REPRESENTASI PERNYAIAN
DALAM KARYA SASTRA MELAYU RENDAH
TESIS
Linda
NIM : 05632006
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Belajar di IRB bagi saya adalah sebuah perjalanan dan menulis tesis
merupakan bagian dari perjalanan itu. Jika awalnya menulis adalah sebuah
kegemaran yang mengasyikkan maka dalam proses penulisan tesis ini ada saat-
saat di mana menulis menjadi keterpaksaan yang menegangkan. Tak jarang saya
mengalami writer’s block yang membuat saya berhenti sejenak, menghela nafas
untuk kemudian bergerak lagi. Ringkasnya, tesis ini merekam aneka pergulatan
saya yang bergerak dari titik satu ke titik-titik lainnya di dalam sebuah spektrum
Di dalam perjalanan yang cukup panjang ini, ada begitu banyak orang
1. Mama, Papa, dan Santi, juga Mena dan segenap keluarga yang telah
2. Ibu dan Bapak di Klepu dengan kasih sayang dan doanya yang tak
kunjung putus, Mba Wati dan Mas Willy di Japos serta nona-nona kecilku:
Fani, Fiera dan Femi, tempat berteduh sejenak di kala lelah dan putus asa.
3. St. Sunardi yang telah begitu sabar dan selalu membangkitkan rasa
percaya diri saya ketika seringkali saya menemui “jalan buntu.” Terima
kasih untuk diskusi, kritik dan bahan-bahan yang begitu berharga. Juga
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Katrin Bandel, sahabat dan guru, yang selalu bersedia menjadi tempat
berbagi gagasan dan perasaan tatkala saya bimbang dan ragu. Terima kasih
Wardoyo, Novita Dewi, Stefani Haning, Devi Ardhiani, beserta para dosen
penelitian ini. Secara khusus, terima kasih kepada mentor saya, Dr. Jan
van der Putten, serta Dr. Kay Mohlman yang memberikan pengetahuan
Kang Herry.
Samsul, Mas Yudi, dan Mas Hagung. Juga anak-anak IRB lintas generasi:
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mba Melati, Mba Iim, Mas Ferdi, Mas Dedi, Retno, Hasan, Mba Dona,
7. Mba Henki di sekretariat IRB yang selalu siap membantu, juga teman-
9. Teman-teman di Hidup, khususnya Bunda Sulis, Mba Etty, dan Pak Sihol.
10. Teman-teman di kosan lintas generasi: Agek, Echa, Yudha, Yuli, Meita,
Yoe, Vitha, Ifen, Jie Ayu, Lia, Elen, Keling, Emichta dan semua. Juga
dunia seni.
12. Edwid yang setia menemani di hari-hari yang sulit baik dengan rumpian
13. Sahabat-sahabat: Maman dan Budi (what a long journey!), Elis, Hendar,
14. Mba Yani yang selalu bersedia diganggu dengan curhat-curhat saya.
15. Mba Kristin dan Mas Priyo di Bandung, juga Mba Maria, Jenong dan Ibu-
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
warung makan, bis-bis kota, tempat fotokopi yang semuanya telah turut
18. The last but not the least, this work is dedicated to the letterblind millions
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Persetujuan pembimbing ii
Lembar pengesahan iii
Keaslian karya iv
Lembar persetujuan publikasi karya ilmiah v
Prakata vi
Daftar isi x
Abstrak xii
Bab I Pendahuluan
1. Latar belakang 1
2. Perumusan masalah 10
3. Tujuan penelitian 11
4. Relevansi penelitian 11
5. Tinjauan pustaka 11
6. Landasan teori 16
7. Sumber data dan metode penelitian 19
8. Sistematika penulisan 19
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Ras 94
4. Perkawinan dan pernyaian 109
5. Hubungan nyai dan tuan 119
6. Kesimpulan 124
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji empat cerita yang sering disebut “cerita nyai,” yaitu
cerita yang menampilkan tokoh nyai sebagai tokoh utama cerita, dan ditulis dalam
bahasa Melayu Rendah pada masa kolonial Hindia Belanda. Keempat cerita yang
dikaji adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H.
Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat
Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti. Cerita-cerita ini termasuk karya sastra
yang dipinggirkan oleh Balai Pustaka—institusi yang didirikan pemerintah
kolonial untuk menyediakan bacaan rakyat yang bermutu bagi masyarakat
pribumi. Penelitian ini akan menganalisis representasi pernyaian dalam karya
sastra Melayu Rendah ditinjau dari berbagai aspek, yakni aspek gender dan
seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian, lalu
menunjukkan posisi cerita tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa
kolonial.
Untuk keperluan tersebut, tesis ini pertama-tama berusaha mengeksplorasi
latar belakang sosio-hostoris fenomena pernyaian yang muncul seiring dengan
masuknya VOC di Nusantara dan dilanjutkan dengan periode kolonisasi.
Kemudian, tesis ini juga menjelaskan konteks keberadaan cerita nyai sebagai
bagian dari korpus sastra Melayu Rendah di tengah-tengah politik bahasa
pemerintah kolonial.
Tesis ini menunjukkan adanya representasi tentang pernyaian yang
beragam dan bentuk-bentuk ambivalensi yang berbeda-beda di dalam setiap
cerita. Hubungan antara tuan (penjajah) dan nyai (terjajah) pun tidaklah
sederhana, tetapi kompleks dan dinamis karena selalu ditandai ambivalensi.
Karena ambivalensi inilah, kendati cerita-cerita tersebut tidak menunjukkan
perlawanan yang tegas, Balai Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah
kolonial meminggirkan “cerita nyai” tersebut.
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
yang ditulis dalam bahasa Melayu lingua franca,1 atau sering juga disebut Melayu
Rendah.2 Melayu lingua franca dibedakan dengan bahasa Melayu baku, yakni
Melayu Tinggi yang diakui sebagai bahasa Melayu standar oleh pemerintah
Hindia Belanda kala itu. Bahasa Melayu jenis ini mulanya merupakan alat
tertulis lainnya.
Melayu Rendah ini ternyata tidak mendapat pengakuan dalam sejarah sastra
Indonesia modern. Padahal, ada begitu banyak karya sastra yang ditulis baik oleh
1
Istilah Melayu lingua franca ini diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram menyebut
karya sastra yang memakai bahasa ini sebagai sastra Melayu lingua franca, sastra asimilatif, atau
sastra pra-Indonesia. Ihwal lebih lanjut seputar persoalan ini bisa dibaca dalam Tempo Doeloe
Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 9-11. Akan tetapi, dalam bagian
selanjutnya dalam tulisan ini saya akan menggunakan Melayu Rendah karena lebih populer
dipakai dalam wacana sastra secara umum meskipun penamaan istilah ini juga problematis.
2
Lihat Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004).
3
Toer, Tempo Doeloe, 2.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
peranakan Tionghoa saja mencapai 3.005 karya dari 806 penulis.4 Ditinjau dari
aspek isi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa karya sastra Melayu
Rendah ini sudah memiliki ciri yang membedakannya dengan karya sastra
Bisa dikatakan, kehadiran karya-karya ini memberi dasar bagi lahirnya sastra
perkotaan—yang terdiri dari orang Tionghoa dan Asia lainnya, Indo (peranakan
Berbagai kelompok yang ada ini membentuk sebuah masyarakat majemuk yang
dinamis. Dalam situasi semacam itu, orang pun turut menciptakan identitasnya,
baik yang terbentuk karena ras, gender dan sedikit-banyak kelas sosial. Persoalan
identitas ini pun tercermin dalam berbagai karya sastra yang lahir selama kurun
waktu tersebut.
Belanda, persoalan jenis bahasa yang digunakan sang pengarang dalam menulis
pun menjadi penting. Maka, perlu dibedakan antara teks yang ditulis dalam bahasa
4
Claudine Salmoon mencatat 3005 karya tersebut terdiri dari 2.757 karya dari penulis yang
teridentifikasi serta 248 karya dari penulis anonim. Keseluruhan karya tersebut mencakup 73
naskah drama, 183 puisi dalam bentuk syair, 233 terjemahan karya berbahasa Eropa, 759 karya
terjemahan karya berbahasa Tionghoa, serta 1.398 novel dan cerita pendek. Lihat Claudine
Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional Annotated Bibliography
(Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme, 1981), 10.
5
Toer, Tempo Doeloe, 12.
6
Tineke Hellwig, “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity,” Archipel 63 (2002): 153-
172.
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Belanda dengan golongan pembaca yang sama sekali berbeda dengan para
pembaca karya sastra berbahasa Melayu. Selain itu, pengarang yang menulis
dalam bahasa Belanda sering dianggap menyuarakan sudut pandang penjajah (the
colonizer) dengan titik berdiri golongan penguasa Eropa kulit putih yang superior.
Para pengarang ini mengikuti tren penulisan naturalistik yang bermula di Perancis
ini, mulai dari novel, cerita, drama hingga puisi, lazim dibaca dan dikaji dalam
Karya berbahasa Melayu dalam kurun waktu yang sama masih jarang
dikaji. Cerita dan syair yang juga mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari ini
biasanya disebut sastra populer Melayu Rendah, karena merujuk pada medium
(klasik) yang direstui pemerintah sehingga luput dari kajian intelektual. Para
benar terjadi. Memang sumber cerita pada masa itu biasanya berasal dari surat
kabar dan sebagian besar pengarangnya adalah para wartawan. Kebanyakan cerita
sebagainya.
7
Pembedaan Melayu Rendah versus Melayu Tinggi adalah persoalan politis. Bahasa Melayu
Tinggi sengaja dipakai pemerintah kolonial untuk membakukan bahasa Melayu yang selanjutnya
dipakai di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pada akhirnya, tepatnya pada 14
September 1908, didirikan juga Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur—yang
kelak menjadi Balai Pustaka—untuk memproduksi bacaan yang menunjang pengajaran di sekolah.
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cerita-cerita tentang nyai termasuk salah satu tema yang kerap diangkat,
karena pernyaian memang merupakan kondisi yang riil dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat kolonial. Di antaranya ialah Tjerita Njai Dasima (G. Francis),
Tjerita Nji Paina (H. Kommer), Tjerita Njai Ratna (Raden Mas Tirto Adhi
Soerjo), Boenga Roos dari Tjikembang (Kwee Tek Hoay), Njai Soemirah (Thio
Tjhin Boen), dan Hikajat Siti Mariah (Haji Mukti). Balai Poestaka sebagai alat
yang bertutur tentang kisah nyai ini membentuk sebuah genre tersendiri dalam
kolonial dibentuk berdasarkan ras. Golongan Eropa Totok dan Indo menempati
kelas satu, diikuti keturunan Tionghoa dan Arab sebagai warga kelas dua dan
Pribumi masih terbagi lagi, yakni golongan priyayi dan kelompok rakyat jelata
dari pendidikan, layanan sosial, pengadilan, pengaturan upah kerja dan lain
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memungut pajak dari rakyat. Para pejabat yang berhasil melakukan tugasnya ini
dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah kolonial.9 Tak ayal, para penguasa lokal
ini pun tak segan-segan menekan rakyatnya demi “mencari muka” di depan
kekuasaan kolonial.
dan Perang Aceh yang berlangsung hingga puluhan tahun. Untuk mengatasi
dari golongan liberal. Seiring dengan keadaan ini, kaum borjuis di Belanda
persaingan bebas ala kapitalisme liberal yang tengah marak di Eropa. Selain itu,
para borjuis ini menuntut agar pihak swasta diizinkan mengelola perkebunan di
Tanam Paksa dan membuka peluang bagi para investor asing (baik Belanda
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
besar di antaranya laki-laki, baik yang sudah menikah maupun lajang. Akan
tetapi, kebanyakan pria Eropa yang sudah menikah tidak membawa serta
meningkat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyaian telah menjadi bagian dari sejarah
yang membentuk masa lalu kolonial. Akan tetapi, sebagai sebuah kenyataan
yang berkuasa. Dalam hal ini pemerintah kolonial di masa lalu sangat
mencoreng citra orang-orang Eropa sebagai ras yang superior ini—gagasan yang
telah menjadi salah satu alasan pembenaran bagi kolonialisme. Selain itu,
pernyaian yang merupakan hubungan “tidak resmi” atau “ilegal” ini selain
dipandang “tidak pantas” dari segi moral juga membawa berbagai akibat yang
cukup rumit. Misalnya saja, tumbuhnya golongan masyarakat baru, yakni orang-
orang Indo, sebagai hasil dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan pribumi
11
Tineke Hellwig juga memakai istilah nyai-hood untuk fenomena di Hindia Belanda ini. Lihat
Hellwig, “Menguasai Tubuh Perempuan”, Basis 09-10 (September-Oktober 2003): 60.
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pernyaian pada masa itu amatlah pragmatis sehingga berubah-ubah sesuai dengan
waktu. Awalnya, kata “nyai”12 merujuk pada perempuan yang tinggal di kediaman
laki-laki Eropa sebagai pengurus rumah tangga yang mengatur segala kebutuhan
tuannya. Seorang nyai biasanya hidup dengan seorang lelaki yang kedudukannya
fenomena pernyaian ini juga terjadi di kalangan Eropa dari strata ekonomi bawah,
di daerah perkebunan. Tak jarang seorang nyai juga hidup bersama dengan
saudagar Cina yang kaya, pejabat kolonial berpangkat rendah, ataupun pedagang
Cina biasa.13
pun diantar pulang ke tengah keluarganya dengan diberi semacam pesangon, baik
berupa uang, rumah, sawah, dan sebagainya. Namun, bisa terjadi seorang nyai
lantas dinikahi secara resmi oleh tuannya. Status para nyai semacam ini biasanya
12
Asal-usul kata “nyai” ini belum diketahui secara pasti karena kata tersebut bisa ditemui dalam
berbagai bahasa di Nusantara. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan saya uraikan pada Bab
2.
13
Sally White, “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist Islam in Late
Colonial Dutch East Indies” dalam Reviewof Indonesian and Malaysian Affairs 38, 1 (2004): 88.
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
situasi sebaliknya, seorang nyai yang ditinggalkan oleh tuannya seringkali justru
perubahan dari waktu ke waktu. Ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang
tidak mendapat halangan berarti karena alasan-alasan praktis. Para tentara yang
diizinkan menikah adalah mereka yang sudah memiliki pangkat yang cukup tinggi
Selain itu, tentara yang berstatus tidak menikah relatif lebih mudah jika harus
mengemukakan dalih moral. Bagi pemerintah kolonial pun, pernyaian lambat laun
generasi baru Indo. Status anak hasil percampuran darah ini tidak jelas. Mereka
Eropa. Lebih lanjut, kehadiran kelompok baru ini dikhawatirkan akan perlahan-
lahan menggerogoti kekuasan pemerintah kolonial. Ini antara lain muncul dalam
14
Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perempuan yang menjadi nyai
statusnya lebih baik daripada perempuan pribumi lainnya mengingat pelbagai akses yang
dimungkinkan oleh statusnya tersebut.
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang berbahasa Melayu Rendah masih jarang dikaji, terutama oleh intelektual
Indonesia sendiri. Lebih jarang lagi jika temanya spesifik seperti pernyaian. Saya
pribadi tertarik karena alasan berikut. Pernyaian merupakan sisi ambivalen dari
jejaknya bisa dilacak dalam berbagai karya sastra populer pada masa kolonial
yang berbahasa Melayu Rendah dan ini tidak ditemui dalam berbagai terbitan
Balai Pustaka. Dalam karya tersebut, para nyai digambarkan secara beragam—
mulai dari gambaran yang sangat “jahat,” seperti misalnya berniat merongrong
harta tuannya semata hingga sangat “baik,” yakni sebagai hamba yang tekun, baik
hati, dan patuh terhadap segala perintah tuannya. Akan tetapi, ada pula nyai yang
cerdas, yang belajar banyak dari budaya tuan kolonial dan dalam arti tertentu
sudah maju untuk ukuran zamannya. Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta
tuannya sangat bergantung padanya. Sementara itu Tirto Adhi Soerjo dalam cerita
Boesono menggambarkan seorang nyai yang pintar dan dapat diajak berdiskusi
Nasib para perempuan yang menjadi nyai ini bahkan tidak pernah
mendapat sorotan dari tokoh perempuan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi
pada zamannya, yakni Kartini. Padahal, hingga derajat tertentu nyai mengalami
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anak tersebut diakui statusnya sebagai orang Eropa. Sementara sang nyai yang
melahirkan dan mengasuh tidak memperoleh hak apa-apa. Bisa dikatakan bahwa
figur nyai telah diasingkan dari sejarah. Yang diakui sebagai tokoh sejarah dan
dipahlawankan ialah golongan terdidik dari kalangan priyayi yang “bersih”, tidak
sastra.
2. Perumusan masalah
Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:
lain:
ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan
kolonial?
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Tujuan penelitian
untuk:
ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan
masa kolonial.
4. Relevansi penelitian
5. Tinjauan pustaka
kajian tentang karya sastra Melayu Rendah yang bertema nyai, baik berupa artikel
jurnal, esai, tesis maupun buku. Tineke Hellwig, Indonesianis yang banyak
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membandingkan antara Tjerita Njai Dasima dalam bentuk cerita (Tjerita Njai
Dasima. Soewatoe korban dari para pemboedjoek) yang ditulis oleh G. Francis
(1896) dengan bentuk syair (“Sair tjerita di tempo Tahon 1813 soeda kadjadian
masing ditulis oleh O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok (1897). Tulisan itu
menyimpulkan bahwa tokoh Nyai Dasima justru hanya sedikit berperan di dalam
cerita dan ini sangat kontras dengan tokoh Samiun yang berdasarkan konstruksi
gundik pribumi yang tinggal dengan lelaki Eropa, kajian H.M.J Maier dalam
“Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the
peranakan Cina antara 1890 hingga 1920. Kecinaan dalam hal ini tidak
15
Tineke Hellwig, “Njai Dasima, A Fictional Woman,” Review of Indonesian and Malaysian
Affairs 26, 1 (Winter 1992), 1-20.
16
HMJ Maier, “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the
Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 149, 2 (1993), 274-297.
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam kerangka sikap yang baik dan pantas: orang-orang Cina lebih kuat dan
gigih daripada kaum pribumi yang kasar, lemah, mudah takluk pada paksaan.
Dalam esainya, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels
melakukan perbandingan antara Nyai Ontosoroh, tokoh nyai dalam Bumi Manusia
yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh-tokoh nyai dalam karya P.A.
Daum. Tokoh nyai pertama dalam karya Daum, Yps Nesnaj, berasal dari novel
Nummer Elf dan memenuhi stereotipe negatif nyai dalam sastra kolonial: sensual,
jalang, tidak bisa dipercaya dan tamak. Sementara, tokoh nyai lainnya, Nyai
Peraq, dalam novel Aboe Bakar justru memiliki kemiripan dengan Nyai
batas-batas bangsa, suatu konsep yang pada waktu itu antara lain mencakup adat
dan agama. Ketidaktaatan pada orang tua—yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh
tersebut. Akan tetapi, ini terjadi sebagai ujian atas cinta nyai tersebut pada
17
Gerard Termorshuizen, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by
Pramoedya Ananta Toer and PA Daum” dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to
Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering (Townsville: James
Cook University, 1995), 55-61. PA Daum sendiri adalah seorang penulis Belanda yang menulis
karya-karya tentang kehidupan di Hindia Belanda pada masa kolonial.
