Anda di halaman 1dari 5

 Literasi Baru, Numerik dan Karakter


Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a) menggunakan berbagai macam
angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah
praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis informasi
yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) lalu menggunakan
interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep
bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah,
pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan
kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita.
Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan
keterampilan matematika secara praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini
juga merujuk pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis,
misalnya grafik, bagan, dan tabel.
Perbedaan Numerasi dengan Matematika Numerasi tidaklah sama dengan kompetensi
matematika. Keduanya berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi
perbedaannya terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pengetahuan
matematika saja tidak membuat seseorang memiliki kemampuan numerasi. Numerasi mencakup
keterampilan mengaplikasikan konsep dan kaidah matematika dalam situasi real sehari-hari, saat
permasalahannya sering kali tidak terstruktur memiliki banyak cara penyelesaian, atau bahkan
tidak ada penyelesaian yang tuntas, serta berhubungan dengan faktor nonmatematis.
Sebagai contoh, seorang siswa belajar bagaimana membagi bilangan bulat dengan bilangan bulat
lainnya. Ketika bilangan yang pertama tidak habis dibagi, maka akan ada sisa. Biasanya siswa
diajarkan untuk menuliskan hasil bagi dengan sisa, lalu mereka juga belajar menyatakan hasil
bagi dalam bentuk desimal. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hasil bagi yang presisi
(dengan desimal) sering kali tidak diperlukan sehingga sering kali dilakukan pembulatan. Secara
matematis, kaidah pembulatan ke bawah dilakukan jika nilai desimalnya lebih kecil daripada 5,
pembulatan ke atas jika nilai desimalnya lebih besar daripada 5, dan pembulatan ke atas atau ke
bawah bisa dilakukan jika nilai desimalnya 5. Namun, dalam konteks real, kaidah itu tidaklah
selalu dapat diterapkan.
Contohnya, jika 40 orang yang akan bertamasya diangkut dengan minibus yang memuat 12
orang, secara matematis minibus yang dibutuhkan untuk memuat semua orang itu adalah
3,333333. Jumlah itu tentu tidak masuk akal sehingga dibulatkan ke bawah menjadi 3 minibus.
Akan tetapi, jika sebuah tempat duduk hanya boleh diduduki oleh satu orang saja, artinya ada 4
orang tidak mendapatkan tempat duduk. Oleh karena itu, jumlah minibus yang seharusnya
dipesan adalah 4 buah. Perlu dicermati bahwa numerasi membutuhkan pengetahuan matematika
yang dipelajari dalam kurikulum. Akan tetapi, pembelajaran matematika itu sendiri belum tentu
menumbuhkan kemampuan numerasi. 2.2 Prinsip Dasar Literasi Numerasi 1. Bersifat
kontekstual, sesuai dengan kondisi geografis, sosial budaya, dan sebagainya; 2. Selaras dengan
cakupan matematika dalam Kurikulum 2013; dan 3. Saling bergantung dan memperkaya unsur
literasi lainnya.
Menurut Spangenberg (2012) literasi matematika adalah di mana peserta didik belajar
keterampilan praktis yang memungkinkan mereka untuk menemukan solusi konkret untuk
numerik, spasial, dan masalah statistik yang terkait dengan tantangan hidup sehari-hari dengan
tujuan meningkatkan pemikiran sebagai suatu komunikasi yang terdiri dari kegiatan bertanya,
melakukan hipotesis, menemukan argumen yang kontra, dan menarik kesimpulan bersyarat
dalam suatu situasi. Menurut De Lange (2006) literasi metamatika mencakup :
a. Literasi Spasial Literasi spasial menunjukkan kepahaman tentang dunia (tiga dimensi) di
mana seseorang hidup dan bergerak untuk mengatasi apa yang mengelilinginya, harus
memahami sifat-sifat benda, posisi relatif benda dan efeknya terhadap persepsi visual,
penciptaan semua jenis jalur dan rute dua dimensi dan tiga dimensi, praktik navigasi,
bayangan - bahkan seni Escher.
b. Literasi Numerik Literasi numerik menekankan kemampuan untuk menangani angka atau
data serta untuk mengevaluasi pernyataan mengenai masalah dan situasi yang
mengundang pemrosesan mental dan perkiraan dalam konteks dunia nyata.
c. Literasi Kuantitatif Literasi kuantitatif berkaitan dengan sekelompok kategori
fenomenologis: kuantitas, perubahan, hubungan, dan ketidakpastian. Kategori ini
menekankan pengertian, dan kemampuan matematika yang berkaitan dengan kepastian
(kuantitas), ketidakpastian (kuantitas sebagai serta ketidakpastian), dan hubungan (jenis,
perubahan itu sendiri, dan alasan untuk perubahan itu). Dari pemaparan pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa literasi matematika adalah kegiatan siswa yang menggunakan
kemampuan bertanya, mengidentifikasi, menguhubungkan, menafsirkan, dan
menggeneralisasi sebuah permasalahan nyata yang berhubungan dengan aspek numerik
ataupun spasial.
 4C
Definisi atau pengertian keterampilan abad 21 tersebut di atas disampaikan dengan cara berbeda,
namun penekannya pada: berpikir kompleks atau tingkat tinggi (kreativitas, metakognisi),
komunikasi, kolaborasi dan lebih menuntut mengajar dan belajar daripada menghafal. Sesuai
dengan yang disampaikan Roekel (tanpa tahun) keterampilan abad 21 yang harus dikuasai oleh
siswa adalah 4 C yaitu:
1. Comunication (Komunikasi)
Pada keterampilan ini peserta didik dituntut mampu secara efektif menganalisa dan
memproses sumber informasi termasuk mengidentifikasi keakuratan sumber informasi dan
memanfaatkan sumber informasi secara efektif. Pemanfaatan media komunikasi modern
membuat pembelajaran lebih efektif; keterampilan komunikasi membuat pengajaran lebih
kuat. Keterampilan komunikasi lisan dan tertulis memberi kontribusi pengembangan karier
di abad 21.
2. Collaborative (Kolaborasi)
Adalah kemampuan berkolaborasi atau bekerja sama, saling bersinergi, beradaptasi dalam
berbagai peran dan tanggung jawab; bekerja secara produktif dengan yang lain;
menempatkan empati pada tempatnya; menghormati perspektif berbeda. Kolaborasi juga
memiliki arti mampu menjalankan tanggung jawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi,
pada tempat kerja, dan hubungan masyarakat; menetapkan dan mencapai standar dan tujuan
yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain; memaklumi kerancuan.
3. Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahanan masalah)
Murdoch University (2008) mengutip pendapat Ennis, berpikir kritis adalah suatu proses,
yang berfokus pada mengambil keputusan yang layak tentang apa yang dipercaya dan
dilakukan. Berpikir kritis menurut AMSC (Mahanal, 2009) digambarkan sebagai ketertiban
mengarahkan pikiran diri sendiri yang menunjukkan keterampilan-keterampilan intelektual
dan kemampuan metakognisi.
4. Creativity And Innovation (Kreatifitas dan Inovasi)
Kreativitas juga didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menciptakan
penggabungan baru. Kreativitas akan sangat tergantung kepada pemikiran kreatif seseorang,
yakni proses akal budi seseorang dalam menciptakan gagasan baru. Kreativitas yang bisa
menghasilkan penemuan-penemuan baru (dan biasanya bernilai secara ekonomis) sering
disebut sebagai inovasi.
Keterampilan abad 21 atau diistilahkan dengan 4C (Communication, Collaboration, Critical
Thinking and Problem Solving, dan Creativity and Innovation). Inilah yang sesungguhnya
ingin kita tuju dengan K-13, bukan sekadar transfer materi. Tetapi pembentukan 4C.
Sebenarnya kata ini tidak terlalu baru untuk kita. Di berbagai kesempatan, kita sudah sering
mendengar beberapa pakar menjelaskan pentingnya penguasaan 4C sebagai sarana meraih
kesuksesan, khususnya di Abad 21, abad di mana dunia berkembang dengan sangat cepat dan
dinamis. Penguasaan keterampilan abad 21 sangat penting, 4 C adalah jenis softskill yang
pada implementasi keseharian, jauh lebih bermanfaat ketimbang sekadar pengusaan
hardskill.

