Anda di halaman 1dari 20

KODE ETIK PSIKOLOGI :

BAB IV HUBUNGAN ANTAR MANUSIA


MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Kode Etik Psikologi

Dosen Pengampu:

Rahmatika S.A., M.Psi

Oleh Kelompok :

Moh. Ulin Nuha Mujaddid (18410009)

Amalia Lundeto (18410019)

Malynda Ragita Ningtyas (18410174)

Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

2021

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang


telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan judul “KODE ETIK PSIKOLOGI : BAB IV
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA” serta tak lupa penulis sampaikan shalawat
serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad Shalallahu’ Alaihi Wasallam,
yang telah menggiring manusia dari zaman kebodohan menuju zaman
perkembangan ilmu pengetahuan.

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas matakuliah serta


menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Penyusunan makalah ini tidak lepas
dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan
banyak terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan, terutama kepada ibu
Rahmatika S. A., M.Psi, selaku dosen mata kuliah Kode Etik Psikologi yang
sabar memberikan bimbingan, motivasi dan pengarahan dalam penyusunan
makalah ini. Serta kerjasama antara anggota kelompok yang saling membantu satu
sama lain.

Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari bahwa baik


dalam penulisan maupun penyajiannya masih banyak kekeliruan maupun
kekurangan agar nantinya dapat membantu dalam penulisan makalah berikutnya.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis.
Namun, besar harapan penulis semoga makalah yang ini dapat memberi manfaat
bagi para pembaca.

Malang, 19 Januari 2021

Hormat Kami

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3

A. Latar Belakang.......................................................................................................3

B. Rumusan Masalah..................................................................................................3

C. Tujuan....................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................5

A. Pasal 13: Sikap Profesional....................................................................................5

B. Pasal 14: Pelecehan................................................................................................5

C. Pasal 15: Penghindaran Dampak Buruk.................................................................6

D. Pasal 16: Hubungan Majemuk...............................................................................7

E. Pasal 17: Konflik Kepentingan...............................................................................8

F. Pasal 18: Eksploitasi...............................................................................................8

G. Pasal 19: Hubungan Profesional............................................................................9

H. Pasal 20: Informed Consent.................................................................................10

I. Pasal 21: Layanan Psikologi Kepada dan/atau Melalui Organisasi........................11

J. Pasal 22: Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi....................................11

K. Contoh Kasus.......................................................................................................12

BAB III PENUTUP..........................................................................................................17

KESIMPULAN........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kode etik adalah suatu acuan yang dibuat untuk beberapa profesi yang
memerlukannya, kode etik sendiri diyakini dapat menjadi barometer tindakan
profesional dalam suatu profesi, termasuk Psikolog yang memerlukan Kode Etik
Psikologi untuk menjadi acuan agar dapat bertindak selayaknya Psikolog atau
Ilmuwan Psikologi dan sebagainya. Pada Pasal 1 Kode Etik Psikologi Indonesia
disebutkan bahwa Kode Etik Psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati
dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai
psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.

Seorang Psikolog maupun Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan dan


mengerjakan tugas tidak akan bisa bekerja secara individual dan sepenuhnya terlepas
dari orang lain. Oleh karena hal tersebut dalam Kode Etik Psikologi Indonesia juga
mengatur bagaimana hubungan antar manusia yang dicantumkan pada Bab IV
Hubungan Antar Manusia. Maka dari itu, makalah ini Kami susun untuk mengetahui
bagaimana Hungan Antar Manusia seorang Psikolog maupun Ilmuwan Psikologi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sikap profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi?

2. Apa saja bentuk pelecehan yang tidak diperkenankan bagi Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi?

3. Bagaimana penghindaran dampak buruk Psikolog dan/atau Ilmuwan


Psikologi?

4. Bagaimana hubungan majemuk bagi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi?

5. Bagaimana konflik kepentingan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi?

3
6. Apa saja bentuk eksploitasi yang tidak diperkenankan bagi Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi?

