Anda di halaman 1dari 145

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

REPRESENTASI PERNYAIAN
DALAM KARYA SASTRA MELAYU RENDAH

STUDI PASCAKOLONIAL MENGENAI CERITA NYAI

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora


(M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Linda
NIM : 05632006

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA


UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PRAKATA

Belajar di IRB bagi saya adalah sebuah perjalanan dan menulis tesis

merupakan bagian dari perjalanan itu. Jika awalnya menulis adalah sebuah

kegemaran yang mengasyikkan maka dalam proses penulisan tesis ini ada saat-

saat di mana menulis menjadi keterpaksaan yang menegangkan. Tak jarang saya

mengalami writer’s block yang membuat saya berhenti sejenak, menghela nafas

untuk kemudian bergerak lagi. Ringkasnya, tesis ini merekam aneka pergulatan

saya yang bergerak dari titik satu ke titik-titik lainnya di dalam sebuah spektrum

hingga akhirnya “menggapai cahaya.”

Di dalam perjalanan yang cukup panjang ini, ada begitu banyak orang

yang terlibat bersama-sama saya, masing-masing mendukung saya dengan

caranya tersendiri. Untuk itu, kepada mereka pertama-tama saya ingin

mengucapkan terima kasih.

1. Mama, Papa, dan Santi, juga Mena dan segenap keluarga yang telah

menyemangati dan menguatkan saya sepanjang penulisan tesis.

2. Ibu dan Bapak di Klepu dengan kasih sayang dan doanya yang tak

kunjung putus, Mba Wati dan Mas Willy di Japos serta nona-nona kecilku:

Fani, Fiera dan Femi, tempat berteduh sejenak di kala lelah dan putus asa.

3. St. Sunardi yang telah begitu sabar dan selalu membangkitkan rasa

percaya diri saya ketika seringkali saya menemui “jalan buntu.” Terima

kasih untuk diskusi, kritik dan bahan-bahan yang begitu berharga. Juga

vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Katrin Bandel, sahabat dan guru, yang selalu bersedia menjadi tempat

berbagi gagasan dan perasaan tatkala saya bimbang dan ragu. Terima kasih

untuk bahan-bahan yang amat membantu di awal penulisan tesis,

masukan-masukan, juga obrolan ringan dan diskusi yang selalu membawa

pencerahan. Tanpa Mba Katrin sulit dibayangkan tesis ini menemukan

wujudnya yang sekarang.

4. Segenap dosen pascasarjana: Robert H. Imam, Tri Subagya, George

Aditjondro, Budiawan, Nicholas Warouw, Romo G. Subanar, Romo A.

Sudiarja, Romo Hary Susanto, Romo Agung Wijayanto, Romo Baskoro T.

Wardoyo, Novita Dewi, Stefani Haning, Devi Ardhiani, beserta para dosen

tamu. Terima kasih telah menjadi oase intelektual yang menyegarkan

selama saya berkelana di IRB.

5. Asia Research Institute – National University of Singapore (NUS) yang

telah memberikan kesempatan residensi selama tiga bulan di Singapura

dan akses terhadap pelbagai sumber pustaka yang amat membantu

penelitian ini. Secara khusus, terima kasih kepada mentor saya, Dr. Jan

van der Putten, serta Dr. Kay Mohlman yang memberikan pengetahuan

baru mengenai penulisan akademis dalam bahasa Inggris. Juga teman-

teman yang saling menyemangati, teristimewa Tessa Guazon, Yustina dan

Kang Herry.

6. Teman-teman seperjuangan: Mba Yeni, Iyus, Kak Aleida, Sujud, Bang

Samsul, Mas Yudi, dan Mas Hagung. Juga anak-anak IRB lintas generasi:

vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Mba Melati, Mba Iim, Mas Ferdi, Mas Dedi, Retno, Hasan, Mba Dona,

dan teman-teman lainnya yang telah turut memberikan berbagai dukungan.

7. Mba Henki di sekretariat IRB yang selalu siap membantu, juga teman-

teman di perpus pasca: Lia, dkk.

8. Dosen-dosen EEC dan teman-teman belajar: Siska, Diana, Wiro, Rani,

Angga, Mail, Mas Aan, Ade, dan lainnya.

9. Teman-teman di Hidup, khususnya Bunda Sulis, Mba Etty, dan Pak Sihol.

10. Teman-teman di kosan lintas generasi: Agek, Echa, Yudha, Yuli, Meita,

Yoe, Vitha, Ifen, Jie Ayu, Lia, Elen, Keling, Emichta dan semua. Juga

kepada Tante dan Om Isnu, Gede dan Detta, serta Yu Mur.

11. Teman-teman di Aksara-IVAA dan para mentor yang telah berproses

bersama selama beberapa bulan dan memperluas wawasan saya tentang

dunia seni.

12. Edwid yang setia menemani di hari-hari yang sulit baik dengan rumpian

maupun diskusi seriusnya.

13. Sahabat-sahabat: Maman dan Budi (what a long journey!), Elis, Hendar,

Mas Agus dan Gangan.

14. Mba Yani yang selalu bersedia diganggu dengan curhat-curhat saya.

15. Mba Kristin dan Mas Priyo di Bandung, juga Mba Maria, Jenong dan Ibu-

Bapak Pdt. Poniman di Jember.

16. Segenap karyawan di lingkungan kampus Sanata Dharma.

viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17. Invisible assistants in these years: Mba-Mba dan Mas-Mas di warung-

warung makan, bis-bis kota, tempat fotokopi yang semuanya telah turut

melancarkan segala pekerjaan saya.

18. The last but not the least, this work is dedicated to the letterblind millions

who have so much past but so very little history.

ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Persetujuan pembimbing ii
Lembar pengesahan iii
Keaslian karya iv
Lembar persetujuan publikasi karya ilmiah v
Prakata vi
Daftar isi x
Abstrak xii

Bab I Pendahuluan
1. Latar belakang 1
2. Perumusan masalah 10
3. Tujuan penelitian 11
4. Relevansi penelitian 11
5. Tinjauan pustaka 11
6. Landasan teori 16
7. Sumber data dan metode penelitian 19
8. Sistematika penulisan 19

Bab II Latar belakang sosio-historis pernyaian


1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC 23
1. 1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi 23
1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan 26
2. Berlanjutnya pernyaian sebagai necessary evil 28
2.1. Pergundikan di perkebunan 29
2.2. Pergundikan di barak 32
3. Tentangan terhadap pergundikan 33
3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak 35
3.1.1. Di Belanda 35
3.1.2. Di Hindia Belanda 37
4. Berakhirnya pernyaian 42

Bab III Konteks sastra masa kolonial


1. Bahasa dan sastra Melayu Rendah 46
1.1. Sekilas tentang bahasa Melayu Rendah 46
1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar 51
1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya 54
1.4. Cerita tentang pernyaian 59
2. Politik bahasa pemerintah kolonial 60
2.1. Pendirian Commissie vor Volkslectuur 61
2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar 68

Bab IV Ambivalensi pascakolonial dalam cerita nyai


1. Sinopsis 73
2. Gender dan seksualitas 82

x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3. Ras 94
4. Perkawinan dan pernyaian 109
5. Hubungan nyai dan tuan 119
6. Kesimpulan 124

Bab V Kesimpulan 127

Daftar pustaka 130

xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji empat cerita yang sering disebut “cerita nyai,” yaitu
cerita yang menampilkan tokoh nyai sebagai tokoh utama cerita, dan ditulis dalam
bahasa Melayu Rendah pada masa kolonial Hindia Belanda. Keempat cerita yang
dikaji adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H.
Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat
Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti. Cerita-cerita ini termasuk karya sastra
yang dipinggirkan oleh Balai Pustaka—institusi yang didirikan pemerintah
kolonial untuk menyediakan bacaan rakyat yang bermutu bagi masyarakat
pribumi. Penelitian ini akan menganalisis representasi pernyaian dalam karya
sastra Melayu Rendah ditinjau dari berbagai aspek, yakni aspek gender dan
seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian, lalu
menunjukkan posisi cerita tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa
kolonial.
Untuk keperluan tersebut, tesis ini pertama-tama berusaha mengeksplorasi
latar belakang sosio-hostoris fenomena pernyaian yang muncul seiring dengan
masuknya VOC di Nusantara dan dilanjutkan dengan periode kolonisasi.
Kemudian, tesis ini juga menjelaskan konteks keberadaan cerita nyai sebagai
bagian dari korpus sastra Melayu Rendah di tengah-tengah politik bahasa
pemerintah kolonial.
Tesis ini menunjukkan adanya representasi tentang pernyaian yang
beragam dan bentuk-bentuk ambivalensi yang berbeda-beda di dalam setiap
cerita. Hubungan antara tuan (penjajah) dan nyai (terjajah) pun tidaklah
sederhana, tetapi kompleks dan dinamis karena selalu ditandai ambivalensi.
Karena ambivalensi inilah, kendati cerita-cerita tersebut tidak menunjukkan
perlawanan yang tegas, Balai Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah
kolonial meminggirkan “cerita nyai” tersebut.

xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Dalam perkuliahan “Sastra Etnik” saya berkenalan dengan khazanah sastra

yang ditulis dalam bahasa Melayu lingua franca,1 atau sering juga disebut Melayu

Rendah.2 Melayu lingua franca dibedakan dengan bahasa Melayu baku, yakni

Melayu Tinggi yang diakui sebagai bahasa Melayu standar oleh pemerintah

Hindia Belanda kala itu. Bahasa Melayu jenis ini mulanya merupakan alat

komunikasi lisan antar pelbagai bangsa dan suku di Nusantara. Pada

perkembangan selanjutnya, ia dipergunakan dalam surat kabar dan berbagai media

tertulis lainnya.

Yang mengherankan ialah kenyataan bahwa karya-karya sastra berbahasa

Melayu Rendah ini ternyata tidak mendapat pengakuan dalam sejarah sastra

Indonesia modern. Padahal, ada begitu banyak karya sastra yang ditulis baik oleh

kalangan Pribumi, peranakan Tionghoa, maupun peranakan Eropa/Belanda.3

Menurut penemuan peneliti Perancis Claudine Salmon, karya yang ditulis

1
Istilah Melayu lingua franca ini diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram menyebut
karya sastra yang memakai bahasa ini sebagai sastra Melayu lingua franca, sastra asimilatif, atau
sastra pra-Indonesia. Ihwal lebih lanjut seputar persoalan ini bisa dibaca dalam Tempo Doeloe
Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 9-11. Akan tetapi, dalam bagian
selanjutnya dalam tulisan ini saya akan menggunakan Melayu Rendah karena lebih populer
dipakai dalam wacana sastra secara umum meskipun penamaan istilah ini juga problematis.
2
Lihat Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004).
3
Toer, Tempo Doeloe, 2.

1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

peranakan Tionghoa saja mencapai 3.005 karya dari 806 penulis.4 Ditinjau dari

aspek isi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa karya sastra Melayu

Rendah ini sudah memiliki ciri yang membedakannya dengan karya sastra

tradisional-konvensional lama, yakni pernyataan diri pribadi (self expression).5

Bisa dikatakan, kehadiran karya-karya ini memberi dasar bagi lahirnya sastra

Indonesia pada periode selanjutnya.

Di sini perlu disimak juga bagaimana situasi masyarakat pada masa

kolonial Hindia Belanda. Secara umum masyarakat—khususnya di daerah

perkotaan—yang terdiri dari orang Tionghoa dan Asia lainnya, Indo (peranakan

Eropa-Asia) dan peranakan Tionghoa hidup berdampingan dengan bangsa Eropa.

Berbagai kelompok yang ada ini membentuk sebuah masyarakat majemuk yang

dinamis. Dalam situasi semacam itu, orang pun turut menciptakan identitasnya,

baik yang terbentuk karena ras, gender dan sedikit-banyak kelas sosial. Persoalan

identitas ini pun tercermin dalam berbagai karya sastra yang lahir selama kurun

waktu tersebut.

Dalam khazanah sastra yang merepresentasikan kehidupan di Hindia

Belanda, persoalan jenis bahasa yang digunakan sang pengarang dalam menulis

pun menjadi penting. Maka, perlu dibedakan antara teks yang ditulis dalam bahasa

Belanda dan bahasa Melayu.6 Karya berbahasa Belanda umumnya diterbitkan di

4
Claudine Salmoon mencatat 3005 karya tersebut terdiri dari 2.757 karya dari penulis yang
teridentifikasi serta 248 karya dari penulis anonim. Keseluruhan karya tersebut mencakup 73
naskah drama, 183 puisi dalam bentuk syair, 233 terjemahan karya berbahasa Eropa, 759 karya
terjemahan karya berbahasa Tionghoa, serta 1.398 novel dan cerita pendek. Lihat Claudine
Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional Annotated Bibliography
(Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme, 1981), 10.
5
Toer, Tempo Doeloe, 12.
6
Tineke Hellwig, “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity,” Archipel 63 (2002): 153-
172.

2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Belanda dengan golongan pembaca yang sama sekali berbeda dengan para

pembaca karya sastra berbahasa Melayu. Selain itu, pengarang yang menulis

dalam bahasa Belanda sering dianggap menyuarakan sudut pandang penjajah (the

colonizer) dengan titik berdiri golongan penguasa Eropa kulit putih yang superior.

Para pengarang ini mengikuti tren penulisan naturalistik yang bermula di Perancis

sebagaimana dipelopori Emile Zola. Karya-karya pengarang berbahasa Belanda

ini, mulai dari novel, cerita, drama hingga puisi, lazim dibaca dan dikaji dalam

lingkungan akademi di Belanda.

Karya berbahasa Melayu dalam kurun waktu yang sama masih jarang

dikaji. Cerita dan syair yang juga mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari ini

biasanya disebut sastra populer Melayu Rendah, karena merujuk pada medium

bahasa yang dipakai dalam penuturannya.7 Karya-karya berbahasa Melayu

Rendah kerap disubordinasikan dari karya sastra berbahasa Melayu Tinggi

(klasik) yang direstui pemerintah sehingga luput dari kajian intelektual. Para

penulis karya berbahasa Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan

menekankan bahwa cerita yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar-

benar terjadi. Memang sumber cerita pada masa itu biasanya berasal dari surat

kabar dan sebagian besar pengarangnya adalah para wartawan. Kebanyakan cerita

mengisahkan kasus kriminal, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, dan

sebagainya.

7
Pembedaan Melayu Rendah versus Melayu Tinggi adalah persoalan politis. Bahasa Melayu
Tinggi sengaja dipakai pemerintah kolonial untuk membakukan bahasa Melayu yang selanjutnya
dipakai di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pada akhirnya, tepatnya pada 14
September 1908, didirikan juga Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur—yang
kelak menjadi Balai Pustaka—untuk memproduksi bacaan yang menunjang pengajaran di sekolah.

3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Cerita-cerita tentang nyai termasuk salah satu tema yang kerap diangkat,

karena pernyaian memang merupakan kondisi yang riil dalam kehidupan sehari-

hari masyarakat kolonial. Di antaranya ialah Tjerita Njai Dasima (G. Francis),

Tjerita Nji Paina (H. Kommer), Tjerita Njai Ratna (Raden Mas Tirto Adhi

Soerjo), Boenga Roos dari Tjikembang (Kwee Tek Hoay), Njai Soemirah (Thio

Tjhin Boen), dan Hikajat Siti Mariah (Haji Mukti). Balai Poestaka sebagai alat

sensor pemerintah berupaya meminggirkan kisah-kisah nyai ini dan

menggolongkannya sebagai “roman picisan” karena dianggap tidak bernilai sastra

dan tidak mendidik. Di antaranya dengan mempromosikan buku-buku terbitan

Balai Pustaka yang dikampanyekan sebagai bacaan “bermutu.” Banyaknya cerita

yang bertutur tentang kisah nyai ini membentuk sebuah genre tersendiri dalam

khazanah sastra pra-Indonesia, yakni genre cerita nyai.8

Sebagaimana telah disebutkan di atas, struktur masyarakat pada masa

kolonial dibentuk berdasarkan ras. Golongan Eropa Totok dan Indo menempati

kelas satu, diikuti keturunan Tionghoa dan Arab sebagai warga kelas dua dan

masyarakat Pribumi sebagai kelas terbawah dari stratifikasi sosial. Golongan

Pribumi masih terbagi lagi, yakni golongan priyayi dan kelompok rakyat jelata

yang terpuruk pada posisi paling bawah dalam stratifikasi ini.

Diskriminasi rasial ini pada akhirnya melahirkan serangkaian konsekuensi

yang menyudutkan masyarakat Pribumi. Segala bentuk pelayanan publik mulai

dari pendidikan, layanan sosial, pengadilan, pengaturan upah kerja dan lain

sebagainya diatur menurut stratifikasi tadi. Selain itu, kolonialisme menggandeng


8
Setidaknya istilah ini ditemukan dalam kajian Tineke Hellwig sebagaimana dikutip Thomas
Hunter,”Indo as Other” dalam Clearing A Space: Postcolonial Readings of Indonesian Literature,
disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day (Leiden: 2002), 116.

4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

feodalisme, khususnya di Jawa, untuk makin memantapkan penindasannya kepada

kaum bumiputera. Pejabat kolonial menggunakan tangan pejabat priyayi untuk

memungut pajak dari rakyat. Para pejabat yang berhasil melakukan tugasnya ini

dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah kolonial.9 Tak ayal, para penguasa lokal

ini pun tak segan-segan menekan rakyatnya demi “mencari muka” di depan

kekuasaan kolonial.

Adapun Tanam Paksa (Cultuurstelsel) bermula dari kebangkrutan

perekonomian negeri Belanda akibat membiayai upaya menumpas pelbagai

pemberontakan dan perang di negeri jajahan. Di antaranya, Perang Diponegoro

dan Perang Aceh yang berlangsung hingga puluhan tahun. Untuk mengatasi

masalah ekonomi di dalam negeri Belanda, pemerintah kolonial di Hindia

mewajibkan rakyat jajahan membayar pajak sebanyak kira-kira seperlima dari

luas tanah di seluruh desa di Jawa.10

Penderitaan rakyat negeri jajahan yang luar biasa memunculkan kecaman

dari golongan liberal. Seiring dengan keadaan ini, kaum borjuis di Belanda

mendesak dihapuskannya monopoli pemerintah dan digantikan dengan sistem

persaingan bebas ala kapitalisme liberal yang tengah marak di Eropa. Selain itu,

para borjuis ini menuntut agar pihak swasta diizinkan mengelola perkebunan di

negeri jajahan. Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang disahkan pada 9

April 1870 menjawab persoalan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam

Tanam Paksa dan membuka peluang bagi para investor asing (baik Belanda

maupun golongan Eropa lainnya).


9
Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma 10 (Oktober
1994), 22.
10
Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, 22.

5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pada kurun waktu inilah lahir perkebunan-perkebunan swasta yang

kemudian membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain mempekerjakan rakyat

bumiputra, perusahaan swasta pun mendatangkan orang-orang Eropa. Sebagian

besar di antaranya laki-laki, baik yang sudah menikah maupun lajang. Akan

tetapi, kebanyakan pria Eropa yang sudah menikah tidak membawa serta

keluarganya karena kondisi ekonomi yang belum memungkinkan. Karena

sedikitnya jumlah perempuan Eropa di negeri jajahan dibandingkan dengan

jumlah laki-laki yang datang, pergundikan atau pernyaian (concubinage)11 makin

meningkat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyaian telah menjadi bagian dari sejarah

yang membentuk masa lalu kolonial. Akan tetapi, sebagai sebuah kenyataan

sosial, ia seolah-seolah disangkal keberadaannya karena kepentingan golongan

yang berkuasa. Dalam hal ini pemerintah kolonial di masa lalu sangat

berpengaruh dalam “membungkam” keberadaan institusi yang bisa jadi

mencoreng citra orang-orang Eropa sebagai ras yang superior ini—gagasan yang

telah menjadi salah satu alasan pembenaran bagi kolonialisme. Selain itu,

pernyaian yang merupakan hubungan “tidak resmi” atau “ilegal” ini selain

dipandang “tidak pantas” dari segi moral juga membawa berbagai akibat yang

cukup rumit. Misalnya saja, tumbuhnya golongan masyarakat baru, yakni orang-

orang Indo, sebagai hasil dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan pribumi

tersebut. Meskipun demikian, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap

11
Tineke Hellwig juga memakai istilah nyai-hood untuk fenomena di Hindia Belanda ini. Lihat
Hellwig, “Menguasai Tubuh Perempuan”, Basis 09-10 (September-Oktober 2003): 60.

6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pernyaian pada masa itu amatlah pragmatis sehingga berubah-ubah sesuai dengan

kepentingan dan tuntutan keadaan pada waktu itu.

Fenomena pernyaian pun mengalami perubahan bentuk dari waktu ke

waktu. Awalnya, kata “nyai”12 merujuk pada perempuan yang tinggal di kediaman

laki-laki Eropa sebagai pengurus rumah tangga yang mengatur segala kebutuhan

tuannya. Seorang nyai biasanya hidup dengan seorang lelaki yang kedudukannya

terpandang dalam masyarakat kolonial, baik pejabat kolonial maupun kalangan

swasta, antara lain opsiner dan (bahkan) administratur perkebunan. Namun,

fenomena pernyaian ini juga terjadi di kalangan Eropa dari strata ekonomi bawah,

khususnya para tentara yang hidup di barak/tangsi maupun rumah-rumah bedeng

di daerah perkebunan. Tak jarang seorang nyai juga hidup bersama dengan

saudagar Cina yang kaya, pejabat kolonial berpangkat rendah, ataupun pedagang

Cina biasa.13

Sampai pada usia tertentu, sang tuan akan menikahi perempuan

sebangsanya yang dianggap pantas menjadi pendamping hidup dan mampu

melaksanakan peran sosial di tengah pergaulan masyarakat kolonial. Nyai tersebut

pun diantar pulang ke tengah keluarganya dengan diberi semacam pesangon, baik

berupa uang, rumah, sawah, dan sebagainya. Namun, bisa terjadi seorang nyai

lantas dinikahi secara resmi oleh tuannya. Status para nyai semacam ini biasanya

12
Asal-usul kata “nyai” ini belum diketahui secara pasti karena kata tersebut bisa ditemui dalam
berbagai bahasa di Nusantara. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan saya uraikan pada Bab
2.
13
Sally White, “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist Islam in Late
Colonial Dutch East Indies” dalam Reviewof Indonesian and Malaysian Affairs 38, 1 (2004): 88.

7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pribumi lainnya.14 Pada

situasi sebaliknya, seorang nyai yang ditinggalkan oleh tuannya seringkali justru

makin rendah statusnya.

Pandangan pemerintah kolonial tentang pergundikan mengalami

perubahan dari waktu ke waktu. Ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah. Salah satu kasus, pergundikan di kalangan tentara Eropa

tidak mendapat halangan berarti karena alasan-alasan praktis. Para tentara yang

diizinkan menikah adalah mereka yang sudah memiliki pangkat yang cukup tinggi

sehingga secara ekonomis cukup mapan untuk membiayai hidup keluarganya.

Selain itu, tentara yang berstatus tidak menikah relatif lebih mudah jika harus

sering dimutasi dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, masalah pergundikan ini sempat

diperdebatkan oleh berbagai kalangan, baik di negeri Belanda maupun di negeri

jajahan Hindia Belanda. Penentangnya terutama dari kalangan agamawan yang

mengemukakan dalih moral. Bagi pemerintah kolonial pun, pernyaian lambat laun

dipandang tidak menguntungkan karena perkawinan campuran ini menghasilkan

generasi baru Indo. Status anak hasil percampuran darah ini tidak jelas. Mereka

sering dianggap sebagai golongan yang “tanggung,” bukan pribumi maupun

Eropa. Lebih lanjut, kehadiran kelompok baru ini dikhawatirkan akan perlahan-

lahan menggerogoti kekuasan pemerintah kolonial. Ini antara lain muncul dalam

bentuk meluasnya kemiskinan di kalangan Indo. Memang pada akhirnya,

14
Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perempuan yang menjadi nyai
statusnya lebih baik daripada perempuan pribumi lainnya mengingat pelbagai akses yang
dimungkinkan oleh statusnya tersebut.

8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

fenomena pergundikan menyurut seiring dengan didatangkannya banyak

perempuan kulit putih ke Hindia Belanda sekitar peralihan abad ke-20.

Sebagaimana disebutkan di atas, karya sastra masa kolonial khususnya

yang berbahasa Melayu Rendah masih jarang dikaji, terutama oleh intelektual

Indonesia sendiri. Lebih jarang lagi jika temanya spesifik seperti pernyaian. Saya

pribadi tertarik karena alasan berikut. Pernyaian merupakan sisi ambivalen dari

kolonialisme yang terlupakan atau sengaja ditutup-tutupi. Meskipun demikian,

jejaknya bisa dilacak dalam berbagai karya sastra populer pada masa kolonial

yang berbahasa Melayu Rendah dan ini tidak ditemui dalam berbagai terbitan

Balai Pustaka. Dalam karya tersebut, para nyai digambarkan secara beragam—

mulai dari gambaran yang sangat “jahat,” seperti misalnya berniat merongrong

harta tuannya semata hingga sangat “baik,” yakni sebagai hamba yang tekun, baik

hati, dan patuh terhadap segala perintah tuannya. Akan tetapi, ada pula nyai yang

cerdas, yang belajar banyak dari budaya tuan kolonial dan dalam arti tertentu

sudah maju untuk ukuran zamannya. Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta

Toer memunculkan Nyai Ontosoroh yang mengelola perkebunan dan justru

tuannya sangat bergantung padanya. Sementara itu Tirto Adhi Soerjo dalam cerita

Boesono menggambarkan seorang nyai yang pintar dan dapat diajak berdiskusi

tentang seluk-beluk penerbitan oleh Boesono, seorang mahasiswa kedokteran

STOVIA yang bekerja dalam dunia pers.

Nasib para perempuan yang menjadi nyai ini bahkan tidak pernah

mendapat sorotan dari tokoh perempuan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi

pada zamannya, yakni Kartini. Padahal, hingga derajat tertentu nyai mengalami

9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penindasan, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang

diskriminatif. Ketika ia memiliki anak hasil hubungannya dengan laki-laki Eropa,

anak tersebut diakui statusnya sebagai orang Eropa. Sementara sang nyai yang

melahirkan dan mengasuh tidak memperoleh hak apa-apa. Bisa dikatakan bahwa

figur nyai telah diasingkan dari sejarah. Yang diakui sebagai tokoh sejarah dan

dipahlawankan ialah golongan terdidik dari kalangan priyayi yang “bersih”, tidak

melakukan skandal—apalagi dalam perkara seksual. Maraknya studi

pascakolonial belakangan ini membuka celah baru bagi pengkajian jejak-jejak

perjumpaan kolonial, khususnya sebagaimana yang terekam dalam teks-teks

sastra.

2. Perumusan masalah

Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah?

Persoalan tersebut dapat diuraikan ke dalam beberapa pokok persoalan, antara

lain:

1. Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah

ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan

tuan, serta perkawinan dan pernyaian?

2. Bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa

kolonial?

10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3. Tujuan penelitian

Sesuai dengan pokok-pokok persoalan di atas, penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah

ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan

tuan, serta perkawinan dan pernyaian.

2. Menganalisis posisi cerita nyai tersebut dalam konteks kesusastraan pada

masa kolonial.

4. Relevansi penelitian

Adapun relevansi penelitian ini ialah:

1. Bagi kajian sastra di Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi, khususnya mengenai karya sastra berbahasa

Melayu Rendah yang selama ini belum banyak dikaji.

2. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi terhadap kajian

budaya, khususnya studi poskolonial, serta kajian gender.

5. Tinjauan pustaka

Sejauh penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat beragam

kajian tentang karya sastra Melayu Rendah yang bertema nyai, baik berupa artikel

jurnal, esai, tesis maupun buku. Tineke Hellwig, Indonesianis yang banyak

meneliti persoalan sastra Indonesia, dalam tulisannya “Njai Dasima, A Fictional

11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Woman”15 membahas bagaimana karakter perempuan berfungsi di dalam suatu

cerita dan bagaimana karakter-karakter tersebut direpresentasikan. Cerita yang

diteliti ialah Tjerita Njai Dasima. Di dalam tulisannya tersebut, Hellwig

membandingkan antara Tjerita Njai Dasima dalam bentuk cerita (Tjerita Njai

Dasima. Soewatoe korban dari para pemboedjoek) yang ditulis oleh G. Francis

(1896) dengan bentuk syair (“Sair tjerita di tempo Tahon 1813 soeda kadjadian

di Batawi, terpoengoet tjeritanja dari Boekoe Njaie Dasima”) yang masing-

masing ditulis oleh O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok (1897). Tulisan itu

menyimpulkan bahwa tokoh Nyai Dasima justru hanya sedikit berperan di dalam

cerita dan ini sangat kontras dengan tokoh Samiun yang berdasarkan konstruksi

cerita ditempatkan secara sentral.

Berbeda dengan studi Hellwig tentang cerita nyai yang mengisahkan

gundik pribumi yang tinggal dengan lelaki Eropa, kajian H.M.J Maier dalam

“Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the

Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies”16 mengisahkan nyai yang

tinggal dengan lelaki Tionghoa. Dengan membandingkan kedua bagian cerita

tersebut dengan konteks historis yang melingkupinya, Maier menggarisbawahi

adanya perubahan kesadaran akan identitas kecinaan di kalangan komunitas

peranakan Cina antara 1890 hingga 1920. Kecinaan dalam hal ini tidak

didefinisikan dalam kerangka perbedaan budaya, bahasa, maupun rasial, tetapi

15
Tineke Hellwig, “Njai Dasima, A Fictional Woman,” Review of Indonesian and Malaysian
Affairs 26, 1 (Winter 1992), 1-20.
16
HMJ Maier, “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the
Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 149, 2 (1993), 274-297.

12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam kerangka sikap yang baik dan pantas: orang-orang Cina lebih kuat dan

gigih daripada kaum pribumi yang kasar, lemah, mudah takluk pada paksaan.

Dalam esainya, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels

by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum,”17 Gerard Termorshuizen juga

melakukan perbandingan antara Nyai Ontosoroh, tokoh nyai dalam Bumi Manusia

yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh-tokoh nyai dalam karya P.A.

Daum. Tokoh nyai pertama dalam karya Daum, Yps Nesnaj, berasal dari novel

Nummer Elf dan memenuhi stereotipe negatif nyai dalam sastra kolonial: sensual,

jalang, tidak bisa dipercaya dan tamak. Sementara, tokoh nyai lainnya, Nyai

Peraq, dalam novel Aboe Bakar justru memiliki kemiripan dengan Nyai

Ontosoroh yang mandiri secara ekonomi. Di dalam tulisannya ini, Termorshuizen

lebih berfokus pada deskripsi tokoh-tokoh nyai.

Sementara itu, Brenda Fane dalam tulisannya “Transgressing the

Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai

Stories”18 mengulas hubungan antara perempuan yang menjadi nyai melintasi

batas-batas bangsa, suatu konsep yang pada waktu itu antara lain mencakup adat

dan agama. Ketidaktaatan pada orang tua—yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh

ayah—pada akhirnya membawa kesusahan ataupun penyakit pada perempuan

tersebut. Akan tetapi, ini terjadi sebagai ujian atas cinta nyai tersebut pada

17
Gerard Termorshuizen, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by
Pramoedya Ananta Toer and PA Daum” dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to
Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering (Townsville: James
Cook University, 1995), 55-61. PA Daum sendiri adalah seorang penulis Belanda yang menulis
karya-karya tentang kehidupan di Hindia Belanda pada masa kolonial.
18
“Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai
Stories,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 31, 2 (December 1997), 47-61.

