Anda di halaman 1dari 15

Epistemologi Aristoteles

1. Metafisika Aristoteles
Secara garis besar, metafisika Aristoteles bisa dilukiskan sebagai pemikiran Plato
yang diperlunak dengan pengetahuan awam. Filsafatnya menjadi sulit karena
pandangan Plato dan pengetahuan awam tak gampang berpadu. Jika kita mencoba
memahaminya, kita bisa membayangkan suatu saat tertentu dimana Aristoteles
mengemukakan pandangan awam dari seorang yang tak paham filsafa, dan saat lain
dimana ia menguraikan Platonisme melalui kosa kata baru. Pemahaman ini tak akan
memadai jika kita terlampau menekankan satu bagian tulisan tertentu, sebab sangat
mungkin bagian itu akan dikoreksi atau dimodifikasi pada bagian tulisan selanjutnya.
Secara keseluruhan, cara termudah untuk memahami teori tentang universal maupun
teorinya tentang materi dan bentuk adalah dengan pertama-tama menguraikan
doktrinnya yang berdasarkan pengetahuan awam, yang mengisi separuh
pandangannya, dan kemudian membahas modifikasi atas bagian-bagian filsafat Plato
yang ia sanggah.
Hingga taraf tertentu, teori tentang universal sangat sederhana, dalam bahasa
dan nama-nama diri dan ada kata-kata sifat. Nama-nama diri mengacu pada “benda-
benda” atau “orang-orang” yang masing-masing adalah satu-satunya benda atau orang
yang diacu oleh nama tersebut. Matahari, bulan, Perancis, Napoleon, bersifat unik; tak
ada sekumpulan benda yang diacu oleh nama-nama itu. Di lain pihak, kata-kata
seperti “kucing”, “anjing”, “manusia” mengacu pada banyak benda yang berbeda-
beda. Masalah tentang universal berkaitan dengan makna kata-kata itu, serta berkaitan
dengan kata-kata sifat seperti “putih”, “keras”, “bundar”, dan sebagainya. Aristoteles
mengatakan: “Dengan istilah ‘universal’ saya memaksudkan suatu ciri yang dapat
dipredikatkan pada banyak subjek, sedangkan ‘individu’ adalah sesuatu yang tidak
dipredikatkan.”
Yang diacu oleh nama diri adalah “substansi”, sedangkan yang diacu oleh kata
sifat adalah nama kelompok, seperti “manusiawi” atau “manusia”, yang disebut suatu
“universal”. Substansi adalah sesuatu yang ini, namun universal adalah sesuatu yang
“demikian” – universal menunjukkan jenis benda, bukan benda partikular yang nyata.
Universal bukanlah substansi, sebab universal bukan suatu “ini”. (Ranjang ideal Plato
merupakan suatu “ini” bagi mereka yang dapat mempersepsinya; ini adalah persoalan
dimana Aristoteles tak sependapat dengan Plato) “Tampak mustahil,” ujar Aristoteles,
“bahwa suatu istilah universal menjadi nama suatu substansi. Sebab...substansi suatu
hal adalah sesuatu yang khas pada dirinya sendiri, yang tak menjadi bagian dari
sesuatu yang lain; sementara universal bersifat umum, karena apa yang disebut
universal adalah sesuatu yang menjadi bagian lebih dari satu hal.” Inti persoalannya,
sejauh ini adalah bahwa universal tak dapat eksis dengan dirinya sendiri, melainkan
hanya di dalam hal-hal partikular.
Sepintas-kilas, doktrin Aristoteles cukup jelas. Misalkan saya mengatakan,
“ada sesuatu berupa permainan sepak bola,” kebanyakan orang akan menganggap
pernyataan itu sebagai kebenaran. Namun, jika kemudian saya menyimpulkan bahwa
sepak bola bisa eksis tanpa para pemain sepak bola, maka saya akan benar-benar
dianggap omong-kosong. Demikian pula akan dikatakan bahwa ada sesuatu seperti
keorangtuaan, namun itu hanya karena ada pada orangtua; ada sasuatu seperti
kemanisan, namun hanya karena ada hal-hal yang manis. Dan ketergantungan ini
dianggap tak bersifat timbal-balik: orang-orang yang bermain sepak bola akan tetap
eksis walaupun mereka tak pernh bermain sepak bola; segala sesuatu yang biasanya
manis bisa berubah menjadi masam; dan wajah saya, yang biasanya merah, bisa
berubah pucat tanpa harus berhenti menjadi wajah saya. Dalam hal ini kita diarahkan
untuk menyimpulkan bahwa apa yang diacu oleh kata sifat keberadaannya tergantung
pada sesuatu yang diacu oleh nama diri, namun tidak sebaliknya,. Saya kira, inilah
yang dimaksudkan Aristoteles. Ajarannya tentang hal ini, sebagaimana tentang
banyak hal lain, adalah suatu prasangka umum yang diungkapkan dengan gaya
keilmu-ilmuan.
Namun sulit menjelaskan teori ini secara tepat. Andakanlah sepak bola tak
dapat eksis tanpa para pemain sepak bola, namun permainan ini jelas tetap bisa eksis
tanpa pemain yang ini atau yang itu. Dan andaikanlah seseorang dapat eksis tanpa
bermain sepak bola, namun ia tak dapat eksis tanpa melakukan sesuatu. Kualitas
kemerahan tak dapat eksis tanpa suatu subjek, namun ia dapat eksis tanpa subjek yang
ini atau yang itu; demikian juga suatu subjek tak dapat eksis tanpa suatu kualitas,
namun ia dapat eksis tanpa kualitas yang ini atu itu. Anggapan bahwa terdapat dasar
bagi pembedaan antara benda-benda dan kualitas dengan demikian tampaknya
hanyalah semu.