7. Bagaimana hubungan profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi?

8. Bagaimana informed consent Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi?

9. Bagaimana layanan psikologi kepada dan/atau melalui organisasi?

10. Bagaimana pengalihan dan penghentian layanan psikologi?

11. Bagaimana contoh kasus yang terjadi pada Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi?

C. Tujuan

Mahasiswa mengetahui dan memahami sikap profesional, pelecehan,


penghindaran dampak buruk, hubungan majemuk, konflik kepentingan,
eksploitasi, hubungan profesional, informed consent, layanan psikologi kepada
dan/atau melalui organisasi, pengalihan dan penghentian layanan psikologi pada
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang tercantum pada Kode Etik Psikologi
Indonesia Bab IV Pasal 13-22. Mahasiswa mengetahui dan memahami contoh
kasus yang ada.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pasal 13: Sikap Profesional

Psikolog dan/atau ilmuan psikologi dalam memberikan layanan psikologi,


baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi, harus
sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta berkewajiban untuk:
a) Mengutamakan dasar-dasar profesional
b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya
c) Melindungi pemakaian layanan psikologi dari akibat yang merugikan
sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakaian
layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian
layanan tersebut
e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan
terkena dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian
layanan psikologi yang dilakukan oleh psikolog dan/atau ilmuwan
psikologi maka pemakai layanan tersebut harus diberitahu.

B. Pasal 14: Pelecehan

1) Pelecehan Seksual
Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dalam penerapan keilmuwannya
tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah
permintaan hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal
yang bersifat seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau
peran sebagai psikolog dan/atau ilmuwan psikologi. Pelecehan seksual dapat
terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku yang berulang,

5
bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang di
maksud dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:
a) Tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat
menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut mengandung
permusuhan yang dalam hal ini psikolog dan/ Ilmuwan Psikologi
mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
b) Bersikap keras atau cenderung mejadi kejam atau menghina terhadap
seseorang dalam konteks tersebut
c) Sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut
diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.
2) Pelecehan Lain
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan secara sadar
terlibat dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang
berinteraksi dengan mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia,
gender, ras, suku, bangsa, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau
status sosialekonomi.

C. Pasal 15: Penghindaran Dampak Buruk

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang


masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta
meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat
diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan psikologi
serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang
kemungkinan-kemungkinan tersebut.

6
D. Pasal 16: Hubungan Majemuk

1) Hubungan majemuk terjadi apabila:


a) Psikologi dan/atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran
profesionalnya dengan seseorang dan dalam waktu yang bersamaan
menjalankan peran lain dengan orang yang sama, atau
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan
memiliki hubungan dengan seseorang yang secara dekat berhubungan
dengan orang yang memiliki hubungan profesional dengan Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut.
2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari
hubungan majemuk apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan
dapat merusak objektivitas, kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan
fungsinya sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, atau apabila
beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam
hubungan profesional tersebut.
3) Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan,
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang
masuk akal untuk mengatasi hal tersebut dengan mempertimbangkan
kepentingan terbaik orang yang terkait dan kepatuhan yang maksimal
terhadap Kode etik.
4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum,
kebijakan institusi, atau kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan lebih
dari satu peran, sejak awal mereka harus memperjelas peran yang dapat
diharapkan dan rentang kerahasiaannya, bagi diri sendiri maupun bagi pihak-
pihak lain yang terkait.

7
E. Pasal 17: Konflik Kepentingan

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran


profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial,
kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas,
kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi
tersebut.

F. Pasal 18: Eksploitasi

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang


dianggap mengandung unsur eksploitasi, yaitu:

a) Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang


sedang mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang
mereka, seperti mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, orang yang
menjalani pemeriksaan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah
penyeliaannya.

b) Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan


mahasiswa atau mereka yang berada di bawah bimbingan di mana
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang evaluasi atau
otoritas langsung.

c) Pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah


pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi.

