bentuk kecukupan (sufficency),
keandalan (reliability), equitas (equity), dan kelenturan (flexibility), indeks
pertanaman serta biaya dapat didialogkan. Ciri-ciri pengelolaan rigasi masa
depan disajikan seperti pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya


pada masa depan

Modernisasi Irigasi PU
34

BAB 3
MODERNISASI IRIGASI DI DUNIA DAN DI INDONESIA

3.1. Modernisasi Irigasi di Dunia


Perkembangan irigasi di dunia tak dapat dipisahkan dari persoalan pangan.
Di banyak negara ketiga perkembangan irigasi sejak dekade 50’an sampai
dengan periode 80’an meningkat dengan cepat tetapi pada periode setelahnya
perkembangan irigasi menurun dengan cepat pula karena beberapa alasan
(Oi, 1997). Alasan yang pertama adalah: (i) dengan meningkatnya jumlah
penduduk maka persaingan penggunaan air juga semakin meningkat, irigasi
termasuk salah satu sektor lemah daya tawarnya dibandingkan dengan
sektor pengguna lainnya, (ii) banyak di negara-negara berkembang telah
terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah sehingga ketersediaan
air untuk semua sektor menjadi berkurang, (iii) biaya pembangunan sistem
irigasi dan OP sistem semakin lama semakin meningkat, berkurangnya
dana OP selanjutnya akan mengimbas pada menurunnya kinerja irigasi dan
akibatnya akan dapat menurunkan produksi hasil pertanian. Di samping itu
sebagian sistem irigasi yang dibangun pada awal masa pembangunan irigasi
pada dekade tahun 50 dan 60’an telah habis umur teknisnya sesungguhnya
memungkinkan untuk dilakukan rehabililtasi.

Akan tetapi sebetulnya dengan terjadinya perubahan lingkungan ekologis


upaya rehabilitasi saja tidak cukup. Dibutuhkan upaya lain berupa
modernisisasi irigasi. Dalam FAO (1997) modernisasi irigasi ditakrifkan
sebagai:
....suatu proses peningkatan aspek teknikal dan manajerial sistem irigasi
yang gabungkan dengan pembaharuan institusional (jika dibutuhkan)
dengan obyektif untuk pemanfaatan sumberdaya (tenaga kerja, air,
ekonomi dan lingkungan) serta mengalirkan air irigasi sebagai bentuk
layanan pada petani.

Dalam takrif itu upaya modernisasi menekankan pada :


(i) Adanya perubahan banyak aspek dalam sistem irigasi yang tidak hanya
memperrtahankan keadaan dan kriteria sistem yang lama tetapi juga
memenemukan kriteria baru;
(ii) Terjadinya perubahan tidak hanya pada komponen perangkat keras
tetapi juga perangkat lunak;

Modernisasi Irigasi PU
35

(iii) Semua upaya yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan


pada petani untuk memperoleh air irigasi sesuai dengan kebutuhannya
sehingga dapat meningkatkan hasil pertanian dan pendapatan petani;
(iv) Modernisasi tidak selalu berkenaan dengan pemakaian peralatan
yang canggih tetapi lebih menekankan pada adanya pemahaman atau
peningkatkan pengetahuan untuk mencapai seluruh tujuan.

Program modernisasi irigasi telah terjadi di banyak negara di dunia sejak


beberapa dekade karena beberapa alasan. Biasanya program modernisasi
dimulai dengan dikeluarkannya sebuah kebijakan yang mengikuti munculnya
sebuah paradigma baru. Sebagai contoh Taiwan melakukan program
modernisasi irigasi setelah melakukan kebijakan land reform pada tahun 1949
dan kemudian proses modernisasi dilakukan beberapa tahun setelahnya. Di
Republik Rakyat China, program modernisasi irigasi di picu karena terjadi
masalah dalam pembiayaan pengelolaan irigasi.

Di Malaysia irigasi dilakukan untuk mendukung industri padi pemerintah.


Kebutuhan terhadap modernisasi muncul setelah persoalan irigasi pada akhir
dekade 1980’an industri padi itu menghadapi persoalan kekurangan tenaga
kerja dan meningkatnya biaya produksi. Di samping itu kebutuhan terhadap
air terus meningkat di beberapa tempat. Oleh sebab itu di banyak area
pertanian beririgasi, upaya moderniasasi diprioritaskan dengan melakukan
upaya managemen produksi pertanian dengan meningkatkan upaya penekan
biaya, meningkatkan efiesiensi karena air juga dibutuhkan untuk penyediaan
air baku bagi air bersih dan air untuk industri (Ghazalli, --).

Satu contoh modernisasi di India dilakukan di Samrat Ashoka Sagar Project di


Sungai Halalir,Madhya Prades. Kebutuhan modernisasi di DI Samrat Ashoka
muncul karena terjadinya persoalan manajemen irigasi yang sangat buruk
seperti ditujukkan oleh: (i) luas areal terairi relatif kecil dibandingkan dengan
luas potensi DI, (ii) munculnya konflik hulu-hilir,dan antara petani kecil dan
petani yang mempunyai lahan luas, (iii) sistem irigasi ini tidak dirancang
untuk berfungsi pada musim penghujan (Kharif) sehingga apabila terjadi
betatan akan mempengaruhi kinerja irigasi. Ketak-sepadanan manajemen
ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah: (i) kekurangan rasa
memiliki bagi para petani dan pelaku irigasi karena lemahnya infrastruktur
institusi, dan (ii) kekurangan biaya OP sehingga infrastruktur terbengkalai.

Modernisasi Irigasi PU
36

Proses modernisasi yang dilakukan adalah rehabilitasi infrastruktur dan


terjadinya proses pembaharuan institusi, sistem irigasi yang tadinya menjadi
kewenangan pemerintah provinsi diubah menjadi kewenangan P3A. Biaya
modernisasi ditanggung sebagian besar oleh Pemerintah Provinsi Madya
Pradesh dan sebagian kecil oleh pemerintah pusat. Alasan penyerahan
adalah pemerintah provinsi merasa keberatan menanggung beban
pembiayaan irigasi yang terus membengkak (Ganesh Pangare, Rajat Hooja
and Nitin Kaushal, 2003).

Sesuai dengan takrif yang dibuat FAO maka pelaksanaan modernisasi


iriagsi di banyak negara tidak dilakukan dalam satu aspek saja tetapi
dilakukan secara multi dimensi, baik teknikal, manjerial, pembiayaan dan
juga pembaharuan institusional. Pada dekade 80 sampai awal 2000’an
penyerahan irigasi dari pemerintah kepada petani menjadi isu penting dalam
pengelolaan irigasi (FAO,1997, Pisquile,2001) Satu kasus modernisasi yang
dinilai berhasil di China disajikan dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kasus modernisasi irigasi di ZAOHE IRRIGATION DISTRICT


(ZID), China (Peter Mollinga and Gao Hong,2002)
ITEM KETERANGAN
Lokasi Suqian City, Jiangsu Province, P.R. China
Luas 10,670 ha, masih ada sekitar 23.000 ha di hilir sistem sehingga
sistem dapatnya diperluas
Tanggal pembangunan 1970
Tipe sistem Irigasi pompa dari sungai yang dimasukkan dalam saluran
gravitasi
Tanaman utama Padi (summer) dan gandum (winter)
OP Dilakukan pemerintah lokal sebelum pembaharuan dan
perusahaan air setelah pembaharuan bersama P3A baik
sebelum maupun setelah pembaharuan
Sistem pemilikan tanah Tanah adalah milik negara, petani tidak berhak untuk menjual
tanah. Setiap anggota keluarga memperoleh jatah garapan
0,087 ha
Hak air Hak atas air hanya dimiliki oleh pemerintah. Petani hanya
berhak untuk memakai air dilekatkan pada hak garap tanah.
Debit maksimum 25 m3/detik
Waktu mondernisasi 1997
Pembiayaan Pemerintah RR China, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Modernisasi lokal dan Bank Dunia dipakai untuk pembangunan sebagian
perbaikan infrastrukutr dan pembaharuan institusi. Pemerintah
Pusat berkontribusi terbesar
Tipe tanah Loam dan lempung, sebagian lagi aluivial

Modernisasi Irigasi PU
37

Sebagai pemicu modernisasi adalah: (i) Adanya penurunan kinerja infrastruktur


ditambah dengan mutu konstruksi bangunan yang buruk dari tahun 1960-
1970, (ii) adanya pembaharuan kebijakan irigasi yang dilakukan pemerintah
pada tahun 1990’an yang nantinya berimbas pada struktur pembiayaan, (iii)
Berkurangnya pembiayaan pemeliharan disebabkan adanya pembaharuan
pengelolaan irigasi, (iv) Terjadinya ketidakpuasan dalam pembiayaan yang
berasal dari dana iuran irigasi yang tercampur dengan iuran di aras desa; (v)
terjadinya kerancuan dalam pengelolaan irigasi antara birokrasi administrasi
dengan birokrasi irigasi.

Kinerja sebelum adanya modernisasi: (i) tidak ada pelaksanaan monitoring


dan evaluasi kinerja sistem irigasi sehingga tidak ada informasi tentang
kinerja sistem irigasi yang dapat dijadikan pedoman pengelolaan selanjutnya,
(ii) semua pelaksanaan sistem operasi dilakukan secara manual sehingga
biaya yang dibutuhkan untuk tenaga kerja sangat besar, (iii) tidak ada kantor
petugas untuk melakukan operasi irigasi akibatnya adalah efisiensi sangat
rendah dan sering terjadi kesalahan operasional, (iv) penggunaan iuran
irigasi penggunaannya tidak untuk keperluan OP irigasi, (iv) tidak ada P3A
yang kuat di seluruh ZID.

Upaya perbaikan infrastruktur dilakukan dengan memakai teknologi


sederhana. Pada prinsipnya semua tindakan dilakukan untuk meningkatkan
efisiensi seperti misalnya melakukan lining saluran utama sampai 100%,
saluran sekunder sebesar 29% dan tersier mencapai 40%. Pengukuran debit
dilakukan dengan memakai tabulasi dan data dikalibrasi dengan memakai
current meter.

Upaya modernisasi institusi yang paling utama adalah dengan merubah status
ZID dari kewenangan pemerintah lokal menjadi perusahaan pengelolaan
sumberdaya air. Perubahan ini menyebabkan bahwa ZID selain mengurusi
irigasi juga bertindak sebagai perusahaan air minum serta juga mempunyai
bisnis lain di luar bisnis air. Untuk gaji upah pegawai diperoleh dari iuran air
dan biaya pemeliharaan yang dilakukan oleh para pegawi sendiri. Di aras
tersier pemeliharaan dilakukan oleh petani.training merupakan prioritas
modernisasi untuk membentuk P3A yang kuat.

Sebelum adanya modernisasi sudah dilakukan upaya penarikan iuran air dari
para petani dikumpulkan pemerintah desa dan diserahkan pada pemerintah
kota. Setelah ada pembaharuan maka iuran ditarik oleh perusahaan air dan

Modernisasi Irigasi PU
38

iuran terkumpul hanya dipakai untuk keperluan pengelolaan iriagsi termasuk


gaji upah pegawai. Pemerintah kota juga harus membayar biaya air minum
pada perusahaan air.

3.2. Pengalaman Modernisasi di Indonesia


Dengan mengacu pada takrif modernisasi yang diberikan oleh FAO, maka
sebenarnya telah terjadi beberapa kasus modernisasi irigasi di Indonesia.
Satu kasus paling terkenal adalah pelaksanaan pengelolaan irigasi DI
Sidorejo, Waduk Kedung Ombo. Beberapa kasus lainnya adalah Perancangan
program aset manajemen kerjasama antara UGM dengan Direktorat Jenderal
Sumberdaya Air, Kementerian Perkerjaan Umum (PU) (sebelumnya Direktorat
Jenderal Pengairan) dan pengenalan irigasi mikro di Kabupaten Gunung Kidul
oleh tim UGM.

3.2.1. Kasus modernisasi di Sidorejo, Waduk Kedung Ombo


Tujuan utama pembangunan Sistem Irigasi Sidorejo adalah untuk mengairi
lahan pertanian tadah hujan di Geyer, Toroh, dan Purwodadi. Di Sidorejo
temasuk salah satu lahan di Sistem Irigasi Kedung Ombo dan sebagian DI
tersebut masuk Daerah Irigasi Kepil. Pembangunan DI Sidorejo dilakukan
dari 1987/1988 sampai 1990/1991 oleh pemerintah pusat dengan bantuan
pendanaan dari Bank Dunia.

Berbeda dengan negara lain di dunia, proses modernisasi sistem irigasi


Sidorejo terjadi tanpa adanya pemicu kebijakan secara nasional dari
pemerintah untuk melakukan proses modernisasi. Satu-satunya isu tentang
kebutuhan modernisasi adalah keinginan pemerintah untuk membangun
suatu sistem irigasi modernisasi secara teknikal di Sistem Irigasi Kadung
Ombo dengan membangun pengelolaan irigasi dengan kendali hilir
(downstream control), karena pemerintah memperoleh pinjaman lunak dari
Bank Dunia untuk pembiyaannya (Arif dan Murtiningrum. 2003). DI Kepil
yang dikembangkan menjadi DI Sidorejo tadinya merupakan DI kendali hulu.
Seperti diketahui hampir semua pengelolaan sistem irigasi di Indonesia
dilakukan dengan memakai sistem kendali hulu (upstream control). Perubahan
pengelolaan yang pada awalnya memakai kendali hulu dan kemudian diubah
menjadi kandali di hilir dianggap sebagai suatu proses modernisasi. Kendali
hilir biasanya dipakai untuk “on demand supply” di petak tersier. Bandingan
keunggulan dan kelemahan antara penggunaan kendali hulu dan hilir dapat
dilihat dalam Tabel 3.2.

Modernisasi Irigasi PU
39

Tabel 3.2 Perbandingan keunggulan dan kelemahan antara kendali


hulu dan hilir (Ankum, 1991)
No Kendali hulu (Upstream Control) Kendali hilir (Downstream Control)
1 Pengelolaan air harus dikendalikan Kebutuhan air akan dipenuhi sepanjang debit
oleh “water operator center” dimana di bendung tersedia
instruksi bukaan pintu diberikan
ke setiap regulator, berdasarkan
ketersediaan air dan kebutuhan air
2 Pengetahuan sebelumnya tentang Pengetahuan sebelumnya tentang pola tanam
pola tanam dan kebutuhan air dan kebutuhan air, tidak diperlukan
diperlukan untuk mendapat distribusi
air yang tepat waktu
3 Pengukur debit dan pengatur debit Pengukur debit tidak diperlukan. Parameter
diperlukan untuk mendistribusikan yang dikendalikan adalah elevasi muka air
air dari bendung sampai ke sadap
tersier
4 Pasok air yang diperlukan hanya Debit yang diinginkan cepat segera tersedia
tersedia secara bertahap dan selalu sesuai kebutuhan
berkurang
5 Pengguna air sebelah hulu akan Pada waktu kekurangan air, pengguna sebelah
lebih diuntungkan daripada hilir masih diuntungkan
pengguna hilir, pada waktu terjadi
kekurangan air
6 Aliran super kritis (misal bangunan Aliran super kritis (misal bangunan terjun)
terjun) dalam ruas saluran antar dalam ruas saluran antar regulator tidak
regulator masih diijinkan diijinkan. Hanya diijinkan pada regulator saja
7 Bangunan terjun dapat dipilih Bangunan terjun hanya mungkin pada
dikombinasikan dengan regulator regulator
8 Tidak ada pembatas kemiringan Kemiringan saluran harus cukup kecil untuk
dasar saluran manampung “wedge storage” untuk pasok air
seketika, biasanya < 0,3 permil

DI Sidorejo merupakan DI paling hulu dari Sistem Waduk Kedung Ombo,


Jawa Tengah, mengambil air dari Sungai Serang, terletak di dua Kabupaten
Boyolali dan Grobogan mempunyai luas layanan 5.717 ha. Dengan demikian
saat ini pengelolaan DI Sidorejo ini menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Tetapi sebenarnya DI Sidorejo pernah mengalami perubahan kewenangan
pengelolaan beberapa kali sesuai dengan perubahan sistem hukum yang
terjadi. Bahkan pada masa pelaksanaan PP 77/2001 sebagian layanan
sekunder pernah diserahkan pada petani.

Pembagian pengelolaan irigasi dengan kendali hilir dilakukan dengan


memakai pintu-pitu otomatis. Infrasturktur yang ada di DI Sidorejo dapat
dilihat pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4.

Modernisasi Irigasi PU
40

Tabel 3.3 Panjang dan kapasitas saluran di jaringan utama DI


SIDOREJO
Saluran Nama Panjang (km) Kapasitas (l/det)
Pimer Sidorejo 13,153 9.071
Sekunder Dimoro. 1,790 632
Sekunder Pilang 1,186 632
Sekunder Kauman 3,792 551
Sekunder Kepuh Gendingan 4,145 671
Sekunder Kranggan Harjo 8,026 2.201
sekunder Karangsari 2,410 632
Sumber: GORI , 1990
Tabel 3.4 Alat ukur di DI SIDOREJO
Type Alat Ukur Jumlah
AVIO 2
AVIS 5
Distributor 27
AMIL 1
Romijn 24
Broad Crested 2
Sumber: GORI, 1990
Kinerja pengelolaan memakai kendali hilir hanya dapat berjalan selama
dua tahun, yaitu pada saat uji coba, setelah itu pemakaian pengelolaan hilir
di DI Sidorejo tak pernah lagi dapat berfungsi dengan baik. Kegagalan ini
disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu: (i) Kegagalan memenuhi persyaratan
teknis yaitu debit minimal tidak pernah dipenuhi (ii) kesalahan pembangunan
infrastruktur, dan (iii) kekurangan biaya OP, tidak adanya kepedulian dalam
OP.

Kegagalan untuk memperoleh debit minimal menyebabkan pintu otomatis tak


dapat berfungsi dengan baik. Akibatnya adalah operasi irigasi juga tak dapat
terlaksana dengan baik sehingga pada akhirnya terjadi proses perusakan
pintu-pintu (vandalisme) oleh petani dan pengelolaan irigasi secara kendali
hilir sulit dilakukan lagi. Kesalahan pembangunan infrastruktur terjadi karena
timbunan tanah diambilkan dari tanah yang berbeda karakteristiknya dengan
tanah asli sehingga terjadi retak tanah cukup besar di musim kemarau.
Retakan tenah menyebabkan tanah timbunan tidak kuat beban konstruksi
pintu otomatis dan menyebabkan kebocoran saluran. Setelah diserahkan
pada pemerintah provinsi kebutuhan O&P minimal tak dapat dipenuhi
sehingga sistem O&P irigasi tak dapat berfungsi dengan baik. Gambar 3.1
menunjukkan retakan tanah timbunan di saluran, Gambar 3.2 dan Gambar
3.3 memperlihatkan gambar bangunan pintu otomatis AVIO dan AVIS.

Modernisasi Irigasi PU
41

Gambar 3.1 Retakan tanah timbunan pada konstruksi saluran


(Arif and Mutiningrum,2003

Gambar 3.2 Salah satu pintu otomatis pada Intake Sidorejo,


(Arif and Mutiningrum)

Modernisasi Irigasi PU
42

Gambar 3.3 Salah satu pintu otomatis AVIS di B.Sr 11 Di Sidorejo


(Arif and Mutiningrum,2003)

Baik sebelum peyerahan kewenangan pengelolaan pada tahun 1993


pada pemerintah provinsi pembentukan dan pelatihan P3A dilakukan oleh
Proyek Tata Guna Air (PTGA) Upaya ini dinilai cukup berhasil karena kinerja
P3A sangat bagus. Pada waktu pelaksanaan PP 77/2001 satu sekunder
telah diserahkan pada petani dan memberikan hasil kinerja cukup bagus.
Pelaksanaan pemungutan iuran irigasi (IPAIR) berjalan dengan baik dengan
aras efektivitas pemungutan mencapai lebih dari 70% dengan jumlah iuran
lebih besar dibandingkan dengan iuran yang dilakukan di Kulon Progo di
Yogyakarta. Pada tahun awal dekade 2000’an sudah terbentuk beberapa
Federasi P3A di aras Sekunder, dimikian pula induk P3A sudah digagas
untuk dibentuk.

3.2.2. Pelaksanaan program Perencanaan Aset manajemen irigasi


Pada tahun 1995, Universitas Gadjah Mada mengadakan kerja sama dengan
Southamton University, UK dan Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen
PU (sekarang Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Kementerian PU) untuk
mengenalkan pelaksanaan Perencanaan Manajemen Aset Irigasi (PMAI)
di Indonesia. Pengembangan konsep MAI dipicu oleh adanya perubahan
manajemen perusahaan air minum dari pemerintah Inggris kepada sebuah
perusahan swasta. Dalam penyerahan aset air minum itu dipandang

Modernisasi Irigasi PU
43

pentingnya dilakukan suatu tindakan manajemen aset baik untuk keperluan


penyerahan kewenangan maupun pelaksanaan manajemen ke depan.
Karena ada kemiripan dalam pengelolaan aset air minum dengan irigasi
maka digagaslah untuk menyusun pelaksanaan PMAI. Sejak tahun 1996
program manajemen aset irigasi ini dikembangkan sendiri oleh FTP-UGM
dan difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Sumberdaya Air.

Program PMAI merupakan upaya modernisasi piranti lunak dalam


pengelolaan iriagsi yang sangat sesuai untuk dipakai dalam kegiatan OP
irigasi. Perencanaan manajemen aset yang dikembangkan oleh FTP-
UGM ini dicirikan oleh analisis strategis secara terpadu dari umur pakai
infrastruktur untuk menentukan nilai kepemilikan (actual cost) dan operasi
aset infrastruktur. Semuanya ini bertujuan agar pihak manajemen dapat
menyusun strategi jangka panjang yang paling efektif (ditinjau dari segi
biaya) untuk mencapai tingkat pelayanan tertentu. Dengan kata lain, progam
manajemen aset harus dapat memberikan gambaran yang jelas kepada
organisasi pelaksana manajemen irgasi dan pengguna tentang implikasi
finansial dari penyediaan pelayanan pada aras tertentu (Arif, Subekti dan
Kurniawan, 2001).

Piranti lunak PMA FTP-UGM dapat bekerja secara lentur dan disesuaikan
dengan kebijakan program pemerintah. Penggunaan PMAI juga merupakan
salah satu sarana untuk berbagi pengetahuan antara pemerintah dengan
petani dalam pelaksanaan OP.

Sampai saat ini PMAI dilaksanakan di lebih dari 40 DI di Jawa, terutama BBWS
Brantas dan Serayu Opak. Selama pengembangannya sudah terdapat tiga
versi piranti lunak PMAI, yaitu: (i) versi 1, merupakan progam asli, (ii) versi
1-a, merupakan program asli yang dikembangkan, formula prioritas aset
diperbaiki, (iii) versi 2, progam digabungkan dengan program penetapan
tata tanam, berbasis spasial, (iv) versi 3 merupakan pengembangan versi
2 dengan tambahan pemilihan prioritas pemeliharaan/rehabilitasi aras
sekunder dan multi daerah irigasi (DI). Penetapan prioritasi untuk aras
sekunder dan DI ditetapkan dengan memperhatikan luas layanan,investasi
biaya yang dibutuhkan, dan potensial produksi yang akan dicapai.

Meskipun program PMAI dapat berjalan dengan baik tetapi belum muncul
sebagai suatu kebutuhan masyarakat pelaku pengelolaan irigasi untuk
melakukan PMAI secara institusional secara mandiri. PMAI hanya sekedar

Modernisasi Irigasi PU
44

proses penggunaan Teknologi Informasi dan belum menjadi suatu kebutuhan


penggunaan bagi para pelaku pengelolaan irigasi. Saat ini FTP-UGM tidak
lagi mengembangkan PMAI versi baru karena Pemerintah telah mempunyai
piranti lunak Pengelolaan Aset Irigasi (PAI) dengan bantuan pihak donor. FTP-
UGM sekarang hanya mengembangkan konsep pembelajaran manajemen
aset irigasi sebagai sebuah upaya pembelajaran pendidikan. Apa yang
dialami oleh FTP-UGM dalam pengembangan manajemen aset irigasi akan
dapat pula terjadi pada upaya pemerintah mengembangkan program PAI
apabila proses pembelajaran dan upaya berbagi pengetahuan tidak kerjadi.

3.2.3. Pengembangan rancang bangun irigasi mikro


di Kabupaten Gunung Kidul
Pada tahun 1992-1993 Tim FTP-UGM telah mengembangkan sistem teknik
irigasi mikro, yaitu sistem irigasi curah (sprinkler irrigation) bertekanan rendah
dan sistem irigasi tetes (trickle irrigation), dan sistem irigasi semprot bergerak
otomatis (moveable irrigation sprayer) untuk dialihkan ke masyarakat tani
Desa Bogor, Kecamatan Playen. Pengembangan rancang bangun alih
teknologi irigasi didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:

(i) Masyarakat tani Gunung Kidul akan lebih memilih teknologi irigasi yang
dikembangkan karena baik secara teknikal maupun ekonomikal akan
lebih efisien dan efektif,

(ii) Dengan memakai teknologi yang akan dialihkan maka akan lebih
banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan petani untuk menambah
penghasilannya dengan cara pengembangan teknologi pasca panen.

(iii) Apabila berhasil maka para petani Gunung Kidul yang gemar merantau
untuk bekerja di kota akan kembali ke desa.

Sistem irigasi curah bertekanan rendah dirancang untuk dibuat dari pipa
tembaga yang banyak digunakan untuk alat rumah tangga dan terdapat
di toko besi setempat. Rancang bangun didasarkan atas rancang bangun
irigasi curah taman yang juga banyak tersedia di toko-toko taman di kota
tetapi tidak terdapat di toko desa.

Pembuatan satuan pencurah sangat mudah sehingga bengkel las desa


mampu untuk membuatnya sendiri. Tekanan air pada pipa lateral sistem
berasal dari bak air berketinggian 7 m. Air dipompa dari sumur berjeluk 8-12 m

Modernisasi Irigasi PU
45

dialirkan ke dalam bak. Sistem irigasi curah dirancang dengan menggunakan


alat yang terdapat di lokasi pengembangan, dua tipe penetes (emitter)
dirancang untuk digunakan, yaitu: (i) pipa plastik akuarium berkepala tetes
paku ulir, debit penetes disesuaikan dengan tekanan paku ulir pada dinding
pipa; (ii) alat penetes menggunakan limbah rumah sakit penetes infus.

Secara teknikal, kedua sistem teknologi irigasi tidak mempunyai kendala


yang berarti. Pengukuran-pengukuran hidrolika sistem aliran dalam pipa
memberikan hasil cukup akurat sehingga sistem irigasi curah yang dirancang
dapat memberikan debit berkisar antara 0,1 l/det–0,21 l/det pada keragaman
tekanan 90,32 cm air dan diameter pembasahan berkisar antara 3,5 m–12 m
(Rochdiyanto dan Arif, 1993).

Irigasi tetes juga memberikan kinerja teknikal cukup bagus. Dengan


keragaman tekanan piezometrik antara 100-110 cm sampai 200-225 cm air
maka debit rerata juga beragam antara 3,33–11,62 cm3/menit. Penghematan
penggunaan air juga dapat mencapai 36,67% dibandingkan penggunaan
gembor. Jumlah hari kerja dalam usaha tani juga lebih kecil apabila
dibandingkan dengan penggunaan gembor, yaitu masing-masing 10,4 HOK
untuk irigasi tetes dibandingkan 16,96 HOK untuk gembor. Sedangkan hasil
tanaman semangka adalah 310 kg/300 m2 irigasi tetes dibandingkan dengan
gembor (Rochdiyanto dan Arif, 2003).

Meskipun secara teknikal maupun ekonomikal penggunaan irigasi tetes lebih


bagus tetapi petani desa lebih menyukai penggunaan gembor dibandingkan
dengan penggunaan irigasi tetes maupun irigasi curah. Begitu proyek
percontohan selesai maka seluruh instalasi irigasi yang telah dikembangkan
tidak lagi dioperasikan. Kanibal terhadap aset irigasi perlu diperhitungkan.

Modernisasi Irigasi PU
46

BAB 4
PEMBELAJARAN MODERNISASI IRIGASI

Bahasan dalam BAB 3 menuntun kita bahwa setiap negara yang melakukan
proses modernisasi irigasi akan berkutat pada persoalan lima pilar
pelaksanaan pengelolaan irigasi,yaitu (i) penyediaan air, (ii) prasarana.
(iii) pengelolaan air irigasi, (iv) institusi, dan (v) sumberdaya manusia.
Sebetulnya masih ada dua unsur penting dalam pengelolaan irigasi yaitu
pembiayaan dan azas legal pelaksanaan pengelolaan. Di Indonesia saat
ini berlaku UU no 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan PP 20/2006 tentang
irigasi. Kedua sumber hukum itu merupakan dasar pengelolaan irigasi di
Indonesia. Sebaiknya pelaksanaan modernisasi irigasi di Indonesia masih
disandarkan pada kedua sumber hukum ini.

4.1. Penyediaan Air


Penyediaan air dilakukan dengan mengacu pada ketersediaan air ada dan
peningkatan keandalannya meski kadang harus ditempuh pengembangan
teknologi yang relatif mahal. Sesuatu yang mutlak diperhitungkan adalah
dengan melakukan satu cara untuk dapat menutup biaya penyediaan air.
Taiwan memakai sistem bendungan tipe urugan untuk membagikan air. Di
Cina air dipompa dari sungai yang dialirkan dalam sistem irigasi gravitasi. Di
India dan Pakistan pelaksanaan modernisasi dikaitkan dengan pembangunan
sebuah dam. Di Israel penyediaan air dilakukan dengan membangun
pengambilan air tanah dari aquifer kemudian diberikan melalui sistem
pemberi yang dilakukan seefisien mungkin dengan menggunakan drip dan
irigasi curah. Penyediaan air irigasi juga digabungkan dengan penyediaan air
minum. Di Malaysia, sebagian sistem irigasi memperoleh air dari bendungan,
sistem pompa dan sebagian lagi memakai sistem bendung.

Di Indonesia yang beriklimat tropis dengan banyak hujan banyak memakai


sistem irigasi yang mengandalkan penaikan muka air sungai melalui
sebuah bendung dan dialirkan secara gravitasi. Sebetulnya sistem paling
ideal dalam penyediaan air adalah sistem bendungan terutama untuk
menghadapi terjadinya penyimpangan klimat. Sistem ini dapat juga
direkomendasikan untuk dapat dilakukan pada proses modernisasi irigasi,

Modernisasi Irigasi PU
47

tetapi pelaksanaan pembangunan mempunyai beberapa kelemahan apabila


diimplementasikan di Indonesia sebagai berikut: (i) biaya investasi tinggi, (ii)
mempunyai persolaan sosial tinggi terutama dalam penyediaan lahan,dan
(iii) harus dikaitkan dengan upaya pelestarian daerah atasan untuk menjamin
kebelanjutannya.

Saat ini sangat sukar untuk memperoleh dana investasi untuk pembangunan
sebuah bendungan. Selain mahal pembangunan bendungan juga
memerlukan waktu relatif lama. Beberapa ahli ilmu lingkungan juga kurang
menyukai pembangunan bendungan karena dapat merusak lingkungan.
Di Jawa pembangunan bendungan sudah sangat sukar untuk dilakukan
karena kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan, sehingga dapat
memicu persoalan sosial lebih tinggi. Apabila dilaksanakan pembangunan
sebuah bendungan harus dikaitkan dengan pelaksanaan konservasi daerah
atasan. Namun pembangunan bendungan skala menengah-kecil masih
memungkinkan untuk dikembangkan. Menaikkan keandalan penyediaan air
irigasi dapat dilakukan pula di dalam DI, yaitu dengan membangun beberapa
waduk lapangan (waduk kerja) dalam beberapa bentuk misalnya (waduk
lorong, long stroge).

4.2. Pengembangan Prasarana


Persoalan sarana dan prasarana menjadi bagian penting untuk modernisasi
irigasi di beberapa negara karena merupakan satu bagian dari pengembangan
aspek teknologi. Sebagai dasar pembangan aspek sarana dan prasanana
adalah tercapainya pengelolaan irigasi yang efisien dan efektif serta
berwawasan lingkungan. Di beberapa negara seperti China, Taiwan, Pakistan,
India dan Australia untuk mencapai tujuan tersebut dengan melakukan lining
saluran, meskipun demikian modernisasi prasarana irigasi tidak dilakukan
di India. Tipe bangunan masih sama seperti yang ada sebelum dilakukan
proses modernisasi, tetapi di Cina dilakukan peningkatan bentuk prasarana
dengan memasang alat-alat ukur secara elektromekanik (Pangare, Hooja
and Kaushal, 2003, Mollinga and Hong, 2002).

Modernisasi di Spanyol dilakukan dengan memberikan dua bentuk pilihan


pada petani, yaitu memilih bentuk irigasi permukaan atau dengan irigasi curah,
tentu saja beberapa faktor penentu pengambilan keputusan seperti investasi
awal, tenaga kerja, tanaman yang diusahakan maupun keuntungan yang

Modernisasi Irigasi PU
48

diharapkan. Universitas dapat bertindak sebagai konsultan untuk pemilihan


keputusan tersebut (PlayaÂn,E, A. Slatni, R. Castillo, J.M. Faci,1999).

Di Australia pengaliran air dari saluran utama ke lahan petani dilakukan


dengan pipa karena sangat mudah untuk mengalirkan air irigasi dengan
aliran bertekanan serta untuk menghindari kehilangan air. Demikian pula
di Pakistan, air dari bendung sebagian ada yang dialirkan dengan pipa.
Penggunaan pipa sebagai bagian dari proses modernisasi irigasi juga
dilakukan di Syria dan negara lain seperti Israel yang menggunakan metode
pemberian air irigasi bertekanan. Di Pakistan sistem irigasi yang melakukan
program modernisasi (Tarbela Dam Project, Pehur High Level Canal Project)
menggunakan dua sistem pengelolaan hulu dan hilir. Penggunaan kendali
hilir juga menggunakan pintu-pintu AIVO dan AVIS seperti yang dlgunakan di
DI Sidorejo, Indonesia (Arif dan Murtiningrum, 2003), sedang di sistem yang
menggunakan kendali hulu pembagian air dilakukan dengan memakai pintu-
pintu radial (Habib, 2002).

Otomatisasi irigasi dan remote control dilakukan juga di Taiwan dan Australia.
Di Taiwan persoalan polusi air dan lingkungan juga menjadi perhatian karena
banyaknya pabrik-pabrik yang beroperasi di sekitar DI yang dilakukan
modernisasi irigasi, oleh sebab itu di jaringan irigasi juga dipasang alat-alat
kontrol polusi. (Hai-Sheng, 2002)

Jaringan drainase juga merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem


jaringan irigasi di banyak negara beriklim kering seperti Pakistan, India, Syria
dan Israel,karena apabila terjadi masalah drainase wilayah rawan drainase
akan dapat menyebabkan terjadinya proses salinasi yang dapat mengancam
keberlanjutan sistem irigasi. Di wilayah kering areal rawan drainase muncul
karena terjadinya pemompaan air irigasi secara berlebihan.

4.3. Sistem Pengelolaan Irigasi


Setelah proses modernisasi dilakukan pembangunan prasarana irigasi dan
kemudian diikuti dengan pengembangan sistem OP sebagai bagian dari
pelaksanaan pengelolaan irigasi. Di banyak negara seperti China, Taiwan,
dan India pembangunan sistem OP juga dikaitkan dengan pembangunan
institusi pengelolaan irigasi secara keseluruhan.

Di Pakistan pengembangan manual OP menjadi bagian tak terpisahkan dari


tugas konsultan perancangan. Manual OP merupakan satu persyaratan untuk

Modernisasi Irigasi PU
49

dapat tercapainya sistem pengelolaan irigasi yang baik. Di dalam manual


OP tersebut dicatat semua hal yang berhubungan dengan pelaksanaan
pengeloaan air irigasi secara keseluruhan. Penetapan hak guna air air
menjadi bagian dari modernisasi.

Di Australia operasi dilakukan dengan secara real time basis dengan


mengimplementasikan otomatisasi pintu-pintu air dan komputerisasi.
Selain itu penggunaan komputer memungkinkan untuk menggunakan
model-model pengelolaan irigasi seperti dilakukan oleh Malaysia yang
mengimplementasikan sistem pengelolaan berbasis permintaan. Sistem ini
akan dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan analisis informasi seraca
kontinyu dan tersistem secara real time. Komputerisasi juga dilakukan di
Pakistan untuk membuat sistem operasi dapat dilakukan dengan lentur.

Dalam pelaksanaan operasi, persoalan hak guna air sangat ditekankan. Di


Taiwan setiap petak tentu mempunyai hak guna air yang terdaftar di kantor
pelaksana pengelola irigasi setempat.

Di Indonesia pemakaian komputer untuk pengelolaan irigasi pernah


dilakukan, seperti misalnya di DI Rentang dan waduk Sempor. Sayang proses
komputerisasi tersebut tidak dapat berlanjut dikarenakan beberapa sebab,
yaitu: (i) kurang adanya budaya pemeliharaan pada petugas pengelolaan
irigasi, (ii) perangkat lunak yang sukar diperoleh karena tergantung pada
pihak pembangun, dan (iii) kurangnya dana OP irigasi. Sekarang perbaikan
sistem OP menggunakan teknologi informasi sedang dilakukan di DI
Bondoyudo, Lumajang-Jember dengan mengganti sistem blangko menjadi
bentuk sistem informasi.

Penggunanan aset manajemen irigasi sebagai bagian dari modernisiasi


pengelolaan irigasi dilakukan di banyak negara, seperti Australia, Vietnam,
Amerika Serikat dan juga Indonesia. Kesulitan yang dihadapi oleh
Universitas Gadjah Mada dalam pengembangan program aset manajemen
di Indonesia adalah kurangnya perhatian pelaku dalam perawatan sistem
dan institusionalisasi program dalam kegiatan yang berkelanjutan.
Keberhasilan modernisasi prasarana dan sarana irigasi tak akan dapat
berjalan apabila pola pikir masyarakat pelaku irigasi tak berubah. Di masa
depan pelaksanaan manajemen aset irigasi akan menjadi tulang punggung
pelaksanaan pengelolaan irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
50

4.4. Institusi
Di semua negara yang melakukan modernisasi irigasi, pengembangan sistem
prasarana tentu tak dapat dipisahkan dengan pengembangan institusi, bagai
satu keping mata uang dengan dua muka. Bahkan di India modernisasi
yang mencakup pengembangan institusi saja karena meskipun dilakukan
pembangunan prasarana masih bentuk dan tipe yang sama dengan sistem
lama. Di sebagian besar negara yang melakukan modernisasi pembaharuan
kebijakan pengembangan institusi dalam proses modernisasi seperti di India
dan China selalu dihubungkan dengan penyerahan pengelolaan sistem
irigasi. Di India penyerahan dilakukan dari pemerintah pada masyarakat
tani, sedangkan di China penyerahan dilakukan dari pemerintah daerah
pada perusaahan swasta yang juga mengelola air minum kota. Dengan
diserahkannya kewenangan pengelolaan dari pemerintah ke petani maka
dibentuk suatu badan hukum untuk melakukan tugas kewenagan tersebut.

Penggabungan antara perusahaan air minum dan irigasi juga dilakukan di


Israel dan Australia. Terjadi subsidi silang dari konsumen air minum pada
petani (Pangare, Hooja and Kaushal, 2003, Mollinga and Hong, 2002).

Sebelum melaksanakan modernisasi setiap negara mengeluarkan satu


payung hukum sebagai perkuatan azas legal pelaksanaan modernisasi.
Dengan azas legal tersebut maka para pihak dalam pengelolaan irigasi akan
dapat melakukan proses modernisasi dengan seksama dan bersandar pada
kepastian hukum yang berlaku di masing-masing negara. Adanya landasan
hukum juga akan menjamin keberlanjutan pelaksanaan modernisasi irigasi.

Selain pengembangan institusi pelaksanaan modernisasi juga dikaitkan


pula dengan pengembangan sistem pembiayaan. Semua negara yang
menerapkan modernisasi melakukan pembaharuan sistem pembiayaan.
Dalam pembaharuan itu secara jelas terungkap bagaimana sistem irigasi
yang telah dimodernisasi dapat terus berkelanjutan dengan aturan yang
jelas. Yang menarik adalah pelaksanaan iuran air (water fee) diberlakukan
pada petani di semua negara. Kebijakan penarikan iuran air irigasi juga
pernah dilakukan di Indonesia pada akhir dekade 90’an tetapi dibatalkan
karena kurang sepadannya pelaksanaan cara penarikan iuran dan alokasi
dana peruntukan.
Maraknya kebijakan modernisasi yang dikaitkan dengan perubahan
paradigma pengelolaan irigasi di aras global yang berkembang pada
pertengahan dekade 80’an dan menjadi trend sampai awal dekade 2000’an.
Modernisasi Irigasi PU
51

Kebijakan penyerahan pengelolaan irigasi pada petani pernah dilakukan


di Indonesia pada saat berlakunya kebijakan Penyerahan Irigasi kecil
(PIK) dan penyerahan sistem secara bertahap melalui Inpres 3/1999 dan
seluruh sistem dalam PP 77/2001. Setelah berlakunya UU no 7/2004 proses
penyerahan irigasi tidak diberlakukan lagi.

4.5. Sumber Daya Manusia


Pembangunan konsep sumberdaya manusia merupakan suatu upaya
sangat penting dalam pelaksanaan modernisasi irigasi di dunia. Dua kata
kunci keberhasilan pelaksanaan modernisasi adalah (i) adanya tambahan
kesejahteraan bagi para pihak, dan (ii) adanya prosfesionalisme para pelaku.
Di China meskipun terjadi alih status pegawai negeri ke pegawai perusahaan
swasta karena kesejahteraannya meningkat maka alih status tersebut tidak
menjadikan masalah besar.
Peningkatan profesionalisme para pelaku sebagian besar dilakukan melalui
pelatihan baik pada kalangan staf pemerintah maupun petani. Apabila dalam
sistem irigasi tersebut belum siap dengan P3A nya maka organisasi itu harus
dibentuk secara partisipatif. Hasil mengesankan dilakukan di China,pada
tahun 1998-1999 dilakukan pembentukan sejumlah 18 P3A berbasis pada
saluran sekunder dibentuk di Zaohe Irrigation System, China dan sebanyak
78 sub Kelompok berbasis desa (Mollinga and Hong, 2002). Meskipun
dikatakan bahwa pelaksanaan pembentukan dilakukan secara partisipatif
tetapi dengan sistem pemerintahan otoriter akan sangat sulit diperoleh hasil
maksimal tanpa dilakukan upaya yang bersifat top-down. Pelaksanaan
pelatihan di India dilakukan dengan sistem bertahap dimulai melakukan
trainning for trainors (ketua P3Adan wakilnya dan staf insinyur di masing-
masing DI) baru diteruskan pada petani.

Di Indonesia, pada waktu dilakukan modernisasi di DI Sidorejo pelatihan


hanya dilakukan pada petugas OP provinsi, Kabupaten dan penjaga pintu.
Petani tidak dilibatkan dalam proses pelatihan sehingga terjadi adanya
kesenjangan pengetahuan antara petani dan staf dinas. Akibatnya adalah
terjadi aksi yang tidak sepadan dalam bentuk anarki terhadap sistem
irigasi apabila sistem tidak memberikan fungsi yang baik menurut prosedur
pengelolaan.
Di masa depan kedudukan manusia dalam proses modernisasi sistem irigasi
akan menjadi fokus utama karena pembangunan yang dilakukan bertujuan

Modernisasi Irigasi PU
52

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat tani seperti dicantumkan


dalamPP 20/2006.

4.6. Pembelajaran
Dari proses pelaksanaan modernisasi irigasi baik di dunia maupun Indonesia
yang disajikan, dapat ditarik pelajaran sebagai berikut:
i. Bahwa dalam proses modernisasi irigasi di dunia selalu terdapat progam
pemicu timbulnya pelaksanaan modernisasi irigasi di dunia, misalnya
adanya program penyerahan kewenangan irigasi pada baik pada sektor
swasta seperti di China ataupun pada petani seperti di India, atau land
reform di Taiwan, sedangkan di Malaysia dipicu adanya perbaikan proses
pembiayaan. Pemicu program itu kemudian diikuti dengan transfomasi
institusi, teknologi dan pembiyaan. Ketiga proses transformasi itu
memunculkan strategi pelaksanaan modernisasi irigasi di masing-
masing tempat;
ii. Tanpa adanya transformasi ketiga aspek utama dalam irigasi tersebut
pelaksanaan modernisasi sangat rentan dengan kegagalan seperti yang
terjadi dalam beberapa proses modernisasi irigasi di Indonesia.
iii. Proses modernisasi irigasi juga mengacu pada pelaksanaan pengelolaan
irigasi masa depan yang lebih baik dengan mengupayakan peningkatan
efisiensi dan efektifitas pengelolaan irigasi, menghormati partisipasi,
kearifan lokal dan berwawasan lingkungan. Proses pelaksanaan
modernisasi irigasi pada lima pilar irigasi juga dilakukan dengan mengacu
pada proses pembelajaran yang dibahas tersebut.
iv. Mengingat keadaan irigasi di Indonesia menghadapi berbagai
kendala, antara lain: prasarana irigasi yang habis umur layanannya,
berkurangnya debit andalan akibat penurunan fungsi DAS, kerusakan
infrastruktur akibat lemahnya OP dan rehabilitasi, rendahnya sistem
pembiayaan OP, alih fungsi lahan irigasi, dan pengaruh pemanasan
global serta perubahan iklim, perlu didorong program pemicu irigasinya
adalah keberlanjutan irigasi. Atas dasar itu maka pemicu program ini
akan ditindaklanjuti dengan program strategis, antara lain penguatan
institusi, pemberdayaan SDM, pembuatan tampungan air/reservoir,
penyempurnaan pintu elektronik, telemetri dan komputerisasi.

Modernisasi Irigasi PU
53

BAB 5
TANTANGAN PENGEMBANGAN
DAN PENGELOLAAN IRIGASI

Peraturan Pemerintah tentang Irigasi No 20/2006 pasal 2 ayat (1),


mengamanatkan bahwa: irigasi berfungsi mendukung produktifitas usaha
tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan
nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan
melalui keberlanjutan sistem irigasi.

Pasal ini mengamanatkan bahwa pengembangan dan pengelolaan irigasi


ditujukan utamanya mendukung ketahanan pangan nasional. Salah satu
unsur dalam ketahanan pangan adalah kecukupan pangan bagi seluruh
penduduk di Indonesia. Tahun 2010 dalam ketahanan pangan untuk 237
juta penduduk, pemerintah telah memproduksi beras 40,88 juta ton beras
plus impor beras sebesar 2,2 juta ton beras. Upaya produksi beras tersebut
didukung dengan irigasi seluas 7,2 juta Ha. Namun disadari bahwa kapasitas
dan percepatan penambahan pengembangan dan pengelolaan irigasi sangat
terbatas akibat keterbatasan sumber daya alam. Lahan yang cocok untuk
irigasi sudah semakin terbatas, sedang yang bisa dikembangkan untuk
irigasi kecil-kecil yang kurang layak untuk dikembangkan. Lahan yang cocok
untuk irigasi dalam skala besar hampir habis. Pengembangan irigasi harus
berkompetisi dengan perkebunan, pemukiman dan tanaman tahunan lahan
kering.

Ketersediaan air juga sudah semakin kritis, baik dari sisi jumlah maupun
kestabilan. Ketersediaan air membesar pada musim hujan sehingga
menyebabkan banjir, dan semakin kecil pada musim kemarau sehingga
mengakibatkan kekeringan dan gagal panen. Kompetisi pemanfaatan air
terjadi dengan pemanfaat air lainnya: air minum, air industri, tambak dan
perikanan, pembangkit tenaga air.

Air yang semakin terbatas ini diperparah dengan pengaruh pemanasan


global dan perubahan iklim, dimana salah satu indikasinya yang nyata
adalah kejadian perubahan agroklimat ekstrim yang berakibat perubahan
ketersediaan air. Puncak banjir membesar dan debit andalan mengecil dari
waktu ke waktu.

Modernisasi Irigasi PU
54

Terkait dengan pengelolaan irigasi (operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi)


ternyata dalam kondisi yang belum optimal. Berdasar survai yang dilakukan
FAO di seluruh dunia, terdapat 1,5 juta Ha sawah setiap tahun hilang karena
bencana banjir, kerusakan infrastruktur irigasi, atau akibat salinasi. Di
samping itu diperkirakan 30 juta Ha sawah beririgasi mengalami kerusakan
berat dan 60–80 juta Ha mengalami kerusakan ringan. Mengapa kerusakan
irigasi sedemikian parah dan besar?
Sebagian besar studi berkesimpulan bahwa penyebab utama adalah
lemahnya kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) yang dilakukan oleh
pengelola irigasi. Beberapa pemerhati irigasi menggaris bawahi gejala ini
bahwa: “Kelemahan dalam perancangan dan perencanaan teknis irigasi
adalah masalah yang besar, namun kelemahan dalam OP adalah masalah
yang lebih besar”.
Hal ini sesuai dengan pendapat salah seorang Presiden Internasional
Commision on Irrigation and Drainage (ICID), bahwa: “Sistem irigasi di
beberapa belahan dunia telah menunjukkan kinerja di bawah potensi yang
dimilikinya”.
Indonesia sebagai negara dengan mengkonsumsi beras cukup besar, telah
mengembangkan irigasi seluas 7,2 juta Ha sejak peninggalan zaman Belanda
sampai dengan tahun 2010. Irigasi tersebut telah mengalami kerusakan
seluas 3,81 juta Ha (52,9%), di mana 0,71 juta (9,9%) rusak berat dan 3,10
juta ( 43%) rusak ringan6. Kerusakan ini diakibatkan oleh karena gangguan
alam dan lemahnya OP terhadap infrastruktur irigasi kita. Keadaan demikian
kalau dibiarkan terus akan mengganggu keamanan pangan nasional, yang
berakibat pada stabilitas masa depan bangsa.
Sesuai pendapat Ronald P Cantrel, Direktur Jenderal Internasional Rice
Research Institute (Kompas 24 Februari 2007): “Kunci stabilitas masa depan
Indonesia terletak pada kemampuannya untuk menjamin ketahanan pangan
dan keberhasilan pembangunan masyarakat pedesaannya”.
Melihat gejala ini semua pemangku kepentingan irigasi sepakat betapa
pentingnya OP dalam menjaga keberlanjutan irigasi. Namun kenyataan
di lapangan ditemui adanya “Maintenance Paradox” , yaitu gejala dimana
semua orang di satu pihak meyakini kerusakan irigasi akibat OP yang kurang
memadai, sehingga menyadari betapa pentingnya OP, tetapi di lain pihak
perhatian terhadap kegiatan OP dilupakan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
6 Sumber: Ditjen SDA (2012)

Modernisasi Irigasi PU
55

Kelemahan OP irigasi ditandai dengan rendahnya prioritas kegiatan OP,


tidak adanya komitmen pemerintah dalam menangani OP, pembiayaan
yang tidak memadai, dan rendahnya tenaga pelaksana OP baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Akibat dari ini semua sistem OP kurang berjalan
sebagaimana mestinya. OP irigasi selalu kurang prioritas dibanding dengan
pembangunan baru. Akibatnya kerusakan infrastruktur irigasi terjadi dan
kinerja irigasi menjadi jelek, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi. Kejadian
ini berulang terus. Sehingga muncul lingkaran setan (viscous circle) yang
tidak berujung: bangun- OP jelek- rehab, bangun- OP jelek- rehab (Huppert
dkk, 2011).