13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tuannya. Jika hubungan dengan tuannya itu ia lakukan atas dasar cinta maka ia

akan merasakan kebahagiaan dan bisa bersatu kembali dengan keluarganya.

Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and

Film”19 menganalisis empat versi dari cerita tentang Nyai Dasima. Keempat versi

tersebut antara lain narasi berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh G. Francis

(1896), narasi berbahasa Belanda karya A. Th. Manusama (1926), narasi yang

ditulis dalam dialek Betawi oleh SM Ardan (1965) serta film yang diproduksi

Chitra Dewi Productions (1970). Dari pembacaannya terhadap keempat karya

tersebut, Taylor mengungkapkan bahwa seluruh versi tersebut menunjukkan

keterikatan historis karya dengan konteks waktu, tempat dan kelas. Dalam cerita

versi Francis dan Manusama, dapat dibaca bagaimana penjajah dan terjajah saling

memandang dan dengan demikian juga membuka peluang bagi para pembaca

untuk melihat persoalan-persoalan yang lebih luas semisal identifikasi agama dan

kelompok. Sementara itu, versi Ardan dan Chitra Dewi yang ditulis pada masa

sesudah kemerdekaan mengkonstruksi identitas kelompok berdasarkan ikatan

pada bangsa (nation) beserta idealisasi tentang tatanan masyarakat yang

dibayangkan.

Kajian penting lainnya dilakukan oleh Katrin Bandel dalam esainya “Nyai

Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial.”20 Di dalam

tulisannya itu, ia membandingkan antara tokoh Nyai Dasima dalam Tjerita Njai

19
Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film,” dalam
Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears (Durham and London: Duke
University Press, 1999), 225-248.
20
Katrin Bandel, “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial” dalam
Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 31-44.

14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dasima karya G. Francis dan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya

Pramoedya Ananta Toer. Bandel menunjukkan hubungan intertekstual di antara

kedua cerita tersebut dan bagaimana dengan mengubah beberapa hal, antara lain

sudut pandang penceritaan dan penokohan, Pramoedya berhasil menghadirkan

sebuah cerita nyai yang berbeda, yang memuat kritik terhadap feodalisme Jawa

dan kolonialisme, serta ambivalensi pengalaman pascakolonial.

Jika seluruh kajian yang saya sebutkan terdahulu berupa esai maka

penelitian yang relatif mendalam oleh Tineke Hellwig dan Brenda Fane dapat

menjadi titik berangkat untuk penelitian lanjutan. Dalam bukunya, Adjustment

and Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies (1994),

Hellwig membahas imaji perempuan dalam karya sastra yang ditulis baik dalam

bahasa Melayu Rendah maupun dalam karya berbahasa Belanda pada masa

kolonial. Di dalamnya termasuk cerita-cerita yang mengisahkan tentang

kehidupan nyai. Akan tetapi, analisisnya ini masih sangat umum dan belum secara

khusus berfokus pada tokoh nyai itu sendiri.

Karya lainnya adalah penelitian Brenda M. Fane, Love and Lust in the

Indies: An Analysis of the Representation of Njais in a Selection of Pre-World

War II Malay Language Literature, yang merupakan tesisnya (yang belum

diterbitkan) untuk meraih gelar Master of Arts dari Australian National University

(1995). Penelitian Fane ini berfokus pada relasi gender dengan melihat konstruksi

nyai di dalam diskursus komunitas/masyarakat dan keluarga. Fane menggunakan

pendekatan pascastrukturalis, antara lain Jacques Derrida (penggunaan grammar),

Michel Foucault (sejarah diskursus) dan Jacques Lacan (psikoanalisis). Dalam

15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

analisis tekstualnya, Fane meninjau rezim kekuasaan dan pengetahuan yang

diungkapkan melalui penggunaan penokohan/karakterisasi, plot, tema dan bahasa

yang digunakan pengarang untuk mendefinisikan perempuan.

Kedua penelitian ini membahas imaji yang umum tentang sosok nyai.

Dalam penelitian Brenda M. Fane sudah ada upaya untuk melihat persoalan

gender dari teks yang diteliti dengan pendekatan pascastrukturalis. Penelitian

dengan pendekatan yang berbeda, yakni dengan pendekatan pascakolonial

sebagaimana yang akan dilakukan penelitian ini menawarkan sudut pandang

interpretasi yang berbeda dari berbagai penelitian yang sebelumnya sudah

dilakukan terhadap cerita-cerita tentang pernyaian.

Dari seluruh karya yang telah saya sebutkan, hanya tulisan Katrin Bandel

yang memiliki perhatian yang agak mirip dengan penelitian ini. Hal itu terutama

karena kajian tersebut menggunakan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang

digunakan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saya berupaya untuk lebih

memfokuskan pembahasan cerita nyai dikaitkan dengan konteks sosio-historis

pernyaian itu sendiri dan bahasa Melayu Rendah sebagai medium penulisan

cerita-cerita nyai yang saya teliti. Dengan demikian, ditinjau dari fokus penelitian

dan pendekatan, saya berupaya menawarkan suatu wilayah baru untuk mendekati

teks-teks Melayu Rendah, dalam hal ini cerita nyai.

6. Landasan teori: pendekatan pascakolonial

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan pascakolonial. Istilah

“pascakolonial” sendiri memang mengundang perdebatan panjang. Sebagaimana

16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

disebutkan Melani Budianta, hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama,

problematisnya konsep-konsep dasar dari teori pascakolonial itu sendiri, antara

lain oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Kedua, terminologi

“pascakolonial” yang menggabungkan kata “pasca” dan “kolonialisme.”21 Namun

demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial

adalah pendekatan pascastruktural yang diterapkan pada topik khusus.22 Kendati

meminjam pelbagai teori dan konsep dari pendekatan pascastruktural, pendekatan

ini justru secara bersamaan merupakan tanggapan atas ketidakpuasan para

intelektual dari Dunia Ketiga terhadap teori-teori pascastruktural, terutama yang

digagas Derrida dan Barthes.23

Tony Day dan Keith Foulcher mengemukakan bahwa pendekatan

pascakolonial yang diterapkan dalam kajian sastra berupaya mengungkap jejak-

jejak perjumpaan kolonial, konfrontasi ras, bangsa dan budaya di bawah kondisi-

kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara, yang seluruhnya turut membentuk

pengalaman manusia sejak awal mula imperialisme Eropa.24 Dengan demikian,

pendekatan pascakolonial di sini bisa dilihat sebagai:

“suatu strategi membaca yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang


membantu mengidentifikasi jejak-jejak kolonialisme, serta menilai sifat
dan signifikansi berbagai efek tekstual dari jejak-jejak ini;25
sebuah pendekatan kritis untuk memahami efek-efek yang masih
berlangsung dari kolonialisme dalam teks;26

21
Lebih lanjut lihat Melani Budianta, “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial,” dalam
Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ (Yogyakarta: Kanisius
dan Lembaga Studi Realino, 2008), 15-31.
22
Melani Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana
(Post-) Kolonial,” Kalam 2 (1994): 62.
23
Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang,” 62.
24
Tony Day dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature
Introductory Remarks,” dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian
Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day (Leiden: KITLV Press, 2002), 2.
25
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 2.

17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pembacaan kritis atas berjalin kelindannya beragam kekuatan (sebagian


global, sebagian lainnya lokal), yang memberi bentuk dan makna terhadap
teks-teks sastra.”27

Singkatnya, bisa dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial menawarkan

paradigma, metode dan alat bantu untuk memahami hubungan-hubungan

kekuasaan yang kurang bisa dikaji dengan teori lainnya.

Dalam penelitian ini, saya akan meminjam salah satu konsep penting dari

teori pascakolonial, yakni ambivalensi yang digagas oleh Homi K. Bhabha.

“Ambivalensi” yang diadaptasi oleh Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana

kolonial, menggambarkan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan

(attraction toward) dan penolakan (repulsion from) yang menandai hubungan

antara penjajah dan terjajah. Hubungan tersebut bersifat ambivalen karena subjek

terjajah tidaklah pernah hanya semata-mata dan sepenuhnya menentang

penjajahnya. Menurut Bhabha, keterlibatan (complicity) dan resistensi (resistance)

merupakan relasi yang dialami oleh subjek kolonial secara berubah-ubah.28 Selain

itu, ambivalensi juga menandai cara bagaimana wacana kolonial terhubung

dengan subjek terjajah. Wacana tersebut secara serentak berciri eksploitatif dan

memberdayakan, atau menampilkan dirinya seolah-olah memberdayakan, pada

saat yang bersamaan.29 Dengan konsep “ambivalensi” ini saya berupaya

menunjukkan bahwa hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) tidaklah

sederhana dan diametral di mana tokoh nyai melulu menjadi objek kekuasaan dari

26
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3.
27
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3.
28
Bill Ashcroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies (London:
Routledge, 1998), 12-13.
29
Ashcroft, Griffith dan Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies, 13.

18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sang tuan. Ada saat-saat tertentu di mana nyai juga menjadi subjek yang aktif

meskipun berada di bawah bayang-bayang kekuasaan itu. Demikian pula dengan

wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga bisa disiasati untuk

memberdayakan diri kaum terjajah.

7. Sumber data dan metode penelitian

Data penelitian ini seluruhnya berasal dari sumber-sumber teks tertulis.

Metode penelitian yang akan digunakan ialah analisis tekstual terhadap cerita-

cerita yang dipilih sebagai objek kajian. Untuk keperluan penelitian ini, saya akan

memfokuskan pada cerita dengan tokoh nyai yang tinggal bersama lelaki Eropa

sebagai tokoh utamanya.

Dari penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat empat cerita

yang masih bisa diakses secara memadai untuk kepentingan penelitian ini.

Keempat cerita yang akan diteliti antara lain Tjerita Njai Dasima (1896) karya G.

Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya

Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti.

8. Sistematika penulisan

Bab I berisi rancangan penelitian secara umum. Bab II mengeksplorasi

latar belakang sosio-historis fenomena pernyaian pada masa kolonial, antara lain

munculnya pernyaian pada zaman VOC, berlanjutnya pernyaian sebagai akibat

kebijakan kependudukan pemerintah kolonial, langgengnya pernyaian sebagai

sebuah kejahatan yang niscaya, surutnya pernyaian sebagai efek politik gender

19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Bab III memposisikan cerita

nyai dalam konteks sastra, antara lain lahirnya sastra Melayu Rendah di akhir

abad ke-19, para penulis dan jenis karya yang termasuk di dalam korpus sastra

Melayu Rendah, politik bahasa pemerintah kolonial melalui pendirian Balai

Pustaka dan pembakuan bahasa Melayu Tinggi, cerita nyai dan “bacaan liar” serta

problematisasi kategori “liar” tersebut. Bab IV akan menganalisis ragam

representasi nyai dari berbagai karya sastra Melayu Rendah yang dipilih dengan

pendekatan pascakolonial. Bab V memuat kesimpulan penelitian ini.

20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II
LATAR BELAKANG
SOSIO-HISTORIS PERNYAIAN

Menurut J. Th. Koks, kata nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah tersebut

muncul bersamaan dengan kedatangan gadis-gadis Bali ke Batavia yang, selama

kurun waktu tertentu, menjadi pusat perhatian di kalangan Eropa. Kata itu juga

dipakai dalam bahasa Jawa dan merujuk pada perempuan paruh baya yang

dihormati. Selain itu, kata nyai digunakan juga untuk merujuk pada mistress atau

concubine orang Eropa.29 Sementara itu, Tineke Hellwig mengungkapkan bahwa

kata njai ditemukan dalam bahasa Bali, Sunda dan Jawa yang berarti “perempuan

(muda), saudara perempuan termuda.” Selain merujuk pada gundik, kata tersebut

juga dipakai sebagai kata sapaan. Banyaknya budak Bali sampai ke Batavia

merupakan petunjuk, kata tersebut memang berasal dari bahasa Bali. Padanan kata

dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagerie, dan meid,

sedangkan dalam bahasa Melayu kata yang digunakan ialah gundik atau munci.30

Pendapat lain berasal dari Elsbeth Locher-Scholten yang membandingkan

beberapa arti yang berbeda dari kata nyai ini. Mengutip Encyclopaediae van

Nederlandsch-Indie (Njahi 1919), ia menyebutkan bahwa nyahi (nyai) ialah gelar

terhormat bagi para perempuan yang sudah lanjut usia tanpa gelar lainnya.31

29
Hanneke Ming, “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920,” Indonesia 35 (1983): 71.
30
Tineke Hellwig, Adjustment and Discontent Discontent Representations of Women in the
Dutch East Indies (Ontario: Netherlandic Press, 1994), 33.
31
Elsbeth Locher-Scholten, “The nyai in colonial Deli A case of supposed mediation,” dalam
Women and Mediation in Indonesia, ed. Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat-

21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dalam konteks Indonesia masa kini, kata ini masih tetap dipergunakan di Jawa

Barat dan Madura untuk mengacu pada istri dari seorang kyai. Kata nyai dalam

pengertian “pengurus rumah tangga orang Eropa” sudah dipergunakan setidaknya

pada tahun 1826 kendati pemakaian kata tersebut mungkin sudah lebih lama.

Namun demikian, menurutnya, tidaklah jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa

nyai (pengurus rumah tangga) dahulunya memiliki posisi yang terpandang dalam

masyarakat Indonesia pada waktu itu ataukah penggunaan kata tersebut dengan

makna semacam itu hanyalah temuan orang Belanda tanpa implikasi lebih jauh

terhadap posisi sang nyai. Kemungkinan besar, menurutnya, hal itu

mengindikasikan devaluasi dari gelar tersebut.

Mengingat kata “nyai” ini masih digunakan hingga sekarang, rujukan pada

Kamus Besar Bahasa Indonesia32 dapat dijadikan acuan. Kamus tersebut

menyebutkan definisi kata “nyai” sebagai berikut.

nyai n 1 panggilan utk perempuan yg belum atau sudah kawin; 2 panggilan


utk perempuan yang usianya lebih tua dp orang yg memanggil; 3 gundik
orang asing (terutama orang Eropa)
nyai-nyai n sebutan kepada wanita piaraan orang asing

Selain itu, Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS

Poerwadarminta juga menyebutkan definisi poin (3), sedangkan dua definisi

lainnya masing-masing “panggilan kepada perempuan tua” dan “adinda.”33 Dari

berbagai definisi yang diajukan tersebut ada kesamaan, yakni definisi “nyai”

Nieuwenhuis, Elsbeth Locher-Scholten, dan Elly Touwen-Boowsma (Leiden: KITLV Press,


1992), 266.
32
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).
33
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976).

22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebagai seorang perempuan yang tinggal—entah sebagai piaraan maupun

pengurus rumah tangga—dengan orang asing, khususnya lelaki Eropa.

Bab ini membahas sejarah munculnya pernyaian yang dimulai pada zaman

VOC di mana VOC sendiri memfasilitasi perkawinan lelaki Eropa dengan

perempuan pribumi berikut tentangan awal dari Jan Pieterszoon Coen terhadap

pergundikan, langgengnya pernyaian tersebut sebagai sebuah necessary evil yang

di antaranya marak dijumpai pada kehidupan di perkebunan dan barak, lalu

tentangan terhadap pergundikan ini baik di Hindia Belanda maupun di Belanda,

dan berakhirnya pernyaian seiring maraknya imigrasi perempuan Eropa ke Hindia

Belanda pada awal abad ke-20.

1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC

Pernyaian merupakan fenomena masyarakat kolonial yang sudah ada sejak

lama. Jejaknya bisa dilacak pada masa pra-kolonial ketika VOC masuk ke

Nusantara. Uraian berikut menggambarkan secara ringkas kondisi-kondisi terkait

dengan kemunculan pernyaian di Nusantara.

1.1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi

Pada masa VOC banyak lelaki Eropa menjalin hubungan dengan

perempuan Asia, termasuk pula dengan perempuan budak. VOC mendukung hal

tersebut dengan turut menyediakan perempuan sebagai calon pengantin bagi para

23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lelaki lajang Eropa. VOC bahkan membeli perempuan budak (slave women) dari

pasar Asia untuk keperluan tersebut.34

Hal ini dilakukan untuk mendukung maksud VOC mendirikan komunitas

permanen di Hindia Belanda. Selain itu, para pemegang saham VOC menentang

imigrasi perempuan kulit putih dengan beberapa alasan. Pertama, biaya

transportasi untuk mendatangkan perempuan Eropa terlalu mahal. Kedua,

perempuan Belanda kemungkinan terlibat dalam perdagangan privat. Hal ini

dianggap bisa merongrong monopoli perusahaan. Ketiga, anak-anak orang Eropa

akan mudah sakit di daerah tropis sehingga keadaan ini mungkin mendorong

keluarganya kembali ke negeri asal. Hal tersebut dipandang tidak menguntungkan

terhadap upaya membentuk kelompok pemukim tetap.35

Akan tetapi, pada waktu itu—tepatnya sejak 1617—ada sebuah peraturan

yang melarang lelaki Eropa menikahi perempuan non-Kristen. Perkawinan dengan

orang Kristen juga terbatas pada syarat-syarat tertentu.36 Calon pengantin

perempuan non-Kristiani harus dibaptis terlebih dahulu agar perkawinan tersebut

bisa dilegalkan. Seorang lelaki kulit putih pada masa VOC harus memperoleh izin

untuk menikah. Kondisi ini mengakibatkan banyak lelaki kulit putih akhirnya

hidup bersama gundik. Fenomena ini sedemikian jamak sehingga pada 1620

pemegang otoritas Kristen melarang lelaki Eropa menyimpan gundik. Secara

bvtak langsung pergundikan dipicu oleh peraturan pada 1617 yang menyebutkan

bahwa siapapun yang menikahi golongan pribumi atau perempuan berdarah

34
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
35
Ann Laura Stoler, Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial
Rule (Berkeley: University of California Press, 2002), 47.
36
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.

24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

campuran dilarang kembali ke Eropa.37 Setelah VOC bangkrut, larangan menikah

ini tetap berlangsung hingga 1805.38

Terkait dengan perempuan budak, Jean Gelman Taylor mencatat bahwa

sejak awal di Batavia hubungan bebas dengan perempuan budak sudah terjadi.

Kebanyakan budak ini adalah pekerja rumah tangga. Dari korespondensi para

pejabat, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, diketahui pula bahwa saudagar

senior VOC mengambil perempuan lokal dan budak impor sebagai gundik.39

Menurut Tineke Hellwig, perempuan budak biasanya berasal dari

golongan termiskin dalam masyarakat. Karena status tersebut, mereka biasanya

tidak memiliki posisi tawar ataupun mampu bernegosiasi. Selain itu, umumnya

mereka tinggal dengan serdadu ataupun pelaut Eropa yang posisinya di kalangan

masyarakat Eropa pun tidak bisa disebut layak. Maka, wajar apabila hubungan

antara perempuan budak dan lelaki Eropa tersebut bersifat eksploitatif dan

sementara, tanpa didasari pemahaman satu sama lain. Berbeda halnya dengan para

serdadu atau golongan bawah masyarakat Eropa di Nusantara, jajaran atas

pegawai VOC biasanya menjalin relasi yang langgeng dengan perempuan

pribumi, baik yang dinikahi secara resmi dalam ikatan perkawinan maupun yang

diajak hidup bersama dalam hubungan kohabitasi.40 Senada dengan apa yang

diungkapkan Hellwig, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa kendati asal dan

37
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
38
Hellwig, Adjustment and Discontent, 31.
39
Jean Taylor, The Social World of Batavia (Madison: University of Wisconsin Press, 1983),
15.
40
Hellwig, Adjustment and Discontent, 31.

25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

alasan seorang perempuan pribumi menjadi nyai sulit dijawab, perempuan Jawa

dari golongan bawah paling banyak menjadi gundik.41

1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan

Sebagaimana disebutkan Hellwig, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623,

1627-1629) adalah salah seorang penentang pergundikan dan mendukung imigrasi

perempuan kulit putih dari Belanda.42 Pada 1622 VOC pernah mendatangkan

perempuan Eropa ke Batavia. Pada tahun tersebut, VOC mengatur pengangkutan

enam perempuan muda Belanda yang siap dinikahi ke Jawa. Mereka diberi

pakaian, mas kawin dan kontrak yang mengikat mereka selama lima tahun di

Nusantara. Akan tetapi, pada 1632 VOC menghentikan dukungan terhadap

imigrasi perempuan Belanda. VOC berniat mendirikan komunitas yang permanen

di Nusantara (blijvers). Tindakan konkret menindaklanjuti hal tersebut ialah

dibatasinya imigrasi perempuan Eropa pada 1650-an.43 Jean Gelman Taylor

mencatat, pada 1652 para pejabat VOC mengadopsi kebijakan yang tetap

menguntungkan VOC, yakni pembatasan imigran perempuan Eropa, preferensi

rekrutmen lelaki Eropa yang masih lajang dan pembatasan perkawinan dengan

perempuan kelahiran Asia.44

Kebijakan VOC untuk menerima pekerja yang masih berstatus lajang serta

pembatasan imigrasi perempuan Eropa terus berlangsung hingga dua ratus tahun

berikutnya. Dengan merekrut para lelaki lajang, VOC secara legal dan finansial

41
Ming, “Barracks-Concubinage,” 73.
42
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
43
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
44
Taylor, The Social World of Batavia, 14.

26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjadikan pergundikan sebagai alternatif yang paling menarik bagi para

pegawainya. VOC mendukung hubungan ekstramarital maupun perkawinan resmi

antara pegawai tingkat rendah dan perempuan budak yang diimpor.45 Seperti

dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual sangatlah penting terhadap

perkembangan pemukiman kolonial dan alokasi aktivitas ekonomi di dalamnya.46

Pengaturan masalah domestik ini menguntungkan baik VOC maupun pemerintah.

Pada abad ke-19 dan hingga awal abad ke-20, gaji para pegawai baru di dinas

militer, birokrasi pemerintahan, perkebunan dan perusahaan dagang, bisa ditekan

hingga sangat rendah berkat jasa domestik para perempuan lokal yang diberikan

secara cuma-cuma.47

Sebagaimana disebutkan Taylor, fenomena pernyaian ini sudah ada sejak

awal VOC di Batavia. Oleh sebab itu, manakala Coen ditunjuk sebagai Gubernur

Jenderal, ia betul-betul berusaha untuk mengubah keadaan ini. Ia memberlakukan

larangan untuk memelihara “satu atau dua perempuan budak, gundik atau gundik-

gundik di dalam suatu rumah ataupun di tempat lainnya, dengan dalih apapun”.48

Hal tersebut juga didasarkan keprihatinannya terhadap kasus aborsi dan upaya

pembunuhan yang dilakukan gundik terhadap tuannya dengan phenyl ataupun

racun lainnya. Kendati Coen mengenakan aturan yang sangat keras dalam perkara

45
Stoler, Carnal Knowledge, 47.
46
Ann Laura Stoler, “Making Empire Respectable,” dalam Situated Lives: Gender and Culture
in Everyday Life, ed. Louise Lamphere, Helena Ragone, dan Patricia Zavella (New York and
London: Routledge, 1997), 376.
47
Stoler, “Making Empire Respectable,” 377.
48
Taylor, The Social World of Batavia, 16.

27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

moral seksual, hal itu masih tidak dapat menghentikan berkembangnya

pergundikan.49

Terlepas dari tentangan tersebut, pada akhirnya pergundikan antar ras

mendapat pengakuan dalam hukum sipil (civil law code) Hindia Belanda.

Kesaksian dari pensiunan Letnan Kolonel de Rochemont menyebutkan hal

berikut.

”Ada banyak nyai dan mereka termasuk dalam semua strata masyarakat Indo-Eropa kita.
Bukan hanya tentara di barak, melainkan juga kebanyakan jenderal, pejabat lapangan
serta pejabat lainnya, gubernur wilayah, walikota, pejabat senior dan pejabat lainnya
memiliki nyai jika mereka tidak menikah. Baik di Belanda maupun di daerah koloni
seseorang bisa menemukan orang-orang penting yang merupakan anak Nyai.”50

Jadi, sesungguhnya masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu tidaklah “semurni”

yang dibayangkan karena ternyata di dalamnya terjadi percampuran melalui

hubungan antar ras yang pada suatu periode memang disahkan secara hukum oleh

pemerintah kolonial sendiri.

2. Berlanjutnya pernyaian sebagai sebuah necessary evil

Fenomena pernyaian berlanjut hingga dua abad berikutnya. Pada 1 Januari

1800 VOC secara resmi diumumkan bangkrut. Segenap wilayah kekuasaannya

diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sebagai sebuah fenomena sosial, pernyaian

tidak bisa dilepaskan dari keadaan-keadaan sosial yang melingkupinya. Pada 1830

upaya baru menandai jejak kolonialisme di Nusantara dimulai oleh Gubernur

Jenderal Johannes van den Bosch, yakni sistem Cultuurstelsel. Tiap desa

49
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
50
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.

28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diperintahkan untuk menanam tanaman ekspor, seperti kopi dan gula, untuk

kemudian dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga tetap. Sistem ini

selanjutnya berkembang menjadi sistem Tanam Paksa.51

Sistem tanam paksa yang membuat rakyat di daerah koloni sengsara

memicu munculnya suara-suara yang menggugat eksploitasi tersebut di negeri

Belanda. Maka pada 1848 diberlakukan pendekatan liberal dan kesempatan

dibuka bagi kalangan swasta. Pada 1870 Hukum Agraria disahkan.52 Sejak waktu

itu, sistem ekonomi mengalami transformasi yang nyata di bawah kebijakan

liberal (laisser-faire). Hal ini berlangsung sejalan dengan perubahan sosial dan

politik yang besar. Komunikasi melalui telegraf dan jasa pos udara serta

transportasi laut dengan kapal uap melalui Terusan Suez secara signifikan

mengurangi jarak antara Belanda dan Hindia Timur/Nusantara.53 Di bawah

kebijakan liberal yang mendorong perkebunan swasta, kultivasi bebas serta

kepemilikan pribadi di Hindia, perekonomian maju pesat. Ini ditandai dengan

surplus penghasilan yang cukup besar bagi kas Kerajaan Belanda selama kurun

waktu 1832 hingga 1877. Keuntungan yang dihasilkan dari perniagaan kopi dan

gula antara 1850 hingga 1860 telah memberikan kontribusi sebesar 31 persen dari

total pemasukan Belanda.54

2.1. Pergundikan di perkebunan

51
Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.
52
Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.
53
Hellwig, Adjustment and Discontent, 19.
54
Hellwig, Adjustment and Discontent, 19.

29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sebagaimana telah disebutkan di atas, sekitar 1870 banyak perkebunan

dan penanaman tanaman ekspor bermunculan akibat kebijakan liberal. Ini

khususnya terjadi di sepanjang pesisir Sumatra Timur, tepatnya di Deli. Meliputi

wilayah yang luas, sabuk perkebunan Deli mulai beroperasi pada 1860-an dan

menjadi lokasi investasi yang paling menggiurkan di Hindia Belanda karena

keuntungan yang dihasilkannya.

Menurut Ann Laura Stoler, jauh dan otonom dari pusat kekuasaan kolonial

di Batavia, komunitas sabuk perkebunan Deli mengembangkan karakter khusus

selama masa ekspansinya di akhir abad ke-19. Komunitas itu ditandai beberapa

ciri antara lain beragamnya bangsa Eropa yang bermukim di sana—berbeda

dengan di Jawa yang didominasi oleh orang-orang Belanda—dan pergundikan

yang berkembang secara ekstensif hingga abad ke-20. Selain itu, sabuk ini

terkenal karena tingginya tingkat kekerasan yang dialami para pekerja

perkebunan. Di lokasi tersebut pula terjadi diskriminasi sosial yang dianggap

paling tinggi di Hindia Belanda. Dengan kata lain, komunitas tersebut berwatak

amat rasis.55

Salah satu ciri dari komunitas sabuk perkebunan Deli tadi ialah

pergundikan yang berkembang luas. Di antara berbagai faktor yang menyebabkan

keadaan tersebut adalah peraturan tentang perkawinan yang diberlakukan terhadap

para pekerja perkebunan. Para asisten administrator dilarang menikah sebelum

masa kerja enam tahun. Kondisi kerja yang keras dianggap tidak baik bagi

perempuan Eropa. Selain itu, laki-laki harus bisa bekerja secara bebas terkait

55
Stoler, Carnal Knowledge, 26.

30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan situasi kerja di hutan. Tanpa keluarga, mereka pun bisa digaji lebih murah

dan akan bekerja lebih keras.56

Alasan di balik pengaturan perkawinan bagi para pekerja perkebunan tidak

terhenti di situ. Menurut Stoler, larangan menikah tersebut diterapkan untuk

mencegah munculnya golongan proletariat Eropa di Deli. Pilihan pergundikan

dengan perempuan Jawa lebih disukai karena hanya memberikan beban finansial

ringan pada staf golongan rendah dan membantu para pendatang baru untuk

mempelajari bahasa dan adat kebiasaan setempat dengan cepat. Dengan menolak

mempekerjakan lelaki yang telah menikah, para pengelola sabuk perkebunan ini

sekaligus mengesahkan sistem pergundikan yang telah begitu lazim ditemukan di

Jawa.57

Larangan perkawinan ini mulai dihentikan pada 1922 dan para pekerja

didorong untuk hidup dengan nyai. Nyai bisa berasal dari kalangan kuli

perempuan ataupun perempuan Jepang yang diambil dari pelacuran.58 Pernyaian

dianggap memberikan berbagai keuntungan bagi para pekerja perkebunan. Nyai

bisa memberikan perasaan nyaman dan betah bagi para pekerja tersebut. Namun,

ini tidak disertai dengan tuntutan afektif dan finansial. Selain itu, mereka bisa

menjadi tempat penyaluran kebutuhan biologis. Nyai juga bertanggung jawab

untuk mencegah kehamilan ataupun mengasuh anak-anak yang dilahirkannya.59

56
Hellwig, Adjustment and Discontent, 35.
57
Stoler, Carnal Knowledge, 29.
58
Dalam hal ini, perempuan Jepang lebih dihargai karena mereka dibeli dari rumah pelacuran di
Singapura ataupun didatangkan langsung dari Jepang. Lihat Locher-Scholten, “The Nyai in
Colonial Deli,” 271.
59
Hellwig, Adjustment and Discontent, 35.

31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2.2. Pergundikan di barak

Menurut Tineke Hellwig, pergundikan di barak merupakan bagian dari

realitas sehari-hari. Serdadu merupakan komponen komunitas Eropa terbesar

dalam pemukiman Belanda di Indonesia.60 Hingga 1895 kalangan militer

membentuk separuh atau lebih dari keseluruhan kaum laki-laki berkebangsaan

Eropa di Hindia Belanda. Sekitar 1850-an, Gubernur Jenderal Duymaer van Twist

mengajukan keberatannya terhadap pergundikan di barak. Hal ini dieksplisitkan

dengan meniadakan kenaikan pangkat bagi para tentara yang memelihara nyai.

Kendati demikian, hingga 1870-an, pemerintah Hindia Belanda masih

“menyatakan persetujuan bagi perkawinan di bawah syarat-syarat yang sangat

terbatas.”61 Konsekuensinya jelas: serdadu yang tidak bisa memenuhi kebutuhan

seksualnya dalam institusi perkawinan harus mencari cara lain. Alternatifnya,

hidup dengan gundik atau mengunjungi rumah pelacuran.