(2) Eksploitasi Data Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-
hal yang dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari
mereka yang sedang disupervisi, dievaluasi, atau berada di bawah wewenang

8
mereka, seperti mahasiswa, karyawan, partisipan penelitian, pengguna jasa
layanan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya
dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi digunakan untuk
kepentingan pribadi.

Hubungan sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena
sangat mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi ataupun mengarah pada eksploitasi.

G. Pasal 19: Hubungan Profesional

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki duajenis bentuk hubungan


profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain.

(1) Hubungan antar profesi


a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati
dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat
akademisi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.

b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan


umpan balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya.

c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan


profesinya dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik
psikologi.

d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas


kompetensi dan kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak
berhasil dilakukan maka wajib melaporkan kepada organisasi profesi

(2) Hubungan dengan Profesi lain


a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati
kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain.

9
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya
pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan.

H. Pasal 20: Informed Consent

Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi


penelitian/pendidikan/pelatihan/asesmen/intervensi yang melibatkan manusia
harus disertai dengan informed consent.

Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani proses
dibidang psikologi yang meliputi penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan
intervensi psikologi. Persetujuan dinyatakan dalam bentuk tertulis dan
ditandatangani olehnorang yang menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek
penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed
consent adalah:

a. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.

b. Perkiraan waktu yang dibutuhkan.

c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.

d. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.

e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.

f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang


merugikan selama proses tersebut.

Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas


pendidikannya, kondisinya atau yang mungkin rentan memberikan informed
consent secara tertulis maka informed consent dapat dilakukan secara lisan dan
dapat direkam atau adanya saksi yang mengetahui bahwa yang bersangkutan
bersedia.

10
Informed consent yang berkaitan dengan proses pendidikan dan/atau
pelatihan terdapat pada pasal 40; yang berkait dengan penelitian psikologi pada
pasal 49; yang berkait dengan asesmen psikologi terdapat pada pasal 64; serta
yang berkait dengan konseling dan psikoterapi pada pasal 73 dalam buku Kode
Etik ini.

I. Pasal 21: Layanan Psikologi Kepada dan/atau Melalui Organisasi

Psikolog dan/atau Ilumuwan Psikologi yang memberikan layanan psikologi


kepada organisasi/perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang:

 Sifat dan tujuan dari layanan psikologi yang diberikan


 Penerima layanan psikologi
 Individu yang menjalani layanan psikologi
 Hubungan antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan organisasi
dan orang yang menjalani layanan psikologi
 Batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga
 Orang yang memiliki akses informasi
Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dilarang oleh organisasi
peminta layanan untuk memberikan hasil informasi kepada orang yang menjalani
layanan psikologi, maka hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses
pemberian layanan psikologi berlangsung.

J. Pasal 22: Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan


kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-
hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian,
terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi

11
dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya
dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima
layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.

(1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat


mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:

a) Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit


atau meninggal.
b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
c) Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi.
d) Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.

(2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus


menghentikan layanan psikologi apabila:

a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan


psikologi yang telah dilakukan.
b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang
menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
yang bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat
pada salah satu atau kedua belah pihak.

K. Contoh Kasus

Kasus:

Dunia pengetahuan Belanda dikejutkan dengan kasus penipuan yang


dianggap terbesar dalam sejarah. Diederik Stapel, yang saat ini adalah mantan
guru besar psikologi sosial, menyusun data-data dan penelitian palsu yang
diterbitkan dalam puluhan artikel di majalah ilmu pengetahuan. Demikian lansir
Radio Nederland (01/11/2011). Guru besar psikologi Universiteit van Tilburg itu

12
dinonaktifkan sejak awal September lalu, setelah ia terbukti menggunakan data
palsu untuk publikasi ilmiahnya.

