Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PSIKOEDUKASI

“TEORI PSIKOEDUKASI”

Dosen Pengampu: Ibu Evi Winingsih, S.Pd., M.Pd.

Bapak Dr. Mochamad Nursalim, M.Si.

Disusun oleh:

Chandra Ayu Fakhriani (BK/20010014061)

Artemivia Faisah Zandra W. (PLB/20010044077)

Alda Setyawati (JBSI/)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan makalah dengan
pembahasan tentang “Teori Psikoedukasi”. Tujuan penyusunan makalah ini guna memenuhi
penugasan mata kuliah Psikoedukasi yang diampu oleh Ibu Evi Winingsih, S.Pd., M.Pd. serta
Bapak Dr. Mochamad Nursalim, M.Si. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi pihak-pihak lain.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Ibu Evi Winingsih, S.Pd., M.Pd. serta Bapak Dr. Mochamad Nursalim, M.Si.,
sebagai dosen pengampu mata kuliah Psikoedukasi yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah wawasan penulis terkait bidang studi ini.
2. Kepada semua pihak yang telah berbagi pengetahuannya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
3. Pihak-pihak lain yang turut membantu selama penyusuna makalah ini

Penulis menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini mungkin masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan selalu penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 19 September 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
1.1. LATAR BELAKANG.................................................................................................4
1.2. RUMUSAN MASALAH............................................................................................4
1.3. TUJUAN......................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
2.1. PENGERTIAN PSIKOEDUKASI..............................................................................5
2.2. TEORI YANG MELATAR BELAKANGI PSIKOEDUKASI..................................6
BAB III PENUTUP..................................................................................................................15
3.1. KESIMPULAN.........................................................................................................15
3.2. SARAN......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pemberian pendidikan tak hanya melalui pendidikan formal tentang mata
pelajaran dan berbagai ilmu pengetahuan. Namun ada pula pendidikan dengan basis
psikologis. Dimana dalam pendidikan tersebut para peserta atau klien akan diberikan
pengajaran bagaimana mengembangkan kemampuan psikis klien tersebut. Seperti
penguatan kemampuan penyelesaian masalah serta peningkatan penerimaan diri
sendiri dengan tujuan akhir peserta atau klien mampu memperbaiki keadaan dalam
hidupnya.
Psikoedukasi yang merupakan layanan pendidikan psikologis belum terlalu
dikenal dalam masyarakat. Masih terdapat masyarakat yang asing dengan apa itu
psikoedukasi. Oleh karena itu, pada saat ini telah digencarkan psikoedukasi ke
masyarakat dalam berbagai bidang. Pendidikan, kesehatan, sosial, hingga karir pun
telah menerapkan psikoedukasi. Di luar gencarnya penerapan psikoedukasi di
masyarakat, masih ada beberapa kendala yang kerap terjadi. Dan umumnya masih
belum ada kesiapan masyarakat dalam menerima psikoedukasi tersebut. Masih
banyak kalangan yang belum mampu mengembangkan dan menerapkan dari
psikoedukasi yang telah diberikan. Kurangnya tenaga ahli professional dalam
memberikan psikoedukasi juga turut menjadi salah satu kendala.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah penulisan makalah :
a. Apa makna psikoedukasi?
b. Apa saja teori-teori yang melatar belakangi psikoedukasi?

1.3. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah :
a. Untuk mengetahui makna psikoedukasi
b. Untuk mengetahui teori-teori yang melatar belakangi psikoedukasi
BAB II PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN PSIKOEDUKASI
Psikoedukasi adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk memberikan
pelayanan publik di bidang konsultasi psikologi kepada masyarakat. Menurut Nelson-
Jones (1982), menjelaskan bahwa terdapat enam pengertian psikoedukasi yang
masing-masing mewakili gerakan tertentu.