Antara tahun 1888 hingga 1911 persentase tentara yang tinggal bersama

gundik tetap yakni 22 persen.62 Sama halnya dengan di perkebunan, pernyaian di

barak memberikan sejumlah keuntungan. Tentara akan menjauhi pelacuran dan ini

berarti mengurangi faktor risiko terjangkit penyakit menular seksual. Oleh karena

itu, pergundikan dianggap mendukung stabilnya semangat tempur para tentara.

Selain itu, diyakini bahwa dengan adanya anak dan istri di dekatnya, disiplin dan

ketertiban akan menghilang dari barak. Serdadu yang lajang juga tidak perlu

digaji tinggi dan tidak membutuhkan berbagai tunjangan. Karena berbagai alasan

ini, tak heran apabila para pejabat teras militer mendukung pergundikan dan
60
Taylor, The Social World of Batavia, 8.
61
Hellwig, Adjustment and Discontent, 36.
62
Hellwig, Adjustment and Discontent, 37.

32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menentang perkawinan sah. Demikianlah, perubahan ekonomi dan sosial secara

kurun waktu sekitar peralihan abad mengubah cara hidup di Hindia. Standar moral

ganda terhadap pergundikan pun diberlakukan: pergundikan diterima dan

dipraktikkan sebagai kejahatan yang niscaya (necessary evil). Bagi sebagian

orang, pergundikan dipandang sejajar dengan prostitusi (sama-sama relasi tidak

sah secara hukum dan non-marital) dengan hanya sedikit perbedaan di antara

keduanya.63

3. Tentangan terhadap pergundikan

Secara umum, di Eropa pada masa itu hubungan seksual di luar pernikahan

dilarang. Orang Eropa dengan moralitas Kristen-nya menjunjung tinggi

pernikahan, khususnya pernikahan monogamis. Bertolak belakang dengan norma

yang dipegang teguh di Eropa, kaum laki-laki di Hindia diperbolehkan/dibiarkan

mencari pemuasan kebutuhan seksualnya di luar perkawinan. Ada beberapa alasan

di balik sikap “permisif” tersebut. Iklim tropis serta makanan rempah disebut-

sebut dapat merangsang libido. Apabila hasrat seks tersebut tidak tersalurkan,

akibatnya buruk, misalnya birahi tinggi, sodomi dan histeria. Jadi, pemenuhan

kebutuhan seksual di luar pernikahan dianggap lebih “baik” daripada akibat buruk

dari tidak tersalurnya kebutuhan biologis tersebut.64 Demikianlah prostitusi pun

terus berlangsung.

Pergundikan memang menjadi fenomena tersendiri di Hindia Belanda.

Akan tetapi, kendati tetap berlangsung, tentangan terhadap pergundikan pun terus-

63
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
64
Hellwig, Adjustment and Discontent, 33.

33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menerus disuarakan, khususnya oleh kalangan gereja. Terlepas dari pro-kontra

terhadapnya, pada 1908 golongan militer diizinkan menikahi gundiknya secara

legal. Namun, pada 1913 peraturan itu dicabut dan sejak itu pula pergundikan di

barak pelan-pelan menyurut.65

Jika dilacak ke belakang, pada 1808 Aturan mengenai Perkawinan Campur

(Regeling op de Gemengde Huwelijken) mulai diberlakukan. Seorang perempuan

harus berada di tempat yang sama dengan suaminya. Seorang nyai yang anaknya

diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut. Ini terjadi

tatkala sang ayah yang berkebangsaan Eropa mencatatkan anaknya sehingga

status anak tersebut legal dan layak menyandang status sebagai orang Eropa.66

Hanneke Ming mencatat indikasi yang menandai perubahan sikap terhadap

pergundikan. Gubernur Jenderal Duymaer van Twist (1851-1856) mensyaratkan

rekaman rahasia tentang tentara tingkat rendah dan tinggi. Rekaman itu harus

memuat catatan apakah para tentara tersebut tinggal dengan gundik (mistress) atau

tidak. Status “sipil” mereka ini akan dipergunakan sebagai salah satu

pertimbangan untuk kenaikan pangkat.67

Kendati demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan, hingga akhir

perempat abad ke-19 separuh dari jumlah lelaki Eropa di Hindia Belanda masih

tetap tinggal dengan gundik. Setelah 1890 fenomena pergundikan baru menurun.

Hal itu pun diikuti dengan meningkatnya prostitusi. Mereka yang masih hidup

dengan nyai berusaha untuk tidak menonjol, misalnya tidak menampakkan diri

bersama-sama di depan publik.


65
Hellwig, Adjustment and Discontent, 37.
66
Hellwig, Adjustment and Discontent, 36.
67
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.

34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di kalangan para pegawai non-komisi dan golongan rendah, tingkat

abstinensi lebih merupakan “persoalan kecenderungan alami dan terkait kondisi

keuangan alih-alih standar-standar moral.”68 Aturan Jenderal (General Order)

Nomor 62/1872 memberikan persetujuan terhadap pernikahan hanya di bawah

kondisi-kondisi yang sangat terbatas. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa jika

seorang tentara tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya dalam perkawinan,

dia harus mencari pemuasan di luar institusi tersebut. Dia bisa mengambil seorang

gundik atau mengunjungi rumah bordil.69 Namun, dalam kenyataannya tentara

yang berpenghasilan tinggi baru mampu menghidupi gundik.70

3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak

Perubahan sikap terhadap pergundikan dari persetujuan resmi ke

ketidaksetujuan, serta penghapusan pergundikan di barak secara perlahan-lahan,

bisa disimak dalam surat-menyurat antara para administrator/petinggi di Belanda

dan Hindia.71

3.1.1. Di Belanda

Pada 30 Juni 1887 Menteri Jajahan Sprenger van Eyk meminta nasihat dari

bagian administrasi Hindia tentang bagaimana mempengaruhi kondisi hidup di

barak. Getuigen en Redden, sebuah badan dari Liga Belanda melawan Prostitusi,

memberitakan tentang kehidupan domestik di barak sebagaimana diungkapkan

68
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.
69
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.
70
Ming, “Barracks-Concubinage,” 71.
71
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.

35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mantan misionaris E. Haan bahwa “barak-barak ini, setidaknya di Batavia, tidak

bisa dibedakan dari rumah bordil”.72

Pada 1888 salah seorang anggota parlemen, Franciscus van Vlijmen,

mengangkat isu ini hingga ke Dewan Kedua (Tweede Kamer). Menteri untuk

Daerah Koloni Levinus Keuchenius menyimpulkan bahwa “persetujuan bagi

pergundikan secara fundamental jahat, dan oleh karena itu, sudah diputuskan

untuk menghapus institusi tersebut secara perlahan-lahan.”73 Hal ini kemudian

diikuti pendirian partisi di barak untuk menciptakan privasi bagi pasangan

kohabitasi.

Pada November 1896, van Vlijmen sekali lagi mengutuk institusi tersebut

di depan Dewan Kedua dan pada 1903, ia mengajukan proposal dengan

menetapkan tanggal pasti sebagai batas waktu larangan kohabitasi. Setelah waktu

tersebut tentara baru yang tiba di Hindia tak lagi diizinkan berkohabitasi. Namun,

proposal ini ditolak karena Menteri takut akan meningkatnya perkawinan yang

nantinya bisa menggerogoti semangat tempur para tentara.74

Pada 1904 Dr. Adriaanse, salah satu penentang pergundikan di Hindia,

mengajukan usulan tentang perubahan hukum. Keberadaan seorang anak dari

hubungan lelaki Eropa dan nyai hanya akan sah jika ayahnya mau menikahi sang

ibu. Namun, usulan ini ditolak karena dianggap tidak praktis. Salah satu anggota

Dewan Kedua lainnya, de Waal Malefijt menentang pergundikan karena alasan

72
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
73
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
74
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.

36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

religius. Dengan adanya berbagai pertimbangan semacam ini, pengaturan

perkawinan lelaki Eropa dengan gundiknya tidak dapat begitu saja diberlakukan.75

Pada 1911 pembedaan status antara istri yang dinikahi secara legal–

meskipun dia pribumi–dan gundik ditekankan dengan tegas. Gundik hanyalah

pelayan/pembantu (servant) dan tidak lebih dari itu.76 Hanneke Ming

menyebutkan bahwa dalam laporan awal Dewan Kedua tahun 1912 sudah muncul

keinginan untuk menghapuskan pergundikan barak secara total. Salah seorang

anggota parlemen menuntut suatu investigasi yang cermat mengenai gaya hidup

gundik, di dalam maupun di luar barak. Sementara itu, posisi pemerintah Belanda

makin tegas. Pernikahan harus didukung. Memang kebijakan tersebut

membutuhkan biaya yang tinggi. Namun, pemerintah sudah bersiap-siap

mendukung kebijakan ini dengan syarat beban anggaran tidak berlebihan.77

Sebagai contoh, perumahan dinas harus disediakan bagi para pegawai nonkomisi

(noncommissioned officer). Kendati, persiapan untuk perumahan tersebut belum

memadai, langkah awal sudah diambil, yakni dengan menghapus pergundikan

bagi kopral dan tentara tingkat rendah. Pada 1915 hanya ada sedikit pertanyaan di

Dewan Kedua berkenaan dengan kemungkinan pengelakan larangan terhadap

pergundikan.

3.1.2 Di Hindia Belanda

Meskipun terjadi peningkatan “Eropanisasi” dalam hubungan sosial di

Hindia, sikap terhadap perilaku seksual tetap relatif toleran, setidaknya yang
75
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.
76
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.
77
Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.

37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terkait dengan lelaki Eropa. Baik rezim di Hindia dan Komando Tinggi

Tentara/Angkatan Darat (army) memandang pergundikan sebagai sebentuk

kejahatan yang tak terelakkan dengan tekanan pada “tak terelakkan”. Sementara

itu, para penentangnya di Den Haag menekankan setajam mungkin pada

“kejahatan” (evil).78

Salah satu penentang pergundikan di Hindia ialah Uskup Batavia (1887)

yang menyatakan bahwa pergundikan tidak lolos uji dari prinsip-prinsip moralitas

Kristen yang baik. Pada 1894 Liga Pemuda Milter Kristen (League of Christian

Military Youth) menyatakan bahwa hubungan kohabitasi antara lelaki Eropa dan

perempun pribumi jelas-jelas ditandai oleh karakter tuan-budak yang eksploitatif.

Mereka mengecam keras standar ganda dari Komando Tinggi Angkatan Darat: di

satu sisi standar tersebut menghargai perempuan yang memiliki “kelakuan yang

bebas dari kesalahan/tak bercela” (irreproachable conduct), namun di sisi lain

standar itu secara efektif mendefinisikan mereka sebagai sundal (whores) karena

semua perempuan Jawa dianggap pantas mendapatkan julukan penghinaan ini.79

Sementara itu, Koot, editor Indies Circle of Vegetarians menyebutkan bahwa

“siapapun yang tinggal dengan gundik pribumi menikmati hubungan hewani alih-

alih hubungan manusiawi dengannya.”80

Liga tentara Kristen untuk Hindia Timur dan Barat mengizinkan perang

atau pemberantasan pergundikan di barak dengan cara menempatkan orang Eropa

yang tinggal dengan gundiknya di antara orang-orang pribumi. Usulan lain

tentang penempatan ini datang dari Asosiasi Pejabat Kristen Nasional (National
78
Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.
79
Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.
80
Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.

38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Christian Officers’ Association) yang menyetujui eliminasi perlahan-lahan

pergundikan dan penempatan yang terpisah antara tentara Eropa dan pribumi.81

Pada 1904 para administrator dan pejabat tinggi militer diperingatkan akan

konsekuensi berbahaya dari pergundikan bagi karier masa depan mereka. Jenderal

Boetje sendiri mengatakan bahwa memang pergundikan yang dilakukan secara

terbuka antara pejabat dengan gundiknya sudah jarang.82 Pergundikan sekarang

hanya berlangsung secara rahasia sehingga tindakan ini tidak lagi melukai

sensibilitas moral yang melingkupi masyarakat.83

Mr. Bogaardt, editor Java-Post, menolak pergundikan karena tidak

Kristiani dan imoral. Dia memandang pergundikan sebagai transaksi antara dua

pihak di mana lelaki bertindak sebagai pembeli dan perempuan sebagai penjual.84

Sementara itu sikap Komando Tinggi Angkatan Darat terhadap kohabitasi

konsisten. Pada 1887 Komandan Angkatan Darat menyatakan pendapatnya bahwa

tentara tingkat bawah tidak seharusnya didorong untuk menikah karena ini akan

berbahaya bagi pelaksanaan tugas mereka. Pendapat ini didukung oleh pernyataan

Kepala Korps Kesehatan/Medis bahwa pergundikan mencegah kontak

homoseksual. Sebagian besar pejabat juga berpikiran serupa.85 Pada 1908

Komandan de Bruyn salah satunya menekankan sekali lagi pentingnya

pergundikan bagi semangat tentara. Dua musuh terbesar dari semangat tempur

tentara, katanya, ialah alkoholisme dan penyakit kelamin. Tampaknya para tentara

yang hidup dalam pergundikan secara proporsional tidak terjangkit penyakit

81
Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.
82
Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.
83
Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.
84
Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.
85
Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.

39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menular seksual dan lebih jarang mabuk-mabukan. Hal tersebut dipandang

sebagai keuntungan pergundikan barak.86

Dalam General Order Nomor 28 tahun 1908 disebutkan bahwa tentara

Eropa boleh menikahi gundiknya hanya jika gundiknya berkelakuan tak bercela

dan memiliki satu atau lebih anak dengannya.87 Bagaimana sikap pemerintah

Hindia secara umum? Sudut pandang pemerintah Hindia sebagian besar identik

dengan pimpinan militer. Pada 1889 Raad van Indies (Council of the Indies)

mengungkapkan secara eksplisit pemihakannya terhadap berlanjutnya

pergundikan barak.88 Gubernur Jenderal Rooseboom yang menjabat dari 1889

hingga 1904 memaklumkan dirinya sebagai pendukung langgengnya pergundikan.

Pada 1903 ia menentang ordinansi yang diusulkan van Vlijmen karena ia melihat

tidak ada cara yang lebih baik untuk membatasi penyebaran penyakit menular

seksual di antara para tentara Eropa selain pergundikan.89 Commision on

Pauperism, yang didirikan oleh rezim Hindia, tidak merestui pergundikan barak

dari sudut pandang moral, namun menerimanya dalam praktik sebagai necessary

evil. Pergundikan di luar barak dilihatnya dua kali lebih buruk.90

Hanya pada 1912 untuk pertama kalinya muncul tanda friksi yang jelas

antara pandangan pemerintah dan pimpinan militer. Van Heutsz sebagai eks

militer tidak keberatan terhadap institusi tersebut. Namun demikian, pada 1912

Gubernur Jenderal Idenbut (1900-1916) secara langsung menentang posisi para

pimpinan angkatan darat dengan menarik larangan perkawinan dengan gundik

86
Ming, “Barracks-Concubinage,” 84.
87
Ming, “Barracks-Concubinage,” 85.
88
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.
89
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.
90
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.

40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tanpa anak. Hal ini diikuti pernyataan tentang pergundikan barak dan keputusan

untuk menghapuskannya secara perlahan-lahan pada 1913.91 Pemerintah

berkewajiban untuk mengatur kelakuan perwakilannya untuk tidak melanggar

prinsip dasar moralitas sebagaimana dimanifestasikan dalam hukum dan opini

publik. Alih-alih mencegah (berlakunya moral tersebut), pemerintah telah

bertindak untuk melindungi kejahatan moral ini—beserta konsekuensinya juga

secara sosial—dan dengan menyatakan bahwa hal itu telah menggerogoti

kesadaran moral masyarakat luas. Oleh karena itu pergundikan di barak tidak

dapat didukung untuk jangka panjang, dan secara perlahan-lahan harus lenyap.92

Pada 1919 Gubernur Jenderal van Limburg Stirum mengumumkan secara

publik pengahapusan total pergundikan di barak. Salah satu argumen yang

diajukan untuk membuat penghapusan tersebut diterima dan dipahami ialah fakta

bahwa apa yang disebut milisi Eropa akan dibentuk/dilembagakan. Karena ini

berarti makin besar kontak antara kalangan militer dan masyarakat sipil, apa yang

dikutuk oleh masyarakat tidak bisa ditolerir lagi secara terbuka di kalangan

militer.93

Bagaimana sikap dari kalangan pribumi sendiri? Menurut Koks, pada

masa Coen kaum pribumi enggan/keberatan mengizinkan putrinya memiliki

kontak sosial dengan orang Eropa, kecuali lelaki Eropa tersebut menjalankan

tugas militer. Buktinya, tidak ada perubahan nyata dalam sikap ini setelahnya.

Posisi sosial orang Eropa dan tempat asal kaum pribumi tampaknya berperan

dalam menentukan sikap terkait dengan pernikahan campuran atau kohabitasi.


91
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.
92
Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.
93
Ming, “Barracks-Concubinage,” 87.

41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Orang Sunda, Menado dan Ambon tampaknya bersedia memberi izin anaknya

menikah dengan orang Eropa.94

Sebagaimana disebutkan Ming pada 1919 muncul penolakan langsung dari

kalangan pribumi terhadap pergundikan. Dr. Cipto Mangunkusumo, misalnya,

menulis bahwa seorang perempuan pribumi tidak seharusnya menjadi “pelayan

ekstra” (extraordinary maidservant) alias gundik dan pantas melewati hari-

harinya dengan bersembunyi “jauh di dalam kampung sebagai ibu dari anak-anak

yang baik.”95

4. Berakhirnya pernyaian

Menurut Ann Laura Stoler, hingga 1920 di wilayah Malaya pergundikan

ditolerir karena golongan kulit putih yang miskin (poor whites) tidak bisa

diterima. Prestise orang kulit putih dianggap akan terancam apabila lelaki kulit

putih menjadi miskin karena mempertahankan gaya hidup kelas menengah Eropa

beserta istri dari ras yang sama. Sementara itu, hal yang sebaliknya justru terjadi

di Jawa. Pada akhir abad ke-19 pergundikan dianggap sebagai sumber kemiskinan

golongan kulit putih (white pauperism).96 Oleh karena itu, menurut Stoler,

perubahan kebijakan dan praktik pergundikan itu bersesuaian dengan “afirmasi

hierarki sosial dan divisi rasial” yang bersifat ambigu. Faktor yang mendukung

prestise itu elastis: pada suatu saat pergundikan secara sosial diterima dan

94
Ming, “Barracks-Concubinage,” 88.
95
Ming, “Barracks-Concubinage,” 89.
96
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat dalam Stoler, “Making Empire
Respectable,” 378.

42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

didukung secara sosial, namun pada waktu lain dianggap menjadi ancaman

politis.97

Sebagaimana dicatat Hellwig, antara 1890-1920 terjadi peningkatan

migrasi yang cukup tinggi: laki-laki sebanyak dua ratus persen, perempuan tiga

ratus persen. Salah satu efek dari tingginya migrasi itu adalah percepatan

Eropanisasi masyarakat Indis yang membuat kaum Indo lantas risih dengan darah

campurannya.98 Senada dengan apa yang diungkapkan Hellwig, Stoler juga

menyebutkan bahwa kedatangan perempuan Eropa secara besar-besaran di awal

abad ke-20 pada gilirannya membawa tuntutan perubahan bagi komunitas kulit

putih untuk “menegaskan kelas/golongan mereka, meneguhkan batas-batas, dan

menandai ruang sosial mereka.”99 Selama ini, para nyai dianggap telah membuat

lelaki kulit putih mengadaptasi perilaku dan adat kebiasaan kaum pribumi (going

native). Dengan hadirnya para perempuan Eropa keadaan ini berangsur-angsur

berubah. Para perempuan kulit putih yang dianggap sebagai “puncak peradaban

Barat,”100 sebaliknya, memperjelas hegemoni kulit putih dan dengan demikian

mempurifikasi kehidupan golongan Eropa di Hindia Belanda.

Sebagaimana Hellwig dan Stoler, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa

pada akhir abad ke-19 jumlah perempuan Eropa meningkat dan masyarakat Indis

semakin totok.101 Memang setelah 1890, pergundikan menyurut. Namun, hal ini

diikuti dengan maraknya prostitusi. Ming juga mencatat bahwa pada perempat

abad ke-19, golongan Kristen makin berperan dalam kehidupan sekular lewat

97
Stoler, “Making Empire Respectable,” 379.
98
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
99
Stoler, “Making Empire Respectable,” 379.
100
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
101
Ming, “Barracks-Concubinage,” 92.

43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berbagai saluran politiknya dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Oleh

karena itu, golongan Kristen yang kontra pernyaian turut memberi tekanan pada

pelaku pergundikan.102

Sementara itu, pada 1902 pemerintah menunjuk Commission on

Pauperism untuk menginvestigasi kemiskinan golongan Indo.103 Komisi ini

menjadi waspada akan pertumbuhan golongan Indo-Eropa karena kemelaratan

mereka karena hal tersebut akhirnya menimbulkan serangkaian konsekuensi

politik dan finansial terhadap pemerintah Hindia Belanda. Oleh sebab itulah,

mereka berupaya untuk mempertahankan jumlah golongan Indo sekecil mungkin.

Perlahan-lahan pemerintah kolonial bersiap-siap secara finansial untuk

mengurangi pergundikan. Salah satunya ialah dengan menaikkan gaji para

pegawai nonkomisi (non commissioned officer) supaya posisi mereka lebih baik

dan bisa menikah. Sebagaimana disebutkan Ming, dari fakta ini bisa disimpulkan

bahwa pemerintah kolonial mengantisipasi perkawinan dengan perempuan Eropa

dan bukan dengan nyai. Nyai dari kalangan pribumi kebutuhannya lebih sedikit.

Sementara itu, perempuan Eropa memiliki standar materi maupun moral lebih

tinggi.104 Kendati selama kurun waktu tertentu pemerintah Hindia Belanda

mentolerir dan melindungi pergundikan, baik nyai maupun anaknya tidak pernah

dijamin keamanannya dalam bentuk apapun. Padahal, semangat tempur para

tentara Hindia bersandar pada perempuan pribumi dan anak-anak tersebut.105

102
Ming, “Barracks-Concubinage,” 92.
103
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
104
Ming, “Barracks-Concubinage,” 71.
105
Ming, “Barracks-Concubinage,” 93.

44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III
KONTEKS SASTRA MASA KOLONIAL

Bahasa Melayu, yang selanjutnya disebut bahasa Indonesia, pertama kali

diumumkan sebagai bahasa persatuan di Nusantara pada tahun 1928 lewat

Sumpah Pemuda. Namun, seringkali tidak disadari bahwa bahasa tersebut

mengalami proses yang tidak sederhana untuk menjadi bahasa sebuah bangsa

seperti yang kita kenal saat ini. Cikal-bakal bahasa Melayu tersebut tidak dapat

dipisahkan dari serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia

Belanda pada waktu itu. Pemerintah kolonial secara sengaja menjalankan politik

bahasa untuk mempertahankan kepentingan politisnya.

Salah satu turunan dari politik bahasa tersebut ialah dipopulerkannya apa

yang disebut bahasa Melayu Tinggi kepada masyarakat pribumi. Di antaranya

melalui karya sastra yang diterbitkan Balai Pustaka. Sementara itu, bahasa yang

menghubungkan pelbagai orang dari suku bangsa dan etnis serta dipakai dalam

percakapan sehari-hari, yakni bahasa Melayu yang sering disebut Melayu Rendah,

justru perlahan-lahan disingkirkan. Konsekuensi dari hal tersebut produk-produk

budaya yang menggunakan medium bahasa tersebut juga termarjinalkan,

termasuk di dalamnya karya sastra Melayu Rendah. Bab ini mencoba memberikan

konteks dinamika bahasa Melayu Rendah, bahasa yang digunakan dalam cerita-

cerita nyai yang dikaji dalam penelitian ini serta politik bahasa yang dijalankan

oleh pemerintah kolonial terkait dengan marjinalisasi karya sastra Melayu

Rendah.

45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Bahasa dan karya sastra Melayu Rendah

Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab 1, ada begitu banyak karya

sastra berbahasa Melayu Rendah yang ditulis pada abad ke-19 dan ke-20. Bagian

ini akan coba menguraikan bahasa Melayu Rendah, mulai dari perdebatan sekitar

istilah “Melayu Rendah” itu sendiri, peran bahasa Melayu Rendah dalam

munculnya pers di Nusantara dan karya sastra yang dimuat di dalamnya,

perkembangan sastra Melayu Rendah dan “cerita nyai” sebagai salah satu genre

yang mewarnai khazanah sastra tersebut.

1.1. Sekilas tentang bahasa Melayu Rendah

Ada berbagai istilah yang dipakai untuk merujuk bahasa Melayu Rendah.

Yang pertama ialah bahasa Melayu Pasar. Menurut Jakob Sumarjo, digunakannya

istilah ini kiranya menunjukkan bahwa bahasa ini merupakan bahasa pengantar

dalam kegiatan dagang antaretnis dan antarbangsa di kota-kota niaga di

Nusantara.106 Memang sejak abad ke-17 berbagai pusat niaga dan pemerintahan—

sejak zaman VOC hingga kemudian zaman pemerintah kolonial Hindia

Belanda—menjadi tempat bertemunya berbagai kalangan: orang-orang Eropa

(terutama Belanda), golongan Indo, orang-orang Cina dan peranakannya, serta

kaum pribumi.

Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar untuk antologi cerita yang

ditulis dalam bahasa Melayu jenis ini menyebutnya sebagai Melayu lingua franca

atau Melayu pra-Indonesia. Menurut Pram, bahasa ini “bukan bahasa Melayu

106
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 20.

46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

baku, tetapi Melayu yang terjadi karena pertemuan antara berbagai bangsa dan

suku di Nusantara, yang pada mulanya hanya dipergunakan secara lisan.”107

Melayu lingua franca, menurutnya, merupakan fenomena tunggal di Asia

Tenggara karena dipergunakan dan dikembangkan oleh orang-orang asing

sewaktu memasuki Nusantara dari Malaka sebagai pangkalan. Bahasa ini secara

efektif memerantarai penyebaran berbagai agama di Nusantara. Para mubalig

asing mempergunakannya untuk menyebarkan Islam. Dari pangkalan Malaka

juga, bangsa Portugis memanfaatkannya untuk meletakkan dasar kekuasaan dan

Gereja Katolik Roma di Nusantara bagian timur, serta memakainya sebagai

bahasa kekuasaan dan administrasi. Tak heran jika kemudian bahasa setempat

justru terdesak menjadi “bahasa tanah”. Sebagai gantinya, bahasa Melayu Maluku

menjadi bahasa gereja dan pergaulan umum.108

Pemakaian bahasa Melayu ini terus berlanjut. Baik Kompeni Belanda dan

Kompeni Inggris di Malaka pun turut menggunakannya. Disebut oleh orang

Belanda sebagai “brabbel Maleisch”, ironisnya, ia justru dipakai sebagai bahasa

resmi Kompeni Belanda dan pemerintah kolonial setelahnya berabad-abad

lamanya hingga pada awal abad ke-20 ketika gagasan membakukan bahasa

Melayu yang sudah mewacana sejak 1850-an mulai diwujudkan.

Oleh sementara pihak, bahasa Melayu tersebut juga disebut “Melayu

Tionghoa.” Claudine Salmon, seorang peneliti yang melakukan penelusuran

terhadap khazanah sastra Melayu di Nusantara, mengatakan bahwa ketika muncul

107
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 9.
108
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 9.

47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sastra dan persuratkabaran dalam bahasa Melayu, istilah “Melayu Tionghoa”

sama sekali tidak pernah ditemukan. Sebaliknya, pengarang-pengarang itu

menganggap diri menulis dalam bahasa yang umum digunakan di Jawa. Oleh

beberapa pihak, bahasa yang dimaksud ini disebut bahasa Melayu rendah.109 Dari

penelitiannya terhadap berbagai polemik mengenai bahasa ini, Salmon

menyimpulkan bahwa “tidak terdapat ‘Bahasa Melayu Tionghoa’ yang

sebenarnya, melainkan sesungguhnya suatu bahasa Melayu yang dipergunakan di

kota-kota di Jawa, oleh semua suku bangsa, baik itu orang-orang Jawa dan

Belanda maupun orang-orang Tionghoa.”110 Menurutnya, bahasa tersebut berbeda

dengan bahasa Melayu Sumatra yang pelan-pelan diperkenalkan oleh para pejabat

Balai Pustaka. Memang, bahasa Melayu versi Sumatra ini kemudian memberikan

kontribusi besar terhadap pengembangan bahasa Indonesia.

Lantas, bagaimana sebutan ini berubah menjadi “Melayu Tionghoa”? Hal

ini terkait erat dengan masalah politik. Menurut Salmon, manakala alergi-alergi

politik telah memperlebar jurang antara orang-orang Indonesia dan orang-orang

Tionghoa, sesuatu yang tidak dijumpai pada akhir abad ke-19 maupun awal abad

ke-20, mulailah “ditempa dan disebarluaskan istilah bahasa Melayu Tionghoa

dengan arti buruk, untuk menyebut suatu bahasa yang relatif kuno dan yang

109
Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat
Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Henri Chambert-Loir, et. al. (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), 99.
110
Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat
Diterima?”, 99.

48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sesungguhnya dipergunakan oleh semua orang di Jawa hingga menjelang tahun-

tahun 1920-an.”111

Hal senada dikemukakan Dede Oetomo. Istilah “Melayu Cina”,

menurutnya, tidaklah tepat. Mungkin memang ada kontinuitas antara “Melayu

Cina” dan bahasa Indonesia modern, khususnya karena “Melayu Cina” juga

digunakan dalam wacana tulis orang-orang dari kelompok etnis lainnya selain

kalangan Cina pada masa kolonial dan juga setelah masa kemerdekaan.112 Ia

menyebutkan bahwa dalam sejumlah literatur yang bisa meralat mitos “Melayu

Cina,” dua fakta selalu diketengahkan. Pertama, bahasa sehari-hari orang Cina

yang berbahasa Melayu berbeda dialeknya dari daerah satu dengan yang lain.

Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa ada satu dialek Melayu yang

dipakai orang Cina di manapun di seluruh Nusantara. Kedua, dialek lokal orang

Cina yang berbahasa Melayu dengan pewicara Melayu lokal lainnya hanya

berbeda sedikit (kendati hal tersebut masih perlu diteliti secara empiris).113

Sebagai gantinya, ia cenderung menggunakan istilah “Melayu pra-

Indonesia" (pre-Indonesian Malay/PIM) yang dibedakan dari Melayu/Indonesia

standar (standard Malay[SM]/Indonesian). Dari penelusuran terhadap fonologi,

ortografi, morfologi, sintaksis, kosakata Melayu pra-Indonesia, Dede

menyimpulkan bahwa jika kita mempertimbangkan eksistensi kata-kata pinjaman,

kita mungkin bisa mengatakan bahwa terdapat subdialek dalam bahasa Melayu

111
Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”,
109.
112
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian
Language,” Indonesia 51 (1991): 55.
113
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian
Language,” Indonesia 51 (1991): 55.

49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pra-Indonesia. Ini dalam artian bahwa pengarang dari etnis Cina cenderung

menaburi bahasa Melayunya dengan kosakata pinjaman dari Cina Hokkien.

Hanya dalam konteks inilah seseorang bisa mengatakan “Melayu Cina” atau

subdialek Cina dari Melayu pra-Indonesia.114 Apa yang secara salah kaprah

disebut “Melayu-Cina” secara struktural dan dalam penggunaan bahasa formal

hanyalah ragam Melayu/Indonesia (PIM) yang digunakan secara luas oleh kaum

borjuis di pusat-pusat perkotaan kolonial.115

Agak berbeda dengan apa yang diungkapkan Claudine Salmon dan Dede

Oetomo, Jakob Sumardjo mengemukakan bahwa istilah bahasa Melayu Rendah

digunakan secara sadar oleh para penulisnya sejak awal lahirnya sastra ini.