Dasar sesungguhnya bagi pembedaan itu, pada kenyataannya adalah
linguistik; pembedaan itu didasarkan pada sintaksis. Ada nama-nama diri, kata-kata
sifat, dan kata-kata penghubung; kita dapat mengatakan “John bijaksana, James tolol,
John lebih tinggi daripada James.” Di sini “John” dan “James” adalah nama-nama
diri, “bijaksana dan “tolol” adalah kata-kata sifat, dan “lebih tinggi” adalah kata
penghubung. Para metafisisi, semenjak Aristoteles menafsirkan perbedaan sintaksis
ini secara metafisik: John dan James adalah substansi, kebijaksanaan dan ketololan
adalah universal. (kata penghubung diabaikan atauditafsirkan secara keliru). Dengan
telaah yang cermat, mungkin saja ditemukan bahwa perbedaan-perbedaan metafisika
memiliki hubungan tertentu dengan perbedan sinaksis, namun jika memang demikian,
hal ini hanya dapat diketahui lewat proses panjang, yang kadang memerlukan pula
penciptaan bahasa artifisial filsafat. Dan bahasa ini tak akan memiliki nama-nama
seperti “John” dan “James”, dan tak akan memiliki kata-kata sifat seperti “bijaksana”
dan “tolol”; semua kata dalam bahasa sehari-hari akan menjadi sasaran analisis, dan
akan digantikan dengan kata-kata yang mengandung arti lebih sederhana. Sebelum
upaya demikian dilakukan, masalah tentang partikular dan universal tidak dapat
ditelaah secara memadai. Dan ketika kita telah mencapai suatu tahap dimana kita
sekurang-kurangnya dapat menelaahnya, akan kita lihat bahwa persoalan yang tengah
kita bicarakan akan amat sangat berbeda dengan bayangan kita semula.
Dengan demikian, saya gagal menjelaskan teori Aristoteles tentang universal.,
dan ini (saya tegaskan) karena teori itu memang tak jelas. Tetapi bisa dipastikan
bahwa upaya Aristoteles itu merupakan kemajuan dibanding teori ide, dan jelas
menyangkut sebuah persoalan yang hakiki dan sangat penting.
Ada peristilahan lain yang penting dalam filsafat aristoteles dan dalam
pemikiran para pengikut skolastiknya, yakni “esensi”. Istilah ini bukanlah padanan
dari universal. “esensi” anda adalah “siapakah anda berdasarkan diri anda yang paling
hakiki”. Orang mungkin mengatakan bahwa ini adalah sifat-sifat yang jika
dihapuskan, anda akan berubah menjadi bukan anda lagi. Tak hanya sesuatu yang
individual, namun suatu spesies pun memiliki esensinya. Definisi atas suatu spesies
harus meliputi penyebutan esensinya. Saya akan kembali mengulas konsep tentang
“esensi” ini dalam bagian yang membicarakan logika Aristoteles. Hal itu kiranya
hanyalah tindakan yang berangkat dari kerancuan berpikir, disebabkan
kekurangcermatan.
Persoalan selanjutnya adalah metafisika Aristoteles adalah pembeda antara
“forma” dan “materi”. (“materi” dalam pengertian sebagai sesuatu yang berlawanan
dengan “forma”, berbeda dengan “materi” sebagai lawannya “jiwa”).
Di sini terdapat pengetahuan awam yang dijadikan basis bagi teori Aristoteles,
modifikasi atas filsafat Plato adalah sesuatu yang penting. Contoh untuk mengawali
pembahasan ini semisal, jika seorang membuat bola perunggu, maka perunggu adalah
materi, kebolaan adalah formaa; sedangkan dalam kasus laut yang tenang, air adalah
materi dan ketenangan adalah forma. Hingga di sini, persoalannya terkesan sederhana.
Ia selanjutnya megatakan bahwa berkat forma itulah materi menjadi sesuatu
tertentu, dan inilah substansi sesuatu. Apa yang dimaksudkan Aristoteles tampaknya
benar-benar masuk akal: “sesuatu” haruslah terbatas, dan batasan itulah yang
merupakan formanya. Mislakan sejumlah air: sebagian dari air itu dapat dibedakan
dari bagian lainnya dan menempatkannya ke dalam sebuah bejana, sehingga bagian
ini lantas menjadi “sesuatu”, namun selama bagian ini belum dibedakan dari bagian
air lainnya yang homogen maka ia bukan “sesuatu”. Sebuah arca adalah “sesuatu”,
dan pualam yang menjadi bahan arca, dari segi tertentu, tak berubah dari keadaannya
semula sebagai bagian dari bongkahan batu pualam atau bagian dari barang-barang
hasil pertambangan. Kita tidak lazim mengatakan bahwa formalah yang menjadi dasar
substansialitasnya, tetapi ketidaklaziman ini dikarenakan hipotesis tentang atom telah
terlanjur tertanam dalam angan-angan kita. Bagaimanapun juga setiap atom jika ia
dikatakan “sesuatu”, ini dikarenakan ia dibedakan dari atom-atom lain dan dengan
demikian, dlam arti tertentu, memiliki “forma”.
Kini kita sampai pada pernyataan baru, yang pada mulanya akan terkesan
sulit. Dikatakan bahwa jiwa adalah forma dari tubuh. Dalam hal ini jelas bahwa
“forma” bukan berarti ”bentuk”. Dalam sistem pemikiran Aristoteles, jiwalah yang
menyebabkan tubuh menjadi sesuatu,yang memiliki kesatuan dan tujuan, serta ciri-
ciri yang lazim kita kaitkan dengan istilah “organisme”. Tujuan mata adalah untuk
melihat, namun mata tak dapat melihat jika dipisahkan dari tubuh. Sebenarnya yang
melihat adalah jiwa.
Maka akan tampak bahwa ”forma” adalah apa yang memberikan kesatuan
pada sejumlah materi, dan bahwa kesatuan ini biasanya kalau tak bisa dikatakan
selalu, bersifat teleologis. Namun forma juga jauh lebih luas dari sekedar itu, dan
yang selebihnya itulah yang sangat sulit.
Disebutkan bahwa forma dari sesuatu adalah esensinya dan substansi
utamanya. Forma-forma bersifat substansial, sedangkan universal-universal tidak.
Tidak semua hal memiliki materi; ada hal-hal yang kekal, dan hal-hal yang tidak
memiliki materi, kecuali hal-hal yang bisa bergerak dalam ruang. Berbagai hal
mrningkat aktualitasnya karena menerima forma; materi tanpa forma hanya
merupakan potensialitas.