1. Melatih Orang Mempelajari Aneka Life Skills


Psikologi dimaknai sebagai usaha untuk membantu klien mengembangkan
aneka life skills atau keterampilan hidup lewat aneka program terstruktur yang
diselenggarakan berbasis kelompok. Menurut Nelson-Jones (1982) kemampuan
yang dimaksud seperti kemampuan mendengarkan, memahami orang lain secara
empatik, mengungkapkan diri, berbicara di depan publik, bersikap asertif,
kemampuan menyelesaikan masalah serta beberapa pendidikan yang berguna
untuk pribadi dan sosial.
2. Pendekatan Akademik-Eksperiensial Dalam Mengajarkan Psikologi
Pendekatan yang pertama ini sesuai dengan intellectual skills atau olah pikir,
hasil belajar yang didapatkan berupa kemampuan hard skills berupa pengetahuan-
keterampilan aneka konsep, teori, sejarah serta aspek teoretis maupun praktis dari
psikologi sebagai disiplin ilmu. Pendekatan yang kedua menekankan pada
pembentukan pengetahuan-pemahaman melalui pengalaman atau sering disebut
learning by doing yang akan menghasilkan pengetahuan nyata mengenai aneka
fungsi psikologi maupun keterampilan pribadi-sosial yang dapat diterapkan dan
sangat bermanfaat dalam menghadapi berbagai tugas kehidupan sehari-hari.
Psikoedukasi ini memadukan pendekatan akademik dan pendekatan
eksperiensial sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan formal
yang mendalam tentang psikologi sebagai disiplin sekaligus menjadi manusia
yang menguasai aneka keterampilan pribadi-sosial yang akan menunjang
keberhasilan dalam studi akademik maupun dalam menjalani tugas kehidupan
pada umumnya.
3. Pendidikan Humanistik
Pendidikan humanistik menekankan pada harkat pribadi siswa atau pelajar
sebagai subjek secara utuh berlandaskan tujuan konseling dan pendidikan untuk
menghasilkan pribadi yang mampu mengaktualisasikan dirinya. Hal ini juga
harus sesuai dengan peran konselor dan pendidik untuk memfasilitasi serta
menyediakan aneka bantuan fasilitas agar proses belajar dalam diri pelajar
berlangsung secara efektif dan optimal.
4. Melatih Tenaga Para Profesional Di Bidang Ketrampilan Konseling
Keterbatasan jumlah psikolog-konselor dan banyaknya klien yang harus
dilayani, maka untuk meningkatkan pelayanan yang ada harus dapat menyiptakan
tenaga yang profesional didalam bidang tersebut. Sehingga psikoedukasi ini
dinilai dapat melatih tenaga para profesional di bidang keterampilan konseling.
5. Rangkaian Kegiatan Pelayanan Kepada Masyarakat
Psikoedukasi ini seringkali diartikan untuk mencakup keseluruhan aktivitas
pendidikan-konsultasi yang bersifat pelayanan kepada masyarakat (outreach
activities). Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan adalah dengan cara
memberikan pelatihan life skills pada berbagai kelompok klien seperti siswa
sekolah, pegawai lembaga atau perusahaan serta beberapa kelompok masyarakat
yang sesuai. Sehingga diharapkan dapat melatih kemampuan yang dimiliki untuk
dapat menyelesaikan permasalahan sehari-hari.
6. Memberikan Layanan Informasi Tentang Psikologi Kepada Publik
Psikoedukasi juga diartikan sebagai pendidikan publik untuk memberikan
layanan informasi kepada masyarakat luas tentang berbagai pengetahuan serta
keterampilan psikologis yang berguna untuk menghadapi permasalahan sehari-
hari melalui berbagai jenis media massa baik cetak maupun online.

2.2. TEORI YANG MELATAR BELAKANGI PSIKOEDUKASI


Teori-teori yang melatar belakangi psikoedukasi antara lain adalah group practice
models, model dukungan sosial, pendekatan naratif, stress and coping models, teori
behaviorisme, teori belajar, teori sistem ekologi, dan teori kognitif-perilaku. Teori
behaviorisme menekankan para pengaruh dari manipulasi lingkungan. Sementara itu,
teori kognitif fokus pada penguasaan terhadap keterampilan kognisi-emosi yang menjadi
komponen dari proses psycho-training (Lukens & McFarlane, 2004).
1. Group Practice Models : Model Latihan Kelompok
Adanya group practice models ini tentunya menjadi sebuah teori yang
mendasari adanya psikoedukasi, hal tersebut dikarenakan sebuah forum yang
berguna untuk diskusi akan melaukan banyak kegiatan. Kegiatan yang dilakukan
tidak selalu berjalan dengan baik dan perlu dilakukan sebuah evaluasi. Sehingga
diperlukan psikoedukasi yang berguna untuk membantu menyelesaikan
permasalahan yang terjadi baik didalam kelompok ataupun masalah pribadi.

