Anda di halaman 1dari 7

(FILSAFAT) KEINDAHAN, ESTETIKA DAN KERJA SENI

DALAM PANDANGAN ARISTOTELES


Banyak yang menganggap, bahwa bertanya mengenai “apa itu keindahan?” dan
”apa itu estetika?” termasuk bagaimana jawaban yang diberikannya adalah hal
yang sama, padahal, kedua hal tersebut adalah dua soal yang berbeda. Dengan
kata lain, menyamakan antara keduanya secara manasuka adalah satu
kekeliruan. Dalam diskusi sebelumnya--pada sesi penutup, telah dikatakan
bahwa judul diskusi yang digunakan adalah Keindahan dan bukan Estetika atas
pembahasan “(Filsafat) Keindahan Dalam Pandangan Plato,” sebab, Plato dalam
pembicaraannya, ia memang memberikan sorotan kepada “Apa yang Indah?”
(Yunani: Kalos, keindahan), dan bukan pada “Apa yang Estetis?” (Yunani:
Aesthetos, Aisthanesthai, yang dipersepsi, dirasa, dialami, dihayati sebagai yang
indah; Aisthesis, sensasi sebuah sentuhan).
Pada diskusi kita yang kedua ini--melalui pemikiran Aristoteles, kita akan coba
memperjelas mengenai duduk perkara konseptual kedua istilah tersebut. Tetapi
sebelumnya, mari kita ketahui lebih dulu sekilas siapa Aristoteles.
Biografi Singkat Aristoteles
Aristoteles adalah salah satu murid Plato paling brilian. Pada akhir
kehidupannya ia telah mewariskan kepada murid-muridnya berbagai disiplin
pengetahuan yang berhasil ia susun dengan sistematis. Dari mulai cabang-
cabang keilmuan dalam filsafat, logika, retorika, politik, psikologi, zoologi, hingga
puitika.
Aristoteles adalah anak dari seorang dokter. Ia lahir di Macedonia tepatnya di
kota Stagira. Ia masuk ke Akademi Plato di Athena pada usia 18 tahun. Selepas
meninggalnya Plato, ia pergi ke kota Assos dan bergabung dengan kelompok
Platonis. Namun kemudian ia kembali pergi untuk menuju kota Lesbos dan
mempelajari zoologi (ilmu hewan). Pada tahun 335 SM ia tercatat telah kembali
ke Athena dan mendirikan “sekolahnya” sendiri yang diberinama “Lycium.”
Nama tersebut ia dapatkan ketika ia mengunjungi pemakaman yang dibuat
untuk menghormati Dewa Apollo Lycius. Kelompok belajar milik Aristoteles juga
dikenal dengan nama “Paripatetik,” yang artinya “berjalan-jalan,” karena
Aristoteles ketika mengajar sambil berjalan-jalan di antara muridnya. Di Lycium
ini, pada akhirnya ia benar-benar berdiri sebagai seorang pemikir dan peneliti
yang mandiri dan secara umum lepas dari pemikiran Plato.
Jika kita bagi, maka paling tidak ada tiga fase dalam perkembangan pemikiran
Aristoteles: (1) Fase secara umum masih di bawah pengaruh pemikiran gurunya,
Plato. Beberapa karya yang dihasilkan pada fase pertama ini di antaranya: On
The Soul (Psikologi), sebagian fragmen terdahulu dari Organonnya (Logika),
Physis (Fisika/Ilmu Alam), De Anima (Dunia Hewan). (2) Fase mengkritisi
sejumlah pandangan Plato--meskipun tidak sepenuhnya. Beberapa karya yang
dihasilkan pada fase kedua ini di antaranya: On The Philosophy (Filsafat),
Metaphysics (Filsafat Utama, Metafisika), Eudemian Ethics (Etika dan
Kebahagiaan), dan Politics (politik). (3) Fase yang mana Aristoteles benar-benar
telah menjadi pemikir dan peneliti yang mandiri lepas dari pemikiran dan apa
yang menjadi konsentrasi Plato. Pada fase ini ia telah memulai penelitian di
bidang ilmu alam dan sejarah dengan lebih objektif, metodis, dan detail
selayaknya seorang saintis bagi masanya. Beberapa karya pada fase ini di
antaranya: The Categories (Biologi-Logika), De Interpretatione (Interpretasi),
Analitica Prioria-Analitica Posterioria (Logika), Topica (Seni), Sophism (Filsafat-
Retorika), Physisc (Fisika/Ilmu Alam), Methaphysics (Filsafat), Meteorologica
(Benda-benda langit), Animal History (Sejarah Hewan), Magna Moralia (Moral),
Nichomachean Ethics (Etika), Politics (Politik), Retoric (Debat dan Pidato), dan
Poetics (Seni Representasi: Sajak, Drama, Tragedi dst.).