Menurut catatan sejak PELITA I sampai dengan PELITA V telah dilakukan


rehabilitasi irigasi kurang lebih 3,5 juta Ha. Namun kegiatan tersebut dilakukan
hanya mencakup kurang lebih 2 juta Ha sawah. Artinya selisihnya yaitu 1,5
juta Ha, dilakukan untuk rehabilitasi ulang pada daerah irigasi yang sama.

Padahal biaya untuk melakukan rehabilitasi akibat OP yang tertunda jauh


lebih besar dibanding biaya OP yang mestinya normal dikeluarkan tiap
tahun.

Sistem seperti ini tentunya kurang efisien. Akibat lemahnya OP, air irigasi
sampai di sawah dalam jumlah yang kurang memadai, sehingga indeks
pertanaman (IP) dan produktifitas pertanian rendah. Akhirnya produksi
menurun dan ujung-ujungnya pendapatan dan kesejahteraan petani
berkurang. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus, karena kinerja irigasi
merupakan pendukung utama ketahanan pangan nasional.

Terkait dengan peningkatan produksi pangan, upaya penambahan IP


terbatas karena ketersediaan air yang tidak memungkinkan, peningkatan
produktifitas tanaman juga hampir mencapai titik maksimum (levelling off).
Namun masih ada upaya lain dalam peningkatan produksi pangan, yaitu:
• Peningkatan produktifitas air (berat GKG per 1 m3 air).
• Penambahan pasokan air, dengan membuat tampungan air.
• Peningkatan efisiensi air, dengan mengurangi kehilangan air.
• Penerapan irigasi hemat air.
• Peningkatan tingkat layanan irigasi.

Kelima upaya tersebut merupakan sebagian proses modernisasi irigasi.


Namun upaya modernisasi irigasi masih menhadapi beberapa tantangan.

Modernisasi Irigasi PU
56

5.1. Pengembangan Irigasi


Dalam pengembangan irigasi, yang diartikan pembangunan baru atau
peningkatan (upgrading), perlu dilakukan penyesuaian terkait dengan
modernisasi:

• Pengembangan irigasi langsung modernisasi: dalam pengembangan


ini seluruh kegiatan dilakukan dalam rangka memenuhi kegiatan
modernisasi irigasi. Hal ini tentunya semua kriteria modernisasi yang
tertuang dalam 5 pilar modernisasi irigasi diusahakan terpenuhi secara
optimum, agar setidaknya terpenuhi tingkat layanan irigasi modern
minimal (level of service).

• Pengembangan irigasi dalam tahap persiapan modernisasi: dalam


pengembangan ini kegiatan dilakukan dalam rangka memenuhi sebagian
kegiatan modernisasi irigasi. Hal ini tentunya kriteria modernisasi yang
tertuang dalam 5 pilar modernisasi irigasi hanya bisa terpenuhi sebagian.
Kelak saat sumber daya tersedia dan kondisi telah memungkinkan dapat
ditingkatkan menjadi modernisasi irigasi.

Pengembangan irigasi secara konvensional: dalam pengembangan ini


kegiatan dilakukan dalam rangka memenuhi sistem irigasi konvensional. Hal
ini tentunya tidak perlu dikaitkan dengan kriteria modernisasi yang tertuang
dalam 5 pilar modernisasi irigasi. Keadaan ini diterapkan mengingat daerah
irigasi tersebut tidak layak diterapkan modernisasi irigasi, yang disebabkan
antara lain: skala terlalu kecil, sumber air yang terbatas, SDM tidak
memadai.

5.2. Pengelolaan Irigasi


Keadaan irigasi di Indonesia yang rusak seluas 3,81 juta Ha memerlukan
kegiatan rehabilitasi dengan kecepatan yang tinggi agar kondisi dan
fungsi irigasi segera pulih seperti semula. Tetapi modernisasi memerlukan
pembenahan yang cermat, meliputi institusi, SDM, sistem manajemen, dan
infrastruktur. Penyempurnaan dalam modernisasi perlu waktu yang lama,
sehingga tidak bisa mengimbangi kecepatan rehabilitasi.

Modernisasi Irigasi PU
57

Untuk itu dalam rehabilitasi perlu dilakukan penyesuaian terkait dengan


program modernisasi, yaitu:

• Rehabilitasi langsung modernisasi


• Rehabilitasi dalam tahap persiapan modernisasi
• Rehabilitasi secara konvensional

Dalam pengelolaan irigasi yang diartikan kegiatan OP dan rehabilitasi, akan


menghadapi tantangan dalam menerapkan modernisasi irigasi.
Tantangan dalam kegiatan OP irigasi:
• Kemauan pimpinan dan petugas OP melakukan perubahan dalam
mengelola irigasi
• Perubahan mindset petugas OP dalam melayani keinginan petani
• Konsistensi petugas OP dalam menerapkan sistem modernisasi
• Kelengkapan fasilitas dan peralatan dalam mengelola irigasi modern.

5.3. Sistem Pembiayaan


Seperti dijelaskan di atas sasaran akhir dari modernisasi irigasi adalah
efisiensi air bertambah, produktifitas air irigasi naik, dan tingkat layanan
irigasi makin baik. Kegiatan ini dapat dicapai tentunya dengan biaya investasi
dan pengelolaan yang semakin besar. Hal ini menjadi tantangan bagi pihak
eksekutif (dalam hal ini menteri, gubernur, dan bupati/walikota) dan legislatif
(DPR dan DPRD) apakah mempunyai komitmen politis dalam menyediakan
biaya modernisasi.

Tantangan dalam sistem pembiayaan modernisasi irigasi adalah:


• Kemampuan dan kemauan membiayai dalam menambah pasokan air
dengan membangun tampungan air atau waduk.
• Kemampuan dan kemauan membiayai investasi dalam telemetri,
komputerisasi, dan elektromekanisasi atau otomatisasi.
• Kemampuan dan kemauan membiayai investisasi prasarana, fasilitas
dan peralatan modernisasi irigasi.
• Kemampuan dan kemauan membiayai pemberdayaan petugas OP,
berupa pelatihan, pendampingan, dan sertifikasi.
• Kemampuan dan kemauan membiayai perbaikan sistem penggajian.

Modernisasi Irigasi PU
58

• Kemampuan dan kemauan membiayai pemberian insentif kepada


petugas OP dan petani.

5.4. Kelembagaan
Modernisasi irigasi adalah sistem pengelolaan yang berorientasi pada
tingkat layanan irigasi yang dilaksanakan secara efektif dan efisien. Hal ini
akan terlaksana kalau didukung institusi yang kuat, mantap, dan koordinatif.
Tantangan kelembagaan dalam modernisasi irigasi diperlukannya
kelembagaan pengelola irigasi yang mantap seperti ditunjukkan dalam
Gambar 5.1.

KELEMBAGAAN IRIGASI
Menteri
Badan-
Gubernur
Pelaksana-
Bupati REGULATOR DEVELOPER Proyek-
Walikota Pembangunan

KOORDINATOR
USER:
( Komisi irigasi) Petani
Perkotaan
UNIT DI Energi
PJT II Industri
OPERATOR USER Perkebun

Gambar 5.1 Kelembagaan irigasi

√ Regulator: Diperlukan institusi pembuat regulasi yang kuat dan konsisten


dalam modernisasi irigasi. Institusi sekaligus berfungsi pengawasan dan
pembinaan. Institusi regulator irigasi mengikuti peraturan perundangan
yang berlaku.

√ Koordinator: Diperlukan badan koordinasi yang bisa mengkoordinir


seluruh stakeholder irigasi dalam menjalankan modernisasi irigasi.
Institusi ini berupa komisi irigasi, yang dalam pelaksanaan modernisasi
irigasi perlu berkoordinasi lebih intensip.

√ Developer: Modernisasi irigasi memerlukan penyempurnaan fisik secara


bertahap dan periodik, sehingga untuk menangani ini diperlukan unit
pelaksana penyempurnaan prasarana irigasi. Institusi ini bisa oleh BWS,
BBWS, SKPD dan UPT daerah.
Modernisasi Irigasi PU
59

√ Operator: untuk melaksanakan sistem modernisasi perlu unit pelayanan


yang tersendiri, yang khusus melayani pengelolaan irigasi dalam daerah
irigasi. Struktur organisasi ini perlu di set up sehingga fungsi komando
sejak dari bangunan utama sampai pintu sadap tersier dan saluran
pembuangan terintegrasi dalam pemberian pelayanan irigasi kepada
petani.

√ User: Institusi pemanfaat air (P3A) harus makin diperkuat, mengingat


blok tersier yang menjadi tanggung jawab P3A akan juga akan mengikuti
modernisasi. Perkuatan P3A, akan diteruskan sampai GP3A dan IP3A
karena periode operasi pintu mengarah ke harian (real time basis).

5.5. Partisipasi Masyarakat


Semangat partisipasi dalam PP 20 tentang irigasi adalah pemberdayaan
masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pengambilan keputusan bersama
antara pemerintah dan petani. Sehingga peran petani dalam berpartisipasi
harus semakin ditingkatkan. Apalagi cakupan modernisasi akan sampai
tingkat tersier, di mana P3A harus semakin aktif dalam pengelolaan irigasi
ini.

Modernisasi Irigasi PU
60

BAB 6
KONSEP MODERNISASI IRIGASI DI INDONESIA

6.1. Pengembangan Konsep dan Takrif Modernisasi Irigasi

6.1.1. Arti dan makna kata modernisasi


Dari pustaka yang ada, terdapat banyak sekali definisi tentang kata
modernisasi. Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti maju,
modernity atau modernitas. Kata ini dapat diartikan sebagai nilai-nilai (fisik,
material, dan sosial) yang mempunyai keberlakuan dalam aspek ruang dan
waktu, serta kelompok sosial yang lebih luas atau universal. Konsep modern
ini lazim dipertentangkan dengan tradisi, berarti nilai-nilai yang diperoleh
seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun-temurun
dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma yang
keberlakuannya tergantung kepada ruang atau tempat, waktu, dan kelompok
atau masyarakat tertentu. Nilai tradisi mempunyai keberlakuan terbatas,
tidak bersifat universal7.

Dengan demikan dapat dikatakan bahwa kata modernisasi bermakna


sebagai suatu proses perubahan dari sesuatu yang dianggap kuno
menjadi sesuatu yang baru dan dapat bertahan pada masa akan datang
lebih baik. Modernisasi berkonotasi pada kekinian dan terjadinya proses
perubahan dipicu oleh beberapa kebutuhan untuk berubah, yaitu: (i) adanya
peningkatan status maupun peningkatan mutu kehidupan, (ii) adanya teori/
konsep/ paradigma atau teknologi baru, (iii) adanya perubahan lingkungan
baik ekologis maupun strategis, atau (iv) perubahan status finansial. Kadang-
kadang keempat sebab itu terjadi bersamaan, misalnya munculnya suatu
fenomena empiris akan memunculkan dibutuhkan paradigma baru untuk
menjalani suatu kehidupan. Proses modernisasi memunculkan nilai-nilai
baru yang berlaku di masyarakat. Fenomena terjadinya proses modernisasi
itu juga berlaku untuk perubahan yang terjadi pada sistem irigasi.

7 http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2172089-pengertian-
modernisasi/#ixzz1f73WeEoF

Modernisasi Irigasi PU
61

6.1.2. Pengembangan konsep modernisasi irigasi


Pada hakekatnya sistem irigasi akan terdiri atas lima unsur, yaitu (i) teknologi,
(ii) institusi, (iii) aturan hukum, (iv) ekonomi dan soslal, serta (v) lingkungan
(Burton,2010). Unsur teknologi dalam PP 20/2006 dirinci lebih jauh menjadi
unsur penyediaan air, prasarana, dan pengelolaan iriagsi, sehingga dalam
PP 20/2006, disebutkan bahwa kelima unsur tersebut merupakan lima pilar
irigasi,yaitu (i) penyediaan air,(ii), prasarana,(iii) pengelolaan irigasi, (iv)
institusi, (v) dan manusia. Dalam pemahaman tentang modernisasi irigasi
kelima unsur tersebut juga telah mengalami proses perubahan secara
bersamaan dan bermakna kekinian.

Di Indonesia, sebagian besar sistem irigasi kita dibangun pada masa kolonial
dan direhabilitasi pada dekade 1960’an–1980’an. Oleh sebab itu sebagian
dari sistem irigasi tersebut telah habis umur teknis atau umur layanannya
dan perlu dipikirkan bentuk pembangunannya kembali. Sudah barang tentu
persyaratan teknis dan lingkungan strategis saat ini telah berubah sama
sekali dengan lingkungan strategis semula. Mengembalikan bentuk rancang
bangun dengan rehabilitasi sesuai dengan rancang bangun semula kadang-
kadang sudah tidak memungkinkan lagi karena semua lingkungan strategis
maupun ekologis sistem irigasi sudah berubah. Diperlukan kriteria rancang
bangun baru agar sistem irigasi tersebut dapat berfungsi secara sepadan
bersesuaian dengan lingkungannya pada masa kini.

Pada masa lalu paradigma pembangunan dan pengelolaan irigasi yang


dipakai lebih memfokuskan pada pembangunan prasarana. Persoalan-
persoalan manusia dan kemanusiaan yang sebenarnya menjadi inti dari
pembangunan dan pengelolaan irigasi sangat diabaikan karena dianggap
tidak penting. Pengabaian terhadap masalah ini menjadikan timbulnya
permasalahan berkepanjangan dalam sistem pengelolaan irigasi; beberapa
di antaranya adalah (i) terjadinya ketidak sepadanan perancangan dan
pembangunaan sistem irigasi, (ii) pengabaian terhadap sistem OP, sehingga
timbul suatu paradok OP dan tidak adanya budaya pemeliharaan sistem
irigasi yang telah dibangun, (iii) timbulnya kesenjangan pengetahuan antara
staf pengelolaan irigasi pemerintah dengan petani, menyebabkan timbulnya
budaya kekerasan dalam pelaksanaan OP, tidak adanya rasa memiliki
dan rasa tanggung jawab serta yang terpenting (iv) tidak tercapainya
kesejahteraan petani seperti yang dicita-citakan sebelumnya.

Modernisasi Irigasi PU
62

Selama kurun waktu 50 tahun itu juga terjadi kenaikan penduduk yang pesat
sehingga meningkatkan pula kebutuhan sumberdaya termasuk air dan lahan.
Ketersediaan air untuk irigasi juga semakin lama semakin berkurang dan
karena harus bersaing dengan pemakaian lain. Kebutuhan untuk air minum,
energi dan kesehatan dan industri juga meningkat dengan pesat. Di sisi lain
telah terjadi kerusakan lingkungan yang parah karena eksploitasi sumberdaya
alam yang cukup serius di banyak tempat. Keadaan ini menyebabkan sistem
irigasi harus dikelola secara efisien dan efektif. Teknologi irigasi hemat air
menjadi pilihan dalam pengelolaan irigasi modern.

Persaingan penggunaan sumberdaya air dan lahan juga telah memicu


suatu kebutuhan untuk merubah manajemen irigasi berbasis pasok menjadi
manajemen berbasis permintaan. Manajemen air berbasis permintaan tidak
dapat lagi memakai asumsi manajemen tunak. Di satu pihak untuk sistem
pertanian berbasis padi maka pasok air irigasi dilakukan secara tunak (steady
state). Dalam pelaksanaannya pemberian air irigasi akan dilakukan dalam
suatu kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu pelaksanaan pemberian air irigasi
berbasis manajemen tak tunak membutuhkan pengembangan teknologi dan
manajerial yang baru. Infrastruktur dan sistem manajemen irigasi berbasis
tak tunak seharusnya mulai dikembangkan.

Perubahan karakteristik dari manajemen irigasi berbasis penggerak pasok


menjadi penggerak permintaan membutuhkan infrastruktur irigasi yang mampu
untuk menyediakan air irigasi secara lebih akurat dan dapat mengakomodasi
permintaan layanan petani yang beragam. Pengembangan teknologi
infrastruktur irigasi di Indonesia berlangsung lambat sejak diketemukannya
pintu-pintu ukur Romijn yang dirancang pada zaman pemerintahan kolonial
Belanda. Meskipun ada penemuan baru yang memperkaya pengembangan
irigasi di Indonesia.

Hampiran pembangunan yang dulunya berfokus pada pembangunan


prasarana telah berubah menjadi pembangunan yang memfokuskan pada
manusia dan kemanusiaan. Salah satu hal yang ditekankan pada hampiran
ini adalah pelaksanaan partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya air
termasuk irigasi. UU no 7/2004 dan PP no 20/2006 telah menyatakan untuk
melakukan hampiran partisipasi dalam pelaksanaannya.

Pengelolaan irigasi modern juga harus dilakukan oleh manusia modern. Oleh
sebab itu diperlukan suatu hampiran baru yang mengadopsi pemikiran untuk

Modernisasi Irigasi PU
63

dapat menganggap manusia yang utuh yaitu manusia yang mempunyai


kecerdasan (human capital). Sebagai manusia yang utuh maka dia akan
dapat mengembangkan seluruh pengetahuan dan kemampuannya sebagai
suatu hasil proses belajar.

Modal manusia (human capital) menganggap manusia sebagai makhluk


khalifah Allah di muka bumi yang mempunyai kecerdasan intelektual,
emosional dan sosial-spritual secara utuh. Dengan apa yang dimilikinya maka
manusia akan dapat mengembangkan kecerdasan dan pengetahuannya
untuk berkreasi dan berinovasi. Pengembangan human capital menuntut
pengembangan manusia agar dapat mencapai fitrahnya sebagai pemberi
makna, sebagai sumber pengungkit dan penghela organisasi untuk
menciptakan kesejahteraan bagi semua pihak. (Tjakraatmadja, 2006).
Pelaksanaan hampiran human capital memfokuskan untuk membangun suatu
organisasi pembelajar dengan mengedepankan hampiran pengembangan
modal manusia sebagai bagian dari modal kecerdasan (intelectual capital)
yang dimilikinya.

Menurut Alex Inkeles dalam Anonim (2010), ciri-ciri manusia modern adalah
sebagai berikut:
• Memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka
untuk perubahan.
• Memiliki keberanian untuk menyatakan pendapat atau opini mengenai
lingkungannya sendiri atau kejadian yang terjadi jauh di luar lingkungannya
serta dapat bersikap demokratis.
• Menghargai waktu dan lebih banyak beorientasi ke masa depan daripada
masa lalu.
• Memiliki perencanaan dan pengorganisasian.
• Percaya diri dan perhitungan
• Hemat
• Taat hukum
• Berwawasan lingkungan
• Menghargai harkat hidup manusia lain.
• Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
• Menjunjung tinggi suatu sikap di mana imbalan yang diterima seseorang
haruslah sesuai dengan prestasinya dalam masyarakat8.

8 http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/modernisasi/

Modernisasi Irigasi PU
64

Pada masa mendatang tantangan global yang dihadapi oleh para pelaku
irigasi akan lebih berat. Terjadinya perubahan klimat yang dirasakan
semakin kuat, adanya krisis pangan dan energi akan sangat mempengaruhi
pengelolaan irigasi masa depan. Meskipun demkian pengelolaan irigasi juga
menjadi tumpuan harapan untuk menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu
pengelolaan irigasi masa depan akan bersifat lentur, dan itu hanya dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi informasi dan komunikasi
yang maju.

Sejak ahkir dekade 1990’an paradigma irigasi secara global telah berubah dari
manajemen berfokus pada masalah produksi pangan dan bersifat protektif
menjadi manajemen provisi yang memfokuskan pada bentuk pelayanan
pada pengguna. Perbedaan nyata antara kedua bentuk manajemen irigasi
itu adalah bahwa tujuan majanemen diset besama antara pelaku manajemen
sedangkan pada sistem manajemen produksi protektif tujuan manajemen
diset oleh pelaksana manajemen. Pada sistem manajemen gabungan
antara pemerintah dan petani biasanya tujuan manajemen ditentukan oleh
pemerintah tanpa pelibatkan petani. Tabel 6.1 menyajikan perbedaan antara
karakteristik sistem irigasi protektif dengan sistem irigasi produktif.

Tabel 6.1 Perbedaan karakteristik irigasi produktif protektif dengan


irigasi provisi (Pusposutardjo, 1999)
No Deskriptor Tipe pengelolaan sistem irigasi
pembeda Irigasi protektif Irigasi provisi
1 Obyektif Menyelamatkan tanaman Optimum kecukupan air untuk
dari kekurangan air karena budidaya tanaman
penyimpangan cuaca
2 Azas manajemen Pemerataan perolehan air di Nilai produktifitas lahan yang
irigasi seluruh petak yang dilayani memperoleh layanan air irigasi
3 Tanaman yang Tanaman pangan sebagai Tanaman niaga yang
dibudidayakan bagian dari subsistence dibutuhkan pasar
farming
4 Orientasi produksi Kepastian usaha tani Produksi optimal dengan
keuntungan finansial
5 Status air Air sebagai masukan Air sebagai modal usaha tani
penyelamat produksi yang dan sarana produksi lain
disediakan
6 Sistem Penyebaran air di seluruh Pemberian air dengan
manajemen yang petak layanan produktivitas usaha tani secara
dikehendaki optimal

Modernisasi Irigasi PU
65

No Deskriptor Tipe pengelolaan sistem irigasi


pembeda Irigasi protektif Irigasi provisi
7 Jaringan irigasi Sistem irigasi yang baik Sistem penyediaan, distribusi
dan kontrol pemakaian
air untuk kekurangan dan
kelebihan air

Berdasarkan pemikiran di atas maka karakteristik pengelolaan iirigasi modern


dapat disusun dan di sajikan seperti terlihat pada Kotak 6.1.

Dari Kotak 6.1 dapat diketahui perubahan karakteristik irigasi dari paradigma
lama ke paradigma baru. Perubahan karakteristik ini menyiratkan adanya
suatu sistem irigasi yang dapat menunjang usaha agribisnis untuk menjamin
adanya perluasan kesempatan kerja dan kemandirian secara sosial-ekonomi
organisasi pengelolanya.

6.1.3. Takrif modernisasi irigasi dan strategi pelaksanaan


Telah diketahui pada beberapa bab sebelummya bahwa beberapa negara
di dunia telah melakukan proses modernisasi sejak beberapa tahun lampau.
Dari sebuah lokakarya yang diadakan FAO pada tahun 1995 diperoleh suatu
takrif yang telah dituliskan pada Bab Tiga. Kita tuliskan kembali takrif tersebut
sebagai berikut:

Kotak 6.1
CIRI-CIRI PENGELOLAAN IRIGASI MODERN
Dari perubahan lingkungan ekologis dan strategis maka dapat dijabarkan
ciri-ciri pengelolaan irigasi modern sebagai berikut:
• esifien dan efektif
• lentur
• berbasis waktu nyata
• memfokuskan pada pelayanan pada pengguna berdasarkan aras
layanan (level of service, LOS) yang disepakati
• berbasis pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (termasuk
pengembangan human capital dan sistem teknologi komunikasi dan
informasi)

• ....suatu proses peningkatan aspek teknikal dan manajerial sistem


irigasi yang digabungkan dengan pembaharuan institusional (jika
dibutuhkan) dengan obyektif untuk pemanfaatan sumberdaya
(tenaga kerja, air, ekonomi dan lingkungan) serta mengalirkan air
irigasi sebagai bentuk layanan pada petani.

Modernisasi Irigasi PU
66

Takrif lain tentang modernisasi irigasi diberikan oleh ICID sebagai berikut:
• The process of improving an existing project to meet the new
criteria. It includes changes to the existing facilities operational
procedures, management, and institutional aspects. These changes
are designed to enhance the economic and social benefits of the
project. Unlike rehabilitation, modernization is not renovation of
the project features in need of rrepair (ICID)

Kedua takrif tersebut menekankan bahwa upaya modernisasi irigasi


merupakan suatu proses perubahan tidak hanya menyangkut peningkatan
kinerja prasarana tetapi kinerja manajemen dan institusi. Selain itu modernisasi
mempunyai tujuan pelayanan pada petani dan adanya peningkatan
keuntungan ekonomi dan sosial. Adanya kata new criteria dalam takrif ICID
menunjukkan bahwa saat ini dibutuhkan kriteria baru dalam pelaksanaan
pengelolaan irigasi karena adanya perubahan lingkungan ekologis dan
strategis yang telah terjadi saat ini.

Telah diketahui bersama bahwa di Indonesia telah dipunyai PP no 20/2006


tentang irigasi sebagai aturan hukum yang dipakai sebagai landasan semua
kegiatan dan upaya pembangunan dan pengelolaan irigasi, termasuk
modernisasi irigasi. Dengan mengacu pada PP no 20/2006 tersebut serta
kedua takrif yang telah disepakati masyarakat global maka dapat usulkan
sebuah takrif tentang modernisasi irigasi di Indonesia sebagai berikut:
• Upaya mewujudkan sistem pengelolaan irigasi partisipasi secara
efektif, efisien, berkelanjutan dalam rangka mendukung ketahanan
pangan dan air melalui upaya peningkatan penyediaan air,
prasarana, pengelolaan irigasi, institusi pengelola dan manusia
pelaku pengelolaan irigasi.

Dengan memahami adanya takrif tentang modernisasi irigasi di Indonesia


maka perlu untuk dilakukan penetapan strategi pelaksanaan kedepan.

6.1.4. Penetapan strategi pelaksanaan


Tujuan pengelolaan irigasi seperti yang dinyatakan dalam PP no 20/2006
adalah tercapainya ketahanan pangan dan kesejahteraan petani dan
keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan irigasi seperti yang dicita-
citakan akan dapat tercapai dengan pengembangan VISI pengelolaan irigasi
modern di masa depan sebagai berikut:

Modernisasi Irigasi PU
67

Terwujudnya sistem irigasi yang berkelanjutan, efektif, dan efisien


berbasis pada kemanusiaan untuk kesejahteraan masyarakat
Visi ini akan dapat tercapai apabila kesepadanan lima pilar irigasi dapat
dilakukan. Proses pencapaian bentuk kesepadanan tersebut menjadi MISI
pengelolaan irigasi dengan modernisasi secara terinci misi tersebut akan
dapat disebutkan sebagai berikut:

(i) melakukan upaya peningkatan keandalan penyediaan air irigasi yang


terukur sesuai dengan kebutuhan petani baik jumlah,waktu maupun
mutunya;

(ii) perbaikan sarana dan prasarana irigasi secara berkelanjutan, efektif dan
efisien sesuai dengan kearifan lokal dan kebutuhan pengelolaan irigasi
sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah sungai;

(iii) menyempurnakan sistem pengelolaan irigasi berbasis gerak permintaan


(demand driven) untuk memenuhi kebutuhan petani sesuai dengan
jumlah,waktu dan mutu, dan dilakukan secara partisipatif;

(iv) melakukan penguatan institusi pengelolaan irigasi sebagai organisasi


pembelajar,

(v) memberdayakan SDM pengelola irigasi sebagai modal manusia (human


capital) sehingga dapat menciptakan manusia yang utuh, sehingga dapat
mengembangkan seluruh pengetahuan dan kemampuannya sebagai
suatu hasil proses belajar.

Dengan hampiran sistem proses kesepadanan maka kelima pilar irigasi


itu akan dapat dinyatakan menjadi tiga ranah pengembangan modernisasi
irigasi secara berkelanjutan, yaitu (i) pengembangan institusi dan manusia,
(ii), pengembangan teknologi serta (iii) pembiayaan pengelolaan irigasi.
Sebagai sebuah sistem maka bentuk kesepadanan tersebut harus dilakukan
oleh manusia pelaku dengan pola pikir sebagai manusia modern dan
berkesimbangan dengan lingkungannya, baik ekologis maupun strategis.
Gambar 6.1 menyajikan konsep pelaksanaan strategi modernisasi irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
68

Gambar 6.1 Sistem proses penetapan strategi modernisasi irigasi


dalam tiga ranah pengembangan berkelanjutan

Untuk memperoleh hasil pelaksaaan yang sepadan maka dipilih strategi


pelaksanan bertahap sesuai dengan kemampuan sistem serta persyaratan
pendukungnya. Kesiapan itu dinyatakan dengan analisis Indeks Kesiapan
Modernisasi Irigasi (IKMI).

6.2. Pelaksanaan
6.2.1. Study modernisasi
Sebelum menerapkan modernisasi irigasi perlu dilakukan penjajagan terlebih
dahulu, untuk dapat mengetahui gambaran awal kinerja sistem irigasi melalui
studi modernisasi irigasi berupa apraisal singkat (Rapid Appraisal Prosedure-
RAP). Kegiatan RAP meliputi antara lain:
• Studi ketersediaan air, kebutuhan air, neraca air yang ada, serta
penjajagan kemungkinan tambahan pasokan air berupa pembangunan
waduk atau embung.
• Studi kinerja sarana prasarana irigasi, menyangkut kondisi dan fungsi
serta rekomendasi penyempurnaan dalam rangka modernisasi:
elektromekanikal dan otomatisasi kalau perlu. Termasuk dalam studi ini
adalah fasilitas OP: kantor, rumah petugas OP, jalan inspeksi dan usaha
tani, trasportasi, komunikasi, dan peralatan OP.

Modernisasi Irigasi PU
69

• Studi tentang sistem pengelolaan irigasi ada, mengkaji tingkat layanan


irigasi, mengkaji kelemahan dan hambatan dalam pengelolaan irigasi
serta rekomendasi perbaikannya menyangkut pencatatan data,
sistem telemetri, komputerisasi, transfer perintah operasi pintu dan
elektromekanikal/ otomatisasi.
• Studi tentang keadaan institusi yang ada, mengkaji kelemahan dan
hambatan, merekomendasikan perkuatan institusi yang dilakukan dalam
rangka modernisasi. Termasuk dalam studi ini adalah sistem pembiayaan
dan peraturan perundangan.
• Studi tentang sumber daya manusia yang ada: kualitas, kuantitas, status,
jabatan, kompetensi. Kajian permasalahan dan hambatan dalam SDM
serta rekomendasi pemberdayaannya.
• Studi tentang kinerja sistem irigasi: luas lahan terairi, luas panen,
intensitas tanam, pola tanam dan tata tanam, produktifitas tanaman.
• Melaksanakan pengelolaan aset manajemen (PAI).

Sesuai dengan prinsip irigasi partisipatif, dalam kegiatan ini perlu dilakukan
pertemuan konsultasi masyarakat (PKM) I dengan para pemanfaat air irigasi,
dan PKM II dengan aparat pemerintah.

Sebagian data dalam studi ini dipakai untuk perhitungan indeks kesiapan
modernisasi irigasi, yang dianalisa dalam sub-bab berikut ini.

6.2.2. Indeks Kesiapan Modernisasi


Sebagian irigasi di Indonesia dalam keadaan rusak yang kondisi dan
fungsinya tidak memadai untuk masuk dalam modernisasi, karena kinerja
irigasi sistem yang terlalu rendah. Penerapan modernisasi dalam daerah
irigasi seperti ini akan memerlukan biaya yang mahal dan tidak efisien. Bagi
daerah yang kinerjanya baik bisa langsung diterapkan modernisasi, bagi
yang kinerja kurang perlu melewati masa perbaikan sebagai tahap persiapan
modernisasi.

Untuk itu setiap daerah irigasi yang akan diterapkan modernisasi harus
disaring dulu dengan menganalisa IKMI. Cara menganalisa IKMI seperti
tertuang dalam lampiran 2.

Modernisasi Irigasi PU
70

Hasil dari IKMI kesiapan daerah irigasi dapat dikategorikan dalam 3 bagian:
• Nilai >80 predikat memadai: modernisasi bisa langsung diterapkan
• Nilai 50 sampai 80 predikat cukup: modernisasi ditunda, dilakukan
penyempurnaan sistem irigasi 1- 2 tahun
• Nilai <50 predikat kurang: modernisasi ditunda, dilakukan penyempurnaan
sistem irigasi 2-4 tahun
• Nilai kurang 30 predikat sangat kurang: modernisasi tidak perlu
dilakukan pada daerah tersebut, atau dilakukan penyempurnaan yang
fundamental.

6.2.3. Perencanaan modernisasi


Setelah studi dan RAP dilakukan, serta nilai IKMI memungkinkan untuk
dilakukan modernisasi kegiatan selanjutnya adalah perencanaan modernisasi.
Titik berat kegiatan ini adalah membuat perencanaan modernisasi lebih detail
hasil kajian dalam studi modernisasi sebelumnya:
• Analisa detail ketersediaan air, kebutuhan air dan neraca air yang
diperlukan saat modernisasi, serta kalau diperlukan tambahan pasokan
air merencanakan tampungan air berupa pembangunan waduk, embung,
pompa, dan tampungan saluran (long storage).
• Merencanakan penyempurnaan prasarana irigasi, menyangkut
bangunan utama, saluran bangunan primer dan sekunder, saluran dan
bangunan tersier, saluran dan bangunan pembuang dan fasilitas lainnya.
Penyempurnaan pintu air dalam rangka modernisasi: elektromekanikal
dan otomatisasi kalau perlu.
• Merencanakan fasilitas dan kelengkapan OP irigasi: rumah pengamat
dan juru, kantor dan gudang, jalan inspeksi dan usaha tani, sistem
komunikasi, fasilitas transportasi, peralatan OP, fasilitas keselamatan
kerja.

Disamping itu juga harus direncanakan perbaikan tersier dalam rangka


modernisasi.
• Merencanakan penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi ada, meliputi
sistem telemetri, sistem komputerisasi, dan elektromekanikal/otomatisasi.
Dilengkapi penyempurnaan sistem OP irigasi, utamanya dengan operasi
harian (real time operation basis). Sebagai sasaran antara dapat dilakukan
operasi 3 atau 7 harian dulu. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tingkat
layanan irigasi yang direncanakan dan dalam rangka pengelolaan irigasi
berorientasi layanan (Service oriented managemen–SOM).
Modernisasi Irigasi PU
71

Disamping itu harus direncanakan partisipasi petani di tingkat tersier.


• Merencanakan institusi yang akan mengelola irigasi modern setempat,
meliputi struktur organisasi, tupoksi, sistem koordinasi. Merencanakan
pembentukan atau perkuatan institusi yang diperlukan: komisi irigasi,
forum daerah irigasi, dinas yang membidangi irigasi, dan IP3A, GP3A
serta P3A. Termasuk dalam perencanaan ini adalah sistem pembiayaan
dan peraturan perundangan.
• Merencanakan kebutuhan sumber daya manusia yang akan menangani
modernisasi irigasi, menyangkut: kualitas, kuantitas, dan kompetensi.
Merencanakan kegiatan pemberdayaan yang diperlukan: pelatihan,
sertifikasi kompetensi dan pendampingan.
• Menetapkan tingkat layanan (level of service) minimal, yang diakses
lewat konsultasi publik.
• Melakukan studi AMDAL.

Sesuai dengan prinsip irigasi partisipatif, dalam kegiatan ini perlu dilakukan
pertemuan konsultasi masyarakat (PKM) I dengan para pemanfaat air irigasi,
dan PKM II dengan aparat pemerintah.

6.2.4. Pelaksanaan pengembangan modernisasi


Tahap pelaksanaan pengembangan modernisasi irigasi dimaksudkan
kegiatan merealisasikan semua aspek yang telah direncanakan, termasuk
kegiatan fisik dan non fisik. Sebaiknya tahap pengembangan ini dilakukan
jangan terlalu lama, yaitu antara 1 sampai 3 tahun. Bagi daerah irigasi yang
IKMI tinggi mungkin dapat selesai 1 tahun, namun bagi daerah yang IKMI
rendah dapat sampai 3 tahun. Yang terpenting terpenuhi syarat minimal
modernisasi irigasi, seperti tertuang dalam tingkat layanan (LOS) minimal
tertuang dalam Tabel 9.1 Setelah itu penyempurnaan modernisasi dapat
dilkakukan sambil jalan. Sebagai tahap akhir dilakukan uji pengaliran, untuk
mendapat kepastian bahwa: air mengalir lancar sampai ke sawah paling
ujung, pintu dan alat ukur bisa beroperasi normal, saluran dan bangunan
berfungsi baik, sistem telemetri dan komputerisasi dapat dioperasikan.

6.2.5. Persiapan Operasi dan Pemeliharaan (PROM)


Sebelum daerah irigasi masuk dalam tahap pengelolaan, perlu dilakukan
kegiatan PROM. Maksud kegiatan ini adalah agar proses penyerahan antara
pelaksana kepada pengelola irigasi berjalan dengan baik, sehingga pengelola
bisa menjalankan tugasnya dengan segala alat bantu yang ada.

Modernisasi Irigasi PU
72

Untuk itu dalam PROM terdapat beberapa barang dan dokumen yang harus
dicek:
• Gambar peta irigasi
• Gambar skema irigasi
• Gambar skema bangunan irigasi
• Gambar purna laksana (as built drawing)
• Sistem telemetri dan komputerisasi
• Manual OP
• Struktur organisasi
• Daftar falisitas dan perlengkapan OP
• Daftar pegawai dan petugas OP
• Daftar P3A yang terkait

Selain itu juga harus dicek bersama:


• Kepastian bahwa sistem berjalan baik
• Kepastian bahwa petugas dapat mengelola sistem
• Kepastian bahwa P3A dapat berpartisipasi dalam modernisasi di tingkat
tersier.
• Kepastian air sampai ke sawah

6.2.6. Pengelolaan irigasi modern

Sesuai dengan definisi modernisasi irigasi, bahwa modernisasi irigasi


bukan tujuan akhir. Tapi suatu proses penyempurnaan sistem irigasi yang
harus dilakukan terus menerus yang berorientasi pada pelayanan para
pemanfaat air. Untuk itu masuk tahapan pengelolaan artinya melaksanakan
modernisasi sesuai rencana, sekaligus melakukan monitoring terus menerus
sebagai masukan untuk penyempurnaan sistem irigasi. Bagan alir tentang
modernisasi seperti terlihat dalam lampiran 1.

Modernisasi Irigasi PU
73

BAB 7
PENYEDIAAN AIR

7.1. Sistem Penyediaan Air


Penyediaan air irigasi di Indonesia ada 2 (dua) sistem; sistem pertama
berdasarkan ketersediaan air secara alami (river runoff), sistem kedua dipilih
bila sistem pertama tidak cocok lagi atau gagal untuk penyediaan air, karena
tidak stabil, dan tidak andal yaitu sistem penyimpanan air dengan waduk/
bendungan (air saat kelebihan disimpan digunakan saat kekurangan).

Tabel 7.1 Sistem Penyediaan Air Irigasi


Sistem Dengan Dengan
penyediaan air Bendung peninggi air Tampungan waduk
irigasi
Ketersediaan River runoff; tergantung fluktuasiDapat diatur sesuai volume
debit sungai waduk
Stabilitas Tidak stabil karena tergantung Stabil karena air kelebihan
musim, perubahan daya resap dapat disimpan di waduk,
air pada basin sungai (nilai KRS dikeluarkan saat diperlukan.
cenderung memburuk), dan Waduk berfungsi sebagai
perubahan iklim global pengganti ketidakmampuan
basin menyimpan air.
Keandalan Tergantung besarnya debit yang Lebih andal, karena dapat diatur
tersedia dari sungai yang berasal sesuai volume waduk
dari luas basin penangkapan air
atau tangkapan air sungai

Sistem penyediaan air irigasi saat ini dari aliran sungai (river run off) yaitu
aliran alam yang berfluktuasi, telah terjadi perbedaan debit maksimum dan
debit minimum yang sangat besar. Bahkan ada sungai pada musim hujan
terjadi debit banjir semakin besar dan di musim kemarau hampir tidak ada
airnya atau air sungai mengering. Akibatnya sistem penyediaan air irigasi
akan sangat terganggu, musim tanam kedua gagal total.

Pembangunan Irigasi di Indonesia menurut catatan terakhir Direktorat


Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum, sawah beririgasi
seluas 7,2 juta ha. Dari luas tersebut hanya sekitar 10% yang airnya dari
waduk/bendungan; selainnya air bersumber dari bendung peninggi air,
pengambilan bebas (free intake), atau pompa.

Modernisasi Irigasi PU
74

Masalah yang dihadapi oleh banyak daerah irigasi adalah sistem penyediaan
air yang tergantung pada aliran alamiah sungai (river runoff) telah menimbulkan
ketersediaan air yang sulit diperkirakan sebelumnya sehingga tidak tepat
waktu dan tidak tepat volume. Pada sungai-sungai tertentu sistem tersebut
tidak layak lagi dipertahankan, maka perlu ditingkatkan dengan membangun
bendungan penampung air di hulu, atau dibangun waduk tunggu sekitar
daerah irigasi, dan atau pemanfaatan tinggi jagaan saluran sebagai long
storage.

Sistem penyediaan air yang mengandalkan aliran sungai terganggu oleh


karena daya simpan air di daerah basin sungai atau daerah tangkapan
sungai sudah banyak berubah akibat penutup lahan banyak yang terbuka
atau vegetasi hutan berkurang akibat tekanan pertumbuhan penduduk.
Disamping itu tata ruang yang banyak diabaikan akibat kepentingan sesaat.
Sehingga aliran dasar (base flow) sungai menjadi semakin kecil pada musim
kering. Keadaan ini diperparah dengan adanya pengaruh perubahan iklim
global.

Dalam konsep modernisasi irigasi sistem penyediaan air harus menghasilkan


air yang stabil dan tidak terganggu, atau selalu dapat dipenuhi tepat waktu,
tepat volume sesuai dengan luas tanam yang direncanakan.

Untuk memilih sistem penyediaan air yang stabil, perlu dilakukan usaha-
usaha meliputi:

1) Memeriksa sistem penyediaan yang ada apakah masih layak


dipertahankan, memeriksa fluktuasi dan kecenderungan debit maksimum
dan minimumnya setiap tahun dan kecenderungan ketersediaan volume
air setiap tahun. Debit maksimum dan minimum dapat menentukan
besaran Koefisien Regim Sungai (KRS), KRS yang semakin membesar
mencirikan daya resap daerah tangkapan air semakin menurun atau hutan
semakin berkurang. Sedangkan kecenderungan ketersediaan volume air
setahun yang menurun dapat mencirikan sungai bersangkutan semakin
tidak mampu menyediakan air untuk irigasi;

2) Bila memang tidak stabil, sistem penyediaan yang ada harus dirubah
dengan cara yang lain (sistem bank air atau waduk tahunan). Prinsip
waduk tahunan menambah pasokan air dengan cara menyimpan air
kelebihan dan menggunakannya saat kekurangan yaitu membangun

Modernisasi Irigasi PU
75

prasarana tampungan air seperti; waduk di daerah hulu, embung-embung


dalam daerah irigasi (waduk tunggu) bila secara topografi memungkinkan,
atau long storage dengan memanfaatkan tinggi jagaan saluran primer dan
sekunder.

7.2. Ketersediaan
Ketersediaan air irigasi didasarkan atas perhitungan debit andalan, yaitu
debit yang secara statistik kemungkinan terpenuhinya 80%. Perhitungan
debit andalan ini didasarkan atas data debit sungai minimal 20 tahun
sebelum pembangunan irigasi. Pengalaman selama ini nilai debit andalan
mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya data aliran sungai
setelah pembangunan irigasi. Hal ini bisa terjadi karena penurunan fungsi
daerah aliran sungai akibat perubahan vegetasi dan tekanan penduduk.

Selain daripada itu penurunan fungsi daerah aliran sungai juga menyebabkan
membesarnya puncak banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim
kemarau. Akibatnya akan didapatkan sawah gagal panen karena terkena
banjir dan puso karena kekurangan air.

Akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim telah mengubah perkiraan
rencana penyediaan air sepanjang tahun pada daerah-daerah irigasi yang
telah dibangun pada waktu sebelumnya.

Konsep modernisasi mengharapkan ketersediaan air tidak boleh terjadi


penurunan yang signifikan. Sehingga Indeks Pertanaman padi dapat dicapai
160 sampai 200%, dan palawija 50%. Alasannya supaya irigasi efektif dan
efisien.

Untuk mengatasi masalah penyediaan air perlu ada usaha penyadaran


manusia terhadap lingkungan atau Manusia sadar lingkungan dan usaha
secara struktural dan non struktural:

1) Proses perubahan modernisasi dimulai dari pengembangan konsep


harmonisasi pengelolaan wilayah sungai hulu-hilir;

2) Usaha nonstruktural yang dapat mempertahankan daya resap daerah


tangkapan tidak banyak berubah seperti: konservasi daerah hulu,
penanaman hutan kembali, pembuatan check dam, embung-embung
kecil di anak-anak sungai, pemanfaatan lahan miring secara terasering
dalam daerah tangkapan;

Modernisasi Irigasi PU
76

3) Menambah pasokan air dengan membangun prasarana seperti


membangun tampungan air seperti; waduk, embung, tampungan saluran
(long storage) dengan memanfaatkan tinggi jagaan saluran primer dan
sekunder.

4) Konsisten dalam implementasi tata ruang;

5) Melakukan evaluasi/review debit andalan 80% (bila sudah pernah


dihitung) guna mengecek karakteristik DAS.

7.3. Stabilitas Penyediaan


Stabilitas penyediaan air yang dimaksudkan adalah perubahan debit setiap
waktu tidak terlalu besar bedaanya atau tidak sering terjadi kekurangan air
pada waktu yang sama setiap tahun.

Saat ini telah dirasakan banyak daerah irigasi ketersediaan airnya tidak stabil
karena tergantung aliran sungai yang dihasilkan dari daerah tangkapan yang
sudah banyak terganggu (tutupan lahan berkurang) akibat tidak konsistennya
implementasi tata ruang.

Dalam konsep modernisasi penyediaan air harus stabil, maka kepastian


ketersedian air di sungai saat ini perlu dikaji ulang. Apakah river run off
yang ada sekarang masih bisa dipertahankan atau telah menjadi salah satu
permasalahan dalam menjamin kestabilan penyediaan air irigasi.

Usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk membuat kestabilan penyediaan


sama seperti mengatasi masalah penyediaan air paragraf 7.1.

7.4. Keandalan
Keandalan air irigasi saat ini sering tidak tercukupi dibanding dengan
perhitungan debit andalan yang sudah diperkirakan sebelumnya, sehingga
banyak ditemui tahun-tahun tanam yang kekurangan air.

Konsep modernisasi mengharapkan keandalan ketersediaan air irigasi lebih


mantap tidak sering terjadi kekurangan. Usaha-usaha konsep harmonisasi
hulu-hilir dalam hal konservasi perlu dilakukan dengan aturan yang jelas dan
tegas, termasuk ketaatan dalam implementasi tata ruang.

Usaha-usaha yang perlu dilakukan membuat keandalan sama seperti


mengatasi masalah penyediaan air dan kestabilan penyediaan.

Modernisasi Irigasi PU
77

Daerah irigasi yang akan di modernisasi harus diperiksa terlebih dahulu


tentang ketersediaan, kestabilan, dan keandalan airnya.

Cara evaluasi sistem penyediaan dan keandalan air irigasi yang berasal dari
aliran alam atau river runoff adalah:

1) Periksa atau hitung debit andalan berdasar seri data sebelum


pembangunan irigasi (Data A). Bandingkan debit andalan ini (Q80%-A)
dengan kurva aliran tahunan dari saat pembangunan sampai dengan
sekarang.

2) Hitung debit andalan berdasarkan seri data sebelum pembangunan


sampai dengan sekarang (Data B). Sebut debit ini Q80%-B.

3) Bandingkan Q80%-A dengan Q80%-B:

• Jika Q80%-A ≤ Q80%-B maka sistem irigasi dapat dipertahankan.

• Jika Q80%-A > Q80%-B maka keandalan air irigasi harus ditingkatkan
dengan membangun tampungan air, waduk, embung, tampungan
saluran (long storage) atau perbaikan vegetatif DAS hulu.

7.5. Kehilangan
Kehilangan air irigasi mulai dari pintu pengambilan (intake) sampai ke sawah
saat ini diperkirakan sekitar 40–50%. Dibandingkan dengan besarnya air
untuk konsumsi tanaman (consumptive use) kehilangan air ini relatif besar.
Besaran angka ini dipakai pada hampir di seluruh daerah irigasi sejak
perencanaan sampai dengan saat pengoperasiannya.

Dalam pelaksanaan operasi jarang sekali dilakukan pengecekan besarnya


kehilangan air, demikian juga jarang sekali dilakukan upaya fisik dan
manajemen air guna mengurangi kehilangan air ini. Sehingga efektifitas dan
efisiensi sistem irigasi tidak dapat diketahui secara pasti.

Dalam modernisasi irigasi kehilangan air aktual harus diketahui dengan cara
melakukan pemeriksaan minimal satu tahun sekali dengan alternatif sebagai
berikut:

1) Metode penggenangan (imponding): metode ini biasa dilakukan


menjelang pengeringan saluran yang setiap ruas saluran digenangi
selama 24 jam dengan menutup pintu hulu dan pintu hilir. Pengamatan

Modernisasi Irigasi PU
78

dilakukan dengan mengukur perubahan kedalaman air sejak awal


dan akhir selama penggenangan. Volume kehilangan air akibat dari
penguapan dan bocoran saluran. Akumulasi kehilangan air dari semua
ruas saluran merupakan kehilangan air dalam sistem.