2. Model Dukungan Sosial


Dukungan sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang
menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai, dan dihormati
serta dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik
(King, 2012:226). Sedangkan menurut Ganster, dkk., (dalam Apollo dan Cahyadi,
2012:261) dukungan sosial adalah tersedianya hubungan yang bersifat menolong
dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya.
Dukungan sosial ini mempunyai bentuk yaitu :
a. Appraisal Support
Yaitu adanya bantuan yang berupa nasehat yang berkaitan dengan
pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi stressor.
b. Tangiable Support
Yaitu bantuan yang nyata berupa tindakan atau bantuan fisik dalam
menyelesaikan tugas.
c. Self Esteem Support
Dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap perasaan kompeten
atau harga diri individu atau perasaan seseorang sebagai bagian dari
sebuah kelompok dimana para anggotanya memiliki dukungan yang
berkaitan dengan self-esteem seseorang.
d. Belonging Support
Menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu kelompok
dan rasa kebersamaan.
Dukungan sosial memiliki tigas jenis manfaat, yaitu bantuan yang nyata,
informasi, dan dukungan emosional menurut Taylor (dalam King,. 2012:226-227)
sebagai berikut :
a. Bantuan yang nyata
Bantuan yang diberikan secara nyata pada saat mengalami masalah.
Sebagai contohnya bantuan makanan, bantuan jasa atau barang selama
masa stres.
b. Informasi
Individu memberikan dukungan tindakan dan rencana spesifik untuk
membantu seseorang dalam copingnya dengan berhasil. Bantuan informasi
ini berupa memberikan informasi tentang situasi yang menekan, seperti
pemberitahuan tentang informasi mengenai pelaksanaan tes.
c. Dukungan Emosional
Dukungan emosional ini berupa penghargaan, cinta, kepercayaan,
perhatian dan kesediaan untuk mendengarkan.

3. Pendekatan Naratif
Pendekatan naratif merupakan sebuah metode yang mulai di kembangkan oleh
beberapa konselor di Amerika Serikat sebagai bagian dari praktek konseling.
Konseling bukan hanya “terapi bicara” atau wawancara, namun bisa dilakukan
dengan metode tertentu dalam upaya membantu seseorang memecahkan suatu
permasalahan tertentu. Praktek konseling dengan pendekatan naratif atau biasa
disebut terapi naratif memandang bahwa setiap individu adalah ahli mengenai
masalah-masalah yang dialaminya. Menurut Ula Horwitch dalam Bagus Takwin
(2007: 73) terapi naratif berasumsi bahwa orang memiliki banyak keterampilan,
kompetensi, keyakinan, nilai, komitmen dan kemampuan yang membantu mereka
mengurangi pengaruh dari masalah yang di alami dalam hidupnya. Naratif
merujuk pada cerita- cerita yang disusun berdasarkan urutan kejadiannya. Setiap
individu memiliki cerita yang berisi tentang pengalaman- pengalamannya yang
memiliki pemaknaan yang berbeda-beda.
Pendekatan naratif untuk konseling dan psikoterapi memiliki teknik dan
aplikasi bervariasi. Filosofi umum mendasari pemikiran yang berbeda adalah
bahwa pengalaman hidup klien secara internal diatur dalam cerita atau narasi.
Umumnya, pendekatan narasi melibatkan menulis dalam bentuk puisi,
bibliotherapy, cerita, dan rekonstruksi narasi. Dengan mendorong klien untuk
berbagi cerita, konselor atau terapis memfasilitasi pertumbuhan klien melalui
reauthoring persepsi tentang hidup mereka. Untuk alasan ini, beberapa teori
percaya bahwa aplikasi naratif adalah alat terapeutik sentral dalam konseling dan
psikoterapi.
Mengadopsi sebuah narasi, postmodern, melihat konstruksionis sosial
menyoroti bagaimana kekuasaan, pengetahuan, dan “kebenaran” yang
dinegosiasikan dalam keluarga dan konteks sosial budaya lainnya. Ada tiga
konsep dalam pendekatan naratif ini yakni :
a. Fokus Narasi, yakni Terapis dianjurkan untuk membangun pendekatan
kolaboratif dengan minat khusus dalam mendengarkan hormat kepada klien,
membantu klien dalam pemetaan pengaruh masalah ini terhadap kehidupan
mereka, membantu klien dalam memisahkan diri dari cerita-cerita dominan
mereka yang telah diinternalisasi sehingga ruang dapat dibuka untuk
berkreasi dengan cerita kehidupan alternatif.
b. Peran Cerita, Cerita-cerita membentuk realitas untuk membangun dan
membentuk apa yang kita lihat, rasakan, dan lakukan.
c. Mendengarkan Dengan Pikiran Terbuka, Semua teori konstruksionis
sosial menekankan pada mendengarkan klien tanpa menghakimi atau
menyalahkan, menegaskan dan menghargai klien.