Penggunaan istilah “Melayu Tionghoa” atau “Melayu Cina” pada 1920-an

dipengaruhi oleh Sumpah Pemuda di kalangan pribumi yang lalu secara sadar

mengembangkan bahasa nasionalnya sendiri. Sejak itulah, bahasa Melayu Rendah

dipakai hanya di kalangan terbatas, yakni kalangan Tionghoa saja.116

Dalam penelitian ini, saya sendiri akan menggunakan istilah “Melayu

Rendah” karena beberapa alasan. Pertama, istilah “Melayu Rendah” di sini saya

maksudkan sebagai seluruh dialek Melayu yang dipakai di Nusantara pada masa

kolonial—periode ketika karya-karya sastra yang saya teliti ditulis. Kedua, istilah

“Melayu Rendah” yang sering disebut “brabbel Maleisch” atau “Laag Maleisch”

114
Tidak terhenti di situ Dede Oetomo melanjutkan, “Tapi, lalu mungkin seseorang juga harus
menyebut “Melayu Jawa” atau “Melayu Arab” sebagai subdialek karena kelompok ini jug
meminjam kosakata dari bahasa asli mereka.” Dalam Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia
and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 (1991): 64.
115
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian
Language,” Indonesia 51 (1991): 64.
116
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 2.

50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ini tetap saya pakai untuk menunjukkan suatu ironi bahwa bahasa inilah yang

justru menjadi bahasa administrasi dan bahasa yang dipakai dalam berbagai

aktivitas dan relasi sosial antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan

pelbagai unsur masyarakat kolonial kala itu. Mewujud sebagai bahasa komunikasi

(verkertaal), bahasa Melayu Rendah menyimpan aneka potensi tersembunyi di

antaranya karena digunakan dalam dunia pers, baik yang dijalankan oleh orang

Tionghoa maupun pribumi dan juga, yang tak boleh dilupakan, dalam dunia

sastra. Karena alasan inilah pemerintah Hindia Belanda kemudian merasa perlu

untuk melakukan sensor terhadap bahasa yang “tidak murni” dan “tidak benar”

ini, yang salah satunya dilembagakan lewat pendirian Balai Pustaka, dan di

kemudian hari pembakuan bahasa Melayu, yakni Melayu Tinggi yang konon

berakar di Riau, jantung kebudayaan Melayu.

1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar

Kelahiran karya sastra Melayu Rendah tidak bisa dilepaskan dari

keberadaan pers dan penerbitan berkala yang mulai tumbuh pada akhir abad ke-

19. Mengapa demikian? Hal tersebut tak lain karena para penulis cerita pada masa

itu umumnya menampilkan karyanya melalui surat kabar.117 Kelahiran pers yang

dijalankan oleh pihak swasta berawal dari pemberlakuan Regulasi Pers Tahun

1856. Dalam aturan itu disebutkan bahwa, “Pengawasan atas Pers dalam negeri

dan pers yang masuk dari luar dihilangkan kecuali mengganggu ketertiban

117
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 8.

51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118
umum.” Hal ini merupakan efek dari bergulirnya paham liberal di daratan

Eropa yang lantas juga menjalar ke daerah-daerah jajahan.

Cikal bakal pers berbahasa Melayu Rendah dimulai pada 1858 dengan

terbitnya Soerat Kabar Batawi’s yang dicetak dalam bahasa Latin dan Arab

(Rumi dan Jawi). Terbit setiap hari Sabtu, surat kabar ini selain memuat hal-hal

yang berkaitan dengan perdagangan juga menampilkan kisah-kisah dari Hikayat

Seribu Satu Malam dan hikayat Melayu. Para khalayak pembacanya terutama

kaum priyayi rendah dan guru sekolah.119

Periode 1885 hingga 1860 bisa dikatakan sebagai masa awal tumbuhnya

pers Indonesia. Akan tetapi, penerbitan ini kebanyakan masih dimodali dan

dikelola oleh orang-orang Belanda. Penerbitan tersebut antara lain muncul di

Surakarta, Jakarta dan Surabaya. Di dalam penerbitan ini bentuk-bentuk

pengucapan sastra modern berupa cerita pendek dan penceritaan kembali kisah-

kisah lama dalam bahasa prosa Melayu sudah mulai tampak.120 Sayangnya,

penerbitan ini umumnya hanya bertahan satu hingga dua tahun saja karena

kurangnya peminat.

Setelah periode tersebut, yakni 1860 sampai 1869, dunia penerbitan

memasuki masa konsolidasi. Ini ditandai dengan terbitnya berbagai surat kabar di

berbagai kota dagang seperti Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang

Timor (Surabaya, 1862), Bintang Timur (Medan, 1865), Djoroemartani

118
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 16.
119
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 17.
120
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 18.

52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Surakarta, 1864), Bianglala (Depok, 1867), Matahari dan Bintang Barat

(Jakarta), Tjahaya Siang (Tondano, 1868) dan berkembangnya pers di Hindia

pada kurun waktu sesudahnya. Penerbitan ini umumnya masih dibiayai oleh orang

Belanda dan Inggris. Para pembaca yang disasar sebagai audiens ialah golongan

tentara dan priyayi. Media penerbitan pada masa tersebut menampilkan karya

sastra yang kian beragam—cerita pendek, hikayat lama, syair dan pantun, baik

epik maupun lirik.121

Periode 1880-an dan tahun-tahun sesudahnya menyaksikan pertumbuhan

pers yang makin signifikan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari menguatnya kaum

Indo-Belanda dalam dunia penerbitan. Sebagaimana diungkapkan Jakob

Sumardjo, kaum Indo yang secara demografis jumlahnya lebih besar dari

golongan Belanda tak mungkin bersaing dalam penerbitan pers. Oleh sebab itu,

mereka yang menguasai bahasa Belanda dan Melayu Rendah sekaligus akhirnya

memilih bergerak dalam pers berbahasa Melayu Rendah. Akibatnya, muncullah

karya terjemahan dan saduran roman dan karya sastra Eropa ke dalam bahasa

Melayu Rendah dalam penerbitan pada periode tersebut. Ini bisa disaksikan dalam

terjemahan Pont Jest L’Araigne Rouge karya penulis Perancis oleh wartawan Indo

EF Wiggers pada tahun 1874. Karya tersebut diberi judul Lawah-lawah Merah.

Karya terkenal lainnya, Hikayat Robinson Crusoe, karya Daniel Defoe

diterjemahkan oleh AF von de Wall.

Peranan golongan Tionghoa juga signifikan dalam dunia pers berbahasa

Melayu Rendah. Memasuki dunia penerbitan mulai 1890-an, golongan Tionghoa

121
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 18.

53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

turut memperkuat keberadaan pers bahkan hingga jatuhnya kekuasaan kolonial

Belanda pada tahun 1942. Mulai periode itu, kaum Peranakan Tionghoa mulai

memiliki penerbitan sendiri. Menurut Pram, itu berarti mereka “lebih punya

kebebasan sendiri, atas pilihan sendiri dan dengan tanggung jawab sendiri.”122

Namun, patut dicatat bahwa kebebasan pers sebelum tahun 1906 belumlah

sepenuhnya. Sementara itu, pers pribumi sendiri mulai lahir setelah tahun 1900.

Medan Prijaji yang lahir pada 1906 di Bogor, Bandung dan Betawi serta

dikomandoi oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo patut disebut sebagai tonggak pers

nasional. Dengan munculnya golongan Tionghoa dan pribumi dalam kancah

penerbitan, peranan golongan Indo perlahan-lahan menyurut.

1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya

Karya sastra Melayu Rendah yang muncul pertama kalinya ialah

terjemahan dari khazanah sastra Eropa. Dari sinilah khalayak pembaca sastra di

Hindia Belanda berkenalan dengan bentuk-bentuk sastra modern. Ini tepatnya

terjadi sekitar 1870-an. Memang sekitar 1850-an dalam penerbitan berkala sudah

muncul berbagai bentuk penceritaan kembali kisah-kisah rakyat di Nusantara

maupun karya sastra Arab. Penceritaan kembali ini menggunakan bahasa Jawa

dan Melayu Rendah. Salah satu karya awal ialah Raja Pirangon karya T. Roorda

(1844) yang berkisah tentang Firaun dan karya anonim Angling Darma (1853).123

122
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 8.
123
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 24.

54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Penceritaan kembali kisah rakyat populer ke dalam bahasa Melayu Rendah

mengemuka pada tahun 1859.124 Ini ditandai dengan penerbitan Bagaej-bagaej

Tjerita di Batavia dan juga Inilah Kitab Taman Wandji Namanya, Jah itoe

Babrapa Hikayat Orang-orang yang Ampoenya Tjerita (1862) karya JGF Riedel

di Ujung Pandang. Pada saat yang bersamaan, jenis karya berupa penceritaan

kembali ini pun muncul sebagai cerita bersambung dalam terbitan pers.125

Bagaimana dengan bacaan yang dikonsumsi oleh pembaca peranakan

Tionghoa? Rupanya mereka pun mengkonsumsi bacaan dari jenis yang serupa.

Akan tetapi, cerita yang diambil berasal dari kisah klasik Cina seperti Sam Kok

yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pada 1859. Barulah pada 1880-an

kisah ini muncul juga dalam bahasa Melayu Rendah.126

Dari penceritaan kembali, bentuk karya sastra pada masa itu beralih ke

karya terjemahan. Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu pada tahun 1857

terbit Lawah-Lawah Merah yang diterjemahkan dari sebuah novel Perancis dan

Hikayat Robinson Crusoe dari novel Inggris. Sementara di kalangan masyarakat

peranakan Tionghoa, terbit terjemahan Tjerita Daholoe Kala di Benoea Tjina

Tersalin dari Tjeritaan Boekoe Sam Kok (1883) sebanyak 12 jilid dan Tjerita

Dahoeloe Kala Lamijoe Wa-kong jaitu Wa-kong Poenya Mata Bertamba Satoe di

mana Tengah Djidatnya, Djadi Tiga Matanja maka di mana Oedara atawa Boemi

jika Ada Beroepa Barang jang Baik atawa Tidak Baik Dia Bole Dapat Tahoe

124
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 24.
125
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 25.
126
G. Schlegel sebagaimana dikutip Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal
(Yogyakarta: Galang Press, 2004), 25.

55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(1884). Claudine Salmon, sebagaimana dikutip oleh Jakob Sumardjo,

menyebutkan setelah tahun tersebut 759 karya Cina diterjemahkan ke dalam

bahasa Melayu Rendah.127

Terkait dengan pemecahan cerita ke dalam beberapa jilid, menarik jika

kita menyimak apa yang dipaparkan oleh Noe Joe Lan. Menurutnya, penerbitan

cerita dengan jilid yang bersambung-sambung ini oleh penerbitan Belanda

maupun Tionghoa berhubungan dengan “politik penjualan” atau siasat dagang.

Untuk masing-masing jilid harganya berkisar antara f 0,5 hingga f 2,50.128 Jadi,

pembaca tidak merasa kaget jika mengeluarkan uangnya untuk masing-masing

jilid tersebut sedikit demi sedikit.

Secara ringkas bisa dirangkum bahwa tumbuhnya karya terjemahan

pertama-tama diawali oleh orang Belanda dan Indo pada 1870-an dan kemudian

orang Cina dan peranakan pada 1880-an. Ini lantas disusul oleh golongan pribumi

pada 1890-an. Selama tiga dasawarsa inilah landasan bagi lahirnya karya sastra

modern di tanah Hindia Belanda mulai diletakkan. Terbukti dengan terbitnya Njai

Dasima (1896) yang ditulis oleh G. Francis dan kumpulan tiga cerita pendek

(1897) oleh penulis anonim.129

Terbitnya karya ini disusul oleh berbagai karya lain yang ditulis dalam

bahasa Melayu Rendah pada tahun-tahun selanjutnya. Menurut Pramoedya

127
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004),27.
128
Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa (Djakarta: PT Gunung Agung, 1962), 22.
129
Menurut Jakob Sumardjo, kemungkinan besar pengarang anonim tersebut berasal dari
kalangan Tionghoa. Selain itu, menurut WV Skykorsky, di Perpus Uni Soviet sebenarnya masih
ada karya yang lebih tua, yaitu Hikajat Roh Manoesia (A. Rogensburg, 1893) dan Boekoe Komidi
Terpake bagi Komidi Stambul (H. Kraff, 1893). Dalam Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu
Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 27 dan 29.

56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ananta Toer, di dalam karya yang disebutnya sebagai karya sastra Melayu

asimilatif itu sudah terkandung pernyataan diri pribadi (self expression). Inilah ciri

yang membedakannya dengan sastra tradisional-konvensional lama.130 Para

penulisnya berasal dari berbagai kalangan, yakni orang Eropa dan Indo, orang

Tionghoa dan peranakannya, serta kaum pribumi. Umumnya para penulis karya

sastra tersebut adalah wartawan. Seperti dikemukakan Claudine Salmon, karya

mereka dibaca oleh publik yang beraneka ragam sehingga mereka ikut

mempersatukan bahasa Melayu yang dipakai di Jawa.131

Pada periode 1890-an, golongan Belanda dan Indo yang sejak 1850 hingga

1880-an sudah aktif dalam pers dan sastra terjemahan telah melahirkan karya-

karya sastra modern dengan sumber berbagai kejadian di Indonesia.132 Beberapa

penulis Belanda yang patut disebut di sini antara lain H. Kommer yang pada 1900

menulis beberapa kisah nyai (Tjerita Siti Aisah, Tjerita Nji Paina, Njai Sarikem)

dan Tjerita Njonja Kong Hong Nio. Selain itu ada pula F. Wiggers yang menulis

Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901), novel Nona Gelatik dan Syair Java-

Bank Dirampok (1902) dan novel Nji Isah (1903), serta HFR Kommer

menerbitkan karyanya berupa novel berjudul Nona Leonie (1902). Sementara itu,

penulis dari kalangan pribumi antara lain FDJ Pangemanann yang menulis novelet

Tjerita Si Conat (1900) dan Tjerita Rossina (1903). Salah satu penulis yang juga

pionir pers pribumi ialah Raden Mas Tirto Adhisoerjo yang menulis cerita

130
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982), 12.
131
Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”,
107.
132
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 31.

57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Perboeatan Seorang Gadis Riwajat pada Masa Sekarang (1902), Doenia

Percintaan, 101 Tjerita yang Soenggoeh soedah Terjadi di Tanah Priangan

(1906), Menemoe Tjinta dalam Kereta Api (1903), Pertoenangan Sia-sia (1903),

Mentjari Oentoeng (1903), Tjerita Njai Ratna (1909), Membeli Bini Orang

(1909), Boesono (1912), Njai Permata (1912). Hadji Moekti juga mungkin bisa

dimasukkan ke dalam kategori penulis pribumi meskipun ia konon berdarah

campuran Indo-Eropa. Pada tahun 1912 ia menulis Hikajat Siti Mariah yang

dimuat secara bersambung dalam Medan Prijaji. Para penulis yang beraliran

sosialis juga turut meramaikan khazanah sastra Melayu Rendah. Di antaranya,

Mas Marco Kartodikromo dengan karyanya Mata Gelap (1914), Syair Rempah-

rempah sebanyak lima jilid (1919), Student Hidjo (1919), Si Bejo Jurnalis

Berontak (1919), R.A. Tien (1919), Rasa Merdika (1924) dan beberapa cerpen,

serta Semaun dengan karyanya yang cukup terkenal Hikajat Kadiroen (1924).133

Adapun para penulis peranakan Tionghoa tak kurang produktif. Claudine Salmon

mencatat ada 3.005 karya berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para

penulis peranakan Tionghoa.

Berbagai cerita tersebut memunculkan tema yang beragam. Persoalan

cinta yang terlarang, kawin paksa, bunuh diri karena patah hati dan perkawinan

antarras adalah tema umum yang mengemuka. Adalah kenyataan yang tidak bisa

dipungkiri bahwa karya sastra Melayu Rendah ini turut mempengaruhi karya

Melayu Tinggi, setidaknya dalam hal tema yang ditampilkan. Siti Nurbaya,

133
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 32.

58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

misalnya, sering disebut sebagai roman yang bertemakan kawin paksa—sesuatu

hal yang amat lazim pada masa tersebut.

Menurut Jakob Sumardjo, secara umum ada beberapa fungsi karya sastra

Melayu Rendah. Pertama adalah didaktis murni. Dalam cerita semacam ini,

terdapat tokoh protagonis orang baik dan bertahan baik di tengah pelbagai cobaan.

Kedua, karya sastra dengan standar ganda di mana terdapat protagonis jahat,

biasanya nyai yang berselingkuh. Akan tetapi, fungsinya didaktis juga. Ketiga,

intelektual. Cerita tersebut mengetengahkan persoalan aktual zaman dari

lingkungan kaum elit zaman penjajahan, baik pribumi maupun gabungan pribumi

dan Belanda.134 Terlepas dari pelbagai fungsi tersebut, karya sastra Melayu

Rendah bisa digolongkan ke dalam karya sastra populer yang kehadirannya turut

mewarnai dunia kesusastraan di Nusantara pada masa awal.

1.4. Cerita tentang pernyaian

Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa umumnya para penulis

karya sastra Melayu Rendah ini bekerja sebagai wartawan. Maka, tak heran jika

realitas sastra yang ditampilkan diilhami oleh peristiwa sehari-hari yang terjadi

dalam masyarakat. Seperti yang disebutkan Nio Joe Lan, realitas sastra umumnya

didapatkan penulisnya dari berita-berita di surat kabar maupun catatan sidang

perkara di pengadilan. Selain itu, bahan cerita juga bisa berasal dari penyelidikan

yang dilakukan oleh penulisnya sendiri.135 Hal senada dikemukakan Jakob

Sumardjo. Menurutnya, karena para penulis novelet atau novel tersebut


134
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 262.
135
Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa (Djakarta: PT Gunung Agung, 1962), 44.

59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kebanyakan para wartawan dan redaktur, besar kemungkinan bahwa cerita

memang berdasarkan berita-berita nyata yang diolah kembali dalam bentuk fiksi

sastra.136

Terlepas dari kesesuaian realitas sastra dengan realitas sosiologis yang

nyata, para penulis karya Melayu Rendah memang menggunakan siasat yang

cukup provokatif untuk menarik perhatian para pembacanya. Di bagian sampul

buku umumnya ditulis “soeatoe tjerita jang betoel-betoel soedah kedjadian pada

tahoen di …. “ Kisah-kisah tentang nyai atau istri (tidak resmi) dari kalangan

pribumi yang ditulis oleh orang Cina atau Belanda pun termasuk yang

menggunakan strategi ini. Biasanya kisah nyai hadir dengan tema nyai yang

meninggalkan suami Belandanya atau berselingkuh—tak jarang dengan orang

pribumi. Namun, seperti dikemukakan Jakob Sumardjo, pada pengarang pribumi

“sifat fiksinya lebih kuat dari sekadar merekonstruksi kejadian hebat lewat

sastra.”137 Dalam hal ini pesan pengarang untuk sesuatu maksud lebih menonjol.

Ini, misalnya, dapat terlihat dalam karya Tirto Adhisuryo dan Mas Marco.

2. Politik bahasa pemerintah kolonial

Perdebatan mengenai bahasa apa yang bisa efektif dipakai untuk urusan

administrasi maupun pendidikan di Hindia Belanda sudah mengemuka sejak

1850-an. Akan tetapi, baru pada akhir abad ke-19 dicapai kesepakatan, yakni

bahasa Belanda dibatasi untuk segelintir orang saja, sementara Melayu akan

136
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 32.
137
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 33.

60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dipakai sebagai bahasa perhubungan di Hindia Belanda.138 Dalam pelaksanaanya,

keputusan itu akhirnya terkait erat dengan kepentingan-kepentingan politis.

Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana pemerintah kolonial menjalankan

politik bahasanya melalui pendirian Balai Pustaka dan efeknya terhadap karya

sastra Melayu Rendah yang bukan diterbitkan oleh lembaga tersebut.

2.1. Pendirian Commissie vor Volkslectuur

Pada 14 Desember 1908 pemerintah kolonial mendirikan Commissie voor

de Inlandsche school en volkslectuur yang diketuai GAJ Hazeu. Komisi ini

“didirikan untuk memproduksi dan mendistribusikan bahan bacaan bermutu dan

murah untuk penduduk pribumi manakala tingkat melek huruf meningkat secara

kentara sebagai akibat Politik Etis.”139 Akan tetapi, pendirian komisi tersebut

tidak berhenti pada tujuan yang disebutkan di atas. Jakob Sumardjo menyebutkan,

pendirian komisi ini dilakukan karena Pemerintah Hindia Belanda belajar dari

kegagalan kolonisasi Inggris di India yang memberi akses terhadap pendidikan

golongan pribumi namun tidak mengontrol bacaan rakyat.140

Bertumbuhnya golongan melek huruf ini memang sebagai akibat dari

pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia yang untuk memenuhi

kebutuhan akan tenaga terdidik dalam administrasi pemerintahan dan bidang

pekerjaan lainnya. Memang, lahirnya kaum cerdik cendekia ini sudah diwaspadai

oleh pemerintah. Terbukti dalam memo Memorie van Toeliching yang

138
Maier, “Forms of Cencorship in the Dutch Indies,” Indonesia 51 (1991): 73.
139
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992),
23.
140
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 34.

61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dikeluarkan pada 1851 disebutkan: “Tidak perlukah orang itu dapat pimpinan di

dalam perkara mencari ilmu? Tidak khawatirkah orang bahwa pengetahuan yang

tidak sempurna akan menimbulkan iri hati dan pergerakan, bahkan menyebabkan

orang kehilangan kesetiaannya serta mendatangkan kejahatan?”141

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, menjelang peralihan

abad ke-19 pers tumbuh subur. Pers yang dijalankan oleh golongan Indo,

peranakan Cina maupun pribumi tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah,

suatu bahasa yang cair dan lentur serta mudah dipahami oleh berbagai unsur

masyarakat Hindia. Agaknya, ketakutan pemerintah kolonial akan “pengetahuan

yang tidak sempurna yang menimbulkan pergerakan” ini benar-benar menjadi

kenyataan dengan munculnya berbagai kritik terhadap pemerintah kolonial

melalui pers berbahasa Melayu Rendah.

Berkembangnya pers di sekitar pergantian abad ke-20 ibarat sebuah alarm

yang memperingatkan pemerintah kolonial Belanda untuk lebih siaga. Oleh

karena alasan inilah, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu melakukan

sebentuk kontrol. Dari korespondensi antara Menteri Urusan Kolonial di Den

Haag dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 2 Juni dapat diketahui hal

berikut.

Tindakan keras harus dikenakan terhadap ajaran revolusi rakyat melawan


pemerintah Belanda, terhadap upaya yang tidak jemu-jemu untuk
mendiskreditkan maksud-maksud baik Pemerintah, terhadap penyebaran
kebencian dan perselisihan di antara bermacam-macam ras yang telah
menjadi tatanan saat ini. Mentolerir manifestasi-manifestasinya atau
menyerahkan upaya represi kepada pandangan pengadilan Hindia yang

141
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 36.

62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

beragam—yang dalam praktiknya merupakan hal yang sama—adalah


sama seperti melakukan bunuh diri politik.142

Lebih lanjut surat tersebut menyebutkan bahwa aturan ini harus

diberlakukan tanpa pembedaan kendati untuk pers non Eropa, yakni pers pribumi

dan Tionghoa, kontrol yang dibutuhkan harus lebih ketat lagi. Kontrol preventif,

menurut surat tersebut, sudah tidak dimungkinkan oleh perubahan-perubahan

dalam Regulasi Pers Tahun 1906. Perubahan dalam Regulasi Pers yang menjamin

kebebasan berekspresi ini dilandasi oleh semangat Politik Etis yang muncul pada

masa itu. Segala aturan yang merintangi kebebasan berekspresi harus dicabut, dan

“pengawasan preventif terhadap kata-kata tertulis harus diakhiri”.143 Maka,

diperlukan alat represi baru dan ini dijalankan bukan oleh pengadilan, melainkan

oleh pejabat administratif.144

Baik para administratur di Batavia dan politisi di Den Haag menganggap

penyensoran perlu dijalankan karena represi yang bersifat administratif akan

menjamin keamanan dan ketertiban, syarat bagi kestabilan ekonomi dan kemajuan

kaum pribumi. Selain itu, sensor juga akan membantu dalam mengembangkan

konsep mengenai keindahan dan moralitas di kalangan pribumi.145

Pendirian Volkslectuur sekitar sepuluh tahun setelah wacana untuk

menyensor pers diawali dari laporan seorang pegawai sipil berpangkat rendah

bernama JE Jasper pada 1905. Ia meminta pemerintah melakukan perbaikan

142
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 67.
143
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 68.
144
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 67.
145
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 71.

63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terhadap sistem pendidikan di seluruh pedesaan di Jawa dan Madura. Diusulkan

ada sebuah organisasi yang terpusat untuk memproduksi, mendistribusi dan

menyimpan bahan bacaan yang layak. Departemen Pendidikan dan Urusan

Agama (Department van Onderwijs en Errredienst) ditengarai bisa melakukan hal

tersebut. Menurutnya, para siswa dan guru butuh peluang lebih besar untuk

memperbaiki kemampuan membaca mereka. Jasper juga meminta tambahan

pasokan bacaan dalam huruf Latin agar orang Jawa terdorong untuk beralih dari

huruf tradisional Jawa.146

Pendirian Volkslectuur jelas tidak berhenti untuk “menyempurnakan”

pengetahuan rakyat belaka. Di baliknya, terkandung semangat yang diungkapkan

Snouck Hurgronje: “Warisan kita (…) terdiri dari daerah jajahan yang cantik dan

kaya. Namun, jika klaim ini harus bertahan dalam tekanan badai zaman,

penaklukan material harus kita ikuti pula dengan penaklukan spiritual.”147 Dalam

konteks ini pulalah kita bisa memahami bahwa “Volkslectuur membawa apa yang

dianggap sebagai makanan spiritual yang sehat.”148 Jadi, Volkslectuur kira-kira

berfungsi sebagai alat dominasi kultural, yang benar-benar berbeda dari dominasi

secara fisik melalui kekuatan senjata.

Pada awal berdirinya, proses seleksi, produksi dan distribusi teks masih

dijalankan oleh beberapa organ. Jadi, belum terpusat sebagaimana yang diniatkan

semula. Komisi ini menjadi badan penasihat yang membantu Departemen

146
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
24.
147
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
24.
148
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
31.

64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pendidikan menyeleksi teks. Pencetakan materi biasanya dilakukan di percetakan

milik pemerintah atau swasta. Penjualan buku dan suplainya diserahkan pada

Depot van Leermiddelen, tempat penyimpanan materi sekolah. Volkslectuur juga

menaruh perhatian khusus pada teks tradisional Jawa yang lantas diadaptasi sesuai

dengan standar Barat.149

Seperti diungkapkan Jakob Sumardjo, selama 6 tahun Volklectuur telah

memberikan berbagai buku yang dikelompokkan dalam tiga seri: seri A (bacaan

anak-anak sekolah dalam bahasa daerah), seri B (buku-buku hiburan dan ilmu

pengetahuan untuk pembaca dewasa), dan seri C (bacaan bagi mereka yang telah

lanjut pengetahuannya). Buku-buku ini sebagian besar ditulis dalam Melayu

Tinggi. Penerbitan buku dalam bahasa daerah nyatanya paling banyak dan ini,

menurutnya, menunjukkan bahwa pemerintah sangat menekankan

“penyempurnaan pengetahuan” kepada siswa sekolah (rakyat).150

Volkslectuur mulai berperan lebih “serius” di bawah pimpinan DA Rinkes

pada 1910 dan menjadi biro otonom dengan nama Balai Poestaka. Ia memandang

bahwa sastra dan kebudayaan merupakan alat yang potensial untuk

mempengaruhi politik. Di bawah kepimpinan Rinkes Volkslectuur berkembang

menjadi salah satu “instrumen kebijakan kolonial yang signifikan.”151 Pada awal

kepemimpinannya, Rinkes merintis pendirian sistem perpustakaan umum yang

dinamai “Taman Poestaka”. Perpustakaan ini ditempatkan pada sekolah-sekolah

149
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
25.
150
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 36.
151
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
25.

65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

di desa dan sekolah-sekolah kelas dua. Bahan bacaannya dipasok oleh

Volkslectuur. Sejak 1916, sekolah pribumi dilengkapi dengan publikasi berbahasa

Belanda yang dipilih ataupun diproduksi oleh Volkslectuur. Namun, penekanan

utama tetap pada teks berbahasa Melayu, Jawa and Sunda. Penempatan

perpustakaan di sekolah-sekolah memberi dua keuntungan. Pertama, kepala

sekolah bertanggung jawab terhadap pengelolaannya. Kedua, kontrol terhadap

kebiasaan membaca para pengguna perpustakaan pun menjadi mungkin.152

Menurut Doris Jedamski, buku-buku yang diterbitkan Volkslectuur

dikonsumsi baik oleh kalangan terdidik maupun tidak terdidik kendati jumlah

peminjaman tidak menggambarkan hal tersebut. Mengapa? Sebuah buku yang

dipinjam bisa mendapatkan audiens sepuluh hingga lima belas orang karena buku

tersebut bisa dipinjamkan ke para tetangga atau dibacakan keras-keras kepada

para tetangga, kerabat dan teman. Hal ini khususnya berlaku di pedesaan di mana

mereka yang melek huruf benar-benar diharapkan untuk membacakan jurnal dan

buku lalu membacakannya keras-keras di muka umum. Selain itu, perpustakaan

tersebut juga didirikan di barak-barak dan rumah sakit, di penjara dan bahkan di

kamp tahanan Boven Digoel.153

Pada 1917 diadakan Survei Pers Pribumi (Inlandsche Persoverzicht, IPO)

yang kemudian berkembang sebagai alat penting melawan pers pribumi.

Volkslectuur juga mendirikan subdivisi baru, yakni subdivisi pers. Subdivisi pers

152
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
27.
153
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
27.

66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ini berfungsi sebagai “salah satu dari sensor kekuasaan kolonial yang paling

halus.”154

Pada 1920 diketahui bahwa Balai Pustaka mengalami masalah keuangan.

Berbagai tindakan pun dilakukan, antara lain iklan di surat kabar harian, sirkulasi

tinjauan buku di dalam penerbitan terbaru, serta penyebaran katalog secara gratis.

Selain itu, penjualan juga dilakukan di bazaar tahunan, pasar malam, dan tempat

lainnya. Penjualan melalu agen memberikan komisi 25 persen kepada agen yang

bersangkutan. Dengan strategi yang agresif seperti ini, Balai Pustaka yang

diuntungkan karena keberadaannya sebagai institusi kolonial menuai sukses

besar-besaran mengingat tingginya angka buta huruf pada masa itu. Pada tahun

yang sama tercatat 100 ribu buku terjual. Satu juta peminjaman pun tercatat untuk

lima ribu kopi per edisi. Dukungan yang kuat dari pemerintah juga

memungkinkannya memproduksi buku berkualitas tinggi dengan harga murah.

Penyempurnaan distribusi membuat Volkslectuur menjadi faktor yang amat

menentukan di dalam pasar sastra dan jurnalistik.155

Secara ringkas, bisa dikatakan Volkslectuur yang kemudian dinamai Balai

Poestaka berperan sangat penting di dalam politik bahasa pemerintah kolonial.