Pada tahun 343 SM, ia diundang oleh Raja Philip untuk menjadi guru pribadi dari
Alexander Agung yang masih berusia remaja. Ia ditugaskan oleh Raja Philip
untuk mengajarkan berbagai ilmu dan terutama ilmu kebijaksanaan (filsafat)
kepada anaknya. Selepas Alexander Agung menjadi Raja dan meninggal,
Aristoteles pergi ke Kota Chaltic di Pulau Euboa hingga ia meninggal.
Pandangan Aristoteles Mengenai Alam Semesta
Meskipun berpandangan sama sebagaimana gurunya, Plato, yang mengatakan
bahwa alam semesta adalah sesuatu yang ADA dan Real melampaui keberadaan
manusia dan tetap akan ada meskipun manusia tidak menyadarinya, tetapi,
Aristoteles menolak pandangan dualisme (dua-dunia) Plato mengenai alam
semesta. Realitas hakiki dari alam semesta bukanlah apa yang ada di luar yang
duniawi ini, ia adalah apa yang berada dan bersentuhan secara langsung dengan
kehidupan sehari-hari kita. Tetapi, meskipun demikian, ia tetap membedakan
antara apa yang disebut sebagai Fisika (yang indrawi) dengan apa yang disebut
sebagai Meta-(yang melampaui) Fisika (yang indrawi), dengan pengertian
khusus mengenai Metafisika itu mengenai apa-apa (Latin: Essentia, Arab: Maa
Hiyyah, Esensi) dari alam semesta yang selain melalui kemampuan indrawi juga
hanya ditangkap dan dipahami dengan bantuan akal-rasional (logika).
Aristoteles mengatakan bahwa dari segala keberadaan yang ada di alam semesta,
sudah semestinya ada satu keber-ADA-an yang melandasi banyak keberadaan
indrawi yang menjadi turunannya. Tetapi, sekali lagi, keber-ADA-an tersebut
bukanlah sesuatu yang sepertihalnya keber-ADA-an yang berada di “Alam Idea”
yang kemudian menjadikan apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita
statusnya menjadi “yang tiruan” atau “yang palsu.” Keber-ADA-an yang dimaksud
oleh Aristoteles adalah Keber-ADA-an yang statusnya sebagai sebuah prinsip
kebenaran tertinggi sebagai penyebab pertama dan utama (prima causa) dari
segala keberadaan turunannya--yang nampak dalam pengetahuan indrawi
terpisah-pisah dalam bagian-bagiannya. Keber-ADA-an yang prinsipil dan hakiki
ini hanya dapat diketahui dengan pemahaman yang rasional (baca: rasionalitas)
mengenai apa yang Universal dari yang terpecah-pecah dan terbagi-bagi itu.
Dengan kata lain, Alam Semesta bagi Aristoteles bersifat tunggal (ESA) dan ia
hanya menjadi beragam-ragam sebab pengetahuan indrawi dan pengalaman
sehari-hari manusia yang terbatas dan non-rasional akannya. Aristoteles
percaya, bahwa segala sifat pengetahuan itu (termasuk pengetahuan akan
Kebenaran) adalah atribut belaka atas yang ADA, tetapi bahwa keberadaan
mengenai ADA yang menjadi dasar dari segala keberadaan adalah sebuah
keniscayaan yang melampaui (atau bersifat pra-)pengetahuan. Sifat dari ADA itu
kekal, tak berubah-ubah, ia ADA sebagai ADA itu sendiri (being qua being), tak
bergantung pada yang lain dan tak dapat dihancurkan sebagaimana kita
menyaksikan adanya segala gerak, perubahan, penghancuran dan penciptaan
ulang (poiesis) dalam realitas alam yang indrawi.