Pandangan bahwa forma adalah substansi, yang eksis secara terpisah dari
materi yang dengannya forma itu menampilkan diri, tampak mempertentangkan
Aristoteles dengan argumennya sendiri yang dimaksudkan untuk menyanggah ide-ide
Plato. Forma dimaksukan oleh Aristoteles sebagai sesuatu yang amat berbeda dengan
universal, namun forma itu memiliki ciri-ciri yang serupa. Disebutkan bahwa forma
lebih real dibandingkan materi; ini mengingtakan kita pada realitas ide-ide yang
berdiri. Perubahan yang dilakukan Aristoteles terhadap metafisika Plato tampaknya
tak lebih dari menampilkannya sebagai sesuatu yang berwujud. Penilaian ini,
dikemukakan oleh Zeller yang sehubungan dengan masalah materi dan forma,
mengatakan:
“Ketererangan terakhir bahwa Aristoteles masih memerlukan kejelasan
tentang masalah ini, bagaimanapun, dapat dikemukakan pada fakta bahwa ia baru
mencapai separuh dari upaya membebaskan dirinya, sebagaimana akan kita lihat, dari
kecenderungan Plato untuk menganggap ide-ide sebagai substansi dasar. ‘forma’
dalam filsafat Aristoteles, seperti halnya ‘ide’ dalam filsafat Plato, memiliki ekstensi
metafisik tersendiri, dan mempengaruhi semua benda individual. Dan ketika dengan
cermat dia menelusuri perkembangan ide-ide dari pengalaman, bagaimanapun
memang benar ide-ide itu, terutama pada saat dimana mereka paling terjauhkan dari
pengalaman dan persepsi langsung, lantas pada akhirnya mengalami metamorfosis
dari produk logis pemikiran manusia menjadi perwujudan langsung dalam dunia
suprainderawi, dan dengan demikian menjadi objek intuisi intelektual.”
Penulis tidak tahu bagaimana Aristoteles menjawab kritik ini, mungkin ia akan
menjawab seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa tak ada dua hal yang memilki
forma yang sama. Jika seseorang membuat dua bola kuningan, masing-masing bola
memiliki kebolaannya yang khas, yang bersifat substansial dan partikular, dan
merupakan suatu perwujudan dari “kebolaan” universal namun tidak identik
dengannya. Penulis bukan berpendapat bahwa apa yang dikutip di atas akan sesuai
dengan penafsiran ini. Sementara jawaban ini pun masih memungkinkan sanggahan
bahaw kebolaan partikular dalam pandangan Aristoteles tak akan bisa diketahui,
sedangkan pendapat yang mendasar dalam metafisikanya adalah bahwa jika terdapat
lebih banyak forma dan lebih sedikit materi, maka segala sesuatu semakin bisa
diketahui. Pendapat ini hanya sejalan dengan pandangannya yang lain jika forma
dapat diwujudkan pada banyak benda partikular. Sedangkan seandainya ia
mengatakan bahwa ada banyak forma yang merupakan perwujudan kebolaan
sebanyak benda-benda yang berbentuk bola, ia tentunya telah melakukan perubahan
radikal atas filsafatnya. Sebagai misal, pandangannya bahwa formal identik dengan
esensinya tidak sejalan dengan jalan keluar yang disarankan di atas.
Doktrin tentang materi dan forma dalam filsafat Aristoteles berkaitan dengan
pembedaan potensialitas dan aktualitas. Materi mentah dikonsepsikan sebagai
potensial forma; semua perubahan adalah apa yang kita sebut “evolusi”, dalam arti
bahwa sesudah adanya perubahan itu sesuatu tertentu memilikilebih banyak forma
dariapada sebelumnya. Apa yang memiliki lebih banyak forma dianggap lebih
“aktual”. Tuhan adalah forma murni dan aktualitas murni; pada Dirinya, dengan
demikian, mustahil terjadi perubahan. Terlihat bahwa doktrin ini bersifat optimisis
dan teleologis: alam semesta dan segala hal di dalamnya senantiasa berkembang
menuju sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya.
Teologi Aristoteles cukup menarik, dan berkaitan erat dengan pemikiran
metafisikanya yang lain. Bahkan, “teologi” adalah sebutan yang dia pakai untuk apa
yang kita sebut “metafisika”.
Ia mengatakan bahwa ada tiga macam substansi: yang tertangkap indera dan
bisa musnah, yang tertangkap indera namun tak dapat musnah, dan yang tak
tertangkap indera sekaligus tak dapat musnah. Golongan pertama meliputi tumbuh-
tumbuhan dan binatang, yang kedua meliputi benda-benda langit (yang diyakini
Aristoteles tak mengalami perubahan kecuali hanya bergerak), yang ketiga meliputi
jiwa rasional pada manusia, serta pada Tuhan.
Argumen utama untuk membuktikan keberadaan Tuhan adalah konsep tentang
Kausa Prima: pastilah ada sesuatu yang menciptakan gerak, dan sesuatu ini pada
dirinya sendiri haruslah tak tergerakkan, dan pastilah abadi, merupakan substansi, dan
aktualitas. Objek keinginan dan objek pikiran, menurut Aristoteles menyebabkan
gerak dengan cara demikian itu, yakni dirinya sendiri tak harus bergerak. Jadi, Tuhan
melahirkan gerak dengan jalan dicintai, sedangkan hal-hal lain menyebabkan
terjadinya gerak dengan cara dirinya sendiri harus bergerak. Tuhan adalah pikiran
murni; sebab pikiranlah yang terbaik. “Hidup pun adalah bagian dari Tuhan; sebab
kehidupan adalah aktualitas pikiran; dan aktualitas Tuhan yang tergantung pada
dirinya sendiri adalah kehidupan yang terbaik dan kekal. Dengan demikian, kita dapat
mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu pengada yang hidup, baka, terbaik, sehingga
kehidupan dan keberlangsungan yang terus menerus dan kekal adalah milik Tuhan.
Tuhan tak memiliki ciri-ciri seperti Tuhan Penyelenggara dalam keyakinan
Kristen, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan segala
sesuatu selain yang sempurna, ialah Dirinya sendiri. “Pikiran Tuhan pastilah berpikir
tentang dirinya sendiri, dan pemikirannya adalah suatu pemikiran tentang
pemikiran.”. Kita harus menyimpulkan bahwa Tuhan tidak mengetahui eksistensi
dunia kita yang fana ini. Seperti Spinoza, Aristoteles meyakini bahwa sementara
manusia harus mencintai Tuhan, sebaliknya mustahil Tuhan akan mencintai manusia.
Tuhan tidak dapat dibatasi sebagai “penggerak yang tak bergerak”.