Dengan menerbitkan buku-buku berbahasa Melayu Tinggi yang dipakai sebagai

buku wajib di sekolah dan bacaan rakyat, pemerintah telah meminggirkan karya

sastra berbahasa Melayu Rendah.

154
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
34.
155
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 (1992):
29.

67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar

Sebagaimana disebutkan HMJ Maier, perebutan otoritas di dalam

kehidupan sastra juga melibatkan kekuatan-kekuatan sosial. Karya sastra Melayu

Rendah dilarang karena karya-karya tersebut secara politik berbahaya dan secara

moral mencurigakan, sehingga hal tersebut mengancam keamanan dan ketertiban.

Balai Poestaka, menurutnya, secara ideologis merupakan perpanjangan tangan

otoritas kolonial yang berfungsi menjauhkan orang-orang pribumi dari kekuatan

subversif yang muncul di masyarakat.156

Bacaan yang diproduksi Balai Poestaka secara efektif dikonsumsi

masyarakat berkat dukungan sistem pendidikan. Bukan hanya menghantar

kalangan pribumi pada modernitas, Balai Poestaka juga secara aktif turut

membentuk kanon sastra modern berbahasa Melayu Tinggi—yang kelak dikenal

sebagai tonggak sastra Indonesia modern. Beberapa topik dihindari, antara lain

seks, politik dan agama. Sementara dalam karya sastra berbahasa Melayu Tinggi,

tema semacam ini dilarang, mereka terus muncul dalam karya sastra Melayu

Rendah.

Menurut Maier, melalui pembentukan kanon, penyensoran bisa diterapkan

melalui represi aktif, melalui pencegahan, melalui sistem pendidikan yang

didesain dengan baik, melalui kebijakan penjualan yang agresif dan melalui

efesiensi.157 Untuk benar-benar menang mutlak dari kompetitornya, klaim bahwa

karya sastra Melayu Rendah adalah “sastra tak bermutu” (Schund literature) pun

156
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 77.
157
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 78.

68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dihembuskan. Karya-karya tersebut imoral, sensual, and oleh sebab itu, jahat dan

berbahaya.158

Selain sebutan “sastra tak bermutu”, karya sastra Melayu Rendah sering

disebut “bacaan liar.” Bagaimana istilah “bacaan liar” ini harus ditempatkan?

Apakah semata-mata untuk dilawankan dengan “bacaan tidak liar” alias bacaan

yang diproduksi oleh Balai Poestaka?

Dalam hal ini, Jakob Sumardjo menghubungkan istilah tersebut dengan

keberadaan “sekolah liar”. Menurutnya, pada zaman kolonial ada istilah “sekolah

liar”. Istilah ini dilekatkan pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh pihak

swasta pribumi dan kebanyakan di antara mereka berasal dari kaum pergerakan.

Sekolah tersebut disebut “liar” karena memupuk rasa kebangsaan pada murid-

muridnya. Jadi, “liar” di sini mengandung unsur “nasionalisme”. Setiap

pergerakan yang bersebrangan dengan pemerintah kala itu dianggap berbahaya

dan oleh karena itu, liar—dalam artian “tidak mengikuti tata tertib negeri.”159

Nah, bagaimana dengan “bacaan liar”—predikat yang dilekatkan pada

sastra berbahasa Melayu Rendah? Mengapa “liar”? Menurut Jakob Sumardjo, ini

karena banyak tulisan tersebut mengandung isi “melawan Belanda” secara

terselubung atau tidak sengaja.160 Mengapa demikian?

Sebagian dari cerita atau novel yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah

itu memang diadaptasi dari peristiwa sehari-hari, biasanya yang dimuat di surat

158
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-
Malay Literature’ dalam Indonesia 51 (1991), 79.
159
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 267.
160
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 267.

69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kabar. Berita tersebut memuat detail-detail acara pengadilan. Demikianlah para

penulis merekonstruksi tersebut sebagai realitas sastra. Memang, kisah-kisah

tersebut ditulis dengan tujuan komersil. Jadi, memang terkesan sensasional untuk

menarik perhatian pembaca. Namun, “secara tak sengaja” cerita-cerita tersebut

dipandang bisa memprovokasi kaum pribumi untuk melakukan perlawanan

terhadap pemerintah kolonial. Kisah Nyi Paina, misalnya, menceritakan

bagaimana seorang nyai bisa menulari tuannya dengan virus cacar hingga sang

tuan mati. Juga kisah Matahariah di mana seorang lelaki pribumi menolak cinta

seorang perempuan kulit putih. Keberanian Paina inilah yang bisa membangkitkan

imajinasi bahwa orang pribumi pun bisa melawan Belanda. Atau dalam cerita

Matahariah, orang pribumi pun tidak selalu harus tunduk pada kemauan orang

kulit putih dan dengan demikian, posisinya setara.

Imajinasi semacam inilah yang dianggap berbahaya dan harus dihindari.

Namun demikian tidak pernah ada “pembredelan” terhadapnya. Pemerintah

kolonial Belanda hanya membuat bacaan tandingan, yakni bacaan yang tidak liar,

yang mampu membangun tertib dan kepatuhan pribumi kepada Belanda. Seperti

diungkapkan Jakob Sumardjo, pelarangan buku justru menjelaskan isi buku dan

mengungkapkan makna yang oleh pembaca sebenarnya mungkin tidak tertangkap.

Oleh karena itu, pelarangan “bacaan liar” justru akan memicu kalangan pembaca

bawah tanah yang akan semakin sulit dikontrol pemerintah.161 Labelisasi “liar”

sudah cukup untuk membuat karya sasta Melayu Rendah terpojok dan

dieksklusikan dari kanon sastra.

161
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,
2004), 271.

70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV
AMBIVALENSI PASCAKOLONIAL
DALAM CERITA NYAI

“Cerita nyai” adalah salah satu genre yang turut membentuk korpus sastra

Melayu Rendah yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. “Cerita

nyai” mengisahkan kehidupan para nyai, istri tidak sah atau gundik, yang

seringkali dilawankan dengan “bini kawin” dari seorang lelaki Eropa ataupun

peranakan/Tionghoa. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, fenomena

pernyaian itu sendiri muncul dalam suatu sistem yang memungkinkannya untuk

berkembang, di antaranya melalui serangkaian kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa itu, dan hal tersebut sangat

berkaitan erat dengan kepentingan penjajah, khususnya kepentingan ekonomi.

Untuk keperluan penelitian ini, karya yang dibahas ialah “cerita nyai”

dengan tokoh nyai yang hidup bersama dengan lelaki Eropa sebagai tokoh utama

cerita. Cerita-cerita ini menarik untuk dikaji mengingat berbagai isu semisal ras,

gender dan relasi kolonial berjalin-berkelindan membentuk imaji yang kompleks

tentang tatanan masyarakat kolonial di mana garis-garis batas antara identitas

(identity) dan perbedaan (difference) seringkali menjadi tidak mudah didefinisikan

karena tidak pernah ajek. Dalam berbagai cerita ini, seringkali relasi kolonial tidak

memenuhi asumsi oposisi biner yang dengan tegas meneguhkan perbedaan antara

Timur/Barat, pribumi/Eropa, terjajah/penjajah. Empat cerita nyai yang akan

dibahas adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H.

71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat

Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti.

Untuk keperluan tersebut, konsep ambivalensi pascakolonial yang

diajukan oleh Homi K. Bhabha akan digunakan dalam analisis berbagai tema,

antara lain gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta wacana

tentang pernyaian sebagaimana direpresentasikan oleh keempat cerita.

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Bab I, konsep “ambivalensi”

diadopsi Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana kolonial. Ambivalensi ini

menjelaskan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan (attraction)

dan penolakan (repulsion) yang menandai hubungan antara penjajah dan terjajah.

Subjek terjajah mengalami hubungannya dengan penjajahnya secara berubah-ubah

yang terentang dari perlawanan (resistance) dan persekutuan (complicity). Jadi,

menurut Bhabha, titik berangkat pembacaan wacana kolonial harus beranjak dari

identifikasi imaji yang positif atau negatif menuju proses subjektifikasi yang

dimungkinkan melalui wacana yang stereotipikal.162 Atau dengan kata lain,

analisis harus digeser dari pertentangan antara kubu-kubu yang berlawanan dari

suatu oposisi biner menuju dinamika antara kedua kutub tersebut—ulang-alik

antara penolakan dan ketertarikan, antara resistensi ke persekutuan.

Dengan konsep “ambivalensi” ini saya ingin menunjukkan bahwa

hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) jauh dari sederhana dan

tidaklah diametral, tetapi kompleks dan resiprokal, di mana tokoh nyai (terjajah)

tidak melulu menjadi objek kekuasaan dari sang tuan dan tokoh tuan tidak selalu

162
Homi K. Bhabha, "The Other Question," Screen 24, 6 (November-December 1983), 18.

72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjadi penguasa mutlak. Demikian halnya dengan wacana kolonial yang tidak

melulu eksploitatif, tetapi juga tetap ada celah di dalamnya bagi si terjajah untuk

menelikung kekuasaan yang melingkupinya dan memberdayakan dirinya. Dalam

bagian berikut pertama-tama akan diuraikan sinopsis dari keempat cerita yang

dikaji, lalu dilanjutkan dengan analisis masing-masing tema, yakni tinjauan dari

aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, perkawinan dan

pernyaian, kemudian diakhiri dengan kesimpulan bab ini.

1. Sinopsis

Cerita pertama, Tjerita Njai Dasima,163 ditulis oleh G. Francis dan pertama

kali diterbitkan di Batavia pada 1896. Cerita ini merupakan salah satu cerita nyai

yang paling populer, bahkan hingga masa sesudah kemerdekaan. Terbukti dengan

begitu banyaknya pementasan kisah ini dalam bentuk teater, bahkan dalam bentuk

film layar lebar.164

Cerita ini bertutur tentang kehidupan seorang perempuan cantik dari

Kampung Kuripan yang diambil menjadi nyai oleh seorang lelaki Eropa, Edward

W. Kehidupan perkawinan mereka yang telah berlangsung selama delapan tahun

dilalui dengan bahagia dan dari hubungan tersebut lahir seorang putri yang

dinamai Nancy.

Kecantikan dan kekayaan Dasima yang menjadi nyai seorang lelaki Eropa

telah menjadikannya incaran banyak lelaki sebangsanya. Di antaranya ialah

Samioen, seorang penjual opium gelap dari Pejambon yang telah beristri. Lewat
163
Toer, Tempo Doeloe, 225-247.
164
Film tersebut berjudul Samiun dan Dasima, diproduksi pada tahun 1970 oleh Chitra Dewi
Film Production. Lihat Taylor, “Nyai Dasima,” 234.

73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perantara seorang perempuan tua bernama Ma’ Boejoeng yang bekerja di rumah

Dasima serta seorang dukun, Samioen mulai menjalankan rencananya. Dengan

dalih mengajak Dasima kembali ke ajaran Islam, Ma’ Boejoeng dan Samioen

berupaya membujuk Dasima bercerai dengan tuannya. Selain itu, dalih lain yang

diajukan pada Dasima ialah bahwa Dasima hidup dalam perzinahan dengan orang

kafir dan bahwa sebagai seorang nyai, Dasima sewaktu-waktu bisa ditinggalkan

tuannya pulang ke negerinya sehingga kelak ia akan hidup terlunta-lunta.

Pada akhirnya Dasima minta bercerai dari tuannya. Tuan W. awalnya

kaget dan tidak mau menceraikan Dasima karena ia mencintai Dasima dan sudah

berencana mengawini Dasima secara resmi di gereja. Akan tetapi, Dasima

bersikeras dan ia pun pergi meninggalkan tuan dan anaknya dengan membawa

serta harta yang selama ini dikumpulkannya. Ia lantas menikah dengan Samioen

sebagai istri keduanya. Sayangnya, perkawinan itu justru tidak memberi

kebahagiaan pada Dasima. Harta kekayaan Dasima justru jatuh ke tangan

Samioen dan Dasima diperlakukan secara semena-mena oleh Hayati, istri pertama

Samioen, dan Mpok Saleha, mertuanya. Dasima pun minta cerai. Samioen lalu

mengajukan syarat agar Dasima menyerahkan semua hartanya. Dasima menolak

dan mengancam akan minta bantuan Tuan Edward untuk membawa kasus ini ke

pengadilan. Pada akhirnya Samioen yang merasa terdesak merencanakan

pembunuhan terhadap Dasima dan untuk itu ia menyewa seorang pembunuh

bayaran bernama Puasa. Mayat Dasima dibuang di sungai dan tersangkut di dekat

rumah Tuan W. yang lalu melaporkannya ke polisi. Kasus kematian Dasima pun

74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diusut tuntas oleh polisi yang kemudian berhasil menangkap para pelaku

pembunuhan tersebut.

Cerita kedua, Tjerita Nji Paina, pertama kali diterbitkan di Betawi pada

tahun 1900 oleh pencetak dan penerbit terkenal pada masanya, yakni A. Veit &

Co.165 Tjerita Nji Paina mengisahkan seorang gadis Jawa bernama Paina, putri

Niti Atmodjo yang bekerja sebagai seorang juru tulis pabrik gula. Paina

digambarkan sebagai gadis yang amat cantik. Tunduk pada adat kebiasaan orang

Jawa pada waktu itu, Paina sejak kecil telah ditunangkan dengan putra seorang

hartawan.

Kehidupan keluarga Niti digambarkan serba berkecukupan hingga terjadi

pergantian administratur di pabrik tempat ia bekerja. Atasan baru Niti yang

bernama Briot digambarkan sebagai sosok yang perilakunya kasar dan bengis.

Prestasi kerjanya tidak baik dan ia amat mengandalkan Niti Atmaja dalam

menjalankan tugas-tugas di pabrik.

Pada suatu ketika, Briot berjumpa dengan Paina yang baru saja pulang dari

rumah calon mertuanya dan ia pun lantas jatuh cinta pada Paina yang

kecantikannya begitu memukau Briot. Namun, Paina mengacuhkannya dan justru

merasa benci kepada Briot yang terang-terangan menampakkan rasa sukanya pada

Paina.

Sementara itu, akibat banyaknya perintah dari Briot, Niti menjadi lengah

dan salah satu mandor secara berulang-ulang mengambil uang kas yang dititipkan

Briot padanya tatkala ia dipanggil menghadap Briot. Suatu hari, Briot

165
Toer, Tempo Doeloe, 24.

75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memerintahkan Niti untuk mengembalikan kasnya pada Briot. Malangnya, ketika

dihitung uang kas itu kurang dua puluh lima rupiah dan beberapa sen. Maka,

timbullah niat jahat pada Briot untuk memanfaatkan keadaan ini. Briot pun

menyatakan bersedia membebaskan Niti dari hukuman asalkan Niti mengizinkan

Paina menjadi nyai Briot.

Niti pun menyampaikan hal ini kepada putrinya. Meski awalnya Paina

menolak dengan tegas, akhirnya Paina bersedia diambil sebagai nyai oleh Briot

karena ia merasa kasihan pada ayahnya. Kendati demikian, Paina terus memutar

akalnya supaya terbebas dari “kutukan” tersebut. Maka, pada malam sebelum

pergi ke rumah Briot, Paina sengaja memeluk seseorang yang sakit cacar yang

tengah mewabah pada waktu itu agar ia tertular oleh penyakit tersebut. Memang

Paina akhirnya berhasil menulari Briot dengan penyakit tersebut. Briot pun

meninggal, sedangkan Paina sendiri sembuh meskipun cacar menyisakan bopeng

di mukanya. Dikisahkan Paina kemudian dinikahkan dengan seorang Jawa

hartawan dan hidup bahagia hingga masa tuanya.

Cerita ketiga, Cerita Nyai Ratna, karya Tirto Adhi Soerjo awalnya

diterbitkan sebagai cerita bersambung di surat kabar harian Medan Prijaji pada

1909. Dengan latar Jawa Barat, kisah ini menceritakan perjalanan hidup seorang

perempuan elok jelita bernama Ratna Purnama. Namun, kehidupan Ratna rupanya

tak begitu mulus. Sebagai seorang janda, ia hidup menumpang pada paman dan

bibinya, yakni pasangan suami-istri Brata.

Kecantikan Ratna memikat banyak laki-laki. Tak kurang, Tuan Jaksa

melamar Ratna untuk dijadikan istri mudanya meskipun lamaran itu akhirnya

76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditolak Ratna. Pada saat yang bersamaan seorang kapten kapal berkebangsaan

Belanda juga tengah mencari seorang perempuan pribumi untuk dijadikan nyai.

Dengan perantaraan Mak Kendut, Ratna pun diminta sebagai nyainya dan

pinangan ini diterima oleh Ratna berkat nasihat Nyi Brata yang pernah merasakan

hidup berkecukupan dan bahagia ketika menjadi nyai.

Demikianlah akhirnya Ratna menjadi nyai dari tuan kapten kapal yang

sering pergi berlayar untuk waktu yang lama. Suatu ketika Ratna jatuh cinta pada

lelaki lain, yakni seorang pemuda bangsawan yang tampan dan tengah belajar

kedokteran di STOVIA bernama Sambodo. Perasaan Ratna tidak bertepuk sebelah

tangan. Sambodo dan Ratna pun menjalin hubungan asmara. Bahkan ketika sang

tuan sedang ada di rumah, mereka bisa berhubungan dengan leluasa. Oleh Ratna,

Sambodo diaku sebagai saudaranya.

Karena begitu mencintai Sambodo, Ratna bermaksud meminta lepas dari

tuannya dan ingin menikah dengan Sambodo. Namun, hal ini ditolak Sambodo

karena studinya belum selesai. Ratna akhirnya terpisah dari Sambodo karena

mengikuti tuannya pindah ke Semarang. Ketika sang tuan akhirnya jatuh

bangkrut, Ratna pun diusir dari rumahnya hingga ia pergi ke sana kemari menjual

diri. Lalu, sampailah ia di Banyumas dan bekerja sebagai koki Tuan van Braak

yang lantas menikahinya sebagai “nyonya kawin.”

Karena menyadari bahwa tuannya akan sulit melepasnya terkait status

resminya tersebut, Ratna pun mencari kesenangan dengan menjalin hubungan

dengan beberapa lelaki lain. Selain itu, Ratna akhirnya meracun suaminya hingga

mati agar ia bisa mewarisi hartanya dan menikah dengan kekasih lainnya, yakni

77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Karel de Vos. Upaya untuk memperkarakan Ratna atas tuduhan pembunuhan

terencana itu gagal karena salah satu saksi melarikan diri dan saksi lainnya

meninggal karena diracun. Di akhir cerita, dikisahkan Ratna berjumpa kembali

dengan Sambodo yang mengetahui kasus Ratna dari surat kabar dan pada saat itu

Ratna sudah menjadi nyonya seorang advokat Belanda, yakni Tuan Von Gorkom.

Cerita keempat, Hikayat Siti Mariah, ditulis oleh Haji Mukti dan pertama

kali dimuat sebagai cerita bersambung di harian Medan Prijaji dari tahun 1910

hingga 1912. Hikayat ini bercerita tentang kehidupan Siti Mariah, anak Kontrolir

Kedu Elout van Hogerveldt dan gundiknya, Sarinem. Kisah berawal dari dijualnya

bayi Sarinem yang bernama Urip oleh suaminya yang pemabuk, tukang main

perempuan dan penjudi, Wongsodrono. Bayi Urip kemudian diasuh oleh seorang

mandor perkebunan tebu Sokaraja, Joyopranoto dan istri. Di Sokaraja itulah Urip

yang berganti nama menjadi Siti Mariah tumbuh besar. Di antara teman

sepermainan Mariah adalah Nona Lucie, anak pemilik pabrik Sokaraja Nyonya

van Holstein, dan Sondari, seorang bocah Indo, yang sesekali datang dari Batavia.

Joyopranoto bermaksud menjodohkan Mariah dengan Sondari, sedangkan Nyonya

Holstein hendak menjodohkan Sondari dengan Lucie. Namun, pada akhirnya

diketahui bahwa Mariah adalah saudara Sondari dari ayah yang sama tetapi lain

ibu sehingga rencana itu tidak terlaksana. Sementara Sondari terang-terangan

menampik niat Nyonya Holstein.

Setelah besar, Siti Mariah tumbuh menjadi gadis cantik yang tersohor di

Sokaraja. Seorang opsiner Belanda dari Batavia yang baru saja bekerja di pabrik

Sokaraja—Henri Dam—pun jatuh cinta kepadanya dan perasaannya itu tidak

78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bertepuk sebelah tangan. Awalnya hubungan mereka ditentang oleh mandor

Joyopranoto yang berusaha menghalangi hubungan mereka dengan berbagai cara.

Namun, istri Joyopranoto dan Sarinem, ibu kandung Mariah, justru mendukung

mereka berdua. Pada akhirnya Joyopranoto merestui hubungan tersebut.

Dari hidup bersama itu lahirlah seorang anak yang dinamai Ari van Dam.

Henri Dam berencana akan menikahi Mariah kelak dan mendaftarkan Ari untuk

diakui statusnya sebagai anaknya yang sah. Namun demikian, kebahagiaan itu

lantas terusik dengan kehadiran Nyonya Holstein yang menginginkan Henri

menjadi menantunya dan melanjutkan kepemimpinan pabrik. Segala daya upaya

ia kerahkan, termasuk memakai guna-guna dari dukun Betawi Jiman, agar Henri

terpikat pada Lucie.

Demikianlah Henri akhirnya menceraikan Mariah dengan surat lepas dan

mengambil Ari yang lantas disekolahkan oleh Nyonya Holstein di Batavia. Tetapi,

pernikahan itu ternyata tidak membuat Henri bahagia. Apalagi setelah ia

menerima kabar bahwa anaknya yang dibawa Nyonya Holstein ke tanah Betawi

meninggal karena kolera. Demikian halnya Mariah yang terpisah dari tuan dan

anak yang dikasihinya. Terpukul karena mendengar kabar tentang meninggalnya

Ari, Mariah diam-diam meninggalkan rumah untuk mencari anaknya yang hilang

karena ia yakin anaknya masih hidup.

Dikisahkan bahwa Henri pada akhirnya bisa menata hidupnya kembali

setelah kematian Ari. Suatu ketika Nyonya Holstein berkunjung ke Sokaraja dan

ia berencana menjual segala asetnya di pabrik lantas pulang ke Belanda.

Malangnya, terjadi kecelakaan dan ia meninggal karena jatuh ke mesin

79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penggilingan tebu. Duka yang mendalam membuat Henri dan Luci memutuskan

untuk pergi ke Eropa. Dalam perjalanan tersebut mereka singgah di Jeddah di

mana mereka bertemu dengan Sondari yang kini telah menjadi seorang konsul di

sana.

Di Belanda Henri dan Luci akhirnya menetap di Nijmegen, tempat

kelahiran Henri dan hidup mewah berkat kekayaannya dari pabrik gula. Meskipun

sudah menjadi hartawan terpandang, Luci yang gila hormat tak juga puas. Atas

permintaannya ia mengubah nama keluarga Dam menjadi Hubrecht van Goldstein

tot Amersfoort. Ia pun tetap berfoya-foya tatkala pabrik tengah merugi. Selain itu,

Luci juga berselingkuh dengan Tuan Booghuizen.

Suatu ketika sepulang dari tamasya dengan selingkuhannya itu, Luci

keguguran dan hari-hari selanjutnya ia sakit keras. Sebelum meninggal, ia

mengaku bahwa ia sebenarnya tidak mencintai Henri. Lelaki yang dicintainya tak

lain Tuan van Goldstein yang pernah menumpang tinggal di rumahnya di Batavia.

Lelaki inilah ayah sesungguhnya dari Marie, anak yang dikira Henri sebagai

anaknya. Akan tetapi, hubungan itu tak direstui Nyonya Holstein yang lebih

memilih Henri sebagai menantunya. Sementara itu, bayi yang meninggal ketika

Luci keguguran tak lain adalah hasil hubungan gelapnya dengan Booghuizen.

Selain itu, rahasia gelap lainnya yang terkuak dari pengakuan Luci ialah bahwa

Nyonya Holstein sendirilah yang telah meracun suaminya hingga ia mati. Lalu,

Ari tidaklah mati sebagaimana yang diketahui Henri selama ini, tetapi ia telah

dibuang atas suruhan Nyonya Holstein juga. Mengetahui semuanya ini ditambah

keadaan pabrik yang merugi akibat gaya hidup mewah Luci, Henri bermaksud

80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pulang ke Jawa dan ia mengontak sahabatnya Sondari yang kini telah mengubah

namanya menjadi Haji Mukti.

Sementara itu diceritakan pula tentang nasib Ari yang ternyata tidak mati.

Nyonya Holstein menyuruh orang membangun makam kosong. Ia ternyata

dibuang dan diambil oleh penyamun Karyodrono yang tak lain adalah

Wongsodrono. Seusai perampokan gagal yang dilakukan Wongsodrono di mana

ia pada akhirnya mati, Ari dimasukkan ke panti asuhan dan diberi nama keluarga

pensiunan tentara Van Aken. Ketika menanjak dewasa, Ari memutuskan untuk

mengembara untuk mencari kerja hingga akhirnya ia bekerja di pabrik Sokaraja

berkat pertolongan Joyopranoto, yang tak lain adalah kakeknya sendiri dan telah

berganti nama menjadi Haji Abdulrahman. Ia juga bertemu dengan Nyi Haji

Fatimah, serta nenek kandungnya Hajah Aisah.

Diceritakan pula bahwa Siti Mariah yang disangka telah mati dengan

menghanyutkan diri di Sungai Serayu ternyata masih hidup. Dalam pengelanaan

mencari Ari, Mariah sempat menyamar menjadi jongos Salimin, lalu babu

Salimah yang mengabdi pada keluarga Tuan Esobier dan mengasuh putranya

Sinyo Anton. Ketika Nyonya Esobier meninggal, Tuan Esobier pun menikahi

Mariah. Setelah Tuan Esobier meninggal, Mariah pun menetap di Malang.

Sementara itu, Henri Dam sendiri sudah pulang ke Sokaraja. Setelah

Nyonya Lucie meninggal, keluarga yang tercerai berai ini pada akhirnya bisa

bertemu kembali berkat pertolongan Sondari. Mariah akhirnya bersatu lagi dengan

Henri dan anaknya yang hilang, Sinyo Ari. Di akhir cerita dikisahkan keluarga

81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dam berangkat ke Eropa dan menetap di Brussel di mana Henri Dam bekerja

sebagai bankir. Mereka pun hidup berbahagia di sana.

2. Gender dan seksualitas

Bagian ini berupaya menemukan ambivalensi pascakolonial sebagaimana

direpresentasikan oleh keempat cerita, khususnya ditinjau dari aspek gender dan

seksualitas, mengingat ras sebagai salah kategori yang menandai perbedaan

(difference) seringkali bersilangan dengan kedua aspek tersebut. Dengan konsep

ambivalensi hendak ditunjukkan bahwa walaupun berada dalam ruang yang

terbatas, yakni di bawah bayang-bayang kekuasaan sang tuan, tokoh nyai tetap

mampu menjalankan strategi untuk menelikung kekuasaan tersebut. Hal ini akan

dilakukan dengan mencari “lubang” di dalam cerita-cerita yang dikaji agar bisa

membaca “melawan arus” dalam arti membaca cerita-cerita tersebut secara

berlawanan dengan pesan cerita yang dominan. Beberapa isu yang akan

dieksplorasi antara lain hubungan gender antara tokoh nyai dan tokoh lain—

khususnya tokoh tuan, serta penggambaran seksualitas tokoh nyai.

Dalam Tjerita Njai Dasima, pesan cerita keseluruhan yang dominan

mengenai hubungan gender ialah bahwa pernyaian itu positif karena dalam ikatan

semacam itu seorang nyai justru bahagia. Sementara dalam perkawinan, ia justru

tidak bahagia karena pelbagai sebab. Selain itu, subjudul dari cerita ini yang

berbunyi “Suatu korban dari pada pemboedjoek” menyiratkan bahwa Dasima

menjadi korban dari orang-orang yang hendak mencelakakan dirinya. Dalam

cerita, Dasima dilekati ciri-ciri feminin yang membuatnya disukai oleh tuannya.

82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dasima digambarkan memiliki sifat “radjin dan pinter bekerdja”166 dan mampu

melakukan berbagai pekerjaan domestik seperti memasak dan menjahit. Hal-hal

inilah yang membuat Tuan W “tjinta dianja ibarat dia poenja bini kawin,”167 serta

mempercayakan hartanya kepada Dasima. Selain itu, Dasima juga perempuan

yang setia dan teguh sehingga ia menolak berbagai bujukan dari laki-laki yang

ingin mendekatinya untuk menguasai hartanya. Akan tetapi, tentu saja relasi

antara Tuan W dan Nyai Dasima adalah hubungan yang diimbuhi oleh kekuasaan.

Di sini Dasima hingga tingkat tertentu juga menjadi objek—entah seks/birahi

ataupun cinta—dari Tuan W.

Kesetiaan Dasima itu mulai goyah manakala Samioen mulai mendekatinya

dengan dalih hendak membawa Dasima kembali ke ajaran Islam. Berkat berbagai

tipu daya Samioen, Dasima lantas berbalik menjadi tidak suka pada tuannya.

Bahkan, Dasima pun menjadi berani mengundang Samioen untuk datang ke

rumahnya. “Besok paginja Baba Samioen dateng ketemoe dengen Njai Dasima di

gedoengnja, tempo lakinja pergi kerdja, dan moelain atoeran kedjahatan, ia itoe

berdjinah.”168 Jika hubungan Dasima dengan Tuan W menurut norma agama

ataupun norma sosial yang lazim waktu itu merupakan perzinahan, begitu pun

halnya dengan hubungan Dasima dan Samioen. Namun demikian, hubungan yang

terakhir terjadi karena pilihan Dasima sendiri—meskipun awalnya karena bujukan

pihak luar. Di sini Dasima yang semula menjadi objek beralih menjadi subjek

yang aktif dan mampu mengekspresikan apa yang ia inginkan. Ia pun melintasi

166
Toer, Tempo Doeloe, 225.
167
Toer, Tempo Doeloe, 225.
168
Toer, Tempo Doeloe, 237.

83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

batas-batas norma yang berterima dengan melakukan perselingkuhan—norma

serupa yang telah mendefinisikan hubungan “perzinahan”-nya dengan Tuan W.

Dibaca dari perspektif pascakolonial, di sinilah ambivalensi itu hadir:

hubungan antara Dasima dengan tuannya yang diandaikan melibatkan kekuasaan

yang timpang itu ternyata tidak setegas yang dibayangkan. Hubungan antara Nyai

Dasima dan tuannya ternyata juga dinamis. Meskipun Dasima berada dalam posisi

objek, ia mampu menegosiasikan hubungan yang tidak setara tersebut dengan

membuat pilihan berzinah dengan Samioen. Dalam cerita dikisahkan bahwa

Dasima-lah yang mengundang Samioen untuk datang ke rumahnya sewaktu Tuan

W. bekerja sebagaimana disebutkan dalam kutipan di atas. Dengan demikian,

Dasima menjadi subjek yang aktif menunjukkan seksualitasnya kendati dengan

cara yang kurang berterima menurut norma.

Ditinjau dari keseluruhan plot, Tjerita Nji Paina hendak menyampaikan

pesan dominan bahwa pernyaian adalah sesuatu yang negatif karena di dalam

hubungan itu pihak-pihak yang terlibat ada dalam hubungan yang tidak setara. Ini

tercermin dari bagaimana Paina menjadi nyai, yaitu untuk menyelamatkan

ayahnya. Jadi, menjadi nyai merupakan sebuah keterpaksaan bagi Paina. Hal ini

kemudian dikontraskan dengan perkawinan Paina yang bahagia di mana ia

sendirilah yang menentukan pilihan.

