Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

BAB III: KOMPETENSI

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Kode Etik Psikologi

yang diampu oleh Dr. Retno Mangestuti, M.Si

Oleh :

Laskha Shakiera (200401110017)

Rania Nur Aini (200401110166)

Chindy Maulidya A (200401110209)

Aulia Zahwa Z (200401110219)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puja syukur penulis panjatkan dalam Allah S.W.T atas rohmat serta hidayat-Nya,
makalah dari judul “Bab III: Kompetensi” bisa selesai tepat sebelum waktu pengumpulannya.
Makalah ini ditulis dari goal sebagai pemenuhan matakuliah Kode Etik Psikologi. Kami juga
berterima kasih atas kontribusi serta aspirasi dari pihak-pihak terkait, terutama yaang
terhormat, dosen pengampu mata kuliah Kode Etik Psikologi, Dr. Retno Mangestuti, M.Si,
yaang telah memberikan kesempatan guna menyelesaikan tugas.

Kami memahami makalah ini masih mempunyai beberapa kekeliruan, sehinggaa saran
serta kritik yang konstruktif daan positif akan sangat membantu penulis dalam menyampaikan
materi lebih dalam serta lebih jelas, serta memberikan motivasi ketika perkembangan dalam
makalah kemudian. Semoga makalah ini bisa berguna serta bagi orang-orang yang membaca.
Aamiin.

Penyusun

Kelompok 2
BAB III

KOMPETENSI

Pasal 7

Ruang lingkup kompetensi

Ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/
atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan
atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi
serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan
asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi
yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan/atau
pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu atau cakupan kasuskasus
khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS, kekerasan berbasis gender, orientasi seksual,
ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku,
budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting untuk
mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti
pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan
kompetensi dalam memberikan pelayanan jasa dan/ atau praktik psikologi yang dilakukan
kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat


dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku penanganan, guna
melindungi pengguna jasa layanan psikologi serta pihak lain yang terkait.

Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi psikologi sebagaimana


tersebut di atas, Psikolog perlu memahami hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya
hukum pidana, sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.
Pasal 8

Peningkatan Kompetensi

Psikolog dan Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang berkesinambungan


guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka (Himpsi, 2010).

Pasal 9

Dasar-Dasar Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Profesional

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus berdasar pada
pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima secara luas atau
universal dalam disiplin Ilmu Psikologi.

Penjelasan:

Psikolog dalam memberikan layanan, haruslah memiliki dasar-dasar etika professional


berdasarkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, pelatihan, pengalaman lapangan
baik berupa praktik profesi maupun penelitian (APA, 2013).
Pada dasarnya, seorang psikolog klinis yang memberikan pelayanan akan berusaha
untuk mendapatkan pelatihan profesional yang relevan untuk mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan, dengan memperbaharui kompetensi yang telah dimiliki
dengan mengikuti pelatihan pendidikan tambahan yang relevan, baik dengan program
pelatihan, seminar, dan workshop terkait kemampuan khusus secara berkelanjutan untuk
meningkatkan kemampuan dalam layanan psikologi. Psikolog terkait akan menyadari adanya
kebutuhan untuk mencari konsultasi ahli yang sesuai, baik senior maupun rekan interdisiplin
lainnya (Sari et al., 2020).

Pasal 10

Pendelegasian Pekerjaan Pada Orang Lain

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan pada asisten,


mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran, atau kepada
jasa orang lain seperti penterjemah; perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
a. menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda
dengan yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan mengarah pada
eksploitasi atau hilangnya objektivitas.
b. memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan
pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,
pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi
hingga level tertentu
c. memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.

Penjelasan:

Perkembangan dalam permintaan layanan konseling menimbulkan konsekuensi terkait


dengan tanggungjawab yang besar dan efektivitas biaya yang dikeluarkan klien. Supervisi
adalah sebagai proses dimana seseorang konselor yang berpengalaman (supervisor)
memberikan bantuan kepada konselor yang kurang berpengalaman (supervise) untuk belajar
konseling. Supervisi dilakukan pada konselor yang sedang magang atau baru bertugas, hingga
konselor memiliki pengalaman yang cukup untuk melakukan konseling. Supervisor
mempunyai serangkaian tanggungjawab etika terhadap klien yang ditangani oleh supervisee,
yaitu memastikan bahwa kebutuhan klien terpenuhi, memastikan keselamatan dan
kesejahteraan klien, melindungi kerahasiaan informasi personal klien (confidentiality of
personal information) dan membuat perencanaan keberlanjutan perawatan klien dalam kondisi
yang mendadak atau berakhirnya terapi yang tidak direncanakan (Wibowo, 2012).