Lima domain utama keterampilan abad 21 adalah literasi digital, pemikiran yang intensif,
komunikasi efektif, produktifitas tinggi dan nilai spiritual serta moral menggolongkan
keterampilan dan sikap abad 21 sebagai ways to thinking (knowledge, critical and creative
thinking), ways to learning (literacy and 1 Makalah Disampaikan pada Seminar “2nd Science
Education National Conference” di Universitas Trunojoyo Madura, 13 Oktober 2018 2
softskills), dan ways to learning with other (personal, social, and civic responsibilities).
Adapun US-based Partnership for 21st Century Skills (P21), mengidentifikasi
keterampilan berpikir kritis (Critical Thinking Skills), keterampilan berpikir kreatif(Creative
Thinking Skills), keterampilan komunikasi(Communication skills), dan keterampilan kolaborasi
(Collaboration skills) sebagai kompetensi yang diperlukan di abad ke-21. Kompetensi tersebut
dikenal dengan kompetensi 4C.
Keterampilan berpikir kritis (Critical Thinking Skills) merupakan keterampilan
fundamental dalam memecahkan masalah. Keterampilan ini penting dimiliki oleh siswa dalam
menemukan sumber masalah dan bagaimana mencari dan menemukan solusi yang tepat atas
masalah yang dihadapi. Keterampilan berpikir kritis dapat ditanamkan dalam berbagai disiplin
ilmu. Guru memegang peranan penting dalam merancang dan mengembangkan program
pembelajaran yang lebih terfokus pada pemberdayaan keterampilan ini.
Keterampilan berpikir kreatif (Creatuve Thinking Skills) merupakan keterampilan yang
berhubungan dengan keterampilan menggunakan pendekatan yang baru untuk menyelesaikan
suatu permasalahan, inovasi, dan penemuan. Keterampilan ini merupakan suatu tindakan yang
benar-benar baru dan asli, baik secara pribadi (asli hanya untuk individu) atau secara budaya
(Abdullah dan Osman, 2010). Kesediaan siswa untuk berpikir tentang masalah atau tantangan,
berbagi pemikiran itu dengan orang lain dan mendengarkan umpan balik, merupakan beberapa
contoh berpikir kreatif yang dapat ditunjukkan oleh siswa dalam pembelajarannya.
Keterampilan berkomunikasi (Communication skill) merupakan keterampilan untuk
mengungkapkan pemikiran, gagasan, pengetahuan, ataupun informasi baru yang dimiliki baik
secara tertulis maupun lisan (NEA, 2010). Keterampilan ini mencakup keterampilan
mendengarkan, menulis dan berbicara di depan umum.
Keterampilan berkolaborasi (Collaboration skill) merupakan keterampilan untuk bekerja
bersama secara efektif dan menunjukkan rasa hormat pada tim yang beragam, melatih kelancaran
dan kemauan dalam membuat keputusan yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama
(Greenstein, 2012; NEA, 2012). Keterampilan bekerja dalam kelompok; serta kepemimpinan,
pengambilan keputusan, dan kerjasama.