Sebaliknya, pemikiran astronomi mengarah pada kesimpulan bahwa ada empat puluh
tujuh atau lima puluh lima penggerak yang tak bergerak. Hubungan antara penggerak
yang tak bergerak ini dengan Tuhan tidak dijelaskan; tentu saja penafsiran yang wajar
akan mengarah pada kesimpulan bahwa ada empat puluh tujuh atau lima puluh lima
dewa. Sebab sesudah salah satu dari sejumlah tulisannya tentang Tuhan yang dikutip
di atas, Aristoteles mengatakan: “Kita tak boleh melalaikan persoalan apakah kita
akan menganggap substansi demikian itu satu ataukah lebih dari satu,” dan seklaigus
mengetengahkan argumen yang mengarah pada pendapat tentang empat puluh tujuh
atau lima puluh lima penggerak.
Konsepsi tentang penggerak yang tak bergerak adalah persoalan yang sulit.
Bagi pikiran modern, akan tampak bahwa jika alam semesta sepenuhnya statis, maka
akan tetap demikianlah selamanya. Untuk memahami apa yang dimaksudkan
Aristoteles, kita harus menyimak apa yang ia katakan tentang penyebab-penyebab.
Menurutnya, ada empat macam penyebab, yang masing-masing disebut penyebab
material, formal, efisien, dan final. Dalam peristilahan modern, kata “penyebab” akan
terbatas pada penyebab efisien saja. Penggerak yag tak bergerak bisa dianggap
sebagai penyebab final: ia menyediakan tujuan bagi perubahan, yang pada hakikatnya
adalah suatu evolusi menuju kesamaan dengan Tuhan.

Tuhan eksis secara abadi, sebagai pikiran murni, kebahagiaan, pemenuhan diri
yang sempurna, namun dunia ini memiliki kehidupan, hasrat, pikiran yang tak
sempurna, serta cita-cita. Semua makhluk hidup dalam derajat yang berbeda-beda
sadar akan Tuhan, dan tergerak untuk bertindak berdasarkan hormat dan cinta
terhadap Tuhan. Jadi Tuhan adalah penyebab final seluruh aktivitas. Perubahan terjadi
dengan jalan memberikan forma pada materi, namun sejauh ini menyangkut benda
inderawi, substratum materi akan tetap ada. Hanya Tuhanlah yang berupa forma tanpa
materi. Dunia terus-menerus berevolusi menuju forma dalam derajat yang lebih
tinggi, dan dengan begitu secara progresif menjadi lebih mendekati Tuhan. Namun
proses ini tak akan bisa dituntaskan, sebab materi tak bisa sepenuhnya dihilangkan.
Ini merupakan agama progresi dan dan evolusi, sebab kesempurnaan Tuhan yang
statis bisa menggerakkan dunia hanya melalui cinta yang dirasakan makhluk-makhluk
yang tak sempurna terhadap Dirinya. Filsafat Plato bercorak sistematis, filsafat
Aristoteles bercorak biologis; inilah yang melandasi perbedaan agama mereka.
Akan tetapi ini akan merupakan pandangan yang berat sebelah terhadap agama
Aristoteles; ia pun memiliki rasa cinta orang Yunani terhadap kesempurnaan yang
statis dan kecenderungan untuk mengutamakan kontemplasi daripada aksi. Ajarannya
tentang jiwa memperlihatkan aspek ini di dalam filsafat.
Apakah Aristoteles mengajarkan imortalitas dalam bentuk tertentu, ataukah
tidak, lantas menjadi persoalan yang diperbantahkan di antara para komentator. Ibn
Rusyd, yang menyatakan bahwa Aristoteles tak mengajarkannya, memiki pengikut-
pengikut di negeri-negeri Kristen, yang di antara pengikut itu yang lebih ekstrem
disebut sebagai kaum Epikurean, dan yang ditemukan Dante berada dalam neraka.
Pada kenyataannya, doktrin Aristoteles cukup pelik dan mudah menyebabkan salah
paham,. Dalam bukunya yang berjudul On the Soul, ia menganggap jiwa terikat
dengan tubuh, dan memperolok doktrin Pythagorean tentang perpindahan jiwa. Jiwa,
agaknya musnah bersama tubuh: “jelas harus disimpulkan bahwa jiwa tak terpisahkan
dari tubuhnya”; namun ia segera menambahkan: “atau tentunya bagian-bagian
tertentu dari jiwa itu.” Tubuh dan jiwa saling berkaitan sebagai materi dan forma:
“jiwa tentunya adalah substansi dalam pengertian sebagai forma dari suatu tubuh
material yang memiliki potensialitas kehidupan di dalamnya. Namun substansi adalah
aktualitas dan dengan begitu jiwa adalah aktualitas dari tubuh yang dicirikan di atas.”.
Jiwa adalah substansi dalam arti berkaitan dengan formula definitif yang terdapat
pada esensi sesuatu. Ini berarti bahwa jiwa adalah “keapaan esensial” suatu tubuh
yang memiliki ciri-ciri yang telah disebutkan tadi (yakni memiliki kehidupan). “Jiwa
adalah tahap pertama aktualitas tubuh alamiah yang memiliki potensialitas kehidupan
di dalamnya. Tubuh dengan demikian, digambarkan sebagi tubuh yang terorganisir.
Mempertanyakan apakah jiwa dan tubuh merupakan satu kesatuan sama sia-sianya
dengan mempertanyakan apakah lilin dan bentuk yang diterapkan padanya oleh
stempel adalah satu. Pemeliharaan diri adalah satu-satunya kemampuan psikis yang
dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan. Jiwa adalah penyebab final atas tubuh.
Aristoteles membedakan anatara “jiwa” dan “akal”, menempatkan akal lebih
tinggi daripada jiwa; dan kurang terikat dengan tubuh. Sesudah menguraikan
hubungan antara jiwa dengan tubuh, ia mengatakan: “Akal adalah sesuatu yang lain
lagi; akal adalah sesuatu yang mandiri yang ditanamkan ke dalam jiwa dan tak dapat
hancur”. Selain itu: “Kita belum punya bukti memadai tentang akal atau kemampuan
berpikir; akal tampaknya merupakan semacam jiwa namun mengandung banyak
perbedaan yang membedakan antara apa yang kekal dan apa yang fana; akal itu
sendiri dapat eksis tanpa tergantung pada semua kemampuan psikis lainnya. Semua
bagian jiwa lainnya, yang telah jelas berdasarkan apa yang telah kami katakan, mesti
terdapat beberapa pernyataan yang bertentangan, tidaklah dapat eksis secara mandiri”.