2) Metode pemasukan (inflow) dan pengeluaran (outflow): metode ini


dapat dilakukan kapan saja pada setiap ruas saluran dimana alat ukur
pemasukan dan pengeluaran telah dilakukan kalibrasi dengan Current
Meter. Debit diamati setiap waktu tertentu dalam periode yang ditetapkan
(misal 1 jam), setelah tercapai pengaliran tunak (steady flow). Volume
pengamatan adalah perkalian antara debit rata-rata dengan periode
waktu tersebut. Selisih volume air antara pemasukan dan pengeluaran
merupakan volume air yang hilang pada ruas saluran. Akumulasi
kehilangan air dari semua ruas saluran merupakan kehilangan air dalam
sistem.

Modernisasi irigasi mengharapkan kehilangan air sekitar 20%, dengan cara


mengamati sebab-sebab kehilangan dan lokasi kebocoran hasil pemeriksaan
tersebut, sekaligus mencari jalan keluar perbaikan fisik jaringan maupun
penyempurnaan manajemen air.

7.6. Hak Guna Air


Pengaturan air secara konstitusional diatur didalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “bumi, air dan segala isinya dikuasai
negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, dan
pasal 28h ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan“.

Selain Undang-Undang Dasar ada juga tentang pemenuhan air untuk


kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat memang diamanatkan
dalam UU 7/2004 tentang sumber daya air merupakan prioritas utama.
Berdasarkan kepada dua hal tersebut, yaitu: pertama, kewajiban negara
dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi akses terhadap
air, dan kedua, karakter/sifat air yang khusus, maka menjadi keniscayaan
bagi negara untuk pengaturan yang tujuannya agar hak asasi manusia
tersebut dapat dihormati, dilindungi dan dipenuhi.

Modernisasi Irigasi PU
79

Menurut PP No. 20 tahun 2006, tentang irigasi pasal 31 menyatakan


bahwa:

1) Hak guna air untuk irigasi berupa hak guna pakai untuk irigasi dan hak
guna usaha air untuk irigasi;

2) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan untuk pertanian rakyat;

3) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk keperluan pengusahaan
di bidang pertanian.

Jadi hak guna air untuk irigasi jelas dan tegas dalam ketentuan yang ada di
negara. Kebutuhan sehari-hari dan pertanian harus diutamakan dan dipenuhi
oleh negara.

Dalam modernisasi irigasi hak guna air irigasi harus diberikan kepada
kelompok tani untuk kelangsungan pengelolaan sistem irigasi. Hal ini
dilakukan agar kelompok tani mendapat jaminan bahwa air irigasi tidak
terdesak keberadaannya oleh pengguna air lainya yang perioritasnya lebih
rendah.

Modernisasi Irigasi PU
80

BAB 8
PRASARANA IRIGASI

8.1. Saluran

8.1.1. Kondisi saluran


Saat ini kondisi saluran irigasi sebagian besar rusak hampir sekitar 80%,
pada bagian tertentu tebing saluran longsor, tertimbun oleh sedimen lumpur
dan sampah serta semak-semak rerumputan hingga mengeras karena
sudah lama tidak dibersihkan/digali, sehingga kemampuan membawa air
berkurang. Bila diliwatkan debit sebesar yang semestinya akan timbul luapan
yang dapat membahayakan tanggul saluran pada timbunan.

Permasalahan saluran irigasi di samping sudah lama digunakan juga


ketidakcukupan dana pemeliharaan. Akibatnya usaha yang terencana untuk
mengembalikanya pada fungsi semula tidak dapat terlaksana.

Umumnya perubahan bentuk saluran pada saat ini diakibatkan oleh;


1) Saluran berubah luas basahnya, misal membesar karena ada tebing
saluran yang longsor/tergerus, tertimbun sedimen dan lain sebagainya;
2) Interaksi manusia dan hewan di sepanjang saluran, misal: pengambilan
air ilegal, tempat turun minum dan mandi ternak yang tidak semestinya,
jembatan penyeberangan dan tangga cuci dibuat masyarakat tidak
sesuai kaidah hidraulik aliran;
3) Tumbuhan pohon atau semak-semak pada dinding saluran.
Dalam modernisasi irigasi semua kerusakan dan kekurangan tersebut
perlu diatasi dengan pemeliharaan yang terencana baik perencanaan dan
pendanaannya. Disamping itu perlu upaya-upaya agar kerusakan saluran
seminimal mungkin, dengan menciptakan metode struktur konstruksi yang
dapat menjadikan umur layanan lebih lama, yang akhirnya dapat memperkecil
biaya operasi dan pemeliharaan.

Untuk mencapai maksud dan tujuan modernisasi tersebut maka pada saluran
perlu dilakukan usaha antara lain:
1) Pengurangan kebocoran; perlu ada usaha mengatasinya antara lain
seperti lining permukaan saluran;

Modernisasi Irigasi PU
81

2) Stabilitas lereng; lereng saluran longsor menimbun kaki lereng sehingga


bentuk trapesium saluran berubah; untuk hal ini perlu usaha yang dapat
mengurangi kelongsoran lereng diantaranya diproteksi dengan lining;
3) Proteksi permukaan tanah: permukaan tanah saluran yang mudah
tererosi oleh aliran air atau air hujan perlu diproteksi dengan lining
saluran.
4) Pengamanan; saluran harus punya ruang yang tidak dapat dipengaruhi
oleh aktifitas luar, maka sempadan saluran perlu penertiban.
Maksud dan tujuannya adalah agar penyaluran air irigasi sesuai waktu dan
kuantitasnya, kehilangan air dapat diminimalkan serta biaya operasi dan
pemeliharaan berkurang.

8.1.2. Normalisasi saluran irigasi dan linning


Normalisasi saluran irigasi pada prinsipnya adalah mengembalikan saluran
kepada bentuk yang sesuai desain semula, dengan maksud bisa mengalirkan
air sesuai dengan kebutuhan air maksimum yang dirancanakan.

Saluran irigasi dibedakan menurut fungsi dan besarannya meliputi tingkatan


(primer, sekuder, tersier, kuarter dan saluran drainase) ada lagi pecahan dari
kuarter disebut saluran cacing. Kegiatan normalisasi saluran yang sekaligus
diperkuat dengan lining beton harus disesuaikan dengan ukuran saluran.

Normalisasi sering terlambat dilakukan, sehingga kapasitas saluran jauh


berkurang dibanding dengan dengan kapasitas semula.

Dalam modernisasi irigasi bila kapasitas saluran sudah berkurang atau


melebihi maksimal 15%, saluran harus dinormalisir.
Selama ini pekerjaan lining saluran dilakukan pada kondisi sebagai berikut:
1) Melewati daerah yang lolos air;
2) Pada tikungan yang tajam;
3) Melewati daerah pemukiman;
4) Mengatasi erosi lereng saluran akibat aliran air atau air hujan;
5) Mengatasi tanaman liar.
Dengan persyaratan tersebut pelaksanaan lining saluran disaring secara
ketat, sehingga menyebabkan kehilangan air disepanjang saluran relatif
lebih besar. Dalam modernisasi irigasi diharapkan lining saluran lebih
ditolerir agak longgar agar kehilangan air irigasi dapat ditekan sampai 20%.
Khususnya didaerah lolos air sebaiknya lining saluran dapat diterapkan
penuh, kiri kanan dan dasar saluran.

Modernisasi Irigasi PU
82

Selain daripada itu perlu diterapkan jenis lining baru berupa lapisan kedap
air (membran) dari geotextile atau plastik, disamping tiga jenis lining yang
sudah berjalan pada irigasi konvensional, yaitu beton, pasangan batu kali,
dan tanah liat.

8.1.3 Irigasi pipa


Penyaluran air irigasi dengan sistem pipa saat ini belum banyak dilakukan
di Indonesia. Pada masa mendatang karena lahan semakin sempit dan air
harus dimanfaakan sehemat mungkin hal itu perlu dipikirkan dalam cita-cita
modernisasi irigasi.

Kendala-kendala pemanfaatan pipa sebagai pengantar air; adalah karena


tidak ada tekanan yang cukup dalam pipa. Sehingga air bergerak lambat dan
sedimentasi susah terangkat dari dalam pipa, akibatnya pipa mudah rusak/
lapuk.

Untuk daerah irigasi didataran tinggi dan tersedia tekanan yang cukup dari
bentuk topografi, atau dataran rendah yang memungkinkan dibuat menara
penampung air untuk menciptakan tekanan tinggi, penggunaan pipa sebagai
pengantar air ke daerah irigasi bisa dilakukan.

Daerah dataran tinggi umumnya sungai-sungai yang ada kecil dan lahan
yang dapat dijadikan irigasi juga tidak luas, sehingga keperluan debit air juga
kecil. Maka sistem irigasi pipa cukup efektif dan efisien untuk dilakukan.

Untuk daerah irigasi di dataran rendah perlu perhitungan yang matang


tentang keekonomisan pemanfaatan sistem irigasi pipa.

Pertimbangan dilakukan dengan tinjauan: harga tanah/lahan, biaya


pengadaan pompa termasuk OP-nya, biaya jaringan pipa dan pembangunan
menara, hasil yang akan didapat, dan manajemen irigasi.

8.1.4. Patok kilometer, hektometer dan sempadan


Pada saat ini patok kilometer, hektometer dan sempadan hampir tidak ada
ditemukan pada daerah irigasi. Akibatnya identifikasi lokasi saluran terkait
dengan OP menjadi lebih sulit. Disamping itu sering terjadi penyerobotan
lahan milik pengairan.

Modernisasi Irigasi PU
83

Dalam modernisasi diharapkan sepanjang saluran harus dipasang patok


kilometer, hektometer dan sempadan yang berguna sebagai petunjuk lokasi
untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan serta untuk mengetahui batas
daerah kepemilikan dalam rangka pengamanan aset irigasi.

8.1.5. Sipatan penampang (lining guidance)


Kondisi saluran tanah mudah berubah bentuk dari trapesium berubah
menjadi bentuk lengkung yang tidak teratur. Kaki lereng saluran tertimbun
akibat bagian dinding saluran atas longsor ke dasar saluran, sehingga bentuk
aslinya hilang. Akibat dari kejadian ini sulitnya mengidentifikasi penampang
saluran yang akan dinormalisir.

Dalam modernisasi irigasi, untuk saluran primer yang besar atau lebar yang
belum diperkuat atau dilining, diberi sipatan penampang (lining guidance).
Sebagai maal (pertanda bentuk saluran) yang dibuat pada jarak tertentu
terbuat dari beton dengan tulangan praktis.

Sipatan penampang ini dipasang melintang saluran (sepanjang lereng kiri-


kanan dan dasar saluran) tebal 20 cm, lebar sekitar 1,0 m, dibuat setiap
jarak 25,00-100,00 m.

Dengan adanya sipatan penampang ini diharapkan dapat menjadikan


pedoman saat operasi dan pemeliharaan serta normalisasi saluran.

8.2. Pengendalian sedimen


Kondisi saat di saluran irigasi banyak sedimen pasir halus dan lumpur
mengendap, hingga sampai mengurangi luas tampang basah saluran yang
diperlukan. Bahkan sedimen dari saluran hanyut sampai ke sawah sehingga
menambah tinggi permukaan tanah sawah.

Kontong lumpur di lokasi bendung yang sudah dibangun dengan biaya


mahal tidak diopersikan secara teratur sesuai petunjuk manual OP; sehingga
hasilnya kurang efektif. Kinerja dan desain kantong lumpur ini tidak pernah
dievaluasi, apakah berfungsi dengan baik atau tidak.

Masalahnya bukan karena konsep dan desain yang kurang baik, tetapi pada
pemanfaatan serta pengoperasian yang belum dilakukan secara benar.
Sosialisasi dan pelatihan kepada petugas masih kurang, sehingga petugas
tidak memahami manfaatnya.

Modernisasi Irigasi PU
84

Dalam modernisasi irigasi masalah lumpur diusahakan jangan terlalu banyak


sampai ke dalam saluran, apalagi sampai ke lahan sawah. Hal ini akan
dapat menjadikan sawah lebih tinggi dari muka air di saluran tersier. Maka
perlu dibuat konsep yang baru untuk cara mengatasinya. Seperti; membuat
kantong lumpur yang efektif di belakang intake dan bangunan pengeluar
sedimen (sediment excluder) untuk menangkap sekaligus membuang lumpur
di saluran.

8.2.1. Konsep pengendalian sedimen


Konsep pengendalian sedimen yang baru didasarkan pengalaman
sebelumnya. Kantong lumpur saat yang lalu dan sampai sekarang dibangun
untuk menangkap sedimen >0.074 mm. Akibatnya dimensi kantong lumpur
lebih panjang dan memerlukan tinggi tekanan (head) yang besar pada waktu
pengurasan.
Gaya seret (tractive force) pada saluran ke arah hilir harus selalu lebih
besar atau sama t n ≥ t n −1 dengan maksud agar tidak terjadi pengendapan di
saluran. Akibatnya kemiringan saluran relatif lebih besar ke arah hilir.

Sedimen yang tidak tertangkap pada kantong lumpur masuk ke sawah petani.
Akibatnya elevasi sawah petani makin naik. Saat ini tidak ada petunjuk
OP tata cara pengendalian sedimen, maka perlu dibuatkan pentunjuk dan
pelatihan petugas dalam pengoperasiannya.

Pada modernisasi irigas kantong lumpur yang baru akan dibangun untuk
menangkap sedimen >0.088 mm, agar dimensi kantong lumpur lebih
pendek dan memerlukan tinggi tekanan (head) yang relatif kecil pada waktu
pengurasan.

Gaya seret (tractive force) pada saluran ke arah hilir tidak harus selalu lebih
besar atau sama ( t n ≥ t n −1 ) dengan maksud agar di beberapa tempat sengaja
sedimen diendapkan kemudian dikuras keluar saluran meliwati bangunan
pengeluar sedimen (sediment excluder) melintang saluran; yang dipilih pada
saluran yang memotong alur alam (natural stream).

Dengan demikian sedimen yang tidak tertangkap pada kantong lumpur dan
tidak dapat dikeluarkan oleh sedimen excluder di saluran akan masuk ke
sawah petani dalam jumlah yang lebih kecil, sehingga tidak berdampak
negatif.

Modernisasi Irigasi PU
85

Sasaran konsep modernisasi sistem pengendali sedimen:


1) Lebih murah,
2) mudah dioperasikan,
3) pro lingkungan,
4) lentur (flexible)

Penyesuaian kantong lumpur dan perubahan konsep gaya seret (tractive


force) di saluran dapat dilakukan pada saat rehabilitasi irigasi dengan tetap
memperhatikan justifikasi sosial, ekonomi dan teknis.

8.2.2. Pengendalian lumpur di saluran


Untuk sungai-sungai yang banyak membawa lumpur dan pasir, saluran induk
dilengkapi dengan bangunan penangkap lumpur/kantong lumpur sebagai
pengendali sedimen masuk ke saluran irigasi.

Bangunan pengendali sedimen dibangun setelah pintu intake, tetapi bila


masih dimungkinkan ada sedimen yang masuk ke saluran irigasi dan
akan mengendap, maka sesuai dengan konsep yang tertuang butir 8.2.1,
pada lokasi-lokasi tertentu di saluran induk dan atau di sekunder dibangun
sediment excluder.

Bangunan sediment excluder dibangun pada saluran irigasi yang memenuhi


persyaratan seperti; pada lokasi tersebut terdapat alur alam (natural stream)
yang berdekatan untuk pengeluran lumpur yang sudah tertangkap di
saluran.

8.2.3. Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder)


Dalam modernisasi irigasi kedepan bangunan pengeluar sedimen dari
saluran irigasi dapat direncanakan dalam 2 (dua) tipe, yaitu:

1) Tipe tabung pusaran (Vortex Tube); tabung dibangun melintang dasar


saluran tegak lurus atau miring ke arah saluran, dengan bagian atas
terbuka untuk masuk lumpur dan tertahan dalam tabung. Sedimen yang
tertahan dalam tabung dibuang ke arah samping saluran dan masuk/
dibuang ke alur alam. Pada bagian pengeluaran (outlet) harus dilengkapi
pintu.

Modernisasi Irigasi PU
86

2) Type terowongan penyaring sedimen (Tunnel Sediment Excluder); sama


juga dengan tipe diatas dibangun melintang dasar saluran dengan bagian
atas terbuka bentuknya persegi panjang, dibuat lebih lebar sehingga lebih
banyak menangkap sedimen. Sedimen yang tertahan dalam trowongan
persegi panjang di buang ke arah samping saluran dan masuk/dibuang
ke alur alam.

Gambar 8.1 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) type


tabung pusaran

Modernisasi Irigasi PU
87

Gambar 8.2 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) type


terowongan (type saluran pembilas bawah)

8.2.4. Bangunan Penangkap Sampah


Pada saluran irigasi yang meliwati daerah pemukiman saat ini sering ditemui
banyak terdapat sampah-sampah mengapung seperti plastik, hanyutan
bekas-bekas pembersihan saluran; rerumputan dan tumbuhan air lainnya
yang dapat menumpuk pada bangunan-bangunan irigasi.

Dalam modernisasi irigasi sampah-sampah ini harus segera diangkat dan


ditumpuk pada bangunan pengumpul sampah. Agar sampah-sampah
tersebut dapat tertahan, pada saluran perlu pada setiap jarak 2 km dibuat
saringan sampah (sebaiknya digabungkan dengan bangunan yang sudah
ada seperti bangunan bagi dan atau jembatan penyebrangan).

Untuk pengolahan sampah yang sudah ditumpuk, dibangun bangunan


penumpuk sampah disebelah luar tanggul saluran berdekatan dengan
saringan penangkap dan selanjutnya diolah menjadi kompos.

8.3. Bangunan Bagi


Bangunan bagi adalah bangunan pada saluran irigasi primer dan sekunder
yang fungsinya membagi dan mengukur (ke tingkat saluran di bawahnya).
Pada bangunan tersebut umumnya terdapat pintu sorong dan kadang terdapat

Modernisasi Irigasi PU
88

skot balok sebagai pengatur muka air, serta pintu ukur untuk mengukur air
keluar dari bangunan bagi tersebut ke sekunder dan atau ke tersier.

Kondisi saat ini bangunan bagi pada daerah irigasi sebagian besar pintu-
pintu rusak, karena pemeliharaan yang tidak kontinu akibat kekurangan
dana.

Kondisi yang diharapkan pada modernisasi irigasi penuh adalah


semua kekurangan pada bangunan bagi perlu diatasi, maka bila perlu
modifikasi bangunan bagi lengkap dengan pintu-pintu dan alat ukur serta
kelengkapanya.

Maksud dan tujuan dari perbaikan atau modifikasi, serta pelengkapan


kekurangan-kekurangan di bangunan bagi adalah untuk mengoptimalkan
fungsinya sebagai pengatur muka air dan pembagi air, agar supaya
pengelolaan irigasi efektif dan efisien.

Pada paragraf berikut ini akan dijelaskan beberapa sistem yang ada pada
bangunan bagi tentang tipe pengaturan muka air dan pengukuran aliran.

8.3.1. Tipe diatur


Muka air dan aliran air di bangunan bagi mengunakan tipe diatur yaitu
menggunakan 3 jenis prasarana pengatur, yaitu: pintu pengatur muka air,
pintu bagi, dan bangunan pengukur debit.

Masalah yang dihadapi selama ini pada bangunan bagi prasarana pengatur
tidak terpelihara dengan baik. Dana pemeliharaan kurang sehingga pintu-
pintu rusak dan bagian dari bangunan hilang dicuri orang.

Kelemahan tipe ini adalah:

Kalau kekurangan tenaga penjaga pintu air dan posisi bangunan jauh
terpencil, maka akan mengakibatkan fungsi pengaturan hilang.

Kalau pintu hilang atau macet dan tidak ada penggantian atau perbaikan,
maka fungsi pengaturan hilang.

Dalam modernisasi irigasi bangunan bagi tipe diatur harus dijamin keamanan
bangunan dari pencurian dan kelancaran fungsi bangunan serta dijamin
keberadaan petugas dalam pengoperasian bangunan bagi.

Modernisasi Irigasi PU
89

8.3.2. Tipe tidak diatur


Tipe tidak diatur atau proporsional di Indonesia belum banyak digunakan,
air yang ada di bangunan bagi dibiarkan keluar sesuai dengan lebar bukaan
bangunan. Sarana pengatur di bangunan bagi ini dengan membuat bukaan
secara proporsional, tanpa dilengkapi dengan pintu bagi, pintu pengatur dan
bangunan pengukur debit.

Agar pembagian dapat proporsional bangunan bagi ini disyaratkan:


1) Elevasi ambang ke segala arah sama tinggi;
2) Bentuk ambang ke segala arah sama;
3) Lebar bukaan proporsional dengan luas layanan.
Pada modernisasi irigasi bangunan bagi tipe tidak diatur ini tidak dapat
diterapkan, karena tidak bisa membagi air sesuai dengan kebutuhan akibat
dari sistem golongan dan giliran.

8.3.3. Tipe kombinasi


Tipe kombinasi pada bangunan bagi dimaksudkan adalah kombinasi antara
tipe proporsional dan tipe diatur. Artinya terdapat tiga jenis prasarana
pengatur yaitu pintu pengatur muka air, pintu bagi, dan bangunan pengukur
debit ditambah 3 syarat proporsional: elevasi sama, bentuk ambang
sama, lebar bukaan sebanding dengan luasan. Tipe ini bisa dilihat dalam
Gambar 8.3.

Gambar 8.3 Tata letak bangunan bagi sadap bentuk numbak

Modernisasi Irigasi PU
90

Dalam modernisasi irigasi bangunan bagi tipe kombinasi ini akan diterapkan
atau akan dipakai sebagai alternatif tipe diatur.

Keuntungan dari sistem ini adalah dapat mengatasi pembagian air secara
proporsional sementara pada saat terjadi kemacetan pintu, pencurian
pintu atau absennya penjaga pintu air. Disamping itu tipe ini mengeliminir
ketidakadilan pembagian air akibat efek kecepatan datang yang tidak
merata. Dalam tipe ini semua jurusan air mendapat efek kecepatan datang
yang sama, seperti halnya tipe Numbak yang telah diterapkan “Subak” di
Pulau Bali.

8.3.4. Sanggar tani


Perlengkapan pada bangunan bagi seperti; Sanggar tani, yang merupakan
tempat berkumpulnya petani dan petugas pengairan. Gunanya untuk tempat
membicarakan segala sesuatu tentang permasalahan pengairan dan
pertanian. Saat ini sebagian ada tapi sudah rusak, bahkan ada juga belum
pernah dibangun seharusnya pada lokasi itu perlu ada.

Permasalahan yang dihadapi antara lain kurangnya perhatian dalam hal


komunikasi. Sehingga prasarana yang berkaitan dengan komunikasi seperti
sanggar tani terlupakan pembangunannya. Kerusakan bagi sanggar tani
yang sudah dibangun adalah akibat dana pembangunan dan pemeliharaan
yang tidak mencukupi, dan walau ada dana terbatas lebih diprioritaskan
untuk saluran dan bangunan.

Pada modernisasi irigasi sangar tani dan kelengkapanya tersebut merupakan


suatu keharusan perlu diadakan pada setiap bangunan bagi/bagi sadap.
Sanggar tani ini adalah bangunan terbuka berkukuran 3 ~ 5 m x 3 ~ 5 m.
Kelengkapan sangar tani antara lain; tempat duduk keliling dari pasangan
batu kali, papan tulis untuk coret-coretan apa yang dibicarakan.

Maksud dan tujuannya adalah disamping membuka komunikasi antar petani


dan petugas irigasi dalam permasalahan yang dihadapinya, serta segala
sesuatu yang berkaitan dengan irigasi dapat dipecahkan. Komunikasi juga
berguna untuk pengembangan, meningkatkan pemahaman, pengetahuan
sumber daya manuasia dalam pengelolaan jaringan irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
91

8.3.5. Papan operasi


Papan operasi sebagian ada, tapi tidak kontinu diisi informasi, sepertinya
tidak dianggap penting, bahkan cat dasarnya sudah pudar dimakan waktu,
karena tidak ada pemeliharaan.

Masalahnya pengertian petugas yang kurang dalam pengelolaan,


menganggap tidak penting informasi tersebut. Petani juga tidak mau
berpedoman pada informasi, lebih suka bicara langsung dengan petugas
untuk memenuhi harapannya, artinya pengelolaan irigasi belum berjalan.

Dalam modernisasi irigasi informasi penting, pengelolaan memerlukan


pengertian bersama diantara berbagai pihak stakeholder.

Maksud dan tujuannya adalah keterbukaan informasi, sehingga semua


pihak belajar hidup dalam kelompok yang mementingkan saling pengertian
dan keterbukaan yang jujur. Sehingga mengurangi silang sangketa
antarstakeholder sumber daya air.

8.4. Pintu Bagi dan Pintu Pengatur pada Bangunan Bagi Tingkat
Jaringan Utama
Pada saat ini baik pintu bagi maupun pintu pengatur banyak mengalami
kerusakan. Hal ini ditunjukkan adanya kemacetan pintu maupun korosi pada
daun pintu. Keadaan ini diakibatkan oleh kurang memadainya kegiatan
pemeliharaan maupun rehabilitasi pintu.

Disamping itu secara hidraulik ditinjau dari fleksibilitas dan sensitivitas


menunjukkan kinerja yang kurang memadai. Hal ini disebabkan karena sifat
aliran yang berbeda (aliran atas dan aliran bawah) antara saluran menerus
dan saluran cabang.

Dalam modernisasi irigasi pintu bagi dan pintu pengatur didesain sedemikian
rupa sehingga menghasilkan fleksibilitas dan sensitivitas yang memadai. Hal
ini bisa dicapai dengan cara menciptakan kedua pintu tersebut mempunyai
sifat aliran yang sama, yaitu aliran atas semuanya atau aliran bawah
semuanya.

8.4.1. Skot balok


Dilihat dari segi konstruksi, pengatur muka air tipe skot balok merupakan
peralatan yang sederhana. Balok–balok profil segi empat itu ditempatkan
tegak lurus terhadap potongan segi empat saluran. Balok–balok tersebut

Modernisasi Irigasi PU
92

disangga di dalam sponeng/alur, yang lebih besar 0,03 m sampai 0,05 m


dari tebal balok–balok itu sendiri. Skot balok hanya efektif dan efisien pada
bangunan saluran irigasi, dengan lebar bukaan kurang dari 1,50 m.

Skot balok sebagai pengatur peninggi air termasuk yang relatif baik dari segi
hidraulik, karena sipat aliran yang melimpas di atas dapat mengontrol atau
membatasi aliran air di hulu sampai batas elevasi skat balok, bila terjadi
kelalaian dalam pengoperasianya.

Kelemahan skot balok adalah: sukar pengoperasianya, karena berat,


memerlukan waktu, perlu tenaga kerja yang banyak, perlu alat angkat
manual yang dapat dibawa-bawa ke tempat yang memerlukan. Disamping
itu kelemahan yang menyolok adalah kemampuan mengatur muka air secara
bertahap (step wise) dan tidak dapat secara menerus (continous wise). Atas
dasar pertimbangan tersebut beberapa skot balok diganti dengan pintu
sorong.

Dalam modernisasi irigasi dibatasi skat balok dengan bentang maksimum 1,5
m. Sebagai gantinya adalah pintu sorong yang digerakkan secara manual
atau elektromekanik.

8.4.2. Pintu sorong


Pintu sorong dipasang pada jaringan utama adalah sebagai pengganti skot
balok karena kesulitan pemasangan dan pengangkatan yang sukar lagi berat
dan memerlukan tenaga kerja yang banyak serta memerlukan alat angkat
bergerak. Lebar standar pintu sorong atau untuk pintu pembilas bawah
(undersluice) adalah 0,50 ; 0,75 ; 1,00 ; 1,25 dan 1,50 m. Kedua ukuran yang
terakhir memerlukan dua stang pengangkat. Skot balok kenyataannya lebih
baik dari pintu sorong dalam hal pengatur muka air, karena aliranya di atas,
sehingga muka air tidak terlalu turun. Beda dengan pintu sorong yang aliran
bawah, muka air akan banyak turun.

Dalam modernisasi irigasi pintu sorong seperti ini masih diperlukan.

8.4.3. Pintu radial


Bentuk khusus dari pintu sorong adalah pintu radial, digunakan untuk bukaan
yang lebar, diperlukan karena ada maksud dapat membuka secara otomatis
pada ketinggian air tertentu atau dapat dioperasikan secara elektromekanik
sesuai dengan syarat pengoperasian terkait dengan elevasi muka air.

Modernisasi Irigasi PU
93

Pintu radial banyak digunakan pada bendung gerak di daerah dataran


rendah. Pada tinggi muka air tertentu pintu membuka/dibuka, sehingga
genangan akibat pembendungan tidak meluas lebih dari muka air batas yang
diinginkan. Pada saluran induk irigasi yang besar dan saluran cukup lebar,
menggunakan pintu radial dapat mengurangi beratnya tugas membuka dan
menutup pintu.

Kelemahan dari pintu ini adalah hanya dapat memfasilitasi pengurasan


sedimen, tetapi tidak bisa menghanyutkan sampah dan benda terapung di
depannya.

Dalam modernisasi irigasi pintu radial harus dilengkapi dengan pintu ayun
anakan (flap gate) yang dapat dioperasikan tersendiri untuk menghanyutkan
sampah dan benda terapung tersebut.

8.4.4. Pintu kombinasi sorong dan mercu tetap


Bentuk lain tipe kombinasi adalah gabungan ambal tetap dengan pintu
sorong, tipe ini pengganti kesulitan bongkar pasang skot balok yang panjang
dan berat sebagai pintu pengatur. Kombinasi Ambal tetap dan pintu sorong
dapat berfungsi sebagai pengatur muka air yang baik. Perlu diteliti berapa
tinggi dan bentuk yang tepat agar pengaturan muka air di bangunan bagi
lebih efektif dan efisien.

Bangunan bagi dengan pengatur muka air kombinasi pintu sorong dengan
ambal tetap, dilengkapi juga lobang penguras agar air dan sedimen di hulu
pintu tidak tertahan sampai mengeras (setiap saat dapat dibilas).

Dalam modernisasi irigasi sebagai alternatif dapat dipakai pintu kombinasi


ini. Alasannya mempunyai keistimewaan, yaitu dapat menguras sedimen dan
dapat menghanyutkan sampah dan benda-benda terapung. Pintu kombinasi
mercu yang telah distandarkan dalam kriteria perencanaan irigasi tahun
2011 masih dapat diterapkan dalam modernisasi.

Modernisasi Irigasi PU
94

Kombi na s i Sorong da n Amba l Teta p

Gambar 8.4 Kombinasi sorong dan ambal tetap

Tabel 8.1 Kebaikan dan kekurangan pintu kombinasi dan skot balok
Kombinasi sorong dan
Item Skat balok
ambal tetap
Pengoperasian Mudah, ringan Sulit dan berat
Penaikan muka air Dapat dilakukan sesuai yang Harus menyesuaikan dengan
di-inginkan tinggi skat balok yang tersedia
Ketahanan/umur layanan Tahan lama Mudah lapuk, tidak tahan lama
Keperluan tenaga kerja Lebih sedikit Lebih banyak
(bila manual)
Alat penggerak Dapat dengan Harus manual dengan
elektromekanikal bantuan alat pengangkat
Sedimen disaluran Melalui lobang kecil kadang Dapat mengalir ke hilir tanpa
bisa tertahan harus diangkat hambatan

8.4.5. Alat penggerak


Alat penggerak pintu saat ini untuk pintu-pintu yang besar sebagian sudah
menggunakan elektrik seperti di bendung untuk pintu-pintu banjir pada
bendung gerak. Sedangkan untuk pintu pada intake masih secara manual
baik pada bendung gerak maupun bendung tetap. Pada saluran primer dan
sekunder alat penggerak pada umumnya manual/tenaga manusia.

Daya elektrik untuk penggerak dibangkitkan oleh genset yang ditempatkan di


sekitar lokasi bendung. Permasalahan yang dihadapi pada umumnya adalah
biaya operasi dan pemeliharaan yang tidak mencukupi.

Modernisasi irigasi mengharapkan semua pintu-pintu yang sukar dioperasikan


secara manual karena berat dan memerlukan banyak tenaga manusia harus
dengan alat penggerak elekromekanik. Tujuannya agar dapat dilakukan
dengan cepat sehingga lebih efektif dan efisien dalam operasi jaringan
irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
95

8.4.5.1. Manual
Sebagian besar pintu-pintu saat ini masih digerakkan secara manual seperti:
pintu sorong, pintu ukur, skot balok. Masalah yang dihadapi penggerak secara
manual adalah diperlukan banyak tenaga kerja dan memerlukan waktu yang
lama untuk mengoperasikan.

Modernisasi irigasi diusahakan untuk pintu-pintu pada saluran primer dan


sekunder yang besar atau lebar, harus diganti dengan alat penggerak
elektromekanikal. Toleransi pintu secara manual diberikan dalam kondisi
sebagai berikut:
1) Lebar pintu kurang dari 80 cm;
2) Luas layanan kurang dari 2000 ha;
3) Terletak di daerah terpencil;
4) Tidak terdapat jaringan listrik

8.4.5.2. Elektromekanik
Saat ini penggunaan alat penggerak dengan elektromekanik masih jarang
dipakai. Sebagian daerah irigasi sudah menggunakan yaitu untuk buka tutup
pintu-pintu pada bendung gerak. Eletromekanik adalah pengerak sistem ulir
yang biasanya diputar dengan stank secara manual, sekarang pemutaran
dilakukan dengan motor listrik.

Masalahnya biaya untuk alat dan tenaga listrik sebagai penggerak. Banyak
daerah irigasi jauh dari jalur jaringan listrik, maka dipakai generator set
sehingga biaya jadi mahal.

Pada modernisasi irigasi, tidak hanya pintu bedung tetapi juga bagi
pintu-pintu di saluran yang besar dan berat bila dilakukan manual, harus
digerakkan dengan sistem elektromekanik. Keharusan menggunakan
penggerak elektromekanik terkait erat dengan toleransi pintu manual dalam
butir 8.4.5.1.

8.4.5.3. Otomatisasi
Otomatisasi untuk penggerak dimungkinkan untuk pintu-pintu banjir dan
pintu peluapan pada saluran pembawa, bila muka air naik pada taraf
tertentu pintu membuka, dan bila muka air turun pada taraf tertentu pintu
menutup secara otomatis. Masalahnya tidak banyak digunakan otomatisasi,
karena otomatisasi memerlukan pemeliharaan yang teratur, perlu bersih dari

Modernisasi Irigasi PU
96

gangguan kotoran dan sampah-sampah dan sedimen, sebab bila kurang


pemeliharaan otomatisasi akan terganggu/macet dan rusak.

Pada modernisasi irigasi pembukaan dan penutupan pintu secara otomatis


akan dilakukan pada kondisi yang secara teknis dan hidraulik memungkinkan
untuk dipasang, dengan maksud dan tujuan efektif dan efisien pengelolaan
jaringan irigasi.

8.4.6. Bahan (baja, fiber, plat beton)


Bahan pintu saat ini sebagian besar terbuat dari kayu, plat baja. Kelemahan
dari bahan baja terjadinya korosi dan mudah dicuri orang, sedangkan kayu
harganya makin mahal dan sulit didapatkan di pasaran. Permasalahan pokok
bahan pintu adalah bagaimana mendapatkan bahan yang tidak menarik
untuk dicuri. Balai Irigasi Puslitbang SDA telah melakukan penelitian bahan
pintu dari fiber dan plat beton. Uji coba telah dilakukan di daerah irigasi di
Kabupaten Garut untuk pintu-pintu ukuran kecil.

Dalam modernisasi irigasi pintu irigasi dari bahan fiber dan pelat beton dapat
dipakai disamping bahan baja dan kayu.

8.4.7. Atap pelindung pintu


Pintu-pintu yang ada pada bangunan bagi/sadap saat ini sebagian besar tidak
terlindung dari panas dan hujan. Akibat dari hal tersebut umur ekonomis atau
ketahanan pintu dan perlengkapannya bisa menurun. Frekuensi pemeliharaan
semakin singkat karena cat pintu cepat pudar dan rusak, gemuk untuk ulir
cepat mengering kemampuan pelumasanya dapat menurun.

Masalahnya selama ini, ada anggapan bahwa besi lebih tahan hujan dan
panas, tapi kenyataannya tidak demikian, air yang masuk ke sela-sela kecil
konstruksi pintu tidak mudah mengering secara alami, malah menimbulkan
karat dan pelapukan besi.

Kondisi modernisasi irigasi pintu-pintu harus dilindungi dari hujan dan panas
dengan membangun atap pelindung pintu. Atap pelindung sebaiknya terbuat
dari beton bertulang. Manfaat bangunan ini selain melindungi pintu dan
perlengkapannya juga memberikan kenyamanan bekerja bagi penjaga pintu
air.

Modernisasi Irigasi PU
97

atap bangunan
pelindung

motor listrik
penggerak pintu

Gambar 8.5 Sketsa salah satu potongan memanjang bangunan bagi/


sadap dengan bangunan pelindung pintu dan motor penggerak pintu

8.4.8. Pengamanan prasara jaringan irigasi


Pengamanan dengan satpam hanya pada kantor-kantor juru dan jarang
ada pengamanan untuk jaringan dan bangunan pintu dan alat ukur. Saat ini
kurang diperhatikan untuk itu, sehingga pintu alat ukur mudah diubah-ubah
dan dirusak oleh pihak-pihak yang memerlukan air, dicuri, akhirnya tidak
lengkap, tidak bisa dioperasikan.

Pada modernisasi irigasi pengamanan ini sangat penting untuk mencapai


efektif dan efisiennya pengelolaan jaringan irigasi. Pada bangunan bagi/
sadap terdapat pintu sorong, alat ukur ke saluran sekunder dan alat ukur
ke saluran tersier, semua pintu dan alat ukur ini harus dilindungi dan diberi
kotak pengaman untuk peralatan penggeraknya. Maka alat penggerak pintu
dikurung dalam kotak dari besi atau beton, agar aman dari pengrusakan dan
pencurian.

8.5. Bangunan Ukur Debit


Kondisi saat ini ada yang tidak sepantasnya seperti pintu sorong difungsikan
sebagai pengganti alat ukur seperti pada intake bendung, padahal ada
bangunan ukur setelah saluran penangkap lumpur tetapi tidak itu yang
dibaca untuk pemantauan pemberian air irigasi.

Kondisi bangunan ukur pada sebagian bangunan sadap baik di saluran


induk dan sekunder serta ke arah saluran tersier sudah banyak rusak dan
tidak segera diperbaiki dan sebagian tidak berfungsi, dan tidak pernah
dikalibrasi.

Modernisasi Irigasi PU
98

Kendala dan permasalahan; diantaranya petugas tidak paham hakiki


penggunaanya dan air dipandang masih tersedia banyak dan cukup, bila
ada kerusakan tidak segera langsung ditangani perbaikanya, akhirnya
karena air perlu disalurkan kepada petani pintu ukur dirusak dan diabaikan
kegunaannya, dan ini berlangsung lama.

Pada modernisasi semua kekurangan harus sudah dipenuhi dan kesulitan


hambatan harus diatasi. Alat ukur dapat dipilih sesuai dengan kepantasan
dan keperluan serta kecocokan dalam pemenuhan syarat hidraulik seperti;
ambang lebar, Parshall Flume. Beberapa tempat tetap memakai Romijn, dan
semua hasil pembacaan debit sudah harus menghasilkan akumulasi debit
yang disalurkan (usahakan peningkatan alat ukur yang sudah ada).

Pada pelaksanaan dapat dilakukan bertahap seperti sebagian alat ukur


volumetrik pada saluran primer. Dan pada modernisasi penuh semua alat
ukur volumetrik pada saluran primer dan sekunder.

Maksud dan tujuannya adalah mencapai efektif dan efisiennya dalam


pengelolaan jaringan irigasi.

8.5.1. Jenis bangunan ukur


Beberapa dari bangunan pengukur dapat juga dipakai untuk mengatur aliran
air. Berikut ini beberapa jenis bangunan ukur pernah digunakan di Indonesia.
Bangunan ukur dapat dibedakan menjadi bangunan ukur aliran atas bebas
(free overflow) dan bangunan ukur alirah bawah (underflow).

Tabel 8.2 Tipe pintu ukur dan cara pengukurannya


Tipe Mengukur dengan Mengatur
Bangunan ukur Aliran Atas Tidak
Ambang lebar
Bangunan ukur Aliran atas tidak
Parshall
Bangunan ukur Aliran atas tidak
Cipoletti
Bangunan ukur Aliran bawah Ya
Romijn
Bangunan ukur Aliran bawah Ya
Crump-de Gruyter
Bangunan sadap Aliran bawah Ya
Pipa sederhana
Constant-Head Aliran bawah Ya
Orifice (CHO)
Cut Throat Flume Aliran atas tidak
Sumber: KP irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
99

Penempatan alat ukur umumnya pada jaringan irigasi adalah di saluran


primer yaitu pada intake pemasukan air, di cabang saluran jaringan primer
dan di bangunan sadap sekunder maupun tersier.

8.5.2. Kelebihan dan kekurangan


Tipe bangunan ukur air dengan aliran atas, dapat digunakan sekalian untuk
mengatur tinggi muka air. Dalam pengoperasiannya diperlukan pengaturan
tinggi muka air di depan pintu ukur agar dapat meluap di atas meja alat ukur.
Tipe alat ukur aliran atas tidak dapat menyalurkan air bila air di saluran relatif
kecil/di bawah meja peluapan. Alat ukur tipe aliran atas ini rawan dengan
tertahanannya sedimen di depan pintu ukur.

Tipe bangunan ukur aliran bawah, tidak memerlukan pengaturan muka air,
asal ada air di depannya bangunan ukur dapat berfungsi mengukur. Tipe
pengukur aliran bawah dapat menyalurkan air pada debit saluran relatif
kecil.

8.5.3. Sistem pengukuran volume air terakumulasi (menerus)


Pada saat ini alat pengukuran air untuk kebutuhan irigasi tidak dapat
mengetahui berapa meter kubik air diperlukan untuk menghasilkan per
kilogram padi gabah kering giling. Padahal untuk menilai suatu kegiatan
efektif dan efisien perlu data terukur, maka untuk itu diperlukan pengukuran
volume air terakumulasi/menerus, sehingga setiap saat dapat diketahui
berapa meter kubik air sudah dialirkan. Dengan adanya pengukuran menerus
tersebut dapat dianalisis, kenapa dan apa sebabnya terjadi pemborosan air,
dan apa usaha yang harus diperlukan agar pemakaian air lebih efektif dan
efisien.

Sistem pengukuran menerus adalah seperti meteran pada air minum PAM,
air yang masuk ke irigasi diukur akumulasi volumenya, sekarang masih
belum digunakan. Pada modernisasi irigasi cara pengukuran terakumulasi
(menerus) ini akan diterapkan, sehingga dapat diketahui berapa meter kubik
air yang diperlukan untuk menghasilkan tiap kilogram gabah kering giling
atau kilogram beras.

Prinsip pencatatan akumulasi volume air irigasi dapat diilustrasikan dalam


skema Gambar 8.6, dengan uraian sebagai berikut:
1) Alat ukur debit terpasang diketahui rumus hubungan antara kedalaman
air dan debit air (kedalaman air dapat dibaca dari elevasi muka air);

Modernisasi Irigasi PU
100

2) Muka air dicatat secara menerus oleh sensor yang dipasang di sekitar
alat ukur debit;
3) Muka air yang dicatat tersebut diterjemahakan kedalam grafik debit yang
diproses secara elekronik;
4) Akumulasi debit pada periode tertentu merupakan volume air yang
mengalir pada periode yang sama.
Skema Peningkatan Alat Ukur
yang ada menjadi Alat ukur
Volumetrik

Alat ukur Peningkatan dengan


Pembacaan muka air dan
yang ada waktu menggunakan
sensor elekrik (h, t)

Perumusan
debit Q = f(h)

Akumulatif debit
atau volume air
V = f(Q,t)

Gambar 8.6 Sketsa peningkatan alat ukur yang ada


menjadi alat ukur volumetrik

8.5.4. Tipe bangunan ukur Dethridge Meter (Australia)


Bangunan ukur tipe Dethridge Meter dapat mengukur debit secara menerus.
Prinsip pengukurannya adalah sudu-sudu berbentuk “V” dipasang pada
sekeliling roda. Roda berputar akibat dorongan air dari elevasi yang tinggi
ke elevasi yang rendah (arah aliran), satu kali roda berputar akan terangkut
volume air sebanyak ruang antara sudu-sudu (sepanjang keliling roda).
Banyak kali putaran roda menghasilkan volume air yang sudah dikeluarkan.
Bangunan ukur ini belum dikenal di Indonesia, tetapi telah banyak digunakan
di Australia. Diciptakan sekitar tahun 1910 oleh J.S Dethridge sebagai pegawai
State River and Water Supply Commission, Victoria9. Alat ini dipakai oleh
Commission setelah ditest selama 3 tahun. Kesalahan alat ukur ini sekitar
lebih kurang 3,5% untuk kondisi aliran jatuh bebas.
Bangunan ukur tipe Dethridge Meter dapat dilihat pada Gambar 8.7 bentuknya
seperti kincir air, dimana lingkaran kincir rapat dengan lantai (lantai mengikuti
bentuk lengkung roda kincir).
9 Kraatz D.B; I.K Mahajan, 1975. Small Hydraulic Structures. FAO, Rome

Modernisasi Irigasi PU
101

Gambar 8.7 Bangunan ukur Dethridge Meter (pengukuran volume air


menerus)

8.5.5. Bangunan ukur debit yang direkomendasikan


Bangunan ukur seperti yang ada sebelumnya masih dapat digunakan, tetapi
perlu modifikasi agar dapat mencatat volume akumulasi air yang telah diukur.
Masalah saat ini tidak jelas apakah daerah irigasi tersebut sudah bisa hemat
air atau belum, dan apa yang harus dilakukan tidak dapat diketahui, karena
tidak ada evaluasi yang terukur, guna memperbaiki kinerja penyediaan air
irigasi.

Pada modernisasi irigasi bangunan ukur yang direkomendasikan adalah


bangunan ukur yang dapat mengukur dan menghitung langsung volume
air yang dilewatkan. Agar dapat dievaluasi penggunaan air setiap kilogram
gabah kering giling atau kilogram beras. Alat ukur yang direkomendasikan
adalah:

1) Semua alat ukur debit yang tertera dalam kriteria perencanaan irigasi
dapat digunakan setelah dilengkapi dengan sensor muka air yang dapat
menghitung akumulasi volume air irigasi secara elekronik.

2) Alat ukur Dethridge Meter yang dilengkapi dengan pencatatan yang dapat
menghitung akumulasi volume air irigasi secara elekronik.

Modernisasi Irigasi PU
102

8.6. Jalan Inspeksi


Saat ini sebagian besar jalan inspeksi rusak, berfungsi ganda sebagai jalan
inspeksi dan jalan umum. Kondisi ini memang sulit diselesaikan terutama
pada daerah irigasi di daerah baru berkembang, jalan umum tidak ada,
satu-satunya hanya jalan inspeksi daerah irigasi. Bahkan ada saluran
tidak dilengkapi dengan jalan inspeksi, sehingga menyulitkan operasi dan
pemeliharaan serta transportasi hasil panen petani.

Dalam modernisasi irigasi perlu ada aktivitas memberikan pengertian dan


kesadaran melalui pertemuan dengan dengan pejabat setempat serta
melakukan pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi dalam bidang
keirigasian. Pemda setempat harus ditingkatkan kepeduliannya terhadap
prasarana irigasi dan sumber daya air; khususnya fungsi dan keamanan
jalan inspeksi.

Jalan inspeksi dibangun sesuai dengan kriteria jalan yang dikeluarkan oleh
Bina Marga dan penggunaan jalan inpeksi sesuai dengan kelas jalannya.

8.6.1. Perkerasan
Dalam irgasi konvensional ada dua jenis perkerasan yang akan digunakan:
1) Permukaan kerikil yang dipadatkan setebal 15 cm;
2) Permukaan bitumen diletakkan pada base 15 cm dan subbase 15-40
cm;

Jalan dengan perkerasan kerikil (jalan tahan cuaca)


Penggunaan kerikil alamiah untuk perkerasan setebal 15 cm adalah suatu
pemecahan yang paling murah. Bahannya harus sesuai dengan kriteria.

Perkerasan dengan bitumen


Jalan inspeksi yang lebih penting yang dilewati oleh cukup banyak kendaraan
komersial dapat dibuat dengan lapisan subbase 15–40 cm, lapisan base 15
cm dan lapisan permukaan dengan bitumen.

Kriteria perkerasan digunakan standar yang ada Kriteria Perencanaan Irigasi


tahun 2011.

Dalam modernisasi irigasi dipakai perkerasan dengan bitumen. Hal ini


dimaksudkan agar mendapatkan perkerasan yang lebih stabil, kemudahan

Modernisasi Irigasi PU
103

bagi petugas OP dalam melakukan manuver pengelolaan air, serta


memberikan kenyamanan dalam bekerja.

8.6.2. Pengamanan jalan inspeksi


Pengaman jalan inspeksi saat ini dengan membuat portal yang memberikan
ukuran bukaan tertentu baik lebar dan tinggi dibatasi. Namun kenyataanya
banyak kendaraan keluar masuk dengan merusak portal. Akibatnya kondisi
jalan inspeksi makin rusak.

Dalam modernisasi irigasi pengamanan jalan inspekasi harus dilakukan


secara ketat, dengan cara mempertahankan fungsi portal secara optimal.
Pelanggaran pemanfaatan jalan inspeksi harus diproses secara hukum
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan karena kerusakan jalan inspeksi akan
mengganggu petugas OP dalam memberikan pelayanan kepada petani.

8.6.3. Fungsi ganda


Pada prinsipnya jalan inspeksi diprioritaskan untuk kendaraan petugas OP
dan pengawas saluran irigasi. Namun kenyataannya masyarakat sekitar
daerah irigasi berkehendak memanfaatkan sebagai jalan umum. Tetapi
sebenarnya daya dukung jalan inspeksi tidak direncanakan untuk kendaraan
umum; sehingga kalau akan berfungsi ganda perlu dipertimbangakan
secara cermat terkait dengan keamanan stabilitas jalan inspeksi dan saluran
irigasinya.

Dalam modernisasi irigasi kalau jalan inspeksi berfungsi ganda harus ada
penertiban sebagai berikut:
1) Diminta secara tertulis oleh Pemda;
2) Perkerasan diperkuat dengan lapisan aspal atau beton atas biaya
pemda;
3) Perkuatan tanggul dan/atau lereng saluran atas biaya pemda;
4) As jalan digeser keluar (ke arah luar saluran), sehingga tercipta ruangan
untuk operasi dan pemeliharaan irigasi selebar 3-4 m.