18
“Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai
Stories,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 31, 2 (December 1997), 47-61.
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tuannya. Jika hubungan dengan tuannya itu ia lakukan atas dasar cinta maka ia
Film”19 menganalisis empat versi dari cerita tentang Nyai Dasima. Keempat versi
tersebut antara lain narasi berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh G. Francis
(1896), narasi berbahasa Belanda karya A. Th. Manusama (1926), narasi yang
ditulis dalam dialek Betawi oleh SM Ardan (1965) serta film yang diproduksi
keterikatan historis karya dengan konteks waktu, tempat dan kelas. Dalam cerita
versi Francis dan Manusama, dapat dibaca bagaimana penjajah dan terjajah saling
memandang dan dengan demikian juga membuka peluang bagi para pembaca
untuk melihat persoalan-persoalan yang lebih luas semisal identifikasi agama dan
kelompok. Sementara itu, versi Ardan dan Chitra Dewi yang ditulis pada masa
dibayangkan.
Kajian penting lainnya dilakukan oleh Katrin Bandel dalam esainya “Nyai
tulisannya itu, ia membandingkan antara tokoh Nyai Dasima dalam Tjerita Njai
19
Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film,” dalam
Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears (Durham and London: Duke
University Press, 1999), 225-248.
20
Katrin Bandel, “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial” dalam
Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 31-44.
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dasima karya G. Francis dan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya
kedua cerita tersebut dan bagaimana dengan mengubah beberapa hal, antara lain
sebuah cerita nyai yang berbeda, yang memuat kritik terhadap feodalisme Jawa
Jika seluruh kajian yang saya sebutkan terdahulu berupa esai maka
penelitian yang relatif mendalam oleh Tineke Hellwig dan Brenda Fane dapat
Hellwig membahas imaji perempuan dalam karya sastra yang ditulis baik dalam
bahasa Melayu Rendah maupun dalam karya berbahasa Belanda pada masa
kehidupan nyai. Akan tetapi, analisisnya ini masih sangat umum dan belum secara
Karya lainnya adalah penelitian Brenda M. Fane, Love and Lust in the
diterbitkan) untuk meraih gelar Master of Arts dari Australian National University
(1995). Penelitian Fane ini berfokus pada relasi gender dengan melihat konstruksi
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kedua penelitian ini membahas imaji yang umum tentang sosok nyai.
Dalam penelitian Brenda M. Fane sudah ada upaya untuk melihat persoalan
Dari seluruh karya yang telah saya sebutkan, hanya tulisan Katrin Bandel
yang memiliki perhatian yang agak mirip dengan penelitian ini. Hal itu terutama
digunakan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saya berupaya untuk lebih
pernyaian itu sendiri dan bahasa Melayu Rendah sebagai medium penulisan
cerita-cerita nyai yang saya teliti. Dengan demikian, ditinjau dari fokus penelitian
dan pendekatan, saya berupaya menawarkan suatu wilayah baru untuk mendekati
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
disebutkan Melani Budianta, hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama,
jejak perjumpaan kolonial, konfrontasi ras, bangsa dan budaya di bawah kondisi-
kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara, yang seluruhnya turut membentuk
21
Lebih lanjut lihat Melani Budianta, “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial,” dalam
Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ (Yogyakarta: Kanisius
dan Lembaga Studi Realino, 2008), 15-31.
22
Melani Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana
(Post-) Kolonial,” Kalam 2 (1994): 62.
23
Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang,” 62.
24
Tony Day dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature
Introductory Remarks,” dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian
Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day (Leiden: KITLV Press, 2002), 2.
25
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 2.
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam penelitian ini, saya akan meminjam salah satu konsep penting dari
antara penjajah dan terjajah. Hubungan tersebut bersifat ambivalen karena subjek
merupakan relasi yang dialami oleh subjek kolonial secara berubah-ubah.28 Selain
dengan subjek terjajah. Wacana tersebut secara serentak berciri eksploitatif dan
menunjukkan bahwa hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) tidaklah
sederhana dan diametral di mana tokoh nyai melulu menjadi objek kekuasaan dari
26
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3.
27
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3.
28
Bill Ashcroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies (London:
Routledge, 1998), 12-13.
29
Ashcroft, Griffith dan Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies, 13.
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sang tuan. Ada saat-saat tertentu di mana nyai juga menjadi subjek yang aktif
wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga bisa disiasati untuk
Metode penelitian yang akan digunakan ialah analisis tekstual terhadap cerita-
cerita yang dipilih sebagai objek kajian. Untuk keperluan penelitian ini, saya akan
memfokuskan pada cerita dengan tokoh nyai yang tinggal bersama lelaki Eropa
Dari penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat empat cerita
yang masih bisa diakses secara memadai untuk kepentingan penelitian ini.
Keempat cerita yang akan diteliti antara lain Tjerita Njai Dasima (1896) karya G.
Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya
Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti.
8. Sistematika penulisan
latar belakang sosio-historis fenomena pernyaian pada masa kolonial, antara lain
sebuah kejahatan yang niscaya, surutnya pernyaian sebagai efek politik gender
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Bab III memposisikan cerita
nyai dalam konteks sastra, antara lain lahirnya sastra Melayu Rendah di akhir
abad ke-19, para penulis dan jenis karya yang termasuk di dalam korpus sastra
Pustaka dan pembakuan bahasa Melayu Tinggi, cerita nyai dan “bacaan liar” serta
representasi nyai dari berbagai karya sastra Melayu Rendah yang dipilih dengan
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
LATAR BELAKANG
SOSIO-HISTORIS PERNYAIAN
Menurut J. Th. Koks, kata nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah tersebut
kurun waktu tertentu, menjadi pusat perhatian di kalangan Eropa. Kata itu juga
dipakai dalam bahasa Jawa dan merujuk pada perempuan paruh baya yang
dihormati. Selain itu, kata nyai digunakan juga untuk merujuk pada mistress atau
kata njai ditemukan dalam bahasa Bali, Sunda dan Jawa yang berarti “perempuan
(muda), saudara perempuan termuda.” Selain merujuk pada gundik, kata tersebut
juga dipakai sebagai kata sapaan. Banyaknya budak Bali sampai ke Batavia
merupakan petunjuk, kata tersebut memang berasal dari bahasa Bali. Padanan kata
dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagerie, dan meid,
sedangkan dalam bahasa Melayu kata yang digunakan ialah gundik atau munci.30
beberapa arti yang berbeda dari kata nyai ini. Mengutip Encyclopaediae van
terhormat bagi para perempuan yang sudah lanjut usia tanpa gelar lainnya.31
29
Hanneke Ming, “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920,” Indonesia 35 (1983): 71.
30
Tineke Hellwig, Adjustment and Discontent Discontent Representations of Women in the
Dutch East Indies (Ontario: Netherlandic Press, 1994), 33.
31
Elsbeth Locher-Scholten, “The nyai in colonial Deli A case of supposed mediation,” dalam
Women and Mediation in Indonesia, ed. Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat-
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam konteks Indonesia masa kini, kata ini masih tetap dipergunakan di Jawa
Barat dan Madura untuk mengacu pada istri dari seorang kyai. Kata nyai dalam
pada tahun 1826 kendati pemakaian kata tersebut mungkin sudah lebih lama.
Namun demikian, menurutnya, tidaklah jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa
nyai (pengurus rumah tangga) dahulunya memiliki posisi yang terpandang dalam
masyarakat Indonesia pada waktu itu ataukah penggunaan kata tersebut dengan
makna semacam itu hanyalah temuan orang Belanda tanpa implikasi lebih jauh
Mengingat kata “nyai” ini masih digunakan hingga sekarang, rujukan pada
Selain itu, Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS
berbagai definisi yang diajukan tersebut ada kesamaan, yakni definisi “nyai”
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab ini membahas sejarah munculnya pernyaian yang dimulai pada zaman
perempuan pribumi berikut tentangan awal dari Jan Pieterszoon Coen terhadap
lama. Jejaknya bisa dilacak pada masa pra-kolonial ketika VOC masuk ke
perempuan Asia, termasuk pula dengan perempuan budak. VOC mendukung hal
tersebut dengan turut menyediakan perempuan sebagai calon pengantin bagi para
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lelaki lajang Eropa. VOC bahkan membeli perempuan budak (slave women) dari
permanen di Hindia Belanda. Selain itu, para pemegang saham VOC menentang
akan mudah sakit di daerah tropis sehingga keadaan ini mungkin mendorong
bisa dilegalkan. Seorang lelaki kulit putih pada masa VOC harus memperoleh izin
untuk menikah. Kondisi ini mengakibatkan banyak lelaki kulit putih akhirnya
hidup bersama gundik. Fenomena ini sedemikian jamak sehingga pada 1620
bvtak langsung pergundikan dipicu oleh peraturan pada 1617 yang menyebutkan
34
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
35
Ann Laura Stoler, Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial
Rule (Berkeley: University of California Press, 2002), 47.
36
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sejak awal di Batavia hubungan bebas dengan perempuan budak sudah terjadi.
Kebanyakan budak ini adalah pekerja rumah tangga. Dari korespondensi para
pejabat, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, diketahui pula bahwa saudagar
senior VOC mengambil perempuan lokal dan budak impor sebagai gundik.39
tidak memiliki posisi tawar ataupun mampu bernegosiasi. Selain itu, umumnya
mereka tinggal dengan serdadu ataupun pelaut Eropa yang posisinya di kalangan
masyarakat Eropa pun tidak bisa disebut layak. Maka, wajar apabila hubungan
antara perempuan budak dan lelaki Eropa tersebut bersifat eksploitatif dan
sementara, tanpa didasari pemahaman satu sama lain. Berbeda halnya dengan para
pribumi, baik yang dinikahi secara resmi dalam ikatan perkawinan maupun yang
diajak hidup bersama dalam hubungan kohabitasi.40 Senada dengan apa yang
diungkapkan Hellwig, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa kendati asal dan
37
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
38
Hellwig, Adjustment and Discontent, 31.
39
Jean Taylor, The Social World of Batavia (Madison: University of Wisconsin Press, 1983),
15.
40
Hellwig, Adjustment and Discontent, 31.
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
alasan seorang perempuan pribumi menjadi nyai sulit dijawab, perempuan Jawa
perempuan kulit putih dari Belanda.42 Pada 1622 VOC pernah mendatangkan
enam perempuan muda Belanda yang siap dinikahi ke Jawa. Mereka diberi
pakaian, mas kawin dan kontrak yang mengikat mereka selama lima tahun di
mencatat, pada 1652 para pejabat VOC mengadopsi kebijakan yang tetap
rekrutmen lelaki Eropa yang masih lajang dan pembatasan perkawinan dengan
Kebijakan VOC untuk menerima pekerja yang masih berstatus lajang serta
pembatasan imigrasi perempuan Eropa terus berlangsung hingga dua ratus tahun
berikutnya. Dengan merekrut para lelaki lajang, VOC secara legal dan finansial
41
Ming, “Barracks-Concubinage,” 73.
42
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
43
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
44
Taylor, The Social World of Batavia, 14.
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
antara pegawai tingkat rendah dan perempuan budak yang diimpor.45 Seperti
Pada abad ke-19 dan hingga awal abad ke-20, gaji para pegawai baru di dinas
hingga sangat rendah berkat jasa domestik para perempuan lokal yang diberikan
secara cuma-cuma.47
awal VOC di Batavia. Oleh sebab itu, manakala Coen ditunjuk sebagai Gubernur
larangan untuk memelihara “satu atau dua perempuan budak, gundik atau gundik-
gundik di dalam suatu rumah ataupun di tempat lainnya, dengan dalih apapun”.48
Hal tersebut juga didasarkan keprihatinannya terhadap kasus aborsi dan upaya
racun lainnya. Kendati Coen mengenakan aturan yang sangat keras dalam perkara
45
Stoler, Carnal Knowledge, 47.
46
Ann Laura Stoler, “Making Empire Respectable,” dalam Situated Lives: Gender and Culture
in Everyday Life, ed. Louise Lamphere, Helena Ragone, dan Patricia Zavella (New York and
London: Routledge, 1997), 376.
47
Stoler, “Making Empire Respectable,” 377.
48
Taylor, The Social World of Batavia, 16.
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pergundikan.49
mendapat pengakuan dalam hukum sipil (civil law code) Hindia Belanda.
berikut.
”Ada banyak nyai dan mereka termasuk dalam semua strata masyarakat Indo-Eropa kita.
Bukan hanya tentara di barak, melainkan juga kebanyakan jenderal, pejabat lapangan
serta pejabat lainnya, gubernur wilayah, walikota, pejabat senior dan pejabat lainnya
memiliki nyai jika mereka tidak menikah. Baik di Belanda maupun di daerah koloni
seseorang bisa menemukan orang-orang penting yang merupakan anak Nyai.”50
Jadi, sesungguhnya masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu tidaklah “semurni”
hubungan antar ras yang pada suatu periode memang disahkan secara hukum oleh
diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sebagai sebuah fenomena sosial, pernyaian
tidak bisa dilepaskan dari keadaan-keadaan sosial yang melingkupinya. Pada 1830
Jenderal Johannes van den Bosch, yakni sistem Cultuurstelsel. Tiap desa
49
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
50
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diperintahkan untuk menanam tanaman ekspor, seperti kopi dan gula, untuk
kemudian dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga tetap. Sistem ini
dibuka bagi kalangan swasta. Pada 1870 Hukum Agraria disahkan.52 Sejak waktu
liberal (laisser-faire). Hal ini berlangsung sejalan dengan perubahan sosial dan
politik yang besar. Komunikasi melalui telegraf dan jasa pos udara serta
transportasi laut dengan kapal uap melalui Terusan Suez secara signifikan
surplus penghasilan yang cukup besar bagi kas Kerajaan Belanda selama kurun
waktu 1832 hingga 1877. Keuntungan yang dihasilkan dari perniagaan kopi dan
gula antara 1850 hingga 1860 telah memberikan kontribusi sebesar 31 persen dari
51
Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.
52
Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.
53
Hellwig, Adjustment and Discontent, 19.
54
Hellwig, Adjustment and Discontent, 19.
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wilayah yang luas, sabuk perkebunan Deli mulai beroperasi pada 1860-an dan
Menurut Ann Laura Stoler, jauh dan otonom dari pusat kekuasaan kolonial
selama masa ekspansinya di akhir abad ke-19. Komunitas itu ditandai beberapa
yang berkembang secara ekstensif hingga abad ke-20. Selain itu, sabuk ini
paling tinggi di Hindia Belanda. Dengan kata lain, komunitas tersebut berwatak
amat rasis.55
Salah satu ciri dari komunitas sabuk perkebunan Deli tadi ialah
masa kerja enam tahun. Kondisi kerja yang keras dianggap tidak baik bagi
perempuan Eropa. Selain itu, laki-laki harus bisa bekerja secara bebas terkait
55
Stoler, Carnal Knowledge, 26.
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan situasi kerja di hutan. Tanpa keluarga, mereka pun bisa digaji lebih murah
dengan perempuan Jawa lebih disukai karena hanya memberikan beban finansial
ringan pada staf golongan rendah dan membantu para pendatang baru untuk
mempelajari bahasa dan adat kebiasaan setempat dengan cepat. Dengan menolak
mempekerjakan lelaki yang telah menikah, para pengelola sabuk perkebunan ini
Jawa.57
Larangan perkawinan ini mulai dihentikan pada 1922 dan para pekerja
didorong untuk hidup dengan nyai. Nyai bisa berasal dari kalangan kuli
bisa memberikan perasaan nyaman dan betah bagi para pekerja tersebut. Namun,
ini tidak disertai dengan tuntutan afektif dan finansial. Selain itu, mereka bisa
56
Hellwig, Adjustment and Discontent, 35.
57
Stoler, Carnal Knowledge, 29.
58
Dalam hal ini, perempuan Jepang lebih dihargai karena mereka dibeli dari rumah pelacuran di
Singapura ataupun didatangkan langsung dari Jepang. Lihat Locher-Scholten, “The Nyai in
Colonial Deli,” 271.
59
Hellwig, Adjustment and Discontent, 35.
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Eropa di Hindia Belanda. Sekitar 1850-an, Gubernur Jenderal Duymaer van Twist
dengan meniadakan kenaikan pangkat bagi para tentara yang memelihara nyai.
Antara tahun 1888 hingga 1911 persentase tentara yang tinggal bersama
barak memberikan sejumlah keuntungan. Tentara akan menjauhi pelacuran dan ini
berarti mengurangi faktor risiko terjangkit penyakit menular seksual. Oleh karena
Selain itu, diyakini bahwa dengan adanya anak dan istri di dekatnya, disiplin dan
ketertiban akan menghilang dari barak. Serdadu yang lajang juga tidak perlu
digaji tinggi dan tidak membutuhkan berbagai tunjangan. Karena berbagai alasan
ini, tak heran apabila para pejabat teras militer mendukung pergundikan dan
60
Taylor, The Social World of Batavia, 8.
61
Hellwig, Adjustment and Discontent, 36.
62
Hellwig, Adjustment and Discontent, 37.
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kurun waktu sekitar peralihan abad mengubah cara hidup di Hindia. Standar moral
sah secara hukum dan non-marital) dengan hanya sedikit perbedaan di antara
keduanya.63
Secara umum, di Eropa pada masa itu hubungan seksual di luar pernikahan
di balik sikap “permisif” tersebut. Iklim tropis serta makanan rempah disebut-
sebut dapat merangsang libido. Apabila hasrat seks tersebut tidak tersalurkan,
akibatnya buruk, misalnya birahi tinggi, sodomi dan histeria. Jadi, pemenuhan
kebutuhan seksual di luar pernikahan dianggap lebih “baik” daripada akibat buruk
terus berlangsung.
Akan tetapi, kendati tetap berlangsung, tentangan terhadap pergundikan pun terus-
63
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
64
Hellwig, Adjustment and Discontent, 33.
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
legal. Namun, pada 1913 peraturan itu dicabut dan sejak itu pula pergundikan di
harus berada di tempat yang sama dengan suaminya. Seorang nyai yang anaknya
diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut. Ini terjadi
status anak tersebut legal dan layak menyandang status sebagai orang Eropa.66
rekaman rahasia tentang tentara tingkat rendah dan tinggi. Rekaman itu harus
memuat catatan apakah para tentara tersebut tinggal dengan gundik (mistress) atau
tidak. Status “sipil” mereka ini akan dipergunakan sebagai salah satu
perempat abad ke-19 separuh dari jumlah lelaki Eropa di Hindia Belanda masih
tetap tinggal dengan gundik. Setelah 1890 fenomena pergundikan baru menurun.
