Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Choirul Yusuf

NPM : 2006586036

Pada kajian kali, saya akan menuangkan analisis dan eksplanasi terkait metode
idealistik yang diusung Plato dalam mendayagunakan pola pikirnya. Pada dasarnya kita
harus memahami terlebih dahulu, bahwasanya apa yang menjadi kerangka berpikir
Plato tentang segala sesuatu yang ideal turut melibatkan pemahaman metafisika, filsafat
manusia, dan epistemologi. Kendati Plato ingin terbebas dari jerat paham dogmatis
mitologi, tetapi Ia juga tidak bisa menyangkal terkait keterlibatan metafisika di dalam
gagasannya yang lebih lanjut. Dalam pembahasan kali ini, Plato memisahkan batasan
antara idea dan perkara empiris. Justru pengambilan posisi semacam ini lah yang
bermuara pada penjelasan yang proporsional. Dengan tegas Ia menjelaskan bahwa
sesuatu yang empiris itu tidak konsisten dan berimplikasi pada sesuatu yang hierarkis.
Kita ambil contoh unsur “air”, secara kegunaan unsur tersebut bisa memiliki
fungsi yang beragam, seperti halnya melepas dahaga bahkan dapat dipergunakan untuk
memadamkan api yang menyala. Kita bisa saja memadamkan api dengan air yang
bersumber dari mana saja. Namun, beda halnya dengan air sebagai pelepas dahaga
karena berdasarkan sumbernya air memiliki klasifikasi tertentu seperti air laut, air tanah,
air sungai, air hujan, dan kita harus mengolahnya terlebih dahulu agar layak untuk
diminum. Ternyata penjelasan tersebut belum selesai sampai disitu, sebab di dalam suhu
tertentu kita dapat meminumnya sedangkan di suhu seratus derajat celcius tubuh kita
menunjukkan suatu penolakan karena kandungan panas berlebih yang tidak mampu
diterima oleh fisik pada umunya. Dari ilustrasi tersebut kita dapat menemukan bukti
bahwa hal bermuatan empiris memiliki struktur hierarkis dan inkonsistensi.
Di lain sisi, pengaruh empiris memiliki kemampuan untuk membangkitkan
kembali konsep idea bawaan yang dimiliki manusia. Melalui anamnesis dan repetisi
dalam aktivitas tertentu, manusia dapat memperoleh kembali gagasan ideanya.
Misalkan, melalui rutinitas saya dalam mempelajari alat musik, saya dapat mengenali
melodi indah yang seakan akan pernah tertanam di dalam kepala saya. Dari hal
tersebutlah, saya mulai menemukan kembali idea tentang “beauty”. Meskipun saya
mendengarkan musik atau melodi yang berbeda dengan individu lain dan kami
menyatakan bahwa masing masing melodi yang didengarkan merupakan sesuatu indah,
belum tentu kesimpulannya bahwa gagasan idea tiap individu itu berbeda.
Permasalahannya bukan perbedaan antara objek observasi a dan b, tetapi impression
yang sama terhadap objek observasi tersebut merupakan bukti nyata bahwa idea itu
sama. Perbedaan tersebut hanya disebabkan oleh faktor empiris, tetapi tetap saja konsep
hakiki tentang idea tersebut sama.
Terlepas dari dualisme Plato terkait perkara idea dan empiris, kita dapat
menemukan konklusi yang bijak dari relevansi kedua pemikiran tersebut. Dapat
dikatakan bahwasanya idea merupakan konsep awal yang tertanam layaknya innate
understanding dan faktor empiris merupakan pemicu penting dalam pembangkitan
kembali suatu idea. Sama halnya dengan lampu yang mencoba merefleksikan eksistensi
dan fungsi dari matahari, tanpa adanya kolaborasi idea dan empiris, manusia tidak akan
mampu mencapai terobosan yang modern. Kendati objek observasi yang bersinggungan
dengan manusia berbeda satu sama lain, tetapi kita mampu menangkap adanya
kesebangunan makna terkait idea yang mendasar di dalamnya. Idea bukanlah suatu hal
yang bisa digapai secara utuh, tetapi dengan upaya tertentu manusia mampu mengenali
ciri beserta akibat dari gagasan idea.

Anda mungkin juga menyukai