8.7. Sistem drainase dan pengendalian banjir


Masalah sistem drainase dan pengendalian banjir pada waktu yang lalu
sudah dipikirkan dalam perencanaan daerah irigasi, tetapi tidak dilaksanakan
pembangunannya menjadi satu paket dengan jaringan irigasi pembawa.

Modernisasi Irigasi PU
104

Hal ini disebabkan juga oleh administrasi pemerintah, dimana instansi yang
menangani irigasi berbeda dengan instansi yang menangani drainase dan
pengendalian banjir.

Secara khusus untuk drainase dalam petak tersier sudah tertera dalam lay
out perencanaan tersier, tetapi detail desain dan volume pekerjaannya tidak
tercantum dalam BOQ pekerjaan tersier; akibatnya pekerjaan drainase tidak
dilaksanakan pembangunannya.

8.7.1. Kesatuan sistem irigasi dan drainase


Sistem irigasi merupakan satu kesatuan dengan sistem drainase, air yang
sudah masuk ke sawah akan keluar untuk sawah lebih rendah dan terakhir
pada sawah terendah harus ada penyalurannya ke alur alam atau sungai
yang ada. Kondisi drainase saat ini masih buruk, bahkan air buangan tidak
tertata dengan baik, kadang tergenang di lahan pertanian bagian terendah
tanpa jelas kemana penyalurannya. Hal seperti itu harus diselesaikan dengan
membuat satu kesatuan antara sistem irigasi dan drainase.

Kondisi saat ini sistem Jaringan Drainase kurang mendapat perhatian, sejak
dari perencanaan, pelaksanaan dan OP.

Maka dalam modernisasi irigasi ini harus dilakukan perubahan yang


signifikan agar masalah sistem drainase dan pengendalian banjir memjadi
satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi.

Maksud dan tujuannya agar daerah persawahan tidak terendam banjir, air
buangan daerah persawahan ada penyalurannya menuju alur alam atau
sungai berdekatan.

Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan sistem jaringan drainase:

Saat Perencanaan:
(a) Perencanaan drainase dimasukan dalam perencanaan sistem irigasi;

(b) Drainase perlu difasilitasi dalam dokumen: Skema irigasi, skema


bangunan irigasi, blangko OP.

Saat Pelaksanaan
a) Jalan inspeksi sepanjang drainase harus dibangun;
b) Jaringan drainase harus dibangun lengkap sampai alur pembuang
alam.

Modernisasi Irigasi PU
105

Saat Operasi dan Pemeliharaan


a) Perlu pemeliharaan baik pada sistem drainase buatan maupun sistem
drainase alam;
b) Sediakan cukup anggaran untuk kegiatan OP drainase;
c) Petani memahami fungsi saluran drainase di petak tersier. Akibatnya
petani mau membangun sendiri saluran drainase tersier.

8.7.2. Pintu pengendali banjir


Saat ini pintu pengendali banjir tidak begitu jelas posisi, fungsi dan cara
pengoperasiannya. Dalam daerah irigasi seharusnya juga ada pintu-pintu
pengendali banjir seperti di daerah yang rendah atau bagian hilir dari daerah
irigasi. Pintu pengendali banjir berfungsi mengatur air pada pertemuan
drainase sekunder dan alur alam. Sehingga air dari lahan persawahan dapat
mengalir lancar ke alur alam, dan sebaliknya air pembuangan pada alur alam
tidak mendorong ke hulu saluran drainase sekunder.

Dalam modernisasi irigasi pintu pengendali banjir harus direncanakan


secara cermat, dibangun dan dioperasikan secara memadai. Disamping
itu manual harus disiapkan, petugas diberi pelatihan, maksud dan tujuan
disosialisasikan.

8.8. Pengembangan Tersier


Kondisi saat ini pengembangan dan pengelolaan sistem tersier kurang
terintegrasi dengan baik dengan indikasi sebagai berikut:
(1) Dialog antara pemerintah dengan petani kurang intensif;
(2) Partisipatif belum mengarah pada pemberdayaan masyarakat pengguna
air;
(3) Ketidaksesuaian pelaksanaan pengembangan tersier terkait antara
fungsi pemerintah dan petani dengan kenyataan implementasi lapangan
(wewenang dan tanggung jawab terletak pada petani, pemerintah
menfasilitasi);
(4) Belum semua lahan petani mempunyai akses tiga hal: a. Saluran
pembawa, b. Saluran pembuang, c. Jalan usaha tani.
(5) Belum ada ketegasan tentang kepemilikan lahan yang digunakan untuk
prasarana irigasi tersier secara berkelanjutan;
(6) Pengelolaan air ditingkat tersier belum memadai.

Modernisasi Irigasi PU
106

(7) Pemberdayaan P3A dalam bidang pengembangan dan pengelolaan


tersier belum mempunyai konsep yang jelas setelah munculnya PP
N0.38 tahun 2008.

Dalam modernisasi irigasi, pengembangan dan pengelolaan sistem tersier


perlu dilakukan perbaikan sebagai berikut:
(1) Dialog antara pemerintah dengan petani perlu di-intensifkan;
(2) Partisipatif diharapkan mengarah pada pemberdayaan masyarakat
pengguna air;
(3) Perlunya penyesuaian pelaksanaan pengembangan tersier terkait antara
fungsi pemerintah dan petani dengan kenyataan implementasi lapangan
(wewenang dan tanggung jawab terletak pada petani, pemerintah
menfasilitasi);
(4) Semua lahan petani mempunyai akses tiga hal: a. Saluran pembawa, b.
Saluran pembuang, c. Jalan usaha tani.
(5) Perlunya ketegasan tentang kepemilikan lahan yang digunakan untuk
prasarana irigasi tersier secara berkelanjutan (seyogyanya prasarana
tersier menjadi aset P3A);
(6) Pengelolaan air ditingkat tersier menjadi bagian modernisasi irigasi.
(7) Pemberdayaan P3A dalam bidang pengembangan dan pengelolaan
tersier harus mempunyai konsep yang jelas.

8.8.1. Tiga prasarana akses petani


Tiga prasarana akses petani yang dimaksudkan adalah:
(1) Saluran dan bangunan pembawa tersier dan/atau kuarter;
(2) Saluran dan bangunan pembuang tersier dan/atau kuarter; dan
(3) Jalan usaha tani.
Saat ini tidak semua petani mempunyai 3 akses tersebut. Pada irigasi petak
ke petak (plot to plot), empat sampai dengan enam petani menempati dalam
suatu jalur yang sama dimana petani sebelah hulu akan mendapat air
irigasi langsung dari saluran kuarter, sedang petani paling hilir berhubungan
langsung dengan saluran pembuang kuarter. Petani di tengahnya mendapat
air dari petak petani sebelah hulu dan membuang air ke petak petani sebelah
hilir. Keadaan ini memaksa kegiatan petani akan tergantung pada kegiatan
petani sebelahnya, sehingga petani secara individual tidak dapat leluasa
melakukan aktivitasnya.

Modernisasi Irigasi PU
107

Disamping itu tidak semua petak tersier mempunyai jalan usaha tani. Jalan
inspeksi yang sekaligus dapat berfungsi sebagai jalan usaha tani, hanya
terdapat pada saluran primer dan sekunder. Hal ini menyebabkan petani
secara individual mengalami kesulitan mengangkut peralatan, sarana
produksi dan hasil produksi ke dan dari sawahnya.

Dalam modernisasi irigasi dianjurkan setiap petani mendapat air langsung


dari saluran kuarter dan dapat membuang air langsung ke saluran
pembuang kuarter. Sehingga pengelolaan air dalam suatu petak petani tidak
perlu tergantung dengan petakan yang lain. Dengan demikian petani dapat
melakukan aktivitasnya kapan dia mau. Disamping itu setiap saluran tersier
maupun kuarter harus dilengkapi dengan jalan inspeksi yang berfungsi
sekaligus sebagai jalan usaha tani, yang lebarnya 1,5–2,0 m.

3 Asset milik petani

Tersier
Quartier dan pembuang

Jalan usaha tani

Asset milik Irigasi

Jalan inspeksi

Sekunder

Gambar 8.8 Skema 3 akses P3A dalam petak tersier

8.8.2. Aset P3A


Saat ini aset P3A sebagai institusi kelembagaan tidak begitu jelas, terutama
dalam petak tersier yang dikatakan dikelola oleh petani P3A. Kepemilikan
yang ada hanya untuk lahan masing-masing petani, tetapi prasarana irigasi
dalam petak tersier tidak jelas kepemilikannya. Status tanah tempat saluran
pembawa dan pembuang dibangun hanya dipinjamkan dan dicatat dalam
dokumen desa. Masalahnya akan timbul bila terjadi pemindahan kepemilikan
lahan, maka prasarana irigasi ikut pindah ke pihak lain yang mungkin akan
mempermasalahan keberlangsungan prasarana tersebut.

Modernisasi Irigasi PU
108

Dalam modernisasi irigasi semua prasarana irigasi di dalam petak tersier


menjadi aset P3A. Sehingga status kepemilikan tanah dan prasarana irigasi
dalam petak tersier menjadi kuat meskipun kepemilikan tanah berpindah.

Alternatif untuk menjadikan prasarana irigasi dalam petak tersier menjadi


milik P3A dapat diupayakan melalui musyawarah mufakat sebagai berikut:
(1) Lahan tempat prasarana irigasi terletak diserahkan secara sukarela oleh
pemiliknya kepada P3A, dan selanjutnya disertifikatkan atas nama P3A
ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
(2) Lahan tempat prasarana irigasi terletak langsung diganti rugi oleh P3A
dengan cara mengumpulkan dana dari setiap anggota P3A, dengan
cara kontan atau cicilan pasca panen. Setelah lunas lahan tersebut
disertifikatkan atas nama P3A ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

8.9. Sarana Pelengkap


Sarana pelengkap dalam irigasi konvensional kurang mendapatkan
perhatian. Hal ini disebabkan karena utamanya penyediaan dana untuk
keperluan pengadaan dan pemeliharaan sarana pelengkap irigasi tersebut
kurang memadai. Sehingga ketersediaan dan atau keadaan sarana tersebut
kurang memadai, misal rumah pengamat, juru, penjaga pintu air, kantor, alat
transportasi, sistem komunikasi dan peralatan OP.

Dalam modernisasi irigasi sarana pelengkap irigasi tersebut harus disediakan


dan dipelihara agar tetap berfungsi untuk menunjang petugas OP dalam
melayani petani. Hal ini dilakukan karena modernisasi irigasi menuntut
kecepatan dalam merespon/mensikapi aspirasi petani.

Dibawah ini adalah rekomendasi sarana pelengkap yang harus disediakan


dalam modernisasi irigasi.

8.9.3. Daerah sempadan


Daerah sempadan dalam hal ini adalah batas daerah milik saluran dan
bangunan, harus dibuatkan batas yang jelas, mengikuti batas tanah yang
pernah dibebaskan, tetapi sebagian daerah irigasi di Indonesia tidak
melakukan hal itu.

Karena telah berlangsung lama sempadan ini tidak ditertibkan, sekarang


harus ditertibkan. Kendalanya pada data pembebasan tanah yang tidak

Modernisasi Irigasi PU
109

dilanjutkan kepada pensertifikatan, di sini timbul masalah karena sebagian


areal sempadan sudah dimanfaatkan pihak lain. Maka satu-satunya
jalan dengan pemutihan dan yang diperlukan sebagai sempadan saluran
dan bangunan harus dibebaskan lagi, dan segera dipasang patok batas
sempadan (atau segera dilakukan pensertifikatan).

8.9.4. Rumah pengamat, juru dan jaga


Rumah pengamat kondisi saat ini ada tetapi kurang komplit dalam daerah
irigasi dan sebagian rusak. Terlihat tidak terawat oleh pemiliknya, ada yang
sudah tidak ada penghuninya.

Petugas yang bekerja sehari-hari di irigasi seperti; pengamat, juru, penjaga


harus disediakan rumah tinggal di lokasi kerjanya. Rumah tinggal ini harus
disediakan dana pemeliharaannya sama dengan penyediaan dana untuk
pemeliharaan rutin prasarana irigasi.

Dalam modernisasi irigasi setiap pengamat, juru, petugas operasi bendung


(POB), dan petugas pintu air (PPA) disediakan rumah secara memadai.
Desain kamar dan ruangan dalam rumah pengamat sebaiknya dibuat
lengkap sekurang-kurangnya ada 2 kamar tidur, 1 ruangan tamu, dan serta
dapur, WC dan kamar mandi, sehingga petugas betah tinggal.

8.9.5. Transportasi
Kondisi saat ini transportasi untuk petugas seperti mobil untuk seksi dan
pengamat, sepeda motor untuk juru, sepeda untuk PPA dan POB tidak
memadai untuk bertugas menjalakan kegiatannya.

Transportasi; daerah irigasi merupakan kawasan yang khusus, walaupun


merupakan kawasan umum dalam suatu wilayah pemerintahan. Petugas
yang bekerja di daerah irigasi tidak cukup hanya memanfaatkan angkutan
umum, karena dia harus menangani masalah-masalah sepesifik bidang
keirigasian yang tersebar dalam daerah irigasi secara cepat dan tepat. Maka
diperlukan transpotasi yang khusus untuk petugas irigasi.

Dalam modernisasi irigasi alat transpotasi harus dipenuhi sesuai dengan


rekomendasi dalam Permen PU No. 32/PRT/M/2007 tentang pedoman OP
irigasi, yaitu mobil untuk seksi dan pengamat, sepeda motor untuk juru,
sepeda untuk PPA dan POB. Hal ini dilakukan karena modernisasi irigasi
menuntut pelayanan irigasi secara prima.

Modernisasi Irigasi PU
110

8.9.6. Sistem komunikasi


Kondisi saat ini sistem komunikasi belum memadai, bahkan belum ada baik
antar petugas maupun petugas dengan petani.

Komunikasi merupakan hal segera cepat harus berlangsung dalam rangka


pengelolaan suatu daerah irigasi, sehingga keputusan dapat cepat diambil
oleh pengambil keputusan.

Dalam modernisasi irigasi komunikasi dilakukan sebagai berikut:


(1) Data yang dibaca dikirim ke pusat dengan telemetri;
(2) Perintah bukaan pintu ditransfer dengan telemetri;
(3) Komunikasi antar petugas atau petani dan petugas dengan internet,
telpon dan HP.

8.9.7. Kantor
Kondisi saat ini sebagian kantor rusak, kurang komplit dan kurang fasilitas.
Kegiatan yang dilakukan seperti penanganan administrasi dan kegiatan
perkantoran tidak berjalan secara memadai.

Kantor dan fasilitasnya dalam daerah irigasi sangat penting dalam


pengelolaan irigasi. Kantor untuk petugas harus disediakan dengan lengkap
sehingga petugas betah bekerja, termasuk dana pemeliharaannya sama
dengan penyediaan dana untuk pemeliharaan rutin prasarana irigasi.

Dalam modernisasi irigasi kantor disediakan, fasilitas dipenuhi, sehingga


petugas dapat bertugas dengan layak dan betah bekerja. Untuk memudahkan
operasional modernisasi irigasi fasilitas kantor diatur sebagai berikut:
(1) Dibuat kantor tersendiri pada setiap daerah irigasi;
(2) Untuk daerah irigasi yang besar dapat dibuat kantor tersendiri pada
setiap subdaerah irigasi atau setiap sekunder;
(3) Disediakan ruangan kantor yang melekat pada rumah pengamat dan
juru;

Modernisasi Irigasi PU
111

8.9.8. Peralatan operasi dan pemeliharaan


Kondisi saat ini peralatan operasi dan pemeliharaan masih belum lengkap,
bahkan sangat kurang baik peralatan yang ringan maupun peralatan berat.

Banyak sekali peralatan operasi dan pemeliharaan yang harus disediakan


seperti; peralatan yang bersifat ringan dan peralatan berat. Peralatan ini
harus ada tersedia beserta tempat penyimpanannya dan selalu dipelihara
agar tidak rusak atau macet saat diperlukan/digunakan.

Dalam modernisasi irigasi setiap daerah irigasi harus dipengkapi dengan


peralatan operasi dan pemeliharaan secara memadai. Peralatan tersebut
setidak-tidaknya adalah:
(1) Peralatan OP langsung: alat pemotong rumput, stamper, current meter,
theodolit, waterpass dan meteran, stop watch;
(2) Perlengkapan: helm, jas hujan, sepatu boot, senter, cangkul, skop,
ganco, linggis, gerobak dorong, sabit, parang, mesin gergaji potong;
(3) Peralatan OP tidak langsung: mobil pengangkut bahan, P3K.

Modernisasi Irigasi PU
112

BAB 9
PENGELOLAAN IRIGASI

9.1. Pengelolaan Air Irigasi


Irigasi adalah suatu usaha manusia untuk menambah kekurangan air dari
pasok hujan untuk pertumbuhan optimum tanaman yang dibudidayakan.
Drainase adalah suatu usaha manusia untuk membuang kelebihan air yang
merugikan pertumbuhan tanaman yang dibudidayakan. Tidak ada irigasi
tanpa drainase, sehingga di Jepang muncul istilah irrinage (irrigation and
drainage) yakni irigasi dan drainase menjadi satu kesatuan tak terpisahkan.
Pengelolaan irigasi bertujuan untuk mengatur jumlah sumberdaya air yang
tersedia bervariasi terhadap waktu dan tempat, dengan jumlah kebutuhan
air irigasi tanaman untuk memaksimalkan tingkat produktivitas dan intensitas
pertanaman tertentu di suatu daerah irigasi. Untuk memahami bagaimana
pengelolaan air irigasi seharusnya, perlu dipahami bagaimana sebenarnya air
irigasi diaplikasikan di lahan pertanian (on farm) untuk memenuhi kebutuhan
air tanaman.

9.1.1. Metoda Penggunaan air irigasi


Metoda penggunaan air irigasi untuk tanaman dapat digolongkan ke dalam
empat jenis: (a) irigasi permukaan (surface irrigation), (b) irigasi bawah-
permukaan tanah (sub-surface irrigation), (c) irigasi curah (sprinkler), dan (d)
irigasi tetes (drip atau trickle irrigation). Irigasi curah dan tetes disebut juga
irigasi bertekanan (pressurized irrigation). Pemilihan metoda irigasi tersebut
tergantung pada: (a) air yang tersedia, (b) klimat, (c) tanah, (d) topografi, (e)
kebiasaan, dan (f) jenis dan nilai ekonomi tanaman.

Pada irigasi permukaan berdasarkan perbedaan status kelembaban tanah


dan keperluan air tanaman dibedakan menjadi dua hal yakni: (a) irigasi padi
sawah dan (b) irigasi untuk tanaman bukan padi sawah (upland crops). Di
Indonesia tanaman semusim bukan padi sawah disebut dengan palawija.

Modernisasi Irigasi PU
113

Gambar 9.1 Metode penggunaan air dengan irigasi curah (kiri) dan
irigasi tetes (kanan)

Di Indonesia sebagian besar irigasi termasuk pada irigasi permukaan. Irigasi


bertekanan curah dan tetes banyak digunakan di perusahaan agroindustri.
Irigasi curah pada perkebunan tebu, kopi, nenas, bawang, dan jagung. Irigasi
tetes pada pertanian rumah kaca untuk melon, cabai, paprika, dan bunga
krisyan.

Pada irigasi permukaan, pemberian air irigasi lewat permukaan tanah ke


tanaman, yang diklasifikasikan menjadi dua cara yakni pemberian air
berkala (intermittent) dan kontinyu (continuous) 24 jam sehari dan 7 hari
seminggu. Untuk tanaman padi sawah dapat dilakukan secara kontinyu atau
secara berkala. Pemberian air kontinyu dengan debit kecil (misalnya 1 liter/
detik/ha)10 pada petakan sawah, air akan menyebar seragam dengan cepat
karena kondisi tanah dalam keadaan tergenang. Cara pemberian ini lebih
mudah dalam operasionalnya dibandingkan dengan cara berkala. Pemberian
berkala dilakukan dengan debit besar dan waktu irigasi yang singkat, tetapi
dilakukan dengan selang waktu (interval) pemberian air tertentu, memerlukan
usaha yang lebih besar dalam operasionalnya.

Untuk tanaman non padi kondisi tanah dalam keadaan kering, maka air
irigasi harus diberikan dengan debit besar11 supaya air menyebar seragam
dalam waktu yang singkat ke seluruh petakan, sehingga efisiensi pemakaian
air12 (application efficiency) menjadi cukup besar. Batas atas adalah lengas

10 8,64 mm/hari sama dengan debit kontinyu 1 liter/detik/ha


11 Biasanya sekitar 5-10 liter/detik
12 Efisiensi pemakaian air: Jumlah air yang ditahan di daerah perakaran tanaman dengan jumlah air
yang diberikan di petakan

Modernisasi Irigasi PU
114

tanah pada kapasitas lapang (field capacity) dan batas bawah pada RAM
(ready available moisture) atau MAD (management allowable defficiency).
RAM besarnya sama dengan p (depletion level)13 x TAM (total available
moisture). TAM adalah lengas tanah pada kapasitas lapang dikurangi
dengan lengas tanah pada titik layu (wilting point). Pada prinsipnya irigasi
dilakukan untuk menjaga lengas tanah di daerah perakaran tanaman pada
kondisi optimum untuk pertumbuhan tanaman yakni antara batas atas dan
batas bawah. Selang waktu irigasi dihitung dengan jumlah air pada batas
atas dan batas bawah dibagi dengan besarnya ET max (Evapotranspirasi
Tanaman Maksimum).

Metoda tersebut dilakukan terkait erat dengan tiga unsur utama (tanah, air,
dan tanaman). Pada praktek penggunaan irigasi di lapangan pada saat
perencanaan air irigasi dihitung berdasarkan atas penggunaan konsumtif
(evapotranspirasi) dan kehilangan air akibat perkolasi setelah dikurangi
dengan hujan efektif. Pada saat operasi perhitungan tersebut disederhanakan
lagi dengan perkiraan kebutuhan air secara global sesuai dengan tahapan
pertumbuhan tanaman: pengolahan tanah, pembenihan, padi muda,
pembungaan, padi tua, dan menjelang panen.

Pada prakteknya metoda ini dapat lebih disederhanakan, misalnya


dalam pemilihan selang irigasi yang berlaku umum untuk selama periode
pertumbuhan tanaman. Pemberian air secara berkala dilakukan antar blok
kwarter.

Gambar 9.2 Budidaya tanaman padi sawah

Akhir-akhir ini berkembang di masyarakat suatu teknologi budidaya sawah


yang hemat air, dan berproduksi tinggi yakni suatu teknologi yang disebut
dengan SRI (system of rice intensification).
13 Tingkat deplesi (p) pada tingkat kepekaan tanaman terhadap kekeringan . Semakin peka
semakin besar nilainya

Modernisasi Irigasi PU
115

SRI dikembangkan sejak tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J,
seorang pendeta Perancis yang bertugas di Madagaskar sejak tahun 1961.
Sebelum tahun 1999 SRI hanya dikenal dan dipraktekkan di Madagaskar
saja. Sekarang ini dicobakan di hampir 50 negara dengan hasil produksi
SRI sekitar 7-10 ton GKP/ha. Di Jawa Barat model SRI ini disertai dengan
berkembangnya pertanian organik ramah lingkungan, sehingga dikenal
dengan nama SRI-Organik. Dengan konsep yang sedikit berbeda Litbang
Pertanian mengajukan konsep PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Baik
pada SRI maupun PTT, air irigasi diberikan secara berkala melalui parit kecil
(caren) di petakan sawah, dengan batas atas genangan 3 cm, dan batas
bawah pada kondisi tanah retak rambut yakni kadar air antara kapasitas
lapang dengan jenuh. Fluktuasi genangan air di petakan sawah digambarkan
seperti pada Gambar 9.3. Kondisi lengas tanah seperti pada Gambar 9.4.

Pengelolaan Air SRI-Jabar


Genangan (mm)

25,0

Penyiangan dengan Gasrok

20,0

15,0

10,0 Pengeringan
Pengeringan
Macak-macak

5,0

Macak-macak

0,0
0

10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

100

105

Awal Vegetatif-Anakan Pembungaan Pengisian Bulir - Masak Pematangan


Susu
HST dan Tahap Pertumbuhan

Gambar 9.3 Pengelolaan air di petakan sawah pada SRI-Organik


(Jabar)

Selang waktu irigasi dihitung dengan jumlah air pada batas atas dan batas
bawah dibagi dengan besarnya ETmax+Perkolasi. Tergantung pada sifat
fisik tanahnya selang irigasi pada MK biasanya antara 4-5 hari, sedangkan
pada MH antara 6-8 hari. Pada kondisi ini aerasi di daerah perakaran
tanaman akan menciptakan pertumbuhan akar yang baik, jumlah anakan
maksimum dan akhirnya produksi lebih tinggi. Penerapan metoda SRI/PTT
di daerah irigasi memungkinkan adanya peluang untuk menaikkan IP akibat
dari penghematan air irigasi dan kenaikan produktivitas. Akan tetapi harus
disertai dengan sistem operasional irigasi dengan cara berkala di tingkat

Modernisasi Irigasi PU
116

antar kwarter dalam petak tersier atau sistem irigasi giliran (rotasi) di tingkat
sekunder.

Pengelolaan Air SRI di Lahan kasus Manonjaya MT2


mm Air Selang irigasi 5 harian, Hujan efektif: 0 mm
20.0

10.0

0.0

4
0

8
12

16

20

24

28

32

36

40

44

48

52

56

60

64

68

72

76

80

84

88

92

96
10

10
-10.0

-20.0

-30.0
Kondisi lengas tanah
KAI = 531 mm
Batas Bawah pF 2.0
-40.0

-50.0
Hari Setelah Tanam

Gambar 9.4 Kondisi lengas tanah di daerah perakaran tanaman pada


SRI-Organik (Jabar)

9.1.2. Model pengelolaan air sekarang


Kondisi tata letak petakan lahan umumnya tidak teratur sehingga saluran
irigasi dan drainase tidak terpisah. Kadang-kadang tidak ada saluran
drainase, dan jalan usahatani tidak tersedia. Akibatnya adalah pemberian
air dilakukan dari petak ke petak (plot to plot), traktor tangan susah masuk
untuk pengolahan tanah. Pada MT2 dimana pengolahan tanah dilakukan
pada akhir MH sehingga diperlukan waktu lama untuk menunggu genangan
air turun di petakan sawah supaya traktor dapat segera bekerja, sulit untuk
menerapkan metoda irigasi berkala genangan dangkal seperti pada SRI/
PTT.

9.1.3. Model pengelolaan air masa depan


Sistem irigasi dan drainase harus dikelola sebagai suatu sistem pelayanan
(service system) yang tanggap terhadap kebutuhan dan perubahan
kemauan pemanfaat air irigasi. Perbaikan kinerja irigasi adalah prasyarat
jika kita berhadapan dengan tantangan untuk memproduksi pangan lebih
banyak untuk memenuhi kebutuhan akibat peningkatan jumlah penduduk
dalam lingkungan persaingan air dengan industri, perkotaan dan kebutuhan
lingkungan yang sehat.

Modernisasi Irigasi PU
117

Pengelolaan irigasi modern adalah suatu pengelolaan irigasi berorientasi


pelayanan (service oriented management, SOM) dengan bentuk kelembagaan
dan keteknikan berbiaya efektif untuk mengatur jaringan dan sistem operasi
menuju capaian tingkat pelayanan yang telah disepakati. Ada 4 (empat)
unsur kunci dalam pengelolaan irigasi dan drainase berbasis pelayanan
berkelanjutan:

(a) Berorientasi output: biaya pelayanan didasarkan pada seberapa baik


pengembangan operasi dan program pengelolaan aset
(b) Melibatkan pengguna (user) dalam penentuan tingkat dan biaya pelayanan
yang disepakati, serta dalam pengelolaan irigasi.
(c) Organisasi irigasi dan drainase harus mampu menyediakan biaya
pelayanan baik secara langsung dari konsumen (petani) ataupun dari
subsidi pemerintah
(d) Didasarkan pada kerangka hukum untuk melindungi kebutuhan pengguna,
organisasi pelayanan, dan kepentingan masyarakat.

Dalam modernisasi irigasi di Indonesia ditetapkan tingkat layanan minimum


yang harus dipenuhi dalam daerah irigasi modern seperti tertuang dalam
Tabel 9.1, kolom 4. (Layanan Operasional Minimal). Untuk selanjutnya
mengarah kepada Layanan Operasional Penuh seperti tertuang dalam Tabel
9.1 kolom 5.

Pengelolaan air seyogyanya dikembangkan berdasarkan kebutuhan (on


demand) daripada berdasar pasok (on suplly) seperti yang dilakukan selama
ini. Pengelolaan berbasis kebutuhan (on demand) memerlukan informasi
dari semua faktor saling pengaruh yang dikelola di dalam proses pendukung
pengambilan keputusan. Dengan perkembangan teknologi elektronik
sekarang ini pengelolaan informasi waktu nyata (real time) dan perhitungannya
menjadi memungkinkan. Hal ini dapat memberikan perbaikan pengelolaan
waktu nyata untuk peningkatan produksi pertanian melalui pengelolaan air
sistem terpusat berbasis komputer.

Tujuan utama pertanian beririgasi adalah memaksimalkan pendapatan


petani melalui pemanfaatan sumberdaya secara optimum di sektor
pertanian. Sekarang ini 80% air yang ada digunakan untuk sektor pertanian.
Sektor irigasi adalah pengguna air terbesar, dengan nilai ekonomi relatif
rendah, efisiensi rendah, dan bersubsidi tinggi. Kendala kurangnya tenaga
kerja pertanian, lahan, dan sumber air mengharuskan pengembangan irigasi

Modernisasi Irigasi PU
118

dengan sasaran meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) dan produktivitas


(hasil) melalui program modernisasi manajemen sistem yang ada. Kondisi
sekarang dengan total efisiensi irigasi sekitar 35-45% dengan EMA (efisiensi
manfaat air) sekitar 0,3 kg beras/m3 air, menyediakan ruang yang cukup
untuk perbaikan berkelanjutan di sektor irigasi.

Program modernisasi irigasi bertujuan memperbaiki kinerja irigasi dan


secara umum untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Sasarannya
menghasilkan produktivitas pertanian rerata 6 ton GKG/ha, membutuhkan
air 6.000 m3 air atau EMA = 0,6 kg beras/m3 air, dengan IP 200% padi dan
50% palawija. Hal ini dicapai melalui program pengurangan kehilangan air,
penghematan konsumsi air tanaman, Iuran OP Irigasi, penurunan biaya
operasional dan pemeliharaan.

Tujuan ini dicapai dengan cara intervensi teknologi dan pengelolaan


untuk memproduksi padi menyertakan sejumlah besar volume air sebagai
sumberdaya yang semakin langka (lahan, air, tenaga kerja, dan kapital).
Sekarang ini aturan operasional irigasi dirasakan tidak fleksibel dengan
setting bangunan kontrol tetap tidak berubah untuk periode hari operasional
tertentu (umumnya dua-mingguan, atau 10 harian). Sedangkan keperluan air
di lapangan berubah secara spasial dan temporal sesuai dengan perubahan
cuaca dan jadwal agronomi petani yang memerlukan penyesuaian waktu
secara nyata (real time).

Dalam modernisasi irigasi pemberian air irigasi dilakukan harian didasarkan


atas persamaan:

ET dihitung harian berdasarkan data klimat, P dihitung 2 mingguan sesuai


dengan tahapan pertumbuhan tanaman, hujan efektif dihitung harian dari
data hujan harian.

Prinsip perhitungan kebutuhan air tersebut akan dilakukan dengan sistem


komputerisasi dengan empat prinsip: (a) Cara membaca data, (b) Cara
mentransfer data ke pusat operasi, (c) Cara menghitung dan menampilkan
dalam tayangan, (d) Cara menyampaikan perintah bukaan pintu ke petugas
OP. Sebagai ilustrasi unsur pokok dalam operasional irigasi pada OMIS,
perhitungan kebutuhan air, dan skhema alir informasi, dapat dilihat pada
Gambar 9.6, Gambar 9.7, Gambar 9.7, dan Gambar 9.8.

Modernisasi Irigasi PU
119

Gambar 9.5 Unsur pokok dalam operasional irigasi pada OMIS

       
t = -1 t=0 t = +1 t = +2
Periode Operasi (2 mg, 1 mg, 3 hari, atau harian)
  Hitung:    
  Wetness index awal Data hujan aktual t = 0  
Data debit aktual t = 0
  Dugaan Hujan efektif pada t = 0. Hitung: S Aktual dan KAI Aktual  
Metoda Weather Forcasting dari
Internet
  Luas jenis tanaman dan tahap S Akt > KAI Akt, Hitung Excess (+)  
pertumbuhan S Akt < KAI Akt, Hitung Defisit (-)
  Kebutuhan Air Tanaman (KAT) Hitung: KAI seperti pada tahap t = 0  
  Kebutuhan Air Irigasi (KAI) Gunakan Excess/Defisit pada perhitungan KAI  
periode t = +1
  Gunakan data hujan dan debit di Set bukaan pintu untuk t = +1  
bendung pada t = -1 . Duga debit di
bendung pada t = 0. Metoda: misal
Sacramento
  Hitung Water Balance:    
  Jika S > D, gunakan KAI,    
set bukaan pintu
  Jika S < D, gunakan Faktor K, set    
bukaan pintu

Modernisasi Irigasi PU
120

Gambar 9.6 Skema perhitungan kebutuhan air pada setiap periode


operasional pada OMIS14

Gambar 9.7 Skema alir informasi pada OMIS (1)

Gambar 9.8 Skema alir informasi pada OMIS (2)

9.1.4. Tingkat layanan (level of services) sistem irigasi dan drainase


Tingkat layanan didefinisikan sebagai suatu rangkaian (set) operasi baku
(standard operation) yang dirancang oleh lembaga irigasi sebagai hasil
konsultasi dengan pengguna dan pemerintah untuk mengelola jaringan
14 Operation and Management Irrigation System

Modernisasi Irigasi PU
121

irigasi/drainase. Tingkat layanan selalu dikaitkan dengan tingkat harga/biaya


layanan. Kemauan dan kemampuan pengguna untuk membayar layanan
tergantung pada tingkat keuntungan usahatani dan tingkat keandalan
pasok air serta aturan sangsi jika pembayaran tidak sesuai dengan yang
disyaratkan.

Mutu tingkat layanan sistem irigasi dan drainase dinyatakan dengan 4 (empat)
parameter yakni (a) kecukupan (adequacy), (b) keandalan (reliability), (c)
keadilan (equity), dan (d) kelenturan (flexibility).

Kecukupan (adequacy) sistem irigasi, adalah suatu pengukur kemampuan


jadwal pasok air memenuhi kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman
optimal. Biasanya dinyatakan dengan perbandingan antara jumlah pasok air
aktual yang diberikan dengan yang diperlukan tanaman. Dalam hal drainase
kecukupan drainase adalah alat pengukur kemampuan sistem drainase
untuk mengendalikan kelebihan air ke suatu tingkat kerugian minimum.

Keandalan (reliability) adalah alat pengukur tingkat kepercayaan (confidence)


jadwal distribusi pasok air dalam sistem irigasi dan pengendalian kelebihan
air dalam sistem drainase. Juga didefinisikan sebagai keragaman sesaat
(uniformity temporal) dari nisbah antara jumlah air aktual yang diberikan
dengan yang diperlukan sesuai jadwal pemberian. Keandalan tergantung
pada bentuk pasok air. Jika pasok airnya sistem aliran kontinyu, maka
keandalan berkaitan dengan besarnya harapan bahwa suatu debit atau muka
air tertentu akan disamai atau dilampaui (berkaitan dengan keragaman debit
di saluran utama). Pada sistem dengan pasok aliran air intermittent (misal
irigasi rotasi) akan berkaitan dengan kemampuan ketepatan menduga selang
waktu (interval) irigasi dan besarnya debit.

Keadilan (equity) adalah suatu pengukur pasok air yang adil sesuai
dengan hak guna air. Umumnya didefinisikan sebagai pasok air aktual ke
pengguna berkaitan dengan andil alokasi air (allocated share) yang telah
disepakati. Keadilan juga berarti di mana semua petani baik petani besar
ataupun kecil, berada di hulu atau di hilir, berada pada kondisi yang sama
baik dalam kekurangan maupun kelebihan air. Umumnya kondisi sekarang
baik kekeringan maupun kelebihan air seringkali berada di lokasi hilir. Di
Indonesia tingkat keadilan dilaksanakan dengan menerapkan faktor “K”
(faktor koreksi), pasten, factor palawija relatif (FPR) yang sama baik di lokasi
hulu maupun di hilir.

Modernisasi Irigasi PU
122

Kelenturan (flexibility) adalah pengukur tingkat kenyamanan pengguna


(users) untuk memilih frekuensi (selang irigasi), besarnya debit, dan lama
pasok air irigasi. Pada tingkat layanan terbaik di mana tingkat kelenturannya
tinggi (umumnya downstream control), memerlukan infrastruktur kendali
hidraulik dan prosedur operasi yang canggih (biasanya juga lebih mahal dan
menuntut keterampilan operator yang lebih tinggi). Hal ini bertujuan untuk
menghasilkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani yang lebih baik.
Ini terjadi karena pada sistem yang lentur memungkinkan petani yakin untuk
berinvestasi dengan jenis tanaman dan teknologi pertanian terbaik guna
menghasilkan produktivitas dan keuntungan maksimum. Umumnya pada
sistem ini pembayaran iuran OP irigasi dihitung berdasarkan volumetrik (Rp/
m3 air).

Sebaliknya, jadwal pasok air yang kaku (rigid) dapat mendistribusikan air
dengan kendali hidraulik infrastruktur yang lebih sederhana (umumnya
upstream control). Kendala utama dalam sistem ini adalah ketidakmampuan
pasok air sesuai dengan jumlah aktual yang diperlukan tanaman/petani
dan ketidak-mampuan memanfaatkan hujan yang terjadi sebagai bagian
dari pasok air. Walaupun sistem pasok dilakukan dengan kaku, perbaikan
kelenturan penggunaan air di tingkat usahatani juga akan diperoleh jika petani
punya kolam tampungan cadangan air atau punya akses ke penggunaan
airtanah dengan pompa air. Di Thailand setiap lahan usahatani (luasan
antara 1,6–2,4 ha) dibagi menjadi 4 bagian (30%:30%:30%:10%.). Bagian
pertama 30% dipakai untuk kolam simpanan air dan budidaya ikan; 30%
kedua untuk padi sawah; 30% ketiga untuk palawija/sayuran; dan 10% untuk
rumah, jalan, kandang ternak dan fasilitas umum. Sistem ini dikenal dengan
sistem monkey cheek 15

Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada modernisasi irigasi tercantum


pada Tabel 9.1, sedangkan hubungan antara tingkat layanan, biaya layanan,
dan infrastruktur, dinyatakan dengan Gambar 9.9.

15 Sumber: Frank van Steenbergen, Albert Tuinhof and Lenneke Knoop, 20 11.
Transforming Landscapes - Transforming Lives. IFAD-FAO.

Modernisasi Irigasi PU
123

Tabel 9.1 Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada modernisasi


irigasi
No Indikator tingkat Irigasi Irigasi modern
layanan konvensional Minimal Lanjutan
1 Indek Pertanaman 120% padi, palawija 140-160% padi, 160-200% padi,
20% 50% palawija palawija 50%
2 Kehilangan air 40-60% 30-40% 10-30%
3 Selang alokasi air 10-15 hari 3-7 hari 1-3 hari
4 Produktivitas air 0,5 kg GKG/m3 0,6-0,7 kg GKG/ 0,8-1,0 kg GKG/
m3 air m3 air
5 Penyediaan Kurang Cukup Baik
Air: kecukupan,
keandalan,
keadilan,
keluwesan
6 Sistem pengaliran Orientasi pasok Orientasi Semi- Orientasi kebuthan
air kebutuhan penuh
7 Pengendalian Pengendalian hulu Pengendalian hulu Pengendalian hilir
muka air sebagian
8 Metoda Dominan irigasi Fasilitasi irigasi Fasilitasi irigasi
penggunaan permukaan permukaan, curah, permukaan, curah,
air: Permukaan, tetes sebagian tetes penuh
Curah, Tetes
9 Penggunaan air Kontinyu Kontinyu dan Intermittent penuh
Intermittent
sebagian
10 Hak guna air Belum ada Ada sebagian Ada penuh
11 Drainase Luas sawah gagal Luas sawah gagal Luas sawah gagal
panen karena banjir panen karena panen karena
tidak diketahui banjir 20-30% banjir 0-20%

Modernisasi Irigasi PU
124

TINGKAT
LAYANAN
IRIGASI-
DRAINASE

KESEPAKATAN
KENDALI ALIRAN
LAYANAN
Pemberian Air
Spesifikasi Layanan
Operasional
Kondisi Layanan
Manajemen
Akuntabilitas

MANAJEMEN ASET
Pemeliharaan
BIAYA
Rehabilitasi INFRA-
LAYANAN
Pergantian STRUKTUR
Modernisasi

Gambar 9.9 Hubungan tingkat layanan, biaya layanan, dan


infrastruktur (Malano, H.M., P.J.M. van Hofwegen, 2006)

Formulasi spesifikasi tingkat layanan untuk jaringan irigasi dan


drainase yang ada (existing)
Ada beberapa faktor penentu mutu tingkat layanan irigasi yakni (a) hak guna
air,(b) kebijakan irigasi, (c) budidaya pertanian, (d) kondisi tanaman, tanah,
dan klimat; dan (e) kondisi sumberdaya air (Gambar 9.9). Pada Gambar
9.9 tersebut dijelaskan bahwa: (a) Tingkat layanan yang berlaku akan
berkaitan dengan tingkat manajemen, infrastruktur, dan tingkat pembiayaan
OP yang berlaku; (b) Jika diinginkan peningkatan tingkat layanan (kepuasan
pengguna), maka diperlukan usaha peningkatan manajemen, infrastruktur
dan biaya layanan; (c) Pilihan optimum ditentukan dalam suatu proses
konsultasi antara pemberi dan penerima layanan.

Kondisi pengelolaan air irigasi di Indonesia sekarang dan yang akan datang
dijelaskan sebagai berikut:

Modernisasi Irigasi PU
125

Kondisi sekarang
Kondisi pengelolaan air irigasi di Indonesia sekarang adalah sebagai
berikut:

a. Pengelolaan operasional air irigasi didasarkan pada Analisis Neraca


Air antara dugaan ketersediaan air dengan hitungan kebutuhan air
berdasarkan Rencana Tata Tanam Usulan. Produk ahirnya adalah
berupa Rencana Tata Tanam Global (RTTG) yang disosialisasikan
lewat pertemuan Komisi Irigasi dan disahkan dengan SK Bupati.
b. Berdasarkan kesepakatan RTTG tersebut, maka dirancang: (a) sistem
golongan, (b) pola tanam definitif, (c) penjadwalan irigasi, dan (d) masa
pengeringan saluran untuk pemeliharaan jaringan.
c. Alokasi air dirancang dimana besarnya debit dihitung sampai ke pintu
sadap tersier yang akan diterima oleh P3A. Kemudian P3A mengaturnya
di dalam petak tersier ke petak kwarter dan ke masing-masing petak
petani
d. Karena air tidak diukur secara volumetrik, maka iuran biaya OP irigasi
petani dinyatakan dalam Rp/ha/MT
e. Selang waktu operasional 2 mingguan atau 10 harian
f. Pada musim kemarau (MT2 dan MT3) berdasarkan analisis neraca
air dirancang pola tanam padi gadu ijin dan palawija di setiap petak
tersier
g. Debit ketersediaan air dirancang dengan debit andalan 80%. Artinya
seharusnya keandalan (reliability) nya juga sekitar 80% berhasil atau
20% gagal.
h. Sekarang ini sudah ada instrumen pengukur kinerja irigasi, tetapi
banyak yang tidak melakukan dan melaporkannya
i. Jika tidak ada kesesuaian antara rencana dengan kenyataan yang
merugikan petani. Misalnya kekurangan air atau kelebihan air yang
menyebabkan gagal panen, sekarang ini petani tidak dapat menuntut
ganti rugi, karena ketidak jelasan antara biaya layanan (IPAIR) dan
tingkat layanannya.

Modernisasi Irigasi PU
126

Gambar 9.10 Proses Formulasi spesifikasi tingkat layanan untuk


jaringan irigasi dan drainase yang ada (sumber: Malano, H.M., PJM
van Hofwegen, 2006)

Kondisi ke depan (modernisasi irigasi)

Kondisi pengelolaan air irigasi pada modernisasi irigasi adalah sebagai


berikut:

a. Di masa depan jika pada MT2 atau MT3 terjadi gagal panen karena
kekurangan air di lokasi gadu ijin (dengan kejadian lebih dari 20%),
maka Dinas Pengairan harus bertanggung jawab. Pertanggung jawaban
ini tergantung pada tingkat layanan dan tingkat pembayaran layanan
(IPAIR) yang telah disepakati bersama. Jika petani sudah membayar
IPAIR sesuai kesepakatan, tetapi layanan Dinas Pengairan tidak
memenuhi kesepakatan tersebut, maka petani berhak untuk tidak
membayar IPAIR pada MT itu16. Begitu pula dengan gagal panen yang
terjadi karena kebanjiran di MT1.

b. Jika gagal panen karena kekurangan air terjadi di lokasi gadu tak-ijin,
maka itu merupakan resiko petani sendiri sehingga Dinas Pengairan tidak
perlu bertanggung jawab. Berita gagal panen karena kemarau panjang
sekarang ini tidak jelas di mana lokasi dan pertanggung jawabannya.
16 No water no money

Modernisasi Irigasi PU
127

Sehingga setiap tahun pemerintah (Kementerian Pertanian) selalu


menyediakan dana yang cukup besar untuk menyediakan kembali bibit
padi untuk mereka yang gagal panen. Kejadian ini akan lebih merugikan
jika lokasi kejadian pada lokasi sawah yang mendapat kredit usahatani
(KUT).

c. IPAIR harus dikelola oleh P3A dan besarnya disesuaikan dengan


kemampuan ekonomi usahatani (kg GKP/ha/MT). Jika besarnya IPAIR
tidak memenuhi besarnya AKNOP, maka sisanya merupakan kewajiban
pemerintah untuk mensubsidinya.

d. Secara umum besarnya AKNOP di jaringan utama sekitar US$ 20/ha/


tahun (Rp 200.000/ha/tahun). Pemerintah hanya mampu membiayai
sekitar 50%, sehingga sisanya diharapkan dari IPAIR. Dengan demikian
besarnya IPAIR sekitar Rp 100.000/ha/tahun atau sekitar Rp 50.000/
ha/MT (17 kg GKP/ha/MT, jika harga gabah Rp 3.000/kg GKP). Jika
termasuk biaya operasional dan pemeliharaan di jaringan tersier, maka
IPAIR sekitar 34 kg GKP/ha/MT (Rp 100.000/ha/MT). Hasil penelitian di
DI Rentang tahun 2012, menunjukkan bahwa dengan pola tanam padi-
padi-bera, rerata pendapatan bersih petani sekitar Rp 2 juta/ha/bulan.
Sehingga untuk petani dengan luas garapan 1 ha, besarnya IPAIR Rp
100.000/ha/MT nampaknya tidak akan memberatkan.

e. Apabila kondisi pertanian kita sudah semakin maju (modern) dengan


luas garapan per petani semakin luas (minimal 1 ha) dan terjadi
diversifikasi tanaman ke arah jenis tanaman hotikultura atau industri
yang ekonomi tinggi. Maka petani mulai akan menginginkan sistem
pengelolaan air irigasi berbasis kebutuhan (on demand) dengan tingkat
kelenturan tinggi. Untuk itu diperlukan perhitungan peningkatan biaya
manajemen OP dan biaya peningkatan infrastruktur irigasi (misalnya
dengan downstream control) yang akan menghasilkan kesepakatan
baru antara mutu layanan dengan biaya layanan. Untuk mendapatkan
mutu keadilan (equity) yang baik dan tingkat penghematan penggunaan
air yang tinggi, biaya layanan harus dilakukan secara volumetrik (Rp/m3
air).

f. Penghematan penggunaan air bertujuan untuk meningkatkan IP di daerah


irigasi menjadi 200% padi dan 50% palawija (padi-padi-palawija).

Modernisasi Irigasi PU
128

g. Penghematan air dilakukan dengan cara: (a) memperkecil kehilangan


air di jaringan utama dari sekitar 50% menjadi sekitar 30%, dan (b)
memperbesar efisiensi pemakaian air (water application efficiency) di
tingkat usahatani. Dengan adanya mutu kelenturan maksimum, sehingga
petani dapat mengambil air kapan saja, berapa banyak, dan berapa lama
sesuai dengan keperluan tanaman dan luas lahan yang dimiliki.

h. Dengan semakin besarnya luas lahan garapan per petani (minimal 1


ha) dan semakin kurangnya ketersediaan tenaga kerja manusia di
sektor pertanian karena tersedianya lapangan pekerjaan yang luas
di luar sektor pertanian,.maka akan terjadi modernisasi pertanian di
bidang penggunaan alat/mesin pertanian, teknologi budidaya, dan
juga di bidang teknologi irigasi dengan teknologi irigasi hemat air dan
tenaga kerja (misalnya irigasi curah atau irigasi tetes). Penggunaan alat/
mesin pertanian sudah terjadi di daerah irigasi di Sulawesi Selatan di
mana pengolahan tanah, tanam, penyemprotan, panen, pengeringan,
dan pengolahan hasil sudah mulai menggunakan alat dan mesin-mesin
pertanian. Irigasi permukaan masih dominan karena umumnya pola
tanamnya padi-padi-bera. Jika terjadi diversifikasi tanaman ke arah
tanaman ekonomi tinggi seperti tanaman industri dan sayuran, maka
bukan tidak mungkin akan berkembang sistem irigasi curah dan tetes
menggantikan sistem irigasi permukaan.