Hal itu pun diikuti dengan meningkatnya prostitusi. Mereka yang masih hidup
dengan nyai berusaha untuk tidak menonjol, misalnya tidak menampakkan diri
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kondisi-kondisi yang sangat terbatas. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa jika
dia harus mencari pemuasan di luar institusi tersebut. Dia bisa mengambil seorang
dan Hindia.71
3.1.1. Di Belanda
Pada 30 Juni 1887 Menteri Jajahan Sprenger van Eyk meminta nasihat dari
barak. Getuigen en Redden, sebuah badan dari Liga Belanda melawan Prostitusi,
68
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.
69
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.
70
Ming, “Barracks-Concubinage,” 71.
71
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengangkat isu ini hingga ke Dewan Kedua (Tweede Kamer). Menteri untuk
pergundikan secara fundamental jahat, dan oleh karena itu, sudah diputuskan
kohabitasi.
Pada November 1896, van Vlijmen sekali lagi mengutuk institusi tersebut
menetapkan tanggal pasti sebagai batas waktu larangan kohabitasi. Setelah waktu
tersebut tentara baru yang tiba di Hindia tak lagi diizinkan berkohabitasi. Namun,
proposal ini ditolak karena Menteri takut akan meningkatnya perkawinan yang
hubungan lelaki Eropa dan nyai hanya akan sah jika ayahnya mau menikahi sang
ibu. Namun, usulan ini ditolak karena dianggap tidak praktis. Salah satu anggota
72
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
73
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
74
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perkawinan lelaki Eropa dengan gundiknya tidak dapat begitu saja diberlakukan.75
Pada 1911 pembedaan status antara istri yang dinikahi secara legal–
menyebutkan bahwa dalam laporan awal Dewan Kedua tahun 1912 sudah muncul
anggota parlemen menuntut suatu investigasi yang cermat mengenai gaya hidup
gundik, di dalam maupun di luar barak. Sementara itu, posisi pemerintah Belanda
Sebagai contoh, perumahan dinas harus disediakan bagi para pegawai nonkomisi
bagi kopral dan tentara tingkat rendah. Pada 1915 hanya ada sedikit pertanyaan di
pergundikan.
Hindia, sikap terhadap perilaku seksual tetap relatif toleran, setidaknya yang
75
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.
76
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.
77
Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terkait dengan lelaki Eropa. Baik rezim di Hindia dan Komando Tinggi
kejahatan yang tak terelakkan dengan tekanan pada “tak terelakkan”. Sementara
“kejahatan” (evil).78
yang menyatakan bahwa pergundikan tidak lolos uji dari prinsip-prinsip moralitas
Kristen yang baik. Pada 1894 Liga Pemuda Milter Kristen (League of Christian
Military Youth) menyatakan bahwa hubungan kohabitasi antara lelaki Eropa dan
Mereka mengecam keras standar ganda dari Komando Tinggi Angkatan Darat: di
satu sisi standar tersebut menghargai perempuan yang memiliki “kelakuan yang
standar itu secara efektif mendefinisikan mereka sebagai sundal (whores) karena
“siapapun yang tinggal dengan gundik pribumi menikmati hubungan hewani alih-
Liga tentara Kristen untuk Hindia Timur dan Barat mengizinkan perang
tentang penempatan ini datang dari Asosiasi Pejabat Kristen Nasional (National
78
Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.
79
Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.
80
Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pergundikan dan penempatan yang terpisah antara tentara Eropa dan pribumi.81
Pada 1904 para administrator dan pejabat tinggi militer diperingatkan akan
konsekuensi berbahaya dari pergundikan bagi karier masa depan mereka. Jenderal
hanya berlangsung secara rahasia sehingga tindakan ini tidak lagi melukai
Kristiani dan imoral. Dia memandang pergundikan sebagai transaksi antara dua
pihak di mana lelaki bertindak sebagai pembeli dan perempuan sebagai penjual.84
tentara tingkat bawah tidak seharusnya didorong untuk menikah karena ini akan
berbahaya bagi pelaksanaan tugas mereka. Pendapat ini didukung oleh pernyataan
pergundikan bagi semangat tentara. Dua musuh terbesar dari semangat tempur
tentara, katanya, ialah alkoholisme dan penyakit kelamin. Tampaknya para tentara
81
Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.
82
Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.
83
Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.
84
Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.
85
Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Eropa boleh menikahi gundiknya hanya jika gundiknya berkelakuan tak bercela
dan memiliki satu atau lebih anak dengannya.87 Bagaimana sikap pemerintah
Hindia secara umum? Sudut pandang pemerintah Hindia sebagian besar identik
dengan pimpinan militer. Pada 1889 Raad van Indies (Council of the Indies)
Pada 1903 ia menentang ordinansi yang diusulkan van Vlijmen karena ia melihat
tidak ada cara yang lebih baik untuk membatasi penyebaran penyakit menular
Pauperism, yang didirikan oleh rezim Hindia, tidak merestui pergundikan barak
dari sudut pandang moral, namun menerimanya dalam praktik sebagai necessary
Hanya pada 1912 untuk pertama kalinya muncul tanda friksi yang jelas
antara pandangan pemerintah dan pimpinan militer. Van Heutsz sebagai eks
militer tidak keberatan terhadap institusi tersebut. Namun demikian, pada 1912
86
Ming, “Barracks-Concubinage,” 84.
87
Ming, “Barracks-Concubinage,” 85.
88
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.
89
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.
90
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tanpa anak. Hal ini diikuti pernyataan tentang pergundikan barak dan keputusan
kesadaran moral masyarakat luas. Oleh karena itu pergundikan di barak tidak
dapat didukung untuk jangka panjang, dan secara perlahan-lahan harus lenyap.92
diajukan untuk membuat penghapusan tersebut diterima dan dipahami ialah fakta
bahwa apa yang disebut milisi Eropa akan dibentuk/dilembagakan. Karena ini
berarti makin besar kontak antara kalangan militer dan masyarakat sipil, apa yang
dikutuk oleh masyarakat tidak bisa ditolerir lagi secara terbuka di kalangan
militer.93
kontak sosial dengan orang Eropa, kecuali lelaki Eropa tersebut menjalankan
tugas militer. Buktinya, tidak ada perubahan nyata dalam sikap ini setelahnya.
Posisi sosial orang Eropa dan tempat asal kaum pribumi tampaknya berperan
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Orang Sunda, Menado dan Ambon tampaknya bersedia memberi izin anaknya
harinya dengan bersembunyi “jauh di dalam kampung sebagai ibu dari anak-anak
yang baik.”95
4. Berakhirnya pernyaian
ditolerir karena golongan kulit putih yang miskin (poor whites) tidak bisa
diterima. Prestise orang kulit putih dianggap akan terancam apabila lelaki kulit
putih menjadi miskin karena mempertahankan gaya hidup kelas menengah Eropa
beserta istri dari ras yang sama. Sementara itu, hal yang sebaliknya justru terjadi
di Jawa. Pada akhir abad ke-19 pergundikan dianggap sebagai sumber kemiskinan
golongan kulit putih (white pauperism).96 Oleh karena itu, menurut Stoler,
hierarki sosial dan divisi rasial” yang bersifat ambigu. Faktor yang mendukung
prestise itu elastis: pada suatu saat pergundikan secara sosial diterima dan
94
Ming, “Barracks-Concubinage,” 88.
95
Ming, “Barracks-Concubinage,” 89.
96
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat dalam Stoler, “Making Empire
Respectable,” 378.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
didukung secara sosial, namun pada waktu lain dianggap menjadi ancaman
politis.97
migrasi yang cukup tinggi: laki-laki sebanyak dua ratus persen, perempuan tiga
ratus persen. Salah satu efek dari tingginya migrasi itu adalah percepatan
Eropanisasi masyarakat Indis yang membuat kaum Indo lantas risih dengan darah
abad ke-20 pada gilirannya membawa tuntutan perubahan bagi komunitas kulit
menandai ruang sosial mereka.”99 Selama ini, para nyai dianggap telah membuat
lelaki kulit putih mengadaptasi perilaku dan adat kebiasaan kaum pribumi (going
berubah. Para perempuan kulit putih yang dianggap sebagai “puncak peradaban
pada akhir abad ke-19 jumlah perempuan Eropa meningkat dan masyarakat Indis
semakin totok.101 Memang setelah 1890, pergundikan menyurut. Namun, hal ini
diikuti dengan maraknya prostitusi. Ming juga mencatat bahwa pada perempat
abad ke-19, golongan Kristen makin berperan dalam kehidupan sekular lewat
97
Stoler, “Making Empire Respectable,” 379.
98
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
99
Stoler, “Making Empire Respectable,” 379.
100
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
101
Ming, “Barracks-Concubinage,” 92.
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena itu, golongan Kristen yang kontra pernyaian turut memberi tekanan pada
pelaku pergundikan.102
politik dan finansial terhadap pemerintah Hindia Belanda. Oleh sebab itulah,
pegawai nonkomisi (non commissioned officer) supaya posisi mereka lebih baik
dan bisa menikah. Sebagaimana disebutkan Ming, dari fakta ini bisa disimpulkan
dan bukan dengan nyai. Nyai dari kalangan pribumi kebutuhannya lebih sedikit.
Sementara itu, perempuan Eropa memiliki standar materi maupun moral lebih
mentolerir dan melindungi pergundikan, baik nyai maupun anaknya tidak pernah
102
Ming, “Barracks-Concubinage,” 92.
103
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
104
Ming, “Barracks-Concubinage,” 71.
105
Ming, “Barracks-Concubinage,” 93.
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
KONTEKS SASTRA MASA KOLONIAL
mengalami proses yang tidak sederhana untuk menjadi bahasa sebuah bangsa
seperti yang kita kenal saat ini. Cikal-bakal bahasa Melayu tersebut tidak dapat
Belanda pada waktu itu. Pemerintah kolonial secara sengaja menjalankan politik
Salah satu turunan dari politik bahasa tersebut ialah dipopulerkannya apa
melalui karya sastra yang diterbitkan Balai Pustaka. Sementara itu, bahasa yang
menghubungkan pelbagai orang dari suku bangsa dan etnis serta dipakai dalam
percakapan sehari-hari, yakni bahasa Melayu yang sering disebut Melayu Rendah,
termasuk di dalamnya karya sastra Melayu Rendah. Bab ini mencoba memberikan
konteks dinamika bahasa Melayu Rendah, bahasa yang digunakan dalam cerita-
cerita nyai yang dikaji dalam penelitian ini serta politik bahasa yang dijalankan
Rendah.
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sastra berbahasa Melayu Rendah yang ditulis pada abad ke-19 dan ke-20. Bagian
ini akan coba menguraikan bahasa Melayu Rendah, mulai dari perdebatan sekitar
istilah “Melayu Rendah” itu sendiri, peran bahasa Melayu Rendah dalam
perkembangan sastra Melayu Rendah dan “cerita nyai” sebagai salah satu genre
Ada berbagai istilah yang dipakai untuk merujuk bahasa Melayu Rendah.
Yang pertama ialah bahasa Melayu Pasar. Menurut Jakob Sumarjo, digunakannya
istilah ini kiranya menunjukkan bahwa bahasa ini merupakan bahasa pengantar
Nusantara.106 Memang sejak abad ke-17 berbagai pusat niaga dan pemerintahan—
kaum pribumi.
Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar untuk antologi cerita yang
ditulis dalam bahasa Melayu jenis ini menyebutnya sebagai Melayu lingua franca
atau Melayu pra-Indonesia. Menurut Pram, bahasa ini “bukan bahasa Melayu
106
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 20.
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
baku, tetapi Melayu yang terjadi karena pertemuan antara berbagai bangsa dan
sewaktu memasuki Nusantara dari Malaka sebagai pangkalan. Bahasa ini secara
bahasa kekuasaan dan administrasi. Tak heran jika kemudian bahasa setempat
justru terdesak menjadi “bahasa tanah”. Sebagai gantinya, bahasa Melayu Maluku
Pemakaian bahasa Melayu ini terus berlanjut. Baik Kompeni Belanda dan
lamanya hingga pada awal abad ke-20 ketika gagasan membakukan bahasa
107
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 9.
108
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 9.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menganggap diri menulis dalam bahasa yang umum digunakan di Jawa. Oleh
beberapa pihak, bahasa yang dimaksud ini disebut bahasa Melayu rendah.109 Dari
kota-kota di Jawa, oleh semua suku bangsa, baik itu orang-orang Jawa dan
dengan bahasa Melayu Sumatra yang pelan-pelan diperkenalkan oleh para pejabat
Balai Pustaka. Memang, bahasa Melayu versi Sumatra ini kemudian memberikan
ini terkait erat dengan masalah politik. Menurut Salmon, manakala alergi-alergi
Tionghoa, sesuatu yang tidak dijumpai pada akhir abad ke-19 maupun awal abad
dengan arti buruk, untuk menyebut suatu bahasa yang relatif kuno dan yang
109
Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat
Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Henri Chambert-Loir, et. al. (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), 99.
110
Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat
Diterima?”, 99.
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tahun 1920-an.”111
Cina” dan bahasa Indonesia modern, khususnya karena “Melayu Cina” juga
digunakan dalam wacana tulis orang-orang dari kelompok etnis lainnya selain
kalangan Cina pada masa kolonial dan juga setelah masa kemerdekaan.112 Ia
menyebutkan bahwa dalam sejumlah literatur yang bisa meralat mitos “Melayu
Cina,” dua fakta selalu diketengahkan. Pertama, bahasa sehari-hari orang Cina
yang berbahasa Melayu berbeda dialeknya dari daerah satu dengan yang lain.
Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa ada satu dialek Melayu yang
dipakai orang Cina di manapun di seluruh Nusantara. Kedua, dialek lokal orang
Cina yang berbahasa Melayu dengan pewicara Melayu lokal lainnya hanya
berbeda sedikit (kendati hal tersebut masih perlu diteliti secara empiris).113
kita mungkin bisa mengatakan bahwa terdapat subdialek dalam bahasa Melayu
111
Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”,
109.
112
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian
Language,” Indonesia 51 (1991): 55.
113
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian
Language,” Indonesia 51 (1991): 55.
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pra-Indonesia. Ini dalam artian bahwa pengarang dari etnis Cina cenderung
Hanya dalam konteks inilah seseorang bisa mengatakan “Melayu Cina” atau
subdialek Cina dari Melayu pra-Indonesia.114 Apa yang secara salah kaprah
hanyalah ragam Melayu/Indonesia (PIM) yang digunakan secara luas oleh kaum
Agak berbeda dengan apa yang diungkapkan Claudine Salmon dan Dede
digunakan secara sadar oleh para penulisnya sejak awal lahirnya sastra ini.
dipengaruhi oleh Sumpah Pemuda di kalangan pribumi yang lalu secara sadar
Rendah” karena beberapa alasan. Pertama, istilah “Melayu Rendah” di sini saya
maksudkan sebagai seluruh dialek Melayu yang dipakai di Nusantara pada masa
kolonial—periode ketika karya-karya sastra yang saya teliti ditulis. Kedua, istilah
“Melayu Rendah” yang sering disebut “brabbel Maleisch” atau “Laag Maleisch”
114
Tidak terhenti di situ Dede Oetomo melanjutkan, “Tapi, lalu mungkin seseorang juga harus
menyebut “Melayu Jawa” atau “Melayu Arab” sebagai subdialek karena kelompok ini jug
meminjam kosakata dari bahasa asli mereka.” Dalam Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia
and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 (1991): 64.
115
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian
Language,” Indonesia 51 (1991): 64.
116
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 2.
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini tetap saya pakai untuk menunjukkan suatu ironi bahwa bahasa inilah yang
justru menjadi bahasa administrasi dan bahasa yang dipakai dalam berbagai
aktivitas dan relasi sosial antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan
pelbagai unsur masyarakat kolonial kala itu. Mewujud sebagai bahasa komunikasi
antaranya karena digunakan dalam dunia pers, baik yang dijalankan oleh orang
Tionghoa maupun pribumi dan juga, yang tak boleh dilupakan, dalam dunia
sastra. Karena alasan inilah pemerintah Hindia Belanda kemudian merasa perlu
untuk melakukan sensor terhadap bahasa yang “tidak murni” dan “tidak benar”
ini, yang salah satunya dilembagakan lewat pendirian Balai Pustaka, dan di
kemudian hari pembakuan bahasa Melayu, yakni Melayu Tinggi yang konon
keberadaan pers dan penerbitan berkala yang mulai tumbuh pada akhir abad ke-
19. Mengapa demikian? Hal tersebut tak lain karena para penulis cerita pada masa
itu umumnya menampilkan karyanya melalui surat kabar.117 Kelahiran pers yang
dijalankan oleh pihak swasta berawal dari pemberlakuan Regulasi Pers Tahun
1856. Dalam aturan itu disebutkan bahwa, “Pengawasan atas Pers dalam negeri
dan pers yang masuk dari luar dihilangkan kecuali mengganggu ketertiban
117
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 8.
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
umum.” Hal ini merupakan efek dari bergulirnya paham liberal di daratan
Cikal bakal pers berbahasa Melayu Rendah dimulai pada 1858 dengan
terbitnya Soerat Kabar Batawi’s yang dicetak dalam bahasa Latin dan Arab
(Rumi dan Jawi). Terbit setiap hari Sabtu, surat kabar ini selain memuat hal-hal
Seribu Satu Malam dan hikayat Melayu. Para khalayak pembacanya terutama
Periode 1885 hingga 1860 bisa dikatakan sebagai masa awal tumbuhnya
pers Indonesia. Akan tetapi, penerbitan ini kebanyakan masih dimodali dan
pengucapan sastra modern berupa cerita pendek dan penceritaan kembali kisah-
kisah lama dalam bahasa prosa Melayu sudah mulai tampak.120 Sayangnya,
penerbitan ini umumnya hanya bertahan satu hingga dua tahun saja karena
kurangnya peminat.
memasuki masa konsolidasi. Ini ditandai dengan terbitnya berbagai surat kabar di
118
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 16.
119
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 17.
120
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 18.
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pada kurun waktu sesudahnya. Penerbitan ini umumnya masih dibiayai oleh orang
Belanda dan Inggris. Para pembaca yang disasar sebagai audiens ialah golongan
tentara dan priyayi. Media penerbitan pada masa tersebut menampilkan karya
sastra yang kian beragam—cerita pendek, hikayat lama, syair dan pantun, baik
pers yang makin signifikan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari menguatnya kaum
Sumardjo, kaum Indo yang secara demografis jumlahnya lebih besar dari
golongan Belanda tak mungkin bersaing dalam penerbitan pers. Oleh sebab itu,
mereka yang menguasai bahasa Belanda dan Melayu Rendah sekaligus akhirnya
karya terjemahan dan saduran roman dan karya sastra Eropa ke dalam bahasa
Melayu Rendah dalam penerbitan pada periode tersebut. Ini bisa disaksikan dalam
terjemahan Pont Jest L’Araigne Rouge karya penulis Perancis oleh wartawan Indo
EF Wiggers pada tahun 1874. Karya tersebut diberi judul Lawah-lawah Merah.