Di dalam cerita disebutkan karakteristik fisik Paina yang “amat tjantiknja,

koelitnja langsep dan ramboetnja patah majang, teoerei-oerei di tioep angin”169

169
Toer, Tempo Doeloe, 321.

84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang lantas membuat “Briot lantas djatoh birahi.”170 Ciri fisik yang ini berulang-

ulang disebutkan di dalam cerita sebagai rujukan ketertarikan Briot kepada Paina,

membuat Paina menjadi objek seks dari Briot, atau meminjam ungkapan yang

dipakai cerita tersebut, objek “birahi.”

Sosok Paina di sini terjebak di bawah bayang-bayang kekuasaan baik ayah

maupun Tuan Briot: sebagai anak yang baik ia harus menyelamatkan ayahnya

dengan menjadi nyai Tuan Briot yang sangat dibencinya. Dimensi kekuasaan

tampak jelas di dalam hubungan antara Paina dan Tuan Briot. Briot memiliki

kekuasaan yang jauh lebih besar daripada Paina sehingga memungkinkan ia

memaksa Paina menjadi nyainya. Tak ada pilihan lain, kecuali bersedia menjadi

nyai Tuan Briot. Kendati di satu sisi menjadi objek yang dihasrati Tuan Briot,

Paina hingga tingkat tertentu akhirnya bisa menegosiasikan paksaan itu dengan

suatu siasat: Paina menularkan penyakit cacar pada Tuan Briot yang berujung

pada kematian Tuan Briot.

Hal inilah yang menunjukkan ambivalensi cerita tersebut. Di satu sisi,

hubungan antara Paina dan Briot jelas merupakan hubungan yang tidak setara.

Akan tetapi, ditinjau dari sisi yang lain, dalam cerita ini hubungan gender bisa

dikatakan sebagai sesuatu yang dinamis di mana tokoh Paina berusaha keluar dari

kekuasaan yang mengungkung dirinya. Paina bukan semata-mata objek yang

takluk, melainkan subjek yang menelikung kekuasaan tersebut, yaitu dengan

menularkan virus cacar kepada Briot yang berujung kematian tuan tersebut.

170
Toer, Tempo Doeloe, 321.

85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Persoalan seksualitas Paina mengemuka dengan cukup jelas di dalam

cerita. Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot. Di sini, Paina secara aktif

menolak Tuan Briot yang tampangnya mengerikan (“moekanja bengis bolong,

tiada disoekai orang, serta ramboetnja ada amat kasar”171) dan perilakunya tidak

baik (“amat koerang sopan, bitjaranya kasar”172). Selain itu, penolakan Paina

terhadap Tuan Briot ini juga terkait dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks

dari lelaki yang ia bayangkan serupa “tjeleng” tersebut.

Mirip dengan Tjerita Njai Dasima, pesan dominan yang disampaikan

dalam Cerita Nyai Ratna adalah bahwa pernyaian merupakan sesuatu yang positif

karena memberikan perempuan posisi dan status “lebih” daripada perempuan

kebanyakan dan akses terhadap materi. Oleh karena itulah, tak heran jika pada

beberapa bagian cerita digambarkan persaingan antara para nyai untuk menjadi

siapa yang paling terhebat di antara mereka, khususnya dalam hal kecantikan

fisik. Ini pada akhirnya menentukan status, pengaruh dan ketenaran. Di sisi lain,

moralitas seorang nyai juga secara umum dianggap buruk sebagaimana disiratkan

oleh subjudul cerita, “Betapa seorang isteri setia telah menjadi jahat.”

Namun, dilihat dari sisi lain, ambivalensi dalam cerita ini tampak dalam

sosok nyai yang “bermain-main” dengan statusnya sebagai seorang nyai dari

lelaki Eropa. Dalam cerita misalnya dikisahkan Ratna jatuh cinta pada pandangan

pertama dengan Sambodo, seorang lelaki pribumi yang tampan dan tengah

menempuh studi di sekolah kedokteran. ”Tak pernah hatinya berahi pada seorang

lelaki, apa lagi kalau ia sedang di tangan orang, maski janda pun ia tidak begitu.

171
Toer, Tempo Doeloe, 319.
172
Toer, Tempo Doeloe, 320.

86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Belum pernah mendapatkan seorang lelaki yang bisa menggerakkan kalbunya.”173

Pada akhirnya, Ratna memang berhasil mengejar Sambodo dan menjadikan

pemuda itu kekasihnya.

Dibaca dengan sudut pandang ini juga, dalam hubungan antara nyai dan

tuan yang diimbuhi kekuasaan tersebut, Ratna juga seolah tetap menemukan celah

untuk “membebaskan diri”-nya. Sebagaimana disebutkan dalam kutipan di atas,

Ratna-lah yang terlebih dahulu “jatuh berahi” pada Sambodo. Ketika pada

akhirnya mereka berdua menjadi sepasang kekasih, Ratna mengakukan Sambodo

sebagai saudara misannya di hadapan tuannya. Hal ini membuat mereka leluasa

berhubungan meskipun ada tuannya seperti ditunjukkan kutipan berikut.

”Ratna dan tuannya lalu masuk ke kamar. Setelah tuannya tidur pulas,
pelan-pelan ia keluar lalu masuk ke kamar Sambodo untuk bercinta-
cintaan. Bila tuannya sudah sampai pada waktu bangun buru-buru ia pergi
ke belakang dan memberikan perintah ini-itu.”174

Tak terhenti di situ, dengan materi yang diperolehnya berkat statusnya sebagai

seorang nyai, Ratna juga bisa mencari kesenangan di luar hubungan dengan

tuannya, yakni “bergendak” dengan laki-laki lain di dalam hubungan yang serupa

transaksi, hubungan yang sama-sama ditandai oleh absennya cinta karena hanya

untuk “bersenang-senang” belaka.

Di dalam cerita ini, tokoh Nyai Ratna adalah perempuan yang sadar akan

seksualitasnya dan berani mengungkapkan seksualitasnya tersebut secara terbuka.

Bahkan, ketika Ratna sudah menjadi istri seorang lelaki Eropa, Ratna

digambarkan menjalin hubungan dengan beberapa orang lelaki lain demi

173
Toer, Sang Pemoela, 379.
174
Toer, Sang Pemoela, 386.

87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kesenangan semata. “Sejak jadi nyonya, tahu lakinya sulit bercerai daripadanya,

membuat ia makin bangor. Beberapa orang magang, jurutulis, sudah dibelinya.

Karena pembosanannya beberapa lelaki sudah menjadi gendaknya.”175 Tak hanya

itu, ia pun menjalin hubungan lain dengan seorang lelaki Eropa yang dicintainya,

Karel de Vos.

Sosok nyai yang berani mengungkapkan seksualitasnya ini juga tergambar

melalui tokoh nyai lainnya, yakni Parminingsih. Sesudah Ratna pindah mengikuti

tuannya ke kota lain, Sambodo dikejar-kejar oleh Parminingsih, nyai seorang

juragan toko. Dalam salah satu adegan disebutkan “Hingga semalaman mereka

berberahian. Maka Parmi belum pernah mendapatkan kenikmatan seperti sekali

ini.”176 Di sini tampak bahwa sebagai perempuan, seorang nyai adalah sosok yang

melintasi batasan-batasan norma: ia berselingkuh dan merasakan kenikmatan

secara seksual dengan lelaki lain, sesuatu yang tidak ia dapatkan dalam hubungan

dengan tuannya. Akan tetapi, tindakan melintasi batas itu masih dibayang-bayangi

norma yang ditandai dengan munculnya rasa bersalah. “Kita orang sudah kelewat

berdosa mengelabui tuan.”177

Dalam Cerita Nyai Ratna bisa dikatakan bahwa hubungan gender adalah

sesuatu yang dinamis di mana terjadi negosiasi antara tokoh nyai dan tuan: dengan

menjadi nyai, seorang perempuan memiliki akses terhadap materi dan hal ini

lantas memungkinkan ia untuk mencari kesenangan lain di luar hubungan

tersebut. Di dalam cerita tokoh nyai tampil sebagai sosok yang sadar akan

seksualitasnya dan berani mengungkapkan hal tersebut kepada lawan jenisnya.


175
Toer, Sang Pemoela, 415.
176
Toer, Sang Pemoela, 407.
177
Toer, Sang Pemoela, 388.

88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dengan kata lain, tokoh nyai tersebut melintasi batas-batas norma yang

menabukan ekspresi seksual berikut kenikmatan yang ditimbulkannya meskipun

hal tersebut tak luput dari rasa bersalah, bayang-bayang dari sistem nilai yang

tengah dilanggarnya.

Ditinjau dari keseluruhan cerita, Hikayat Siti Mariah secara dominan

hendak menyampaikan bahwa pernyaian itu positif. Hubungan antara nyai dan

tuan mungkin saja didasari cinta timbal-balik yang tulus. Mereka bisa saja hidup

bahagia di dalam ikatan semacam itu. Meskipun demikian, faktor-faktor lain

seperti tatanan nilai mengenai apa yang pantas dan tidak pantas dalam hubungan

kedua belah pihak yang berbeda ras dan status sosial sangat mempengaruhi

hubungan tersebut. Oleh karena itulah, pernyaian kemudian menjadi sesuatu yang

negatif. Pernyaian ternyata tidak mampu mengakomodasi cinta antara tuan dan

nyainya.

Dalam Hikayat Siti Mariah dikisahkan dengan jelas hubungan antara Siti

Mariah dan Tuan Henri Dam didasarkan atas cinta satu sama lain. Mereka pun

sama-sama berjuang agar hubungan mereka direstui terutama oleh ayah (angkat)

Mariah. Secara umum, cerita ini menyampaikan pesan bahwa hubungan pernyaian

itu lebih buruk jika dibandingkan perkawinan yang sah.

Selain memiliki kecantikan fisik yang menawan, Siti Mariah juga

digambarkan sebagai nyai yang setia, mencintai tuannya setulus hati serta

mengasihi anak yang lahir dari hubungan cinta mereka. Akan tetapi, kehidupan

mereka yang bahagia itu menjadi rusak karena status sosial yang disandang Henri

membuat Siti Mariah tidak layak mendampinginya sebagai seorang istri yang sah.

89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jika pada Tjerita Njai Dasima, upaya jahat itu datang dari lelaki yang ingin

merongrong hartanya maka pada Hikayat Siti Mariah hal itu berasal dari Nyonya

von Holstein yang hendak menjadikan Henri menantunya.

Terlepas dari sifat-sifat baik yang dimilikinya, sesuatu yang bisa dikatakan

sebagai stereotipe yang positif dari seorang nyai, Siti Mariah akhirnya dipisahkan

dari Henri dengan berbagai cara, termasuk dengan pertolongan dukun dan guna-

guna. Di sini Siti Mariah yang Indo dianggap lebih rendah statusnya daripada Luci

von Holstein yang adalah Belanda totok dan anak pemilik pabrik gula Sokaraja

yang terpandang. Hubungan cinta timbal-balik antara seorang nyai dan tuannya

pun tidak mendapat tempat di dalam sistem masyarakat kolonial yang menjunjung

kemurnian ras.

Dalam cerita ini, persoalan seksualitas tidak terlalu disoroti. Namun,

dalam salah satu adegan dikisahkan bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta.

“Setelah tubuhnya yang telanjang sewaktu mandi di pancuran tertampak oleh

Henri Dam hatinya mulai dipenuhi sesuatu yang indah dan manis, seindah dan

semanis Henry[sic.] Dam sendiri. Ini dia! Aduh, si geulis Mariah mulai birahi.

Tumbuh rasa sayang pada Henri Dam, pada seorang lelaki.”178 Bisa dikatakan Siti

Mariah, kendati mencintai Henri Dam, mengambil sikap pasif dan menunggu.

Dengan kata lain, sikapnya bersesuaian dengan norma sosial yang memposisikan

perempuan sebagai objek yang pasif. Ini berlawanan dengan Luci von Holstein

yang aktif mendekati Henri meskipun pada waktu itu Henri statusnya masih

terikat dengan Siti Mariah.

178
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 120.

90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pada salah satu bagian, dikisahkan bahwa sebelum kematiannya, Nyonya

Luci sempat membuat pengakuan kepada Henri tentang perselingkuhannya

dengan beberapa lelaki (Eropa) lain dan bahkan hubungan di luar perkawinan itu

telah menghasilkan seorang anak perempuan, Marie, yang dianggap Henri sebagai

anaknya sendiri.

“Henri tentu belum lupa pada tuan Van Goldstein, yang selagi kita kawin
menumpang di rumah mama Salemba sebulan. Dia adalah kekasih saya.
Ingin sekali saya kawin dengannya, tapi mama melarang. Saya dipaksanya
mengawini kau, Henri. Saya mengikuti perintah mama. Jangan terkejut,
Henri, tuan van Goldstein sesungguhnya papa Marie. Goldstein namanya,
Hubrecht nama depannya, Amersfoort negeri asalnya. Itu sebabnya
sekarang saya mengambil nama itu, kubawa sampai mati. Ya Henri, betapa
jahatnya saya. Tak hendak semua dibawa mati. Dengan kematian semua
berakhir. Anak saya yang keguguran adalah akibat hubungan dengan
Booghuizen.”179

Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa meskipun hubungan

antara Siti Mariah dan Henri Dam didasari cinta, hubungan tersebut tidak

berterima karena ada dimensi lain yang menyertainya, yakni ras (Eropa versus

bukan Eropa). Hubungan gender di sini diimbuhi oleh kategori ras sehingga tokoh

Siti Mariah terkungkung oleh determinasi kekuasaan kolonial yang menempatkan

perempuan Eropa di atas perempuan pribumi maupun Indo. Akan tetapi, kendati

diposisikan sebagai objek dari kekuasaan kolonial, Siti Mariah tetap menemukan

ruang untuk menyintas. Ia mengubah-ubah identitasnya sebagai lelaki dan

perempuan ketika berkelana mencari anaknya, hingga akhirnya menikah dengan

Tuan Esobier. Terkait dengan aspek seksualitas, Siti Mariah tidak menunjukkan

sikap melanggar norma yang berterima secara sosial. Ia tetap setia pada tuan yang

179
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 304.

91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ia cintai namun telah “mengkhianatinya.” Kesetiaan itu pun berakhir bahagia:

pada akhirnya ia bisa bersatu lagi dan menikah secara resmi dengan Henri Dam.

Ambivalensi cerita ini tampak dalam pesan khusus dari cerita: pernyaian

ternyata lebih mampu mengakomodasi cinta. Ketika Mariah dan Henri terpisah,

Mariah justru tidak bahagia. Demikiannya Henri yang menikah secara resmi

dengan Luci von Holstein. Ternyata hubungan yang ideal justru terjadi ketika

mereka masih berada hidup sebagai nyai dan tuan.

Secara keseluruhan dari keempat cerita yang dipaparkan di atas, bisa

dirangkum beberapa hal sebagai berikut. Dalam Tjerita Njai Dasima tokoh nyai

digambarkan dengan ciri-ciri feminin: rajin, terampil dalam mengerjakan urusan

domestik, setia, dan sebagainya. Dasima adalah stereotipe nyai yang “baik.” Jika

pada awalnya ia adalah sosok yang setia, maka berkat bujukan pihak luar Dasima

pun berubah menjadi tidak setia dan “memberontak” dengan cara minta bercerai

lalu meninggalkan anak dan tuannya. Sementara itu, dalam Tjerita Nji Paina di

luar kecantikan fisik, Paina adalah sosok anak yang patuh, berbelas kasihan pada

orang tuanya sehingga ia bersedia menjadi nyai untuk menyelamatkan sang ayah.

Berbeda dengan kedua cerita sebelumnya, tokoh Nyai Ratna dalam Cerita Nyai

Ratna awalnya tampil sebagai sosok perempuan yang baik, setia, tabah menjalani

nasib yang tidak baik (disia-siakan oleh suaminya). Namun demikian, statusnya

berubah menjadi seorang nyai, ia pun menjadi sosok perempuan yang tidak setia,

agresif, gemar mencari kesenangan di luar hubungan dengan tuannya. Di sini

Ratna hadir sebagai stereotipe nyai yang “tidak baik.” Pada Hikayat Siti Mariah,

tokoh Siti Mariah digambarkan sebagai sosok yang setia, tabah dan tegar

92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjalani takdir yang diakibatkan statusnya sebagai nyai seorang lelaki Eropa

yang berpangkat tinggi dalam masyarakat kolonial. Ia tetap setia meski dikhianati.

Mariah juga memenuhi stereotipe nyai yang “baik.”

Relasi gender dalam keempat cerita digambarkan sebagai sesuatu yang

dinamis di mana para tokoh nyai tersebut mampu menegosiasikan posisinya

dengan beragam cara. Dasima berselingkuh dengan Samioen, sedangkan Paina

menularkan penyakit cacar kepada Briot yang menghantarnya pada kematian.

Sementara itu, Ratna berselingkuh dengan lelaki dicintainya maupun lelaki-lelaki

lain hanya untuk mencari kesenangan dan Siti Mariah mengubah-ubah

identitasnya sembari tetap setia dan berpegang teguh pada tujuan mencari

anaknya.

Persoalan seksualitas juga dieksplorasi di sini meskipun tidak semua cerita

mengungkapnya dengan jelas. Dasima dan Ratna bisa dikatakan sebagai tokoh

nyai yang menyadari seksualitasnya. Dasima berselingkuh dengan Samioen,

sementara Ratna menjalin cinta dengan Sambodo maupun Karel de Vos, serta

“membeli lelaki” demi kesenangan semata. Di sini, tokoh yang sadar akan

seksualitasnya dan mengungkapkan hal tersebut justru nasibnya berakhir tragis:

Dasima mati dibunuh, sedangkan Ratna pada akhirnya terlunta-lunta setelah

meracun tuannya hingga mati.

Di dalam Tjerita Nji Paina persoalan seksualitas mengemuka dengan

cukup jelas di mana pada awalnya Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot.

Akan tetapi, Paina lantas secara aktif menolak Tuan Briot yang secara fisik buruk

93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

rupa dan jahat. Selain itu, penolakan Paina terhadap Tuan Briot ini juga terkait

dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks dari lelaki yang ia benci tersebut.

Sementara itu, meski dalam Hikayat Siti Mariah sempat disinggung

bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta pada Henri Dam, tidak digambarkan

secara jelas bagaimana ia mengalami seksualitasnya. Namun, hal itu mungkin

tergambar ketika Siti Mariah dilawankan dengan tokoh Luci van Holstein yang

agresif dan berselingkuh dengan beberapa lelaki yang ia cintai di luar

pernikahannya dengan Henri. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kedua

tokoh ini tidak mengungkapkan seksualitasnya dan justru pasif. Pada akhir cerita,

kedua tokoh yang tidak mengungkapkan seksualitasnya ini justru bernasib baik:

mereka menikah dengan orang yang dicintai dan bahagia.

Jika diinterpretasikan lebih lanjut, pembacaan dari detil-detil cerita

menunjukkan bahwa ketika nyai berusaha menjadi subjek yang aktif (Dasima dan

Ratna), ia justru bernasib sial walaupun ini tidak terlalu berlaku untuk Paina.

Sementara jika nyai tersebut tetap tinggal menjadi subjek yang pasif (Mariah),

dengan tetap berada dalam batas-batas stereotipe sosok nyai yang “baik” (setia,

tabah, tegar, dan sebagainya), ia justru beruntung. Bisa dikatakan terlepas dari

“ruang-ruang pembebasan” yang ditawarkannya, cerita-cerita ini patriarkis. Ini

terkait dengan penulisnya yang semuanya laki-laki dan menulis dari sudut

pandang laki-laki.

3. Ras

94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bagian ini berupaya menemukan ambivalensi pascakolonial sebagaimana

direpresentasikan oleh keempat cerita dilihat dari aspek hubungan ras mengingat

ras180 sendiri merupakan salah kategori penting yang menandai perbedaan

(difference) antara nyai dan tuan. Dalam kajian pascakolonial, konsep “ras”

menduduki posisi yang sentral. Secara sederhana, konsep “ras” mengacu pada

ciri-ciri fisik, biologis, dan genetis yang dilekatkan pada suatu kelompok manusia.

Ada beberapa asumsi di balik konsep ini. Pertama, bahwa manusia terbagi atas

berbagai tipe yang teramati melalui ciri-ciri fisiknya dan ini diturunkan melalui

darah. Konsekuensinya ialah pembedaan antara ras yang “murni” dan yang

“campuran” menjadi sesuatu yang mungkin. Selanjutnya, konsep ini juga

menyiratkan perilaku dan mental manusia beserta kepribadian individu, gagasan-

gagasan dan kapasitasnya bisa dikaitkan dengan asal-usul rasnya.181

Konsep “ras” menjadi signifikan bagi kolonialisme karena kategori

manusia berdasarkan ras bertalian erat dengan kepentingan kekuasaan kolonial

untuk mendominasi orang-orang yang dijajah dan superioritas ras dipakai sebagai

alasan pembenaran oleh sistem kolonialisme tersebut.182 Kolonialisme

memanfaatkan kategori ras untuk menarik batas-batas yang tegas dalam oposisi

biner dengan membuat pembedaan antara kita yang “beradab” dan liyan yang

“primitif” sehingga kolonialisme dengan misinya untuk memperadabkan

180
Penjelasan mengenai konsep ras ini juga diajukan oleh Patrick Wolfe yang memandang ras
sebagai suatu konstruksi ideologis. Ada dua ciri umum dari konsep ras ini. Pertama, kategori ras
bersifat hierarkis—perbedaan (difference) tidaklah netral. Kedua, ras menghubungkan ciri-ciri
fisik dengan ciri-ciri kognitif, budaya dan moral, mencampurbaurkan yang konkret dan yang
abstrak, yang kebinatangan dan yang manusiawi, yang somatis dan semiotis. Lebih lanjut lihat
Patrick Wolfe, “Race and racialisation: some thoughts,” Postcolonial Studies 5, no. 1 (2002): 51-
62.
181
Aschroft, et. al., Key Concepts, 198.
182
Aschroft, et. al., Key Concepts, 198.

95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(civilizing mission) menjadi sesuatu yang seolah-olah wajar. Di sini identitas ras

dibayangkan sebagai sesuatu kategori yang stabil dan tidak berubah-ubah. Ini

sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Homi K. Bhabha bahwa salah satu ciri

penting wacana kolonial ialah ketergantungannya pada konsep “kepastian”

(“fixity”) di dalam pengkonstruksian keliyanan (otherness).183 Terkait dengan

keempat cerita yang diteliti, bagian ini akan menyoroti bagaimana kesadaran ras

mengemuka di dalam cerita beserta ambivalensi wacana mengenai ras dilihat dari

bagaimana detil-detil cerita tertentu mengganggu stabilitas ras sebagai sebuah

kategori yang menandai perbedaan.

Secara sekilas, Tjerita Njai Dasima bisa dibaca sebagai sebuah narasi

tentang pertentangan antara pihak pribumi versus orang Eropa. Pembacaan

semacam ini akan mengarah pada gagasan bahwa cerita tersebut ditulis sesuai

dengan logika wacana kolonialisme yang dominan: pihak pribumi tampil sebagai

pihak yang jahat, sementara tokoh Eropa adalah sosok yang baik. Pertanyaannya

ialah benarkah dikotomi antara kedua pihak tersebut sesederhana yang

dibayangkan? Adakah ambivalensi tertentu yang dapat menggugat stabilitas

kategori pembedaan berdasarkan ras tersebut?

Di dalam cerita ini disebutkan bahwa Dasima merupakan “orang

prampoean slam dari Kampoeng Koeripan.”184 Pada bagian lain juga disebutkan

183
Bhabha menyebutkan bahwa kepastian (fixity) sebagai tanda perbedaan budaya/sejarah/rasial
di dalam wacana kolonialisme merupakan moda representasi yang paradoksikal: ia berkonotasi
dengan kekakuan (rigidity) dan tatanan yang tak berubah (unchanging order) maupun kekacauan
(disorder), degenerasi dan pengulangan yang demonis (daemonic repetition). Bhabha, "The Other
Question," 18.
184
Toer, Tempo Doeloe, 225.

96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahwa “Njai Dasima soeda tersohor di kampoeng-kampoeng Slam”185 karena

kecantikan dan kekayaannya dan ini membuat “banjak sekali orang orang slam

lelaki ingin sekali boeat dapet tempel, boeat eret hartanja.”186 Kata “Slam” di sini

menjadi penanda akan adanya perbedaan ras, atau dalam istilah yang sering

muncul dalam cerita, perbedaan bangsa. “Orang Slam” di sini dilawankan dengan

“orang kafir” yang di dalam cerita merujuk pada “orang Serani ataoe Tjina.”187 Di

sini, tampak bahwa konsep “ras” tumpang tindih dengan konsep “agama”. Secara

umum, seseorang yang berasal dari ras tertentu diasumsikan beragama tertentu

pula. Orang Eropa dianggap pasti beragama Kristen, sedangkan orang Pribumi

dianggap beragama Islam. Jika mengacu pada konsep ras seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya maka sebagai penanda perbedaan, ia tidaklah stabil

karena konsep ras di sini ternyata mengacu pada kategori agama juga.

Kategori Pribumi versus nonpribumi (baca: Eropa) yang bertumpang-

tindih dengan kategori Islam dan kafir (baca: Nasrani) di dalam cerita muncul

berulang-ulang. Misalnya disebutkan juga bahwa hubungan Nyai Dasima dan

Tuan W. yang adalah orang “koelit poeti”188 sebagaimana disuarakan oleh tokoh

Ma Boejoeng, menurut ajaran agama Islam adalah suatu perzinahan yang tidak

sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad. Secara umum bisa dikatakan bahwa dalam

Tjerita Njai Dasima, perbedaan antar ras di sini ditandai oleh kata “bangsa” di

mana kategori “bangsa” itu sendiri juga mencakup konsep “agama.” Konsep ras

185
Toer, Tempo Doeloe, 225.
186
Toer, Tempo Doeloe, 225-226.
187
Toer, Tempo Doeloe, 228.
188
Toer, Tempo Doeloe, 235.

97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang mengacu pada seperangkat ciri fisik, biologis, dan genetis pun merujuk pada

kategori lainnya, yakni agama.

Jika memang kategori ras yang dikaitkan dengan darah (biologi), menyatu

dengan konsep agama (budaya), bukankah konsep ras itu sendiri tidak bisa

dipertahankan sebagai penanda yang stabil? Salah satu bagian cerita mengisahkan

bahwa Toean W. sebernarnya bermaksud mengajak Dasima masuk Kristen, lalu

menikahinya secara resmi. Yang menjadi persoalan, seandainya Dasima memang

masuk Kristen, ia termasuk ke dalam kategori yang mana: Eropa (meski dia tidak

memiliki darah Eropa) ataukah tetap pribumi (kendati dia Kristen)? Lalu, jika

pribumi bisa masuk Kristen, apakah dengan demikian ciri-ciri yang diasosiasikan

dengan rasnya (pribumi = jahat), masih ada? Di sinilah letak ambivalensinya,

yakni bahwa konsep ras yang dianggap seringkali penanda identitas yang paling

kokoh ternyata rentan dan sulit dipertahankan. Dengan kata lain, konsep ras

bentukan kolonial itu pun ada kelemahannya.

Cerita ini justru tidak menempatkan Dasima secara sentral dalam dikotomi

pribumi versus Eropa. Maksudnya, ras Dasima di sini tidak dipersoalkan. Dilihat

dari keseluruhan cerita secara umum, Tjerita Njai Dasima secara dominan

menampilkan golongan pribumi—dalam hal ini diwakili oleh sosok Samioen dan

para sekutunya—sebagai pihak yang “jahat”: tamak, tidak segan-segan

menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan penuh muslihat.

Sementara itu, orang Eropa—diwakili oleh sosok Tuan Edward W.—cenderung

digambarkan sebagai pihak yang “baik”: mudah percaya, penuh cinta dan

tanggung jawab. Akan tetapi, dikotomi tersebut sebenarnya justru runtuh karena

98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kedua kecenderungan ini (baik maupun jahat) bisa dimiliki oleh masing-masing

pihak secara bersamaan. Toean W., misalnya, juga “jahat” karena ternyata dia

“tiada sekali taoe adjar atawa soeroe adjar peladjaran agama”189 kepada nyainya

meskipun dia mengetahui Dasima masih memeluk keyakinannya sendiri. Jadi,

kecenderungan tokoh pribumi muncul sebagai tokoh yang “jahat” dan tokoh

Eropa sebagai tokoh yang “baik” memang masih ada. Namun, batasan-batasan

tersebut tidak sehitam-putih yang diandaikan.

Tokoh Dasima dapat dikontraskan dengan Ma’ Boejoeng yang sama-sama

pribumi. Dasima adalah perempuan pribumi yang tekun dan bersedia belajar

“segala roepa pekerdjahan prampoean jaitoe masak, mendjait, dan potong segala

roepa pakean”190 yang diajarkan orang Eropa (Njonja Bonnet). Sementara itu, Ma’

Boejoeng adalah sosok perempuan kampung, kalangan yang dilarang Toean W.

bergaul dengan Dasima, sehingga bagi Toean W. memelihara perempuan

semacam Ma’ Boejoeng hanya membuang-buang uang. Di sini tersirat bahwa ada

golongan pribumi yang memang patut dipelihara karena ia bisa dibentuk sesuai

dengan nilai-nilai Eropa (baik)—diwakili oleh sosok Dasima—dan golongan

pribumi yang tidak patut dipelihara karena “sudah dari sananya” sifatnya seperti

orang kampung/pribumi kebanyakan yang tidak mudah diatur/“diprentah”

(buruk)—diwakili oleh Ma’ Boejoeng. Kedua figur ini memang berlawanan dan

jika ada pribumi yang baik dan buruk, bukankah demikian halnya dengan orang

Eropa—ada orang Eropa yang baik dan ada juga yang jahat?

189
Toer, Tempo Doeloe, 228.
190
Toer, Tempo Doeloe, 225.

99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ditinjau secara umum Tjerita Nji Paina secara dominan menunjukkan

kritik terhadap kolonialisme secara sadar, yakni kolonialisme merupakan sebuah

sistem eksploitatif yang melibatkan relasi kekuasaan di mana ada hierarki antara

pihak-pihak yang terlibat di dalamnya: tuan Eropa yang posisinya lebih tinggi

daripada golongan pribumi. Hubungan asimetri itu meliputi berbagai aspek

kehidupan: dalam hubungan kerja, dalam hubungan antara lelaki Eropa dan

perempuan pribumi. Hal tersebut misalnya tampak ketika tuan administratur baru

(Eropa) memandang gaji Niti Atmaja (pribumi) terlalu besar. “Di mana pada

zaman ini orang dengar iang satoe djoeroetoelis Djawa makan gadjih begitoe

besar. Doea poeloeh lima roepiah masih terlaloeh banjak boeat satoe djoeroetoelis

orang Djawa.”191 Gagasan ini bersesuaian dengan ideologi kolonial bahwa etos

kerja orang Eropa lebih baik sehingga pantas mendapat bayaran yang lebih tinggi.

Sebaliknya, orang pribumi etos kerjanya lebih buruk dan konsekuensinya, wajar

apabila diupah lebih rendah pula.