9.1.5. State of the Art pengelolaan air irigasi17


Beberapa model pengelolaan air telah dikembangkan sesuai dengan
keperluan pengelola irigasi. Model tersebut mempunyai proses yang hampir
sama yakni konversi data dasar agroklimat menjadi kebutuhan air irigasi dan
jadwal pemberian air (2 mingguan atau 1 mingguan) melalui aplikasi model
simulasi tanaman. Beberapa model mensimulasikan operasional saluran.
Hanya sebagian kecil dari model tersebut menyediakan analisis kinerja
irigasi didasarkan pada evaluasi data yang dipantau dibandingakan dengan
sasaran (target) yang direncanakan. Beberapa model digunakan untuk
tujuan khusus yang memerlukan peralatan khusus membuatnya lebih jelimet
dan lebih mahal. Program pengelolaan air sekarang ini berisikan:

17 Sumber: Mohd. Azhari Bin Ghazalli, 2003. Modernisation of Irrigation and Drainage
Management for Agricultural Production

Modernisasi Irigasi PU
129

(a) Model optimasi dan simulasi untuk menghasilkan nilai-nilai peubah


keputusan (decision variables) atau indikator kinerja, dari input dan
kendala yang ada

(b) GIS memungkinan analisis dan penyajian informasi dalam data spasial

(c) Sistem pakar berdasarkan pada kepakaran dan pengetahuan mampu


memproses aturan dan simbol menghasilkan keputusan melalui aturan
logik yang menyediakan keterangan bagaimana keputusan dicapai oleh
pengguna (users)

(d) Paket statistik dan grafik yang menganalisis dan menayangkan hasil

(e) Sistem fuzzy logic akhir-akhir ini telah digunakan sebagai alat analisis
untuk pengambilan keputusan, khususnya dalam memadukan
pengalaman para pengguna yang umumnya tersedia secara kualitatif.

Keberhasilan dan kegagalan pengelolaan air tergantung pada faktor peubah


yang berkaitan dengan program perangkat lunak (software programs).
Program perangkat lunak harus bersifat mudah dan nyaman digunakan
(user friendly) dan harus dikembangkan mengikuti alur pikir yang ada di otak
pengguna dan operator. Proses pengembangan program harus melibatkan
pengguna sebanyak mungkin. Sebelum diaplikasikan di lapang, program
harus diuji secara baik. Pendekatan modular menghasilkan kelenturan
(fleksibilitas) dalam pemutakhiran data (updating) dan mudah diselaraskan
(incorporating) dengan teknologi komputer yang baru. Pada dasarnya sistem
pengelolaan air terdiri dari lima (5) komponen yakni:

(a) Sistem kendali (control system) terdiri dari bangunan kontrol hidraulik
seperti weir, pompa, bangunan bagi, dan lainnya bertujuan untuk
mengendalikan aliran air;

(b) Sistem bangunan/alat ukur yang memantau debit air. Parameter dapat
diukur secara manual atau otomatik. Untuk operasional waktu nyata
(real time), paling tidak sebagian alat ukur dilengkapi dengan alat ukur
otomatik telemetri;

(c) Sistem informasi yakni sistem keairan yang dikomputerisasi. Model


matematik mensimulasikan proses yang relevan dan tanggap pada
sistem keairan;

Modernisasi Irigasi PU
130

(d) Sistem penunjang keputusan (decision support system, DSS) adalah


otaknya yang mampu mengakses hasil simulasi untuk memilih strategi
operasional terbaik. Dalam sistem otomatisasi penuh, DSS memutuskan
aksi dan kemudian mentransfer intruksi ke sistem kendali/kontrol;

(e) Sistem tayangan berfungsi sebagai alat komunikasi antara sistem dan
manajer irigasi.

Integrasi perangkat lunak dalam kerangka pengelolaan air memerlukan


komitmen kuat antara manajemen dengan staf proyek. Data diperlukan untuk
operasional software secara efektif kemungkinan tidak dikumpulkan pada
awalnya, instruksi rinci distribusi air tidak dikeluarkan, dan dalam banyak hal
komputer belum dimanfaatkan secara optimum. Dalam hal ini maka sistem
manajemen komputerisasi seyogyanya dikembangkan secara in-house.
Pelatihan adalah sebagai faktor utama menuju keberhasilan implementasi
program manajemen air, akan tetapi harus disadari bahwa sistem manajemen
komputerisasi bukanlah akhir dari segalanya. Itu hanyalah suatu alat
untuk membantu manajer irigasi dalam proses pengambilan keputusan.

Sistem pengelolaan air yang berhasil seyogyanya mempertemukan tujuan


dan sasaran sistem dengan memanfaatkan sebanyak mungkin fasilitas
sistem, data dan personalia yang tersedia. Informasi yang diperlukan oleh
manajer irigasi seyogyanya diberikan posisi sentral. Paling tidak sistem
harus mampu berkinerja seperti berikut:

(a) Mampu menjembatani operasional bangunan kontrol penting, sensor


muka air dan alat hidrometeorologi, dan mentransmisikan data ke
komputer pusat di ruang operasi utama;

(b) Melaksanakan pengolahan dan penyimpanan data dalam sistem;

(c) Mensimulasikan kinerja sistem irigasi pada beberapa skenario dan


strategi berbeda sebelum kejadian;

(d) Menyajikan tampilan kondisi sistem air yang berlangsung dan hasil
simulasinya dalam bentuk tampilan dan format yang mudah difahami
dengan cara menggunakan tabel, grafik, peta, dan kode warna, sehingga
memudahkan untuk pengambilan keputusan.

Modernisasi Irigasi PU
131

9.1.6. Model tata letak petakan, saluran irigasi, drainase dan jalan
pertanian
Modernisasi irigasi harus dibarengi dengan modernisasi pertanian. Ciri
pertanian modern adalah: (a) tata letak petakan lahan pertanian dirancang
sedemikian rupa sehingga memudahkan operasional dan pemeliharaan
sistem budidaya pertanian, (b) mengantisipasi kebutuhan dan kendala ke
masa depan, (c) setiap petakan lahan harus punya akses ke tiga hal yakni
saluran irigasi, saluran drainase, dan jalan usahatani.

Sebagai contoh dari tata-letak petakan lahan pertanian yang modern dapat
dilihat pada Gambar 9. 11, yang merupakan rancangan petakan lahan di
Jepang pada masa awal modernisasi. Pada waktu itu jenis traktor yang
digunakan adalah traktor roda dua, dan alat semprot power sprayer. Akhir-
akhir ini umumnya digunakan traktor roda empat sehingga lebar petakan
diubah menjadi 50 sampai 100 m. Penggunaan alat semprot menggunakan
boom sprayer dengan jarak jangkauan yang lebih jauh dari pada power
sprayer. Semakin luas petakan sawah memerlukan mesin perataan tanah
dilengkapi dengan alat yang akurat seperti lasser levelling, karena untuk
budidaya padi sawah diperlukan kedalaman air genangan yang seragam di
seluruh petakan dan untuk itu diperlukan tanah yang betul-betul datar.

Setiap petakan sawah punya akses ke tiga hal yakni (a) saluran irigasi, (b)
saluran drainase, dan (c) jalan usahatani. Petakan dibuat ukuran lebar 30 m
dan panjang 100 m (luas 0,3 ha), setiap 10 petakan bergabung menjadi 1 blok
petakan (3 ha) , 2 blok petakan bergabung menjadi satu blok pengelolaan
usahatani (6 ha), jarak antar saluran irigasi 200 m, di tengahnya ada saluran
drainase, pada tanggul saluran irigasi dibuat jalan usahatani (farm road)
lebar 1,5-2,0 m, jalan akses (acces road) setiap jarak 300 m (10 x lebar
petakan) dengan lebar jalan 3 m, elevasi muka air di saluran drainase 0,8 m
di bawah lahan, elevasi muka air di saluran irigasi 15 cm di atas lahan.

Ukuran petakan sawah 30 m x 100 m mempunyai alasan kultural sebagai


berikut, pada waktu itu di Jepang sudah terjadi kekurangan tenaga kerja
sehingga yang bekerja di sawah hanyalah suami-istri petani. Untuk
penyemprotan pestisida/herbisida digunakan power sprayer diletakkan di
punggung sang suami, yang berjalan sepanjang pematang, sedangkan
ujung selang lainnya dipegang oleh sang istri di pematang sebelah lebar
petakan.

Modernisasi Irigasi PU
132

Kemudian keduanya berjalan di sepanjang pematang petakan menyemprot


tanaman. Berdasarkan pengalaman lapang ternyata lebar optimum adalah
30 m. Jika menggunakan lebar lebih besar dari 30 m, diperlukan mesin power
sprayer yang lebih besar tetapi sang suami tidak tahan memikulnya. Maka
dari segi ergonomi diputuskan lebar petakan 30 m. Kemudian seminggu
sebelum panen air di petakan sawah dibuang ke saluran drainase sampai
tanah cukup kering sehingga mesin panen (combine harvester) mudah
bergerak di petakan sawah.

Gambar 9. 11 Tata-letak petakan sawah di Jepang

Berdasakan pengalaman panjang petakan 100 m menghasilkan tanah


cukup kering dalam jangka waktu satu minggu drainase, apabila lebih dari
100 m dibutuhkan waktu lebih dari satu minggu. Untuk memudahkan sistem
drainase dilengkapi dengan pengontrol muka air (relief well).

Untuk keperluan modernisasi pertanian sesuai dengan kebutuhan mesin


pertanian karena kekurangan tenaga kerja pertanian, maka dilakukan
program konsolidasi lahan sehingga petakan menjadi beraturan sesuai
dengan rancangan tata-letak yang baru.

9.2. Sistem Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Irigasi

9.2.1. Jaringan hidroklimatologi dan hidrometri


Stasiun agroklimatologi terdiri dari beberapa alat yang mengukur hujan
harian, suhu udara maksimum-minimum dan rerata harian, kecepatan angin
pada ketinggian 2 m, jam penyinaran harian (campbel stokes), kelembaban
udara relatif harian, panci evaporasi.

Modernisasi Irigasi PU
133

Untuk keperluan irigasi stasiun hujan dipasang di setiap saluran sekunder


yang mewakili luasan kurang lebih 2.500 ha.

Untuk keperluan Daerah Aliran Sungai, sebagai pegangan untuk kerapatan


stasiun hujan tergantung pada kondisi geografik seperti pada Tabel 9.2.

Menurut KP 01: untuk daerah bergunung sekitar 50 km2/stasiun hujan,


sedangkan daerah datar sekitar 100 km2/stasiun hujan.

Untuk stasiun agroklimat cukup 2 stasiun per kabupaten. Setiap daerah irigasi
modern harus dilengkapi dengan setidak-tidaknya satu stasiun hidrometri
berupa Alat Pencatat Muka Air Otomatis (AWLR) di bangunan utama.

Tabel 9.2 Kerapatan stasiun hujan18


Geografik areal Km2 per stasiun
Pulau kecil bergunung dengan hujan tak beraturan 25
Tropikal areal bergunung 100-250
Tropikal areal datar 600-900
Daerah kering (arid) 1.500-10.000

9.2.2. Telemetri
Sistem telemetri adalah suatu sistem dimana alat yang dapat mengukur,
merekam, dan mentransmisikan data secara waktu nyata dari jarak jauh
ke pusat pengolahan data. Menghimpun data/informasi diperlukan untuk
penjadwalan irigasi dan memantau tingkah laku sistem irigasi dalam waktu
nyata. Keperluan dasar untuk mentransmisikan data agroklimat guna
perhitungan kebutuhan air untuk tanaman dan pengelolaan alokasi air.

Muka air dikonversi ke debit saluran. Ada tiga metoda merekam muka air
yakni tipe pelampung, tipe capacitance, dan tipe ultra-sonic. Tipe pelampung
adalah tipe tertua untuk merekam muka air. Menggunakan potentiometer
untuk menkonversi gerak pelampung ke signal berkode berbentuk analog
yang dikonversi ke digital. Tipe capacitance mengukur perubahan kapasitans
dimana kedalaman air dikonversi. Kapasitan fungsi kontanta dielektrik bahan
antara dua konduktan insulasi, ukuran konduktor, dan panjang liquid. Tipe
ultrasonik menggunakan gelombang suara yang diproyeksikan ke muka
air dan diterima kembali pada titik yang diketahui di atas muka air. Waktu
perjalanan diukur secara elektronik dan jarak ke muka air dapat diketahui.

18 Sumber: WMO (1969) di dalam Vijay P. Singh, 1992. Elementary Hydrology. Prentice
Hall Inc, New Jersey, USA.

Modernisasi Irigasi PU
134

Pencatat hujan tipe tipping-bucket menghitung jumlah hujan per satuan


waktu. Untuk transmisi data, ada berbagai metoda komunikasi antara sistem
sensor dan komputer sekarang ini sering digunakan seperti radio-frequency
telemetry system, telephone line, private line, satelit dll.

Saat ini PT. INTI telah membuat dan memasarkan sistem telemetri berbasis
SMS, dimana data dari remote area (curah hujan, tinggi muka air dll ) dikirim
via SMS ke server computer dan mungkin sekarang pengiriman data dengan
GPRS. Data tersebut juga bisa di down load di remote area. Sebagai contoh
produk yang sudah siap dipasarkan adalah FFWS (Flood Forcasting Warning
System) hasil kerjasama antara ITS, UNDIP, PT INTI, dan Puslitbang Air.

9.2.3. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) jaringan utama


Dinas Pengairan mengalokasikan air irigasi ke petak-petak tersier
berdasarkan kebutuhan air untuk tanaman dan ketersediaan air irigasi di
bendung. Perencanaan pola tanam global di daerah irigasi dilakukan tiga (3)
bulan sebelum awal musim tanam dengan tahapan proses sebagai berikut:

a. Setiap P3A di masing-masing petak tersier mengisi rencana pola


tanam dengan bantuan juru pengairan. Pola tanam tersebut berisikan
luasan areal padi, palawija dan tanaman lainnya pada MT1 (Musim
Hujan), MT2 (Musim Kemarau 1) dan MT3 (Musim Kemarau 2) yang
direncanakan untuk musim tanam yang akan datang. Setiap juru
pengairan mengumpulkan data tersebut ke masing-masing pengamat
pengairan dan dari pengamat ke dinas pengairan kabupaten.
b. Di dinas pengairan kabupaten kebutuhan air irigasi untuk seluruh daerah
irigasi dengan pola tanam usulan akan dihitung dan dibandingkan dengan
dugaan ketersediaan air hujan dan debit sungai untuk periode musim
tanam yang akan datang. Beberapa penyesuaian dilakukan, termasuk
pula jadwal pengeringan saluran untuk perbaikan dan pemeliharaan.
Usulan jadwal dan pola tata tanam global diserahkan ke panitia irigasi di
tingkat kabupaten.
c. Panitia irigasi mengkaji kembali usulan jadwal dan pola tanam tersebut,
kalau perlu dilakukan beberapa perbaikan, kemudian disahkan oleh
bupati sebagai ketua panitia irigasi tingkat kabupaten.

Modernisasi Irigasi PU
135

d. Rencana detail jadwal dan pola tanam untuk setiap petak tersier disusun
oleh dinas pengairan kabupaten dan diserahkan kepada setiap P3A oleh
juru pengairan. Informasi di setiap petak tersier meliputi:
▪ Tanggal mulai pengolahan tanah dan tanggal tanam untuk padi
(sistem golongan)
▪ Jadwal waktu pengeringan saluran
▪ Jumlah luasan areal tanaman padi, palawija dan tanaman lainnya
setiap musim tanam MT1, MT2, MT3).

e. Berdasarkan informasi tersebut P3A menyusun rencana detail di masing-


masing petak tersier mencakup urutan pembagian air untuk pengolahan
lahan di setiap unit rotasi. Pada Musim Kemarau (MT2 dan MT3) siapa,
dimana dan berapa luasnya yang tanam padi serta siapa, dimana dan
berapa luasnya yang tanam palawija.

Dalam modernisasi irigasi data dasar dicatat dalam blangko yang diserahkan
kepada juru pengairan. Juru pengairan akan mentransfer data ke pusat
komputer dengan sistem link komputer. Data dari DAS dikirim ke pusat
komputer dengan sistem telemetri. Pusat komputer melakukan perhitungan
neraca air dan bukaan pintu di seluruh daerah irigasi; dan mengirim perintah
ke pengamat dan juru pengairan agar diteruskan ke semua PPA (secara
skematis dinyatakan pada Gambar 9.7 dan 9.8. Alir informasi dari lapang ke
pusat operasional pengelolaan air).

9.2.4. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) jaringan tersier


Operasional irigasi di jaringan utama biasanya dilakukan setiap periode irigasi
10 hari, 2 mingguan atau setengah bulanan. Untuk menetapkan alokasi debit
air di petak tersier dilakukan tahapan seperti berikut:

a. Pengumpulan data lapangan di setiap petak tersier mengenai areal


aktual pengolahan lahan dan tahap pertumbuhan tanaman sampai pada
akhir periode irigasi yang sedang berlangsung dan dugaan untuk periode
irigasi berikutnya.
b. Perhitungan total jumlah kebutuhan air di setiap petak tersier, pintu bagi
dan di bendung.
c. Pendugaan ketersediaan air irigasi di bendung untuk periode yang akan
datang berdasarkan data aktual periode sebelumnya.

Modernisasi Irigasi PU
136

d. Perhitungan Faktor K (faktor koreksi) yakni perbandingan antara dugaan


debit air yang tersedia di tingkat bendung dengan dugaan total debit air
yang diperlukan di seluruh daerah irigasi (gross) untuk periode yang
akan datang.
e. Menghitung kembali alokasi debit air di setiap petak tersier dengan
memberi bobot Faktor K pada setiap debit yang diperlukan di masing-
masing petak tersier.
f. Menyampaikan informasi besarnya debit yang akan diberikan di pintu
tersier untuk periode irigasi yang akan datang ke setiap P3A.

Dalam modernisasi irigasi operasional pengelolaan air irigasi hampir tidak


berbeda dengan cara konvensional, tetapi karena setiap petak individu petani
mempunyai 3 akses berupa saluran pembawa, saluran pembuang, dan jalan
usaha tani serta ketatnya alokasi air perlu ada penyesuaian sebagai berkut:
a. Periode pengaturan air harus mengikuti periode operasi saluran utama;
b. Pengelolaan air tingkat tersier harus dilakukan secara intensif dan cermat,
mengingat alokasi air di bangunan sadap telah dihitung secukupnya
dengan komputer;
c. Intensitas musyawarah antar petani harus dilakukan makin sering untuk
menghindari perselisihan.

Unit Operasional
Menurut KP‑05 (Kriteria Perencanaan Irigasi bagian Petak Tersier, 1986),
untuk dapat mendistribusikan air secara sistematis, petak tersier harus dibagi
ke dalam unit-unit operasional. Unit operasional tersebut harus mempunyai
batas yang jelas di lapangan dimana masing-masing memperoleh air dari satu
atau beberapa sumber (pintu) air. Terdapat tiga tingkatan unit operasional
yakni blok sub tersier, blok kwarter dan jalur petakan (farm strips). Pendekatan
unit operasional dari bawah (downstream) adalah sebagai berikut:

PETAK SAWAH → JALUR → BLOK KWARTER → BLOK SUB-TERSIER →


PETAK TERSIER
Pada daerah dengan topografi bergelombang umumnya di dalam jalur, air
irigasi diberikan dari petak ke petak. Untuk mempercepat pengaliran air ke
petakan bagian bawah umumnya di petakan atas dibuat saluran cacing di
pinggir pematang atau di tengah-tengah petakan (kakalen). Batas setiap
jalur sulit dibuat dalam suatu rancangan (berdasarkan garis kontur yang
ada), akan tetapi pada pelaksanaannya di lapangan para petani akan dapat
Modernisasi Irigasi PU
137

membatasinya. Sistem ini menghasilkan suatu sistem operasional yang


jelimet sehingga tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh petani di lapangan.
Akibatnya ketidakseimbangan antara hulu-hilir pada musim kemarau selalu
merupakan hal yang umum terjadi di daerah irigasi teknis.

9.2.5. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) drainase


Pada prinsipnya OP saluran drainase adalah menjaga kemampuan debit yang
mengalir sesuai dengan rencana. Permasalahannya adalah endapan sedimen
dan kotoran sampah dan tebing sungai. Pemeliharaannya harus rutin dan
berkala membersihkan kotoran dan mengangkat sedimen sepanjang tahun.
Pada saluran drainase primer di pantai harus rutin dilakukan pengerukan.
Kondisi sekarang ini jaringan saluran drainase di petak tersier banyak yang
diubah jadi lahan pertanian karena petani melihat bahwa sistem drainase di
tersier tidak bekerja dengan baik akibat tidak terpeliharanya saluran drainase
di sekunder, primer, dan utama.

Sistem informasi pengelolaan drainase sekarang ini hampir tidak ada.


Petugas tidak mengetahui bagaimana kinerja sistem drainase. Kejadian
banjir tidak bisa diperkirakan dan diantisipasi.

Dalam modernisasi harus ada sistem informasi pengelolaan drainase dengan


garis besar sebagai berikut:
a. Juru pengairan melakukan inspeksi rutin (mingguan) di lokasi-lokasi
tertentu dan melaporkan ke pusat komputer;

b. Selain inspeksi rutin juru pengairan harus melakukan inspeksi pasca


banjir;

c. Informasi tersebut diolah di Pusat Komputer agar menghasilkan perintah


pengendalian banjir dan pengelolaan saluran drainase.

9.3. Sistem Operasi


9.3.1. Pengumpulan data
Pada keadaan sistem pengelolaan irigasi sekarang, pengelolaan informasi
dilakukan dengan mengisi blanko-blanko yang disediakan sesuai ketentuan
berupa pengumpulan data, tahap perencanaan dan tahap operasional
seperti tertuang dalam Pedoman OP Irigasi Permen PU No 32/PRT/M/2007.
Pengumpulan data dilakukan secara manual. Selama ini dilakukan sebagai
berikut:

Modernisasi Irigasi PU
138

Data hujan, debit air, luas tanaman, jenis tanaman, umur tanaman,
kerusakan tanaman yang terkena banjir, keadaan tanaman yang kekeringan
ditulis dalam blanko per kejuron (750 ha-1.500 ha) oleh juru pengairan dan
dilaporkan setiap 10 hari/15 hari ke pengamat pengairan untuk diproses atau
diteruskan ke atasannya.

Pengamat memproses atau mengevaluasi data per sistem hidrologi per


sekunder/per daerah irigasi (5.000 ha-7.500 ha) secara manual/dihitung,
dikelompokkan, kemudian dibawa ke rapat di kantor irigasi kabupaten
bersama seksi operasi dan pemeliharaan.

Di kantor irigasi kabupaten, data dikelompokkan per daerah irigasi dan per
kabupaten/kota, dievaluasi dari seluruh pengamat untuk dilaporkan ke provinsi
dan pemerintah pusat lewat balai wilayah sungai. Kendala terkumpulnya data
sangat lama, apabila dipakai untuk mengambil keputusan selalu terlambat,
menjemukan dan tidak akurat.

Dalam rangka modernisasi operasi pemeliharaan irigasi dan drainase dengan


pola pemberian air semi-demand dan kendali hulu, diharapkan data lapangan
terkumpul secara real-time dan terkirim ke pusat operasi utama untuk diolah
oleh komputer dengan adanya software manajemen pengumpulan data dan
telemetri. Data yang diperoleh dari lapangan diolah meliputi:

a. Data debit/data elevasi muka air (sensor muka air) di bangunan-bangunan


utama saluran induk, saluran sekunder dan saluran drainase utama. Data
bukaan pintu utama dan sekunder, data debit dan lamanya pompa.
b. Data curah hujan dari banyak stasiun hujan di catchment area dan di
banyak kawasan areal irigasi yang masing-masing diwakili satu stasiun
curah hujan atau stasiun klimatologi telemetri,.dan data elevasi waduk,
data titik kritis dari sungai. Dari data hidrologi dan klimatologi dianalisa
sebagai alokasi air dengan sotware komputer.
c. Data pertanian, jenis tanaman, luas tanam, umur tanaman per petak
tersier atau per sistem hidrologi, tetap pada awal laporan menggunakan
tenaga juru pengairan yang bersangkutan melaporkan data tersebut
lewat sistem SMS dengan handphone atau lewat komputer atau lewat
telepon dengan modem. Data tanaman tersebut diperoleh dari Kelompok
P3A yang mengirim ke juru pengairan lewat SMS.
d. Data ini dikumpulkan untuk menghitung kebutuhan air untuk tanaman,
dapat terkirim ke pusat komputer setiap saat atau dapat diprogram

Modernisasi Irigasi PU
139

terkirim setiap hari jam 08.00 pagi lewat kantor komputer lokal.

Dengan adanya pengumpulan data lewat informasi teknologi diteruskan/


diproses atau diolah oleh komputer di pusat ruang operasi utama, diharapkan
pengolahan data dalam rangka pengelolaan irigasi modern khususnya
operasional irigasi dilaksanakannya pengelolaan irigasi berorientasi
pelayanan (Service Oriented Management-SOM) dengan data real-time.

Dengan software komputer, data yang masuk kemudian diolah, dianalisa


menjadi analisa data hujan, ramalan run off dari daerah tangkapan hujan,
ramalan hujan efektif dengan perkiraan 70%, 80% dan 90%, ramalan inflow
mingguan. Data ketinggian air di waduk, data di titik kritis di sungai di upstream
dan downstream untuk mengetahui ketersediaan air. Data luas tanaman,
umur tanaman dan jenis tanaman untuk setiap lokasi diketahui kebutuhan
airnya, kemudian dibuatkan simulasi operasi jaringan irigasi. Supervisor
komputer mengolah dan memilih, besarnya kebutuhan air dan intervalnya
kemudian dikirim ke lapangan tergantung program pengiriman. Pengiriman
dapat setiap hari, 3 hari, mingguan atau bulanan sebagai laporan kemudian
disimpan di hard-disk.

9.3.2. Perhitungan kebutuhan air

9.3.2.1. Kondisi sekarang


Perhitungan Kebutuhan Air
Pada pengelolaan irigasi konvensional di Indonesia, dalam perhitungan
kebutuhan air irigasi ada tiga macam perhitungan yaitu:

a. Berdasar penyelidikan yang diadakan di daerah Demak, padi genjah:


2 minggu pembasahan dan pembajakan 2,52 l/dt/ha
2 minggu pengolahan dan pembibitan 0,31 l/dt/ha
1 minggu penanaman 1,03 l/dt/ha
3 minggu pemberian air penuh 1,55 l/dt/ha
2 minggu 80% pemberian air penuh 1,24 l/dt/ha
2 minggu 60% pemberian air penuh 0,93 l/dt/ha
2 minggu 40% pemberian air penuh 0,62 l/dt/ha
2 minggu 20% pemberian air penuh 0,31 l/dt/ha
2 minggu tidak diberi air

Modernisasi Irigasi PU
140

b. Dalam perhitungan kebutuhan air, dalam pembagian dan pemberian air


berdasarkan perbandingan dengan dasar kebutuhan air untuk polowijo
terhadap tanaman-tanaman di sawah dari masa garap, tanam dan
panen. Besarnya kebutuhan air untuk polowijo 0,25 l/det/ha musim
kemarau, 0,20 l/det/ha musim hujan. Berdasar hasil percobaan dan
pengalaman untuk masing-masing daerah, perbandingan kebutuhan air
setiap tahapan sebagai berikut:

Tabel 9.3 Kebutuhan air setiap tahapan di beberapa daerah


Kegiatan Daerah Keterangan
Madiun Bojonegoro Lain Perhitungan
Pawinihan 15 20 20 kebutuhan air
Garap sawah 4,5 6 6 dinyatakan sebagai
Tanam padi 3 5 4 Luas Polowijo Relatip
Tanam tebu 1,5 - 1,5 (LPR) sesuai dengan
pabrik jenis tanaman dan
Tanam tebu bibit 1,5 - 1,5 umur tanam.
Polowijo 1 1 1

Perhitungan kebutuhan air untuk padi pada pengelolaan irigasi modern,


sesuai dengan teori/faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan air untuk
tanaman yang meliputi: penyiapan lahan, penggunaan konsumtif, perkolasi,
rembesan, dikurangi curah hujan efektif. Untuk penyiapan lahannya dipakai
Lengkung Tegal, tetapi setelah lahir Kriteria Perencanaan Irigasi tahun 1986,
dipakai metoda van de Goor dan Zilsjtra.

9.3.2.2. Kondisi modernisasi


Kebutuhan air tanaman secara tidak langsung dihitung dengan menggunakan
rumus empirik berdasarkan data unsur cuaca, dengan menduga nilai
evapotranspirasi tanaman acuan19 (ETo). Akhir-akhir ini FAO (1999)
merekomendasikan metoda Penman-Monteith untuk digunakan jika data
iklim tersedia (suhu rerata udara harian, jam penyinaran rerata harian20,
kelembaban relatif rerata harian, dan kecepatan angin rerata harian). Selain
itu diperlukan juga data letak geografi dan elevasi lahan di atas permukaan
laut. Nilai ETo dinyatakan dalam satuan mm/hari setiap bulan dari Januari
19 Evapotranspirasi tanaman acuan (Reference crop evapotranspiration). ETo adalah
jumlah air yang dievapo-transpirasikan oleh tanaman rumputan dengan tinggi 15-20 cm,
tumbuh sehat, menutup tanah dengan sempurna, pada kondisi cukup air
20 Data jam penyinaran BMG dilakukan selama 8 jam per hari (jam 08.00-16.00). Untuk
mengkonvesikan dalam 12 jam per hari, dilakukan konversi S=0,6 Z+0,12, S: rasio jam
penyinaran 12 jam, Z: rasio dengan penyinaran 8 jam/hari (BMG) (Berney&Partners,
1985).

Modernisasi Irigasi PU
141

sampai Desember. Selanjutnya untuk mengetahui nilai ET tanaman (ETc)


tertentu maka ETo dikalikan dengan nilai Kc yakni koefisien tanaman yang
tergantung pada jenis tanaman dan tahap pertumbuhannya (persamaan /1/).
Nilai Kc tersedia untuk setiap jenis tanaman (Tabel 9.3).

/1/

Keperluan air untuk tanaman ETc (mm/hari) ini dipenuhi oleh air hujan
(efektif) dan kalau tidak cukup oleh air irigasi. Keperluan air irigasi atau KAI
(mm/hari) dinyatakan dengan persamaan/2/:

/2/

Hujan efektif (Re) (mm/hari) adalah bagian dari total hujan yang digunakan
untuk keperluan tanaman. Perhitungan ETo dan daftar nilai Kc untuk berbagai
jenis tanaman ada dalam program CROPWAT. Perhitungan hujan efektif
mengikuti KP.

Re = 1/15 x 70% x R5, R5 adalah hujan setengah bulanan dengan kala


ulang 5 tahun.

Keperluan air irigasi untuk tanaman padi

Seringkali dikatakan bahwa irigasi tanaman padi di sawah adalah merupakan


suatu proses penambahan air hujan untuk memenuhi keperluan air tanaman.
Tanaman padi sawah memerlukan air cukup banyak dan menginginkan
genangan air untuk menekan pertumbuhan gulma dan sebagai usaha
pengamanan apabila terjadi kekurangan air. Selama terjadinya genangan air
maka perkolasi akan terjadi, dengan demikian perkolasi merupakan proses
yang tidak dapat dihindarkan dalam budidaya padi sawah. Keperluan air
irigasi untuk tanaman padi dinyatakan dengan persamaan /3/.

/3/
Di daerah tropik walaupun pada musim hujan, sering terjadi suatu periode
kering sampai 3 minggu tidak turun hujan. Pada situasi tersebut diperlukan
air irigasi untuk menjamin pertumbuhan tanaman padi yang baik. Pada
umumnya tinggi genangan air adalah sekitar 50-75 mm untuk padi varietas

Modernisasi Irigasi PU
142

unggul (HYV)21, sedangkan untuk varietas lokal antara 100-120 mm.


Maksimum genangan air yang diijinkan pada HYV adalah sekitar 15 cm.22.
Apabila laju evaporasi sekitar 2-6 mm/hari dan perkolasi atau rembesan
sekitar 6 mm/hari, maka lapisan genangan air tersebut akan mencapai nol
pada selang waktu 4 sampai 15 hari, apabila tidak ada hujan dan air irigasi.
Apabila situasi tersebut berlanjut sampai beberapa minggu terutama pada
masa pertumbuhan tanaman yang peka terhadap kekeringan maka akan
terjadi pengurangan produksi. Suatu tetapan konversi keperluan air biasanya
dinyatakan dengan mm/hari yang dapat dikonversi ke suatu debit kontinyu
pada suatu areal yakni 1 l/det/ha = 8,64 mm/hari atau 1 mm/hari = 0,116 l/
det/ha23.

Pengolahan tanah
Beberapa faktor penting yang menentukan besarnya keperluan air selama
pengolahan tanah adalah sebagai berikut:

Waktu yang diperlukan untuk pengolahan tanah yakni periode waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tanah, pertambahan
areal pengolahan tanah dalam suatu grup petakan sawah yang sangat
tergantung pada ketersediaan tenaga kerja manusia, hewan atau
traktor.
(b) Volume air yang diperlukan untuk pengolahan tanah, yang tergantung
pada lengas tanah dan tingkat keretakan tanah pada waktu mulai
pengolahan tanah
(c) Laju perkolasi dan evaporasi
(d) Kedalaman lapisan tanah yang diolah menjadi lumpur.

Gambar 9.12 Pengolahan tanah

21 HYV: High Yielding Variety (varietas unggul)


22 Berdasarkan penelitian di IRRI (International Rice Research Institute), Los Banos, Filipina
23 1liter =10-3 m3; 1 ha = 104 m2; 1 hari = 24 jam = 24 x 60 x 60 detik

Modernisasi Irigasi PU
143

Periode lama pengolahan tanah


Kondisi sosial dan tradisi yang ada serta ketersediaan tenaga kerja
manusia, hewan atau traktor di suatu daerah sangat menentukan lamanya
pengolahan tanah. Pada umumnya periode yang diperlukan setiap petakan
sawah untuk pengolahan tanah (dari mulai air diberikan sampai siap tanam)
adalah sekitar 30 hari. Sebagai suatu pegangan biasanya sekitar 1,5 bulan
diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tanah di suatu petak tersier.
Pada beberapa kasus di mana alat dan mesin mekanisasi tersedia dalam
jumlah yang cukup, periode tersebut dapat diperpendek sampai sekitar
1 bulan. Total periode pengolahan tanah di suatu daerah irigasi biasanya
antara 1,5 sampai 3 bulan tergantung pada jumlah golongan yang dipakai.

Debit yang diperlukan untuk pengolahan tanah


Laju penambahan areal pada waktu pengolahan tanah di suatu jalur
petakan-petakan sawah yang mendapat pasok air dari satu inlet secara
kolektif dalam suatu petak tersier, akan menentukan besarnya debit yang
diperlukan. Menurut van de Goor dan Zijlstra (1968) laju pemberian air untuk
pengolahan tanah dinyatakan dengan persamaan /4/.

/4/; k = MT/S

dimana I: laju pemberian air (mm/hari), M: topping up requirement atau


Perkolasi+Evaporasi (mm/hari), T: lama periode pengolahan lahan dari mulai
awal pemberian air sampai tanam (hari), S: jumlah air yang diperlukan untuk
menjenuhkan tanah dan menciptakan lapisan genangan air (mm).

Umumnya keperluan air pengolahan tanah berkisar antara 1,5-1,7 l/det/ha


untuk nilai M antara 5-8 mm/hari dan S=300 mm dengan T=30 hari. Nilai
S=300 mm digunakan untuk MT1, sedangkan S=250 mm untuk MT2.

Keperluan air pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman


Tahap pertumbuhan padi dibagi menjadi: (a) pesemaian (10-30 hss)24,
(b) periode pertumbuhan vegetatif (0-60 hst), (c) periode reproduktif atau
generatif (50-100 hst) dan (d) periode pematangan (100-120 hst).

Periode pesemaian

24 hss: hari setelah semai; hst: hari setelah tanam

Modernisasi Irigasi PU
144

Periode ini merupakan awal pertumbuhan yang mencakup tahap


perkecambahan benih serta perkembangan radicle (akar muda) dan
plume (daun muda). Selama periode ini air yang dikonsumsi sedikit sekali.
Apabila benih tergenang cukup dalam pada waktu cukup lama sepanjang
periode perkecambahan, maka pertumbuhan radicle akan terganggu
karena kekurangan oksigen. Areal pesemaian umumnya antara 2%-10%
dari areal tanam. Lama pertumbuhan antara 20-25 hari. Jumlah keperluan
air di pesemaian kurang lebih sama dengan penyiapan lahan. Sehingga
keperluan air untuk pesemaian biasanya disatukan dengan keperluan air
untuk pengolahan tanah.

Pertumbuhan vegetatif
Periode ini merupakan periode berikutnya setelah tanam (transplanting)
yang mencakup (a) tahap pemulihan dan pertumbuhan akar (0-10 hst),
(b) tahap pertumbuhan anakan maksimum (10-50 hst), dan (c) pertunasan
efektif dan pertunasan tidak efektif (35-45 hst). Selama periode ini akan
terjadi pertumbuhan jumlah anakan. Segera setelah tanam, kelembaban
yang cukup diperlukan untuk perkembangan akar-akar baru. Kekeringan
yang terjadi pada peiode ini akan menyebabkan pertumbuhan yang jelek
dan hambatan pertumbuhan anakan sehingga mengakibatkan penurunan
hasil.

Pada tahap berikutnya setelah tahap pertumbuhan akar, genangan dangkal


diperlukan selama periode vegetatif ini. Beberapa kali pengeringan (drainase)
membantu pertumbuhan anakan dan juga merangsang perkembangan
sistem akar untuk berpenetrasi ke lapisan tanah bagian bawah. Fungsi
respirasi akar pada periode ini sangat tinggi sehingga ketersediaan udara
(aerasi) dalam tanah dengan cara drainase (pengeringan lahan) diperlukan
untuk menunjang pertumbuhan akar yang mantap. Selain itu drainase juga
membantu menghambat pertumbuhan anakan tak efektif (non-effective
tillers).

Periode reproduktif (generatif)


Periode ini mengikuti periode anakan maksimum dan mencakup tahap
perkembangan awal malai (panicle primordia) (40-50 hst), masa bunting
(50-60 hst), pembentukan bunga (60-80 hst). Situasi ini dicirikan dengan
pembentukan dan pertumbuhan malai. Pada sebagian besar periode

Modernisasi Irigasi PU
145

ini dikonsumsi banyak air. Kekeringan yang terjadi pada periode ini akan
menyebabkan beberapa kerusakan yang disebabkan oleh terganggunya
pembentukan panicle, pembungaan dan fertilisasi yang berakibat pada
peningkatan sterilitas sehingga mengurangi hasil.

Periode pematangan
Periode ini merupakan periode terakhir dimana termasuk tahapan
pembentukan susu (80-90 hst) (milky), pembentukan pasta (90-100 hst)
(dough), matang kuning (100-110 hst) dan matang penuh (110-120 hst).
Selama periode ini sedikit air diperlukan dan secara berangsur-angsur
sampai sama sekali tidak diperlukan air sesudah periode matang kuning.
Selama periode ini drainase perlu dilakukan, akan tetapi pengeringan yang
telalu awal akan mengakibatkan bertambahnya gabah hampa dan beras
pecah, sedangkan pengeringan yang terlambat mengakibatkan kondisi
kondusif tanaman rebah.

Keperluan air irigasi di pintu tersier dan di bendung


Perhitungan KAI di atas adalah merupakan kebutuhan air netto tanaman di
lahan. Keperluan air irigasi di beberapa tingkatan dikoreksi dengan besarnya
efisiensi irigasi yang terjadi.
a. Keperluan air irigasi di petakan sawah = KAI/Efisiensi pemakaian air
(%)

b. Keperluan air irigasi di Pintu Tersier = Keperluan air irigasi di petakan


sawah/Efisiensi penyaluran air di petak tersier (%)

c. Keperluan air irigasi di Pintu Sekunder = Keperluan air irigasi di Pintu


Tersier/Efisiensi penyaluran air di jaringan sekunder (%)

d. Keperluan air irigasi di Bendung = Keperluan air irigasi di Pintu


Sekunder/Efisiensi penyaluran air di jaringan primer (%)

Dalam modernisasi perhitungan kebutuhan air setiap periode operasi (1-3


harian) dinyatakan dengan Gambar 9.13.

Modernisasi Irigasi PU
146

Gambar 9.13 Alir informasi dari lapang ke pusat operasional


pengelolaan air (OMIS ver 7.00)

9.3.3. Pembagian dan pemberian air

9.3.3.1. Pembagian air di jaringan utama

Sistem pembagian dan pemberian air pada irigasi konvensional tergantung


ketersediaan air di intake (on supply) kemudian diatur, dibagi dan diukur
untuk bisa sampai ke petak sawah. Pembagian air dilakukan setiap 10 hari
atau 15 hari tergantung wilayah pengelolaan irigasi. Dasar pembagian dan
pemberian air dari ketetapan pengamat atau pengelola irigasi kabupaten
setelah mengevaluasi debit rata-rata dalam 10 hari atau 15 hari dibandingkan
debit kebutuhan tanaman untuk sejumlah intake tersier, bangunan bagi
sekunder atau intake primer. Hasil perbandingan tersebut berupa faktor K
atau faktor polowijo relatif, kemudian ditetapkan untuk 10 hari atau 15 hari
mendatang. Tujuan pembagian dan pemberian air adalah on supply untuk
dibagi merata sesuai kebutuhan tanaman untuk seluruh daerah irigasi.
Apabila jumlah air tidak cukup, maka diambil tindakan berupa aturan giliran.
Metoda ini mempunyai kendala apabila air tidak cukup (menjelang musim
kemarau/betatan), aturan giliran tidak tegas, petani membutuhkan air, maka

Modernisasi Irigasi PU
147

akan timbul rebutan air dan berlanjut kerusakan pintu air atau pembobolan
saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier.

Sistem pembagian dan pemberian air pada irigasi modern didasarkan


kebutuhan air (on demand), pembagian dan pemberian air berdasarkan
kebutuhan tanaman yang berorientasi pelayanan (Service Oriented
Management, SOM). Pembagian dan pemberian air tidak kaku setiap 10 hari
atau 15 hari dialiri air sesuai ketersediaan air, tetapi setiap saat, setiap hari
atau setiap 3 hari air diatur bagi kebutuhan pelayanan air untuk tanaman di
lapangan. Ketersediaan air guna mencukupi kebutuhan pelayanan air untuk
petani dan lainnya, maka pada irigasi modern dilakukan untuk tanaman padi
cara intermittent atau PTT atau irigasi dangkal. Ketersediaan air yang cukup
dilakukan pembangunan waduk besar atau waduk kecil di lapangan untuk
suplesi jaringan irigasi. Atau dibangun pompa air tanah atau pompa air sungai
kemudian dibuat conjungtive use. Dan dapat juga dengan lining saluran
induk, sekunder, tanggul saluran dipertinggi dengan irigasi downstream
control. Untuk daerah irigasi atau lapangan yang telah menerapkan irigasi
hemat air (misalnya SRI, PTT atau genangan dangkal kontinyu), sistem yang
diterapkan adalah Demand Oriented System. Hasil pelayanan penyaluran
air yang nyata ke unit satuan lahan atau sawah adalah:
a. Pengukuran volume air ke unit satuan lahan harus baik, alat ukur
dioperasikan dengan tepat dan tercatat.

b. Kemudahan (fleksibilitas) tidak terbatas baik frekuensi, debit dan lamanya


aliran dan pengguna air dapat mengatur dalam beberapa hari.

c. Kepastian aliran (reliability) untuk setiap satuan lahan, dimana air selalu
tiba dengan frekuensi, debit aliran, dan lamanya dapat dipastikan,
volumenya diketahui.

d. Keadilan penyaluran air ke setiap unit lahan (equity), semua petak lahan
di daerah irigasi ini dan di setiap petak tersier menerima pelayanan
penyaluran air yang sama.

Guna lebih memudahkan pembagian dan pemberian air, harus ada


perencanaan rancangan tata tanam global untuk satu tahun dan khusus
untuk tanaman padi sistem golongan diterapkan secara menyeluruh dan
konsisten.

Modernisasi Irigasi PU
148

Pengaturan dan pemberian air diatur oleh program komputer dan dikirim
setelah mendapatkan/mengevaluasi data hidrometeorologi/ debit, muka air,
kebutuhan air untuk tanaman, hujan/perkolasi dari sebanyak mungkin fasilitas
sistem, data real-time dan petugas (personalia) yang tersedia. Tampilan dari
simulasi komputer mengolah data, mudah dipahami dengan menggunakan
tabel, grafik, gambar dan kode warna sehingga memudahkan untuk
mengambil keputusan dalam rangka pembagian dan pemberian air. Hasil
simulasi mungkin perlu penyesuaian antara rancangan satu tahun dengan
keadaan saat itu. Perhitungan pembagian dan pemberian air dilakukan oleh
pusat komputer. Kemudian dikirim ke pengamat pengairan, dan ke juru
pengairan untuk dirinci per tersier dan dilaksanakan oleh PPA dengan remote
kontrol pada setiap pintu (setiap pintu besar dipasang microprocessor) dan
power dan petugas pintu manual setiap sadap tersier.

Cara alokasi air ke petak tersier terdiri dari tiga hal yang tergantung pada
kebijakan pemberian air sebagai berikut:

(1) Pasok Diatur (Arranged Supply): dinas irigasi menentukan debit


pemberian air irigasi ke petak tersier berdasarkan dugaan jumlah
air yang diperlukan tanaman, atau berdasarkan ketersediaan air di
bendung. Sistem kendali aliran air biasa disebut dengan kendali hulu
atau “upstream control”. Suatu rencana operasional harus dibuat
sebelumnya. Rencana tersebut terdiri dari: (a) Tanggal mulai dan ahir
musim tanam, (b) waktu pengeringan saluran untuk pemeliharaan, (c)
jumlah distribusi air, (d) jadwal pemberian air ke masing-masing petak
tersier, (e) pola tanam yang disarankan.
(2) Semi-demand supply: Dinas irigasi menentukan pemberian air ke
petak tersier berdasarkan pada permohonan awal dari pengguna air.
Sejumlah air dilepas dari bendung dan didistribusikan ke jaringan irigasi
berdasarkan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya. Waktu respon
akan menentukan keterlambatan antara permintaan dengan pemberian.
Sistem kendali aliran air biasanya “upstream control”. Permintaan
jumlah air dari setiap petak tersier dihitung dan dibandingkan dengan
ketersediaan air, dan aktual alokasi diputuskan oleh pengelola, sehingga
akan ada waktu tenggang (time lag).
(3) On-demand supply: pengguna air menentukan jumlah air ke petak
tersier, dan akan menerima pasok segera setelah permohonan diajukan

Modernisasi Irigasi PU
149

ke Petugas Irigasi. Petugas pintu air akan membuka pintu sadap tersier
setiap saat (frekuensi fleksibel), menerima debit kecil atau besar sesuai
permintaan (debit fleksibel), dan mengalirkan air selama dibutuhkan
(lama irigasi fleksibel). Sistem distribusi air di jaringan utama harus
bersifat pengaturan sendiri (self regulating), seperti pada “downstream
control”.

Upstream Water Control (UWC)


Sistem kendali hulu (upstream water control) adalah sistem kendali aliran
dimana suatu regulator akan mempertahankan muka air konstan di bagian
hulu (Gambar 9.14). Sistem ini dioperasikan berdasarkan jadwal yang
telah ditetapkan. Debit di setiap sadap tersier harus sudah ditentukan,
dijumlahkan dan dimasukkan faktor efisiensi penyaluran untuk menghitung
debit di sekunder dan di primer. Jika terjadi perubahan debit di bendung,
maka perubahan debit akan bergerak ke arah hilir secara bertahap dalam
waktu yang cukup lama.

Downstream Water Control (DWC)


Pada DWC muka air sebelah hilir regulator dipertahankan konstan sehingga
biasa disebut “downstream water level control” (Gambar 9.15). Debit pada
setiap regulator muka air secara otomatik disesuaikan dengan akumulasi
kebutuhan air irigasi di sebelah hilir. Kendali hilir (downstream control)
dipasang di saluran primer atau sekunder, tidak di sistem tersier. Kendali
hilir biasanya dipakai untuk “on demand supply” di petak tersier. Jika
kapasitas dan simpanan saluran cukup besar, ada kemungkinan petak
tersier mengambil air lebih banyak tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Akan
tetapi perlu dicek supaya kapasitas saluran tidak terlampaui. Prosedur pasok
air lebih sederhana dan lebih andal (reliable) daripada upstream control,
karena secara otomatik sistem akan tanggap pada perubahan debit di petak
tersier.

Pada downstream control diperlukan “level top canals” dengan tanggul


horisontal antar ruas regulator untuk fasilitas debit nol. Kapasitas saluran
harus cukup besar mengakomodir volume yang besar berkaitan dengan
muka air pada debit nol yang berada di atas muka air pada debit maksimum.
Pengguna air dapat memutuskan frekuensi, debit dan lama penggunaan
air irigasi. Hal ini membuat Dinas Irigasi lebih mudah, dan petani dapat
memanfaatkan air lebih baik di petakan sawah. Perbandingan keuntungan

Modernisasi Irigasi PU
150

dan kerugian pada sistem kendali hulu dan hilir dinyatakan pada Tabel 9.4.

Tabel 9.4 Perbandingan keuntungan dan kerugian pada sistem


kendali hulu dan hilir25
No Upstream Control Downstream Control
1 Pengelolaan Air harus dikendalikan oleh “water Kebutuhan air akan dipenuhi
operator center” dimana instruksi bukaan pintu sepanjang debit di bendung tersedia
diberikan ke setiap regulator, berdasarkan
ketersediaan air dan kebutuhan air
2 Pengetahuan sebelumnya tentang pola tanam dan Pengetahuan sebelumnya tentang
kebutuhan air diperlukan untuk mendapat distribusi pola tanam dan kebutuhan air, tidak
air yang tepat waktu diperlukan
3 Pengukur debit dan pengatur debit diperlukan untuk Pengukur debit tidak diperlukan.
mendistribusikan air dari bendung sampai ke sadap Parameter yang dikendalikan adalah
tersier elevasi muka air
4 Pasok air yang diperlukan hanya tersedia secara Debit yang diinginkan cepat segera
bertahap dan selalu berkurang tersedia sesuai kebutuhan
5 Pengguna air sebelah hulu akan lebih diuntungkan Pada waktu kekurangan air,
daripada pengguna hilir, pada waktu terjadi pengguna sebelah hilir masih
kekurangan air diuntungkan
6 Aliran super kritis (misal bangunan terjun) dalam Aliran super kritis (misal bangunan
ruas saluran antar regulator masih diijinkan terjun) dalam ruas saluran antar
regulator tidak diijinkan. Hanya
diijinkan pada regulator saja
7 Bangunan terjun dapat dipilih dikombinasikan Bangunan terjun hanya mungkin
dengan regulator pada regulator
8 Tidak ada pembatas kemiringan dasar saluran Kemiringan saluran harus cukup kecil
untuk manampung “wedge storage”
untuk pasok air seketika, biasanya <
0,3 permil

25 Sumber: Ankum, P. 1991. Flow Control in Irrigation Systems. International Institute for
Hydraulic and Environmental Engineering, Delft, The Netherlands.