Dari penjelasan yang demikian, kita pula bisa menarik kesimpulan mengenai
bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan mengenai Alam Semesta
yang dimaksud dengan masing-masing derajat pengetahuan apa yang hendak
diperoleh. Pertama, melalui pengalaman sehari-hari dan pengamatan indrawi,
kedua melalui kerja rasional-logis. Dalam hal ini, Aristoteles mengatakan pula
bahwa, setiap manusia (all men) pada dasarnya secara alamiah (by nature) akan
terdorong untuk selalu ingin mengetahui sesuatu (desire to know). Dan dalam
pemenuhannya, ia akan memperoleh semacam kenikmatan/kebahagiaan. Sama
sebagaimana Socrates-Plato, Aristoteles menganggap bahwa pengetahuan dan
pemanfaatan akal adalah satu keutamaan hidup yang dimiliki oleh manusia dari
makhluk-makhluk lainnya, meskipun, apa yang dimaksud dengan pemanfaatan
akal di sana pada akhirnya berbeda baik dalam proses maupun tujuan akan-
pengetahuan-apa yang hendak dicapainya.
Keindahan dalam Pandangan Aristoteles
Sebagaimana Plato, Aristoteles dalam Metafisika ketika membahas Matematika,
ia berpendapat bahwa Keindahan adalah sesuatu yang berkaitan dengan
keteraturan (harmoni), sesuatu yang simetris dan sesuatu yang mengandung
kepastian sebagaimana terdapat pada Matematika. Dalam hal matematika ini,
Aristoteles menyatakan bahwa, ilmu matematika yang memiliki sifat demikian
adalah bentuk terbaik dari Keindahan. Bahkan, pada bagian ini, Aristoteles
benar-benar telah menggunakan Matematika itu sendiri sebagai cara
menjelaskan Alam Semesta.
Tetapi gambaran mengenai apa yang indah dalam pandangan Aristoteles tidak
berhenti sampai di situ. Ia memiliki pendapat lanjutan dalam karya yang lebih
belakangan; dalam Poetics. Dalam Poetics, ide akan harmoni dan kesimetrian,
dijelaskan dengan penjabaran yang bernuansa “biologi organisme” sebagaimana
konsentrasi studi yang digelutinya secara khusus. Bahwa, sebagaimana sebuah
organisme, bahwa adanya keharmonisan sebuah keseluruhan akan sesuatu,
tidak dapat dilepaskan dari akan adanya peran penting dari bagian-bagian yang
saling mengisi satu sama lain “lubang yang ada” sehingga keutuhan dan
keharmonisan tersebut tercipta. Pendapat yang demikian secara tidak langsung
pula kembali memberikan peran yang sama sentralnya atas keberadaan
kenyataan sehari-hari dalam menciptakan keharmonisan Alam Semesta secara
keseluruhan.
Dengan pandangan yang demikian, Aristoteles juga dikenal sebagai perintis
gagasan “fungsionalisme” dalam teori penciptaan karya seni. Artinya, setiap
bagian-bagian dari apa yang terdapat dalam sebuah komposisi dalam karya, ia
haruslah menempati fungsi-fungsinya yang tepat agar keharmonisan yang
dibayangkan tercipta dalam kesatuan dan keutuhan fungsi-fungsinya yang tepat.
Gagasan yang serupa pula ia terapkan ketika menggambarkan bagaimana sebuah
keteraturan dalam negara bisa tercipta hanya jika ia dimulai dari teraturnya
kehidupan rumah tangga seluruh warga negara, meningkat kepada terciptanya
keteraturan hidup masyarakat, hingga puncaknya keteraturan hidup bernegara.
Tanpa peran penting dari setiap bagian-bagiannya yang demikian, negara yang
teratur dan harmonis tak akan tercipta.
Selain soal harmoni, kesimetrisan, kesatuan dan kesaling terkaitan antar bagian-
bagiannya yang saling melengkapi, Aristoteles juga menyampaikan satu hal lain
mengenai ukuran. Aristoteles mengatakan bahwa sesuatu yang terlalu kecil tidak
akan dapat dikatakan indah sebab kita akan terlalu singkat dalam melihatnya,
begitu pula pada sesuatu yang terlalu besar sebab kita tidak akan bisa melihat
keutuhannya. Jika kita melanjutkannya sebagai prinsip Golden Way (etika jalan
tengah yang juga dirintis Aristoteles), prinsip ini bisa kita tafsirkan pula dalam
lingkup kualitas sebuah karya, bahwa sebuah karya yang dapat dikatakan indah
secara umum adalah karya yang di satu sisi tidak terlalu sederhana sehingga kita
bisa dengan cepat sekali memahaminya tanpa efek psikologis apapun, juga
sekaligus tidak terlalu rumit sehingga pada akhirnya penikmat karya terjebak
pada situasi “kebingungan,” bukan pada perasaan “tergugah.”