Akal adalah bagian diri kita yang dapat memahami matematika dan filsafat; apa yang
menjadi objeknya bersifat kekal, dan karenanya akal itu sendiri bersifat kekal, dan
karenanya akal itu sendiri dianggap kekal. Jiwa adalah sesuatu yang menggerakkan
tubuh dan mempersepsi objek-objek inderawi; ia dicirikan oleh kemampuan
memelihara diri, merasa, berpikir dan berkehendak; tetapi akal memiliki fungsi
berpikir lebih besar, tanpa berkaitan dengan tubuh atau indera. Dengan demikian akal
bisa kekal, meski bagian-bagian jiwa lainnya tak kekal.
Untuk memahami ajaran Aristoteles tentang jiwa, kita harus mengingat bahwa
jiwa adalah “forma” tubuh dan bahwa bentuk spasial adalah salah satu jenis “forma”.
Apa persamaan antara jiwa dan bentuk? Persamaannya adalah memberikan kesatuan
terhadap sejumlah materi tertentu. Ciri esensial dari jiwa, dalam kaitannya sebagai
“forma” dari tubuh, adalah bahwa ia menjadikan tubuh sebagai kesatuan organis, dan
memiliki tujuan sebagai satu kesatuan. Suatu organ tunggal memiliki tujuan-tujuan
yang berada di luar dirinya sendiri; pada dirinya sendiri, mata tak dapat melihat.
Karenanya banyak hal yang dapat dikatakan dalam kaitannya dengan binatang atau
tumbuhan sebagai satu keutuhan yang merupakan suatu subjek, yang sebaliknya tak
dapat dikatakan dalam kaitannya dengan bagian-bagiannya yang tak merupakan
subjek. Dalam pengertian inilah pengorganisasian, atau forma melahirkan substansial.
Sesuatu yang melahirkan substansialitas pada tumbuhan atau binatang adalah apa
yang oleh Aristoteles disebut “jiwa”. Sedangkan “akal” adalah sesuatu yang berbeda,
tidak terlalu terikat erat dengan tubuh; mungkin ia merupakan bagian dari jiwa,
namun akal hanya dimiliki oleh sebagian kecil makhluk hidup. Akal sebagai
pemikiran tak dapat menyebabkan gerak, sebab akal tak pernah memikirkan sesuatu
yang praktis, dan pernah menyatakan apa saja yang harus dihindari atau harus dicapai.
Doktrin serupa itu, dengan sedikit perubahan terminologi, dikemukakan dalam
Nichomacean Ethics. Dalam jiwa terdapat satu unsur yang rasional, dan unsur lain
yang irasional. Bagian yang irasional mengandung dua segi: vegetatif, yang terdapat
dalam segala sesuatu yang hidup, bahkan dalam tumbuh-tumbuhan, serta apetitif yang
terdapat pada semua binatang. Kehidupan jiwa yang rasional berada dalam
perenungan, yang merupakan kebahagiaan sempurna bagi manusia, meski
kesempurnaan itu tak dapat dicapai sepenuhnya. “Kehidupan jiwa rasional itu
terlampau tinggi bagi manusia; sebab kehidupan yang demikian itu tidak terjadi
sejauh ia hanyalah manusia, melainkan terjadi sejauh sesuatu yang ilahi hadir dalam
dirinya; dan karena kehidupan jiwa rasional itu lebih mulia daripada semua sifat kita
lainnya maka aktivitasnya pun lebih mulia daripada apa yang dipraktikan oleh
perbuatan-perbuatan utama jenis lainnya (yakni jenis yang praktis). Jika akal bersifat
ilahi dalam perbandingannya dengan sifat manusia, maka kehidupan yang berkaitan
dengannya pun bersifat ilahi jika dibandingkan dengan kehidupan manusia. Namun
kita tak semestinya mengikuti mereka yang menyarankan bahwa sebagai manusia,
kita sebaiknya berpikir tentang segala sesuatu yang manusiawi, dan sebagai makhluk
yang fana mestinya memikirkan segala hal yang fana namun sebaliknya, sejauh kita
mampu kita harus menjadikan diri kita kekal berupaya sebisa-bisanya untuk hidup
sesuai dengan segala hal yang terbaik dalam diri kita; sebab walaupun ini hanyalah
sesuatu yang kecil di dalam sesuatu yang besar, namun ia memiliki daya dan nilai
jauh lebih tinggi dibandingkan segala sesuatu”.
Dari kutipan itu terlihat bahwa individualitas sesuatu yang membedakan
manusia satu dengan yang lainnya berkaitan dengan tubuh dan jiwa irasional,
sedangkan jiwa rasional atau akal bersifat ilahi dan impersonal. Segi irasional
memisahkan kita, segi rasional mempersatukan kita. Jadi imortalitas akal atau nalar
bukanlah berarti imortalitas personal pada manusia-manusia tertentu, melainkan
sama-sama mengambil bagian dalam imortalitas Tuhan. Tak ada bukti bahwa
Aristoteles meyakini imortalitas personal, dalam arti seperti yang diajarkan Plato dan
berikutnya oleh agama Kristen. Yang ia percaya hanyalah bahwa sejauh manusia
bersikap rasional, ia mengambil bagian dalam keilahian, yang bersifat kekal. Terbuka
kemungkinan bagi manusia untuk meningkatkan unsur ilahi dalam kodratnya dan
melakukan hal demikian itu merupakan keutamaan tertinggi. Namun sekiranya ia bisa
melakukan itu secara sempurna, tentulah ia akan berhenti eksis sebagai individu
tertentu. Barangkali ini bukanlah satu-satunya tafsir yang mungkin atas apa yang
diungkapkan Aristoteles, namun penulis kira inilah yang paling wajar.
2. Etika Aristoteles
Pandangan Aristoteles terhadap etika terutama mewakili opini kaum terpelajar
dan berpengalaman yang berlaku pada zamannya. Tidak seperti Plato, pandangan
Aristoteles tidak banyak terpengaruh oleh berbagai keyakinan agama mistik; Tidak
pula memberikan pandangan yang mengemukakan teori-teori yang menyimpang dari
adat yang lazim seperti yang ada dalam buku Republik dalam kaitannya dengan
dengan hak milik dan keluarga. Siapa pun yang caranya berperilaku tidak merosot di
bawah ataupun melewati batas-batas kepatutan, yaitu para warganegara yang
membahas baik, akan menjumpai dalam buku Ethics itu suatu pembahasan sistematis
tentang sejumlah prinsip yang bisa dijadikan dasar untuk meyakini bahwa perilaku
mereka memang harus diatur. Tetapi siapa pun yang mengharapkan lebih dari itu akan
kecewa. Buku ini disukai oleh kalangan terhormat yang sudah berusia setengah baya,
dan memang telah dipakai oleh mereka, terutama sejak abad ke-17, untuk menekan
semangat dan gairah kaum muda yang terlampau menyala-nyala. Namun bagi orang
yang memiliki perasaan yang mendalam, buku itu hanya akan terasa menjemukan.