Kritik yang disampaikan cerita tersebut merupakan kritik terhadap gagasan

yang dibentuk wacana kolonial secara umum bahwa orang Eropa memiliki etos

kerja lebih yang baik, sedangkan golongan pribumi etos kerjanya kurang baik

sehingga mereka perlu diajar dan diperintah oleh orang Eropa agar bisa maju.

Meskipun terdapat kritik yang menjadi pesan dominan dari cerita tersebut,

ambivalensi juga muncul di dalam cerita terkait konsep ras itu sendiri. Dalam hal

ini gagasan bahwa orang Eropa kinerjanya lebih baik sudah dimaklumi begitu saja

191
Toer, Tempo Doeloe, 318.

100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(taken for granted). Padahal, dalam realitas cerita orang Eropa tidak selalu lebih

baik.

Tokoh Niti Atmaja (pribumi) adalah sosok yang disiplin, tekun dan teliti di

dalam pekerjaannya sehari-hari. Kinerja Niti ini amat kontras dengan kinerja

atasannya, Tuan Briot, yang selalu pulang kerja lebih awal, kerjanya hanya

memerintah dan memeriksa pekerjaan bawahannya. Kebanyakan pekerjaannya

justru dikerjakan oleh Niti. Di sini tampak ambivalensi bahwa di satu sisi orang

pribumi (Niti) yang lebih inferior justru bisa meniru orang Eropa secara

“sempurna” dan tidak terhalangi oleh ciri-ciri yang dianggap “kodrati” (rasnya).

Sementara itu, orang Eropa (Briot) yang dielu-elukan sebagai ras yang superior

ternyata justru tidak mampu bekerja dengan baik sebagaimana yang diandaikan

melekat dalam “kodrat”-nya. Dengan demikian, stereotipe tentang pribumi

sebagai ras inferior tersebut tidak dapat dipertahankan karena orang Eropa tidak

selalu lebih cemerlang daripada orang pribumi.

Ambivalensi lain di dalam cerita ini ialah bahwa di balik kecenderungan

cerita yang kritis terhadap kolonialisme ini, terdapat juga bagian yang

menunjukkan persekutuannya (complicity) dengan sistem tersebut. Ini

ditampakkan oleh pengabdian Niti pada pabrik gula tempatnya bekerja yang

pemiliknya orang Eropa dan mempekerjakan banyak orang pribumi. Berkat

kesiagaannya, ia bisa mencegah perbuatan-perbuatan jahat yang hendak dilakukan

oleh bawahannya. Selain itu, ia juga bisa mengatasi kecurangan-kecurangan yang

terjadi di pabrik. Dedikasinya inilah yang membuat gajinya tetap tinggi di tengah

kondisi pabrik yang sulit. Bisa dikatakan bahwa Niti yang mewakili golongan

101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pribumi yang dianggap “baik” justru menjadi salah satu penopang sistem

kolonialisme itu sendiri.

Dalam beberapa bagian lain dari cerita ini juga muncul dalam salah satu

bagian lain, Paina dihadapkan pada pilihan menerima pinangan Briot untuk

menyelamatkan ayahnya atau menolak pinangan itu dan membiarkan ayahnya

masuk penjara. Awalnya ia menolak secara tegas dengan mengatakan, “Apa, djadi

njainja tjeleng itoe?’ Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi

koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas

itoe.”192 Kata “celeng” di sini agaknya menjadi metafor yang merangkum

seperangkat ciri: rakus, najis, kotor. Jika biasanya penamaan atau penjulukan

melibatkan aspek kekuasaan karena hal tersebut membawa konsekuensi bagi yang

dijuluki, di sini Paina adalah “budak” yang menantang balik “sang tuan” melalui

umpatan yang menyamakan “sang tuan” tersebut dengan “celeng.” Kendati berada

dalam posisi yang tidak berdaya, tetapi Paina tetap menemukan celah untuk

“menyerang balik” figur kekuasaan yang tengah mencengkeramnya.

Bentuk otonomi semacam ini juga dapat ditemukan pada bagian lain yang

menceritakan bahwa Paina “aken bikin mati toen Briot”193 dengan cara

menularkan penyakit cacar kepadanya. Secara literal, penyakit cacar di sini dapat

diasosiasikan dengan berbagai hal, antara lain rendahnya kualitas hidup (jorok,

tidak higienis), mudahnya menular, efek-efek yang ditimbulkan (bekas-bekas

pada kulit, kematian). Namun, lebih jauh penyakit cacar dengan sifatnya yang

mudah menular tersebut menjadi simbol bagi kontaminasi ras: Paina yang

192
Toer, Tempo Doeloe, 327.
193
Toer, Tempo Doeloe, 328.

102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pribumi—golongan yang distereotipekan dengan sifat primitif, barbar, tidak

beradab—sedang menulari Briot yang Eropa dengan ciri-ciri “kepribumiannya”

sehingga “kemurnian”-nya menjadi cemar. Meskipun berada dalam posisi yang

“kalah,” Paina menjalankan siasat resistensinya melalui penularan cacar yang ia

pilih dengan sadar sehingga pada akhirnya ia berhasil mencapai tujuannya.

Dilihat secara keseluruhan, Cerita Nyai Ratna bercerita tentang

petualangan seorang perempuan pribumi yang menjadi nyai. Petualangan ini

cukup lengkap karena dikisahkan sejak awal bagaimana ia menjadi nyai hingga

bagaimana akhirnya ia “bertobat” akibat perilakunya yang “buruk” selama

menjadi nyai. Di sini ambivalensi sudah hadir di dalam keseluruhan cerita karena

pengarangnya sudah secara eksplisit menunjukkan sikap eksplisit terhadap tokoh

nyai. Di satu sisi, ada keterpesonaan terhadap sosok nyai yang dianggap hebat

dilihat dari penampilan, pengetahuan dan materi yang dapat diaksesnya, serta

mobilitas sosialnya yang meningkat. Namun demikian, di sisi lain, ada juga kritik

terhadap figur nyai yang ternyata berani melakukan perbuatan-perbuatan yang

secara moral/normatif jahat/buruk, mulai dari menipu tuannya, berselingkuh,

bebas secara seksual, meracun tuannya dan sebagainya.

Berbeda dengan kedua cerita sebelumnya, Tjerita Nyai Ratna

menggambarkan kesadaran akan perbedaan ras dengan cara yang relatif eksplisit.

Dalam cerita berkali-kali disebutkan kategori “Belanda” yang dilawankan dengan

“bangsa sendiri” atau pribumi. Misalnya ketika tokoh bibi Ratna, Nyi Brata,

menggambarkan perbedaan jika seorang perempuan hidup bersama dengan lelaki

Eropa dan lelaki pribumi. Dalam adegan lainnya, tokoh Ratna juga mengatakan

103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahwa tuannya itu “lain bangsa.” Di sini, kategori “bangsa” juga bisa disejajarkan

dengan kategori “ras.”

Cerita ini secara dominan menggambarkan orang Eropa sebagai pihak

yang baik, yakni sebagai sosok “penyelamat.” Ini terjadi karena lelaki Eropa

dianggap memperlakukan perempuan pribumi lebih baik daripada lelaki pribumi

meskipun status perempuan tersebut hanyalah seorang nyai. Hal tersebut

digambarkan dalam salah satu percakapan antara Ratna dan Nyi Brata.

“Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari kagak sekali
dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu! Tanggung-tanggung. Mendingan
ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan tidak
dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang kaya
bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak dapat
kesenangan.”194

Jadi, dalam berbagai segi, perempuan pribumi yang menjadi nyai dari lelaki Eropa

dipandang masih lebih baik daripada yang menikah dengan lelaki pribumi, entah

lelaki yang status sosialnya lebih tinggi ataupun yang statusnya lebih rendah

daripada perempuan tersebut.

Pada bagian lainnya, dikisahkan juga pengalaman Nyi Brata ketika

menjadi nyai seorang lelaki Belanda. Dengan menjadi nyai itulah ia lalu memiliki

akses kekayaan materi dan ini lalu dianggap sangat menentukan kebahagiaan

perkawinannya dengan seorang lelaki pribumi setelah tuannya mati. Lebih lanjut,

disebutkan bahwa bekas nyai pun memiliki status yang lebih tinggi daripada

perempuan pribumi lainnya.

“Bila pikir lebih jauh maka dapat dimengerti sebabnya isteri-isteri


bangsanya sudah banyak yang jadi nyai-nyai, dan kemudian nyai-nyai

194
Toer, Sang Pemoela, 374.

104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bekas itu naik martabat dan harga dirinya, lebih-lebih perempuan-


perempuan setiawan, yang sopan-santun, yang tidak berjalan bengkok.”195

Singkatnya, cerita ini menampilkan gambaran tentang “lelaki kulit putih yang

menyelamatkan perempuan berkulit coklat dari lelaki berkulit coklat” (white man

saving brown woman from brown man”) seperti yang diungkapkan oleh Gayatri

Spivak196: lelaki Eropa “menyelamatkan” perempuan pribumi dari kondisi

kehidupan yang buruk dengan lelaki pribumi. Salah satunya karena menurut

kelaziman pada masa itu, “jamak isteri dimadu”197 serta “jamak lelaki piara bini

lebih dari satu”198 mengingat “itu diperkenankan oleh agama.”199 Dengan menjadi

nyai, seorang perempuan pribumi juga mendapatkan akses terhadap materi dan

status sosial yang lebih tinggi daripada rata-rata orang pribumi lainnya. Bahkan,

itu masih berlangsung setelah perempuan tersebut tidak lagi menjadi nyai!

Jika dibaca dengan “melawan arus,” akan tampak ambivalensi dalam

wacana mengenai ras ini. Hal ini, misalnya, tampak dalam gagasan Ratna bahwa

perselingkuhannya dengan Sambodo dapat dibenarkan: “Peduli apa laki lain

bangsa ini. Siapa tahu di negerinya punya nyonya.”200 Kutipan ini menyiratkan

kritik terhadap status seorang nyai: Ratna menyadari posisinya sebagai seorang

nyai dari seorang lelaki Eropa yang status persisnya bahkan tidak ia ketahui secara

persis—menikah atau tidak menikah. Dengan alasan itu, menurut Ratna, dalam

hubungan tersebut tidak perlu ada kesetiaan ataupun cinta. Pada bagian lain,

dikisahkan Mak Dukun menasihati salah satu tokoh nyai lainnya, yakni

195
Toer, Sang Pemoela, 374.
196
Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 154.
197
Toer, Sang Pemoela, 371.
198
Toer, Sang Pemoela, 371.
199
Toer, Sang Pemoela, 371.
200
Toer, Sang Pemoela, 384.

105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Parminingsih, untuk tetap mengikuti kemauan sang tuan sembari tetap

menggerogoti hartanya karena alasan “lain bangsa.”201 Jadi, kedua tokoh nyai ini

memandang hubungan nyai-tuan semata-mata relasi yang sementara dan

pragmatis di mana di dalamnya sang nyai tidak perlu menunjukkan kesetiaan

ataupun cinta. Namun, kepatuhan terhadap sang tuan dianggap tetap diperlukan

semata-mata agar nyai tersebut bisa memperoleh harta sang tuan.

Di dalam cerita ini, hubungan dengan “lain bangsa” dipandang sebagai

bentuk hubungan yang sementara dan pragmatis. Jadi, konsep “cinta lintas ras”

tidak mengemuka di dalamnya. Adanya nyai yang memanfaatkan kesempatan

sebaik-baiknya untuk memperoleh harta yang banyak dari tuannya menggagalkan

asumsi mengenai orang pribumi yang bodoh. Jika diandaikan bahwa lelaki Eropa

dengan mudahnya bisa memilih perempuan mana yang hendak dijadikan

nyainya—dengan demikian perempuan tersebut pasif—dan hubungan tersebut

lantas berlangsung satu arah maka dalam kenyatannya hubungan itu justru

berlangsung dua arah karena ternyata nyai tersebut juga memanfaatkan tuannya.

Ini meruntuhkan asumsi tentang tuan yang sedemikian berkuasa. Di tengah

cengkraman kekuasaan itu, si nyai ternyata bersiasat, yakni dengan memanfaatkan

waktu sebaik-baiknya untuk mengumpulkan harta, bersenang-senang dengan

lelaki lain yang diinginkannya, bahkan melakukan tindakan perselingkuhan di

rumah tuannya sendiri. Nyai yang dipandang lugu dan baik tersebut ternyata sadar

benar akan posisinya dan memanfaatkan keadaan demi kesenangannya sendiri.

201
Toer, Sang Pemoela, 390.

106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dalam Hikayat Siti Mariah, perbedaan ras ditampilkan secara eksplisit

melalui pembedaan antara orang Belanda, Belanda peranakan (Indo), dan kaum

pribumi yang sebagian diwakili oleh golongan bangsawan. Ini tampak, misalnya

ketika Siti Mariah yang sewaktu masih kecil bernama Urip, digambarkan “bergaul

dengan anak-anak Belanda, mengikuti adat orang Belanda.”202 Kategori ras di sini

juga bertumpang tindih dengan kategori agama. Dalam salah satu bagian,

Joyopranoto melarang Mariah berhubungan dengan Henri Dam karena ia

“Belanda totok”203 dan “bangsa kafir.”204

“Astagafirullah! Tuan opsiner Henri Dam? Apa betul? Belanda totok?


Bangsa kafir? Siapa mau mengawinkan anaknya dengan bangsa kafir?
Bermantukan dia? Banyak terima kasih. Najis. Tuan Dam memang
seorang baik-baik. Saya suka. Bukan saya berhati busuk padanya, saya dan
dia bersahabat dalam pekerjaan. Tapi lain lagi dalam hal agama. Agama di
atas, persahabatan di bawah. Biar sampai mati. Heran sekali bagaimana
Mariah bisa jatuh cinta sama bangsa kafir. Bikin jadi kapiran ibu dan
bapaknya. Bikin malu bangsa Islam.”205

Ditinjau dari plot secara keseluruhan, Hikayat Siti Mariah secara dominan

menggambarkan tokoh Eropa yang jahat—dalam hal ini diwakili oleh tokoh

Nyonya von Holstein: licik, penuh tipu daya dan dengan kekuasaannya, ia

berusaha merusak hubungan cinta yang harmonis antara Siti Mariah dan Henri

Dam. Bahkan, ia pun tega meracun suaminya sendiri hingga mati. Buruknya

karakter Nyonya Holstein yang mewakili orang Eropa ini juga ditegaskan melalui

salah satu bagian cerita di mana Tuan Administrator Kalibagor mengkritik

muslihat yang dilancarkan Nyonya Von Holstein untuk menceraikan Henri Dam

dan Siti Mariah. Berikut petikannya.

202
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 89.
203
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127.
204
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127.
205
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127.

107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Iblis kejahatan tak pilih bangsa. Jangan kita menyangka kejahatan hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang pribumi. Kita yang berkulit putih tak
berarti mesti bersih, apakah hatinya juga putih bersih? Neen, nyonya
besar.206

Sementara itu, Mariah, yang sebenarnya Indo tetapi lebih sering diidentifikasikan

sebagai pribumi, justru ditampilkan sebagai tokoh yang baik. Ia memenuhi fantasi

kolonial mengenai “figur feminin yang sempurna”207: seorang nyai yang

meskipun dilepas tuannya tetap bisa tabah dan tegar, lalu karena cintanya ia

mengerahkan segenap tenaga untuk mencari anaknya yang dipisahkan secara

paksa darinya.

Meskipun orang Eropa cenderung digambarkan buruk dan kaum pribumi

baik, dikotomi semacam itu sebenarnya tidak setegas yang dibayangkan. Secara

umum, cerita ini mengusung konsep “cinta sejati” antara lelaki dan perempuan. Di

sini bukan ras yang penting, melainkan cinta tersebut. Henri mengalami

kebahagiaan dengan hidup bersama Mariah yang dianggap “pribumi”, sementara

hal itu tidak ia rasakan ketika sudah menikah dengan Luci yang Belanda totok

karena cinta absen di dalam perkawinan mereka. Dengan demikian, cerita ini juga

mengemukakan kritik terhadap gagasan bahwa lelaki Eropa harus menikahi

perempuan dari ras yang sama, alasan yang mendasari perceraian Henri dengan

Mariah.

Walaupun cerita ini pesannya jelas, bahwa cinta sejati lebih penting

daripada ras, ambivalensi justru muncul di akhir cerita bahwa Mariah yang selama

206
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 188.
207
Konsep ini saya adaptasi dari Ania Loomba yang menyebutkan bahwa figur “other woman”
menghantui imajinasi kolonial dengan cara yang seringkali ambivalen dan kontradiktif. Di satu
sisi, ia menjadi contoh barbarisme, tetapi di sisi lain ia memenuhi fantasi kolonial mengenai
“perilaku feminin yang sempurna.” Lihat Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 157.

108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ini diduga Henri sebagai pribumi ternyata Indo atau “Belanda peranakan” karena

ia lahir dari hubungan antara seorang perempuan pribumi, Sarinem, dan seorang

lelaki Eropa, Elout van Hogerveldt. Jadi, Mariah memiliki darah Eropa. Maka,

cerita tersebut tetap menyiratkan idealisasi tentang cinta sesama ras: tidak

mungkin orang Eropa mengalami cinta sejati dengan orang yang bukan Eropa. Di

sinilah letak ambivalensinya: seolah-olah lelaki Eropa jatuh cinta pada perempuan

pribumi, tetapi ternyata cinta sejati itu hanya mungkin dialami dengan perempuan

yang keturunan Eropa juga.

Ambivalensi lainnya ialah bahwa kendati ia seringkali diidentifikasikan

sebagai pribumi karena dibesarkan oleh pribumi, kualitas-kualitas positif yang

dilekatkan pada Mariah (sabar, tegar, penuh pengorbanan) bisa dibaca sebagai

karakter yang ia warisi karena darah Eropa-nya. Jadi, meskipun di dalam cerita

orang pribumi tampil sebagai pihak yang baik dan dilawankan dengan orang-

orang Eropa yang buruk di sini masih tersirat adanya gagasan tentang superioritas

orang Eropa yang dipandang lebih baik daripada kaum pribumi.

4. Pernyaian dan perkawinan

Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II, pernyaian merupakan

fenomena yang umum di Hindia Belanda dan telah memiliki sejarah yang

panjang, yakni sejak munculnya VOC di Nusantara. Hal ini tidak berarti

keberadaan institusi tersebut lepas dari kontroversi. Sepanjang keberadaannya,

berbagai suara yang menentang pernyaian juga mengemuka. Akan tetapi,

pernyaian tetap bertahan sebagai salah satu bentuk regulasi seksual yang didukung

109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemerintah kolonial. Alasannya pertama-tama terkait dengan kepentingan

ekonomi. Seperti yang dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual ini sangatlah

penting terhadap perkembangan permukiman kolonial beserta alokasi aktivitas

ekonomi di dalamnya. Bagian ini akan melihat ambivalensi dalam wacana

mengenai pernyaian dilihat dari plot cerita secara keseluruhan yang dibandingkan

dengan detil cerita.

Dalam Tjerita Njai Dasima, disebutkan secara eksplisit cinta Tuan Edward

W. terhadap Nyai Dasima, terutama karena Nyai Dasima rajin dan terampil dalam

pekerjaan rumah tangganya, ”maka Toean W. tjinta dianja ibarat dia poenja bini

kawin, segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang”208 serta dari hubungan itu sudah

lahir seorang putri, Nanci, yang sangat dicintai oleh Tuan W. Akan halnya

perasaan Dasima terhadap Tuan W. sendiri digambarkan lewat suara tokoh

Samioen yang memandang bahwa Dasima ”terlaloe tjinta kapada itoe kafir”209

dan tokoh Ma Boejoeng yang menganggap bahwa “dia poenja kahidoepan terlaloe

tjinta satoe sama laen, dan itoe Toean pertjaja semoea hartanja dan sekalian

roema-tangganja kepada dianja; dia idoep lebi-lebi dari atoeran orang

terkawin.”210 Dibaca dari sudut pandang yang dominan, pernyaian di dalam cerita

ini merupakan jenis hubungan yang mampu mengakomodasi cinta antara sang

tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi.

Sementara itu, setelah bercerai dengan Tuan W., Dasima menikah dengan

Samioen. Demikian gambaran kehidupan perkawinan Dasima.

208
Toer, Tempo Doeloe, 225.
209
Toer, Tempo Doeloe, 226.
210
Toer, Tempo Doeloe, 229.

110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Dia poenja giwang, tjintjin dan gelang bertaboer intan ditoekar dengen
giwang piroes dan tjintjin bela rotan perak, tiada pake gelang, serta misti
membantoe masak dengen koki di dapoer, serta misti lajanin lakinja,
mertoeanja dan madoenja ibarat satoe boedak, tadinja di roemah Toean W.
dia dilajanin oleh boedjang-boedjang, dan sekarang dia misti djadi boedak
orang, djikaloe tiada betoel kerdjanja, dia dapet mara dan dapet bentakan
dari madoenja, maka o, kesian sekali, itoe penjeselan hati soeda moelain
datang…”211

Dasima merasakan kehidupannya dalam perkawinan yang resmi—secara hukum

dan agama—justru jauh dari kebahagiaan dan bertolak belakang dengan

kehidupannya dalam pernyaian. Ketika hidup sebagai seorang nyai, Dasima

memiliki cukup otonomi dan kekuasaan—terhadap harta, terhadap kehidupan

rumah tangga. Ketika ia menjadi seorang istri dari lelaki pribumi, justru otonomi

tersebut lenyap: dari sosok yang punya kekuasaan, ia justru menjadi subordinat,

menjadi “boedak orang” demikian menurut kata-kata Dasima.

Keseluruhan plot cerita Tjerita Njai Dasima secara dominan menyuarakan

bahwa pernyaian merupakan bentuk hubungan yang bisa mengakomodasi cinta

antara sang tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi. Perkawinan

antara perempuan pribumi dengan lelaki pribumi dianggap lebih buruk karena

dapat menurunkan status perempuan tersebut. Hal ini sebagian terkait juga dengan

praktik poligami dan ajaran agama yang tidak berpihak pada perempuan. Namun

demikian, dilihat dari sisi lain, cerita tersebut juga menunjukkan adanya

ambivalensi di dalam wacana tentang pernyaian ini. Hal tersebut hadir melalui

kritik terhadap status nyai yang dipandang rendah melalui suara tokoh Hajati, istri

Samioen.

211
Toer, Tempo Doeloe, 240.

111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Embok Saleha poedji itoe Njai poenja roepa, begitoe poenya bagoes,
tetapi sajang sekali dia djadi goendiknja orang koelit poeti, prampoean
begini pantas djadi bini kawin orang Slam, jang berpangkat, ataoe kaja,
sebab dia boleh dapet lebih banjak kehormatan!”212

Selain itu kritik tentang ketidakjelasan status Dasima, yang sebagai piaraan Tuan

W. “boekannja bini kawin, dan boekan boedak,”213 juga disuarakan oleh tokoh

Ma’ Boejoeng. Di sini suara tersebut memperoleh peneguhan dari ajaran agama

yang memandang bentuk hubungan nyai-tuan sebagai perzinahan.

“Boeat apa Njai takoet sama Toean, djikaloe dia sajang sama Njai betoel-
betoel, tentoe dia soeda kawin sama Njai. Dia ada satoe orang koelit poeti,
kaloe dia dapat bangsanja, tentoe dia boewang sama Njai, begitoe djoega
dia poelang ke negrinja dan anak Njai dia ambil, tinggal Njai sebatang
karang, tiada poenja sanak-soedara dan tiada poenja kenalan disini maka
itoe Njai idoep sama Toean ada kahidoepan berdjina, tiada nikah begimana
soeda dipesan oleh Nabi Moehamad, haroes Njai lekas-lekas toentoet
agama, soepaja djangan menjesal di blakang kali.”214

Ketidakjelasan status nyai serta gagasan pernyaian sebagai bentuk perzinahan itu

juga disuarakan melalui suara Dasima sendiri. Berikut petikannya.

“…saja ikoet sama Toean soeda begini poenja lama, tiada kawin, djadi
berdjinah, besok loesa kaloe Toean kawin dengen Toean poenja bangsa
ataoe Toean poelang ka Toean poenja negri, djadi saja telantar, tiada
oeroes saja poenja djiwa, maka itoe Toean kasi ataoe Toean tiada kasi, saja
minta lepas dari Toean,… .”215

Dalam bagian lainnya, diceritakan pula Tuan W. bernegosiasi dengan Dasima

lewat ajakan masuk ke dalam agama Kristen dan menikah secara resmi untuk

“menimboelkan hormatnja kita poenja anak.”216 Jadi, di sini perkawinan resmi

tetaplah dipandang lebih baik daripada pernyaian karena hal ini sejalan dengan

212
Toer, Tempo Doeloe, 234.
213
Toer, Tempo Doeloe, 231.
214
Toer, Tempo Doeloe, 235.
215
Toer, Tempo Doeloe, 238
216
Toer, Tempo Doeloe, 238.

112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

moralitas perkawinan Kristiani yang dijunjung tinggi oleh orang Eropa pada masa

itu.

Salah satu konstruk yang termuat di dalam wacana kolonial ialah konstruk

mengenai perkawinan. Diandaikan bahwa orang Eropa sudah lebih “modern” di

mana seseorang bebas menentukan jodohnya sendiri yang didasarkan atas cinta

atau suka sama suka. Tidak ada campur tangan keluarga ataupun orang-orang

sekeliling di dalam pilihan tersebut. Hal ini sangat berkebalikan dengan orang

pribumi yang konon masih “kolot” karena seseorang belum bebas dalam memilih

jodohnya sendiri. Ia masih tergantung pada keluarga dan orang-orang dekat di

dalam mengambil keputusan tersebut. Ada kalanya ia pada akhirnya tidak bisa

bersatu dengan orang yang ia cintai karena tentangan dari lingkungan. Tak jarang

ia dijodohkan atau justru dikawinkan paksa dengan orang yang tidak ia cintai.

Tjerita Nji Paina menunjukkan ambivalensi terkait hal tersebut. Tokoh

Paina yang pribumi justru memperlihatkan sikap aktif di dalam menentukan

jodohnya di mana perasaan suka sangat berperan dalam pilihan tersebut. Hal ini

tersirat ketika ayahnya menyampaikan “pinangan” Briot terhadap Paina untuk

menjadi nyainya sebagai syarat kebebasan sang ayah dan Paina menolak dengan

tegas. “Apa, djadi njainja tjeleng alas itoe?” [sic] Tiada sekali-kali. Bebrapa orang

melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken

boedaknja si tjeleng alas itoe?”217 Jadi, di sini tersirat bahwa Paina memiliki

kebebasan untuk memilih jodohnya sendiri. Jika dalam bagian sebelumnya

diceritakan bahwa ia sudah memiliki tunangan, namun tunangannya itu kemudian

217
Toer, Tempoe Doeloe, 327.

113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

meninggal karena sakit, hal itu perlu ditempatkan dalam konteks ini: ia

ditunangkan dengan orang yang juga ia sukai. Gagasan ini pada akhirnya juga

dipertegas dengan kehidupan perkawinannya dengan lelaki sebangsanya yang

disebutkan bahagia setelah kematian Briot.

Cerita Nyai Ratna menyampaikan gagasan-gagasan mengenai pernyaian

secara cukup eksplisit. Hal tersebut pertama-tama bisa dibaca dari sikap Ratna

terhadap perkawinan. Ratna Purnama yang cantik dikisahkan menjadi seorang

janda setelah suaminya meninggal dunia. Ia menikah lagi untuk kedua kalinya,

tetapi perkawinan itu tidak membawa kebahagiaan baginya karena “tersia-siakan

kesetiaannya”218 dan pada akhirnya ia diceraikan oleh suaminya itu. Pengalaman

inilah yang membuat Ratna pada akhirnya “punya adat tidak mau dimadu.”219

Dari percakapan antara Brata, Nyi Brata dan Ratna terungkap keadaan

yang lazim pada waktu, yakni poligami, sehingga sudah jamak seorang

perempuan dimadu, sedangkan seorang lelaki memelihara isteri lebih dari satu,

apalagi hal itu “diperkenankan oleh agama.”220 Akan tetapi, jenis hubungan

semacam itu tampaknya bukan sesuatu yang diidealisasikan. Dalam hal ini,

perkawinan perempuan (pribumi) dengan lelaki (pribumi) yang statusnya

sederajat lebih dianggap ideal. Demikian gagasan ini muncul lewat suara tokoh

Ratna.

“Ia hanya ingat kata bibinya, bahwa perempuan asal kecil seperti dia
seboleh-boleh agar berlelaki dengan orang yang sepantar, barulah dapat
kesenangan. Adapun lelaki bangsawan itu niscaya kurang kekal
kecintaannya karena ada beberapa halangannya dan martabat si isteri tidak
jauh bedanya dengan martabat si kembang, yang digubah seperti buket
218
Toer, Sang Pemoela, 379.
219
Toer, Sang Pemoela, 369.
220
Toer, Sang Pemoela, 371.

114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

selagi segar, tidak kurang kehendakan tidak kurang rawatan, tetapi, kalau
sudah layu ia dapat tiada dijadikan sampah.”221

Meskipun pernikahan dengan lelaki yang didasarkan pada prinsip

kesetaraan itu cukup ideal, ada pilihan lain yang dianggap lebih ideal bagi seorang

perempuan pribumi. Hal ini terungkap dari dialog antara Nyi Brata dan Ratna

sebagai berikut.

“Bekal? … Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari
kagak sekali dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu! Tanggung-tanggung.
Mendingan ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan
tidak dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang
kaya bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak
dapat kesenangan…”

Ratna membengong memikirkan segala kata bibinya. Semakin jauh


ia pikirkan, semakin ia yakin bahwa segala kata bibinya betul belaka.
Ingatan Ratna kembali pada ketika ia menunggu kedatangan lakinya yang
kedua. Ia ingat betapa maingnya222 sudah ceritakan perkara dirinya yang
lantaran ia dimadu sampai ia jadi ronggeng supaya melepaskan siksa
tambang lakinya, dia lantas jadi nyai-nyai Belanda, dan supaya
menjatuhkan talaknya ia sudah pura-pura memeluk Nasrani. Kemudian
baru ia senang kawin dengan baing,223 senang karena maing sudah mampu
sehingga lakinya hidup dari kekayaannya. Dia mampu karena jadi nyai,
sehingga punya sawah beberapa bahu, punya kerbau, pakaian mas-intan,
rumah, sehingga ditinggal mati masih dia punya bekal buat menunggu
kematiannya sendiri. Bila pikir lebih jauh maka dapat dimengerti sebabnya
isteri-isteri bangsanya sudah banyak yang jadi nyai-nyai, dan kemudian
nyai-nyai bekas itu naik martabat dan harga dirinya, lebih-lebih
perempuan-perempuan setiawan, yang sopan-santun, yang tidak berjalan
bengkok. …”224

Di sini menjadi nyai dari seorang lelaki Eropa dianggap sebagai pilihan

yang lebih baik bagi seorang perempuan pribumi daripada menjadi istri dari

seorang lelaki pribumi, entah yang statusnya setara maupun tidak setara dengan

perempuan tersebut. Ini karena dengan menjadi nyai, seperti diperlihatkan oleh

221
Toer, Sang Pemoela, 372.
222
Bibi.
223
Paman.
224
Toer, Sang Pemoela, 374.

115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tokoh Ratna, perempuan tersebut justru memiliki akses terhadap materi,

kekuasaan dan status sosial yang lebih di mata masyarakat. Jadi ditinjau dari

berbagai segi, plot secara keseluruhan menyampaikan suara bahwa hidup sebagai

nyai dari lelaki Eropa dipandang sebagai pilihan yang lebih baik daripada

berbagai kemungkinan lainnya (perkawinan dengan lelaki pribumi yang sederajat

maupun yang tidak sederajat).