4. Stress and Coping Models : Stress dan Cara Mengatasinya


Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari membuat
seseorang menjadi kebingungan dan stres. Sumber stres pada umumnya meliputi
peristiwa yang sangat menekan secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan
jangka panjang, kesepian, dan kekhawatiran.
Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keadaan stres yang dialami
seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara
fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini
terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasinya. Tindakan
yang diambil individu dinamakan strategi coping. Strategi coping sering
dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah,
faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lainlain sangat
berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.
Coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan
seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam
kondisi yang penuh stres (Yani, 1997). Menurut Sarafino (2002), coping adalah
usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Dalam pandangan
Haber dan Runyon (1984), coping adalah semua bentuk perilaku dan pikiran
(negatif atau positif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani individu
agar tidak menimbulkan stress.
Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa
menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya (resources) yang
dimiliki. Sumberdaya coping yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi
strategi coping yang akan dilakukan dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan.
Jenis-jenis Strategi Coping menurut Stuart dan Sundeen (1991) terdapat dua
jenis mekanisme coping yang dilakukan individu yaitu coping yang berpusat pada
masalah (problem focused form of coping mechanism/direct action) dan coping
yang berpusat pada emosi (emotion focused of coping/palliatif form).
 Yang termasuk mekanisme coping yang berpusat pada masalah adalah:
a. Konfrontasi adalah usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau
menyelesaikan masalah secara agresif dengan menggambarkan tingkat
kemarahan serta pengambilan resiko.
b. Isolasi yaitu ndividu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak
mau tahu dengan masalah yang dihadapi.
c. Kompromi yaitu mengubah keadaan secara hati-hati, meminta bantuan
kepada keluarga dekat dan teman sebaya atau bekerja sama dengan
mereka.
 Sedangkan mekanisme coping yang berpusat pada emosi adalah sebagai
berikut:
a. Denial yaitu menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak
terjadi pada dirinya.
b. Rasionalisasi yaitu menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal
dan diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya.
Dengan rasionalisasi kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang
kita lakukan, tetapi juga merasa sudah selayaknya berbuat demikian
secara adil.
c. Kompensasi yaitu menunjukkan tingkah laku untuk menutupi
ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi
dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam
bidang lain. Kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang
mampu.
d. Represi yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan
dari ingatannya dan hanya mengingat waktu-waktu yang
menyenangkan.
e. Sublimasi yaitu mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat
atau kemampuan dengan sikap positif.
f. Identifikasi yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain.
g. Regresi yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap
seperti anak kecil.
h. Proyeksi yaitu menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau
melampiaskan kesalahannya kepada orang lain
i. Konversi yaitu mentransfer reaksi psikologi ke gejala fisik.
j. Displacement yaitu reaksi emosi terhadap seseorang kemudian
diarahkan kepada seseorang lain.
Jenis coping mana yang akan digunakan dan bagaimana dampaknya, sangat
tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi (Evans & Kim, 2013).
Pada situasi yang masih dapat berubah secara konstruktif (seperti mengalami
kelaparan akibat bencana) strategi yang digunakan adalah problem focused. Pada
situasi yang sulit seperti kematian pasangan, strategi coping yang dipakai adalah