Disebutkan di situ bahwa yang baik adalah kebalagiaan, yang merupa- kan aktivitas
jiwa. Aristoteles mengatakan bahwa Plato benar ketika memilah jiwa menjadi dua
bagian, yang satu rasional, dan yang lain irasional. Bagian yang irasional itu sendiri ia
pilahkan menjadi vegetatif (yang bahkan terdapat dalam tumbuh-tumbuhan) dan
apetitif (yang ter- dapat pada semua binatang). Bagian yang apetitif hingga derajat
tertentu bisa rasional, jika kebaikan yang ia cari sesuai dengan pertimbangan nalar.
Masalah ini sangat esensial dalam kaitannya dengan keutamaan, sebab nalar itu
sendiri dalam filsafat Aristoteles bersifat kontemplatif sepenuh nya, dan tanpa bantuan
segi yang apetitif tidak dapat mengarah pada kegiatan praktis apa pun Ada dua macam
keutamaan, ialah intelektual dan moral, yang berkaitan dengan dua bagian jiwa tadi.
Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran, keutamaan moral berasal dari
kebiasaan. Adalah tugas para legislator untuk menciptakan warganegara yang baik
dengan cara mem bentuk kebiasaan yang baik. Kita menjadi adil dengan menjalankan
tindakan-tindakan yang adil, dan demikian pula mengenai keutamaan- keutamaan
lainnya. Dengan dipaksa untuk menerima kebiasaan yang baik menjalankan tindakan-
tindakan yang baik itu Dalam hal ini kita dingatkan pada apa yang diucapkan Hamlet
kepada ibunya menurut Aristoteles, suatu saat kita akan menemukan kenikmatan
dalam quad belum melakukan.
Kini kita sampai pada ajaran tentang jalan tengah yang terkenal. Setiap keutamaan
adalah suatu pertengahan di antara dua sisi ekstrem, yang masing-masing buruk. Ini
dibuktikan dari pengujian terhadap ber aneka keutamaan. Keberanian adalah
pertengahan antara sikap pengecut dan sikap ugal-ugalan; kebebasan adalah antara
sifat boros dan sifat kikir; harga diri adalah antara kecongkakan dan kerendahan diri;
kelakar adalah antara sikap membadut dan sikap kasar; kerendahan hati adalah antara
sikap malu-malu dan sikap tak kenal malu. Beberapa ke- utamaan tampaknya tak
sesuai dengan skema demikian ini; misalnya, kejujuran. Aristoteles mengatakan
bahwa kejujuran ini adalah pertengahan antara kesombongan dan kesederhanaan semu
(1108), tetapi ini hanya sesuai untuk kejujuran pada diri seseorang. Saya tidak tahu
bagaimana kejujuran dalam arti yang lebih luas akan bisa disesuaikan dengan skema
ini. Suatu ketika ada seorang walikota yang menganut ajaran Aristoteles pada akhir
masa jabatannya ia mengemukakan dalam pidatonya bahwa ia telah berusaha keras
untuk menempuh jalan yang sempit antara sikap berat sebelah di satu sisi dan sikap
tak memihak di sisi lain. Pandangan tentang kejujuran sebagai sikap tengah-tengah
tampaknya kurang masuk akal. Pendapat Aristoteles tentang persoalan-persoalan
moral tak lain adalah pandangan konvensional pada zamannya. Dalam sejumlah segi
pandangan itu berbeda dengan yang berlaku di zaman kita, terutama ika menyangkut
beberapa bentuk norma kebangsawanan. Kita ber- pendapat bahwa semua manusia,
setidaknya dalam teori etika, memiliki hak-hak yang setara, dan bahwa keadilan tak
terlepas dari kesetaraan ini; Aristoteles berpendapat bahwa keadilan bukanlah
kesetaraan, namun pembagian hak, yang tidak selalu berarti kesetaraan (1131)
Keadilan seorang majikan atau ayah berbeda dengan keadilan warganegara, sebab
anak atau budak termasuk harta-milik, dan tak ada ketidakadilan terhadap harta-milik
seseorang itu sendiri (1134).
Individu yang terbaik, dalam konsepsi Aristoteles, adalah orang yang sangat berbeda
dengan seorang santo Kristiani.
Manusie yang berbudi luhur, karena ia berhak paling banyak, harusiah sungguh-
sungguh baik, sebab orang yang lebih baik selalu berhak lebih banyak dan yang
paling baik berhak paling banyak. Karena itu orang yang bemar-benar berbudi luhur
haruslah baik. Dan keluhuran dalam setiap perbuatan hendaknyaManusia yang
berbudi luhur terutama peduli terhadap kehormatan dan kehinaan; dan terhadap
kehormatan yang luhur dan diberikan oleh orang-orang yang baik ia akan merasa
cukup senang, meng- anggap bahwa dengan itu ia tampil sesuai dengan dirinya sendiri
atau bahkan kurang dibandingkan dirinya sendiri; sebab tak ada kehormatan yang
senilai dengan keutamaan yang sempurna, tetapi bagaimanapun ia akan bisa
menerima- nya sebab mereka tak memiliki kehormatan lebih besar yang bisa
diberikan padanya; tetapi terhadap kehormatan yang diberikan oleh orang-orang yang
sembarangan dan dilakukan berdasarkan alasan-alasan sepele ia jelas akan
merendahkan, sebab ini tak sebanding dengan yang selayaknya ia terima, dan juga
menghina, sebab bagi dia ini tak adil..

aristokrasi adalah Para raja dan kaum bangsawan bisa "berbudi luhur", namun
warganegara biasa hanya akan menjadi bahan tertawaan jika mereka berusaha
menerapkan pola sikap demikian itu.