Hasil penyelidikan menunjukkan, Stapel, yang juga mengajar di Universiteit


Groningen dan Universiteit van Amsterdam, ternyata mempublikasi tiga puluh
tulisan di majalah ilmiah dengan data-data palsu. Saat ini penyelidikan juga
dilakukan terhadap 130 artikel lainnya di majalah ilmiah dan 24 tulisan di buku-
buku ilmiah. Pim Levelt memimpin komisi yang menyelidiki kasus penipuan ini.
Ia mengatakan kasus itu sangat besar, membingungkan dan merusak citra
Belanda sebagai negara ilmu pengetahuan. Kasus ini tentu saja menarik perhatian
dunia internasional.

[Dibuang]

Stapel antara lain terkenal di dunia sehubungan penelitiannya yang


menyimpulkan bahwa orang yang mengkonsumsi daging akan menjadi lebih
agresif. Selain itu ia juga menerbitkan artikel dalam majalah pengetahuan
Science, soal eksprimen yang menyatakan orang cenderung melakukan tindak
diskriminasi jika berada dalam lingkungan yang banyak sampahnya. Sekarang
penyelidikan-penyelidikan itu dan hasilnya bisa dibuang ke tempat sampah. Para
ilmuwan Belanda terkejut dengan skandal penipuan ilmiah ini. Universiteit
Tilburg dan Groningen melaporkan kasus itu bersama. Sementara Universiteit
van Amsterdam akan meninjau kembali apakah mereka mencabut gelar doktor
yang diberikan kepada Stapel.

[Terkejut]

Ketua Persatuan Universitas Belanda, Sjibolt Noorda terkejut dengan


besarnya skala kasus penipuan tersebut. “Tak dapat saya mengerti, laporan yang
baru diterbitkan tersebut, bahwa seseorang menipu secara sistematis. Ini bukan
untuk waktu yang sebentar saja. Kejadian ini berlangsung selama bertahun-tahun
dan ia melakukan eksperimen ini juga selama bertahun-tahun.” Stapel
mempersiapkan penelitian bersama seorang asistennya dengan sangat cermat.

13
Dan akhirnya membawa daftar pertanyaan seperti pengakuannya ke sekolah-
sekolah. Beberapa pekan sesudahnya ia mempresentasikan penelitiannya itu di
hadapan karyawannya. Jika ada seseorang yang menanyakan daftar pertanyaan
itu, maka Stapel mengaku tidak memilikinya lagi, karena tidak bisa menyimpan
semuanya.

[Penyalahgunaan kekuasaan]

Tapi penipuan Stapel tidak hanya mengenai hasil penelitian saja, kata
penyelidik Levelt. “Stapel dengan kekuasaan yang dimilikinya mengintimidasi
peneliti-peneliti muda. Jika ada seseorang yang terus bertanya-tanya maka ia
mengatakan: ‘Saya punya hak untuk dipercaya.’ Namun yang lebih parah ia
dapat berkata: ‘Saya jadi ragu, apakah Anda bisa mendapatkan promosi.'”
Menurut Levelt, penipuan hanya dilakukan oleh Stapel sendiri.

Komisi menyatakan para peneliti dan promovendi lainnya tidak terlibat atau
tidak mengetahui tentang penipuan ini. Mengapa penipuan ini bisa berlangsung
begitu lama? Komisi menyatakan terutama karena kerja Stapel yang rapih,
manipulatif dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun universitas-universitas
menyadari bahwa mereka juga kurang memperhatikan faktor-faktor ini. Diskusi
pasti akan memanas. Karena bagaimana seseorang dapat melakukan praktek-
praktek seperti itu dan tidak ada rekan kerjanya yang menyadari atau
membongkar hal ini, dapat dikatakan memalukan dunia internasional. Sementara
itu Stapel sendiri menyesal. “Saya sadar, bahwa dengan kelakuan ini saya
mengacaukan dan menimbulkan kemarahan di antara kolega dan memalukan
dunia psikologi sosial. Saya malu dan saya menyesal,” kata Stapel. Ia juga
menyatakan bahwa dirinya telah menerima bantuan untuk mencari tahu mengapa
hal ini semua bisa terjadi.