emotion focused, karena diharapkan individu lebih banyak berdo’a, bersabar dan
tawakkal. Keberhasilan atau kegagalan dari coping tersebut akan menentukan
apakah reaksi terhadap stres akan menurun dan terpenuhinya berbagai tuntutan
yang diharapkan (Rutter, 2013; Compas, et al., 2014).
Sumberdaya coping dapat diartikan segala sesuatu yang dimiliki keluarga baik
bersifat fisik dan non fisik untuk membangun perilaku coping (Allen, Zebrack,
Wittman, Hammelef & Morris, 2014; Hand, Hicks & Bahr 2015). Sumberdaya
coping tersebut bersifat subjektif sehingga perilaku coping bisa bervariasi pada
setiap orang (Maschi, Viola, Morgen, & Koskinen, 2015). Menurut Lazarus dan
Folkman (1984), cara seseorang atau keluarga melakukan strategi coping
tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Adapun sumberdaya tersebut antara
lain:
a. Kondisi kesehatan. Sehat didefinisikan sebagai status kenyamanan
menyeluruh dari jasmani, mental dan sosial, dan bukan hanya tidak
adanya penyakit atau kecacatan. Kesehatan mental diartikan sebagai
kemampuan berfikir jernih dan baik, dan kesehatan sosial memiliki
kemampuan untuk berbuat dan mempertahankan hubungan dengan orang
lain. Kesehatan jasmani adalah dimensi sehat yang nyata dan memiliki
fungsi mekanistik tubuh. Kondisi kesehatan sangat diperlukan agar
seseorang dapat melakukan coping dengan baik agar berbagai
permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik (Peters,
Adam, Alonge, Agyepong & Tran, 2014).
b. Kepribadian adalah perilaku yang dapat diamati dan mempunyai ciri-ciri
biologi, sosiologi dan moral yang khas baginya yang dapat
membedakannya dari kepribadian yang lain (Littauer, 2002). Pendapat
lain menyatakan bahwa kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau
sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri seseorang. Dapat
dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukanbentukan yang
terima dari lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil
dan juga bawaan sejak lahir misalnya orang tua membiasakan anak untuk
menyelesaikan pekerjaannya sendiri, menyelesaikan setiap permasalahan
bersamasama, tidak mudah tersinggung/marah dan harus selalu bersikap
optimis. Menurut Maramis (1998), kepribadian dapat digolongkan
menjadi dua yaitu:
 Introvert, adalah orang yang suka memikirkan tentang diri sendiri,
banyak fantasi, lekas merasakan kritik, menahan ekspresi emosi,
lekas tersinggung dalam diskusi, suka membesarkan kesalahannya,
analisis dan kritik terhadap diri sendiri dan pesimis; dan
 Ekstrovert, adalah orang yang melihat kenyataan dan keharusan,
tidak lekas merasakan kritikan, ekspresi emosinya spontan, tidak
begitu merasakan kegagalan, tidak banyak mengadakan analisis dan
kritik terhadap diri sendiri, terbuka, suka berbicara dan optimis.
c. Konsep diri. Menurut Maramis (1998), konsep diri adalah semua ide,
pikiran, kepercayaan dan pendirian seseorang yang diketahui dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri dipelajari melalui kontak
sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain misalnya orang tua
yang menginginkan anak-anaknya tetap sekolah walaupun dalam keadaan
darurat, sehingga berupaya keras mencarikan sekolah untuk anaknya.
d. Dukungan sosial adalah adanya keterlibatan orang lain dalam
menyelesaikan masalah. Individu melakukan tindakan kooperatif dan
mencari dukungan dari orang lain, karena sumberdaya sosial menyediakan
dukungan emosional, bantuan nyata dan bantuan informasi. Menurut
Holahan dan Moos (1987), orang yang mempunyai cukup sumberdaya
sosial cenderung menggunakan strategi problem-focused coping dan
menghindari strategi avoidance coping dalam menyelesaikan berbagai
masalah.
e. Aset ekonomi. Keluarga yang memiliki aset ekonomi akan mudah dalam
mela- kukan coping untuk penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
Namun demikian, tidak berimplikasi terhadap bagaimana keluarga
tersebut dapat menggunakannya (Lazarus & Folkman, 1984). Menurut
Bryant (1990) aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki
keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena
itu, keluarga yang memiliki banyak aset cenderung lebih sejahtera jika
dibandingkan dengan keluarga yang memilki aset terbatas.

5. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa
untuk mengkaji perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas
individu yang dapat diamati, bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam
diri individu.
Behavioristik merupakan suatu pendekatanyang dikembangkan oleh Pavlov
dan Skinner. Skinner berpendapat bahwa tidaklah produktif untuk menjelaskan
sesuatu dengan merujuk pada struktur yang tidak dapat diamati secara
langsung. Bagi Skinner istilah kepribadian tidak ada, yang ada adalah
perilaku, perilaku sepenuhnya dapat dipahami karena merupakan tanggapan
terhadap faktor-faktor dari lingkungan. Skinner lebih menekankan subjek
penelitian yang bersifat individu. Fokus utama dalam konsep Behaviorisme
adalah perilaku yang terlihat dan penyebab luar yang menstimulasinya serta
pentingnya control terhadap perilaku. Konsep utama behavioristik adalah
berfokus pada tingkah laku yang kelihatan, ketepatan dalam menyusun
tujuan-tujuan treatmen, perumusan rencana-rencana treatmen yang spesifik, dan
evaluasi yang lebih obyektif berkenaan dengan hasil-hasil konseling.
Behavioristik merupakan suatu pendekatan terapi tingkah laku yang
berkembang pesat dan sangat populer, dikarenakan memenuhi prinsip-prinsip
kesederhanaan, kelogisan, mudah dipahami dan diterapkan, serta adanya
penekanan perhatian pada perilaku yang positif. Pendekatan Behavioristik
adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia, dalil
dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang
dikendalikan dengan cermat akan mengungkapkan hukum-hukum yang
mengendalikan tingkah laku. Pendekatan behavioristik adalah suatu
pendekatan psikologi yang berpendirian bahwa organisme dilahirkan
tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis, dimana perilaku adalah hasil
pengalaman dan perilaku dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak
kesenangan dan mengurangi penderitaan. Menurut A. Supratikna
pendekatan Behavioristik adalah pendekatan yang menerapkan prinsip
penguatan stimulus respon. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk
melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat apabila diberi penguatan.
Penguatan tersebut terbagi atas penguatan positif dan penguatan negatif.
Tujuan dari konseling behavioristik adalah untuk membantu klien membuang
respons-respons yang lama yang merusak diri, dan mempelajari respons-respons
yang baru yang lebih sehat. Tujuan konseling ini juga menghapus pola-pola
tingkah laku yang salah suai yang selama ini sering digunakan klien didalam
kehidupannya, sehingga klien mampu menguasai tingkah laku baru yang efektif
dengan cara menciptakan suatu kondisi-kondisi baru bagi proses belajar dengan
menerapkan gagasan pengkondisian operan.