Modernisasi Irigasi PU
151

Gambar 9.14 Upstream Control

Modernisasi Irigasi PU
152

Gambar 9.15 Downstream Control

9.3.3.2. Metoda penggunaan air pada padi sawah


Terdapat dua metoda pemberian air untuk padi sawah yakni: (a) Genangan
terus-menerus (continuous submergence) yakni sawah digenangi terus
menerus sejak tanam sampai panen; (b) Irigasi terputus atau berkala
(intermittent irrigation) yakni sawah digenangi dan dikeringkan berselang-
seling. Permukaan tanah diijinkan kering pada saat irigasi diberikan.
Keuntungan dan kerugian irigasi berkala adalah sebagai berikut: (a)
menciptakan aerasi tanah, sehingga mencegah pembentukan racun dalam
tanah, dan merangsang pertumbuhan akar optimum; (b) menghemat air

Modernisasi Irigasi PU
153

irigasi; (c) mengurangi masalah drainase; (d) mengurangi emisi metan26,;


(e) operasional irigasi lebih susah. Keuntungan irigasi kontinyu adalah: (a)
tidak memerlukan kontrol yang ketat; (b) pengendalian gulma lebih murah;
(c) operasional irigasi lebih mudah. Perhitungan interval waktu irigasi padi
sawah dengan pemberian air secara berkala dihitung dengan persamaan
/5/.

/5/

n: interval/selang irigasi (hari), BA: Batas atas genangan (mm), BB: Batas
bawah genangan (mm), ETc max: Maksimum evapotranspirasi (mm/hari),
Per: Perkolasi (mm/hari), Re: hujan efektif (untuk tingkat pengamanan dapat
diasumsikan nol).

Metoda pemberian air pada non-padi


Untuk tanaman non-padi sawah kondisi tanah dalam keadaan kering,
maka air irigasi harus diberikan dengan debit besar27 supaya air menyebar
seragam dalam waktu yang singkat ke seluruh petakan, sehingga efisiensi
pemakaian air (application efficiency) menjadi cukup besar. Umumnya untuk
tanaman palawija air irigasi diberikan lewat permukaan dengan metoda alur
(furrow irrigation) atau guludan. Perhitungan interval waktu irigasi non-padi
dihitung dengan persamaan /6/.

/6/

RAM: Lengas tanah segera tersedia (ready available moisture) (mm), p:


faktor deplesi, TAM: Total lengas tanah tersedia (total available moisture)
(mm) = {Kapasitas Lapang (% vol) - Titik Layu (% vol)} x Kedalaman akar
(mm), ETc max: evapotranspirasi maksimum (mm/hari).

Besarnya faktor deplesi (p) tergantung pada tingkat kepekaan tanaman


terhadap kekeringan. Umumnya nilai p sayuran lebih kecil dari tanaman
palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau).

26 Penelitian di Taiwan: emisi metan pada genangan kontinyu (28.85±3.25 g/m2; rerata
laju emisi 9.54±1.07 mg m-2 h-1) lebih besar daripada intermittent (rerata 15.27±1.46 g/
m2; rerata laju emisi 5.39±0.56 mg m-2 h-1).
27 Biasanya sekitar 5-10 liter/detik

Modernisasi Irigasi PU
154

Penggunaan air dalam irigasi konvensional


Penggunaan air dalam sistem irigasi konvensional, pada umumnya boros
utamanya penggunaan air untuk tanam padi. Penggunaan air di sawah/
bersih (netto) adalah air untuk evapotranspirasi, perkolasi, penggantian
lapisan air, curah hujan efektif sebagai pengurang kebutuhan air. Selain itu
ada kebutuhan air untuk menghambat pertumbuhan gulma setinggi 3 cm
sampai 5 cm saat padi setelah tanaman 4 hari sampai 30 hari. Kemudian
setelah padi umur 35 hari sampai 7 hari sebelum panen air genangan setinggi
5 sampai 10 cm, hanya ada pengeringan 5 hari saat padi umur 50 sampai 55
hari. Penggunaan air lainnya adalah kehilangan air di lapangan tergantung
struktur dan jenis tanah.

Penggunaan air pada irigasi modern


Pada pengelolaan irigasi sistem modern, diharapkan penggunaan air efisien,
hemat air, sedikit mungkin air terpakai perkolasi, tetapi air terpakai hanya
untuk consumtive use saat periode vegetatif. Tujuan menciptakan aerasi
yang baik di daerah perakaran sehingga merangsang pertumbuhan akar
yang kuat. Pada periode anakan sawah lebih baik dikeringkan supaya jumlah
anakan lebih banyak. Pada periode pembungaan dan periode pengisian
bulir sampai masak susu, sawah diairi terus menerus dipertahankan macak-
macak sebesar 0-5 mm. Fase ini tanaman padi sangat peka terhadap
kekurangan air.

Implementasinya pengelolaan irigasi dilakukan dengan sistem intermittent


dan konsep pengelolaan tanaman terpadu. Air irigasi diberikan secara
berkala melalui parit kecil (caren) di petakan sawah, dengan batas atas
genangan 3 cm dan batas bawah pada kondisi tanah retak rambut yakni
kadar air antara kapasitas lapang dengan kapasitas jenuh. Selang irigasi
dihitung dengan jumlah air batas atas dan batas bawah dibagi dengan
besarnya Evapotranspirasi Maksimum Tanaman+Perkolasi. Ternyata untuk
musim kemarau (MK) pemberian air 5 hari sekali selama 24 jam dan musim
hujan (MH) pemberian air 7 hari sekali. Sistem pemberian air seperti ini dapat
dilakukan dengan cara rotasi antar kwarter. Besarnya pemberian air setinggi
20 mm dimanfaatkan untuk melaksanakan penyiangan dengan menggunakan
alat penyiang landuk atau grendul. Penggunaan air bruto irigasi padi di intake
adalah kebutuhan air (netto) di sawah ditambah kehilangan air di intake.

Modernisasi Irigasi PU
155

Dengan demikian periode operasi irigasi real time (1-3 hari) diterapkan pada
jaringan primer dan sekunder sampai ke pintu sadap tersier. Sedangkan
selang (interval) irigasi diterapkan di dalam tersier sampai ke petak sawah
petani.

9.3.4. Monitoring kehilangan air


Perkiraan kehilangan air di saluran, selama ini diasumsikan sebagai
berikut:
• Kehilangan air di tersier sebesar 20%, efisiensi = 80%
• Kehilangan air di sekunder sebesar 10%, efisiensi = 90%
• Kehilangan air di primer sebesar 10%, efisiensi = 90%
• Efisiensi total = 0,8 x 0,9 x 0,9 = 0,64 = 64%

Perkiraan seperti itu diterapakan di seluruh daerah irigasi di sepanjang


waktu operasi irigasi. Hal ini akan menimbulkan ketidakcermatan dalam
menghitung penyediaan air di pintu pengambilan. Seharusnya kehilangan
air di saluran dilakukan pengamatan seperti yang tertulis pada sub Bab
7.5. tentang kehilangan air. Berdasar kehilangan air ini dihitung kembali
efisiensi irigasi yang akan dipakai untuk operasional irigasi di masa datang.
Disamping itu dapat dipakai sebagai masukan perbaikan bangunan atau
saluran untuk menekan kehilangan air.

Monitoring kehilangan air di sawah kita sebut perkolasi, berpengaruh sekali


pada saat kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pada sistem irigasi
konvensional atau irigasi modern. Pada pertumbuhan tanaman padi vegetatif,
fase peranakan, fase pembungaan sampai pengisian bulir perkolasi terjadi.
Monitoring kehilangan air di saluran dilakukan setiap tahun atau setiap musim
(setahun dua kali), tujuan untuk memperkecil bocoran setelah mengetahui
sebab-sebabnya.

9.3.5. Bukaan pintu


Pada sistem jaringan irigasi dengan pengelolaan konvensional, masalah
membuka dan menutup pintu sudah ada pedomannya. Untuk pintu-pintu
intake tersier dibuka/diatur bukaannya sesuai debit air yang ditetapkan setiap
10 hari atau 15 hari sekali, demikian pula pintu-pintu pada bangunan pengatur
dan pembagi. Khusus untuk pintu intake saluran induk dibuka penuh sesuai
elevasi muka air di bendung setiap hari, tetapi saat terjadi banjir pintu ditutup

Modernisasi Irigasi PU
156

sebagian besar guna menghindari waled atau sedimen akibat banjir masuk
saluran. Kemudian pintu flushing bendung dibuka setelah banjir rendah,
guna menggelontor waled atau sedimen di muka intake saluran.

Kendala terjadi kalau banjir tengah malam secara mendadak dan petugas
pintu air jauh dari bendung, maka terjadi keterlambatan tutup pintu intake
saluran induk yang berakibat sedimen masuk saluran. Akibat sedimen
masuk saluran terjadilah masalah bergulir, pertama saluran induk dangkal,
kapasitas saluran berkurang utamanya saat musim kemarau, sehingga
ada sawah yang tidak dapat air. Petani dirugikan, petani berebut air, petani
merusak saluran dan bangunan air.

Pada sistem modernisasi pengelolaan irigasi, dengan buka tutup pintu setiap
saat yang dikendalikan dari ruang operasi utama, maka kejadian sedimen
masuk saluran tidak terjadi, sebab:

(a) Sistem mampu menjembatani operasional bangunan kontrol penting


(pintu-pintu utama), dan lewat sensor muka air dan alat hidrometeorologi
kemudian mentransmisikan data ke komputer pusat di ruang operasi
utama;

(b) Pintu utama buka tutup secara elektrik dengan dikontrol oleh
mikroprosesor dengan komputer yang tenaga listriknya didapat dari PLN
atau tenaga solar cell;

(c) Sistem mensimulasikan kinerja sistem irigasi dengan beberapa skenario,


maka diambil/didapat strategi keputusan sebelum kejadian. Berarti pintu-
pintu bangunan bagi dan sadap tersier dan pintu-pintu utama drainase
buka tutupnya berdasar keputusan setelah diolah oleh komputer, bisa
setiap hari, bisa tiga hari sekali;

(d) Setiap pintu-pintu utama di bangunan bagi atau sadap ada petugas
pintu air yang mengoperasikan/menjaga operasi pintu dan tetap Juru
Pengairan bertanggung jawab pelaksanaannya atas perintah dari pusat
ruang operasi komputer.

9.3.6. Pelaksanaan operasi

Pada pelaksanaan operasi irigasi konvensional berdasarkan irigasi on


supply atau irigasi pasok air berdasar persediaan air di sungai dengan tujuan

Modernisasi Irigasi PU
157

pengelolaan air untuk menyelamatkan tanaman dari kekurangan air apabila


tidak ada hujan. Pelaksanaan pengaturan, pembagian pengukuran debit air
untuk diberikan ke sawah secara merata ke seluruh areal. Tanaman yang
diutamakan adalah padi sebagai dasar ketahanan pangan.

Cara pelaksanaannya dengan diawali rancangan Rencana Tata Tanam


Global Tahunan yang dibuat oleh staf operasi Kantor Irigasi Kabupaten dan
dibantu oleh pengamat yang terkait. Kenyataan Rencana Tata Tanam Global
ini dibuat sekali tanpa ada perubahan yang ditandatangani oleh Kepala Dinas
Irigasi Kabupaten dan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten dan ditetapkan
oleh Bupati untuk dilaksanakan. Komisi irigasi tidak melakukan rapat-
rapat khusus, tetapi diajak musyawarah saat rapat bulanan di Kabupaten.
Pelaksanaan operasi irigasi untuk membagi air irigasi yang ada, berdasar
laporan debit harian yang dilaporkan oleh juru setiap 10 hari/15 hari,
kemudian mengevaluasi laporan tanaman dari juru pengairan per tersier
(sistem hidrologi) dengan menghitung kebutuhan air yang dikonversi dengan
Luas Polowijo Relatip (LPR), maka diketahui Faktor Polowijo Relatip (FPR).
Dari nilai FPR yang diketahui, maka dirumuskan nilai FPR mendatang. Atau
nilai FPR diganti Pasten atau untuk Jawa Barat diganti faktor K. Apabila nilai
FPR atau Pasten atau K lebih kecil dari keadaan normal maka diadakan
aturan gilir pembagian air. Pembagian dan pemberian air semacam ini tidak
akurat, tidak sesuai kebutuhan tanaman, utamanya saat musim kemarau, air
dibagi apa adanya.

Kendala dan kelemahan sistem tersebut adalah:

a. Perhitungan neraca air kurang akurat

b. Operasional pintu terlalu lama sehingga tidak respon terhadap


perubahan yang terjadi. Disamping itu kedisiplinan operasional pintu
belum optimal.

c. Air yang dialirkan ke petak sawah cenderung boros

d. Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan masih cukup
besar

e. Rencana Tata Tanam tidak diimplementasikan dengan konsisten

f. Sebagian besar petani kurang puas dengan kinerja pelayanan

Modernisasi Irigasi PU
158

Dalam modernisasi irigasi dimana harus dapat diwujudkan tingkat layanan


seperti tertuang pada Tabel 9.1 (Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada
modernisasi irigasi), operasional irigasi akan disempurnakan dengan empat
tahapan yakni: (a) pembacaan data secra cepat dan tepat, (b) transfer
data dengan sistem telemetri, (c) komputerisasi perhitungan neraca air dan
pembagian serta pemberian air, dilengkapi dengan tayangan di monitor, (d)
perintah bukaan pintu dengan link computer.

Keuntungan dari sistem ini adalah:


a. Perhitungan neraca air akurat karena dilakukan real time (1-3 hari)
b. Operasional pintu lebih respon terhadap perubahan yang terjadi.
Disamping itu kedisiplinan operasional pintu lebih dapat terjamin
c. Air yang dialirkan ke petak sawah lebih hemat karena dihitung berdasarkan
kebutuhan tanaman pada sehari sebelumnya
d. Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan relatif kecil,
karena kehilangan air diamati setiap tahun dan ditindak-lanjuti dengan
perbaikan
e. Rencana Tata Tanam diimplementasikan dengan konsisten, karena
penyediaan air lebih terjamin dan pemeriksaan tata-tanam lebih intensif
f. Sebagian besar petani merasa puas dengan kinerja pelayanan irigasi dan
bersedia membayar IPAIR

9.3.7. Blangko operasi


Bentuk blangko operasi irigasi pada beberapa provinsi tidak sama, dengan
prosedur laporan periodik sepuluh harian atau mingguan. Blangko operasi
diawali laporan oleh juru pengairan dihimpun tiap petak tersier kemudian
dilaporkan ke pengamat pengairan, dihimpun dan dievaluasi tiap sistem
irigasi atau sistem hidrologi sewilayah pengamat. Hasil laporan dari pengamat
dilaporkan ke Dinas Irigasi Kabupaten/Kota dihimpun dan dievaluasi tiap
sistem irigasi sewilayah masing-masing daerah irigasi. Blangko-blangko
diisi secara manual dan dikirim oleh juru saat rapat periodik dan pengamat
mengisi blangko juga cara manual dan dikirim ke Dinas Irigasi Kabupaten
saat rapat bulanan. Blangko-blangko laporan kemudian dikondisikan dengan
kewenangan pengelolaan daerah irigasi yang bersangkutan yaitu daerah
irigasi kewenangan Pemerintah Pusat. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Blangko operasi yang dibuat sebagai Lampiran Peraturan

Modernisasi Irigasi PU
159

Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi


Pemeliharaan Jaringan Irigasi perlu ditambahkan kolom-kolom lokasi areal
sawah berada di tersier mana. Hal ini untuk menyempurnakan sistem
pembagian dan pemberian air berada pada satu sistem hidrologi. Jenis
blangko operasi sebanyak empat belas (14) jenis yang harus diisi rutin.
Kendalanya laporan blangko sering terlambat.

Pada pengelolaan irigasi modern, pengisian blangko berkurang karena data


lapangan yang menggunakan alat sensor dan transmiter mengirim secara
otomatis ke pusat komputer. Tetapi data kondisi tanaman dan debit di sadap
tersier dicatat dan dihimpun lewat blangko atas dasar komunikasi handphone
dari P3A kepada Juru Pengairan. Data tersebut dikirim ke pusat komputer
lewat link komputer, atau lewat handphone serta SMS pada saat komputer
macet.

Pada sistem irigasi modern, Sistem Informasi Managemen (SIM) dengan


pangkalan komputer, dengan tenaga dan kapasitas yang besar, berarti
efektif penggunaan SIM, maka akan ada penghematan dalam waktu dan
biaya. Jaringan kerja dengan fasilitas komunikasi dan transmisi data yang
murah memungkinkan untuk mengelola, mengintegrasikan database
dan meningkatkan proses komunikasi. Meskipun SIM dengan komputer
memberikan fleksibilitas dan cakupan yang sangat besar, ketidak-adaan
fasilitas komputer (misal rusak) tidak boleh menghambat pelaksanaan SIM,
dapat dikerjakan kembali secara manual. Blangko-blangko tetap harus siaga
dan akan digunakan apabila fasilitas komputer rusak.

Terkait khusus dengan produktivitas air yang harus dilaporkan, maka selain
luas tanam, data lain yang harus diukur adalah luas panen dan ubinan (ton
GKP/ha) yang didapat bekerja sama dengan Mantri Pertanian. Disamping itu
perlu didata luas lahan yang puso (kekeringan) dan gagal panen karena banjir.
Untuk itu perlu disiapkan kolom khusus pada blangko yang bersangkutan.

9.3.8. Monitoring dan evaluasi


Pada sistem irigasi konvensional, sistem monitoring dan evaluasi mengalami
kelambatan karena dari membaca blangko-blangko yang dilaporkan
cara manual dan dikirim dengan kurir, kemudian disimpulkan. Monitoring
pelaksanaan operasi dilakukan dengan menggunakan daftar simak bagan
di blangko operasi. Blangko operasi yang ada sebagai Lampiran Peraturan

Modernisasi Irigasi PU
160

Menteri PU Nomor 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi Pemeliharaan


Jaringan Irigasi perlu ditambahkan kolom-kolom lokasi areal sawah berada
di tersier mana. Hal ini untuk menyempurnakan sistem pembagian dan
pemberian air berada pada satu sistem hidrologi. Kemudian blangko tersebut
dikondisikan dengan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Blangko operasi irigasi yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Timur berdasar
Luas Polowijo Relatip sebagai satuan kebutuhan air (pengganti pasten) juga
dapat dipakai. Blangko-blangko operasi irigasi yang diisi oleh Juru Pengairan
dan Pengamat Pengairan setiap 10 hari/15 hari diisi adalah sebagai data
monitoring, meliputi data curah hujan, data pengukuran debit (bangunan
ukur tersier, bangunan bagi sekunder dan bangunan intake saluran induk),
data pengukuran debit di bendung (pagi, siang dan sore), data luas tanaman
(padi, polowijo, tebu dan lainnya), data hasil ubinan, data kerusakan tanaman,
dan data perijinan tanaman/data permintaan tanam padi gadu.

Evaluasi operasi irigasi berasal dari blangko-blangko yang diisi oleh


pengamat pengairan dikirim ke Dinas Irigasi Kabupaten/Kota, kemudian
dihimpun menjadi laporan data setiap daerah irigasi, merupakan suatu hasil
evaluasi monitoring. Terutama laporan keadaan irigasi yang menggambarkan
perhitungan penetapan Faktor Polowijo Relatip untuk Jawa Timur, atau
penetapan faktor K untuk selain Jawa Timur merupakan hasil evaluasi
keadaan kecukupan air/pembagian/pemberian air berdasar irigasi on supply.
Lampiran hasil ubinan, laporan hujan, laporan debit dan laporan tanaman
selama satu tahun juga merupakan hasil evaluasi operasi irigasi.

Tetapi untuk sistem irigasi modern, monitoring dan evaluasi cepat tersedia
setiap saat karena sudah diproses oleh komputer dan disimpan untuk
sewaktu-waktu ditayangkan berupa tabel, grafik, peta dan kode warna yang
memudahkan untuk dievaluasi oleh pengambil keputusan. Hasil evaluasi
selain dikirim pada pengelola irigasi setempat, juga setiap bulan sebagai
rekapitulasi monitoring dan evaluasi dikirim ke institusi irigasi propinsi,
institusi irigasi pemerintah atau BWS/BBWS. Evaluasi diperoleh dari proses
monitoring. Tampilan yang diperlukan evaluasi adalah:

(a) Kinerja pertanian


Teknik produksi, panen, metode irigasi yang memadai, manajemen
pertanian dan hasil ekonomi, efisiensi penggunaan air di lapangan.

Modernisasi Irigasi PU
161

(b) Kinerja pengelolaan air


Kehilangan air (phisik), efisiensi penggunaan air ke seluruh areal irigasi,
perkolasi dalam (deep percolation), rembesan pada saluran kehilangan
air (operasional), skedul penyaluran air yang memadai.

9.4. Pemeliharaan

9.4.1. Jenis pemeliharaan


Pada jaringan irigasi pada umumnya, maupun pada jaringan irigasi modern,
jenis pemeliharaan untuk bangunan dan saluran sama saja. Tingkat
pemeliharaan pencegahan (rutin dan berkala), biasanya dikerjakan dengan
swakelola, demikian pula peralatan mesin, peralatan elektronik dimonitor,
jangan sampai rusak. Pemeliharaan penanggulangan/pemeliharaan darurat
yang dikerjakan bergotong-royong antara pemerintah dan masyarakat.

Pemeliharaan berat atau rehabilitasi, yang dikontrakkan.

Kendala pada pemeliharaan adalah mutu pemeliharaan atau mutu saat


pembangunan awal yang baik akan berumur panjang, sedangkan mutu
yang kurang akan berumur pendek dan membutuhkan pemeliharaan yang
mahal.

Perbedaan pada sistem irigasi modern adalah pemeliharaan peralatan


elektronik/komputer, peralatan komunikasi, peralatan jarak jauh, hubungan
radio, monitor jarak jauh dan bangunan fasilitas lain.

9.4.2. Penelusuran saluran


Pada sistem jaringan irigasi umumnya atau sistem jaringan irigasi modern,
penelusuran saluran yang dilakukan bersama dengan P3A untuk mengetahui
kerusakan bangunan dan saluran tetap sama dilakukan. Juru pengairan
setiap saat melakukan penelusuran saluran, apabila ditemukan kerusakan
maka juru pengairan membuat laporan kerusakan dan dilaporkan ke
atasannya setiap 10 hari/15 hari. Apabila ada kerusakan bocor, pemeriksaan
dilakukan saat berfungsi, bersama-sama Kepala Seksi Pemeliharaan Dinas
Irigasi Kabupaten. Apabila kerusakan pada pondasi/dasar bangunan/dasar
saluran, maka pemeriksaannya dilakukan saat pengeringan. Kendala yang
terjadi adalah keterlambatan juru pengairan mengetahui kerusakan, karena

Modernisasi Irigasi PU
162

tidak tersedianya sepeda motor untuk menelusuri saluran. Pada sistem


irigasi modern, penelusuran untuk mengetahui kerusakan rutin dilakukan
dan segera diambil tindakan pemeliharaan. Di samping itu juga sebagai
masukan rencana pemeliharaan tahun berikutnya.

9.4.3. Pengelolaan aset irigasi


Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 67 ayat (2)
(5), inventarisasi jaringan irigasi dilaksanakan setahun sekali, inventarisasi
pendukung irigasi dilaksanakan lima tahun sekali. Menteri, Gubernur
atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi
pelaksanaan pengelolaan aset irigasi setiap tahun. Evaluasi pelaksanaan
pengelolaan aset irigasi dilakukan untuk mengkaji ulang kesesuaian antara
rencana dan pelaksanaan pengelolaan aset irigasi. Evaluasi dilakukan
secara luas dari keseluruhan jaringan irigasi, misalnya hasil kerja yang
buruk termaksud adalah disebabkan karena keadaan dana yang tidak
mencukupi untuk operasi dan pemeliharaan, sehingga keuntungan nya
kurang mencukupi, atau karena pengaruh ekonomi luar, pengaruh sosial
atau karena pengaruh lingkungan.

Beberapa hal yang harus disebutkan di dalam kajian adalah:


(a) Dokumentasi pencatatan biaya pembangunan dan perkiraan hasilnya
(b) Cukup tidaknya hasil pembangunan dibanding biaya operasi dan
pemeliharaan
(c) Keuntungan dari pembangunan kepada petani, pemerintah dan lain-
lain.
(d) Perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan pengeluaran yang
diperlukan.
(e) Kesimpulan-kesimpulan mengenai pertanian atau mengenai teknik yang
terkait.
(f) Perubahan sosial dan lingkungan serta implikasi yang diakibatkan.
(g) Efektivitas institusional di dalam mengupayakan sistem yang efisien dan
efektif dalam pengoperasian dan pelayanan kepada pengguna air.

Program pemeliharaan dan rehabilitasi serta investasi irigasi lainnya harus


didasarkan atas hasil kajian pengelolaan aset irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
163

9.4.4. Perhitungan AKNOP


Menunjuk amanat UU no 7/2004 pasal 77 ayat 1 menyatakan: pembiayaan-
pembiayaan sumberdaya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata
pengelolaan sumberdaya air, dan amanat PP No 20/2006 pasal 75 ayat 2
menyatakan: pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder
didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi pada setiap
daerah irigasi, maka biaya pengelolaan irigasi harus dihitung berdasarkan
AKNOP. Praktek yang dilakukan selama ini perhitungan AKNOP selama
perencanaan telah dilakukan sesuai dengan persturan perundangan yang
berlaku. Tetapi pada kenyataannya realisasi pembiayaan yang diputuskan
oleh pemegang otoritas keuangan lebih rendah dari analisa sebelumnya.
Akibatnya pada saat pelaksanaan tidak semua kerusakan irigasi dapat diatasi,
sehingga ada pekerjaan perbaikan yang tertunda (deferred maintenance).

Akumulasi pekerjaan perbaikan yang tertunda ini selama bertahun-tahun


akan mengganggu operasional sistem irigasi sehingga kinerjanya menurun
yang berakibat pada jeleknya tingkat layanan irigasi.

Dalam irigasi modern amanat yang tertuang dalam peraturan perundangan


tersebut harus ditaati secara konsisten. Realisasi pembiayaan harus dipenuhi
sesuai dengan AKNOP yang sudah dihitung sebelumnya. Dengan cara
demikian diharapkan tidak ada lagi pekerjakan perbaikan yang tertunda,
sehingga operasional irigasi dapat optimal sesuai dengn harapan irigasi
modern. Pada akhirnya layanan irigasi sesuai dengan Tabel 9.1 (Layanan
Operasional) dapat terpenuhi.

9.4.5. Koordinasi
Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 12 dan 3,
Komisi Irigasi Kabupaten/Kota membantu Bupati/Walikota dan Komisi Irigasi
Provinsi membantu Gubernur (Pasal 13 ayat 1, 2 dan 3), melaksanakan
koordinasi membantu Bupati/Gubernur dalam rangka pengelolaan irigasi.
Dalam rangka koordinasi diharapkan Komisi Irigasi ditingkat Kabupaten dan
Provinsi segera terbentuk dan berfungsi untuk melaksanakan koordinasi:
(1) Dalam membantu Gubernur atau Bupati/Walikota
(a) Merumuskan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kondisi dan fungsi irigasi
(b) Merumuskan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi
bagi pertanian dan keperluan lain

Modernisasi Irigasi PU
164

(c) Merumuskan rencana tahunan penyediaan air irigasi


(d) Merekomendasi prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi

(2) Hanya membantu Bupati


(a) Merumuskan pola dan rencana tata tanam pada daerah irigasi
masing-masing dalam kabupaten/kota, dengan penetapan
ditandatangani Bupati/Walikota.
(b) Memberi pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan beririgasi.

Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 28 ayat


1 sampai 6, Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap
pemberdayaan P3A Pemerintah Provinsi dan Pusat memberi bantuan teknis
kepada kabupaten/kota dalam pemberdayaan dinas dan P3A. Diharapkan
pelaksanaan koordinasi dalam rangka pengelolaan irigasi pada umumnya
atau irigasi modern dapat terwujud dengan benar, apabila pemerintah
memfasilitasi/ubsidi pada dinas (pelaksana manajemen) dan Pemerintah
Provinsi/Kabupaten Kota melaksanakan pemberdayaan pada petani (P3A).
Kemudian dinas (pelaksana manajemen) menyediakan jasa pelayanan
kepada petani dengan dibantu koordinasi oleh Komisi Irigasi. Kendala utama
adalah setelah ada teknologi yang dapat bekerja sesuai rancang bangun
dengan dukungan institusi (dinas/pelaksana manajemen) dan penyediaan
dana secara sepadan, maka koordinasi dapat berfungsi.

Dalam irigasi modern kagiatan koordinasi antar pemangku kepentingan


irigasi harus dilakukan lebih intensif, karena sering terdapat kesenjangan
antara tingkat layanan yang harus disediakan pemerintah dengan layanan
aktual yang diterima pengguna. Agar system koordinasi berjalan sesuai
dengan harapan, dalam irigasi modern harus dipenuhi sebagai berikut:

1. Disediakan biaya khusus (termasuk honorarium) untuk kegiatan


koordinasi;

2. Disediakan sekertariat dan ruangan khusus utuk Komisi Irigasi;

3. Melakukan rapat koordinasi minimal 4 kali setahun.

Modernisasi Irigasi PU
165

9.4.6. Pelaksanaan pemeliharaan


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 16, Pasal
17 dan Pasal 18, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai
wewenang dan tanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaan irigasi
berdasar luas yang ditetapkan. Untuk pelaksanaan pemeliharaan dan operasi
irigasi kewenangan Pemerintah Pusat, yang bersifat rutin atau berkala,
dan dilaksanakan dengan cara swakelola oleh Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Jenis pemeliharaan irigasi ada beberapa macam, yaitu:

a. Pemeliharaan rutin, dilaksanakan cara swakelola terus menerus


sepanjang tahun
b. Pemeliharaan berkala, adalah pemeliharaan untuk mencegah kerusakan
kecil/sedikit tidak menjadi kerusakan berat, dilaksanakan cara swakelola,
bahan dan tenaga tukang disediakan oleh Dinas, petunjuk, pengawasan
dan transportasi oleh dinas.
c. Pemeliharaan darurat, adalah pemeliharaan segera ditangani cara
sementara karena banjir, bencana alam, pelaksanaan dapat cara gotong
royong dengan bahan dari Dinas. Tahun berikutnya harus disempurnakan
dengan rehabilitasi.
d. Pemeliharaan berat, memerlukan rehabilitasi, pelaksanaan
dikontrakkan.

Meskipun empat jenis pemeliharaan tersebut telah diterapkan pada irigasi


sekarang ini, tetapi masih ada kekurangan dalam mengatasi kerusakan-
kerusakan kecil/sedang yang sifatnya mendadak tetapi strategis (misalnya
tanggul/saluran jebol, kebocoran saluran, pintu macet, tembok retak, tanggul
longsor dan lain sebagainya). Dalam modernisasi irigasi perlu diwujudkan
suatu unit pemeliharaan khusus (UPK) yang mampu segera bergerak
merespon kerusakan tersebut. Dalam hal bekerja UPK harus dilengkapi
dengan:

a. Mobil khusus (pick up) mengangkut bahan dan peralatan


b. Bahan dan material siap pakai
c. Peralatan dan perlengkapan secukupnya
d. Tukang dan pekerja yang siap tugas

Modernisasi Irigasi PU
166

9.4.7. Blangko pemeliharaan


Blanko-blanko yang dibuat meliputi blanko operasi dan pemeliharaan. Blanko
tersebut sebagai data dan informasi untuk digunakan sebagai membantu
pengawasan kegiatan sehari-hari, pengecekan kembali dan evaluasi progres
untuk mencapai tujuan bagi petugas managemen. Untuk mengolah arus
data dan informasi supaya hasil yang didapat optimal, maka harus dilakukan
perencanaan dan pemeliharan yang baik terhadap Sistem Informasi
Managemen (SIM). Tanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaan
SIM secara jelas harus ditetapkan.

Pengisian blanko pemeliharaan diisi oleh pengawas pekerjaan di lapangan


dan juga ada blanko yang diisi oleh juru pengairan sebagai petugas operasi
dan pemeliharaan yang paling depan, kemudian disampaikan kepada
pengamat pengairan. Berdasar Lampiran Peraturan Menteri P.U Nomor 32/
PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi,
terdapat sepuluh jenis blanko-Pemeliharaan Irigasi.

Pada sistem irigasi modern, sistem Informasi Managemen (SIM) dengan


pangkalan komputer, dengan tenaga dan kapasitas yang besar, berarti
efektif penggunaan SIM, maka akan ada penghematan dalam bentuk waktu
dan biaya. Jaringan kerja dengan fasilitas komunikasi dan transmisi data
yang murah memungkinkan untuk mengelola, mengintegrasikan database
dan meningkatkan proses komunikasi. Meskipun SIM dengan komputer
memberikan fleksibilitas dan cakupan yang sangat besar, ketidakadaan
fasilitas komputer (misalnya rusak) tidak boleh menghambat pelaksanaan
SIM dapat dikerjakan kembali secara manual.

Sebagai kelengkapan Buku Catatan Pemeliharaan, dalam irigasi modern


perlu disiapkan Catatan Pemeliharaan yang dituangkan dalam skhema
irigasi dan bangunan setiap tahun yang, disebut Skhema Pemeliharaan
Irigasi Tahunan .

9.4.8. Monitoring dan evaluasi


Monitoring pemeliharaan ada beberapa item-item yang harus dimonitor dan
secara tegas dan jelas dikerjakan oleh unit organisasi yang bertanggung
jawab. Rincian yang diperlukan dalam rencana monitoring adalah kegiatan
pemeliharaan, jadwal pelaksanaan dan biaya komponen utama, tempat
setiap kegiatan, metode dan prosedur setiap kegiatan, format/bentuk, rincian

Modernisasi Irigasi PU
167

dan cara penyimpanan serta distribusi informasi kemana saja. Evaluasi


pemeliharaan, berasal dari kumpulan proses monitoring yang ditampilkan
secara sistematis. Organisasi yang bertanggung jawab mengevaluasi secara
jelas ditunjuk.

Informasi umum yang diperlukan untuk setiap jenis evaluasi sebagai


berikut:
• Sumber data (hasil monitoring)
• Waktu pelaksanaan evaluasi
• Metode yang digunakan mengevaluasi
• Format/bentuk untuk evaluasi yang didistribusikan
• Siapa yang menerima laporan dan kapan

Jenis pemeliharaan jaringan irigasi:


a. Pemeliharaan jaringan irigasi yang dilaksanakan secara swakelola
pemantauan dilakukan secara swakelola baik pemeliharaan rutin
maupun pemeliharaan berkala dilakukan oleh Dinas/Pengelola irigasi
bersama P3A/GP3A/IP3A. Pemantauan dilakukan terhadap realisasi
penggunaan sumberdaya yang meliputi: tenaga, bahan (pelumas, cat,
dsb), peralatan secara berkala dipantau dan dibandingkan dengan
program pemeliharaan rutin antara rencana yang telah ditetapkan dan
dituangkan dalam blanko 06-P. Waktu pemantauan dapat ditetapkan
harian atau mingguan oleh Dinas setiap akhir bulan dilakukan evaluasi,
setiap akhir pekerjaan dilakukan evaluasi untuk penyempurnaan kegiatan
pemeliharaan yang akan datang. Hasil evaluasi tersebut dikirimkan
kepada penanggung jawab.
b. Pemeliharaan jaringan irigasi yang dilaksanakan secara kontraktual baik
pemeliharaan berkala maupun perbaikan/penggantian, pemantauan/
monitoring dilakukan oleh Dinas/Pengelola irigasi dengan melibatkan
peran serta P3A/GP3A/IP3A. Pemantauan dan evaluasi mingguan
dengan menggunakan blanko 08-P atau blanko 09-P dan blanko 10-P.
Pemantauan dilakukan secara mingguan dan secara bulanan. Apabila
pekerjaan sudah selesai, penilaian hasil pekerjaan dilakukan terhadap
kuantitas pekerjaan. Juga evaluasi dilakukan terhadap fungsi atau kinerja
jaringan irigasi melalui penelusuran jaringan dan pengujian lapangan
(trial-run). Monitoring dan evaluasi pemeliharaan untuk jaringan irigasi
pada umumnya maupun irigasi modern sama saja.

Modernisasi Irigasi PU
168

BAB 10
KELEMBAGAAN

Telah disebutkan dalam BAB-BAB terdahulu bahwa kelembagaan atau


institusi akan menjadi fokus utama dalam pengelolaan irigasi, meskipun
peran prasarana juga tidak akan kalah pentingnya dalam pengelolaan irigasi
modern. Persoalan kelembagaan atau institusi merupakan sebagian dari
proses modernisasi irigasi seperti telah digambarkan pada Gambar 7.1.

10.1. Kelembagaan Irigasi Masa Sekarang


Dasar hukum tentang pengelolaan irigasi adalah PP no 20/2006 tentang Irigasi,
Bab III pasal 9- 15. Dalam Pasal 9 tersebut dikatakan bahwa kelembagaan
pengelolaan irigasi (KPI) adalah instansi pemerintah yang membidangi
irigasi, perkumpulan petani pemakai air dan komisi irigasi. Pasal 9 juga
tidak mengatakan pada aras mana KPI tersebut diberlakukan. Pasal 9 juga
tidak menjelaskan tentang instansi pemerintah apa saja membidangi irigasi.
Pasal 10 menjelaskan tentang perkumpulan petani pemakai air, sedangkan
pasal 11 – 15 menjelaskan tentang tugas, keanggotaan, pembentukan, tugas
pokok, wilayah kerja komisi irigasi di daerah.

Di aras Pemerintah pusat paling tidak terdapat empat Kementerian yang


membidangi irigasi, yaitu masing-masing: (i) Kementerian Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, (ii) Kementerian Pertanian, Direktorat
Jenderal Prasarana dan Sarana, (iii) Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan/BAPPENAS dan (iv) Kementerian Dalam Negeri. Selaras
dengan instansi pusat maka di aras daerah baik provinsi maupun kabupaten
terdapat empat instansi atau Satuan Kerja Pembangunan Daerah (SKPD) pula
yang membidangi irigasi masing-masing Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA), Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, Dinas Pertanian.
Namun baik di Provinsi dan Kabupaten nama masing-masing SKPD sangat
beragam. Tentu saja keragaman nama tersebut juga akan mempengaruhi
tugas pokok intansi (tupoksi) dan kompetensi staf SKPD bersangkutan.

Modernisasi Irigasi PU
169

10.1.1. Institusi penyusun dan aturan hukum perundangan irigasi


Di Indonesia aturan hukum perundangan-undangan saat ini mengikuti UU
no 12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundang-undangan. Dalam
UU tersebut disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 bahawa jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(4) Peraturan Pemerintah;
(5) Peraturan Presiden;
(6) Peraturan Daerah Provinsi; dan
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU tersebut maka dalam irigasi telah dipunyai
UU no 7/2004 tentang Sumberdaya Air sebagai produk aturan hukum dari
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah serta PP no 20/2006 tentang
Irigasi. Selain aturan perundangan-undangan yang tercantum dalam pasal
7 ayat 1 tersebut masih terdapat beberapa peraturan lain yang dibuat oleh
institusi lain yang dicantumkan dalam pasal 8 ayat 1 no 12/2011. Untuk
irigasi telah terdapat beberapa Peraturan Menteri yang diamanatkan oleh
PP no 20/2006.

Selain itu pada saat ini hampir semua daerah di Indonesia telah mempunyai
PERDA tentang irigasi baik di aras provinsi maupun kabupaten, meskipun
pelaksanaannya masih sangat beragam. Kesulitan memahami isi peraturan
dan persepsi masing-masing pelaku menjadi sebab utama dalam pelaksanaan
aturan yang kurang sepadan tersebut. Institusi BAPPEDA sering bertindak
sebagai koordinator tetapi sering juga Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) yang membawahi kewenangan irigasi bertidak sebagai koordinator
penyusun Peraturan Daerah (PERDA) Irigasi.

10.1.2. Institusi koordinasi pembangunan dan pengelolaan irigasi


Di Indonesia fungsi koordinasi hampir di segala bidang sangatlah lemah.
Di aras pemerintah pusat, meskipun terdapat empat kementerian yang
membidangi irigasi tetapi tidak ada institusi yang ditunjuk sebagai pemimpin
sub-sektor irigasi sehingga setiap Kementerian yang terlibat dalam
pengelolaan irigasi berjalan sendiri-sendiri. Dari sudut pandang ilmu sistem

Modernisasi Irigasi PU
170

maka keadaan ini akan sangat lemah karena sistem tersebut tidak dapat
bekerja maksimal untuk mencapai tujuannya. Apalagi irigasi merupakan
sebuah sistem yang kompleks. Tidak tercapainya tujuan sistem irigasi akan
mempengaruhi sistem pangan nasional karena sistem irigasi merupakan
sub-sistem pangan nasional.

Sedangkan di aras provinsi ataupun kabupaten Komisi Irigasi sudah


terbentuk sesuai dengan aturan dalam PP 20/2006, tetapi Komisi Irigasi
masih sangat lemah. Terdapat empat permasalahan dalam Komisi
Irigasi yang cukup mengganggu, yaitu: (i) pendanaan, (ii) kompetensi, (iii)
pemahaman terhadap fungsi Komisi Irigasi, dan (iv) kewibawaan institusi
Komisi Irigasi terhadap para pihak yang terlibat juga sangat lemah. Masalah
pendanaan diduga menjadi masalah utama. Banyak daerah yang kurang
memberikan pendanaan yang cukup bagi Komisi Irigasi karena kurangnya
pemahaman terhadap fungsi dan tugas Komisi Irigasi. Kompetensi anggota
komisi terutama yang berasal dari unsur petani kurang diperhatikan karena
fungsi pelatihan bagi petani tentang irigasi tidak dilakukan secara rutin
dan berkelanjutan. Kempotensi yang lemah akan menjadikan sifat inferior
terhadap anggota lain yang berasal dari pemerintah. Kewibawaan Komisi
Irigasi juga kadang lemah terhadap SKPD yang mendanai Komisi Irigasi
sehingga independensi Komisi Irigasi dapat diragukan.

10.1.3. Institusi pengembang irigasi


Di daerah, pengembangan iriagsi dilakukan oleh tiga Institusi,yaitu (i)
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) atau Balai Wilayah Sungai (BWS)
bertanggung jawab dalam pengembangan Daerah Irigasi (DI) yang berada
dalam kewenangan pemerintah pusat, (ii) Dinas Pengelolaan Sumberdaya
Air (SDA) atau nama lain merupakan SKPD Provinsi yang bertugas untuk
mengembangkan DI dalam kewenangan Pemerintah Provinsi, dan (iii) Dinas
Pengelolaan Sumberdaya Air (SDA) atau nama lain merupakan SKPD
Kabupaten untuk mengembangkan DI dalam kewenangan Pemerintah
Kabupaten.

Pada saat ini kedudukan baik BBWS maupun BWS sudah sangat bagus
terbentuk. Demikian pula SKPD baik di aras provinsi maupun kabupaten
hampir semuanya telah terbentuk. Di aras provinsi maupun kabupaten bentuk
SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pengembangan

Modernisasi Irigasi PU
171

dan pengelolaan irigasi mempunyai corak berbeda-beda, misalnya ada


SKPD berbentuk Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air dan Energi, atau Dinas
Pekerjaan Umum dan Energi.

Bentuk dan corak SKPD di Kabupaten sangat berpengaruh terhadap kinerja


institusi maupun manusia pelaku. Di SKPD kabupaten yang mempunyai
tupoksi gabungan dan tidak hanya di bidang sumberdaya air atau irigasi
kadang mempunyai kinerja kurang sepadan disebabkan oleh karena
kompetensi dari staf di bidangnya sangat terbatas. Permasalahan akan lebih
berat apabila pimpinan SKPD bersangkutan tidak mempunyai latar belakang
pendidikan pengelolaan sumberdaya air atau keirigasian.

10.1.4. Institusi pengelola irigasi


Sesuai dengan azas otonomi daerah masing-masing institusi BBWS/
BWS, Dinas SDA di Provinsi maupun Kabupaten mempunyai tupoksi untuk
mengelola jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya masing-masing.
Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama antar institusi pengembang irigasi
tersebut belum terjalin dengan baik. Beberapa pekerjaan masih tumpang
tindih terutama dalam pelaksanaan pengelolaan sistem irigasi. Karena
koordinasi yang kurang bahkan di DIY,BBWS Serayu Opak membentuk UPT
(pengamat) di lapangan, misalnya DI Van der Wicjk yang terletak di Pucang
Anom. Ironisnya UPT ketiga UPT pemerintah pusat itu menempati kantor
yang sama dengan UPT Kabupaten Sleman dan UPT Provinsi. Penempatan
UPT di satu kantor kadang-kadang menimbulkan kebingungan bagi petani
yang tidak memahami adanya pemilahan tugas kewenangan masing-masing
institusi. Apalagi di DI Van Der Wicjk, sebelumnya menjadi kewenangan
pemerintah provinsi.

Tugas pemerintah pusat untuk melakukan OP di DI yang menjadi


kewenangannya diserahkan pada pemerintah provinsi sebagai tugas
pembantuan (TP OP) karena beberapa alasan di antaranya kurang
mempunyai personil yang cukup. Hanya saja pihak BBWS/BWS tidak
mempunyai wewenang untuk dapat melakukan pengawasan pelaksanaan
TP OP yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi karena penyerahan tugas
TP OP tersebut langsung dilakukan oleh Direktorat OP Direktorat Jenderal
SDA, Kementrian PU di Jakarta. Pelaksanaan TP OP tersebut juga memicu
kesenjangan hubungan antara Dinas SDA Provinsi dengan Dinas SDA

Modernisasi Irigasi PU
172

Kabupaten karena kadang-kadang pekerjaan Operasi (yang mempunyai


bobot pekerjaan lebih sukar dan pendanaan lebih kecil) diserahkan untuk
dilakukan petugas Kabupaten sedangkan pekerjaan Pemeliharaan (dengan
bobot pendanaan lebih besar) dilakukan sendiri oleh Pemerintah Provinsi.

Persoalan tentang TP OP juga dapat membesar apabila DI atau sistem irigasi


yang menjadi kewenangan pemerintah pusat terletak dalam satu kabupaten
saja, misalnya Sistem Kalibawang, Kulonprogo, DIY. Penyerahan TP OP
pada pemerintah provinsi di sistem irigasi itu telah menimbulkan rasa kurang
nyaman pada Dinas Kabupaten. Apabila terjadi kerusakan atau bencana
masyarakat selalu mengadukan permasalahannya pada pemerintah
Kabupaten meskipun sistem irigasi itu bukan menjadi kewenangannya.
Untuk memecahkan banyak masalah yang timbul maka BBWS Serayu-
Opak mengadakan MOU dengan masing-masing pemerintah Kabupaten di
wilayah kerjanya.

Permasalahan tentang pendanaan OP irigasi juga dapat terjadi apabila


pendanaan OP sistem iirigasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
dirasakan kurang Dinas kabupaten di wilayah seperti kejadian di Sistem
Kedung Ombo. Kerjasama antar pemegang kewenangan yang kurang
sepadan akan terjadi, pemerintah provinsi maupun Kabupaten segan untuk
dapat mengucurkan dana OP irigasi bagi DI yang bukan kewenangannya.
Meskipun pihak eksekutif bersedia untuk mengeluarkan dana tetapi selalu
tidak disetujui pihak DPRD. Ketidak sepadanan dalam pengelolaan irigasi
dapat memicu konfik antar pelaku maupun antar pemakai baik secara
sektoral maupun spasial (BAPPENAS, 2010).

10.1.5. Institusi pelaksana pengelolaan (UPT) Kabupaten


Karakteristik maupun permasalahan UPT Kabupaten sangat sesuai dengan
bentuk dan corak SKPD Kabupaten. Kompetensi dan masalah kepemimpinan
sangat berpengaruh terhadap kinerja DI. Pemasalahan akan lebih besar
apabila DI tersebut merupakan DI lintas kabupaten yang mempunyai bentuk
dan corak SKPD berbeda (contoh misalnya DI Bondoyudo, antara Kabupaten
Lumajang dengan SPKD berbentuk atau bercorakan tiga dimensi Pekerjaan
Umum (Bina Marga. Cipta Karya, dan Pengairan dan wilayah kerja UPT juga
mengikuti wilayah kerja administratif, sedangkan Kabupaten Jember dengan
SKPD bercorak Dinas Pengairan mempunyai batas wilayah pengelolaan

Modernisasi Irigasi PU
173

berbasis wilayah hidrologis) perbedaan dua corak SPPD tersebut sangat


mempengaruhi kinerja DI yang dikelola. Dibutuhkan upaya lebih besar untuk
dapat menyelesaikan permasalahaan di UPT Kabupaten yang mempunyai
corak dan bentuk seperti ini.

10.1.6. Institusi penerima manfaat (Perkumpulan Petani Pemakai Air,


P3A)
Sebagian besar P3A Indonesia terbentuk meskipun kinerjanya berbeda beda
sesuai dengan lingkungan strategis masing-masing wilayah. Setelah itu
dalam Pasal 10 PP no 20/2006 disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban
untuk melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air. Pada
Menteri yang membidangi irigasi diperintahkan untuk mengeluarkan aturan
pelaksanaannya, dan itu telah dilakukan melalui PERMEN PU no 33/PRT/
M/2007,.

Dalam perjalanaannya telah dijumpai beberapa masalah dalam pemberdayaan


P3A yang telah dilakukan pasca dikeluarkannya PP 20.2006. Permasalahan
tersebut mencakup: (i) tidak ada lagi unit pelaksana pemberdayaan petani
sejak terbitnya UU no 7/2004. Pemberdayaan hanya merupakan program
tidak berkelanjutan dan dilakukan oleh Unit pelaksana OP di BBWS atau
BWS sebagai menyedia dana dengan pelaksaaan dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten, akibatnya program tidak dapat berjalan secara berkelanjutan,
kurang terfokus, dan yang paling penting proses berbagi pengetahuan tidak
terjadi, (ii) proses pemberdayaan P3A menjadi agak terganggu setelah
keluarnya PP 38/2008 bekaitan dengan kewenangan pelaksanaan program
dan tidak adanya konsep pemberdayaan petani secara nasional, terdapat
dikotomi antara organisasi petani antara Kelompok Tani dan P3A. Sampai
sekarang belum terdapat konsep pemberdayaan petani secara nasional
sejak.