121
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 18.
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Belanda pada tahun 1942. Mulai periode itu, kaum Peranakan Tionghoa mulai
memiliki penerbitan sendiri. Menurut Pram, itu berarti mereka “lebih punya
kebebasan sendiri, atas pilihan sendiri dan dengan tanggung jawab sendiri.”122
Namun, patut dicatat bahwa kebebasan pers sebelum tahun 1906 belumlah
sepenuhnya. Sementara itu, pers pribumi sendiri mulai lahir setelah tahun 1900.
Medan Prijaji yang lahir pada 1906 di Bogor, Bandung dan Betawi serta
dikomandoi oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo patut disebut sebagai tonggak pers
terjemahan dari khazanah sastra Eropa. Dari sinilah khalayak pembaca sastra di
terjadi sekitar 1870-an. Memang sekitar 1850-an dalam penerbitan berkala sudah
maupun karya sastra Arab. Penceritaan kembali ini menggunakan bahasa Jawa
dan Melayu Rendah. Salah satu karya awal ialah Raja Pirangon karya T. Roorda
(1844) yang berkisah tentang Firaun dan karya anonim Angling Darma (1853).123
122
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 8.
123
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 24.
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tjerita di Batavia dan juga Inilah Kitab Taman Wandji Namanya, Jah itoe
Babrapa Hikayat Orang-orang yang Ampoenya Tjerita (1862) karya JGF Riedel
di Ujung Pandang. Pada saat yang bersamaan, jenis karya berupa penceritaan
kembali ini pun muncul sebagai cerita bersambung dalam terbitan pers.125
Tionghoa? Rupanya mereka pun mengkonsumsi bacaan dari jenis yang serupa.
Akan tetapi, cerita yang diambil berasal dari kisah klasik Cina seperti Sam Kok
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pada 1859. Barulah pada 1880-an
Dari penceritaan kembali, bentuk karya sastra pada masa itu beralih ke
karya terjemahan. Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu pada tahun 1857
terbit Lawah-Lawah Merah yang diterjemahkan dari sebuah novel Perancis dan
Tersalin dari Tjeritaan Boekoe Sam Kok (1883) sebanyak 12 jilid dan Tjerita
Dahoeloe Kala Lamijoe Wa-kong jaitu Wa-kong Poenya Mata Bertamba Satoe di
mana Tengah Djidatnya, Djadi Tiga Matanja maka di mana Oedara atawa Boemi
jika Ada Beroepa Barang jang Baik atawa Tidak Baik Dia Bole Dapat Tahoe
124
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 24.
125
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 25.
126
G. Schlegel sebagaimana dikutip Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal
(Yogyakarta: Galang Press, 2004), 25.
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kita menyimak apa yang dipaparkan oleh Noe Joe Lan. Menurutnya, penerbitan
Untuk masing-masing jilid harganya berkisar antara f 0,5 hingga f 2,50.128 Jadi,
pertama-tama diawali oleh orang Belanda dan Indo pada 1870-an dan kemudian
orang Cina dan peranakan pada 1880-an. Ini lantas disusul oleh golongan pribumi
pada 1890-an. Selama tiga dasawarsa inilah landasan bagi lahirnya karya sastra
modern di tanah Hindia Belanda mulai diletakkan. Terbukti dengan terbitnya Njai
Dasima (1896) yang ditulis oleh G. Francis dan kumpulan tiga cerita pendek
Terbitnya karya ini disusul oleh berbagai karya lain yang ditulis dalam
127
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004),27.
128
Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa (Djakarta: PT Gunung Agung, 1962), 22.
129
Menurut Jakob Sumardjo, kemungkinan besar pengarang anonim tersebut berasal dari
kalangan Tionghoa. Selain itu, menurut WV Skykorsky, di Perpus Uni Soviet sebenarnya masih
ada karya yang lebih tua, yaitu Hikajat Roh Manoesia (A. Rogensburg, 1893) dan Boekoe Komidi
Terpake bagi Komidi Stambul (H. Kraff, 1893). Dalam Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu
Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 27 dan 29.
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ananta Toer, di dalam karya yang disebutnya sebagai karya sastra Melayu
asimilatif itu sudah terkandung pernyataan diri pribadi (self expression). Inilah ciri
penulisnya berasal dari berbagai kalangan, yakni orang Eropa dan Indo, orang
Tionghoa dan peranakannya, serta kaum pribumi. Umumnya para penulis karya
mereka dibaca oleh publik yang beraneka ragam sehingga mereka ikut
Pada periode 1890-an, golongan Belanda dan Indo yang sejak 1850 hingga
1880-an sudah aktif dalam pers dan sastra terjemahan telah melahirkan karya-
penulis Belanda yang patut disebut di sini antara lain H. Kommer yang pada 1900
menulis beberapa kisah nyai (Tjerita Siti Aisah, Tjerita Nji Paina, Njai Sarikem)
dan Tjerita Njonja Kong Hong Nio. Selain itu ada pula F. Wiggers yang menulis
Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901), novel Nona Gelatik dan Syair Java-
Bank Dirampok (1902) dan novel Nji Isah (1903), serta HFR Kommer
menerbitkan karyanya berupa novel berjudul Nona Leonie (1902). Sementara itu,
penulis dari kalangan pribumi antara lain FDJ Pangemanann yang menulis novelet
Tjerita Si Conat (1900) dan Tjerita Rossina (1903). Salah satu penulis yang juga
pionir pers pribumi ialah Raden Mas Tirto Adhisoerjo yang menulis cerita
130
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 12.
131
Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”,
107.
132
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 31.
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(1906), Menemoe Tjinta dalam Kereta Api (1903), Pertoenangan Sia-sia (1903),
Mentjari Oentoeng (1903), Tjerita Njai Ratna (1909), Membeli Bini Orang
(1909), Boesono (1912), Njai Permata (1912). Hadji Moekti juga mungkin bisa
campuran Indo-Eropa. Pada tahun 1912 ia menulis Hikajat Siti Mariah yang
dimuat secara bersambung dalam Medan Prijaji. Para penulis yang beraliran
Mas Marco Kartodikromo dengan karyanya Mata Gelap (1914), Syair Rempah-
rempah sebanyak lima jilid (1919), Student Hidjo (1919), Si Bejo Jurnalis
Berontak (1919), R.A. Tien (1919), Rasa Merdika (1924) dan beberapa cerpen,
serta Semaun dengan karyanya yang cukup terkenal Hikajat Kadiroen (1924).133
Adapun para penulis peranakan Tionghoa tak kurang produktif. Claudine Salmon
mencatat ada 3.005 karya berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para
cinta yang terlarang, kawin paksa, bunuh diri karena patah hati dan perkawinan
antarras adalah tema umum yang mengemuka. Adalah kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa karya sastra Melayu Rendah ini turut mempengaruhi karya
Melayu Tinggi, setidaknya dalam hal tema yang ditampilkan. Siti Nurbaya,
133
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 32.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menurut Jakob Sumardjo, secara umum ada beberapa fungsi karya sastra
Melayu Rendah. Pertama adalah didaktis murni. Dalam cerita semacam ini,
terdapat tokoh protagonis orang baik dan bertahan baik di tengah pelbagai cobaan.
Kedua, karya sastra dengan standar ganda di mana terdapat protagonis jahat,
biasanya nyai yang berselingkuh. Akan tetapi, fungsinya didaktis juga. Ketiga,
lingkungan kaum elit zaman penjajahan, baik pribumi maupun gabungan pribumi
dan Belanda.134 Terlepas dari pelbagai fungsi tersebut, karya sastra Melayu
Rendah bisa digolongkan ke dalam karya sastra populer yang kehadirannya turut
karya sastra Melayu Rendah ini bekerja sebagai wartawan. Maka, tak heran jika
realitas sastra yang ditampilkan diilhami oleh peristiwa sehari-hari yang terjadi
dalam masyarakat. Seperti yang disebutkan Nio Joe Lan, realitas sastra umumnya
perkara di pengadilan. Selain itu, bahan cerita juga bisa berasal dari penyelidikan
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memang berdasarkan berita-berita nyata yang diolah kembali dalam bentuk fiksi
sastra.136
nyata, para penulis karya Melayu Rendah memang menggunakan siasat yang
buku umumnya ditulis “soeatoe tjerita jang betoel-betoel soedah kedjadian pada
tahoen di …. “ Kisah-kisah tentang nyai atau istri (tidak resmi) dari kalangan
pribumi yang ditulis oleh orang Cina atau Belanda pun termasuk yang
menggunakan strategi ini. Biasanya kisah nyai hadir dengan tema nyai yang
“sifat fiksinya lebih kuat dari sekadar merekonstruksi kejadian hebat lewat
sastra.”137 Dalam hal ini pesan pengarang untuk sesuatu maksud lebih menonjol.
Ini, misalnya, dapat terlihat dalam karya Tirto Adhisuryo dan Mas Marco.
Perdebatan mengenai bahasa apa yang bisa efektif dipakai untuk urusan
1850-an. Akan tetapi, baru pada akhir abad ke-19 dicapai kesepakatan, yakni
bahasa Belanda dibatasi untuk segelintir orang saja, sementara Melayu akan
136
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 32.
137
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 33.
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
politik bahasanya melalui pendirian Balai Pustaka dan efeknya terhadap karya
murah untuk penduduk pribumi manakala tingkat melek huruf meningkat secara
kentara sebagai akibat Politik Etis.”139 Akan tetapi, pendirian komisi tersebut
tidak berhenti pada tujuan yang disebutkan di atas. Jakob Sumardjo menyebutkan,
pendirian komisi ini dilakukan karena Pemerintah Hindia Belanda belajar dari
pekerjaan lainnya. Memang, lahirnya kaum cerdik cendekia ini sudah diwaspadai
138
Maier, “Forms of Cencorship in the Dutch Indies,” Indonesia 51 (1991): 73.
139
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992),
23.
140
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 34.
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikeluarkan pada 1851 disebutkan: “Tidak perlukah orang itu dapat pimpinan di
dalam perkara mencari ilmu? Tidak khawatirkah orang bahwa pengetahuan yang
tidak sempurna akan menimbulkan iri hati dan pergerakan, bahkan menyebabkan
abad ke-19 pers tumbuh subur. Pers yang dijalankan oleh golongan Indo,
suatu bahasa yang cair dan lentur serta mudah dipahami oleh berbagai unsur
Haag dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 2 Juni dapat diketahui hal
berikut.
141
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 36.
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diberlakukan tanpa pembedaan kendati untuk pers non Eropa, yakni pers pribumi
dan Tionghoa, kontrol yang dibutuhkan harus lebih ketat lagi. Kontrol preventif,
dalam Regulasi Pers Tahun 1906. Perubahan dalam Regulasi Pers yang menjamin
kebebasan berekspresi ini dilandasi oleh semangat Politik Etis yang muncul pada
masa itu. Segala aturan yang merintangi kebebasan berekspresi harus dicabut, dan
diperlukan alat represi baru dan ini dijalankan bukan oleh pengadilan, melainkan
menjamin keamanan dan ketertiban, syarat bagi kestabilan ekonomi dan kemajuan
kaum pribumi. Selain itu, sensor juga akan membantu dalam mengembangkan
menyensor pers diawali dari laporan seorang pegawai sipil berpangkat rendah
142
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 67.
143
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 68.
144
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 67.
145
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 71.
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut. Menurutnya, para siswa dan guru butuh peluang lebih besar untuk
pasokan bacaan dalam huruf Latin agar orang Jawa terdorong untuk beralih dari
Snouck Hurgronje: “Warisan kita (…) terdiri dari daerah jajahan yang cantik dan
kaya. Namun, jika klaim ini harus bertahan dalam tekanan badai zaman,
penaklukan material harus kita ikuti pula dengan penaklukan spiritual.”147 Dalam
konteks ini pulalah kita bisa memahami bahwa “Volkslectuur membawa apa yang
berfungsi sebagai alat dominasi kultural, yang benar-benar berbeda dari dominasi
Pada awal berdirinya, proses seleksi, produksi dan distribusi teks masih
dijalankan oleh beberapa organ. Jadi, belum terpusat sebagaimana yang diniatkan
146
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
24.
147
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
24.
148
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
31.
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
milik pemerintah atau swasta. Penjualan buku dan suplainya diserahkan pada
menaruh perhatian khusus pada teks tradisional Jawa yang lantas diadaptasi sesuai
memberikan berbagai buku yang dikelompokkan dalam tiga seri: seri A (bacaan
anak-anak sekolah dalam bahasa daerah), seri B (buku-buku hiburan dan ilmu
pengetahuan untuk pembaca dewasa), dan seri C (bacaan bagi mereka yang telah
Tinggi. Penerbitan buku dalam bahasa daerah nyatanya paling banyak dan ini,
pada 1910 dan menjadi biro otonom dengan nama Balai Poestaka. Ia memandang
menjadi salah satu “instrumen kebijakan kolonial yang signifikan.”151 Pada awal
149
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
25.
150
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 36.
151
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
25.
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
utama tetap pada teks berbahasa Melayu, Jawa and Sunda. Penempatan
dikonsumsi baik oleh kalangan terdidik maupun tidak terdidik kendati jumlah
dipinjam bisa mendapatkan audiens sepuluh hingga lima belas orang karena buku
para tetangga, kerabat dan teman. Hal ini khususnya berlaku di pedesaan di mana
mereka yang melek huruf benar-benar diharapkan untuk membacakan jurnal dan
tersebut juga didirikan di barak-barak dan rumah sakit, di penjara dan bahkan di
Volkslectuur juga mendirikan subdivisi baru, yakni subdivisi pers. Subdivisi pers
152
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
27.
153
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
27.
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini berfungsi sebagai “salah satu dari sensor kekuasaan kolonial yang paling
halus.”154
Berbagai tindakan pun dilakukan, antara lain iklan di surat kabar harian, sirkulasi
tinjauan buku di dalam penerbitan terbaru, serta penyebaran katalog secara gratis.
Selain itu, penjualan juga dilakukan di bazaar tahunan, pasar malam, dan tempat
lainnya. Penjualan melalu agen memberikan komisi 25 persen kepada agen yang
bersangkutan. Dengan strategi yang agresif seperti ini, Balai Pustaka yang
besar-besaran mengingat tingginya angka buta huruf pada masa itu. Pada tahun
yang sama tercatat 100 ribu buku terjual. Satu juta peminjaman pun tercatat untuk
lima ribu kopi per edisi. Dukungan yang kuat dari pemerintah juga
buku wajib di sekolah dan bacaan rakyat, pemerintah telah meminggirkan karya
154
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
34.
155
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
29.
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rendah dilarang karena karya-karya tersebut secara politik berbahaya dan secara
kalangan pribumi pada modernitas, Balai Poestaka juga secara aktif turut
sebagai tonggak sastra Indonesia modern. Beberapa topik dihindari, antara lain
seks, politik dan agama. Sementara dalam karya sastra berbahasa Melayu Tinggi,
tema semacam ini dilarang, mereka terus muncul dalam karya sastra Melayu
Rendah.
didesain dengan baik, melalui kebijakan penjualan yang agresif dan melalui
karya sastra Melayu Rendah adalah “sastra tak bermutu” (Schund literature) pun
156
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 77.
157
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 78.
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dihembuskan. Karya-karya tersebut imoral, sensual, and oleh sebab itu, jahat dan
berbahaya.158
Selain sebutan “sastra tak bermutu”, karya sastra Melayu Rendah sering
disebut “bacaan liar.” Bagaimana istilah “bacaan liar” ini harus ditempatkan?
Apakah semata-mata untuk dilawankan dengan “bacaan tidak liar” alias bacaan
keberadaan “sekolah liar”. Menurutnya, pada zaman kolonial ada istilah “sekolah
liar”. Istilah ini dilekatkan pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh pihak
swasta pribumi dan kebanyakan di antara mereka berasal dari kaum pergerakan.
Sekolah tersebut disebut “liar” karena memupuk rasa kebangsaan pada murid-
dan oleh karena itu, liar—dalam artian “tidak mengikuti tata tertib negeri.”159
sastra berbahasa Melayu Rendah? Mengapa “liar”? Menurut Jakob Sumardjo, ini
Sebagian dari cerita atau novel yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah
itu memang diadaptasi dari peristiwa sehari-hari, biasanya yang dimuat di surat
158
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 79.
159
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 267.
160
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 267.
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut ditulis dengan tujuan komersil. Jadi, memang terkesan sensasional untuk
bagaimana seorang nyai bisa menulari tuannya dengan virus cacar hingga sang
tuan mati. Juga kisah Matahariah di mana seorang lelaki pribumi menolak cinta
seorang perempuan kulit putih. Keberanian Paina inilah yang bisa membangkitkan
imajinasi bahwa orang pribumi pun bisa melawan Belanda. Atau dalam cerita
Matahariah, orang pribumi pun tidak selalu harus tunduk pada kemauan orang
kolonial Belanda hanya membuat bacaan tandingan, yakni bacaan yang tidak liar,
yang mampu membangun tertib dan kepatuhan pribumi kepada Belanda. Seperti
diungkapkan Jakob Sumardjo, pelarangan buku justru menjelaskan isi buku dan
Oleh karena itu, pelarangan “bacaan liar” justru akan memicu kalangan pembaca
bawah tanah yang akan semakin sulit dikontrol pemerintah.161 Labelisasi “liar”
sudah cukup untuk membuat karya sasta Melayu Rendah terpojok dan
161
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 271.
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
AMBIVALENSI PASCAKOLONIAL
DALAM CERITA NYAI
“Cerita nyai” adalah salah satu genre yang turut membentuk korpus sastra
Melayu Rendah yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. “Cerita
nyai” mengisahkan kehidupan para nyai, istri tidak sah atau gundik, yang
seringkali dilawankan dengan “bini kawin” dari seorang lelaki Eropa ataupun
pernyaian itu sendiri muncul dalam suatu sistem yang memungkinkannya untuk
pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa itu, dan hal tersebut sangat
Untuk keperluan penelitian ini, karya yang dibahas ialah “cerita nyai”
dengan tokoh nyai yang hidup bersama dengan lelaki Eropa sebagai tokoh utama
cerita. Cerita-cerita ini menarik untuk dikaji mengingat berbagai isu semisal ras,
karena tidak pernah ajek. Dalam berbagai cerita ini, seringkali relasi kolonial tidak
memenuhi asumsi oposisi biner yang dengan tegas meneguhkan perbedaan antara
dibahas adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H.
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat
diajukan oleh Homi K. Bhabha akan digunakan dalam analisis berbagai tema,
antara lain gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta wacana
dan penolakan (repulsion) yang menandai hubungan antara penjajah dan terjajah.
menurut Bhabha, titik berangkat pembacaan wacana kolonial harus beranjak dari
identifikasi imaji yang positif atau negatif menuju proses subjektifikasi yang
analisis harus digeser dari pertentangan antara kubu-kubu yang berlawanan dari
hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) jauh dari sederhana dan
tidaklah diametral, tetapi kompleks dan resiprokal, di mana tokoh nyai (terjajah)
tidak melulu menjadi objek kekuasaan dari sang tuan dan tokoh tuan tidak selalu
162
Homi K. Bhabha, "The Other Question," Screen 24, 6 (November-December 1983), 18.