6. Teori Belajar
Dalam penerapan psikoedukasi, dapat digambarkan dengan kegiatan
pembelajaran. Dimana keduanya memiliki tujuan untuk mengubah suatu perilaku
individu (Sugiarmin, ). Sehingga dapat dikatakan bahwa psikoedukasi banyak
terinspirasi dan mengembangkan prosesnya dari teori belajar. Dalam Nursalim
(2019) dijelaskan terdapat 4 perspektif teori belajar, diantaranya:
a. Teori Belajar Behavioristik
Dalam teori ini, belajar merupakan hasil dari reaksi atau sebuah respon
dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Dan hasil yang terlihat adalah
akibat adanya pengalaman yang telah ia lewati sehingga perilaku yang
nampak relatif permanen. Dalam teori ini, seseorang dikatakan telah belajar
jika ia telah mampu menunjukkan perilaku yang sesuai dengan apa yang
pelajari. Dalam psikoedukasi, teori belajar behavioristik dapat diterapkan
dengan memberikan edukasi berkaitan dengan perilaku yang sesuai dengan
apa yang dikehendaki.
b. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif berfokus pada perubahan cara berpikir, perasaan,
atau motif yang mungkin tidak dapat diamati melalui perilaku. Teori
kognitif menjelaskan bahwa belajar merupakan berubahnya persepsi serta
pemahaman. Teori ini memiliki pendapat bahwa setiap individu secara
alami telah memiliki bentuk struktur kognitifnya masing-masing (Nursalim,
2019). Dengan kesimpulan bahwa ketika menerapkan psikoedukasi
menggunakan teori ini, maka yang ditekankan adalah proses perubahan cara
berpikir para klien/peserta. Sehingga dengan begitu, tujuan psikoedukasi
dapat dicapai dengan baik.
c. Teori Belajar Konstruktivistik
Dalam Nursalim (2019) dijelaskan bahwa teori belajar ini menekankan
perubahan individu dengan mengonstruksi informasi/pengetahuan yang
telah ia miliki sebelumnya dengan orang lain ataupun lingkungan. Teori ini
memiliki pandangan bahwa lingkungan sosial mulai dari proses interaksi,
budaya/kebiasaan, hingga keadaan lingkungan dapat mempengaruhi proses
belajar. Penerapannya dalam psikoedukasi dengan memberikan makna pada
siswa tentang pengalaman yang telah ia lalui sehingga akan terbentuk
sebuah pengetahuan atau pemahaman baru.

7. Teori Kognitif-Perilaku
Teori kognitif perilaku merupakan gabungan dari dua teori, yakni teori
kognitif dan teori perilaku atau behavior. Yang mana dalam teori memiliki
anggapan bahwa sebuah pemikiran (kognisi) mampu mempengaruhi emosi,
hingga berakibat pada tingkah laku seorang individu. Sehingga, dalam penerapan
teori ini lebih ditekankan pada modifikasi cara berpikir hingga memunculkan
perilaku yang dikehendaki.
Tak jarang individu terlalu memikirkan hal-hal negatif yang mungkin belum
tentu terjadi, atau disebut dengan overthinking. Dan umumnya, banyak individu
yang terlalu berfokus pada pikiran negatif tersebut, hingga tidak bisa melanjutkan
aktivitasnya secara normal. Penerapan teori ini dalam proses psikoedukasi ialah
memberikan pemahaman baru tentang cara berpikir yang lebih positif serta
mengembangkan kepercayaan diri individu tersebut pada dirinya. Dengan
harapan, ketika pemikiran lebih positif maka perilaku yang terbentuk pun akan
semakin lebih baik.