Estetika dalam Pandangan Aristoteles
Sebagaimana telah disampaikan bahwa “Apa yang Indah?” (Yunani: Kalos,
keindahan), berbeda dengan “Apa yang Estetis?” (Yunani: Aesthetos,
Aisthanesthai, yang dipersepsi, dirasa, dialami, dihayati sebagai yang indah;
Aisthesis, sensasi sebuah sentuhan). Pembicaraan mengenai “Apa yang Indah?”
mengesankan bahwa yang dibicarakan adalah sesuatu yang memang benar-
benar objektif dan berada di luar individu, sedangkan bicara mengenai “Apa yang
Estetis?” justru sebaliknya menyaratkan akan adanya sebuah pengalaman
langsung. Dengan kata lain, estetika secara langsung berkaitan dengan penilaian
yang sifatnya sangat subjektif. Sebab, senantiasa akan menyertakan di dalamnya
sentimen-sentimen, penghayatan perasaan personal, bahkan hingga selera
pribadi, “the sentience moment,” sensasi-sensai yang bisa jadi detail-detail
kesemuanya itu hadir secara bersamaan.
Berkaitan dengan ini, dalam Nichomachean Ethic, Aristoteles pernah
mengatakan, “Life is defined in … man by the “dunamei” of “aistheseos” or
thought; life seems to be essentially the act of perceiving or thinking. And life
among the things that are good and pleasant themselves since it is determinate
and the determinate is of the nature of the good; and that wich is good by nature
is also good for the virtuous man.” --Hidup didefinisikan pada manusia dengan
adanya energi potensial untuk mempersepsi atau berfikir. Dan hidup di antara
segala sesuatu dengan itu adalah bernilai baik dan menyenangkan sejak itu
berjalan sebagai takdir alamiah, dan takdir alamiah adalah satu kebaikan
alamiah, dan kebaikan yang alamaiah itu pula bernilai baik bagi keutamaan
hidup manusia.
Apa yang kita temukan pada Aristoteles ini kebalikan dari Plato yang
mengatakan bahwa untuk membuat koneksi dengan Alam Semesta (Realitas
Tertinggi), manusia harus menanggalkan segala sentimen kebertubuhannya
dengan yang dunia dan sesegera mungkin agar mengedepankan “akal
transenden”nya, yangmana, Aristoteles justru mengatakan bahwa segala nilai
kebenaran yang ada bagi Alam Semesta adalah hanya hasil dari sebuah abstraksi
rasional--termasuk mengenai adanya Realitas Idea(l), dan cara bersentuhan
langsung dengan Alam Semesta secara real adalah melalui Aestheseos tersebut.
Aestheseos inilah yang memungkinkan manusia memiliki pengalaman langsung
mengenai Kalos (Keindahan). Tetapi, sebenarnya tidak juga sampai pada
distingsi yang ekstrim seperti itu, sebab, bahwa nilai Keindahan dari “To
Kalliston” juga pada dasarnya toh adalah hasil sebuah abstraksi. Maka apa yang
disebut sebagai “hidup dalam sensasi-kebertubuhan” dan “hidup dalam
permenungan-rasional” adalah sebuah kesenangan yang hadir secara bersamaan
sebagai energi potensial yang ada pada diri manusia; Aesthetic life +
Philosophycal life = Human Life Virtue. Adanya kedua energi potensial yang ada
dalam diri manusia inilah yang memungkinkan munculnya pandangan mengenai
kajian dan kritik seni modern yang menggabungkan antara unsur objektifitas
dan subjektivitas pengkaji dan pengkritik.
Masih dalam Nicomachean Etich, Aristoteles mengatakan bahwa jiwa manusia
mencapai kebenaran melalui seni, sains, perasaan, kebijaksanaan dan
kecerdasan. Sebab, keberadaan manusia di dunia menjadi eksis, karena manusia
bisa memiliki kesemuanya itu. Rumah eksistensi manusia di dunia adalah
kemampuannya merasakan dunia itu sendiri. Objek-objek yang ada di dunia ini
tidak akan benar-benar menjadi eksis dalam kehidupan jika tanpa adanya
aktivitas manusia merasakan kehadirannya.
Soal Katarsis dan Hamartia
Berkaitan dengan pengalaman estetik, Aristoteles--dalam Poetics, misalnya
membahas satu konsep yang menjadi ciri khas dari sebuah karya (tragedi) yang
bagus di masanya saat itu. Meskipun ini artinya pembaasan bergeser kepada hal
yang berkaitan dengan proses resepsi karya bagi penikmatnya. Yaitu, konsep
Katarsis, dari kata “Kathoros,” yang berarti “untuk menyucikan” atau “untuk
membersihkan.” Apa yang dibersihkan di sini merupakan banyak hal yang
berada dalam jiwa manusia: sampah-sampah emosional, ketegangan yang
terpendam dari hasil menghadapi kenyataan hidup yang begitu kompleks, sikap
kebijaksanaan yang terhambat dalam menghadapi jurang takdir dan berbagai
penderitaan, kecemasan-kecemasannya, penyakit-penyakit kejiwaan yang tak
tersadari, hingga dari satu perasaan tegang-batin akibat berhadapan dengan laku
dan segala peristiwa dramatik yang dihadirkan oleh karya seni itu sendiri.