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjadi penguasa mutlak. Demikian halnya dengan wacana kolonial yang tidak
melulu eksploitatif, tetapi juga tetap ada celah di dalamnya bagi si terjajah untuk
bagian berikut pertama-tama akan diuraikan sinopsis dari keempat cerita yang
dikaji, lalu dilanjutkan dengan analisis masing-masing tema, yakni tinjauan dari
aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, perkawinan dan
1. Sinopsis
Cerita pertama, Tjerita Njai Dasima,163 ditulis oleh G. Francis dan pertama
kali diterbitkan di Batavia pada 1896. Cerita ini merupakan salah satu cerita nyai
yang paling populer, bahkan hingga masa sesudah kemerdekaan. Terbukti dengan
begitu banyaknya pementasan kisah ini dalam bentuk teater, bahkan dalam bentuk
Kampung Kuripan yang diambil menjadi nyai oleh seorang lelaki Eropa, Edward
dilalui dengan bahagia dan dari hubungan tersebut lahir seorang putri yang
dinamai Nancy.
Kecantikan dan kekayaan Dasima yang menjadi nyai seorang lelaki Eropa
Samioen, seorang penjual opium gelap dari Pejambon yang telah beristri. Lewat
163
Toer, Tempo Doeloe, 225-247.
164
Film tersebut berjudul Samiun dan Dasima, diproduksi pada tahun 1970 oleh Chitra Dewi
Film Production. Lihat Taylor, “Nyai Dasima,” 234.
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perantara seorang perempuan tua bernama Ma’ Boejoeng yang bekerja di rumah
dalih mengajak Dasima kembali ke ajaran Islam, Ma’ Boejoeng dan Samioen
berupaya membujuk Dasima bercerai dengan tuannya. Selain itu, dalih lain yang
diajukan pada Dasima ialah bahwa Dasima hidup dalam perzinahan dengan orang
kafir dan bahwa sebagai seorang nyai, Dasima sewaktu-waktu bisa ditinggalkan
kaget dan tidak mau menceraikan Dasima karena ia mencintai Dasima dan sudah
bersikeras dan ia pun pergi meninggalkan tuan dan anaknya dengan membawa
serta harta yang selama ini dikumpulkannya. Ia lantas menikah dengan Samioen
Samioen dan Dasima diperlakukan secara semena-mena oleh Hayati, istri pertama
Samioen, dan Mpok Saleha, mertuanya. Dasima pun minta cerai. Samioen lalu
dan mengancam akan minta bantuan Tuan Edward untuk membawa kasus ini ke
bayaran bernama Puasa. Mayat Dasima dibuang di sungai dan tersangkut di dekat
rumah Tuan W. yang lalu melaporkannya ke polisi. Kasus kematian Dasima pun
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diusut tuntas oleh polisi yang kemudian berhasil menangkap para pelaku
pembunuhan tersebut.
Cerita kedua, Tjerita Nji Paina, pertama kali diterbitkan di Betawi pada
tahun 1900 oleh pencetak dan penerbit terkenal pada masanya, yakni A. Veit &
Co.165 Tjerita Nji Paina mengisahkan seorang gadis Jawa bernama Paina, putri
Niti Atmodjo yang bekerja sebagai seorang juru tulis pabrik gula. Paina
digambarkan sebagai gadis yang amat cantik. Tunduk pada adat kebiasaan orang
Jawa pada waktu itu, Paina sejak kecil telah ditunangkan dengan putra seorang
hartawan.
bernama Briot digambarkan sebagai sosok yang perilakunya kasar dan bengis.
Prestasi kerjanya tidak baik dan ia amat mengandalkan Niti Atmaja dalam
Pada suatu ketika, Briot berjumpa dengan Paina yang baru saja pulang dari
rumah calon mertuanya dan ia pun lantas jatuh cinta pada Paina yang
merasa benci kepada Briot yang terang-terangan menampakkan rasa sukanya pada
Paina.
Sementara itu, akibat banyaknya perintah dari Briot, Niti menjadi lengah
dan salah satu mandor secara berulang-ulang mengambil uang kas yang dititipkan
165
Toer, Tempo Doeloe, 24.
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dihitung uang kas itu kurang dua puluh lima rupiah dan beberapa sen. Maka,
timbullah niat jahat pada Briot untuk memanfaatkan keadaan ini. Briot pun
Niti pun menyampaikan hal ini kepada putrinya. Meski awalnya Paina
menolak dengan tegas, akhirnya Paina bersedia diambil sebagai nyai oleh Briot
karena ia merasa kasihan pada ayahnya. Kendati demikian, Paina terus memutar
akalnya supaya terbebas dari “kutukan” tersebut. Maka, pada malam sebelum
pergi ke rumah Briot, Paina sengaja memeluk seseorang yang sakit cacar yang
tengah mewabah pada waktu itu agar ia tertular oleh penyakit tersebut. Memang
Paina akhirnya berhasil menulari Briot dengan penyakit tersebut. Briot pun
Cerita ketiga, Cerita Nyai Ratna, karya Tirto Adhi Soerjo awalnya
diterbitkan sebagai cerita bersambung di surat kabar harian Medan Prijaji pada
1909. Dengan latar Jawa Barat, kisah ini menceritakan perjalanan hidup seorang
perempuan elok jelita bernama Ratna Purnama. Namun, kehidupan Ratna rupanya
tak begitu mulus. Sebagai seorang janda, ia hidup menumpang pada paman dan
melamar Ratna untuk dijadikan istri mudanya meskipun lamaran itu akhirnya
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditolak Ratna. Pada saat yang bersamaan seorang kapten kapal berkebangsaan
Belanda juga tengah mencari seorang perempuan pribumi untuk dijadikan nyai.
Dengan perantaraan Mak Kendut, Ratna pun diminta sebagai nyainya dan
pinangan ini diterima oleh Ratna berkat nasihat Nyi Brata yang pernah merasakan
Demikianlah akhirnya Ratna menjadi nyai dari tuan kapten kapal yang
sering pergi berlayar untuk waktu yang lama. Suatu ketika Ratna jatuh cinta pada
lelaki lain, yakni seorang pemuda bangsawan yang tampan dan tengah belajar
tangan. Sambodo dan Ratna pun menjalin hubungan asmara. Bahkan ketika sang
tuan sedang ada di rumah, mereka bisa berhubungan dengan leluasa. Oleh Ratna,
tuannya dan ingin menikah dengan Sambodo. Namun, hal ini ditolak Sambodo
karena studinya belum selesai. Ratna akhirnya terpisah dari Sambodo karena
bangkrut, Ratna pun diusir dari rumahnya hingga ia pergi ke sana kemari menjual
diri. Lalu, sampailah ia di Banyumas dan bekerja sebagai koki Tuan van Braak
dengan beberapa lelaki lain. Selain itu, Ratna akhirnya meracun suaminya hingga
mati agar ia bisa mewarisi hartanya dan menikah dengan kekasih lainnya, yakni
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terencana itu gagal karena salah satu saksi melarikan diri dan saksi lainnya
dengan Sambodo yang mengetahui kasus Ratna dari surat kabar dan pada saat itu
Ratna sudah menjadi nyonya seorang advokat Belanda, yakni Tuan Von Gorkom.
Cerita keempat, Hikayat Siti Mariah, ditulis oleh Haji Mukti dan pertama
kali dimuat sebagai cerita bersambung di harian Medan Prijaji dari tahun 1910
hingga 1912. Hikayat ini bercerita tentang kehidupan Siti Mariah, anak Kontrolir
Kedu Elout van Hogerveldt dan gundiknya, Sarinem. Kisah berawal dari dijualnya
bayi Sarinem yang bernama Urip oleh suaminya yang pemabuk, tukang main
perempuan dan penjudi, Wongsodrono. Bayi Urip kemudian diasuh oleh seorang
mandor perkebunan tebu Sokaraja, Joyopranoto dan istri. Di Sokaraja itulah Urip
yang berganti nama menjadi Siti Mariah tumbuh besar. Di antara teman
sepermainan Mariah adalah Nona Lucie, anak pemilik pabrik Sokaraja Nyonya
van Holstein, dan Sondari, seorang bocah Indo, yang sesekali datang dari Batavia.
diketahui bahwa Mariah adalah saudara Sondari dari ayah yang sama tetapi lain
Setelah besar, Siti Mariah tumbuh menjadi gadis cantik yang tersohor di
Sokaraja. Seorang opsiner Belanda dari Batavia yang baru saja bekerja di pabrik
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun, istri Joyopranoto dan Sarinem, ibu kandung Mariah, justru mendukung
Dari hidup bersama itu lahirlah seorang anak yang dinamai Ari van Dam.
Henri Dam berencana akan menikahi Mariah kelak dan mendaftarkan Ari untuk
diakui statusnya sebagai anaknya yang sah. Namun demikian, kebahagiaan itu
ia kerahkan, termasuk memakai guna-guna dari dukun Betawi Jiman, agar Henri
mengambil Ari yang lantas disekolahkan oleh Nyonya Holstein di Batavia. Tetapi,
menerima kabar bahwa anaknya yang dibawa Nyonya Holstein ke tanah Betawi
meninggal karena kolera. Demikian halnya Mariah yang terpisah dari tuan dan
Ari, Mariah diam-diam meninggalkan rumah untuk mencari anaknya yang hilang
setelah kematian Ari. Suatu ketika Nyonya Holstein berkunjung ke Sokaraja dan
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penggilingan tebu. Duka yang mendalam membuat Henri dan Luci memutuskan
mana mereka bertemu dengan Sondari yang kini telah menjadi seorang konsul di
sana.
kelahiran Henri dan hidup mewah berkat kekayaannya dari pabrik gula. Meskipun
sudah menjadi hartawan terpandang, Luci yang gila hormat tak juga puas. Atas
tot Amersfoort. Ia pun tetap berfoya-foya tatkala pabrik tengah merugi. Selain itu,
mengaku bahwa ia sebenarnya tidak mencintai Henri. Lelaki yang dicintainya tak
lain Tuan van Goldstein yang pernah menumpang tinggal di rumahnya di Batavia.
Lelaki inilah ayah sesungguhnya dari Marie, anak yang dikira Henri sebagai
anaknya. Akan tetapi, hubungan itu tak direstui Nyonya Holstein yang lebih
memilih Henri sebagai menantunya. Sementara itu, bayi yang meninggal ketika
Luci keguguran tak lain adalah hasil hubungan gelapnya dengan Booghuizen.
Selain itu, rahasia gelap lainnya yang terkuak dari pengakuan Luci ialah bahwa
Nyonya Holstein sendirilah yang telah meracun suaminya hingga ia mati. Lalu,
Ari tidaklah mati sebagaimana yang diketahui Henri selama ini, tetapi ia telah
dibuang atas suruhan Nyonya Holstein juga. Mengetahui semuanya ini ditambah
keadaan pabrik yang merugi akibat gaya hidup mewah Luci, Henri bermaksud
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pulang ke Jawa dan ia mengontak sahabatnya Sondari yang kini telah mengubah
Sementara itu diceritakan pula tentang nasib Ari yang ternyata tidak mati.
dibuang dan diambil oleh penyamun Karyodrono yang tak lain adalah
ia pada akhirnya mati, Ari dimasukkan ke panti asuhan dan diberi nama keluarga
pensiunan tentara Van Aken. Ketika menanjak dewasa, Ari memutuskan untuk
berkat pertolongan Joyopranoto, yang tak lain adalah kakeknya sendiri dan telah
berganti nama menjadi Haji Abdulrahman. Ia juga bertemu dengan Nyi Haji
Diceritakan pula bahwa Siti Mariah yang disangka telah mati dengan
mencari Ari, Mariah sempat menyamar menjadi jongos Salimin, lalu babu
Salimah yang mengabdi pada keluarga Tuan Esobier dan mengasuh putranya
Sinyo Anton. Ketika Nyonya Esobier meninggal, Tuan Esobier pun menikahi
Nyonya Lucie meninggal, keluarga yang tercerai berai ini pada akhirnya bisa
bertemu kembali berkat pertolongan Sondari. Mariah akhirnya bersatu lagi dengan
Henri dan anaknya yang hilang, Sinyo Ari. Di akhir cerita dikisahkan keluarga
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dam berangkat ke Eropa dan menetap di Brussel di mana Henri Dam bekerja
direpresentasikan oleh keempat cerita, khususnya ditinjau dari aspek gender dan
terbatas, yakni di bawah bayang-bayang kekuasaan sang tuan, tokoh nyai tetap
mampu menjalankan strategi untuk menelikung kekuasaan tersebut. Hal ini akan
dilakukan dengan mencari “lubang” di dalam cerita-cerita yang dikaji agar bisa
berlawanan dengan pesan cerita yang dominan. Beberapa isu yang akan
dieksplorasi antara lain hubungan gender antara tokoh nyai dan tokoh lain—
mengenai hubungan gender ialah bahwa pernyaian itu positif karena dalam ikatan
semacam itu seorang nyai justru bahagia. Sementara dalam perkawinan, ia justru
tidak bahagia karena pelbagai sebab. Selain itu, subjudul dari cerita ini yang
cerita, Dasima dilekati ciri-ciri feminin yang membuatnya disukai oleh tuannya.
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dasima digambarkan memiliki sifat “radjin dan pinter bekerdja”166 dan mampu
inilah yang membuat Tuan W “tjinta dianja ibarat dia poenja bini kawin,”167 serta
yang setia dan teguh sehingga ia menolak berbagai bujukan dari laki-laki yang
ingin mendekatinya untuk menguasai hartanya. Akan tetapi, tentu saja relasi
antara Tuan W dan Nyai Dasima adalah hubungan yang diimbuhi oleh kekuasaan.
dengan dalih hendak membawa Dasima kembali ke ajaran Islam. Berkat berbagai
tipu daya Samioen, Dasima lantas berbalik menjadi tidak suka pada tuannya.
rumahnya. “Besok paginja Baba Samioen dateng ketemoe dengen Njai Dasima di
gedoengnja, tempo lakinja pergi kerdja, dan moelain atoeran kedjahatan, ia itoe
ataupun norma sosial yang lazim waktu itu merupakan perzinahan, begitu pun
halnya dengan hubungan Dasima dan Samioen. Namun demikian, hubungan yang
pihak luar. Di sini Dasima yang semula menjadi objek beralih menjadi subjek
yang aktif dan mampu mengekspresikan apa yang ia inginkan. Ia pun melintasi
166
Toer, Tempo Doeloe, 225.
167
Toer, Tempo Doeloe, 225.
168
Toer, Tempo Doeloe, 237.
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang timpang itu ternyata tidak setegas yang dibayangkan. Hubungan antara Nyai
Dasima dan tuannya ternyata juga dinamis. Meskipun Dasima berada dalam posisi
pesan dominan bahwa pernyaian adalah sesuatu yang negatif karena di dalam
hubungan itu pihak-pihak yang terlibat ada dalam hubungan yang tidak setara. Ini
ayahnya. Jadi, menjadi nyai merupakan sebuah keterpaksaan bagi Paina. Hal ini
169
Toer, Tempo Doeloe, 321.
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang lantas membuat “Briot lantas djatoh birahi.”170 Ciri fisik yang ini berulang-
ulang disebutkan di dalam cerita sebagai rujukan ketertarikan Briot kepada Paina,
membuat Paina menjadi objek seks dari Briot, atau meminjam ungkapan yang
maupun Tuan Briot: sebagai anak yang baik ia harus menyelamatkan ayahnya
dengan menjadi nyai Tuan Briot yang sangat dibencinya. Dimensi kekuasaan
tampak jelas di dalam hubungan antara Paina dan Tuan Briot. Briot memiliki
memaksa Paina menjadi nyainya. Tak ada pilihan lain, kecuali bersedia menjadi
nyai Tuan Briot. Kendati di satu sisi menjadi objek yang dihasrati Tuan Briot,
Paina hingga tingkat tertentu akhirnya bisa menegosiasikan paksaan itu dengan
suatu siasat: Paina menularkan penyakit cacar pada Tuan Briot yang berujung
hubungan antara Paina dan Briot jelas merupakan hubungan yang tidak setara.
Akan tetapi, ditinjau dari sisi yang lain, dalam cerita ini hubungan gender bisa
dikatakan sebagai sesuatu yang dinamis di mana tokoh Paina berusaha keluar dari
menularkan virus cacar kepada Briot yang berujung kematian tuan tersebut.
170
Toer, Tempo Doeloe, 321.
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
cerita. Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot. Di sini, Paina secara aktif
tiada disoekai orang, serta ramboetnja ada amat kasar”171) dan perilakunya tidak
baik (“amat koerang sopan, bitjaranya kasar”172). Selain itu, penolakan Paina
terhadap Tuan Briot ini juga terkait dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks
dalam Cerita Nyai Ratna adalah bahwa pernyaian merupakan sesuatu yang positif
kebanyakan dan akses terhadap materi. Oleh karena itulah, tak heran jika pada
beberapa bagian cerita digambarkan persaingan antara para nyai untuk menjadi
siapa yang paling terhebat di antara mereka, khususnya dalam hal kecantikan
fisik. Ini pada akhirnya menentukan status, pengaruh dan ketenaran. Di sisi lain,
moralitas seorang nyai juga secara umum dianggap buruk sebagaimana disiratkan
oleh subjudul cerita, “Betapa seorang isteri setia telah menjadi jahat.”
Namun, dilihat dari sisi lain, ambivalensi dalam cerita ini tampak dalam
sosok nyai yang “bermain-main” dengan statusnya sebagai seorang nyai dari
lelaki Eropa. Dalam cerita misalnya dikisahkan Ratna jatuh cinta pada pandangan
pertama dengan Sambodo, seorang lelaki pribumi yang tampan dan tengah
menempuh studi di sekolah kedokteran. ”Tak pernah hatinya berahi pada seorang
lelaki, apa lagi kalau ia sedang di tangan orang, maski janda pun ia tidak begitu.
171
Toer, Tempo Doeloe, 319.
172
Toer, Tempo Doeloe, 320.
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dibaca dengan sudut pandang ini juga, dalam hubungan antara nyai dan
tuan yang diimbuhi kekuasaan tersebut, Ratna juga seolah tetap menemukan celah
Ratna-lah yang terlebih dahulu “jatuh berahi” pada Sambodo. Ketika pada
sebagai saudara misannya di hadapan tuannya. Hal ini membuat mereka leluasa
”Ratna dan tuannya lalu masuk ke kamar. Setelah tuannya tidur pulas,
pelan-pelan ia keluar lalu masuk ke kamar Sambodo untuk bercinta-
cintaan. Bila tuannya sudah sampai pada waktu bangun buru-buru ia pergi
ke belakang dan memberikan perintah ini-itu.”174
Tak terhenti di situ, dengan materi yang diperolehnya berkat statusnya sebagai
seorang nyai, Ratna juga bisa mencari kesenangan di luar hubungan dengan
tuannya, yakni “bergendak” dengan laki-laki lain di dalam hubungan yang serupa
transaksi, hubungan yang sama-sama ditandai oleh absennya cinta karena hanya
Di dalam cerita ini, tokoh Nyai Ratna adalah perempuan yang sadar akan
Bahkan, ketika Ratna sudah menjadi istri seorang lelaki Eropa, Ratna
173
Toer, Sang Pemoela, 379.