Kendati demikian, dibaca dari sisi lain, akan tampak ambivalensi wacana

mengenai pernyaian dalam cerita ini. Bertolak belakang dengan Tjerita Njai

Dasima di mana pernyaian dipandang mampu mengakomodasi cinta antara nyai

dan tuannya, di dalam cerita ini pernyaian dianggap tidak bisa memenuhi peran

tersebut. Pernyaian hanya dianggap sebagai bentuk hubungan yang dilakukan

demi alasan pragmatis, yakni untuk meningkatkan status sosial dan mengakses

materi. Bagi tokoh Ratna, menjadi nyai adalah peluang untuk mencari

penghidupan yang lebih baik daripada orang-orang pribumi pada umumnya.

Dengan otonomi yang ia miliki berkat statusnya sebagai gundik orang Eropa, ia

bebas mencari cinta di luar hubungan dengan tuannya (yakni dengan menjalin

asmara dengan lelaki pribumi, Sambodo) serta menikmati kesenangan dengan

lelaki-lelaki lain yang dapat dibeli dengan uangnya. Selain itu, setelah perempuan

tersebut tidak menjadi nyai lagi, ia bisa mengakses kehidupan yang lebih baik

tatkala ia membangun rumah tangga dengan lelaki pribumi.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, terkait dengan sikap

terhadap perkawinan, nilai orang Eropa terkait perkawinan dianggap lebih

“modern” karena membebaskan seseorang untuk memilih jodohnya sendiri. Hal

116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ini berkebalikan dengan nilai kaum pribumi yang diandaikan “kolot” dengan

kebiasaan kawin paksa atau perjodohan. Namun di dalam Hikayat Siti Mariah,

dikotomi antara keduanya dibaurkan: justru Joyopranoto yang pribumi

memberikan kebebasan pada anaknya, Mariah, untuk memilih jodohnya sendiri

(lewat pernyaian), sedangkan Nyonya von Holstein yang orang Eropa berusaha

dengan segala cara menjodohkan anaknya, Luci, dengan Henri yang juga Eropa

totok (lewat perkawinan).

Di dalam Hikayat Siti Mariah, disebutkan secara eksplisit bahwa pada

masa itu lumrah bagi seorang pejabat Eropa yang punya kedudukan untuk

memelihara seorang nyai yang akan mengurus rumah tangganya. Praktik

mengambil nyai itu juga terkait dengan alasan kesehatan. Namun, dalam cerita

juga disampaikan bahwa suatu saat sang tuan tersebut harus melepas nyainya

untuk kemudian menikah dengan perempuan Eropa. Dalam Hikayat Mariah, hal

tersebut ditentukan oleh status dari lelaki Eropa: semakin tinggi status sosialnya,

ia harus semakin menyesuaikan diri dengan norma-norma yang dianggap pantas

bagi orang Eropa. Dengan demikian, memelihara seorang nyai yang notabene

tidak dinikahi secara sah, berasal dari ras yang berbeda serta status sosial yang

lebih rendah pula, dipandang tidak layak bagi seorang lelaki Eropa yang status

sosialnya meningkat karena jabatan dalam pekerjaan, misalnya. Ini misalnya

terungkap dalam pandangan Nyonya Von Holstein, pemilik pabrik gula Sokaraja

tempat Henri bekerja yang disampaikan kepada Henri Dam.

“Zoo, tuan Dam. Saya mendapat kabar tuan piara Mariah dan sudah
beranak malah. Itu tidak mengapa, biasa saja. Tetapi kau mesti berfikir
lebih jauh lagi. Seorang opsiner piara nyai-nyai itu lumrah. Tapi
administratur! Wakil saya sendiri yang besar kuasanya! Tidak patut piara

117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

nyai. Mesti buang nyai itu! Mesti kawin dengan nona secara wajar dan
sopan, yang dapat menerima tamu sebagaimana mestinya. Ingat, tuan
Dam, jangan hendaknya membuang rejeki dan melalaikan adat. …”225

Buruknya pernyaian juga didukung oleh bagian cerita yang mengisahkan

cerainya Mariah dari Henri Dam akibat guna-guna dan tipu daya Nyonya

Holstein. Sisi eksploitatif dari pernyaian kembali tampil, yakni ketika Mariah

terpaksa menanggung konsekuensi dari statusnya sebagai seorang nyai: sewaktu-

waktu bisa dilepaskan begitu saja oleh tuannya dan dipisahkan dari anaknya.

Seperti yang telah disebutkan dalam Bab II, menurut Aturan mengenai

Perkawinan Campur yang diberlakukan sejak tahun 1808, seorang nyai yang

anaknya diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut.

Ini terjadi ketika sang ayah yang Eropa mencatatkan anaknya secara hukum

sehingga ia berhak menyandang status seperti ayahnya, yakni sebagai orang

Eropa.

Gagasan mengenai posisi pernyaian yang lebih buruk daripada perkawinan

juga tersirat pada akhir cerita. Setelah Mariah, yang telah berganti status sebagai

Nyonya (janda) Esobier, bertemu kembali dengan Henri Dam, yang juga telah

berganti nama menjadi Tuan Henri Hubrecht, mereka pada akhirnya menikah dan

hidup bahagia bersama anak mereka. Jadi, plot secara keseluruhan menunjukkan

bahwa bentuk hubungan yang paling baik bagi perempuan (pribumi/Indo) dengan

lelaki Eropa adalah perkawinan alih-alih pernyaian.

Dalam hal ini ambivalensi muncul dalam pengalaman Henri Dam dan

Mariah yang justru bahagia kendati hidup sebagai tuan dan nyai karena cinta hadir

225
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 149.

118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam hubungan tersebut. Di sini bentuk hubungan tidak dipermasalahkan asalkan

di dalamnya ada cinta dan pernyaian ternyata mampu mengakomodasi cinta antara

kedua pihak yang terlibat di dalamnya. Bagi Henri, Mariah yang ia angkat sebagai

nyainya adalah orang yang ia cintai dan ketika atasannya mengajukan gagasan

untuk melepas nyainya, ia meragukan bahwa “cinta bisa tukar badan.”226

Demikian diungkapkan tokoh Henri Dam.

“Untuk piara nyai memang tak ada halangan. Tak perlu malu. Tuan
administratur bukan saja mengijinkan, malah mendorong. Lagi pula semua
kawannya piara nyai juga. Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati.
Hidup manis, rukun tak terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja
sudah cukup, sudah untung besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari
kekuasaan wali, Mariah akan dikawini. Tak bakal ia buang dia untuk
mengawini nona Belanda. Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa
diganti.”227

Demikianlah Henri Dam dan Siti Mariah yang saling mencintai menjalani

“kehidupan yang amat manis dan rukun, dan mendapat berkat dari orangtua dan

semua keluarga, terpuji oleh handai-taulan”228. Kehidupan mereka juga makin

lengkap ketika lahir anak dari hubungan tersebut.

Bisa disimpulkan bahwa Hikayat Siti Mariah mengidealisasikan

perkawinan sebagai bentuk hubungan yang paling baik dan pernyaian dianggap

kurang baik karena berbagai sebab. Tetapi, wacana mengenai pernyaian ini juga

ambivalen karena pernyaian ternyata juga mampu mengakomodasi cinta antara

lelaki Eropa dan perempuan pribumi.

5. Hubungan nyai-tuan

226
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 122.
227
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 123.
228
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 147.

119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) selalu diliputi

ambivalensi. Bagian ini akan melihat secara umum gambaran hubungan antara

nyai dan tuan yang ditandai oleh ambivalensi tersebut. Dalam Tjerita Njai

Dasima, hubungan Nyai Dasima dengan Tuan Edward W. digambarkan

berlangsung harmonis. Dasima adalah nyai yang sangat dicintai oleh tuannya

“sebab itoe Njai radjin dan pinter bekerdja, maka Toean W. tjinta dianja ibarat dia

poenja bini kawin, segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang.”229 Selain itu,

kehadiran Nanci “satoe anak prampoean terlaloe bagoes, … jang Toean W.

terlaloe sajang sekali”230 juga makin menambah rasa cinta sang tuan terhadap

Dasima. Maka, tak heran Dasima begitu dipercaya untuk mengurus harta tuannya,

serta diberi aneka rupa barang. Selain itu, Tuan W juga berniat untuk mengajak

Dasima masuk Kristen dan menikahinya secara resmi.

Beberapa bagian cerita menunjukkan adanya ambivalensi di dalam

hubungan tersebut. Dalam salah satu dialog Dasima dengan Ma Boejoeng yang

mengungkapkan keprihatinan Ma’ Boejoeng karena Dasima “djadi goendiknja

orang koelit poeti,”231 Dasima menyahut dengan mengatakan, “Saja poenja

oentoeng, Toehan Allah kasih boeat ikoet saja poenja Toean, hatinja baek dan

terlaloe sajang sama saja, saja poenja makan dan saja poenja pake semoea

tjoekoep.”232 Di dalam bagian lainnya, juga digambarkan kebimbangan Dasima

ketika hendak minta cerai dari Tuan W.

“Sehabisnja tetamoe poelang, Njai Dasima pikirken betoel itoe prampoen


poenja perkatahan jang di doenia misti idoep dengan senang, berpoenja

229
Toer, Tempo Doeloe, 225.
230
Toer, Tempo Doeloe, 225.
231
Toer, Tempo Doeloe, 234.
232
Toer, Tempo Doeloe, 235.

120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kekajaan dan dapet kehormatan, tetapi dia ingat Toeannja, jang dia
sajang, dan liat anaknja jang dia tjinta, djadi pikirannja beklai di dalem
hatinja, maka bebrapa hari dia doedoek diem sadja dan tiada banjak
bitjcara.”233

Selain itu, “kebencian” Dasima yang ia ungkapkan dalam keputusannya

untuk minta cerai secara tegas juga tampak dalam petikan berikut. “Toean

soenggoe kita tida bersala, tetapi djodo kita soeda abis, saja tiada soeka tinggal

dipiara oleh Toean, sekarang Toean kasi, tida kasi, saja minta lepas!”234 demikian

dikatakan Dasima. Ekspresi “kebencian” Dasima tersebut juga tampak dalam

dialog berikutnya.

Toean W. dengan tjoetjoer aer mata berkata:


“Ja, Dasima! apa angkaoe soeda begitoe sekali bentji kepada
akaoe? Apa akaoe poenja sala? Soeda begitoe lama kita idoep enak sama-
sama sampe dapet anak, apa angkaoe koerang pake, koerang makan, ataoe
koerang blandja? Harta akaoe ada ditangamoe, malahan akaoe ada ingatan
boeat kasi angkaoe masoek di dalem agama Kristen, dana kalaoe angkaoe
soeka, bole kita kawin boeat menimboelkan hormatnja kita poenja anak.”
Njai Dasima menjaoet dengan aseran, moekanja dan matanja djadi mera,
seraja berkata:
“O, itoe soeda laat! Saja tiada harep masoek agama kafir, saja
tinggal tetap pegang saja poenja agama, Toean djangan paksa saja aken
soeka sama Toean, barangkali di blakang kali, bole djadi soba ande, Toean
masi moeda, bole tjari prampoean laen, jang lebi baik dari saja.”235

Jadi, di dalam cerita ini, sosok Nyai Dasima mengalami ambivalensi di dalam

hubungannya dengan Tuan W. Di satu sisi, ia berbahagia di dalam hidup bersama

dengan Tuan W., tetapi di sisi lain, ia tidak tenang karena belum menjalankan

perintah agama meskipun itu karena bujukan pihak lain. Di satu sisi, ia merasa

cinta (“sajang”) pada Tuan W., namun di sisi lain ia merasa benci (“bentji”) pada

233
Toer, Tempo Doeloe, 235.
234
Toer, Tempo Doeloe, 238.
235
Toer, Tempo Doeloe, 238.

121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tuan W. karena dilihat dari pandangan agamanya ia berzinah dengan orang kafir

dan karena statusnya sebagai nyai tidak jelas.

Dalam Tjerita Nji Paina, digambarkan dengan jelas bahwa Paina sangat

membenci Tuan Briot. Ketika ayahnya mengutarakan maksud Briot meminta

Paina sebagai nyainya, Paina dengan tegas menjawab, “Apa, djadi njainja tjeleng

itoe? Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik

dan sekarang koe hendak didjadikan boedaknja si tjeleng alas itoe.”236 Sisi lain

dari hubungan itu ialah ia tetap menuruti kemauan Tuan Briot agar mendapat

pembebasan: Paina bisa menyelamatkan ayahnya. Meski pada akhirnya Paina

menyetujui untuk menjadi nyai Tuan Briot, ia pun menyiapkan sebuah siasat,

yakni membuat dirinya terjangkit penyakit cacar yang tengah mewabah daerah itu,

lalu menularkannya pada Briot. Rencana Paina pun terlaksana. Alhasil, Tuan Briot

terlu dan pada akhirnya meninggal. Sementara, Paina sembuh walaupun dengan

bopeng yang tersisa di wajahnya.

Dalam Cerita Nyai Ratna dikisahkan bahwa Ratna menjadi nyai seorang

kapten kapal. Secara umum bisa dikatakan bahwa Ratna tidak menganggap

hubungan dengan tuannya atas dasar cinta. Ia justru memperoleh “cinta sejati”

dari sosok Sambodo. Oleh karena itu, ia membenarkan tindakannya dengan alasan

“beda bangsa” dan statusnya sebagai nyai yang tidak jelas sehingga ia tidak usah

terlalu merisaukan tindakannya sebagai sesuatu yang salah. Berikut petikannya.

“Sambodo: Betullah perempuan enggak boleh dipercaya. Tuan di kapal


gedak-geduk sendirian. Ratna sama … .”

236
Toer, Tempo Doeloe, 329.

122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Ratna: … Peduli apa laki lain bangsa ini. Siapa tahu di negerinya punya
nyonya.”237

Di sini tampak ambivalensi bahwa di satu sisi Ratna bisa dikatakan

“membenci” tuannya karena hubungan tersebut tidak didasarkan atas cinta.

Tetapi, di sisi lain ia harus menjalaninya (“mencintai” tuannya) agar ia

mempunyai berbagai akses terhadap materi dan berbagai kesenangan. Jadi,

menjadi nyai adalah syarat atau pintu masuk bagi pembebasan diri Ratna: dari

tekanan ekonomi, dari perkawinan dengan lelaki pribumi, dari nasib yang lebih

buruk sebagai seorang janda.

Berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya, Hikayat Siti Mariah

mengisahkan secara eksplisit cinta antara Siti Mariah dan Henri Dam. Salah satu

bagian misalnya menggambarkan hal tersebut. “Sudah 4 hari ini saya punya

rencana untuk mandor-besar mengenai Siti Mariah, yang saya cintai dan

mencintai saya. Mariah saya pinta untuk saya piara sampai berumur 23 tahun, lalu

hendak saya kawini di kantor.”238 Cinta Mariah dan Henri Dam memenuhi mitos

ketimbalbalikan (myth of reciprocity): Mariah menyerahkan diri sepenuhnya

sebagai seorang nyai dan takluk pada cinta sang tuan.239

Cerita ini tampil dengan mengusung konsep “cinta sejati.” Hal itu tampil

melalui suara Henri yang tidak ingin menceraikan Mariah seperti lazim dilakukan

237
Toer, Sang Pemoela, 384.
238
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 143.
239
Sebagaimana disebutkan oleh Ania Loomba, perjumpaan seksual kolonial (colonial sexual
encounters), baik heteroseksual maupun homoseksual, seringkali mengeksploitasi
ketimpangan/ketidaksetaraan kelas, usia, gender dan ras. Namun demikian, dalam fiksi dan catatan
perjalanan yang dibuat selama periode kolonisasi, aneka ketidaksetaraan itu seringkali dilekatkan
pada mitos ketimbalbalikan (myth of reciprocity). Lihat Loomba, Colonialism/Postcolonialism,
158.

123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang Eropa pada masa itu terhadap nyainya karena menurut Henri “cinta tidak

bisa tukar badan.”240 Hal itu terungkap dalam petikan berikut.

“Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati. Hidup manis, rukun tak
terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja sudah cukup, sudah untung
besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari kekuasaan wali, Mariah
akan dikawini. Tak bakal ia buang dua untuk mengawini nona Belanda.
Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa diganti.”241

Sisi ambivalensi dari hubungan tersebut adalah bahwa Mariah yang mencintai

Henri pada akhirnya merasakan penderitaan karena cintanya itu. Hal ini terungkap

dalam petikan berikut.

“Cobalah, bapak, dengar gamelan itu dari pabrik. Siapa yang tahan,
bapak? Sedari tadi saya dengarkan, betapa perih di hati. Teringat selagi
Mariah masih di pabrik, hidup senang dalam rumah ibu-bapak, hidup
berbahagia bersama tuan, bersama anak. Sekarang? Tuan hilang, anak
jauh. Ya, bapak, kapankah saya bisa melupakan anak? Saya tak tahan
hidup lebih lama lagi dengan begini. Apa gunanya lagi?”242

Jadi di satu sisi, Mariah mengalami “cinta” terhadap Henri, namun di sisi lain ia

juga mengalami “benci” karena statusnya seorang nyai telah membawanya kepada

penderitaan.

6. Kesimpulan

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, bisa dilihat bahwa hubungan

nyai dan tuan sudah selalu ambivalen. Di satu sisi sebagai seorang nyai, ia adalah

pasangan bagi lelaki Eropa, tetapi di lain sisi, ia harus selalu menempatkan diri di

bawahnya (sebagai seorang perempuan dan pribumi). Selain itu, di dalam tatanan

masyarakat kolonial, seorang nyai menduduki posisi yang ambivalen: ia tertindas

240
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 122.
241
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 123.
242
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 172.

124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam hubungan dengan tuannya, namun dengan statusnya sebagai nyai ia

memperoleh akses terhadap materi dan pengetahuan sehingga posisinya melebihi

orang pribumi pada umumnya. Dengan demikian, pelbagai sisi ambivalensi itu

sendiri hadir dalam satu subjek, yaitu nyai, sebagai subjek kolonial. Lantas,

bagaimana dengan representasi hubungan tersebut di dalam keempat teks cerita

yang diteliti?

Keempat sub-bab sebelumnya telah menganalisis ambivalensi di dalam

pelbagai tema, antara lain gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan,

serta wacana tentang pernyaian sebagaimana direpresentasikan oleh keempat

cerita. Bagian ini berupaya menyimpulkan hasil analisis tersebut secara umum

dengan membandingkan antar teks.

Terkait dengan aspek gender, secara umum keempat cerita yang diteliti

menggambarkan ambivalensi yang mewujud dalam negosiasi yang dilakukan oleh

tokoh-tokohnya dan ini menunjukkan betapa dinamisnya hubungan tersebut: si

objek (kekuasaan) yang menurut pembacaan dominan bisa dikatakan sebagai pasif

justru dengan pilihannya yang sadar mengarahkan dirinya pada proses menjadi

subjek jika dibaca dengan “melawan arus.” Ini semua berlangsung di wilayah

yang privat: di dalam Tjerita Njai Dasima, tokoh Dasima berselingkuh ketika

tuannya pergi bekerja, Paina menulari tuannya dengan penyakit cacar, Ratna

berselingkuh dengan lelaki-lelaki yang ia sukai, bahkan itu dilakukan di rumahnya

sendiri ketika tuannya pulang dengan cara mengelabuinya, dan Mariah mengubah-

ubah identitasnya tatkala mencari anaknya yang hilang.

125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Berkenaan dengan aspek ras, keempat cerita menunjukkan ambivalensi

dengan kaburnya dikotomi antara sosok pribumi yang jahat versus orang Eropa

yang baik, juga melalui ketidakstabilan ras sebagai sebuah kategori di mana

acuan-acuannya tidak tetap karena ia merujuk bukan hanya pada kategori

darah/keturunan (biologis), melainkan juga pada agama (budaya). Bentuk

ambivalensi lainnya gugatan terhadap orang Eropa sebagai bagian dari ras yang

diandaikan superior melalui penggambaran orang Eropa yang tidak selalu lebih

cemerlang ataupun lebih beradab daripada orang pribumi.

Ambivalensi terkait di dalam wacana tentang pernyaian dalam Tjerita Njai

Dasima hadir dalam bentuk gagasan bahwa pernyaian merupakan bentuk

hubungan yang bisa mengakomodasi cinta antara sang tuan dan nyainya terlepas

dari statusnya yang tidak resmi. Meskipun demikian, terdapat juga kritik

mengenai status nyai yang dipandang rendah daripada istri dari seorang lelaki

pribumi. Baik pernyaian maupun perkawinan bisa menjadi bentuk hubungan yang

diidealisasikan di antara perempuan pribumi dan lelaki Eropa. Ambivalensi di

dalam hubungan antara nyai dan tuan juga tampak dalam keempat cerita yang

dikaji. Yang hadir di dalam hubungan tersebut ialah bukan tokoh nyai yang

melulu menjadi objek. Pada saat yang bersamaan, ia turut mengalami dirinya

sebagai subjek. Secara umum, seluruh cerita menampilkan imaji nyai yang

beragam dan pembacaan terhadap keempat cerita tersebut menunjukkan gambaran

yang tidak sederhana dan hitam-putih mengenai pelbagai aspek hubungan antara

nyai (terjajah) dan tuan (penjajah).

126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V
KESIMPULAN

Di dalam Bab II telah ditunjukkan pernyaian sebagai realitas sosio-historis

di Hindia Belanda sebagai efek dari kekuasaan kolonial. Di dalam situasi tersebut,

seorang nyai menempati posisi yang ambivalen. Di satu sisi sebagai seorang nyai,

ia adalah pasangan bagi lelaki Eropa, namun di sisi lain ia harus selalu

menempatkan diri di bawahnya. Jadi, posisinya menjadi subordinat karena gender

(perempuan) dan rasnya (pribumi). Di satu sisi, ia tertindas dalam hubungan

dengan tuannya. Akan tetapi, statusnya sebagai nyai memberinya privilese untuk

mengakses materi dan pengetahuan sehingga posisinya melebihi orang pribumi

pada umumnya. Dengan demikian, pelbagai sisi ambivalensi itu sendiri hadir

dalam satu subjek, yaitu nyai, sebagai subjek kolonial.

Bab IV telah menganalisis keempat cerita dari aspek gender dan

seksualitas, ras, wacana tentang pernyaian dan hubungan nyai-tuan dan

menunjukkan bahwa representasi pernyaian di dalam karya sastra Melayu Rendah

berbeda-beda. Di dalam masing-masing cerita, terdapat pelbagai ambivalensi yang

bentuknya beragam. Pada dasarnya, meskipun terkungkung oleh suatu sistem

yang membuat posisinya subordinat/marjinal, para tokoh nyai tersebut masih

menemukan celah untuk menyintas dan melakukan negosiasi terhadap status dan

kondisi yang mereka masing-masing hadapi. Jadi, hubungan nyai dan tuannya

tidaklah tegas dan diametral seperti yang dibayangkan, tetapi selalu ditandai

ambivalensi dan seringkali tokoh nyai menempati posisi antara (in-between) di

127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mana nyai tersebut tidak sepenuhnya melawan, tetapi juga tidak sepenuhnya

tunduk dan patuh di bawah kekuasaan sang tuan. Nyai selalu menemukan “ruang

negosiasi” di dalam hubungan dengan tuannya yang diimbuhi kekuasaan.

Lalu, bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa

kolonial? Di dalam Bab III, telah diuraikan posisi teks Melayu Rendah—termasuk

di antaranya cerita nyai—di dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial.

Sebagaimana telah disebutkan di dalam Bab I, para penulis karya berbahasa

Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan menekankan bahwa cerita

yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Apabila hal ini

dikaitkan dengan representasi dunia pernyaian di dalam cerita, apa yang

ditampilkan oleh cerita-cerita tersebut memang realistis dan menggunakan bahasa

sehari-hari yang dipakai oleh banyak orang dari pelbagai etnis dan ras yang ada di

Nusantara. Meskipun demikian, bisa dikatakan bahwa sebagian besar cerita

tersebut—seperti yang telah ditunjukkan melalui analisis—justru tidak

memunculkan nada antikolonial.

Lantas, mengapa beragam cerita tersebut dilarang oleh pemerintah

kolonial yang giat memproduksi, mendistribusikan dan mensosialisasikan karya

sastra Melayu Tinggi melalui Balai Pustaka? Mengapa pemerintah kolonial sangat

terganggu dengan cerita nyai dan karya sastra Melayu Rendah pada umumnya

padahal teks-teks tersebut tidak secara tegas melawannya?

Analisis teks dengan pendekatan kolonial, khususnya dengan

menggunakan konsep ambivalensi ini, mengajukan tesis bahwa kendati tidak ada

perlawanan yang dilakukan secara tegas, ambivalensi justru muncul di dalam teks-

128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

teks itu sendiri. Ambivalensi itu dengan derajat yang berbeda-beda merangkum

siasat, negosiasi, dan resistensi yang dilakukan tokoh nyai sebagai subjek

kolonial. Ambivalensi inilah yang mengancam kedigdayaan kekuasaan kolonial

dan potensial untuk menggerogotinya hingga pada akhirnya mengarah pada

keruntuhannya sendiri. Oleh karena itulah, cerita nyai dan karya sastra Melayu

Rendah yang ditulis baik oleh golongan pribumi, Indo dan peranakan Tionghoa,

ditujukan bagi para pembaca di Hindia Belanda yang sebagian besar adalah

pribumi, dan ditulis dalam medium bahasa yang mudah dipahami banyak orang

dirasakan sebagai ancaman bagi pemerintah kolonial sehingga pantas untuk

dilarang dan dilabeli “bacaan liar.”

129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Ashcroft, Bill, Gareth Griffith dan Helen Tiffin. Key Concepts in Post-Colonial
Studies. London: Routledge, 1998.

Bandel, Katrin. “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual


Pascakolonial.” Dalam Sastra, Perempuan, Seks, disunting oleh Saut
Situmorang, 31-44, Yogyakarta: Jalasutra, 2006.

Bhabha, Homi K. "The Other Question." Screen 24, no. 6 (November-December


1983): 18-36.

----------. Location of Culture. London dan New York: Routledge, 1994.

----------. “Frontlines/Borderposts.” Dalam Displacements Cultural Identities in


Question, disunting oleh Angelika Bammer, 269-272, Bloomington dan
Indianapolis: Indiana University Press, 1994.

----------. “The Other Question: Difference, Discrimination, and the Discourse of


Colonialism.” Dalam Black British Cultural Studies, disunting oleh
Houston A. Baker, Jr., Manthia Diawara, dan Ruth L. Lindeborg, Chicago
dan London: The University of Chicago Press, 1996.

Budianta, Melani. “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil
dan Wacana (Post-)Kolonial.” Kalam 2 (1994): 56-66.

----------.“Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial.” Dalam Membaca


Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ, 15-31,
Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 2008.

Christanty, Linda. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda.” Prisma 10


(Oktober 1994): 21-36.

Cote, Joost dan Loes Westerbeek (ed.). Recalling the Indies Kebudayaan Kolonial
dan Identitas Poskolonial. Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004.

Day, Tony dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian


Literature Introductory Remarks.” Dalam Clearing a Space Postcolonial
Readings of Modern Indonesian Literature, disunting oleh Keith Foulcher
dan Tony Day, 1-17, Leiden: KITLV Press, 2002.

Fane, Brenda. “Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of


Soesa in Malay Language Njai Stories.” Review of Indonesian and
Malaysian Affairs 31, no. 2 (December 1997): 47-61.

130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Foulcher, Keith dan Tonny Day (ed.). Clearing A Space: Postcolonial Readings of
Modern Indonesian Literature. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas. Colonial Practice in the Netherlands


Indies 1900-1942. Amsterdam: Amsterdam University Press, 1995.

Hellwig, Tineke. Adjustment and Discontent Representations of Women in the


Dutch East Indies. Ontario: Netherlandic Press, 1994.

----------. “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity.” Archipel 63 (2002):


153-172.

----------. “Menguasai Tubuh Perempuan.” Basis 09-10 (September-Oktober


2003): 54-61.

Jedamski, Doris. “Balai Pustaka—A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing.”


Archipel 44 (1992): 23-46.

Hall, Stuart. Representation Cultural Representations and Signifying Practices.


London: Sage, 2003.

Locher-Scholten, Elsbeth. “The Nyai in Colonial Deli A Case of Supposed


Mediation.” Dalam Women and Mediation in Indonesia, disunting oleh
Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, Elsbeth
Locher-Scholten, dan Elly Touwen-Boowsma, 265-280, Leiden: KITLV
Press, 1992.

----------. “Orientalism and the Rhetoric of the Family: Javanese Servants in


European Household Manuals and Children’s Fiction.” Indonesia 58
(Oktober 1994), 19-39.

Loomba, Ania. Colonialism/Postcolonialism. London: Routledge, 1998.

Maier, HMJ. “Forms of Cencorship in the Dutch Indies,” Indonesia 51 (1991):


67-81.

----------. “From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch


in the Indies.” Indonesia 56 (1993): 37-65.

----------. “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah
and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies.” Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 149, no. 2 (1993): 274-297.

McClintock, Anne. Imperial Leather: Race, Gender and Sexuality in the Colonial
Conquest. New York: Routledge, 1995.

131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Meyer, Susan. Imperialism at Home Race and Victorian Women’s Fiction. Ithaca
dan London: Cornell University Press, 1996.

Ming, Hanneke. “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920.” Indonesia 5


(April 1983): 65-93.

Mukti, Haji. Hikayat Siti Mariah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

Oetomo, Dede. “The Chinese of Indonesia and the Development of Indonesian


Language.” Indonesia 51 (1991): 53-66.

Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai


Pustaka, 1976.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia


Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Rajan, Rajeswari Sunder. “Representing Sati: Continuities and Discontinuities.”


Dalam Postcolonial Discourses An Anthology, disunting oleh Gregory
Castle, 168-205, Oxford dan Massachusets: Blackwell Publishers, 2001.

Salmon, Claudine. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional


Annotated Bibliography. Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme,
1981.

----------. “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat


Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia kumpulan karangan dari
Archipel, 99-111. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Singh, Jyotsna. Colonial Narratives/Cultural Dialogues. London: Routledge,


1996.

Stoler, Ann Laura. “Making Empire Respectable.” Dalam Situated Lives: Gender
and Culture in Everyday Life, disunting oleh Louise Lamphere, Helena
Ragone, dan Patricia Zavella, 373-399, New York dan London: Routledge,
1997.

----------. Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in
Colonial Rule. Berkeley: University of California Press, 2002.

Sumardjo, Jakob. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang


Press, 2004.

Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia. Madison: University of


Wisconsin Press, 1983.

132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

----------. “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film.” Dalam


Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears,
225-248, Durham dan London: Duke University Press, 1999.

Termorshuizen, Gerard. “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some


Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum.” Pramoedya Ananta
Toer 70 Tahun: Essays to Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’
Year, disunting oleh Bob Hering, 55-61. Townsville: James Cook
University, 1995.

Toer, Pramoedya Ananta. Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta:


Hasta Mitra, 1982.

----------. Sang Pemoela. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

White, Sally. “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist
Islam in Late Colonial Dutch East Indies.” Reviewof Indonesian and
Malaysian Affairs 38, no. 1 (2004): 87-97.

Wolfe, Patrick. “Race and Racialisation: Some Thoughts,” Postcolonial Studies 5,


no. 1 (2002): 51-62.

133

Anda mungkin juga menyukai