Selain itu sebagian besar kondisi organisasi petani termasuk P3A saat ini
dalam keadaan yang kurang menggembirakan. Sebagian petani berusia
lanjut, bersifat fatalistik dan berpendapatan rendah. Cita-cita untuk dapat
memberikan kesejahteraan pada petani akan sangat sukar untuk diwujudkan
dalam situasi seperti ini. Harus ada upaya nyata agar cita-cita mulya tersebut
dapat diwujudkan,

Modernisasi Irigasi PU
174

10.1.7. Institusi pembiayaan irigasi


Sesuai dengan PP no 20/2006, pembiayaan pembangunan, pengembangan,
dan pengelolaan irigasi dilakukan sesuai dengan kewenangan masing-
masing pemegang wewenang pengelolan. Artinya bahwa para pemegang
kewenangan akan membiyai seluruh proses pembangunan dan pengelolaan
irigasi, tetapi apabila masing-masing pihak mengalami kesulitan dalam
pembiyaan mereka dapat melakukan kerjasama sesuai dengan pasal 21
PP no 20/2006. Pembiyaan pengelolaan irigasi dilakukan sesuai dengan
kebutuhan nyata pengelolaan irigasi yang ditentukan oleh Pemerintah,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan petani seperti yang
diamanatkan dalam PP no 20/2006 pasal 75. Koordinasi pembiyaan irigasi
di aras daerah dilakukan oleh Komisi Irigasi.

Dalam kenyataannya biaya pengelolaan irigasi tidak pernah mencapai


angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi seperti yang dinyatakan dalam
PP 20/2006. Bahkan sebagian prasarana irigasi dalam keadaan rusak baik
kerusakan ringan sampai berat.

10.2. Kelembagaan Irigasi Modern


Sesuai dengan Gambar 7.1 maka persoalan kelembagaan atau institusi
merupakan sebagian dari proses modernisasi irigasi. Pasal 66 ayat (1)
PP 20/2006 tentang irigasi menetapkan bahwa aset pengelolaan irigasi
terdiri atas jaringan irigasi dan pendukung pengelolaan irigasi. Dan dalam
penjelasan PP tersebut disebutkan bahwa yang termasuk pendukung
pengelolaan irigasi adalah kelembagaan pengelolaan irigasi, sumberdaya
manusia, dan fasilitas pendukung seperti bangunan kantor, telepon, rumah
jaga, gudang peralatan, lahan dan kendaraan. pengelolaan aset infrastruktur
telah berhasil disusun suatu program Pengelolaan Aset Irigasi (PAI).

Meski pemberdayaan P3A telah diatur dalam PERMEN PU no 33/PRT/


M/2007, tetapi PERMEN tersebut tidaklah secara jelas menyebutkan tentang
pangkal pikir pelaksanaan pemberdayaan perkumpulan petani air itu. Apabi-
la kita mencermati pasal-pasal yang terkandung di dalamnya, dapat diduga
bahwa pelaksanaan pemberdayaan terhadap perkumpulan petani pemakai
air sebagai suatu organisasi maupun individu anggotanya dianggap sebagai
bagian dari proses produksi dalam pengelolaan irigasi dan sistem pertanian.
Padahal manusia mempunyai kemampuan lebih dari itu. Oleh sebab itu kon-
sep pemberdayaan ini harus ditingkatkan menjadi konsep human capital.

Modernisasi Irigasi PU
175

10.2.1. Membangun konsep human capital


Konsep human capital ini mengangap manusia seutuhnya yaitu makhluk
khalifah Allah di muka bumi yang mempunyai kecerdasan intelektual,
emosional dan sosial-spritual dan dengan kecerdasannya itu dia dapat
berbuat banyak hal. Dengan apa yang dimilikinya maka manusia akan dapat
mengembangkan kecerdasan dan pengetahuannya untuk berkreasi dan
berinovasi.

Pengembangan human capital menuntut pengembangan manusia agar dapat


mencapai fitrahnya sebagai pemberi makna, sebagai sumber pengungkit
dan penghela organisasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua
pihak (Tjakraatmadja, 2006). Dengan hampiran human capital ini maka
pengelolaan aset-aset lainnya termasuk aset infrastruktur akan memberikan
manfaat yang berlipat ganda. Pemaknaan organisasi dan sumberdaya
manusia sebagai human capital dalam sistem pengelolaan dan proses
organisasi sesungguhnya merupakan suatu hampiran yang relatif baru.

Dalam hampiran human capital, pemberdayaan organisasi dilakukan dengan


fokus membangun suatu organisasi pembelajar dan mengedepankan
hampiran pengembangan modal manusia sebagai bagian dari modal
kecerdasan (intelectual capital) yang dimilikinya. Organisasi pembelajar
merupakan organisasi yang bersifat humanis yang terdiri atas sekumpulan
individu yang mampu belajar untuk memperluas dan memperdalam
pengetahuan individualnya dan kemudian ditransformasikan menjadi
pengetahuan organisasi melalui proses berbagi pengetahuan (Tjakraatmadja
dan Lantu, 2006).

Berbagi pengetahuan merupakan suatu metode dalam manajemen


pengetahuan (knowledge management) yang digunakan oleh anggota
untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, teknik, ide yang mereka miliki
kepada anggota lainnya (Setiarso, 2006). KM dapat ditakrifkan sebagai
tindakan perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian data dan
informasi serta digabung dengan berbagai pemikiran dan analisis dari
berbagai sumber pengetahuan yang kompeten dan spesifik untuk kemudian
diinstitusikan menjadi pengetahuan organisasi (www.km-forum.org, 2008,
Tjakraatmadja, 2006) .

Modernisasi Irigasi PU
176

Pada hakekatnya pembentukan organisasi pembelajar merupakan bagian


dari pelaksanaan manajemen pengetahuan (knowledge managament, KM).
Manusia memperoleh pengetahuan dari mengumpulkan data dan insformasi
yang diperolehnya. Perolehan dan perubahan dari data menjadi informasi
serta pengetahuan digambarkan dalam diagram hirarki DIPK seperti
tergambar dalam Gambar 10.1.

kearifan (wisdom)
pemahaman
azas/konsep
(conectedness)

pengetahuan
keterkaitan

pemahaman
pola

informasi
pemahaman
hubungan

data
pemahaman
Gambar 10.1 Hirarki DIPK perubahan dari data menjadi kearifan
(wisdom) (Tobing, 2007)

Data merupakan kumpulan fakta obyektif dari suatu kejadian atau hasil
pengamatan langsung dari suatu kejadian atau keadaan. Data merupakan
entitas dengan dilengkapi nilai tertentu. Informasi berasal dari data yang diolah
(disortir,dianalisis dan ditampilkan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan
melalui bahasa, grafik atau tabel) sehingga mempunyai arti. Terdapat banyak
takrif tentang pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil luaran dari
informasi. Pengetahuan diperoleh dari sekumpulan infromasi yang saling
terhubungkan secara terstruktur dan sistematik sehingga mempunyai makna.
Pengetahuan itu merupakan kebiasaan, keahlian/kepakaran,ketrampilan,
pemahaman atau pengertian yang diperoleh dari pengalaman, latihan,
atau melalui proses belajar (Tjakraadmadja dan Lantu,2006; Tobing,
2007). Gambar 10.1 juga dapat dipahami bahwa wisdom merupakan aras
pemahaman dan kesadaran tertinggi dari manusia.

Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai tiga bentuk pengetahuan,


yaitu: (i) pengetahuan kultural, merupakan pengetahuan yang memahami
dunia yang diekpresikan dalam bentuk asumsi-asumsi, nilai-nilai, norma
yang dimiliki manusia, (ii) pengetahuan tasit atau pengetahuan terbatinkan

Modernisasi Irigasi PU
177

merupakan pengetahuan untuk memahami dunia dalam bentuk konsep dan


diekspresikan dalam bentuk teori dan pengalaman-pengalaman, dan (iii)
pengetahuan eksplisit pengetahuan untuk memahami dunia dalam bentuk
keahlian atau kognitif, diekspresikan dalam bentuk sistem, peraturan,
prosedur dan tata kerja yang ditanamkannya (Tjakraatmadja dan Lantu,2006).
Sebagian besar organisasi pada masa lalu kurang memahami potensi seluruh
anggota organisasi berupa kecerdasan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Modal kecerdasan seolah-olah dinafikan untuk dapat diperankan.

10.2.2. Membangun organisasi pembelajar dalam pengelolaan irigasi


sebagai bagian dari modernisiasi
Organisasi pembelajar merupakan organisasi yang memiliki kemampunan
untuk selalu memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dan siklikal,
karena anggota-anggotanya memiliki komitmen dan kompetensi individual
yang mampu belajar dan berbagi pengetahuan pada aras supersial maupun
substansial. Tobing (2007) menyebutkan bahwa modal kecerdasan suatu
organisasi akan terdiri atas modal manusia, modal struktural dan modal
nasabah. Hubungan dan keterkaitan antar masing-masing modalitas tersebut
digambarkan dalam Gambar 10.2.

•Kompetensi
•Keterampilan
•Daya otak
•Infrastruktur •Pengetahuan
•Proses tasit
•Budaya
organisasi Modal manusia •Keinginan pasar
•Membangun
jejaring

Nilai Modal
berkreasisi nasabah
Modal
struktural

Gambar 10.2 Proses pemberdayaan yang mengedepankan


pengelolaan modal kecerdasan (Tobing, 2007)

Dalam Gambar 10.2 nampak bahwa untuk memperoleh adanya modal


kecerdasan dari suatu organisasi yang ditampilkan dalam nilai berkreasi
maka dibutuhkan suatu integrasi masing-masing unsur modal, yaitu:

Modernisasi Irigasi PU
178

(i) modal struktural yang terdiri atas infrastruktur, dan proses budaya
organisasi; (ii) modal manusia, terdiri atas kompetensi, keterampilan daya
otak, dan pengetahuan tasit atau pengetahuan terbatinkan; dan (iii) modal
nasabah terdiri atas keinginan pasar, dan membangun jejaring. Gambar
10.2 juga memberikan pemahaman pula bahwa teknologi sebagai bagian
dari infrastruktur berperan sangat besar dalam proses permberdayaan dan
perkuatan untuk membentuk institusi dan organisasi pembelajar. Pada
era pengetahuan saat ini sistem teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
berkembang sangat cepat dan penggunanannya dalam segala bidang akan
sangat membantu dalam pelaksanaan untuk membentuk budaya organisasi
pembelajar. Dengan ketiga modal tesebut maka manusia diharapkan mampu
untuk berkreasi dan ini semuannya akan mempunyai nilai sangat besar dan
sangat berarti bagi organisasi.

Pelaksanaan proses pemberdayaan masa lalu dan juga kemungkinan


pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air dengan menggunakan
PERMEN PU no 33/2007 semuanya dilakukan dengan mengembangkan
modal struktural, terutama dalam bentuk pemberian fasilitasi pembangunan
infrastruktur, sedangkan modal manusia yang dikembangkan dengan
melakukan pelatihan dan pengenalan teknologi serta modal nasabah
sangat kurang diperhatikan. Kegagalan sebuah organisasi untuk merubah
diri menjadi organisasi pembelajar dapat disebabkan oleh karena proses
perubahan organsisasi hanya berfokus pada pengembangan teknologi belaka
tetapi kurang memperhatikan manajemen proses perubahan dan budaya
organisasi (Tjakraatmadja dan Lantu,2006). Karena sistem penglolaan
irigasi di Indonesia merupakan manajemen gabungan antara pemerintah
dan petani,maka para pihak harus salling berhubungan secara erat. Peran
pemerintah sebagai pihak penanggung jawab jaringan utama sebagai bentuk
pelayanan juga mempunyai fungsi sebagai falitator dan pembuat aturan
kebijakan di samping juga bertindak sebagai pelaksana pemberian air irigasi
pada petani di aras jaringan utama. Sebagai fasiltator pemerintah juga harus
dapat melakukan pemberdayaan untuk merubah pola pikir dari pola pikir
manusia sebagai sumberdaya menjadi human capital. Upaya pemerintah itu
dinilai sangat penting, seperti digambarkan dalam Gambar 10.3.

Modernisasi Irigasi PU
179
PERAN PEMERINTAH

inffrasturktur
Pengelolaan irigasi

pemberdayaan
Organsisasi pertisipatif untuk

aturan
ketahanan pangan
pembelajar
dan kesejahteraan

Pengelolaan irigasi
modal pertisipatif untuk
manusia KEDAULATAN
pangan dan
kesejahteraan

nilai
berkreasi
modal modal
struktural nasabah

Modal Kecerdasan

Gambar 10.3 Peran pemerintah dalam pengembangan organisasi


pembelajar dalam pengelolaan irigasi berbasis human captal
(modifikasi dari Tobing, 2007)

Dalam Gambar 10.3 terlihat terdapat tiga hal penting yang dapat disarankan
untuk dilakukan pemerintah sebagai dukungan membentuk organisasi
pembelajar dengan konsep human capital yaitu: (i) dukungan infrastruktur, (ii)
kebijakan melaku aturan atau konsep nasional, dan (iii) pemberdayaan untuk
mengantisipasi munculnya perubahan lingkungan baik ekologis maupun
strategis. Namun dalam pelaksanaanya saat ini muncul tiga persoalan
penting, yaitu: (i) Setelah terbitnya PP no 38/2008 konsep pemberdayaan
organisasi petani pemakai air secara nasional belum terbentuk, (ii) tidak ada
institusi yang dapat bertindak sebagai pemimpin sektor yang dapat bertindak
sebagai koordinator dalam perubahan pola pikir secara nasional, sedang di
aras pemerintah provinsi dan kebupaten, komisi irigasi yang dimaksudkan
untuk dapat bertindak sebagai koordinator dalam pengelolaan irigasi masih
belum dapat bertindak seperti yang diharapkan, dan (iii) tidak ada unit
pelatihan irigasi yang bertindak sebagai pelaku pelatihan baik bagi kaum
birokrasi maupun petani.

Oleh sebab itu agar dapat dilaksanakan upaya pelaksanaan pembangunan

Modernisasi Irigasi PU
180

institusi irigasi berbasis human capital sebagai bagian dari proses modernisasi
disarankan untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membangun tentang konsep modernisasi dan human capital
b. Menerbitkan kebijakan tentang modernisasi irigasi dan konsep
pemberdayaan berbasis human capital
c. Menyamakan visi dan misi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan
irigasi serta bersedia untuk berbagi data, informasi dan pengetahuan
untuk ditindak lanjuti dengan upaya saling berbagi antar pelaku. Untuk
bersedia berbagi maka diperlukan rasa saling percaya (trust). Dengan
demikian maka peran social capital dalam human capital juga sangat
penting untuk dapat dilakukan.
d. Melakukan koordinasi dalam pengelolaan irigasi dengan cara memperkuat
dan merevitalisasi institusi yang berwenang melakukan koordinasi dalam
pengelolaan irigasi.
e. Melakukan sosialisasi tentang institusi irigasi pembelajar berbasis human
capital bagi para pelaku.
f. Membangun sistem informasi irigasi terpadu para pelaku irigasi dalam
satu penanggung jawab.
g. Membentuk unit pelaksana manajemen pengetahuan di masing-masing
kabupaten yang mempunyai DI modernisasi.
h. Melakukan inventarisasi pengetahuan dari masing-masing pelaku dalam
pengelolaan irigasi.
i. Melakukan upaya pemberdayaan bagi semua pelaku dalam pengelolaan
irigasi sampai terbentuk organsisasi pembelajar
m. Menciptakan system pembiayaan pengembangan dan pengelolaan irigasi
modern, dengan menerapkan IPAIR.
n. Melakukan sosialisasi pengembangan dan pengelolaan irigasi dengan
mengaktifkan kembali penyuluh pengairan seperti tertuang dalam Permen
PU No.65/PRT/1993.
o. Dibentuk Brigade Pengamanan Irigasi sebagai pejabat penyidik pegawai
negeri sipil, seperti diamanatkan dalam UU No. 7/2004, dengan maksud
mengamankan irigasi dari gangguan keamanan.
p. Melaksanakan ME pelaksanaan.

Disadari memang tidak mudah untuk dapat memulai konsep baru manajemen
sumberdaya manusia dengan hampiran human capital tetapi kita harus
berubah. Konsep ini banyak dipraktekkan oleh manajemen organisasi
bisnis, tetapi belum pernah dilakukan untuk organsiasi sosial atau birokrasi
pemerintahan.

Modernisasi Irigasi PU
181

10.2.3. Membangun insitusi koordinasi pengelolaan dan tata aturan


irigasi modern
Aturan kebijakan tentang modernisasi irigasi dapat diturunkan dari tata aturan
perundang-undangan yang ada dimulai dari UU, PP, PERMEN dan di daerah
dapat mulai dari PERDA yang telah mengacu tata aturan perundangan yang
berlaku. Untuk kebijakan modernisasi irigasi dapat dimulai dari UU no 7/2004,
PP no 20/2006 pasal 62 tentang Rehabilitasi.

Pada pelaksanaan program modernisasi aturan hukum yang menaungi


kebijakan secara nasional haruslah sudah diterbitkan terlebih dahulu.
Kebijakan nasional tentang modernisasi irigasi dapat bebentuk Surat
Keputusan Menteri PU. Tanpa adanya aturan hukum sangat sulit bagi
kaum birokrasi untuk bersedia melakukan koordinasi pelaksanaan program
modernisasi. Dengan adanya koordinasi antar pelaku semua pelaksanaan
program modernisasi yang dimulai dari sosialisasi, perencaan program,
pelaksaan,pengawasan dan ME akan sangat mudah untuk dilaksanakan.

Di aras daerah, terdapat beberapa institusi yang bertindak sebagai


koordinator pengusul atau penyusun sebuah kebijakan irigasi. Institusi
BAPPEDA sering bertindak sebagai koordinator tetapi sering juga Satuan
Kerja Pemmerintahan Daerah (SKPD) yang membawahi kewenangan irigasi
bertindak sebagai koordinator. Di aras daerah aturan kebijakan modernisasi
irigasi dapat berbentuk Surat Keputusan Gubernur atau Bupati.

Pada saat ini hampir semua daerah di Indonesia telah mempunyai PERDA
tentang irigasi baik di aras provinsi maupun kabupaten, tetapi pelaksanannya
masih sangat beragam. Kesulitan dalam pemahaman isi aturan dan
keragaman persepsi masing-masing pelaku menjadi sebab utama dalam
pelaksanaan aturan yang kurang sepadan.

Dalam proses modernisasi irigasi, para pihak pelaku irigasi harus sudah saling
memahami isi dan makna PERDA Irigasi masing-masing daerah sehingga
pelaksaan kebijakan modernisasi irigasi sudah tidak menjadi masalah lagi
di daerah. Para pihak harus mempunyai pemahaman yang sama terhadap
konsep modernisasi, dan ini baru dapat terjadi apabila koordinasi antar pelaku
sudah dilakukan. Kesamaan pemahaman sangat penting untuk memperoleh
kesamaan sikap dan pandangan terhadap program modernisasi sehingga
dapat mempertahankan upaya keberlanjutan irigasi modern yang telah
dibangun.

Modernisasi Irigasi PU
182
10.2.4. Membangun Institusi pengembang irigasi modern
Progam modernisasi irigasi dapat dilakukan pada semua DI, baik yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi ataupun pemerintah
kabupaten. Pelaksanaan pembangunan dan DI modernisasi dilakukan oleh
BBWS atau BWS sedangkan pekerjaan O&P dilakukan oleh pemerintah,
dalam hal ini adalah BBWS untuk daerah irigasi lintas provinsi atau daerah
irigasi strategis nasional, pemerintah provinsi sebagai tugas pembantuan
untuk DI lintas kabupaten, dan oleh pemerintah kabupaten untuk DI yang
sepenuhnya berada di satu kabupaten, sedangkan pemberdayaan petani
harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Konsep pemberdayaan berbagi
visi dan misi dilakukan dengan pengembangan organisasi pembelajar
berbasis human capital.
Dengan demikan hubungan kerja yang baik antar ketiga institusi pengembang
dan pengelolaan irigasi dalam pelaksanaan program modernisasi mutlak
sangat diperlukan. Keberhasilan pelaksanaan dan keberlanjutan DI
modernisasi tergantung pada kinerja masing-masing institusi yang terlibat
untuk mau memahami modernisasi irigasi serta berbagi dalam banyak
hal temasuk berbagi dalam sistem informasi dan pengetahuan. Konsep
keinginan berbagi digambarkan pada Gambar 10.4.

Gambar 10.4 Kerangka pengembangan untuk berbagi (Tobing, 2007)

Pada Gambar10.4 terlihat bahwa kepercayaan (trust), penghargaan (reward)


antar pelaku, media yang digunakan untuk berbagi dan kontributor sangat
penting. Dengan kerangka tergambar maka diharapkan para pelaku dalam
pengelolaan irigasi akan bersedia untuk berbagi. Fasilitator berbagi harus
disediakan oleh pihak yang berwenang untuk mengelola DI modernisasi.
Modernisasi Irigasi PU
183
10.2.5. Membangunan Institusi pelaksana pengelolaan irigasi modern
(Unit Teknis Pelaksana,UPT) Kabupaten
Pada DI dengan program modernisasi harus terletak pada satu UPT. Apabila
tidak memungkinkan UPT-UPT tersebut harus tetap berbasis hidrologis.
Kompetensi para staf di DI modernisasi harus sesuai dengan tupoksi yang
dibebankan. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan beberapa
cara, misalnya pelatihan, saling belajar antar pelaku dan lain-lain.

10.2.6. Membangun Institusi penerima manfaat(Perkumpulan Petani


Pemakai Air, P3A) modern
Meski terdapat beberapa kelemahan dalam kinerja P3A, namun terdapat
setitik harapan diberikan oleh sebagian P3A. Organisasi ini apabila
dikembangkan dan diberdayaankan secara intensif, teratur dan terarah maka
organisasi tersebut akan mempunyai peluang besar untuk dapat maju dan
memberikan tembahan pendapatan bagi anggota maupun organisasinya.

Dari data peserta lomba P3A tahun 2007 dapat diketahui bahwa sebagian
perserta lomba mampu untuk dapat memberikan sedikit kontribisi nyata
pada anggotanya melalui suatu upaya bisnis berbasis industri pertanian
dan pedesaan. Bisnis yang diusahakan berkisar dari penyediaan saprodi,
penyewaan alat mesin pertanian, perdagangan hasil produksi pertanian
sampai pada kerja sama bengkel pertanian. Sebagian P3A juga mampu untuk
dapat berkontribusi pada pelaksaaan OP tidak hanya di aras tersier,yang
menjadi tanggung jawabnya tetapi juga di aras jaringan utama yang menjadi
tanggung jawab pemerintah. Sebagai kata kunci pemberdayaan P3A adalah
tiga hal: struktur organisasi yang kuat, kepemimpinan, dan hubungan kerja
yang erat dengan pihak bisnis.

Institusi irigasi modern selalu tidak dapat dipisahkan dari manusia pelaku
irigasi modern untuk itu perlu dicirikan manusia modern yang akan
bertugas sebagai pengelola irigasi modern. Pada irigasi modern P3A yang
mengelola jaringan tersier harus mempunyai struktur organsiasi yang kuat,
kepemimpinan yang baik sebagai salah satu persyaratan terbentuknya
organisasi pembelajar, dan mempunyai hubungan jaringan kerja dengan
nasabah bisnis untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
anggota dan organisasinya.

Modernisasi Irigasi PU
184

10.2.7. Membangun Institusi pembiayaan pada irigasi modern


Seperti halnya di banyak negara yang mengadakan program modernisasi
irigasi maka diberlakukan pembaharuan tata cara pembiyaan irigasi.
Seyogyanya dilakukan hal yang sama pada program modernisasi irigasi di
Indonesia.

Pada PP no 20/2006 tentang Irigasi, telah disebutkan tatacara pembiayaan


pengelolaan irigasi. Dari pasal-pasal yang mengatur tatacara pembiyaan
tersebut terdapat beberapa hal yang belum tuntas benar dijalankan, yaitu
tentang dana pengelolaan irigasi (pasal 76) dan Pasal 78 ayat 4 yang
mengatakan “Pengguna jaringan irigasi wajib ikut serta dalam pembiayaan
pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun oleh Pemerintah, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya”.
Pada irigasi modern pasal-pasal tersebut terutama pasal 78 ayat 4 harus
dilakukan. Setiap pengguna jaringan irigasi harus bersedia untuk membayar
iuran pengelolaan irigasi.

Perlu disusun tata aturan yang mengatur tatacara pembiayaan irigasi. Pada
akhir dekade tahun 1990’an pernah dilakukan tata aturan penetapan Iuran
Pelayanan Air Irigasi (IPAIR),meskipun petani bersedia membayar tetapi
aturan tersebut dicabut kembali karena peruntukan IPAIR yang terkumpul
diperuntukan tidak untuk pelayanan irigasi saja tetapi juga diperuntukkan
sektor pembangunan daerah lainnya karena dana IPAIR masuk ke kas
pemerintah daerah kabupaten. Oleh sebab itu tatacara pembiayaan irigasi
modern perlu dilakukan dengan mengaktifkan tata aturan dana pengelolaan
irigasi seperti tercantum dalam pasal 76 PP no 20/2006.

Modernisasi Irigasi PU
185

BAB 11
SUMBER DAYA MANUSIA

Telah diketahui bersama bahwa lingkungan pengelolaan irigasi baik


lingkungan strategis maupun ekologis berubah dengan cepat. Perubahan
lingkungna tersebut telah menyebabkan tekanan pada pengelolaan sistem
irigasi lebih-lebih lagi pada sistem irigasi modern. Dibutuhkan peran manusia
pembelajar yang utuh untuk dapat melakukan pembaharuan pelaksaan
pengelolaan sistem irigasi modern tersebut.

Pada masa sakarang ini kondisi manusia pelaku irigasi dalam keadaan
yang kurang menggembirakan baik pelaku dari kalangan birokrasi maupun
petani. Sebagai pelaksana pengelolaan irigasi gabungan antara pemerintah
dan petani maka kinerja individu staf irigasi akan tergantung atas beberapa
unsur di antaranya ialah status, fungsi, pemberdayaan dan pelatihan,
penghargaan, jumlah dan mutu pegawai. Sedangkan pada unsur petani
kinerja individu petani lebih ditekankan pada kompetensi,umur dan sikap
terhadap organisasi. Untuk pelaksanaan modernisasi irigasi semuanya itu
haruslah dalam keadaan ideal.

11.1. Keberadaan Pelaku Irigasi Saat Ini

11.1.1. Status dan fungsi staf irigasi saat ini


Hampir semua pegawai BBWS atau BWS, Dinas Provinsi dan Kabupaten
berstatus pegawai negeri sipil, PNS, sebagian merupakan pegawai
daerah. Dan karena BBWS atau BWS merupakan petugas yang mengurusi
kewenangan pemerintah pusat maka sebagian besar pegawai BBWS atau
BWS merupakan pegawai pusat. Pimpinan selalu dipegang oleh pegawai
pusat. Pegawai berstatus pegawai daerah akan sangat sukar menjadi
pimpinan BBWS.

Hampir sebagian besar pegawai BBWS atau BWS mempunyai latar belakang
pendidikan keteknikan. Oleh sebab itu fokus utama dari staf BBWS atau
BWS adalah pembangunan prasarana fisik. Sangat sedikit yang mempunyai
perhatian terhadap persoalan sosial misalnya pengembangan institusi dan
sebagainya. Situasi dan kondisi yang sama terjadi pula pada staf SKPD
provinsi.

Modernisasi Irigasi PU
186

Tetapi pada SKPD kabupaten keadaannya dapat sangat berbeda. Piminan


SKPD tidak mesti berlatar belakang pendidikan keteknikan. Semua
tergantung pada sistem politik lokal di daerah. Oleh sebab itu kompetensi
pimpinan SKPD kadang sangat memperihatinkan mencermikan kompetensi
kurang sepadan dalam melaksanakan pengelolaan irigasi. Hal ini akan
sangat merugikan karena tidak bersesuaian dengan tujuan irigasi seperti
yang telah digariskan dalam aturan kebijakan secara nasional.

Di UPT Kebupaten belum semua staf bersatus PNS. Sebagian staf berstatus
pegawai honorer dengan imbalan upah sangat rendah meski di sisi lain
mereka mempunyai tanggung jawab besar dalam pelaksanaan pengelolaan
irigasi. Keadaan ini sangat menyulitkan pelaksanaan pengelolaan irigasi
terutama pada masalah O&P irigasi.

11.1.2. Pemberdayaan dan pelatihan


Pelatihan diberikan pada petugas UPT dan SKPD baik provinsi maupun
kabupaten dengan materi utama berkaitan dengan O&P irigasi. Unsur
pimpinan jarang ada pelatihan bagi unsur pimpinan dilakukan pelatihan.
Materi pelatihan kadang sangat tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan
karena tidak didahului dengan asesmen kebutuhan pelatihan. Pelatihan juga
tidak dilakukan secara rutin dan berkelanjutan. Akibatnya apabila terjadi
mutasi pegawai akan timbul kesenjangan kompentensi antar palaku dan
pejabat baru tidak mudah untuk dapat menyesuaikan diri karena budaya
belajar sangat rendah.

Pelatihan keiirigasian di aras petani sudah sangat jarang dilakukan sejak


diberlakukan PP no 38/2007 karena pemberdayaan petani masuk kewenangan
SKPD yang bertanggung jawab pada pelaksanan pembangunan pertanian
di kabupaten. Hampir semua staf SKPD Pertanian kurang mempunyai
kompetensi di bidang keirigasian.

11.1.3. Penghargaan (reward)


Penghargaan bagi staf pemerintah yang bekerja di bidang irigasi juga hampir
sama dengan birokrasi pemerintah lainnya. Birokrasi di Indonesia mempunyai
karakteristik sangat kaku (rigid), hierarkis, dan bekerja dengan perintah atas
dasar azas legal. Tidak ada perencanaan karier secara jelas. Demikian pula
tidak ada pemberian penghargaan untuk sesuatu prestasi ataupun adanya
sanksi hukuman secara jelas. Satu-satunya penghargaan adalah gaji upah.

Modernisasi Irigasi PU
187

11.2. Keberadaan Pelaku Irigasi Modern

11.2.1. Membangun manusia modern untuk mengelola irigasi modern


Manusia modern akan selalu merespon kikinian. Ciri-ciri manusia modern
telah diberikan pada BAB 6. Pada proses modernisasi irigasi ciri-ciri manusia
modern tersebut harus dapat diwujudkan. Tabel 11.1 memberikan beberapa
upaya percapaian manusia modern dalam pengelolaan irigasi modernisasi.

Tabel 11.1 Ciri manusia modern dan upaya pencapaian dalam


pengelolaan iriagsi modern
No Ciri manusia modern Upaya pencapaian
1 Memiliki sikap hidup untuk menerima Memahami adanya perubahan melalui
hal-hal baru dan terbuka untuk peruba- sistem informasi yang tersedia, pelatihan
han. dan upaya peningkatan keterampilan
2 Memiliki keberanian untuk menyatakan Memahami adanya institusi demokra-
pendapat atau opini mengenai ling- tis dan berusaha untuk mencapainya
kungannya sendiri atau kejadian yang melalui perkuatan kelembangaan dan
terjadi  jauh di luar lingkungannya serta membentuk organisiasi pembelajar di
dapat bersikap demokratis. semua aras pengelolaan
3 Menghargai waktu dan lebih banyak Berlatih disiplin untuk semua pelaku
beorientasi ke masa depan daripada irigasi
masa lalu
4 Memiliki perencanaan dan pengorgan- Berlatih melalakukan perencanaan
isasian. dan pengorganisasian semua kegiatan
manajerial
5 Percaya diri dan perhitungan Membangun sikap diri sebagai invidu
berpengetahuan dan gemar belajar
6 Hemat Mengelola sistem irigasi secara efisien
dan efektif
7 Taat hukum Berlatih dan membentuk budaya selalu
taat hukum dan segan untuk melanggar.
8 Berwawasan lingkungan Membentuk budaya berwawasan ling-
kungan dengan mengoperasikan irigasi
berwawasan lingkungan
9 Menghargai harkat hidup manusia lain Membentuk budaya saling menghargai
dan bersedia jaringan kerja
10 Percaya pada ilmu pengetahuan dan Berlatih dan membentuk individu pembe-
teknologi. lajar dan berpengetahuan
11 Menjunjung tinggi suatu sikap di mana Membentuk individu profesional berkom-
imbalan yang diterima seseorang har- peten dan berpengetahuan
uslah sesuai dengan prestasinya dalam
masyarakat

Dengan adanya perubahan lingkungan strategis dan ekologis sistem irigasi


yang sangat cepat , manusia pelaku irigasi modern juga akan selalu dapat

Modernisasi Irigasi PU
188

merespon perubahan tersebut dengan cara yang cepat pula. Untuk itu
diperlukan upaya membentuk individu pembelajar. Paling tidak dibutuhkan
empat persyaratan untuk dapat membentuk individu pembelajar, yaitu: (i)
adanya kepemimpinan yang kuat dalam lingkup organisasi pembelajar, (ii)
kompetensi individu unggul, (iii) membangun fondasi belajar melalui upaya
pemberdayaan partisipatif termasuk pelatihan dan berbagi pengetahuan
secara intensif, serta (iv) masukan dana dan teknologi sepadan termasuk
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Selain itu organisasi pembelajar membutuhkan kepemimpinan yang kuat.


Secara tradisional telah dipunyai persyaratan kepemimpinan seperti
diucapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, Ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani. Dari persyaratan tersebut maka
Tjakraatmadja dan Lantu,(2006) dapat menjabarkan tiga persyaratan tipe
pemimpin: (i) pemimpin yang visioner,(ii) pemimpin yang bersinerjistik,dan
(iii) pemimpin transformasional.

Pemimpin visioner adalah pemimpin tidak hanya mampu memberikan


keteladanan dan mengajak anggota-anggotanya untuk selalu: (i) berpikir dan
bertindak kedepan dangan visi bersama, (ii) selalu optimis dengan motivasi
kedepan, (iii) bersemangat dan menumbuhkan hasrat belajar yang tinggi,
(iv) bersedia mengembangkan hakekat diri dan kompetensi. Pemimpin
bersinerjistik adalah yang pemimpin mampu memberikan keteladanan bagi
anggotanya untuk selau: (i) bersikap jujur, bersikap terbuka, bersedia bekerja
sama dalam kelompok. Pemimpin sinerjistik juga akan mampu mengajak
anggota organisasi bersikap toleran dan bersedia berbagi model mental
serta membantu mensinerjikan cara pandang dan carapikir yang berbeda
antar anggota. 28. Pemimpin transformasional adalah pemimpin mampu untuk
berbaur secara setulus hati bekerja bersama dengan anggota-anggotanya
secara pribadi.

Pengetahuan yang dimiliki anggota akan menentukan kompetensinya.


Spencer dan Spencer (1993 dalam Tjakraatmadja dan Lantu,2006)
mentakrifkan kompetensi sebagai: “ karakter sikap dan perilaku atau
kemampuan individual yang relatif bersifat stabil,ketika menghadapi suatu
situasi di tempat kerja yang terbentuk dari sinerji antara watak, konsep
28 Model mental seseorang adalah cara berpikir tentang proses kerja di dunia nyata yang
berhubungan dengan persepsi intuitif seseorang tentang tindakannya sendiri serta
konsekuensinya. Model mental dapat membantu membentuk perilaku dan menetapkan
pendekatan untuk memecahkan masalah (mirip dengan algoritma ) dan melakukan
tugas

Modernisasi Irigasi PU
189

diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan konsekstual”. Secara


garis besar kompetensi seseorang dapat dipilahkan menjadi dua kategori:
(i) kompetensi teknikal adalah tipe kompetensi yang diekspresikan dalam
keterampilan kerja atau sering juga disebut hard competence atau hard skill,
dan (ii) kompetensi perilaku adalah komptensi yang diekspresikan dalam
perilaku seseorang saat bekerja atau sering juga disebut soft competence
atau soft skill.

Kompetensi seseorang sangat ditentukan oleh lima unsur, yaitu: (i) motif
(motive), (ii) watak, (iii) konsep diri, (iv) pengetahuan,dan (v) keterampilan.
Motif merupakan sesuatu yang dipikirkan secara konsisten dan menjadikan
dorongan dari dalam dirinya untuk dapat wujudkan sesuatu dalam bentuk
tindakan-tindakan. motif akan mengarahkan dan menentukan pilihan
perilaku untuk bertindak—menentukan soft skill. Watak (traits) merupakan
karakteristik mentalsecara konsisten dan membeikan respon seseorang
terhadap rangsangan dari luar atau tekanan—menentukan soft skill. Konsep
diri merupakan tata nilai luhur yang dijunjung tinggi seseorang memcerminkan
tentang bayangan diri atau sikap diri terhadap masa depan yang dicita-citakan.
Pengetahuan merupakan informasi-infromasi yang saling terhubungkan dan
terstruktur secara sistematik –menentukan baik soft skill maupun hard skill.
Terakhir adalah keterampilan (hard skill) merupakan kamampuan untuk
melakukan pekerjaan fisik dan mental. Keterkaitan kelima unsur tersebut
digambarkan pada Gambar 11.1.

Pengetahuan

Motif Watak
KOMPETENSI
INDIVIDU

Konsep Diri Keterampilan

Gambar 11.1 Unsur kompetensi indivudual (Spencer dan Spencer,


1993 dalam Tjakraatmadja dan Lantu,2006)

Tjakraatmadja dan Lantu,(2006) mengibaratkan organisasi pembelajar


sebagai sebuah rumah dengan dasar yang kuat untuk menopang pilar-pilar
yang kokoh dan atap rumah yang dapat memberi perlindungan bagiseluruh

Modernisasi Irigasi PU
190

anggotanya. Dasar rumah organisasi pembelajar adalah rasa saling percaya


dibangun dengan menumbuh budaya belajar. Kuatnya rasa saling percaya di
antara seluruh anggota organisasi akan menjadi dasar yang kokoh bagi para
anggota untuk dapat berbagi visi, berbagi model mental serta pengetahuan
yang sangat penting bagi perkembangan organisasipembelajar.. Budaya
belajar merupakan nilai-nilai yang selalu memberikan rasa ingin belajar, untuk
selalu gemar belajar dan terus belajar. atau kepercayaan atau kebiasaan
sehari-hari yang melandasi sikap dan perilaku kerja sehari-hari,

Sebagai bangunan organisasi pembelajar akan mempuyani dua pilar.masing-


masing Pilar keterampilan belajar dan falilitasi belajar. Keterampilan belajar
merupakan kemampuan anggota untuk selalu: (i) dapat memecahkan
persoalan secara sistematik, (i) terampil dalam melakukan hal-hal baru
dan dilakukan dengancara baru, (iii) bersedia balajardari masa lalu dan
melakukan pembelajaran pada siapapun, (iv) mendalami pengetahuan dan
mengembangkannya secara efisen.

Pilar kedua adalah fasilitas belajar,terdiri atas: (i) infromasi tersistem, (ii)
struktur organisasi yang kuat dan bersedia memberikan fasilitasi yang
dibutuhkan anggota untun berlajar, (iii) adanya sistem penghargaan.
Sedangkan atap merupakan disipiln belajar terdiri atas (i) disiplin personal
mastery, (ii) disiplin berbagi visi, (iii) disiplin model mental, (iv) disiplin berpikir
sistemik, (v) disilpin tim pembelajar.

Dan isi bangunan adalah kemampuan belajar sangat dipengaruhi oleh


kepeminpinan. Bangunan organisasi dengan dua pilar tersebut di gambarkan
dalam Gambar 11,2. (Tjakraatmadja dan Lantu,2006). Disipilin mastery
merupakan disiplin yang antara lain menunjukkan kemampuan untuk
senantiasa dapat melakukan klarifikasi dan mendalami visi pribadi serta
memandang realitas secara obyektif. Semua itu akan sangat ditentukan oleh
pemberian fasilitasi dana yang cukup dan teknologi memadai.

Sebagai pelak sana pengelolaan irigasi gabungan antara pemerintah dan


petani maka kinerja individu staf irigasi akan tergantung atas beberapa
unsur di antaranya ialah status, fungsi, pemberdayaan dan pelatihan,
penghargaan, jumlah dan mutu pegawai. Sedangkan pada unsur petani
kinerja individu petani lebih ditekankan pada kompetensi, umur dan sikap
terhadap organisasi. Untuk pelaksaan modernisasi irigasi semuanya itu
haruskah dalam keadaan ideal.

Modernisasi Irigasi PU
191

DISIPLIN BELAJAR/
DISIPLIN BELAJAR/
HABITAT BALAJAR/ JALUR
HABITAT BALAJAR/ JALUR
TRANSFORMASI
TRANSFORMASI
PENGETAHUAN
PENGETAHUAN

FASILITAS
KETERAM ENABLER FASILITAS
KETERAM
PILAN ENABLER BELAJAR
PILAN
BELAJAR BELAJAR BELAJAR
BELAJAR BELAJAR

FONDASI BELAJAR
FONDASI BELAJAR

Gambar 11.2 Bangunan organisasi pembelajar (Tjakraatmadja dan


Lantu,2006)

11.2.2. Status dan fungsi staf pengelolaan irigasi modern


Untuk modernisiasi irigasi baik semua unsur pimpinan baik BBWS/BWS,
SKPD Provinsi dan Kabupaten termasuk UPT harus berstatus pegawai negeri
sipil dengan latar belakang keteknikan irigasi dan mempunyai kompentensi
dan ketarikan pada masalah sosial karena pengelolaan irigasi mempunyai
dimensi sosial pula. Karena sifat pengelolaan iriagsi yang tidak mempunyai
jam kerja tertentu, dalam arti pelaksaaannya harus dilakukan selama
24 jam terus menerus, maka ini akan mempunyai konsekwensi terhadap
tatacara pengaturan jam kerja para staf mengelola irigasi.Harus disediakan
penghargaan dalam bentuk tambahan upah pendapatan (lembur) dengan
jumlah mamadai bagi petugas yang melaksakan tugas lembur.

Unsur pimpinan harus memahami makna dan arti institusi pembelajar


sehingga pelaksanaan azas-azas pengelolaan irigasi berbasis human
capital dapat dilaksanakan. Untuk memenuhi kompetansi yang diharapkan
maka uji sertifikasi pada pada semua aras petugas pengelolaan irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
192

11.2.3. Pemberdayaan dan pelatihan


Pada DI yang dilakukan modernisasi irigasi pemberdayaan dan pelatihan
harus rutin dilakukan di semua aras pengelolaan irigasi dan diupayakan
juga mempunyai efek terhadap status kepegawaian. Uji sertifikasi di semua
aras merupakan cara terbaik untuk dapat memenuhi kompetansi para
stafpemerintah yang berkewajiban melakukan proses modernisasi irigasi.
Pemberdayaan dan pelatihan dilakukan dengan materi yang sesuai dengan
kebutuhan. Upaya membentuk individu pembelajar sebagai bagian dari
organsasi pembelajar harus sejak awal pelaksanan program modernisasi
irigasi sudah harus mulai dilaksanakan.

11.2.4. Penghargaan (reward)


Pada pelaksanaan modernisasi irigasi, penghargaan pada pegawai dengan
sistem pemberian insentif dan -disinsentif harus dilakukan. Pemberian
insentif perlu diberikan pada staf yang telah bekerja sesuai dengan tugas
yang dibebankan kepadanya, dan pemberian dis-instentif dilakukan apabila
terjadi pelanggaran secara jelas dan terbukti. Staf pengelolaan irigasi modern
harus diberikan status pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional dan
ada perlu dipikirkan penjenjangan karier sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pemberian seragam kerja untuk petugas pengelolaan irigasi modern mungkin
dapat dilakukan agar para petugas dapat berbangga diri terhadap tugas dan
pekerjaannya.

11.2.5. Kuantitas pegawai


Jumlah petugas dirasakan kurang dibandingkan dengan areal dan tugas yang
harus dijalankan dan belum sesuai dengan PERMEN PU no 32/2008 tentang
pedoman O&P irigasi. Jumlah petugas yang kurang akan mempengaruhi
kinerja pengelolaan irigasi. Oleh sebab itu pada irigasi modern jumlah staf
pengelolaan irigasi haruslah cukup dan sesuai dengan tata aturan yang
ada.

11.2.6. Uniform
Petugas OP dalam modernisasi irigasi sebaiknya diberi uniform, sebagi
identitas petugas pelayan masyarakat. Dengan uniform dimaksudkan akan
menunjukkan identitas diri, menaikkan rasa tanggung jawab, mengapreasi
corp petugas OP, dan menumbuhkan rasa kebanggaan petugas irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
193

BAB 12
EKONOMI DAN PEMBIAYAAN

12.1 Investasi
Seperti dijelaskan pada sub Bab 9.1.4 (Tingkat Layanan), bahwa kesepakatan
tingkat layanan dengan biaya layanan air diputuskan berdasarkan
kesepakatan antara pemerintah, dinas pengairan, dan pengguna. Biaya
investasi dihitung berdasarkan kebutuhan untuk peningkatan infrastruktur
dan peningkatan biaya manajemen. Selanjutnya biaya OP disediakan sesuai
dengan AKNOP, yang bersumber dari pemerintah dan IPAIR. Perencanaan
investasi harus didasarkan atas Pengelolaan Aset Irigasi.

12.2 Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh dari modernisasi irigasi adalah (a) penambahan
produksi pangan nasional akibat dari adanya kenaikan IP dan produktivitas
tanaman, (b) peningkatan kesejahteraan petani akibat dari adanya kenaikan
produktivitas dan keberhasilan panen, (c) keberlanjutan pertanian beririgasi
dengan tersedianya biaya OP yang memadai, dan (d) keuntungan lainnya
yang tidak nampak.

12.3 BCR dan IRR


Studi kelayakan modernisasi irigasi harus dilaksanakan pada saat perubahan
dari irigasi konvensional menkadi irigasi modern. Untuk selanjutnya studi
kelayakan dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan. Kelayakan proyek
irigasi modern harus dihitung dengan metoda BCR dan IRR yang sudah
biasa dilakukan di proyek irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
194

BAB 13
SISTEM PENGAWASAN, MONITORING & EVALUASI

13.1 Sistem Pengawasan


Sistem pengawasan adalah instrumen untuk mengecek kesesuaian antara
penyelenggaraan irigasi dengan peraturan perundangan keirigasian yang
ada. Saat ini pengawasan bidang keirigasian belum memuaskan. Dengan
adanya tiga strata pemerintahan yang mengelola irigasi yaitu Pusat, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota belum ditegaskan sistem pengawasannya seperti apa,
siapa mengawasi apa dan siapa.

Dalam modernisasi irigasi sistem pengawasan akan sangat strategis untuk


diciptakan agar penyelenggaraan modernisasi irigasi dilakukan sesuai
dengan peraturan perundangan. Untuk itu perlu diciptakan jenis-jenis
pengawasan sebagai berikut:
1. Pengawasan Internal: pengawasan ini dilakukan dalam internal
pemerintah. Tetapi perlu adanya kajian tentang sistem pengawasannya
apakah sebaiknya dilaksanakan secara berjenjang dari pusat ke
pemerintahan di bawahnya, dan seterusnya, atau pengawasan
dilaksanakan intern pada setiap jenjang pemerintahan.
2. Pengawasan eksternal: pengawasan ini dapat dilakukan oleh kelompok
masyarakat atau institusi di luar pemerintahan. Tertuang dalam PP
no 20/2006 pasal 85 ayat 3, peran masyarakat dalam pengawasan
dilakukan dengan menyampaikan laporan dan atau pengaduan kepada
pihak yang berwenang. Dalam modernisasi irigasi masyarakat didorong
untuk melakukan pengawasan agar kinerja pemerintah jauh lebih baik

13.2 Monitoring dan Evaluasi


Pelaksanaan monitoring dan evaluasi irigasi selama ini sudah terfasilitasi
dalam blangko OP. Disamping itu kinerja irigasi juga sudah terfasilitasi dalam
Permen PU Nomor 32/PRT/M/2007. Namun substansi Monev dirasakan
belum memadai.

Dalam modernisasi irigasi substansi Monev perlu ditambah dengan


susbstansi yang ada dalam Tabel 9.1. (Tingkat layanan minimal dan lanjutan
pada modernisasi irigasi).

Modernisasi Irigasi PU
195

BAB 14
PENUTUP

Konsep modernisasi yang diuraikan di atas, yang pada prinsipnya untuk


menciptakan sistem irigasi yang efektif, efisien, dan berkelanjutan didasarkan
pemikiran penyusun dan referensi dari negara yang telah menerapkan
modernisasi irigasi, serta tulisan dalam seminar nasional atau internasional.
Agak berbeda dengan kriteria perencanaan irigasi yang disusun tahun
1986 dan pedoman op irigasi tahun 1995 didasarkan atas pengalaman
pembangunan dan op irigasi hampir satu abad lamanya, pengalaman
modernisasi irigasi di indonesia sangat minim sekali untuk dipakai sebagai
acuan.

Namun setidaknya konsep modernisasi irigasi ini dapat dimanfaatkan


bagi pengelola modernisasi irigasi, sebagai langkah awal dalam merintis
penerapan modernisasi di indonesia. Dengan menapaki peta jalan (road
map), diharapkan akan mendapat pengelaman berharga sebagai bahan
penyempurnaan model modernisasi irigasi di indonesia.

Tertuang dalam konsep ini bahwa keberhasilan modernisasi irigasi tidak hanya
perbaikan fisik, tetapi jauh lebih penting dari itu yaitu perbaikan non-fisik,
utamanya pemberdayaan manusia. Manusia sebagai pelaku pembangunan
merupakan modal sosial yang sangat menentukan dalam modernisasi
irigasi. Oleh karena itu diharapkan modernisasi irigasi di indonesia dimulai
dengan pemberdayaan petugas op sejak dari pimpinan dan staf satuan
kerja perangkat daerah dan balai wilayah sungai, pengamat pengairan, juru,
dan penjaga pintu air.