174
Toer, Sang Pemoela, 386.
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesenangan semata. “Sejak jadi nyonya, tahu lakinya sulit bercerai daripadanya,
itu, ia pun menjalin hubungan lain dengan seorang lelaki Eropa yang dicintainya,
Karel de Vos.
melalui tokoh nyai lainnya, yakni Parminingsih. Sesudah Ratna pindah mengikuti
juragan toko. Dalam salah satu adegan disebutkan “Hingga semalaman mereka
ini.”176 Di sini tampak bahwa sebagai perempuan, seorang nyai adalah sosok yang
secara seksual dengan lelaki lain, sesuatu yang tidak ia dapatkan dalam hubungan
dengan tuannya. Akan tetapi, tindakan melintasi batas itu masih dibayang-bayangi
norma yang ditandai dengan munculnya rasa bersalah. “Kita orang sudah kelewat
Dalam Cerita Nyai Ratna bisa dikatakan bahwa hubungan gender adalah
sesuatu yang dinamis di mana terjadi negosiasi antara tokoh nyai dan tuan: dengan
menjadi nyai, seorang perempuan memiliki akses terhadap materi dan hal ini
tersebut. Di dalam cerita tokoh nyai tampil sebagai sosok yang sadar akan
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan kata lain, tokoh nyai tersebut melintasi batas-batas norma yang
hal tersebut tak luput dari rasa bersalah, bayang-bayang dari sistem nilai yang
tengah dilanggarnya.
hendak menyampaikan bahwa pernyaian itu positif. Hubungan antara nyai dan
tuan mungkin saja didasari cinta timbal-balik yang tulus. Mereka bisa saja hidup
seperti tatanan nilai mengenai apa yang pantas dan tidak pantas dalam hubungan
kedua belah pihak yang berbeda ras dan status sosial sangat mempengaruhi
hubungan tersebut. Oleh karena itulah, pernyaian kemudian menjadi sesuatu yang
negatif. Pernyaian ternyata tidak mampu mengakomodasi cinta antara tuan dan
nyainya.
Dalam Hikayat Siti Mariah dikisahkan dengan jelas hubungan antara Siti
Mariah dan Tuan Henri Dam didasarkan atas cinta satu sama lain. Mereka pun
sama-sama berjuang agar hubungan mereka direstui terutama oleh ayah (angkat)
Mariah. Secara umum, cerita ini menyampaikan pesan bahwa hubungan pernyaian
digambarkan sebagai nyai yang setia, mencintai tuannya setulus hati serta
mengasihi anak yang lahir dari hubungan cinta mereka. Akan tetapi, kehidupan
mereka yang bahagia itu menjadi rusak karena status sosial yang disandang Henri
membuat Siti Mariah tidak layak mendampinginya sebagai seorang istri yang sah.
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jika pada Tjerita Njai Dasima, upaya jahat itu datang dari lelaki yang ingin
merongrong hartanya maka pada Hikayat Siti Mariah hal itu berasal dari Nyonya
Terlepas dari sifat-sifat baik yang dimilikinya, sesuatu yang bisa dikatakan
sebagai stereotipe yang positif dari seorang nyai, Siti Mariah akhirnya dipisahkan
dari Henri dengan berbagai cara, termasuk dengan pertolongan dukun dan guna-
guna. Di sini Siti Mariah yang Indo dianggap lebih rendah statusnya daripada Luci
von Holstein yang adalah Belanda totok dan anak pemilik pabrik gula Sokaraja
yang terpandang. Hubungan cinta timbal-balik antara seorang nyai dan tuannya
pun tidak mendapat tempat di dalam sistem masyarakat kolonial yang menjunjung
kemurnian ras.
dalam salah satu adegan dikisahkan bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta.
Henri Dam hatinya mulai dipenuhi sesuatu yang indah dan manis, seindah dan
semanis Henry[sic.] Dam sendiri. Ini dia! Aduh, si geulis Mariah mulai birahi.
Tumbuh rasa sayang pada Henri Dam, pada seorang lelaki.”178 Bisa dikatakan Siti
Mariah, kendati mencintai Henri Dam, mengambil sikap pasif dan menunggu.
Dengan kata lain, sikapnya bersesuaian dengan norma sosial yang memposisikan
perempuan sebagai objek yang pasif. Ini berlawanan dengan Luci von Holstein
yang aktif mendekati Henri meskipun pada waktu itu Henri statusnya masih
178
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 120.
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan beberapa lelaki (Eropa) lain dan bahkan hubungan di luar perkawinan itu
telah menghasilkan seorang anak perempuan, Marie, yang dianggap Henri sebagai
anaknya sendiri.
“Henri tentu belum lupa pada tuan Van Goldstein, yang selagi kita kawin
menumpang di rumah mama Salemba sebulan. Dia adalah kekasih saya.
Ingin sekali saya kawin dengannya, tapi mama melarang. Saya dipaksanya
mengawini kau, Henri. Saya mengikuti perintah mama. Jangan terkejut,
Henri, tuan van Goldstein sesungguhnya papa Marie. Goldstein namanya,
Hubrecht nama depannya, Amersfoort negeri asalnya. Itu sebabnya
sekarang saya mengambil nama itu, kubawa sampai mati. Ya Henri, betapa
jahatnya saya. Tak hendak semua dibawa mati. Dengan kematian semua
berakhir. Anak saya yang keguguran adalah akibat hubungan dengan
Booghuizen.”179
antara Siti Mariah dan Henri Dam didasari cinta, hubungan tersebut tidak
berterima karena ada dimensi lain yang menyertainya, yakni ras (Eropa versus
bukan Eropa). Hubungan gender di sini diimbuhi oleh kategori ras sehingga tokoh
perempuan Eropa di atas perempuan pribumi maupun Indo. Akan tetapi, kendati
diposisikan sebagai objek dari kekuasaan kolonial, Siti Mariah tetap menemukan
Tuan Esobier. Terkait dengan aspek seksualitas, Siti Mariah tidak menunjukkan
sikap melanggar norma yang berterima secara sosial. Ia tetap setia pada tuan yang
179
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 304.
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pada akhirnya ia bisa bersatu lagi dan menikah secara resmi dengan Henri Dam.
Ambivalensi cerita ini tampak dalam pesan khusus dari cerita: pernyaian
ternyata lebih mampu mengakomodasi cinta. Ketika Mariah dan Henri terpisah,
Mariah justru tidak bahagia. Demikiannya Henri yang menikah secara resmi
dengan Luci von Holstein. Ternyata hubungan yang ideal justru terjadi ketika
dirangkum beberapa hal sebagai berikut. Dalam Tjerita Njai Dasima tokoh nyai
domestik, setia, dan sebagainya. Dasima adalah stereotipe nyai yang “baik.” Jika
pada awalnya ia adalah sosok yang setia, maka berkat bujukan pihak luar Dasima
pun berubah menjadi tidak setia dan “memberontak” dengan cara minta bercerai
lalu meninggalkan anak dan tuannya. Sementara itu, dalam Tjerita Nji Paina di
luar kecantikan fisik, Paina adalah sosok anak yang patuh, berbelas kasihan pada
orang tuanya sehingga ia bersedia menjadi nyai untuk menyelamatkan sang ayah.
Berbeda dengan kedua cerita sebelumnya, tokoh Nyai Ratna dalam Cerita Nyai
Ratna awalnya tampil sebagai sosok perempuan yang baik, setia, tabah menjalani
nasib yang tidak baik (disia-siakan oleh suaminya). Namun demikian, statusnya
berubah menjadi seorang nyai, ia pun menjadi sosok perempuan yang tidak setia,
Ratna hadir sebagai stereotipe nyai yang “tidak baik.” Pada Hikayat Siti Mariah,
tokoh Siti Mariah digambarkan sebagai sosok yang setia, tabah dan tegar
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjalani takdir yang diakibatkan statusnya sebagai nyai seorang lelaki Eropa
yang berpangkat tinggi dalam masyarakat kolonial. Ia tetap setia meski dikhianati.
identitasnya sembari tetap setia dan berpegang teguh pada tujuan mencari
anaknya.
mengungkapnya dengan jelas. Dasima dan Ratna bisa dikatakan sebagai tokoh
sementara Ratna menjalin cinta dengan Sambodo maupun Karel de Vos, serta
“membeli lelaki” demi kesenangan semata. Di sini, tokoh yang sadar akan
cukup jelas di mana pada awalnya Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot.
Akan tetapi, Paina lantas secara aktif menolak Tuan Briot yang secara fisik buruk
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
rupa dan jahat. Selain itu, penolakan Paina terhadap Tuan Briot ini juga terkait
dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks dari lelaki yang ia benci tersebut.
bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta pada Henri Dam, tidak digambarkan
tergambar ketika Siti Mariah dilawankan dengan tokoh Luci van Holstein yang
tokoh ini tidak mengungkapkan seksualitasnya dan justru pasif. Pada akhir cerita,
kedua tokoh yang tidak mengungkapkan seksualitasnya ini justru bernasib baik:
menunjukkan bahwa ketika nyai berusaha menjadi subjek yang aktif (Dasima dan
Ratna), ia justru bernasib sial walaupun ini tidak terlalu berlaku untuk Paina.
Sementara jika nyai tersebut tetap tinggal menjadi subjek yang pasif (Mariah),
dengan tetap berada dalam batas-batas stereotipe sosok nyai yang “baik” (setia,
tabah, tegar, dan sebagainya), ia justru beruntung. Bisa dikatakan terlepas dari
terkait dengan penulisnya yang semuanya laki-laki dan menulis dari sudut
pandang laki-laki.
3. Ras
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
direpresentasikan oleh keempat cerita dilihat dari aspek hubungan ras mengingat
(difference) antara nyai dan tuan. Dalam kajian pascakolonial, konsep “ras”
menduduki posisi yang sentral. Secara sederhana, konsep “ras” mengacu pada
ciri-ciri fisik, biologis, dan genetis yang dilekatkan pada suatu kelompok manusia.
Ada beberapa asumsi di balik konsep ini. Pertama, bahwa manusia terbagi atas
berbagai tipe yang teramati melalui ciri-ciri fisiknya dan ini diturunkan melalui
darah. Konsekuensinya ialah pembedaan antara ras yang “murni” dan yang
untuk mendominasi orang-orang yang dijajah dan superioritas ras dipakai sebagai
memanfaatkan kategori ras untuk menarik batas-batas yang tegas dalam oposisi
biner dengan membuat pembedaan antara kita yang “beradab” dan liyan yang
180
Penjelasan mengenai konsep ras ini juga diajukan oleh Patrick Wolfe yang memandang ras
sebagai suatu konstruksi ideologis. Ada dua ciri umum dari konsep ras ini. Pertama, kategori ras
bersifat hierarkis—perbedaan (difference) tidaklah netral. Kedua, ras menghubungkan ciri-ciri
fisik dengan ciri-ciri kognitif, budaya dan moral, mencampurbaurkan yang konkret dan yang
abstrak, yang kebinatangan dan yang manusiawi, yang somatis dan semiotis. Lebih lanjut lihat
Patrick Wolfe, “Race and racialisation: some thoughts,” Postcolonial Studies 5, no. 1 (2002): 51-
62.
181
Aschroft, et. al., Key Concepts, 198.
182
Aschroft, et. al., Key Concepts, 198.
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(civilizing mission) menjadi sesuatu yang seolah-olah wajar. Di sini identitas ras
dibayangkan sebagai sesuatu kategori yang stabil dan tidak berubah-ubah. Ini
sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Homi K. Bhabha bahwa salah satu ciri
keempat cerita yang diteliti, bagian ini akan menyoroti bagaimana kesadaran ras
mengemuka di dalam cerita beserta ambivalensi wacana mengenai ras dilihat dari
Secara sekilas, Tjerita Njai Dasima bisa dibaca sebagai sebuah narasi
semacam ini akan mengarah pada gagasan bahwa cerita tersebut ditulis sesuai
dengan logika wacana kolonialisme yang dominan: pihak pribumi tampil sebagai
pihak yang jahat, sementara tokoh Eropa adalah sosok yang baik. Pertanyaannya
prampoean slam dari Kampoeng Koeripan.”184 Pada bagian lain juga disebutkan
183
Bhabha menyebutkan bahwa kepastian (fixity) sebagai tanda perbedaan budaya/sejarah/rasial
di dalam wacana kolonialisme merupakan moda representasi yang paradoksikal: ia berkonotasi
dengan kekakuan (rigidity) dan tatanan yang tak berubah (unchanging order) maupun kekacauan
(disorder), degenerasi dan pengulangan yang demonis (daemonic repetition). Bhabha, "The Other
Question," 18.
184
Toer, Tempo Doeloe, 225.
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kecantikan dan kekayaannya dan ini membuat “banjak sekali orang orang slam
lelaki ingin sekali boeat dapet tempel, boeat eret hartanja.”186 Kata “Slam” di sini
menjadi penanda akan adanya perbedaan ras, atau dalam istilah yang sering
muncul dalam cerita, perbedaan bangsa. “Orang Slam” di sini dilawankan dengan
“orang kafir” yang di dalam cerita merujuk pada “orang Serani ataoe Tjina.”187 Di
sini, tampak bahwa konsep “ras” tumpang tindih dengan konsep “agama”. Secara
umum, seseorang yang berasal dari ras tertentu diasumsikan beragama tertentu
pula. Orang Eropa dianggap pasti beragama Kristen, sedangkan orang Pribumi
dianggap beragama Islam. Jika mengacu pada konsep ras seperti yang telah
karena konsep ras di sini ternyata mengacu pada kategori agama juga.
tindih dengan kategori Islam dan kafir (baca: Nasrani) di dalam cerita muncul
Tuan W. yang adalah orang “koelit poeti”188 sebagaimana disuarakan oleh tokoh
Ma Boejoeng, menurut ajaran agama Islam adalah suatu perzinahan yang tidak
sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad. Secara umum bisa dikatakan bahwa dalam
Tjerita Njai Dasima, perbedaan antar ras di sini ditandai oleh kata “bangsa” di
mana kategori “bangsa” itu sendiri juga mencakup konsep “agama.” Konsep ras
185
Toer, Tempo Doeloe, 225.
186
Toer, Tempo Doeloe, 225-226.
187
Toer, Tempo Doeloe, 228.
188
Toer, Tempo Doeloe, 235.
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang mengacu pada seperangkat ciri fisik, biologis, dan genetis pun merujuk pada
Jika memang kategori ras yang dikaitkan dengan darah (biologi), menyatu
dengan konsep agama (budaya), bukankah konsep ras itu sendiri tidak bisa
dipertahankan sebagai penanda yang stabil? Salah satu bagian cerita mengisahkan
masuk Kristen, ia termasuk ke dalam kategori yang mana: Eropa (meski dia tidak
memiliki darah Eropa) ataukah tetap pribumi (kendati dia Kristen)? Lalu, jika
pribumi bisa masuk Kristen, apakah dengan demikian ciri-ciri yang diasosiasikan
yakni bahwa konsep ras yang dianggap seringkali penanda identitas yang paling
kokoh ternyata rentan dan sulit dipertahankan. Dengan kata lain, konsep ras
Cerita ini justru tidak menempatkan Dasima secara sentral dalam dikotomi
pribumi versus Eropa. Maksudnya, ras Dasima di sini tidak dipersoalkan. Dilihat
dari keseluruhan cerita secara umum, Tjerita Njai Dasima secara dominan
menampilkan golongan pribumi—dalam hal ini diwakili oleh sosok Samioen dan
digambarkan sebagai pihak yang “baik”: mudah percaya, penuh cinta dan
tanggung jawab. Akan tetapi, dikotomi tersebut sebenarnya justru runtuh karena
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kedua kecenderungan ini (baik maupun jahat) bisa dimiliki oleh masing-masing
pihak secara bersamaan. Toean W., misalnya, juga “jahat” karena ternyata dia
“tiada sekali taoe adjar atawa soeroe adjar peladjaran agama”189 kepada nyainya
kecenderungan tokoh pribumi muncul sebagai tokoh yang “jahat” dan tokoh
Eropa sebagai tokoh yang “baik” memang masih ada. Namun, batasan-batasan
pribumi. Dasima adalah perempuan pribumi yang tekun dan bersedia belajar
“segala roepa pekerdjahan prampoean jaitoe masak, mendjait, dan potong segala
roepa pakean”190 yang diajarkan orang Eropa (Njonja Bonnet). Sementara itu, Ma’
semacam Ma’ Boejoeng hanya membuang-buang uang. Di sini tersirat bahwa ada
golongan pribumi yang memang patut dipelihara karena ia bisa dibentuk sesuai
pribumi yang tidak patut dipelihara karena “sudah dari sananya” sifatnya seperti
(buruk)—diwakili oleh Ma’ Boejoeng. Kedua figur ini memang berlawanan dan
jika ada pribumi yang baik dan buruk, bukankah demikian halnya dengan orang
Eropa—ada orang Eropa yang baik dan ada juga yang jahat?
189
Toer, Tempo Doeloe, 228.
190
Toer, Tempo Doeloe, 225.
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sistem eksploitatif yang melibatkan relasi kekuasaan di mana ada hierarki antara
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya: tuan Eropa yang posisinya lebih tinggi
kehidupan: dalam hubungan kerja, dalam hubungan antara lelaki Eropa dan
perempuan pribumi. Hal tersebut misalnya tampak ketika tuan administratur baru
(Eropa) memandang gaji Niti Atmaja (pribumi) terlalu besar. “Di mana pada
zaman ini orang dengar iang satoe djoeroetoelis Djawa makan gadjih begitoe
besar. Doea poeloeh lima roepiah masih terlaloeh banjak boeat satoe djoeroetoelis
orang Djawa.”191 Gagasan ini bersesuaian dengan ideologi kolonial bahwa etos
kerja orang Eropa lebih baik sehingga pantas mendapat bayaran yang lebih tinggi.
Sebaliknya, orang pribumi etos kerjanya lebih buruk dan konsekuensinya, wajar
yang dibentuk wacana kolonial secara umum bahwa orang Eropa memiliki etos
kerja lebih yang baik, sedangkan golongan pribumi etos kerjanya kurang baik
sehingga mereka perlu diajar dan diperintah oleh orang Eropa agar bisa maju.
Meskipun terdapat kritik yang menjadi pesan dominan dari cerita tersebut,
ambivalensi juga muncul di dalam cerita terkait konsep ras itu sendiri. Dalam hal
ini gagasan bahwa orang Eropa kinerjanya lebih baik sudah dimaklumi begitu saja
191
Toer, Tempo Doeloe, 318.