Ini lantas memunculkan pertanyaan yang setengah etis, setengah politis. Dapatkah
kita menganggapnya memuaskan dari segi moral jika suatu masyarakat, berdasarkan
konstitusinya yang mendasar, lantas membatasi hal-hal yang terbaik bagi sebagian
kecil kalangan saja, dan mengharuskan sebagian besar khalayak untuk puas dengan
kebaikan nomor dua? Plato dan Aristoteles menjawab ya, dan Nietzsche sepakat
dengan mereka. Kaum Stoa, Kristen, dan demokrat mengatakan tidak.

Pandangan Stoa-Kristen menghendaki konsepsi tentang keutamaan yang amat


berbeda dengan pandangan Aristoteles, sebab pandangan Stoa-Kristen beranggapan
bahwa keutamaan bisa dilakukan oleh budak maupun oleh majikan. Etika Kristen tak
menyetujui rasa harga diri, yang menurut Aristoteles adalah keutamaan, dan
memuliakan kerendahan hati, yang bagi Aristoteles adalah sesuatu yang buruk.
Keutamaan intelektual, yang dimuliakan Plato dan Aristoteles lebih dari segala hal
lainnya, harus dibuang sama sekali, sehingga orang-orang miskin dan sederhana bisa
sama utamanya dengan orang-orang lain.
Pandangan Aristotelian, yang mengkhususkan keutamaan hanya bagi sekelompok
kecil orang, secara logis berkaitan dengan subordinasi etika terhadap politik.
Dalam sistem demokrasi, seorang Presiden tidak diharapkan agar benar-benar
bersikap seperti orang berbudi luhur dalam filsafat Aristoteles, namun tetap saja ia
diharapkan agar bersikap agak berbeda dengan warganegara kebanyakan, dan
memiliki kelebihan tertentu yang berkaitan dengan jabatannya. Kelebihan khusus ini
mungkin tidak dipandang sebagai perkara "etis", namun ini dikarenakan kita memakai
kata sifat itu dalam pengertian yang lebih sempit daripada pengertian yang dipakai
Aristoteles.

Teori-teori etika dapat dipilah menjadi dua golongan, berdasarkan apakah teori itu
memandang keutamaan sebagai sarana ataukah tujuan. Aristoteles, secara garis besar,
mengemukakan pandangan bahwa ke- utamaan adalah sarana untuk mencapai tujuan,
yakni kebahagiaan. "Tujuan, dengan demikian, adalah apa yang kita dambakan,
sedangkan sarana adalah apa yang kita pertimbangkan dan kita pilih, dan tindakan-
tindakan yang menyangkut sarana harus sesuai dengan pilihan dan kemauán. Maka
kini perbuatan utama lebih menyangkut sarana".
"Kebaikan manusia adalah aktivitas jiwa yang sesuai dengan keutamaan dalam
kehidupan yang sempurna".
keutamaan intelektual adalah tujuan, sedangkan keutamaan praktis hanyalah sarana.
Kaum moralis Kristen berpendapat bahwa, meskipun hasil dari tindakan-tindakan
utama pada umumnya baik, namun hasil itu tidaklah sebaik tindakan utama itu
sendiri, yang hendaknya dinilai berdasarkan tindakan itu sendiri, dan tidak
berdasarkan hasilnya.
Hubungan antara etika dengan politik memunculkan persoalan etis lainnya yang amat
penting. Jika diandaikan bahwa kebaikan yang harus dituju oleh tindakan yang benar
merupakan kebaikan bagi seluruh masyarakat, atau, pada akhirnya, adalah kebaikan
bagi seluruh umat manusia, apakah kebaikan sosial ini adalah jumlah total dari
berbagai tubuh manusia.
Ethics berisi telaah tentang persahabatan, termasuk segala hubungan yang melibatkan
rasa cinta.
Aristoteles sekali lagi membuktikan kepintarannya dalam membahas kenikmatan,
yang oleh Plato dipandang dengan sikap yang agak asketis Kenikmatan, menurut
Aristoteles, berbeda dengan kebahagiaan, sebab tak mungkin ada kebahagiaan tanpa
kenikmatan.
terdapat tiga pandangan tentang kenikmatan: (1) bahwa semua kenikmatan tidak baik;
(2) bahwa beberapa kenikmatan baik, namun sebagian besar buruk; (3) bahwa
kenikmatan baik, namun bukan yang terbaik. Aristoteles menolak pendapat yang
pertama dengan alasan bahwa penderitaan sudah pasti buruk, sehingga kenikmatan
tentunya baik.
Keutamaan praktis hanya menghasilkan kebahagiaan jenis kedua; kebahagiaan
tertinggi tercapai berkat kegiatan akal, sebab akal, lebih dari segala hal lainnya, adalah
hakikat manusia. Manusia tak dapat sepenuh nya kontemplatif, namun sejauh ia
kontemplatif maka ia mengambil bagian dalam kehidupan ilahi. "Aktivitas Tuhan,
yang melampaui segala hal lainnya dalam kebahagiaannya, pastilah kontemplatif."
Berikut adalah teori etika yang dipaparkan dalam Nicomachean Ethics. (1) Secara
keseluruhan, isi buku itu konsisten dengan dirinya sendiri, kecuali dalam sejumlah
kecil bagian yang tak terlalu penting. Doktrin bahwa kebaikan adalah kebahagiaan,
dan bahwa kebahagiaan tercipta berkat berhasilnya kegiatan, telah diuraikan dengan
sangat baik. Doktrin bahwa setiap keutamaan adalah pertengahan antara dua sisi
ekstrem, meskipun dijabarkan secara amat cerdas, tak dapat dikatakan berhasil, karena
tidak berlaku bagi kontemplasi intelektual yang dikatakan sebagai yang terbaik di
antara segala aktivitas. Akan tetapi dapat juga dikatakan bahwa doktrin tentang jalan
tengah itu hanya dimaksudkan berlaku untuk keutamaan-keutamaan praktis bukan
keutamaan intelek. Untuk mengambil contoh lain, kedudukan seorang legislator
mungkin agak ambigu. Dialah yang harus men- jadikan anak-anak dan kaum muda
menerima adat-kebiasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik, yang pada
akhirnya me nyebabkan mereka bisa menemukan kenikmatan dalam menjalankan
keutamaan, dan bersedia bertindak utama tanpa harus dipaksa secara hukum. Jelas
pula bahwa legislator sebaliknya bisa juga menyebabkan kaum muda menerima
kebiasaan buruk; jika hal ini hendak dihindar- kan, ia haruslah memiliki semua
kebijaksanaan seorang negarawan dalam filsafat Plato; dan jika hal ini tak
diihindarkan, maka argumen bahwa kehidupan yang utama merupakan suatu
kenikmatan akan gagal. Akan tetapi masalah ini mungkin lebih bersangkut-paut
dengan politik daripada etika.