Ahli irigasi berpendapat bahwa keberhasilan modernisasi irigasi selain


tergantung ketepatan konsepnya, juga sangat dipengaruhi oleh perubahan
pola pikir (mind set) seluruh pelaku irigasi itu sendiri. Ketekadan untuk
merubah dirinya dalam memandang urgensi op irigasi, perbaikan sistem
pengelolaan irigasi, peningkatan tingkat layanan, penyempurnaan sistem
pembiayaan, sistem pemberdayaan manusia, apresiasi terhadap kegiatan
op merupakan faktor penentu dalam modernisasi irigasi.

Modernisasi Irigasi PU
196

Perubahan sistem irigasi dari konvensional menjadi modern ini sebaiknya


didukung dengan pernyataan kebijakan 2012 (statement policy 2012)
dari pemerintah sebagai aba-aba dimulainya suatu perubahan konsep
pengembangan dan pengelolaan irigasi di indonesia.

Namun harus diingat bahwa modernisasi bukan semata suatu tujuan, tapi
modernisasi adalah suatu proses yang akan dilakukan terus menerus untuk
menemukan sistem irigasi yang efektif, efisien, dan berkesinambungan
disertai peningkatan tingkat layanan kepada petani pemanfaat air.

Modernisasi Irigasi PU
197

DAFTAR PUSTAKA

Afiff, S. 1992. Keynote address. Dalam Proceeding the International Seminar


on Water resources for sustainable use in Indonesia, Sponsored
by National Planning Agency and Ministry of Public Works. Bogor,
Cisarua, 29 Oktober-1 November 1992.
Amron, M. 1999. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana
pengairan.( implementation of operation and maintenance water
resources infrastructures) Dalam Jaminan air bagi petani. Water
use right. (in Water Right for farmers). Prosiding Lokakarya Nasional
Jaminan Air bagi Petani (Proceeding of Water right for farmers).
Bandung, 15-17 Desember 1997.
Ankum. P. 1991 Flow Control in Irrigation Systems. International
Institute for Hydraulic and Environmental Engineering, Delft, The
Netherlands.
Arif.S.S, Susetiawan dan Bayudono, 1998, Laporan akhir: Keberlanjutan
Irigasi di Jawa dan Bali pada masa PJP II, Riset Unggulan Terpadu
(RUT) VI, Dewan Riset Nasional, LIPI, 1998/1999-2000/2001.
.........., E.Subekti dan Kurniawan, 2000. Konsep tentang Perencanaan
Manajemen Aset Irigasi. Makalah untuk disajikan dalam diskusi
terbatas di FTP-UGM dan Proyek Irigasi Andalan Yogyakarta. (tidak
dipublikasikan)
........... 2004. Perubahan paradigma sumberdaya air: Pengelolaan
berbasis budaya masyarakat. BAPPENAS.
..........., 2003. Menggagas kembali kebijakan pertama Pembaharuan
Kebijakan Pengelolaan irigasi. Makalah disajikan dalam sarasehan
dalam rangka dies natalis FTP-UGM ke 40. (Tidak dipublikasikan).
..........., and Mutiningrum,2003. Survey on irrigation modernization: Case
study on Sidorejo Irrigation System, Indonesia. FAO.Rome.
..........., H. Sri Ahimsa-Putra, A. Prabowo, T.Prasodjo. 2010.Sumberdaya
Air: Budaya dan Teknologi masa Pra-kolonial sampai reformasi
( studi Kasus pada masyrakat Jawa). Kementerian perencanaan
Pembangunan Nasional/BAPPENAS.123 p 346 p.
Barker. J.A. 1999 Paradigma. Terjemahan Anwar: Paradigm. Interaksara.
Batam.
Chambers 1987. Shorten methods in social information gathering
for rural development projects. Dalam Proceeding of the 1985’s
International conference on Rapid Rural Appraisal. Khon Kaen
University, Thailand, 1987.

Modernisasi Irigasi PU
198

Facon, Theierry G. and Charles Burt. Proses Penilaian Cepat (RAP) dan
Acuan (Benchmarking) Penjelasan dan Pirantinya. Organisasi
Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Bangkok.
FAO,1997 Summary report: Modernization of irrigation schemes: past
experiences and future options. Water Report 12.
FAO. 1997. Modernization of Irrigation Schemes: Past Experiences and
Future Option RAP. How Design, Management an\d Policy Affect
The Prformance of Irrigation Projects.
Fetterman. D.M. Empowerment evaluation: Knowledge and tools for
self-assesment and accountability. Fetterman et al (ed). Sage
Publications, London, 1996.
Gelpke.J.H.F.1986. Budidaya padi di Jawa: Sumbangan ilmu-ilmu bahasa
daerah, dan penduduk Hindia Belanda. Yayasan Obor. Jakarta.
Ghazalli, M.A (tak bertahun --). Modernisation of Irrigation and Drainage
Management for Agricultural Production.
Gibson. R.(ed) 1997. Rethinking the future. Nicholas Brealy Publishing.
London.
Habib.Z. 2002. Survey on irrigation modernization: case study on Pehur
High Level Canal Project,Pakistan. FAO.Rome.
IMF.2003. The IMF and good governance http://www.imf.org/external/np/
exr/facts/gov.htm. Retrived 6/10/2005
JICA. 2005. Participatory development and good governance. http://
www.gdrc.org/u-gov/doc-jica_gg.html. Retrived 6 June 2005
Kartodihardjo, S dan D. Suryo. 1991. Sejarah perkebunan di Indonesia.
Kajian sosial ekonomi. Aditya Media, Yogyakarta. 198 p
Kinuthia-Njenga. C. 2003. Good governance: common definitions. Habitat
debate vol 5 no 4. http://www.unhabitat.org/HD/hdv5n4/intro2.htm.
Retriverd 6/10/2005.
Ko Hai-Sheng. 2002. Survey on irrigation modernization: case study
Scheme of Tao-Yuan Irrigation Association,Taiwan. FAO.
Rome.
Korten. F. 1989. The working group as a Catalyst for organizational
change. In Trasforming A Bureaucracy: the experience of the National
Irrigation Administration. F.Korten and R.Y. Siy Jr, (eds). Kumarian
Press.
Korten.D.C. 1989. From bureaucratic to strategic organization. In
Trasforming A Bureaucracy: the experience of the National Irrigation
Administration. F.Korten and R.Y. Siy Jr, (eds). Kumarian Press.

Modernisasi Irigasi PU
199

Lombard, D.1996. vol. 3. Nusa Jawa: Silang budaya. Warisan kerajaan-


kerajaan konsentris. Terjemahan . Cetakan ke 2. Gramedia Pusaka
utama. Jakarta.
M. Malano Paul J.M. Van Hofwegen. _____. Governing Maintenance
Provision in Irrigation Vol II: Thematic Papers Deutsche
Gaselischaft Für Technische Zusammenarbeit (GTZ) Gmbh.
California Polytechnic state University (CalPoly)
Mollinga. P and G. Hong,2002. Survey on irrigation modernization: Case
study on Zaohe Irrigation District .FAO.Rome
Obispo, San Luis. 2001. Management of Irrigation and Drainage Systems
A. Services Approach Hector.
Oi.S. 1997. Introduction to modernization of irrigation schemes. Dalam
Modernization of irrigation schemes: past experiences and future
options. Water report 12. FAO. Rome.
P3PK. 1995. Laporan akhir tentang Pengembangan irigasi desa. Kerja
sama antara Pusat Penelitian Pedesaan dan Kawasan, P3PK,
Universitas Gadjah Mada dengan Direktorat Jenderal Pengairan,
Departemen Pekerjaan Umum.
Pangare. G, R. Hooja and N. Kaushal, 2003. Survey on irrigation
modernization: case study Samrat Ashoka Sagar Irrigation
Project, India. FAO. Rome
Pieterse. J.N. 2001. Development theory: Deconstruction/reconstructions.
Vistaar. Publications.195 p
Plusquellec, Herva. ____. Emerging Moderenization Procedures and
Design Standards. FAO. Bangkok
Plusquellec.H. 2002. How design, management and policy affect the
performance of irrigation project: Emerging modernization
procedures and design standards. FAO. Bangkok, Thailand.
Pusposutadjo.S dan S.S .Arif (1999) Asas donat (the doughnut principle)
dalam implementasi kebijakan operasi dan pemeliharaan sistem
irigasi kecil 1987: kasus proyek Penyerahan Irigasi Kecil (PIK).
Dalam. Kajian evaluatif Program Penyerahan Irigasi Kecil. Fakultas
Teknologi Pertanian, UGM dan International Management Institute,
Srilanka.
Ravesteijn, W. 2003. Water control and the colonial state: the case of
Dutch irrigation engineering in the Indonesian island of Java, 1832
– 1942. Paper for the ICOHTEC 2003 Symposium, St. Petersburg –
Moscow.

Modernisasi Irigasi PU
200

Renault, Daniel. ____. Modernizing Irrigation Management – The


MASSCOTE approach Mapping System and Services Canal
Operation Technique FAO irrigation and Drainage paper (63).
FAO Land and Water Development Division.
Soekrasno dan Subari. 2011. Rancangan modernisasi untuk meningkatkan
efisiensi pengelolaan irigasi. Jurnal Irigasi Vol 6 No. 1 Mei 2011.
Balai Irigasi, Puslitbang Sumber Daya Air.
The World Bank. 2006. Reengaging in Agricultural Water Management
Challanges and Options. Washington DC.
Thierry, Facon and Robina Wahaj. 2007. Land and Water Management
FAO Regional Office for Asia and Pasific. FAO Consultant. Rome.

Modernisasi Irigasi PU
201

LAMPIRAN 1
BAGAN ALIR MODERNISASI IRIGASI

Mulai

Appraisal singkat (Rapid


Appraisal Procedure-RAP)
Penyempurnaan
sistem

Indeks kesiapan
modernisasi
terpenuhi

Rencana modernisasi

1.PKMI-PBM/Pemanfaat
Revisi
2.PKMI - Pemerintah

Tidak
Setuju

Ya

Rencana Rencana Rencana Rencana Rencana


peningkatan perbaikan penyempurnaan perkuatan pemberdayaan
penyediaan prasarana sistem irigasi institusi SDM
air irigasi

1.PKMI-PBM/Pemanfaat
2.PKMI - Pemerintah Revisi

Setuju Tidak
Ya

Modernisasi Irigasi PU
202

Pelaksanaan modernisasi

• Waduk • Jaringan • Komputerisasi • Dinas SDA • Peningkatan


utama utama • Software • Komisi irigasi status PN
• Waduk • Bangunan • Telemetri • Petugas OP • Jabatan
tunggu • Elektromekani • Stasiun hujan • IP3A/GP3A/ jafung
• Saluran/ k/otomatis • Stasiun P3A • Diklat
tampungan • Alat ukur hidroklimatologi • Pembiayaan • Sertifikat
• Jaringan • Komunikasi • Peraturan • Sistem
tersier • Manual OP perundangan insentif
• Fasilitas • dll
• Saluran
pembuang
• Dll

Uji pengaliran Perbaiki

Tidak
Bagus
Ya
PROM
Perbaiki

OP Siap
Tidak
Ya
Penyerahan proyek selesai

Aset
Manajemen Monitoring dan evaluasi

Modernisasi menerus

Selesai

Modernisasi Irigasi PU
LAMPIRAN 2
INDEK KESIAPAN MODERNISASI IRIGASI
(MODERNISATION READYNESS INDEXS)

BOBOT PREDI BOBOT

Modernisasi Irigasi PU
NO INDIKATOR UPAYA TINGKAT KRITERIA NILAI KET
KAT NILAI
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Ketersediaan Air 20 Memadai >80 Mampu mengairi lahan ekuivalen lebih besar padi 200% dan
polowijo 50%
Cukup 50 s/d 80 Mampu mengairi lahan ekuivalen padi 120-200% dan polowijo
20-50%
Kurang < 50 Mampu mengairi lahan ekuivalen lebih kecil dari padi 120% dan
polowijo 20%
2. Prasarana Irigasi 25 Memadai >80 Nilai Prasarana Irigasi > 80 Lihat lampiran
Cukup 50 s/d 80 Nilai Prasarana Irigasi 50 sd 80 Lihat lampiran
Kurang < 50 Nilai prasarana Irigasi < 50 Lihat lampiran
3. Sistem Pengelo- 20 Memadai >80 Dikatakan memadai kalau memenuhi kriteria:
laan 1. Manual OP tersedia dan dilaksanakan secara konsisten
2. Blangko OP tersedia dan dilaksanakan
3. Tersedia dokumen pendukung: buku DI, BCP, peta ihtisar,
skema irigasi, peta petak
4. Tersedia manual Operasi pintu dan operasi penagkap sedi-
men yang dilaksanakan secara baik dan benar
5. Tata cara pemeliharaan jaringan dilaksanakan secara baik
dan benar
6. Tata cara drainase dilaksanakan secara baik dan benar
7. Sistem pengelolaan air ditingkat tersier tersedia dan dilak-
sanakan secara konsisten
8. Tata cara operasi pemeliharaan pintu tersier dilaksanakan
dengan baik dan benar
9. Dana OP irigasi sesuai AKNOP
10. Telah menerapkan aset manajemen
203
BOBOT PREDI BOBOT
204

NO INDIKATOR UPAYA TINGKAT KRITERIA NILAI KET


KAT NILAI
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8
Cukup 50 s/d 80 Dikatakan cukup jika memenuhi 5 sd 9 kriteria diatas
Kurang < 50 Dikatakan kurang jika memenuhi kurang dari 5 kriteria diatas
4. Institusi Pen- 20 Memadai >80 Dikatakan memadai kalau memenuhi kriteria:
gelola 1. Dewan SDA atau PTPA telah terbentuk dan aktif
2. Komisi irigasi telah terbentuk dan aktif
3. Kinerja Komisi Irigasi menunjukkan peran dan fungsinya
yang nyata sebagai unit koordinator
4. Pemda punya atensi terhadap pengembangan dan pengelo-
laan irigasi
5. Kinerja Pemda mempunyai peran yang nyata dalam
pengembangan dan pengelolaan irigasi sebagai unit regula-
tor
6. Kinerja Balai Wilayah Sungai/UPTD/BUMN mempunyai
kapasitas yang memadai dan peran yang nyata dalam
pengembangan dan pengelolaan irigasi sebagai developer
atau operator
7. IP3A/GP3A/P3A telah terbentuk dan aktif
8. IP3A/GP3A/P3A mempunyai kapasitas yang memadai dan
peran yang nyata dalam partisipasi pengembangan dan pen-
gelolaan irigasi di tingkat jaringan utama sebagai pemanfaat
(user)
9. P3A mempunyai kapasitas yang memadai dan peran yang
nyata dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi di
tingkat jaringan tersier sebagai pemanfaat (user)
10. Terwujudnya satu kesatuan managerial dalam pengelolaan
irigasi
Cukup 50 s/d 80 Dikatakan cukup jika memenuhi 5 sd 9 kriteria diatas
Kurang < 50 Dikatakan kurang jika memenuhi kurang dari 5 kriteria diatas

Modernisasi Irigasi PU
BOBOT PREDI BOBOT
NO INDIKATOR UPAYA TINGKAT KRITERIA NILAI KET
KAT NILAI
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8
5. Sumber Daya 15 Memadai >80 Dikatakan memadai kalau memenuhi:
Manusia 1. Kuantitas pimpinan, staf dan tenaga OP memadai.
2. Jumlah pimpinan, staf dan tenaga OP yang berstatus
pegawai negeri sipil> 50% dari pegawai yang ada.

Modernisasi Irigasi PU
3. Jumlah pimpinan, staf dan tenaga OP yang mempunyai
jabatan fungsional > 20% dari pegawai yang ada.
4. Jumlah pimpinan, staf dan tenaga OP yang mempunyai
sertifikat keahlian OP > 20% dari pegawai yang ada.
5. Jumlah pimpinan, staf dan tenaga OP yang telah mengikuti
pelatihan OP > 20% dari pegawai yang ada.
6. Jumlah P3A yang telah mendapat pelatihan > 40% dari P3A
yang ada
7. Jumlah petani sekaligus pemilik sawah > 40% dari petani
yang ada
8. Masyarakat tani mempunyai rasa memiliki, rasa tanggung
jawab, apresiasi tarhadap irigasi, dan respon yang nyata
dalam partisipasi irigasi
9. Jumlah petani yang mampu membayar iuran P3A>60%
10. Jumlah petani yang memiliki lahan lebih dari 2 ha > 20%
petani yang ada
Cukup 50 s/d 80 Dikatakan cukup jika memenuhi 5 sd 9 kriteria diatas
Kurang < 50 Dikatakan kurang jika memenuhi kurang dari 5 kriteria diatas
TOTAL 100 NILAI

Jakarta September, 2011


Tim Modernisasi Irigasi
Note:
1) Nilai >80 predikat memadai : modernisasi bisa langsung diterapka
2) Nilai 50 sampai 80 predikat cukup: modernisasi ditunda, dilakukan penyempurnaan sistem irigasi 1- 2 tahun
3) Nilai <50 predikat kurang: modernisasi ditunda, dilakukan penyempurnaan sistem irigasi 2-4 tahun
4) Nilai kurang 30 predikat sangat kurang: modernisasi tidak perlu dilakukan pada daerah tersebut atau dilakukan penyempurnaan fondamental
205
206

LAMPIRAN 2A

KRITERIA PRASARANA IRIGASI


DALAM INDEK KESIAPAN MODERNISASI IRIGASI

BAGIAN BO
BO-
No PRASA- BOT PREDIKAT TINGKAT KRITERIA NILAI
BOT
RANA (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Bangunan 15 Baik >80 Secara fisik, kon-
Utama disinya baik, ada
kerusakan kecil yang
tidak berarti.
Fungsi layanan >
80%
Sedang 50 s/d Secara fisik, kon-
80 disinya sedang, ada
kerusakan sedang
yang punya potensi
menambah kerusa-
kan.
Fungsi layanan telah
menurun antara 50
s/d 80%
Kurang < 50 Secara fisik, kon-
baik disinya kurang baik,
ada kerusakan besar
yang membahaya-
kan keberlanjutan
bangunan.
Fungsi layanan telah
menurun kurang dari
50%
2. Saluran 25 Baik >80 Perbandingan pan-
jaringan jang saluran yang
utama berfungsi baik den-
gan seluruh panjang
saluran>80
Sedang 50 s/d Idem 50 s/d 80
80
Kurang < 50 Idem < 50
baik

Modernisasi Irigasi PU
207

BAGIAN BO
BO-
No PRASA- BOT PREDIKAT TINGKAT KRITERIA NILAI
BOT
RANA (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
3. Bangunan 25 Baik >80 Perbandingan jumlah
jaringan bangunan yang ber-
Utama fungsi baik dengan
seluruh bangunan
yang ada>80
Sedang 50 s/d Idem 50 s/d 80
80
Kurang < 50 Idem < 50
baik
4. Drainase 20 Baik >80 Perbandingan pan-
jang saluran yang
berfungsi baik den-
gan seluruh panjang
saluran>80
Sedang 50 s/d Idem 50 s/d 80
80
Kurang < 50 Idem < 50
baik
5. Jaringan 15 Baik >80 Perbandingan
tersier panjang saluran dan
jumlah boks tersier
yang berfungsi baik
dengan seluruh
panjang saluran dan
boks tersier>80
Sedang 50 s/d Idem 50 s/d 80
80
Kurang < 50 Idem < 50
baik
TOTAL 100 TOTAL

Jakarta September, 2011


Tim Modernisasi Irigasi

Modernisasi Irigasi PU
208

LAMPIRAN 3
BAGAN ALIR PEMELIHARAAN MODERNISASI IRIGASI

Mulai

Pemahaman aset
Pengelolaan aset irigasi
managemen irigasi

Penelusuran saluran irigasi


pemerintah bersama P3A/GP3A
(inventarisasi fungsi dan kondisi) -
Metode perbaikan

Penentuan tingkat layanan


partisipatif

1. Menyiapkan gambar
2. Perkiraan biaya OP (AKNOP)

Insentif Usulan biaya AKNOP

Keputusan pembiayaan

Penyusunan prioritas pemeliharaan


partisipatif

Pelaksanaan pemeliharaan

Monitoring dan evaluasi

Kinerja irigasi

Selesai

Modernisasi Irigasi PU
SKEMA ALIRAN DATA DAN INFORMASI MODERNISASI IRIGASI
DRAINASE
DAS PRIMER SEKUNDER TERSIER SUNGAI
SEKUNDER

Modernisasi Irigasi PU
Perintah data dengan telemeteri HP

Telemeteri Pusat operasional Terminal kontrol Terminal akhir


P3A
(Pimpinan unit) (Pengamat) (Juru)

Perintah operasional dengan telemeteri

Hujan harian, Luas/jenis


tanaman, Tahap
Jenis informasi Hujan harian, Muka air Akumulasi data pengamat di tingkat juru
pertumbuhan mingguan,
Agroklimatologi mingguan
Perkiraan Perhitungan Kompilasi data perjuru Kompilasi data perjuru dalam satu
Proses ketersediaan air kebutuhan air dalam satu pengamat kejuron
Perkiraan neraca air
Petugas Pengamat Pengamat Juru Petani
Operasional Perhitungan debit dan bukaan pintu Operasional pintu dengan elektromekanikal (sebagian)
209
LAMPIRAN 4
210

MATRIK MODERNISASI IRIGASI DI INDONESIA


Garis Besar Pemikiran, sebagai bahan untuk penyiapan Pedoman Modernisasi Irigasi
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
1 2 3 4 5 6
I PENYEDIAAN AIR
1. SISTEM Sebagian aliran alam (river run off) Penambahan pasokan air dengan Melanjutkan penambahan pasokan Manusia sadar lingkungan
PENYEDIAAN membangun prasarana tampungan air dengan membangun prasarana 1. Proses perubahan
air. tampungan air. modernisasi dimulai dari
Melakukan kegiatan konservasi di Melakukan kegiatan konservasi di pengembangan konsep
DAS Hulu dengan upaya vegetatif. DAS Hulu dengan upaya vegetatif. harmonisasi pengelolaan
hulu-hilir
2. Pembangunan prasarana
2. KETERSEDIAAN Menurun sesuai perjalanan waktu Penurunan berkurang Tidak ada penurunan 6) Upaya modernisasi sama
seperti butir 1.
7) Konsisten dalam implemen-
tasi Tata Ruang;
8) Evaluasi / review debit anda-
lan 80%.
3. STABILITAS Tidak stabil, sebagian tergantung Relatif stabil, Stabil penuh, 1. Koeff. Regime Sungai
PENYEDIAAN aliran sungai Menciptakan long storage sepan- Menciptakan long storage sepan- (Qmax / Qmin) < 50, dan
jang saluran primer dan sekunder jang saluran primer dan sekunder kecenderungan debit maks
dengan alternatif: dengan alternatif: dan min pertahun, serta;
2. Kecenderungan volume air
a. Pemanfaatan sebagian ruang a. Pemanfaatan sebagian ruang
yang liwat lokasi bendung
jagaan jagaan
pertahun.
b. Meninggikan tanggul antar 30 – b. Meninggikan tanggul antar 30 –
50 cm 50 cm
4. KEANDALAN Sering tidak cukup, Sebagian cukup, Sepenuhnya cukup
Sering berlebih

Modernisasi Irigasi PU
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
1 2 3 4 5 6
5. Kehilangan air Kehilangan air total kurang/lebih Diupayakan kehilangan air total Diupayakan kehilangan air total Dalam modernisasi perlu monitor
(losses) 40% - 50% 30% 20% kehilangan air total:
1. Lakukan kalibrasi alat ukur,
2. Periksa kehilangan air setiap
saluran (primer, sekunder

Modernisasi Irigasi PU
dan tersier),
3. kesimpulan dan saran
besaran kehilangan air serta
usaha yang diperlukan.
II PRASARANA IRIGASI
6. BANGUNAN BAGI Sebagian besar Pintu rusak, Perbaikan bangunan bagi, Perbaikan bangunan bagi, Lengkapi pintu dan alat ukur
Tidak ada sanggar tani. Dilengkapi sanggar tani. Dilengkapi sanggar tani. yang rusak dan hilang. Buat
bangunan pelindung dan penga-
man pintu.

7. PINTU PENGATUR Sebagian “Stop Log” Sebagian pintu skot balk diganti Semua pintu skot balk diganti pintu 1. Pintu sorong dapat
dan BANGUNAN Tidak ada atap pelindung pintu. pintu sorong baja. sorong baja. direncanakan underflow atau
BAGI TINGKAT Dalam keadaan tertentu harus Dalam keadaan tertentu harus overflow
JARINGAN UTAMA dilengkapi dengan elektromekanik. dilengkapi dengan elektromekanik. 2. Syarat pintu elektromekanik:
(i) luas layanan minimum
Dilengkapi dengan atap pelindung Dilengkapi dengan atap pelindung 2.000 Ha, (ii) terletak
pintu dan sanggar tani. pintu dan sanggar tani. di daerah terpencil, (iii)
ketersediaan jaringan listrik/
tenaga surya.
3. Pintu elektromekanik harus
dapat digunakan manual.
8. BANGUNAN Pintu sorong pengganti pintu Pintu sorong dilengkapi dengan Semua alat ukur Volumetrik pada Penyempurnaan disesuaikan
PENGUKUR Romijn, sebagian tidak ada alat alat ukur: saluran primer dan sekunder. dengan tingkat saluran.
ukur. Ambang lebar, Pascal Flume.
Sebagian tidak berfungsi. Beberapa tempat tetap memakai
Romijn
Sebagian alat ukur Volumetrik pada
saluran primer.
211
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
212

1 2 3 4 5 6
9. SALURAN Sebagian besar saluran tanah, Sebagian saluran dibuat lining: be- Sebagian besar saluran dibuat
rusak 80% ton slab, beton precast, pasangan lining: beton slab, beton precast,
batu kali, tanah, tanah diperkuat pasangan batu kali, tanah, tanah
balok beton. diperkuat balok beton.
Saluran primer dipertahankan Saluran primer dipertahankan
bentuk trapesium. bentuk trapesium.
Saluran sekunder sebagian trape- Saluran sekunder sebagian trape-
sium sebagian tegak. sium sebagian tegak.
Dipasang patok kilometer dan Dipasang patok kilometer dan
Tidak ada patok kilometer dan hektometer, serta patok garis hektometer, serta patok garis
hektometer. sempadan. sempadan.
Tidak ada sipatan lining (lining Dipasang sipatan lining (lining guid- Dipasang sipatan lining (lining guid-
guidance) ance) setiap 50 – 100 m ance) setiap 50 – 100 m
10. JALAN INSPEKSI Sebagian besar rusak, berfungsi Diprioritaskan untuk jalan inspeksi. Diprioritaskan untuk jalan inspeksi.
ganda sebagai jalan inspeksi dan Dalam hal berfungsi ganda harus Dalam hal berfungsi ganda harus
jalan umum. ada penertiban: ada penertiban:
a. Diminta oleh Pemda a. Diminta oleh Pemda
b. Perkerasan dari aspal atau b. Perkerasan dari aspal atau
beton beton
c. Perkuatan tanggul saluran c. Perkuatan tanggul saluran
d. As jalan digeser keluar ke arah d. As jalan digeser keluar ke arah
luar saluran, dengan ruangan luar saluran, dengan ruangan
untuk OP 4 m. untuk OP 4 m

Modernisasi Irigasi PU
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
1 2 3 4 5 6
11. PENGENDALI Kantong lumpur yang dibangun Diutamakan pembangunan Kantong lumpur yang baru diban- Dengan konsep iini, maka akan
SEDIMEN untuk menagkap sedimen > 0.074 sediment excluder pada lokasi yang gun untuk menangkap sedimen > didapatkan sistim pengendali
mm. Akibatnya dimensi kantong memungkinkan 0.088 mm, agar dimensi kantong sedimen yang:
lumpur panjang dan memerlukan lumpur lebih pendek dan memer- 5) Lebih murah,
head yang besar pada waktu lukan head yang relatif kecil pada 6) mudah dioperasikan,
Sistim operasi terkait dengan pen-

Modernisasi Irigasi PU
pengurasan. waktu pengurasan. 7) pro lingkungan,
gendalian sedimen dilaksanakan
sesuai dengan petunjuk manual Tractive force pada saluran ke 8) lentur (flexible)
Tractive force (gaya seret) pada OP irigasi arah hilir dapat > atau = dengan Penyesuaian kantong lumpur
saluran ke arah hilir harus selalu di sebelah hulunya, t n ≥ t n −1 dan perubahan konsep gaya
lebih besar atau sama t n ≥ t n −1 dengan maksud agar tidak terjadi seret(tractive force) di saluran
Perlu disiapkan petunjuk OP Tata pengendapan di saluran. dapat dilakukan pada saat
dengan maksud agar tidak terjadi
Cara Pengendalian Sedimen rehabilitasi irigasi dengan tetap
pengendapan di saluran. Akibatnya Akibatnya kemiringan saluran relatif
kemiringan saluran relatif lebih lebih besar ke arah hilir. Tetapi memperhatikan justifikasi sosial,
besar ke arah hilir. dapat juga lebih kecil dari sebelah ekonomi dan teknis
hulu. Akibatnya terjadi pengenda-
pan di saluran, tetapi dibangun
Sedimen yang tidak tertangkap
sediment excluder pada saluran
pada kantong lumpur masuk ke
irigasi yang melintang alur alam
sawah petani. Akibatnya elevasi
(natural stream), untuk mengeluar-
sawah petani makin naik.
kan sedimen dari saluran.
Sedimen yang tidak tertangkap
Tidak ada petunjuk OP Tata Cara pada kantong lumpur dan sedimen
Pengendalian Sedimen excluder masuk ke sawah petani
akan lebih kecil, sehingga tidak
berdampak negatif .
Perlu disiapkan petunjuk OP Tata
Cara Pengendalian Sedimen
213
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
214

1 2 3 4 5 6
12. SISTEM DRAINASE Sistim Jaringan Drainase kurang Drainase, sistem tersier dan pen- Perlu dilakukan penyempurnaan
DAN PENGENDALI mendapat perhatian, terbukti den- gendali banjir disempurnakan. Sistim Jaringan Drainase:
BANJIR gan indikasi sebagai berikut: (1) Saat Perencanaan:
(1) Saat Perencanaan: (c) Perencanaan drainase
(a) Perencanaan drainase ser- dimasukan dalam perenca-
ing tidak dimasukan dalam naan sistim irigasi
perencanaan sistim irigasi (d) Drainase perlu difasilitasi
(b) Drainase belum terfasilitasi dalam dokumen: Skhema
dalam dokumen: Skhema irigasi, skhema bangunan
irigasi, skhema bangunan irigasi, blangko O dan P
irigasi, blangko O dan P (2) Saat Pelaksanaan
(2) Saat Pelaksanaan
(a) Jalan inspeksi sepanjang
(a) Jalan inspeksi sepanjang
drainase tidak dibangun
drainase tidak dibangun
(b) Jaringan drainase sering
(b) Jaringan drainase sering
tidak dibangun
tidak dibangun
(3) Saat OP
(3) Saat OP
(a) Tidak ada pemeliharaan (a) Perlu pemeliharaan, baik
baik pada sistim drainase pada sistim drainase buatan
buatan maupun sistim maupun sistim drainase
drainase alam alam
(b) Tidak cukup anggaran un- (b) Sediakan cukup anggaran
tuk kegiatan OP drainase untuk kegiatan OP drainase
(c) Petani tidak memahami (c) Petani memahami fungsi
fungsi saluran drainase saluran drainase di petak
di petak tersier. Akibatnya tersier. Akibatnya petani
petani tidak pernah mem- mau membangun sendiri
bangun sendiri saluran saluran drainase tersier
drainase tersier Drainase, sistem tersier dan pen-
gendali banjir disempurnakan.

Modernisasi Irigasi PU
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
1 2 3 4 5 6
13. PENGEMBANGAN Pengembangan dan pengelolaan Pengembangan dan pengelolaan Pengembangan dan pengelolaan
TERSIER sistim tersier kurang memadai sistim tersier perlu dilakukan perbai- sistim tersier perlu dilakukan perbai-
dengan indikasi sbb: kan sbb: kan sbb:
(8) Dialog antara pemerintah (1) Dialog antara pemerintah (8) Dialog antara pemerintah
dengan petani kurang intensif; dengan petani perlu di-intensif; dengan petani perlu di-intensif;

Modernisasi Irigasi PU
(9) Partisipatif belum men- (2) Partisipatif diharapkan men- (9) Partisipatif diharapkan men-
garah pada pemberdayaan garah pada pemberdayaan garah pada pemberdayaan
masyarakat pengguna air; masyarakat pengguna air; masyarakat pengguna air;
(10) Ketidaksesuaian pelaksanaan (3) Perlunya penyesuaian pelak- (10) Perlunya penyesuaian pelak-
pengembangan tersier terkait sanaan pengembangan tersier sanaan pengembangan tersier
antara fungsi pemerintah dan terkait antara fungsi pemerintah terkait antara fungsi pemerintah
petani dengan kenyataan dan petani dengan kenyataan dan petani dengan kenyataan
implementasi lapangan implementasi lapangan (we- implementasi lapangan (we-
(wewenang dan tanggung wenang dan tanggung jawab wenang dan tanggung jawab
jawab terletak pada petani, terletak pada petani, pemerin- terletak pada petani, pemerin-
pemerintah menfasilitasi); tah menfasilitasi); tah menfasilitasi);
(11) Belum semua lahan petani (4) Seebagian lahan petani (11) Semua lahan petani mempu-
mempunyai akses tiga hal: a. mempunyai akses tiga hal: a. nyai akses tiga hal: a. Saluran
Saluran pembawa, b. Saluran Saluran pembawa, b. Saluran pembawa, b. Saluran pem-
pembuang, c. Jalan usaha pembuang, c. Jalan usaha tani. buang, c. Jalan usaha tani.
tani. (5) Perlunya ketegasan tentang (12) Perlunya ketegasan tentang
(12) Belum ada ketegasan tentang kepemilikan lahan yang digu- kepemilikan lahan yang digu-
kepemilikan lahan yang digu- nakan untuk prasarana irigasi nakan untuk prasarana irigasi
nakan untuk prasarana irigasi tersier secara berkelanjutan tersier secara berkelanjutan
tersier secara berkelanjutan; (seyogyanya prasarana tersier (seyogyanya prasarana tersier
(13) Pengelolaan air ditingkat menjadi asset P3A); menjadi asset P3A);
tersier belum memadai. (6) Pengelolaan air ditingkat tersier (13) Pengelolaan air ditingkat tersier
(14) Pemberdayaan P3A dalam menjadi bagian modrenisasi menjadi bagian modrenisasi
bidang pengembangan dan irigasi. irigasi.
pengelolaan tersier belum (7) Pemberdayaan P3A dalam (14) Pemberdayaan P3A dalam
mempunyai konsep yang jelas bidang pengembangan dan bidang pengembangan dan
setalah munculnya PP N0.38 pengelolaan tersier harus pengelolaan tersier harus
tahun 2008. mempunyai konsep yang jelas. mempunyai konsep yang jelas.
215
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
216

1 2 3 4 5 6
14. DAERAH Daerah sempadan ada, tetapi tidak Daerah sempadan yang ada harus Daerah sempadan yang ada harus
SEMPADAN tertib. ditertibkan, kalau tidak ada harus ditertibkan, kalau tidak ada harus
dibebaskan. dibebaskan.

15. RUMAH Kurang komplit dan sebagian Rumah pengamat, Juru, penjaga Rumah pengamat, Juru, penjaga
PENGAMAT, JURU, rusak pintu bendung disediakan secara pintu bendung disediakan secara
JAGA memadai. memadai.
16. TRANSPORTASI Mobil untuk seksi dan pengamat, Mobil untuk seksi dan pengamat, Mobil untuk seksi dan pengamat, Sesuai Permen PU tentang
sepeda motor untu juru, sepeda sepeda motor untu juru, sepeda sepeda motor untu juru, sepeda Pedoman OP
untuk penjaga pintu air tidak untuk penjaga pintu air disediakan untuk penjaga pintu air disediakan Mobil untuk seksi dan pengamat
memadai. secara memadai. secara memadai. dapat berfungsi untuk OP.
17. SISTEM Sistem komonikasi belum me- Sistem komputer dan internet antar Sistem komputer dan internet antar Telepon yang ada dipertahankan
KOMUNIKASI madai. juru, pengamat, seksi, dan pusat. juru, pengamat, seksi, dan pusat.
18. KANTOR Sebagian kantor rusak, fasilitas Kantor diperbaiki, fasilitas dipenuhi Kantor diperbaiki, fasilitas dipenuhi
kurang
19. PERALATAN OP Sangat kurang Dipenuhi secara memadai Dipenuhi secara memadai
III SISTEM PENGELOLAAN IRIGASI
20. SISTEM Operasional irigasi sebagian besar Operasional irigasi diselenggarakan Operasional irigasi diselenggarakan Sejauh mungkin instrumen dan
OPERASIONAL masih secara manual dengan penerapan teknologi infor- dengan penerapan teknologi infor- alat digunakan buatan dalam
IRIGASI masi komunikasi dan otomatisasi masi komunikasi dan otomatisasi negeri.
sebagian pada sebagian daerah sebagian pada seluruh daerah
irigasi (telemetri, komputerisasi, irigasi (telemetri, komputerisasi,
elektromekanik). elektromekanik).
21. PERIODE Setiap 2 minggu atau 10 harian. Periode pembagian air dilaksana- Periode pembagian air dilaksana-
PEMBAGIAN AIR kan dengan 3 (tiga) harian atau kan dengan harian (real time opera-
mingguan (real time operation tion basis)
basis).
22. GOLONGAN Sistem golongan belum diterapkan Sistem golongan harus diterapkan Sistem golongan harus diterapkan
secara menyeluruh dan konsisten. secara menyeluruh dan konsisten. secara menyeluruh dan konsisten.

Modernisasi Irigasi PU
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
1 2 3 4 5 6
23. SISTEM Pembagian air berdasar ketersedi- Sebagian pembagian air berdasar Pembagian air berdasar kebutuhan Demand oriented system
PEMBAGIAN AIR aan air (Supply oriented system). kebutuhan lapangan. ( Demand lapangan. diterapkan pada daerah yang
oriented system) telah menerapkan irigasi hemat
air (misal SRI atau genangan
dangkal)

Modernisasi Irigasi PU
24. PENGUMPULAN Setiap 2 minggu dan manual. Setiap 3 hari atau mingguan dan Setiap hari dan sistem komputer.
DATA sistem komputer.
25. SISTEM Manual 2 minggu Komputer, tiga harian atau ming- Sistem komputer, harian
INFORMASI guan.
26. PERHITUNGAN Sistem masih manual, dan se- Sistem komputer, telemetri dan jar- Sistem komputer, telemetri dan jar-
KEBUTUHAN DAN bagian software ingan internet, penyiapan program ingan internet, penyiapan program
PEMBAGIAN AIR pembagian air pada seluruh daerah pembagian air pada seluruh daerah
irigasi. irigasi.
27. PEMELIHARAAN Sering terlambat dan tertunda. Dilakukan tepat waktu dan ter- Dilakukan tepat waktu dan ter- Perlu diterapkan Pengelolaan
DAN penuhi sesuai kebutuhan berdasar penuhi sesuai kebutuhan berdasar Aset Irigasi (PAI).
REHABABILITASI aset manajemen. aset manajemen.
28. SISTEM Terpusat. Demokratis dan partisipatif. Demokratis dan partisipatif.
PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
29. SISTEM Sebagian belum memakai form OP Form OP perlu dilengkapi dengan Form OP perlu dilengkapi dengan
MONITORING yang ada. indikator kinerja irigasi (Irrigation indikator kinerja irigasi (Irrigation
Form OP yang ada belum dileng- Performance). Performance).
kapi dengan indikator kinerja irigasi
untuk keperluan monitoring dan
evaluasi.
30. PEMBIAYAAN Biaya OP tidak cukup. Biaya OP sesuai angka kebutuhan Biaya OP sesuai angka kebutuhan
nyata pengelolaan irigasi (Need nyata pengelolaan irigasi (Need
based budget). based budget).
217
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
218

1 2 3 4 5 6
31. IRIGASI Belum diterapkan Pengenalan irigasi berorientasi Penerapan irigasi berorientasi pada 1. Hemat air dan hemat energi;
BERORIENTASI pada lingkungan (Green Irrigation lingkungan (Green Irrigation Devel- 2. Penguranngan inpit-input
PADA Development and Management) opment and Management) kimia anorganik;
LINGKUNGAN 3. Pengurangan emisi metan;
4. Pemakaian bahan-bahan
tidak ramah lingkungan,
misalnya mulsa plastik;
5. Pemakaian air yang tak
berlebihan;
6. Penerapan konsep 3R
Reduce, Reuse dan Recycle.
32. PENERAPAN Belum ada Diterapkan sebagian Diterapkan penuh Insentive dan disinsentive untuk
SISTEM INSENTIV petani dan petugas OP dalam
N DISINSENTIVE hal:
1. Hemat air irigasi;
2. Konsisten dalam; penerapan
manual OP irigasi;
3. Kebersamaan dalam
pengamanan asset irigasi;
33. SISTEM APLIKASI Sebagian besar tanaman padi Dikembangkan sistem lain sesuai Untuk tanaman padi dikembangkan Pemilihan sistem irigasi drip, sira-
IRIGASI masih menerapkan genangan kebutuhan petani: sistem irigasi ter- sistem irigasi terputus (intermit- man, alur, dibawah permukaan
kontinu. Sistem lain belum dikem- putus (intermittent), drip, siraman, tent), untuk non padi dikembang- tergantung kondisi setempat dan
bangkan. alur, dibawah permukaan. kan sistem lain sesuai kebutuhan kemampuan petani.
petani: drip, siraman, alur, dibawah
permukaan.
34. PARTISIPASI Peran serta dan keterlibatan petani Pemerintah dan petani secara P3A berpartisipasi penuh sesuai
PETANI DAN dalam pengelolaan irigasi masih bersama-sama belajar melaksana- kemampuan dan kebutuhan petani
PENGAMBILAN rendah, bahkan dalam pengelo- kan irigasi secara berpartisipasi.
KEPUTUSAN laan tersier yang menjadi tanggung
jawabnya.
IV INSTITUSI PENGELOLA

Modernisasi Irigasi PU
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
1 2 3 4 5 6
35. UNIT PELAKSANA Beberapa daerah irigasi ditangani Setiap daerah irigasi yang Setiap daerah irigasi yang Untuk irigasi permukaan
oleh satu pengamat. melaksanakan modernisasi irigasi melaksanakan modrenisasi irigasi
dikelola oleh unit pelaksana seting- dikelola oleh unit pelaksana seting-
kat pengamat. kat pengamat.
36. DINAS SDA Sebagian belum berfungsi dengan Difungsikan sebagai pembina Difungsikan sebagai pembina Perlu ditegaskan: Koordinator,

Modernisasi Irigasi PU
DAERAH baik. sesuai dengan tugas dan kewenan- sesuai dengan tugas dan kewenan- Regulator, Developer, User,
ganya. ganya Operator
37. KOMISI IRIGASI Sebagian belum terbentuk atau Difungsikan sebagai koordinator Difungsikan sebagai koordinator
PROPINSI / belum berfungsi. sesuai peraturan perundangan. sesuai peraturan perundangan.
KABUPATEN /
KOTA
38. P3A P3A hampir terbentuk semua tetapi Semua P3A terbentuk dan aktif. Semua P3A terbentuk dan aktif.
sebagian besar kurang aktif. Pembentukan dan pembinaan
IP3A dan GP3A semuanya terben- IP3A dan GP3A semuanya terben- oleh pemerintah Kabupaten
IP3A dan GP3A belum terbentuk. tuk dan aktif. tuk dan aktif.
V SUMBER DAYA MANUSIA
39. PEMERINTAH a. Kualitas: sebagian kompetensi a. Kualitas: kompetensi terpenuhi a. Kualitas: kompetensi terpenuhi
a. Kualitas belum terpenuhi terutama diseluruh jenjang, pelatihan diseluruh jenjang, pelatihan
b. Kuantitas ditingkat trampil, pelatihan berkelanjutan dan mempunyai berkelanjutan dan mempunyai
c. Sistem belum berkelanjutan dan sipil efek kepegawaian, sipil efek kepegawaian,
tidak mempunyai sipil efek peningkatan pembinaan dan peningkatan pembinaan dan
kepegawaian
kepegawaian, kurangnya pendampingan. pendampingan.
pembinaan dan pendampingan. b. Kuantitas: tercukupi melalui b. Kuantitas: tercukupi melalui
b. Kuantitas: banyak yang kurang. analisa jabatan. analisa jabatan.
c. Sistem kepegawaian: jabatan c. Sistem kepegawaian: perlu di c. Sistem kepegawaian: perlu di
fungsional tidak ada, status setup jabatan fungsional trampil, setup jabatan fungsional trampil,
kepegawaian tidak jelas, peningkatan status pegawai peningkatan status pegawai
sertifikasi tidak ada, belum ada negeri, mempunyai sertifikasi negeri, mempunyai sertifikasi
penjenjangan karier. kompetensi, penjenjangan karier kompetensi, penjenjangan karier
jelas, diciptakan sistem insentive jelas, diciptakan sistem insentive
dan disinsentive. dan disinsentive.
219
NO SUBSTANSI KONDISI SEKARANG MODERNISASI SEBAGIAN MODERNISASI PENUH KETERANGAN
220

1 2 3 4 5 6
40. PETANI: a. Kualitas: tingkat partisipasi a. Kualitas: peningkatan partisipasi a. Kualitas: peningkatan partisipasi
a. Kualitas sebagian kurang, mempunyai petani, mempunyai kearifan petani, mempunyai kearifan
b. Kuantitas kearifan lokal, rasa memiliki dan lokal, rasa memiliki dan rasa lokal, rasa memiliki dan rasa
c. Regenerasi petani rasa tanggung terhadap jaringan tanggung terhadap jaringan tanggung terhadap jaringan
irigasi kurang, kapasitas irigasi ditingkatkan, diciptakan irigasi ditingkatkan, diciptakan
membayar iuran kecil. kembali sistem iuran dengan kembali sistem iuran dengan
b. Kuantitas: terlalu banyak dan sistem yang lebih baik. sistem yang lebih baik.
luas garapan kecil, b. Kuantitas: dilakukan penataan b. Kuantitas: dilakukan penataan
c. Regenerasi petani: profesi kepemilikan lahan sawah 1 – 2 kepemilikan lahan sawah 1 – 2
petani tidak menarik, tingkat ha perpetani; ha perpetani;
kesejahteraan rendah, apresiasi c. Regenerasi petani: profesi c. Regenerasi petani: profesi
terhadap petani rendah, petani dipromosikan, tingkat petani dipromosikan, tingkat
generasi muda tidak tertarik. kesejahteraan ditingkatkan, kesejahteraan ditingkatkan,
apresiasi terhadap petani apresiasi terhadap petani
ditingkatkan, pembinaan ditingkatkan, pembinaan
generasi muda di-intensifkan. generasi muda di-intensifkan.

Dikembangkan oleh tim moderenisasi Direktorat Irigasi dan Rawa


Tim Moderenisasi:
1. Soekrano
2. Sigit Supadmo Arief
3. Dedi Kusnadi Kalsim
4. Achmad Nuch
5. Nasaruddin Djohar A.H

Modernisasi Irigasi PU
221

Isu-isu baru yang muncul


No Subtansi Uraian Masalah Alasan
1 Lahan sawah - Daerah irigasi yang sudah - Peraturan khusus untuk hal Dapat meng-
alih fungsi, dibanguan dengan prasarana tersebut belum ada waktu yang gangu ke-
perubahan teknis oleh pemerintah, tetapi lalu. sinambunagn
kebutuhan air lahan sawah milik petani - Sekarang sudah ada peraturan daerah irigasi.
dan refungsi mudah sekali beralih fungsi untuk itu ..................., tetapi be-
saluran iri- kepada bukan untuk irigasi. lum banyak diterapkan sanksi
gasi yang telah - Belum ada redesign kebutuhan dan penyelesaianya.
dibangun. air irigasi untuk lahan beralih - Kurangnya kepedulian pemer-
fungsi. intahan untuk hal itu.
- Tidak jelas perubahan fungsi
saluran irigasi yang sudah
dibangun.
2 Manajemen - Dengan tumbuhnya perkem- - Tidak tersedia hukum yang Dapat meng-
Pemanfaatan bangan penduduk dan keper- mengatur tentang daya dukung gangu ke-
Sumber Daya luan untuk hidup terutama air. suatu kawasan. sinambunagn
Air Semeraut Hal ini telah mempengaruhi air - Belum ada pola pengelolaan daerah irigasi.
yang tersedia dari alam dan basin suatu sungai yang telah
peruntukan air irigasi yang melalui ketetapan kesepakatan
telah dibangun. bersama.
- Tidak adanya master plan atau
pola pemanfaatan air dalam
suatu basin tertentu.
3 Fungsi daerah - Kesulitan kesinambungan - Ketidak sinkronan keingi- Dapat meng-
resapan air ketersediaan air suatu daerah nan mempertahankan areal gangu ke-
menurun (debit irigasi, akibat menurunnya daya resapan air dan pertumbuhan sinambunagn
banjir menin- resap air pada basin sungai. penduduk, daerah irigasi.
gkat dan debit - Kebutuhan pangan merupakan - serta ketidak berdayaan pen-
musim kering kesinambunagan kehidupan, gelola basin / DAS mengatasi
menurun) tetapi menjaga kesinambuna- hal tersebut.
gan irigasi yang menghasilkan
pangan tidak ada kepedulian.
4 Irigasi merupa- - Banyak daerah irigasi rusak - Kesadaran pemegang kepu- Dapat meng-
kan penyedia akibat kekurangan biaya O&P, tusan untuk kesinambungan gangu ke-
utama pangan, fungsinya penyedia pangan irigasi sangat kurang di level sinambunagn
tetapi dana un- menurun. kebijakan politik. daerah irigasi.
tuk OP kurang - Pengelola irigasi dan peme-
dipedulikan. gang otoritas pusat sampai
daerah lemah dalam segi
politik.
5 Minat Petani - Petani pemilik lahan ada yang - Menjadi petani irigasi tidak Dapat meng-
berkurang tergiur menjual sawah karena menarik minat petani; gangu ke-
tidak ada jaminan kehidupan - sehingga generasi menjadi sinambunagn
masa depan sebagai petani, petani semakin berkurang. daerah irigasi.
generasi muda cenderung mer-
antau kekota kerja di industri.
Salah satu akibatnya adalah:
- Lahan sawah dalam daerah iri-
gasi bukan diolah oleh pemilik,
tetapi oleh pekerja upahan.

Modernisasi Irigasi PU
222

Modernisasi Irigasi PU

Anda mungkin juga menyukai