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(taken for granted). Padahal, dalam realitas cerita orang Eropa tidak selalu lebih
baik.
Tokoh Niti Atmaja (pribumi) adalah sosok yang disiplin, tekun dan teliti di
dalam pekerjaannya sehari-hari. Kinerja Niti ini amat kontras dengan kinerja
atasannya, Tuan Briot, yang selalu pulang kerja lebih awal, kerjanya hanya
justru dikerjakan oleh Niti. Di sini tampak ambivalensi bahwa di satu sisi orang
pribumi (Niti) yang lebih inferior justru bisa meniru orang Eropa secara
“sempurna” dan tidak terhalangi oleh ciri-ciri yang dianggap “kodrati” (rasnya).
Sementara itu, orang Eropa (Briot) yang dielu-elukan sebagai ras yang superior
ternyata justru tidak mampu bekerja dengan baik sebagaimana yang diandaikan
sebagai ras inferior tersebut tidak dapat dipertahankan karena orang Eropa tidak
cerita yang kritis terhadap kolonialisme ini, terdapat juga bagian yang
ditampakkan oleh pengabdian Niti pada pabrik gula tempatnya bekerja yang
terjadi di pabrik. Dedikasinya inilah yang membuat gajinya tetap tinggi di tengah
kondisi pabrik yang sulit. Bisa dikatakan bahwa Niti yang mewakili golongan
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pribumi yang dianggap “baik” justru menjadi salah satu penopang sistem
Dalam beberapa bagian lain dari cerita ini juga muncul dalam salah satu
bagian lain, Paina dihadapkan pada pilihan menerima pinangan Briot untuk
masuk penjara. Awalnya ia menolak secara tegas dengan mengatakan, “Apa, djadi
njainja tjeleng itoe?’ Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi
koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas
seperangkat ciri: rakus, najis, kotor. Jika biasanya penamaan atau penjulukan
melibatkan aspek kekuasaan karena hal tersebut membawa konsekuensi bagi yang
dijuluki, di sini Paina adalah “budak” yang menantang balik “sang tuan” melalui
umpatan yang menyamakan “sang tuan” tersebut dengan “celeng.” Kendati berada
dalam posisi yang tidak berdaya, tetapi Paina tetap menemukan celah untuk
Bentuk otonomi semacam ini juga dapat ditemukan pada bagian lain yang
menceritakan bahwa Paina “aken bikin mati toen Briot”193 dengan cara
menularkan penyakit cacar kepadanya. Secara literal, penyakit cacar di sini dapat
diasosiasikan dengan berbagai hal, antara lain rendahnya kualitas hidup (jorok,
pada kulit, kematian). Namun, lebih jauh penyakit cacar dengan sifatnya yang
mudah menular tersebut menjadi simbol bagi kontaminasi ras: Paina yang
192
Toer, Tempo Doeloe, 327.
193
Toer, Tempo Doeloe, 328.
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
cukup lengkap karena dikisahkan sejak awal bagaimana ia menjadi nyai hingga
menjadi nyai. Di sini ambivalensi sudah hadir di dalam keseluruhan cerita karena
nyai. Di satu sisi, ada keterpesonaan terhadap sosok nyai yang dianggap hebat
dilihat dari penampilan, pengetahuan dan materi yang dapat diaksesnya, serta
mobilitas sosialnya yang meningkat. Namun demikian, di sisi lain, ada juga kritik
menggambarkan kesadaran akan perbedaan ras dengan cara yang relatif eksplisit.
“bangsa sendiri” atau pribumi. Misalnya ketika tokoh bibi Ratna, Nyi Brata,
Eropa dan lelaki pribumi. Dalam adegan lainnya, tokoh Ratna juga mengatakan
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa tuannya itu “lain bangsa.” Di sini, kategori “bangsa” juga bisa disejajarkan
yang baik, yakni sebagai sosok “penyelamat.” Ini terjadi karena lelaki Eropa
digambarkan dalam salah satu percakapan antara Ratna dan Nyi Brata.
“Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari kagak sekali
dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu! Tanggung-tanggung. Mendingan
ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan tidak
dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang kaya
bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak dapat
kesenangan.”194
Jadi, dalam berbagai segi, perempuan pribumi yang menjadi nyai dari lelaki Eropa
dipandang masih lebih baik daripada yang menikah dengan lelaki pribumi, entah
lelaki yang status sosialnya lebih tinggi ataupun yang statusnya lebih rendah
menjadi nyai seorang lelaki Belanda. Dengan menjadi nyai itulah ia lalu memiliki
akses kekayaan materi dan ini lalu dianggap sangat menentukan kebahagiaan
perkawinannya dengan seorang lelaki pribumi setelah tuannya mati. Lebih lanjut,
disebutkan bahwa bekas nyai pun memiliki status yang lebih tinggi daripada
194
Toer, Sang Pemoela, 374.
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Singkatnya, cerita ini menampilkan gambaran tentang “lelaki kulit putih yang
menyelamatkan perempuan berkulit coklat dari lelaki berkulit coklat” (white man
saving brown woman from brown man”) seperti yang diungkapkan oleh Gayatri
kehidupan yang buruk dengan lelaki pribumi. Salah satunya karena menurut
kelaziman pada masa itu, “jamak isteri dimadu”197 serta “jamak lelaki piara bini
lebih dari satu”198 mengingat “itu diperkenankan oleh agama.”199 Dengan menjadi
nyai, seorang perempuan pribumi juga mendapatkan akses terhadap materi dan
status sosial yang lebih tinggi daripada rata-rata orang pribumi lainnya. Bahkan,
itu masih berlangsung setelah perempuan tersebut tidak lagi menjadi nyai!
wacana mengenai ras ini. Hal ini, misalnya, tampak dalam gagasan Ratna bahwa
bangsa ini. Siapa tahu di negerinya punya nyonya.”200 Kutipan ini menyiratkan
kritik terhadap status seorang nyai: Ratna menyadari posisinya sebagai seorang
nyai dari seorang lelaki Eropa yang status persisnya bahkan tidak ia ketahui secara
persis—menikah atau tidak menikah. Dengan alasan itu, menurut Ratna, dalam
hubungan tersebut tidak perlu ada kesetiaan ataupun cinta. Pada bagian lain,
dikisahkan Mak Dukun menasihati salah satu tokoh nyai lainnya, yakni
195
Toer, Sang Pemoela, 374.
196
Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 154.
197
Toer, Sang Pemoela, 371.
198
Toer, Sang Pemoela, 371.
199
Toer, Sang Pemoela, 371.
200
Toer, Sang Pemoela, 384.
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggerogoti hartanya karena alasan “lain bangsa.”201 Jadi, kedua tokoh nyai ini
ataupun cinta. Namun, kepatuhan terhadap sang tuan dianggap tetap diperlukan
bentuk hubungan yang sementara dan pragmatis. Jadi, konsep “cinta lintas ras”
asumsi mengenai orang pribumi yang bodoh. Jika diandaikan bahwa lelaki Eropa
lantas berlangsung satu arah maka dalam kenyatannya hubungan itu justru
berlangsung dua arah karena ternyata nyai tersebut juga memanfaatkan tuannya.
rumah tuannya sendiri. Nyai yang dipandang lugu dan baik tersebut ternyata sadar
201
Toer, Sang Pemoela, 390.
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melalui pembedaan antara orang Belanda, Belanda peranakan (Indo), dan kaum
pribumi yang sebagian diwakili oleh golongan bangsawan. Ini tampak, misalnya
ketika Siti Mariah yang sewaktu masih kecil bernama Urip, digambarkan “bergaul
dengan anak-anak Belanda, mengikuti adat orang Belanda.”202 Kategori ras di sini
juga bertumpang tindih dengan kategori agama. Dalam salah satu bagian,
Ditinjau dari plot secara keseluruhan, Hikayat Siti Mariah secara dominan
menggambarkan tokoh Eropa yang jahat—dalam hal ini diwakili oleh tokoh
Nyonya von Holstein: licik, penuh tipu daya dan dengan kekuasaannya, ia
berusaha merusak hubungan cinta yang harmonis antara Siti Mariah dan Henri
Dam. Bahkan, ia pun tega meracun suaminya sendiri hingga mati. Buruknya
karakter Nyonya Holstein yang mewakili orang Eropa ini juga ditegaskan melalui
muslihat yang dilancarkan Nyonya Von Holstein untuk menceraikan Henri Dam
202
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 89.
203
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127.
204
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127.
205
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127.
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Iblis kejahatan tak pilih bangsa. Jangan kita menyangka kejahatan hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang pribumi. Kita yang berkulit putih tak
berarti mesti bersih, apakah hatinya juga putih bersih? Neen, nyonya
besar.206
Sementara itu, Mariah, yang sebenarnya Indo tetapi lebih sering diidentifikasikan
sebagai pribumi, justru ditampilkan sebagai tokoh yang baik. Ia memenuhi fantasi
meskipun dilepas tuannya tetap bisa tabah dan tegar, lalu karena cintanya ia
paksa darinya.
baik, dikotomi semacam itu sebenarnya tidak setegas yang dibayangkan. Secara
umum, cerita ini mengusung konsep “cinta sejati” antara lelaki dan perempuan. Di
sini bukan ras yang penting, melainkan cinta tersebut. Henri mengalami
hal itu tidak ia rasakan ketika sudah menikah dengan Luci yang Belanda totok
karena cinta absen di dalam perkawinan mereka. Dengan demikian, cerita ini juga
perempuan dari ras yang sama, alasan yang mendasari perceraian Henri dengan
Mariah.
Walaupun cerita ini pesannya jelas, bahwa cinta sejati lebih penting
daripada ras, ambivalensi justru muncul di akhir cerita bahwa Mariah yang selama
206
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 188.
207
Konsep ini saya adaptasi dari Ania Loomba yang menyebutkan bahwa figur “other woman”
menghantui imajinasi kolonial dengan cara yang seringkali ambivalen dan kontradiktif. Di satu
sisi, ia menjadi contoh barbarisme, tetapi di sisi lain ia memenuhi fantasi kolonial mengenai
“perilaku feminin yang sempurna.” Lihat Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 157.
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini diduga Henri sebagai pribumi ternyata Indo atau “Belanda peranakan” karena
ia lahir dari hubungan antara seorang perempuan pribumi, Sarinem, dan seorang
lelaki Eropa, Elout van Hogerveldt. Jadi, Mariah memiliki darah Eropa. Maka,
cerita tersebut tetap menyiratkan idealisasi tentang cinta sesama ras: tidak
mungkin orang Eropa mengalami cinta sejati dengan orang yang bukan Eropa. Di
sinilah letak ambivalensinya: seolah-olah lelaki Eropa jatuh cinta pada perempuan
pribumi, tetapi ternyata cinta sejati itu hanya mungkin dialami dengan perempuan
dilekatkan pada Mariah (sabar, tegar, penuh pengorbanan) bisa dibaca sebagai
karakter yang ia warisi karena darah Eropa-nya. Jadi, meskipun di dalam cerita
orang pribumi tampil sebagai pihak yang baik dan dilawankan dengan orang-
orang Eropa yang buruk di sini masih tersirat adanya gagasan tentang superioritas
fenomena yang umum di Hindia Belanda dan telah memiliki sejarah yang
panjang, yakni sejak munculnya VOC di Nusantara. Hal ini tidak berarti
pernyaian tetap bertahan sebagai salah satu bentuk regulasi seksual yang didukung
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ekonomi. Seperti yang dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual ini sangatlah
mengenai pernyaian dilihat dari plot cerita secara keseluruhan yang dibandingkan
Dalam Tjerita Njai Dasima, disebutkan secara eksplisit cinta Tuan Edward
W. terhadap Nyai Dasima, terutama karena Nyai Dasima rajin dan terampil dalam
pekerjaan rumah tangganya, ”maka Toean W. tjinta dianja ibarat dia poenja bini
kawin, segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang”208 serta dari hubungan itu sudah
lahir seorang putri, Nanci, yang sangat dicintai oleh Tuan W. Akan halnya
Samioen yang memandang bahwa Dasima ”terlaloe tjinta kapada itoe kafir”209
dan tokoh Ma Boejoeng yang menganggap bahwa “dia poenja kahidoepan terlaloe
tjinta satoe sama laen, dan itoe Toean pertjaja semoea hartanja dan sekalian
terkawin.”210 Dibaca dari sudut pandang yang dominan, pernyaian di dalam cerita
ini merupakan jenis hubungan yang mampu mengakomodasi cinta antara sang
Sementara itu, setelah bercerai dengan Tuan W., Dasima menikah dengan
208
Toer, Tempo Doeloe, 225.
209
Toer, Tempo Doeloe, 226.
210
Toer, Tempo Doeloe, 229.
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Dia poenja giwang, tjintjin dan gelang bertaboer intan ditoekar dengen
giwang piroes dan tjintjin bela rotan perak, tiada pake gelang, serta misti
membantoe masak dengen koki di dapoer, serta misti lajanin lakinja,
mertoeanja dan madoenja ibarat satoe boedak, tadinja di roemah Toean W.
dia dilajanin oleh boedjang-boedjang, dan sekarang dia misti djadi boedak
orang, djikaloe tiada betoel kerdjanja, dia dapet mara dan dapet bentakan
dari madoenja, maka o, kesian sekali, itoe penjeselan hati soeda moelain
datang…”211
rumah tangga. Ketika ia menjadi seorang istri dari lelaki pribumi, justru otonomi
tersebut lenyap: dari sosok yang punya kekuasaan, ia justru menjadi subordinat,
antara sang tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi. Perkawinan
antara perempuan pribumi dengan lelaki pribumi dianggap lebih buruk karena
dapat menurunkan status perempuan tersebut. Hal ini sebagian terkait juga dengan
praktik poligami dan ajaran agama yang tidak berpihak pada perempuan. Namun
demikian, dilihat dari sisi lain, cerita tersebut juga menunjukkan adanya
ambivalensi di dalam wacana tentang pernyaian ini. Hal tersebut hadir melalui
kritik terhadap status nyai yang dipandang rendah melalui suara tokoh Hajati, istri
Samioen.
211
Toer, Tempo Doeloe, 240.
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Embok Saleha poedji itoe Njai poenja roepa, begitoe poenya bagoes,
tetapi sajang sekali dia djadi goendiknja orang koelit poeti, prampoean
begini pantas djadi bini kawin orang Slam, jang berpangkat, ataoe kaja,
sebab dia boleh dapet lebih banjak kehormatan!”212
Selain itu kritik tentang ketidakjelasan status Dasima, yang sebagai piaraan Tuan
W. “boekannja bini kawin, dan boekan boedak,”213 juga disuarakan oleh tokoh
Ma’ Boejoeng. Di sini suara tersebut memperoleh peneguhan dari ajaran agama
“Boeat apa Njai takoet sama Toean, djikaloe dia sajang sama Njai betoel-
betoel, tentoe dia soeda kawin sama Njai. Dia ada satoe orang koelit poeti,
kaloe dia dapat bangsanja, tentoe dia boewang sama Njai, begitoe djoega
dia poelang ke negrinja dan anak Njai dia ambil, tinggal Njai sebatang
karang, tiada poenja sanak-soedara dan tiada poenja kenalan disini maka
itoe Njai idoep sama Toean ada kahidoepan berdjina, tiada nikah begimana
soeda dipesan oleh Nabi Moehamad, haroes Njai lekas-lekas toentoet
agama, soepaja djangan menjesal di blakang kali.”214
Ketidakjelasan status nyai serta gagasan pernyaian sebagai bentuk perzinahan itu
“…saja ikoet sama Toean soeda begini poenja lama, tiada kawin, djadi
berdjinah, besok loesa kaloe Toean kawin dengen Toean poenja bangsa
ataoe Toean poelang ka Toean poenja negri, djadi saja telantar, tiada
oeroes saja poenja djiwa, maka itoe Toean kasi ataoe Toean tiada kasi, saja
minta lepas dari Toean,… .”215
lewat ajakan masuk ke dalam agama Kristen dan menikah secara resmi untuk
tetaplah dipandang lebih baik daripada pernyaian karena hal ini sejalan dengan
212
Toer, Tempo Doeloe, 234.
213
Toer, Tempo Doeloe, 231.
214
Toer, Tempo Doeloe, 235.
215
Toer, Tempo Doeloe, 238
216
Toer, Tempo Doeloe, 238.
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
moralitas perkawinan Kristiani yang dijunjung tinggi oleh orang Eropa pada masa
itu.
Salah satu konstruk yang termuat di dalam wacana kolonial ialah konstruk
mana seseorang bebas menentukan jodohnya sendiri yang didasarkan atas cinta
atau suka sama suka. Tidak ada campur tangan keluarga ataupun orang-orang
sekeliling di dalam pilihan tersebut. Hal ini sangat berkebalikan dengan orang
pribumi yang konon masih “kolot” karena seseorang belum bebas dalam memilih
dalam mengambil keputusan tersebut. Ada kalanya ia pada akhirnya tidak bisa
bersatu dengan orang yang ia cintai karena tentangan dari lingkungan. Tak jarang
ia dijodohkan atau justru dikawinkan paksa dengan orang yang tidak ia cintai.
jodohnya di mana perasaan suka sangat berperan dalam pilihan tersebut. Hal ini
menjadi nyainya sebagai syarat kebebasan sang ayah dan Paina menolak dengan
tegas. “Apa, djadi njainja tjeleng alas itoe?” [sic] Tiada sekali-kali. Bebrapa orang
melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken
boedaknja si tjeleng alas itoe?”217 Jadi, di sini tersirat bahwa Paina memiliki
217
Toer, Tempoe Doeloe, 327.
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meninggal karena sakit, hal itu perlu ditempatkan dalam konteks ini: ia
ditunangkan dengan orang yang juga ia sukai. Gagasan ini pada akhirnya juga
secara cukup eksplisit. Hal tersebut pertama-tama bisa dibaca dari sikap Ratna
janda setelah suaminya meninggal dunia. Ia menikah lagi untuk kedua kalinya,
inilah yang membuat Ratna pada akhirnya “punya adat tidak mau dimadu.”219
Dari percakapan antara Brata, Nyi Brata dan Ratna terungkap keadaan
yang lazim pada waktu, yakni poligami, sehingga sudah jamak seorang
perempuan dimadu, sedangkan seorang lelaki memelihara isteri lebih dari satu,
apalagi hal itu “diperkenankan oleh agama.”220 Akan tetapi, jenis hubungan
semacam itu tampaknya bukan sesuatu yang diidealisasikan. Dalam hal ini,
sederajat lebih dianggap ideal. Demikian gagasan ini muncul lewat suara tokoh
Ratna.
“Ia hanya ingat kata bibinya, bahwa perempuan asal kecil seperti dia
seboleh-boleh agar berlelaki dengan orang yang sepantar, barulah dapat
kesenangan. Adapun lelaki bangsawan itu niscaya kurang kekal
kecintaannya karena ada beberapa halangannya dan martabat si isteri tidak
jauh bedanya dengan martabat si kembang, yang digubah seperti buket
218
Toer, Sang Pemoela, 379.