Adanya pengalaman Katarsis ini, merupakan bagian terpenting yang membuat
karya tragedi begitu digemari oleh masyarakat Yunani. Juga sebenarnya
menjadikan satu penanda yangmana pada akhirnya sebuah karya seni bukan
melulu persoalan menempatkan Keindahan (kalos) sebagai puncak
kreativitasnya, tetapi justru bagaimana sebuah struktur dibuat untuk
menggugah Perasaan Estetik (Aesthetos) penikmatnya. Bagaimana mungkin,
sesuatu yang menonjolkan sebuah tragedi yang menyedihkan dan membuat
orang iba dikatakan sebagai sebuah kaya yang Indah? Bukankah justru
sebaliknya, tragedi menyajikan kepada kita akan adanya unsur-unsur yang
menjadi lawan keindahan yang akan mendominasi penggalan-penggalan
terpentingnya: bencana, pembunuhan, darah, penyiksaan, penghukuman tanpa
ampunan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Sebagai pelengkap dari konsep Katarsis tersebut, Aristoteles membahas juga
satu konsep lainnya yang bernama Hamartia. Secara harfiah Hamartia berarti
dosa. Namun secara praktis ia bukanlah dosa atas sebuah doktrin atau ajaran
tertentu yang bersifat eksklusif, melainkan sebuah kondisi batin seorang tokoh
yang dianggap baik, atau bahkan memiliki wibawa dengan ranking tinggi,
prestisius, bermasa depan baik, tetapi justru ia melakukan satu kesalahan atau
kekeliruan tertentu yangmana membuat keadaan, peristiwa, plot, tiba-tiba
menjadi berbalik arah menuju sebuah akhir kemanusiaan yang tragis dari yang
seharusnya atau yang diharapkan. Dari kondisi ini, penonton pertunjukan drama
misalnya, akan terbangkitkan perasaan kasihan atau perasaan ngerinya atas
akibat-akibat yang muncul dari kondisi yang ironis yang dimaksud itu. Perasaan-
perasaan yang demikianlah yang akan mengkatarsis mereka sehingga dikatakan
menyaksikan karya tragedi akan menimbulkan sebuah pembersihan batin.
Bagaimana Kerja Seni dalam Pandangan Aristoteles
Uzzmsn the sculpture

Soal TOPOS

Penutup
Dari semua yang sudah dipaparkan di atas, boleh dikatakan bahwa jika Plato
dengan keyakinan bahwa Keindahan bersifat absolut dan lepas dari segala yang
bersifat duniawi, maka Aristoteles sebenarnya hendak mengatakan bahwa
meskipun keindahan memang adalah sesuatu yang secara keberadaan adalah
merupakan milik dari alam semesta, namun, ia tidak menjadi sesuatu yang
sempurna secara konkrit ketika tidak tersentuh oleh Aesthetos manusia--dalam
semester puisi juga pada buku #SainsPuisi dikatakan pula melalui apa yang
disebut sebagai “seni komposisi.” Keyakinan yang demikianlah yang membuat
apa yang dikerjakan manusia dalam kehidupan yang terus berubah-ubah dalam
segala ketidakpastiannya menjadi bermakna--dalam keindahan, tanpa perlu
harus lebih dulu pergi ke alam yang Ideal yang letaknya bagi kebanyakan orang
kadang entah di mana [?].

Daftar Bacaan
Sejarah Filsafat Barat, Bertrand Russel (Buku)
Sejarah Filsafat Islam, Madjid Fachry (Buku)
Metaphysics-Aristotles, W.D. Rose (Buku)
Nichomachean ethics-Aristoteles, W.D. Rose (Buku)
Poetics-Aristotle, Gerald F. Else (Buku Terjemah Poetics)
Aristotle’s Ideas On Art, Dr. Uzman, Gazi University, Ankara. (Jurnal)
Beauty, Value, and the Aesthetics of Life in Kant and Aristotle, James I. Porter
(Jurnal)

Anda mungkin juga menyukai