8. Teori Sistem Ekologi


Tokoh teori ekologi terkenal salah satunya yakni Urie Bronfenbrenner.
Bronfenbenner dalam () mengemukakan bahwa teori ekologi menganggap bahwa
tingkah laku seseorang cenderung mendapat pengaruh dari hubungan timbal balik
dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa lingkungan
termasuk orang terdekat, keadaan sekitar, hingga budaya atau nilai-nilai mampu
membentuk perilaku seseorang.
Bronfenbrenner dalam () juga menjelaskan bahwa terdapat lapisan-lapisan
yang berhubungan secara langsung dengan individu, yakni:
a. Makrosistem
Lapisan ini merupakan lapisan terluas yang mampu mempengaruhi
perilaku seseorang. Contohnya seperti nilai-nilai budaya, peraturan dan
hukum, kepercayaan atau agama, dan sebagainya.
b. Eksosistem
Eksosistem sebagai lapisan kedua yang mencakup sistem sosial yang
lebih besar. Dimana individu tidak terlibat secara langsung namun tetap
memiliki pengaruh pada suatu kondisi. Misalnya saja seorang guru yang
mengajar mata pelajaran IPS namun tidak memiliki latar belakang
pendidikan sarjana IPS. Hal tersebut terjadi karena kurangnya tenaga
pendidik pada mata pelajaran tersebut. Dan berakhir pada kondisi guru
yang tidak professional dan tidak memiliki kompetensi di mata pelajaran
tersebut.
c. Mesosistem
Mesosistem memiliki karakteristik dimana satu sistem mikro dan
sistem mikro lainnya saling berpengaruh. Contohnya seperti kurangnya
kemampuan guru untuk mengatur kondisi kelas yang kurang kondusif.
Sehingga akan terjadi guru yang kewalahan dan siswa dalam kelas yang
semakin tidak terkendali.
d. Mikrosistem
Mikrosistem merupakan sistem yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal seorang individu ketika ia sedang berkembang. Misalnya
ketika seorang siswa yang memiliki kesulitan dalam membaca dan
menulis, namun guru pembimbing tidak mengerti keadaan tersebut dan
tetap memberikan materi pembelajaran yang sulit dikuasai. Hal ini tentu
akan menyebabkan siswa tidak berkembang secara optimal.
BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa psikoedukasi adalah
suatu bentuk intervensi yang dapat diterapkan pada secara individual,kelompok
ataupun dalam keluarga yang bertujuan untuk rehabilitasi sehingga individu tidak
mengalami masalah yang sama ketika dihadapkan pada tantangan tertentu
ataupun pencegahan agar individu tidak mengalami gangguan ketika menghadapi
suatu tantangan.
Ada 8 teori yang melatar belakangi psikoedukasi yaitu group practice models,
model dukungan sosial, pendekatan naratif, stress and coping models, teori
behaviorisme, teori belajar, teori sistem ekologi, dan teori kognitif-perilaku. Dengan
adanya teori-teori tersebut Psikoedukasi dapat digunakan sebagai bagian dari
proses treatment dan sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien yang mengalami
penyakit ataupun gangguan tertentu, menurunkan stress yang terkait dengan masalah
tersebut dan mencegah agar masalah tersebut tidak terjadi kembali.
3.2. SARAN
Sebagai praktisi, konselor, atau pendidik perlu adanya pemahaman mengenai
Psikoedukasi. Tidak hanya itu, konselor juga perlu berlatih dalam mendengarkan
dirinya sendiri, sebelum mendengarkan orang lain, sehingga proses konseling dapat
berjalan dengan efektif. Adanya rasa saling mempercayai akan memudahkan konselor
dengan konseli berbagi kisah dan membuka rasa nyaman, aman, dan dihargai.
Demikian makalah yang telah kami kerjakan bersama, harapan bagi para
pembaca semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menambah ilmu pengetahuan
baru. Jika dalam makalah ini terdapat kekurangan yang ingin disampaikan maka
silahkan dapat menyampaikan kepada kami, kami menerima pendapat baik berupa
saran maupun kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi
lebih baik lagi dan menjadikan pelajaran bagi kami.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M. R. (2022). Psikoedukasi rawat diri penyandang disabilitas pada pengurus forum
keluarga disabilitas. Procedia: Studi Kasus dan Intervensi Psikologi, 10(2), 53-57.
Hasdiana, Ulva. (2018). “Pendekatan BehavioristikDalam Mengatasi Kenakalan Remaja”.
Aceh: Majelis Pendidikan Aceh
Maryam, Siti. (2017). “Strategi Coping: dan Teori Sumberdayanya”. Aceh: Fakultas
Kedokteran, Universitas Malikussaleh
Nursalim, M. (2019). PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Putra, A. S., & Soetikno, N. (2018). Pengaruh intervensi psikoedukasi untuk meningkatkan
achievement goal pada kelompok siswi underachiever. Jurnal Muara Ilmu Sosial,
Humaniora, dan Seni, 2(1), 254-261.
Sugiarmin, M. (2007). Pendekatan Psikoedukasi Dalam Penanganan Anak Gangguan
Pemusatan Perhatian Hiperaktif (GPPH) dan Kesulitan Belajar.
Wiyati, R., Wahyuningsih, D., & Widayanti, E. D. (2010). Pengaruh psikoedukasi keluarga
terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial. Jurnal keperawatan
soedirman, 5(2), 85-94.

Anda mungkin juga menyukai