219
Toer, Sang Pemoela, 369.
220
Toer, Sang Pemoela, 371.
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
selagi segar, tidak kurang kehendakan tidak kurang rawatan, tetapi, kalau
sudah layu ia dapat tiada dijadikan sampah.”221
kesetaraan itu cukup ideal, ada pilihan lain yang dianggap lebih ideal bagi seorang
perempuan pribumi. Hal ini terungkap dari dialog antara Nyi Brata dan Ratna
sebagai berikut.
“Bekal? … Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari
kagak sekali dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu! Tanggung-tanggung.
Mendingan ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan
tidak dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang
kaya bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak
dapat kesenangan…”
Di sini menjadi nyai dari seorang lelaki Eropa dianggap sebagai pilihan
yang lebih baik bagi seorang perempuan pribumi daripada menjadi istri dari
seorang lelaki pribumi, entah yang statusnya setara maupun tidak setara dengan
perempuan tersebut. Ini karena dengan menjadi nyai, seperti diperlihatkan oleh
221
Toer, Sang Pemoela, 372.
222
Bibi.
223
Paman.
224
Toer, Sang Pemoela, 374.
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kekuasaan dan status sosial yang lebih di mata masyarakat. Jadi ditinjau dari
berbagai segi, plot secara keseluruhan menyampaikan suara bahwa hidup sebagai
nyai dari lelaki Eropa dipandang sebagai pilihan yang lebih baik daripada
Kendati demikian, dibaca dari sisi lain, akan tampak ambivalensi wacana
mengenai pernyaian dalam cerita ini. Bertolak belakang dengan Tjerita Njai
dan tuannya, di dalam cerita ini pernyaian dianggap tidak bisa memenuhi peran
demi alasan pragmatis, yakni untuk meningkatkan status sosial dan mengakses
materi. Bagi tokoh Ratna, menjadi nyai adalah peluang untuk mencari
Dengan otonomi yang ia miliki berkat statusnya sebagai gundik orang Eropa, ia
bebas mencari cinta di luar hubungan dengan tuannya (yakni dengan menjalin
lelaki-lelaki lain yang dapat dibeli dengan uangnya. Selain itu, setelah perempuan
tersebut tidak menjadi nyai lagi, ia bisa mengakses kehidupan yang lebih baik
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini berkebalikan dengan nilai kaum pribumi yang diandaikan “kolot” dengan
kebiasaan kawin paksa atau perjodohan. Namun di dalam Hikayat Siti Mariah,
(lewat pernyaian), sedangkan Nyonya von Holstein yang orang Eropa berusaha
dengan segala cara menjodohkan anaknya, Luci, dengan Henri yang juga Eropa
masa itu lumrah bagi seorang pejabat Eropa yang punya kedudukan untuk
mengambil nyai itu juga terkait dengan alasan kesehatan. Namun, dalam cerita
juga disampaikan bahwa suatu saat sang tuan tersebut harus melepas nyainya
untuk kemudian menikah dengan perempuan Eropa. Dalam Hikayat Mariah, hal
tersebut ditentukan oleh status dari lelaki Eropa: semakin tinggi status sosialnya,
bagi orang Eropa. Dengan demikian, memelihara seorang nyai yang notabene
tidak dinikahi secara sah, berasal dari ras yang berbeda serta status sosial yang
lebih rendah pula, dipandang tidak layak bagi seorang lelaki Eropa yang status
terungkap dalam pandangan Nyonya Von Holstein, pemilik pabrik gula Sokaraja
“Zoo, tuan Dam. Saya mendapat kabar tuan piara Mariah dan sudah
beranak malah. Itu tidak mengapa, biasa saja. Tetapi kau mesti berfikir
lebih jauh lagi. Seorang opsiner piara nyai-nyai itu lumrah. Tapi
administratur! Wakil saya sendiri yang besar kuasanya! Tidak patut piara
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nyai. Mesti buang nyai itu! Mesti kawin dengan nona secara wajar dan
sopan, yang dapat menerima tamu sebagaimana mestinya. Ingat, tuan
Dam, jangan hendaknya membuang rejeki dan melalaikan adat. …”225
cerainya Mariah dari Henri Dam akibat guna-guna dan tipu daya Nyonya
Holstein. Sisi eksploitatif dari pernyaian kembali tampil, yakni ketika Mariah
waktu bisa dilepaskan begitu saja oleh tuannya dan dipisahkan dari anaknya.
Seperti yang telah disebutkan dalam Bab II, menurut Aturan mengenai
Perkawinan Campur yang diberlakukan sejak tahun 1808, seorang nyai yang
anaknya diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut.
Ini terjadi ketika sang ayah yang Eropa mencatatkan anaknya secara hukum
Eropa.
juga tersirat pada akhir cerita. Setelah Mariah, yang telah berganti status sebagai
Nyonya (janda) Esobier, bertemu kembali dengan Henri Dam, yang juga telah
berganti nama menjadi Tuan Henri Hubrecht, mereka pada akhirnya menikah dan
hidup bahagia bersama anak mereka. Jadi, plot secara keseluruhan menunjukkan
bahwa bentuk hubungan yang paling baik bagi perempuan (pribumi/Indo) dengan
Dalam hal ini ambivalensi muncul dalam pengalaman Henri Dam dan
Mariah yang justru bahagia kendati hidup sebagai tuan dan nyai karena cinta hadir
225
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 149.
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di dalamnya ada cinta dan pernyaian ternyata mampu mengakomodasi cinta antara
kedua pihak yang terlibat di dalamnya. Bagi Henri, Mariah yang ia angkat sebagai
nyainya adalah orang yang ia cintai dan ketika atasannya mengajukan gagasan
“Untuk piara nyai memang tak ada halangan. Tak perlu malu. Tuan
administratur bukan saja mengijinkan, malah mendorong. Lagi pula semua
kawannya piara nyai juga. Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati.
Hidup manis, rukun tak terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja
sudah cukup, sudah untung besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari
kekuasaan wali, Mariah akan dikawini. Tak bakal ia buang dia untuk
mengawini nona Belanda. Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa
diganti.”227
Demikianlah Henri Dam dan Siti Mariah yang saling mencintai menjalani
“kehidupan yang amat manis dan rukun, dan mendapat berkat dari orangtua dan
perkawinan sebagai bentuk hubungan yang paling baik dan pernyaian dianggap
kurang baik karena berbagai sebab. Tetapi, wacana mengenai pernyaian ini juga
5. Hubungan nyai-tuan
226
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 122.
227
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 123.
228
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 147.
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ambivalensi. Bagian ini akan melihat secara umum gambaran hubungan antara
nyai dan tuan yang ditandai oleh ambivalensi tersebut. Dalam Tjerita Njai
berlangsung harmonis. Dasima adalah nyai yang sangat dicintai oleh tuannya
“sebab itoe Njai radjin dan pinter bekerdja, maka Toean W. tjinta dianja ibarat dia
poenja bini kawin, segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang.”229 Selain itu,
terlaloe sajang sekali”230 juga makin menambah rasa cinta sang tuan terhadap
Dasima. Maka, tak heran Dasima begitu dipercaya untuk mengurus harta tuannya,
serta diberi aneka rupa barang. Selain itu, Tuan W juga berniat untuk mengajak
hubungan tersebut. Dalam salah satu dialog Dasima dengan Ma Boejoeng yang
oentoeng, Toehan Allah kasih boeat ikoet saja poenja Toean, hatinja baek dan
terlaloe sajang sama saja, saja poenja makan dan saja poenja pake semoea
229
Toer, Tempo Doeloe, 225.
230
Toer, Tempo Doeloe, 225.
231
Toer, Tempo Doeloe, 234.
232
Toer, Tempo Doeloe, 235.
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kekajaan dan dapet kehormatan, tetapi dia ingat Toeannja, jang dia
sajang, dan liat anaknja jang dia tjinta, djadi pikirannja beklai di dalem
hatinja, maka bebrapa hari dia doedoek diem sadja dan tiada banjak
bitjcara.”233
untuk minta cerai secara tegas juga tampak dalam petikan berikut. “Toean
soenggoe kita tida bersala, tetapi djodo kita soeda abis, saja tiada soeka tinggal
dipiara oleh Toean, sekarang Toean kasi, tida kasi, saja minta lepas!”234 demikian
dialog berikutnya.
Jadi, di dalam cerita ini, sosok Nyai Dasima mengalami ambivalensi di dalam
dengan Tuan W., tetapi di sisi lain, ia tidak tenang karena belum menjalankan
perintah agama meskipun itu karena bujukan pihak lain. Di satu sisi, ia merasa
cinta (“sajang”) pada Tuan W., namun di sisi lain ia merasa benci (“bentji”) pada
233
Toer, Tempo Doeloe, 235.
234
Toer, Tempo Doeloe, 238.
235
Toer, Tempo Doeloe, 238.
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tuan W. karena dilihat dari pandangan agamanya ia berzinah dengan orang kafir
Dalam Tjerita Nji Paina, digambarkan dengan jelas bahwa Paina sangat
Paina sebagai nyainya, Paina dengan tegas menjawab, “Apa, djadi njainja tjeleng
itoe? Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik
dan sekarang koe hendak didjadikan boedaknja si tjeleng alas itoe.”236 Sisi lain
dari hubungan itu ialah ia tetap menuruti kemauan Tuan Briot agar mendapat
menyetujui untuk menjadi nyai Tuan Briot, ia pun menyiapkan sebuah siasat,
yakni membuat dirinya terjangkit penyakit cacar yang tengah mewabah daerah itu,
lalu menularkannya pada Briot. Rencana Paina pun terlaksana. Alhasil, Tuan Briot
terlu dan pada akhirnya meninggal. Sementara, Paina sembuh walaupun dengan
Dalam Cerita Nyai Ratna dikisahkan bahwa Ratna menjadi nyai seorang
kapten kapal. Secara umum bisa dikatakan bahwa Ratna tidak menganggap
hubungan dengan tuannya atas dasar cinta. Ia justru memperoleh “cinta sejati”
dari sosok Sambodo. Oleh karena itu, ia membenarkan tindakannya dengan alasan
“beda bangsa” dan statusnya sebagai nyai yang tidak jelas sehingga ia tidak usah
236
Toer, Tempo Doeloe, 329.
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Ratna: … Peduli apa laki lain bangsa ini. Siapa tahu di negerinya punya
nyonya.”237
menjadi nyai adalah syarat atau pintu masuk bagi pembebasan diri Ratna: dari
tekanan ekonomi, dari perkawinan dengan lelaki pribumi, dari nasib yang lebih
mengisahkan secara eksplisit cinta antara Siti Mariah dan Henri Dam. Salah satu
bagian misalnya menggambarkan hal tersebut. “Sudah 4 hari ini saya punya
rencana untuk mandor-besar mengenai Siti Mariah, yang saya cintai dan
mencintai saya. Mariah saya pinta untuk saya piara sampai berumur 23 tahun, lalu
hendak saya kawini di kantor.”238 Cinta Mariah dan Henri Dam memenuhi mitos
Cerita ini tampil dengan mengusung konsep “cinta sejati.” Hal itu tampil
melalui suara Henri yang tidak ingin menceraikan Mariah seperti lazim dilakukan
237
Toer, Sang Pemoela, 384.
238
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 143.
239
Sebagaimana disebutkan oleh Ania Loomba, perjumpaan seksual kolonial (colonial sexual
encounters), baik heteroseksual maupun homoseksual, seringkali mengeksploitasi
ketimpangan/ketidaksetaraan kelas, usia, gender dan ras. Namun demikian, dalam fiksi dan catatan
perjalanan yang dibuat selama periode kolonisasi, aneka ketidaksetaraan itu seringkali dilekatkan
pada mitos ketimbalbalikan (myth of reciprocity). Lihat Loomba, Colonialism/Postcolonialism,
158.
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang Eropa pada masa itu terhadap nyainya karena menurut Henri “cinta tidak
“Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati. Hidup manis, rukun tak
terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja sudah cukup, sudah untung
besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari kekuasaan wali, Mariah
akan dikawini. Tak bakal ia buang dua untuk mengawini nona Belanda.
Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa diganti.”241
Sisi ambivalensi dari hubungan tersebut adalah bahwa Mariah yang mencintai
Henri pada akhirnya merasakan penderitaan karena cintanya itu. Hal ini terungkap
“Cobalah, bapak, dengar gamelan itu dari pabrik. Siapa yang tahan,
bapak? Sedari tadi saya dengarkan, betapa perih di hati. Teringat selagi
Mariah masih di pabrik, hidup senang dalam rumah ibu-bapak, hidup
berbahagia bersama tuan, bersama anak. Sekarang? Tuan hilang, anak
jauh. Ya, bapak, kapankah saya bisa melupakan anak? Saya tak tahan
hidup lebih lama lagi dengan begini. Apa gunanya lagi?”242
Jadi di satu sisi, Mariah mengalami “cinta” terhadap Henri, namun di sisi lain ia
juga mengalami “benci” karena statusnya seorang nyai telah membawanya kepada
penderitaan.
6. Kesimpulan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, bisa dilihat bahwa hubungan
nyai dan tuan sudah selalu ambivalen. Di satu sisi sebagai seorang nyai, ia adalah
pasangan bagi lelaki Eropa, tetapi di lain sisi, ia harus selalu menempatkan diri di
bawahnya (sebagai seorang perempuan dan pribumi). Selain itu, di dalam tatanan
240
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 122.
241
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 123.
242
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 172.
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang pribumi pada umumnya. Dengan demikian, pelbagai sisi ambivalensi itu
sendiri hadir dalam satu subjek, yaitu nyai, sebagai subjek kolonial. Lantas,
yang diteliti?
pelbagai tema, antara lain gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan,
cerita. Bagian ini berupaya menyimpulkan hasil analisis tersebut secara umum
Terkait dengan aspek gender, secara umum keempat cerita yang diteliti
objek (kekuasaan) yang menurut pembacaan dominan bisa dikatakan sebagai pasif
justru dengan pilihannya yang sadar mengarahkan dirinya pada proses menjadi
subjek jika dibaca dengan “melawan arus.” Ini semua berlangsung di wilayah
yang privat: di dalam Tjerita Njai Dasima, tokoh Dasima berselingkuh ketika
tuannya pergi bekerja, Paina menulari tuannya dengan penyakit cacar, Ratna
sendiri ketika tuannya pulang dengan cara mengelabuinya, dan Mariah mengubah-
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan kaburnya dikotomi antara sosok pribumi yang jahat versus orang Eropa
yang baik, juga melalui ketidakstabilan ras sebagai sebuah kategori di mana
ambivalensi lainnya gugatan terhadap orang Eropa sebagai bagian dari ras yang
diandaikan superior melalui penggambaran orang Eropa yang tidak selalu lebih
hubungan yang bisa mengakomodasi cinta antara sang tuan dan nyainya terlepas
dari statusnya yang tidak resmi. Meskipun demikian, terdapat juga kritik
mengenai status nyai yang dipandang rendah daripada istri dari seorang lelaki
pribumi. Baik pernyaian maupun perkawinan bisa menjadi bentuk hubungan yang
dalam hubungan antara nyai dan tuan juga tampak dalam keempat cerita yang
dikaji. Yang hadir di dalam hubungan tersebut ialah bukan tokoh nyai yang
melulu menjadi objek. Pada saat yang bersamaan, ia turut mengalami dirinya
sebagai subjek. Secara umum, seluruh cerita menampilkan imaji nyai yang
yang tidak sederhana dan hitam-putih mengenai pelbagai aspek hubungan antara
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN
di Hindia Belanda sebagai efek dari kekuasaan kolonial. Di dalam situasi tersebut,
seorang nyai menempati posisi yang ambivalen. Di satu sisi sebagai seorang nyai,
ia adalah pasangan bagi lelaki Eropa, namun di sisi lain ia harus selalu
dengan tuannya. Akan tetapi, statusnya sebagai nyai memberinya privilese untuk
pada umumnya. Dengan demikian, pelbagai sisi ambivalensi itu sendiri hadir
menemukan celah untuk menyintas dan melakukan negosiasi terhadap status dan
kondisi yang mereka masing-masing hadapi. Jadi, hubungan nyai dan tuannya
tidaklah tegas dan diametral seperti yang dibayangkan, tetapi selalu ditandai
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mana nyai tersebut tidak sepenuhnya melawan, tetapi juga tidak sepenuhnya
tunduk dan patuh di bawah kekuasaan sang tuan. Nyai selalu menemukan “ruang
Lalu, bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa
kolonial? Di dalam Bab III, telah diuraikan posisi teks Melayu Rendah—termasuk
yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Apabila hal ini
sehari-hari yang dipakai oleh banyak orang dari pelbagai etnis dan ras yang ada di
sastra Melayu Tinggi melalui Balai Pustaka? Mengapa pemerintah kolonial sangat
terganggu dengan cerita nyai dan karya sastra Melayu Rendah pada umumnya
menggunakan konsep ambivalensi ini, mengajukan tesis bahwa kendati tidak ada
perlawanan yang dilakukan secara tegas, ambivalensi justru muncul di dalam teks-
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
teks itu sendiri. Ambivalensi itu dengan derajat yang berbeda-beda merangkum
siasat, negosiasi, dan resistensi yang dilakukan tokoh nyai sebagai subjek
keruntuhannya sendiri. Oleh karena itulah, cerita nyai dan karya sastra Melayu
Rendah yang ditulis baik oleh golongan pribumi, Indo dan peranakan Tionghoa,
ditujukan bagi para pembaca di Hindia Belanda yang sebagian besar adalah
pribumi, dan ditulis dalam medium bahasa yang mudah dipahami banyak orang
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Ashcroft, Bill, Gareth Griffith dan Helen Tiffin. Key Concepts in Post-Colonial
Studies. London: Routledge, 1998.
Budianta, Melani. “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil
dan Wacana (Post-)Kolonial.” Kalam 2 (1994): 56-66.
Cote, Joost dan Loes Westerbeek (ed.). Recalling the Indies Kebudayaan Kolonial
dan Identitas Poskolonial. Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004.
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Foulcher, Keith dan Tonny Day (ed.). Clearing A Space: Postcolonial Readings of
Modern Indonesian Literature. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
----------. “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah
and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies.” Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 149, no. 2 (1993): 274-297.
McClintock, Anne. Imperial Leather: Race, Gender and Sexuality in the Colonial
Conquest. New York: Routledge, 1995.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Meyer, Susan. Imperialism at Home Race and Victorian Women’s Fiction. Ithaca
dan London: Cornell University Press, 1996.
Stoler, Ann Laura. “Making Empire Respectable.” Dalam Situated Lives: Gender
and Culture in Everyday Life, disunting oleh Louise Lamphere, Helena
Ragone, dan Patricia Zavella, 373-399, New York dan London: Routledge,
1997.
----------. Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in
Colonial Rule. Berkeley: University of California Press, 2002.
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
White, Sally. “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist
Islam in Late Colonial Dutch East Indies.” Reviewof Indonesian and
Malaysian Affairs 38, no. 1 (2004): 87-97.
133