Pasal 11

Masalah dan Konflik Personal

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa masalah dan konflik pribadi
mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi mampu menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak lain, sebagai akibat dari masalah dan/atau konflik pribadi tersebut.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda
adanya masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin mencari bantuan atau
melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali menjalankan pekerjaannya secara
profesional. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi,
menangguhkan, atau menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.

Kesimpulan :

Seorang Psikolog tidak boleh membawa urusan pribadi dalam konsultasi.Seorang psikolog
harus profesional dalam melayani klien atau kalau tidak memungkinkan psikolog tersebut
dapat merekomendasikan ke psikolog lain.

Pasal 12

Pemberian Layanan Psikologi dalam Keadaan Darurat

(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan mental dan/atau psikologi
secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
yang memiliki kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.

(2) Dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kebutuhan yang ada tetap harus
dilayani. Karenanya Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi
dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan bahwa
kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak ditolak.

(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan perlu segera mencari psikolog
yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.

(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau
kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan
kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera.

Kesimpulan :

Seorang Psikolog tidak boleh malayani hal yang bukan merupakan bagiannya. Psikolog
tersebut harus merujuknya terlebih dahulu ke tempat di mana pasien tersebutmendapatkan
pengobatan yang sesuai.
Contoh kasus

Setelah menempuh pendidikan strata 1 dan 2 dalam bidang psikologi, seorang psikolog
X kemudian membuka praktik psikologi dengan memasang plan di depan rumahnya. Dalam 1
tahun, la telah melakukan beberapa praktik antara lain mendiagnosis, memberikan konseling
dan psikoterapi terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, a justru
menggunakan istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti ole kliennya, sehingga
sering terjadi miss communication terhadap beberapa klien tersebut. Hal lain sering pula terjadi
saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti menganalisis gangguan syaraf yang
seharusnya ditangani ole seorang dokter. Ia juga sering menceritakan masalah yang dialami
klien sebelumnya kepada klien barunya dengan menyebutkan namanya sat memberikan
konseling. Psikolog X tersebut terkadang juga menolak dalam memberikan jasa dengan alasan
honor yang diterima lebih kecil dari biasanya.

Suatu saat, perusahaan Y membutuhkan karyawan bar untuk di tempatkan pada staf-
staf tertentu dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan Y kemudian memakai jasa Psikolog X
untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun,
ketika memberikan psikotes tersebut, Psikolog X it bertemu dengan si Z saudaranya dan Z
meminta agar Psikolog X memberikan hasil psikotes yang baik supaya ia dapat diterima dalam
perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak dengan saudaranya itu, Akhirnya psikolog X
itu memberikan hasil psikotes yang memenuhi standart seleksi penerimaan calon karyawan,
hingga Z tersebut kemudian diterima dalam perusahaan Y dengan menduduki kedudukan
sebagai staff tertinggi.

Seiring berjalannya waktu, perusahaan Y justru sering kecewa terhadap cara kerja Z
karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. hingga akhirnya Pimpinan perusahaan
Y menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog X, namun alangkah terkejutnya pimpinan tersebut
ketika mengetahui bahwa Pendirian Praktik Psikolog X belum tercatat pada HIMPSI dan
Psikolog X tersebut sama sekali belum pernah menjadi anggota HIMPSI.

Penyelesaian

Bila kondisinya hanya sebagai partner kerja dari dokter maka bukan masalah, namun apabila
in tidak ada kaitannya sebagai bahan pertimbangan dokter, maka hal ini juga dapat dikatakan
sebagai pelanggaran kode etik karena sesuai dengan BAB III pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai
"ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian
dan/atau intervensi social dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan,
pelatihan tau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang dipertanggungjawabkan".

Referensi

APA. (2013). American Psychological Association. Guidelines for the practice of


telepsychology - joint task force for the development of telepsychology guidelines for
psychologists.

Himpsi. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Pengurus Pusat Himpunan Psikologi
Indonesia.

Sari, O. K., Ramdhani, N., & Subandi, S. (2020). Kesehatan Mental di Era Digital: Peluang
Pengembangan Layanan Profesional Psikolog. Media Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan, 30(4), 337–348. https://doi.org/10.22435/mpk.v30i4.3311

Wibowo, S. B. (2012). PERAN SUPERVISI DALAM KONSELING. Guidena: Jurnal Ilmu


Pendidikan, 2(1), 28–32.

Anda mungkin juga menyukai