(2) Dalam segala segi, etika Aristoteles konsisten dengan metafisikanya Bahkan teori-
teori metafisikanya itu sendiri merupakan ungkapan dari suatu optimisme etis. la
meyakini pentingnya penyebab final dari sisi ilmiah, dan ini mengandaikan adanya
keyakinan bahwa tujuanlah yang mengendalikan jalannya perkembangan alam
semesta la berpendapat bahwa perubahan terutama adalah terwujudnya peningkatan
organisasi atau "forma", dan pada dasarnya tindakan- tindakan yang utama adalah
sesuatu yang mendorong kecenderung an ini. Benar bahwa sebagian besar etika
praktisnya tidak benar- benar bersifat filosofis, melainkan sekedar hasil pengamatan
atas kejadian sehari-hari; namun doktrinnya ini, meskipun mungkin terlepas dari
metafisikanya, bukannya tidak konsisten dengan metafisika itu.
(3) Jika kita hendak membandingkan citarasa etis Aristoteles dengan citarasa kita,
pertama-tama kita akan melihat, seperti yang telah dikemukakan, disetujuinya
ketidaksetaraan yang tak sesuai dengan perasaan orang-orang modern. Bukan hanya
tak ada keberatan terhadap perbudakan, atau terhadap superioritas suami dan ayah atas
istri dan anak-anaknya, namun dikatakan juga bahwa apa yang terbaik sesungguhnya
hanya bisa dicapai oleh sebagian kecil manusia orang-orang berbudi luhur dan para
filsuf. Dengan demikian agak- nya kebanyakan orang hanyalah menjadi alat untuk
melahirkan sejumlah kecil pemimpin dan kaum cendekiawan. Kant menegaskan
bahwa setiap manusia adalah tujuan dalam dirinya sendiri, dan ini bisa dianggap
sebagai ungkapan suatu pandangan yang semula diperkenalkan oleh agama Kristen.
Akan tetapi terdapat masalah logika dalam pandangan Kant itu, sebab tak
menyediakan jalan untuk mengambil keputusan di saat ada dua orang yang
kepentingan- nya saling berbenturan. Jika masing-masing adalah tujuan dalam dirinya
sendiri, bagaimana kita bisa menemukan prinsip untuk menentukan pihak manakah
yang harus mengalah? Prinsip demikian itu harus lebih didasarkan pada kepentingan
masyarakat daripada individu. Dalam pengertiannya yang terluas, ia mestinya
merupakan prinsip "keadilan". Bentham dan kaum utilitarian menafsirkan "keadilan"
sebagai "kesetaraan": jika kepentingan dua orang saling berbenturan, keputusannya
yang benar adalah berdasarkan manakah yang bisa menghasilkan total kebahagiaan
lebih besar, tanpa me- mandang pihak manakah di antara dua orang itu yang akan
menikmatinya, atau bagaimanakah kebahagiaan itu dibagi di antara mereka. Jika yang
lebih banyak disediakan bagi orang yang lebih baik daripada bagi orang yang lebih
buruk, ini dikarenakan, dalam jangka panjang, kebahagiaan umum akan meningkat
dengan cara mengganjar keutamaan dan menghukum kejahatan, bukan dikarenakan
doktrin etika mutlak bahwa yang baik berhak lebih banyak daripada yang buruk.
Dalam pandangan ini, "keadilan"hanya didasarkan pada pertimbangan besarnya
kebahagiaan yang tercakup, tanpa memihak individu atau kelompok tertentu melawan
yang Lainnya. Para filsuf Yunani, termasuk Plato dan Aristoteles, memiliki konsepsi
yang berbeda tentang keadilan, dan inilah suatu konsepsi vang masih berlaku secara
luas. Mereka berpendapat-yang semula berlandaskan pada suatu dasar yang diambil
dari agama- bahwa setiap hal atau orang memiliki tempatnya sendiri yang tepat
melanggar batas ini berarti"tidak adil Seumlah orang, bendaarkan sifat dan
keahliannya, mendapat tempat lebih huas dibanding lain, dan bukannya tidak adil jka
mereka memperoleh bagan kebahagiaan yang lebih besar. Pandangan ini diterima
begita saia dalam filsafat Aristoteles, tetapi dasarnya yang berasal dari aame primitif,
yang tampak jelas dalam pemikiran para filauf awal, ta terlihat jelas lagi dalam
tulisan-tulisannya.

Dalam filsafat Aristoteles nyaris tak ada sama sekali apa yang bisa disebut rasa
perikemanusiaan atau kebajikan. Penderitaan umat manmunia sejauh ia bisa
menyadarinya, tak mampu menggerakkan perasaannya secara intelektual ia
menganggap penderitaan itu sebagai kejahatan namun tak ada bukti bahwa
penderitaan itu menyebabkannya prihatin kecuali jika yang menderita itu kebetulan
adalah sahabatnya.
Secara umum terjadi kemiskinan emosi dalam Ethics, sesuatu yang tak terjadi pada
para filsuf sebelumnya. Terkesan adanya sikap terlalu puas diri dan "tak ambil soal"
dalam pemikiran Aristoteles tentang masalah-masalah kemanusiaan; segala sesuatu
yang menyebabkan manusia menghayati gelora perasaan saling membutuhkan
agaknya telah dilalai kan. Bahkan uraiannya tentang persahabatan tak terasa
mengesankan la tak menunjukkan tanda-tanda pernah memiliki pengalaman yang
menyebabkannya sulit untuk tetap berpegang pada pertimbangan akal sehat; semua
aspek yang lebih mendalam dalam kehidupan moral agaknya tak pernah ia kenal. Bisa
dikatakan, ia telah meninggalkan seluruh ruang pengalaman manusia yang justru
menjadi pokok perhatian agama. Apa yang ia katakan adalah sesuatu yang hanya bisa
memuaskan orang-orang yang tak banyak memiliki gelora perasaan; sebaliknya ia tak
mengungiap kan sepatah kata pun yang akan punya arti bagi mereka dewa atau iblis,
atau mereka yang karena kemalangan telah terjebak dalam penderitaan.

Anda mungkin juga menyukai