[Kaget]

Farah Mutiasari Djalal, mahasiswa S2 Psikologi Sosial Universitas Tilburg


asal Indonesia, mengonfirmasi bahwa para mahasiswa terkejut, kecewa sekaligus

14
marah mendengar kabar penipuan Stapel. “Soalnya data-data yang dipalsukan
Stapel dipakai oleh beberapa mahasiswa PhD dalam penelitian mereka,” tutur
Farah. “Akibatnya, sejumlah kandidat PhD tertunda kelulusannya karena data
mereka tidak shahih.”. “Dosen-dosen juga shock,” tambah Farah. “Mereka
kecewa, nggak nyangka. Bahkan ada yang sampai menangis.” Toh, menurut
Farah, dosen-dosen Universitas Tilburg lebih memilih bungkam jika mahasiswa
— atau “pihak luar” – mempertanyakan kasus ini.

[Kepercayaan]

Untungnya, tidak ada mahasiswa Indonesia yang jadi korban. “Sampai


sekarang sih, setahu saya, nggak ada mahasiswa Indonesia yang menggunakan
data-data Stapel,” kata Inggar Larasati, kutip Radio Nederland (02/11/2011).
Inggar menyayangkan skandal ini, “Apalagi profesor Stapel kan lumayan
terkenal di dunia akademis Belanda.”. Akankah ulah Stapel ini merusak
kepercayaan mahasiswa asing terhadap sistem pendidikan Belanda? “Kalau
dipikir-pikir sih, iya,” jawab Inggar. “Karena reputasi Universitas Tilburg yang
sebenarnya bagus, jadi tercoreng skandal ini.” Di lain sisi Inggar bangga skandal
ini terbongkar. “Dan yang membongkar mahasiswa! Ini menunjukkan sisi positif
dari dunia akademis Belanda: mahasiswa berani dan diberi ruang untuk
mengkritik dosen mereka, dalam hal ini untuk membongkar penipuan seorang
guru besar. Artinya, hampir tidak ada hirarki dalam sistem pendidikan di
Belanda. ”

Dilansir oleh website resmi media online Hidayah.com pada hari Jumat, 04
November 2011.

Analisis:

Dari kasus Diederik Stapel berdasarkan buku HIMPSI dikenakan tindak


pelanggaran tepatnya pada:

BAB IV ( Hubungan Antar Manusia)

15
Pasal 17 : Konflik Kepentingan

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran


profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum,
finansial, kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak
objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi
sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi
pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna
layanan psikologi tersebut.

16
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada Bab IV Kode Etik Psikologi Indonesia terdiri dari 10 pasal, mulai dari pasal
13 hingga pasal 22 yang membahas seputar hubungan antar manusia. Bab ini
menjelaskan sikap, ketentuan tidak diperkenankannya melakukan pelecehan seksual
ataupun tindakan meremehkan lainnya. Disamping hal itu pada bab ini juga
membahas mengenai bagaimana penghindaran dampak buruk dan informed consent
yang harus diberikan kepada semua pengguna layanan psikologi. Bab ini juga
membahas ketentuan hubungan kepada sesama profesi psikologi dan hubungan
dengan profesi lain, Psikolog dan Ilmuwan Psikologi hendaklah memastikan tidak
dibenarkannya seseorang yang tidak mempunyai kompetensi dan bukan dari profesi
psikologi memberikan pelayanan psikologi. Selain itu bahwa Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi harus menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan
menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yang dapat
menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau
dialihkan kepada pihak lain.

17
DAFTAR PUSTAKA

HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: HIMPSI.

Hidayatullah.com. (2011). Profesor Psikologi Terkenal Belanda Palsukan Data


Bertahun-tahun. Diakses pada 19 Januari 2021, dari
https://www.hidayatullah.com/iptekes/saintek/read/2011/11/04/647/profesor-psik
ologi-terkenal-belanda-palsukan-data-bertahun-tahun.html

18

Anda mungkin juga menyukai