 HOTS
HOTS merupakan salah satu komponen dari keterampilan berpikir kreatif dan berpikir kritis.
Berpikir kreatif dan berpikir kritis dapat mengembangkan seseorang untuk lebih inovatif,
memiliki kreativitas yang baik, ideal dan 19 imaginatif. Ketika peserta didik tahu bagaimana
menggunakan kedua keterampilan tersebut, itu berarti bahwa peserta didik mampu berpikir,
namun sebagian dari peserta didik harus didorong, diajarkan, dan dibantu untuk dapat
mengaplikasikan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) harus
diajarkan dan dipelajari. Seluruh peserta didik memiliki hak untuk belajar dan menerapkan
keterampilan berpikir, seperti halnya pengetahuan yang lainnya.
HOTS atau keterampilan berpikir tingkat tinggi didefinisikan sebagai penggunaan pikiran
secara lebih luas untuk menemukan tantangan baru. Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini
menghendaki seseorang untuk menerapkan informasi baru atau pengetahuan sebelumnya dan
memanipulasi informasi untuk menjangkau kemungkinan jawaban dalam situasi baru.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan aspek penting dalam mengajar dan belajar.
Keterampilan berpikir sangat penting dalam proses pendidikan. Orang berpikir dapat
mempengaruhi kemampuan belajar, kecepatan, dan efektivitas belajar. Oleh karena itu,
keterampilan berpikir ini dikaitkan dengan proses belajar. Peserta didik yang dilatih dengan
berpikir menunjukkan dampak positif pada pengembangan pendidikan mereka (Heong dkk,
2011).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan berpikir tingkat
tinggi (Higher Order Thinking Skills) merupakan aktivitas berpikir yang tidak sekedar
menghafal dan menyampaikan kembali informasi yang telah diketahui. Tetapi kemampuan
berpikir tingkat tinggi juga merupakan kemampuan mengkonstruksi, memahami, dan
mentransformasi pengetahuan serta 20 pengalaman yang sudah dimiliki untuk dipergunakan
dalam menentukan keputusan dan memecahkan suatu permasalahan pada situasi baru dan hal
tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dalam keterampilan berpikir, terdapat
beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Keterampilan berpikir tidak secara otomatis dapat dimiliki oleh peserta didik.
2. Keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang
studi.
3. ada kenyataannya peserta didik jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir
ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing.
4. Pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada
peserta didik (student centered).

 Heutagogi

Heutagogy (berdasarkan Yunani untuk "diri") didefinisikan oleh Hase dan Kenyon pada
tahun 2000 sebagai studi pembelajaran yang ditentukan sendiri (mandiri). Heutagogy
menerapkan pendekatan holistik untuk mengembangkan kemampuan peserta didik,
dengan belajar sebagai proses aktif dan proaktif, dan peserta didik melayani sebagai
"agen utama dalam pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi sebagai akibat dari
pengalaman pribadi" (Hase & Kenyon, 2007, hal. 112).
Seperti dalam pendekatan andragogik, Instruktur atau pendidik pada heutagogy juga
memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan bimbingan dan sumber daya,
tetapi sepenuhnya pemilihan kepemilikan jalur pembelajaran dan proses untuk pelajar,
yang melakukan negosiasi belajar dan menentukan apa yang akan dipelajari dan
bagaimana hal itu akan dipelajari (Hase & Kenyon, 2000; Eberle, 2009). Sebuah konsep
kunci dalam heutagogy adalah bahwa dari putaran ganda pembelajaran dan refleksi diri
(Argyris & Schon, 1996, seperti dikutip dalam Hase & Kenyon, 2000). Dalam putaran
ganda pembelajaran, peserta didik mempertimbangkan masalah dan tindakan yang
dihasilkan dan hasil, selain merefleksikan proses pemecahan masalah dan bagaimana hal
itu mempengaruhi keyakinan dan tindakan pelajar itu sendiri

Anda mungkin juga menyukai